taya mum

39
TAYAMUM Tayammum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya, cara-cara khusus, dan hukum-hukum yang berlaku. Sebab-Sebab Tayammum Ulama mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan sehat (tidak sakit), tetapi ia tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayammum? Maksudnya, bila tidak ada air, apakah hanya orang yang berada dalam perjalanan dan sakit sajalah yang dibolehkan bertayammum, atau justru dibolehkan dalam keadaan apapun, sampai pada waktu sehat dan orang yang bukan berada dalam perjalanannya? Hanafi: Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayammum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Ibnu Rusyd, Jilid I, halaman 63, cetakan tahun 1935, dan juga Al-Mughni, Ibn Qudamah, Jilid I, halaman 234, cetakan ketiga). Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan ayat 8, Surat Al-Maidah: ….. Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah…” Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayammum selama orang itu bukan musafir atau sakit. Bila tayammum itu hanya khusus bagi orang yang musafir dan orang yang sakit, maka

Upload: andi-wira

Post on 21-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

muslim

TRANSCRIPT

TAYAMUM

TAYAMUM

Tayammum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang dipergunakannya, cara-cara khusus, dan hukum-hukum yang berlaku.Sebab-Sebab TayammumUlama mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan sehat (tidak sakit), tetapi ia tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayammum? Maksudnya, bila tidak ada air, apakah hanya orang yang berada dalam perjalanan dan sakit sajalah yang dibolehkan bertayammum, atau justru dibolehkan dalam keadaan apapun, sampai pada waktu sehat dan orang yang bukan berada dalam perjalanannya?Hanafi: Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak sakit), maka ia tidak boleh bertayammum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. (Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Ibnu Rusyd, Jilid I, halaman 63, cetakan tahun 1935, dan juga Al-Mughni, Ibn Qudamah, Jilid I, halaman 234, cetakan ketiga). Hanafi mengemukakan pendapatnya itu berdasarkan ayat 8, Surat Al-Maidah:.. Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlahAyat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayammum selama orang itu bukan musafir atau sakit. Bila tayammum itu hanya khusus bagi orang yang musafir dan orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak suci. Dan shalat hanya diwajibkan bagi orang yang suci.Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayammum dan shalat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan. Sakit maupun sehat berdasarkan hadis yang mutawatir:Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya perjalanan (musafir) dalam ayat tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan air.Kalau betul apa yang dinyatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan orang yang sehat, yang keduanya tetap diwajibkan shalat, sedangkan orang yang bukan musafir dan sehat tidak diwajibkan shalat; (mengapa mesti terbalik logikanya?)Syafii dan Hambali: Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan) secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pada sebagian anggota wudhu yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayammum. Kalau ada air hanya untuk wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayammuminya.Mazhab-mazhab yang lain: Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka bagi orang yang demikian tidak di wajibkannya selain bertayammum.Tapi pada masa sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu diperdebatkan secara panjang lebar, karena pada saat sekarang air sudah mencukupi bagi setiap manusia, dimanapun saja, baik bagi orang yang musafir maupun yang mukim. Para ahli fiqih membahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya. Kalau ia khawatir pada dirinya, hartanya, atau kehormatannya dari pencuri dan binatang buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya, dan seterusnya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berat untuk mendapatkan air.Kemudharatan Demi KesehatanSemua ulama mazhab sepakat bahwa di antara sebab-sebab dibolehkannya bertayammum itu adanya mudharat untuk menjaga kesehatan bila mempergunakan air, walau pun berdasarkan perkiraan saja. Maka barangsiapa yang takut ditimpa suatu penyakit, atau penyakitnya bertambah atau memperlambat kesembuhannya, atau justru mernpersulit cara mendiagnosanya, maka ia boleh bersuci dengan mempergunakan debu. (Misalnya) kalau waktunya sudah sempit untuk mempergunakan air sebagaimana kalau ia bangun kesiangan, dan waktunya hanya tinggal sedikit dan kalau bersuci dengan air ia akan shalat di luar waktunya, tapi bila bertayammum ia bisa shalat pada waktunya (keburu); apakah ia wajib bertayammum atau bersuci dengan air, bila keadaan sudah sempit seperti itu?Maliki dan Imamiyah: la harus bertayammum dan shalat, tapi kemudian mengulanginya lagi. Syafii: Tidak boleh bertayammum kalau pada waktu itu ada air.Hambali: Membedakan antara orang yang musafir dengan orang yang bukan musafir. Kalau keadaan seperti itu terjadi pada waktu musafir, ia harus bertayammum, lalu shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi. Tapi kalau terjadi pada orang yang bukan musafir, maka ia tidak boleh bertayammum.Hanafi: Pada keadaan seperti itu, boleh bertayammum untuk shalat-shalat sunnah yang mempunyai waktu, seperti shalat sunnah setelah Dzuhur dan Magrib. Sedangkan shalat-shalat yang wajib, maka tidak boleh bertayammum, karena pada waktu itu ada air, sekalipun waktunya sangat sempit, tetapi harus berwudhu dan shalat qadha (menggantinya). Kalau ia bertayammum dan shalat pada waktu itu, maka ia wajib mengulanginya lagi di luar waktu tersebut.Bahan TayammumSemua ulama mazhab sepakat bahwa bahan yang wajib dipergunakan tayammum itu adalah tanah yang suci, bcrdasarkan firman Allah SWT: Maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci (Al-Quran, Surat Al-Maidah, ayat 6).Juga berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi wa Sallam: Bumi ini dijadikan sebagai masjid (tempat sujud) dan suci. Suci itu adalah yang tidak terkena najis. Dan ulama mazhab berbeda pendapat tentang arti Al-Shaid.Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Memahami arti kata tersebut adalah bumi yang ada di permukaan. Dari itu, mereka (Hanafi) dan sebagian kelompok Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan debu, pasir dan batu, hanya mereka melarang bertayammum dengan barang-barang tambang, seperti kapur, garam, surfur, dan lain-lain.Syafii: Memahaminya adalah tanah dan pasir. Dari itu, mereka (Syafii) mewajibkan untuk bertayammum dengan kedua benda tersebut kalau keduanya berdebu. Tetapi kalau bertayammum dengan batu tidak boleh. Hambali: Memahami arti shaid itu hanya tanah saja. Dari itu tidak boleh bertayammum dengan pasir dan batu. Kebanyakan dari Imamiyah berpendapat seperti pendapat tersebut di atas, hanya mereka (Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan pasir dan batu bila dalam keadaan darurat. Maliki: Memikul rata pengertian kata shaiditu baik tanah, pasir, batu, es dan barang tambang, kalau barang tambang tersebut tidak dipindahkan dari tempatnya, kecuali (yang dilarang) emas, perak, dan permata. Maliki melarang mempergunakan hal-hal tersebut (emas, perak dan permata) untuk tayammum secara mutlak.Cara-cara BertayammumSemua ulama mazhab sepakat bahwa tayammum itu tidaklah sah kalau tanpa niat, sampai Hanafi berkata: Niat itu adalah merupakan syarat dalam tayammum, bukan syarat dalam wudhu. Menurut mereka (Hanafi) bahwa tayammum itu dapat menghilangkan hadas, seperti wudhu dan mandi. Dari itu, mereka membolehkan untuk berniat menghilangkan hadas, sebagaimana berniat untuk dibolehkannya melakukan shalat. Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayammum itu membolehkan, bukan menghilangkan (hadas). Bagi orang yang bertayammum hendaknya berniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan berniat menghilangkan hadas. Tetapi sebagian Imamiyah mengatakan bahwa boleh berniat menghilangkan hadas, dengan catatan ia mengetahui kalau tayammum itu tidak menghilangkan hadas, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadas terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah).Sebaik-baiknya cara untuk mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang bertayammum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayammum ini, baik ketika memulainya, maupun lahir dari perintah shalat dan semacamnya dari beberapa tujuan tayammum.Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang arti shaid, mereka juga berbeda pendapat tentang maksud mengusap wajah dan kedua tangan yang dijelaskan dalam ayat Al-Quran.Empat mazhab dan Ibnu Babawaih dari Imamiyah: Yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalamnya termasuk janggut, dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan, dan pergelangan sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayammum sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mengusap wajah; dan yang kedua unluk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jari-jari sampai kedua siku-siku.Maliki dan Hambali: Bahwa mengusap kedua tangan itu hanya sampai pada pergelangan tangan, dan sampai di situlah yang diwajibkannya, sedangkan sampai pada dua sikut-sikut itu adalah sunnah.Imamiyah: Yang dimaksud dengan muka adalah sebagiannya bukan semuanya, karena huruf ba dalam firman Allah memberikan pengertian hanya sebagiannya, karena menunjukkan bahwa ia masuk ke dalam maful (obyek). Bila tidak bermakna sebagian, maka huruf ba itu berarti ba tambahan, karena kata imsahu termasuk kata muaddi binafsihi (kata kerja yang membutuhkan obyek tanpa huruf penghubung). Maka pada dasarnya, kata tersebut adalah tidak adanya tambahan. Imamiyah memberikan batas bahwa yang wajib itu adalah mengusapnya dari sebagian muka, yang dimulai dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung hidung bagian atas, dan termasuk di dalamnya adalah dahi dan kiri kanan dahi. Sedangkan yang termasuk dua tangan adalah dua telapak tangan saja, karena kala alyadu dalam perkataan orang Arab mengandung beberapa pengertian. Di antaranya: Telapak tangan itu sendiri, dan pengertian itu inilah yang paling sering dipergunakan. (Al-Badayah wa Al-Nihayah, karya Ibnu Rusyd,Jilid I, halaman 66).Pengertian tersebut dapat diperkuat kalau Anda berkata: Inilah dua tangan saya dan mengerjakan suatu perbuatan dengan dua tangan ini. Dari ungkapan tersebut tidak bisa dipahami kecuali hanya dengan telapak tangan saja. Maka cara bertayammum menurut Imamiyah berdasarkan keterangan di atas, seperti berikut: Kedua lelapak tangannya dipukulkan ke bumi, lalu mengusapkan kedua tangannya pada mukanya dari tumbuhnya rambut sampai ujung hidung bagian atas. Kemudian memukulkan kedua telapak tangannya lagi ke bumi, lalu mengusapkannya seluruh telapak tangannya yang kanan kepada bagian belakang telapak tangannya yang kiri, begitu juga sebaliknya.Imamiyah: Wajib dilakukan secara tertib, dan kalau dilakukan terbalik, seperti mendahulukan pengusapan tangan dari pengusapan mukanya, rnaka batallah tayammum. Mereka (Imamiyah) mewajibkan pula dari atas lalu ke bawah, maka jika dibalik, batallah tayammum itu. Sebagian besar mereka berpendapat: Wajib menepukkan kedua tangannya pada bumi. Maka kalau hanya diletakkan saja padanya (bumi) tanpa ditepukkan (dipukulkannya), maka batallah tayammumnya.Hanafi: Kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai pengganti dari memukulkannya.Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya anggaota tayammum itu adalah merupakan syarat sahnya tayammum baik yang diusapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayammum itu harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayammum wajib mencopot (menanggalkan) cincinnya ketika bertayammum, dan tidak cukup hanya dengan menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu.Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang wajibnya muwalat (berturut-turut).Maliki dan Imamiyah: Wajib berturut-turut antara bagian-bagian anggota tayammum itu. Maka kalau dipisahkan (dari jarak) dengan waktu yang mengurangi arti berturut-turut, batallah tayammumnya.Hambali: Wajib berturut-turut kalau bertayammum untuk menghilangkan hadas kecil, tapi kalau untuk menghilangkan hadas besar tidak wajib berturut-turut. Syafii: Hanya wajib tertib saja, bukan berturut-turut. Hanafi: Tidak diwajibkan berturut-turut dan tidak diwajibkan pula tertib.Hukum-hukum TayammumDi sini ada beberapa masalah:1. Semua ulama mazhab sepakat bahwa tidak boleh bertayammum untuk shalat sebelum masuk waktu shalat, kecuali menurut Hanafi: Sah bertayammum sebelum masuk waktu shalat. Imamiyah: Kalau bertayammum sebelum waktunya untuk tujuan yang dibolehkan bertayammum, kemudian masuk waktu dan tayammumnya belum batal, maka ia boleh shalat dengan tayammum tersebut.

Imamiyah dan Hanafi: Boleh bertayammum untuk menjama dua shalat dengan satu tayammum.Syafii dan Maliki: Tidak boleh menjama dua shalat fardhu dengan satu tayammum saja. Hambali: Boleh menjama untuk dua shalat qadha (pengganti) bukan untuk shalat adaan (shalat pada waktunya).1. Setelah melaksanakan tayammum berdasarkan keterangan syara, maka orang yang bertayammum itu hukumnya adalah suci sama seperti sucinya kalau memakai air, dan dibolehkan mengerjakan sesuatu (apa saja) yang dibolehkan pada wudhu dan mandi. Dan tayammum itu menjadi batal dengan apa yang membatalkan wudhu dan mandi, baik hadas besar maupun hadas kecil, dan dengan hilangnya udzur atau sakit.

