susunan redaksi - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/jurnal-2.pdftentang...

93
SUSUNAN REDAKSI Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, LL.M Redaktur Pelaksana : Pultoni, AM, SH Dewan Redaksi : Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang Trisasongko Renata Arianingtyas Uli Parulian Sihombing Sony Setyana Siti Aminah Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email : [email protected], Website : www.mitrahukum.org Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 2 didukung oleh; Open Society Institute (OSI)

Upload: phamminh

Post on 29-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

S U S U N A N R E D A K S I

Penanggungjawab : Uli Parulian Sihombing, SH, LL.M

Redaktur Pelaksana : Pultoni, AM, SH

Dewan Redaksi :Prof. Dr. Soetandyo WignjosoebrotoProf. Dr. Muhammad Zaidun, SH Dadang TrisasongkoRenata ArianingtyasUli Parulian SihombingSony SetyanaSiti Aminah

Keuangan dan Sirkulasi : Evi Yuliawaty Herman Susilo

Alamat Redaksi : Jl. Tebet Timur I No. 4,Jakarta Selatan, Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641, Email : [email protected], Website : www.mitrahukum.org

Penerbitan Jurnal Keadilan Sosial edisi 2 didukung oleh;Open Society Institute (OSI)

Page 2: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi

DiskursusPenyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju Pemban-

gunan dan Pengembangan Daya Saing Bangsa

Oleh : Agus Lanini dan Amrinif

Konsep Asosiasi Legal Clinic di Beberapa Negara dan

Urgensi Pembentukannya di Indonesia

Oleh : Pultoni

Tulisan TamuPesan Konstitusional Keadilan Sosial

Oleh : Jimly Asshiddiqie

Telaah BukuKonstitusi Ekonomi

Oleh : Uli Parulian Sihombing

Telaah KasusKasus Ahmadiyyah dalam Persfektif Keadilan Sosial

Oleh : Siti Aminah

Para Kontributor Menulis di Jurnal Keadilan SosialTentang ILRC

v

1

13

35

43

49

75 7779

Page 3: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

iv

Page 4: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

PENGANTAR REDAKSI

Pendidikan Tinggi Hukum Sebagai Pendidikan Manusia

Ada dua kutub yang saling bersinggungan dalam orientasi pendidikan tinggi hukum yaitu pengembangan keterampilan (skill/professional) yang berbasis pada penggunaan hukum dan cara-cara penggunaan hukum tersebut, dan untuk kepentingan akademik. Kedua-duanya dibutuhkan di dalam titik tertentu, dan tidak bisa dipisahkan. Sejalan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, orientasi pendidikan tinggi hukum ternyata juga ditujukan untuk kemanusiaan dan manusia. Satjipto Raharjo telah mengang-kat orientasi pendidikan tinggi hukum menuju kemanusian dan manusia (2009). Intinya, kurikulum pendidikan tinggi hukum harus lebih menekankan pengajaran yang bermuatan kemanusian dan manusia. Di mana pada saat mahasiswa/mahasiswi masuk ke du-nia pendidikan hukum maka yang pertama-tama diajarkan adalah tentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan dan manusia. Jurnal Keadilan Sosial pada edisi II ini mengangkat tema ten-tang pendidikan tinggi hukum. Hal ini sejalan dengan program yang sedang digagas oleh ILRC yaitu pendidikan tinggi hukum berbasis keadilan sosial. Keadilan sosial sangat erat hubungannya dengan distribusi sumber daya yang adil, dan sifatnya lokalitas. Kemudian penerapan keadilan sosial tidak boleh diskriminatif dan menghar-gai nilai-nilai Hak-hak Azasi Manusia (HAM), walaupun ada tinda-kan afirmatif untuk kelas/kelompok termarjinalkan di masyarakat tetapi itupun sifatnya sementara. Di dalam keadilan sosial, nilai-nilai kemanusiaan yang harus didahulukan. Oleh karena itu, pendi-dikan tinggi hukum sejak awal harus menyerap nilai-nilai kemanu-siaan.

Page 5: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

PENG

ANTA

RRED

AKSI Orientasi pendidikan tinggi hukum seharusnya juga men-

gakomodir nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum pendidikan tinggi hukum harus mampu memberikan wawasan kepada mahasiswa/mahasiswi tentang realitas kondisi sosial dan politik di masyara-kat, dan juga kondisi ideal tentang keadilan itu sendiri khususnya berkaitan dengan keadilan sosial dan HAM, karena hukum itu send-iri bukanlah variable independen, melainkan dia sangat tergantung perkembangan disiplin ilmu yang lain terutama ilmu sosial, poli-tik dan antropologi. Tentunya, ada metode penyampaian wawasan keadilan dan juga aspek-aspek humanitas yang lainnya dilakukan secara adaptif dan komunikatif. Pendidikan tinggi hukum yang berorientasi pasar akan me-nyebabkan mahasiswa/mahasiswi terasing dengan dinamika ke-hidupan sosial dan politik di masyarakat. Begitu juga, orientasi pendidikan tinggi hukum yang lebih menekankan pada aspek ak-ademis, akan menyebabkan mahasiswa/mahasiswi sulit mener-apkan apa yang mereka peroleh di bangku kuliah. Mahasiswa/mahasiswi tentunya membutuhkan baik keterampilan penerapan hukum, dan juga aspek teori dari hukum itu sendiri. Kemudian, as-pek humanitas dapat membawa mahasiswa/mahasiswi akan me-mahami realitas keadilan di masyarakat dan bagaimana menyikap-inya. Kondisi dunia pengadilan di negeri kita yang hampir “lumpuh” akibat praktek korupsi, ini berarti terdapat permasalahan pemaha-man dan penerapan aspek humanitas dari para aparat penegak hu-kum. Ternyata aspek religiositas saja tidak cukup untuk mengikat aparat penegak hukum untuk berkomitmen atas keadilan. Untuk itu aplikasi dan pemahaman yang matang atas aspek humanitas dibutuhkan tidak hanya untuk aparat penegak hukum, tetapi juga pendidikan tinggi hukum harus mengakomodir aspek humanitas tersebut baik di dalam kurikulumnya maupun metode pengajaran.

Jakarta, Juni 2011

Uli Parulian SihombingDirektur Eksekutif ILRC

Page 6: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 1

DISKURSUS

Penyelenggaraan Pendidikan Hukum Menuju

Pembangunan dan Pengembangan Daya Saing BangsaOleh : Agus Lanini dan Amrinif

ABSTRAKSI

Tujuan pendidikan hukum adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengetahui teori hukum dan per-aturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlaku-nya hukum di tengah masyarakat. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hukum dan dominan dalam pendidikan hukum Indonesia. Akibatnya, lulusan fakultas hukum yang akan ber-peran sebagai penegak hukum akan menggunakan pendekatan positivis dan tidak memperhatikan rasa keadilan ditengah ma-syarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan dan beralih lepada konsep hukum progresif. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum untuk ma-nusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undang-un-dang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melay-ani masyarakat. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendi-dikan yang (1) kreatif; (2) responsif; (3) protagonis; (4) berwatak pembebasan dan (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutuhan Indonesia. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa, di-tunjang tenaga pengajar yang profesional dan memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya ber-muara pada penerapan hukum dalam masyarakat.

Kata Kunci : Pendidikan Hukum, Kurikulum Berbasis Kompetesi, Metode Belajar, Pendidikan Hukum Progresif.

Page 7: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

2 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S PENDAHULUAN

Dalam era kompetitif yang semakin terbuka, bangsa Indone-sia mau tidak mau harus terjun dalam persaingan tersebut. Indo-nesia tidak dapat terus bersembunyi dari dinamika globalisasi dan harus menjawab tantangan meningkatkan kualitas sumber daya manusia diberbagai bidang, khususnya di bidang hukum. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan nasional, diantaranya adalah pendidikan hukum. Indonesia harus berupaya mengatasi ketidaksiapan lulusannya untuk bersaing dengan sarja-na hukum asing, menghapus image bahwa sarjana hukum Indoesia tidak siap pakai dan berbagai image negatif lainnya yang mengindi-kasikan rendahnya kualitas lulusan fakultas hukum. Tujuan pendidikan hukum yang ditekankan dewasa ini adalah mahasiswa fakultas hukum diharapakan tidak sekedar mengeta-hui teori hukum dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmadja, menekankan pengkajian hukum dilaku-kan dengan pendekatan sosiologis. Sehingga hukum akan selalu terkait dengan pembangunan sosial-ekonomi. Untuk dapat menca-pai tujuan tersebut, yang diperlukan adalah sebuah pembaharuan pendidikan hukum yang diterjemahkan secara luas dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan tantangan globalisasi. Pem-baharuan secara luas yang dimaksud adalah sebuah reorietasi pendidikan hukum pada pencapaian tujuan pendidikan hukum serta membawa pendidikan hukum dan hukum itu sendiri sebagai sarana pembangunan. Terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mencermati perkembangan pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pe-nyelenggaraan pendidikan hukum berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi dapat diterjemahkan sebagai perwujudan re-orientasi pendidikan hukum nasional. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam melakukan reorientasi pendidikan hukum. Kurikulum pendidikan hukum tidak mengalami perubahan yang berarti dari zaman penjajahan Belanda, mata kuliah dan metode belajar yang diterapkan cenderung statis. Sehingga apa yang di-harapkan masyarakat mapun elemen lainnya dari lulusan fakultas hukum sekarang ini tidak tercapai. Untuk itu reorietasi yang perlu

Page 8: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 3

DISKURSUS

dilakukan dalam pendidikan hukum adalah menerjemahkan kuri-kulum berbasis kompetensi dan menerapkan pendidikan hukum progresif.

Kurikulum Berbasis Kompetesi

Tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum seperti yang disebutkan dalam kurikulum tahun 1993 adalah ”memberikan dasar akademis atau teori ilmu hukum disamping berusaha menekankan aspek keterampilan hukum (legal skills) dan penguasaan hukum positif secara praktis”. Berdasarkan tujuan tersebut, mahasiswa seharusnya memiliki keterampilan hukum dalam mengaplikasikan pendidikan akademis atau teori ilmu hukum yang diperoleh. Per-masalahannya kemudian adalah bagaimana melaksanakan peny-elenggaraan pendidikan hukum agar mahasiswa tidak sekedar tahu teori hukum tetapi juga memiliki keterampilan hukum (legal skills) dalam mengaplikasikan ilmunya. Dewasa ini sedang berkembang sistem pendidikan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK (Competence Based Cur-riculum). KBK diselenggarakan baik pada jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kebijakan ini perlu direspon oleh penyelenggara pendidikan hukum dalam rang-ka memenuhi kebutuhan masyarakat akan lulusan fakultas hukum yang kompeten dalam profesi tradisional hukum1 dan memiliki daya saing tinggi. SK Mendiknas No 045/U/2002 mengemukakan kompetensi sebagai ”seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang untuk dianggap mampu dalam melak-sanakan tugas atau pekerjaan tertentu”. KBK adalah kurikulum menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pengembangan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik pelajar dan pola pengembangan kurikulum bersifat desentralisasi. KBK send-iri dilahirkan sebagai respons atas berbagai persoalan di seputar pendidikan, di antaranya bahwa perkembangan kedewasaan pe-lajar dalam proses pembelajaran juga ditentukan oleh lingkungan dan relasi sosial. Sehingga pengalaman hidup pelajar juga menjadi materi/bahan ajar yang penting.

1 Profesi tradisional hukum yang dimaksud adalah penegak hukum diantaranya jaksa, hakim, advokat dan notaris

Page 9: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

4 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S KBK dalam implementasi alur pembelajaran menitikberat-kan pada beberapa hal, di antaranya: (1) Menekankan pada keter-capaian kompetensi pelajar baik secara individual maupun klasikal (kelompok); (2) Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggu-nakan pendekatan dan metode yang bervariasi; dan (4) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya pengua-saan atau pencapaian suatu kompetensi 2. Ada tiga ciri yang melekat pada lulusan fakultas hukum se-bagai kompetensinya dalam menjalankan profesi hukum, dianta-ranya :

Pertama adalah lulusan fakultas hukum harus mampu meli-hat suatu masalah di tengah masyarakat dari perspektif yang berbeda dengan menemukan suatu fakta dari sudut pandang berbedaKedua adalah kekuatan untuk mencari dasar dari argumen-tasi. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan hukum yang luas bagi mahasiswa untuk dapat mengemukakan pendapat-pendapat hukum. Penting bagi mahasiswa untuk memiliki ke-mampuan melakukan penulusuran terhadap berbagai bahan hukum.Ketiga adalah kemampuan untuk menyampaikan argumen-tasi secara meyakinkan dalam suatu forum baik lisan mapun tertulis3.

Kemampuan dasar yang pertama dan paling penting adalah kemampuan untuk berpikir kritis analitis. Perlu digarisbawahi bah-wa belajar hukum bukan menghafal pasal-pasal, namun bagaimana membentuk kerangka berpikir yang kritis sehingga mampu men-ganalisa persoalan hukum dengan baik melalui seuatu proses pe-nalaran (analiysis skills). Kemampuan ini yang kemudian berimbas pada kemampuan dasar lainnya yang perlu dimiliki. Seorang sar-jana hukum diharapkan untuk memahami asas, prinsip dan keten-tuan hukum yang dipelajarinya sehingga memahami latar belakang dan logika dibalik mengapa hal tersebut diatur termasuk mengenai 2 Trisno Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freelists.org, diakses 25 April 2007 3 Hikmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.peman-tauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA

Page 10: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 5

DISKURSUS

kaidah-kaidah dasar dalam hukum acara. Untuk dapat memenuhi kualifikasi seperti yang disyaratkan di atas, KBK harus tercermin dalam kurikulum pendidikan hukum. Hal ini tentunya agar dapat mengarahkan mahasiswa untuk mam-pu berargumentasi secara ilmiah dalam melakukan pemecahan masalah-masalah hukum di tengah masyarakat. Dalam konteks hukum, pemecahan masalah dengan mengemukakan argumentasi hukum biasa disebut dengan legal opinion. Legal opinion didasar-kan pada logika dan memberikan dasar-dasar pemikiran yang kuat terhadap sebuah penjelasan yang bersifat konseptual terhadap norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan4. Pe-nyusunan legal opinion berangkat dari penalaran, sehingga den-gan melakukn legal opinion mahasiswa akan cenderung terdorong untuk melakukan pemikiran pemikiran yang kritis serta mampu memecahkan permasalahan hukum secara ilmiah. Sampai seka-rang ini pendidikan hukum di Indonesia belum menempatkan argu-mentasi hukum sebagai mata kuliah inti nasional. Dalam kurikulum, saat ini hanya dikenal adanya mata kuliah “Metode Penelitian Hukum“ dengan materi perkuliahan merupak-an formulasi penulisan hukum dan penelitian hukum. Penulisan hukum mencakup pembelajaran menulis dokumen hukum dan melakukan penulisan tugas akhir mahasiswa. Sedangkan materi penelitian hukum hanya mendeskripsikan bagaimana melakukan sebuah penelitian hukum. Sebagai mata kuliah yang penting untuk membekali kemahiran penelitian dan penulisan hukum, matakuli-ah MPH sangat sempit, dan hanya dilakukan dalam satu semester. Seharusnya melalui mata kuliah ini, mahasiswa diberikan dasar-dasar penelitian, metode-metode penelitian hukum dan diperke-nalkan langsung dengan kegiatan penelitian, demikianhalnya den-gan kemahiran penulisan hukum. Dengan waktu yang ditawarkan dalam satu semester, akan sangat sulit bagi mahasiswa dan tenaga pengajar untuk mencapai tujuan tersebut. Pendidikan hukum berbasis kompetensi diharapkan dapat menjawab tantangan globalisasi yang dinamis. Era globalisasi membawa kita pada pemanfaatan teknologi dan hukum harus be-rada dalam ranah tersebut. Maka dari itu di fakultas hukum perlu

4 Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 38-39

Page 11: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

6 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S diperkenalkan materi atau pengajaran mengenai hukum telema-tika, penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan tenaga pengajar harus senantiasa melakukan pengembangan profesional-isme, untuk menjamin kelancaran dan mutu pendidikan. Pembenahan untuk memperbaiki kualitas sarjana hukum Indonesia tidak cukup hanya dengan menambahkan mata kuliah seperti yang dikemukakan di atas meskipun dengan demikian ma-hasiswa akan terdorong untuk berfikir lebih kritis, perlu dilakukan perbaikan metode belajar mengajar. Pendidikan hukum seharusnya menggunakan cara-cara pengajaran yang menjamin partisipasi maksimal dari mahasiswa dalam proses pendidikan yang mem-bangkitkan kemampuan kreatif dan tidak hanya menggunakan sistem kuliah yang membiasakan mahasiswa berada dalam posisi yang pasif. Model yang cukup ideal untuk diterapkan adalah model pendidikan hukum klinis seperti yang dirancang oleh Fakultas Hu-kum Universitas Padjajaran. Pendidikan hukum klinis dimaksudkan adalah suatu kegiatan belajar untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan praktik beracara dan drafting. Praktik beracara se-bagai persiapan profesi hukum dilakukan dengan pendidikan pra-jaksa, pra-hakim dan pra-pengacara yang disatukan dalam bidang peradilan, kemudian legal drafting (kontrak dan legislasi) sebagai keahlian hukum yang dimiliki secara umum oleh sarjana hukum sehingga dimasukkan dalam kategori mata kuliah umum. Untuk melaksanakan pembelajaran seperti ini, diperlukan dukungan dari intansi-instansi dan lembaga terkait penyelenggaraan teknis baik itu Kejaksaan, Kehakiman, Advokat, notaris maupun yang terkait dengan pembuatan undang-undang. Metode belajar seperti ini diharapkan dapat lebih mendekat-kan mahasiswa pada keadaan nyata di lapangan, dan mahasiswa dibekali kemampuan berlitigasi mapun non-litigasi5. Metode bela-jar tersebut membawa mahasiswa melihat, mengetahui dan me-mahami proses peradilan secara nyata. Disamping itu mahasiswa pada akhir semester dihadapkan untuk membandingkan keadaan persidangan sebenarnya dengan yang seharusnya dalam hukum positiv. Metode ini akan memotivasi mahasiswa dalam menyusun argumentasi hukum berdasarkan hukum positif dengan kenyataan- 5 Berlitigasi meksudnya berperan sebagai sebagai hakim, jaksa, dan advokat se-dangkan non-litigasi adalah kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan

Page 12: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 7

DISKURSUS

nya di peradilan. KBK yang mengedepankan legal skills, pemikiran kritis, penalaran, penguasaan bahasa dan teknologi merupakan sebuah reorientasi terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum akan menghapus keraguan akan ketidakmampuan sarjana hukum Indo-nesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sarana pembangunan.

Pendidikan Hukum Progresif

Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi per-soalan serius bagi masyarakat Indonesia. Kepercayaan akan pen-egakan hukum kian terdegradasi dengan berbagai bentuk peny-impangan yang ada dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Salah satu faktonya disebabkan oleh persoalan keadilan yang hadir dalam penegakan hukum atau yang menyentuh rasa keadilan ma-syarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Fakultas-fakultas hukum yang akan mencetak penegak hukum leb-ih banyak mengajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan.6 Hal ini menimbulkan akibat-aki-bat yang serius dalam konteks penegakan hukum. Para hakim yang merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasala-han hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yakni “untuk mencapai keadilan” yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Hukum sebagai bagian dari ilmu memiliki kriteria sosiologis yang pada akhirnya memunculkan sebuah tanggung jawab etik. Hal ini dipahami bahwa dalam mengaplikasikan hukum harus dilandasi dengan sebuah tanggung jawab moral dan etika. Maka dari itu perlu mengupayakan sebuah terobosan dalam pendidikan hukum indo-nesia dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memperbaiki image peradilan di tanah air. Pemikiran dan pendekatan yang bersifat positivistik merupakan salah satu unsur yang ada dalam pendidikan hu-kum. Pendekatan positistik ini lebih condong pada hukum positif ketimbang rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sementara

6 Anonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara.wordpress.com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA

Page 13: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

8 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S pendidikan hukum indonesia tidak dapat dipungkiri didominasi den-gan warna positivistik, sehingga lulusan fakultas hukum yang akan berperan sebagai penegak hukum juga akan berbau positivis yang tidak begitu memperhatikan rasa keadilan ditengah masyarakat. Pendidikan dengan wajah seperti ini seharusnya sudah mulai ditinggalkan sebagai upaya pembangunan nasional melalui konsep hukum. Hukum sepantasnya ada untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Untuk itu Satjipto Rahardjo kemudian memperkenalkan hukum progresif yang masih saja bersifat kon-tekstual. Hukum progresif berpegang pada paradigma hukum un-tuk manusia. Hukum dianggap sebagai jembatan antara undang-undang yang statis dengan penerapannya di masa kini dan masa yang akan datang. Hukum bertugas untuk menuntun dan melayani masyarakat. Pemikiran akan hukum progresif dapat diterjemahkan ke-dalam pendidikan hukum Indonesia untuk melakukan perubahan terhadap citra penegakan hukum di indonesia. Meskipun dalam kurikulum hukum telah dikenal adanya mata kuliah etika dan tang-gung jawab profesi akan tetapi dengan memberikan mata kuliah ini ternyata tidak cukup untuk memberikan dasar yang kuat bagi ma-hasiswa untuk melakukan penegakan hukum yang lebih mengede-pankan rasa keadilan setelah berprofesi sebagai penegak hukum, karena pandangan positivistik yang melekat dalam proses pembe-lajarannya pada saat kuliah. Pendidik hukum hendaknya tidak hanya mengajarkan pen-getahuan dan apa yang dapat dilakukan seorang ahli hukum (profe-si hukum) tetapi juga apa yang seharusnya (ought to be) dilakukan seorang ahli hukum. Pembelajaran seperti ini cenderung memberi-kan pandangan legal ethic kepada mahasiswa untuk dapat mela-ksanakan legal trust dengan baik sehingga tidak mengabaikan cita hukum yakni kedilan. Pada akhirnya pendekatan seperti ini akan membawa penegak hukum yang dididik dalam nuansa pendidikan hukum progresif untuk melaksanakan penegakan hukum yang leb-ih memihak pada keadilan secara materil dan tidak menjadi pem-bingkai perbuatan dalam aturan hukum positiv semata. Pendidikan progresif dicirikan sebagai pendidikan yang (1) kreatif, (2) responsif, (3) protagonis, (4) berwatak pembebasan dan yang terakhir adalah (5) berorientasi pada Indonesia dan kebutu-

Page 14: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 9

DISKURSUS

han Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan hukum yang progresif diharapkan melahirkan lulusan yang senantiasa mengedepankan hati nurani dan keadilan, sehingga pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat akan lebih diutamakan sejalan dengan kondisi hukum dan masyarakat yang senantiasa dinamis7 Pendidikan hukum progresif merupakan pendidikan yang membebaskan diri dari kungkungan dogmatisme hukum, lebih di namis dan berlawanan dengan pendidikan hukum status quo. Pen-didikan hukum progresif yang dimaksud mencoba memadukan atau mensintetiskan berbagai basis pendidikan dengan dasar pengin-tegrasian IESQ (Intellectual Emotional Spiritual Quitionent) dalam penerapannya8. IESQ dimaksudkan sebagai perpaduan kecerdasan yang harmonis dan dilandasi dengan komitmen moral. Terciptanya suatu iklim hukum yang baik di tengah masyara-kat melalui reorientasi pendidikan hukum tidak hanya membangun bangsa dari sektor hukum atau aturan-aturan yang berkembang dari masrakat. Akan tetapi juga di sektor-sektor lainnya yakni eko-nomi, politik, sosial dan secara keseluruhan aspek-aspek yang ber-sentuhan dengan hukum juga mengalami perkembangan. Penulis kembali kepada landasan berfikir penulis bahwa hukum sebagai ilmu praktis bersifat normatif karena berdampak secara langsung dalam kehidupan masyarakat, di mana hukum memiliki peran un-tuk memecahkan persoalan ditengah masyarakat. Untuk itu pem-benahan produk fakultas hukum melalui pendidikan hukum perlu untuk dilaksanakan segera dalam menghadai persoalan krisis sumberdaya manusia baik secara intelektual maupun moralitas. Penerapan kurikulun berbasis kompetensi dalam pendidikan hukum dengan merubah metode belajar, kurikulum dan mengam-bangkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa yang ditunjang de-ngan tenaga pengajar yang profesional dan juga memperkenalkan pendidikan hukum progresif diharapkan mampu membawa suatu iklim baru dalam dunia pendidikan hukum yang pada akhirnya ber-muara pada penerapan hukum dalam masyarakat.

