sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan di ... · dalam hal ini selain peranan yang...

105
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA (ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY) OLEH MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: dinhthuy

Post on 08-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA

(ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)

OLEH

MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN

MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE. Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity) (Dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH).

Isu ketahanan pangan telah memasuki paradigma baru, dengan adanya konsep sustainable food security (konsep ketahanan pangan berkelanjutan). Dalam hal ini selain peranan yang sangat mendasar dari industri pertanian, yang perlu diperhatikan juga adalah peranan penting dari industri pengolahan makanan sebagai industri yang dapat mengoptimalkan hasil-hasil pertanian. Selain itu industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi yang paling dominan dalam industri pengolahan. Industri pengolahan makanan juga merupakan bagian integral dari subsistem agribisnis hilir dalam sistem agribisnis.

Dalam menganalisis peranan industri pengolahan makanan digunakan metode Total Factor Productivity, untuk menghitung akumulasi faktor dan tingkat efisiensi teknis dari industri tersebut. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana ketergantungan industri pengolahan makanan terhadap akumulasi faktor dan bagaimana pengaruh teknologi (efisiensi teknis) terhadap industri pengolahan makanan. Hasil perhitungan pertumbuhan bersama dengan faktor produksi yang lain diregresi dengan menggunakan metode Pool Least Square (PLS).

Pada saat krisis memang industri pengolahan merupakan industri yang paling mengalami kehancuran dan mendapatkan dampak yang sangat signifikan dari krisis. Akan tetapi pada masa pemulihan industri pengolahan, khususnya produk makanan pokok, merupakan sektor industri yang paling cepat pulih dan kembali tumbuh secara pesat. Dalam periode 1994-1996, industri pengolahan mengalami pertumbuhan nilai output sebesar 20.97 persen, dan mengalami penurunan nilai rata-rata pertumbuhan menjadi 11.29 persen ketika krisis melanda perekonomian. Namun dengan cepat pertumbuhan rata-rata kembali meningkat pada periode 2000-2002 sebesar 35.84 persen.

Pertumbuhan masih didominasi oleh pengaruh faktor input, terutama bahan baku (input driven). Peranan teknologi dalam industri pengolahan masih belum optimal karena hanya dapat diterapkan pada beberapa sektor industri. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya imbangan untuk kemajuan teknologi dan masih lemahnya industri nasional dalam melakukan proses difusi teknologi, ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang mayoritas masih dibawah standar. Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah, hanya sektor-sektor industri prioritas yang mampu memanfaatkan teknologi dengan baik dengan dukungan penuh dari pemerintah, sementara sektor lainnya kurang mendapatkan perhatian dalam hal adopsi teknologi. Akibatnya kemajuan teknologi pada industri pengolahan makanan tidak merata dan secara keseluruhan belum optimal.

SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA

(ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)

Oleh

MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,

Nama Mahasiswa : Muhammad Iqbal Triajie

Nomor Registrasi Pokok : H14102118

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri

Pengolahan Makanan di Indonesia

(Analisis Total Factor Productivity)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872

Tanggal Kelulusan:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2006

Muhammad Iqbal Triajie H14102118

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal Triajie dilahirkan pada tanggal

1 Januari 1985 di Kota Bogor. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari

pasangan Iskandar Dharsono dan Yunarsih. Jenjang pendidikan pertama penulis

dimulai di TK Pertiwi 1 Bogor pada tahun 1989, Kemudian melanjutkan ke SDN

Panaragan 2 Bogor pada tahun 1990 hingga lulus pada tahun 1996. Penulis

kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SLTPN 6 Bogor hingga lulus pada

tahun 1999, dan kemudian diterima di SMUN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2002 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB) dan diterima masuk di Departemen Ilmu Ekonomi (IE) Fakultas

Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjalankan studi

penulis aktif di beberapa organisasi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan

Manajemen (FEM) antara lain sebagai anggota Biro Kesekretariatan HIPOTESA

(Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Ekonomi) IPB pada tahun 2004, dan menjadi

Presiden klub Sepak Bola dan Futsal Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FFFF)

periode 2004-2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan

dalam acara-acara yang diselenggarakan di lingkungan Fakultas Ekonomi dan

Manajemen IPB.

Beberapa prestasi yang pernah penulis raih ketika menjalankan studi di

IPB antara lain, pemain terbaik (MVP) babak final Turnamen Futsal PORFEM

(Pekan Olah Raga FEM) pada tahun 2003, bersama Departemen Ilmu Ekonomi

menjuarai HIMAFARIN CUP (Turnamen Futsal Antar Departemen se-IPB) pada

tahun 2003, dan bersama Fakultas Ekonomi dan Manajemen meraih medali

perunggu untuk cabang sepak bola pada Olimpiade IPB tahun 2005.

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri

Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity)”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. Ph.D yang telah memberikan bimbingan

baik secara moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat

diselesaikan dengan baik, dan dalam waktu yang relatif singkat mampu membuka

pemikiran penulis sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih

luas bagi penulis.

2. Nunung Nuryantono, Ph.D sebagai dosen penguji utama, yang telah

memberikan banyak masukan dan dukungan kepada penulis sehingga penyusunan

skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

3. Fifi Diana Thamrin, SE. M.Si sebagai komisi pendidikan, yang telah

memberikan banyak perbaikan dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini

menjadi lebih sempurna.

4. Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah memberikan masukan mengenai

metode analisis dan pengolahan data dalam penelitian ini.

5. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE. M.Si yang memberikan masukan mengenai

metode analisis dalam penelitian ini, dan memperlancar kegiatan administrasi

dalam penyusunan skripsi ini.

6. Muhammad Findi A, SE. M.Si atas diskusi dan masukan dalam

penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis, yaitu Yunarsih dan Iskandar Dharsono, serta

terima kasih kepada Iriansyah, Yuanita, Robby Kurniawan, Novianthy Fitria,

Syarbi Hasanudin dan Mega Marlina yang selalu memberi semangat kepada

penulis. Terima kasih untuk keceriaan yang selalu diberikan oleh Lulu, Elsya, Abi

dan Rido.

8. Penulis juga sangat terbantu dengan kritik dan saran teman-teman di

Departemen Ilmu Ekonomi, karena itu tiada kata-kata yang mampu melukiskan

rasa terima kasih penulis kepada mereka semua, terutama Imam, Tasya, Adife,

Wirda, Fickry, Mala, Thamic, Ionk, Aira, Febri, andros, Lia, Ade Holis, Nonon,

Isma, Ryan, Rudi, Soichiro, Sotoy dan teman-teman Ilmu Ekonomi yang lain

khususnya angkatan 39 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

9. Keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, kepada seluruh Dosen dan Staf yang selalu memberikan dukungan

kepada penulis semasa penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lainnya

yang membutuhkan.

Bogor, September 2006

Muhammad Iqbal Triajie H14102118

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .............................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii

I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8

1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .......... 10

2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10

2.1.1 Sistem Agribisnis. ............................................................. 10

2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan................................................ 11

2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan... 13

2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas.................... 14

2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan............................. 16

2.1.6. Teori Residual Solow ........................................................ 17

2.1.7. The Law of Diminishing Return ........................................ 19

2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas ......................................... 21

2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya............................................. 22

2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 25

2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran......................................................................... 25

2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi ....................................... 27

2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 28

2.4. Hipotesis........................................................................................ 32

III. METODE PENELITIAN .................................................................. 33

3.1. Lokasi Penelitian........................................................................... 33

3.2. Waktu Penelitian ........................................................................... 33

3.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 33

3.4. Metode Analisis ............................................................................ 34

3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool).............................................. 35

3.4.1. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total ................. 37

3.4.2. Estimasi ................................................................................ 38

3.5. Pengujian Model ........................................................................... 43

3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)........................................... 44

3.5.2. Uji-F .................................................................................... 44

3.5.3. Uji-t ..................................................................................... 45

3.6. Evaluasi model .............................................................................. 45

3.6.1. Heteroskedastisitas.............................................................. 45

3.6.2. Multikolinieritas ................................................................. 46

3.6.3. Autokorelasi ........................................................................ 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 48

4.1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB..................... 48

4.2. Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia .................................. 52

4.3. Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia ............ 53

4.4. Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan ................................ 56

4.5. Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan ................... 59

4.5.1. Pengujian Model ................................................................ 61

4.5.2. Tenaga Kerja (Labor).......................................................... 63

4.5.3. Faktor Modal (Capital)........................................................ 67

4.6. Peranan Teknologi ........................................................................ 72

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 77

5.1. Kesimpulan ................................................................................... 77

5.2. Saran.............................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81

LAMPIRAN.................................................................................................... 84

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)........................................................................................................48

4.2. Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 1993-2005** (persen)........................................................................................................49

4.3. Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen) .....................................................................................50

4.4. Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp) ......................................................51

4.5. Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja..........................54

4.6. Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan (persen) ...........58

4.7. Hasil Regresi dengan metode PLS..............................................................60

4.8. Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan (persen)..66

4.9. Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan (persen)............67

4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (persen) .......................69

4.11. Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan (persen)........................................................................................................74

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Kurva Kemungkinan Produksi......................................................................18

2.2. Kurva Produk Total dan Marjinal .................................................................20

2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Kunci dalam Sistem Agribisnis.......29

2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional..............................................31

4.1 Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Dalam Industri Pengolahan Makanan .....55

4.2 Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan..............................................55

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003........................................85

2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja ........................86

3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi .............................86

4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa ...................................87

5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total.....................................87

6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1 .............................88

7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan .......................88

8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output.......................89

9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS.................................................................90

10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS ..............................................................91

11. Hasil Perhitungan Statistik Chow ...................................................................92

12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section ..............................................92

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan bahan pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan

yang cukup pesat seiring pertumbuhan penduduk yang berakselerasi secara cepat.

Jika diibaratkan, pertumbuhan penduduk yang meningkat berdasarkan deret

geometri semakin sulit diimbangi dengan produksi makanan dan bahan pangan

yang berkembang berdasarkan deret aritmatika. Dibutuhkan produktivitas yang

sangat tinggi dalam memproduksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan

penduduk setiap tahunnya. Untuk mencapai pertumbuhan produktivitas yang

tinggi tersebut diperlukan adanya peningkatan produktivitas dalam industri

pertanian sebagai pemasok bahan baku produk pangan dan peranan industri

pengolahan makanan sebagai stimulus bagi pertumbuhan produksi bahan pangan

secara keseluruhan untuk mencukupi standar ketahanan pangan nasional. Isu

ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan penting yang dapat

dipecahkan dengan pendekatan sistem agribisnis.

Selama beberapa tahun ini studi internasional telah banyak yang

mengangkat tema agribisnis. Tekanan yang berganda akibat adanya pertumbuhan

penduduk dan perubahan lingkungan menyebabkan studi mengenai agribisnis

lebih berkembang. Pada sisi pasar, sektor agribisnis dihadapkan pada kehadiran

pemain-pemain baru dalam saluran distribusi dan komersialisasi yang

berhubungan dengan permintaan konsumen yang semakin eksklusif, seperti

kesehatan, ramah lingkungan, dan produk-produk yang terdiversifikasi. Pada sisi

perusahaan, ada transformasi dari industri kecil dan rumah tangga ke industri-

industri besar yang berkembang berdasarkan rantai produksi dan distribusi.

Pada sektor industri yang lain, penetapan tujuan perusahaan dapat

ditentukan berdasarkan struktur kordinasi masing-masing perusahaan. Dalam

sektor agribisnis, tujuan perusahaan menuntut adanya penyeragaman strategi dari

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah stakeholders (pemegang peranan)

yang sangat besar yang memiliki hubungan yang mengacu kepada kegagalan

pasar dan memiliki perbedaan kepentingan. Untuk itu analisis agribisnis menuntut

adanya pendekatan yang dinamis dan sistematis daripada yang statis dan lokal,

dan perhatian akan investasi untuk mencapai optimisasi jangka panjang yang

dinamis dari sistem secara keseluruhan.

Pada saat ini, mengacu pada peningkatan permintaan untuk bahan pangan,

pengetahuan tentang pertanian telah berkembang lebih luas dan menjadi

instrumen dalam perubahan industri dari pertanian milik keluarga menjadi industri

pertanian yang lebih besar. Pertanian modern telah memanfaatkan teknik kultivasi

dan budidaya ternak, kemudian mentransfer fungsi penyimpanan, pemrosesan dan

distribusi dari tanaman pangan dan ternak seperti yang terjadi pada industri-

industri lainnya selain industri pertanian. Fenomena ini menyebabkan, klasifikasi

tradisional mengenai kegiatan sektor primer, sekunder dan tersier membuka jalan

bagi analisis yang terfokus kepada sistem hubungan dari produksi, pemrosesan

dan komersialisasi dari produk pertanian yang orisinil. Isu sentral dalam studi

agribisnis ini adalah integrasi dari rantai produksi, yang mengacu kepada

pendekatan sistem komoditi (Davis dan Goldberg dalam Wilk dan Fensterseifer,

2002). Artinya sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer,

dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu

(up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang

biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream

agribusiness), dan jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan

pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian

dan pengembangan, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya (Saragih, 1998).

Menurut Saragih (1998), struktur sektor agribisnis untuk hampir semua

komoditi dewasa ini masih tersekat-sekat. Subsistem agribisnis hulu (produksi dan

perdagangan saprotan) dan subsistem agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian

dan perdagangan) dikuasai oleh pengusaha menengah-besar yang bukan petani.

Sedangkan pada subsistem agribisnis usahatani merupakan porsi ekonomi petani.

Hal ini menyebabkan pendapatan petani sulit mengalami peningkatan karena

added value (nilai tambah) pada subsistem usahatani sangat kecil, jauh lebih kecil

dari nilai tambah yang didapatkan oleh pengusaha menengah-besar yang berada

pada subsistem agribisnis hulu dan hilir. Dalam isu ketahanan pangan yang

diangkat dalam penelitian ini, subsistem agribisnis hilir merupakan subsistem

yang paling berpengaruh terhadap terpenuhinya standar kecukupan pangan

masyarakat.

Standar kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh dua

aspek, pertama availability (ketersediaan) dan accesibility (keterjangkauan).

Aspek availability menuntut adanya sinergisitas dari seluruh subsistem dalam

sistem agribisnis, sehingga produksi bahan pangan semakin meningkat sebanding

dengan pertumbuhan permintaan konsumen. Sedangkan untuk aspek accesibility

diperlukan peranan yang sangat dominan dari subsistem agribisnis hilir, karena

subsistem ini berhubungan langsung atau merupakan subsistem yang paling dekat

dengan konsumen. Sehingga dalam isu ketahanan pangan ini subsistem agribisnis

hilir merupakan subsistem yang paling berpengaruh.

Karena itu, penelitian ini meneliti lebih dalam mengenai industri

pengolahan makanan, yang merupakan subsistem agribisnis hilir, dan

produktivitasnya guna mengetahui lebih jauh prospek pencapaian food security

(keamanan pangan) pada masa yang akan datang. Namun, seperti yang telah

dijelaskan di awal, pembahasan mengenai subsistem agribisnis hilir ini tidak

terlepas dari subsistem-subsistem agribisnis yang lainnya, karena pemahaman

tentang agribisnis sebagai satu kesatuan sistem yang berinteraksi secara

menyeluruh dan saling berkaitan satu sama lain.

1.2. Perumusan Masalah

Industri pengolahan memberikan sumbangan PDB yang cukup besar dan

sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri nasional secara keseluruhan,

karena itu pertumbuhan pada sektor industri pengolahan dapat mencerminkan

pertumbuhan pada industri nasional. Begitu juga masalah yang terjadi pada

industri pengolahan makanan pada saat ini. Permasalahan nasional yang sedang

terjadi pada saat ini adalah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,

rendahnya pertumbuhan ekonomi, melambatnya perkembangan ekspor Indonesia,

lemahnya sektor infrastruktur, dan tertinggalnya kemampuan nasional di bidang

penguasaan teknologi (Deprin, 2005).

Laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh penciptaan

lapangan pekerjaan baru menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi dan

semakin ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan. Persaingan dalam mencari

kerja ini menyebabkan menurunnya upah yang diterima oleh pekerja sehingga

menurunnya pendapatan per kapita, yang pada akhirnya menyebabkan angka

kemiskinan semakin meningkat. Rendahnya pendapatan dan produktivitas pekerja

menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena krisis

ekonomi pada periode 1997 menambah kelesuan perekonomian pada semua

sektor yang menyebabkan terjadinya resesi ekonomi dan penurunan tajam dalam

pendapatan nasional Indonesia. Sehingga kegiatan pembangunan seperti

pengembangan infrastruktur dan teknologi terhambat. Sementara perkembangan

ekspor Indonesia pun melambat dengan menurunnya produktivitas pada saat krisis

ekonomi.

Berdasarkan kebijakan pembangunan industri nasional yang

dipublikasikan oleh Deprin (2005) berbagai masalah pokok yang sedang dihadapi

oleh sektor industri yaitu: Pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap impor

baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen.

Kedua, keterkaitan antara sektor industri dan sektor industri dengan sektor

ekonomi lainnya relatif masih lemah. Ketiga, struktur industri hanya didominasi

oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses produksinya pendek. Keempat,

ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang industri. Kelima,

lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa. Keenam,

masih lemahnya peranan kelompok Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam

sektor perekonomian.

Ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor disebabkan strategi

pemerintah yang memfokuskan pada sektor-sektor industri yang mengutamakan

teknologi tinggi, padahal merupakan foot loose industry. Sedangkan keterkaitan

antara sektor industri yang masih lemah disebabkan oleh, tidak adanya hubungan

organisasi fungsional antara sektor industri dan hanya diikat oleh hubungan pasar

produk antara. Tahapan produksi dari cabang-cabang industri nasional pun

terkesan pendek, karena struktur sektor industri terutama sektor agribisnis yang

masih tersekat-sekat untuk sebagian besar komoditi. Dan permasalahan-

permasalahan lainnya pun terjadi karena tidak tuntasnya pembangunan dalam

sektor agribisnis nasional.

IKM pada industri pengolahan makanan sulit berkembang karena

kurangnya akses terhadap modal dan kurangnya nilai tambah produk mereka,

karena IKM yang mengolah bahan pangan sebagian besar berkembang dari

kegiatan usahatani primer, yang merupakan subsektor agribisnis yang

mendapatkan porsi nilai tambah yang paling kecil. Pasar bagi industri pengolahan

makanan pun masih dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dengan modal yang

banyak sehingga semakin menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk

bersaing dalam industri ini.

Peranan teknologi pada industri pengolahan makanan masih kurang

dioptimalkan, seperti pada industri-industri lainnya di Indonesia. Teknologi secara

teknik maupun di bidang informasi akan memegang peranan penting bagi

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Banyak produsen makanan hanya

terpaku pada industri yang dikembangkan dari luar negeri. Keberanian untuk

merekayasa dan mengaplikasikan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri

masih kurang. Lemahnya proses adopsi dan pengembangan teknologi ini terutama

disebabkan oleh kualitas tenaga kerja yang masih rendah karena tingkat

pendidikan dan kesadaran untuk belajar dari masyarakat secara umum masih

kurang. Teknologi yang sulit berkembang di nusantara ini menjadi permasalahan

utama yang menghambat pertumbuhan yang berkelanjutan pada sektor industri

terutama industri pengolahan makanan. Berbagai permasalahan dan fenomena

yang dijelaskan diatas, menyebabkan ambiguitas dalam mengidentifikasi sumber

pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia. Sehingga pertanyaan

yang tersirat adalah, sumber pertumbuhan apakah yang paling dominan dalam

pertumbuhan industri pengolahan makanan? Dan apakah pertumbuhan industri

pengolahan makanan di Indonesia akan berlangsung secara sustainable

(berkelanjutan)?

Dari uraian sebelumnya permasalahan-permasalahan yang akan dianalisis

dalam penelititan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bagaimana tren pertumbuhan dalam industri pengolahan makanan pokok?

2. Apa yang menjadi sumber pertumbuhan utama pada industri pengolahan

makanan dan bagaimana pertumbuhan input (factor accumulation) dan

pengembangan teknologi (technological progress) pada industri

pengolahan makanan?

3. Berapa besar signifikansi masing-masing sumber pertumbuhan terhadap

produktivitas industri pengolahan makanan?

1.3. Tujuan Penelitian

Analisis tentang sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan

makanan ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia.

2. Menganalisis sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan

makanan di Indonesia.

3. Menganalisis signifikansi dari sumber-sumber pertumbuhan produktivitas

industri pengolahan makanan di Indonesia, diantaranya Factor

Accumulation (Akumulasi Faktor) dan Technological Progress (Kemajuan

Teknologi).

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang analisis sumber-sumber pertumbuhan industri

pengolahan makanan ini berguna untuk mengetahui potensi-potensi yang ada pada

industri pengolahan makanan yang dapat dipergunakan sebagai modal bagi

pertumbuhan industri ini. Bagi masyarakat luas penelitian ini dapat memberikan

wawasan lebih khususnya, mengenai karakteristik pertumbuhan industri

pengolahan makanan sebagai salah satu sektor penunjang sistem agribisnis di

Indonesia. Dengan penelitian ini masyarakat akan mengetahui apa saja sumber-

sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan dan bagaimana sumber-

sumber pertumbuhan tersebut mempengaruhi produktivitas dalam industri

tersebut, sebagaimana yang terjadi pada industri-industri yang lainnya.

Penelitian ini juga dapat menjadi saran bagi pembuat kebijakan, khususnya

dalam lingkup industri pengolahan makanan, dan juga dapat menjadi masukan

bagi para praktisi pada sektor industri ini. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi

literatur bagi penelitian-penelitian yang lain pada masa yang akan datang yang

berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan suatu industri. Selain itu,

penelitian ini memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan

kemampuan akademis, dan memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman

yang nantinya sangat berguna untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dalam ruang lingkup negara Indonesia dan

dikhususkan pada industri pengolahan makanan menurut kode ISIC (International

Standard Industrial Classification of All Economics Activities, KBLI) 151-154

berdasarkan buku statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh

BPS. Spesifikasi lebih lanjut dilakukan dengan hanya mengambil data-data

mengenai industri yang produknya bersifat kebutuhan pokok (pangan strategis)

dan merupakan barang konsumsi yang umum bagi masyarakat luas.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Sistem Agribisnis

Istilah agribusiness (agribisnis) pertama kali diperkenalkan oleh Davis dan

Goldberg, yaitu suatu sistem yang terdiri dari: (1) sektor industri input pertanian,

(2) sektor industri pemroduksi (usahatani), dan (3) sektor industri pengolahan-

manufaktur, dan ketiga sektor tersebut berkaitan erat dalam satu sistem dan setiap

sektor sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor yang lain (Beierlein dan Woolverton,

1991). Menurut Drilon Jr dalam Saragih (1998) agribisnis adalah jumlah total dari

seluruh kegiatan yang melibatkan industri Saprotan (Sarana produksi pertanian)

dan pendistribusiannya, aktifitas produksi usahatani (pertanian primer),

penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari komoditas pertanian. Menurut

Saragih (1998), sistem agribisnis mengandung pengertian sebagai rangkaian

kegiatan beberapa subsistem agribisnis yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Dengan perkataan lain, sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari

pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem

agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang

menghasilkan (agroindustri hulu) dan memperdagangkan sarana produksi

pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit atau benih, alat dan

mesin pertanian dan barang lainnya); subsistem usahatani (on-farm agribusiness)

yang di masa lalu kita sebut sebagai sektor pertanian primer; subsistem agribisnis

hilir (down-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil

pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk

dimasak atau siap untuk disaji (ready to cook or ready for used) atau siap untuk

dikonsumsi (ready to eat) beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestic dan

internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan

dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis,

penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis, dan lain

sebagainya (Saragih, 1998).

2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan

Secara hakiki ketahanan pangan (food security) dapat diartikan sebagai

terjaminnya akses pangan untuk segenap rumah tangga dan individu setiap waktu,

sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Rachman dan Ariani, 2002).

Konsepsi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dari dua aspek,

pertama ketersediaan (availability) bahan pangan bagi terpenuhinya kebutuhan

masyarakat akan bahan pangan baik akan jumlahnya, kualitas serta nutrisi atau

keseimbangan gizi yang terdapat di dalamnya. Aspek kedua yang harus

diperhatikan dalam konsepsi ketahanan pangan adalah, akses masyarakat terhadap

bahan pangan tersebut (accessibility). Ketersediaan pangan belum menjamin

kemudahan akses masyarakat terhadap bahan pangan, tapi akses sangat

bergantung pada ketersediaan pangan. Pendapatan masyarakat dan tingkat harga

produk-produk pertanian merupakan faktor utama yang mempengaruhi akses

masyarakat terhadap bahan pangan. Bilamana salah satu unsur tersebut tidak

terpenuhi, maka ketahanan pangan rumah tangga akan terganggu (Rachman dan

Ariani, 2002).

Pemahaman tentang ketahanan pangan telah mengalami evolusi seiring

dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1970-an ketahanan

pangan hanya ditekankan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada tingkat

nasional dan global. Dalam kurun waktu 1980-an ketahanan pangan mulai

memperhatikan akses masyarakat terhadap sumberdaya pada tingkat rumah

tangga dan individu, pada masa ini sudah dimulai usaha-usaha untuk pemenuhan

kebutuhan pangan secara lebih merata, sehingga setiap individu bisa mendapatkan

bahan pangan dengan mudah dan dijamin ketersediaannya.

Dalam era yang lebih modern lagi dimana telah banyak dilakukan inovasi

dan pengembangan teknologi pada tahun 1990-an sampai saat ini, ketahanan

pangan lebih mengarah kepada paradigma baru, yaitu ketahanan berkelanjutan

(sustainable food security paradigm). Pertanyaannya sekarang adalah “dapatkah

dunia memproduksi pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh

kelompok miskin dan tidak merusak lingkungan?”, sehingga proses pemenuhan

kebutuhan pangan dapat dilaksanakan secara kontinu dari waktu ke waktu tanpa

harus mengkhawatirkan terjadinya kelangkaan bahan pangan karena

ketersediaannya selalu terjaga seiring terpeliharanya lingkungan dan sumberdaya

alam yang diperlukan untuk memproduksi bahan makanan tersebut. Dalam

paradigma ketahanan pangan berkelanjutan ini perlu dipertimbangkan empat

indikator utama (Maxwell, 1996 dalam Rachman dan Ariani, 2002) yaitu : (1)

ketersediaan pangan (food availability), (2) aksesibilitas secara fisik dan ekonomi

(pemberdayaan ekonomi masyarakat), (3) kerentanan terhadap resiko

(vulnerability), dan (4) Keberlanjutan (sustainability).

2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan

Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis

yang mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2005).

Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya

tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan

demikian, konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk

menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis).

Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio output-input atau

produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis).

Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling tidak

ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber

pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut.

Dalam mengidentifikasi sumber pertumbuhan baru ini tentunya bisa dilakukan

secara horizontal yaitu dengan mengembangkan komoditas industri pengolahan

makanan melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor industri

pengolahan makanan dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan

produktivitas pengolahan makanan yang dikaitkan dengan agroindustri, karena

agroindustri berkaitan erat dengan sektor industri pengolahan makanan sebagai

penyedia bahan mentah. Produktivitas industri pengolahan makanan merupakan

sumber bagi pertumbuhan di sektor industri pengolahan makanan. Peningkatan

produksi industri pengolahan makanan dapat dicapai dengan peningkatan

teknologi pengolahan. Dengan peningkatan teknologi pengolahan memungkinkan

tercapainya peningkatan produksi dari faktor produksi yang tetap. Dengan

demikian pengembangan teknologi pengolahan merupakan suatu langkah yang

strategis bagi peningkatan produktivitas industri pengolahan makanan.

2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas

Proses produksi tidak dapat terlaksana jika faktor-faktor yang diperlukan

tidak terpenuhi, dengan demikian faktor produksi dapat didefinisikan sebagai

seluruh sumberdaya yang dipergunakan untuk memproduksi berbagai barang dan

jasa dalam perekonomian. Ekonom neoklasik membagi faktor produksi tersebut

ke dalam tiga bagian (Nicholson, 2002): (1) lahan atau sumber daya alam seperti

tanah dan mineral yang dipergunakan dalam menciptakan produk, biaya untuk

pemanfaatan sumber daya alam disebut sewa (rent), (2) tenaga kerja, yaitu upaya

manusia dalam proses produksi termasuk kemampuan teknis dan marketing yang

dibayar dengan upah (wage), (3) barang modal adalah barang buatan manusia

(atau input fisik) yang dipergunakan dalam memproduksi barang lain, termasuk

mesin, peralatan dan bangunan.

Menurut Samuelson dalam Sugiyono (2000) secara umum ada empat

faktor yang dipergunakan sebagai modal untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi baik di Negara Industri Maju (NIM) maupun Negara Berkembang

(NSB), diantaranya :

1. Sumber daya manusia (tenaga kerja, pendidikan, disiplin, dan motivasi).

2. Sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar, dan cuaca).

3. Pembentukan modal (mesin, pabrik, dan jalan).

4. Teknologi (ilmu pengetahuan, teknik, manajemen, dan ketrampilan)

Menurut Supriyanto (2002), sumber-sumber pertumbuhan supply side

berasal dari produktivitas dan accumulation factor. Peningkatan produktivitas

terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi,

sedangkan factor accumulation bersumber dari endowment factor dan harga-harga

input. Analisis pertumbuhan dari sisi penawaran (supply-side analysis) bertitik

tolak pada kaidah produktivitas, baik secara langsung melalui pengaruh input

(direct impact, embodied) maupun perubahan eksternal faktor (indirect impact,

disembodied). Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui efisiensi dan

atau pengembangan teknologi dalam pengertian luas.

Efisiensi bersumber dari tiga sumber, yakni efisiensi teknis, efisiensi

alokatif atau harga, dan efisiensi ekonomi skala usaha. Sedangkan teknologi

bersumber dari dua hal, yakni neutral-technological change dan bias-

technological change. Namun demikian, pengertian antara efisiensi dan teknologi

secara mendasar adalah sama. Pada konsep TFP konvensional-neutral

technological change, pengukuran produktivitas didasarkan pada efisiensi teknis

(efisiensi teknologi), dimana terdapat pada asumsi (kondisi) bahwa perubahan

output tanpa dipengaruhi perubahan input, yakni pada kondisi neutral-

technological change dan asumsi constant return to scale. Sedangkan konsep TFP

konvensional-bias technological change menyatakan bahwa porduktivitas terjadi

karena perubahan marginal rate of technical substitution (efisiensi harga) dan

kondisi perusahaan diasumsikan constant return to scale (Supriyanto, 2002).

2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan

Industri didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang

sejenis, dengan demikian industri pengolahan makanan dapat didefinisikan

sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang kegiatan utamanya adalah

mengolah atau memproduksi bahan pangan. Industri pengolahan adalah suatu

kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara

mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau barang

setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang

lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat dengan pemakai akhir (BPS, 2003).

Jasa industri dan pekerjaan perakitan masuk ke dalam kegiatan ini.

Jasa industri menurut BPS (2003), didefinisikan sebagai kegiatan industri

yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh

pihak lain sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan

mendapatkan imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah

makloon). Misalnya, perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan

menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.

Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang

melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak

pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi

tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang

bertanggung jawab atas usaha tersebut (BPS, 2003). Penggolongan industri

pengolahan makanan merujuk pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

(KBLI, ISIC: International Standard Industrial Classification of all Economic

Activities). Kode golongan makanan menurut KBLI adalah 311-312 (hingga

1997), dan direvisi menjadi 151-154 (sejak tahun 1998 hingga sekarang).

2.1.6. Teori Residual Solow

Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output

tahunan selama selang waktu t. Ia menyatakan bahwa jumlah output akan

ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber

daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Ia menduga

produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP

dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi maka:

Y = F(K, A(t)·L) (2.1)

dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu, dimana A > 0 dan

dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan

produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade.

Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output

dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap.

Teori produktivitas ini disebut sebagai ”residual” karena menjelaskan

produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari

metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan

ekonomi terhadap akumulasi faktor dan berapa besar pengaruh dari

pengembangan teknologi. Berdasarkan grafik 2.1. yang mengilustrasikan

kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua

variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan

sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan

kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke

kanan atas dari A ke B dan B ke C.

K (unit)

C

B

A

0 L (jam)

Sumber: Nicholson, 2002.

Gambar 2.1. Kurva Kemungkinan Produksi

Perhitungan pertumbuhan standar menurut Solow, mengasumsikan

keberadaan fungsi produksi agregat neoklasik, homogenus tingkat satu, dengan

constant return to scale (skala pengembalian konstan), diminishing returns to

scale (pengembalian yang semakin menurun) untuk setiap input, dan elastisitas

substitusi yang positif. Solow menggunakan kerangka teori ini untuk

mengestimasi tingkat pertumbuhan produktivitas pada sektor manufaktur

perekonomian Amerika serikat dalam periode 1909-1949.

Peran penting dari makalah Solow yaitu, mempercepat analisis mengenai

kemajuan teknologi sebagai kategori residual pada saat Ia menemukan bahwa

pertumbuhan produktivitas terhitung sebesar 80 persen dari pertumbuhan

keseluruhan pada sektor manufaktur pada periode tersebut. Hasil penelitian Solow

memberikan jalan bagi penelitian tentang produktivitas, dan mengubah pandangan

kebijakan pertumbuhan yang menekankan pada tabungan (saving) menjadi

penekanan pada seluruh faktor yang dipercaya berada dalam residual, misalnya,

teknologi, pendidikan, R&D, manajemen dan faktor-faktor lainnya.

2.1.7. The Law of Diminishing Returns

Teori ini dilihat melalui pembentukan kurva produksi total suatu

perusahaan, yang menghubungkan input yang digunakan dalam proses produksi

dengan kuantitas output yang dihasilkan. Produk Total (Total Product, TP) adalah

jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika semua input

kecuali satu faktor saja dijaga konstan (fixed), TP akan berubah menurut banyak

sedikitnya faktor variabel yang digunakan. Produk Rata-Rata (Average Product,

AP) adalah TP dibagi jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk

memproduksinya (Lipsey et al, 1995).

TPAPX

= (X = L, K,.....,N) (2.2)

dimana X diasumsikan sebagai jumlah unit variabel yang digunakan dalam proses

produksi. Tingkat output dimana AP mencapai maksimum disebut titik

berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity).

Sampai dengan titik ini AP akan terus naik, diluar titik ini produktivitas rata-rata

akan turun. Produk Marjinal (Marginal Product, MP), atau produksi inkremental

(Incremental Produk), atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam

TP sebagai akibat satu unit tambahan penggunaan variabel.

TPMPX

Δ=Δ

(X = L, K,.....,N) (2.3)

Sumber: Lipsey et al, 1995.

Gambar 2.2. Kurva Produk Total dan Marginal

Tingkat output dimana produk marjinal mencapai maksimum dinamakan

titik berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal

productivity). Ilustrasi kurva TP dan MP dapat dilihat pada gambar 2.1. Naik

turunnya output yang diakibatkan oleh penggunaan lebih banyak atau lebih sedikit

Prod

uk T

otal

Produktivitas rata-rata maksimum

Kuantitas Input

Titik produktivitas marginal yang berkurang

Titik Produktivitas rata-rata yang berkurang

Prod

uk p

er u

nit

inpu

t

TP

AP MP

Kuantitas Input

suatu faktor variabel terhadap jumlah tertentu faktor produksi yang tetap tunduk

pada hipotesis ekonomi hasil lebih yang semakin menurun (Diminishing Returns).

Jika output naik dalam jangka pendek, makin banyak faktor variabel harus

digabungkan dengan sejumlah tertentu faktor tetap. Akibatnya adalah setiap unit

faktor variabel memiliki faktor tetap yang makin lama makin berkurang.

Akhirnya, makin banyak faktor variabel digunakan, MP bisa mencapai ke titik nol

dan berubah menjadi negatif.

2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas

Dalam model persamaan yang memiliki tiga variabel, fungsi Cobb

Douglas sering digunakan, karena kesederhanaan dan efisiensi dari fungsi

tersebut. Fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dalam notasi yule dengan

cara berikut (Gujarati, 1978):

12,3 13,21,23 2 3i i iY X Xβ ββ= (2.4)

persamaan (2.4) bisa dinyatakan dalam bentuk logaritma yaitu:

0 12,3 2 13,2 3ln ln lni i iY X Xβ β β= + + (2.5)

dimana Y = hasil produksi (output), X2 adalah input tenaga kerja, X3 adalah input

modal, dan β 0 adalah ln β 12,3. Ciri-ciri fungsi produksi Cobb Douglas sudah

dikenal dengan baik, contohnya β 12,3 dan β 13,2 menyatakan elastisitas dari upah

dan modal. Penjumlahan dari kedua elastisitas tersebut menjelaskan tentang

pengaruh skala hasil terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika

penjumlahannya adalah sama dengan satu, maka terdapat pengaruh skala hasil

yang konstan (constant return to scale), kalau lebih kecil dari satu maka maka

terdapat pengaruh skala hasil yang menurun terhadap tingkat output (decreasing

return to scale). Sedangkan jika penjumlahannya lebih dari satu maka ada

pengaruh skala pengembalian hasil yang meningkat (increasing return to scale).

2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya

Mohamad Maulana (2004) dalam penelitiannya tentang peranan luas

lahan, intensitas pertanaman dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan

sektor pertanian selama periode 1980-2001 mengungkapkan bahwa penurunan

produksi padi sawah pada periode tersebut mengalami penurunan yang cukup

tajam. Dari tiga sumber pertumbuhan yang diteliti, hanya intensitas pertanaman

yang menjadi sumber pertumbuhan sedangkan dua sumber lainnya

memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung negatif. Pertumbuhan luas lahan

yang semakin menurun terutama disebabkan oleh beralihnya fungsi lahan dari

pertanian ke nonpertanian. Sementara produktivitas dari 77 New High Yielding

Variety (NHYV) yang dirilis pemerintah masih belum menunjukkan peningkatan

yang berarti. Indeks TFP padi sawah menunjukkan bahwa berfluktuasinya

pertumbuhan penggunaan input tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan

produksi yang cenderung terus menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa

produktivitas mengalami leveling off yang disebabkan oleh stagnasinya

kemampuan berproduksi varietas padi sawah dan tingkat adopsi inovasi teknologi

petani yang masih rendah. Penyebabnya adalah modal yang terbatas, harga input

yang semakin tinggi dan harga output yang rendah. Di samping itu, menurunnya

kualitas lahan sawah dan mutu usahatani juga berpengaruh terhadap penurunan

produktivitas padi sawah.

Supriyanto (2002) dengan tesis berjudul dekomposisi dan dinamika

sumber-sumber pertumbuhan industri kecil dan rumah tangga di Indonesia dengan

analisis Total Factor Productivity, menganalisis sumber-sumber pertumbuhan

bagi industri kecil dan rumah tangga. Dalam penelitian ini digunakan fungsi

produksi rata-rata, deterministic frontier dan stochastic frontier dengan metode

translog dan diregresi dengan menggunakan OLS dan COLS.

Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah pertama,

peranan teknologi (TFPG) dalam pertumbuhan IKRT sangat besar secara

berurutan: teknologi eksogenus, skala usaha, efisiensi teknis, dan teknologi

endogenus. Kedua, berdasarkan neoklasik protagonis, besarnya peranan TFPG

dibanding akumulasi faktor menunjukkan pertumbuhan IKRT akan berkelanjutan.

Berdasarkan neoclassic assimilationist, walaupun input driven berperan lebih

besar dibanding TFPG, seperti pada saat krisis, namun terdapat peranan embodied

technology yang melekat pada faktor produksi maka pertumbuhan IKRT akan

berkelanjutan. Ketiga, respon kontribusi teknologi terhadap output pada saat krisis

secara umum adalah penurunan kontribusi teknologi eksogenus, teknologi

endogenus, skala usaha dan peningkatan efisiensi teknis.

Untuk sektor makanan memiliki daya saing usaha, karena pada saat krisis

ekonomi peningkatan efisiensi teknis diikuti oleh peningkatan pertumbuhan

output dan skala usaha. Saran dari penelitian yang dilakukan supriyanto (2002),

secara umum adalah diperlukan adanya perbaikan lingkungan usaha yang lebih

kondusif (conducive business environment) melalui perbaikan layanan usaha

(Business Development Service, BDS). Khusus pada industri makanan,

diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja karena peranan teknologi

embodied (endogenus) pada masing-masing faktor sangat tinggi melalui pogram

penelitian.

Penelitian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans)

pada tahun 2003, melakukan pengukuran dan analisis produktivitas faktor total

(PTF) sektor industri pengolahan. Persamaan yang digunakan adalah fungsi

produksi translog dengan variabel tenaga kerja dan kapital. Penelitian

menganalisis perkembangan sektor industri pengolahan dan pertumbuhan

produktivitas sektor industri pengolahan. Ruang lingkup penelitian meliputi

seluruh industri pengolahan secara luas di Indonesia baik yang berukuran besar,

sedang, menengah, dan kecil (rumah tangga). Periode penelitian dilakukan

berdasarkan data yang tersedia mulai tahun 1993 sampai 2002.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, pertama,

pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan selama tahun 1993-2002 semakin

menurun. Hal Ini juga menyebabkan menurunnya kontribusi pertumbuhan PTF

dalam pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan. Kedua, pertumbuhan PTF

sektor industri pengolahan sebelum masa krisis ekonomi (sebelum tahun 1998)

lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan setelah masa krisis (setelah tahun

1998). Ketiga, sebelum krisis ekonomi dengan pertumbuhan stok kapital cukup

tinggi dan pertumbuhan tenaga kerja relatif stabil, pertumbuhan PTF sektor

industri pengolahan cukup tinggi. Disini dorongan pertumbuhan stok kapital pada

pertumbuhan output sektor industri pengolahan masih lebih tinggi dari pada

tenaga kerja. Pada waktu krisis kontribusi pertumbuhan PTF di sektor industri

pengolahan masih dapat menyangga pertumbuhan PDB di sektor industri

pengolahan terbukti dengan kontribusi pertumbuhan PTF yang cukup tinggi.

Penelitian yang dilakukan Depnakertrans ini pun menyarankan beberapa

rekomendasi. Antara lain, perlu dilakukan penelitian pertumbuhan PTF sektor

industri pengolahan untuk setiap jenis industri (ISIC/KLUI minimal 2 digit). Di

samping itu penelitian menurut sub sektor industri pengolahan juga perlu

dilakukan seperti pada industri besar dan sedang serta industri kecil dan kerajinan

rumah tangga, karena pertumbuhan PTF yang dihasilkan pasti akan berbeda.

Dengan memperhatikan seluruh potensi yang ada di sektor industri

pengolahan seperti, besaran ICOR, produktivitas, efisiensi dan sebagainya

penelitian dapat dilanjutkan pada jenis industri yang menjanjikan masa depan

yang bagus. Disamping itu perlu pula dilakukan penelitian sektor-sektor ekonomi

lainnya untuk analisa perbandingan dan penyusunan kebijakan sektoral yang

optimal. Perlu dilakukan studi dan penelitian yang intensif untuk mendapatkan

data kapital dan tenaga kerja yang lebih baik di sektor industri pengolahan,

sehingga hasil perhitungan PTF juga akan semakin baik. Perlu dibentuk jaringan

data yang lebih komprehensif dan terkini untuk menghasilkan PTF yang lebih

baik di sektor industri pengolahan.

2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis

2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran

Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat

dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan

produktivitas total faktor produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah

produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total

produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi.

Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu

faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi

lainnya. Oleh karena itu, konsep ini tidak banyak manfaatnya jika faktor produksi

lebih dari satu jenis (Simatupang, 1997). Jika faktor produksi yang digunakan

lebih dari satu jenis, maka konsep produktivitas yang lebih banyak digunakan

adalah produktivitas total faktor produksi. Produktivitas total faktor produksi

didefinisikan sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total faktor

produksi (input) (Sayaka dalam Supriyanto, 1995).

Chamber dalam Simatupang (1997) menyatakan bahwa produktivitas total

faktor produksi adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai

satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output secara

keseluruhan (output agregat). Dalam prakteknya total faktor produksi biasanya

diukur dalam angka indeks sehingga langsung dapat mencerminkan tingkat relatif

antarwaktu (inter temporal). Berdasarkan paparan mengenai sumber-sumber

pertumbuhan produktivitas diatas, penggunaan konsep Total Factor Productivity

akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi atau efisiensi secara

menyeluruh. Efisiensi teknis (teknologi netral), efisiensi harga (teknologi bias),

dan economic of scale (technical economic of scale) dapat dihitung secara

bersama-sama.

Metode untuk menghitung TFP dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu

growth accounting dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Penghitungan

pertumbuhan TFP dengan growth accounting sangat terbatas, karena: (1) hanya

dapat menghitung efisiensi teknis (exogeneous, disembodied, dan neutral), (2)

asumsi constant return to scale, (3) tidak dapat menghitung efisiensi harga

(endogeneous, embodied, dan bias technology), serta (4) tidak dapat

menghasilkan besaran elastisitas permintaan input dan penawaran output.

Sedangkan pendekatan ekonometrik (ekonomi produksi) dapat menangkap

seluruh komponen efisiensi atau teknologi, sehingga komponen TFP dapat

didekomposisikan. Di sisi lain, pendekatan ekonometrik dapat digunakan untuk

menghitung besaran elastisitas, baik permintaan input maupun penawaran output.

2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi

Ada tiga jenis perubahan yang cenderung mendominasi produksi dan biaya

dalam jangka panjang (Lipsey et al, 1995). Pertama, teknik-teknik baru, selama

abad dua puluh ini teknik-teknik yang tersedia untuk memproduksi produk yang

ada telah berubah secara dramatis. Lima puluh tahun silam jalan-jalan dan rel

kereta api dibangun dengan menggunakan tenaga kerja yang banyak dengan

menggunakan ember, sekop dan ditarik dengan kuda. Sekarang dengan bulldozer,

forklift besar, crane raksasa, dan peralatan khusus lainnya telah menggantikan

buruh kasar. Teknik produksi yang disebut produksi ramping (lean production)

atau manufactur fleksibel dengan cepat menggantikan teknik produksi massal dan

lini rakit yang sudah lama digunakan di banyak industri.

Kedua, produk baru, barang dan jasa yang tersedia secara konstan

mengalami perubahan. Televisi, vaksin, nilon, komputer pribadi, laptop, dan

banyak lagi produk-produk lainnya yang berubah sedemikian rupa sehingga

hubungan satu-satunya antara produk itu dengan komoditi yang ”sama” yang

diproduksi di masa lalu hanyalah nama.

