syabab

3
05/12/13 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/ 1/3 Syabab March 31st, 2013 by solihan Syabâb (jamak dari syâb[un] ) sejatinya merujuk pada sosok muda secara fisik. Badannya segar-bugar. Tenaganya besar. Tekad dan kemauannya kuat. Semangatnya membara. Harapan dan cita-citanya menjulang tinggi. Singkat kata, syabâb tentu identik dengan al- quwwah (kekuatan). Sebaliknya, syuyûkh (jamak dari syaikh) biasanya identik dengan orang yang sudah amat tua atau kakek-kakek yang secara fisik sudah tua-renta. Badannya rapuh. Tenaganya loyo dan melemah. Semangatnya berkurang. Tekad dan kemauannya menurun. Tak lagi punya banyak harapan dan cita-cita. Singkat kata, asy-syuyûkh identik dengan al-‘ajz (kelemahan). Tentu, jika ukurannya fisik, demikianlah perbedaan antara syabâb dan syuyûkh, antara pemuda dan orang tua atau kakek-kakek yang sudah amat tua-renta. Namun demikian, tak seharusnya membandingkan pemuda yang kuat dengan orang tua yang lemah dan renta dari sisi fisiknya semata-mata. Sebab, kekuatan dan kelemahan seseorang kadang bisa dibandingkan dari faktor kejiwaan dan semangatnya, terlepas apakah ia muda atau tua. Hal ini ada kaitannya dengan sabda Rasulullah saw., “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah). Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud kuat di sini adalah kekuatan jiwa dan sikap dalam menjalankan berbagai urusan akhirat. Karena itu, seorang Mukmin yang memiliki sifat ini adalah yang lebih banyak berperang melawan musuh di medan perang; yang lebih cepat keluar menyambut seruan jihad; yang lebih kuat tekadnya dalam melakukan amar makruf nahi mungkar sekaligus yang lebih sabar dalam menanggung setiap kesulitan di dalamnya; yang selalu siap menanggung beban di jalan Allah; yang senantiasa merindukan untuk mendirikan shalat, shaum, zikir dan berbagai macam ibadah ritual lainnya serta selalu bersemangat di dalamnya sekaligus senantiasa berusaha memelihara ibadah-ibadah tersebut; dll (Syarh an- Nawawi ‘ala Muslim, IX/19). Hal senada diungkapkan dalam salah satu syarh hadis riwayat Ibn Majah ini. Disebutkan bahwa Mukmin yang kuat maksudnya adalah yang kuat dalam melakukan amal-amal kebajikan; yang kuat dalam menanggung kesulitan dalam ketaatan; yang sabar dalam menanggung bencana yang menimpa dirinya; yang memahami berbagai perkara yang bisa menunjukkan pada pengaturan dan kemaslahatan dengan selalu memperhatikan sebab dan memikirkan setiap akibat (Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah, I/70). Dalam lanjutan hadis yang sama, Rasulullah saw. juga bersabda, “Bersungguh-sungguhlah

Upload: rizky-faisal

Post on 22-Apr-2015

317 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Syabab

05/12/13 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab

m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/ 1/3

Syabab

March 31st, 2013 by solihan

Syabâb (jamak dari syâb[un]) sejatinya merujuk pada sosok muda secara fisik. Badannya

segar-bugar. Tenaganya besar. Tekad dan kemauannya kuat. Semangatnya membara.

Harapan dan cita-citanya menjulang tinggi. Singkat kata, syabâb tentu identik dengan al-

quwwah (kekuatan).

Sebaliknya, syuyûkh (jamak dari syaikh) biasanya identik dengan orang yang sudah amat tua

atau kakek-kakek yang secara fisik sudah tua-renta. Badannya rapuh. Tenaganya loyo dan

melemah. Semangatnya berkurang. Tekad dan kemauannya menurun. Tak lagi punya banyak

harapan dan cita-cita. Singkat kata, asy-syuyûkh identik dengan al-‘ajz (kelemahan).

Tentu, jika ukurannya fisik, demikianlah perbedaan antara syabâb dansyuyûkh, antara pemuda

dan orang tua atau kakek-kakek yang sudah amat tua-renta.

Namun demikian, tak seharusnya membandingkan pemuda yang kuat dengan orang tua yang

lemah dan renta dari sisi fisiknya semata-mata. Sebab, kekuatan dan kelemahan seseorang

kadang bisa dibandingkan dari faktor kejiwaan dan semangatnya, terlepas apakah ia muda

atau tua. Hal ini ada kaitannya dengan sabda Rasulullah saw., “Mukmin yang kuat adalah lebih

baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).

Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud kuat di sini adalah kekuatan jiwa dan sikap dalam

menjalankan berbagai urusan akhirat. Karena itu, seorang Mukmin yang memiliki sifat ini

adalah yang lebih banyak berperang melawan musuh di medan perang; yang lebih cepat keluar

menyambut seruan jihad; yang lebih kuat tekadnya dalam melakukan amar makruf nahi

mungkar sekaligus yang lebih sabar dalam menanggung setiap kesulitan di dalamnya; yang

selalu siap menanggung beban di jalan Allah; yang senantiasa merindukan untuk mendirikan

shalat, shaum, zikir dan berbagai macam ibadah ritual lainnya serta selalu bersemangat di

dalamnya sekaligus senantiasa berusaha memelihara ibadah-ibadah tersebut; dll (Syarh an-

Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).

