supercritical airfoil · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai...

10
perti Beech ―Starship‖ dan pesawat swayasa Rutan ―Vary-eze‖. Sedangkan konfigurasi ―three planes‖ diterapkan pada pesawat bisnis eksekutif Piagio ―Avanti‖. Pada rancangan pesawat tempur, berbagai konfigurasi telah diterapkan guna memenuhi berbagai persyaratan manuver. Pada Gbr. 1-1 tampak juga dengan jelas pengaruh kecepatan terbang terhadap bentuk sayap (wing planform) yaitu semakin besarnya sudut miring ke belakang (swept back-sweep angle). Tapi yang tidak tampak pada gambar tersebut adalah penampang sayap atau ―airfoil‖. Seperti diketahui, bentuk ―airfoil‖ ini sangat menentukan karakteristik aerodinamika dari sayap, dibantu oleh bentuk planform dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. 42 Pada gambar di atas ditunjukkan perkembangan kecepatan terbang dari pesawat pertama pada 1900- an sampai pada 1960-an, di mana kecepatan suara (Mach 1) sudah dapat dilampaui dengan propulsi turbin gas. Mengamati Gbr. 1-1 diatas, tampak ada spektrum yang tidak berubah yaitu ―konfigurasi‖ pesawat yang tetap ―konvensional‖. Konfigurasi ―konvensional‖ dalam pengertian tata letak sayap yang dipasang di tengah badan, dan bidang 2-ekor di ujung belakang badan. Enjin dapat dipasang di ujung belakang badan atau di bawah sayap. Sampai masa kini, lebih dari 95 % pesawat transpor di seluruh dunia masih memiliki konfigurasi ―konvensional‖ ini. Namun, ada tipe- tipe tertentu yang memiliki konfigurasi ―canard‖ se- AERODINAMIKA SUPERCRITICAL AIRFOIL Dalam kedua artikel pendahuluan, telah dengan jelas ditunjukkan keterkaitan yang erat antara perkembangan pesawat (aircraft) dengan sistem propulsi (engine). Pada pesawat, perkembangan berwujud semakin meningkatnya performa dan kapasitasnya, sedangkan pada sistem propulsi berwujud semakin besarnya gaya dorong dan iritnya bahan bakar. Dalam hubungan ini, akan dibahas salah satu parameter yang paling penting, yaitu “kecepatan terbang” yang kenyataannya merupakan aspek paling berpengaruh dalam perancangan pesawat terbang. Gbr. 1-1 Kurva 1 menyatakan pesawat pembom, kurva 2 untuk pesawat transpor jet, dan kurva 3 untuk pesawat transpor turboprop Pesawat-pesawat pemegang rekor: A. Santos Dumont B. Bleriot C. Deperdussin D. Nieuport 29 E. Bernard F. Supermarine S.6 G. Macchi 72 H. Messer Schmitt Me 209 VI J. Meteor 4 K. Swift L. NA F-100c M. Fairey FD.2 N. Mc Donnel Voodoo PERKEMBANGAN KECEPATAN TERBANG REKOR KECEPATAN ABSOLUT (Absolut Speed Record)

Upload: duongphuc

Post on 20-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

perti Beech ―Starship‖ dan pesawat swayasa Rutan ―Vary-eze‖. Sedangkan konfigurasi ―three planes‖

diterapkan pada pesawat bisnis eksekutif Piagio

―Avanti‖.

Pada rancangan pesawat tempur, berbagai konfigurasi telah diterapkan guna memenuhi

berbagai persyaratan manuver.

Pada Gbr. 1-1 tampak juga dengan jelas pengaruh kecepatan terbang terhadap bentuk sayap

(wing planform) yaitu semakin besarnya sudut

miring ke belakang (swept back-sweep angle). Tapi yang tidak tampak pada gambar tersebut adalah

penampang sayap atau ―airfoil‖. Seperti diketahui,

bentuk ―airfoil‖ ini sangat menentukan karakteristik

aerodinamika dari sayap, dibantu oleh bentuk planform dan kelengkapan-kelengkapan lainnya.