Ketiga, perbaikan input, perbaikan barang yang tak berwujud seperti

kesehatan dan pendidikan meningkatkan mutu jasa tenaga kerja. Para pekerja dan

manajer pada saat ini lebih sehat dan pendidikannya lebih baik dibandingkan pada

jaman dahulu. Pekerja yang tidak ahli pada saat ini umumnya sudah mampu

membaca dan berhitung. Para manajer mungkin sudah terlatih dalam berbagai

metode ilmiah modern dalam manajemen bisnis maupun ilmu pengetahuan

komputer. Perbaikan bahan baku pun mengalami banyak perubahan, misalnya

jenis dan mutu logam yang telah banyak berubah.

2.3. Kerangka Pemikiran Operasional

Latar belakang penelitian ini adalah konsep ketahanan pangan yang perlu

mendapatkan perhatian lebih dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap

bahan pangan seiring pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Peningkatan

produktivitas dan permintaan terhadap jenis bahan pangan yang lebih eksklusif

menuntut sinergisitas sistem agribisnis yang dapat menstimulasi pertumbuhan

sektor agribisnis untuk tumbuh secara berkelanjutan. Penelitian ini kemudian

mengkhususkan pada industri pengolahan makanan dan membahas produktivitas

pada industri tersebut, mengingat peranan industri pengolahan makanan dalam

rantai produksi bahan pangan bagi masyarakat.

Banyak pendekatan yang digunakan dalam studi agribisnis yang

membahas permasalahan-permasalahan secara sepotong-sepotong dan

terspesifikasi, jarang yang menjelaskan secara lengkap mengenai sistem agribisnis

yang sebenarnya lebih kompleks dan beragam.

Sumber: Wilk dan Fensterseifer (2002).

Gambar 2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Strategi Kunci dalam Sistem Agribisnis

PEMERINTAH

Dimensi Strategi Kunci

Tujuan

Sumber daya

Institusi yang Mendukung Perdagangan

Institusi/Lembaga Penelitian

Organisai Non-Pemerintah

Kualitas dan Produktivitas

Kemampuan Berinovasi

Respons Efisien

Konsumen

Keamanan Persediaan

dan Kehandalan

Subsitem Agribisnis

Hulu

Subsistem Usahatani

Subsistem Agribisnis

Hilir

Subsistem Pendukung Agribisnis

Untuk itu perlu ditelusuri subsistem-subsistem dan dimensi-kunci dalam

sistem agribisnis. Seperti digambarkan pada gambar 2.3, sistem agribisnis tidak

hanya melibatkan petani (produsen primer) tapi juga organisasi-organisasi dan

individu-individu yang lebih luas sebagai satu kesatuan sistem secara menyeluruh.

Pemerintah memegang peranan yang sangat sentral dalam

mengembangkan penelitian, difusi pengetahuan dan teknologi dan menyediakan

pembiayaan dan pasar dengan iklim usaha yang baik menggunakan mekanisme

regulasi. Konsumen, yang mengekspresikan permintaan, akan menentukan

strategi yang diambil dalam rantai produksi. Dalam industri makanan, pada

subsistem agribisnis hulu adalah agro-kimia (pemasok pupuk dan pembasmi

hama) dan agro-mesin (pemasok mesin dan peralatan pertanian) yang

menyediakan input bagi subsistem usahatani untuk memproduksi bahan pangan

yang nantinya akan menjadi bahan baku bagi industri pengolahan pada agribisnis

hilir dan hasil produksinya selanjutnya akan didistribusikan kepada masyarakat.

Mengamati peranan yang sangat penting dari industri pengolahan makanan

dalam menghubungkan mata rantai akhir dalam sistem agribisnis dan pemenuhan

ketahanan pangan, maka alur penelitian dilanjutkan pada proses produksi dengan

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam industri

pengolahan makanan. Setelah menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi,

selanjutnya dilakukan identifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri

pengolahan makanan dan signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut.

Signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut dianalisis melalui fungsi

produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan. Selanjutnya fungsi

produksi tersebut diregresi dengan metode OLS menggunakan software E Views

4 dan MS Excel 2003. Bagan alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat

pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional

Pertumbuhan industri pengolahan makanan akan dijelaskan secara

deskriptif melalui data pendukung yang ada dan secara kuantitatif melalui regresi

PRODUKSI Food Industry

INFORMASI

INPUT

OUTPUT

LIMBAH/POLUSI

INFORMASI

ANALISIS KUANTITATIF

ANALISIS DESKRIPTIF

PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN

Hal Yang Dianalisis

Keterangan:

ANALISIS REGRESI MENGGUNAKAN PLS

SOFTWARE: E VIEWS 4 & MS EXCEL

Dianalisis

Tidak Dianalisis

PEREKONOMIAN INDONESIA

FACTOR ACCUMULATION

TECHNOLOGICAL PROGRESS

TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY

FUNGSI PRODUKSI

INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN

persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan. Analisis pertumbuhan

dilakukan melalui sisi penawaran dengan pendekatan fungsi produksi perusahaan.

2.4. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara berdasarkan landasan teori dan konsep.

Berdasarkan teori dan konsep yang telah dipaparkan sebelumnya maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia

mengalami pertumbuhan yang positif setiap tahunnya.

2. Diduga faktor tenaga kerja, bahan baku, energi, sewa, jasa industri sebagai

sumber pertumbuhan melalui akumulasi faktor (input driven) akan

berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan industri

pengolahan makanan.

3. Diduga teknologi merupakan sumber pertumbuhan industri pengolahan

makanan dan memiliki peranan yang positif dan signifikan terhadap

pertumbuhan industri pengolahan makanan (technological driven).

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan

makanan ini mengambil lokasi di wilayah negara Indonesia. Dalam menentukan

lokasi penulis mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: (1) ketersediaan

data mengenai statistik industri pengolahan makanan dan data pendukung lainnya

yang relatif lengkap, (2) isu mengenai ketersediaan dan kecukupan pangan

Indonesia serta potensi industri pengolahan makanan di Indonesia, dan (3) dengan

menganalisis industri pengolahan makanan secara keseluruhan, penelitian ini

dapat membandingkan pertumbuhan pada masing-masing kelompok dalam

industri pengolahan makanan.

3.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada akhir Mei hingga bulan September

2006. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan referensi dan

data, pengolahan data, analisis data hingga penulisan laporan dalam bentuk

skripsi. Penelitian ini meneliti dinamika pertumbuhan industri pengolahan

makanan pada periode tahun 1994 sampai tahun 2005.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berbentuk

data panel mengenai pertumbuhan produksi dan pertumbuhan faktor-faktor

produksi industri pengolahan makanan dan variabel lainnya yang berkaitan untuk

membentuk model persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan di

Indonesia. Sebagian besar data berbentuk data tabel time series (data runtun)

tahunan dalam selama 10 tahun dalam selang waktu antara tahun 1994-2005

mengenai struktur input industri-industri secara agregat menurut Klasifikasi Baku

Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau International Standard Industrial

Classification of All Economics Activities (ISIC) 5 digit, yang dirilis oleh Badan

Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Angka-angka pada tahun 2004 merupakan

angka sementara dan pada tahun 2005 merupakan angka sangat sementara.

Data yang diambil merupakan data industri pengolahan makanan dengan

kode KLUI 3 digit 311 dan 312 pada tahun 1990-1997, dan 151-154 pada tahun

1998 sampai sekarang. Penelitian ini juga dilengkapi oleh literatur-literatur dan

data-data pendukung lainnya yang diambil dari Lembaga Sumber Informasi (LSI)

Institut Pertanian Bogor, LSI Universitas Indonesia, Departemen pertanian

(Deptan), Departemen Perindustrian (Deprin), Departemen Perdagangan Republik

Indonesia (Depdagri), Departemen Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Dep.

KUKM) dan Badan Urusan Logistik (Bulog).

3.4. Metode Analisis

Pertumbuhan menurut teori neoklasik dapat berasal dari dua sumber:

akumulasi faktor dan pertumbuhan produktivitas (Total Factor Productivity:TFP).

Poin penting dari perdebatan teori ini (setidaknya antara fundamentalis dan

asimilasionis) adalah seberapa penting pengaruh kedua komponen ini yang akan

dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Pada awal pembahasan mengenai

pertumbuhan sektor industri pengolahan makanan di Indonesia akan dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif, sedangkan untuk membahas signifikansi

dari sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan digunakan

metode kuantitatif.

Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan

dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna

(Walpole, 1982). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran

dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan

penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada

akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Statistik

kuantitatif digunakan dalam menentukan berapa besar pengaruh dan elastisitas

dari sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan. Metode

yang digunakan adalah metode Pooled Least Square (PLS) dengan melakukan

regresi terhadap data-data industri pengolahan makanan sehingga didapat fungsi

produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan di Indonesia.

3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool)

Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai

ketersediaan data untuk mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian.

Terkadang ditemukan bentuk data dalam series yang pendek dan juga bentuk data

dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula. Dalam teori ekonometrika,

kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan panel data (pooled

data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan

terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan

derajat kebebasan (degree of freedom). Penggunaan data panel telah memberikan

banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari

penggunaan panel data antara lain adalah :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom,

lebih bervariasi, dan lebih efisien.

3. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak

dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.

4. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.

Dalam analisa model data panel dikenal tiga macam pendekatan yang

terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (Pooled Least Square), pendekatan efek

tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect).

Pendekatan PLS merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam

pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan:

jit it j itY xα β ε= + + (i = 1, 2,….N) (t = 1, 2,....T) (3. 1)

dimana N adalah jumlah cross section dan T adalah jumlah periode waktunya.

Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil

biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross

section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section

sebagai berikut:

1 1 1j

i i j iY xα β ε= + + (i = 1, 2,….N) (3. 2)

yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang

sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan memperoleh persamaan deret waktu

(time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk

mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan diperoleh dalam

bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.

Dalam pengolahan data panel terdapat tiga kriteria pembobotan yang

berbeda-beda yaitu No Weighting (semua observasi diberi bobot yang sama),

Cross Section Weights (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross

section. Digunakan apabila ada asumsi bahwa terdapat cross section

heteroscedasticity), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross

section. Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi

antar input cross section). Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien

dan konsisten, maka perlu dievaluasi apakah hasil estimasi yang diperoleh tidak

melanggar asumsi-asumsi yang terdapat dalam OLS. Dengan kata lain hasil

estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas,

multikolinieritas, dan autokorelasi.

3.4.2. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total

Pola pertumbuhan produktivitas industri pengolahan makanan yang

semakin menurun memang merupakan indikator utama mengapa pembangunan

sektor industri khususnya pengolahan makanan sulit berkembang secara

berkelanjutan (sustainable). Bagaimanapun, banyak permasalahan yang

menyulitkan dalam memilih pengukuran TFP yang dapat diterima secara umum

karena kenyataannya bahwa pertumbuhan TFP yang positif itu sendiri tidak

berpengaruh secara signifikan sebagai indikator manajemen sumberdaya yang

berkelanjutan. Secara konsep, estimasi TFP didasarkan pada asumsi

memaksimumkan keuntungan, yang dihambat oleh usaha-usaha untuk

menghitung kegagalan pasar dengan mengukur Total Social Factor Productivity

(TSFP). Sehingga estimasi TFP secara langsung hanya menggunakan seluruh

input dan output konvensional yang merupakan jumlah dari (1) kemajuan

teknologi, (2) perubahan dalam kualitas sumberdaya, dan (3) pengembangan

dalam efisiensi teknis dan alokatif berdasarkan investasi dalam human capital dan

infrastruktur (Ali dan Byerlee, 2002).

3.4.3. Estimasi

Produktivitas faktor total adalah konsep neoklasik. Selain ide umum

mengenai konsep neoklasik mengenai pertumbuhan, penggunaan istilah

”neoklasik” disini mempunyai dua tujuan spesifik. Pertama, dengan TFP kita

berusaha mengukur produktivitas melalui seluruh faktor produksi, sedemikian

hingga, didasari oleh asumsi tenaga kerja bukanlah satu-satunya input (teori nilai

tenaga kerja Ricardo dalam Felipe, 1997). Kedua, TFP adalah dugaan yang

berhubungan dengan fungsi produksi agregat, alat analisis neoklasik.

Produktivitas adalah konsep teknis yang menjelaskan rasio antara output per

satuan input, yaitu pengukuran efisiensi. Ketika menjelaskan mengenai satu input

(contohnya, produktivitas parsial), tenaga kerja khusus (Q/L), dugaan

produktivitas tidak memberikan masalah. Walaupun, pada saat lebih dari satu

input yang dimasukkan ke dalam perhitungan (misalnya, tenaga kerja dan modal),

masalah yang muncul adalah bagaimana membebani tiap faktor ke dalam hasil

bagi. Persamaan standar dari rasio produktivitas ”total” adalah (Felipe, 1997):

QA

α L+ β K= α β

QA

L K= (3.3)

Dimana persamaan yang pertama adalah indeks aritmatika dan persamaan

yang kedua adalah indeks geometri. A adalah indeks produktivitas; Q, L, dan K

masing-masing adalah output, tenaga kerja dan kapital; dan α dan β adalah

bobotnya. Indeks A mengukur efisiensi dengan seluruh faktor produksi, dalam hal

ini yang digunakan adalah tenaga kerja dan modal. Ekonomi neoklasik

memberikan solusi untuk masalah bobot ini dengan cara menghubungkan rasio

produktivitas kepada fungsi produksi agregat sehingga bobot yang menjadi

masalah tersebut dapat dihasilkan dan diinterpretasi. Dalam persamaan sederhana,

fungsi produksi agregat dapat dituliskan sebagai berikut:

[ , , ]t tQ F L K t= (3.4)

Persamaan (3.4) menyatakan output sebagai fungsi dari stok modal, tenaga

kerja, dan faktor peubah (t), waktu, dimana selanjutnya mewakili efek

produktivitas dan perkembangan teknologi. T yang lainnya juga mewakili waktu.

Jika diasumsikan variabel ”t” terpisah dari K dan L

[ , ]t t tQ A F L K= (3.5)

kemudian

[ , ]t

tt t

QAF L K

= (3.6)

Dengan demikian, At dinyatakan sebagai perkembangan teknis eksogenus,

disembodied, dan Neutral-Hicks, dan diukur berdasarkan perjalanan waktu dengan

kombinasi input yang konstan. Konsep ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian

berikutnya. Dugaan produktivitas secara keseluruhan dapat diinterpretasikan

kembali sebagai indeks dari seluruh faktor selain tenaga kerja dan modal yang

tidak secara eksplisit dihitung, namun berpengaruhi dalam menggeneralisasikan

output. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kemampuan manajerial dan

kompetensi organisasi, penelitian dan pengembangan, transfer sumberdaya antar

sektor, difusi teknologi dan lain sebagainya. Namun akan sangat sulit

mengestimasi faktor-faktor tersebut karena beberapa faktor merupakan data

kualitatif yang belum memiliki standar pengukuran yang valid, dan sebagian

faktor lainnya sulit untuk dicari datanya di lembaga manapun, akan tetapi bukan

tidak mungkin nantinya faktor-faktor tersebut dapat diestimasi.

1. Perhitungan Pertumbuhan

Dalam metode analisis dengan tujuan empiris, persamaan (3.6)

menimbulkan masalah secara konsep. Walaupun persamaan tersebut mewakili

output per unit input gabungan, interpretasinya lebih bertahap daripada indeks

produktivitas parsial, dan pengertiannya, contohnya tingkatan teknologi, jelas

bukan merupakan perbandingan langsung diantara unit-unit ekonomi yang lain.