7 Hikmanto Juwana, Op. Cit. hal 5

8 Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 139

Page 15: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

10 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :1. Pendidikan hukum di Indonesia telah mengalami beberapa kali

perubahan yang juga merubah tujuan penyelenggaraan pen-didikan hukum yang sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan kebijakan pemerintah. Meskipun tujuan pendidikan hukum telah mengalami beberapa kali perubahan seiring berubahnya tuntutan zaman, akan tetapi produk fakultas hukum tidak ban-yak mengalami perubahan dan cenderung legalistik bahkan tidak memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca ke-merdekaan. Hal tersebut berdampak pada ketidak mampuan produk fakultas hukum untuk memenuhi kebutuhan masyara-kat di era pembangunan. Persoalan ini tidak lain karena adanya kesenjangan antara ilmu yang diperoleh ketika kuliah dengan kenyataan di lapangan. Hal ini disebabkab kendala di kurikulum fakultas hukum, metode belajar, tenaga pengajar dan fasilitas belajar.

2. Upaya untuk membenahi pendidikan hukum adalah dengan melakukan reorientasi pendidikan hukum dengan menerapkan KBK, mempersiapkan mahasiswa untuk profesi hukum praktis dengan memberikan pendidikan yang dapat mendorong ma-hasiswa berfikir kritis, melakukan penalaran, memperbaiki metode belajar di fakultas hukum dan membawa mahasiswa lebih dekat pada kenyataan di lapangan, serta memanfaatkan secara maksimal perpustakaan, komputerisasi dan laboratori-um di fakultas hukum. Disamping itu, perlu diperkenalkan suatu pendidikan progresif untuk mengatasi persoalan menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indo-nesia (legal trust).

Saran-Saran

Penulis merekomendasikan hal-hal berikut, atas kesimpulan dan pembahasan yang dipaparkan di atas :1. Kurikulum berbasis kompetensi hendaknya diterjemahkan

dalam pendidikan hukum, dengan menekankan metode-metode yang mampu mendorong pemikiran kritis, penalaran, kreatifitas,

Page 16: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 11

DISKURSUS

dan legal skills mahasiswa fakultas hukum diantaranya dengan mengetangahkan mata kuliah legal opinion, hukum telematika dan memberikan pendidikan dan ketrampilan profesi hukum serta menerapkan pendidikan hukum yang bersifat progresif.

2. Pendidikan hukum harus meninggalkan metode lama yang tidak lagi sejalan dengan kebutuhan pembangunan dan masyarakat. Perlu untuk segera dilakukan reorientasi pendidikan hukum di Indonesia. Untuk membekali legal skill itu perlu dilakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga profesi hukum dalam penye-lenggaraan pendidikan hukum dan mengupayakan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran.

Daftar Pustaka

Anonim, Carut Marut Dunia Pendidikan Hukum, http://anggara.wordpress.com, diakses 25 Maret 2007 Pukul 10.00 WITA

Anthony Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT.Refika Aditama, Bandung, 2005

___________, Reformasi Hukum di Indonesia (Hasil Studi Perkembangan Hukum, Proyek Bank Dunia), PT. Cyberconsult, Jakarta, 1999

HIkmanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses 25 Maret 2007 pukul 10.00 WITA

Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmianti, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, yogyakarta, 2005

Trisno,Yulianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi, http://www.freel-ists.org, diakses 25 April 2007

Page 17: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

12 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

Page 18: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 13

DISKURSUS

KONSEP ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA DAN URGENSI PEMBENTUKANNYA

DI INDOENSIAPultoni 9

ABSTRAKSIPendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajar-kan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandangan mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Implementasi prinsip-prin-sip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepengacaraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial dan keberpihakan mereka kepada ke-pentingan publik serta tanggungjawab sosial profesi sebagai prak-tisi hukum dalam berbagai bidang. Pelaksanaan pendidikan hukum klinik mencakup empat komponen yaitu (1) komponen praktik; (2) Mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampilan dan nilai; (3) Fokus kerja klinik yaitu pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mem-promosikan hak asasi manusia; dan (4) Pemberian kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang ber-beda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta memiliki sejumlah matakuliah yang bersi-fat praktis dan lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi mahasiswa berpraktek. Sehingga terdapat kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hukum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik.Kata Kunci : Pendidikan Hukum Klinik, Asosiasi Legal Clinic, Kuri-

kulum Fakultas Hukum

9 Program Manager The Indonesian Legal Resource Center dan Pilnet Fellow (2010-2011) untuk program pengembangan pendidikan hukum klinik di Indonesia

Page 19: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

14 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S A. PENGANTAR

Pendidikan hukum klinik adalah metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh fakultas hukum di berbagai negara untuk mengajarkan kepada mahasiswa ketarampilan, nilai, dan pandang-an mereka tentang hukum serta hak asasi manusia. Melalui pendi-dikan hukum klinik mahasiswa hukum tidak hanya belajar tentang hukum dalam teks, tetapi juga belajar tentang bagaimana mene-rapkannya dalam situasi dan konteks yang berbeda-beda, dan me-mahami sekaligus mengevaluasi bekerjanya hukum di tengah ma-syarakat. Bagi fakultas hukum di Indonesia konsep pendidikan hukum klinik sudah dikenal sejak lama, walaupun dalam praktik yang ber-beda yang umumnya dipahami dan diterapkan oleh fakultas hukum di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) terhadap kurikulum fakultas hukum di Indonesia baik negeri maupun swasta menye-butkan, bahwa hampir semua fakultas hukum memiliki sejumlah matakuliah yang bersifat praktis dan juga lembaga bantuan hukum yang menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Namun demikian, tidak ada korelasi antara matakuliah praktis dan lembaga bantuan hukum yang dapat menjadi tempat bagi maha-siswa berpraktek. Hampir semua lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh fakultas hukum tidak menjadi bagian dari kurikulum fakultas hukum dan minimnya partisipasi maupun keterlibatan ma-hasiswa.10

Open Society Justice Initiative (OSJI) merumuskan standart pelaksanaan pendidikan hukum klinik11. Pertama, adanya komponen praktik. Dalam pendidikan hu-kum klinik fakultas hukum harus memberikan kesempatan kepa-da mahasiswa untuk bekerja dan berpraktik melalui kasus-kasus konkrit di pengadilan, atau setidak-tidaknya berhubungan lang-sung dengan klien untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi. Untuk mendapatkan pengalaman praktik tersebut, fakultas hukum dapat melakukannya melalui tiga pendekatan yaitu: (i) In house clinic atau lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh

10 The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools Curricula in Indonesia, 2011. 11 Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic.

Page 20: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 15

DISKURSUS

fakultas hukum dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa menangani kasus-kasus yang ada dengan supervisi dari pengajar klinik; (ii) Externship Clinic dimana fakultas hukum bertanggung-jawab terhadap komponen kelas, kemudian mahasiswa bekerja dengan NGO atau institusti penegak hukum dimana mereka dapat menangani kasus secara langsung; (iii) Street Law Clinic yaitu suatu metode dimana mahasiswa akan mengajar dan mendidik komuni-tas atau kelompok masyarakat tertentu tentang masalah-masalah hukum yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua, mengintegrasikan antara pengetahuan, keterampi-lan dan nilai. Pendidikan hukum klinik harus meliputi komponen kelas yang akan mengkombinasikan pembelajaran terhadap sub-tansi hukum dan keterampilan. Selain itu, komponen kelas juga akan menjadi media refleksi terhadap profesionalisme seorang praktisi hukum dan nilai-nilai keadilan sosial. Ketiga, fokus kerja klinik. Fokus atau ruang lingkup kerja dari klinik adalah pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu atau kelompok marginal, dan memperkuat atau mempro-mosikan hak asasi manusia. Keempat, pemberian kredit bagi kerja-kerja klinik. Fakultas hukum harus memberikan sejumlah kredit kepada mahasiswa atau pengajar atas partisipasi mereka dalam kegiatan klinik. Pendidikan hukum klinik adalah sebuah metode pembe-lajaran hukum yang tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen, tetapi juga berdampak terhadap masyarakat, terutama untuk memberikan pengetahuan kepada mereka tentang prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia, dan bagaimana seharusnya hukum bekerja dalam kehidupan sosial.12 Melalui model pendidikan ini diharapkan masyarakat juga mendapatkan akses yang layak ter-hadap keadilan, khususnya bantuan hukum. Implementasi prinsip-prinsip pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum, diyakini dapat meningkatkan kapa-sitas dan kemampuan mahasiswa hukum dalam bidang kepenga-caraan, menanamkan nilai-nilai keadilan, melatih kepekaan sosial

12 Di Afrika Selatan program Street Law yang dikembangkan di Universitas Na-tal oleh Professor David McQuoid-Mason menjadi sarana pembelajaran yang efektif baik bagi mahasiswa dan paralegal di komunitas dalam menentang praktik-praktik Aphart-heid.Program yang diselenggarakan secara terus-menerus tersebut terbukti dapat mem-perkuat demokrasi dan hak asasi manusia.

Page 21: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

16 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S dan keberpihakan mereka kepada kepentingan publik serta tang-gungjawab sosial profesi sebagai praktisi hukum dalam berbagai bidang.13 Ada kebutuhan untuk mereformasi sistem pendidikan hu-kum di Indonesia dengan mengadopsi sistem pendidikan hukum klinik. Dalam mempromosikan konsep pendidikan hukum klinik dan meningkatkan kapasitas para pengajar klinik, beberapa negara membentuk asosiasi legal clinic dengan model yang berbeda-beda. Tulisan berikut akan menguraikan tentang model-model tersebut yang diterapkan di berbagai negara, menawarkan strategi pemben-tukan dan rekomendasi konsep asosiasi yang mungkin tepat untuk konteks Indonesia.

B. ASOSIASI LEGAL CLINIC DI BEBERAPA NEGARA

1. Latar Belakang

Setiap negara memiliki latar belakang yang berbeda-be-da dalam membentuk asosiasi legal clinic yang dipengaruhi oleh sistem hukum, sistem pendidikan, dan juga budaya proses pem-belajaran hukum di masing-masing negara. Perbedaan sistem dan budaya tersebut berpengaruh terhadap pilihan model dan bentuk asosiasi yang mereka kembangkan, baik sifat organisasi, tujuan organisasi, struktur organisasi, dan strategi lain dalam mempro-mosikan pendidikan hukum klinik. Secara umum setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi lahirnya asosiasi, yaitu masih terbatasnya pendidikan hukum yang mengadopsi dan menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip dan standar dalam melaksanakan pendidikan hukum klinik dalam pem-balajaran hukum. Latarbelakang yang lain adalah adanya kebutu-han untuk lebih mempromosikan dan menyebarluaskan konsep pendidikan hukum klinik sebagai bagian dari proses pembelajaran di fakultas hukum.

2. Bentuk dan Sifat

Bentuk organisasi yang dikembangkan di setiap negara ber-beda-beda, terutama istilah dan dasar hukum yang digunakan ses-uai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di masing- 13 Dibeberapa negara seperti USA, progam pendidikan hukum klinik merupakan program yang wajib diselenggarakan oleh fakultas hukum. American Bar Association juga memandatkan program tersebut untuk menjamin kualitas lulusan fakultas hukum.

Page 22: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 17

DISKURSUS

masing negara. Setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ‘Asosiasi’, ‘Network’, ‘Komite’ dan ada juga yang menggu-nakan ‘Yayasan’. Moldova14 dan Afrika Selatan15 menggunakan Aso-siasi, China menggunakan Komite,16 Nigeria menggunakan istilah Network,17 serta Polandia18 dan Rusia19 menggunakan Yayasan. Se-lain itu, pendirian organisasi dilakukan berdasarkan pengesahan, baik oleh pemerintah masing-masing ataupun notaris. Terkait dengan sifat dan karakteristik organisasi, ada yang menyebut secara tegas dalam Anggaran Dasar (AD), ada juga yang tidak menyebutkan secara tegas. Moldova menyebut secara tegas dalam AD bahwa organisasi yang mereka bentuk bersifat asosiasi publik, organisasi non-pemerintah, non-politik, dan non-profit.20 Hal yang sama juga disebutkan dalam AD Committee of Chinese Clinical Legal Education, bahwa komite adalah organisasi aka-demik bersifat national, non-profit yang didirkan oleh para penga-jar klinik, pengurus dan lain sebagainya.21 Lain halnya dengan Ru-sia yang menyebutkan bahwa the Clinical Legal Foundation adalah non-membership based dan organisasi non-profit.22

3. Tujuan

Organisasi asosiasi legal clinic di setiap negara juga memiliki tu-juan yang berbeda-beda dan juga strategi untuk mencapai tujuan itu. Setidaknya ada empat tujuan utama yang hampir ada disemua organisasi yaitu;

a. Mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pen-didikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum;

b. Mengkonsolidasikan dan memperkuat jaringan organisasi le-

14 Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. 15 Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa. 16 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 17 Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 18 The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland. 19 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 20 Article 1 paragraph (1.1), Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal Clinics”. 21 Article 1 Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators. 22 Article 1 paragraph (1.1), Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia

Page 23: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

18 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S gal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, nasi-onal, maupun internasional.

c. Meningkatkan kapasitas organisasi legal clinic dan individu pengajar klinik;

d. Mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic. Beberapa asosiasi seperti Nigeria dan Afrika Selatan juga memiliki tujuan untuk mempromosikan bantuan hukum sebagai bagian dari akses terhadap keadilan. Sedangkan Legal Clinic Foun-dation di Polandia juga bertujuan untuk melakukan advokasi ke-bijakan terkait dengan pendidikan hukum klinik. Untuk mencapai tujuan organisasi ada beberapa kegiatan yang umum mereka ker-jakan diantaranya melalui pendidikan, penelitian, publikasi, diskusi publik, pengembangan jaringan, penggalangan dana, dan lain-lain.

4. Badan-Badan

Asosiasi legal clinic di setiap negara memiliki model struk-tur organisasi yang berbeda-beda dengan mandat atau wewenang yang berbeda-beda pula. Selain itu, cara pengisian anggota badan-badan tersebut juga berbeda-beda.

a. Moldova

Struktur organisasi di Moldova terdiri dari; (i) General Asembly (ii) Executive Bureau; (iii) Executive Director; (iv) Audit Committee.23 General Asembly adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam asosiasi yang memiliki wewenang diantaran-ya (i) menyusun kegiatan asosiasi, (ii) menyetujui rencana ke-giatan tahunan, (iii) menyetujui penyempurnaan dan peruba-han AD, (iv) menyetujui anggaran tahunan, (v) memilih dan memberhentikan Executive Bureau, Executive Director dan Audit Commite, (vi) menyetujui laporan tahunan keuangan, (vii) memutuskan pembubaran asosiasi, (viii) mengawasi keg-iatan Executive Bureau, (ix) mengadopsi keuangan umum dan pengembangan strategis, (x) menyelesaikan berbagai perma-salahan yang terkait dengan asosiasi.24 Executive Bureau adalah badan pelaksana asosiasi

23 Article 4 paragraph (1), Statuteof the Public Association, “Association For Mol-dovan Legal Clinics”. 24 Ibid,article 4 paragraph (2).

Page 24: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 19

DISKURSUS

yang memiliki wewenang diantaranya: (i) menyetujui per-aturan internal asosiasi, (ii) menyetujui jabatan dalam asosiasi, mengangkat dan memberhentikan seseorang, (iii) menyusun anggaran asosiasi, laporan tahunan keuangan dan kegiatan, dan menyampaikannya dalam sidang umum, (iv) menentukan tugas dan tanggunjgawab Direktur Eksekutif, (v) menginfor-masikan kepada anggota kegiatan-kegaitan dan keputusan-keputusan asosiasi, mengajukan kepada sidang umum pem-berhentian anggota, dan (vi) memutuskan masalah yang tidak menjadi kompetensi dari badan-badan yang ada dalam aso-siasi. Badan ini memilliki tiga orang anggota yaitu Direktur Eksekutif dan dua anggota dan dipilih oleh rapat anggota un-tuk masa jabatan 2 tahun.25 Direktur Eksekutif dipilih oleh Rapat Umum anggota, dan memiliki tanggungjawab diantaranya: (i) menjamin pelak-sanaan strategi yang diputusan oleh rapat umum, (ii) menja-min jalannya menejemen asosiasi dan Executive Bureau, (iii) menyusun rencana program tahunan, (iv) melakukan peng-galangan dana, (v) mewakili asosiasi dalam berhubungan dengan individu, lembaga atau pemerintah, (vi) menyusun peraturan internal, (vii) mengorganisasikan pembukuan dan data statistik terkait dengan produk legislasi, (viii) menyetu-jui permintaan, keputusan, dan instruksi, dan (ix) mengelola kekayaan asosiasi.26 Anggota Komite Audit dipilih oleh rapat umum untuk masa kerja 2 tahun dan bertugas mengawasi kegiatan asosia-si. Badan ini bertanggungjawab untuk: (i) melakukan analisa terhadap apa yang telah dilakukan Executive Bureau dalam mengimplementasikan rencana strategis dan keputusan si-dang, serta menyetujui laporan tahunan Executive Bureau, (ii) menyusun laporan pengawasan tahunan terhadap kegaitan Executive Bureau. Selain itu, komite juga berhak atas kebebe-san akses terhadap informasi, membuat usulan kepada rapat umum dan berkonsultasi dengan Executive Bureau.27

25 Ibid, article 4 paragraphs (5). 26 Ibid, article 4 paragraphs (8). 27 Ibid, article 4 paragraphs (9).

Page 25: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

20 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S

b. Nigeria

Penanggungjawab menejemen NULAI adalah Execu-tive Committee yang terdiri dari tidak lebih 7 orang yang dipilih oleh rapat umum anggota. Rapat umum akan memilih (i) Pres-ident, (ii) Vice president, (iii) Secretary, dan (iv) tiga atau em-pat anggota tambahan. Komite eksekutif bertindak mewakili kepentingan NULAI. Executive commite bertindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menen-tukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi kepada anggota terkait ke-bijakan penting organisasi.28

c. Afrika Selatan

Asosiasi legal clinic di Afrika Selatan dijalankan oleh Executive Committee yang berjumlah tidak lebih dari 8 orang yang terdiri dari (i) Presiden, (ii) Wakil Presiden, (iii) Sekre-taris/Bendahara, (iv) Tiga atau lima anggota tambahan untuk memastikan keterwakilan wilayah. Anggota komite eksekutif dipilih dalam rapat umum anggota. Executive Commite ber-tindak untuk dan atas nama organisasi. Dalam pengambilan keputusan komite dilakukan dengan suara terbanyak, dan suara ketua menentukan jika ada kesamaan jumlah suara. Komite berkewajiban untuk menyebarluaskan informasi ke-pada anggota terkait kebijakan penting organisasi.29

d. China

Komite CLE China terdiri dari Kommite Permanen dan Badan Pelaksana Komite. Pengajar klinik dapat dipilih se-bagai anggota tetap komite. Anggota komite permanen dipilih untuk masa kerja 3 tahun dan memiliki hak dan kewajiban di-antaranya; (i) menjalankan hak untuk memilih dan bertindak yang ditujukan kepada komite permanen, (ii) melaksanakan keputusan komite, (iii) memilih dan memberhentikan Direktur