42

Pada gambar di atas ditunjukkan perkembangan kecepatan terbang dari pesawat pertama pada 1900-

an sampai pada 1960-an, di mana kecepatan suara

(Mach 1) sudah dapat dilampaui dengan propulsi

turbin gas. Mengamati Gbr. 1-1 diatas, tampak ada

spektrum yang tidak berubah yaitu ―konfigurasi‖

pesawat yang tetap ―konvensional‖. Konfigurasi ―konvensional‖ dalam pengertian tata letak sayap

yang dipasang di tengah badan, dan bidang 2-ekor

di ujung belakang badan. Enjin dapat dipasang di ujung belakang badan atau di bawah sayap.

Sampai masa kini, lebih dari 95 % pesawat

transpor di seluruh dunia masih memiliki

konfigurasi ―konvensional‖ ini. Namun, ada tipe-tipe tertentu yang memiliki konfigurasi ―canard‖ se-

AERODINAMIKA

SUPERCRITICAL AIRFOIL Dalam kedua artikel pendahuluan, telah dengan jelas ditunjukkan

keterkaitan yang erat antara perkembangan pesawat (aircraft)

dengan sistem propulsi (engine). Pada pesawat, perkembangan

berwujud semakin meningkatnya performa dan kapasitasnya,

sedangkan pada sistem propulsi berwujud semakin besarnya

gaya dorong dan iritnya bahan bakar.

Dalam hubungan ini, akan dibahas salah satu parameter yang

paling penting, yaitu “kecepatan terbang” yang kenyataannya

merupakan aspek paling berpengaruh dalam perancangan

pesawat terbang.

Gbr. 1-1

Kurva 1 menyatakan pesawat pembom, kurva 2 untuk pesawat transpor jet, dan kurva 3 untuk pesawat transpor turboprop

Pesawat-pesawat pemegang rekor: A. Santos Dumont B. Bleriot C. Deperdussin D. Nieuport 29 E. Bernard F. Supermarine S.6 G. Macchi 72 H. Messer Schmitt Me 209 VI J. Meteor 4 K. Swift L. NA F-100c M. Fairey FD.2 N. Mc Donnel Voodoo

PERKEMBANGAN KECEPATAN TERBANG

REKOR KECEPATAN ABSOLUT (Absolut Speed Record)

Page 2: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

43

Gbr.1-1 menunjukkan dengan jelas peningkatan kecepatan terbang yang dimungkinkan oleh

peningkatan gaya dorong motor letup (piston

engine). Maupun dengan turbin gas. Yang paling

signifikan adalah ditembusnya kecepatan suara Mach 1 oleh pesawat-pesawat tempur atau riset.

Namun perkembangan lebih dari satu setengah

dekade menunjukkan bahwa hampir semua pesa-wat-pesawat komersial dari berbagai produsen tetap

bersaing di bawah Mach 1. Daerah kecepatan yang

disebut ―high subsonic speed‖. Mungkin (salah satu) alasannya karena pada waktu itu (tahun 60-an)

teknologi belum cukup maju. Tetapi hal tersebut

dibantah, dengan terwujudnya pesawat SST

(Supersonic Transport) buatan Rusia Tu-144 yang terbang perdana pada 1968. Kemudian disusul

tahun berikutnya oleh SST hasil kerja sama Inggris

dan Prancis: ―Concorde‖. Karena masalah teknis, Tu-144 hanya

mengalami pengoperasian dalam jangka waktu

pendek. Sedangkan Concorde yang baru dipensiunkan pada 2003 hanya dioperasikan dalam

jumlah terbatas (16 pesawat). Hal ini menunjukkan

bahwa SST belum menarik masyarakat yang cukup

luas, karena mahalnya harga tiket yang belum seimbang dengan kecepatan terbang yang

disajikannya.

