taman nasional gunung leuser dan aktivitas kepariwisataan ......semua pihak yang berkepentingan...
TRANSCRIPT
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
1
Code: 18.10.1
Taman Nasional Gunung Leuser dan Aktivitas Kepariwisataan:
Studi di TNGL Bagian Bukit Lawang
Robert Siburian Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - Jakarta
Abstrak Luas Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berlokasi di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah mengalami penyusutan. Penyusutan luas kawasan itu akibat aktivitas manusia yang dilakukan dalam dan sekitar TNGL, seperti kegiatan penebangan liar dan perambahan. Tingkat penyusutan luas kawasan itu mencapai 15 % setiap tahunnya. Artinya, kalau luas kawasan TNGL sekitar 792.675 hektar, maka setiap tahun TNGL menyusut sekitar 118.901 hektar.
Salah satu penyebab tingginya tingkat pencurian kayu adalah dampak dari dibukanya jalan raya yang menghubungkan Kutacane dan Blangkenjeran. Hal itu mempermudah akses untuk beraktivitas di kawasan TNGL. Melihat tingkat pengrusakan yang semakin parah, maka pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting.
TNGL sebagai kawasan konservasi diperuntukkan dengan tujuan ganda, yakni; a. perlindungan dan pengawetan secara mutlak terhadap tipe-tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis, b. pemanfaatan secara terkendali dari ekosistem dan keanekaragaman jenis tersebut sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat luas secara lestari. Untuk mengoptimalkan tujuan ganda itu, TNGL dikelola dengan menerapkan sistem zonasi, yaitu zona inti, rimba, pemanfaatan dan penyanggah. TNGL Bukit Lawang merupakan salah satu dari tiga lokasi yang difungsikan sebagai zona pemanfaatan.
Sebagai zona pemanfaatan, TNGL Bukit Lawang yang juga menjadi Daerah Aliran Sungai Bahorok terkenal sebagai Obyek Wisata di Provinsi Sumatera Utara. Kendati setiap hari orang berkunjung dan menelusuri kawasan TNGL tersebut, namun tingkat kerusakan kawasan itu relatif kecil bahkan tidak tampak sama sekali. Hal itu diperlihatkan oleh tutupan hutan yang masih padat. Berbeda dengan kawasan-kawasan lain pada bagian TNGL yang justru mengalami kerusakan, baik yang berada di bagian Sumatera Utaran maupun NAD. Tulisan ini ingin menjelaskan mengapa tingkat kelestarian TNGL Bukit Lawang lebih terpelihara dibandingkan dengan kawasan lain dibalik hiruk pikuk kegiatan pariwisata yang ada di lokasi itu.
Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara di antara sedikit negara di dunia ini yang memiliki
potensi hutan hujan tropis yang relatif luas. Tutupan hutan Indonesia terbentang mulai dari
Sabang sampai Merauke. Seluruh pulau yang menjadi wilayah Indonesia memiliki kawasan
hutan, dan sekitar 10 persen dari luas hutan dunia berada di Indonesia.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
2
Kawasan hutan Indonesia menyimpan kekayaan hayati dengan terdapatnya beraneka flora dan
fauna. Bahkan di kawasan hutan tertentu, terdapat jenis flora dan fauna yang tidak ditemukan
di tempat lain. Selain itu, banyak juga flora dan fauna yang jumlahnya di permukaan bumi ini
tinggal sedikit sehingga dikategorikan sebagai flora ataupun fauna langka. Namun, akibat
ekploitasi hutan, kondisi hutan Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan degradasi yang
luar biasa.1
Hutan sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh mahluk hidup di dunia ini. Hutan
merupakan paru-paru dunia yang dapat membersihkan udara di permukaan bumi ini dari
pencemaran. Oleh karena pentingnya hutan bagi keberlangsungan hidup, terutama manusia,
maka kawasan-kawasan hutan Indonesia digolong-golongkan sesuai dengan pemanfaatannya.
Penggolongan kawasan hutan di Indonesia itu meliputi; hutan konservasi, hutan lindung,
hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Penggolong-golongan itu dimaksudkan agar
kegiatan manusia di kawasan hutan dapat dikontrol sehingga kerusakan hutan dapat
diminimalisir.
Hutan konservasi yang menjadi sorotan dalam tulisan ini, merupakan kawasan hutan yang
diperuntukkan dengan tujuan ganda, yakni; a. perlindungan dan pengawetan secara mutlak
terhadap tipe-tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis, b. pemanfaatan secara terkendali dari
ekosistem dan keanekaragaman jenis tersebut sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan
masyarakat luas secara lestari. Taman Nasional adalah salah satu kawasan konservasi yang
dapat mempunyai tujuan ganda tersebut (Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan, 1987: 1).
Kendati peruntukan hutan konservasi itu telah diatur sedemikian rupa, namun tidak tertutup
kemungkinan kegiatan manusia di luar tujuan dari yang ditetapkan itu, baik kegiatan ilegal
maupun legal. Salah satu kawasan konservasi di Indonesia adalah Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). TNGL ini sejak statusnya ditetapkan sebagai Taman Nasional, tidak berarti
1 Laporan Kompas menyebutkan pada awal kemerdekaan dulu (1950-an) kawasan hutan Indonesia masih mencapai 162 juta hektar. Akan tetapi, data statistik pada tahun 1984 mencatat bahwa kawasan hutan Indonesia tinggal 143.970.000 hektar. Bahkan tahun 1999, luas hutan Indonesia tinggal sekitar 120.352.000 hektar saja (Statistik Indonesia, 2000). Dengan demikian, selama 50 tahun Indonesia merdeka, kawasan hutan Indonesia mengalami kerusakan ataupun beralih fungsi baik menjadi tempat pemukiman, perkantoran, industri, jalan raya ataupun perkebunan seluas 41.648.000 hektar.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
3
kegiatan-kegiatan manusia di luar peruntukan kawasan menjadi hilang, seperti pemburuan
hewan, perambahan, illegal loging, dan kegiatan pariwisata.
TNGL sebagai kawasan konservasi seharusnya dipelihara, mengingat hutan selain merupakan
aset bangsa Indonesia, juga menjadi bahagian dari kepentingan dunia. Oleh karena itu,
pengelolaan hutan secara lestari merupakan "condito sine qua non", yang artinya suatu
persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Hutan di seluruh dunia termasuk hutan
Indonesia, harus dikelola secara lestari, dengan memperhatikan kepentingan bangsa dan
masyarakat setempat (Nasution, 1999). Dengan demikian, pengelolaan Taman Nasional pun
harus melibatkan seluruh stakeholder, termasuk masyarakat tempatan yang umumnya berada
di daerah penyangga.
Pentingnya melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional sudah disadari oleh
semua pihak yang berkepentingan terhadap pelestarian TNGL. Oleh karena itu, kegiatan
pariwisata merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang dilegalkan oleh pemerintah.
Kegiatan pariwisata itu telah berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi setempat,
yang selanjutnya berpengaruh positif bagi pelestarian kawasan konservasi TNGL khususnya
yang berada di bagian Bukit Lawang. Secara bersama-sama, masyarakat terpanggil untuk
memelihara keberadaan TNGL, mengingat kegiatan pariwisata dapat berjalan kalau kondisi
TNGL sebagai obyek yang dapat dijual tetap lestari. Terkait dengan uraian di atas, tulisan ini
hendak menjelaskan kondisi kawasan TNGL dan kaitannya dengan kegiatan pariwisata di
TNGL bagian Bukit Lawang.
Taman Nasional Gunung Leuser dalam Lintasan sejarah Gagasan pembentukan kawasan TNGL dimulai pada awal abad 20, di mana Indonesia pada
waktu itu masih di bawah jajahan kolonial Belanda. Pembentukan kawasan konservasi di
bagian utara Pulau Sumatera tersebut muncul atas usulan FC van Heurn; seorang ahli geologi
Belanda yang mencoba mengeksplorasi sumber minyak tetapi tidak menemukannya di
kawasan tersebut.
Ketika eksplorasi sedang dilakukan, para pemuka adat menjadi cemas kalau sampai kawasan
itu mangandung sumber minyak, yang berarti secara permanen penjajah Belanda akan
mengeksploitasi kawasan itu. Kecemasan itu muncul karena pemuka adat sangat peduli
terhadap barisan pegunungan yang lebat, terutama yang berada di Puncak Gunung Leuser.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
4
Wilayah Gunung Leuser merupakan kawasan yang dianggap sakral atau suci oleh masyarakat
adat setempat. Dalam kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh Heurn, tidak ditemukan
kandungan minyak tanah. Namun Heurn justru meminta pemuka adat Tapaktuan agar
mendesak Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memberi status kawasan konservasi di
daerah yang dianggap sakral itu.