28 Article 7 Constitution of Network of University Legal Aid Institutions (Nulai Nigeria). 29 Article 7 Constitution of the Association of University Legal Aid of South Africa

Page 26: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 21

DISKURSUS

dan Wakil Direktur, (iv) memutuskan pembentukan lembaga yang akan menangani kegiatan komite dan lembaga khusus lain, (v) merancang program tahunan, (vi) memutuskan ang-garan tahunan komite dan mengawasi keuangan komite, (vii) mengarahkan pengembangan kerja komite cabang, (viii) ber-partisipasi dalam menyusun dan merubah peraturan komite, (viii) ikut memutuskan kegiatan penting komite30. Badan Pelaksana Komite terdiri dari; (i) direktur, (ii) tiga wakil direktur, (iii) Satu orang sekretaris komite. Direktur dan tiga wakil direktur dipilih oleh anggota komite permanen untuk masa kerja 3 tahun. Direktur bertanggungjawab dalam mengelola kegiatan harian komite, mengarahkan kerja-kerja sekretariat, dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan individu, dan bertanggungjawab terhadap komite. Sekretaris komite diusulkan dan ditetapkan oleh Direktur setelah mendapat persetujuan dari komite parmanen untuk masa kerja 3 tahun dan bisa diperbaharui. Sekretaris komite bertanggungjawab terhadap kerja-kerja sekretariat dan bertanggungjawab ke-pada direktur. Sekretaris komite dapat diangkat dari orang yang bukan anggota komite permanen31.

e. Polandia

Kepengurusan Yayasan Legal Clinic terdiri dari Board of Foundation, Councel of the Foundation, dan Advosory Board. Council memegang hak memutuskan dan pengawasan. Coun-cil terdiri dari dua kelompok anggota yaitu dosen dari klinik yang terakreditasi oleh yayasan, dan mereka yang mendukung kerja-kerja yayasan. Council memiliki beberapa tugas dian-taranya (i) menyusun kegiatan yayasan setelah berkonsultasi dengan Advisory Board, (ii) menyusun tugas-tugas pengurus dengan waktunya, (iii) membenutk sistem penggajian anggota board, (iv) melakukan supervisi terhadap kerja-kerja board, (v) menyetujui rencana keuangan tahunan yayasan, (vi) meny-etujui laporan tahunan board dalam kegiatan, dan keuangan, (vii) menentukan tugas-tugas board tahunan selanjutnya, (viii) membuat standard penggajian bagi pegawai yang bekerja di

30 Article 19 Regulation of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators 31 Ibid, Article 21-24.

Page 27: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

22 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S yayasan, (ix) mengadopsi peraturan menejemen sumber daya keuangan yayasan32. Anggota badan pengurus terdiri dari 5 orang yang diangkat oleh dewan yayasan untuk masa kerja 2 tahun dan bisa menjabat lebih dari satu periode. Anggota dewan tidak diperboleh menjawab sebagai pengurus yayasan. Pengurus yayasan memiliki tugas; (i) melaksanakan kegiatan yayasan, (ii) mengelola kekayaan yayasan, (iii) menyiapkan rancangan rencana keuangan tahunan yayasan, (iv) menyiapkan laporan tahunan kegiatan yayasan, (v) melaksanakan resolusi dewan, (vi) mengontrol kegiatan legal clinic berdasarkan standart, (vi) membentuk unit-unit dalam yayasan, (vii) menyusun per-aturan tentang kepegawaian, penggajian dan lain sebagain-ya.33 The Advisory board adalah badan konsultasi yayasan. Anggota badan ini diangkat dan diberhentikan oleh Council dari perorangan yang kompeten dan memiliki otoritas penting terhadap kegiatan yayasan.34

f. Rusia

Struktur organisasi Yayasan Pendidikan Hukum Klinik Ru-sia terdiri dari Dewan Yayasan, Badan Eksekutif, dan Badan Penasehat.Dewan yayasan memegang kekuasaan tertinggi dalam yayasan. Badan ini memiliki beberapa wewenang di-antaranya, (i) mengubah AD yayasan, (ii) mengidentifikasi pri-oritas program yayasan, (iii) mengatur prinsip-prinsip pem-bentukan dan penggunaan kekayaan yayasan, (iv) membentuk badan eksekutif dan badan penasehat (v) membuat perjanjian atau kontrak kerja dengan Direktur dan menentukan gajin-ya, (vi) mengambil keputusan terhadap anggota baru dewan yayasan, (vii) menyetujui laporan tahunan dan keuangan, (viii) menyetujui rencana keuangan dan perubahannya, (ix) mem-bentuk cabang dan kantor perwakilan yayasan, (x) mengambil keputusan untuk membentuk lembaga komersil maupun tidak komersil, berpartisipasi dalam non-profit organization terma-

32 Article 13 the Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland 33 Ibid, article 19-20. 34 Ibid, article 23-24.

Page 28: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 23

DISKURSUS

suk asosiasi, (xi) mengambil keputusan terhadap reorganisasi yayasan, (xii) menyetujui concept paper yayasan dalam keg-iatan, termasuk rencana strategi pengembangan yayasan, pe-rubahan, dan implementasinya. Dan masih ada lagi wawenang lain badan ini. 35

Anggota Badan Eksekutif yayasan terdiri dari 3-6 orang yang dipilih oleh Dewan Yayasan untuk masa kerja 2 ta-hun, dan dapat dipilih kembali tanpa ada pembatasan. Badan Eksekutif dipimpin oleh seorang ketua.36 Sedangkan badan penasehat adalah badan yayasan yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap penggalangan dana, dan tercapainya tujuan yayasan. Anggota badan ini diangkat oleh dewan yayas-an.37

5. Keanggotaan

Mayoritas organisasi asosiasi legal clinic berbasis keang-gotaan, kecuali Polandia dan Rusia. Ada dua tipe keanggotaan yang diadopsi oleh asosiasi yaitu berbasis lembaga/organisasi dan be-rabasis perorangan. Keanggotaan asosiasi legal clinic di Moldova38 dan China39 mengadopsi keanggotaan berbasis kelembagaan dan individu, yang memiliki perhatian dan tertarik terhadap pengem-bangan pendidikan hukum klinik. Sedangkan keanggotaan asosia-si legal clinic di Nigeria dan Afrika Selatan hanya dibatasi pada kelembagaan yaitu lembaga bantuan hukum yang dibentuk di per-guruan tinggi. Selain itu asosiasi legal clinic di Nigeria40 dan Afrika41 Selatan juga mengadopsi keanggotaan mitra, yaitu keanggotaan yang diberikan kepada lembaga bantuan hukum kampus yang tidak memenuhi syarat sebagai angota tetap. Setiap negara juga berbeda dalam mengatur mekanisme keanggotaan, hak dan kewijiban anggota. Ada beberapa hak yang secara umum diatur dalam Anggaran Dasar asosiasi diantaranya

35 Article 5 Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia. 36 Ibid, article 6 37 Ibid, article 8 38 Opcit,Article 5.11. 39 Opcit,Article 14. 40 Opcit,Article 5. 41 Opcit,Article 5.

Page 29: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

24 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S adalah hak untuk memilih dan berpendapat, dan hak untuk berpar-tisipasi dalam kegiatan asosiasi. Sedangkan kewajiban anggota an-tara lain menjaga nama baik asosiasi, dan membayar iuran tahunan anggota.

6. Rapat-rapat Bagi organisasi yang berbasis keanggotaan, kekuasaan ter-tingi dalam organisasi adalah rapat anggota. Rapat itu diselengga-rakan secara periodik, ada yang 18 bulan ada yang 2 tahun. Sebagai kekuasaan tertinggi rapat anggota memiliki wewenang yang cukup luas terkait kebijakan asosiasi dan menentukan arah organisasi seperti merubah dan menyempurnakan anggaran dasar, menyusun kebijakan umum asosiasi terkait program dan keuangan, memilih dan memberhentikan pengurus yang akan bertanggungjawab ter-hadap jalannya asosiasi, dan menentukan keangotaan asosiasi.

C. PEMBENTUKAN ASOSIASI DI INDONESIA

1. Gagasan Pembentukan Asosiasi

The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organ-isasi non-pemerintah yang fokus pada upaya pembaruan pendidi-kan hukum. Salah satu gagasan yang dikembangkan oleh ILRC un-tuk mendorong pembaruan pendidikan hukum adalah mengadopsi model pendidikan hukum klinik dalam pembelajaran hukum bagi mahasiswa. Sejak tahun 2007 ILRC menginisiasi beberapa kegiatan dan program dalam rangka mendorong pembaruan pendidikan hu-kum dan memperkuat akses terhadap keadilan melalui penguatan LBH Kampus. Selain ILRC, sejak tahun 2006 Open Society Justice Initiative (OSJI) dan Yayasan TIFA juga mengembangkan program pendidikan hukum klinik di dua universitas yaitu Universitas Islam Indonesia Jogjakarta dan Universitas Pasundan Bandung. Dua uni-versitas tersebut menjadi pilot project bagi implementasi program pendidikan hukum klinik di Indonesia.42 Konsolidasi pengembangan pendidikan hukum klinik dan LBH Kampus semakin menguat seir-ing dengan adanya pertemuan, sharing pengalaman, training dan kegiatan lain yang diselenggarakan sehingga memunculkan ide tentang pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik.

42 Fakultas Hukum UII mengembangkan program bantuan hukum dan fakultas hukum Universitas Pasundan mengembangkan program street law.

Page 30: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 25

DISKURSUS

Gagasan mengenai pentingnya pembentukan asosiasi le-gal clinic pertama kali muncul pada saat workshop LBH Kampus di Surabaya pada tanggal 25-27 April 2009.43 Pertemuan ini telah merekomendasikan salah satunya untuk memperkuat jaringan LBH Kampus dengan melakukan beberapa kegiatan diantaranya pem-bentukan forum di tingkat nasional, mengembangkan mekanisme komunikasi antar anggota dan sharing informasi aktivitas masing-masing lembaga melalui website.44 Rekomendasi ini kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan pelatihan pimpinan LBH Kampus untuk memperkuat akses terhadap keadilan yang diselenggarakan pada tanggal 27-29 Juli 2009 di Jakarta.45 Kegiatan ini menyepakati pentingnya pembentukan forum legal clinic yang bertujuan untuk membangun komunikasi dan sharing informasi diantara anggota, serta melakukan konsolidasi untuk memperkuat legal clinic di fakultas hukum.46 Pada tanggal 15 April 2010 ILRC bersama beberapa LBH Kampus menyelenggarakan pertemuan di Universitas Pelita Hara-pan dalam rangka advokasi RUU Bantuan Hukum yang kemudian juga diikuti oleh pertemuan-pertemuan berikutnya. Selain meng-kritisi RUU Bantuan Hukum yang didalamnya juga mengatur ten-tang keberadaan LBH kampus, pertemuan tersebut juga mem-bahas strategi advokasi dan konsolidasi LBH Kampus. Salah satu hasilnya adalah membentuk Forum Solidaritas LBH Kampus dan menyepakati Universitas Pelita Harapan sebagai host yang akan mengkoordinir komunikasi dalam forum.47 Dalam praktiknya forum

43 Kegiatan ini diikuti oleh diantaranya perwakilan dari Fakultas Hukum Un-air Surabaya, Fakultas Hukum Hasanuddin Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, dan Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu 44 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop Penyusu-nan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya 45 Pelatihan diikuti oleh 11 LBH Kampus diantaranya adalah Fakultas Hukum Unair Surabaya, Fakultas Hukum Brawijaya Malang, Fakultas Hukum Unhas Makasar, Fakultas Hukum UII Jogjakarta, Fakultas Hukum Unpas Bandung, Fakultas Hukum Uday-ana Bali, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Fakulas Hukum Untad Palu, Fakultas Hu-kum Uncen Papua, Fakultas Hukum Pakuan Bogor, dan Fakultas Hukum Pelita Harapan Tangerang. 46 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan Penye-lenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009 47 Forum Solidaritas LBH Kampus telah berhasil menyusun position paper ten-tang RUU Bantuan Hukum yang dipublikasikan bekerjasama dengan ILRC.

Page 31: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

26 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S yang dibentuk kurang dapat berjalan dengan baik sesuai rencana. Penyelenggaraan training keadilan sosial yang diikuti oleh pengajar fakultas hukum pada tanggal 1-4 Oktober 2010 di Bogor mereko-mendasikan pembentukan asosiasi legal clinic bukan hanya seke-dar forum seperti yang berjalan selama ini.48 Menjelang penyelenggaraan Simposium Nasional tentang pendidikan hukum klinik yang akan diselenggarakan bulan Sep-tember 2011, ILRC melakukan survey tentang urgensi pembentu-kan asosiasi pendidikan hukum klinik di Indonesia. Survey dilaku-kan melalui interview terhadap beberapa dekan fakultas hukum dan pimpinan legal clinic49. Mereka diminta pendapatnya terkait rencana pembentukan asosiasi legal clinic, khususnya terkait den-gan urgensi pembentukannya, model yang tepat untuk dikembang-kan, mandat atau wewenang serta proses pembentukannya. Mayoritas narasumber yang dimintai pendapat setuju dan mendukung pembentukan asosiasi, karena organisasi ini akan menjadi wadah bagi pengembangan progam klinik di Indonesia di masa yang akan datang. Hanya saja narasumber masih belum bisa memastikan bentuk dan model asosiasi yang tepat untuk dikem-bangkan di Indonesia. Meskipun demikian, ada juga diantara nara-sumber yang kurang setuju dengan pembentukan asosiasi, karena dianggap belum waktunya. Konsep pendidikan hukum klinik belum banyak diketahui oleh penyelenggara pendidikan hukum, dan ma-sih banyak perbedaan dalam memahami CLE baik dalam konsep maupun praktiknya di masing-masing fakultas hukum. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan CLE se-cara luas, setelah itu kemudian mengembangkan ide pembentukan asosiasi. Terkait dengan bentuk, model dan mandat yang perlu diberi-

48 Training ini diikuti oleh peserta dari beberapa perguruan tinggi diantaranya Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fakultas Hu-kum Universitas Pajajaran, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Fakultas Hukum Univer-sitas Trisakti dan Fakultas Hukum STIKUBANK. 49 Interview berhasil dilakukan terhadap 9 orang diantaranya Prof. Dr. Moch. Za-idun, SH (Dekan FH Unair), Prof. Dr. Aswanto (Dekan GFH Unhas), Sugeng Supartono, SH, MH (Legal Clinic FH Trisakti), Artadji, SH, MH (Ketua Legal Clinic Universitas Padjajaran), Dr. Lanny Ramly, SH (Ketua Legal Clinic FH Unair), Abdul Azis, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unhas), Abdul Jamil, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UII), Irwan, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH Unpas), Jamin Ginting, SH, MH (Ketua Legal Clinic FH UPH)

Page 32: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 27

DISKURSUS

kan kepada asosiasi narasumber menyarankan adanya diskusi se-cara mendalam sehingga diperoleh konsep yang tepat. Tetapi dari hasil interview ada harapan jika asosiasi dibentuk akan ada beber-apa peran utama antara lain adalah lebih mempopulerkan gaga-san pendidikan hukum klinik di fakultas hukum, menjadi media pembelajaran dan tukar pengalaman bagi masing-masing anggota, membantu fakultas hukum mengembangkan program legal clinic, memperkuat kapasitas legal clinic dan pengajar clinic. Bahkan ada beberapa narasumber yang mengusulkan agar asosiasi juga dapat merancang standar pelaksanaan program CLE yang tepat untuk In-donesia. Dari proses interview diketahui bahwa belum ada kes-eragaman dalam memahami konsep pendidikan hukum klinik. Se-tiap fakultas hukum mempraktikannya secara berbeda-beda dan dengan standar yang berbeda juga. Namun demikian, ada satu gagasan yang sama yaitu mengintegrasikan antara teori dan prak-tik dan perlunya mahasiswa terlibat secara langsung dalam penan-ganan kasus-kasus. 2. Prinsip Pembentukan Asosiasi

Dalam pembentukan asosiasi pendidikan hukum klinik ada prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu prinsip terkait den-gan bentuk asosiasi itu sendiri, dan prinsip dalam proses pemben-tukannya. Terkait dengan bentuk asosiasi ada beberapa prinsip utama yang perlu diperhatikan. Pertama, berbasis membership/keanggotaan. Organisasi asosisasi legal clinic lebih baik dikembangkan berbasis keang-gotaan, baik secara organisasi maupun individu. Organisasi yang dapat menjadi anggota asosiasi adalah lembaga-lembaga di tingkat universitas yang memiliki program dan perhatian dalam mengem-bangkan pendidikan hukum klinik sebagai metode pembelajaran, sedangkan individu adalah para pengajar klinik yang konsen pada pengembangan pendidikan hukum klinik. Sesuai dengan kebutu-han, keanggotaan asosiasi juga dapat diperluas terhadap lembaga atau individu di luar universitas yang memiliki perhatian dan komit-men terhadap pengembangan pendidikan hukum klinik. Dengan berbasis keanggotaan, maka anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menentukan kebijakan asosiasi dan me-

Page 33: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

28 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S nerima manfaat dari kegiatan yang dilakukan oleh asosiasi. Kedua, organisasi non-profit. Asosiasi pendidikan hukum klinik adalah organisasi yang yang didirkan dengan tujuan non-profit. Kerja-kerja asosiasi dilakukan tidak dalam rangka mencari keuntungan, tetapi sebagai tanggungjawab sosial dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan hukum dan meningkatkan kualitas keluaran fakultas hukum. Lebih jauh, kerja-kerja asosiasi dilaku-kan dalam rangka memperkuat akses terhadap keadilan bagi ma-syarakat melalui kegiatan pendidikan, konsultasi maupun bantuan hukum. Ketiga, tujuan asosiasi. Asosiasi legal clinic memiliki tujuan untuk lebih mempromosikan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik sesuai dengan standar umum yang ada, sehingga dapat me-ningkatan jumlah pendidikan hukum yang yang memahami dan mengadopsi metode clinic sebagai model pembelajaran. Asosiasi juga adapat merumuskan standart penyelenggaraan program pen-didikan hukum klinik sesuai dengan konteks Indonesia. Selain itu, asosiasi juga berperan mengkonsolidasikan legal clinic sehingga terjadi proses pembelajaran bersama dan transformasi pengala-man dari masing-masing anggota. Konsolidasi juga perlu dilakukan dalam rangka advokasi kepentingan bersama terhadap kebijakan negara yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan hukum klinik. Asosiasi akan mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic baik melalui pemberian akses, penyediaan materi dan sumber daya manusia, termasuk dukungan keuangan. Selain itu, asosiasi juga berperan memperkuat kapasitas anggota khusus-nya dalam metode pembelajaran klinik, maupun kemampuan lain dalam praktik pendidikan hukum. Selain kapasitas anggota, aso-siasi juga berperan meningkatkan jaringan baik di tingkat nasional, regional dan internasional. Keempat, kepengurusan kolektif demokratis. Karena berba-sis keanggotaan, maka model kepengurusan yang dibentuk dalam asosiasi juga harus demokratis artinya sesuai dengan aspirasi dan kepentingan anggota. Anggota diberikan hak secara bebas untuk menentukan dan memilih para pengurus yang akan menjalankan asosiasi. Kepengurusan yang dibentuk harus menunjukkan kolek-tivitas diantara para pengurus, sehingga ada kesamaan kedudukan antara pengurus yang satu dengan yang lain. Setiap anggota pengu-

Page 34: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 29

DISKURSUS

rus memiliki hak yang sama dalam menjalankan asosiasi. Kepen-gurusan demokratis juga ditunjukkan adanya periodisasi masa ja-batan pengurus, dan memungkinkan adanya pergantian pengurus secara konstitusional. Kelima, sekretariat yang representatif. Untuk mendukung kerja-kerja kepengurusan, maka asosiasi membutuhkan ruang kerja yang bersifat khusus dan layak, sehingga pengurus dapat merancang dan mengimplementasikan program-program organ-isasi. Sekretariat yang bersifat khusus juga diperlukan untuk me-nerima dan mendiseminasikan informasi terkait dengan program pengembangan pendidikan hukum klinik secara khusus, dan pen-didikan praktik hukum secara umum. Asosiasi dapat menentukan kriteria layak dan representatifnya sebuah sekretariat sesuai den-gan konteks negara dimana asosiasi berada. Keenam, akuntabilitas dan transparansi. Sistem dan peny-elenggaraan organisasi harus memenuhi prinsip-prinsip akunt-abilitas dan transparansi. Pengurus bertanggungjawab membuat laporan program dan keuangan secara periodik dan menyampai-kan laporan itu baik kepada anggota maupun kepada masyarakat secara luas. Sedangkan terkait dengan proses pembentukan, ada beber-apa tahap yang perlu dilalui sehingga kelembagaan yang dibentuk akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, khususnya ang-gota asosiasi. Pertama yang perlu dilakukan adalah mempersiap-kan argumentasi dan konsep. Pembentukan asosiasi harus dida-hului dengan penyusunan argumentasi dan konsep pembentukan asosiasi yang dibuat oleh inisiator atau tim khusus. Inisiator perlu menyiapkan argumentasi pentingnya pembentukan asosiasi, apa manfaatnya bagi pembaruan pendidikan hukum secara khusus, dan reformasi hukum secara umum. Selain argumentasi menga-pa asosiasi ini perlu dibentuk di Indonesia, inisiator atau tim juga perlu menyiapkan rancangan konsep organisasi asosiasi yang akan dikembangkan. Draf yang dibuat oleh tim adalah draf yang bersi-fat sementara yang disusun secara bersama oleh inisiator atau tim berdasarkan pengalaman dan pemahaman mereka tentang pem-bentukan asosiasi. Setelah draft tersebut disusun tahap bertikutnya adalah mendiseminasika konsep pembentukan asosiasi legal clinic kepada

Page 35: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

30 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S para stakeholder yang potensial menjadi anggota asosiasi. Konsep tersebut akan disampaikan kepada pimpinan legal clinic di Indone-sia, dan juga kepada dekan fakultas hukum dengan harapan mer-eka akan memahami konsep yang ada dan memberikan feedback kepada inisiator atau tim. Konsep tersebut juga dapat disampaikan kepada pihak lain, baik lembaga maupun perorangan yang memiliki perhatian dan komitmen terhadap pengembangan program legal clinic di Indonesia. Selain mendiseminasikan draft yang juga penting untuk di-lakukan adalah mendiskusikan konsep tersebut secara mendalam dengan berbagai stakeholder, khusunya dengan pimpinan legal clinic dan dekan fakultas hukum. Diskusi dapat diselenggarakan secara formal maupun informal. Dalam memutuskan pemben-tukan asosiasi diharapkan dapat melibatkan sebanyak mungkin stakeholder dari perguruan tinggi, sehingga kedepannya asosiasi ini benar-benar dapat berkembang dan bermanfaat bagi anggota, dan juga bagi proses penyelenggaraan pendidikan hukum. Keputu-san pembentukan dapat dilakukan melalui pertemuan para stake-holder maupun media lain yang dapat digunakan untuk menyepa-kati pembentukan asosiasi.

