tata pencahayaan patung sebagai karya seni di …
TRANSCRIPT
TATA PENCAHAYAAN PATUNG SEBAGAI KARYA SENI DI RUANG PUBLIK
Cattleya Tiara Delina dan Teguh Utomo Atmoko
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Abstrak
Skripsi ini membahas tentang sejarah dan definisi karya seni patung, definisi dan kriteria ruang publik, dan tata cara pencahayaan yang baik bagi karya seni patung yang terletak di ruang publik outdoor khususnya saat malam hari. Patung tidak hanya berfungsi mengisi ruang-ruang interior dalam suatu bangunan, tetapi juga dapat menyatu dengan ruang publik outdoor. Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan saat menata cahaya pada patung agar dapat mencapai suatu penataan cahaya yang baik dan optimal. Selain itu, hasil terbaik dapat tercapai jika skema pencahayaan individual (hanya untuk objek patung) bekerja sama dengan pencahayaan bagi keseluruhan distrik atau area.
Lighting System of Sculpture as an Art Work in Public Space
Abstract
This thesis discusses the history and definition of sculpture, the definition and criteria of public space, and the lighting technique for sculpture that located in outdoor public spaces. Sculpture not only serves to fill interior spaces in a building, but also can be integrated with an outdoor public spaces especially at night. There are several aspects that must be considered when arranging the light on the sculpture in order to achieve the best and optimal arrangement of light. Furthermore, the best results can be achieved if the individual lighting scheme (only for sculpture) collaborating with the lighting of the entire district or area. Keywords:art work, sculpture, public space, outdoor, lighting, night
Pendahuluan
Bangsa kita mempunyai berbagai macam bentuk kesenian dari Sabang hingga ke
Merauke. Keberagaman kesenian ini terbentuk karena adanya sejarah dari zaman ke zaman.
Seni erat kaitannya dengan karakter kejiwaan manusia dan lahir dari ungkapan perasaan
pribadi penciptanya. Manusia mengekspresikan kondisi emosionalnya dalam bentuk yang
nyata (real). Seiring berjalannya waktu, kesenian sudah dapat diklasifikasikan berdasarkan
media yang digunakan, salah satunya yaitu media penglihatan.
Karya seni rupa murni yang berbentuk tiga dimensi (salah satu contohnya adalah
patung) dapat dinikmati dengan indera penglihatan dan indera peraba. Zaman dahulu, patung
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
identik dengan pemujaan dewa-dewa dan dijadikan sebagai berhala. Namun seiring
berkembangnya pola pikir dan ilmu pengetahuan manusia, patung kini menjadi bagian dari
karya seni.
Patung ini berfungsi sebagai media komunikasi pencipta kepada masyarakat, media
monumental berkaitan dengan memori sejarah yang pernah terjadi, media yang
menginterpretasikan suatu area, dan sebagai elemen estetika. Keberadaan karya seni publik
tiga dimensi kini sudah dapat ditemukan di area publik indoor ataupun outdoor. Patung dapat
ditemukan di area terbuka publik dimana masyarakat diberi kesempatan lebih besar untuk
menikmati dan berinteraksi dengan patung tersebut.
Ironisnya, semua keindahan dari sebuah karya seni patung ini terkadang hanya dapat
dinikmati secara maksimal saat cuaca cerah dimana sinar matahari dapat menyinarinya
dengan jelas. Namun saat malam atau cuaca redup datang, pesona dari sebuah maha karya
seni patung secara otomatis ikut meredup tenggelam bersama hilangnya sang matahari. Tidak
semua karya seni patung diberikan media pencahayaan khusus untuk mempertahankan
eksistensinya saat malam hari ataupun cuaca redup datang. Masih banyak karya seni tiga
dimensi yang ikut ‘hilang’ bersama tenggelamnya matahari. Hal ini mengakibatkan
terbatasnya akses masyarakat untuk tetap bisa menikmatinya selain disaat cuaca cerah.
Sungguh ironis saat sebuah karya seni publik dapat hilang eksistensinya hanya dikarenakan
keterbatasan media pencahayaan.
Karya Seni Patung dan Karya Seni di Ruang Publik
Banyak terjadi pasang surut dalam perkembangan dan pertumbuhan seni patung baru
Indonesia. Perkembangan dalam seni rupa Indonesia mempunyai prosesnya sendiri, bukan
peniruan yang melahirkan tahapan perkembangan yang sama persis dengan seni rupa modern
dunia yang berpusat di Amerika dan Eropa. Hingga lahirlah seni patung yang memiliki
beberapa metode dalam proses pembuatannya. Seni patung ini diklasifikasikan kembali ke
beberapa kelompok berdasarkan bentuk patung. Cabang seni rupa tiga dimensi ini merupakan
perwujudan ekspresi dan kreasi manusia.
