targhib dan tarhib dalam pendidikan agama islam...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TARGHIB DAN TARHIB DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Targhib dan Tarhib
1. Pengertian dan fungsi Targhib dan Tarhib
Targhib berasal dari kata dasar raghiba yang jika dikaitkan dengan
fi memiliki arti gembira, cinta atau sesuatu yang disukai, tetapi jika
dikaitkan dengan ‘an, maka artinya benci.1 Menurut pengertian lain
Targhib memiliki arti mendorong atau memotivasi diri untuk mencintai
kebaikan.2 Tarhib diartikan menimbulkan perasaan takut yang hebat
kepada orang lain.3
Abdurrahman an-Nahlawi mengemukakan, Targhib adalah janji
yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu
maslahat,kenikmatan atau kesenangan akhirat yang pasti baik, serta bersih
dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal
saleh dan menjauhi kenikmatan sepintas yang mengandung bahaya atau
perbuatan yang buruk.4 Sedangkan Tarhib adalah ancaman dengan siksaan
sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT,
atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan
Allah, dengan kata lain Tarhib adalah ancaman dari Allah yang
dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut pada hambanya dan
memperlihatkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiyah, agar mereka
selalu berhati-hati dalam bertindak serta melakukan kesalahan dan
kedurhakaan.5
1 Louis Ma’luf Yusa’I, Al-Munjid Fi Al-Lughah wa ‘Alam, (Beirut : Lebnon, Al-
Katulikiah, 1965), hlm. 168. 2 Muhammad Thalib, Pendidikan Islam metode 30 T,(Bandung : Irsyad Baitus Salam
1996) hlm. 96. 3 Ibid., hlm 156. 4 Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Aslibuha, terj. Herry Noer
Ali, Prinsip-prinsip dan metode Pendidikan Islam,( Bandung : Diponegoro, 1992) hlm 412. 5 Ibid
11
Dari pengertian diatas ada bebarapa hal yang patut digaris bawahi,
yang merupakan hal pokok dalam Targhib dan Tarhib yaitu:
a. Janji dan ancaman
b. Perbuatan atau tindakan
c. Akibat atau hasil yang akan diterima
Ketiga hal ini bisa dijadikan ciri-ciri dari Targhib dan Tarhib.
Targhib dan Tarhib didasarkan pada fitrah yang diberikan Allah
kepada manusia, seperti keinginan terhadap kekuatan, kenikmatan,
kesenangan hidup dan kehidupan abadi yang baik serta ketakutan akan
kepedihan, kesengsaraan dan kesudahan yang buruk.6
Al Qur’an menggunakan Targhib dan Tarhib untuk
membangkitkan motivasi agar beriman kepada Allah dan rasulnya,
mengikuti ajaran Islam, melaksanakan ibadah wajib, menjauhi maksiat
dan hal yang dilarang oleh Allah dan berpegang pada istiqomah dan
takwa.7
Jadi Targhib dan Tarhib berfungsi untuk motivasi manusia.
Sebagaimana dalam masa awal berdakwah Rasulullah SAW. Beliau
memotivasi manusia dengan pahala yang besar diakhirat dan masuk surga
bagi yang teguh dalam berakidah tauhid dan memberantas kemusyrikkan.8
2. Targhib dan Tarhib dengan Ganjaran dan Hukuman
Dalam dunia pendidikan, baik pendidikan Islam Maupun umum,
dikenal istilah ganjaran dan hukuman. Sehingga timbul suatu pertanyaan,
apakah sama antara Targhib dan Tarhib dengan ganjaran dan hukuman?.
Sebelum mengetahuinya ada baiknya menengok masalah yang berkaitan
dengan ganjaran dan hukuman.
6 Ibid, hlm 410. 7 Muhammad Usman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Terj. Irfan Salim,
(Jakarta : Hikmah, 2002), hlm. 156. 8 Ibid.
12
Ganjaran menurut bahasa adalah hadiah atau balasan.9 Menurut
istilah adalah alat pendidikan yang diberikan kepada murid-murid yang
telah dapat mencapai prestasi baik.10
Hukuman memiliki arti secara harfiah yaitu siksa yang diletakkan
kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya.11 Menurut
pengertian lain yaitu suatu perbuatan dimana seseorang secara sadar dan
sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain dengan tujuan
memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani,
sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.12
Mengacu pada pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
ganjaran adalah hadiah, balasan dan penghargaan yang diberikan kepada
seseorang atas prestasi yang telah dicapainya.Sedangkan hukuman adalah
balasan atau sanksi yang diberikan kepada seeorang atas pelanggaran yang
dilakukannya.