3. Rekomendasi Konsep Asosiasi

a. Bentuk dan Sifat Dalam praktik di Indonesia, khususnya dalam pendidikan hukum ada dua model organisasi yang lazim dikembangkan untuk mewadahi suatu profesi atau orang-orang yang memiliki interest tertentu, yaitu asosiasi dan forum. Asosiasi adalah organisasi for-mal yang berbasis keanggotaan yang umumnya dibentuk berdasar-kan akte pendirian oleh Notaris, bahkan registrasi ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan forum lebih bersifat in-formal yang mewadahi orang-orang dengan profesi atau interest tertentu tanpa ada legalisasi dari pihak yang berwenang. Asosiasi memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan forum. Asosiasi memiliki tujuan yang lebih jelas, terukur, dan didu-kung dengan sistem keorganisasian yang sudah ditentukan sesuai dengan pendiriannya. Selain itu, asosiasi sebagai badan hukum juga dapat melakukan suatu tindakan hukum untuk mencapai tu-juan dan maksud pendirian organisasi. Berbeda halnya dengan fo-

Page 36: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 31

DISKURSUS

rum, yang memiliki keterbatasan. Forum biasanya sebagai media sharing informasi dan komunikasi diantara anggota, yang kurang memiliki kekuatan untuk melakukan suatu tindakan eksekusi untuk mencapai tujuan dan maksud pendirian forum. Berdasarkan uraian diatas, sebaiknya organisasi yang akan dibentuk di Indonesia sebagai media pengembangan pendidikan hu-kum klinik berbentuk Asosiasi. Asosiasi ini bersifat non-profit dan bertujuan mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indonesia. Atau setidak-tidaknya, jika asosiasi yang dilembagakan dianggap belum waktunya dibentuk maka alternatifnya adalah forum atau network, yang memiliki fungsi, peran, dan mekanisme keorganisa-sian yang hampir sama dengan asosiasi, yang membedakan hany-alah proses legalisasi oleh pihak berwenang. Forum atau network diharapkan juga memiliki tujuan dan mekanisme keorganisasian yang tertulis sebagai panduan bagi anggota forum.

b. Misi Asosiasi Tujuan utama pendirian asosiasi ini adalah diadopsinya sistem pendidikan hukum klinik dalam proses pembelajaran hu-kum di Indonesia, dalam rangka menyiapkan mahasiswa hukum sebagai praktisi hukum yang kompeten, profesional dan memiliki tanggungjawab sosial yang kuat terhadap profesi, serta meningkat-kan akses terhadap keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, asosiasi ini memiliki peran untuk; (i) mempromosikan pendidikan hukum klinik dalam proses pendidikan hukum dalam rangka memperbaiki output fakultas hukum, (ii) meningkatkan kapasitas kelembagaan klinik dan individu pengajar klinik, (iii) mengkonsolidasikan dan mem-perkuat jaringan organisasi legal clinic maupun pengajar klinik, baik ditingkat lokal, national, maupun internasional, (iv) mendukung kerja-kerja yang dilakukan oleh legal clinic, (v) merumuskan stan-dar pelaksanaan program klinik di fakultas hukum, dan (vi) mendo-rong pembaruan kurikulum fakultas hukum berbasis klinik.

c. Keanggotaan Anggota Asosiasi Legal Clinic di Indonesia akan terdiri dari dua kategori, yaitu kelembagaan dan individu. Anggota kelem-bagaan adalah lembaga yang dibentuk oleh fakultas hukum dalam

Page 37: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

32 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

DISK

URSU

S rangka melaksanakan program pendidikan hukum klinik atau ban-tuan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Sedangkan inidividu adalah pengajar hukum klinik atau pimpinan fakultas hukum yang berkomitmen mengembangkan pendidikan hukum klinik di Indone-sia. AD akan mengatur lebih rinci hak dan kewajiban anggota, dan mekanisme keanggotaan.

d. Struktur Organisasi Organisasi asosiasi akan terdiri dari 2 (dua) yaitu badan pengurus dan badan penasehat yang dipilih untuk masa kerja 3 (tiga) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Badan Pengu-rus adalah badan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan organisasi asosiasi. Badan pengurus terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara dan 2 orang anggota yang di-pilih dari anggota oleh anggota dalam rapat anggota. Sedangkan badan penasehat adalah badan yang bersifat konsultatif yang ber-peran mengawasi dan memberikan masukan kepada badan pengu-rus terkait dengan kebijakan organisasi. Anggota badan ini terdiri dari 3 orang yang dipilih dari anggota, oleh anggota, dalam rapat anggota. Untuk menjalankan fungsi organisasi sehari-hari, badan pengurus akan mengangkat sekretaris eksekutif yang diangkat dari anggota maupun non anggota. Sekretaris eksekutif bertang-gungjawab kepada badan pengurus dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus dalam melaksanakan program kerja. Dengan persetujuan badan pengurus, sekretaris ekekutif dapat membentuk bidang-bidang dalam kesekretariatan.

e. Kesekretarian Untuk mendukung kerja-kerja organisasi, asosiasi mem-bentuk sekretariat yang akan berdomisili di fakultas hukum dimana ketua badan pengurus asosiasi berasal. Sekretariat juga dapat di-pilih di tempat lain sesuai dengan kesepakatan anggota atau badan pengurus. Kesekretariatan berfungsi menjalankan organisasi se-hari-hari dan bertugas melaksanakan keputusan badan pengurus.

Page 38: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 33

DISKURSUS

DAFTAR BACAAN

Open Society Justice Initiative, Standards for Law School Clinic. The Indonesian Legal Resource Center, Overview of Law Schools

Curricula in Indonesia, 2011.The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Pelatihan

Penyelenggaraan LKBH Kampus, Jakarta 27-29 Juli 2009.The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Notulensi Workshop

Penyusunan Guideline Penyelenggaraan LKBH di Fakultas

Hukum 25-27 April 2009, di Surabaya.Statuteof the Public Association, “Association For Moldovan Legal

Clinics”.Constitution of the Association of University Legal Aid, South Africa.Regulations of the Committee of Chinese Clinical Legal Educators.Constitution of Network Of University Legal Aid Institutions (Nulai

Nigeria).The Statute of the Legal Clinics Foundation of Poland.Statute of The Clinical Legal Education Foundation, Rusia.

Page 39: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

34 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

Page 40: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

TULISAN TAMU

PESAN KONSTITUSIONAL KEADILAN SOSIAL1

Jimly Asshiddiqie

ABSTRAK

Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila kelima merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Keadilan sosial menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep keadilan sosial terkan-dung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang pereko-nomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistri-busi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kai-tannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk men-ciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi keti-dakmerataan yang terbentuk sebagai akibat penerapan sistem keadilan procedural.Bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadilan sosial seb-agaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kata Kunci : Keadilan Sosial, Pancasila, Keadilan Ekonomi,Hak

Asasi Manusia (HAM).

1 Disampaikan dalam Public Lecture dengan tema “Konstitusionalisme dan Ke-adilan Sosial, di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 12 April, 2011.

Page 41: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

36 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TULI

SANT

AMU APAKAH KEADILAN SOSIAL ITU?

Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila ke-lima ini tidak lain merupakan ujung harapan dari semua sila lain-nya. Sila pertama sampai dengan sila keempat saling berkaitan satu sama lain. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kes-emua ini harus menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, “serta dengan mewujudkan ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ide tentang keadilan memang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Pada pokoknya, yang terakhir ini, istilah keadilan sosial, merupakan simpul dari semua dimensi keadilan tersebut. Istilah ini biasanya menunjuk kepada ide pem-bentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam kon-sep keadilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi. Konsep keadilan sosial (social justice) itu sendiri biasa dibe-dakan dari konsep keadilan hukum yang biasa dipakai dan diber-lakukan dalam kebijakan publik yang menuntut paksaan oleh kekuasaan negara. Tetapi konsep keadilan sosial tentu juga tidak hanya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan berma-syarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat universilitasnya menjadi tidak pasti. Keadi-lan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadi-lan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluru-han ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup dalam ide keadilan sosial. Karena pada akhirnya, keadilan hukum dan keadi-lan ekonomi itu harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan sosial bagi semua. Di dalamnya, terkandung pengertian bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama ini harus ditanggulangi sampai ke titik yang terendah, (ii) Redistribusi kekayaan, kekua-saan dan status individu, komunitas, dan kekayaan sosial (societal good), dan (iii) Negara c.q. Pemerintah bertanggungjawab pemer-

Page 42: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 37

TULISANTAMU

intahan untuk memastikan kualitas dasar kehidupan bagi seluruh warganegara. Konsep keadilan sosial didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianisme. Konsep ini menyangkut derajat yang lebih besar dari egalitarianisme di bidang perekonomian, misalnya, melalui kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, atau bahkan redistribusi kekayaan. Karena itu, dalam praktik, konsep keadilan sosial sering dibahas dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi. Kebijakan-kebijakan demikian dimaksudkan untuk men-ciptakan kesempatan yang lebih merata dari apa yang ada dalam struktur masyarakat dan untuk menciptakan persamaan outcome yang dapat menanggulangi ketidakmerataan yang terbentuk seb-agai akibat penerapan sistem keadilan procedural. Karena penting-nya keadilan sosial inilah, maka dalam Konstitusi ILO (International Labor Organisation) ditegaskan bahwa perdamaian yang abadi hanya dapat diperoleh apabila didasarkan atas keadilan sosial. Bahkan, dalam Vienna Declaration dan program aksinya, keadilan sosial dirumuskan sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam upa-ya pendidikan hak asasi manusia.

PRINSIP KEADILAN EKONOMI

Menurut Louis Kelso dan Mortimer Adler, dalam konsep ke-adilan ekonomi, terdapat tiga prinsip esensial yang bersifat interde-penden, yaitu partisipasi, distribusi, dan harmoni. Ketiganya meno-pang bangunan keadilan ekonomi dalam masyarakat. Jika satu di antaranya hilang, niscaya bangunan keadilan menjadi runtuh. Dalam prinsip partisipasi terkandung pengertian bagaimana setiap orang bebas berpartisipasi untuk memberikan masukan (in-put) ke dalam proses ekonomi untuk membangun kehidupan ber-sama. Harus ada kesempatan yang sama bagi semua orang (equal opportunity), baik untuk memperoleh hak milik pribadi ataupun ter-libat dalam pekerjaan produktif. Prinsip partisipasi ini tentu belum atau tidak menjamin hasil yang sama (equal results). Prinsip par-tisipasi hanya membuka akses bagi semua untuk ikut serta dalam proses produksi, baik dengan dirinya sebagai pekerja (as a worker) ataupun dengan kekayaannya sebagai pemilik (as an owner). Kare-na itu, keadilan ekonomi menolak monopoli, hak-hak khusus dan rintangan-rintangan yang bersifat eksklusif lainnya.

Page 43: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

38 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TULI

SANT

AMU Sedangkan prinsip distribusi berurusan dengan soal hasil,

soal keluaran (output) yang diperoleh dari sistem ekonomi bagi setiap orang (worker) dan bagi setiap capital (owner). Melalui pola distribusi kekayaan pribadi dalam pasar yang bebas dan terbuka, keadilan distributif (distributive justice) secara otomatis terkait dan harus terkait secara berimbang dengan keadilan partisipatif (par-ticipative justice), dan pendapatan menjadi terkait dengan peran-serta dalam proses produksi (productive contributions). Dalam praktik, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep ‘charity’ atau ‘welas asih’.Konsep ‘charity’ menyangkut ide “bagi semua sesuai kebutu-hannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prin-sip distributive justice, ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to his contribution). Kesalahpa-haman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga me-nimbulkan perdebatan dan bahkan konflik yang tidak berkesuda-han. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan kontrak (the sanctity of property and contract), sedangkan yang lain menekankan pentingnya intervensi pemerintahan untuk memper-tahankan atau memaksakan tegaknya tata sosial yang beradilan. Menurut Kelso dan Adler, konsep distribusi yang sebenarnya harus dipisahkan dan tidak boleh dikacaukan dengan pengertian ‘charity’ yang demikian itu. Dalam keadilan distributif, yang diutamakan adalah beker-janya sistem pasar bebas dan terbuka (feee and open marketplace), bukan pemerintah. Pasar bebas dan terbuka itulah yang dianggap merupakan sarana yang paling objektif dan demokratis dalam me-nentukan harga (price), upah (wage), dan keuntungan (profit) yang adil. Namun demikian, tanpa peran negara sebagai pengendali, dis-torsi dalam sistem pasar yang bebas akan memakan menciptakan ketidakadilan dalam dirinya sendiri. Karena itu, peran intervensio-nis negara tetap harus terbuka kapan saja diperlukan. Dapat dikatakan bahwa pandangan Kelso dan Adler ini cen-derung terlalu liberal untuk mengabaikan kebutuhan akan doktrin ‘charity’ sebagai kenyataan dengan hanya mengakui peran pasar dalam mekanisme ‘partisipasi dan distribusi’ untuk keadilan eko-nomi. Padahal, ‘adanya charity’ di samping ‘distribusi’ merupakan

Page 44: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 39

TULISANTAMU

kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, prinsip par-tisipasi dan distribusi itu sendiri dalam kenyataannya tidak pernah bersesuaian secara penuh, sehingga selalu saja timbul konflik se-bagai akibat ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya, maka dibutuhkan prinsip yang ketiga, yaitu harmoni, seperti yang dibayangkan oleh Kelso dan Adler sendiri. Justru dalam rangka harmoni itulah diperlukan peran neg-ara dan pasar secara seimbang. Dalam rangka sistem distribusi yang berkeadilan, harus ada peran pasar dan negara sekaligus. Bahkan seharusnya sistem distribusi terkait erat dengan tiga ranah kekuasaan negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Prinsip harmoni merupakan prinsip pengimbang yang di-perlukan untuk mengatasi distorsi baik dalam input maupun output ekonomi dan melakukan koreksi yang diperlukan untuk memulih-kan tata ekonomi yang adil dan seimbang bagi semua orang. Prin-sip keseimbangan ini dirusak oleh adanya pelbagai kendala yang ti-dak adil yang membatasi partisipasi dengan monopoli atau dengan menggunakan kekayaan untuk merugikan atau mengeksploitasi hak-hak orang lain. Keseimbangan ekonomi itu sendiri dirumuskan oleh Oxford Dictionary sebagai “Laws of social adjustment under which the self-interest of one man or group of men, if given free play, will produce results offering the maximum advantage to other men and the community as a whole”. Prinsip ini memberikan panduan untuk pengendalian monopoli, penerapan sistem checks and balances di antara institusi-institusi sosial, dan sinkronisasi kembali antara distribusi (out-take) dengan partisipasi (in-take). Dua prinsip pertama, yaitu partisipasi dan distribusi, men-galir dari impian abadi umat manusia akan keadilan pada umumnya yang dengan sendirinya membutuhkan keseimbangan antara input dan out-take, yaitu “bagi masing-masing sesuai dengan apa yang seharusnya” (to each according to he is due). Sebaliknya, prinsip harmoni mencerminkan impian manusia akan nilai-nilai absolute lainnya, termasuk kebenaran (Truth), cinta (Love), dan keindahan (Beauty). Prinsip ketiga ini tidak lain merupakan prinsip yang me-ngontrol dan membatasi kecenderungan manusia untuk tamak dan monopoli yang mengabaikan dan mengeksploitasi orang lain. Na-

Page 45: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

40 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TULI

SANT

AMU mun harmoni itu sendiri tidak sekedar membatasi, tetapi lebih dari

itu ia lebih mengutamakan kedamaian hidup. Karena itu, masyara-kat yang menginginkan kedamaian, haruslah terlebih dulu bekerja untuk keadilan.

KEADILAN STRUKTURAL

Dalam konsepsi keadilan, banyak istilah yang digunakan untuk menerangkan pelbagai konteks pengertian yang dikandung-nya. Dalam bidang hukum, kita biasa menggunakan istilah-istilah keadaan substantive versus keadilan procedural untuk menggam-barkan dalam keadilan itu ada masalah isi atau esensi dan ada pula masalah prosesnya atau prosedur untuk mewujudkannya. Keduan-ya sama-sama penting untuk terwujudnya keadilan dalam kenyata-an. Namun dalam perspektif masyarakat, juga biasa digunakan istilah keadilan struktural. Dalam konsep ini, masyarakat dipan-dang sesuatu struktur yang organis atau mekanis dalam interaksi antar orang dan kelompok dalam masyarakat. Meskipun setiap masyarakat secara alamiah pasti terstruktur ke dalam stratifikasi atau pelapisan-pelapisan sosial, tetapi struktur pelapisan sosial itu dapat berkembang dinamis menurut ruang dan waktu. Dinamika itu terbentuk karena bentuk tradisi kebudayaan dan pilihan-pilihan sistem kepemimpinan yang dipakai dalam kehidupan bermasyara-kat itu masing-masing. Keduanya menentukan kualitas jarak antara lapis tertinggi dan terendah dalam kehidupan masyarakat. Semakin hirarkis jarak stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat berkembang, struktur masyarakat tersebut dikatakan semakin ti-dak adil. Semakin landai jarak hirarki pelapisan sosial, strukturnya dianggap semakin adil. Jika digambarkan dalam bentuk piramida, maka semakin tinggi puncaknya, struktur masyarakat itu semakin dianggap tidak adil. Adanya stratifikasi sosial itu dipengaruhi oleh banyak fak-tor. Dalam masyarakat tradisional, stratifikasi ditentukan oleh fak-tor keturunan darah, faktor kekuatan fisik, faktor keindahan, ke-cantikan atau kegagahan fisik, dan lain-lain. Tetapi dalam struktur masyarakat yang semakin kompleks, faktor penentu stratifikasi sosial itu berkembang pula semakin banyak ragamnya. Orang di-anggap lebih tinggi derajatnya dalam pelapisan atau stratifikasi so-

Page 46: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 41

TULISANTAMU

sial manakala orang itu memiliki kekuasaan/jabatan lebih tinggi, kekayaan lebih, pendidikan lebih tinggi, penguasaan informasi lebih banyak, teman atau pengikut lebih banyak, dan sebagainya. Semakin tinggi jarak antara strata tertinggi dengan strata terendah, struktur masyarakat itu dianggap tidak berkeadilan. Mis-alnya, jika jarak pendapatan segelintir orang yang dianggap kaya dengan pendapatan sebagian terbesar orang yang dianggap miskin sangat jauh, maka struktur masyarakat itu dikatakan tidak adil. Ukuran universal yang dianggap ideal antara pendapatan tertinggi dan terendah itu adalah dalam skala 1:7. Jika buruh kasar mem-peroleh pendapatan 1 dolar per bulan, maka idealnya gaji Presiden tidak lebih dari 7 dolar. Dengan ukuran yang demikian itu, kita dapat mengatakan bahwa struktur masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong tidak atau belum berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia dewasa ini, jarak yang ber-laku antar pendapatan tertinggi dan terendah justru sangat jauh. Dalam masyarakat, banyak orang yang bekerja dengan pendapatan Rp.500 ribu per bulan, sedangkan pada tingkat elit, ada orang yang berpendapatan Rp. 500 juta per bulan. Artinya, skalanya adalah 1:1.000. Padahal dalam kenyataan banyak orang yang tidak beker-ja (menganggur) yang tidak memperoleh pendapatan sama seka-li, dibandingkan dengan mereka yang bahkan dapat memperoleh pendapatan atau keuntungan usaha di atas Rp. 500 juta per bulan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dewasa ini belum berhasil membangun struktur masyarakat yang berkeadi-lan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, khusus yang dirumuskan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu Ke-adilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

PARADIGMA HAK ASASI MANUSIA

Untuk mengatasi ketidakadilan struktural itulah, maka kita memerlukan pendekatan yang juga bersifat struktural, di sampan pendekatan yang bersifat cultural. Pendekatan kultural dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan penyadaran. Teta-pi pendekatan demikian memerlukan waktu yang lama dan tidak dapat diandalkan dalam waktu cepat. Karena itu, bersamaan den-gan pendekatan pendidikan, pemasyarakatan, daan pembudayaan,

Page 47: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

42 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TULI

SANT

AMU kita memerlukan pendekatan struktural yang bersifat politik dan

ekonomi. Kita memerlukan intervensi kekuasaan yang dapat me-maksakan kebijakan-kebijakan publik yang mengarahkan sistem kekuasaan politik yang demokratis, egalitarian, dan tidak feodal, serta struktur pendapatan ekonomi yang semakin mendekati stan-dar internasional dengan skala 1:7 sebagaimana dikemukakan di atas. Ukuran yang penting dalam mengembangkan struktur ma-syarakat yang berkeadilan itu ialah dengan pendekatan hak asasi manusia. Dalam perspektif politik dan ekonomi, hak asasi manusia, baik hak sipil, politik, ekonomi, budaya, maupun hak atas pemban-gunan, haruslah dijadikan core-bisnis dan paradigm dalam setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Den-gan demikian, agenda pembangunan nasional (national develop-ment) dan pembangunan daerah (local development) haruslah berparadigma atau berspektif HAM (human right perspectives). Bahkan, oleh karena dewasa ini, sesudah Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, semua instrumen HAM Internasional sudah diadopsikan menjadi muatan UUD 1945, maka setiap warganegara Indonesia dapat dikatakan memiliki ‘constitutional rights’ yang wajib dipenuhi oleh negara c.q. pemerintah dalam setiap kegiatan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Negara.