Suatu tempat atau area dikategorikan sebagai space karena suatu area tersebut nyata dan
dapat terlihat secara fisik, dapat diukur dimensinya secara pasti. Sedangkan suatu area atau
tempat dikategorikan sebagai place, jika sudah terdapat nilai historis yang berkesan
(kenangan) yang membuat suatu area tersebut diingat. Place tidak selalu dapat diukur
dimensinya secara pasti.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Karya seni publik adalah karya seni yang diletakkan di area publik dimana masyarakat
dapat melakukan interaksi dengannya. Karya seni ini sengaja diletakkan di area publik
dimana area ini banyak dikunjungi atau dilalui oleh orang-orang. Sedangkan ruang publik
adalah sebuah ruang atau area yang dapat dilihat, diakses dan digunakan oleh semua orang,
orang yang bukan kerabat, teman, maupun rekan kerja. Ruang publik dapat mewadahi
berbagai kegiatan masyarakat dan dikategorikan sebagai ruang umum. Ada beberapa kualitas
yang dapat menunjang keberhasilan suatu ruang publik dengan aktivitas pejalan kaki, yaitu
kualitas pencitraan (imageability), koherensi, dan legibilitas. Selain itu, karya seni publik
tidak hanya bersifat sebagai media estetika semata, tetapi juga sebagai penanda atau pengingat
terhadap suatu memori atau kenangan yang pernah tercipta.
Proses Melihat/Menikmati dan Tata Cara Penataan Cahaya yang Baik bagi Patung saat Malam Hari Teknik Pencahayaan
Ada tiga metode dasar yang bisa digunakan untuk tata pencahayaan patung, yaitu
penyinaran dari bawah, penyinaran dari atas, dan penyinaran fokus jarak dekat.
• Penyinaran dari Atas
Gambar 1. Skema pencahayaan dari atas patung
Sumber: buku “Lighting Guide The Outdoor Environment”
Patung tradisional biasanya dibuat dan hanya dapat dinikmati dari bagian depan saja.
Patung ini dapat disinari oleh beberapa lampu yang berjarak sama, posisi jatuhnya bayangan
berbentuk simetris (symmetrical floodlight), dan terletak pada ketinggian yang lebih tinggi
dibandingkan si objek patung itu sendiri. Sudut ideal yang sering digunakan pada tata cahaya
panggung adalah 450 terhadap sisi horizontal dan 450 terhadap sisi tegaknya. Pencahayaan
natural dapat diciptakan jika key light seimbang dengan fill light sekitar 1/10 dari intensitas
cahaya lampu utama, lalu diarahkan 450 ke sisi lainnya untuk memperhalus efek bayangan.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Fill Light adalah penyinaran untuk melunakkan bayangan yang dihasilkan key light. Intensitas
pencahayaan fill light biasanya setengah dari key light.
Metode ini sangat efektif untuk menghasilkan back light yang tinggi yang sama
intensitasnya dengan key light. Back Light adalah penyinaran dari belakang objek yang
mengenai kepala dan bahu membentuk garis tepi/rim dari objek. Back light berfungsi untuk
meberikan dimensi agar objek tidak “menyatu” dengan latar belakang.Metode ini harus
direncanakan dengan matang agar dapat menghindari efek cahaya yang menyilaukan. Jika
patung dapat diamati dalam jarak dekat, maka lampu harus diatur sedemikian rupa agar tidak
menyilaukan mata manusia. Lampu dapat disesuaikan posisinya mendekati outline objek
patung. (CIBSE, 1991, h.29)
Gambar 2. Contoh pencahayaan dari atas patung
Sumber: buku “Lighting Guide The Outdoor Environment”
• Penyinaran dari Bawah
Alternatif yang dapat digunakan adalah dengan meletakkan set pencahayaan ke
permukaan tanah. Lampu harus diletakkan dengan sudut kemiringan 450-600 dari permukaan
tanah atau mendatar. Saat menggunakan teknik ini, harus diingat bahwa efek yang tercipta
akan bertolak belakang dengan dengan efek pencahayaan yang natural. Hal ini disebabkan
karena cahaya yang muncul dari bawah akan menciptakan efek yang menarik, namun terkesan
aneh dan tidak natural (tidak seperti pencahayaan pada umumnya yang menyinari patung dari
atas). Untuk menghindari cahaya berlebihan yang menyilaukan (glare) mata pelihatnya, maka
dapat ditambahkan matt black louvres dengan posisi menyilang dari lensa. (CIBSE, 1991,
h.30)
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Gambar 3. Contoh penyinaran dari bawah Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
• Penyinaran Dekat dan Menyorot
Teknik yang cocok digunakan adalah dengan memasang set pencahayaan sederhana
(tunggal dan tidak terlalu besar) di atas sebuah tiang atau struktur lain yang berada dekat
dengan objek patung. Intensitas cahaya yang digunakan harus diperhatikan dengan baik dan
diseimbangkan dengan sumber cahaya lain yang mengarah ke patung. Teknik ini digunakan
untuk menyorot bagian tertentu dari suatu objek patung sehingga dapat memperindah
tampilan dari patung yang berwarna gelap (misalnya bermaterial perunggu) yang terlihat
dalam tampilan siluet. (CIBSE, 1991, h.30)
Gambar 4. Contoh penyinaran dekat dan menyorot
Sumber: panduanwisata.com, Mei 2013
• Low Mounted Systems
Sistem ini diaplikasikan pada area yang berukuran kecil hingga sedang dan lazimnya set
pencahayaan diletakkan 8-12 meter dari permukaan tanah. Suatu area digolongkan kecil-
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
menengah disebabkan oleh batasan ruang yang sempit atau terdapat suatu kolom/tiang yang
membelah area tersebut. Perbandingan antara jarak atau lebar area dengan ketinggian set
pencahayaan adalah 3:1. (CIBSE, 1991, h.41)
• High Mounted Systems
Sistem ini diaplikasikan pada area yang luas dengan menggunakan sistem peletakan set
pencahayaan pada ketinggian 15-30 meter dan ketinggian 30-60 meter apabila diaplikasikan
pada area yang jauh lebih luas lagi. Sistem ini menggunakan jumlah sumber cahaya yang
lebih sedikit dibandingkan pencahayaan pada umumnya. Lampu yang digunakan biasanya
diletakkan pada suatu menara yang sedikitnya berjumlah dua buah dan menggunakan
perbandingan antara jarak atau lebar area dengan ketinggian set pencahayaan 7:1. (CIBSE,
1991, h.42).
