suprastruktur hukum pendidikan

50
KAJIAN TENTANG SUPRASTRUKTUR HUKUM PENDIDIKAN DI INDONESIA MAKALAH Disusun untuk memenuhi Tugas Individual Matakuliah Pendidikan Politik Generasi Muda Yang dibina oleh: Prof. Dr. H. Endang Sumantri, M.Ed Dr. Sunatra, SH., MS Oleh YUSNAWAN LUBIS 0705318

Upload: dwina-rani-amalia

Post on 03-Jul-2015

652 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Suprastruktur hukum pendidikan

KAJIAN TENTANG SUPRASTRUKTUR HUKUM PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi Tugas IndividualMatakuliah Pendidikan Politik Generasi Muda

Yang dibina oleh:Prof. Dr. H. Endang Sumantri, M.Ed

Dr. Sunatra, SH., MS

OlehYUSNAWAN LUBIS

0705318

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANSEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2009

Page 2: Suprastruktur hukum pendidikan

KAJIAN TENTANG SUPRASTRUKTUR

HUKUM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh: Yusnawan Lubis

Abstrak

Makalah ini mencoba mengeksplorasi konsep dan oprasionalisasi hukum pendidikan di Indonesia. Penulisan makalah ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh suatu realitas yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang disebut wan-edukasi. Gejala wan-edukasi terjadi salah satunya disebabkan oleh belum normatifnya hukum pendidikan. Dengan kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru sekedar dalam tataran idealis saja, belum diimplementasikan sepenuhnya dalam praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan belum bernilai normatif. Di dalam makalah ini ditemukan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi tersendiri, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Konsepsi ideologi dan filosofi sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia.; 3) Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis, walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit berkedudukan sebagai hukum pendidikan; 4) Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa dan negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal). Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan menjadi tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga, masyarakat, dan terutama negara; 5) Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata bukan hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga berimbas kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah (school based management); 6) Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi kehidupan

1

Page 3: Suprastruktur hukum pendidikan

masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan.

A. Pendahuluan

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan

merupakan keseluruhan aktifitas manusia dan masyarakat yang

ditujukan untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan kualitas

kehidupan manusia dan masyarakat. Parameter kualitas manusia

terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang

ketiganya harus seimbang, saling menopang, dan berkesinambungan.

Keseluruhan dari keseimbangan ketiga aspek di atas akan mencipta

karakter manusia, yakni sifat yang dimiliki dan menjadi ciri yang

membedakan dengan manusia lain.

Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada

pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada,

melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan

bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource)

yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya,

semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini

sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan

keadilan bagi seluruh warganegara, termasuk di dalamnya untuk

memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur

tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan Pembukaan UUD

1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Namun demikian, opersionalisasi fungsi pendidikan sebagai

wahana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seringkali

dihadapkan pada tindakan-tindakan penyelewengan baik yang

dilakukan oleh pemerintah selaku regulator, para praktisi pendidikan

2

Page 4: Suprastruktur hukum pendidikan

maupun yang dilakukan oleh warga negara pada umumnya selaku

subjek dan objek pendidikan. Adapun penyelewengan yang sampai

sekarang masih terasa paling rawan diantaranta adalah:

1. Penekanan nilai prestasi peserta didik yang lebih terfokus pada

aspek kognitif saja.

2. Masih merebaknya “pungutan liar” yang dilakukan oleh oknum-

oknum pemerintahan maupun para praktisi pendidikan sendiri.

Misalnya dalam hal pemberian bantuan dana pendidikan. Dana

yang seharusnya diterima oleh yang berhak seringkali jumlahnya

berkurang dari jumlah semula sebagai akibat dari berbagai

pungutan yang tidak jelas.

3. Lemahnya perlindungan hak cipta atas suatu karya ilmiah yang

mengakibatkan merebaknya tindakan pembajakan.

4. Lemahnya perlindungan profesi guru, sehingga guru seringka

menjadi pihak yang disalahkan ketika terjadi suatu persoalan

dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai guru.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa system pendidikan

Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang disebut wan-edukasi,

yaitu pelaksanaan sistem pendidikan yang tidak memenuhi syarat-

syarat seharusnya yang dalam hal ini bisa berarti pendidikan diwarnai

dengan berbagai penyimpangan (Halim, 1985:69). Gejala wan-edukasi

terjadi salah satunya disebabkan oleh belum normatifnya hukum

pendidikan. Dengan kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru

sekedar dalam tataran idealis saja, belum diimplementasikan

sepenuhnya dalam praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan

belum bernilai normatif.

Kondisi tersebut di atas salah satunya disebabkan masih

rendahnya kesadaran hukum pemerintah, praktisi pendidikan maupun

masyarakat pada umumnya dalam melaksanakan hukum pendidikan di

Indonesia. Oleh karena itu harus dilakukan upaya penyadaran, salah

satunya melalui penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman

tentang hukum pendidikan. Hal ini dikarenakan kesadaran hukum

3

Page 5: Suprastruktur hukum pendidikan

akan tumbuh jika aspek pengetahuan dan pemahaman dimiliki oleh

para subjek hukum penddikan.

Sekaitan dengan masalah di atas, penulis melalui makalah ini

akan menyajikan sebuah kajian tentang suprastruktur hukum

pendidikan sebagai sebuah kerangka yang dibutuhkan bagi

terselenggaranya pendidikan yang berkualitas yang bermuara pada

penciptaan karakter manusia Indonesia sebagaimana amanat

Pancasila dan UUD 1945. Kajian ini diharapkan dapat menjadi sarana

penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum

pendidikan di Indonesia.