Page 48: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

TELAAH BUKU

KONSTITUSI EKONOMIOleh : Uli Parulian Sihombing

Judul Buku : Konstitusi EkonomiPengarang : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H.Penerbit : KompasTahun Terbit : Januari 2010Jumlah Halaman : 443

Page 49: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

44 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHBU

KU

Kita sangat jarang menemukan literatur-literatur lokal yang secara khusus membahas tentang konstitusi ekonomi. Padahal ke-beradaan literatur-literatur konstitusi ekonomi sangat dibutuhkan, untuk melihat dan mengikuti perkembangan kontemporer konsti-tusi, khususnya konstitusi ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., menulis buku ini dimulai dengan tujuan dan makna konstitusi itu sendiri, hubungan antara hukum dan ekonomi, beberapa azas/prinsip yang penting di dalam konstitusi ekonomi, studi komparasi mengenai konstitusi ekonomi di berbagai negara termasuk di negara-negara sosialis dan nega-ra-negara penganut paham negara kesejahteraan, sampai dengan realisme dan konstitusionalisme dalam kebijakan ekonomi. Penulis buku ini memulai menulis buku ini dengan meng-antarkan kita untuk mengingatkan kembali tujuan dan makna konstitusi. Globalisasi termasuk di dalamnya liberalisasi ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari di Indonesia. Situasi globalisiasi ini menjadi latar belakang untuk memaknai tu-juan dan hakikat konstitusi itu sendiri. Dalam konteks konstitusi yang kontemporer, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie melihat ada 3 tujuan konstitusi yaitu keadilan (justice), kepastian (certainty atau zaker-heid), dan kegunaan (utility). Prof. Dr. Jimly Asshidiqie mengelab-orasi makna keadilan itu adalah sepadan dengan keseimbangan (balance/mizan), dan kepatutan (equity) dan kewajaran (propor-tionality). Sedangkan kepastian terkait dengan ketertiban (order) dan keteraturan, yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban. Kemudian, kemamfaatan dimaknai dengan jaminan agar keadilan dan kepastian dapat mewujudkan kebahagian dan kedamaian hidup bersama (halaman 3-10). Ini berarti penulis buku ini memperlebar tujuan konstitusi, yang selama ini dirumuskan hanya untuk keadi-lan dan kepastian saja. Kesejahteraan (kata lain dari kebahagiaan dan kedamaian) juga merupakan tujuan konstitusi, dan sangat rel-evan dengan konteks konstitusi kontemporer dan permasalahan sosial-politik di masyarakat. Pemahaman Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., tentang hubun-gan ekonomi dan konstitusi tidak bisa dilepaskan dari gagasan-gagasan Jean Jacques Rouseau dan Per Krussel. Mereka men-egaskan terdapat keterkaitan erat antara pertumbuhan ekonomi dengan proses-proses berdemokrasi dan berkonstitusi (halaman

Page 50: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 45

TELAAHBUKU

11). Pengaruh pemikiran J.Stigliz, Goerge Akerlof dan Michael Spence terlihat dalam pandangan penulis buku ini, seperti di dalam pendapatnya soal intervensi negara dalam kebijakan eko-nomi dalam konteks pasar bebas ; sekalipun negara-negara lib-eral menganut pasar bebas, tetapi terdapat kecenderungan untuk melakukan pengaturan (regulasi) khususnya berhubungan dengan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi di dalam konstitusinya. Intervensi negara dalam bentuk perijinan dan regulasi sangat ber-pengaruh dalam pembangunan ekonomi dan pasar bebas (halaman 13). Pengertian konstitusi ekonomi sangat beragam, penulis buku ini mencoba melihat sejarah dan akar konstitusi ekonomi, dan perkembangan kontemporernya. Istilah konstitusi ekonomi pertama kali dikenal di dalam konstitusi Uni Soviet dan Republik Weimar Jerman. Jurist Jerman Franz Bohn adalah orang yang per-tama kali memperkenalkan konstitusi ekonomi (halaman 61). Di sini lain, penulis buku ini memberikan contoh model pengakuan konstitusi ekonomi seperti di Republik Irlandia yang dikenal dengan “Directive Principle of the Social Policy” atau dikenal dengan prin-sip-prinsip pokok haluan negara berkaitan dengan kebijakan sosial dan ekonomi. Prinsip-prinsip pokok ini harus dijadikan pegangan atau pedoman bagi kekuasaan legislatif dalam merumuskan kebi-jakan pemerintah melalui legislasi. Kemudian di dalam konteks Uni Eropa, istilah konstitusi ekonomi mulai dipakai untuk pengertian mengenai dasar-dasar pengaturan mengenai kebijakan ekonomi (halaman 103). Penulis buku ini, memberikan gambaran yang vari-atif dan komprehensif mengenai pengertian, ruang lingkup dan se-jarah konstitusi ekonomi, sehingga dapat memperkaya khazanah/wawasan pembaca tentang konstitusi ekonomi. Oleh karena itu, penulis buku ini mencoba membedakan istilah konstitusi ekonomi dengan istilah konstitusi sosial, politik dan lain-lain. Pembedaan ini akan membawa konsekuensi luas, khususnya tentang makna kon-stitusi itu sendiri.

Konstitusi Ekonomi dalam Konteks Indonesia

Penulis buku ini membandingkan antara Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), UUDS 1950 dan UUD 1945. Penulis buku ini berani menyimpulkan bahwa Konstitusi RIS tidak memuat ke-

Page 51: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

46 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHBU

KU

tentuan tentang pekonomian seperti di dalam pasal 33 & 34 UUD 1945 dan pasal 35-38 UUDS 1945. Konstitusi RIS lebih bercorak konstitusi politik karena substansi Konstitusi RIS yang nir menga-tur perekonomi. Sementara UUDS 1945 dan UUD 1945 merupakan konstitusi politik dan sekaligus konstitusi ekonomi. Pasal 33 UUD 1945, dan juga pasal 38 UUDS 1950 mempertegas bahwa kedua konstitusi tersebut adalah konstitusi ekonomi. Substansi pasal 33 UUD 1945 dan pasal 38 UUDS 1950 mengatur perekonomian sosial. Bahkan pasal 34 UUD 1945 dan pasal 35 sampai pasal 38 UUDS 1945 mengatur kesejahteraan sosial. Hal yang paling menarik di buku ini adalah pasca reforma-si adanya gagasan untuk menghapus pasal 33 dan 34 UUD 1945. Kebetulan penulis buku ini terlibat secara aktif di tim hukum un-tuk perubahan UUD 1945 pasca reformasi. Beberapa ahli ekono-mi (Syahril dkk) mengusulkan penghapusan pasal 33 dan 34 UUD 1945. Terdapat beberapa alasan yang ditawarkan oleh kelompok yang menginginkan penghapusan pasal 33 dan 34 UUD 1945 yaitu :

1. Perekonomian tidak dapat lagi bersandar atas azas kekeluar-gaan karena di dunia bisnis modern tidak bisa dihindari sistem kepemilikan pribadi;

2. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup banyak memang dikuasai oleh negara, tetapi penger-tian dikuasai tidak dimaksudkan untuk dimiliki;

3. Pengertian dikuasai bukan berarti dimiliki, tetapi negara di sini sebagai regulator saja;

4. Ketentuan pasal 34 diambil dari praktek-praktek negara so-sialis-komunis.

Usulan Syahrir dkk itu ditolak oleh Prof. Dr Mubyarto dkk, bahkan akhirnya Prof. Dr. Mubyarto mengundurkan diri dari forum rapat paripurna BP MPR yang pada waktu itu sedang membahas perubahan UUD 1945 khususnya pasal 33 dan 34 UUD 1945 (hala-man 256-258). Namun demikian, pasal 33 dan 34 UUD 1945 itu ti-dak jadi dihapuskan, melainkan “disempurnakan”, dengan penam-bahan beberapa ayat dan judul bab yang ditambhakan perkataan “Perekonomian Nasional” (halaman 258). “Penyempurnaan” pasal 33 dan 34 UUD 1945 merupakan dokumen nasional, yang perlu mendapatkan perhatian masyarakat luas, karena jika ada peruba-han pasal 33 dan 34 UUD 1945 tersebut akan mempunyai dampak

Page 52: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 47

TELAAHBUKU

luas, tidak hanya terhadap konstitusi itu sendiri tetapi juga terha-dap seluruh sendi kehidupan perekonomian nasional. Penulis buku ini mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan beberapa hal penting yaitu ; pertama, pemberian istilah konsti-tusi ekonomi bertujuan untuk membedakannya dengan istilah kon-stitusi politik, sosial dll. Kedua, mengkonstitusionalkan ketentuan ekonomi di dalam UUD merupakan gejala baru. Waluapun ini sudah dikenal di Uni Soviet dan Republik Weimar Jerman. Ketiga, di ne-gara-negara barat, gagasan konstitusi baru dikenal pertama kali di Irlandia. Keempat, di negara-negara civil law, mengatur kegiatan-kegiatan kenegaraan merupakan kebiasaan umum, sehingga pen-gaturan kegiatan ekonomi dalam konstitusi juga mudah diterima secara lebih luas. Kelima, buku ini menawarkan pengertian ten-tang konstitusi ekonomi, konstitusi politik, dan konstitusi sosial yang dikaitkan dengan kebutuhan untuk menghubungkan secara seimbang antara ranah negara, masyarakat kewargaan dan pasar yang dikenal “Trias Politika” modern. Keenam, tidak semua negara mengenal pengertian konstitusi ekonomi dan sosial (halaman 387-393). Secara umum, buku ini mencoba memberikan gambaran tentang sejarah, pengertian, model, tantangan dan konteks kon-temporer konstitusi ekonomi. Tidak ketinggalan juga, implementasi konstitusi ekonomi di Indonesia khususnya pasca reformasi 1998. Penulis mencoba menggunakan metode riset komparasi studi kon-stitusi ekonomi di berbagai negara, dan juga merangkum berbagai pendapat ahli hukum konstitusi dari berbagai negara. Kemudian juga, pengalaman pribadinya penulis yang terlibat secara aktif di dalam merancang perubahan/”penyempurnaan” pasal 33 dan 35 UUD 1945. Dengan menggunakan metode riset tersebut menjadi-kan buku ini padat pengetahuan dan juga praktek ketatanegaraan khususnya perekonomian, dan menjadi sumber literatur utama konstitusi ekonomi. Buku ini akan memperkaya pengetahuan hukum tata negara khususnya hukum konstitusi dan hukum ekonomi di tanah air kita. Tetapi, tidak semua orang akan dengan mudah memahami sub-stansi buku ini, hanya kalangan tertentu saja yang dapat memaha-mi substansi buku ini khususnya mereka yang tertarik studi konsti-tusi. Selain itu, terdapat beberapa istilah bahasa asing khususnya

Page 53: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

48 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHBU

KU

Bahasa Jerman, dan Belanda yang cukup sulit dicerna dan tidak ada kata sepadan di dalam Bahasa Indonesia, karena memang ref-erensi penyusunan buku ini berasal dari literature-literatur yang menggunakan bahasa-bahasa asing tersebut. Kemudian juga, ter-dapat makna filosifi di dalam perumusan istilah konstitusi ekonomi yang sangat sulit dicerna oleh mereka yang tidak mempunyai dasar pengetahuan yang kuat hukum ketatanegaraan dan hukum ekono-mi.

Page 54: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 49

TELAAH KASUS

Kasus Ahmadiyyah dalam Persfektif Keadilan SosialSiti Aminah

ABSTRAKSIKasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tahun 2011, terjadi penyerangan di Cikeusik yang memicu terbitnya kebijakan-kebijakan daerah yang mela-rang aktivitas Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah diya-kini bukan menjadi kasus terakhir terhadap pelanggaran kebe-basan beragama/keyakinan kelompok minoritas di Indo-nesia, mengingat berkaitan satu sama lain dengan sistem politik, eko-nomi, hukum dan budaya di Indonesia. Pelanggaran hak kebe-basan beragama/berkeyakinan dipengaruhi oleh masuknya nalar agama dalam pengambilan keputusan-keputusan publik. Kon-disi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI dan Bhinekka Tunggal Ika tidak dijadikan dasar dalam kehidu-pan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara. Hal ini akan ber-pengaruh terhadap pencapaian tujuan negara sendiri. Tulisan ini akan mengeksplorasi kasus Ahmadiyah dari persfektif keadilan sosial, sebagai tujuan akhir dari kehidupan kita berbangsa..

Kata Kunci : Ahmadiyah, Keadilan Sosial, Hak Kebebasan Ber-agama/Berkeyakinan

I. PENDAHULUAN

Awal tahun 2011, tepatnya pada tanggal 6 Pebruari 2011 terjadi penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Cium-bulan, Cikeusik, Pandeglang, Propinsi Banten. Penyerangan terse-but mengakibatkan tiga orang Jamaah Ahmadiyah tewas secara

Page 55: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

50 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS menggenaskan1, puluhan luka-luka dan kerusakan harta benda.

Penyerangan oleh 1500 massa tersebut, merupakan puncak dari dinamika antara Jamaah Ahmadiyah, Gerakan Muslim Cikeusik dan aparat pemerintah lokal yang berlangsung sejak Oktober 20102. Peristiwa memilukan yang terjadi di Cikeusik hanyalah satu kisah panjang penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah. Tercatat, sekelompok orang pernah menyerang tempat-tempat yang men-jadi basis Ahmadiyah. Seperti di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat (2002), pertemuan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pa-rung Bogor (2005), Lombok Timur, NTB (2001)3, Cisalada (2010) 4, Manis Lor (2010), dan Makassar (2010). Tindak kekerasan dan intol-erasi nampak terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pula dari pemantauan yang dilakukan berbagai pihak.

1 Tiga korban tewas yaitu Mulyadi, Tarno dan Roni,lima warga mengalami luka berat dan satu luka ringan. Untuk kerugian materi akibat serangan dengan pembakaran itu, yakni satu unit mobil Kijang, satu unit mobil Suzuki AVP, satu unit motor Honda Ti-ger, satu unit motor Yamaha Mio. Satu rumah yang menjadi tempat warga Ahmadiyah di Cikeusik untuk ibadah juga rusak. Kasus ini sedang disidangkan di PN Banten dengan 11 (sebelas) terdakwa antara lain Yusuf Abidin, Adam Damini, Saad Baharuddin, Yusri, Mu-hammad Rohidin, Muhammad Idris alias Idis, Ujang, dan KH Muhammad Munir dan orang penyerang dan 1 (satu) orang JAI. Aparat kepolisian yang ditetapkan sebagai tersangka, karena dinilai lalai berjumlah 3 (tiga) orang. 2 Pro kontra terhadap Ahmadiyah, terjadi sejak bulan Oktober 2010, khusus-nya terhadap Suparman sebagai pimpinan JAI Cikeusik. Berbagai pertemuan antara JAI, Aparat Desa, Ulama, Koramil, telah dilakukan beberapa kali 3 Pada 2001 penyerangan warga terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Sambi Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus ini satu jemaat Ahmadiyah bernama Papuk Hasan (60) tewas akibat dianiaya massa. Pada 2002, ada pengusiran 87 kepala keluarga atau 350 jiwa pengikut Ahmadiyah di Pan-cor, Lombok Timur. Kini mereka terusir dari kampung halamannya sendiri dan menempati Transito Imigrasi di Lombok Barat dalam mengalami pelanggaran HAM dalam bentuknya yang lain. Lebih lanjut baca Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan: Perempuan

dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008 4 Dalam penyerangan ke Desa Ciampea Udik, Cisalada Bogor, mengakibatkan satu buah masjid, madrasah, empat unit rumah, satu unit mobil,dan dua unit motor habis dibakar. Sementara 24 unit rumah rusak, dan harta benda lainnya dijarah. Dalam kasus ini 3 orang warga yaitu AR (anak), Aldi Afriansyah (21 tahun) dan Dede Novi (19 tahun) ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan didakwa oleh Penuntut Umum Pasal 170 jo. Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Majelis hakim menyatakan bersalah dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Dede Novi dan Aldi, den-gan masa percobaan satu tahun. Sedangkan AR dijatuhi hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Sedangkan Ahmad Nuryamin (30), anggota Ahmadi-yah dipidana 9 bulan penjara karena menusuk salah seorang warga dalam peristiwa pe-nyerangan tersebut.

Page 56: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 51

TELAAHKASUS

Tempo mencatat pada tahun 2010, terjadi 13 kasus Ahmadi-yyah. SETARA Institute mencatat terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 propinsi. Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dengan berbagai bentuk tindakannya di tahun 2010 paling banyak menimpa Jemaat Kristiani (75 peristiwa) dan Ahmadiyah (50 peristiwa)5. Setara mengindentifikasikan pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga ne-gara maupun individu yang tergabung dalam organisasi masyara-kat6. Sedangkan The Wahid Institute melaporkan bahwa selama tahun 20107 telah terjadi 63 kasus atau rata-rata 5 kasus perbulan untuk pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di Indo-nesia dan kasus-kasus tindakan intoleransi berjumlah 133 kasus, dengan 153 korban. Korban tertinggi adalah perorangan/individu (35 korban), jemaat gereja (28 ), kelompok masyarakat (20), jamaah Ahmadiyah (18) dan komunitas yang diduga sesat (15).Pelaku intol-eransi dan diskriminasi dominan dilakukan oleh masyarakat sipil (ormas) dengan 116 pelaku (83%). Dan sisanya 17% dilakukan oleh aparat pemerintah8. Laporan-laporan tersebut memperlihatkan bahwa hak kebebasan beragama/keyakinan warga negara belum sepenuhnya dihormati, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Dan ka-sus Cikeusik kembali menegaskan ketidakmampuan negara dalam melindungi dan menjamin hak kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia.

5 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indone-

sia 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011 6 Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut: Ma-syarakat (70 tindakan), MUI (22 tindakan), Front Pembela Islam-FPI (17 tindakan), Forum Umat Islam-FUI (11 tindakan), Gerakan Reformis Islam-GARIS (10 tindakan), Gerakan Anti Ahamadiyah-GERAM (5 tindakan),individu (5 tindakan), dan sisanya berbagai organisasi dengan jumlah keterlibatan di bawah 5 tindakan 7 Bandingkan dengan hasil laporan Wahid Institute 2009 yang menunjukkan, ter-dapat 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan aparat negara. Sedan-gkan untuk peristiwa intoleransi antarumat beragama tercatat sebanyak 93 kasus. Pen-ingkatan isu intoleransi pada Juni 2009 dipicu hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden. Bentuk tindakan intoleransi yang paling banyak adalah penebaran kebencian terhadap kelompok, negara/bangsa tertentu (20 kasus). Kemudian, penyerangan, perusakan dan penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadah (18 kasus), tuntutan pembubaran Ahmadiyah (10 kasus) dan penyesatan (9 kasus).8 Ringkasan Eksekutif, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi

2010, The Wahid Institute, Jakarta, 2010

Page 57: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

52 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS Pasca penyerangan Cikeusik, terjadi pro dan kontra terhadap

keberadaan Jamaah Ahmadiyah. Pihak yang pro pada intinya ber-pendapat bahwa keyakinan Ahmadiyah -yang memiliki perbedaan penafsiran- adalah wilayah forum internum, yang tidak dapat diin-tervensi oleh siapapun termasuk negara. Negara berkewajiban un-tuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi negara. Sedangkan pihak yang kontra berpendapat bahwa yang terjadi terhadap Ahmadiyah tidak berkaitan dengan hak kebebasan beragama/berkeyakinan, melain-kan terkait dengan penodaan agama dan/atau penistaan agama.Kekerasan yang terjadi lebih disebabkan ketidakpatuhan Ahmadi-yah sendiri terhadap 12 (duabelas) butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB Tiga Menteri 2008. Argumen demiki-an dan peristiwa Cikeusik menjadi dasar sejumlah kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Gubernur & Walikota yang pada intinya melarang aktivitas Jemaah Ahmadiyah di wilayahnya. Sampai saat ini tercatat 20 kebijakan kepala daerah terkait larangan Ahmadiyyah, dan 11 kebijakan dihasilkan pasca peristiwa Cikeusik. Di Jawa Barat, untuk melaksanakan Peraturan Guber-nur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Musyawarah Pimpinan Daerah Jawa Barat menggelar Operasi Sajadah. Operasi ini bertujuan agar pengikut Ahmadiyah kembali ke ajaran Islam dengan melibatkan TNI. Tim Advokasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, menemukan 56 kasus intimidasi TNI terhadap anggota Ahmadiyah di Cianjur, Majalengka, Ciamis, Banjar, Bandung, Ci-rebon, Indramayu, Sukabumi, Tasikmalaya, Salatiga dan Lampung Utara. Para pelaku diantaranya anggota Koramil, TNI, Dandim, Kodim, Polisi baik Polres maupun Polsek, Babinsa, dan pihak Kelu-rahan. Modusyang digunakan bersifatsistematis, yakni pemaksaan menandatangani surat diikuti oleh pengikraran keluar dari Ahmadi-yah atau pentobatan. TNI aktif meminta data jemaah Ahmadiyah terkait keanggotaan, struktur kepengurusan, dan memaksa untuk menguasai masjid dengan menjadi imam salat Jumat. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, diyakini bukan men-jadi kasus terakhir terhadap pelanggaran kebebasan beragama/keyakinan kelompok minoritas di Indonesia, mengingat berkaitan

Page 58: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 53

TELAAHKASUS

satu sama lain dengan sistem politik, ekonomi, hukum dan budaya di Indonesia. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI dan Bhinekka Tunggal Ika tidak dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara.Hal ini akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan negara sendiri. Tulisan ini akan mengeksplorasi kasus Ahmadiyah dari persfektif keadilan sosial, sebagai tujuan akhir dari kehidupan kita berbangsa.

