takhrij dan pemahaman hadis a. pengertian hadisdigilib.uinsby.ac.id/1394/5/bab 2.pdf · 30 yang...
TRANSCRIPT
28
BAB II
TAKHRIJ DAN PEMAHAMAN HADIS
A. Pengertian Hadis
Secara bahasa kata hadis (al-H}adi>th) berarti baru yaitu األشیاءمنالحدیث
(sesuatu yang baru), bentuk jamak hadis dengan makna ini h}idath, h}udatha>’ dan
h}uduth, dan lawan katanya Qadi>m (sesuatu yang lama).27Selain bermakna baru
kata al-Hadis juga mengandung arti dekat (القریب ), yaitu sesuatu yang dekat yang
belum lama terjadi28. Dan juga bermakna berita (الخبر) yang sama dengan h}iddi>th
yaitu وینقل بھ یحدث ما (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada yang lain).29
Disamping itu dalam al-Quran juga berarti al-Quran itu sendiri
sebagaimana dalam ayat berikut:
30
Artinya: Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karenabersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepadaketerangan ini (Al-Quran).
Menurut ‘Ajja>j al-Khat}i>b kata hadis dalam al-Quran dalam ayat diatas
selain berarti al-Quran itu sendiri juga berarti menyampaikan31, seperti dalam
ayat berikut:
27 Muhammad al-S{abba>gh, al-H{adi>th al-Nabawi >, (Riya>dh:al-Maktab al-Isla>mi>, 1972M/1392H),h.1328 Muhammad Mah}fu>dh bin ‘Abd Allah al-Tirmidhi>, Manha>j Dhawi> al-Nad}ar, (Bairu>t: Da>r al-Fikr,1974), h.829 Muhammad al-S{abba>gh, al-H{adi>th, h.1330 Q.S. al-Kahfi> :6
29
32واما بنعمة ربك فحدث
Adapun berkenaan dengan nikmat dari Tuhanmu, maka hendaklah kamumenyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Yang dimaksud dengan kalimat fah}addith dalam ayat tersebut adalah
maka sampaikanlah apa yang telah kamu diutus untuknya.33 Di kalangan ahli
hadis, hadis merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya digunakan
sebagai istilah atas segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah setelah
diutus menjadi Nabi.34Sebagian ulama berpendapat bawa hadis hanya terbatas
ucapan dan perbuatan Nabi saja, sedang persetujuan dan sifat-sifatnya tidak
termasuk hadis karena keduanya merupakan ucapan dan perbuatan sahabat.35
Berbeda dengan ulama hadis, para ulama us}u>l fiqh berpendapat bahwa
hadis lebih khusus daripada sunnah karena hadis menurut mereka adalah sunnah
qauliyah.36
B. Macam-macam hadis
1. Macam-macam hadis berdasarkan jumlah perawinya
Berdasarkan jumlah perawi yang menerima riwayat, maka hadis dibagi
menjadi tiga macam:
a. Al-Hadis al-Mutawa>tir
31 Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th ulu>muh wa mus}t}alahuh, (Bairu>t: Da>r al-Fikr,1998), h.2732 Q.S.al-Dhuh}a>: 1133 Ibid,......, h.1934 Ibid........h.,2035 Nas}r Abu> ‘At}a>ya>, kitab Majmu>’ah Rasa>il fi> ‘ulu>m al-h}adi>th,,(Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,1993),h.836 Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H{adi>th,h. 27
30
Yang dimaksud dengan al-Hadis al-Mutawa>tir adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi (yang menurut adat mustahil untuk sepakat
berbohong) dari perawi yang sejumlah itu pula dari awal al-Sanad sampai akhir.37
Kehujjahan hadis macam ini adalah qat}’iy al-Thubu>t sehingga wajib unuk
diamalkan dan orang yang mengingkari hadis macam ini dihukumi kafir.
Al-Hadis al-Mutawa>tir dibagi menjadi dua : al-Hadis al-Mutawa>tir lafziy
dan. al-Hadis al-Mutawa>tir lafziy adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal
yang sama oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi lainnya (yang tidak
dicurigai sepakat untuk berbohong) dari awal sampai akhir sanad.38
Sedangkan al-Hadis al-Mutawa>tir Ma’nawiy adalah hadis yang
diriwayatkan dengan makna yang sama namun lafalnya berbeda oleh sejumlah
perawi dari sejumlah perawi lainnya (yang tidak dicurigai sepakat untuk
berbohong) dari awal sampai akhir sanad.39
b. Al-H{adi>th al-Mashhu>r
Menurut ulama us}u>l al-Hadis al-Mashhu>r adalah hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat yang jumlahnya tidak mencapai derajat tawa>tur kemudian
diriwayatkan setelah sahabat dengan jumlah tawa>tur.40
c. Khabar al-A<h}a>d
37 Ibid,19738 ‘Ajja>j Al-Khat}i>b, Us}u>l…, h.197, llihat juga Tadri>b al-Ra>wiy, h. 371, al-Mustas}fa>, juz 2, h. 20,Muqaddimah Ibn S{ala>h }, h. 10939 Ibid40 Sharh} Nukhbah, h. 5, Us}u>l al-H{adi>th, h. 360
31
Khabar al-A<h}a>d adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau
lebih namun tidak mencapai jumlah tawa>tur maupun mashhu>r.41
Hukum hadis ini adalah wajib diamalkan selama hadisnya telah
memenuhi syarat diterimanya.