Mata memiliki sensitivitas yang berbeda saat siang dan malam hari. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pada saat siang hari, sel kerucut (cones)
memiliki tanggung jawab saat proses melihat berlangsung. Sel ini peka terhadap warna, detil,
dan tekstur objek. Penglihatan pada siang hari dinamakan Photopic Vision. Pada jarak 300-
500 meter, manusia dapat mengindentifikasi mahluk lain sebagai manusia, bukan sebagai
benda mati. Pada jarak 25-100 meter (siang hari), karakteristik individu dan bahasa tubuh
dapat dikenali. Sedangkan pada malam hari, sel batanglah (rods) yang bertanggung jawab
dalam proses melihat. Sel ini memiliki ketajaman yang rendah tetapi kepekaan tinggi,
sehingga sel mampu merespon cahaya temaram di malam hari. Selain itu, sel ini memberikan
informasi dalam bentuk bayangan dengan cahaya lemah dan bayangan yang terpersepsikan
hitam putih atau abu-abu. Penglihatan dengan sel batang disebut scotopic or peripheral vision
yang menggunakan sel batang untuk membedakan benda secara umum dan benda yang
bergerak saja dan terjadi peningkatkan sensitivitas mata akan cahaya, bahkan hingga 60.000
kali lipat dalam kurun waktu tertentu.
Terdapat perbedaan yang mencolok saat mata melihat pada siang dan malam hari.
Oleh karena itu, dibutuhkan pertimbangan dan perhatian khusus dalam menata cahaya untuk
patung, khususnya yang diletakkan outdoor. Penataan cahaya patung pada malam hari
memiliki beberapa tujuan tertentu, yaitu meningkatkan keamanan dan kesenangan saat
melintas, memberikan rasa kepemilikan suatu tempat sehingga dapat relax saat melintas, dan
memunculkan potensi hiburan dan pendidikan. Untuk mencapai semua tujuan ini, ada banyak
aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek estetika, teknik pencahayaan, dan peralatan yang
digunakan.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Studi Kasus Patung Pembebasan Irian Barat
Gambar 5. Ketinggian Patung Pembebasan Irian Barat
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Patung ini terbuat dari bahan perunggu seberat sekitar 8 ton. Tinggi patung dari kaki
sampai ujung tangan sekitar 11 meter, sementara tinggi kaki patung dari landasan bawah
adalah 25 meter, sehingga total ketinggian patung dari landasan bawah tugu hingga ujung
tangan patung adalah 36 meter. Bagian muka patung menghadap ke sisi Jalan Lapangan
Banteng Barat.
Saat malam hari tiba, lampu khusus yang menyinari patung ini hanya berjumlah dua
buah, yaitu lampu A dan B (lihat gambar 3.22). Kedua lampu ini terletak di bagian belakang
patung (bagian muka menghadap Barat), sedangkan bagian depan patung tidak ditemukan
adanya lampu sorot yang menyala. Dapat dilihat pada gambar skema, letak lampu sorot yang
menyala tidak strategis karena letak kedua lampu membelakangi objek patung.
Gambar 6. Skema peletakan lampu sorot patung tampak atas
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Gambar 7. Skema peletakan lampu sorot patung tampak samping
Sumber: dokumentasi pribadi
Sesungguhnya, teknik pencahayaan Patung Pembebasan Irian Barat ini menggunakan
teknik Low Mounted System. Sistem ini diaplikasikan pada area yang berukuran kecil hingga
sedang dan lazimnya set pencahayaan diletakkan 8-12 meter dari permukaan tanah. Suatu area
digolongkan kecil-menengah disebabkan oleh batasan ruang yang sempit atau terdapat suatu
kolom/tiang yang membelah area tersebut. Perbandingan antara jarak atau lebar area dengan
ketinggian set pencahayaan adalah 3:1. (CIBSE, 1991, h.41). Berdasarkan teori tersebut,
maka terdapat kecocokan terhadap sistem pencahayaan Patung Pembebasan Irian Barat ini.
Area di sekeliling patung dapat dikategorikan sebagai area yang kecil, hal ini dikarenakan
terdapat distraksi vertikal oleh pepohonan di sekeliling patung yang memiliki ketinggian
hingga 15 meter. Akhirnya, area yang tidak terhalang pohon hanya selebar 18 meter saja.