Kawasan konservasi yang diusulkan itu berada di Aceh Barat yang meliputi daratan antara
Alas, Kluit dan sungai Tripa serta mencakup seluruh tipe ekosistem dari pantai sampai
pegunungan, yang luasnya mencapai 928.000 hektar. Usul itu diajukan pada suatu forum
pertemuan "Netherlandse Commissi voor Internationalle Natuur Bescherming" pada tanggal
9 Mei 1928. Namun usul itu baru diterima secara resmi oleh Pemerintah Kolonial Belanda
dengan menetapkan Pembentukan Kawasan Suaka Marga Satwa Gunung Leuser, diwakili
oleh A. Ph van Ahen yang pada saat itu menjabat Gubernur Aceh enam tahun kemudian,
yakni 1934. Luas kawasan yang disetujui itu sekitar 142.800 hektar, ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan (2B) No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 (Dephut, 1995).
Pada tanggal 6 Februari 1934, yaitu sebelum SK pembentukan kawasan itu dikeluarkan,
semua perwakilan masyarakat lokal di Kawasan Konservasi menandatangani sebuah deklarasi
yang dikenal dengan "Deklarasi Tapaktuan". Deklarasi itu diadakan dalam sebuah upacara
adat di daerah Tapaktuan. Turut memberi tanda tangan dalam deklarasi itu adalah Van Heurn
yang berkedudukan sebagai Gubernur Hindia Belanda pada saat itu. Isi deklarasi itu
merupakan refleksi dari tekad masyarakat Tapaktuan sebagai usaha melestarikan kawasan
Leuser untuk selamanya (UML, Tt: 1).
Kemudian, dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1936 usaha pelebaran kawasan konservasi terus
dilakukan, yaitu dengan dibentuknya kawasan Suaka Margasatwa Kluet seluas 20.000 hektar.
Suaka Margasatwa ini menghubungkan Suaka Margasatwa Gunung Leuser dengan pantai
barat Aceh. Pembentukan Suaka Margasatwa ini diputuskan berdasarkan ZB No. 122/AGR
tanggal 26 Oktober 1936. Tahun 1938 penetapan kawasan konservasi melebar ke Provinsi
Sumatera Utara, yaitu dengan ditetapkannya kawasan Suaka Marga Satwa Langkat seluas
51.000 hektar. Tahun 1976 ditetapkan lagi Kawasan Suaka Marga Satwa Kappi di Provinsi
Aceh dengan areal seluas 142.000 hektar (Dephut, 1995).
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
5
Selanjutnya, berdasarkan pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980, keempat
kawasan yang disebutkan di atas dan beberapa kawasan pelestarian alam Hutan Wisata, secara
resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Leuser. Suaka Margasatwa yang
diumumkan itu meliputi Suaka Margasatwa Gunung Leuser, Langkat Barat, Langkat Selatan,
Kluet, Kappi dengan luas kawasan mencapai 792.675 hektar. Pengumuman Mentri Pertanian
dikuatkan dengan dikeluarkannya SK Mentan No. 913/Kpts/Um/10/1982 tanggal 30 Oktober
1982. Luas kawasan TNGL berdasarkan SK Mentan itu berkisar 792.675 hektar.
Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1982, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK Menhut No.
096/Kpts/II/84 tentang penetapan Pelaksana Teknis. Sementara itu, penambahan luas kawasan
TNGL terus dilakukan. Hal itu seiring dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 276/Kpts-
VI/1997 tanggal 23 Mei 1997. Dengan SK ini maka luas kawasan TNGL menjadi 1.094.692
hektar (Widiyanti, 2001: 1).
Profil Desa Perkebunan Bukit Lawang Desa Perkebunan Bukit Lawang merupakan salah satu dari 19 desa yang menjadi wilayah
Kecamatan Bahorok. Luas Desa Perkebunan Bukit Lawang ini sekitar 32,26 kilometer persegi
atau 3,4 persen dari luas Kecamatan Bahorok.2 Desa Perkebunan Bukit Lawang berada pada
ketinggian 105 meter di atas permukaan laut. Sebagai desa yang berstatus desa perkebunan, di
Bukit Lawang sendiri terdapat Perusahaan Perkebunan (PTPN II), yang memproduksi karet,
kelapa sawit dan coklat.
Penduduk yang bermukim di Bukit Lawang tidak membayar pajak bumi dan bangunan
(PBB). PBB merupakan kewajiban perusahaan perkebunan untuk membayarnya kepada
negara. Karena itu pula, jual-beli tanah tidak terjadi di desa perkebunan. Kalau penduduk
ingin membeli tanah, mereka harus mencari di luar desa perkebunan, misalnya di Desa
Timbang Lawan.
2 Luas Kecamatan Bahorok sendiri adalah 955,10 kilometer persegi. Dengan areal perkebunan yang begitu luas di Kabupaten Langkat maupun Kecamatan Bahorok, dari 19 desa sebagai wilayah Kecamatan Bahorok, sebanyak 5 (lima) desa dikategorikan sebagai desa perkebunan, yaitu Desa Perkebunan Bukit Lawang, Desa Perkebunan Bungara, Desa Perkebunan Turangi, Desa Perkebunan Pulo Rambung, dan Desa Perkebunan Sei Musim. Desa-desa lain yang menjadi wilayah Kecamatan Bahorok adalah; Desa Batu Jong Jong, Lau Damak, Timbang Lawan (sekitar pertengahan bulan Juli 2004 desa ini dimekarkan menjadi dua desa: Desa Timbang Lawan dan Desa Timbang Jaya), Pekan Bahorok, Empus, Simpang Pulo Rambung, Sematar, Suka Rakyat, Tanjung Lenggang, Sebertung, Sumber Jaya, Sei Musam Kendit, dan Amal Tani (BPS, 2002).
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
6
Pembebasan membayar PBB juga dinikmati oleh penduduk yang bergerak di sektor
pariwisata yang mengambil lokasi di sempadan sungai Bahorok. Padahal, daerah pariwisata
tersebut sudah diserahkan oleh perusahaan perkebunan ke pemerintah, namun para pemilik
rumah, hotel dan rumah makan di sana masih terbebas dari kewajiban membayar PBB. Oleh
karena itu, kendati tanah-tanah di areal pariwisata itu merupakan milik pribadi dan tanahnya
sudah memiliki sertifikat, pemerintahan desa tidak pernah menagih pajak mereka.
Desa Perkebunan Bukit Lawang sebagai desa perkebunan tidak memiliki tanah yang
digunakan sebagai areal persawahan ataupun perladangan rakyat. Tanah di desa itu hanya
diperuntukkan bagi perkebunan besar/rakyat dan bangunan/pekarangan. Padahal, di Desa
Perkebunan Bukit Lawang mengalir sungai Bahorok yang relatif besar.3
Sebelum Desa Perkebunan Bukit Lawang ataupun Kecamatan Bahorok menjadi daerah
pemukiman ataupun daerah perkebunan, daerah tersebut merupakan hutan belantara. Etnik
yang menjadi pemilik daerah itu berasal dari Melayu Langkat. Namun, ketika perkebunan
mulai dibuka, pemilik perkebunan mendatangkan kuli kontrak dari Pulau Jawa ke daerah
tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, etnik Jawa menjadi penduduk mayoritas baik di
Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok maupun Kabupaten Langkat.
Menurut keterangan Kepala Desa Bukit Lawang, etnik Jawa yang bermukim di daerahnya
mencapai 90 persen, sedangkan sisanya adalah Melayu dan Karo.4 Jumlah kepala keluarga
(KK) di Desa Perkebunan Bukit Lawang sekitar 555 KK. Sementara berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000, ada tiga etnik yang jumlahnya relatif besar baik di kecamatan maupun
kabupaten. Etnik-etnik terbesar itu adalah Jawa (22.437 jiwa di Kec. Bahorok dan 513.537
jiwa di Kab. Langkat); Melayu (9.622 jiwa di Kec. Bahorok dan 134.800 jiwa di Kab.
Langkat); Karo (7.465 jiwa di Kec. Bahorok dan 92.313 jiwa di Kab. Langkat). Adapun
jumlah penduduk Kecamatan Bahorok tahun 2000 adalah 43.195 jiwa dan jumlah penduduk
Kabupaten Langkat sekitar 902.986 jiwa (BPS, 2000).