Namun perlu diperhatikan bahwa ada sebagian ulama yang menilai hadis
mashhu>r termasuk dalam kategori khabar al-A<h}a>d, sehingga berdasarkan kategori
jumlah perawinya maka hadis dibagi menjadi dua macam yaitu mutawa>tir dan
a>h}a>d.
2. Macam-macam hadis berdasarkan al-Qabu>l (diterima) dan al-
Radd (ditolak)42
Jika dilihat dari dasar pembagiannya memang selayaknya hadis
berdasarkan al-Qabu>l (diterima) dan al-Radd (ditolak) dibagi menjadi dua macam
saja yaitu hadis maqbu>l dan hadis mardu>d. Namun para Muhaddithu>n
membaginya menjadi hadis S{ah}i>h }, hadis H{asan dan hadis D{a’i>f. Pembagian ini
menunjukkan kejelian para muh}addithu>n dalam memilah-milah hadis.
Namun yang perlu diperhatikan disini bahwa masih ada jenis-jenis hadis
seperti al-Musnad dan al-Muttas}il yang dapat masuk dalam kategori s}a}h}i>h },
h}asan dan d{a’i>f sekaligus. Karena itu macam hadis ini akan diklasifikasikan
dalam jenis tersendiri.
41 Us}u>l al-H}adi>th, h.198 . al-Mustas}fa>, juz 1, h.9942 Us}u>l al-H{adi>th, h. 198-199
32
1.Al-Hadis al-S{ah}i>h }
Al-Hadis al-S{ah}i>h adalah hadis yang sanadnya bersambung dari awal hingga
akhir yang diriwayatkan oleh perawi yang ‘a>dil dan d}a>bit } tanpa shudhu>dh
maupun ‘illat43
Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa hadis s}ah}i>h}
memiliki beberapa syarat sebagai berikut:
1. sanad yang bersambung
2. seluruh perawinya ‘a>dil
3. seluruh perawinya d}a>bit }
4. yang diriwayatkan tidak boleh sha>dh (janggal)
5. yang diriwayatkan tidak boleh mengandung ‘illat ( cacat)44
Hadis s}ah}i>h} dibagi menjadi dua macam sebagai berikut:
1. Al-S{ah}i>h} lidha>tih yaitu hadis yang benar-benar memenuhi syarat-syarat
yang telah disebutkan diatas
2. Al-S{ah}i>h} lighairih yaitu hadis yang menjadi s}ah}i>h} karena factor eksternal.
Maksudnya hadis ini belum memenuhi syarat-syarat yang telah
disebutkan seperti perawinya kurang d}a>bit } namun terdapat hadis lain
yang serupa yang mendukung hadis ini sehingga dapat dikategorikan
sebagai hadis s}ah}i>h}
2.Al-Hadis al-H{asan45
43 Tadri>b al-Ra>wi >,2244 Us}u>l al-H{adi>th, h.200, Tadri>b al-Rawiy, h.22
33
Al-Hadis al-S{ah}i>h adalah hadis yang telah memenuhi syarat-syarat hadis
s}ah}i>h} namun sebagian perawinya atau bahkan seluruh perawinya kurang d}a>bit}
dibandingkan perawi hadis s}ah}i>h} atau dengan kalimat sederhananya hadis yang
sanadnya bersambung yang perawinya ‘a>dil namun kurang d}a>bit} dan yang
diriwayatkan tidak mengandung kejanggalan maupun cacat.
Hadis h}asan juga dibagi menjadi dua macam:46
1. H{asan lidha>tih yaitu hadis yang memenuhi syarat-ayarat hadis hasan
2. H{asan lighairih yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat perawi mastu>r
yang belum diketahui kemampuannya namun bukan orang yang sering lupa
maupun salah dalam meriwayatkan hadis dan juga tidak dicurigai berbohong
dalam berkata maupun sebab-sebab lainnya yang menjadikannya fasiq dan
hadis yang diriwayatkan memiliki sha>hid maupun muta>bi’ dari perawi lain
yang mu’tabar (kompeten). Jadi dengan singkatnya hadis h}asan lighairih
adalah hadis yang menjadi hasan karena factor eksternal47
Hadis hasan dengan kedua macamnya dapat digunakan sebagai hujjah
sebagaimana hadis s}ah}i>h} sehingga dapat diamalkan meskipun tidak sekuat hadis
s}ah}i>h}. Karena itu ada sebagian ulama seperti Al-H{a>kim, Ibn H{ibba>n dan Ibn
45 Us}u>l al-H{adi>th, h.21846 Ibid, h. 219, lihat juga Tadri>b al-Ra>wiy, h.89 . Muqaddimah Ibn S{ala>h}, h.13 . Sharh} Nukhbah,h.1147 Us}u>l al-H{adi>th, h.219
34
Khuzaimah memasukkan hadis macam ini dalam kategori hadis s}ah}i>h} meskipun
mereka juga tidak menampik bahwa hadis macam ini tidak sekuat hadis s}ah}i>h}.48
3.Al-Hadis al-D{a’i>f
Al-Hadis al-D{a’i>f menurut kebanyakan ulama adalah hadis yang tidak
memenuhi syarat hadis s}ah}i>h } maun h}asan.49
Hadis d}a’i>f memiliki banyak macam namun dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya menjadi dua macam:
a.Hadis-hadis d}a’i>f karena sanadnya tidak bersambung:
1. Al-Mu’allaq secara bahasa bentuk maf’ul dari علق الشيء بالشيء artinya
mengikat sesuatu dengan yang lainnya, sedangkan menurut ahli hadis mu’allaq
adalah hadis yang rawinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya
secara berturut-turut50.