Selain itu, perbandingan jarak atau lebar area (jarak patung dengan sumber cahaya) dengan
ketinggian tiang lampu A&B hampir mendekati 3:1. Sebagai contoh lampu B, diletakkan di
sebuah tiang dengan ketinggian 10 meter dan memiliki jarak 29 meter dari patung. Hasilnya
adalah perbandingan 2,9:1 yang hampir mendekati 3:1.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Gambar 8. Situasi di sekitar patung saat malam hari
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Namun sayangnya, teknik Low Mounted System ini tidak dapat berfungsi dengan baik.
Hal ini dikarenakan jumlah lampu menyala yang terlalu sedikit dan tidak merata (hanya dari
satu sisi saja). Lampu yang digunakan adalah lampu sorot dengan jenis halogen yang
memancarkan warna kuning yang seharusnya dapat menimbulkan kesan dramatis dan cocok
terhadap latar belakang sejarah patung ini. Lampu jenis halogen adalah jenis lampu yang
cukup baik apabila diterapkan dengan benar. Namun kenyataannya, kemiringan lampu sorot
di Patung Pembebasan Irian Barat ini tidak begitu pas. Lampu sorot A & B memiliki
kemiringan 450, namun ternyata cakupan sinarnya hanya dapat mencapai tugu patung saja
(ditunjukkan oleh panah putih pada gambar 3.24), bahkan mencapai kaki patung pun tidak.
Hasilnya, patung yang berbahan dasar perunggu ini tidak dapat terlihat sama sekali.
Keterbatasan jumlah dan ketidakcocokan derajat kemiringan sumber cahaya (lampu
A&B) mengakibatkan patung Pembebasan Irian Barat ini lenyap ditelan kegelapan malam
(gambar 3.24). Hal ini diperparah dengan penggunaan material perunggu yang berwarna gelap
pada patung. Selain itu, pepohonan yang banyak dan rimbun dengan ketinggian mencapai 15
meter semakin menyamarkan keberadaan patung ini. Patung Irian Barat seharusnya menjadi
simbol kebebasan (pose patung mengangkat kedua tangan yang terbebas dari rantai besi).
Namun nyatanya, pada saat malam hari, sangat sulit untuk mengenali keberadaan Taman
Lapangan Banteng dengan Patung Irian Barat yang seharusnya menjadi identitasnya.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Gambar 9. Lampu sorot Halogen B dengan kemiringan 450
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Berdasarkan aspek estetika dalam pencahayaan outdoor, patung di Lapangan Banteng
ini tidak memenuhi persyaratan yang ada. Aspek kesatuan tidak dapat dicapai karena jumlah
lampu menyala yang sangat sedikit dan terletak pada satu sisi saja, sehingga terkesan tidak
seimbang. Aspek key light tidak dapat dicapai karena patung yang seharusnya menjadi focal
point justru tenggelam dalam kegelapan hingga sulit untuk dikenali lagi. General lighting di
sekeliling patung untuk area taman jauh lebih terang dan semakin melenyapkan eksistensi
patung. Efek dramatis seharusnya dapat tercapai apabila lampu yang menyala jumlahnya lebih
banyak lagi dan memiliki kemiringan lebih dari 450 (sekitar 600) agar dapat menyinari bagian
utama yaitu patung, bukan tugunya saja.
Pencahayaan pada Patung Pembebasan Irian Barat yang terletak di Taman Lapangan
Banteng tidak memenuhi persyaratan yang ada, yaitu dari aspek estetika hingga peralatan
yang digunakan. Hanya aspek teknik pencahayaan yang dipraktekkan, namun karena tidak
didukung oleh aspek peralatan yang memadai, teknik Low Mounted System yang digunakan
menjadi sia-sia. Patung tidak dapat terlihat pada malam hari, hal ini disebabkan oleh buruknya
peralatan pencahayaan dan adanya distraksi vertikal oleh pepohonan di sekitar patung yang
mengakibatkan terbatasnya akses visual pengunjung dalam melihat patung. Diluar kegiatan
pameran atau festival, situasi di Taman Lapangan Banteng cenderung sepi baik siang maupun
malam hari, hari kerja ataupun akhir pekan.
Studi Kasus Patung Arjuna Wijaya
Ada 3 jenis lampu yang digunakan di area ini, yaitu lampu sorot untuk Patung Arjuna
Wijaya, lampu tembak untuk ukiran tulisan yang terpahat, dan lampu taman yang menerangi
taman. Ketiga jenis lampu ini memiliki ukuran dan fungsi yang berbeda-beda pula.
Lampu Sorot Halogen
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Lampu ini berjumlah 15 buah dan tersebar di segala penjuru patung. Lampu halogen
yang digunakan memancarkan cahaya putih kekuningan yang dapat menciptakan suasana
dramatis pada patung, sangat cocok dengan latar belakang pembuatan patung yang memiliki
nilai historis. Warna kuning juga dapat menciptakan rasa hangat dan dapat menghilangkan
rasa penat bagi orang yang melihatnya. Bidang pantul patung yang disinari oleh lampu
bertekstur kasar dan tidak rata, banyak terdapat tonjolan dan lekukan. Tekstur ini sengaja
dibuat untuk menciptakan bentuk yang senatural mungkin. Dapat dilihat pada gambar 3.39,
tercipta bayangan gelap pada bagian bawah (kaki patung) hasil interupsi dari bentuk alas batu
yang lebih lebar dan terletak di bawah Patung Arjuna Wijaya. Oleh karena itu, tidak semua
bidang dari Patung Arjuna Wijaya dapat terekspos dengan baik oleh cahaya dan menciptakan
kesan seolah-olah patung ini tidak berkaki.