B. Ideologi dan Filosofi Pendidikan

Dalam bagian ini penulis tidak akan memaparkan definisi

konseptual dari ideologi dan filsafat, tetapi akan mengupas konsep

pendidikan secara ideologis atau filosofis. Berbicara mengenai

pendidikan dalam sudut padangan ideologis dan filosofis berarti akan

dibicarakan landasan suatu sistem pendidikan yang dilakukan oleh

suatu negara. Dalam makalah ini aspek yang kaji adalah mengenai

konsep dan peranan pendidikan.

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu

"Paedagogus" berdasar pada pangkal kata "pais", yang berarti

perkataan yang berhubungan dengan anak. kata Dalam

perkembangan sejarah dan sejalan dengan keadaan masyarakat dan

kebudayaan, arti pendidikan terus berubah-ubah (Azis, 2008; O’neil,

2008). Supeno (2002:12) menyebutkan bahwa pendidikan adalah

bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh

orang dewasa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian,

pendidikan berarti usaha untuk melanggengkan budaya yang ada,

kepada generasi penerus serta upaya mempertahankan status quo,

yakni tetap bertahannya nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Pendapat ini kemudian diargumentasikan sendiri oleh Supeno.

Ia memberikan gambaran bahwa pendidikan sebenarnya harus

mampu menolong atau membantu proses peserta didik dalam

4

Page 6: Suprastruktur hukum pendidikan

menemukan jati dirinya. Pendidikan harus mampu menemukan ke-

berdikari-an baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk

sosial. Dari sini diharapkan pendidikan tidak lagi sebagai sebuah

proses penyadaran setengah hati. Pendidikan tidak lagi asal-asalan,

melainkan pendidikan melainkan suatu usaha yang dilakukan secara

sadar oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk

membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri kearah

terciptanya pribadi yang dewasa susila.

Berbeda dengan Supeno, Muhaimin (2003:15) memberikan

cakupan yang lebih luas tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai

aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas merupakan

upaya yang secara sadar dirancang untuk membentuk seseorang atau

sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap

hidup, dan ketrampilan hidup baik yang bersifat mental maupun

sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah sebuah

peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya

adalah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup dan

ketrampilan hidup pada salah satu ataupun beberapa pihak.

Disisi lain pendidikan juga sering diidentikkan perannya dengan

memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa

(Bock, 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan juga

mengambil peran strategis guna menyiapkan tenaga kerja untuk

memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial

serta untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan. Peran

pertama merupakan fungsi politik pendidikan sedangkan dua peran

yang lainnya merupakan fungsi ekonomi (Bock, 1992).

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan

nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat pendidikan, yakni

paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi. Paradigma

fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan

disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai cukup pendidikan

yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta sikap modern.

Menurut pengalaman masyarakat di barat, lembaga pendidikan

5

Page 7: Suprastruktur hukum pendidikan

dengan sistem persekolahan merupakn lembaga utama dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih kemampuan dan

keahlian, dan menanamkan sikap modern pada individu yang

diperlukan dalam proses pembangunan. Perkembangan lebih lanjut

muncul sebuah tesis human investment, yang menyebutkan bahwa

investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki

economic rate of system yang lebih tinggi dibandingkan investasi

dalam bidang fisik (Bock, 1992; O’neil, 2008).

Sejalan dengan paradigma fungsional, paradigma sosialisasi

melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah, pertama,

mengembangkan kompetensi individu. kedua, kompetensi yang tinggi

tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. Ketiga,

meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Dengan semakin

banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, akan

meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh

karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus

diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa

menginginkan kemajuan (Bock, 1992; O’neil, 2008).

Bagi kaum liberalis pendidikan diartikan sebagai usaha untuk

melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada dengan

cara mengajarkan pada setiap anak-anak bagaimana cara mengatasi

masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti rinci

pendidikan harus berupaya untuk menyedikan informasi dan

ketrampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara

efektif. Disamping itu, pendidikan harus mengajarkan bagaimana

memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-

proses penyelesaian masalah secara individual maupun kolektif,

dengan berdasarkan pada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dan

pembuktian gagasan (Bock, 1992; O’neil, 2008).

Max Rafferty (Aziz, 2008) menyebutkan bahwa pendidikan yang

sesungguhnya adalah upaya penumpukan pengetahuan yang besar

yang ditambahkan ke dalam warisan para pemikir dan praktisi dari

generasi ke generasi. Pendidikan menuntut keapaadaan penyampaian.

6

Page 8: Suprastruktur hukum pendidikan

Seorang guru bahasa inggris, misalkan, harus mengenal tatabahasa

luar dalam, dan jangan mengajarkan omong kosong tentang

bagaimana cara bersulang yang baik dengan menggunakan bahasa

inggris.

Dari pengertian diatas dapatlah diidentifikasi bahwa pemikiran-

pemikiran filosofis tersebut lantas memberikan sumbangn yang cukup

signifikan bagi perkembangn metodologi pendidikan. Dikarenakan

tarikan metodologi selalu berlatar empiris yang berbeda, dus, berbeda

pula simpulannya. Dengan demikian sah, jika muncul banyak aliran-

alitan baik dalam dunia filsafat maupun lebih khusus lagi yang

berkembang dalam dunia pendidikan. Berikut adalah beberapa aliran

yang berkembang dalam dunia pendidikan plus dengan thesa-sinthesa

dan antithesa yang melatarbelakanginya sebagai dikutif oleh Azis

(2008).