Hukum hadis mu’allaq pada prinsipnya dikelompokkan kepada hadis d}a’i>f
yang ditolak karena adanya sanad yang digugurkan. Akan tetapi jika sanad hadis
yang digugurkan tersebut disebutkan oleh hadis yang bersanad lain maka hadis
mu’allaq tersebut dapat dianggap sahih .51
48 Tadri>b alRa>wiy, h.91. Us}u>l al-H{adi>th, h.21949 Tadri>b alRa>wiy h.117. Us}u>l al-H{adi>th, h.222 . Muqaddimah Ibn S{ala>h }, h.2050 Ushu>l al-H{adi>th....., h.35751 Ibn S{ala>h, Muqaddimah......, h.167
35
2. Al-Mursal yakni hadis yang diriwayatkan seorang tabi’in langsung dari
Rasulullah SAW (gugur pada sanad terakhir (sahabat)).52
3. Al-Mu’dhal, secara bahasa berasal dari kata a’dalahu yang berarti
memayahkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis yaitu hadis yang mata rantai
sanadnya gugur dua orang atau lebih di satu tempat, baik pada awal sanad
maupun di akhir sanad.53
4. Al-Munqati’ , secara bahasa artinya memutus, sedangkan menurut ahli hadis
yaitu hadis yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, pada sanadnya
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenalnya.54
Dilihat dari persambungan sanadnya hadis ini merupakan hadis dha’i>f
yang tidak dapat dijadikan hujjah. Karena dengan gugurnya salah satu rawinya
menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat hadis s}ah}i>h }. Berbeda dengan
hadis mu’d}al gugurnya dua perawi pada hadis ini terjadi secara terpisah serta
tidak terjadi pada tabaqat pertama. Sedangkan pada hadis mu’d}al terjadi secara
berurutan di mana saja.55
6. Al-Mudallas menurut bahasa adalah isim maf’ul dari tadli>s yang berarti
menyembunyikan cacat atau noda barang dagangannya dari pembeli.
Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang terdapat cacat perawi yang
52 Ushu>l al-H{adi>th....., h.337-33853 Nu>r al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd....h.27854 Ushu>l al-H{adi>th....h.33955 Ibn Hajar, Sharh al-Nukhbah...h., 36-38
36
disembunyikan tanpa dijelaskan.56 Ibn S{ala>h} membagi hadis ini menjadi dua
macam :
a. tadli>s al-Isnad yaitu periwayatan hadis dari orang yang belum pernah
ditemui dan didasari pendengaran dari orang lain.
b. Tadli>s al-shuyu>kh yaitu memberi nama, gelar penyandaran sifat
kepada gurunya yang tidak dikenal oleh kalangan ahli hadis.57
b.Hadis-hadis yang d}a’i>f karena hilangnya syarat keadilan
1. Al-Matru>k,yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh
berdusta(terhadap hadis yang diriwayatkannya), atau nampak kefasikannya, baik
perbuatannya atau perkataannya atau yang banyak lupa atau banyak ragu.58
2.Al-Munkar, yaitu hadis yang dalam sanadnya trdapat rawi yang sangat lemah
dan menyalahi riwayat perawi yang lebih kuat atau hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang banyak melakukan kesalahan, sangat lemah hafalannya atau jelas
kefasikannya.59
3.Al-Mud}a’af yaitu hadis yang dinilai oleh sebagian ahli hadis sebagai hadis da’i>f
dan dinilai sebagian lainnya sebagai hadis yang kuat baik dari segi sanad maupun
matannya.60
4. al-Maud}u>’ yaitu hadis yang diada-adakan dan dibuat-buat.61
56 Ibn S{ala>h, Muqaddimah......,h.7957 Jala>l al-Di>n al-Suyut}i,Tadri>b al-Ra>wi.....,22458 Ibn Hajar, Sharh al-Nukhbah....,19-2159 M.Ajjaj al-Khat}ib, ushul>l al-H{adi>th.....,11760Jala>l al-Di>n al-Suyut}i,Tadri>b al-Ra>wi.....,213
37
3. Karena daya hafalan perawi lemah
a. al-Mudraj , yaitu hadis yang menampilkan tambahan redaksi bukan hadis baik
dalam sanadnya maupun matannya tanpa penjelasan sehingga dianggap
seluruhnya hadis.62
b. Al-Maqlu>b, yaitu hadis yang redaksi matannya tertukar oleh salah seorang
perawi atau seseorang pada sanadnya. Kemudian didahulukan dalam
penyebutannya, yang seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkan
penyebutan yang seharusnya didahulukan atau diletakkan di tempat yang lain.63
c. Al-Mud}t}arib,yaitu hadis yang diriwayatkan dalam beberapa jalur sanad atau
matan yang berlawanan, sama kuatnya dan mustahil di-tarjih atau di-nasakh
salah satunya atau dikompromikan.64
d. Al-Mus}ahhaf dan al-Muh}arraf, yaitu hadis yang mengalami pegantian baik
dalam titik atau harakat dengan tetapnya huruf dalam sanad maupun matan.65
4.Karena ada kerancuan
a. al-Sha>dh, yaitu hadis yang diriwayatkan orang yang maqbul akan tetapi
bertentsngsn dengan riwayat orang yang lebih kuat.66
5.Karena adanya ‘illat