II. KONSEP, VARIABEL DAN INDIKATOR KEADILAN SOSIAL

Istilah keadilan sosial, bukanlah istilah yang asing bagi bangsa Indonesia. Sila kelima Pancasila berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan Pembukaan UUD 1945 alinea keem-pat menyatakan sebagai berikut :

“...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatu-an Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebi-jaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone-sia.”

Didalam Pembukaan UUD 1945 terdapat lima kata “adil”, selebihnya “perikeadilan”, “seadil-adilnya”, “adil dan makmur”, “keadilan sosial”, dan “adil dan beradab”. Bahkan penjelasan kon-stitusi secara ekplisit menyebutkan tujuan negara “hendak mewu-judkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Dengan demikian keadilan sosial merupakan nilai yang dirumuskan secara ekplisit dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945 maupun dalam UUD 1945 sendiri. Apabila ditelusuri makna nilai keadilan sosial bersama nilai- nilai dasar Pancasila lainnya, maka nilai keadilan sosial merupakan salah satu nilai yang dijadikan tujuan dari sebuah sistem nilai. Sub-stansi nilai-nilai dasar Pancasila yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial meru-pakan suatu sistem nilai. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia. Apabila ditinjau dari stratifikasi ni-

Page 59: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

54 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS lai dasar pancasila, nilai keadilan sosial merupakan nilai puncak

piramida dari sistem nilai Pancasila. Ini berarti, keadilan sosial merupakan norma pokok yang harus menjadi kiblat bagi setiap re-jim politik yang memegang tampuk kekuasaan dibawah konstitusi.9 Menurut Bur Rasuanto, keadilan sosial sebagai norma bermakna kedua arah. Ke arah positif adalah kewajiban utama siapapun yang memegang kekuasaan negara untuk mengerahkan kemampuan dan seluruh langkah kebijakannya untuk mewujudkan keadilan sosial; ke arah negatif, adalah kewajiban utama siapapun yang memegang kekuasaan negara untuk mencegah tumbuh apalagi berkembangnya ketidakadilan.10 Konsep keadilan sosial berkembang seiring dengan perkem-bangan hak asasi manusia (HAM) terutama pasca perumusan Kov-enan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). ILRC melalui kegiatan workshop perumusan konsep dan indikator keadilan sosial yang diselenggarakan di Surabaya, 12-13 Februari 2009, merumuskan konsep keadilan sosial, sebagai “Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang majemuk yang mendistribusikan hak dan kewajiban yang setara terhadap individu atau kelompok sosial yang termarginalkan oleh sistem hukum dan sosial, secara efektif dan berkelanjutan”11. Dari rumusan konsep yang tersebut, keadilan sosial memi-liki lima variabel, dan setiap variabel memiliki indikator. Lima vari-abel tersebut yaitu12 : 1. Suatu tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara

yang majemuk. Di dalam variabel ini setidaknya terdapat empat indikator, yaitu (1) adanya prinsip pluralisme; (2) adanya prinsip inklusivisme; (3) adanya prinsip toleransi; dan (4) adanya prinsip koeksistensi.

2. Yang mendistribusikan hak dan kewajiban secara setara. Di dalam variabel ini terdapat indikator, yaitu (1) adanya kesada-ran distribusi sumber daya alam secara adil; (2) adanya poli-

9 Bur Rasuanto, Wacana Pasca Kajian, Keadilan Sosial : Dua Pemikiran Indone-

sia (Sukarno & Hatta), dalam Keadilan Sosial; Pandangan Deontologis Rawls dan Haber-mas Dua Teori Filsafat Politik Modern,Gramedia, Jakarta, halaman 200 10 ibid. 11 The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Mengajarkan Hukum yang

Berkeadilan, Jakarta, Desember, 2009, halaman 3612 Ibid, halaman 37-42

Page 60: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 55

TELAAHKASUS

tik afirmasi; (3) adanya disentralisasi; (4) adanya sistem sosial yang partisipatif, serta (5) adanya pengakuan dan penguatan lembaga-lembaga lokal. Kesetaraan (equality) mempunyai di-mensi kesetaraan atas kesempatan (equal opportunity) dan perlakuan (equal treatment). Kesetaraan kesempatan berkaitan dengan prosedural keadilan sosial, sementara kesetaraan per-lakuan kaitannya dengan substansi keadilan sosial. Kesetaraan perlakuan dan kesempatan harus saling melengkapi. Untuk mencapai kesetaraan terdapat diskriminasi positif, di mana ke-lompok-kelompok the least well-off berhak untuk memperoleh perlakuan dan kesempatan khusus karena mereka mempunyai hambatan dan keterbatasan dalam mencapai keadilan sosial.

3. Individu atau kelompok sosial yang termarginalkan. Kelom-pok the least well-off, mereka yang tidak memperoleh akses ke sumber daya, dan kelompok minoritas. Porsi implementasi keadilan sosial harusnya ditujukan lebih banyak untuk kelom-pok-kelompok the least well-off ini. Kelompok minoritas secara budaya, bahasa, etnis, agama, dan lain-lain harus mendapatkan perlakuan non-diskriminasi dalam mengakses distribusi sum-ber daya.

4. Secara efektif. Dalam variabel efektif ini terdapat indikator, yai-tu (1) adanya jaminan hukum; (2) adanya kapasitas individu; (3) kelompok sosial marginal, dan negara; (4) adanya kesesuaian kebutuhan individu dan kelompok marginal. Distribusi hak dan kewajiban harus dilaksanakan secara efektif, mengandung pengertian bahwa distribusi hak dan kewajiban dilaksanakan secara optimal, yang bermanfaat untuk individu dan kelompok sehingga ada jaminan hukum, baik norma maupun penegakan-nya. Efektif juga mengandung arti bahwa baik individu maupun kelompok harus mempunyai kapasitas untuk mengakses dis-tribusi keadilan sosial. Selanjutnya, di sisi lain negara harus mempunyai posisi kuat untuk mengimplementasikan tanggung-jawab-nya di dalam distribusi hak dan kewajiban tersebut. Tang-gung jawab negara tersebut meliputi pemenuhan, penghor-matan, serta pelindungan hak-hak individu dan kelompok.

5. Berkelanjutan. Keadilan sosial perlu melihat keberlanjutan, di mana ada penghormatan terhadap kearifan lokal dan nasional, kemudian adanya keberpihakan pemegang sumber daya alam

Page 61: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

56 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS terhadap individu dan kelompok marginal, serta adanya kon-

sistensi kebijakan dan implementasinya. Keadilan sosial tidak menegasikan eksistensi kearifan lokal dan nasional, di mana in-dividu dan kelompok tidak melakukan perusakan terhadap ling-kungan.

III. KASUS AHMADIYAH DALAM PERSFEKTIF KEADILAN SOSIAL

3.1 Jamaah Ahmadiyah Bagian dari Masyarakat, Bangsa, dan Neg-

ara Indonesia yang Majemuk

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami 17.000 pulau, yang memiliki budaya, bahasa, agama dan sistem sosial yang berbeda satu sama lain. Kesadaran akan kenyataan pluralnya bangsa Indonesia pula yang kemudian melahirkan semboyan “Bhinekka Tunggal Ika”, walaupun berbeda-beda namun satu juga. Sehingga Pluralisme13 menekankan pada pengakuan perbedaan di antara kelompok-kelompok agama- ter-masuk perbedaan penafsiran-, budaya, bahasa, gender, dan lain-lain. Perbedaan membawa konsekuensi untuk saling menghargai dan memahami perbedaan tersebut atau sering disebut dengan toleransi. Toleransi dan pluralisme berlaku tidak hanya eksternal di antara komunitas, tetapi juga di internal komunitas itu sendiri. Di dalam masyarakat majemuk dibutuhkan inklusivisme di mana in-dividu setiap komunitas dan antara komunitas harus hidup secara inklusif, dan eksklusivisme hanya diterapkan untuk hal-hal ter-tentu saja dalam kehidupan privat dari individu setiap anggota ko-munitas. Individu yang hidup di komunitas maupun antarkomunitas harus bisa hidup berdampingan (coexistence). Satu komunitas tidak bisa mengesampingkan komunitas yang lain, begitu juga individu di dalam komunitas tidak bisa dimarginalkan oleh individu yang lain. Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mir-

za Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil

13 Pluralisme dalam artian ini adalah pengakuan terhadap perbedaan/kema-jemukkan (agama,bahasa,jender dll), berbeda dengan pluralisme yang dimaksud dalam Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme. Pluralisme diartikan se-bagai ajaran yang menyamakan semua agama, dan menuju ke paham sinkretisme (pe-nyampuraduk-an ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti.

Page 62: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 57

TELAAHKASUS

yang bernama Qadian, Punjab, India14. Di Indonesia, penyebaran Ahmadiyah dilakukan oleh Maulana Rahmat Ali, pertama kali di Tapaktuan, Aceh dan berkembang di Padang, Sumatera Barat. Pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Jika dilihat dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Hal ini dapat ditelusuri dari penyampaian pendapat Ahmadiyah dalam kon-gres Muhammadiyah ke 13 (1924), dan keterlibatan Raden Ngabehi

HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab

Chasballah, dalam mendirikan Ahmadiyah Indonesia15. Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :Ahmadiyah Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ah-madiyah Lahore, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)16. Sebagai organisasi, Ahmadiyah telah berbadan hukum me-lalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 dan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi ke-masyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Walau terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, Ahmadiyah dapat hidup cukup damai dan berdampingan dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dan sebagai bagian dari war-ga negara Indonesia, jamaah Ahmadiyah telah ikut bersama-sama membangun negara Indonesia. Misalkan WR Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya merupakan seorang Ahmadi, maupun yang tersebar menjadi kalangan profesional, PNS maupun pengusaha. Demikian halnya dalam aktivitas sosial, JAI telah membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan, dari tingkat SD sampai SMA. Pentingnya kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme dalam demokrasi pernah disinggung oleh Nurcholish Madjid (2000) bahwa pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan mengatakan 14 Berdirinya Ahmadiyah Pakistan dilatarbelakangi tiga faktor. Pertama, kolo-nialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di se-gala bidang. Dan ketiga, proses kristenisasi oleh kaum misionari 15 Sejarah Ahmadiyah dan Konfl iknya, http://www.p2d.org/index.php/kon/32-15-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, akses terakhir 30 Mei 2011 16 Ahmadiyah Qadian, mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi, sedangkan Ahmadiyah Lahore, tidak mengang-gap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam

Page 63: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

58 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS bahwa masyarakat kita majemuk, terdiri atas beragam suku dan

agama. Bagi Nurcholish, pluralisme juga tidak boleh dipahami se-bagai sekadar “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay), namun lebih dari itu pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Terkait den-gan itu, demokrasi memerlukan sikap untuk bersedia memandang yang berbeda dengan penuh penghargaan, tanpa saling memak-sakan kehendak17. Sehingga dalam konteks pluralisme ini terdapat dua arah yaitu, Pertama, kesediaan komunitas agama dan aliran agama lain untuk menerima kenyataan bahwa Ahmadiyah -suka dan tidak suka- merupakan bagian integral dari NKRI yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warganegara; Kedua, kesediaan Ah-madi untuk menerima perbedaan dan hidup berdampingan dengan komunitas dan aliran agama lainnya. Untuk mencapainya, dibutuh-kan proses pendewasaan dalam hidup berdampingan, dan negara seharusnya memfasilitasi proses proses untuk membangun sikap dewasa dalam menerima setiap perbedaan. Namun, sayangnya dalam perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa pemerintah justru terpancing untuk ikut melarang Ahmadiyah, hal yang meng-ingkari kemajemukan dan sejarah bangsa sendiri. Dimulai den-gan keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah, dan 21 kebijakan dae-rah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Sedangkan sebagai peja-bat publik, sejumlah pejabat telah melakukan tindakan intoleransi dalam bentuk condoning18.

3.2 Posisi Tidak Setara Jamaah Ahmadiyyah Indonesia

Untuk penyelesaiaan jangka panjang, digagas sebuah dialog yang diikuti oleh LSM, Ormas dan tokoh mayarakat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama. Dialoq seperti ini pernah terjadi sebel-umnya. Yaitu pada September 2007, dialog yang pertama dari tujuh 17 Ridho Imawan Hanafi, Kekerasan Agama Ancaman Bagi Demokrasi, Koran Tempo, 3 Januari 2011 18 Condoning adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan meng-undang terjadinya kekerasan.

Page 64: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 59

TELAAHKASUS

dialog selanjutnya terjadi. Dialog pertama ini dipimpin oleh seorang pejabat tinggi Departemen Agama dan dihadiri oleh para pimpinan Ahmadiyah (JAI). Dialoq ini selanjutnya meminta JAI membuat Dua Belas Pernyataan terkait dengan Ahmadiyyah dan pada tanggal 14 Januari 2008, JAI menyerahkan dua belas butir pernyataan mereka kepada Departemen Agama, dengan tembusan ke MUI. Butir-butir kesepakatan yang penting antara lain:

- Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan me-ngucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asy-hadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Ra-sulullah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah;

- Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penu-tup);

- Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan per-ingatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat; dakwah dan sy-iar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW;

- Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah;

- Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasu-lullah SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani;

- Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).

Namun MUI dan kelompok Islam menilainya multitafsir dan meminta satu pernyataan tegas terkait dengan Mirza Ghulam Ah-mad. Selanjutnya dilakukan pengawasan selama tiga bulan ter-hadap pelaksanaan duabelas kesepakatan. Dan sebagaimana dik-

Page 65: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

60 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS etahui, Bakorpakem kemudian menilai JAI melanggar keduabelas

pernyataan, dan hal ini dijadikan sandaran terbitnya SKB Tiga Men-teri. Rekomendasi Bakorpakem tersebut, menghentikan upaya di-aloq yang tengah dibangun. Padahal menurut CSRC UGM sesung-guhnya bagian-bagian penting dalam kesepakatan tidak dilanggar Jemaah Ahmadiyah Indonesia, meskipun ada dua butir kesepaka-tan yang tak dapat diverifikasi secara tegas, dan butir-butir terse-but persis terkait penafsiran19. Lebih lanjut CSRC menyatakan bah-wa berdasarkan laporan pemantauan tim peneliti Balitbang Depag pada Februari—Maret 2008, JAI secara sosial tidak eksklusif, tidak mengkafirkan Muslim non-Ahmadi. JAI juga secara umum tidak melakukan kekerasan, bahkan menjadi korban kekerasan. Karena itu, jika JAI dihakimi, maka yang menjadi masalah pada akhirnya bukanlah tindakan sosialnya, tapi keyakinan keagamaannya yang berbeda20

Sehingga dapat dipahami jika kemudian JAI pada dialoq yang digelar 2011, tidak menghadirinya. Pertimbangan yang diberikan bahwa Menteri Agama, Suryadhama Ali, bukanlah sosok yang fair terhadap masalah keberadaan Ahmadiyah, tidak mempunyai me-kanisme dan materi yang jelas, dan peserta dialoq yang tidak jelas mewakili siapa21. Dengan kata lain, forum akan digunakan untuk kembali mengadili keyakinan Ahmadiyah. Dalam membangun dialoq dengan Ahmadiyah, telah terjadi posisi yang tidak setara. Para pihak telah memiliki posisi keber-pihakan. Posisi ini menyebabkan sulitnya titik temu. Proses se-benarnya bisa diawali dengan ditemukannya akar masalah dari konflik yang terjadi, apakah perbedaan tafsir pemahaman ke-agamaan adalah akar dari permasalahan yang sebenarnya, atau malah ternyata akar permasalahan sebenarnya adalah di luar ke-lompok-kelompok yang terlibat konflik?. Posisi yang nampak dari masing-masing pihak yang bertikai harus dibuka selubungnya un-tuk menemukan apa yang sebenarnya menjadi kepentingan dari

19 Zainal Abidin Bagir dkk, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan”, Program Stu-di Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Makalah Posisi mengenai UU No.1/PNPS/1965, Yogyakarta, Maret 2010 20 ibid. 21 Nilai Menag Tidak Fair, JAI Tolak Hadiri Dialog Ahmadiyah, http://www.de-tiknews.com/read/2011/03/22/203856/1599053/10/nilai-menag-tidak-fair-jai-tolak-had-iri-dialog-ahmadiyah?n99110160, diakses terakhir 30 Mei 2011

Page 66: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 61

TELAAHKASUS

kelompok-kelompok ini. Dari sanalah kemudian kita bisa menga-wali dialog dengan mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam konstitusi sebagai kontrak sosial bangsa Indonesia.

3.3 Ahmadiyyah sebagai Individu atau Kelompok Sosial yang Ter-

marginalkan

Pluralisme di Indonesia adalah pluralisme yang multi-warna dan tidak dikotomis baik dari sisi komposisi etnisitas (suku, agama, ras, bahasa, dsb) maupun demografisnya. Fakta tersebut sudah ada bahkan pada jaman Nusantara atau pra-kemerdekaan RI. Kewa-jiban koheren terhadap corak eksistensi Indonesia tersebut adalah merawat, menjaga dan menghidupi masing-masing elemen bangsa yang menjadi pembentuknya22. Dalam konteks Indonesia, menjadi sulit untuk menemukan definisi dan batasan terkait kelompok mi-noritas. Namun, mengacu pada definisi minoritas menurut Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Minoritas, Francesco Capo-torti yang mendefinisikannya sebagai :

“A group, numerically inferior to the rest of the population of a state, in a non dominant position, whose members being nation-als of the state-posses ethnic, religious or linguistic characteris-tic differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion or language”23

Dari definisi tersebut yang dikategorikan sebagai minoritas adalah : Pertama, perbandingan numeriknya dengan sisa populasi yang lebih besar. Artinya, sebuah kelompok bisa disebut minoritas jika jumlahnya lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam sebuah negara. Kedua, posisinya tidak dominan dalam konteks negara. Ketiga, terdapatnya perbedaan salah satu atau semuanya dari tiga wilayah yaitu etnik, agama dan bahasa dengan sisa populasi lainnya. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok orang memiliki rasa solidaritas antara sesamanya, dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan di depan

22 Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “....melindungi segenap bangsa Indoensia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...” 23 Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Mi-

noritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The Interseksi Foundation – Yayasan Tifa, Jakarta,2007, halaman 10

Page 67: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

62 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS hukum dengan populasi di luarnya24.

Jika dari sisi jumlah, JAI menyatakan memiliki anggota hingga 400,000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, tapi ang-ka pemerintah jauh lebih sedikit. Sebuah dokumen internal tahun 2008 dari Departemen Agama menulis angka 50,000 hingga 80,000 berdasarkan kunjungan ke beberapa masyarakat JAI dan meminta informasi dari yang lain. Sedangkan Menteri Agama Suryadharma Ali, pasca peristiwa Cikeusik menyatakan jumlah jamaah Ahmadi-yah tidak lebih daripada 50,000 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah pengikut Nahdlatul Ulama (NU) sekitar 45 juta orang dan Muhammadiyah yang sekitar 25 juta orang, maka JAI adalah ke-lompok yang sangat kecil dan tentunya sulit dibayangkan JAI akan mampu mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Demikianhal-nya dalam melakukan penafsiran agama, Ahmadiyah bukan berada dalam kelompok mainstream Islam di Indonesia, yaitu Islam Suni. Walau secara jumlah agama Islam merupakan mayoritas, namun realitas akan pluralitas aliran-aliran dalam menempatkan aliran non mainstream –termasuk Ahmadiyah- adalah minoritas dan ter-marginalkan. Anak-anak dan perempuan jamaah Ahmadiyah, mereka be-rada dalam posisi yang paling rentan dalam konflik ini. Sebagai perempuan mereka menempati diskriminasi dalam relasi gender, dan sebagai anggota jamaah Ahmadiyah mereka mendapatkan diskriminasi karena keyakinannya. Secara khusus, tindakan dis-kriminasi, kekerasan dan intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah memiliki dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menegaskan hal ini. Secara umum dalam hasil pemantauan di sejumlah tempat, perempuan Ahmadiyah telah mengalami: (1) diskriminasi dari komunitas tem-pat tinggalnya; (2) gangguan dalam menjalankan keyakinannya,(3) mengalami kekerasan seksual dan ancaman kekerasan pada saat penyerangan; (4) mengalami penurunan status kesehatan akibat serangan ke komunitasnya, (5) mengalami penurunan akses ter-hadap sumber penghidupan yang layak, (6) mengalami kekerasan seksual di pengungsian dan di pasar dan (7) digugat status perkawi-nannya25. Sedangkan anak- anak Ahmadiyah mengalami diskrimi-

24 Kritik terhadap definisi ini vide Hikmat Budiman, ibid, halaman10 -13 25 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan Anak

Page 68: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 63

TELAAHKASUS

nasi di sekolah dan trauma psikologis akibat kekerasan yang disak-sikannya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa anak dan perempuan sebagai kelompok minoritas dari minoritas terhambat pemenu-hannya dalam menikmati hak-hak dasarnya.Salah satu asumsi dasar dari demokrasi, adalah bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan dijalankan dengan prinsip penghar-gaan hak-hak minoritas dan perseorangan, dengan lebih mengede-pankan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi ketimbang ko-ersi. Artinya, demokrasi mengakui adanya pluralisme dan hak-hak minoritas. Demokrasi menghargai dan menghormati perbedaan dan keanekaragaman. Di sini ada penekanan pokok, meskipun de-mokrasi juga memegang prosedur pengambilan keputusan dengan suara mayoritas, pengakuan dan perlindungan hak-hak kaum mi-noritas tidak boleh diabaikan atau dikenal dengan istilah “majority rule, minority right”. Ketika Indonesia menetapkan demokrasi seb-agai sistem pemerintahannya, maka dengan sendirinya seharusnya nilai-nilai kebebasan dan hak-hak kelompok minoritas ditegakkan. Berbagai gesekan di antara kelompok mayoritas atas nama agama dan minoritas, maupun permusuhan dan perusakan kelompok in-ternal agama yang dianggap menyimpang dari mainstream utama, menyiratkan adanya hak asasi kelompok minoritas yang terancam dan terlanggar.