1. Fundamentalisme

Fundmentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa

kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap tolok ukur

keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif dan atau yang

diwahyukan. Pada umumnya fundamentalisme menerima jalur

penalaran yang dapat diikhtisarkan menjadi lima titik dasar.

Pertama, ada jawaban otoritatif terhadap seluruh problem

kehidupan yang memiliki arti penting. Kedua, jawaban-jawaban itu

pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar (eksternal);

entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima oleh para nabi atau

orang suci. Ketiga, jawaban itu bukan saja otoritatif, melainkan

langsung mengena pada persoalan, tidak mengandung makna ganda,

tidak mendua dan bisa langsung dimengerti oleh orang awam, tidak

membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur tangan pakar.

Keempat, jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah

cukup bagi siapapun yang berhasrat hidup secara baik. Sedangkan

yang kelima, bahwa untuk kehidupan yang baik, orang tidak hanya

perlu kembali pada kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau

7

Page 9: Suprastruktur hukum pendidikan

pada agama, lebih dari itu, yakni dengan mengamini segala macam

bentuk pewahyuan .

Dengan demikian pendidikan bagi kaum fundamentalis

bertujuan untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan kembali

cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Sedangkan tujuan

institusional pendidikannya antara lain untuk membangun kembali

masyarakat dengan cara mendorong agar kembali ke tujuan-tujuan

yang semula, yakni memberikan informasi dan ketrampilan-

ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam

tatanan sosial.

2. Intelektualisme

Kaum intelektualisme meyakini bahwa ada kebenaran-

kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal, yang melampaui

ruang dan waktu tertentu. Bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu ada.

Kebenaran-kebenaran itu berlaku bagi ummat manusia pada

umumnya dan tidak merupakan milik yang unik dari individu maupun

kelompok manusia tertentu saja.

Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme

pendidikan adalah bahwa menganalisa, meneruskan dan melestarikan

kebenaran, mengajarkan pada terdidik bagaimana cara menalar,

meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa

silam yang bertahan mutlak dilakukan. Adapun ciri umumnya adalah

bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan akhir yang ada dalam diri

manusia. Bahwa kebenaran adalah intrinsik. Manusia adalah kodrat

atau hakekt yang sifatnya universal, yang melampaui keadaan-

keadaan tertentu yang telah ada.

3. Konservativisme

Bagi kaum konservatif, tujuan atau asaran pendidikan adalah

sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial

serta tradisi-tradisi. Berciri "orientasi ke masa kini", para pendidik

8

Page 10: Suprastruktur hukum pendidikan

konservatif sangat menghargai masa silam, namun terutama

memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan pola-pola belajar

mengajar didalam konteks sosial yang ada sekarang ini, ia ingin

mempromosikan perkembangan masyarakat kontemporer yang

seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang

perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluan-

keperluan legal intitusional suatu kemapanan.

Selain itu konservatisme juga bertujuan untuk mendorong

pemapanan dan penghargaan bagi lembaga-lembaga, tradisi-tradisi

dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, termasuk

rasa hormat yang tinggi. Dengan demikian, kaum konservatif

menganggap bahwa meneruskan informasi dan ketrampilan yang

sesuai, supaya berhasil dalam tatanan soial yang ada, adalah

merupakan tujuan lembaga pendidikannya.

4. Liberalisme

Prinsip kaum liberalisme pendidikan adalah mengangkat

perilaku personal yang efektif. Dalam hal ini, tak lebih hanya sebagai

sarana untuk pembelajaran bagi siswa tentang bagaimana cara

menyelesaikan persoalan praktis melalui penerapan tatacara-tatacara

pemecahan masalah secara personal maupun kelompok, dengan

berdasar pada metode ilmiah-rasional. Adapun ciri-ciri umum dari

liberalisme pendidikan antara lain;

a. Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan

masalah praktis.

b. Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan

kepuasan terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi

kondisi yang berubah; pemikiran efektif (kecerdasan praktis)-

kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara

efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan.

c. Pendidikan adalah pengembangan efektifitas personal, yang

berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan masalah perseorangan

maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa

9

Page 11: Suprastruktur hukum pendidikan

depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan

persoalan-persoalan individu sekarang.

5. Konstruktivisme

Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa

pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia

mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka

dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan

dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk

menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum

konstruktifisme, pengetahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari

seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan

sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi

pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah

jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam

proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam

perkembangan pengetahuannya.

6. Progressivisme

Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh

kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan

yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah

yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu

sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressifisme kurang menyetujui

adanya pendidikan yang bercorak otoriter.

Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan

mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik),

karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya

kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal

semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya

untuk mengalami kemajuan (progress).

Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian

kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu

10

Page 12: Suprastruktur hukum pendidikan

menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan

bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.

7. Essensialisme

Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang

berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap

bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan

nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme

menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam

pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan

timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang

stabil dan tidak menentu.

Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat

demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah.

Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai

yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud

tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas

dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip

essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan

adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.

8. Perennialisme

Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah

zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,

kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar,

zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas.

Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan

pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama

dari filsafat dan filsafat pendidikan.

Perennialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai

pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip

umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan manusia.

Motif perennialisme dengan mengambil jalan regresif tersebut, bukan

11

Page 13: Suprastruktur hukum pendidikan

hanya nostalgia pada nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja,

melainkan bagaimana agar nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan

vital bagi pembangunan kebudayaan.

Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan

disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah

berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah

rasionalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode

berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus.

Kemudian bagaimana ideologi dan filosofi sistem pendidikan

Indonesia? Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi

tersendiri, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Secara umum

pendidikan Indonesia merupakan sarana untuk mengimplementasikan

serta menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusian yang adil dan beradab;

Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi ideologi dan filosofi

sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam UU

RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam

undang-undang tersebut dirumuskan bahwa pada hakikatnya

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara.

C. Dinamika Sistem Pendidikan Nasional Negara Republik

Indonesia

1. Dinamika Landasan Konstitusional Pelaksanaan Sistem

Pendidikan Nasional Negara Republik Indonesia

Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara

Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini

12

Page 14: Suprastruktur hukum pendidikan

dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik

Indonesia. Negara kita telah mengalami lima periodesasi konstitusi,

yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 (UUD proklamasi), Konstitusi

Republik Indonesia Serikat 1949, UUD Sementera Tahun 1950, UUD

1945 (jilid 2) dan UUD NRI 1945 pasca amandemen. Dengan demikian

sistem pendidikan nasional Republik Indonesia telah mengalami

perubahan landasan konstitusional sebanyak lima kali.

Pada masa berlakunya UUD 1945 jilid pertama atau yang sering

disebut sebagai UUD proklamasi, landasan konstitusional sistem

pendidikan nasional adalah Bab XIII Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang

berbunyi:

(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapa pengajaran(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undangUUD 1945 jilid pertama berakhir masa berlakunya ketika

bentuk negara Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi

negara serikat. Perubahan tersebut berimplikasi pada dicabutnya

UUD 1945 dan diganti oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat

Tahun 1949. Dengan demikian landasan konstitusional sistem

pendidikan pun kembali berubah. Adapun yang menjadi landasan

konstitusional sistem pendidikan nasional dalam Konstitusi RIS

terdapat dalam pasal 39 ayat (1), (2) dan (4) yang berbunyi:

(1) Penguasa wajib memajukan sedapat-dapatnya perkembangan rakyat baik ruhani maupun jasmani dan dalam hal ini selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.

(2) Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri kemanusian, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid.

(4) Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa senantiasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang umum.Ketentuan dalam konstitusi RIS tersebut diopersionalisasikan

dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan

Pengajaran di Sekolah. Akan tetapi ketentuan dalam Konstitusi RIS

13

Page 15: Suprastruktur hukum pendidikan

1949 belum sepenuhnya dapat diimplmentasikan. Hal ini dikarenakan

masa belakunya Konstitusi RIS berakhir dan diganti oleh Undang-

Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Dalam UUDS

1950, secara konstitusional sistem pendidikan nasional berdasar pada

ketentuan Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:

(1) Tiap-tiap warga-negara berhak mendapat pengajaran.(2) Memilih pengadjaran jang diikuti, adalah bebas.(3) Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan

penguasa jang dilakukan terhadap itu menurut peraturan undang-undang.

Ketentuan pasal 30 tersebut dioperasionalisasikan dalam UU No. 12

tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di

Sekolah.

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan

sebuah keputusan yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli

1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstiotuante dan

menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi

hukum dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Maka sejak tahun 1959 sampai masa Orde Baru konstitusi yang

berlaku adalah Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut

berimplikasi pada kembali berubahnya landasan konstitusional sistem

pendidikan nasional dari UUDS 1950 ke UUD 1945. Sama halnya pada

saat pertama kali diberlakukan, pada pemberlakuan yang kedua juga

yang manjadi dasar sistem pendidikan nasional adalah Bab XIII Pasal

31 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Akan tetapi pada masa Orde Baru,

ketentuan pasal 31 tersebut dioperasionalisasikan oleh beberapa

perundang-undangan yaitu:

a. Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama,

Pendidikan dan Kebudayaan

b. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN)

c. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN)

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional

14

Page 16: Suprastruktur hukum pendidikan

Kekuasaan Orde Baru berakhir pada tahun 1998. Jatuhnya Orde

Baru berimplikasi pada munculnya gagasan untuk mengamandemen

UUD 1945. Gagasan tersebut mulai dilakukan pada tahun 1999 dan

berakhir pada tahun 2002. Hal ini juga mengubah landasan

konstitusional sistem pendidikan nasional Indonesia, meskipun

perubahannya tidak seperti periode-periode sebelumnya yang ditandai

dengan perubahan konstitusi negara, Pada masa ini landasan sistem

pendidikan nasional adalah adalah pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 31

ayat (1) sampai (5) yang berbunyi:

Pasal 28 E

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Pasal 31

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diopersionalisasikan dalam UU

RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Dinamika Tujuan Pendidikan Nasional Negara Republik

Indonesia

Berbicara mengenai tujuan pendidikan nasional tidak bisa

dilepaskan dari cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa yang secara

formal termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat.