Di lain pihak pesawat-pesawat ―high subsonic‖ semakin berkembang baik dalam kapasitas

penumpangnya, jangkauan terbangnya maupun

kecepatannnya yang mendekati Mach 1—seperti

ditunjukkan pada Gbr.1-2. Hanya pesawat-pesawat tempur yang dikembangkan sampai Mach 3 atau

lebih cepat lagi bagi pesawat-pesawat riset.

Tren ini disebabkan oleh perbedaan sifat operasi antara SST dengan pesawat tempur. Seperti

halnya dengan Concorde, sebagai SST ia terbang

menjelajah (cruising) pada kecepatan supersonik

(Mach 1,5 − 2,0) untuk menghubungkan London dan New York dalam waktu 5 jam. Sedangkan

pesawat tempur terbang supersonik hanya bila

diperlukan dalam combat (bertempur), selebihnya

penerbangan akan dilakukan subsonik. Jadi, masalahnya adalah kebutuhan gaya

dorong (thrust) yang digunakan pada kecepatan

tinggi dalam kaitannya dengan konsumsi bahan bakar. Pada penerbangan komersial hal ini

merupakan faktor yang sangat penting karena akan

menentukan biaya operasi dan selanjutnya harga tiket. Berhubung pesawat terbang bergerak dalam

medium udara yang tunduk pada hukum-hukum

fisika udara atau aerodinamika maka masalah

kebutuhan gaya dorong tersebut akan dibahas berdasarkan hukum-hukum ini.

GAYA HAMBATAN (DRAG)

Seperti diketahui, gaya hambatan adalah

penentu besarnya gaya dorong, thrust, yang harus

dihasilkan oleh sumber tenaga dorong (motor)

untuk memacu pesawat pada kecepatan tertentu sehingga sayap dapat menghasilkan gaya angkat,

lift, yang diperlukan pada kondisi terbang tertentu.

Gambar berikut menunjukkan gaya-gaya pada kondisi terbang mendatar (cruise).

Perkembangan dalam kapasitas (berat) dan jarak yang semakin besar

Gbr. 1-2 Ditunjukkan di sini bahwa kecepatan pesawat transpor berkembang sebesar setengah atau seperempat dari “Rekor Kecepatan Absolut” (Absolut Speed Record)yang dicapai menjelang 1960. Kemudian para airliner tur-boprop dan turbofan menetap pada kecepatan Mach

0,6 − 0,9. Kecuali Concorde dan Tu-144 yang menje-lajah pada Mach 2,2.

T

D

L

W

FD

CG

Page 3: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

44

CD gesekan = luas permukaan (wetted area) dari

komponen dikalikan dengan koefisien gesekan

berdasarkan data empiris.

Maka gaya hambatan Dpesawat ditentukan dengan

rumus (2) berdasarkan besaran-besaran di atas.

KETERMAMPATAN UDARA DAN

DAERAH PENERBANGAN (FLIGHT REGION)

Analisa berdasarkan kejadian-kejadian yang

cukup luas menunjukkan bahwa fenomena ini

terkait dengan kenyataan bahwa udara adalah ―termampatkan‖ (compressible) pada kecepatan

tinggi. Ini berarti bahwa harga CD pesawat adalah

konstan seperti ditentukan di atas hanya berlaku di

daerah kecepatan rendah (sampai Mach 0,5 atau

sekitar 600 km/jam). Di mana udara (diasumsikan)

―tak termampatkan‖ (incompressible). Perubahan

besarnya CD pesawat sebagai fungsi dari kecepatan

(Mach) dan pembagian daerah kecepatan (flight region) ditunjukkan di Gbr. 1-3.

Dalam kondisi seperti di atas, maka besarnya

gaya hambatan sepenuhnya ditentukan oleh

kecepatan terbang V dan kerapatan ρ yang

tergantung ketinggian, karena harga CD pesawat

praktis konstan (dan juga luas sayap S). Menjelang berakhinya PD II ketika pesawat-

pesawat tempur (bertenaga motor torak dan

berpropeler) di kedua belah pihak telah terbang

semakin besar kecepatannya sekitar Mach 0,5+ (500 - 600 km/jam), seringkali terjadi fenomena di

mana tiba-tiba pilot merasakan gejala ―nose heavy‖.

