syarat

6
Keywords: Enterotoxaemia, vaccine, transportation, cattle Kata kunci : Enterotoksemia, vaksin, transportasi, sapi 54 PENDAHULUAN Kejadian enterotoksemia pada sapi dam kerbau yang baru ditransportasikan sudah sering dilaporkan (VERMA, 1984; WORRALL et al., 1987 ; NATALIA et al., 1989 ; NATALIA, 1995) . Penyebabnya adalah Clostridium per- fringens tipe A . Diagnosis penyakit belum dapat dilaku- kan di laboratorium-laboratorium daerah, karena biasa- nya penyakit bersifat akut, gejala klinis tidak jelas dam kelainan patologik anatomi sering tidak tampak nyata atau tidak menciri . Diagnosis enterotoksemia harus ber- dasarkan pada isolasi toksin penyebab penyakit yang LILY NATALIA, SUDARISMAN, dan M. DARODJAT- - . Balm Penelitian Veteriner Man R . E Martadinata 30, PO Box 52, Bogor 16114, Indonesia (Diterimn dewan redaksi I S Desemher 1995) ABSTRACT A&STRAK PENCEGAHAN ENTEROTOKSEMIA PADA SAPI YANG DITRANSPORTASIKAN ANTAR PULAU NATALIA . L., SUDARISMAN, and M. DARODJAT. 1996 . Prevention ofenterotoxacmiu in transported cattle . Jurnal ilmu Ternak dam Veteriner 2 ( I) . Fatal enterotoxaemia of transported cattle is frequently reported in Indonesiu . Acute enteritis and fatal enterotoxaemia of cattle and buffaloes in Indonesia are associated with toxigenic Clostridium perfringenr type A. The outbreaks could have been caused by some kinds of stress, such as a possible change in nutrition or management as well as transportation . To reduce mortality rate caused by enterotoxaemia, an effective vaccine against the disease was produced . The vaccine was made in an alum precipitated toxoid form, prepared from Clostridlum perfringens type A toxin, which was then tested for safety in mice and for its capacity in generating high immunity in cattle. The vaccine was then used to immunise transported cattle as an attempt to reduce mortality rate and to observe antibody response of cattle following vaocletdon. The results showed that mortality in vaccinated was lower than in non-vaccinated groups of cattle. From field observation, it was obvious that alum precipitated toxoid vaccine could produce good immune response against enterotoxaemia in cattle . It was also evidence that this vaccine could reduce mortality in transported cattle . NATALIA, L ., SUDAwSMAN, dam M. DARODJAT. 1996 . Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang ditransportmikan antar pulau. Jurnal llmu Ternak dam Veteriner 2 (1) Kasus enterotoksaemia pada sapi dam kerbau yang ditransportasikan sudah sering dilaporkan di Indonesia . Enteritis akut dan enterotoksania yang bersifat fatal ini di Indonesia pads umumnya disebabkan oleh Clostridium pe&ingenr tipe A . Enterotoksernia tersebut terjadi jika hewan mengalami sues akibat perubahan pakan, manajernen, ataupun juga transportasi. Untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh enterotoksemia tersebut, telah dibuat vaksin yang efektif untuk peneegahan penyakit. Vaksin ini dibuat dalam bentuk alum precipitated toxoid dari Clostridium perfringens tipe A, kemudian diuji baik keamanan dengan menggunakan mencit, maupun kemampuan menghasilkan respon kekebalan pads sapi percobaan . Vaksin ini digunakan untuk mengebalkan sapi-sapi yang ditransportasikan antar pulau sebagai upaya mengurangi tingkat kerrstian dan mengamati respon antibodi setelah vaksinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematian sapi yang divaksinasi temyata lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kematian sapi yang tidak divaksinasi . Dari hasil penelitian di lapangan, temyata bahwa vaksin ini dapat memberi respon kekebalan yang baik terhadap enterotoksemia pada sapi . Penelitian ini jugs membuktikan bahwa vaksin ini dapat menurunkan kematian sapi yang ditransportasikan antar pulau. disertai isolasi agen penyakit dari hewan yang mati . Selain its, diperlukan juga sampel segar dari hewan yang mati (kurang dari 18 jam setelah kematian hewan) atau sampel tersebut harus diawetkan dengan gliserin atau disimpan dalam suhu dingin. Penggunaan vaksin untuk pencegahan enterotokse- mia pads hewan yang berisiko tinggi atau hewan yang mengalami stres diharapkan dapat mencegah kematian (STERNE, 1981 ; PRODJOHARDJONO, 1985) . Di Australia, Selandia Baru, Amerika dam Inggris, vaksinasi untuk mencegah penyakit ini sudah rutin dilakukan untuk menghindari kerugian ekonomi yang tinggi