Hal ini dikarenakan cita-cita tersebut hanya dapat diwujudkan melalui

15

Page 17: Suprastruktur hukum pendidikan

pendidikan. Oleh karena itu pendidikan dapat dikatakan sebagai akar

dari peradaban. Pendidikan menentukan tingkat kesejahteraan

sebagai bagian dari capaian peradaban sebuah bangsa. Manusia

sebagai makhluk yang memiliki kelebihan berupa akal dan pikiran,

hanya dapat mencapai kemanusiaannya dalam kondisinya sebagai

makhluk sosial melalui proses pendidikan. Tanpa pendidikan

peradaban seseorang tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan

dunianya, dan akan terpinggirkan bahkan menjadi korban peradaban.

Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi

kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis,

walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan

bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika

peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit berkedudukan

sebagai hukum pendidikan. Untuk mengkaji hal ini tentu saja kita

tidak melepaskan aspek historis dari berbagai peraturan tentang

pendidikan nasional. Oleh karena itu berikut ini penulis paparkan

dinamika tujuan pendidikan nasional dalam peraturan perundang-

undangan tentang sistem pendidikan nasional.

Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha

pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada

perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling

mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham

kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan

keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat

baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu

berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4)

Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas

kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat

perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5)

Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan

bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke

luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata

16

Page 18: Suprastruktur hukum pendidikan

dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan

ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan

perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan

olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan

gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah

Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan

dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka

yang kurang mampu.

Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Pendidikan

dan Pengajaran/Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk

Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara

dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia

Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai

berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan

tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian

“warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam

pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K

pada tahun 1946, yaitu: (1) Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta

kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada

ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6)

Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7)

Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan

masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9)

Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas

dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam

pikiran maupun tindakan. Dengan demikian dapat dikatakan formulasi

tujuan pendidikan ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih

menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.

Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan

dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik

Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak

berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan.

Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar

17

Page 19: Suprastruktur hukum pendidikan

Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI

(Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu:

“Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang

demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan

masyarakat dan tanah air.” Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian

dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar

Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan

pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah

RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu

telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang

sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi

mudanya.

Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan

ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah

pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun

1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila

disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang

diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta,

dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya

melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang

bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis

Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang

berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b)

Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d)

Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam

Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena

peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang

motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya,

pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No.

XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan

disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia

Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang

dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”

18

Page 20: Suprastruktur hukum pendidikan

Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan

MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan

tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya

adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur

hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan

nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk

meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat

kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat

menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat

membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab

atas pembangunan bangsa.”

Kemudian, pada tahun 1989 pemerintah menetapkan UU RI No.

2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-

undang tersebut dirumuskan tujuan pendidikan nasional sebagai

berikut: ” Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan

bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu

manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa

dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan ,

kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri

serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Pada tahun 2003, pemerintah mengamandemen UU RI No. 2

Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai

perubahannnya, pemerintah menetapkan UU RI No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berakibat kembali

berubahnya tujuan pendidikan. Dalam undang-undang sistem

pendidikan nasional yang baru dirumuskan bahwa pendidikan

nasional ini berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

19

Page 21: Suprastruktur hukum pendidikan

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan

pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika

yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait

dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat.

Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan

pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping

faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-

kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi

pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan

pendidikan yang ada.

3. Implementasi Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia

Cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa secara formal dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat sebagai cita-cita bangsa

Indonesia. Cita-cita yang diwujudkan melalui pendidikan. Oleh karena

itu pendidikan dapat dikatakan sebagai akar dari peradaban.

Pendidikan menentukan tingkat kesejahteraan sebagai bagian dari

capaian peradaban sebuah bangsa. Manusia sebagai makhluk yang

memiliki kelebihan berupa akal dan pikiran, hanya dapat mencapai

kemanusiaannya dalam kondisinya sebagai makhluk sosial melalui

proses pendidikan. Tanpa pendidikan peradaban seseorang tidak akan

mampu menyesuaikan diri dengan dunianya, dan akan terpinggirkan

bahkan menjadi korban peradaban.

Begitu pentingnya pendidikan, sehingga menjadi salah satu hak

atas martabat kemanusiaan yang melekat dan tidak dapat dicabut.

Pendidikan adalah hak asasi manusia yang telah diakui sejak

munculnya konsepsi HAM generasi pertama. Dalam konteks untuk

mencapai tujuan pendidikan, pemerintah telah menyelenggarakan

sebuah sistem pendidikan nasional, yaitu keseluruhan komponen

20

Page 22: Suprastruktur hukum pendidikan

pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional (pasal 1 angka 1). Pendidikan nasional ini

berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003).

Meski demikian, hingga saat ini, pendidikan kita masih

dihadapkan pada rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia

yang disebabkan oleh karena rendahnya mutu pendidikan nasional.

Mutu pendidikan ditentukan oleh layak atau tidaknya sarana,

prasarana, dan pelayanan pendidikan nasional. Dengan sendirinya,

input dan proses yang buruk akan mencipta output yang buruk juga.

Dari data yang diberikan oleh GOI-UNICEF yang berjudul

Situation of Children and Woman in Indonesia 2000 menunjukkan

data yang demikian memprihatinkan. Di antaranya pada tingkat

sekolah dasar (SD): 1,6 juta anak berusia 7-12 tahun berada di luar

sekolah, setiap tahunnya sekitar 836.000 atau 2,9% mengalami drop

out khususnya pada kelas 4, 5, dan 6. 20% dari murid baru tidak

dapat menyelesaikan SD. Sekitar 2 juta murid SD (7,3%) tidak naik

kelas setiap tahunnya.

Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP): 4,8 juta (24%)

anak berusia 13-15 tahun berada di luar sekolah, setiap tahunnya

900.000 murid SMP (9,5%) mengalami drop out, dan 49.000 murid

(0,5%) tidak naik kelas setiap tahunnya. Sebagian besar murid SMP

memperoleh pendidikan yang kurang memadai, diperlihatkan oleh

nilai ujian akhir yang sangat rendah.

Dari indikator lain, yaitu indikator makro seperti pencapaian

Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti

misalnya kemampuan membaca, dapat digambarkan bahwa

berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human

21

Page 23: Suprastruktur hukum pendidikan

Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat

110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan,

peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-

tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada

pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan

kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.

Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia

menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura

berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing

pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas,

terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal

tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang

kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter).

Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak

mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus - CITD 1999).

Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara

dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan

Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia:

Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education

Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang

terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992,

menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung

pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya

menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan

pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara

lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia

masih merupakan yang terendah, termasuk apabila dibandingkan

dengan Srilanka sebagai salah satu negara yang terbelakang.

Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery

dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa

kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling

rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada

umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja

22

Page 24: Suprastruktur hukum pendidikan

dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang

anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa

dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut,

C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya

meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya

biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua,

hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana

penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal

tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris

terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi

UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti

memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja

pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.

Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu

membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran

pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran

pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama

buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk

pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11%

dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will

pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat

(4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban

konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran

pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna

memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No.

20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain

gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan

minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20%

dari APBD.

Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini,

baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan

23

Page 25: Suprastruktur hukum pendidikan

seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok

kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan

dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan

upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada

Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal

konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya

permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia

yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai

pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial,

bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of

Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai

tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang

tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.

Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang

hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1

% pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap

bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai

(unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan

tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005

bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22

Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal

31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak

dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.

Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan

penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran

pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan

belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya

kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib

memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan

24

Page 26: Suprastruktur hukum pendidikan

prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh

persen) dari APBN serta dari APBD.

Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005,

Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan

Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20

persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara express verbis,

sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di

bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49

ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat

norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran

pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot

non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap,

faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif

pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR

dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario

itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga

2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 %

(2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009).

Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan

sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006.

D. Institusi Pendidikan

Pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, mulai dari

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Mengacu pada

amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, tercantum bahwa Pemerintah dan Pemerintah

Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan

mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pendidikan diselenggarakan

dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran

serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan

pendidikan.

25

Page 27: Suprastruktur hukum pendidikan

Secara institusional, penyelenggara pendidikan dapat

dikemukakan sebagai berikut (pasal 50 UU No. 20 Tahun 2003)

(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.

(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

(4) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa

dan negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan

formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh

keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal).

Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan menjadi

tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga, masyarakat, dan

terutama negara.

E. Prinsip Hukum Pendidikan dan Kedaulatan Pendidikan

Begitu pentingnya pendidikan sehingga menjadi salah satu hak

atas martabat kemanusiaan yang melekat dan tidak dapat dicabut.

Pendidikan adalah hak asasi manusia yang telah diakui sejak

munculnya konsepsi HAM. Berbagai instrumen hukum di tingkat

internasional telah diciptakan untuk memperkuat pemenuhan hak

masyarakat guna memperoleh pendidikan sebagai hak dasar yang

melekat pada diri setiap manusia. Beberapa instrumen internasional

yang cukup penting tersebut, diantaranya yaitu: Pembukaan dan Pasal

26

Page 28: Suprastruktur hukum pendidikan

26 dari Universal Declaration of Human Right (1948), Pasal 3

Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and

Occupation (1953), Pasal 13 International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights (1966), Pasal 10 Convention on the

Elimination of all forms of Discrimination Against Women (1979),

serta Convention Against Discrimination in Education (1960).

Selain memainkan peranan penting dalam pengembangan

individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi

bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat

penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan

sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca

terjadinya reformasi, kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan

pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang

secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB

XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31

BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat

(1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara

wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya”.

Tidak hanya sampai sebatas ketentuan konstitusi saja,

Pemerintah Indonesia juga memberikan jaminan atas pemenuhan

pendidikan melalui perangkat-perangkat hukum di bawahnya,

misalnya seperti Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional

dan berbagi Peraturan lainnya yang terkait dengan masalah

pendidikan. Ketentuan legislasi nasional Indonesia di bidang

Pendidikan dapat dikatakan sudah sejalan dengan berbagai instrumen

hukum di tingkat internasional. Kini yang menjadi pertanyaannya

adalah apakah ketentuan tersebut telah mampu dijalankan secara

sungguh-sungguh oleh pemerintah kita selama ini.

27

Page 29: Suprastruktur hukum pendidikan

Selanjutnya berkaitan dengan prinsip dasar penyelenggaraan

pendidikan, Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional menggariskan bahwa:

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

F. Prinsip Otonomi Pendidikan dan Moralitas (Legal Moralism)

Dalam UU RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga

tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia. Pertama,

mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah

dicapai. Kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten

dan mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan

diberlakukannnya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional

dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian, sehingga

dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis,

memeperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah

dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partsisipai

masyarakat.