Untuk alasan ini, biasanya hal ini dinyatakan dalam tingkat pertumbuhan, yaitu:

[ , , ] t t t t tt t t t

t t t t t

dA L дQ K дQT K L t T q - l - kd Q дL Q дK

= = = (3.7)

Dimana qt, lt, kt masing-masing menyatakan tingkat pertumbuhan output,

tenaga kerja, dan modal, dan tφ adalah tingkat pertumbuhan produktivitas faktor

total. Notasi di depan masing-masing variabel faktor mewakili elastisitas masing-

masing faktor. Secara empiris ekonomi neoklasik mengasumsikan pasar dalam

keadaaan persaingan sempurna dan tiap-tiap perusahaan akan memaksimumkan

keuntungannya. Dalam keadaan seperti ini elastisitas harga dari permintaan

terbatas, elastisitas faktor sama dengan bagian faktor dalam output, sehingga

persamaan (3.7) menjadi:

(1 )t t t t t tT q - a l - - a k= (3.8)

dimana at dan (1- at) masing-masing adalah nilai bobot tenaga kerja dan modal

(yang dikenal juga sebagai Divisia Index Weighing System). Sejak penghitungan

nasional dan statistik lainnya menyediakan estimasi dari variabel di sisi kanan,

yang dapat menjelaskan pertumbuhan produktivitas sebagai kategori residual

persamaan (3.8) dikenal juga sebagai ”Solow Residual”, prosedur yang digunakan

dalam memperhitungkan pertumbuhan.

Dengan data acak, peneliti biasanya menggunakan indeks Tornqvist.

Indeks ini mengamati persamaan (3.7)-(3.8) yang diderivasi menggunakan

diferensial kalkulus. Dalam kasus acak dapat dilihat bahwa (Chambers 1988

dalam Felipe, 1997):

, 11 1 1

ln ln lnt t tt t - L K

t- t- t-

Q L KT -Θ -ΘQ L K

= (3.9)

dimana

1

2K K -

Kθ +θ

Θ = 1

2L L-

Lθ +θ

Θ = (3.10)

dimana θ menotasikan persentase dari tiap faktor agregat dalam neraca

pembayaran faktor total.

2. Estimasi Ekonometrik

Dasar pemikiran untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan bergantung

tidak hanya pada keberadaan fungsi produksi agregat total seperti persamaan

(3.4), tetapi juga pada validitas teori produktivitas marjinal (agregat) dari

penetapan harga faktor. Untuk itu, estimasi langsung fungsi produksi agregat

adalah alternatif untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan. Dalam kasus ini,

persamaan (3.5) mengambil bentuk yang pasti dengan asumsi tentang At.

Mengacu pada kesederhanaannya, bentuk persamaan yang paling sering

digunakan adalah Cobb-Douglas, walaupun bentuk persamaan yang lain sama

validnya (Chen 1991, Kim dan Lau 1994 dalam Felipe, 1997), dan At biasanya

mengambil bentuk sebagai tren waktu eksponensial (walaupun ada kemungkinan

lainnya). Dengan cara ini, perubahan teknis dilihat sebagai pergeseran fungsi

produksi selama waktu t dalam tingkat waktu yang normal. Koefisien dari tren

mengukur tingkat rata-rata pertumbuhan TFP. Kemudian persamaan fungsi

produksi dalam bentuk log linear dengan berbagai input yang digunakan adalah:

0 1 2 3 4 5 6ln ln ln ln ln lnit it it it it it tQ L M E R S T uβ β β β β β β= + + + + + + + (3.11)

dimana:

Qit = Nilai Output industri ke-i pada tahun t (Rp);

Lit = Nilai input tenaga kerja industri ke-i pada tahun t (Rp);

Mit = Nilai bahan baku yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);

Eit = Nilai penggunaan energi dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);

Rit = Nilai sewa barang modal dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);

Sit = Nilai jasa yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);

T = Tingkat kemajuan teknologi (efisiensi teknis) (persen);

ut = Error term (gangguan acak);

β 0 adalah konstanta dari fungsi produksi industri makanan sedangkan β 1, β 2,

β 3, β 4, β 5 dan β 6 adalah elastisitas dari masing-masing variabel di atas; T

diasumsikan sebagai tingkat kemajuan teknologi yang dihitung melalui perubahan

efisiensi teknis berdasarkan tren waktu setiap tahun, sehingga nilai koefisiennya

( β 6) merupakan pertumbuhan dengan proporsi input yang konstan; dan ut adalah

gangguan acak. Persamaan ini telah banyak diestimasi dalam banyak kasus

dengan menggunakan metode regresi OLS (Ordinary Least Square, kuadrat

terkecil sederhana). Pada persamaan di atas fungsi produksi menyatakan input

agregat yang digunakan dalam industri pengolahan makanan.

3.5. Pengujian Model

Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah

melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut,

seperti pengujian ekonometrik, statistik, dan ekonomi. Pengujian ekonometrik

yang dimaksud adalah untuk mengestimasi parameter regresi berdasarkan asumsi-

asumsi yang harus dipenuhi dalam pengolahan data dengan metode OLS.

Sedangkan pengujian statistik meliputi uji R2, uji F, uji t, dan evaluasi model

dengan penentuan pendekatan yang akan digunakan (antara common atau fixed)

dengan uji statistik Chow, serta mendeteksi adanya gejala gangguan seperti

heteroskedastistas, multikolinearitas dan autokorelasi yang dapat menyebabkan

estimasi model bias dan tidak efisien.

3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji ini untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat

diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. R2 memiliki dua sifat

(Gujarati, 2003), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan kedua,

besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna,

sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel tak

bebas dengan variabel yang menjelaskan.

3.5.2. Uji-F

Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas

terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hipotesis yang diuji dari

pendugaan persamaan di atas adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata

terhadap variabel tak bebas. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang

digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-

statistik):

Hipotesa: H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0

H1 : minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan

nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap variabel tak bebas).

pengujian uji-F ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan

melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan

lulus uji-F atau tidak. Jika P-Value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf

nyata yang digunakan (α), dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada

satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu

variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas).

3.5.3. Uji-t

Dipergunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari

masing-masing variabel bebas yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata

atau tidak terhadap variabel tak bebas.

Hipotesa: H0 : βj = 0

H1 : βj ≠ 0 ; j = 1,2, ..., k

Pengujian uji parsial ini (uji-t) dapat dilihat dari nilai probabilitas t-

statistiknya. Dimana, jika probabilitas t-statistik menunjukkan nilai yang kurang

dari derajat kepercayaan yang digunakan (α), maka dapat dikatakan tolak H0 yang

berarti peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model

pada tingkat signifikansi tertentu.

3.6. Evaluasi model

3.6.1. Heteroskedastisitas

Dalam suatu model jika dijumpai adanya masalah heteroskedastisitas

maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk

mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji White

Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program EViews. Data panel dalam

EViews 4 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section

Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan

membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistics dengan Sum

Square Residual pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residual Weighted

Statistics lebih kecil daripada Sum Square Residual Unweighted Statistics maka

terjadi heteroskedastisitas. Untuk men-treatment pelanggaran tersebut, bisa

mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity (Pindyck, 1991).

3.6.2. Multikolinieritas

Dalam model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen

terkadang dijumpai masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan

linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi

berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,7 dan 1) tetapi tidak

terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan

tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan

berhubungan dengan masalah multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi

dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga parameter dugaan

pada taraf uji tertentu (t statistik maupun F hitung) menjadi signifikan.

3.6.3. Autokorelasi

Pindyck (1991) menyatakan bahwa autokorelasi dapat mempengaruhi

efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial dapat

dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews 4. Untuk

mengetahui ada tidaknya autokorelasi maka dilakukan dengan membandingkan

statistik DW dengan tabel. Autokorelasi terdeteksi jika statistik DW (d) Lebih

kecil dari dU atau lebih besar dari 4-dL. Model bebas masalah autokorelasi jika d

terletak diantara dU dan 4-dU (dU<d<4-dU). Korelasi serial ditemukan jika error

dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Pada analisis seperti yang

dilakukan pada model, jika ditemukan korelasi serial maka model menjadi tidak

efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Kelemahan dari metode Durbin Watson

adalah jika nilai statistik DW jatuh di daerah ragu-ragu, sehingga tidak bisa

ditentukan ada atau tidaknya autokorelasi. Jika terjadi kasus demikian, maka

gejala autokorelasi dideteksi dengan melihat grafik sebaran nilai residual antar

waktu untuk setiap observasi, untuk melihat pengaruh error antar waktu.

IV. HASIL PEMBAHASAN

4.1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB

Pertumbuhan sektor industri pengolahan cenderung menurun dalam

beberapa tahun terakhir, terutama sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia

pada tahun 1997, tetapi kontribusinya terhadap pembentukan PDB masih tetap

dominan dan paling besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya

(Depnakertrans). Jika pada tahun 1993 kontribusi sektor industri pengolahan

terhadap PDB baru mencapai 22.30 persen, maka pada tahun 2006, kontribusinya

telah mencapai 28.72 persen (Tabel 4.1). Rendahnya pertumbuhan sektor industri

pengolahan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa upaya pemulihan

yang dilakukan selama ini belum berhasil mengangkat sektor industri pengolahan

seperti kondisi sebelum krisis. Padahal sebagai sektor yang mempunyai kontribusi

terbesar dalam pembentukan PDB, sektor industri pengolahan diharapkan bisa

menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi.

Tabel 4.1. Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)

Sektor/Lapangan Usaha 1993 20061. Pertanian 17.88 13.362. Pertambangan 9.55 10.513. Industri Pengolahan 22.30 28.724. Listrik, Gas, Air Bersih 1.00 0.875. Konstruksi 6.83 6.436. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.77 14.977. Pengangkutan dan Komunikasi 7.05 7.048. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 8.51 8.329. Jasa-Jasa 10.30 9.78

PDB 100.00 100.00Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I).

Dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor industri pengolahan memang

termasuk yang paling menderita akibat krisis ekonomi yang dimulai sejak

pertengahan tahun 1997 tersebut. Dari Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa pada

tahun 1998, yang merupakan puncak terjadinya krisis ekonomi, sektor industri

pengolahan mengalami pertumbuhan negatif (-11,44 persen) dibandingkan dengan

tahun 1997. Tetapi pada tahun 1999 pertumbuhan sektor industri berhasil

mencapai 3.92 persen, dan tahun 2000 bahkan mencapai 5.98 persen. Karena

kontribusinya cukup dominan dalam pembentukan PDB, maka pertumbuhan

sektor industri pengolahan tahun 1999 dan 2000 tersebut mempunyai peran yang

cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tabel 4.2. Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 1994-2005**

Nilai (Miliar Rp) Pertumbuhan (persen) 1994 82649.01995 91637.1 10.881996 102259.7 11.591997 107629.7 5.251998 95320.6 -11.441999 99058.5 3.922000 104986.9 5.982001 109290.2 4.102002 113671.7 4.012003 115900.7 1.96

2004* 120250.4 3.752005** 124600.0 3.62

Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara. 2005**: Angka Sangat Sementara.

Bila dilihat dari subsektornya, sebagian besar (81.43 persen) dari nilai

tambah sektor industri pengolahan berasal dari sub sektor industri besar sedang,

sedangkan sisanya berasal dari sub sektor industri kecil dan kerajinan

rumahtangga (IKRT) sekitar 18.57 persen seperti dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Dilihat dari kecenderungannya selama periode 1993-2002, tampaknya kontribusi

nilai tambah sub sektor IKRT cenderung terus meningkat. Kalau pada tahun 1993,

kontribusi IKRT terhadap nilai tambah sektor industri pengolahan secara

keseluruhan baru sekitar 16.60 persen, maka pada tahun 2002 sudah mencapai

18.57 persen. Sebaliknya, kontribusi nilai tambah industri besar sedang turun dari

83.40 persen tahun 1993 menjadi 81.43 persen tahun 2002.

Tabel 4.3. Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen)

Tahun Industri Besar Sedang

Industri Kecil dan Kerajinan

Rumahtangga

Sektor Industri Pengolahan

1993 83.40 16.60 100.001994 83.83 16.17 100.001995 83.77 16.23 100.001996 84.06 15.94 100.001997 85.65 14.35 100.001998 83.63 16.37 100.001999 84.15 15.85 100.002000 81.98 18.02 100.002001 81.90 18.10 100.002002 81.43 18.57 100.00

Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, Berbagai Edisi.

Bertambahnya kontribusi nilai tambah sub sektor IKRT tersebut tentu saja

sangat menggembirakan, karena hal tersebut mengindikasikan bahwa program

pembinaan terhadap industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang dilakukan

oleh pemerintah dan swasta selama ini sudah mulai menunjukkan hasilnya, baik

melalui program kemitraan, sistem bapak angkat, dan lain-lain. Diantara berbagai

macam jenis industri yang termasuk dalam kategori industri besar sedang,

kontribusi paling besar (13.61 persen) nilai tambah pada industri besar sedang

disumbangkan oleh jenis industri makanan dengan kode International Standard

Industial Classification of All Economic Activities (ISIC) atau kode Klasifikasi

Baku Lapangan Usaha Indonesia 15 (ISIC/KBLI 15). Jenis industri lain yang juga

memberikan kontribusi nilai tambah yang cukup besar adalah industri kimia dan

barang-barang dari bahan kimia (ISIC/KBLI 24) serta industri tekstil (ISIC/KBLI

17), yang masing-masing memberikan kontribusi terhadap nilai tambah industri

besar sedang sebesar 12.42 persen dan 7.59 persen (Tabel 4.4.).

Tabel 4.4. Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp).

Nilai Output Nilai Tambah kode ISIC Jenis Industri

Nilai Persentase Nilai Persentase 15 Makanan dan minuman 162387933875 19.36 41338414005 13.61 16 Tembakau 54244947007 6.47 22116832477 7.28 17 Tekstil 73547373480 8.77 23061505450 7.59 18 Pakaian Jadi 31616005536 3.77 12556776085 4.13 19 Kulit dan barang dari kulit 20869600188 2.49 8165330856 2.69

20 Kayu dan barang dari kayu(tidak termasuk furniture) 46735706019 5.57 18247281071 6.01

21 Kertas dan barang dari kertas 56191077950 6.70 22976003738 7.56

22 Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman 7483604874 0.89 3325761870 1.09

23 Batubara, pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir 1715245325 0.20 663398679 0.22

24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia 90285619623 10.76 37744401931 12.42

25 Karet dan bahan dari karet 45157675622 5.38 13047600877 4.29 26 Barang galian bukan logam 25577572438 3.05 13354824983 4.40 27 Logam dasar 49664169378 5.92 10955936571 3.61

28 Barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya 20104694525 2.40 7549109075 2.48

29 Mesin dan perlengkapannya 12478834657 1.49 3991693931 1.31

30 Mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data 87181035 0.01 58291368 0.02

31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya 17157086327 2.05 5289937571 1.74

32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya

39958553615 4.76 15686864102 5.16

33 Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng

1703835952 0.20 458262523 0.15

34 Kendaraan bermotor 27884704883 3.32 18484412580 6.08

35 Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih 37667065053 4.49 17956080889 5.91

36 Furnitur dan industri pengolahan lainnya 16053172952 1.91 6713211804 2.21

37 Daur ulang 232298207 0.03 55278787 0.02 Jumlah 838803958521 100.00 303797211223 100.00

Sumber: BPS, Industri Besar dan Sedang, 2003.