1. Kalau setelah bertanyammum itu mendapatkan air, dan pada waktu menemukannya itu sebelum masuk melaksanakan shalat, maka batallah tayammumnya itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Tapi kalau mendapatkannnya ketika sedang shalat, maka: Sebagian Imamiyah: Kalau ia sebelum ruku dalam rakaat pertama, maka batal tayammumnya dan shalatnya. Tapi bila telah ruku dalam rakaat pertama, maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah.

Syafii, Maliki dan Hambali pada salah satu dari dua riwayatnya. dan sebagian kelompok Imamiyah: Kalau ia telah melakukan takbiratul ihram, maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah, berdasarkan firman Allah: Dan janganlah kalian membatalkan perbuatan-perbuatan kalian (Q.S.Muhammad, 33). Hanafi: Batal shalatnya. Kalau udzurnya. hilang setelah selesai shalat dan waktu masih luas (banyak), maka ia tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.1. Kalau orang yang junub bertayammum sebagai pengganti dari mandi, kemudian ia hadas kecil, dan ia mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu saja; apakah ia wajib berwudhu dan bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi?.

Maliki dan sebagian besar dari Imamiyah: Bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi.Hanafi, Syafii dan Hambali. serta sekelompok dari Imamiyah: Wajib berwudhu, karena tayammum itu untuk junub. Kemudian batal karena selain junub, maka ia tidak dianggap sebagai junub bila betul-betui tidak junub, hanya ia termasuk hadas kecil.1. Hambali sendiri yang menganggap bahwa tayammum itu dapat sebagai pengganti untuk menghilangkan najis dari badan, tanpa diikuti oleh mazhab-mazhab yang lain. (Al-Fiqh ala al-Madzhahib Al-Arbaah, dalam bab Arkanu al-tayammum).

1. Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau mentayammumkannya; apakah ia diwajibkan shalat dalam keadaan tidak suci? Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya shalat, lalu ia shalat, tetapi apakah wajib mengulanginya lagi setelah mampu (bisa) bersuci?

Maliki: Gugurlah kewajiban melaksanakan shalat maupun qadha nya. Hanafi dan Syafii: Pernah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Artinya melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang shalat. Sedangkan menurut Syafii: la wajib shalat yang sebenar-benarnya. Maka kalau udzurnya telah hilang, ia wajib mengulanginya lagi sebagaimana yang dituntut syara.Sebagian besar Imamiyah: Kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib mengqadhanya (menggantinya).Hambali: Bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan gugurlah kewajiban mengqadha nya.Sumber : http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab-10-tayamum/MAZHAB-MAZHAB DAN AYATTAYAMMUM

Kami telah menjelaskan tentang air, hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, dan tentang tayammum, bahwa beberapa mazhab dalam Islam sebagian besar berbeda pendapat tentang pengertian kata-kata yang dipergunakan dalam ayat tayammum, seperti:Dan jika kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air besar (jamban), atau menyentuh (menyetubuhi) perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka tayammumlah dengan tanah yang baik. Maka usaplah muka-muka kamu. (Q.S. Al Maidah, 6).Ulama fiqih berbeda pendapat tentang siapakah yang diwajibkan bertayammum kalau tidak ada air; Apakah hanya orang yang sakit dan orang musafir saja, atau sifatnya umum di mana orang mukim yang sehat juga termasuk di dalamnya? Apakah yang dimaksudkan dengan menyentuh itu adalah bersetubuh atau hanya menyentuh dengan tangan saja? Apakah yang dimaksud air hanya air muthlaq saja atau air apa saja? Apakah yang dimaksud dengan Al-Shaid khusus debu saja, atau termasuk juga semua yang ada dipermukaan bumi, baik debu, pasir atau batu? Apakah yang dimaksud dengan muka adalah semuanya atau hanya sebagiannya saja? Apakah yang dimaksud dengan tangan itu adalah telapak tangan saja atau telapak tangan dan lengan? Di bawah ini kami ringkaskan sebagian pendapat-pendapat di atas:1. Imam Abu Hanifah berkata: Orang yang mukim yang sehat, yang tidak mendapatkan air tidak dibolehkan bertayammum, dan juga tidak diwajibkan shalat, karena ayat tersebut hanya mewajibkan bertayammum karena tidak ada air kepada orang yang sakit dan orang musafir secara khusus.Mazhab-mazhab yang lain: Sesungguhnya menyentuh wanita lain (yang bukan muhrim) dengan sentuhan tangan yang sempurna, maka hukumnya sama seperti orang buang air, yaitu dapat membatalkan wudhu.Imamiyah: Bersetubuh itulah yang membatalkan wudhu, bukan menyentuh dengan tangan.2. Hanafi: Sesungguhnya pengertian Kalau kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah adalah air mutlaq, atau air mudhaf. Sedangkan menurut mazhab-mazhab yang lain: Kata mau (air) dalam ayat tersebut hanya khusus pada air mutlaq saja bukan air mudhaf.3. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Yang dimaksud dari Al-Shaid (tanah) dalam ayat tersebut adalah debu, pasir dan batu kecil.Syafii: Yang dimaksudkannya adalah hanya debu dan pasir saja. Hambali: Hanya debu saja.Maliki: Mengandung pengertian yang bersifat umum, baik debu, pasir, batu kecil, es, maupun barang tambang.Empat mazhab: Yang dimaksud dengan muka adalah semuanya.Imamiyah: Hanya sebagiannya saja.4. Empat mazhab: Yang dimaksud dengan dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai dua siku-siku.Imamiyah: Hanya dua telapak tangan saja.Sebenarnya perbedaan pendapat di atas hanya menunjukkan pada hal-hal yang bersifat interpretasi bukan pada yang substansial, pada lafadz-nya. saja bukan pada pengertiannya. Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan dalam memahami suatu kata, dan hanya terjadi pada kalangan ahli bahasa, dan para sastrawan yang berbeda penafsiran (interpretasi) terhadap satu bait syair. Dari sini para ahli fiqih dari satu mazhab berbeda pendapat tentang satu masalah, sebagaimana adanya perbedaan pendapat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainSumber : http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab-11-mazhab-mazhab-dan-ayat-tayammum/Tayamum

dakwatuna.com Tayamum adalah menggunakan tanah yang suci dengan cara tertentu disertai niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah:

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 43).

Tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi.

2. Sebab Kebolehan TayamumSebab utama diperbolehkan tayamum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah, kemudian kamu tidak mendapat air (An-Nisa: 43)

Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmi, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:

a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dilakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat,[1] atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat mazhab Hanafi. Sedang menurut mazhab Syafii dan Hambali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.

Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dibutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayamum dan menyimpan air untuk minumnya.

Ketiadaan Hukmi: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash RA shalat Subuh dengan tayamum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. (Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, Al-Bukhari memberikan catatan hadits ini, Al-Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya).

Atau air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.

c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayamum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut mazhab Maliki, wajib mengulang menurut mazhab Hanafi. Tidak boleh tayamum meskipun kehabisan waktu menurut mazhab Hambali dan Syafii.

3. Tanah Sebagai Alat TayamumTanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayamum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut mazhab Syafii, tayamum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.

4. Cara TayamumSeorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca basmalah, lalu menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir RA berkata,

Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda, Sebenarnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajahnya. (Muttafaq Alaih).

Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Syafii, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawi, penulis kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, dan Ash Shanani penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermazhab Syafii

5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan TayamumTayamum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayamum itu diperbolehkan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, seperti: Shalat, thawaf, dan memegang mushaf. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayamum dapat shalat dengan tayamumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayamum. Sedangkan menurut mazhab Syafii tayamum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.

6. Hal-Hal Yang Membatalkan TayamumSegala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayamum. Tayamum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayamum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya[2]. Sedangkan orang yang tayamum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.[3]Catatan Kaki:[1] Keberadaan air dianggap jauh ketika berjarak lebih dari satu mil (1847 m) menurut mazhab Hanafi, atau setengah farsakh sekitar satu setengah mil menurut mazhab Syafii (2771 m) atau dua mil menurut mazhab Maliki (3694 m)

[2] Menurut mazhab Maliki dan Syafii karena hadits Rasulullah saw. terhadap orang yang tidak mengulang shalat setelah menemukan air: Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah boleh (Abu Dawud dan An Nasai).

[3] Karena hadits Imran RA berkata, Rasulullah saw. shalat bersama dengan kaum muslimin. Ketika usai shalat, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyendiri dan tidak ikut shalat bersama kaum muslimin. Nabi menegurnya: Mengapa kamu tidak shalat bersama kaum muslimin? Orang itu menjawab: Saya junub dan tidak ada air. Sabda Nabi: Kamu bisa gunakan tanah, itu cukup. Kemudian Imran menyebutkan bahwa setelah mereka menemukan air, Rasulullah memberikan air kepada orang yang junub tadi dengan mengatakan, bawalah dan gunakan mandi. (Al-Bukhari).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/10/01/9213/fiqhut-thaharah-tayamum/#ixzz3MJO4w400

Rukun Tayamum

1. NiatDiwajibkan berniat terlebih dahulu, kerana ia termasuk daripada rukun.

2. Debu yang suciBerpandukan firman Allah SWT:

. Maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik ( suci ).( Surah an-Nisa: 43 )

Pakar bahasa bersepakat bahawa yang dimaksudkan dengan ( rujuk mushaf ) pada ayat diatas ialah tanah yang terdapat dipermukaan bumi, sama ada tanah mahupun benda-benda lain.

Para ulama fiqh telah bersepakat bahawa tidak dibenarkan bertayammum melainkan dengan debu yang suci kerana debu yang bernajis tidak dapat mensucikan sesuatu yang lain.

Tayammum hanya khusus dilakukan dengan debu, sedangkan bertayammum dengan menggunakan objek selainnya tidak dianggap memadai menurut pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafii. manakala menurut mazhab Maliki, dibolehkan bertayammum dengan apa-apa yang termasuk jenis tanah dengan syarat tidak dibakar. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengatakan bahawa tayammum sah dengan menggunakan semua benda suci yang termasuk jenis tanah, iaitu segala sesuatu yang tidak menjadi abu dan tidak lembek apabila dibakar dengan api, seperti debu, pasir dan batu. Jika sesuatu itu menjadi abu apabila dibakar seperti kayu dan daun kering, dan sesuatu menjadi lembek apabila dibakar dengan api seperti besi dan timah, maka tayammum tidak sah dengan menggunakan benda tersebut apabila tidak terdapat debu yang melekat padanya. Abu Yusuf, salah seorang ulama mazhab Hanafi, mengatakan bahawa tidak sah bertayammum kecuali menggunakan debu dan pasir. [1]

3. Tepukan pertama ke atas debu yang suciManakala tepukan yang kedua, mengikut imam Malik dan jumhur ulama fiqh hukumnya adalah sunat. Manakala menurut Imam Syafii hukumnya adalah fardhu, berpandukan kepada hadis Ibn Umar ( r.a ), bahawa Nabi SAW bersabda:

Tayammum itu ( dilakukan ) dengan dua kali tepuk ( keatas tanah ). Satu tepukan untuk muka dan satu tepukan lagi untuk kedua tangan hingga ke siku. [2]Imam Ahmad mengatakan bahawa apa yang diwajibkan ialah sekali pukulan kerana berlandaskan kepada hadis Ammar ibn Yasir ( r.a ) yang menceritakan:

Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara bertayammum. Baginda memerintahkan kepadaku melakukan sekali pukulan untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan. [3]4. Menyapu wajah dan dua tanganDidalam mazhab syafii tatacara bertayammum adalah berpandukan kepada hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni ( rujuk nombor 3 ) iaitu menyapu wajah dan tangan hingga ke siku.

Manakala pendapat jumhur ulama, adalah menyapu wajah kemudian kedua-dua tangannya hingga ke pergelangan. Hal ini berpandukan kepada hadis daripada Ammar ( r.a ), katanya:

Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku pun bergelimang dengan tanah, lalu mengerjakan solat. Kemudian aku menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka sabdanya: Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini; Beliau meletakkan kedua-dua telapak tangannya ke tanah, lalu meniup kedua-dua tangan yang dipenuhi dengan debu dan kemudian menyapu bahagian muka dan disusuli dengan debu dan kemudian menyapu bahagian muka dan disusuli dengan menyapu pada kedua-dua telapak tangannya. [4]Menurut satu riwayat lagi, ditegaskan:

Sebenarnya kamu cukup melekatkan kedua-dua telapak tangan ke tanah, lalu meniup kedua-dua tangan yang sudah dipenuhi dengan tanah. Setelah itu, kamu menyapukannya pada muka dan kedua-dua tanganmu hingga ke pergelangan. [5]Hadis ini menerangkan bahawa mengambil tanah itu cukup satu kali tepukan sahaja dan menyapu tangan itu hanya sampai ke pergelangan sahaja. Di samping itu, seseorang yang bertayammum dengan tanah disunatkan menepuk dan menghembus kedua belah telapak tangan yang sudah dipenuhi dengan tanah agar wajahnya tidak kotor ekoran tanah yang begitu banyak.