Upload: imaem

Post on 03-Sep-2015

223 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

sa

TRANSCRIPT

  • Keywords: Enterotoxaemia, vaccine, transportation, cattle

    Kata kunci: Enterotoksemia, vaksin, transportasi, sapi

    54

    PENDAHULUAN

    Kejadian enterotoksemia pada sapi dam kerbau yangbaru ditransportasikan sudah sering dilaporkan (VERMA,1984; WORRALL et al., 1987 ; NATALIA et al., 1989 ;NATALIA, 1995) . Penyebabnya adalah Clostridium per-fringens tipe A . Diagnosis penyakit belum dapat dilaku-kan di laboratorium-laboratorium daerah, karena biasa-nya penyakit bersifat akut, gejala klinis tidak jelas damkelainan patologik anatomi sering tidak tampak nyataatau tidak menciri . Diagnosis enterotoksemia harus ber-dasarkan pada isolasi toksin penyebab penyakit yang

    LILY NATALIA, SUDARISMAN, danM. DARODJAT- - .

    Balm Penelitian VeterinerManR.E Martadinata 30, PO Box 52, Bogor 16114, Indonesia

    (Diterimn dewan redaksi I S Desemher 1995)

    ABSTRACT

    A&STRAK

    PENCEGAHAN ENTEROTOKSEMIA PADA SAPI YANGDITRANSPORTASIKAN ANTAR PULAU

    NATALIA . L., SUDARISMAN, and M. DARODJAT. 1996 . Prevention ofenterotoxacmiu in transported cattle . Jurnal ilmu Ternak dam Veteriner 2 ( I) .

    Fatal enterotoxaemia oftransported cattle is frequently reported in Indonesiu . Acute enteritis and fatal enterotoxaemia of cattle and buffaloesin Indonesia are associated with toxigenic Clostridium perfringenr type A. The outbreaks could have been caused by some kinds of stress, such asa possible change in nutrition or management as well as transportation . To reduce mortality rate caused by enterotoxaemia, an effective vaccineagainst the disease was produced . The vaccine was made in an alum precipitated toxoid form, prepared from Clostridlumperfringens type A toxin,which was then tested for safety in mice and for its capacity in generating high immunity in cattle. The vaccine was then used to immunisetransported cattle as an attempt to reduce mortality rate and to observe antibody response of cattle following vaocletdon. The results showed thatmortality in vaccinated was lower than in non-vaccinated groups of cattle. From field observation, it was obvious that alum precipitated toxoidvaccine could produce good immune response against enterotoxaemia in cattle . It was also evidence that this vaccine could reduce mortality intransported cattle .

    NATALIA, L ., SUDAwSMAN, dam M. DARODJAT. 1996 . Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang ditransportmikan antar pulau. Jurnal llmu Ternakdam Veteriner 2 (1)

    Kasus enterotoksaemia pada sapi dam kerbau yang ditransportasikan sudah sering dilaporkan di Indonesia . Enteritis akut dan enterotoksaniayang bersifat fatal ini di Indonesia pads umumnya disebabkan oleh Clostridium pe&ingenr tipe A. Enterotoksernia tersebut terjadi jika hewanmengalami sues akibat perubahan pakan, manajernen, ataupun juga transportasi. Untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh enterotoksemiatersebut, telah dibuat vaksin yang efektif untuk peneegahan penyakit. Vaksin ini dibuat dalam bentuk alum precipitated toxoid dari Clostridiumperfringens tipe A, kemudian diuji baik keamanan dengan menggunakan mencit, maupun kemampuan menghasilkan respon kekebalan pads sapipercobaan. Vaksin ini digunakan untuk mengebalkan sapi-sapi yang ditransportasikan antar pulau sebagai upaya mengurangi tingkatkerrstian danmengamati respon antibodi setelah vaksinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematian sapi yang divaksinasi temyata lebih rendahdibandingkan dengan tingkat kematian sapi yang tidak divaksinasi. Dari hasil penelitian di lapangan, temyata bahwa vaksin ini dapat memberirespon kekebalan yang baik terhadap enterotoksemia pada sapi . Penelitian ini jugs membuktikan bahwa vaksin ini dapat menurunkan kematiansapi yang ditransportasikan antar pulau.

    disertai isolasi agen penyakit dari hewan yang mati .Selain its, diperlukan juga sampel segar dari hewan yangmati (kurang dari 18 jam setelah kematian hewan) atausampel tersebut harus diawetkan dengan gliserin ataudisimpan dalam suhu dingin.