Janji pemberian ganjaran dan hukuman itu banyak difirmankan
Allah dalam Al Qur’an, surga dan neraka merupakan ganjaran dan
hukuman dari Allah.13
Islam telah menempatkan konsep imbalan dan hukuman sebagai
prinsip utama dalam pendidikan. Dengan imbalan, anak akan termotivasi
untuk melakukan kebaikan, dan dengan hukuman, anak akan berhati-hati
agar tidak terjerumus pada keburukan.14
a. Macam-macam Ganjaran dan Hukuman
Macam-macam ganjaran
9 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka 1997) hlm. 296. 10 M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Surabaya : Usaha Nasional
1981) hlm.169. 11 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hlm 364. 12 M. Sastrapradja, op.cit., hlm 201. 13 Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip Pemberian Hadiah Dan Hukuman, (Jakarta : Pustaka
Inti 2003) hlm. 1. 14 Ahmad Ali Budaiwi, op.cit., hlm. V.
13
Ganjaran sebagai alat pendidikan memiliki berbagai
macam bentuk. Ada beberapa perbuatan atau sikap endidik yang
dapat menjadi ganjaran bagi peserta didik, diantaranya:
1. Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan
suatu jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
2. Guru memberikan kata-kata yang menggembirakan ( pujian )
3. Ganjaran bisa berupa memberikan pekerjaan yang lain, disaat
anak dapat mengerjakan suatu pekerjaan yang telah diberikan
kepadanya dengan baik.
4. Ganjaran bisa berupa cerita, nyanyian dan darmawisata, jika
ditujukan untuk seluruh kelas.
5. Ganjaran dapat berupa benda-benda yang menyenangkan dan
berguna bagi anak-anak. Tetapi dalam hal ini guru harus
sangat berhati-hati dan bijaksana, sebab dengan benda-benda
itu, ganjaran bisa berubah menjadi upah.15
Berdasarkan bentuknya ganjaran atau hadiah dibagi
menjadi dua yaitu primer, yang berupa makanan, alat-alat bermain
uang dan benda-benda nyata yang lain dan sekunder, yang berupa
pujian dari msyarakat perhatian.16 Berdasarkan sifatnya ganjaran
atau hadiah dibagi menjadi dua. Pertama, yang bersifat intrinsik,
tidakan atau perbuatan anak yang dengan sendirinya memuaskan
dan memenuhi tujuan dan kehendaknya. Kedua, yang bersifat
ekstrinsik, kepuasan atau kesenangan yang berasal dari sumber-
sumber luar.17
Dari macam-macam ganjaran tersebut dapat disimpulkan
bahwa bentuk-bentuk ganjaran dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu, ganjaran yang bersifat materi dan yang bersifat non materi.
15 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung : Remaja Rosda
Karya 2000) hlm. 183 16 Charles Schaefer, Cara efektif mendidik dan Mendisiplinkan Anak, terj. R. Turman
Sirait, (Jakarta : Mitra Utama 1994) hlm. 22 17 Ibid.
14
Macam-macam Hukuman.
William Stern, membedakan hukuman yang disesuaikan
dengan tingkat-tingkat perkembangan anak-anak yang menerima
hukuman yaitu:
1. Hukuman asosiatif.
Umumnya orang mengasosiasikan antara hukuman dan
kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang
diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang
dilakukan. Untuk menyingkirkan perasaan tidak enak atau
hukuman itu, biasanya orang-orang atau anak-anak menjauhi
perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang.
2. Hukuman logis.
Hukuman ini dipergunakan untuk anak-anak yang
sudah agak dewasa/besar. Dengan hukuman ini, anak mengerti
bahwa hukuman itu adalah akibat yang logis dari pekerjaan
atau perbuatan yang tidak baik.
3. Hukuman normatif.
Hukuman yang bermaksud memperbaiki moral anak-
anak. Hukuman ini diberikan terhadap pelanggaran-
pelanggaran mengenai norma-norma etika, seperti berdusta,
menipu dan mencuri.18
Disamping pembagian hukuman seperti tersebut diatas,
hukuman juga dibedakan menjadi:
a. Hukuman Alam.
Hukuman ini diajarkan oleh J.J Rousseau, menurutnya
anak-anak ketika dilahirkan adalah suci, bersih dari segala
noda dan kejahatan. Adapun yang menyebabkan rusaknya
anak itu adalah masyarakat manusia itu sendiri. Maka dari itu
dia menganjurkan supaya anak-anak dididik menurut alamnya.
18 Ibid, hlm. 190.
15
Demikian juga mengenai hukuman Rousseau menganjurkan “
hukuman alam “ . Biarlah alam yang menghukumnya. Jika sang
anak yang bermain pisau kemudian tersayat jari tangannya,
atau anak yang bermain air kotor, kemudian masuk angin dan
gatal-gatal itu adalah hukuman alam, biarlah anak itu
merasakan sendiri akibat yang sewajarnya dari perbuatannya
itu. Nantinya anak akan insaf dengan sendirinya.
b. Hukuman yang disengaja.