Gambar 10. Lampu halogen menyinari patung
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Teknik pencahayaan yang digunakan pada patung ini adalah pola penyinaran bawah,
dimana sumber cahaya diletakkan di bawah (tanah) lalu menerangi objek dengan kemiringan
lampu ± 450. Pola penyinaran bawah ini dapat menyamarkan lampu di tengah rerimbunan
semak-semak taman dengan tujuan untuk memaksimalkan tampilan visual dari objek patung
sehingga tidak ada gangguan visual yang ditimbulkan dari set pencahayaan.
Gambar 11. Rangka besi dan reflektor lampu
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Lampu halogen yang digunakan ini memiliki reflektor jenis spekular yang terbuat dari
aluminium. Reflektor jenis ini memiliki kemampuan untuk mengatur banyaknya cahaya yang
mencapai suatu area dan juga pola distribusi cahayanya. Namun nyatanya, masih ditemukan
debu dan kotoran yang menempel pada reflektor lampu. Diduga bahwa kaca yang menempel
pada lampu tidak rapat sehingga air dan tanah dapat masuk ke dalam lampu. Kotoran ini
diduga muncul karena rintik air hujan yang memercikkan tanah di sekitarnya. Hal ini tentu
saja berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dihasilkan. Selain itu, lampu dimasukkan ke
sebuah rangka besi yang melekat ke tanah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindak
pencurian atau pengrusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pola garis pada
rangka besi tidak berpengaruh banyak terhadap sinar yang yang dihasilkan.
Secara umum, lampu ini cukup terawat dengan baik, namun masih ditemukan beberapa
lampu mati dan tidak menyala. Terdapat dua buah lampu mati di sisi yang sama dan
mengarah ke Monas (lihat gambar 3.41 dan 3.42). Perbandingan yang cukup mencolok
terhadap dua sisi patung ini sangat disayangkan. Saat dilihat dari sisi Timur (lihat gambar
3.42), bagian yang jelas mendapat cahaya hanya seputar patung Arjuna, Batara Kresna, dan
kereta kudanya saja. Gerombolan kuda tenggelam dalam gelapnya malam karena tidak
mendapat cahaya sama sekali (dua lampu sorot mati di sisi yang sama)
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Lampu Tembak Corong
Lampu ini khusus untuk menyinari ukiran tulisan yang ada di beberapa titik patung.
Lampu ini tidak cocok digunakan untuk menerangi patung karena daya sebar cahaya yang
terbatas. Sama halnya seperti lampu sorot halogen, lampu tembak corong ini dimasukkan ke
dalam kotak besi untuk mencegah tindakan pencurian ataupun pengrusakan. Namun, berbeda
halnya dengan lampu sorot halogen, lampu tembak corong ini diletakkan sejajar dengan objek
Gambar 12. Patung dilihat dari sisi PT. Indosat (Barat)
Gambar 13. Patung dilihat dari sisi Monas (Timur)
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
ukiran tulisan. Cahaya yang dihasilkan cenderung berwarna putih dengan tujuan untuk
memperjelas bentuk tulisan agar dapat terbaca dengan mudah. Lampu tembak ini diletakkan
di atas sebuah balok semen dengan ketinggian 40cm. Hal ini bertujuan agar cahaya dari
lampu tembak ini tidak terhalang oleh pinggiran kolam.
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Tubular Lamp Taman
Lampu ini khusus menerangi area taman saja. Jumlah lampu TL di area taman ada
delapan buah. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lampu sorot halogen yang berfungsi
menerangi Patung Arjuna Wijaya. Lampu TL bersifat menyebar sehingga dapat menerangi
area yang luas, sehingga jumlah yang digunakan pada taman ini hanya delapan buah. Lampu
ini memiliki ketinggian 1,4 meter agar tidak tertutup semak-semak dan diberi warna hijau tua
agar senada dengan warna taman dan tidak mengganggu tampilan visual patung Arjuna
Wijaya. Namun sayangnya, ada sebuah lampu taman yang rusak, kacanya pecah dan
lampunya hilang. Peletakan lampu taman ini memang tidak diproteksi dengan rangka besi
seperti lampu sorot halogen dan lampu tembak corong. Ironisnya, masih ada pihak yang tidak
bertanggung jawab melakukan tindak pencurian terhadap lampu taman ini.