    Penggunaan vaksin untuk pencegahan enterotokse-mia pads hewan yang berisiko tinggi atau hewan yangmengalami stres diharapkan dapat mencegah kematian(STERNE, 1981 ; PRODJOHARDJONO, 1985) . Di Australia,Selandia Baru, Amerika dam Inggris, vaksinasi untukmencegah penyakit ini sudah rutin dilakukan untukmenghindari kerugian ekonomi yang tinggi

  • (GALLOWAY, 1974 ; HUNGERFORD, 1975 ; STERNE,

    1981) . Namun, vaksin yang diproduksi di luar negeri se-ringkali tidak memasukkan Cl. perfringens tipe A untukpencegahan enterotoksemia, karena Cl . perfringens tipeA tidak banyak menimbulkan masalah (GALLOWAY,1974), sehingga vaksin ini seandainya diimpor tidak da-pat digunakan di Indonesia . Sementara itu, di Indonesiatelah dibuat vaksin untuk mencegah enterotoksemiayang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe A . Vaksinasitelah pula dilakukan pada sapi-sapi yang akan ditrans-portasikan antar pulau untuk menurunkan tingkat ke-matian pada hewan-hewan tersebut . Kemampuan ituingin dibuktikan dalam penelitian ini .

    MATERI DAN METODE

    Pembuatan antigen untuk produksi vaksinGalur Cl. perfringens tipe A isolat lokal digunakan

    sebagai bahan pembuatan vaksin . Antigen adalah filtratdari biakan Cl. perfringens yang diinaktifkan denganformalin dengan tidak mengurangi aktivitas imuno-geniknya (ANON., 1977).

    Prosedur pembuatan vaksin dibagi atas produksi an-tigen untuk pembuatan alum precipitated toxoid (APT)dan uji keamanan vaksin . Biakan Cl. perfringens tipe Adiperiksa kemumiannya dan ditumbuhkan pada mediumRobertson's cooked meat medium (RCMM) selama 4jam pada suhu 370C (WORRALL, 1986). Biakan ini ke-mudian digunakan untuk menginokulasi medium gunamenghasilkan antigen yang terdiri dari proteose pepton2,0% ; laktalbumin 1,0%; yeast extract 0,5% dan natriumkhlorida 0,4% (WORRALL, 1986) yang mengandung glu-kosa 1% . Setelah inokulasi, biakan diinkubasikan padasuhu 37C selama 4 - 5 jam dan pH dalam medium di-pertahankan sekitar 7,0. Setelah inkubasi, biakan terse-but dibubuhi mertiolat pada konsentrasi akhir 0,01%,untuk menghentikan pertumbuhan. Selanjutnya biakandisentrifugasi pada kecepatan 7.000 rpm pada suhu 4Cselama 20 menit, dan supernatannya dipisahkan . Fraksiyang mengandung toksin alfa Cl. perfringens ini diujitoksisitasnya pada mencit . Setelah diketahui dapat mem-bunuh mencit (melebihi 100 mouse lethal doses (MLD)/ml), supernatan tersebut dapat dipergunakan sebagaibahan pembuatan toksoid . Sebagian lagi dimumikanuntuk pembuatan antigen pelapis dalam enzyme-linkedimmunosorbent assay (ELISA) .

    Toksoid dibuat dengan menambahkan formalin kedalam supernatan yang berisi toksin pada konsentrasi

    Jurnal 11mu Ternak don Veleriner Vol. 2 No. 1 Th . 1996

    akhir 0,6%, dan dibiarkan semalam pada suhu 37C. Kedalam satu bagian supernatan yang mengandung toksinditambahkan I/2 bagian natrium hidrogen karbonat 1 Mdan I bagian aluminium kalium sulfat 0,2 M, dikocoksekitar 30 menit sehingga campuran menjadi homogen .Endapan yang terjadi dipisahkan dan dicuci 3 kali de-ngan phosphate buffered saline (PBS) pH 7,2. Sebanyak0,01% mertiolat ditambahkan ke dalam larutan sebagaibahan pengawet. APT yang terbentuk dalam proses ter-sebut merupakan vaksin yang mengandung toksoid.