Hukuman ini sebagai lawan dari hukuman alam.
Hukuman macam ini dilakukan dengan sengaja dan
bertujuan.19
Schaefer membagi bentuk-bentuk hukuman menjadi:
1. Restitusi yaitu membuat anak-anak itu melakukan suatu
perbuatan yang tidak menyenangkan.
2. Deprivasi yaitu mencabut dari anak suatu kegemaran atau
suatu kesempatan yang enak.
3. Menimpakan kesakitan berbentuk kejiwaan dan fisik terhadap
anak.20
b. Prinsip-prinsip pemberian ganjaran dan hukuman.
Ganjaran dan hukuman bisa menjadi metode pembelajaran
yang efektif dengan memperhatikan prinsip-prinsip pemberian
ganjaran dan hukuman.
1. Prinsip-prinsip pemberian ganjaran
Irawati Istadi mengemukakan beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam memberikan ganjaran.
a. Penilaian didasarkan pada perilaku bukan pada pelaku.
Kebiasaan orang tua atau pendidik yang senantiasa
memandang baik kepada si pelaku seperti ini akan membuat
anak terpelihara citra diri positifnya. Sementara kualitas
19 Ibid, hlm. 190-191. 20 Charles Schaefer, op. cit., hlm. 96.
16
perilakunya masih naik turun karena mereka sedang dalam
proses pembelajaran.21
b. Harus ada batasnya.
Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang
dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga
tahapan menumbuhkan kebiasaan saja. Manakala proses
pembiasaan dirasa telah cukup maka pemberian hadiah harus
diakhiri.22
c. Paling baik berupa perhatian.
Ide-ide kreatif bisa diberikan guru dan orang tua,
berupa pemberian hadiah dalam bentuk non materi.23
d. Hati-hati dengan uang.
Dibandingkan dengan bentuk hadiah materi lainnya
hadiah berupa uang justru memiliki banyak faktor negatif.
Persoalannya, benda ini benar-benar dirasakan sebagai benda
yang ajaib bagi anak. Dengan uang ditangan, mereka bisa
menukarnya dengan beragam benda menarik yang mereka
inginkan. Sehingga wajar jika anak cepat mengambil
kesimpulan bahwa uang bisa dijadikan kunci penyelesaian
untuk bisa mewujudkan apa saja keinginannya.24
e. Distandarkan pada proses, bukan hasil.
Begitu banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih
penting daripada hasil, proses pembelajaran yaitu usaha yang
dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang
sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak
bisa dijadikan patokan keberhasilannya, karena ada banyak
21 Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip Pemberian Hadiah dan Hukuman, ( Jakarta : Pustaka
Inti 2003 ). hlm. 26. 22 Ibid, hlm. 29. 23 Ibid, hlm. 33. 24 Ibid, hlm. 38.
17
faktor lain yang mempengaruhi selain dari pengasuh proses
atau usaha anak saja.25
f. Dimusyawarahkan kesepakatannya.
Jangan takut untuk bermusyawarah dengan anak, jika
anda tahu caranya. Karena sesungguhnya anak memiliki
kemampuan berdialog yang lebih hebat daripada apa yang
kerap dibayaangkan oleh kebanyakan orang tua.26
Pendapat lain, yaitu menurut Ngalim Purwanto, bahwa
memberi ganjaran bukan soal yang mudah. Ada beberapa syarat
yang perlu diperhatikan oleh pendidik.
1. Bentuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru
mengenal betul-betul murid-muridnya dan tahu menghargai
dengan tepat. Ganjaran yang salah dan tidak tepat dapat
membawa akibat yang tidak diinginkan.
2. Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak hendaknya
janganlah menimbulkan rasa cemburu atau iri hati bagi anak
yang lain yang merasa pekerjaannya juga lebih baik, tetapi
tidak mendapat ganjaran.
3. Memberi ganjaran hendaknya hemat. Terlalu kerap atau terus
menerus memberi ganjaran dan penghargaan akan hilang arti
ganjaran sebagai alat pendidikan.
4. Janganlah memberi ganjaran dengan menjanjikan lebih dulu
sebelum anak-anak menunjukkan prestasi kerjanya, apa lagi
ganjaran yang diberikan kepada seluruh kelas. Ganjaran yang
telah dijanjikan lebih dulu hanya akan membuat anak-anak
berburu dalam bekerja dan akan membwa kesukaran-kesukaran
bagi anak yang kurang pandai.