Dan ketika ingin dikoreksi terasa timbulnya vibrasi pada bidang-bidang kendali sehingga tidak

berfungsi dan dapat berakibat ―crash‖.

Peningkatan harga CD pesawat ketika mendekati

Mach 1 ini disebabkan oleh ―wave drag‖(hambatan

gelombang) sehingga persamaan dasar koefisien:

Pola Abraham: Aerodinamika

Supercritical Airfoil

(Mengacu hlm. 4)

Advanced wing technology After the introduction of transonic profiles, a major step, we expect some re-finements, but further achievements through only new airfoils will be limited.

Besarnya gaya hambatan dinyatakan oleh persamaan:

ρ

T = D = — V2 CD S (N) (lb) - - - - - - - - (1) 2

di mana

ρ = kerapatan udara, karakteristik fisik dari

udara sebagai fungsi ketinggian; (slugs/

lb3), (kg/m3).

V = kecepatan terbang; (m/det), (ft/det).

S = luas sayap; (m2), (ft2).

CD = koefisien hambatan, suatu besaran tanpa dimensi dinyatakan sebagai berikut.

di mana

CD tekanan = CD sayap + CD parasit

= CD airfoil + CD induksi +ΣCD komponen

dengan

CD ai r fo i l didasarkan karakter ist ik

aerodinamis.

CL2

CD induksi = —–——

π θ AR

CL = koefisien lift ; θ = faktor Oswald, un-tuk sayap 0,7 − 1,0; AR = Aspect Ratio.

CD komponen = CD dari badan, bidang-

bidang ekor, roda pendarat, engine cowling, dsb, berdasarkan data dari terowongan

angin, masing-masing.

CDpesawat =CDtekanan+CDgesekan+CDgelombang ..(3)

(wave)

CDtotal = CD tekanan + CD gesekan - - - - (2)

(pesawat) ( friction)

Page 4: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

45

Hal ini terutama berkaitan dengan sifat udara ―inkompresibel‖ atau ―tak termampatkan‖ pada

kecepatan rendah sampai mendekati kecepatan

suara atau Mach 1. Kemudian di atas daerah ini

mulai tampak sifat ―kompresibel‖ atau ―termampatkan‖ dari udara. Hal yang ditunjukkan

oleh meningkatnya harga koefisien hambatan CD

ketika mendekati Mach 0,6 dan mencapai puncaknya pada kecepatan Mach 1. Dan turun lagi

tapi tidak serendah kecepatan subsonik.

Karena harga CD menentukan gaya dorong motor, maka bagi pesawat yang mampu terbang

supersonik harus memiliki motor yang cukup kuat

untuk melampaui puncak tersebut (lihat Gbr. 1-3).

Secara umum daerah penerbangan (flight regime) dapat dibagi menjadi “region-region”

berikut:

Subsonik inkompresibel 0 < Ma < M < 0,72

Transonik M 0,8 < Ma < M 1,2

Supersonik M 1,2 < Ma < M 5

Hipersonik Ma > 5

Di mana Ma menyatakan bilangan Mach dari

region terkait. Dalam bab ini, kompresibilitas pada

kecepatan tinggi akan dibahas pengaruhnya terhadap desain aerodinamik dari sayap. Baik yang

berkaitan dengan bentuk airfoil, bentuk planform

maupun ketentuan-ketentuan aerodinamik lainnya.

SAYAP UNTUK KECEPATAN TINGGI

Mengenai indikasi-indikasi masuknya suatu

pesawat ke dalam daerah arus kompresibel yang

disebut ―Mach Kritis‖ dapat diterangkan sebagai

berikut.

Supercritical Region

Gbr. 1-3 Daerah Penerbangan (Flight Regime)

Indikasi dari terjadinya ―shock wave‖ adalah:

a. Terjadi ―drag rise‖ yang menyolok pada

kurva CD.

b. Terjadi getaran (vibration) pada pesawat

c. Terjadi pergantian sikap (attitude) ke arah menukik (drive, nose heavy), yang

memerlukan keseimbangan (trim change).