    Terhadap vaksin kemudian dilakukan uji keamanan(safety test) pada mencit dengan cars menyuntikkan 1,0ml vaksin pada mencit secara subkutan (digunakan 4kali ulangan) . Jika semua mencit tetap hidup, maka halini memberi petunjuk bahwa vaksin telah aman diguna-kan .

    Pengujian vaksin pada sapi percobaanPenelitian ini dilakukan di BaW Penelitian Veteriner

    (Balitvet), dan untuk keperluan uji ini, dipergunakan 25ekor sapi . Sebanyak 22 ekor sapi dimasukkan ke dalamkelompok yang divaksinasi 2 kali, yaitu vaksinasi yangdilakukan dengan selang waktu satu bulan. Dosis vaksinadalah 2,5 ml tiap ekor sapi, disuntikkan secara subku-tan . Tiga ekor sapi lainnya dipergunakan sebagai kontroldan tidak divaksinasi selama penelitian . Sampel darahdari sapi-sapi tersebut sebelum dan sesudah vaksinasi di-ambil, serumnya dipisahkan dan disimpan untuk peme-riksaan respon imunologik atau tanggap kebal . Penguji-an tanggap kebal hewan dilakukan dengan ELISA.

    Vaksinasi di lapanganVaksinasi dilakukan pada sapi yang akan ditranspor-

    tasikan dari Propinsi Sulawesi Selatan ke Propinsi Riau,dari Madura ke Propinsi Sumatera Barat dan dari Ma-dura ke Propinsi Lampung . Vaksinasi ini dilakukan se-jalan dengan penyebaran bibit-bibit sapi dari programInternational Foundation for Agriculture Development(IFAD) dan Bantuan Presiden (Banpres) serta mendapatbantuan sepenuhnya dari pihak karantina hewan pusatdan daerah setempat . Sapi yang ditransportasikan padaumumnya sapi yang rata-rata berumur 2 tahun . Dosisvaksin yang digunakan adalah 2,5 ml dan disuntikkansecara subkutan .

    I . Vaksinasi pada sapi Bali yang ditransportasikan dariPare-pare (Sulawesi Selathn) ke Lubuk Dalam(Riau) :

    55

  • 2 . Vaksinasi pada sapi Madura yang ditransportasi dariKalianget (Madura) ke Panjang (Lampung) :

    3 . Vaksinasi pada sapi Madura yang ditransportasikandari Kalianget (Madura) ke Padang (Sumatera Ba-rat) :

    56

    Jumlah hewan yang ditransportasikan secara keselu-ruhan adalah 561 ekor . Vaksinasi pertama dilakukandi Karantina Hewan Pare-pare . Hewan yang divaksi-nasi bedumlah 82 ekor, dan kelompok hewan kon-trol atau hewan yang tidak divaksinasi juga berjum-lah 82 ekor. Karena kondisi lapangan yang tidakmemungkinkan, vaksinasi ulangan tidak dilakukanpada hewan-hewan ini . Tetapi pemantauan kenaikantingkat kekebalan setelah vaksinasi tetap dilakukan .Pengambilan sampel serum sapi dilakukan 3 kali,yaitu pravaksinasi (di Karantina Hewan Pare-pare),1,5 bulan pascavaksinasi (di Karantina HewanPekanbaru) dan 3 bulan pascavaksinasi (di daerahLubuk Dalam, Desa Seminai, Kecamatan Siak SriIndrapura, Kabupaten Bengkalis) .

    Jumlah sapi yang ditransportasikan adalah 627 ekor.Kelompok yang divaksinasi bedumlah 104 ekor,sedangkan kelompok kontrol (yang tidak divaksina-si) bedumlah 100 ekor . Vaksinasi pertama dilakukandi Karantina Hewan Kalianget . Vaksinasi keduayang terpaksa dilakukan 16 had setelah vaksinasipertama, dilakukan di Karantina Hewan Panjang,Propinsi Lampung (menurut rencana, vaksinasiulangan akan diberikan dengan selang waktu 1bulan) . Pengambilan sampel darah dilakukan 3 kali,yaitu pravaksinasi (di Kalianget, Madura), 16 haripascavaksinasi (di Panjang, Propinsi Lampung) dan2 bulan pascavaksinasi (di petani petemak, di Lam-pung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Sela-tan) .