25 Ibid, hlm. 41. 26 Ibid, hlm. 43.
18
5. Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran, jangan
sampai ganjaran yang diberikan kepada anak-anak diterimanya
sebagai upah jerih payah yang telah dilakukannya.27
Pemberian hadiah dapat disistemasikan sebagai barikut
1. Spesifik atau bersifat khusus. Ambillah hanya satu dua
perbuatan atau tingkah laku yang sangat spesifik, yang
kongkrit dan yang dapat diamati dengan hadiah.
2. Buatlah suatu catatan semakin anda ikuti dan tandai kemajuan
seorang anak dengan mengadakan suatu catatan dari seringnya
perbuatan yang dikehendaki tersebut, maka semakin sanggup
anda melihat kemajuan dan kekurangan anak.
3. Gantungkanlah dan pertalikanlah. Suatu hadiah diberikaan
hanya sesudah anak melakukan tingkah laku yang
dikehendaki. Tapi berilah hadiah itu segera sesudah terjadinya
perbuatan itu.
4. Gigih dan tekunlah. Tinjaulah secara teratur kesuksesan dan
kegagalan anda. Perbaharuilah cara dan prosedur anda jika
perlu. Umpamanya pergunakanlah hadiah yang lebih besar,
atau cobalah suatu perubahan kecil dari tingkah laku anak
anda. Bagaimanapun janganlah menyerah.28
2. Prinsip-prinsip pemberian hukuman
Sama halnya dengan pemberian hadiah atau ganjaran,
pemberian hukumanpun perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut;
a. Jelas dan terang.
b. Tunjukkan alternatif yang dapat diterima.
c. Tingkah laku yang dicela, bukan anak.
d. Konsistenlah.
27 M. Ngalim. Purwanto, Op. Cit, hlm. 184. 28 Charles Schaefer, Op. Cit, hlm 25-26.
19
e. Kembangkan suatu yang hubungan umum yang bersifat kasih
sayang.
f. Kumpulkanlah semua fakta-fakta.
g. Penggunaan hukuman itu hanya sebagai usaha terakhir.
h. Waktu yang seceptnya.
i. Hadiahilah tingkah laku yang positif.
j. Perhaatikan dan carilah efek hukuman itu terhadap anak.
k. Melibatkan anak.
l. Tenang dan obyektiflah.
m. Adilah.
n. Tidak ada hukuman ganda.
o. Harus bersifat pribadi.
p. Usahakanlah pencegahan.
q. Gabungkanlah dengan sokongan.
r. Turut menyalami.
s. Berilah suatu peringatan.
t. Hindarilah kecenderungan untuk menjadi orang tua yang
sempurna.29
Pendapat lain mengemukakan tentang prinsip-prinsip
pemberian hukuman. Hukuman yang pedagogis harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, diantaranya :
1) Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat di pertanggungjawabkan.
Jadi hukuman tidak dilakukan dengan semena-mena.
2) Hukuman itu sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki.
3) Hukuman tidak boleh bersifat ancaman ataupun pembalas
dendam yang bersifat perseorangan.
4) Jangan menghukum pada waktu kita sedang marah.
5) Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah
diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu.
29 Ibid, hlm. 99-111.
20
6) Hukuman hendaknya dapat dirasakan oleh anak-anak sebagai
kedukaan atau penderitaan yang sebenarnya.
7) Jangan melakukan hukuman badan.
8) Hukuman tidak boleh merusaak hubungan baik antara
sipendidik dan anak didik.
9) Kesanggupan memberi maaf dari pendidik, sesudah
menjatuhkan dan setelah anak menginsafi kesalahannya.30
Irawan Istdadi juga mengemukakan prinsip-prinsip dalam
memberikan hukuman
1) Dijaga kesetimbangan hukuman dengan hadiah,
kesetimbangan disini bukannya harus sama dan seimbang
antara kedunya, namun perlu proposional dalam pemberian
ganjaran dan hukuman.31
2) Kepercayaan dulu baru hukuman, memberikan kepercayaan
kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan
kesalahan-kesalahannya untuk memberikan pengakuan bahwa
kita yakin mereka tidak sesungguhnya bernit melakukan
kesalahan tersebut.32
3) Distandarkan pemberiannya pada perilaku.33
4) Menghukum tanpa emosi, pada dasarnya anak tahu akan
kesalahan yang mereka perbuat . mereka hanya memerlukan
sedikit peringatan juga pengertian dan pemahaman terhadap
kesalahan yang mereka perbuat, selanjutnya bimbingan untuk
memperbaiki diri, sama sekali tidak diperlukan kemarahan dan
emosi berlebihan disini.34
30 M. Ngalim Purwanto, Op. cit, hlm 191-192. 31 Irawati Istadi, Op. Cit, hlm. 62. 32 Ibid, hlm. 66. 33 Ibid, hlm. 72. 34 Ibid, hlm. 76.