Apa yang disebut ―Mach Kritis‖ dapat

didefinisikan sebagai berikut.

1. Mach kritis adalah bilangan Mach di mana

pada suatu tempat tertentu di pesawat mulai terjadi arus dengan kecepatan suara (sonic

flow). Hal ini pada kondisi tertentu masih

dapat dibiarkan (ditolerir).

2. Definisi lain, Mach kritis adalah Mach di mana terjadi peningkatan hambatan (drag

rise) yang cukup besar sebagai akibat dari

a d a n y a / t i m b u l n y a ― g e l o m b a n g

kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima

(acceptable).

Letak titik Mach kritis dapat didefinisikan

sebagai berikut.

Mach kritis adalah bilangan Mach di mana dCD / dMach > 0,04

1,0 2,0 Mach 3,0

dCD

dMach

Supercritical Region 0,100

CD

0,050

Page 5: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

46

Jadi Mach kritis merupakan batas kecepatan maksimum dari suatu tipe pesawat yang ditentukan

oleh desain aerodinamiknya. Mengenai hal ini, akan

dilakukan pembahasan lebih lanjut dalam bab-bab

berikut. Pesawat-pesawat yang beroperasi pada

kecepatan rendah (sampai M 0,6) tidak akan

menemui masalah kompresibilitas dengan segala konsekuensinya. Sehingga untuk itu dapat

sepenuhnya diterapkan aerodinamika pada arus

inkompresibel yang lebih sederhana. Mengenai proses awal terjadinya shock wave

ini pada sayap, ditunjukkan pada Gbr. 1-6. Terlihat

pada gambar bahwa Mach kritis terjadi pada M 0,72

dan ini berlaku untuk airfoil tertentu. Airfoil yang karakteristik aerodinamiknya ditentukan oleh

bentuk lengkungan kontur dan perbandingan

ketebalan terhadap lebarnya (thickness to chord ratio, t/c) dan ini juga yang menentukan besarnya

Mach kritis tersebut.

AIRFOIL KECEPATAN SUBSONIK TINGGI

(HIGH SPEED SUBSONIC AIRFOIL)

Seperti telah ditunjukkan di Gbr.1-3, Daerah

Penerbangan, ketika arus mendekati kecepatan

suara maka akan terjadi peningkatan hambatan (drag rise) yang titik awalnya disebut “Mach

kritis‖. Dalam pelaksanaan desain sayap

diupayakan agar titik tersebut bergeser ke kanan

(artinya Mach kritis lebih tinggi) seperti ditunjukkan pada Gbr.1-4, daerah penerbangan

inilah yang kini diterbangi pesawat-pesawat

transpor modern. Untuk itu, diperlukan airfoil sesuai, yang pada

prinsipnya Mach kritis yang lebih tinggi tetapi tetap

efektif untuk beroperasi di daerah kecepatan yang lebih rendah. Pelaksanaan yang praktis untuk itu,

adalah ―laminar airfoil‖ yang dikembangkan untuk

Supercritical Region

kecepatan tinggi terutama dengan penerapan rasio t/c yang lebih kecil.

Bentuk dasar dari airfoil-airfoil ini memiliki

kontur yang hampir sama simetris (antara atas dan

bawah) dan t/c yang kecil. Besarnya Mach kritis dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Mkrit = 1 − 0,66 (t/c) 1/2 − 0,2 CL - - - - - - - (4)

(Ref.1)

Ini berlaku untuk sayap tanpa atau dengan

―sweep back‖, memiliki AR sedang (moderate)

serta batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c < 0,18. Mach kritis dapat ditentukan dengan lebih tepat

berdasarkan laporan ―Transonic Data

Memorandum‖ sebagai berikut.