3 Tanggal 2 November 2003 lalu, sungai Bahorok mengalami banjir bandang yang menewaskan ratusan jiwa manusia dan memusnahkan ratusan bangunan penduduk. Sebelum Desa Perkebunan Bukit Lawang mengalami banjir bandang, di desa ini terdapat pintu air yang digunakan untuk mengairi sawah penduduk di Desa Timbang Lawan. 4 Dalam literatur antropologi, etnik Karo merupakan salah satu dari enam kelompok utama suku Batak. Lima suku lain dalam kelompok utama ini adalah: Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing. Masing-masing kelompok mendiami suatu daerah induk tertentu, yang berada di daerah pegunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) di utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan (Bangun, 1993: 94).
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
7
Penduduk Desa Perkebunan Bukit Lawang yang didominasi oleh etnik Jawa ini lebih banyak
bekerja di sektor perkebunan. Mereka menjadi karyawan di perusahaan perkebunan yang ada
di sana. Hal ini sangat terkait dengan jenis penggunaan tanah yang hanya diperuntukkan bagi
perkebunan besar dan rakyat. Sementara penduduk yang bergerak di luar sektor perkebunan,
seperti hotel, restoran dan pariwisata, kebanyakan berasal dari etnik Karo.
Kondisi dan Potensi Sumber Daya Hayati di Taman Nasional Gunung Leuser TNGL berada di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Sumatera
Utara (Sumut), dengan perbandingan areal 74,65 % berada di provinsi NAD dan 25,35 %
berada di provinsi Sumut.5 Kawasan TNGL memanjang mulai dari Provinsi NAD sampai ke
Provinsi Sumut sekitar 100 kilometer. Kawasan TNGL ini mulai dari pantai hingga ke daerah
pegunungan. Sementara seluruh panjang batas kawasan TNGL mencapai 736,89 kilometer,
dengan perbandingan; 475,39 kilometer berada di NAD dan 261,5 kilometer berada di Sumut.
Secara resmi, TNGL dapat dicapai melalui pintu yang ada di NAD dan Sumut. Melalui NAD,
pintu TNGL terdapat di Kutacane (Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara), yang berjarak sekitar
2 sampai 10 kilometer dari jalan raya Bande Aceh-Bakongan. Dari Sumatera Utara, TNGL
dapat dicapai melalui Bukit Lawang dan Sikundur (keduanya berada di Kabupaten Langkat).
Sebaliknya, melalui pintu tidak resmi, TNGL dapat dicapai dari seluruh sisi kawasan, karena
pembatas TNGL dengan kawasan lain tidak ada, kecuali pilar-pilar yang tingginya 80
centimeter dari permukaan tanah dengan jarak antara satu pilar dengan pilar lain lebih kurang
100 meter.
Kawasan TNGL secara geografis terletak antara 2o55' - 4o05' Lintang Utara dan 98o30' Bujur
Timur. Kawasan TNGL berada pada ketinggian 0 - 3.381 meter di atas permukaan laut, yaitu
mulai dari pantai Samudra Indonesia (di daerah Kluet) sampai ke Puncak Gunung Leuser.
Pada umumnya, kawasan TNGL berbukit-bukit mengikuti gugusan Bukit Barisan. Kawasan
TNGL dengan topografi dataran rendah hanya berada di dua daerah yaitu daerah Sikundur
dan Langkat. Selain terdapat Gunung Leuser yang ketinggiannya mencapai 3.381 meter di
atas permukaan laut, kawasan TNGL dibelah oleh sungai Alas yang indah.
5 Perbandingan ini didasarkan pada luas kawasan mencapai 792.675 hektar sesuai dengan pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
8
Dalam pemanfataannya, kawasan TNGL sudah menerapkan sistem zonasi. Merujuk kepada
SK Dirjen PHPA No. 48/Kpts/Dj-VI/1978 tanggal 12 Desember 1987, kawasan TNGL terdiri
dari 4 (empat) zonasi, yaitu; zona inti (sanctuary zone) yang luasnya mencapai 642.735
hektar, zona rimba (wildderness zone) berlokasi di dua tempat, yakni daerah Kluet dan
Batuinjin, luasnya mencapai 103.000 hektar; zona pemanfaatan (intensive use zone) luas
49.750 hektar; yang berlokasi di tiga tempat, meliputi Bukit Lawang, Ketambe dan Sikundur.
Ketiga lokasi ini terdapat pusat rehabilitasi Orang Utan. Sementara yang berada di luar
kawasan adalah zona penyangga (buffer zone), yaitu daerah-daerah yang mengelilingi
kawasan TNGL, luasnya mencapai 11.184 hektar (Dephut, 1995: 47). Daerah pariwisata
Bukit Lawang termasuk daerah yang berada di zona penyangga.
Kawasan TNGL menyimpan kekayaan hayati baik flora dan fauna. Jenis-jenis flora itu antara
lain: satu jenis pohon kapur (dryobbalanops aromatica); jenis dipterocarcease seperti miranti,
keruing dan shorea; jeruk hutan (cittrus Macroptera); durian hutan (durio exyleyanus dan
durio zibethinus). Jenis flora langka yang dilindungi di kawasan TNGL adalah Raflesia
atjehensis dan Johaneteisjmania altifrons. Sementara jenis fauna (satwa) yang terpenting di
TNGL sekitar 43 jenis, di antaranya adalah orang utan (pongo pigmaeus), siamang (hylobates
syndectylus), monyet (maccaca fasticularia), beruk , sekukuk, owa (hylobates moloch), kijang
(muntiacus muncak), kancil (tragulus sp.), babi hutan (sus sp.), kambing hutan (nemorrhaedus
sumatrensis), landak (hystrix sp.), harimau belang (panthera tigris), badak (rhinoceros
sumatrensis), tapir (tapirus indicus), binatang hantu (nycticebus coucang), dan gajah (elephaz
maximus).6
Tingkat Kerusakan dan Penyebabnya di TNGL Hingga tahun 2000, kawasan TNGL yang mengalami kerusakan sudah mencapai 20 % atau
sekitar 160.000 hektar. Kerusakan kawasan TNGL diakibatkan oleh aktivitas penebangan liar
dan perambahan kawasan (Susmianto, 2001). Sedangkan kawasan TNGL bagian Sumut, 6 Fauna lain yang terpenting itu adalah bajing terbang (petaurista elegans), biawak (varanus salvator), sero (cynogale benettii), buaya (crocodilus porosus), beruang (helaretas malayanus), anjing hutan, trenggiling (manis javanica), tupai (lariscus insignis), ular sanca (pyton reticulatus), kadal (mabuia multifascita), burung enggang (buceros rhinoceros), burung tagun-tagun, burung raja udang (halycon pileata), burung emprit, beo (gracula religiona), burung pergam (treron grisseicauda), burung kuau (argusianus argus), burung itik liar (cairina scutulata), burung elang (spizaetus sp.), burung alap-alap tikus (accipiter sp.), burung rajawali, dara laut (sterna sumatrana), bangau (leptoptilus dubius), burung blukok (egretta sp.), burung cacing (pitta caerulea), burung madu (antherptes sp.) dan burung kipas (rhipidura javanica) (.: yang tergolong langka dan hanya terdapat di kawasan TNGL adalah sreundung (hylobates lar), rungka
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
9
berdasarkan foto satelit tahun 2000 tingkat kerusakan baik yang diakibatkan oleh kesalahan
managemen, perambahan dan penebangan liar sudah mencapai 50.500 hektar atau 24 persen
dari luas kawasan. Sementara kerusakan yang didasarkan pada gangguan kawasan, bagian
Sumut diperkirakan 5.555 hektar dengan distribusi lokasi berada di Sikundur 4.000 hektar,
Sei Lapan dan Sei Minyak 500 hektar, Sekoci 60 hektar, Jumalada 150 hektar, Tangkahan
405 hektar, Laukersik 50 hektar, Tualang Gepang 40 hektar dan Sapo Padang 350 hektar
(Susmianto, 2001: 5-6).
Tingkat kerusakan kawasan di Sikundur yang dikleim oleh LSM justru lebih luas lagi, yakni
mencapai 42 ribu hektar. Kerusakan kawasan tersebut diakibatkan oleh perambahan yang
dilakukan masyarakat lokal dan pengungsi dari NAD.7
Namun, kalau paradigma hutan berarti pohon, maka kerugian ekonomi dapat dikalkulasi.