5. Muwalat ( berturut-turut )Mengikut Imam Malik, berturut-turut dalam bertayammum termasuk rukun, sama ada bertayammum kerana hadas kecil ataupun besar, sebagaimana yang dijelaskan dalam masalah wuduk dan mandi. Manakala mengikut mazhab Hanbali berturut-turut hanya termasuk rukun pada hadas kecil kerana berturut-turut ketika mandi tidaklah wajib.

6. TertibMengikut Imam Syafii, tertib termasuk salah satu rukun tayammum, hal ini diqiyaskan dengan pelaksanaan wuduk.

Tayammum untuk setiap kali solat fardhuDidalam mazhab Syafii ( juga merupakan pendapat kebanyakan ulama ), ditegaskan bahawa satu tayammum hanya untuk satu solat fardhu sahaja. Contohnya tidak boleh mengerjakan solat Asar dengan tayammum yang dilakukan pada waktu Zohor. Oleh itu, seseorang yang hendak menunaikan solat fardhu yang lain dikehendaki untuk bertayammum semula sekalipun dia belum berhadas selepas tayammum yang pertama itu. Pendapat ini bersandarkan kepada hadis Ibnu Umar ( r.a ), bahawa dia berkata:

Hendaklah seseorang itu bertayammum untuk setiap kali sembahyang, sekalipun tidak berhadas. [6]Walau bagaimanapun, masalah ini tidak terikat dengan solat sunat dan solat jenazah. Maksudnya, seseorang itu dibolehkan mengerjakan solat sunat sebanyak mana yang seseorang itu mampu untuk mengerjakannya. Tetapi, sekiranya seseorang itu bertayammum untuk mengerjakan solat sunat dan apabila dia ingin mengerjakan solat fardhu hendaklah dia bertayammum semula.

Manakala pendapat dikalangan mazhab Abu Hanifah pula menyatakan tayammum membolehkan apa yang dicegah oleh hadas, sama halnya dengan air. Jadi, seseorang yang bertayammum boleh mengerjakan solat fardhu dan solat sunat seberapa banyak yang dia kehendaki selagi belum berhadas atau belum menjumpai air, kerana tayammum baginya merupakan pengganti air secara mutlak. [7]

Sumber : https://ashabulyaminblog.wordpress.com/2013/04/25/rukun-tayammum/BERSUCI (TAYAMMUM)

Apa makna tayammum?

Tayammum bermaksud menyapu debu tanah yang bersih ke muka dan dua tangan sebagai ganti wudhuk dan mandi wajib ketika ketiadaan air atau tidak mampu menggunakan air kerana sakit, terlalu sejuk atau sebagainya.[1] Keharusan tayammum telah sabit dengan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak ulamak. Firman Allah di dalam al-Quran (bermaksud);

Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu menyentuh (atau mensetubuhi) perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk atau untuk mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah itu. (al-Maidah: 6).

Bila diharuskan tayammum?

Secara dasarnya, ada dua sebab yang mengharuskan tayamumm;

1. Kerana keputusan air; sama air tidak ada langsung atau ada sedikit dan tidak cukup untuk mengambil wudhuk.

2. Kerana tidak mampu menggunakan air

Apakah dalil keharusan bertayammum apabila keputusan air?

Dalil keharusan bertayammum kerana keputusan air ialah hadis dari Said bin Abdurrahman bin Abza yang meriwayatkan dari bapanya yang menceritakan; Seorang lelaki datang berjumpa Umar r.a. dan bertanya; Aku telah berjunub dan aku tidak menemui air (untuk mandi). Umar menjawab; Janganlah kamu mengerjakan solat (hingga kamu menemui air). Namun Ammar bin Yasir r.a. (yang ada bersama Umar ketika itu) berkata kepada Umar; Tidakkah engkau ingat ketika kita sama-sama dalam satu musafir di mana kita berdua telah berjunub dan kita tidak menemui air (untuk mandi). Adapun kamu, maka kamu memilih untuk tidak menunaikan solat. Adapun aku, maka aku telah berguling di atas tanah (untuk bertayammum) dan kemudian aku menunaikan solat. Apabila diceritakan kepada Nabi s.a.w., maka baginda berkata (kepada Ammar); Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua tapak tangan kamu ke tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu di tapak tangan itu) dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu (hingga pergelangannya).[2]

Apakah dalil keharusan bertayammum kerana tidak mampu menggunakan air?

Dalilnya ialah hadis dari Amru bin al-As r.a. yang menceritakan; Semasa dalam peperangan Zatus-Salasil, aku telah bermimpi (hingga keluar mani) pada malam yang bersangatan sejuk, lalu aku bimbang jika aku mandi mungkin akan membawa kebinasaan kepadaku. Maka aku pun bertayammum dan kemudian aku menunaikan solat Subuh bersama sahabat-sahabatku (tentera-tentera Islam). Apabila kami tiba di Madinah (setelah selesai perang), mereka mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang apa yang telah aku lakukan (yakni bertayammum). Maka Rasulullah bertanya kepadaku; Wahai Amru! Apakah kamu menunaikan solat bersama sahabat-sahabatmu sedangkan kamu berjunub?. Lalu aku menjawab; Aku teringat firman Allah; Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa mengasihani kamu. (an-Nisa; 29).Maka kerana ayat itu aku pun bertayammum dan kemudian mengerjakan solat. Mendengar peneranganku, Rasulullah s.a.w. ketawa dan baginda tidak berkata apa-apa.[3]

Imam ad-Daruqutni menceritakan bahawa Saidina Ali ditanya berkenaan seorang lelaki yang berada dalam musafir, lalu ia ditimpa junub sedang air yang ada padanya hanya sedikit di mana ia bimbang jika air itu digunakan untuk mandi wajib menyebabkan ia kehausan. Jawab Saidina Ali; Hendaklah ia bertayammum. Imam Ahmad pernah menceritakan; Beberapa orang sahabat bertayammum dan mereka menyimpan air untuk minuman mereka.[4]

Apakah contoh-contoh keadaan yang mengharuskan tayammum kerana tidak mampu menggunakan air?

1. Tidak mampu menggunakan air kerana sakit, atau bimbang bertambah sakit, atau bimbang lambat sembuh. Hal tersebut diketahui dengan pengalaman atau makluman dari doktor.