21
5) Sudah disepakati sebelumnya. Pemberian hukuman harus
berdasarkan pada peraturan yang ada dan sudah disepakati
bersama.35
6) Pengabaian sebagai bentuk hukuman teringan. Hukuman
bertujuan untuk menumbuhkan perasaan tidak enak pada anak
akibat dari ketidak peduliannya orang disekitar kepada
dirinya.36
7) Tahan pemberian hukuman, tentunya dalam memberikan
hukuman harus melalui tahapan mulai yang teringan hingga
akhirnya menjadi yang terberat.37
8) Spesifik, hukuman yang diberikan harus jelas dan spesifik,
tanpa menimbulkan penafsiran lain yang bisa menimbuilkan
konflik pada diri anak.38
9) Fleksibel, maksudnya pemberian hukuman yang berbeda pada
siswa sesuai dengn perbuatan yang berbeda.39
Secara singkat Ngalim Purwanto menyimpulkan prinsi-
prinsip pemberian hukuman sebagai berikut :
1) Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan.
2) Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak.
3) Hukuman harus diberikan dengan adil.
4) Guru sanggup memberi maaf setelah hukuman itu dijalankan.40
Dari uraian mengenai ganjaran dan hukuman dapat
disimpulkan bahwa didalamnya terdapat ciri-ciri dari ganjaran dan
hukuman yaitu:
- Adanya suatu perbuatan
- Adanya imbalan, baik berupa ganjaran maupun sanksi
35 Ibid, hlm. 79. 36 Ibid, hlm. 83. 37 Ibid, hlm. 87. 38 Ibid, hlm. 90. 39 Ibid, hlm. 91. 40 M. Ngalim Purwanto, Op. Cit, hlm. 192.
22
Sehingga dari berbagi uraian diatas dapat disimpulkan
mengenai perbedaan antara Targhib dan Tarhib dengan ganjaran
dan hukuman. Kalau dilihat ciri-ciri keduanya dapat dibedakan
bahwa Targhib dan Tarhib baru pada janji maupun ancaman.
Sedangkan ganjaran dan hukuman merupakan sebuah tindakan
yang yang sudah dilaksanakan. Namun jika dihubungkan keduanya
merupakan suatu rangkaian yang saling melengkapi.
B. Targhib dan Tarhib dalam PAI
1. Targhib dan Tarhib sebagai Alat Pendidikan
Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang bisa menunjang
kelancaran pendidikan.41 Adapun Sutari Imam Barnadib menjelaskan
bahwa alat pendidikan adalah tindakan atau perbuatan atau benda yang
dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan.42
Alat pendidikan bisa berupa benda dan bukan benda. Alat
pendidikan yang berupa benda seperti ruangan kelas, perlengkapan belajar
dan sejenisnya. Sedangkan yang berupa bukan benda seperti situasi,
pergaulan, perbuatan, teladan,nasihat, bimbingan, contoh, teguran,
anjuran, ganjaran, perintah, tugas, ancaman maupun hukuman.43
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan
berfungsi sebagai penunjang keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan.
Sedangkan alat pendidikan dibagi menjadi dua macam yaitu benda seperti
ruangan kelas, alat-alat peraga, media pengajaran dan sarana serta
prasarana penunjang pendidikan lainnya. Selanjutnya adalah yang berupa
bukan benda, seperti situasi, perbuatan, pergaulan,perintah, ganjaran, janji
(Targhib), ancaman (Tarhib), hukuman dan lain-lain, termasuk
didalamnya metode-metode dalam pendidikan.
41 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta : Bina Aksara, 1991), hlm. 181. 42 Sutari Imam Barnadib, Filsafat pendidikan : Tinjauan Mengenai Beberapa aspek dan
proses pendidikan,( Yogyakarta : Andi Offset, 1986) hlm. 113. 43 Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan,( Bandung : Al
Maarif, 1996) hlm. 18.
23
Seperti yang telah disebutkan bahwa Targhib atau janji dan Tarhib
atau ancaman merupakan bagian dari alat pendidikan yang bukan benda.
Sehingga Targhib dan Tarhib dapat dijadikan sarana untuk menunjang
tercapainya tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan
tentunya dari sekian banyak alat pendidikan itu dapat dipilih secara
selektif, mana diantaranya yang lebih serasi dan efektif untuk digunakan
dalam mendidik anak.44
2. Targhib dan Tarhib dalam Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam dalam konteks UUSPN, berarti mata
pelajaran atau bidang studi agama Islam sebagai salah satu kurikulum
wajib bagi peserta didik muslim.45Dalam pengertian lain pendidikan
agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam
meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.46
Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan agama disekolah
umum bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan tentang agama Islam, sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
44 Jalaluddin, Teologi Pendidikan,( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 109. 45 M. Chabib Toha dkk, Reformulasi pendidikan Islam,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), hlm 301. 46 Marasuddin Siregar, Pengelolaan Pengajaran, dalam PBM PAI Di Sekolah,(
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 178.