61 Nu>r al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd.....,30162 Ibn Hajar, Sharh al-Nukhbah....,h.4363 Jala>l al-Di>n al-Suyut}i,Tadri>b al-Ra>wi.....,h.29164 M.Ajjaj al-Khat}ib, ushul>l al-H{adi>th.....,h.34465 Ibn Hajar, Sharh al-Nukhbah....,h.5366 Ibd.,h,31
38
a. al-Mu’allal, yaitu hadis yang diketahui ada ‘illatnya setelah dilakukan
penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.67
C. Pengertian Takhri>j al-Hadis
Secara etimologis, kata takhri>j, berasal dari kata kharaja,mendapat
tambahan tashdi>d/siddah pada ra (‘ain fi’il) menjadi kharraja yukharriju takhri>jan
yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan
menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak jelas atau sesuatu
yang tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Penampakkan disini tidak
mesti berbentuk fisik yang kongkrit, tetapi mencakup non fisik yang hanya
memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhra>j yang diartikan
istinba>t} yang berarti mengeluarkan hukum dari nash atau teks Al-Qur’a>n dan
hadis.68
Adapun secara terminologis, takhri>j adalah menunjukkan tempat hadis
pada sumber-sumber aslinya, dimana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap
dengan sanadnya kemudian menjelaskan dengan derajatnya jika diperlukan.69
Takhrij menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis mempunyai
beberapa arti, yakni:
1) Mengemukakan kepada orang banyak dengan menyebut
periwayatnya dengan sanad lengkap serta dengan penyebutan metode yang
mereka tempuh.
67Tadri>b al-Ra>wi.....,h.32168Abdul Majid Khon, Ulu>m al-Hadi>th (Jakarta : Amzah Press, 2010), h.115.69 Mahmud Tahha>n, Taisi>r Must}alah} H}adi>th (Bairu>t :Da>r Al-Qur’a>n Kari>m, 1979), h.14.
39
2) Ulama hadis mengemukakan berbagai macam hadis yang telah
dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang
susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau gurunya, atau
temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab, atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3) Menunjukan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya
langsung(yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan.
4) Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai
sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode
periwayatnnya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para
periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5) Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber
yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian, untuk kepentingan
penelitian dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan. 70
D. Pentingnya Kegiatan Takhri>j al-H{adi>th
Ilmu Takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang penting untuk
dipelajari dan dikuasai, karena di dalamya dibicarakan berbagai kaidah untuk
mengetahui dari sumber hadis itu berasal. Ada beberapa hal yang menyebabkan
70 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 2007), hal. 39-40.
40
kegiatan hadis itu penting untuk dilaksanakan terutama dalam kaitannya dengan
penelitian hadis, diantaranya sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Jika
suatu hadis tidak diketahui asal-usulnya, maka hadis tersebut sulit untuk diteliti
status dan kualitasnya. Dengan demikian sanad dan matn hadis tersebut sulit
diketahui sumber pengambilannya. Justru itu perlu dilakukan kegiatan takhri>j.
2) Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan diteliti. Jika
hadis yang akan diteliti lebih dari satu sanad, maka untuk mengetahui kualitas
sanadnya terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang
bersangkutan untuk itu terlebih dahulu dilakukan kegiatan takhri>j.
3) Untuk mengetahui ada atau tidaknya sha>hid atau muttabi’ pada
sanad yang diteliti. Jika hadis yang diteliti memiliki periwayat lain yang
mendukung sanadnya, maka periwayat pertama pada hadis terseebut (sahabat
nabi) disebut sebagai sh>ahid. Apabila yang mendukung sanadnya bukan pada
periwayat pertama(bukan sahabat), maka periwayat itu disebut muta>bi'. Dalam
penelitian sanad, sh>ahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat
sanad yang diteliti. Begitu pula dengan muta>bi' yang memiliki sanad yang kaut,
maka sanad yang sedang diteliti dapat ditingkatkan kekuatannya jika didukung
dengan muta>bi' tersebut.
4) Untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama tentang ke-
s}ahi>h-an suatu hadis.