4.2. Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia

Sejak tahun 1995, pada Repelita VI pembangunan industri difokuskan

pada produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif agar mampu memiliki

keunggulan yang kompetitif. Sehingga ada industri-industri yang lebih

diprioritaskan oleh pemerintah selain lebih concern kepada BUMNIS (BUMN

Industri Strategis). Hingga masa sekarang kebijakan industri prioritas masih

dipertahankan terutama untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan

internasional. Karena adanya sektor industri prioritas ini, pengembangan

teknologi pun hanya difokuskan pada industri-industri yang diprioritaskan.

Sehingga pengembangan teknologi pada industri pengolahan makanan secara

keseluruhan masih belum seperti yang diharapkan.

Kebijakan perindustrian yang dimulai pada tahun 2002, dipengaruhi oleh

isu mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu lebih banyak

perubahan-perubahan yang dilakukan dalam kebijakan pembangunan industri

dengan melakukan restrukturisasi terutama pada sektor energi dan sumberdaya

mineral, tataran mikro dan birokrasi pemerintah (Program Kerja Kabinet

Indonesia Bersatu Sektor ESDM, 2002). Karena dalam periode tersebut terjadi

perubahan struktural dengan adanya otonomi daerah, maka berbagai

restrukturisasi tersebut dianggap perlu untuk dilaksanakan. Selain itu kebijakan

yang lainnya masih serupa dengan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya hingga

saat ini, yaitu mengenai keunggulan kompetitif, daya saing industri, kemampuan

meningkatkan kapasitas produksi dan pengembangan teknologi (Deprin, 2002).

Pada tahun 2005, kebijakan pembangunan industri lebih fokus pada

keterkaitan antar industri dan keterkaitan antara industri dengan sektor lainnya.

Untuk meningkatkan keterkaitan dan kinerja industri secara keseluruhan

pemerintah mengembangkan konsep cluster, salah satu pendekatan yang mampu

meningkatkan produktivitas industri dengan meningkatkan keterkaitan antar

sektor dalam suatu industri. Konsep cluster terutama diterapkan pada sektor-

sektor industri yang menjadi prioritas.

4.3. Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia

Industri pengolahan makanan merupakan salah satu komponen penting

dalam perekonomian yang berhubungan dengan konteks ketahanan pangan

nasional. Untuk mencapai standar ketahanan pangan yang tangguh maka

diperlukan adanya pertumbuhan yang tinggi pada sektor industri ini. Berdasarkan

buku statistik industri besar dan sedang yang dirilis BPS, industri makanan

meliputi seluruh pengolahan bahan pangan besar dan sedang yang berasal dari

sumber daya alam, terutama sumber daya pertanian, sehingga bahan pangan

tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat atau industri lainnya. Seluruh bahan

baku industri pengolahan makanan merupakan hasil-hasil dari pertanian primer

secara luas meliputi hasil-hasil pertanian ladang, perkebunan, perikanan, dan

peternakan.

Besarnya industri ditentukan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang

dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan dalam suatu industri. Klasifikasi

golongan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada tabel 4.5.

Jumlah perusahaan pengolah makanan di Indonesia Sangat banyak, terutama yang

termasuk ke dalam golongan industri kecil dan rumah tangga. Data mengenai

industri pengolahan makanan yang digunakan pada penelitian ini terbatas hanya

pada industri pengolahan besar dan sedang dengan jumlah tenaga kerja lebih dari

20 orang. Pertumbuhan jumlah perusahaan dalam industri pengolahan makanan

sendiri menunjukkan angka yang negatif setiap tahunnya. Pada tahun 1996

industri pengolahan makanan memiliki jumlah total perusahaan sebanyak 4501

perusahaan, yang semakin menurun pada tahun 2000 dengan angka 4402

perusahaan. Data terakhir pada tahun 2003 jumlah industri pengolahan makanan

semakin berkurang menjadi 4170 perusahaan (BPS,2003).

Tabel 4.5. Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja

Golongan Industri Banyaknya Tenaga Kerja

Besar 100 orang atau lebih Sedang Antara 20-99 orang Kecil Antara 5-19 orang Rumah Tangga Antara 1-4 orang

Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003.

Penyebab dari semakin berkurangnya perusahaan dalam industri

pengolahan makanan sebagian besar disebabkan oleh ekspansi dari perusahaan

besar terhadap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, misalnya pengambil

alihan lahan perkebunan, karena perusahaan besar tersebut memiliki keunggulan

dalam efisiensi teknis. Namun ekspansi ini dapat memberikan keuntungan

terhadap industri secara keseluruhan, yaitu dengan meningkatnya kapasitas

produksi perusahaan sehingga dapat meningkatkan skala ekonomi perusahaan di

bawah satu manajemen. Pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri

pengolahan makanan diilustrasikan pada Gambar 4.1.

4050

4100

4150

4200

4250

4300

4350

4400

4450

2000 2001 2002 2003

Sumber: BPS, 2003.

Gambar 4.1. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Pada Industri Pengolahan Makanan

Pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan

makanan sebagian besar masih berasal dari dalam negeri (PMDN). 10 persen

perusahaan dalam industri pengolahan makanan mendapatkan modal yang berasal

dari PMDN, sedangkan perusahaan yang dibiayai oleh pihak asing (PMA) hanya

menyumbang sebesar 4 persen, sisanya sebesar 86 persen dari investasi lainnya

(BPS, 2003). Industri yang dibiayai oleh pihak asing biasanya merupakan industri

yang potensial, karena ketersediaan sumber daya yang banyak di Indonesia dan

dengan tingkat teknologi yang tinggi.

10%4%

86%

pmdnpmalainnya

Sumber: BPS, 2003.

Gambar 4.2. Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan

Sumbangan nilai output terbesar diberikan oleh industri minyak kasar

(minyak makan) dari nabati dan hewan (kode: 15141) sebesar 24.17 persen dari

total output industri pengolahan makanan. Urutan selanjutnya adalah industri

minyak goreng dari kelapa sawit (15144) dengan kontribusi sebesar 21.71 persen.

Sedangkan kontribusi kelompok industri lainnya dalam industri pengolahan

makanan hanya di bawah 10 persen, yaitu pada industri pembekuan ikan dan biota

perairan lainnya (15124, sebesar 8.43 persen), industri ransum dan pakan

ternak/ikan (15331, 6.67 persen), dan industri gula pasir (15421, 6.06 persen).

Kontribusi output seluruh kelompok industri terhadap total output industri

pengolahan makanan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Secara keseluruhan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi

yang positif terhadap perekonomian Indonesia secara umum. Industri pengolahan

makanan yang termasuk ke dalam jenis industri pengolahan merupakan

penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Industri

pengolahan makanan pun memiliki peranan penting sebagai industri yang mampu

menyerap tenaga kerja yang besar.

4.4. Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan

Industri pengolahan makanan merupakan salah satu sektor strategis yang

memiliki banyak potensi untuk berkembang di Indonesia. Selain itu industri ini

memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai salah satu

unsur penjamin ketersediaan bahan pangan dan sumber nutrisi bagi masyarakat.

Diharapkan industri pengolahan makanan dapat mengatasi masalah ketersediaan

makanan dan akses untuk mendapatkan makanan bagi setiap warga negara dengan

kualitas yang baik serta memenuhi standar kecukupan gizi internasional.

Isu ketahanan pangan nasional sedang dihadapkan dengan permasalahan

yang sangat mendasar, yaitu belum mampunya produksi nasional untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan, terutama bahan pokok.

Permasalahan ini tidak lepas dari pertumbuhan sektor pertanian dan industri

pengolahan makanan sebagai pemasok bahan pangan bagi masyarakat. Hal ini

mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan

makanan belum sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan industri pengolahan

makanan hingga tahun 1996 terus mengalami peningkatan namun pada tahun

1997, seperti yang terjadi pula pada industri yang lainnya pertumbuhan industri

pengolahan makanan mengalami penurunan yang sangat tajam, hal ini

dikarenakan pada saat itu perekonomian Indonesia mengalami resesi yang cukup

parah yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang memuncak pada saat itu.

Krisis yang menyebabkan stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang

melambat bahkan cenderung menurun yang disertai dengan tingkat inflasi yang

sangat tinggi tersebut menyebabkan ongkos produksi semakin mahal karena

peningkatan harga-harga input. Investasi pun menurun tajam seiring kepercayaan

masyarakat dan pihak asing yang menurun akibat ketidakpastian iklim usaha dan

stabilitas perekonomian Indonesia. Pada tahun berikutnya pertumbuhan industri

pengolahan makanan mulai meningkat, bahkan meningkat sangat pesat pasca

krisis, dan hingga akhir 2003 pertumbuhan industri pengolahan makanan selalu

positif namun dengan nilai yang semakin menurun.

Tabel 4.6. Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan Periode kode

industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.2097 0.1129 0.3584 0.132815133 0.1523 0.6344 -0.5586 0.599915144 0.3599 0.1011 0.2177 0.357715211 0.1924 0.3014 0.2107 -0.080315421 0.0217 -0.5880 1.0462 0.051215440 0.2894 -0.4804 0.5366 0.3383

Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

Tabel 4.6. menunjukkan laju pertumbuhan nilai output industri pengolahan

makanan secara keseluruhan dan lima industri yang menyumbang proporsi nilai

output terbesar dan karakteristik masing-masing kelompok, sehingga lima industri

yang diambil sebagai sampel diharapkan mampu mewakili karakteristik dari

kelompok-kelompok industri secara keseluruhan. Pada periode 1994-1996 industri

pengolahan makanan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21 persen secara

keseluruhan maupun pada tiap-tiap industri yang mewakili. Seperti dijelaskan di

atas pertumbuhan yang menurun ini disebabkan oleh resesi ekonomi yang

disebabkan oleh krisis perekonomian. Sedangkan pada periode selanjutnya antara

tahun 1997-1999 dan periode 2000-2002 pertumbuhan industri pengolahan

makanan menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11 persen dan 36

persen. Pertumbuhan paling tinggi diperlihatkan pada periode 2000-2002, karena

pada saat itu kebijakan-kebijakan yang diambil, baik secara makro maupun mikro,

lebih memihak kepada kemajuan sektor agribisnis. Untuk periode selanjutnya

pertumbuhan hanya sebesar 13 persen, mungkin disebabkan karena angka-angka

pada tahun 2004 dan 2005 adalah hasil proyeksi sementara dan bukan merupakan

data-data yang sesungguhnya.

Dilihat dari nilai pertumbuhan yang belum mampu mengalami

peningkatan seperti pada masa sebelum krisis memberikan kesimpulan bahwa,

kondisi industri pengolahan khususnya industri pengolahan belum mampu recover

dan kembali mencetak pertumbuhan seperti pada saat sebelum krisis. Hal ini

disebabkan karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menaruh

kepercayaan kepada industri-industri yang bersifat foot-loose, karena terlalu

berorientasi kepada pasar dan ingin melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi

(lompatan pertumbuhan) dengan mengikuti jejak negara-negara industri yang

sudah maju. Akibatnya industri-industri yang berbasis pertanian seperti industri

makanan, tidak mendapatkan perhatian. Selain itu sistem agribisnis belum

diterapkan secara optimal dalam perekonomian Indonesia sehingga kemajuan

sektor-sektor industri yang berbasis agribisnis tersendat-sendat, padahal pada

sektor inilah Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara

lainnya, sehingga penguatan sektor agribisnis merupakan strategi yang sangat

ampuh untuk mengatasi masalah pangan dan adanya isu perdagangan bebas.

4.5. Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan

Proses produksi tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya faktor

produksi, maka dari itu faktor produksi merupakan unsur vital yang dibutuhkan

dalam proses produksi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa

pertumbuhan faktor produksi (akumulasi faktor) merupakan salah satu sumber

pertumbuhan suatu industri. Dalam industri pengolahan makanan akumulasi

faktor sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri, terutama bahan baku.

Untuk menjelaskan pengaruh akumulasi faktor terhadap pertumbuhan industri

pengolahan makanan, digunakan metode Pool Least Square (PLS) dengan

meregresi fungsi produksi industri pengolahan makanan yang didapat dari data

industri pengolahan besar dan sedang dalam bentuk data panel (pool). Dengan

menggunakan software E Views 4.1. maka didapatkan hasil regresi dengan

pendekatan PLS (common) yang dapat dilihat pada Tabel 4.7. yang secara

lengkap disajikan di Lampiran 9. dan dengan pendekatan Fixed Effect Least

square (FELS) pada Lampiran 10. Dimana setiap koefisien regresi menunjukkan

elastisitas dari masing-masing variabel. Efisiensi teknis (T) rata-rata industri

pengolahan makanan diasumsikan sebagai kemajuan teknologi berdasarkan tren

waktu yang dihitung setiap tahun berdasarkan teori residual Solow dengan

menggunakan indeks Tornqvist. Indeks Tornqvist merupakan indeks yang

dihitung berdasarkan perbandingan pertumbuhan output dengan share

pertumbuhan input.

Tabel 4.7. Hasil Regresi dengan metode PLS Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.965195 0.023386 41.27199 0.0000L 0.029732 0.001565 18.99841 0.0000M 0.820280 0.004277 191.7720 0.0000E 0.069112 0.005081 13.60200 0.0000R 0.010349 0.001190 8.697967 0.0000S 0.074726 0.003022 24.72924 0.0000T 0.036651 0.002854 12.84214 0.0000

Evaluasi Model R-squared 0.999939 Mean dependent var 69.07875Adjusted R-squared 0.999938 S.D. dependent var 80.72306S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72878F-statistic 584087.7 Durbin-Watson stat 1.756550Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Lampiran 9.

Model persamaan ini dibentuk dengan menggunakan metode regresi linear

sederhana (least square) data pertumbuhan nilai output (Q), tenaga kerja (Labor,

L), bahan baku (Materials, M), energi (Energi, E), sewa (Rent, R), jasa industri

dan pengeluaran lainnya (Services and Other Expenses, S) dan Efisiensi Teknis

(Technological Progress, T) dalam bentuk data panel. Data yang diambil meliputi

20 cross section kelompok industri yang tergabung dalam golongan industri

pengolahan makanan pokok. Analisis dilakukan dalam selang waktu sebelas

tahun, mulai periode 1995 hingga tahun 2005. Sedangkan estimasi pertumbuhan

teknologi dihitung setiap tahun dengan menggunakan indeks Tornqvist, dan

dimasukkan ke dalam persamaan regresi. Hasil regresi di atas yang akan

digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri

pengolahan makanan. Regresi dilakukan dengan pendekatan PLS (common).

Dalam menentukan metode regresi dalam pool, apakah menggunakan

common pool least square (PLS) atau fixed effect least square (FELS) hasil

regresi diuji dengan uji statistik Chow. Uji Chow dilakukan secara manual dengan

hasil perhitungan sebesar 1.09363. Uji Statistik Chow menunjukkan F statistik

Chow lebih kecil dari F tabel (1.97), sehingga terima hipotesis nol (Ho), yang

artinya metode common pool least square yang digunakan dan diinterpretasikan

untuk menjelaskan hasil regresi dari fungsi produksi industri pengolahan

makanan.

4.5.1. Pengujian Model

Sebelum menginterpretasikan hasil penelitian dari model persamaan

diatas, perlu dilakukan pengujian terhadap validitas model apakah persamaan

tersebut telah memenuhi asumsi OLS klasik. Pengujian model asumsi OLS klasik

diantaranya dengan uji R2, uji-F, uji-t, identifikasi autokorelasi, multikolonearitas

dan heteroskedastisitas.

Untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat

diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas digunakan uji R2. Ada

dua sifat dari R2 (Gujarati, 1995), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan

kedua, besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan

sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara

variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Pada hasil olahan dengan

menggunakan metode fixed effect least square mengenai industri pengolahan

makanan, R2 sebesar 99 persen artinya hubungan variabel bebas dengan variabel

tak bebasnya adalah sebesar 99 persen sementara 1 persen sisanya dijelaskan di

luar variabel bebas yang diestimasi.

Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas

terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hasil olahan menunjukkan

probabilitas F-statistiknya lebih kecil dari taraf nyata 1 persen. Sehingga dapat

dinyatakan bahwa secara serempak variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel

tak bebas pada taraf nyata tersebut. Pada persamaan fungsi produksi probabilitas

t-statistik untuk variabel semua variabel nilainya lebih kecil dari taraf nyata 1

persen, sehingga semua variabel berpengaruh secara signifikan.

Untuk menguji ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan metode

General Least Square (GLS). Model persamaan dikatakan bebas masalah

heteroskedastisitas jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil

dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics, seperti yang

tampak pada model regresi hasil olahan data mengenai industri pengolahan

makanan. Dengan demikian model persamaan fungsi produksi industri

pengolahan makanan di atas bebas masalah heteroskedastisitas. Metode GLS juga

digunakan untuk menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari

probabilitas variabel bebasnya persamaan dapat dinyatakan bebas masalah

multikolinearitas.

Untuk mengidentifikasi gejala autokorelasi dalam model persamaan fungsi

produksi industri pengolahan makanan, digunakan uji statistik Durbin Watson

(DW). Statistik DW pada model persamaan sebesar 1.7565 dengan weighted cross

section dan sebesar 1.9270 pada unweighted cross section. Kedua nilai tersebut

terletak diantara dU dan 4-dU atau dU<DW<4-dU (1.65<d<2.56) yaitu pada daerah

penolakan H0. Sehingga bisa ditentukan bahwa persamaan regresi tidak

mengandung masalah autokorelasi negatif ataupun positif. Diperkuat dengan

grafik residual dari tiap-tiap cross section pada kelompok industri pengolahan

makanan (Lampiran 12) memperlihatkan tidak adanya pengaruh serial korelasi

pada masing-masing residual. Dapat disimpulkan bahwa hasil regresi model

persamaan fungsi produksi dapat diterima dengan asumsi OLS klasik, sehingga

dapat digunakan dan dinterpretasikan.

4.5.2. Tenaga Kerja (Labor)

Faktor tenaga kerja merupakan salah satu input yang sangat penting dalam

proses produksi pada setiap industri. Dalam industri pengolahan makanan tenaga

kerja menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap nilai output, dari

hasil regresi fungsi produksi pengolahan nilai probabilitas t faktor tenaga kerja

lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, sehingga memberikan pengaruh yang cukup

signifikan terhadap nilai output. Koefisien faktor tenaga kerja sebesar 0.0297,

artinya setiap peningkatan faktor tenaga kerja sebesar 1 persen maka nilai output

akan meningkat sebesar 0.0297 persen. Peranan yang cukup penting dari faktor

tenaga kerja dalam industri pengolahan makanan ini karena sifat industri

pengolahan makanan yang mampu menyerap banyak sumber daya manusia

(tenaga kerja). Pada saat krisis dimana upah rata-rata menurun karena banyak

terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga banyak perusahaan yang

lebih memilih untuk menggunakan sumber daya manusia daripada mesindan

peralatan berat yang mahal agar lebih efisien.

Industri pengolahan makanan secara umum memberikan peranan yang

cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1997 di saat krisis

melanda Indonesia dan terjadi pemberhentian tenaga kerja besar-besaran, banyak

tenaga kerja yang beralih ke sektor industri pengolahan makanan. Dampak resesi

ekonomi terhadap tingkat pengangguran pada saat itu dapat dikurangi dengan

daya serap industri pengolahan makanan terhadap tenaga kerja, walaupun tidak

secara signifikan berpengaruh terhadap pengangguran secara nasional dan

kontribusi pertumbuhan tenaga kerja tersebut tidak signifikan terhadap nilai

output. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan mampu

lebih menekan biaya dengan memanfaatkan sumber daya manusia dibandingkan

jika menggunakan teknologi yang biayanya lebih mahal.

Dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja belum menjadi salah satu

sumber pertumbuhan yang memberikan dampak signifikan, sebagaimana yang

diharapkan, terhadap pertumbuhan nilai output pada industri pengolahan

makanan. Fenomena ini terutama disebabkan oleh skill (kualitas) tenaga kerja

yang masih rendah sehingga sumbangan produktivitasnya terhadap pertumbuhan

industri masih kurang. Pernyataan yang sama juga diungkapkan dalam penelitian

Supriyanto (2005), mengenai sumber pertumbuhan pada Industri Kecil dan

Rumah Tangga (IKRT). Pada IKRT jelas kualitas sumber daya manusianya masih

kurang berpendidikan sehingga kontribusinya terhadap pertumbuhan masih sangat

rendah. Sedangkan walaupun pada industri pengolahan makanan dengan ukuran

industri besar dan sedang pun kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan

masih belum signifikan.

Dari Tabel 4.8. dapat dilihat laju pertumbuhan nilai penggunaan input

tenaga kerja, pada periode 1994-1996 pertumbuhan tenaga kerja keseluruhan

industri pengolahan makanan meningkat sebesar 0.04 persen. Namun pada

beberapa kelompok industri, pertumbuhan tenaga kerja mengalami penurunan.

Pada saat krisis dimana harga input naik karena inflasi justru input tenaga kerja

pada industri pengolahan makanan meningkat nilainya. Salah satu penyebabnya

adalah pada saat krisis banyak tenaga kerja dari sektor lain yang mengalami

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga mereka beralih menjadi buruh di

sektor industri pengolahan makanan.

Sedangkan pada saat industri pengolahan makanan mengalami

peningkatan pertumbuhan yang pesat, pertumbuhan nilai penggunaan tenaga kerja

malah menurun. Khususnya pada periode 2000-2002 yaitu pada masa pemulihan

setelah krisis, dimana pertumbuhan tenaga kerja industri pengolahan makanan

sebesar 2.74 persen dan mengalami peningkatan, walaupun tidak besar, dengan

nilai 10.34 persen pada periode 2003-2005. Hal ini terutama disebabkan faktor

tenaga kerja sudah mulai tergantikan peranannya oleh barang-barang modal

seperti peralatan dan mesin-mesin yang lebih canggih dan modern serta

memberikan produktifitas yang lebih tinggi.

Tabel 4.8. Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan Periode kode

industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.0004 0.4418 0.0274 0.103415133 0.1418 0.6605 -0.4748 0.530415144 0.1330 0.3794 0.2708 -0.079815211 -0.1385 1.1307 -0.4981 0.156615421 -0.2183 0.3574 0.0994 0.055015440 0.3189 0.0924 0.1811 -0.0054

Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

Dilihat dari signifikansi faktor tenaga kerja terhadap pertumbuhan industri

pengolahan memang masih kurang dibandingkan dengan pertumbuhan yang

disebabkan input lain, misalnya bahan baku atau alat-alat produksi yang lebih

efektif. Dengan potensi jumlah penduduk di Indonesia yang sangat banyak, maka

perlu adanya peningkatan signifikansi faktor tenaga kerja bagi pertumbuhan

industri pengolahan, yaitu dengan lebih fokus dengan metode labor intensif dan

memanfaatkan teknologi yang menghemat modal, sehingga jumlah penduduk

yang sangat besar tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal.

4.5.3. Faktor Modal (Capital)

Pembentukan modal atau akumulasi kapital merupakan faktor penting

lainnya yang dibutuhkan dalam proses produksi. Faktor modal merupakan input

yang paling mempengaruhi pertumbuhan pada industri pengolahan makanan.

Karena modal dalam penelitian ini diasumsikan sebagai input lain selain tenaga

kerja. Laju pertumbuhan nilai modal industri pengolahan makanan secara

keseluruhan dan lima industri yang menyumbangkan kontribusi output terbesar

dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Melalui Tabel 4.9. dapat dilihat bahwa pada periode 1994-1996 sebelum

krisis pertumbuhan rata-rata nilai modal adalah sebesar 24.45 persen, proporsional

dengan pertumbuhan nilai output. Pada tahun-tahun berikutnya nilai modal

mengalami pertumbuhan yang positif namun dengan tingkatan yang semakin

menurun, yaitu pada periode 1997-1999 dengan pertumbuhan sebesar 30.14

persen dan menurun sebesar 14.74 persen pada periode 2000-2002.

Tabel 4.9. Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan Periode Kode

industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total 0.2445 0.3014 0.1474 0.185315133 0.1576 0.6798 -0.6347 0.552715144 0.5537 0.0882 0.1852 0.466015211 0.1713 0.1933 0.1926 0.079515421 0.0115 0.1245 0.2730 0.068815440 0.2559 0.3104 -0.2280 0.3848

Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara

2005** : Angka Sangat Sementara

Peningkatan yang cukup tinggi pada periode 1997-1999 disebabkan oleh

mulai pulihnya perekonomian setelah diterjang krisis, sehingga para investor

mulai menanamkan modalnya kembali pada periode tersebut. Sedangkan

penurunan yang terjadi pada tahun-tahun selanjutnya Pembentukan modal pada

industri pengolahan makanan merupakan input yang paling penting, sehingga

ketergantungan pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat besar terhadap

pertumbuhan nilai modal. Modal juga berperan penting dalam penyediaan barang

modal dan juga diperlukan dalam meningkatkan kemajuan teknologi. Dalam

penelitian ini barang modal dideskripsikan sebagai bahan baku (raw material, M),

energi (E), sewa (rent, R) dan jasa untuk proses produksi (production service, S)

yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.

1. Bahan Baku

Karena variabel capital (modal) diasumsikan sebagai barang modal

lainnya selain tenaga kerja, maka bahan baku termasuk ke dalam kriteria input

modal. Bahan baku adalah seluruh bahan mentah yang digunakan dalam proses

produksi. Sebagian besar bahan baku industri pengolahan makanan berasal dari

sektor pertanian, maka dari itu industri pengolahan merupakan industri perantara

bagi produk pertanian sehingga mampu meningkatkan nilai tambah bagi produk

pertanian. Hasil regresi menunjukkan elastisitas bahan baku sebesar 0.8202, yang

artinya jika faktor bahan baku ditambah sebesar 1 persen maka akan

meningkatkan output sebesar 0.8202 persen. Nilai probabilitas faktor bahan baku

menunjukkan lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, dapat disimpulkan bahan baku

berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan output. Nilai elastisitas

faktor bahan baku yang paling dominan dan berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan output berbanding lurus dengan kontribusi nilai penggunaan bahan

baku dalam proses produksi yang dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (%) INPUT

Periode M E R S TOTAL K

1994 91.40 4.15 0.13 4.32 100 1995 92.64 3.06 0.09 4.21 100 1996 92.00 3.22 0.11 4.66 100 1997 92.07 3.50 0.16 4.28 100 1998 93.16 2.69 0.15 4.01 100 1999 94.21 2.22 0.09 3.49 100 2000 91.70 2.69 1.50 4.11 100 2001 93.84 3.52 1.32 1.32 100 2002 87.62 5.34 0.41 6.64 100 2003 90.13 4.77 0.54 4.57 100

Sumber: BPS, diolah. M= materials (bahan baku), E= Energi, R= Rent (sewa gedung dan mesin), S= service and other expense (Jasa dan pengeluaran lainnya).

Dapat dilihat bahwa kontribusi bahan baku (materials) terhadap total

kapital sangat dominan dengan rata-rata sebesar lebih dari 90 persen per tahun

jauh lebih besar dari kontribusi input-input yang lainnya. Karena itu bahan baku

merupakan input yang paling penting dalam pembentukan modal, dan sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan dari industri pengolahan makanan.

2. Energi

Energi didefinisikan sebagai barang modal yang menjadi bahan bakar

untuk memberdayakan peralatan dan mesin-mesin dalam proses produksi,

pengeluaran untuk energi merupakan pembelian untuk barang-barang seperti

listrik, bahan bakar minyak (BBM), minyak pelumas (oli) dan gas. Koefisien

regresi dari input energi menunjukkan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1

persen, sebesar 0.0691 yang selanjutnya dianggap sebagai elastisitas dari input

energi. Koefisien tersebut mengindikasikan bahwa jika input energi ditambah

sebesar 1 persen maka output akan mengalami kenaikan sebesar 0.0691 persen.

Jika dilihat pada tabel 4.10. memang kontribusi pengeluaran untuk energi jauh di

bawah pengeluaran untuk bahan baku, namun kontribusinya lebih besar dari

barang modal yang lain. Rata-rata kontribusi nilai penggunaan untuk energi

sebesar 4 persen per tahun terhadap total kapital. Selain itu bahan baku energi

merupakan barang modal yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri

pengolahan makanan selain bahan baku. Pengaruh yang cukup signifikan dari

energi adalah perubahan harganya (BBM dan Gas bumi) yang dapat mengubah

struktur biaya suatu perusahaan secara signifikan, karena penggunaannya yang

tinggi dan secara kontinu.

3. Rent (sewa)

Gedung dan peralatan seperti mesin-mesin besar yang digunakan dalam

proses produksi dalam industri pengolahan makanan biasanya bukan merupakan

aset perusahaan, terkadang perusahaan-perusahaan industri makanan menyewa

gedung dan mesin-mesin tersebut untuk menghindari sunk cost. Pengeluaran

untuk gedung dan mesin ini adalah yang dikategorikan sebagai rent (sewa).

Nilai pengeluaran untuk sewa dalam persamaan regresi juga dinyatakan

signifikan pada taraf nyata 1 persen karena nilai probabilitasnya yang kurang dari

dari 0.01, sedangkan nilai elastisitasnya sebesar 0.0103, yang artinya setiap

peningkatan nilai sewa sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan

nilai output sebesar 0.0103 persen. Nilai sewa memiliki nilai koefisien regresi

yang paling kecil sehingga walaupun pengaruhnya signifikan terhadap

pertumbuhan output, namun kontribusi tambahan nilai sewa terhadap kenaikan

nilai output lebih kecil daripada input yang lain. Pada industri pengolahan

makanan pangsa pengeluaran untuk sewa terhadap total kapital tidak terlalu

signifikan, rata-rata hanya di bawah 1 persen setiap tahunnya. Pada kenyataannya

memang nilai sewa ini tidak terlalu mempengaruhi peningkatan pertumbuhan

industri pengolahan makanan. Karena gedung dan peralatan produksi merupakan

barang yang termasuk ke dalam fixed cost, dan biasanya hanya berpengaruh pada

awal pendirian perusahaan dalam suatu industri.

Perubahan nilai sewa gedung dan peralatan akan berpengaruh secara

signifikan terhadap pertumbuhan industri ketika industri mengalami peningkatan

kapasitas produksi secara besar-besaran, misalnya pendirian pabrik atau kantor

baru dan peralatan-peralatan yang lebih banyak. Perubahan dalam nilai sewa

seperti ini hanya mungkin terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang,

sedangkan dalam penelitian ini hanya menggunakan deret waktu selama sepuluh

tahun sehingga pengaruh perubahan nilai sewa belum terlihat secara signifikan.

Namun secara sepintas dalam periode 10 tahun ini peningkatan nilai sewa

menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat karena mulai maraknya

penggunaan mesin sehingga meningkatkan pengeluaran untuk sewa.