24
bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih
tinggi.47
Untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam tersebut, perlu
menggunakan alat yang tepat dan sesuai. Salah satu alat pendidikan yang
sesusai adalah Targhib dan Tarhib, karena alat pendidikan ini memiliki
keistimewaan- keistimewaan sebagai berikut :
1) Targhib dan Tarhib Qurani atau Nabawi bersandar kepada
argumentasi dan keterangan. Semua ayat yang mengandung Targhib
dan Tarhib akan salah satu urusan akhirat, mempunyai hubungan atau
mengandung isyarat – baik dekat maupun jauh – kepada keimanan
kepada Allah dan hari akhir pada umumnya atau mengandung
pengarahan khitab ( pembicaraan) kepada kaum Mu’min. Hal ini
mengandung anjuran, hendaknya kita menanamkan keimanan dan
aqidah yang benar kepada anak, agar kita dapat menjanjikan (Targhib)
surga kepada mereka dan mengancam (Tarhib) mereka azab Allah.
Sehingga mengundang anak untuk merealisasikannya dalam amal dan
perbuatan.48
2) Targhib dan Tarhib Qurani atau Nabawi itu disertai dengan gambaran
yang indah tentang kenikmatan disurga atau dahsyatnya azab neraka
jahanam, dan diberikan dengan cara yang jelas yang dapat dipahami
oleh seluruh manusia. Oleh karena itu pendidik hendaknya
menggunakan gambaran-gambaran dan makna-makna Qurani serta
Nabawi yang melukiskan dahsyatnya siksaan serta nikmatnya ganjaran
yang diberikan Allah. Gambaran-gambaran dan makna-makna itu
diselaraskan dengan pemahaman anak.49
47 Ibid, hlm.179. 48 Abdurrahman an-Nahlawi, op.cit., hlm. 413-414. 49 Ibid.
25
3) Targhib dan Tarhib Qurani atau Nabawi bersandar kepada upaya
menggugah serta mendidik perasaan Rabbaniyyah, pendidikan
perasaan ini termasuk salah satu maksud syari’at Islamiyyah.50
4) Pendidikan dengan Targhib dan Tarhib bersandar pula kepada
penetapan dan keseimbangan antara kesan dan perasaan. Maka
hendaknya perasaan takut tidak melebihi perasaan harap, sehingga
orang yang berdosa berputus asa dari ampunan dan rahmat Allah.51
Demikianlah Targhib dan Tarhib dapat dipakai sebagai alat
pendidikan, yang dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan agama
Islam. Sebagaimana Allah serta Rasulullah menggunakannya untuk
memotivasi manusia untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan
mereka kepada Allah SWT.
Targhib dan Tarhib dalam pendidikan agama Islam dapat sebagai
pembangkit motivasi bagi siswa agar mau mempelajari serta
mengamalkan ajaran agama Islam.
3. Motivasi Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam
Seperti yang telah disebutkan bahwa Targhib dan Tarhib
merupakan alat pendidikan yang berfungsi untuk menumbuhkan motivasi
bagi siswa dalam mempelajari serta mengamalkan pendidikan agama
Islam. Maka perlu kiranya menelaah tentang relevansi antara motivasi
dengan pendidikan agama Islam.
Dalam dunia pendidikan belajar dan motivasi selalu mendapat
perhatian khusus bagi mereka yang belajar dan mengajar. Pertanyaan yang
sering kali muncul ialah bagaimana memotivasi seseorang mempelajari
apa yang harus dipelajarinya ? Dalam kehidupan sehari-hari dijumpai
orang-orang dengan penuh antusias melaksanakan berbagai kegiatan
belajar. Sedang dipihak lain ada yang tidak bergairah dan bermalas-malas.
Motivasi sendiri adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga
50 Ibid,hlm 415-420. 51 Ibid, hlm. 422.
26
anak didik mau melakukan apa yang dapat dilakukannya.52 Motivasi
sebagai suatu proses mengantarkan murid kepada pengalaman-
pengalaman yang memungkinkan mereka dapat belajar dan bersemangat
dalam mencari ilmu, motivasi adalah unsur yang paling utama dalam
proses mencari ilmu tersebut.53
Hal yang menarik adalah bahwasanya motivasi menjadi salah satu
metode yang digunakan oleh Allah untuk merangsang manusia agar
berperilaku sesuai dengan kehendak dan ridlonya.