41
E. Metode Takhri>j al-H{adi>th
Menelusuri hadis tidak sesulit yang dipikirkan karena hampir sama
dengan menelusuri al-Qur’a>n yang cukup dengan sebuah kamus al-Qur’an.,
misalnya kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fa>zh al-Qur’a>n al-Kari>m yang
disusun oleh Muhammad Fu’ad Abdul Ba>qi. Begitu pula dengan penelusuran
hadis Nabi, peneliti dapat merujuk pada sebuah kitab yang dikarang oleh seorang
orientalis yaitu: al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fa>zh al-Syari>f al-Nabawy. Akan
tetapi dalam kitab itu hanya menghimpun beberapa kitab hadis saja sehingga
tidak semua kitab hadis, baik kitab shahi>h, kitab matn, kitab musnad dan
sebagainya, tercakup dalam kitab tersebut.
Ada beberapa metode atau jalan yang dapat ditempuh dalam men-takhri>j
hadis, yaitu :
1. Melalui pengenalan awal lafaz atau matn hadis (al-takhri>j bi mathla’i al-
h}adi>th), yaitu dengan melihat lafaz pertama dalam matn hadis. Jika
mentakhri>j dengan cara ini peneliti harus tahu betul lafaz pada awal matn
hadis. Kitab-kitab yang menjadi rujukan pada metode ini yaitu;
a) Al-Ja>mi’ al-S{agi>r, karya al-Suyuti.
b) Al-Fath al-Kabi>r fi Dhammi al-Ziya>dah ila> Ja>mi al-S{agi>r, karya al-
Suyuti.
c) Jam’u al-Jawa>mi’/al-Jam’u al-Kabi>r, karya Suyuti
d) Al-Ja>mi al-Azhar min Hadi>th al-Nabi al-Anwar, karya Abdu Rauf
Tajudin al-Muna>wi.
42
e) Hida>yatu al-Ba>ri ila> Tarti>bi Aha>di>th al-Bukha>ri, karya Abdu
Rahi>m al-Tahta>wi
2. Melalui pengenalan lafaz atau kata-kata yang merupakan bagian dari matn
hadis (al-takhri>j bi alfa>zi al-hadi>th). Metode ini dipandang sebagai metode
yang paling mudah, karena peneliti cukup mengambil satu atau lebih dari
matn hadis, dan dapat dengan cepat mendapatkan hadis yang dimaksud.
Kitab yang dijadikan rujukan pada metode ini yaitu al-Mu’jam al-Mufahras
karya Dr. A.J. Wensink, yang disusun berdasarkan huruf abjad.
3. Melalui pengenalan nama perawi pertama baik sahabat atau tabi'in
(al-takhri>j bi wa> sithathi al-rawi a’la). Untuk dapat menelusuri letak hadis ini,
peneliti harus tahu betul nama perawi pertama (akhir al-sanad). Kitab yang
dijadikan rujukan pada metode ini adalah:
a) Kutub al-At}raf (at}ra>f al-s}ahi>hain; karya Abu Mas’ud Ibrahim,
At}ra>f Kutub al-Sitta; karya Syamsudin, al-Ishra>f ala> Ma’rifati al-At}ra>f; karya
Ibnu Asakir).
b) Tuhfatu al-Ashra>f, karya Jamaluddin Abu al-Hajaj al-Sha>fi’i.
c) Al-Naktu al-Z{urra>f ‘ala> al-At}ra>f, karya Ibnu Hajar.
d) Dhakha>iru al-Mawa\>ri>th, karya Abdul Ghani al-Damashq
e) Kutub al-Masani>d, salah satunya adalah Musnad Ibnu Hambal.
4. Melalui pengenalan topik yang terkandung dalam matn hadis (al-
takhri>j bina>an ‘ala> maudlu>’i al-hadi>th). Kitab yang dijadikan rujukan pada
metode ini banyak sekali diantaranya adalah ;
a) Kanzul ‘Umma>l li Hindi
43
b) Bulugu al-Mara>m li Ibni Hajar
c) Al-Tarhi>b wa Targi>b li Mundhiri
d) Fathu al-Qadi>r li Shauka>ni
5. Melalui pengenalan sifat hadis (al-takhri>j ‘ala> sifati za>hirah fi al-
hadit>h), misalnya hadis Qudsi, Mashhu>r, Mursal atau lainnya. Kitab-kitab yang
dijadikan rujukan yaitu;
a) Al-Maqa>sid al-Hasanah li Shakhawi
b) Al-Mara>si>l li Abi Da>wud
c) Al-Ahadi>th Qudsiyah li Lajnah al-Qur’an wa al-Hadi>th71
Dari metode tersebut, metode yang kedua dianggap paling praktis
dalam melakukan takhri>j hadis. Alat yang dipakai dalam metode ini adalah al-
Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>zil al-Hadi>th al-Nabawiyah karya A.J. Wensink,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’a>d Abdul Ba>qi>.