Kalau potensi pohon yang ditebang dengan diameter 50 centimeter ke atas sebesar 90 meter
kubik per hektar, dengan harga jual kayu log campuran Rp 600.000 per meter kubik, maka
kerugian negara dari kerusakan kawasan TNGL adalah; a. kalau berdasarkan foto citra satelit,
kerugian berkisar 50.500 hektar x 90 m3 x Rp 600.000 = Rp 2.727 milyar; sedangkan
berdasarkan gangguan yang sedang berlangsung, kerugian adalah 5.555 hektar x 90 m3 x Rp
600.000 = Rp 299,97 milyar (Susmianto, 2001).
Kalau paradigma hutan adalah sebagai ekosistem, maka kerugian dari aspek ekologi yang
dialami oleh negara dan masyarakat jauh lebih besar lagi. Sebab, kerusakan ekosistem di areal
seluas 50.500 hektar itu telah menggangu keseimbangan ekologi yang ada di dalamnya. Nilai
ekonomi dari sebuah ekosistem, menurut Beukering dan Caesar (Tt), dilihat berdasarkan Nilai
Ekonomi Keseluruhan (Total Economic Vekue). Dalam hal ini, Nilai Ekonomi Keseluruhan
yang diukur terdiri atas 3 (tiga) elemen, yaitu: berupa nilai manfaat langsung (direct use
values), nilai manfaat tidak langsung (indirect use values), dan nilai yang dirasakan meskipun
tidak dimanfaatkan sumber daya hutan yang ada tersebut (non-use values).
(presbytis thomasi), linsang (prionondon linsang), macan akar (felis termmincki), enggang (rhyteceros spp), burung kuda (garrullax rufifrons) (Dirjen Kehutanan, 1978: III-1-III-3). 7 Hasil wawancara dengan salah seorang aktivis LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, yang berada di Desa Sampe Raya, Kecamatan Bahorok. LSM ini menaruh perhatian guna pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
10
Nilai manfaat langsung berkaitan dengan nilai-nilai yang berasal dari pemanfaatan atau
interaksi langsung dengan sumber daya hutan dan jasa-jasanya, seperti kayu bangunan, kayu
bakar. Sedangkan nilai manfaat tidak langsung berasal dari dukungan dan perlindungan secara
tidak langsung yang diberikan kepada kegiatan ekonomi karena berfungsinya sumber daya
hutan, atau umumnya disebut sebagai "jasa lingkungan", seperti fungsi menyimpan air untuk
keperluan kegiatan pertanian di daerah hilir (Beukering dan Cesar, Tt: 16), dan merubah CO2
menjadi O2. Sementara nilai yang tidak berbentuk manfaat langsung, salah satunya mengacu
pada kesediaan seseorang untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk melindungi
keberadaan satwa liar langka, walaupun tidak melihatnya secara langsung di alam liar
(Beukering dan Cesar, Tt: 17).
Berdasarkan nilai ekonomi hutan tersebut, pemerintah dalam membuat kebijakan dalam
kawasan hutan tertentu dapat menggunakan teknik-teknik ekonomi. Hal itu dimaksudkan agar
diketahui perbandingan manfaat dan kerugian dalam kawasan hutan dengan adanya kebijakan
yang hendak diterapkan. Unsur-unsur yang diperhitungkan itu adalah nilai sumber daya alam
yang tergantung tidak saja pada nilai pasar pemanfaatan langsung, tetapi juga tergantung pada
seluruh fungsi lainnya dari sumber daya alam itu, yang menghasilkan nilai ekonomi dalam
arti luas atau Nilai Ekonomi Keseluruhan (Total Economic Value).
Mencermati Nilai Ekonomi Keseluruhan hutan, maka pengambilan kayu dari dalam hutan
hanya memberikan penghasilan tidak lebih dari 5 % dari nilai intrinstik sumber daya hutan
secara keseluruhan. Kendati hasil yang diperoleh tidak lebih dari 5 % itu, namun pengambilan
kayu yang mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan telah menimbulkan hilangnya Nilai
Ekonomi Keseluruhan hutan itu sendiri. Hal itu akibat Nilai Ekonomi Keseluruhan hutan akan
diperoleh kalau tidak ada kerusakan hutan. Dengan demikian, kerugian negara yang
diprediksi sekitar Rp 2.727 milyar ataupun Rp 299,97 milyar adalah 5 % saja, maka kerugian
sebenarnya dari kerusakan hutan sekitar 50.500 hektar itu mencapai Rp 54.540 milyar
ataupun Rp 5.999,4 milyar.
Kalau aktivitas penebangan liar cenderung terjadi di kawasan TNGL bagian NAD, maka
aktivitas perambahan justru terjadi di kawasan TNGL bagian Sumatera Utara. Perambahan
dilakukan tentu setelah sebelumnya dilakukan penebangan liar, sehingga kondisi kawasan
sudah terbuka. Pada areal TNGL yang dirambah kemudian dijadikan sebagai lahan
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
11
perkebunan, yang dimiliki oleh rakyat setempat ataupun perusahaan perkebunan dalam
bentuk PT. Dengan adanya aktivitas yang tidak sesuai dengan peruntukan kawasan
mengakibatkan kerusakan terhadap kawasan terus bertambah. Aktor-aktor yang melakukan
aktivitas di TNGL berasal dari berbagai elemen masyarakat; seperti masyarakat lokal dan
pengungsi NAD, pengusaha perkebunan (PT. Sempana dan PT. Amal Tani), KUD, Yayasan
Bukit Barisan Kodam I Bukit Barisan (Susmianto, 2001: 14).
Kerusakan kawasan TNGL yang terjadi sekarang ini merupakan akumulasi dari kerusakan-
kerusakan yang terjadi sebelumnya. Hal itu terjadi karena usaha untuk memulihkan hutan
agar kembali seperti semula relatif lama. Bahkan disinyalir bahwa di kawasan TNGL telah
menjadi sumber pengadaan kayu-kayu ilegal. Dengan tingginya intensitas pencurian kayu di
kawasan TNGL sehingga pemerintah menganggap penting untuk mengeluarkan Inpres No. 5
tahun 2001.
Berdasarkan perkiraan Yayasan Leuser Indonesia (YLI), wilayah TNGL secara keseluruhan
mengalami penyusutan sekitar 15 persen setiap tahunnya diakibatkan oleh kegiatan
penebangan liar. Salah satu penyebab sulitnya pihak TNGL memberantas kegiatan perambah
dan penebangan liar adalah akibat dibukanya jalan raya yang menghubungkan Kutacane dan
Blangkenjeran, yang memperluas peluang terjadinya pencurian kayu dan perambahan hutan
(Sumardja, 1997). Staf Balai TNGL Bukit Lawang yang pernah berdinas di Kantor Balai
TNGL Kutacane, ketika melakukan patroli di Ketambe8 sekitar tahun 2003, ditemukan
tumpukan-tumpukan kayu hasil curian dari TNGL. Tingkat kerusakan kawasan akan semakin
parah kalau rencana jalan menghubungkan jalur Titi Pasir (Aceh Tenggara) ke Bahorok
(Langkat) sepanjang 61 kilometer, yang akan membelah kawasan TNGL (25 % berada di
Aceh Tenggara dan 75 % berada di Langkat) itu diwujudkan.
Masyarakat lokal pun terlibat dalam usaha pengrusakan hutan di TNGL. Hal itu terjadi di
Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat yang termasuk kawasan TNGL. Masyarakat lokal
itu sebenarnya sadar bahwa TNGL merupakan kawasan yang dilindungi. Akan tetapi,
kesadaran itu menjadi terabaikan ketika pengungsi dari Provinsi NAD yang berada di
Kecamatan Besitang merambah di kawasan TNGL. Keberadaan pengungsi tersebut akibat
diberlakukannya darurat militer oleh pemerintah Indonesia tahun 2003 lalu sehubungan
8 Daerah Ketambe terletak di jalan yang menghubungkan Kutacane dengan Blangkejeran.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
12
dengan terjadinya gerakan separatis yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Para pengungsi ini tidak segan-segan membuka lahan pertanian, membangun rumah ataupun
gubuk di kawasan TNGL, sementara masyarakat lokal hanya melihat saja.