Menurut hemat penulis jika kita teliti, maka sebenarnya gaya
bahasa dan ungkapan dalam firman-firman Allah dalam Al-Qur’an
menunjukkan fenomena bahwa firman Allah itu sesungguhnya
mengandung nilai metodologis yang mempunyai corak dan ragam sesuai
tempat dan waktu serta sasaran yang dihadapi. Namun yang sangat
esensial adalah firmannya itu senantiasa mengandung hikmah
kebijaksanaan dan motivasi yang secara metodologis disesuaikan dengan
kecendrungan / kemampuan kejiwaan manusia yang hidup dalam situasi
dan kondisi tertentu yang berbeda-beda.54 Kecendrungan jiwa dalam
situasi dan kondisi yang berbeda itulah yang diperhatikan oleh Allah dan
mengarahkannya pada sasaran akal pikiran manusia. Jadi metode yang
dipergunakan oleh Allah adalah metode pemberian alternatif-alternatif
menurut akal pikiran yang masing-masing tidak sama. Dari seluruh
metode tersebut muaranya adalah penciptaan motivasi.
Sebagai contoh dalam memberikan perintah dan larangan
(imperatif dan prefentif) senantiasa diperhatikan kadar kemampuan
masing-masing hambanya, sehingga taklif (beban)nya berbeda-beda
meskipun dalam tugas yang sama.55 Demikian juga dalam konteks belajar
52 S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Bandung : Jemmars, 1987), hlm. 34 53 Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Metodik Khusus Pengajaran
Agama Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1981), hlm. 112 54 Mohammad Fadhil Al-Djamaly, Tarbiyah Al-Insan Al-Jadid, (Tunisia : Ma’tabah Al-
I’tihad Al-A’lam, 1967), hlm.11 55 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta : Bumi Akasara, 2000), hlm. 63
27
mengajar pesan-pesan Targhib wa Tarhib harus dimplementasikan dalam
kerangka yang tepat.
Dalam pendidikan Islam sistem pendekatan metodologis yang
dinyatakan bersifat multi pendekatan yaitu;
1. Pendekatan Religius
Pendekatan ini menitik beratkan kepada pandangan bahwa
manusia adalah makhluk yang berjiwa religius dengan bakat-bakat
keagaman, sehingga motivasi dalam konteks ini digunakan sebagai
motivasi yang bersumber dari doktrin-doktrin agama seperti Al-
Qur’an dan Hadis, sebagaimana yang dituliskan dalam kitab Targhib
wa Tarhib, Hafidz Al-Mundziri.
2. Pendekatan filosofis
Pendekatan ini memandang bahwa manusia adalah makhluk
rasional sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangnnya
didasarkan pada sejauhmana kemampuan berpikirnya dapat
dikembangkan sampai pada titik maksimal perkembangannya. Dalam
hal ini motivasi bagi kecendrungan manusia yang rasional harus
digunakan pendekatan yang rasional pula atas sugesti-sugesti yang
dikemukakan. Karena sifat dari rasionalitas manusia itu sangat
terbatas. Bahkan seringkali manusia dengan rasionalitasnya tidak
mampu memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Dalam konteks
inilah motivasi yang bersifat horizontal sangat dibutuhkan.
3. Pendekatan sosio kultural
Pendekatan ini berpandangan bahwa manusia adalah makhluk
yang berkebudayaan. Dalam konteks ini perkembangan dan kemajuan
serta kemudahan yang akan diperoleh manusia kreatif menjadi bagian
dari pemunculan motif bagi seseorang.
4. Pendekatan scientific
Titik beratnya terletak pada pandangan bahwa manusia
memiliki kemampuan menciptakan (kognitif) berkemauan dan merasa
(emosional atau afektif). Motivasi dalam pendidikan diarahkan untuk
28
dapat mengembangkan kemampuan analitis-sintesis dan reflektif
dalam berfikir.56
Selanjutnya, terkait erat dengan motivasi relevansinya dengan
pendidikan Agama Islam yaitu bahwa; sebenarnya titik sentral dari fungsi
manusia dalam hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dan fungsi demikian baru dapat berkembang dengan cukup baik bila mana
kemampuan-kemampuan ganda dalam diri pribadinya selaku makhluk
Allah, diberi bimbingan dan pengarahan yang baik pula melalui proses
kependidikan kearah jalan yang diridloi Allah.57 Oleh karena itulah dalam
kitab Targhib wa Tarhib, memandang wajib mempelajari ilmu agama atas
ilmu umum lainya. Ilmu agama harus terlebih dahulu dipunyai sebagai
pondasi dasar untuk beribadah kepada Allah baru kemudian ilmu umum
yang sifatnya mubah atau instrumental.