Kitab ini disusun dengan merujuk kepada sembilan kitab hadis induk, yaitu;
1) S{ahi>h al-Bukha>ri
2) S{ahi>h Muslim
3) Sunan Abi Da>wud
4) Sunan al-Tirmidzi
5) Sunan al-Nasa>i>
6) Sunan Ibnu Ma>jah
7) Sunan al-Da>rami>
8) Muawat}a Ma>lik
71Abd. Muhdi Abdul Qadir, Turuqu Takhri>j Hadi>th Rasulillah (Kairo:Da>r I’tis}a>m, 1986), h. 24.
44
9) Musnad Ah}mad bin H{anbal
M. Syuhudi Ismail dalam bukunya (Cara Praktis Mencari Hadis)
mengemukakan; bahwa metode takhri>j hadis ada dua macam, yakni takhri>j al-
hadi>th bi lafzi dan takhri>jul hadi>th bi al- mawdu>’. Berikut ini dijelaskan sepintas
tentang dua macam metode takhri>jul al-hadi>th menurut Syuhudi Ismail:
1) Metode Takhri>j al-Hadi>th bi al-Lafzi
Untuk penelusuran hadis lewat metode ini cukup mengambil sebagian
lafaz dari matn hadis yang akan diteliti baik dalam bentuk fi’il maupun isim,
kemudian mencari lafaz tersebut pada kamus hadis yang menjadi rujukan
metode ini.
Kitab-kitab yang diperlukan untuk metode takhri>j ini, selain kitab
kamus hadis, juga diperlukan kitab-kitab yang menjadi rujukan dari kitab kamus
itu. Kamus hadis yang dimaksud adalah al-Mu’jam al-Mufahras. Penyusunan
hadis dalam kitab ini mulai dari al-af’a>l al-mujarradah berdasarkan huruf al-
mu’jam, kemudian ismu al-fa>’il, ismu al-mafu>l dan seterusnya.Selanjutkan
setelah lafaz-lafaz itu, ada petunjuk bahwa lafaz tersebut ada di kitab-kitab yang
menjadi rujukan kamus ini lengkap dengan petunjuk kitab, juz dan bab, bahkan
halamannya pada hadis yang dimaksud. Sedangkan kitab-kitab hadis yang
menjadi rujukannya adalah Kutub al-Tis’ah.
Kelebihan dari metode ini antara lain ;
- Dapat cepat mendapatkan hasil takhri>j
45
- Dalam kitab Mu’jam al-Mufahras disebutkan hadis-hadis
dimaksud lengkap dengan petunjuk nama kitab, bab, halaman, dan juznya,
memudahkan dalam pencarian hadis.
- Dengan satu lafaz saja dari matn hadis yang dibutuhkan dapat
dengan mudah mengetahui letak hadis yang dimaksud.
Sedangkan kekurangannya adalah kitab Mu’jam al-Mufahras yang
menjadi rujukan metode ini hanya terbatas pada Kutub al-Tis’ah, sehingga jika
hadis yang diteliti tidak ada dalam kutub al-Tis’ah maka akan gagal dalam
mentakhri>j hadis yang dimaksud, sehingga perlu dengan metode lain
Contoh takhri>j hadis, misalnya hadis dari Anas bin Malik :
لنفسهحيبماآلخيهحيبحىتأحدكماليؤمنKalimat yang diambil misalnya حيب , lafal tersebut dikembalikan ke
fi’il al-ma>di mujarrad yaitu حب , huruf h dan ba, ternyata lafal tersebut ada di
Mu’jam al-Mufahras juz pertama halaman 405. Matn hadis tersebut ditemukan di
halaman 407, tertulis dalam halaman tersebut bahwa hadis dimaksud terdapat di
beberapa kitab, antara lain :
a) Sahi>h Muslim, kitab i>man, no hadis 71, 72.
b) Sahi>h al-Bukha>ri, kitab i>man, no. Hadis 7.
c) Sunan al-Tirmidzi, kitab Qiya>mah, no hadis 59.
d) Sunan Nasa>i, kitab i>man, no. Hadis 19
e) Sunan ibnu Ma>jah, Muqadimah no hadis 9
f) Sunan al-Dara>mi,kitab Istidhan, 5
46
g) Musnad Ahmad bin Hambal, juz 1 hal. 89. Juz 3 hal.176,
206,251
2) MetodeTakhri>jul Hadi>th bi al-Maudu’
Metode ini berdasarkan topik permasalahan, misalnya hadis yang akan
diteliti hadis tentang kawin mut'ah. Untuk menelusurinya diperlukan bantuan
kamus hadis yang dapat memberikan keterangan berbagai riwayat tentang topik
terebut.
Kitab-kitab yang diperlukan untuk metode ini adalah kamus Mifta>h
Kunu>z al-Sunnah karya Dr. A.J. Wensink dkk. Kitab itu sebenarnya disusun
dalam versi Inggris oleh A.J. Wensink dkk dengan judul a Handbook of Early
Muhammadan dan diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Fu'ad Abdul Ba>qi>.