    Jumlah sapi yang ditransportasi adalah 500 ekor,yang rata-rata berumur 2 tahun . Kelompok hewanyang divaksinasi bedumlah 87 ekor dan kelompokkontrol yang tidak divaksinasi berjumlah 97 ekor.Vaksinasi pertama dilakukan di Karantina HewanKalianget (Madura) yang juga bersamaan denganpengambilan sampel darah pravaksinasi . Vaksinasiulangan dilakukan bersamaan dengan pengambilandarah kedua, yaitu pada hari ke-15 pascavaksinasi, diKarantina Hewan Padang . Pemantauan kenaikantingkat kekebalan berikutya tidak dapat dilakukan,karena sapi-sapi tersebut sudah berpindah tangan se-hingga tidak dapat dilacak lagi lokasinya .

    LILY NATALIA et al. : Pencegahan Fnterotoksemia padsSapiyang Ditransporlasikan itntar Pilau

    Serum yang diperoleh diuji dengan ELISA . Selainitu, tingkat kematian hewan selama pedalanan dari tem-pat asal sampai ke petani petemak dicatat .

    Deteksi antibodi terhadap enterotoksemiaProsedur yang digunakan adalah ELISA tak lang-

    sung yang telah dikembangkan NATALIA (1996), yaitumenggunakan antigen pelapis berupa toksin alfa Cl.perfringens tipe A yang telah dimumikan, konjugatenzim (imunoglobulin anti-sapi yang dilabel denganhorse raddish peroxidase) dan substrat 2,2,-azino-bis(3-ethylbenzthiazoline-6-su fonic acid (ABTS) dalam buf-fer sitrat . Serum kontrol positif yang digunakan adalahserum sapi dengan kekuatan 4 international unit (I.U .),diencerkan secara seri, kemudian dijadikan pembandingbagi sampel serum yang diperiksa. Serum kontrol positifdan negatif, selalu disertakan dalam tiap pengujian .Reaksi ELISA dibaca dengan menggunakan alat pem-baca ELISA (Titertek MCC 340, Flow Laboratories,USA). Pembacaan dilakukan dengan panjang gelom-bang 414 nm . Dengan membandingkan nilai opticaldensity (OD) dari serum yang diperiksa dengan serumkontrol positif, hasil pemeriksaan serum dapat dinyata-kan dengan satuan I.U .

    HASILDAN PEMBAHASAN

    Pengujian keamanan vaksin pada mencit menunjuk-kan bahwa vaksin tersebut dapat digunakan, karenamencit yang disuntik vaksin dengan 4 kali ulangan tetaphidup. Setelah keamanannya terjamin, vaksin ini kemu-dian dipergunakan untuk mengebalkan sapi . Tanggapkebal (immune response) vaksin toksoid Cl. perfringenstipe A pada sapi percobaan dapat dilihat secara ringkaspada Tabel 1 .

    Pada saat pravaksinasi, tingkat kekebalan sapi-sapipercobaan yang digunakan dalam penelitian ini telahcukup baik . Hal ini disebabkan karena kelompok hewanpercobaan ini juga telah menerima vaksinasi enterotok-semia secara teratur setiap tahun. Vaksinasi tersebutdilakukan karena pada kandang yang berdekatan pemahterdapat 8 ekor kerbau yang mati mendadak akibat ente-rotoksemia.