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam
mempunyai metode motivasi yang komprehenship dengan melalui
pendekatan multi dimensional sehingga diarahkan untuk melakukan
pendekatan yang bersifat komprehensip sebagai berikut :
1. Mendorong manusia untuk mencari ilmu dan menggunakan akal
pikirannya dalam menelah dan mempelajari gejala kehidupannya
sendiri dan gejala kehidupan alam sekitarnya. Dalam ruang lingkup
pengembangan akal pikiran inilah, Allah dan Sunnah mendorong
manusia untuk berfikir analitis dan sintetis melalui proses berpikir
induktif deduktif. Hal ditunjukkan misalnya dalam surat Al-Ghasiyah
17-21 yang berbunyi :
وايل . واىل السماء كيف رفعت . افال ينظرون اىل االبل كيف خلقت فذكر امنا انت .ىل االرض كيف سطحت وا. اجلبال كيف نصبت
) الغلشية (مذكر
56 Abu A’la Al-Maududi, Islam Sebagai Pandangan Hidup, (Bandung : Sinar Baru,
1983), hlm. 46-59 57 M. Arifin, op.cit., hlm. 64
29
“Apakah mereka itu tidak melihat kepada unta-unta bagaimana dijadikan, dan melihat langit bagaimana ditinggikan. Dan melihat gunung-gunung bagaimana ditegakkan. Dan melihat kepada bumi ini bagaimana dihamparkan, maka berilah peringatan. Karena kamu
seorang penyeru (pemberi peringatan)” .58
Dari sini kemudian muncul beberapa hadis untuk lebih
menggali secara mendalam terhadap penekanan Al-Qur’an untuk
berfikir dengan hadis nabi sebagai berikut:
صلى اهللا رسول اهللاقال: عباس رضى اهللا عنهما قال وروى عن إبنمن جاءه أجله وهو يطلب العلم لقي اهللا ومل يكن بينه : عليه وسلم
) رواه الطرباىن(نبوة الوبني نبيني اال درجة
Rasulullah Saw bersabda: "barang siapa yang kedatangan ajal, sedang ia masih menuntut ilmu, maka ia akan bertemu dengan Allah di mana tidak ada jarak antara dia dan antara Nabi kecuali derajat kenabian". (HR. Tabrani).59
2. Mendorong manusia untuk mengamalkan ilmu pengetahuan dan
mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam hidup sehari-
hari sebagaimana terkandung dalam perintah shalat, puasa serta haji
dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam hal ini adalah
(perintah dan larangan), dimana nuansa perintah dan larangan tersebut
adalah Targhib dan Tarhib. Allah memerintahkan bersholat dengan
menunjukkan faedah/manfaatnya sebagai berikut:
اتل ما احي اليك من الكتاب واقم الصلوة ان الصلوة تنهي عن )٤٥ :العنكبوت .....(الفحشاء واملنكر
58 Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara dan
Penterjemah Al-Qur’an, 1990), hlm. 1055 59 Imam Hafidz Zaqiuddin Abdul Adhim bin Abdul Qowi Al-Mundziri, Targhib wa
Tarhib, (Mesir : Dar Ulum, tth), hlm. 56
30
"Bacalah apa yang aku wahyukan kepadamu dari Al-Kitab ini dan dirikanlah sholat, karena sholat itu sesungguhnya mencegah dari perbuatan keji dan munkar…"(Al-Ankabut,45 ) 60
3. Mendorong berjihad, dengan melalui jihad fisabillah itu manusia akan
memperoleh jalan kebenaran Tuhan serta menjadi orang yang
beruntung. Berjihad disini berarti bersungguh-sungguh dalam
pekerjaan. Dengan sikap serius (sungguh-sungguh) itu ia akan
memperoleh hasil yang menguntungkan dirinya sendiri. 61
Selanjutnya motivasi dan tumbuh dari adanya metode mendidik
dengan cara bercerita yaitu dengan mengisahkan peristiwa sejarah hidup
manusia dan kehidupan yang akan datang serta akibat-akbiat perbuatan
manusia terdahulu yang diperhitungkan kelak dalam akhirat. 62 Selain itu
Allah menunjukkan bagaimana kisah Luqman Al-Hakim dalam memberi
pengetahuan sekaligus mendorong anaknya untuk tidak menyekutukan
Allah sebagaimana firmannya yang berbunyi:
واذ قال لقمان البنه وهو يعظه يا بين التشرك باهللا ان الشرك لظلم عظيم )١٣ لقمان(
"Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anak lelakinya pada saat ia memberikan pelajaran kepadanya: wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Tuhan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kedhaliman yang besar." (Lukman, 13) 63
60 Ibid. 61 Ada pepatah arab yang menyatakan ( ومن جد وجد. من اجتهد نال( barang siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan mendapat apa yang diinginkan. 62 H. Arifin Muzayin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Massa, (Jakarta : PT.
Golden Terayon, 1987), hlm. 67 63 Depag RI., op. cit., hlm. 654