Gambar 16. Lampu taman dengan ketinggian 1,4 meter
Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Gambar 14. Lampu tembak menyinari ukiran tulisan
Gambar 15. Rangka besi pada lampu tembak
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Teknik Pencahayaan
Teknik pencahayaan yang digunakan pada patung ini adalah pola penyinaran bawah,
dimana sumber cahaya diletakkan di bawah (tanah) lalu menerangi objek dengan kemiringan
lampu ± 450. Teknik ini mampu menyamarkan keberadaan lampu-lampu sorot yang tertutup
oleh rerimbunan semak. Keberadaan lampu sorot yang berwarna hitam tentunya akan
mengganggu akses visual bagi para viewer. Efek cahaya yang dihasilkan oleh teknik ini
memang terlihat tidak natural karena melawan arah sumber cahaya utama (matahari) yang
lazimnya menyinari dari atas. Namun, hasilnya tetap unik dan menawan. Teknik ini dapat
digolongkan berhasil diterapkan di Patung Arjuna Wijaya ini. Satu-satunya kekurangan teknik
ini adalah masih ditemukan beberapa lampu yang mati sehingga penyinaran pada patung
menjadi kurang maksimal.
Aspek Estetika
Aspek kesatuan mampu dicapai dengan baik pada tata pencahayaan Patung Arjuna
Wijaya ini. Lampu sorot halogen yang berjumlah 15 buah dapat disamarkan keberadaannya
dengan menggunakan teknik pencahayaan penyinaran dari bawah. Lampu taman yang
memiliki tinggi 1,4 meter tetap disesuaikan warna catnya agar senada dengan taman (hijau
tua). Kekurangannya adalah masih ada beberapa lampu yang mati, sehingga cakupan sinar
yang diterima oleh patung tidak merata.
Key light pada tata pencahayaan patung ini tercapai dengan baik. Penyinaran utama
yang jatuh pada objek patung menghasilkan bayangan yang kuat dan dapat mencuri perhatian
orang-orang yang melintas, bahkan dari jarak ratusan meter sekalipun. Pencahayaan pada
patung ini menjadi center of attention dengan dibantu oleh 15 buah lampu sorot halogen, 4
buah lampu tembak corong, dan 8 buah TL taman.
Skala patung tidak menggunakan ukuran normal pada umumnya. Patung dibuat berkali-
kali lipat besarnya dibanding ukuran yang seharusnya. Hal ini bertujuan agar patung dapat
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, baik yang sedang berjalan kaki maupun yang
sedang mengendarai kendaraan bermotor agar mudah dikenali dari jarak jauh.
Jarak antar sumber cahaya tidak terpaut terlalu jauh, hanya sekitar 2-2,5 meter saja.
Ritme yang tercipta tergolong kompleks karena kerapatan antar sumber cahaya berpengaruh
terhadap psikologis seseorang untuk melangkah lebih cepat saat melewati area ini. Ritme
seperti ini dirancang untuk viewer yang mengendarai kendaraan bermotor agar tetap dapat
menikmati efek dramatis yang ditimbulkan oleh lampu sorot walaupun tengah berkendara
dalam keadaan cepat sekalipun.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Tata pencahayaan patung ini juga selektif memilih objek utamanya. Objek utama adalah
Patung Arjuna Wijaya, oleh karena itu, jumlah lampu yang khusus menerangi patung ini
berjumlah lebih banyak dibandingkan yang menerangi bagian taman. Selektif dalam memilih
objek ini penting untuk menentukan focal point dari suatu area.
Berdasarkan segi cahaya lampu yang digunakan, tema patung yang bernilai historis ini
menggunakan tiga macam warna pada Color Rendering Index cahaya lampu, yaitu warna
putih, kuning, dan jingga. Warna putih menimbulkan kesan bebas dan terbuka melambangkan
patung yang sedang mengejar musuh pada Perang Baratayudha. Lalu warna putih cocok
dipadupadankan dengan kesan nyaman dan hangat yang berasal dari warna jingga. Warna
jingga ini bertujuan untuk melepaskan rasa penat pada viewer yang sedang melintas di jalanan
sekitar patung. Lalu, warna kuning terang dapat menegaskan keberadaan dan kesakralan
objek, sehingga mampu menjadi center point of view.
Pencahayaan pada Patung Arjuna Wijaya yang terletak di Jalan Merdeka Barat sudah
memenuhi persyaratan yang ada, baik dari aspek estetika, teknik pencahayaan, dan peralatan
yang digunakan. Hanya ada satu kekurangannya, yaitu masih ditemukan beberapa lampu yang
mati, sehingga daerah cakupan sinar menjadi tidak seimbang. Walaupun patung dikelilingi
objek pendistrak vertikal yang cukup banyak (gedung-gedung pencakar langit, Monas, Air
Mancur Bundaran BI), namun Patung Arjuna Wijaya tetap dapat memepertahankan
eksistensinya dan menjadi center of attention di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh
ukuran patung yang lumayan besar dan tata pencahayaannya yang dapat menarik perhatian
mata viewer. Tidak banyak aktivitas yang ditemukan di area patung ini pada malam hari. Ada
beberapa orang yang sedang berfoto, lainnya hanya sekedar menyebrang jalan melewati
trotoar. Hal ini disebabkan oleh ukuran dan peletakan patung yang berada di tengah jalan
besar, sehingga keindahan patung sudah dapat dinikmati dari kejauhan.