    Dari adanya kasus enterotoksemia yang menyerangsejumlah besar kerbau di daerah Kalimantan Selatan di-ketahui bahwa dengan tingkat kekebalan di atas 1 .0 I.U ./ml, hewan dapat bertahan terhadap serangan enterotok-

  • Tabel 1 . Tanggap kebal sapi yang disuntik dengan 2 dosis alumprecipitated toxoid dari Cl. per(ringens tipe A dan dideteksidengan ELISA

    Jurnal 11mu Ternak dan Veteriner Vol. 2 No. 1 77r . 1996

    semia (NATALIA et al., 1989) . Tingkat kekebalan yanglebih tinggi akan memberi daya tahan hewan yang ma-kin tinggi terhadap penyakit tersebut . Untuk mendapat-kan kekebalan yang efektif, biasanya diperlukan suntik-an vaksinasi dua kali atau lebih dengan selang waktutertentu . Vaksinasi ulangan ditujukan untuk mendapat-kan kekebalan yang baik dan cukup lama (STERNE et al.,1962 ; GALLOWAY, 1974 ; PRODJOHARDJONO, 1985 ;CLARKSON et al., 1985) . Dari hasil uji pendahuluan padasapi-sapi di Balitvet, dapat dinilai bahwa vaksin yang di-gunakan dapat menimbulkan tanggap kebal yang cukupbaik (label 1) .

    Kejadian kematian sapi-sapi yang ditransportasikan

    Kematian sapi yang ditransportasikan pada saat pe-nelitian ini dilakukan pada umumnya terjadi pada saatsapi-sapi tersebut tiba di tempat tujuan (di pelabuhan,karantina hewan dan pada petani petemak) . Untuk sapiyang ditransportasikan dari Sulawesi Selatan ke Riau,kematian terjadi pada 9 ekor sapi dari kelompok sapiyang tidak divaksinasi, yakni 6 ekor mati dengan gejalaberak darah, sedangkan 3 ekor lainnya mati dengan ge-jala kelemahan dan timpani .

    Untuk sapi yang ditransportasikan dari Madura keLampung, kematian terjadi pada 25 ekor sapi yang tidakdivaksinasi . Laporan petugas lapangan menyebutkanbahwa kematian tersebut terjadi oleh kelemahan, timpa-ni, pneumonia dan gejala lain yang tidak jelas . Dalamkelompok yang divaksinasi, terjadi juga kematian se-banyak 3 ekor dengan keterangan petugas bahwa hewantersebut mati oleh penyebab mekanis sewaktu hewanditurunkan dari kapal .

    Untuk sapi yang ditransportasikan dari Madura keSumatera Barat, terjadi kematian pada 20 ekor sapi yangtidak divaksinasi . Penyebab kematian dilaporkan berupakelemahan, timpani, pneumonia dan gejala lain yangtidakjelas (disambar petir) .

    MILO dan DORWARD (1971) menyatakan bahwapada umumnya Cl . petfringens tipe A dapat menimbul-kan gejala demam, diare yang bervariasi dan timpani .HELW IG et al. (1967) juga mengamati adanya gejalakembung dan kelainan pant-paru atau saluran pernapas-an pada bovine enterotoxaemia complex. NATALIA et al.(1989) menyatakan bahwa gejala enterotoksemia ter-sebut berlangsung sekitar 2 hari sebelum hewan mati .

    Pada Tabel 2 tampak bahwa kematian pada hewanyang divaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan pa-da hewan yang tidak divaksinasi . Hal ini membuktikanbahwa vaksin yang digunakan dapat menurunkan ke-matian pada sapi yang ditransportasikan .

    Tabel 2.

    Kematian hewan pada kelompok sapi yang divaksinasi danyang lidak divaksinasi

    Kewrangan: -=jumlah sapi kewluruhan dikurangi jumlah sapi yang divaksinasi

    Evaluasi vaksinasi enterotoksemia pada sapi yangditransportasikan

    Pada sapi Bali yang ditransportasikan dari SulawesiSelatan ke Riau, vaksinasi hanya dapat dilakukan satukali pada awal pengamatan. Pada 6 minggu pasca-vaksinasi, tingkat kekebalan yang dicapai cukup baik(label 3), tetapi pada 3 bulan pascavaksinasi terjadi pe-nurunan tingkat kekebalan . Penurunan ini mungkinterjadi karena tidak dilakukan: vaksinasi ulangan dansebaliknya hewan mendapat stres selama perjalananmenuju Riau . Hal serupa juga dinyatakan oleh STERNEet al. (1962), bahwa vaksinasi pertama dapat memberikekebalan, tetapi vaksinasi ulangan tetap diperlukanuntuk dapat mempertahankan kekebalan yang baik dancukup lama . Dari hasil ini terlihat bahwa vaksinasi yangdilakukan secara tunggal tidak menghasilkan kekebalanyang cukup lama.