Mkrit = 0,87 + 0,1 (XR/c) − 1,5 (t/c) −

(0,2 − 0,5 t/c) CL - - - - - (5)

(Ref.1)

Untuk batasan rasio ketebalan: 0,06 < t/c 0,18

dan batasan jarak terjadinya ―shock wave‖ dari

leading edge (LE): 0,3 c < XR < 0,6c.

Gbr. 1-4 PENINGKATAN MACH KRITIS

Dilaksanakan dengan penerapan supercritical airfoil dan geometri sayap yang sesuai.

CD

shock wave

Page 6: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

47

SUPERCRITICAL AIRFOIL

Ini adalah airfoil yang khusus dioptimalkan

untuk para airliner yang beroperasi pada kecepatan tinggi subsonik yakni M 0,70 − 0,90. Tujuan

utamanya adalah menggeser Mach kritis ke arah

kanan yaitu mendekati M 1,0 namun tidak perlu memiliki kemampuan supersonik. Dengan kata lain

untuk menghindarkan peningkatan hambatan, drag

rise, pada kecepatan yang lebih tinggi.

Airfoil ini berbeda konsep desainnya dengan ―high speed subsonic airfoil‖ atau ―supersonic

airfoil‖ yang telah dibahas di atas. Prinsip yang

diterapkan pada ―high subsonic airfoil‖ ialah memerlambat (delay) pembentukan shock wave

sejauh harga Mach kritis.

Supercritical Region

Gambar di bawah (Gbr. 1-5) menunjukkan perbedaan bentuk dari kedua jenis airfoil tersebut.

Kecuali pada bentuk konturnya, ciri khas pada

supercritical arifoil ialah ketebalannya yang lebih

besar. Hal ini memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut.

Memungkinkan struktur yang lebih ringan

karena spar memiliki momen inersia yang

lebih besar.

Menyediakan tempat yang lebih besar

untuk tangki bahan bakar. Dan ini sangat

penting terutama untuk pesawat transpor.

Memiliki harga CL yang lebih tinggi

sehingga diperlukan sayap lebih kecil, berarti hambatan utama lebih kecil dan

struktur sayap lebih ringan

Pada Gbr. 1-7A ditunjukkan penerapan pada

Boeing 707, pesawat transpor jet generasi pertama

yang sukses dioperasikan sejak pertengahan tahun 60-an. Dalam gambar ini diperlihatkan perbaikan

pada segi aerodinamik (performa) dan dari segi

konstruksi yang dapat terwujud dengan penerapan

―supercritical airfoil‖. Sehingga kini pesawat-pesawat yang beroperasi di daerah kecepatan

subsonik tinggi menggunakan airfoil tersebut,

dalam satu atau lain bentuk pelaksanaannya.

Sedangkan ―supercritical airfoil‖ memiliki

bentuk yang membiarkan gelombang kejut terjadi di

sepanjang chord, jadi pecah, tidak terpusat, sehing-

ga energinya lemah. Pada keadaan ini terjadi distribusi tekanan dari kedua jenis airfoil tersebut,

seperti ditunjukkan dengan jelas pada gambar atas.

shock wave dipecah

Gbr. 1-5 Perbandingan bentuk airfoil

Page 7: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

48

Gbr. 1-6 PERKEMBANGAN TERJADINYA ARUS TRANSONIK (TRANSONIC FLOW) PADA AIRFOIL, Ref. 3

Page 8: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

49

Gbr. 1-7 PENERAPAN SAYAP SUPERKRITIS

(SUPERCRITICAL WING) PADA PESAWAT BOEING 707-320B

Page 9: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

50

Penggunaan supercritical airfoil ini ternyata tidak hanya meluas pada pesawat-pesawat

komersial saja tetapi juga pada pesawat-pesawat

tempur. Contohnya adalah pesawat VTOL Inggris

BAe AV-8A Harrier II, yang sebelumnya menggunakan high subsonic airfoil.

Kemudian pada versi pengembangannya dalam

kerja sama dengan McDonnel Douglas dari Amerika menjadi AV-8B, yang menggunakan

supercritical airfoil. Begitu pula pesawat tempur

―variable swept wing‖ North American F-111.