Kitab itu menghimpun 14 kitab lainnya, selain yang menjadi rujukan dalam
Mu'jam al-Mufahras li> alfa>dz al-Hadis al-Shari>f al-Nabawy, yang menjadi
rujukan kamus tersebut ditambah lagi dengan kitab Musnad Zaid bin ‘Ali,
Musnad Abu Daud al Tayalisi, Tabaqat Ibn Sa’ad, Sirah Ibn Hisha>m dan Magazi
al Waqidi.72
Kelebihan metode ini adalah jika peneliti tahu topik permasalah dalam
hadisnya, maka dapat langsung membuka pada kitab-kitab yang dijadikan
rujukan metode ini pada bab topik tersebut. Sedangkan kekurangannya adalah
jika peneliti kurang faham atau masih samar akan permasalahan dalam hadisnya
maka akan menemukan kesulitan dalam mentakhrijnya.
72M. Syuhudi Ismail, Metodologi …..h.. 44-47. Lihat juga Abu Muhammad Abdul Muhdi, TuruqTakhrij Hadith …, h. 90
47
Contoh takhri>j hadis pada metode ini, misalnya hadis dari Ab>i Hurairah :
رمحهفـليصل أثره يف له يـنسأ أو ،رزقه له يـبسط أن سره من Hadis tersebut topiknya adalah االرحام (silaturrahmi), terdapat dalam
beberapa kitab;
a) Sahi>h al-Bukha>ri, kitab no. 78, bab no.12.
b) Sahi>h Muslim, kitab no.45 hadis no.16-22.
c) sunan al-Tirmidhi, kitab no.25, bab no.9 dan49.
d) Musnad Ahmad bin Hambal, juz2 hal.189,484. Juz 3
hal.156, 229,247.
Untuk zaman sekarang yang serba modern, dalam mentahri>j hadis lebih
praktis lagi jika menggunakan perangkat komputer melalui bantuan program
Maktabah Shamilah, Kutub al-Tis’ah atau lainnya yang sudah tercakup di
dalamnya semua kitab hadis dan ilmu hadis.
F. Teknik interpretasi (pemahaman) hadis
Perlu dijelaskan bahwa objek yang dapat diinterpretasi dalam pengkajian
hadis adalah matan hadis, meliputi kosa kata (termasuk partikel-partikel atau
huruf), frasa, klausa, dan kalimat.
Teknik interpretasi sebagai cara memahami makna dari ungkapan
verbal yang dapat dipergunakan dalam pengkajian hadis secara tematik adalah
sebagai berikut:
1. Interpretasi tekstual, yaitu interpretasi terhadap matan hadis
berdasarkan teksnya semata dan/atau memperhatikan bentuk dan cakupan mkna.
48
Namun, teknik ini mengabaikan pertimbangan latar belakang peristiwa (wuru>d)
hadis dan dalil-dalil lainnya.
Dasar penggunaan teknik ini adalah bahwa setiap ucapan dan perilaku
Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari konteks kewahyuan73 dan hadis-hadis
beliau menjadi sumber hukum Islam74 .
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi tekstual
adalah pendekatan linguistik (lughawiy) dan teologis (kaidah-kaidah fiqh).
2. Interpretasi intertekstual (munasabah), yaitu interpretasi terhadap
matan dengan memperhatikan hadis lain (tanawwu’) dan/atau ayat-ayat al-
Qur’an yang terkait. Dasar penggunaan teknik ini adalah penegasan bahwa hadis
Nabi adalah baya>n terhadap ayat-ayat al-Qur’an75 dan kedudukan Nabi
Muhammad saw sebagai sumber hadis dengan keragamannya. Pendekatan yang
dapat digunakan untuk teknik interpretasi intertekstual adalah pendekatan
teologi-normatif.
3. Interpretasi kontekstual, yaitu interprestasi terhadap matan hadis
dengan memperhatikan asba>b al-wuru>d al-hadi>th (konteks di masa rasul; pelaku
sejarah, perisiwa sejarah, dsb) dan konteks kekinian (konteks masa kini).
Dasar penggunaan teknik adalah bahwa Nabi Muhammad saw adalah
teladan yang terbaik, uswatun hasanah 76dan beliau sebagai rahmat bagi seluruh
73 Q.S. al-Najm: 3-474 Q.S. al-Hasyr: 775 Q.S. al-Baqarah: 186 dan al-Nahl: 4476 Q.s. al-Ahzab:21
49
alam 77Ini berarti bahwa hadis Nabi bukti kerahmatan beliau, sekalipun beberapa
di antaranya dianggap bertentangan dengan kemajuan zaman.