    Pada sapi Madura yang ditransportasikan dari Ma-dura ke Lampung, vaksinasi dilakukan 2 kali denganselang waktu 16 hari. Setelah vaksinasi pertama, ke-naikan tingkat kekebalan cukup tinggi (rata-rata 1,203 t1,051 I .U./ml), tetapi setelah dilakukan vaksinasi keduadan diadakan pemeriksaan 6 minggu sesudahnya, ting-kat kekebalan itu menurun . , Hal ini mungkin terjadikarena vaksinasi kedua dilakukan dengan selang waktu

    57

    Jumlah hewan(ekor)

    Kelompokvaksinasi(I.U ./ml)

    Jumlah hewan(ekor)

    Kelompokkontrol

    (I.U ./ml)

    Pravaksinwi 22 1 .540,87 3 1,140,70

    (vaksinasi t)Pascavaksinasi 22 3,980,10 3 1,21 t 0,43

    (vaks. n/ I bin .)Pascavaksinasi 22 > 4,0 3 0,90 0,43

    (2 bulan)

    1.okasi hewan Kehanpok divalusinasi Kelompok 6dak divaksinmi

    Jumlah sapi Kematian Jumlah sapi* Kemadan(cku0 (ekor) (%) (ekor) (ekor) (%)

    SuISel - Riau g2 11 11 479 9 1,9Madura - Lampung I(W 3 2,9 523 25 4.8Madura-Sumbar 91 0 (1 413 20 4.8

  • Tabe13. Evaluasi vaksinasi dengan ELISA pada sapi yang ditrans-portasikan antar pulau

    Waktu

    Kelompokdivaksinasi Kelompokkontrolpengambilan -

    hanya 2 minggu setelah vaksinasi pertama, sehinggamungkin terjadi netralisasi antigen yang dimasukkanpada vaksinasi kedua oleh antibodi yang terbentuk aki-bat vaksinasi pertama, yang berakibat penurunan tingkatkekebalan (Tabel 3) .

    Pada sapi yang ditransportasikan dari Madura ke Su-matera Barat, evaluasi vaksinasi hanya dapat dilakukan2 minggu setelah vaksinasi pertama. Pada Tabel 3 tampak bahwa tanggap kebal setelah vaksinasi cukup baikdan bahkan terbaik jika dibandingkan dengan hasil vak-sinasi yang dilakukan di 2 lokasi lain (Lampung danRiau).

    Dari hasil pengamatan terhadap tanggap kebal sapiyang divaksinasi, APT dapat menimbulkan kekebalanyang cukup baik . APT dari Cl . perfringens tipe A yangdipakai dengan dosis tunggal tidak menghasilkan keke-balan yang cukup baik dan tidak bertahan lama (kurangdari 3 bulan) . Vaksinasi ulangan dengan selang waktuyang singkat (2 minggu), menurunkan tingkat kekebalanyang sudah ada.

    Hasil penelitian pendahuluan uji vaksin pada sapi diBalitvet menunjukkan bahwa vaksinasi pertama dan ke-dua dengan selang waktu satu bulan akan memberi ke-naikan tingkat kekebalan yang cukup baik. Vaksinasidengan cars ini sebaiknya juga dapat dilaksanakan di la-pangan guna mendapatkan hasil vaksinasi yang baik .

    58

    DAN-rAR Pt1STAKA

    I,u.v NATALIA et al . : Pencegahan Fnterotoksemia pada bapiyant; DHransporlasikan Antar Pulau

    Dari hasil penelitian yang telah (lilaksanakan (li Ba-litvet dan di lapangan dapat disimpulkan bahwa vaksindapat menimbulkan respon imunologik yang haik, dandapat menurunkan tingkat kematian pada sapi yang (1i-transportasikan antar pulau. Dengan demikian, vaksin iniperlu dimasyarakatkan untuk mencegah entemtoksclniaoleh Cl . pctJringcns tipe A pada sapi yang akanditransp)rtasikan .

    IJCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terima kasih terutama kami tujukan kepadaKepala Karantina Hewan, Pusat Karantina Pertanian,Departemen Pertanian dan seluruh staf stasiun-stasiunkarantina hewan yang telah membantu terlaksananyapenelitian ini. Selain itu, kepada petugas lapangan danstaf dinas petemakan setempat yang telah terlibat dalampenelitian ini, juga kepada M. Syafanldin dan WawanSugiawan yam telah memberi hantuan teknis dalam pe-laksanaan penelitian ini, kami ucapkan terima kasih.