CD Breakdown

Persamaan (3) di atas (hlm 44) merupakan

dasar dari drag polar yang didefinisikan sebagai persamaan maupun grafik yang menyatakan relasi

antara CD dan CL (Anderson/Ref.2). Sementara

grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach ditunjukkan pada Gbr. 1-9 (Ref. 3).

Dan Anderson membuat CD breakdown dalam

bentuk bar chart yakni pada dua kecepatan, M 0,8

dan M 2,2, untuk menunjukkan pengaruh wave drag terhadap CD, yang pada akhirnya terkait erat

dengan gaya dorong, thrust, seperti dinyatakan

dalam persamaan (1) di atas (hlm. 44). Tinggi bar chart yang menyatakan harga CD (total drag) pada

Wing

Body

Empennage

Engine install.

Interference

leaks etc

Lift-

dependent

drag

Gbr. 1-10a Subsonic transport

Cruise M 0,8 (Di bawah Mach Kritis)

Gbr. 1-10b Supersonic transport

Cruise M 2,2 (Di atas Mach Kritis)

drag tidak ada, karena shock wave belum muncul. Pada Gbr. 1-10b untuk jelajah di atas kecepatan

suara, M 2,2 dalam konteks ini, pengaruh zero-lift

wave drag jelas terlihat. Malah, bersama dengan lift

-dependent drag memberikan persentase kontribusi hampir dua pertiga dari total drag pesawat.

Dan menarik, bahwa persentase kontribusi zero-

lift parasite drag atau CDtekanan justru mengecil

dibanding dengan kondisi pada jelajah subsonik dalam Gbr. 1-10a—seiring CD yang menurun di atas

M 1, seperti pada Gbr.1-3. Juga kontribusi lift-

dependent drag supersonik ini lebih besar dibanding

dengan kondisi jelajah subsonik; hal yang dijelaskan oleh koefisien lift CL sebagai salah satu

parameter induced drag (CD induksi; persamaan [2])

ketika menjelajah pada supersonik.

Dengan demikian dari CD breakdown ini—

Zero-lift parasite drag

Gbr. 1-8 Pesawat Tempur VTOL AV-8B Harrier II

%

Total

Drag

100 %

0 %

Wing/body

Includ En-

gine inst etc

Fin

Zero-lift

wave drag

Lift-

dependent

drag

kedua kecepatan tersebut dapat berbeda (pada Mach 2,2 selalu lebih tinggi) seperti ditunjukkan pada

kurva-kurva Mach dalam grafik drag polar Gbr.1-9.

Sehingga Gbr.1-10a dan 1-10b menggambarkan

perbandingan relatif CD breakdown dimaksud secara persentase, juga bukan dalam besaran aktual.

Pada Gbr. 1-10a, tampak bahwa elemen-elemen

wing, body, empennage, engine installations, interference, leaks, undercarriage, dan flaps

berkontribusi terhadap apa yang disebut dengan

Zero-lift parasite drag (kotak-kotak berarsir). Atau dalam persamaan (3)—yang dijabarkan lanjut dari

persamaan (2)—di atas dinotasi sebagai CDtekanan.

Sementara yang disebut Lift-dependent drag

(kotak-kotak putih/tak berarsir) pada persamaan (3)

maupun (2) dinotasi dengan CDgesekan. Jelaslah,

pada jelajah subsonik ini yang disebut zero-lift wave

Gbr. 1-9 Grafik drag polar dengan berbagai variasi Mach

Page 10: SUPERCRITICAL AIRFOIL · adanya/timbulnya ―gelombang kejut‖ (shock wave) tetapi hanya sampai batas intensitas yang masih dapat diterima (acceptable)

51

khususnya pada Gbr. 1-10b—lebih menegaskan lagi bukan hanya hadirnya pengaruh wave drag,

seperti ditunjukkan oleh persamaan (3), tetapi juga

dominasinya, setidaknya pengaruhnya yang besar,

pada karakteristik utama segi aerodinamik pesawat supersonik—pada kebutuhan thrust.