3.4 Tanggungjawab Negara dalam Pemenuhan, Penghormatan,

serta Pelindungan Hak-Hak Individu dan Kelompok Ahmadi-

yyah

Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara konstitu-sional hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Secara historis negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang diideal-kan oleh para pendiri bangsa sebagaimana kemudian dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan. Melalui amademen ketiga, substansi negara hukum dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945. Perkembangan negara hukum modern melahirkan prinsip-prinsip baru untuk mewujudkan negara hu-kum26. Dan perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 telah

Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis , Laporan Pemantauan, 23 August 2010 26 Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum, yaitu : (1) Supremasi Hukum (Su-premacy of Law), (2) Persamaan dalam Hukum (Equality befor of Law), (3) Asas Legalitas

Page 69: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

64 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan

dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ke-tentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, termasuk hak kebebasan beragama. Sebagai hak kontitu-sional dengan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila, maka peny-elenggara negara memiliki kewajiban untuk menjamin, memenuhi dan menghargai hak-hak konstitusional warganya. Dengan tujuan menuju pada pencapaian tujuan negara. Namun perubahan-perubahan mendasar dalam konstitusi, berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Kondisi kebebasan beragama di Indonesia justru makin memburuk di era reformasi. Abdul Munir Mulkhan menilai terdapat kecenderungan demokrasi dipakai sebagai alat legitimasi pemaksaan kehendak bagi kelom-pok mayoritas kadang juga dipakai sebagai pembenar kekerasan27. Lebih lanjut ia menjelaskan sebagai berikut :

Dalam hubungan itulah demokratisasi yang semestinya paralel dengan promosi pluralisme seringkali berubah menjadi anti plu-ralisme ketika pada saat dimasuki virus ideologisasi agama. Demo dengan pengarahan massa besar memakai simbol agama mulai di-lakukan untuk menekan kelompok tertentu atau Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan sesuai tuntutan mayoritas. Tindakan sep-erti ini tidak bisa atau tidak efektif jika dilakukan kelompok-kelom-pok minoritas. Demokrasi menjadi alat pembenar tafsir mayoritas, sehingga benar-salah dan baik buruk ditentukan oleh kesepaka-tan-kesepakatan politik yang berada di tangan kelompok mayori-tas. Keadilan kemudian diartikan sebagai perbedaan hak mayoritas dan minoritas bukan perlakuan yang sama di depan hukum tanpa diskriminasi. Kita menjadi khawatir kebebasan beragama dan ber-keyakinan ditentukan berdasarkan jumlah pengikut dimana kebe-basan bagi minoritas ditentukan oleh kehendak atau tafsir mayori-tas28.

Penilaian yang disampaikan oleh Mulkan, nampak dari pros-

(Due Process of Law), (4) Pembatasan Kekuasaan, (5) Organ-organ pendukung yang in-dependent, (6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, (7) Peradilan Tata Usaha Negara; (8) Peradilan Tata Negara, (9) Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), (10) Bersifat Demokra-tis, (11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan (12) Transparansi dan kontrol sosial. Baca Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Ja-karta, Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2008,halaman 48 - 52 27 Abdul Munir Mulkhan, Diskriminasi dan Kekerasan Keagamaan dalam De-

mokrasi, makalah,tt 28 Ibid.

Page 70: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 65

TELAAHKASUS

es penerbitan SKB 3 Menteri tentang Pelarangan Ahmadiyah, pe-nyelesaian aliran-aliran yang berbeda, penutupan rumah ibadah, regulasi berbasis syariah sampai dengan penegakkan hukum yang disebut “anti maksiat”. Menurut Internasional Crisis Groups, ke-berhasilan tekanan terhadap pemerintah tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada bertambah besarnya pengaruh MUI terhadap pemerintah yang terkesan dibiarkan oleh Susilo Bambang Yud-hoyono29. Sementara para pimpinan MUI ini sebenarnya mewakili kelompok-kelompok garis keras, yang berarti ada hubungan lang-sung ke pembuat kebijakan. Sembilan bulan setelah pengangka-tannya sebagai Presiden, SBY menerima undangan untuk mem-buka Musyawarah Nasional MUI yang ketujuh tanggal 26 Juli 2005. Kepada peserta musyawarah SBY mengatakan:

Kami membuka pintu hati, pikiran kami untuk setiap saat me-nerima pandangan, rekomendasi dan fatwa dari MUI maupun dari para Ulama, baik langsung kepada saya, kepada Saudara Menteri Agama, atau kepada jajaran pemerintah yang lain. Kami ingin me-letakkan MUI untuk berperan secara sentral yang menyangkut aki-dah ke-Islaman, dengan demikian akan jelas bedanya mana-mana yang itu merupakan atau wilayah pemerintahan kenegaraan, dan mana-mana yang pemerintah atau negara sepatutnya mendengar-kan fatwa dari MUI dan para Ulama30.

Pernyataan tersebut secara sadar maupun tidak sadar, menjadi pintu masuk ajaran agama atau doktrin agama dalam pe-nyelenggaraan pemerintah, yang disebut oleh Rumadi sebagai “In-donesia dalam nalar Negara Agama”. Nalar negara agama adalah penggunaan ajaran dan doktrin agama sebagai dasar untuk men-gambil keputusan-keputusan publik31 Demikian halnya dengan permasalahan Ahmadiyah, negara tidak menyandarkan pada ke-tentuan konstitusi, tetapi lebih mendasarkan pada doktrin agama. Hal ini nampak dari kebijakan Pemerintah Daerah, yang pada inti-nya melarang aktivitas JAI dalam segala bentuk. Lahirnya produk hukum daerah tersebut diawali dengan aksi massa, dan tekanan kelompok agama terhadap pemerintah daerah.

29 Indonesia: Implikasi SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah,

Crisis Group Asia Briefing No.78, 7 Juli 2008 30 Ibid. 31 Rumadi, Nalar Negara Agama dalam Penyelesaian Ahmadiyah, Suara Pem-baruan | Senin, 21 Februari 2011

Page 71: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

66 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS No. Bentuk Kebijakan Isi

01. Surat Keputusan Nomor Kep.11/ IPK.32.2/L-2 .III.3/11/83 tentang Pela-rangan terhadap kegiat-an Jemaah Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur. Surat ini dilanjut-kan dengan Surat Edaran Bupati Nomor 045.2/134/KUM/2002 pada tanggal 13 September 2002

Pelarangan Jamaah Komunitas Ahmadiyah dan penyebarannya baik secara lisan mau-pun tertulis. - Akan diambil tindakan hukum kepada siapapun yang melanggar keputusan ini.

02. SKB tentang Pelarangan aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Wilayah Kabupaten Kun-ingan. Tanggal 3 Novem-ber 2002 untuk wilayah Kabupaten Kuningan

1. Ahmadiyah dinilai bertentangan dengan ajaran agama Islam berdasarkan fatwa MUI pusat dan para ulama pimpinan pon-dok pesantren

2. Melarang untuk selamanya aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah dengan segala keg-iatannya.

3. Memerintahkan pada PAKEM untuk melaksanakan pengawasan,

4. Kakandep dan MUI melakukan pembinaan kepada Jamaah Ahmadiyah

03. Surat Pernyataan Bersa-ma tentang Pelarangan kegiatan Komunitas Ahmadiyah di Indonesia di Wilayah Kabupaten Bo-gor tanggal 20 Juli 2005

1. Melarang seluruh kegiatan Komunitas Ah-madiyah

2. Memerintahkan PAKEM serta institusi ter-kait melakukan pengawasan

3. Kandepag dan MUI melakukan pembinaan terhadap Jamah Ahmadiyah dengan cara yang baik sesuai ajaran Islam.

4. Apabila kegiatan ajaran Ahmadiyah tetap dilaksanakan, penanganannya diserahkan kepada pihak Kepolisian RI untuk dilaku-kan penyelidikan/penyidikan sesuai ke-tentuan perundang-undangan yang ber-laku.

04. SKB Nomor 450/Kep. 225 – PEM/2005, tanggal 9 Agustus 2005Garut

1. Melarang seluruh kegiatan ajaran Ahma-diyyah Qodhiyani dan semua aktivitas yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam di wilayah Kabupaten Garut.

2. Memerintahkan instansi terkait untuk me-laksanakan pengawasan terhadap pelak-sanaan keputusan bersama ini.

3. Kandepag bersama MUI agar melakukan pembinaan dan bimbingan kepada selu-ruh Komunitas Ahmadiyah Qodhiyani de-ngan cara yang baik sesuai ajaran Islam

Page 72: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 67

TELAAHKASUS

4. Apabila kegiatan ajaran Ahmadiyah tetap dilaksanakan, penanganannya diserahkan kepada pihak Kepolisian RI untuk dilaku-kan penyelidikan/penyidikan sesuai keten-tuan perundang-undangan yang berlaku

05. SKB Nomor 21/2005 tanggal 17 Oktober 2005 tentang larangan melakukan aktivitas Pe-nyebaran Ajaran/Faham Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur

1. Melarang aktivitas penyebaran faham/aja-ran Ahmadiyah dalam bentuk apapun.

2. Melarang sikap anarkis dan melawan hu-kum yang merugikan pihak lain dan diri-nya.

3. Pembinaan Komunitas Ahmadiyah oleh Depag dan MUI

4. Pengawasan dan penuntutan terhadap pengikut aliran Ahmadiyah yang dilakukan oleh Kejari melalui PAKEM

06. SKB Nomor 143 tahun 2006, Sukabumi tanggal 20 Maret 2006 di Suka-bumi

Penutupan sementara tempat-tempat iba-dah Komunitas Ahmadiyah terdiri dari 5 mesjid Ahmadiyah di 4 kecamatan

07. Keputusan Gubernur nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL & LIN-MAS/2008.Tanggal dikeluarkan 1 September 2008,resmi diberlakukan sejak Selasa 8 Februari 2011 untuk wilayah Su-matera Selatan

Melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Je-maah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnama-kan Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam

08. Surat Edaran Guber-nur Sulawesi Selatan 223.2/803/Kesbang tang-gal 10 Februari 2011

a. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau ang-gota pengurus Jamaat Ahmadiyah Indone-sia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yai-tu penyebaran faham yang mengakui ada-nya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

b. Penganut, anggota, dan atau pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan per-intah tersebut di atas dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.

09. SK Walikota Pekanbaru 450/BKBPPM/749 tang-gal 16 November 2010

Larangan aktivitas JAI

Page 73: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

68 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS 10. Peraturan Gubernur

Banten N0 5 Tahun 2011 tentang Larangan Akti-vitas Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pen-gurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)di Wilayah Propinsi Banten

a. menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan dan / atau tulisan baik langsung maupun melalui media cetak ataupun elektronik;

b. memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dapat diketahui umum;

c. memasang papan nama pada mesjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI);

d. menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Pembinan dan;e. Pengawasan terhadap keberadaan Je-

maat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dilak-sanakan oleh Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum dan Tim PAKEM

11. Peraturan Bupati No 5 tahun 2011, Pandeglang Banten

Terdiri dari 5 (lima) Bab dan 5 (lima) pasal, diantaranya adalah pelarangan aktifitas ah-madiyah, pembinaan dan pengawasan dan ketentuan sanksi bagi yang melanggarnya.

12. SK Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tanggal 28 Februari 2011

Dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik Dilarang memasang papan nama Organisasi jemaat ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum Dilarang memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pen-didikan dan lain lain dengan identitas jemaat JAI Dilarang menggunakan atribut jemaat ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya

13. Peraturan Bupati Kampar 450/PUM/2011/68 tang-gal 16 February 2011

Tentang menghentikan kegiatan Jemaat Ah-madiyah

14. SK Walikota Samarinda No. 200/160/BKPPM.I/II/ 2011 tgl. 25 Feb. 2011

Menghentikan dan menutup segala aktifitas kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayah kota Samarinda

15. Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12 Tahun 2011, tanggal 3 Maret 2011 tentang Pelarangan Kegiatan Jamaah Ah-madiyah di Jawa Barat.

1. Dilarang melakukan aktifitas dan/atau kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.

2. Dilarang menyebarkan Ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, ataupun melalui me-dia elektronik;

3. Dilarang memasang papan nama organ-isasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tem-pat umum;

Page 74: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 69

TELAAHKASUS

4. Pemasangan papan nama pada rumah peribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ah-madiyah Indonesia; dan

5. Pembentukan Tim penanganan jamaah Ahmadiyah

6. Penggunaan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apapun.

7. Pemerintah Daerah menghentikan aktifi-tas/kegiatan Penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah

16. Surat Keputusan Wa-likota Bogor No.300.45-122/2011 tanggal 3 March 2011 tentang pelarangan kegiatan Ahmadiyah In-donesia di kota Bogor

1. Dilarang melakukan aktifitas dan/atau kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.

2. Dilarang menyebarkan Ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, ataupun melalui me-dia elektronik;

3. Dilarang memasang papan nama organ-isasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tem-pat umum;

4. pemasangan papan nama pada rumah peribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ah-madiyah Indonesia; dan

5. Pembentukan Tim penanganan jamaah Ahmadiyah

6. dilarang melakukan kegiatan anarki atau perbuatan melawan hukum terkait aktivi-tas penganut, anggota atau pengurus Je-maat Ahmadiyah Indonesia di Kota Bogor.

17. Peraturan Walikota Depok No. 09 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ah-madiyah Indonesia di Kota Depok. Sedangkan ketentuan mengenai tim pengawas diatur me-lalui Surat Keputusan No. 821.29/153/Kpts/Kesbangpol & Linmas/Huk/2011 tentang tim penanganan jemaat Ah-madiyah.

a. Melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia beraktivitas di kota Depok

b. Membentuk tim untuk mengawasi dan menangani kegiatan Ahmadiyah.

Page 75: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

70 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS 18. Peraturan Bupati Konawe

Nomor 01 /2011 tertang-gal 17 Maret 2011 ten-tang larangan kegiatan anggota dan atau pengu-rus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Konawe Selatan

Pelarangan tersebut bukan sebatas pada ak-tivitas dakwah semata, melainkan seluruh aspek kegiatan Ahmadiyah. Perbup itu juga memerintahkan pembukaan masjid-masjid Ahmadiyah bagi umum serta pelarangan se-gala bentuk publikasi atau atribut Ahmadi-yah, seperti papan nama

19. Kebijakan Bupati Karan-ganyar tanggal 9 Maret 2011 (bentuk belum diketahui)

Pembekuan pengurus Ahmadiyah di Ka-bupaten Karanganyar, anggota Ahmadi-yah kembali ke Syariat Islam yang benar, tidak ada identitas Ahmadiyah di Masjid Al Mubarok, dan masjid Ahmadiyah digunakan untuk umum. Lalu tidak ada kegiatan dak-wah dari luar daerah serta tak ada kegiatan rutin lain.

20. Peraturan Bupati Lebak Nomor 11 tahun 2011 tanggal 8 Maret 2011ten-tang Pelarangan Aktivitas JAI

Larangan untuk penyebaran faham melalui media lisan maupun tulisan yang sifatnya mempengaruhi, menganjurkan dan/atau mengajak pihak lain, memasang dan meng- gunakan atribut dan/atau cara lain dalam upaya perbuatan penyebaran faham

Sumber ILRC, 2011

Dalam kajian Serikat Pengajar HAM (Sepaham), terhadap Kewenangan Gubernur Jawa Timur dalam Mengeluarkan Keputu-san TUN Pelarangan Ahmadiyah, keputusan tersebut dinilai Cacat

Wewenang dan Cacat Substansi, sehingga dengan sendirinya Ti-

dak Sah Secara Hukum.32 Penilaian ini dapat diterapkan pada ke-bijakan-kebijakan serupa terkait dengan Ahmadiyah. Lebih lanjut bentuk produk hukum negara terkait dengan larangan Ahmadiyah dapat dikategorikan:

1. Bertentangan dengan konsep tanggung jawab negara terkait dengan penegakan hak asasi manusia berdasarkan norma-norma hukum internasional maupun konstitusi Indonesia;

2. Paradoksal karena menempatkan korban yang terlanggar hak keamanan dan hak atas kebebasan beragamanya justru seb-agai obyek pembatasan hukum atas hak asasi manusia dan hak-hak dasarnya;

32 Melindungi Korban, Bukan Pelaku. Kertas Posisi atas dikeluarkannya Se-

jumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifi tas Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM),16 Maret 2011

Page 76: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 71

TELAAHKASUS

3. Irrelevant dengan situasi masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk;

4. Mereduksi secara manipulatif terhadap nilai-nilai normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di atas-nya;

5. Kontradiktif karena antara tujuan, konsideran hukum dan isi penetapan inkonsisten dan tidak irrelevant.

6. Diskriminatif karena menerapkan sekularisasi negara secara ekstrim hanya kepada kelompok agama tertentu, yaitu JAI.

Dampak dari produk hukum tersebut tidak hanya mengenai jamaah Ahmadiyah, tetapi juga akan berimbas pada kelompok-ke-lompok minoritas non Ahmadiyah, seperti Syiah, Mu’tajillah, Bahai dan aktivis HAM yang memperomosikan hak-hak kebebasan be-ragama dan demokrasi. Melalui produk hukum negara, menyebab-kan Ahmadiyah mengalami anarkisme akibat legitimasi dan justi-fikasi sebagai kelompok yang “sesat”, “dibatasi”, dan “terlarang”, terlanggar HAM lainnya seperti hak-hak ekonomi, sosial, dan buda-ya akibat labelisasi di atas dan Terbatasi hak-hak kewarganegaraan lainnya. Untuk Kelompok Agama Minoritas non-JAI, situasi hukum yang represif menempatkan mereka sebagai kelompok yang sangat rentan dan terbatas dalam penikmatan hak-hak keagamaanya. Se-dangkan bagi Aktifis HAM / NGO akan mengalami tindakan repre-sif akibat menguatnya relasi-kuasa dan relasi-kepentingan antara Negara dan Kelompok Anarkis berbasis agama dan melemakan kekuatan kelompok penekan dalam advokasi terkait hak atas kebe-basan beragama. Demikian halnya dengan tawaran agar Ahmadiyah menjadi agama sendiri, negara tidak menyandarkan pada ketentuan kon-stitusi, tetapi pada doktrin agama. Rujukan pada pola penyelesaian seperti di negara Pakistan –yang berdasarkan agama- sekali lagi memperlihatkan nalar yang digunakan adalah nalar agama. Ruma-di lebih lanjut menyatakan :

Hiruk pikuk soal Ahmadiyah ini menyiratkan satu hal yang cukup merisaukan. Pelan tapi pasti tampaknya nalar Negara agama mulai menjangkiti bangsa ini. Meskipun kita mengklaim sebagai Negara demokrasi dengan konstitusi yang menghargai hak asasi manu-sia, namun pengelola Negara ini mulai menggunakan nalar Neg-

Page 77: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

72 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS ara agama untuk menyelesai persoalan kebangsaan. ....Keinginan

untuk memaksa Ahmadiyah keluar dari Islam dan menjadi agama sendiri, sebagaimana sering diucapkan pejabat-pejabat publik, jelas menunjukkan bahwa nalar Negara agama sedang beroperasi.

Jika berpegang pada konstitusi, tidak mungkin ada pikiran untuk memaksa keluar dari Islam. Tidak mungkin Ahmadiyah dipaksa un-tuk menjadi agama sendiri dan meninggalkan sepenuhnya atribut-atribut keislaman. Pengelola Negara ini tampaknya masih ambigu dengan konstitusi negaranya sendiri dan masih ragu dengan hak asasi manusia karena dianggap sebagai produk asing.33

Dari uraian diatas nampak bahwa konstitusi belum dipahami sepenuh hati, demokrasi baru dimaknai sebagai rangkaian prose-dur-prosedur, belum menyentuh pada substansi nilai demokrasi itu sendiri. Sementara, pemerintah baik pusat maupun daerah-secara khusus untuk kasus Ahmadiyah- selaku pengemban mandat pelak-sana konstitusi tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban-kew-ajibannya. Kondisi ini akan memperjauh kita dari pencapaian yang dijanjikan oleh UUD 1945 yaitu keadilan sosial bagis seluruh rakyat Indonesia.