2. Air yang ada diperlukan (untuk minum dan sebagainya) pada ketika itu atau akan datang.

3. Terdapat sangkaan yang kuat dalam dirinya bahawa akan ditimpa sakit jika ia menggunakan air.

4. Takut kepada musuh yang menghalangnya dari mendapat air sama ada musuh itu manusia atau binatang buas.

5. Air diperlukan untuk minuman haiwan yang bersamanya seperti kudanya atau sebagainya.

6. Air diperlukan untuk menguli tepung, untuk memasak dan sebagainya.

7. Air diperlukan untuk membasuh najis yang tidak dimaafkan (yakni mesti dibersihkan).

8. Bimbang kepada sejuk yang bersangatan jika musim sejuk luar biasa.

Apakah syarat-syarat sah tayammum?

Untuk sahnya tayammum, para ulamak telah menggariskan syarat-syarat berikut;[5]

Pertama; Hendaklah orang yang bertayammum mempunyai keuzuran yang menghalangnya dari menggunakan air iaitu kerana keputusan air atau tidak mampu menggunakan air.

Kedua; Berusaha mencari air terlebih dahulu jika tayammum dilakukan kerana keputusan air.

Ketiga; Hendak lah tayammum itu dengan menggunakan tanah yang bersih

Keempat; Hendaklah bertayammum setelah masuk waktu

Syarat pertama telahpun kita huraikan tadi iaitu tatkala memperkatakan tentang bilakah harus kita bertayammum. Untuk berikutnya kita huraikan syarat-syarat selebihnya iaitu yang bersangkutan dengan kewajipan mencari air, bahan tayammum (iaitu tanah menurut jumhur ulamak) dan waktu dilakukan tayammum.

Apa maksud mencari air?

Seseorang yang ingin bertayammum kerana ketiadaan air, wajib ia berusaha mencari air terlebih dahulu di kawasan sekitarnya. Jika air tiada di rumah, hendaklah ia pergi ke masjid umpamanya atau ke rumah berdekatan moga-moga menemui air. Jangan semata-mata tiada air di rumah, lalu ia pun bertayammum. Setelah pasti benar-benar tidak ada air, barulah bertayammum. Mencari air itu wajib diulangi setiap kali hendak bertayammum.[6] Tidak cukup dengan pencarian ketika kali pertama bertayammum sahaja.

Bagaimana jika ada air, namun tidak mencukupi untuk bersuci, adakah digunakan air baru tayammum atau terus tayammum?

Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;[7]

Pandangan pertama; wajib digunakan air yang ada itu, kemudian barulah bertayammum bagi anggota yang tidak dapat dicuci dengan air. Pandangan ini merupakan mazhab Imam Ahmad dan Imam Syafiie (dalam qaul jadidnya).

Pandangan kedua; hendaklah terus bertayammum dan tinggalkan air itu. Pandanagn ini adalah pandangan jumhur ulamak yang terdiri dari al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafiie (dalam qaul qadimnya), Ibnu al-Munzir dan al-Muzanie (murid Imam Syafiie).

Kalau seseorang itu lupa bahawa dalam kenderaannya ada air atau ia lupa ada menyimpan air di satu tempat, lalu ia pun bertayammum dan mengerjakan solat; bagaimana hukumnya?

Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;

Pertama; menurut Imam Syafiie dan Imam Ahmad; tidak dipakai tayammum itu, yakni solatnya wajib diulangi semua setelah mengambil wudhuk dengan air tersebut. Hujjah mereka ialah; thoharah dengan air adalah perintah yang wajib. Ia tidak gugur semata-mata kerana lupa.

Kedua; menurut Imam Abu Hanifah; dipakai tayammum itu, yakni solatnya sah kerana lupa adanya air membawa ia kepada tidak dapat menggunakan air, maka halnya sama seperti orang yang ketiadaan air.

Adakah tayammum hanya harus dengan tanah sahaja? Bolehkah bertayammum dengan selain tanah?

Ada beberapa pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk bertayammum;

Pertama; jumhur ulamak (mazhab Imam Syafiie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dan Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus dengan pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai tanah. Dan disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila ditepuk) dan bersih.

Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila ditepuk di atasnya.

Adakah harus bertayammum dengan menepuk di dinding, di atas permaidani, di pakaian, di belakang binatang kenderaan atau sebagainya?

Ada dua pandangan ulamak;

Pertama; mengikut pandangan mazhab Syafiie dan Ahmad; harus jika di atas tempat-tempat yang ditepuk itu ada terdapat debu yang dapat melekat di tangan sebagaimana yang disyaratkan tadi. Jika tidak terdapat debu padanya, tidak harus tayammum.

Kedua; mengikut Imam Malik; tidak harus melakukan tayammum dengan menepuk ke atas debu yang terdapat di atas pakaian, permaidani dan sebagainya itu. Menurut beliau, tayammum hendaklah dengan menepuk terus ke atas bumi.

Adakah harus bertayammum dengan tanah bernajis?

Tidak harus kerana tayammum wajib dengan tanah atau bahan yang bersih kerana Allah menyebutkan di dalam ayat (shaid yang bersih). Begitu juga, Nabi s.a.w. juga bersabda; Shaid (tanah) yang bersih adalah alat bersuci bagi seorang muslim jika ia tidak mendapati air sekalipun selama sepuluh tahun. Jika ia telah menemui air, hendaklah ia menyapu air (yakni membasuh) badannya. Demikian itu lebih baik baginya.[8] Menurut Abu Hamid; hukum tersebut telah disepakati oleh sekelian ulamak.[9]

Adakah disyaratkan masuk waktu sahnya tayammum?

Ada dua pandangan ulamak;

Pertama; jumhur ulamak (terdiri dari mazhab Imam Malik, Syafiie, Ahmad dan lain-lain) berpandangan; tidak sah tayammum melainkan setelah masuk waktu solat sama ada tayammum kerana keputusan air atau kerana tidak mampu menggunakan air. Maksud masuk waktu ialah tiba waktu yang mengharuskan suatu solat itu dilakukan. Disyaratkan masuk waktu kerana tayammum adalah toharah darurat seperti mana toharah wanita yang istihadhah di mana kedua-duanya tidak menghilangkan hadas, akan tetapi dilakukan hanya untuk mengharuskan solat sahaja. Maka sebagaimana wanita yang istihadhah tidak harus mengambil wudhuk melainkan setelah masuk waktu, begitu juga orang yang ingin melakukan tayammum juga tidak harus melakukannya melainkan setelah masuk waktu solat.

Kedua; Imam Abu Hanifah berpandangan; tayammum tidak terikat dengan waktu, yakni harus melakukan tayammum sekalipun belum masuk waktu. Beliau mengkiaskannya dengan wudhuk dan toharah-toharah yang lain (mandi, menyapu khuf, menghilangkan najis). Sebagaimana wudhuk harus dilakukan sebelum masuk waktu solat, maka tayammum juga sedemikian kerana ia disyariatkan sebagai ganti kepada kedua-duanya.[10]

Apakah syarat tayammum bagi orang sakit atau luka?