KESIMPULAN

Dalam perkembangan kecepatan yang

dimungkinkan oleh sistem propulsi, sayap sebagai penghasil gaya angkat perlu menyesuaikan diri

dengan mewujudkan nilai CL/CD atau disebut

―aerodynamic efficiency factor‖ yang optimal. Ini sangat penting karena berkaitan dengan

Supercritical Region

aspek ekonomi yang didasari oleh pengiritan bahan bakar. Untuk itu terjadi evolusi dalam perubahan

bentuk airfoil era pesawat pertama sampai masa

kini seperti ditunjukkan oleh tabel pada Gbr.1-11.

Supercritical airfoil merupakan bentuk yang dioptimasikan untuk M 0,70 − M 0,90 yaitu daerah

kecepatan yang pada waktu ini di dunia diterbangi

oleh paling banyak pesawat terbang komersial. Pesawat jenis transpor sipil yang mengangkut lebih

kurang 7 miliar penumpang setiap tahunnya.

Jadi seperti dikemukakan dalam pola Abraham perkembangan aspek aerodinamika, khususnya

sayap, penggunaan supercritical airfoil guna

menekan wave drag telah diterapkan secara luas

dengan sukses pada pesawat-pesawat modern.

BIRD WING

Typical airfoil or wing section of soaring birds such as: eagle, buzzard, hawk, seagul

WRIGHT BROTHERS

Wright Brothers 1903 Flyer Wright Brothers 1905 Fyer Wright Brothers 1907 Flyer Roe Triplane 1909 Curtiss early models 1910-1912

BIPLANES

WW.I-NIEUPORT

Nieuport Other World War I fighters used similar cambered sections in biplanes or triplanes configurations with external bracing

CLARK Y & GÖTTINGEN 396

Sipirit of St Louis, Northrop Alpha, Northrop Beta. Many early monoplanes used either the Clark Y or the Göttingen 367 from 1922 on. These two airfoils were actually very similar in geometry and aerodynamics characteristics. The NACA four digits series was derived partially by of these airfoils

MONOPLANES

NACA FOUR DIGIT SERIES

Douglas B-18, Douglas B-23, Douglas AD, Douglas DC-2, Douglas DC-3, Douglas B-19, North American F86, Cesnna F2 Trainer, Cessna Various Light Airplane Types, Lockheed P-3, Northrop Delta, Northrop Gamma

NACA FIVE DIGIT SERIES

Douglas DB-7, Douglas A-20, Douglas DC-4, Douglas DC-6, Douglas DC-7, Cessna 401-421, Cessna Citation I & II Beech Most Models

NACA SIX SERIES

Douglas A-26, Douglas D558-I, Douglas D558-II, North American F-100, North American T-2 Trainer, Lockheed C-130, Vought A-7, McDonnell F-15, General Dynamics F-111

MONOPLANES

SUPERCRITICAL

Early Pearcey Peaky Types Trident, Harrier, CSA, Airbus, Lockheed L1011

Whitcomb Type T2C Mod, F-111 Mod, F8U Mod > NASA Research Airplanes Douglas YC-15 STOL Transport Prototype, Cessna Citation, Gulf Stream III, Adv A 300, Dassault Falcon 50, Canada Challenger CL 600, Future Transport

Gbr. 1-11 Tabel Historical Development of Airfoils (Sebagai fungsi dari kecepatan terbang)-Ref. 4

Willem J. Pattiradjawane

Referensi:

1. Flight International, July 1971 & March 1982,

Read Business, Sussex, UK.

2. John D. Anderson, Jr, Aircraft Performance &

Design, Mc Graw-Hill International, London-

New York, 1999.

3. Ray Whitford, Design for Air Combat, Jane’s

Publishing Inc., New York, 1987.

4. Ed Heinemann, Aircraft Design, The Nautical &

Aviation Publishing Co. of America Inc., 1985.