Setelah menganalisis dua studi kasus yang telah dibahas, maka dapat dibuat
perbandingan diantara keduanya, yaitu:
Nama patung Patung Pembebasan Irian Barat
Patung Arjuna Wijaya
Ukuran terletak di suatu taman yang cukup luas. Skala yang digunakan cocok dan pas untuk area yang luas, namun tidak dapat dilihat dari segala arah
terletak di tengah jalan besar, Jalan Merdeka Barat. Skala yang digunakan pas, namun tidak dapat dilihat dari segala arah
Bentuk Patung tunggal dengan bentuk figur manusia dengan latar belakang historis
Ada 3 macam bentuk, manusia, kuda, dan kereta kuda. Ketiganya memiliki kesatuan
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
yang erat dengan latar belakang historis
Material & Warna terbuat dari perunggu yang berwarna kehitaman. tidak terlihat saat malam hari
terbuat dari tembaga, perunggu, kuningan. dominan warna abu kecoklatan. terlihat jelas saat malam hari
Posisi pandang terdistrak oleh pepohonan (5-15 meter) di sekitar taman. Sulit dikenali saat malam hari karena warna perunggu yang tenggelam di kegelapan
terdistrak oleh pepohonan, gedung-gedung pencakar langit, Air Mancur Bundaran BI, dan Monas. tampilannya sangat menarik saat malam tiba dan menjadi pusat perhatian.
Cara patung berdiri terencana cukup baik, patung berdiri di atas sebuah tugu dengan ketinggian 20 meter. terdapat taman dan beberapa kolam yang indah dipandang mata di sekitar patung
terencana dengan baik, patung terletak di tengah kolam yang menjadi landasan patung setinggi 1 meter. terdapat taman yang indah di sekitar patung
Elemen pendukung Taman, kolam, patung kecil, kursi, trotoar, jalanan yang bagus,
Taman, kolam, trotoar, jalanan yang bagus
Pencahayaan cukup terencana, namun tidak terlaksana dengan baik (hanya dua buah lampu sorot yang menyala)
terencana dengan baik dan terlaksana dengan baik pula (hanya dua lampu sorot yang mati dari 15 buah lampu)
Latar Belakang menjadi pusat perhatian saat siang hari karena ketinggiannya 36 meter dan warna hitam yang kontras dengan warna putih pada tugu. namun, tenggelam dalam kegelapan malam
Menjadi pusat perhatian terutama saat malam hari karena dikelilingi bangunan tinggi yang dominan berwarna abu-abu dan taman + pepohonan yang berwarna hijau. Warna patung yang menjadi kuning – jingga menjadi pusat perhatian bagi siapapun yg melihatnya
Kehadiran patung di ruang publik
Area Taman Lapangan Banteng cenderung sepi diluar acara pameran ataupun festival
Lebih difokuskan untuk dapat dinikmati oleh pengendara kendaraan bermotor, sehingga sudah dapat dikenal dari jarak jauh sekalipun. Aktivitas yang seringkali terjadi saat pejalan kaki hendak menyebrang jalan dan melewati trotoar.
Gambar 17. Tabel perbandingan studi kasus Sumber: dokumentasi pribadi, Mei 2013
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa Patung Pembebasan Irian Barat
yang terletak di Taman Lapangan Banteng memiliki potensi besar untuk menarik minat
pengunjung berinteraksi di dalam taman ini. Tata pencahayaan khusus untuk Patung
Pembebasan Irian Barat harus diperhatikan lagi kualitas dan jumlah sumber cahayanya agar
tetap dapat meng‘hidup’kan patung saat malam tiba. Teknik Low Mounted System yang
diterapkan pada patung ini akan berhasil jika semua lampu sorot dapat menyala dengan baik
dan ditiadakannya pohon-pohon tinggi di sekitar patung. Distraksi pepohonan yang memiliki
ketinggian 5-15 cukup mempersulit akses visual dari jarak jauh.
Patung Arjuna Wijaya sudah cukup baik dalam memenuhi aspek penataan cahaya, yaitu
aspek estetika, teknik pencahayaan, dan peralatan. Ada tiga macam jenis lampu yang
dipergunakan disini dengan total 27 lampu (15 buah lampu sorot halogen, 4 buah lampu
tembak corong, dan 8 buah TL taman). Penerangan yang tercipta akan menjadi lebih
sempurna lagi jika semua lampu dapat menyala dengan baik. Patung Arjuna Wijaya ini lebih
difokuskan untuk dapat dinikmati oleh pengendara kendaraan bermotor, hal ini berkenaan
pula dengan lokasi patung yang berada di tengah-tengah jalan besar, Jalan Merdeka Barat. Set
pencahayaan yang kompleks ini dapat mendukung akses visual penikmatnya dari jarak jauh
sekalipun (sudah dapat dikenali dari jauh).
Kesimpulan
Objek patung yang merupakan karya seni tiga dimensi membutuhkan tampilan visual
agar bisa dinikmati dengan mata. Patung ini menjadi salah satu elemen yang melengkapi
suatu ruang publik. Karya seni patung sengaja diletakkan di area publik di mana area ini
banyak dikunjungi atau dilalui oleh orang-orang, sehingga masyarakat dapat berinteraksi
dengannya. Semua orang dari kalangan manapun dapat melihat dan mengakses ruang publik
yang bersifat umum. Untuk dapat menunjang interaksi masyarakat dengan patung, maka
diperlukan suatu perlakuan khusus terhadap patung agar dapat menarik minat pengunjung dan
dapat dinikmati siang maupun malam hari.