    ANONYMOUS . 1977 . Antiscra clan Vacecines . British Pharmacopoeia(Veierinarv). I lerMajesly's Stationery Office . London.

    CLARKSON, MJ., W.B . I " AU1 .1- and J.B . KERRY . 1985 . Vaccinatio n ofcows with clmlridial antigens and passive transfer of clostridia)antibodies from )shine colustrum to lambs Vet. Rec. 116:467-469.

    GALLOWAY . J .H . 1974 . harm Animal Health and Disease Control. ILeaand Fcbiger. Philadelphia,

    IIIa .WK; . D.M ., J.11 . 'I'1RIMAS . and L.G . WILLIAMS. 1967 . The bovineenleroloxaania coluplex Au.ct. Vet. .1. 43 :164-167 .

    HUNGER1Z1RO. T.G . 1975 . /)isecsc.c ni'l,ivestock 8th Ed . McGraw HillBcxik. Sydney.

    NATALIA, L . . 1995. Diagnosis enterowksetnia pada sapi dan kerbau diIndonesia. .1'rosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untukMeningkalk!"I Kescllalan llewan Jan Pengamanan Bah:n PanganAsal Ternak . Cis;Irua, Bogor 22-24 Marei 1994. Balai PenelitianVeteriner Boyar

    NATALIA, L. 1996 . Evalnasi rcspon anlibodi sapi dan kerbau terhadapvaksin (7uctridiwn pcr/iingens tipe A dengan menggunakanFIASA. J. lhnu 7'crluA Vcr I (3): 190-193.

    NATALIA. L ., M. SYAIr1RI ; I)IN . F.T. WORRALI . . dan S. HARDIOUTOMO.1999 . Enh"rolok.srnia Imda sapi impor di BaRlarmasin,Kalinanwn ScIa1CUI . Pcuvakit llcnan 21(38):107-116.

    Nni.o. L. and WA DIRWARD 1971 The effect of enterotoxigenicClostridium uclchii (pertringcn.e) type A on bovine intestine. Res.Vet. Sci . 12 :171,-17x .

    dar:Ih W./ml lumlahhcwanW./ml lundah

    hewan

    Sulsel - RiauPhivaksinasiNaksinasi 1(0 Wan) 0,190 0,134 82 0,11 Q124 82

    Pascavaksinasi(1,5 bulan) 0.686 0.791 40 0.192 40.060 19

    11mcavaksinasi(3 hulan) 0,525 0,200 21 0,220 0,056 1I

    Madura - Lampun8PravaksinwiNaksinasi I(0 bulan) 0,135 0,065 104 0,132 0,053 100

    PawavaksinasiNaksinasi 11(0,5 hutan) 1,203 1,051 82 0,156 0,069 74

    Plscavaksinasi(2bulan) 0,435 0,197 43 0,159 0,075 76

    Madura -SumbarPravaksinasiNaksinmi I(0hulan) 0,181 0,097 87 0,128 0,064 95

    Pax avaksinasi(0,5 bulan) 1,646 1,183 78 0.138 0,059 61

  • PRODJOHARDJONO, S. 1985. llmu Penyakit Ternak. Gajah MadaUniversity Press . Yogyakarta .

    STERNE, M ., 1 . BATTY, A . THOMSON. and J.M . ROBERTSON. 1962.

    Immunisation of sheep with multicomponent clostridial vaccines .

    Vet. Rec. 74:909-913.

    STERNE. M . 1981 . Cloctridial infections. Br. Vet. J. 137(5) :443- 454.

    Jurnal llmu Ternak dan Veleriner Vol. 2 No. 17h. /996

    VERMA . N.D . 1984 . Isolation and characterisation of Clostridiumperliingera type A causing blackquarter-like disease of cattle inManipur. Indian J. Anim. Sci. 54:1078-1080.

    WORRALL . E.E . 1986. Diagnostic Handbook for Clostridia.Balitvet-ODA . ATA 244, Project Phase 11 .

    WORRALL . E .E ., L. NATALIA. P . RONOHARDJO. TARMUn, and S .

    PARTOLITOM0. 1987 . Enterotoxacmia in water buffaloes caused byChactridium perlYingcns Iyp : A . Penyakit Hewan 19(33) :17-19 .