Sesuai dengan firman Allah :
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dagingbabi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecualiyang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelihuntuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlahkamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telahKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamunikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapaterpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah MahaPengampun lagi Maha Penyayang.78
Agama Islam itu agama yang sempurna, Allah telah melimpahkan karunia
nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama itu, dan Allah rela Islam dijadikan
sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia. Pernyataan Allah itu
memberi petunjuk bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala waktu, dan
tempat, serta untuk semua umat manusia dalam segala ras dan generasinya.79
77 Q.s. al-Anbiya:10778 Q.S. Al-Ma>idah:379 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual telaah Ma’ani al-Hadits tentangAjaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.3
50
Masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki
berbagai kesamaan, juga memiliki berbagai perbedaan dan kekhususan. Perbedaan
dan kekhususan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau mungkin
disebabkan oleh perbedaan tempat.80
Kalau ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat itu
dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan
masyarakat tersebut, maka berarti dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak
terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada juga ajaran yang terikat oleh waktu
dan atau tempat tertentu. Jadi dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal,
temporal maupun local.81
Allah berfirman:
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberiperingatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Berdasarkan ayat tersebut dipahami bahwa Nabi Muhammad membawa
kebajikan dan rahmat bagi seluruh umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
Namun demikian hidup Nabi dibatasi oleh waktu dan tempat. Sehingga hadis
Nabi yang merupakan salah satu sumber utama agama Islam disamping al-Quran
mengandung ajaran yang bersifat universal, temporal dan local.
Selain sebagai Rasulullah Nabi Muhammad juga merupakan manusia
biasa yang memiliki banyak peran dalam kehidupan seperti menjadi kepala
80 Ibid.81 Ibid.
51
Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim82 dan pribadi. Dengan
demikian hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung
petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi
saat hadis itu terjadi.
Karena Nabi Muhammad hidup ditengah-tengah masyarakat, maka
terjadilah komunikasi antara Nabi dan masyarakat baik secara timbal balik
maupun searah saja. Maka tidak jarang Nabi menerima pertanyaan dari
sahabatnya dan di saat yang lain beliau berkomentar atas sesuatu yang terjadi. Dan
adakalanya juga hadis nabi terjadi karena adanya sebab tertentu83 dan ada pula
yang tanpa sebab. Selain itu ada hadis Nabi yang bersifat umum dan adapula yang
bersifat khusus.
Dengan demikian diketahui bahwa ternyata ada matan hadis nabi yang
kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja sehingga tidak
diperlukan pemahaman secara kontekstual. Sedangkan pada matan hadis tertentu
lainnya kandungan petunjuknya diperlukan pemahaman secara kontekstual dan
ada pula beberapa matan hadis Nabi yang dapat dipahami baik secara tekstual
maupun kontekstual sekaligus. Dengan demikian jelaslah bahwa ajaran Islam ada
yang bersifat universal, temporal dan local.
Dalam melakukan pilihan pemahaman yang tepat perlu dicari qari>nah-
qari>nah yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan dilihat dari segi-segi
82 Untuk keterangan lebih lanjut lihat buku karya W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet andStatesman, Oxford University Press, London, 1969.83 Hal ini dalam ilmu hadis dibahas secara khusus dengan istilah ilmu asba>b al-wuru>d al-h}adi>th.Dan ada sebagian ulama yang menghimpun hadis-hadis yang memiliki asba>b wuru>d dalam satukitab seperti Ibrahim ibn Muhammad Ibn Hamzah al-Husaini dalam kitabnya al-Baya>n wa al-Ta’ri>f fi> asba>b uru>d al-H{adi>th al-Shari>f
52
yang berhubungan dengannya. Untuk menetapkan suatu qari>nah, diperlukan
ijtihad yang dilakukan setelah diketahui dengan jelas kualitas sanad hadis tersebut.
Dengan kemungkinan adanya pemahaman secara kontekstual, maka hadis
yang kualitas sanadnya s}ah}i>h} atau hasan tidak dapat serta merta dinilai dha’i>f atau
maudhu>’ karena matan hadis yang bersangkutan tampak tidak sesuai dengan
kaidah kes}ah}i>h }an matan yang digunakan. Namun perlu dilakukan pemahaman
yang sungguh-sungguh agar hadis-hadis yang berkualitas s}ah}i>h} ataupun hasan
terhindar dari penilaian sebagai hadis yang berkualitas dha’i>f.
Keberadaan hadis Nabi yang mengandung petunjuk secara tekstual
maupun kontekstual tidak terlepas dari kebijaksanaan Nabi dalam berdakwah dan
menerapkan ajaran Islam secara bertahap. Kebijakan tersebut megandung
implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan dalam memahami ajaran Islam berdasarkan teks dan konteks sumber
ajarannya. Tidak hanya itu, ilmu pengetahuan juga memegang peranan penting
dalam mengungkap berbagai metode pendekatan yang harus dilakukan dalam
berdakwah dan tahapan-tahapan dalam penerapan ajaran Islam sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian semakin jelas bahwa ajaran Islam merupakan ajaran
yang bersifat universal, sekaligus temporal dan local berdasarkan qari>nah yang
ada.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi kontekstual
adalah pendekatan holistik dan multidisipliner atau beberapa pendekatan,
53
dan/atau pendekatan tertentu bagi disiplin ilmu kontemporer, seperti: pendekatan
historis, sosiologis, antropologis, hermeneutika, semiotik, dan semacamnya.
Dalam rangka memenuhi maksud dan tujuan metode tematik dalam
pengkajian hadis, maka sedapat mungkin ketiga teknik interpretasi diatas
digunakan. Sebab, perbedaan natijah yang diperoleh tidaklah berarti terjadinya
pertentangan tetapi hal itu menunjukkan elastisitas dan bukti kerahmatan hadis
Nabi.