IV. PENUTUP

Indonesia merupakan negara yang majemuk baik dari segi budaya, bahasa, agama maupun sistem sosialnya. Kemajemukan dapat menjadi sumber kekayaan dan pengikat bangsa, namun juga dapat menjadi sumber konflik, jika penyelenggara negara tidak mampu mengelolanya. Bangsa Indonesia telah memilih Pancasila sebagai ideologi negara dan menjadikan keadilan sosial bagi selu-ruh rakyat Indonesia sebagai puncak nilai dan tujuan akhir negara. Ahmadiyah mengalami tindakan kekerasan terbanyak pada era reformasi. Pelarangan Ahmadiyah menjadi issue yang digu-nakan dalam proses pemiihan umum. Pelanggaran hak atas kebe-basan beragama/berkeyakinan telah mengakibatkan pelanggaran hak-hak dasar lainnya baik hak sipil dan politik maupun hak eko-nomi, sosial dan budayanya baik sebagai individu, maupun kelom-pok. Hal ini disebabkan pemerintah sebagai pemangku kewajiban, tidak mengacu kepada konstitusi yang telah disepakati, melaink-

33 Ibid.

Page 78: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 73

TELAAHKASUS

an menggunakan nalar agama dalam kebijakan-kebijakan publik. Kondisi ini memberikan sinyal yang mengkhawatirkan bahwa em-pat pilar kebangsaan tidak dijadikan dasar dalam kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ‘mewujudkan ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Untuk mengatasinya, seluruh elemen harus kembali men-jadikan empat pilar kebangsaan sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan mendorong pros-es demokratisasi ke arah kedewasaan untuk hidup berdampingan satu dengan yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Diskriminasi dan Kekerasan Keagamaan dalam Demokrasi,makalah,tt

Hikmat Budiman, Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas dalam Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia, The In-terseksi Foundation – Yayasan Tifa, Jakarta,2007

International Crisis Groups, Indonesia: Implikasi SKB (Surat Kepu-tusan Bersama) tentang Ahmadiyah, Crisis Group Asia Brief-ing No.78, 7 Juli 2008

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakar-ta, Sekjen Mahkamah Konstitusi, 2008

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan Anak Ahmadiyah:Korban Diskriminasi Berlapis , Laporan Pemantauan, 23 August 2010

Ridho Imawan Hanafi, Kekerasan Agama Ancaman Bagi Demokra-si, Koran Tempo, 3 Januari 2011

Rumadi, Nalar Negara Agama dalam Penyelesaian Ahmadiyah,Suara Pembaruan | Senin, 21 Februari 2011

Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Melindungi Korban, Bukan Pelaku. Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM),16 Maret 2011

Setara Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Ber-agama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Setara Institute, Ja-karta, 2011

Page 79: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

74 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

AHKA

SUS The Wahid Institute, Ringkasan Eksekutif,Laporan Kebebasan Be-

ragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010,The Wahid Institute, Jakarta, 2010

Zainal Abidin Bagir dkk, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan”, Pro-gram Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Makalah Posisi mengenai UU No.1/PNPS, 2010

Page 80: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 75

Para Kontributor

Agus Lanini, lahir di Pinrang, 25 Mei 1966. Menyelesaikan Sarja-na Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu dan Magister Hukum (S2), di Universitas Padjadjaran, Bandung. Aktif menulis dan terlibat dalam sejumlah penelitian yang berkaitan dengan issue lingkungan dan masyarakat adat. Diantaranya, Pola Penguasaan Tanah Melalui Perjanjian Adat Watasa Ntona dan Tana Ni’inda Suku Kaili di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah,(2008); Pencadangan Sumberdaya Alam Dasar Laut Dalam (Seabed Area) Pengaturan dan Permasalahannya (2006) dan Kontrak Farming an-tara Petani Tambak dengan Perusahaan Agroindustri Udang dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Indonesia (2003). Selain menga-jar, ia memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat mar-ginal di wilayah Palu dan sekitarnya.

Aminif, lahir di Pinrang, 1 Juni 1986. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Tadulako. Aktif menulis, diantaranya Degradasi dan Deforestasi Hutan (Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah), Potret Hukum Masyarakat Adat Kulawi di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Ten-gah. Semasa mahasiswa menjadi Juara I LKTM Wilayah Indonesia Timur 2006.

Jimly Asshidiq, Lahir di Palembang, 17 April 1956. Memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1982). Pendidikan S-2 (1987) diselesaikan di Fakultas Hukum UI (1987). Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih dari Fakultas Pasca Sar-jana UI, Sandwich Program kerja sama dengan Recht¬ssfaculteit Rijks-Universiteit dan Van Voolen-hoven Institute, Leiden (1990).Tahun 1998 diangkat menjadi Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata

Page 81: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

76 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

PROF

ILPE

NULI

S Negara Fakultas Hukum UI.Ia banyak mengikuti pendidikan dan pelatihan serta pertemuan internasional. Pernah mengabdi seb-agai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Pultoni, Memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Attahiriyah, Jakarta. Dan sedang menyelesaikan S2 di Universitas Jayabaya, Jakarta. Pultoni adalah Program Manager di The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan mengajar hukum konstitusi di Universitas Islam Attahiriyah, Jakarta. Pernah bekerja di LBH Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan sedang mengikuti International PILnet Fellow dengan program pendidikan hukum klinik.

Siti Aminah, memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro dan sedang menyelesaikan S2 di Universi-tas Jayabaya Jakarta. Advokat dan Program Officer di ILRC, pernah bekerja di berbagai NGO baik lokal maupun nasional yang meliputi issue buruh perempuan, masyarakat adat, Anak, HIV AIDS, Perem-puan, Pluralisme dan Bantuan Hukum. Saat ini duduk sebagai ang-gota dewan pengurus LBH APIK Semarang.

Uli Parulian Sihombing, memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan menyelesaikan S2 di The Central European University, Budapest. Pernah bekerja di LBH Jakarta, dan menjadi direktur LBH Jakarta periode 2003-2006. Telah mengikuti berbagai pendidikan dan pela-tihan serta pertemuan internasional. Dan sejak tahun 2007 menja-bat Direktur Eksekutif di ILRC.

Page 82: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 77

MENULISJURNAL

Menulis di Jurnal Keadilan Sosial

Jurnal KEADILAN SOSIAL diterbitkan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), NGO yang mempromosikan HAM dan keadilan sosial. Penerbitan jurnal keadilan sosial dilatarbelakangi masih minimnya pemenuhan HAM dan keadilan sosial oleh negara. Negara, melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, bah-kan putusan pengadilan merampas HAM warga negara dan men-cederai rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, pendidikan tinggi hukum sebagai institusi yang bersentuhan dengan isu-isu HAM dan keadilan sosial, dalam proses pendidikan dan pengajarannya, be-lum memiliki perspektif HAM dan keadilan yang memadai. Jurnal KEADILAN SOSIAL ditujukan untuk mengembangkan diskursus tentang HAM dan keadilan sosial, sekaligus menjadi wa-dah bagi persemaian pemikiran kritis terhadap isu-isu HAM dan Keadilan Sosial. Target atau sasaran dari jurnal KEADILAN SOSIAL adalah akademisi, aktivis, praktisi hukum, dan para pengambil ke-bijakan, baik dari kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif, baik di pusat maupun di daerah. Pemilihan tema setiap edisi merupakan hasil kesepakatan redaksi, namun redaksi tetap menerima tulisan sepanjang terkait dengan issue pendidikan tinggi hukum, Hak Asasi Manusia dan Ke-adilan Sosial. Adapun persyaratan tulisan, adalah sebagai berikut :

1. Tulisan belum pernah dipublikasikan baik di media cetak maupun online

2. Tulisan dapat mempergunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, dengan abstract dan kata kunci (jika tulisan dalam Bahasa Indonesia, abstract harus dalam bahasa Inggris; jika tulisan dalam bahasa Inggris, abstract harus dalam Bahasa Indonesia)

3. Setiap tulisan dibatasi minimal 4.500 kata dan maksimal 5.000 kata atau setara dengan 15-17 halaman, menggunakan font Times New Roman, ukuran 12, spasi 1,5 , kertas ukuran A4.

Page 83: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

78 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

MEN

ULIS

JURN

AL 4. Penggunaan kutipan hendaknya berisi keterangan sumber tu-lisan yang terdiri dari penulis, nama artikel atau buku, leng-kap dengan letak halaman. Contoh catatan kaki: Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manu-sia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 20.Daftar perpustakaan hendaknya terdiri dari penulis, nama ar-tikel atau buku, cetakan, nama kota dan nama penerbit.Contoh daftar pustaka:Rahardjo, Satjipto, 2009. Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing.

5. Tulisan dapat dikirim ke Redaksi Jurnal KEADILAN SOSIAL, melalui email [email protected] atau ke Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan, Telp. 021-93821173, Faks. 021-8356641. Tulisan dilengkapi dengan curriculum vitae (CV), be-serta alamat email dan nomor telephone yang dapat dihubu-ngi.

Page 84: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 79

PROFILILRCTHE INDONESIAN LEGAL RESOURCE CENTER (ILRC)

The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) adalah organ-isasi non pemerintah yangkonsen pada reformasi pendidikan hu-kum. Pada masa transisi menuju demokrasi,Indonesia menghadapi masalah korupsi, minimnya jaminan hak azasi manusia (HAM) di tingkat legislasi, dan lemahnya penegakan hukum. Masalah pen-egakanhukum membutuhkan juga budaya hukum yang kuat di masyarakat. Faktanyakesadaran di tingkat masyarakat sipil masih lemah begitu juga kapasitas untukmengakses hak tersebut. Ke-tika instrumen untuk mengakses hak di tingkat masyarakatterse-dia, tetapi tidak dilindungi oleh negara seperti hukum adat tidak dilindungi,negara mengabaikan untuk menyediakan bantuan hu-kum.Peran Perguruan Tinggi khususnya fakultas hukum sebagai bagian dari masyarakatsipil menjadi penting untuk menyediakan lulusan fakultas hukum yang berkualitasdan mengambil bagian di berbagai profesi yang ada, seperti birokrasi, institusi-institusinega-ra, peradilan, akademisi dan organisasi-organisasi masyarakat sip-il.Mereka juga mempunyai posisi yang legitimate untuk memimpin pembaharuanhukum. Di dalam hal ini, kami memandang pendidi-kan hukum mempunyai perananpenting untuk membangun budaya hukum dan kesadaran hak masyarakat sipil.

Page 85: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

80 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

PROF

ILIL

RC

Pendirian ILRC merupakan bagian keprihatinankami atas pendidikan hukum yang tidak responsif terhadap permasalah-ankeadilan sosial. Pendidikan hukum di Perguruan Tinggi cend-erung membuatlulusan fakultas hukum menjadi profit oriented lawyer dan mengabaikan pemasalahankeadilan sosial. Walaupun Perguruan Tinggi mempunyai instrument/institusi untuk menye-diakan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk masyarakat-miskin, tetapi mereka melakukannya untuk maksud-maksud yang berbeda. Masalah-masalah yang terjadi diantaranya:

(1) Lemahnya paradigma yang berpihakkepada masyarakat miskin, keadilan sosial dan HAM;

(2) KomersialisasiPerguruan Tinggi dan lemahnya pendan-aan maupun sumber daya manusiadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan Pusat Hak AzasiManusia (HAM);

(3) Pendidikan Hukum tidak mampu berperan, ketika terjadi konflik hokum oleh karena perbedaan norma antara hu-kum yang hidupdi masyarakat dan hukum negara.Karena masalah tersebut, maka ILRC bermaksuduntuk mengambil bagian di dalam reformasi pendidikan hukum.

Visi dan Misi

Misi ILRC adalah “Memajukan HAM dan keadilan sosial di dalam-pendidikan hukum’. Sedangkan misi ILRC adalah ;

(1) Menjembatani jarak antara Perguruan Tinggi dengan dina-mika sosial;

(2) Mereformasipendidikan hukum untuk memperkuat pers-pektif keadilansosial;

(3) Mendorong Perguruan Tinggi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk terlibat di dalam reformasi hukum dan keadilan sosial.

Page 86: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 81

PROFILILRC

Struktur Organisasi ILRC

Pendiri/Badan Pengurus:

Ketua : Dadang Trisasongko, Sekretaris : Renata Arianingtyas, Bendahara : Sony Setyana , Anggota : Prof. Dr. Muhamad Zaidun, SH, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Uli Parulian Sihombing.

Badan Eksekutif:

Direktur : Uli Parulian Sihombing, Program Manajer : Pultoni, Programe Officer : Siti Aminah, Keuangan : Evi Yuliawati,Administrasi : Herman Susilo.

Page 87: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

TELAH TERBIT

”BUKAN JALAN TENGAH”Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi

Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965,

Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Judul Buku : ”BUKAN JALAN TENGAH”Majelis Eksaminasi : Margiyono, Muktiono, Rumadi, Soelistyowati IriantoPenerbit : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)Tahun Terbit : Edisi Pertama - 2010Jumlah Halaman : xiv + 200 halaman (14,5cm x 21cm)

ELAH TERBITELAH TERBIT

Page 88: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

”NO MIDDLE ROAD”A Public Examination of the Decision of the Constitutional Court

Concerning Review of Law No. 1/PNPS of 1965Regarding the Abuse and/or Defamation of Religion

Writing teamMargiyono, SH

Muktiono, SH, MPhilDr Rumadi, MA

Professor Dr Soelistyowati Irianto

PublisherThe Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

First published in Indonesian as “Bukan Jalan Tengah”, 2010First English edition as “No Middle Road”, 2011

book size : xxxiv + 154 pages (14,5 cm x 21 cm)

Page 89: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

84 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

HTER

BIT Judul Buku :

”Memahami Pendapat Berbeda

(Dissenting Opinion)”

seri ke 5 Buku saku kebebasan beragama Membahas tentang dissenting opinion Hakim Maria Farida tidak hanya sekedar menolak eksistensi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama, tetapi lebih jauh dari itu. Menurut Hakim Maria Farida, UU Penodaan Agama telah telah menciptakan diskriminasi, terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). UU Penodaan Agama telah“memaksa” kelompok penghayat untuk “menundukan diri” terhadap agama-agama yang diakui oleh negara. Untuk itu, memang perlu “membongkar” pemikiran Hakim Maria Farida. Dissenting opinion Hakim Maria Farida diharapkan jadi tonggak sejarah dan menjadi dokumen penting untuk kebebasan beragama, toleransi dan pluralisme di tanah air.

Judul Buku :”Memahami Kebijakan Rumah Ibadah”

seri ke 6 Buku saku kebebasan beragama Membahas Hak beribadah termasuk di da-lamnya rumah ibadah tidak sekedar hak kon-stitusional dan bagian dari HAM. Lebih jauh, sikap toleran akan tercermin dengan meng-hormati hak seseorang untuk beribadah. Si-kap toleran ini kadang-kadang tercabut dari akarnya di dalam masyarakat yang majemuk hanya karena adanya aturan hukum yang men-gaturnya. Sikap tolerandi masyarakat sebagai modal sosial jauh lebih penting dari sebuah aturan hukum termasuk aturan hukum yang mengatur rumah ibadah. Toleransi sudah be-rakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Mencabut akar toleransi akan mematikan ke-hidupan pluralisme di negeri ini.

Ukuran Buku (halaman buku) 10,5 x 15 cm; vii + 60 halamanEdisi pertama, © ILRC 2010ISBN : 978-602-98382-2-0

Ukuran Buku (halaman buku) 10,5 x 15 cm; vii + 68 halamanEdisi pertama, © ILRC 2010

ISBN : 978-602-963821-3

Page 90: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 85

TELAHTERBIT

”UNDERSTANDING THE DISSENTING OPINION

IN THE JUDICIAL REVIEW OF THE LAW ON THE

DEFAMATION OF RELIGION”

handbook explaining the dissenting opinion of Judge Maria Farida in the judicial review of Law No. 1/PNPS of 1965 on the Abuse and/or Defa-mation of Religion, in the Constitutional Court. The objective of compiling this handbook was

to assist university students who will become paralegal workers to understand Judge Maria Farida’s dissenting opinion in this case. Until now the dissenting opinion of the Constitutional Court regarding Law No. 1/PNPS of 1965 has re-ceived very minimal space in mass media reporting, and thus understandings of the decision about it are incomplete. In fact, the dissenting opinion is an integral part of that decision. Judge Maria Farida’s dissenting opinion did not simply re-ject that Law No. 1/PNPS of 1965 on the Abuse and/or Defamation of Religion should exist, but went much further than that.

Book Size: 10,5 x 15 cm; viii + 54 pagesFirst published in Indonesian as “Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Materiil UU Penodaan Agama “ISBN : 978-602-98382-2-0, ILRC © 2011

UNDERSTANDING THE POLICY ON HOUSES OF WORSHIP

handbook on Houses of Worship for students who want to become paralegal employees. The aim is to create understand-ing among students about the Human Rights perspective on houses of worship, and to invite them to be critical of the prevailing regulations pertaining to houses of worship. It furthermore invites the students to be tolerant towards any differences of conviction in society. The right to perform one’s religious duties in a house of worship is not only a constitutional right and

part of Human Rights. It goes further, and a tolerant attitude is reflected in the respect a person shows for the right of another person to perform their religious duties. This tolerant attitude is sometimes taken away in plural society because of the laws and regulations that regulate it. An attitude of tolerance in the com-munity as a kind of social capital is much more important than a legal regulation, including legal regulations on houses of worship. Tolerance is firmly rooted in our society. To uproot this will mean the death of pluralism in this country.

Book Size: 10,5 x 15 cm; viii + 64 pagesFirst published in Indonesian as “Memahami Kebijakan Rumah Ibadah “ISBN : 978-602-98382-1-3, ILRC © 2011

Page 91: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

86 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]

TELA

HTER

BIT

GENERASI MUDA,

GENERASI BHINNEKA TUNGGAL IKA

Modul Pelatihan Paralegal Tingkat DasarKebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk Mahasiswa

Penyusun :

Siti Aminah

Uli Parulian Sihombing

Ukuran

14,5 x 30 cm; xiv + 94 halaman

Edisi pertama, 2010

ILRC bekerjasama dengan Freedom House mengembangkan modul

pelatihan tingkat dasar kebebasan beragama/berkeyakinan untuk mahasiswa/

mahasiswi. Tujuan pembuatan modul ini adalah untuk memudahkan fasilitator

dalam memandu pelatihan. Selain itu, fasilitator diharapkan dapat memper-

siapkan dan memahami substansi materi dari pelatihan tersebut, sehingga para

peserta maupun nara-sumber dapat memahami maksud dan tujuan pelatihan

kebebasan beragama.

Substansi materi yang terdapat dalam modul ini merupakan gabung-

an antara materi teori dan praktek. Materi teori lebih menekankan antara pen-

getahuan ke-arifan lokal seperti Pancasila, aturan-aturan nasional dan in-

ternasional tentang kebebasan beragama, dan teori-teori tentang kebebasan

beragama. Materi praktek lebih menekankan studi kasus-kasus pelanggaran ke-

bebasan beragama, yang relevan dan aktual dengan perkembangan kebebasan

beragama itu sendiri. Pas-ca pelatihan diharapkan mahasiswa akan mempu-

nyai sensitifi tas atas peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Lebih jauh,

mereka dapat menyebarkan ga-gasan/pengetahuannya tentang kebebasan

beragama tidak hanya untuk di ling-kungan kampusnya, tetapi juga untuk kelu-

arga/kerabat dan tetangganya

Modul ini telah diujicobakan dalam Pelatihan Paralegal Kebebasan Ber-

agama untuk Mahasiswa, pada Oktober 2010. Pelatihan melibatkan 20 orang

mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas hukum dan organisasi kemaha-

siswaan. Dan ber-dasarkan evaluasi pelatihan, modul disusun dan dicetak secara

terbatas. Modul ini dapat digunakan baik untuk mahasiswa, pelajar maupun ma-

syarakat umum.

Untuk membaca lebih lengkap silahkan unduh di http://www.mitrahukum.org/.

Page 92: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011] 87

TELAHTERBIT

LAPORAN UTAMA :

1. ”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”

2. Pendidikan Tinggi Hukum dan Penguatan Kapa-

sitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)

OPINI HUKUM

Clinical Legal Education (CLE): Dari Amerika ke In-

donesia - Oleh : Pultoni

AKTIVITAS

1. Advokasi RUU Bantuan Hukum : dari Kampus ke

DPR RI

2. Pelatihan Memahami Social Justice: Memaha-

mi untuk Mengajarkan

3. Generasi Muda, Generasi Bhinneka Tunggal Ika;

4. Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama/Ber-

keyakinan Untuk Mahasiswa

5. Eksaminasi Publik : Putusan Mahkamah Konsti-

tusi tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama terhadap UUD 1945.

SUPLEMEN

SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman

Pemberian Bantuan Hukum

LAPORAN UTAMA :

• Diskriminasi Pendidikan Agama di Perguruan

Tinggi Umum

• Pendidikan Agama dan Toleransi Beragama

OPINI HUKUM : Menyoal Tanggung Jawab Negara

dalam Menjamin Kebebasan Beragama Berkeyaki-

nan, oleh : Nurul Mahmudah

AKTIVITAS

• Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum

Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial

• Public Lecture : Jimly Asshiddiqie: “Lakukan Re-

volusi Kurikulum Fakultas Hukum !”

• Diskusi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan

Temu Alumni Pelatihan Paralegal

• FGD Reformasi Kurikulum dan Metode Pengajaran,

Malang, Surabaya, Makasar, Papua

• Pelatihan Legal Klinik Untuk Mahasiswa : “Tidak

Menyogok Untuk Menegakkan Hukum dan Keadi-

lan !”

SUPLEMEN

“MELINDUNGI KORBAN, BUKAN MEMBELA PELA-

KU” : Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah

Produk Hukum Daerah yang Melarang Aktifi tas Je-

maat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

Page 93: SUSUNAN REDAKSI - mitrahukum.orgmitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Jurnal-2.pdftentang keadilan, ketidakadilan, diskriminasi dan hal-hal yang lain berhubungan dengan kemanusiaan

88 Jurnal Keadilan Sosial [Edisi II/ 2011]