Tidak semua jenis sakit atau luka mengharuskan tayammum. Sakit atau luka yang mengharuskan tayammum ialah sakit atau luka yang penggunaan air ditakuti akan menyebabkan at-talaf (kematian atau kemusnahan anggota) atau mendatangkan mudarat pada badan. Ia merangkumi;[11]1. Akan menyebabkan kematian atau kerosakan pada aggota (); lumpuh dan sebagainya.2. Penggunaan air menimbulkan penyakit yang membawa kematian atau kerosakan anggota.3. Menyebabkan sakit bertambah teruk atau penyakit semakin melarat.4. Menyebabkan lambat sembuh5. Menyebabkan kesakitan yang tidak tertanggung.6. Menimbulkan kecacatan dan kejelikan yang ketara pada badan; seperti kulit menjadi hitam atau sebagainya.

Kesan-kesan yang dibimbangi tersebut dari penggunaan air hendaklah disahkan oleh pengalaman sendiri atau berdasarkan makluman dari doktor yang mahir. Menurut mazhab Syafiie; doctor itu hendaklah muslim dan adil (tidak fasiq). Tidak diterima pengakuan atau pengesahan dari doctor kafir atau fasiq.[12] Namun menurut mazhab Imam Malik; harus memakai pandangan atau makluman dari doktor kafir jika tidak ada doktor muslim.[13]

Apakah syarat tayammum bagi orang yang kesejukan?

Syaratnya ialah tidak ada sebarang ikhtiar lagi yang dapat dilakuka bagi menggunakan air. Jika mampu berikhtiar sama ada dengan memanaskan air atau sebagainya, wajiblah dilakukan ikhtiar itu. Jika tidak mampu, barulah diharuskan tayammum.[14]

Sejauhmanakah ibadah yang harus dilakukan dengan tayammum?

Tayammum mengharuskan apa yang diharuskan dengan wudhuk dan mandi.[15] Seorang yang bertayammum harus mengerjakan solat fardhu, solat sunat, sujud tilawah, sujud syukur, membawa mushaf, membaca al-Quran dan beriktikaf. Hukum ini telah disepakati oleh ulamak.[16]

Namun para Fuqahak berikhtilaf dalam menentukan bilangan solat fardhu yang harus dikerjakan dinisbahkan kepada satu tayammum yang dilakukan. Di sana ada tiga pandangan; [17]

Pandangan pertama; tayammum sama seperti wudhuk iaitu tidak terikat dengan bilangan solat. Selagi tayammum tidak batal iaitu dengan menjumpai air atau dengan berlakunya hadas-, maka harus untuk melakukan dengan tayammum itu seberapa banyak solat yang dikehendaki sama ada fardhu atau sunat dan tanpa mengira waktu. Pandangan ini merupakan pendapat Said bin al-Musayyab, al-Hasan, az-Zuhri, as-Tsauri, Imam Abu Hanifah, al-Muzani dan ar-Ruyani.

Pandangan kedua; Jumhur ulamak yang terdiri dari Saidina Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, as-Syabi, an-Nakhaie, Qatadah, Yahya al-Ansari, Rabiah, Malik, Syafiie, al-Laits, Ishaq dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat; satu tayammum hanya untuk satu solat fardhu atau satu ibadah wajib sahaja. Oleh demikian, tidak harus menjamakkan dua solat dengan satu tayammum atau melakukan dua tawaf atau melakukan satu solat fardhu dengan satu tawaf fardhu, menghimpunkan dua solat nazar atau antara satu solat fardhu dengan satu solat nazar. Hendaklah diperbaharui tayammum untuk setiap solat fardhu yang hendak dilakukan setelah dipastikan tidak air terlebih dahulu. Adapun solat sunat, harus dilakukan seberapa banyak yang dikehendaki.

Pandangan ketiga; Imam Abu Tsur dan fuqahak mazhab Hanbali.[18] Mereka berpandangan; Tayammum terikat dengan waktu di mana satu tayammum hanya bagi satu waktu solat fardhu sahaja. Seorang yang bertayammum boleh melakukan apa sahaja solat yang dikehendaki sama ada solat fardhu dalam waktu, solat fardhu yang luput, menjamakkan dua solat dan seberapa banyak solat sunat yang diingini selama belum masuk waktu lain. Apabila masuk waktu lain, batallah tayammum dan wajib diulangi semula tayammum bagi mengharuskan solat kembali. Kedaaannya menyamai seorang wanita istihadhah atau orang-orang lainnya yang melakukan toharah darurat.[19]

Apakah anggota-anggota tayammum?

Berdasarkan ayat al-Quran tadi dan hadis-hadis Nabi s.a.w. (sebahagiannya telah kita sebutkan tadi), anggota tayammum hanya dua sahaja (sama ada tayammum bagi menggantikan wudhuk atau bagi menggantikan mandi) iaitu;

1. Muka2. Dua tangan

Mengenai muka tidak ada khilaf di kalangan ulamak bahawa keseluruhan kawasan muka yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk, maka ketika tayammum kawasan muka tersebut wajib diratai dengan debu. Adapun tangan, maka para ulamak berbeza pandangan tentang kawasan yang wajib disapui debu;

Pertama; mengikut jumhur atau majoriti ulamak iaitu Saidina Ali, Ibnu Umar, al-Hasan al-Basri, as-Syabi, Salim bin Abdullah, Imam Malik, al-Laits, Imam Abu Hanifah dan Syafiie; kawasan tangan yang wajib disapui debu adalah sama sebagaimana yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk iaitu bermula dari hujung jari hinggalah ke siku.[20] Mereka berdalilkan antaranya- sabda Nabi s.a.w.; Tayammum itu dua kali tepukan, sekali untuk disapu ke muka dan sekali untuk di sapu ke kedua tangan hingga ke siku.[21]

Kedua; sekumpulan ulamak yang terdiri dari Atho, Makhul, al-Auzaie, Imam Ahmad, Ishaq, Imam Syafiie (mengikut qaul qadimnya sebagaimana diceritakan oleh Abu Tsur)[22] dan disokong oleh Ibnu al-Munzir berpandangan; kawasan tangan yang wajib disapui debu ketika tayammum hanyalah sampai ke pergelangan tangan sahaja.[23] Mereka berdalilkan hadis kisah Ammar (yang telah kita kemukakan tadi) di mana Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya; Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua tapak tangan kamu ke tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu di tapak tangan itu) dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu (hingga pergelangannya).[24] Adapun hadis yang dijadikan hujjah oleh jumhur tadi ia adalah dhaif. Sebenarnya ia hanyalah pandangan Ibnu Umar, bukan sabda Nabi s.a.w..