Pemerintah ataupun instansi terkait seakan menutup mata terhadap ulah para pengungsi ini
yang menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat lokal. Dalam hal ini, masyarakat lokal
tidak puas terhadap pemerintah di mana ketika masyarakat lokal yang merambah TNGL itu
selalu tidak diperbolehkan. Akan tetapi ketika pengungsi Aceh yang merambahnya,
pemerintah tidak berbuat apa-apa padahal kawasan yang dirambah tersebut berada di
Kecamatan Besitang. Keberadaan penduduk yang bermukim di enclave juga dikuatirkan
dapat berdampak negatif kepada kelestarian TNGL. Khususnya di TNGL Seksi Konservasi
Wilayah III Bukit Lawang, terdapat 3 (tiga) daerah enclave, yaitu enclave Sibelin, Sapo
Padang dan Mari ntubung, ketiganya berada di Desa Batu Jong Jong. Jumlah penduduk di
masing-masing enclave bervariasi antara 20 sampai 40 Kepala Keluarga. Kendati
keberadaannya diakui, jumlah penduduk di enclave ini tentu mengalami pertambahan,
sehingga diperlukan lahan pertanian dan pemukiman yang semakin luas. Oleh karena daerah
enclave yang keberadaannya diakui itu terbatas, mengakibatkan usaha untuk memenuhi
kebutuhan dasar dari kehidupan tersebut berpotensi terhadap penggarapan kawasan TNGL
yang ada di sekitar enclave itu. Hal itu sudah mulai terjadi khususnya di enclave Sapo Padang
di mana kerusakan kawasan mencapai 4.000 hektar.
Kelompok etnik yang mendiami daerah-daerah enclave di Bukit Lawang berasal dari
sukubangsa Karo. Kendati penduduk asli Kabupaten Langkat adalah Melayu, tetapi
keberadaan suku bangsa Karo di daerah enclave tersebut sudah ada sebelum kawasan tempat
mereka bermukim itu ditetapkan sebagai Taman Nasional. Walaupun keberadaan penduduk di
enclave tersebut diakui, pihak TNGL tetap kuatir akan aktivitas mereka yang suatu saat
berpotensi untuk merusak kawasan TNGL, terlebih kawasan yang berdekatan dengan enclave.
Sejauh ini, penduduk di enclave yang sudah terindikasi mengakibatkan kerusakan kawasan
berada di Sapo Padang. Kegiatan yang terjadi di sana adalah pembukaan jalan tembus
sepanjang 2,8 kilometer melintasi TNGL, dan sekaligus melakukan land clearing9 di lahan
enclave seluas 350 hektar. Pembukaan jalan yang dimulai tahun 1998 itu sudah dihentikan
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
13
karena jalan yang dibuka itu tidak sesuai dengan rekomendasi. Selain itu terjadi juga
pembukaan jalur jalan yang menghubungkan enclave Sembilin dengan enclave Sapo Padang
(Susmianto, 2001: 14). Kendati kegiatan pembukaan jalan sepanjang 2,8 kilometer yang
melibatkan KUD Sapo Padang, PT. Amal Tani dan Yayasan Bukit Barisan Kodam I BB
berdasarkan akte perjanjian No. 1141.a/Kwl-6/1998, yang merupakan tindak lanjut surat
persetujuan Menhut. No. 71/Menhut-VI/1998 sudah dihentikan, namun, karena kegiatan itu
sudah sempat berjalan, maka kerusakan kawasan pun sudah terjadi. Kasus enclave Sapo
Padang ini tidak berhenti sampai di sana, sebab gugat menggugat terhadap keberadaan surat
persetujuan tersebut masih terus terjadi. Kasus gugat menggugat itu sudah sampai pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan.
Berangkat dari kasus di atas terindikasi bahwa satu regulasi dengan regulasi lain sering
bertolak belakang. Sebab, tanpa regulasi yang bertolak belakang tersebut, tidak mungkin SK.
Menhut. No. 71/Menhut-VI/1998 yang mengizinkan pembukaan jalan di kawasan TNGL itu
terbit.
Aktivitas Pariwisata di Kawasan TNGL Kawasan TNGL bagian Provinsi Sumatera Utara juga merupakan pengalokasian dari kawasan
hutan di wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No.
7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2003-
2018, dari luas wilayah Sumatera Utara 7.168.000 hektar, seluas 3.679.338,48 (51,33%)
dialokasikan sebagai kawasan hutan, meliputi Hutan Konservasi (9,85%), Hutan Lindung
(40,27%), Hutan Produksi terbatas (23,13%), Hutan Produksi Tetap (25,46%) dan Hutan
Produksi Konversi (1,29%). Bagian TNGL yang merupakan wilayah Provinsi Sumatera Utara
seluas 200.985 hektar (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2004).
Kawasan TNGL yang ada di Kabupaten Langkat berada di sepanjang 261,5 kilometer;
panjang batas Langkat Selatan mencapai 172,013 kilometer dan panjang batas Langkat
Sekundur sekitar 89,5 kilometer. Pilar pembatas antara TNGL dengan lahan penduduk yang
sudah dipasang berjumlah 2.285 buah; masing-masing 1.634 buah untuk Langkat Selatan dan
651 buah untuk Langkat Sekundur. Pilar batas TNGL di Langkat Selatan mulai dari No. 685
sampai No. 2.500. Pilar tersebut ditanam mulai dari Sei Musam sampai Tanjung
9 Land Clearing merupakan salah satu metode untuk membersihkan hutan dengan cara membakarnya. Pembakaran hutan dilakukan karena dengan metoda ini pembersihan kawasan hutan secara ekonomi lebih hemat.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
14
Gunung/Ujung Langkat.10 Bentuk pilar yang ditanam oleh pihak TNGL berupa tiang beton
dengan tinggi sekitar 80 centimeter di atas permukaan tanah.
Kawasan TNGL khususnya yang berlokasi di Bukit Lawang merupakan hulu sungai Bahorok.
Sungai Bahorok selain menjadi obyek wisata, juga dimanfaatkan sebagai sumber air sawah
milik penduduk, seperti di Desa Timbang Lawan. Akan tetapi, ketika terjadi banjir bandang,
saluran irigasi itu tidak berfungsi sama sekali. Selain pintu air rusak diterjang banjir,
permukaan air surut begitu signifikan sehingga tidak dapat naik ke saluran irigasi dengan
permukaannya yang lebih tinggi. Hal itu mengakibatkan petani sejak peristiwa banjir bandang
terjadi tidak lagi mengelola sawah untuk ditanami padi. Hingga tahun 2004, pemerintah
setempat belum memperbaiki pintu air yang rusak itu akibat tarik ulur terhadap penggunaan
dana yang ada; apakah digunakan untuk membangun rumah penduduk yang masih tinggal di
penampungan ataukah membangun irigasi?
Adapun aktivitas kepariwisataan di Bukit Lawang tersebut tidak saja hanya di daerah
penyangga (buffer zone) tetapi juga masuk ke dalam kawasan TNGL. Zona penyangga di
kawasan TNGL yang digunakan sebagai daerah pariwisata terutama di sekitar Sungai
Bahorok hingga ke tempat penyeberangan ke kawasan TNGL, panjangnya lebih kurang satu
kilometer. Sementara di dalam kawasan TNGL sendiri, terdapat tempat rehabilitasi Orang
Utan yang digagas oleh Regina Frey dan Monica Borner berkebangsaan German tahun 1973.
Pusat rehabilitasi itu diserahkan ke pemerintahan Indonesia tahun 1980. Orang Utan yang
direhabilitasi di Bukit Lawang merupakan hasil sitaan dari masyarakat untuk dikembalikan ke
habitatnya.
Pada bagian atas (sekitar 30 meter) dari Pusat Rehabilitasi Orang Utan tersebut, terdapat
tempat melakukan pemberian makan kepada Orang Utan. Kegiatan ini menjadi komoditi yang
dijual oleh pengelola TNGL. Dalam sehari, waktu memberi makan Orang Utan berlangsung
dua kali, yaitu pukul 08.30-09.30 di pagi hari, dan pukul 15.00-16.00 di sore hari. Para
wisatawan diizinkan untuk menonton aktivitas pemberian makan ini. Wisatawan yang ingin
menontonnya sudah harus memegang Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI)
yang dikeluarkan oleh Balai TNGL Bukit Lawang. Biaya memperoleh SIMAKSI itu adalah
10 Keterangan diperoleh dari Kantor Seksi Konservasi Wilayah III di Bukit Lawang.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
15
Rp. 20.000 per orang/hari.11 Distribusi dari tarif memasuki kawasan TNGL itu adalah;
pemerintah pusat 30 %, pemerintah tingkat I 30 % dan pemerintah tingkat II 40 %.