Dalam konsteks pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa

sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralistis selama ini

kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi

penyelenggaraan pendidikan (Hasbullah, 2007:1). Hal tersebut

28

Page 30: Suprastruktur hukum pendidikan

berdampak pada lemahnya rasa memiliki (sense of belonging) dari

masyarakat terhadap institusi pendidikan yang kemudian berakibat

berkurangnya rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan

partisipasi (sense of participation) masyarakat dalam mengelola

pendidikan (Rahmat, 2005:383).

Peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan pendidikan diawali oleh lahirnya UU No. 22 dan 25 tahun

1999 yang kemudian diubah masing-masing oleh UU No. 32 tahun

2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004

tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Berdasarkan rumusan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004

ditegaskan pembagian urusan pemerintahan yang menjadi urusan

pemerintah pusat yang meliputi politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Urusan

selain keenam kewenangan tersebut merupakan kewenangan

pemerintahan daerah yang bersifat otonom. Dengan demikian, bidang

pendidikan yang semula dikelola secara sentralistik berubah menjadi

kewenangan daerah yang dikelola secara desentralistik.

Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa

daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk

mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah

bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata bukan

hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga berimbas

kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah

(school based management).

Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem

manejemen untuk mewujudkan pembanguanan pendidikan yang

menekankan pada kebhinekaan. Hamijoyo (1993:3) menyatakan

bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan terdapat

beberapa prinsip yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pola dan pelaksanaan

manajemen harus demokratis; 2) pemberdayaan masyarakat harus

menjadi tujuan utama; 3) peran serta masyarakat bukan hanya pada

stakeholders, tetapi harus menjadi bagian mutlak sistem

29

Page 31: Suprastruktur hukum pendidikan

pengelolalaan; 4) pelayanan harus lebih cepat, efisien dan efektif; 5)

keanekaragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihargai

dalam kerangka dan demi penguatan sistem pendidikan nasional; dan

6) pelaksanaan desentralisasi pendidikan tidak berhenti di tingkat

kabupaten/kota, tetapi harus sampai pada tingkat sekolah.

Dalam UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, setidaknya ada 33 kewenangan di tingkat daerah sebagai

wujud otonomi. Kewenangan tersebut merupakan peluang yang

demikian besar untuk benar-benar membangun bidang pendidikan

secara konstektual. Hasbullah (2007:3) menyatakan bahwa di

Indonesia pada saat ini paling tidak ada lima persoalan pokok bidang

pendidikan yang harus dipikirkan secara konstektual di setiap daerah,

yaitu mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, pemerataan, peran serta

masyarakat, dan akuntabilitas pendidikan. Otonomi dalam konteks ini

tidak ditafsirkan sebagai pengentalan warna kedaerahan yang

primordialistis, tetapi dipahami dari sisi positif yang mengembangkan

semua potensi yang dimiliki.

Sekaitan dengan hal di atas, dalam UU RI Nomor 20 tentang

Sistem Pendidikan Nasional terdapat 19 pasal yang

menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang

konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan

pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan

kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang

diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik,

dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban

pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya

pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam

mengatur sistem pendidikan nasional.

Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-

Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan

pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan

pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan

30

Page 32: Suprastruktur hukum pendidikan

pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal

jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat

(1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan

mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang

diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3)

pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan

pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang

diselenggarkan oleh masyarakat.

Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan

selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan

minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20

persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada

pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan

pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang

dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban

pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan

nasional.

Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam

Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan

pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh

pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis

kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda

satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan

bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan

pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut

dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun

kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini

dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan

semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak,

baik yang terlibat langsung maupun tidak.

31

Page 33: Suprastruktur hukum pendidikan

G. Pelembagaan Pendidikan Sebagai Norma

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai

kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan

pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa

pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan

terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul

diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu

bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Parameter “kualitas” manusia menurut Sochib (2006:35) terletak pada

aspek kesadaran, pengetahuan, saling menopang, dan

berkesinambungan. Keseluruhan dari keseimbangan ketiga aspek di

atas akan mencipta “karakter” manusia, yakni sifat yang dimiliki dan

menjadi ciri yang membedakan dengan manusia lain.

Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi

kehidupan masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya kemauan

politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan. Ada baiknya

dikemukakan sebuah refleksi bagaimana perjalanan dunia pendidikan

dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat

dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh

kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah.

Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin

politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang

pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh

sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin

Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan

solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan

kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang

mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep

sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho,

Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di

depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di

belakang mengawasi”.

32

Page 34: Suprastruktur hukum pendidikan

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan

nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik

yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator

Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan

pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman

kolonialisme.

Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-

pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan

idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa

pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai

mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih

melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi

pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal

tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya

gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya.

Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok,

karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun

kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman

dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan

dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue,

sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja,

sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas

yang kesekian.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh

sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli

mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi

panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya

melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat

penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India

dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah

menjadi negara berkembang terbesar di Asia setelah Jepang dan

China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong

Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan

33

Page 35: Suprastruktur hukum pendidikan

pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan

Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus

dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan

pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan

merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas

pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang

disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan

konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen

Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami

bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak

sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana seperti media

pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan

belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada

aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak

bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus

dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara

kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal

terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran

pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will,

Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya seharusnya

dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan

kemudian menjalankan prioritas program perbaikan mutu pendidikan

nasional.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat

yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan

keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak

yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin

pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku

pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai

normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang

dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu

menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar

34

Page 36: Suprastruktur hukum pendidikan

rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi

yang total mencapai triliunan rupiah. Sehingga dapat kita katakan

bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban

20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan

pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan

Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi

persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas

dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar

itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.

H. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari uraian di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Sistem pendidikan Indonesia tengah mengalami suatu gejala yang

disebut wan-edukasi. Gejala wan-edukasi terjadi salah satunya

disebabkan oleh belum normatifnya hukum pendidikan. Dengan

kata lain, hukum pendidikan di Indonesia baru sekedar dalam

tataran idealis saja, belum diimplementasikan sepenuhnya dalam

praktik pendidikan, sehingga hukum pendidikan belum bernilai

normatif.

2. Pendidikan Indonesia mempunyai ideologi dan filosofi tersendiri,

yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945. Secara umum pendidikan

Indonesia merupakan sarana untuk mengimplementasikan serta

menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusian yang adil dan beradab;

Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah

kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsepsi ideologi dan filosofi

sistem pendidikan Indonesia tersebut diopersionalisasikan dalam

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3. Landasan konstitusional sistem pendidikan nasional Negara

Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan konstitusi yang berlaku di Republik

35

Page 37: Suprastruktur hukum pendidikan

Indonesia. Negara kita telah mengalami lima periodesasi

konstitusi, yaitu pada masa berlakunya UUD 1945 (UUD

proklamasi), Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, UUD

Sementera Tahun 1950, UUD 1945 (jilid 2) dan UUD NRI 1945

pasca amandemen. Dengan demikian sistem pendidikan nasional

Republik Indonesia telah mengalami perubahan landasan

konstitusional sebanyak lima kali.

4. Tujuan pendidikan nasional Indonesia sejak proklamasi

kemerdekaan sampai sekarang secara formal bersifat dinamis,

walaupun pada hakekatnya sama yaitu untuk mencapai kecerdasan

bangsa. Hal tersebut tersebut terjadi sejalan dengan dinamika

peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit

berkedudukan sebagai hukum pendidikan.

5. Upaya pendidikan yang paling penting dalam sebuah bangsa dan

negara adalah melalui sekolah, yang menjadi upaya pendidikan

formal yang massif. Ini tentu tanpa mengabaikan pendidikan oleh

keluarga dan masyarakat (pendidikan nonformal dan informal).

Tanggung jawab pengadaan dan penyelenggaraan pendidikan

menjadi tugas semua komponen, baik pribadi, keluarga,

masyarakat, dan terutama negara.

6. Desentralisasi (otonomi) pendidikan mempunyai makna bahwa

daerah otonom memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk

mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan

daerah bersangkutan. Keleluasaan pengelolaan tersebut ternyata

bukan hanya dimiliki tingkat pemerintahan daerah, tetapi juga

berimbas kepada sekolah dengan adanya konsep Manajemen

Berbasis Sekolah (school based management).

7. Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai norma bagi

kehidupan masyarakat Indonesia harus diawali oleh adanya

kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan

beberapa hal berikut ini:

36

Page 38: Suprastruktur hukum pendidikan

1. Normativisasi hukum pendidikan harus dilakukan secara murni

dan konesekuen, supaya implementasi sistem pendidikan nasional

menjadi terarah dan dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang

dicita-citakan sesuai dengan amanat konstitusi yaitu mencerdaskan

kehidupan bangsa.

2. Semua stakeholders pendidikan khendaknya selalu berpegang

teguh pada aturan-aturan normatif dalam mengimplementasikan

sistem pendidikan nasional.

3. Dinamisasi tujuan pendidikan harus diikuti oleh perubahan

paradigma berpikir dari para stakeholders pendidikan, supaya

tujuan pendidikan yang disepakati dapat diwujudkan.

4. Kebijakan otonomi pendidikan seyogyanya disikapi secara arif

untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan

kemandirian dari setiap penyelenggara ataupun praktisi

pendidikan dengan tidak meninggalkan aturan-aturan normatif

tentang pendidikan.

Daftar Pustaka

Aziz, A. (2008). Ideologi Pendidikan; Sebuah Pengantar. [Online]. Tersedia: http://www.ahmadaziez.blogspot.com. Html (2 Novembar 2008).

Bock, J.C. (1992). Education and Development : A Conflic Meaning. Newyork. Longman.

Convention Againts Discrimination in Education, 1960.

Convention on the Rights of the Child, 1989.

Hasbullah. (2007). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966.

Keputusan Presiden RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.

Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat tahun 1949.

37

Page 39: Suprastruktur hukum pendidikan

Muhaimin. (2003). Paradigma Pendidikan Agama Islam. Bandung: Mizan

O’neil, W.F. (2008). Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Plank, David N. and William Lowe Boyd. (2004). Antipolitics, Education, and Institutional Choice: the Flight from Democracy.

Rahmat. (2005). “Desentralisasi Pendidikan: Peluang untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Mengelola Pendidikan” Jurnal Civicus Vol. 1 No.5, Juni 2005 hal. 383-392.

Sochib, Mohammad. (2006). “Mengembalikan Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia”. Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, Februari 2006 hal 35-54.

Supeno, H. (2002). Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.

Undang-Undang No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan

dan Pengajaran di Sekolah.

Undang-Undang Republik Serikat No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Universal Declaration of Human Right, 1948.

38