Menurut Imam Nawawi; pandangan kedua di atas adalah kuat dari segi dalilnya dan lebih hampir kepada kehendak as-Sunnah.[25]

Berapakah bilangan tepukan yang wajib semasa melakukan tayammum?

Rentetan dari khilaf di atas, berlaku pula khilaf dalam menentukan berapakah bilangan tepukan ke tanah yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan tayammum? Mengikut jumhur ulamak tadi; tayammum wajib dengan sekurang-kurangnya dua kali tepukan ke tanah; satu tepukan untuk disapu ke muka dan satu tepukan lagi untuk disapu kepada dua tangan hingga ke siku. Jika dua kali tepukan itu mencukupi untuk menyapu keseluruhan kawasan muka dan tangan (hingga ke siku), tidak perlu lagi ditambah. Jika tidak, wajiblah tepukan itu ditambah hingga debu meratai seluruh kawasan yang wajib disapu itu.[26]

Adapun pandangan kedua di atas (Atho, Makhul, al-Auzaie, Imam Ahmad, Ishaq dan disokong oleh Ibnu al-Munzir), mereka menegaskan; yang wajib ialah sekali tepukan sahaja untuk kedua-dua anggota tayammum iaitu muka dan dua tangan hingga pergelangannya.[27]

Bilakah batalnya tayammum?

1. Tayammum adalah bersuci gantian bagi wudhuk. Apabila berlaku kepada orang yang bertayammum perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhuk sebagaimana yang telah kita jelaskan dalam tajuk yang lalu (contohnya, ia telah terkentut atau tersentuh kemaluan atau sebagainya), maka batallah tayammumnya. Kesimpulannya, perkara-perkara yang membatalkan wudhuk juga akan membawa kepada batalnya tayammum.

2. Bagi orang yang bertayammum kerana ketiadaan air, tayammumnya batal apabila telah bertemu air. Sebaik bertemu air, dengan sendiri tayammumnya terbatal. Apabila hendak solat semula, wajib ia mengambil wudhuk, yakni tidak cukup dengan tayammumnya tadi sekalipun ia tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan tayammumnya. Jika ia bertayammum tadi kerana ganti mandi wajib, hendaklah ia mandi wajib sebelum mengerjakan solat berikutnya.

3. Jika seorang bertayammum, kemudian belum sempat mengerjakan solat ia telah menemui air, tidak harus ia menunaikan solat dengan tayammum itu, akan tetapi hendaklah mengambil wudhuk, kemudian baru tunaikan solat. Ini kerana tayammumnya dengan sendiri terbatal dengan kerana bertemu air sekalipun belum sempat mengerjakan solat. Jika air ditemui semasa sedang solat (seperti ada orang memberitahunya semasa sedang solat itu), jika ia ingin meneruskan solatnya diharuskan dan solatnya sah. Namun sebaik-baiknya ialah ia menghentikan solatnya, kemudian mengambil wudhuk dan melakukan semula solat. Jika air ditemui setelah selesai solat, sah lah solat yang ditunaikan sebelum bertemu air itu dan tidak perlu diulangi semula sekalipun waktu masih ada.

4. Jika bertayammum kerana keuzuran (seperti sakit, sejuk keterlaluan dan sebagainya), tayammum dikira terbatal sebaik sahaja hilang keuzuran. Contohnya; jika seseorang bertayammum kerana sakit, maka sebaik ia sembuh dari sakit, batallah tayammumnya.

Nota Kaki

[1] Lihat takrif Tayammum di dalam; Al-Mughni, 1/180.[2] Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.[3]Riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan Daruqutni. Lihat hadis ini dalam Nailul-Autar.[4] As-Solah Ala Mazahib al-Arbaah, hlm. 91.[5] Al-Mughni, 1/182-184, al-Majmu, 2/269.[6] At-Tahzib, Imam al-Baghawi, 1/375.[7] Al-Majmu, 2/294-295, al-Mughni, 1/183.[8] Riwayat Imam at-Tirmizi dari Abu Zar r.a.. Kata beliau; hadis ini hasan soheh.Dalam riwayat yang lain, lafaz hadis berbunyi; . Shaid yang baik adalah wudhuk seorang muslim ketika ia tidak menemui air sekalipun sepuluh tahun. Jika ia telah menemui air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan sapulah kulitnya dengan air (yakni ratakanlah anggota wudhuknya dengan air). Demikian itu lebih baik baginya. (Riwayat al-Bazzar dari Abu Hurairah r.a.. Menurut Imam Ibnu Hajar; perawi-perawi hadis ini adalah soheh. Lihat; Faidhul-Qadier, hadis no. 5154).Sabda Nabi s.a.w.; demikian itu lebih baik baginya, bermaksud; bersuci dengan air itu lebih baik baginya dari segi keberkatan dan pahala. (Lihat; Faidhul-Qadier, hadis no. 5154).[9] Al-Majmu, 2/248.[10] Al-Mughni, 1/182, al-Majmu, 2/272.[11] Al-Mughni, 1/195, at-Tahzib, 413-414, Tafsir Ibnu Kathir, 1/550 (Surah an-Nisa, ayat 43).[12] At-Tahzib, 1/414.[13] As-Solah Ala Mazahib al-Arbaah, hlm. 90.[14] Al-Mughni, 1/197.[15] At-Tahzib, 1/396.[16] At-Tahzib, 1/402.[17] Al-Mughni, 1/198-199, al-Majmu, 2/317-318, at-Tahzib, 1/396-402.[18] Pandangan yang masyhur dalam mazhab Hanbali berbeza dengan pandangan yang dinaqalkan dari Imam Ahmad. Lihat; al-Majmu, 2/318.[19] Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1/413, al-Mughni, 1/198. Pandangan Abu Tsur; lihat dalam al-Mughni, 1/199 dan al-Majmu, 2/318.[20] Al-Majmu, 2/242, al-Mughni, 1/189.[21]Riwayat Imam al-Hakim dan at-Thabrani dari Ibnu Umar r.a..[22] Al-Majmu, 2/241.[23] Al-Majmuk, 2/242.[24] Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.[25] Al-Majmu, 2/242.[26] Al-Majmu, 2/241-242, al-Mugnni, 1/187.[27] Al-Majmu, 2/242, al-Mughni, 1/187.

Sumber : http://fiqh-am.blogspot.com/2008/06/bersuci-tayammum.html