Hal senada diungkapkan dalam salah satu syarh hadis riwayat Ibn Majah ini. Disebutkan

bahwa Mukmin yang kuat maksudnya adalah yang kuat dalam melakukan amal-amal kebajikan;

yang kuat dalam menanggung kesulitan dalam ketaatan; yang sabar dalam menanggung

bencana yang menimpa dirinya; yang memahami berbagai perkara yang bisa menunjukkan

pada pengaturan dan kemaslahatan dengan selalu memperhatikan sebab dan memikirkan

setiap akibat (Hasyiyah as-Sanadi ‘ala Ibn Majah, I/70).

Dalam lanjutan hadis yang sama, Rasulullah saw. juga bersabda,“Bersungguh-sungguhlah

Page 2: Syabab

05/12/13 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab

m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/ 2/3

terhadap apa saja yang bermanfaat bagi kamu, selalulah engkau meminta tolong kepada

Allah, dan jangan bersikap lemah.” (HR Muslim dan Ibn Majah).

Terkait hadis ini, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa maknanya, “Bersungguh-sungguhlah

dalam ketaatan kepada Allah, hendaknya engkau senantiasa merindukan apa-apa yang ada di

sisi Allah, selalu mencari perlindungan-Nya dalam ketaatan kepada-Nya; jangan bersikap

lemah; jangan pula bersikap malas dalam ketaatan dan dalam memohon pertolongan kepada-

Nya (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, IX/19).

Demikianlah makna sebenarnya dari kekuatan seorang Mukmin. Sifat kuat semacam ini tentu

tidak selalu melekat pada sosok pemuda, tetapi bisa juga dimiliki oleh orang yang sudah tua-

renta.

Karena itulah Hizbut Tahrir tentu punya alasan untuk menyebut para anggotanya dan para

aktivisnya dengan sebutan ‘syabâb’; tak peduli apakah ia seorang remaja, pemuda, orang tua,

atau kakek-kakek yang sudah renta sekalipun. Semua disebut ‘syabab’. Mengapa? Barangkali

pernyataan Syumaith bin Ajlan, seorang ulama yang berguru kepada paratabi’in, bisa

memperkuat alasan di balik penyebutan syabâb tersebut. Kata Syumaith bin Ajlan,

sebagaimana dituturkan putranya, Abdullah bin Syumaith, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa

Jalla menjadikan kekuatan seorang Mukmin ada di dalam hatinya dan tidak menjadikan

kekuatan itu ada pada anggota tubuhnya. Bukankah engkau melihat ada orang tua-renta yang

banyak melakukan puasa dan bangun malam, sedangkan banyak para pemuda tidak mampu

melakukan hal yang sama?” (Shifat ash-Shafwah, III/231).

Karena itu, pada masa lalu, seorang Abu Sufyan, misalnya, meski saat itu usianya telah

mencapai 70 tahun, masih layak disebut sebagai ‘syabâb’. Pasalnya, ia masih memiliki tekad

yang kuat dan semangat yang membara hingga dalam usia setua itu ia tetap bersemangat

melibatkan diri dalam peperangan jihad.

Dalam konteks dakwah, syabâb—yang sejatinya adalah Mukmin yang kuat—adalah mereka

yang senantiasa memiliki tekad yang besar dan kuat dalam berdakwah; senantiasa memiliki

semangat membara dan menyala-nyala dalam melakukan kontak dakwah; selalu merindukan

panggilan dan taklif-taklif dakwah; selalu memiliki harapan dan cita-cita menjulang tinggi

dengan selalu berusaha menyadarkan dan merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk sama-

sama terlibat dalam dakwah.

Lalu bagaimana dengan ‘pengemban dakwah’ yang jiwanya rapuh dan lemah dalam

berdakwah; semangatnya loyo dan melemah saat melakukan kontak dakwah; tekad dan

kemauannya menurun saat ada panggilan dan taklif-taklif dakwah; harapan dan cita-citanya

pun kurang sehingga tidak ada gairah untuk melakukan kontak dakwah sekaligus merekrut

orang-orang untuk sama-sama terlibat dalam dakwah? Masih layakkah ia menyandang sebutan

‘syabâb’?

Page 3: Syabab

05/12/13 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Syabab

m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/syabab/ 3/3

Jawaban pastinya tentu ada pada diri kita masing-masing. Kitalah yang bisa menilai apakah

kita pantas dan layak dikategorikan syabâbpengemban dakwah ataukah tidak. Jika ya,

sepantasnya kita bersyukur kepada Allah SWT. Jika tidak, selayaknya kita beristighfar karena

kelemahan dan ketakberdayaan kita menjalankan aktivitas dan tanggung jawab dakwah

sesungguhnya karena ‘ulah’ kita sendiri. Padahal boleh jadi kita sedang dalam kesehatan dan

kekuatan fisik yang prima, juga dalam keluasan rezeki dan kelapangan waktu. Jika itu yang

terjadi, sepantasnya kita malu jika masih ada orang yang menyebut kita sebagai syabâb;

padahal faktanya kita—di medan perjuangan dakwah—hanyalah ‘seorang tua-renta’ yang

lemah, rapuh dan tak berdaya.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]