Kegiatan lain di bidang kepariwisataan adalah menelusuri kawasan TNGL. Dalam melakukan
kegiatan ini, peminat juga harus sudah memegang SIMAKSI dengan biaya Rp 20.000 per
orang.12 Wisatawan yang ingin menelusuri hutan TNGL diharapkan ditemani oleh pemandu
agar mereka tidak tersesat di hutan. Para pemandu wisata di TNGL Bukit Lawang berjumlah
200 orang. Mereka ini adalah penduduk yang berada di Desa Bukit Lawang dan pegawai
Balai TNGL. Pemandu ini umumnya laki-laki karena tenaganya dianggap lebih kuat untuk
menelusuri kawasan TNGL yang berbukit-bukit tersebut. Para pemandu ini sudah
memperoleh pembinaan dari pengelola TNGL.
Dengan realita tersebut, walaupun kawasan TNGL dikelola oleh Balai TNGL, tidak berarti
mereka mendominasi seluruh aktivitas di Balai TNGL. Justru Balai TNGL berusaha
memberdayakan para pemandu dan masyarakat yang bersedia menjadi pemandu agar dapat
menikmati manfaat ekonomi dari kawasan TNGL.
Hubungan antara pemandu dengan wisatawan tidak berkaitan dengan Balai TNGL. Para
pemandu mencari sendiri wisatawan yang ingin dipandu melalui pendekatan-pendekatan
terhadap wisatawan tersebut. Agar lebih mudah berhubungan dengan para wisatawan, para
pemandu ini kebanyakan berkumpul di hotel-hotel tertentu tempat di mana para wisatawan
menginap.
Wisatawan yang menggunakan jasa pemandu dikenakan tarif rata-rata sekitar US $ 45 sampai
US $ 50 per hari/orang. Untuk sampai pada angka tersebut, pemandu dan wisatawan sudah
melalui tawar menawar. Tarif yang dipatok oleh pemandu merupakan tarif tidak resmi
sehingga tidak ada pajak yang dikenakan terhadap tarif itu. Jumlah tarif yang diterima oleh
pemandu, seluruhnya masuk ke kantong pemandu itu sendiri, dan tidak ada ke pihak
pengelola TNGL. Bahkan pengelola TNGL membebaskan pemandu dari kewajiban
membayar SIMAKSI. 11 Fasilitas lain yang diperoleh pengunjung dengan membayar Rp 20.000 itu adalah mereka tidak dipungut biaya ketika menyeberangi sungai Bahorok yang lebarnya sekitar 6 meter dengan menggunakan sampan milik TNGL. Waktu penyeberangan sesuai dengan waktu pemberian makan Orang Utan tersebut. 12 Biaya ini hanya berlaku dalam sehari, tetapi dapat digunakan untuk melihat kegiatan pemberian makan Orang Utan kemudian melanjutkan aktivitasnya menelusuri kawasan TNGL.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
16
Pengelola TNGL mendukung kegiatan pariwisata ini sepanjang semua pihak tidak merusak
keseimbangan ekologi yang ada di dalamnya. Guna memudahkan para wisatawan menelusuri
TNGL, pengelola TNGL sudah membuat jalan setapak (tracking) dalam kawasan TNGL yang
panjangnya mencapai 10 kilometer. Jalan setapak inilah yang biasanya ditelusuri oleh para
wisatawan dengan berjalan kaki. Dengan medan yang berat, panjang jalan setapak yang
dibangun oleh TNGL tersebut tidak mampu dijalani dalam satu hari.
Tidak jauh dari kawasan TNGL, terdapat pula bumi perkemahan TNGL. Bumi perkemahan
ini awalnya dikelola oleh Balai TNGL, tetapi belakangan ini bumi perkemahan itu
dikontrakkan ke pihak swasta untuk dikelola. Namun, bumi perkemahan yang dikelola oleh
swasta ini tidak justru lebih bagus karena laporan keuangan ke Balai TNGL selalu mengalami
kerugian. Oleh karena disekeliling bumi perkemahan adalah penginapan, maka aktivitas orang
yang berkemah lebih banyak di kawasan TNGL, misalnya untuk melatih fisik, pengenalan
hutan dan aktivitas lapangan lainnya.
Kendati kawasan TNGL Bukit Lawang difungsikan sebagai daerah wisata, secara umum,
kondisi kawasan TNGL Resort Bukit Lawang relatif terpelihara. Hal itu tampak dari tutupan
hutan yang masih padat. Oleh karena itu, yang menjadi keanehan adalah dengan tutupan
hutan yang masih terpelihara, sungai Bahorok justru mengalami banjir bandang tahun 2003
lalu. Hasil survey oleh tim 11 yang dibentuk Balai TNGL enam belas hari setelah banjir
bandang menemukan bahwa di hulu sungai Bahorok (dalam kawasan TNGL) ditemukan
tempat longsor sebanyak 300 titik.13 Namun, penebangan illegal di TNGL Bukit Lawang
tidak ditemukan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa banjir bandang Bahorok merupakan
murni fenomena alam. Kesimpulan ini juga dibenarkan oleh UML (dikutip oleh Malley,
2004) sebagai salah satu institusi yang turut memelihara kelestarian Kawasan Ekosistem
Leuser.
Kendati banjir bandang telah terjadi di Bukit Lawang dengan faktor penyebab masih
menyimpan misteri, karena hasil survey menyebutkan tidak terjadinya penebangan liar di
kawasan TNGL Resort Bukit Lawang menjadi fenomena menarik. Sebab, jarak pemukiman
13 Dikutip berdasarkan Laporan Tim 11 perihal Peninjauan Langsung Banjir Bandan di Sei Bohorok kepada Kepala Seksi Konservasi Wilayah III di Bukit Lawang, tanggal 17 Nopember 2003. Satu titik tempat longsoran itu terjadi, luasnya mencapai 5 rante atau sekitar 400 meter kuadrat.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
17
penduduk ataupun aktivitas penduduk lainnya sangat berdekatan dengan kawasan TNGL,
akan tetapi kawasan TNGL tidak mengalami kerusakan oleh ulah penduduk setempat. Tidak
terjadinya penebangan liar di kawasan TNGL Bukit Lawang karena kawasan tersebut
berbukit-bukit. Dengan medan yang demikian, para perambah mengalami kesulitan untuk
melakukan aktivitas perambahan. Jalan akses ke kawasan TNGL pun tidak ada, kecuali jalan
setapak yang digunakan sebagai jalan Polisi Kehutanan untuk melakukan patroli. Sebagai
contoh untuk menunjukkan bahwa medan di kawasan TNGL Bukit Lawang relatif sulit;
seseorang yang ingin menelusuri kawasan TNGL tanpa membawa beban sudah mengeluarkan
energi yang sangat besar, apalagi dengan membawa beban seperti kayu.
Aktivitas yang menonjol di Bukit Lawang adalah pariwisata. Ketika banjir bandang belum
terjadi, seluruh sempadan sungai, mulai dari Pusat Rehabilitasi Orang Utan hingga Kantor
Seksi Konservasi Wilayah III TNGL penuh dengan bangunan penduduk, baik yang
difungsikan sebagai hotel ataupun rumah makan. Dengan tingkat kepadatan bangunan yang
begitu tinggi, mengakibatkan permukaan sungai Bahorok yang dilihat dari halaman Kantor
Balai TNGL yang berjarak hanya sekitar 10 meter menjadi tidak tampak.
Secara umum, penduduk di Bukit Lawang pada khususnya dan di Kabupaten Langkat pada
umumnya sangat peduli terhadap kelestarian TNGL. Hal itu terkait dengan dilibatkannya
penduduk untuk memelihara kelestarian kawasan tersebut itu. Oleh karena itu, kendati TNGL
berbatasan dengan perkebunan masyarakat, kondisi TNGL tetap terpelihara. Bahkan, untuk
mencari pilar-pilar pembatas antara TNGL dengan lahan penduduk relatif sulit akibat pilar
yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan yang mengelilinginya.
Kawasan TNGL bagian Bukit Lawang dapat lestari, ada dua alasan yang dapat dikemukakan.
Pertama, daerah TNGL Bukit Lawang merupakan daerah perbukitan sehingga sulit untuk
melakukan penebangan ilegal di tempat tersebut. Untuk mengangkat sebuah balok kayu,
hanya dapat mengandalkan tenaga manusia. Alat-alat berat tidak mungkin menjangkau daerah
yang penuh dengan bukit dan lembah tersebut.