Penataan cahaya patung pada malam hari tidak hanya untuk menunjang interaksi
masyarakat, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan dan kesenangan saat melintas,
memberikan rasa kepemilikan suatu tempat sehingga dapat relax saat melintas, dan
memunculkan potensi hiburan dan pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang
harus diperhatikan saat menata cahaya pada patung, yaitu aspek estetika, teknik pencahayaan,
dan peralatan yang digunakan.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Patung Pembebasan Irian Barat yang terletak di Taman Lapangan Banteng yang
menjadi lokasi studi kasus pertama memiliki potensi besar untuk menarik minat pengunjung
berinteraksi di dalam taman ini. Namun sayangnya, tata pencahayaan khusus untuk Patung
Pembebasan Irian Barat masih tergolong buruk dan harus diperhatikan lagi kualitas dan
jumlah sumber cahayanya agar tetap dapat meng‘hidup’kan patung saat malam tiba. Penataan
cahaya antara patung dan taman yang ada di sekelilingnya tidak menyatu dengan baik.
Perbedaan yang snagat kontras dapat dirasakan saat melihat penerangan taman yang indah
dan menawan, sangat berbeda dengan penerangan pada patung. Teknik Low Mounted System
yang diterapkan pada patung menjadi sia-sia belaka dan tentunya akan berhasil jika semua
lampu sorot dapat menyala dengan baik dan ditiadakannya pohon-pohon tinggi di sekitar
patung. Distraksi pepohonan yang memiliki ketinggian 5-15 cukup mempersulit akses visual
dari jarak jauh.
Patung Arjuna Wijaya sudah cukup baik dalam memenuhi aspek penataan cahaya, yaitu
aspek estetika, teknik pencahayaan, dan peralatan. Ada tiga macam jenis lampu yang
dipergunakan disini dengan total 27 lampu (15 buah lampu sorot halogen, 4 buah lampu
tembak corong, dan 8 buah TL taman). Penerangan yang tercipta akan menjadi lebih
sempurna lagi jika semua lampu dapat menyala dengan baik. Patung Arjuna Wijaya ini lebih
difokuskan untuk dapat dinikmati oleh pengendara kendaraan bermotor, hal ini berkenaan
pula dengan lokasi patung yang berada di tengah-tengah jalan besar, Jalan Merdeka Barat. Set
pencahayaan yang kompleks ini dapat mendukung akses visual penikmatnya dari jarak jauh
sekalipun (sudah dapat dikenali dari jauh). Sebaliknya, tidak banyak ditemukan aktivitas
pejalan kaki di sekitar area ini.
Setelah melakukan analisis terhadap dua tempat, muncul aspek-apek baru yang dapat
menunjang dan menarik minat masyarakat untuk berinteraksi dengan patung, yaitu:
• Elemen tambahan
Elemen fisik berupa lampu-lampu kecil, taman, kolam, patung kecil, tempat untuk
duduk, trotoar, dan jalanan yang bagus juga berpengaruh besar dalam menarik
minat masyarakat untuk datang.
• Keselarasan dan keserasian
Objek patung tentunya harus dapat menyatu dan melebur ke dalam ruang publik
yang dihuninya. Ketimpangan yang tidak seimbang terlihat pada Patung
Pembebasan Irian Barat yang seolah-olah terasingkan dari penerangan taman di
sekitarnya. Patung menjadi benda asing yang hanya ditempelkan ke dalam taman.
• Lokasi
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013
Lokasi yang banyak dilalui kendaraan umum semakin diminati masyarakat luas
berbagai kalangan. Lokasi yang strategis (dekat dengan sarana publik) juga
berpengaruh terhadap minat masyarakat.
Daftar Referensi The Chartered Institution of Building Services Engineers London. (1991). Lighting Guide: the Outdoor Environment. Great Britain: Mathew McCrimmon Printers Ltd. Collier, Graham. (1975). Compositional Devices. Boston: Berklee Press Publications. Cuttle, Christopher. (1973). Lighting by Design. Germany: Routledge. Dickie. (1997). The Art Circle.Chicago: CHICAGO SPECTRUM Press Ewing, Reid & Bartholomew, Keith. (2013). Eight Qualities of Pedestrian- and Transit-Oriented Design. Francis, Mark .(2003). Urban Open Space, Designing for User Needs. Land and Community Design Case Study Series. Washington: Island Press Gehl, Jan. (1987). Life Between Buildings: Using Public Space. New York: Van Nostrand Reinhold. Hayden, Dolores. (1997). The Power of Place: Urban Landscpe as Public History. Massachusetts: The MIT Press Ishikawa, Silverstein, Christopher. (1977). A Pattern Language: Towns, Buildings, Constructions. Great Britain: Oxford University Press. Jacobs, Allan B. (1993). Great Streets. Cambridge: MIT Press. Kaplan, Rachel & Kaplan, Stephen. (1989). The experience of nature: A psychological perspective. Cambridge: Cambridge University Press Kreitler, Hans, & Kreitler, Shulamith. (1972). Psychology of the Arts. Durham, N.C: Duke University Press. Lynch, Kevin. (1960). The Image of the City. Cambridge: MIT Press.
Tata Pencahayaan..., Cattleya Tiara Delina, FT UI, 2013