Kedua, TNGL bagian Bukit Lawang adalah komoditi pariwisata yang dijual oleh penduduk
Bukit Lawang kepada wisatawan (terutama manca negara). Sekiranya kawasan TNGL
mengalami kerusakan mengakibatkan wisatawan tidak ada yang berkunjung ke Bukit Lawang
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
18
sehingga yang kehilangan pendapatan adalah penduduk itu sendiri. Menelusuri hutan di
kawasan TNGL dengan suara binatang-binatang yang ada di dalamnya merupakan suatu
keindahan tersendiri. Binatang-binatang penghuni TNGL akan terusik kalau kawasan itu
rusak.
Ketika banjir Bahorok terjadi yang berakibat ditutupnya TNGL terhadap kegiatan pariwisata,
masyarakat yang bermukim di Bukit Lawang dan sekitarnya sangat merasakannya. Tutupnya
TNGL bagi kepariwisataan sama artinya dengan hilangnya pendapatan, mulai dari sektor
penyedia jasa telekomunikasi, transportasi, pemandu, perhotelan dan penginapan, restoran
dan rumah makan, serta para petani. Sebab, pengunjung TNGL yang juga konsumen dari
kegiatan di sektor ekonomi tersebut menjadi tidak ada. Bahkan petani yang tidak
berhubungan langsung dengan wisatawan juga mengalami dampaknya. Selama restoran dan
rumah makan masih buka, petani merupakan pemasok terhadap kebutuhan restoran dan
rumah makan tersebut, seperti sayur-sayuran, ikan air tawar, beras dan jenis-jenis hasil
pertanian lainnya. Ketika TNGL ditutup, penampung dari hasil pertanian pun ikut tutup.
Walaupun demikian, kegiatan pariwisata di TNGL bukan tidak mengakibatkan gangguan
kepada penghuni TNGL. Gangguan itu adalah terjadinya perubahan tingkah laku hewan-
hewan buas yang ada di kawasan TNGL akibat kehadiran manusia. Tidak itu saja, kehidupan
hewan tersebut menjadi terancam kalau tingkah laku hewan tersebut mengganggu manusia
yang melakukan tracking. Sebab, tidak segan-segan hewan tersebut dapat terbunuh oleh para
pemandu guna membela diri dari serangan hewan liar tersebut. Menurut salah seorang
pemandu, dari kalangan Orang Utan sering mengganggu para wisatawan sehingga untuk
menyelamatkan diri, Orang Utan tersebut sering mendapat perlakuan buruk dari pemandu.
Selain itu, para wisatawan sering menginap satu sampai dua malam di dalam hutan. Pemandu
dibantu oleh asisten pemandu mempersiapkan konsumsi wisatawan yang dipandunya. Asisten
pemandu ini biasanya menyusul pemandu dan wisatawan dengan kebutuhan konsumsi untuk
mereka makan bersama-sama. Kalau wisatawan dibawa pemandu menelusuri hutan, asisten
pemandu menyusul lewat sungai, dan mereka bertemu di hulu sungai yang sudah disepakati.
Di hulu sungai inilah mereka memasak makanan dan beristirahat. Hal ini juga akan
mengakibatkan gangguan terhadap penghuni kawasan, baik gangguan dari asap pembakaran,
pembungkus makanan yang dibuang begitu saja.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
19
Sebelum banjir bandang terjadi, wisatawan manca negara yang berkunjung ke TNGL Bukit
Lawang rata-rata setiap bulan adalah sebagai berikut; 700 orang (2001), 570 orang (2002),
dan 300 orang (hingga Nopember 2003).14 Sementara pengunjung domestik yang membludak
terjadi setiap tanggal 17 Agustus. Jalan setapak dari Kantor Kepala Resort Bukit Lawang
yang berada di Pusat rehabilitasi Orang Utan sampai ke Kantor Kepala Seksi Konservasi
Wilayah III Bukit Lawang yang jaraknya sekitar 1 kilometer harus ditempuh dalam waktu 1
sampai 1.5 jam akibat berjubelnya pengunjung TNGL.
Usaha memelihara pelestarian TNGL juga diperlihatkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
Langkat. Hal itu dapat ditelusuri dengan dikeluarkannya SK Bupati Langkat No. 071-
673/SK/Tahun 1998 tentang Pembentukan Panitia Sosialisasi Komitmen Tokoh Masyarakat
dan Adat terhadap Ekosistem Leuser. Kemudian, agar diperoleh kepastian batas KEL
termasuk di dalamnya TNGL, Bupati Langkat juga mengeluarkan Surat Keputusan No. 660.1-
512/PDL-LKT/SK/2001 tentang Pembentukan Tim Teknis Pembantu Penetapan Tanda Batas
Kawasan Ekosistem Leuser Kabupaten Langkat.
Selain itu, lembaga adat juga diaktifkan agar berperan serta melestarikan kawasan KEL dan
TNGL15. Pada tanggal 28 Juli 2003, Pengetua Masyarakat Hukum Adat Kejuruan Bohorok-
Langkat telah mengadakan Musyawarah Adat untuk Mewujudkan Peraturan Desa/Hukum
Adat, yang selama ini belum ada. Hasyim (2003) dalam makalahnya menyebutkan;
masyarakat adat khususnya di Kabupaten Langkat sangat memperhatikan lingkungan alam
dan pemeliharaan hutan. Hutan dirambah jika memang sangat diperlukan, misalnya membuat
pancang perladangan, membuat sampan dan ramuan obat-obatan.16
14 Data ini merupakan hasil wawancara dengan pegawai administrasi di Balai TNGL Seksi Konservasi Wilayah III Bukit Lawang. 15 Tokoh Agama pun dilibatkan dalam upaya melestarikan ekosistem Leuser. Misalnya Kalimantan mengutip ayat-ayat suci untuk meletakkan hubungan manusia dengan lingkungannya, dan bagaimana manusia memperlakukan alam lingkungan ciptaan Allah itu. Bahasan selanjutnya lihat Kalimantan (1998), Fungsi Khatib dalam Melestarikan Ekosistem Leuser. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Komitmen Tokoh Ulama, Masyarakat dan Tokoh Adat terhadap Kawasan Ekosistem Leuser, yang diadakan oleh Badan Perencanaan Pembangunana Daerah Tingkat II Langkat. 16 Hal senada terdapat juga pada adat istiadat Orang Aceh tentang pelestarian lingkungan (hutan). Bahasan selanjutnya lihat makalah Nyak Pha (1997), Penataan Sumber Daya Alam dan Ekosistem Leuser dari Sisi Adat dan Budaya. Makalah disampaikan pada Muzakarah Istimewa Mejelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh di Banda Aceh, dengan tema: Pelestarian Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Ekosistem Leuser bagi Kesejahteraan Manusia, 12-13 Agustus 1997.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
20
Usaha untuk mengganggu ekosistem kawasan TNGL Bukit Lawang oleh para pemilik modal
sudah dimulai tahun 1960. Pada waktu itu, pemilik modal menginginkan agar pabrik semen
(PT. Semen Langkat Sumatera) yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kawasan TNGL
dibangun. Namun akses jalan yang hendak dibangun oleh pemilik pabrik membelah kawasan
TNGL sepanjang 2 kilometer. Niat itu belum bisa diwujudkan sampai 2004 ketika penulis
berada di sana, kendati tahun 1990 dan 1997, usaha membangun pabrik kembali
dimunculkan, tetapi tenggelam dengan sendirinya. Bahkan pada tahun 1997 itu, usaha
pembebasan lahan sudah mencapai 220 hektar. Namun, karena ada larangan dari Menteri
Lingkungan Hidup bahwa pembangunan pabrik semen di dekat kawasan TNGL, terlebih
akses ke pabrik harus melalui TNGL akan merusak ekosistem. Oleh karena itu, pabrik semen
yang rencananya berlokasi di Desa Batu Jong Jong tidak pernah terwujud, walaupun ada
kelompok masyarakat yang menginginkan pabrik semen tersebut dibangun guna
meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitarnya.
Penutup Kondisi umum kawasan TNGL sudah mengalami kerusakan. Hal itu akibat maraknya
pencurian kayu dan perambahan. Salah satu faktor yang membuat tingginya aktifitas
pencurian kayu di kawasan TNGL adalah terbukanya jalan raya yang menghubungkan
Kutacane dan Blangkenjeran. Jalan tersebut menjadi akses yang mempermudah terjadinya
kegiatan pencurian kayu. Aktifitas pencurian kayu itu semakin terkondisikan dengan kecilnya
jumlah aparat yang disediakan oleh pemerintah untuk mengawasi kawasan TNGL yang begitu
luas.
Aktifitas pengrusakan itu tidak saja terjadi di TNGL bagian NAD, juga bagian Sumut.
Perbedaanya hanya pada tujuan dari pengrusakan itu. Kalau di bagian NAD, pengrusakan
kawasan sekedar kegiatan pencurian kayu (illegal loging), sedangkan di bagian Sumut
pengrusakan mengarah pada perambahan kawasan untuk dijadikan lahan perkebunan. Aktor
yang melakukan pengrusakan itu berasal dari berbagai kalangan, seperti masyarakat lokal,
koperasi, yayasan dan perusahaan perkebunan.
Berbeda dari kondisi kerusakan yang terjadi di berbagai tempat di kawasan TNGL berada di
kawasan TNGL Bukit Lawang. Usaha pengrusakan di TNGL Bukit Lawang yang disengaja,
baik melalui pencurian kayu dan perambahan relatif tidak ada. Kecenderungan itu disebabkan
TNGL Bukit Lawang menjadi daerah pariwisata yang dapat memberikan manfaat ekonomi
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
21
langsung bagi penduduk sekitarnya. Oleh karena itu, kelestarian TNGL Bukit Lawang sangat
dipedulikan oleh masyarakat sekitarnya. Seluruh elemen masyarakat merasa ikut bertanggung
jawab terhadap kelestarian TNGL, baik itu petani dan pengelola obyek wisata. Bagi mereka
yang bergerak di bidang pariwisata, kawasan TNGL-lah yang justru dijual kepada wisatawan
mancanegara.
Kegiatan pariwisata di Bukit Lawang berkait dengan sektor-sektor lain. Misalnya, obyek
wisata Bukit Lawang yang didatangi oleh pengunjung telah menghidupkan usaha
perdagangan dan angkutan serta jasa lainnya. Rumah-rumah makan pun menjadi ramai
dengan pembeli. Untuk mengisi kebutuhan rumah makan-rumah makan tersebut, hasil
pertanian dibeli dari petani. Oleh sebab itu, ketika obyek wisata itu ditutup selama beberapa
bulan setelah peristiwa banjir bandang, hasil pertanian petani seperti sayur-sayuran, buah-
buahan dan tanaman palawija lainnya tidak terjual.
Kendati demikian, usaha pelestarian TNGL tidak semata-mata karena TNGL Bukit Lawang
sebagai obyek wisata. Sebab, tidak semua penduduk Bukit Lawang terlibat dalam kegiatan
pariwisata tersebut. Penduduk Desa perkebunan Bukit Lawang lebih banyak bekerja di
perusahaan perkebunan. Namun yang menjadi pertimbangan adalah Nilai Ekonomi
Keseluruhan dari TNGL bagian Bukit Lawang sudah mulai disadari oleh masyarakat sekitar
TNGL itu. Kalau hulu sungai Bahorok yang berada di kawasan TNGL rusak mengakibatkan
sumber air menjadi kering. Hal itu akan menjadi bencana bagi petani dan berakibat pada
Daerah Aliran Sungai lainnya.
Selain digunakan sebagai obyek wisata, faktor lain yang mengakibatkan perambahan dan
pencurian kayu di Bukit Lawang tidak terjadi adalah karena medan di kawasan TNGL Bukit
Lawang berbukit-bukit dan permukaan yang curam. Topografi yang demikian sangat
menyulitkan oknum-oknum yang mencoba merusak TNGL. Topografi yang demikian itu
tidak dapat dilintasi oleh peralatan-peralatan berat ataupun hewan.
Usaha pelestarian hutan di TNGL juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan elemen-
elemen masyarakat yang berkepentingan dengan kelestarian TNGL. Para tokoh masyarakat
mencoba menghidupkan kembali hukum-hukum adat yang ada kaitannya dengan usaha
pelestarian hutan. Bahkan, salah satu desa sudah menindaklanjuti pelaksanaan hukum adat ini
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
22
dengan membuat peraturan desa untuk disosialisasikan kepada warga desa tentang manfaat
pelestarian hutan, berikut dengan sanksi-sanksi terhadap mereka yang mengabaikan
(melanggar) peraturan desa tersebut. Pihak LSM pun turut berpartisipasi melestarikan
kawasan TNGL Bukit Lawang dengan ikut memberikan penyuluhan-penyuluhan agar
masyarakat tidak beraktivitas dalam kawasan TNGL, dan mereka yang sudah melakukan
aktivitas memberikan penyadaran agar aktivitas itu tidak dilanjutkan. Pihak LSM tidak hanya
sekedar memberikan penyuluhan tetapi juga memberikan pelatihan-pelatihan ketrampilan dan
bantuan fisik lainnya agar pendapatan masyarakat yang berbatasan dengan TNGL meningkat.
Diharapkan melalui usaha itu, masyarakat tersebut tidak lagi berniat untuk merusak melalui
pencurian kayu ataupun perambahan di kawasan TNGL.
Referensi Bangun, Payung
1993 Kebudayaan Batak. Dalam Koentjaraningrat (penyunting), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan.
Beukering, Pieter van, H. Cesar Tt Nilai Ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser di Sumatera (Ringkasan). Dalam Unit
Manajemen Leuser, Sekilas Tentang Kawasan Ekosistem Leuser. Medan. Unit Manajemen Leuser.
BPS 2002 Kecamatan Bahorok dalam Angka. Langkat. BPS Kabupaten Langkat bekerja sama
dengan Bappeda Kabupaten Langkat.
2000 Karakteristik Penduduk Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, Hasil Sensus Penduduk 2000. Stabat. BPS Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.
Dephut 1995 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser 1995-2020 (Buku-I).
Kutacane. Dephut. Dirjend. Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Taman Nasional Gunung Leuser.
Deptan 1981 Rencana Karya Taman Nasional Lima Tahun I 1980-1985: Taman Nasional
Gunung Leuser. Jakarta. Deptan. Dirjen. Kehutanan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.
Hasyim, T. Alfit 2003 Hutan dan Masyarakat Adat Wilayah Kejeruan Bohorok dalam Upaya Pelestarian
Kawasan Ekosistem Leuser. Disampaikan dalam Musyawarah Adat untuk Mewujudkan Peraturan desa/Hukum Adat pada tanggal 28 Juli 2003.
4th International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA — 12–15 July 2005 — Depok
23
Kalimantan, H. Anwar Luthfi 1998 Fungsi Khatib dalam Melestarikan Ekosistem Leuser. Makalah disampaikan
Sosialisasi Komitmen Tokoh Ulama, Masyarakat dan Tokoh Adat terhadap Kawasan Ekosistem Leuser, yang diadakan oleh Badan Perencanaan Pembangunana Daerah Tingkat II Langkat.
Kompas 2002 “Hutan, "Ibu Kehidupan" yang Terpinggirkan”, dalam Kompas, Senin 3 Juni 2002.
Malley, Fachrurrazi "Rajidt" Ch. 2004 “Katastrofa Banjir Bahorok dan Persekongkolan Mengelabui Publik", dalam Intip
Hutan (Media Informasi Seputar Hutan Indonesia), Juni 2004.
Nasution, Muslimin 1999 “Hutan dan Persoalan Tanah Ulayat”, dalam http://hppmm.trip.com/wacana2.html.
(Diambil tanggal 21/05/2004).
Nyak Pha, Muhammad Hakim 1997 Penataan Sumber Daya Alam dan Ekosistem Leuser dari Sisi Adat dan Budaya.
Makalah disampaikan pada Muzakarah Istimewa Mejelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh di Banda Aceh, dengan tema: Pelestarian Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Ekosistem Leuser bagi Kesejahteraan Manusia, 12-13 Agustus 1997
Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan 1987 Buku Informasi Taman Nasional Indonesia. Jakarta. Persatuan Peminat dan Ahli
Kehutanan.
Sumardja, Effendy A. 1997 Keterkaitan Taman Nasional dengan Industri Berwawasan Lingkungan. Makalah
disampaikan pada Seminar dan Interkonperensi PSL Sumbagut tanggal 22-23 Agustus 1997 di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Susmianto, Adi 2001 Permasalahan Taman Nasional Gunung Leuser di Wilayah Sumatera Utara.
Kutacane. Balai Taman Nasional Gunung Leuser.
Unit Manajemen Leuser Sekilas tentang Kawasan Ekosistem Leuser. Medan. Unit Manajemen Leuser.
Widiyanti, Dian 2001 Data Base Taman Nasional Indonesia. Jakarta. KONPHALINDO.