4. Pengeluaran Untuk Jasa

Komponen terakhir dari input modal adalah pengeluaran untuk jasa baik

jasa yang berhubungan secara langsung terhadap industri maupun jasa lain di luar

industri. Faktor jasa memiliki koefisien regresi sebesar 0.0747, artinya setiap

penambahan 1 persen faktor jasa maka nilai output akan meningkat sebesar

0.0747 persen. faktor jasa seperti barang modal lainnya, juga berpengaruh secara

signifikan terhadap pertumbuhan output dengan nilai probabilitas yang lebih kecil

dari taraf nyata 1 persen. Kontribusi pengeluaran untuk jasa relatif cukup besar

dan berpengaruh dalam total kapital secara keseluruhan dengan rata-rata sebesar 4

persen per tahun. Sama halnya dengan input energi, pengeluaran untuk jasa

industri dan non industri merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk

berlangsungnya proses produksi. Jasa dalam proses produksi dapat dianggap

sebagai industri berdasarkan pengertian industri menurut BPS (2003), contohnya

adalah jasa penggilingan padi yang mengubah padi menjadi beras sehingga siap

untuk dikonsumsi. Dengan demikian jasa memegang peranan penting baik dalam

membentuk industri pengolahan maupun sebagai pendukung sistem agribisnis

secara lebih luas.

4.6. Peranan Teknologi

Pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat dipengaruhi oleh

akumulasi faktor terutama sumber daya modal yang memberikan pengaruh yang

sangat signifikan terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan. Namun

jika pertumbuhan hanya bertumpu pada akumulasi input (input driven) maka

pertumbuhan industri tersebut tidak akan berlangsung secara sustainable

(berkelanjutan). Hal ini dijelaskan dalam teori the law of diminishing returns,

yang menyatakan bahwa skala pengembalian dari produksi akan semakin

menurun jika perusahaan meningkatkan kapasitas produksinya melebihi tingkat

produksi marjinalnya dengan menambah input.

Ada tahapan produksi pada suatu industri, dimana pada saat awal

pengembangan industri dimana skala pengembaliannya increasing returns

(semakin meningkat), pada tahap ini perusahaan akan semakin meningkatkan

produksinya dengan menambah input. Pada tahap selanjutnya industri akan

mengalami produktivitas yang semakin menurun dengan berubahnya skala

pengembalian menjadi constant returns (pengembalian konstan), sehingga pada

tingkatan inilah keuntungan perusahaan optimum dicapai, karena jika perusahaan

menambah satu unit input lagi maka pengembaliannya akan negatif. Dengan teori

tersebut maka pertumbuhan industri hanya akan berlangsung sampai kondisi

optimum dimana perusahaan sudah mencapai skala pengembalian konstan. Untuk

pertumbuhan industri yang berkelanjutan diperlukan adanya teknologi yang

mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari sumber daya yang digunakan.

Sehingga untuk pertumbuhan industri yang berkelanjutan peranan teknologi

sangatlah penting.

Pada penelitian ini teknologi dihitung sebagai pertumbuhan yang bukan

disebabkan oleh produktivitas input tenaga kerja dan modal (efisiensi teknis),

yaitu teknologi yang bersifat eksogen. Hasil pengolahan data mengenai industri

pengolahan makanan menunjukkan bahwa industri pengolahan makanan sangat

dipengaruhi oleh teknologi namun belum mampu memanfaatkan peranan

teknologi secara optimum, dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih kecil dari

taraf nyata 1 persen. Koefisien variabel teknologi tidak terlalu tinggi sebesar

0.036651 namun sangat berpengaruh jika dilihat berdasarkan nilai probabilitasnya.

Peranan teknologi dalam industri pengolahan sangatlah besar, baik dalam bentuk

peralatan atau teknik produksi yang dapat meningkatkan nilai tambah dari output

industri. Seharusnya teknologi memiliki kontribusi yang dominan terhadap nilai

output dan pertumbuhannya mengingat banyaknya jenis-jenis teknologi yang

dapat diaplikasikan dalam industri ini, misalnya teknik pengawetan, pengemasan

dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini teknologi hanya diasumsikan sebagai

efisiensi teknis sehingga kontribusinya tidak terlalu besar.

Dilihat dari koefisien hasil regresi persamaan fungsi produksi industri

pengolahan makanan, kontribusi teknologi masih kurang. Artinya industri

pengolahan makanan secara keseluruhan belum mampu memanfaatkan teknologi

eksogen secara optimal, namun beberapa kelompok industri dalam industri

pengolahan makanan sudah ada yang mampu menerapkan teknologi eksogen

secara optimal.

Tabel 4.11. Pertumbuhan Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan

Periode kode industri 1994-1996 1997-1999 2000-2002 2003-2005** Total -0.0208 -0.2343 0.2150 -0.048915133 -0.0054 -0.0443 0.0771 0.045915144 -0.1887 -0.0947 0.0182 -0.101215211 0.0297 -0.0896 0.0826 -0.172415421 0.0428 -0.7478 0.8019 -0.015815440 0.0275 -0.6589 0.7111 -0.0022

Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Dapat dilihat pada Tabel 4.11. yang menunjukkan laju pengembangan

teknologi pada industri pengolahan makanan, pada masa sebelum krisis

pengembangan teknologi rata-rata menurun sebesar 2.08 persen hingga tahun

1996. Pada saat krisis melanda perekonomian Indonesia tingkat kemajuan

teknologi turun drastis dengan penurunan rata-rata sebesar 23.43 persen, karena

teknologi merupakan faktor yang banyak membutuhkan modal, sehingga pada

saat modal mengalami penurunan pada saat krisis pengembangan teknologi pun

ikut tersendat. Selain itu terjadi pergantian peranan dari tenaga kerja, karena pada

saat krisis upah tenaga kerja menurun, sehingga perusahaan-perusahaan banyak

yang lebih memanfaatkan tenaga kerja menggantikan mesin karena biayanya lebih

murah pada saat itu.

Pada periode selanjutnya, yaitu pada periode 2000-2002, tingkat kemajuan

teknologi mengalami peningkatan sebesar 21.50 persen, yaitu pada masa

pemulihan ketika aliran modal ke dalam industri pengolahan kembali meningkat

dengan signifikan. Pada masa ini merupakan awal mula dilakukannya

restrukturisasi yang dirancang oleh kabinet Indonesia bersatu. Retrukturisasi

terutama dilaksanakan pada sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),

tatanan mikro, dan perbaikan birokrasi pemerintah. Kebijakan tersebut membawa

dampak positif yang signifikan, sehingga sektor industri mampu memulihkan diri

secara cepat. Dengan restrukturisasi tatanan mikro dan perbaikan birokrasi

pemerintah, aliran modal dan kegiatan administrasi perusahaan lebih lancar

sehingga sektor riil berkembang lebih cepat dan begitu pula dengan sektor industri

pengolahan, terutama industri pengolahan makanan.

Namun indeks teknologi kembali mengalami penurunan pada periode

2003-2005 sebesar 4.89 persen. Penurunan tingkat teknologi yang mencerminkan

efisiensi yang berkurang ini, disebabkan pemanfaatan teknologi pada industri

pengolahan makanan masih kurang, karena keterkaitan antar subsistem dalam

sistem agribisnis belum optimal, karena tidak adanya hubungan organisasi yang

fungsional di dalamnya. Akibatnya masing-masing subsistem tidak saling

mendukung satu sama lain yang menyebabkan pertumbuhan subsistem-subsistem

tersebut terhambat, begitu pula yang terjadi dengan pengembangan teknologinya.

Dari tahun ke tahun kebijakan pembangunan industri selalu

mengutamakan sektor industri prioritas demi mendapatkan keuntungan dari

perdagangan internasional. Namun sebagian besar industri yang dipilih bukan

merupakan industri yang berbasis pertanian yang faktor produksinya banyak

terdapat di dalam negeri, melainkan industri-industri yang bersifat high

technology dan foot-loose. Hal ini menyebabkan kemajuan teknologi hanya

berkembang pesat pada sektor-sektor industri yang menjadi prioritas, sehingga

kemajuan teknologi industri pengolahan secara keseluruhan, dan terutama pada

industri pengolahan makanan, belum mampu berkembang secara merata dan

belum bisa memberikan pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan industri

tersebut secara keseluruhan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1) Industri pengolahan makanan selalu mengalami pertumbuhan yang positif

setiap tahunnya, kecuali pada saat krisis pada periode 1997 dimana

pertumbuhannya negatif. Pertumbuhan industri pengolahan makanan pun

mulai meningkat terutama pada periode 2000-2003, namun belum mampu

mencetak angka pertumbuhan seperti pada masa sebelum krisis. Dapat

dinyatakan bahwa kondisi sektor industri pengolahan makanan di

Indonesia belum recover setelah dihantam krisis ekonomi pada tahun

1997. Potensi industri pengolahan makanan masih sangat besar untuk

berkembang secara berkelanjutan terutama dengan dukungan teknologi,

efisiensi teknis dan pemanfaatan input yang banyak tersedia di Indonesia

seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia (local resources), serta

aplikasi sistem agribisnis untuk industri pertanian.

2) Sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan masih didominasi oleh

input bahan baku sebagai penyumbang terbesar pada pertumbuhan

produktivitas industri pengolahan makanan. Dengan demikian

pertumbuhan pada industri pengolahan makanan masih memiliki

ketergantungan yang cukup tinggi terhadap akumulasi faktor terutama

faktor bahan baku. Koefisien regresi menunjukkan besarnya pengaruh

input bahan baku terhadap output, sedangkan input lainnya memang

berpengaruh secara signifikan terhadap nilai output, namun pengaruhnya

jauh di bawah signifikansi dari bahan baku.

3) Seperti pada kesimpulan kedua, sektor industri pengolahan makanan masih

bertumpu pada akumulasi faktor yaitu input bahan baku yang berpengaruh

sangat signifikan terhadap pertumbuhan nilai output. Pemanfaatan

teknologi pada industri pengolahan makanan belum optimal, hanya pada

beberapa golongan industri dengan modal yang kuat dan yang

diprioritaskan oleh pemerintah. Sehingga secara keseluruhan peranan

teknologi pada industri pengolahan makanan belum memberikan hasil

yang signifikan.

5.2. Saran

1) Dengan perubahan paradigma secara global mengenai pertumbuhan yang

bersifat sustainable (berkelanjutan), maka sumber pertumbuhan industri

pengolahan makanan seharusnya tidak hanya bertumpu kepada akumulasi

faktor (input driven), namun diperlukan juga adanya pengembangan

teknologi (technological driven) dan kreatifitas serta inovasi (innovation

driven) baik dalam industri pengolahan makanan maupun dalam sistem

agribisnis secara keseluruhan sehingga pertumbuhan industri ini dapat

berlangsung secara berkelanjutan.

2) Untuk pertumbuhan secara keseluruhan pada industri pengolahan

makanan, penerapan teknologi tidak hanya difokuskan pada industri-

industri yang dijadikan prioritas oleh pemerintah, tapi juga memperhatikan

pengembangan kelompok industri yang lain pada industri pengolahan

makanan agar adanya pemerataan pertumbuhan. Teknologi yang dipilih

pun hendaknya yang bersifat menghemat modal dan padat karya dan

melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat khususnya yang

berkecimpung dalam subsistem usahatani, karena ketersediaan faktor

tenaga kerja yang banyak di Indonesia. Namun, strategi ini perlu didukung

dengan perbaikan pada kualitas faktor tenaga kerja, seperti peningkatan

standar pendidikan atau pemberian pelatihan keahlian dan manajemen

dalam teknologi yang berbasis agribisnis (Human Capital).

3) Agar sumber pertumbuhan semakin meluas maka diharapkan pemerintah

memperhatikan dan menstimulasi pengembangan sektor industri kecil dan

rumah tangga pada industri pengolahan makanan yang sebagian besar

berkembang dari usahatani primer, sehingga dengan semakin banyaknya

produk hasil diversifikasi pada industri pengolahan makanan maka akan

semakin tinggi nilai tambah yang diberikan oleh industri ini, karena

produk yang dihasilkan telah melalui proses modifikasi/pengolahan yang

lebih panjang.

4) Perlu adanya penguatan dalam sistem agribisnis nasional, dengan

menguatkan masing-masing subsistem dalam rantai produksi industri

makanan. Perbaikan dilakukan secara menyeluruh baik dari subsistem

agribisnis hulu hingga ke hilir, dan meningkatkan keterkaitan antar

subsistem dengan menciptakan hubungan organisasi yang fungsional antar

subsistem dalam sistem agribisnis dan meningkatkan keterkaitan antar

subsistem tersebut.

Analisis mengenai pertumbuhan pada industri makanan ini masih memiliki

banyak kelemahan, diantaranya industri yang dianalisis disini hanya industri

makanan yang besar dan sedang. Fungsi produksi yang digunakan belum mampu

menjelaskan adanya sumber pertumbuhan yang berasal dari skala usaha, dan tidak

mampu menjelaskan hubungan elastisitas antara masing-masing input seperti jika

menggunakan fungsi translog. Data yang diambil merupakan data dalam satuan

nilai Rupiah, yang perkembangannya dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak

dibahas dalam penelitian ini. Maka dari itu semoga pada penelitian selanjutnya

dapat menghilangkan asumsi dan keterbatasan yang ada pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. dan D. Byerlee. 2002. Productivity Growth and Resource Degradation in Pakistan’s Punjab: A Decomposition Analysis. The University of Chicago, Chicago.

Ariani, M dan Rahman. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian di Indonesia. Icaserd Working Paper, No.17: 1-17.

Badan Pusat Statistik. 1994-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Beierlein, J.G. dan M.W. Woolverton. 1991. Agribusiness Marketing, The Management Perspective. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Pengukuran dan Analisis Produktivitas Faktor Total (PTF) Sektor Industri Pengolahan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta.

Felipe, J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical Survey, Economics and Development Resource Center, Asian Development Bank, Manila.

Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill, Inc, New York.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Irawan, B, B. Winarso, I. Sadikin, dan G. S. Hardono. 2003. Analisis Faktor Penyebab Pelambatan Produksi Komoditas Tanaman Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. 2005, Pengolahan Data Panel. Departemen Ilmu Ekonomi FEUI, Depok.

Lipsey, R.G, P.N. Courant, D.D. Purvis, P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi, Jilid Satu, Binarupa Aksara, Jakarta.

Maulana, M. 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia 1980-2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga, Jakarta.

Parikh, A dan D. Bailey. 1990. Technique of Economic Analysis With Application. The University Press, Cambridge.

Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts, McGraw-Hill, Inc, New York.

Saragih, B. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. [Kumpulan Pemikiran]. Yayasan Mulia Persada Indonesia, PT. SURVEYOR INDONESIA, Pusat Studi Pembangunan LP-IPB, Jakarta.

__________. 2004. Perkembangan Mutakhir Pertanian Indonesia dan Agenda

Pembangunan ke Depan. [Bahan Kuliah Tamu]. Universitas Brawijaya, Malang.

Simatupang, P. 1997. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah di Indonesia, Working Paper, Pusat Studi Agro Ekonomi, Bogor

Sugiyono, A. 2000. Kemajuan Teknologi dan Pembangunan Ekonomi [Tesis], Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Supriyanto, H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis “Total Factor Productivity” [Tesis], IPB, Bogor.

Todaro, M.P. 2000. Economic Development, Addison-Wesley, Massachusetts.

Wilk, E.O. dan J.e. Fensterseifer. 2002. Towards a National Agribusiness System: A Conceptual Framework. [Research Paper]. CEPAN/UFRGS, Porto Alegre.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003.

Kode Industri Uraian/ Deskripsi

15112 31112 Pengolahan dan pengawetan daging - Processing and preserving of meat

15121 31141 Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya - Canned fish and other products

15122 31142 Penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya – Salted/dried fish and other similar products

15124 31144 Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya - Frozen fish and other products

15131 31131 Pengalengan buah-buahan & sayuran - Canned fruits and vegetables

15132 31133 Pengasinan/pemanisan buah-buahan & sayuran – Salted/ sweetened fruits and vegetables

15133 31134 Pelumatan buah-buahan dan sayuran - Pulverized fruits and vegetables

15134 31135 Pengeringan buah-buah dan sayuran - Dried fruits and vegetables

15139 31139 Pengolahan dan pengawetan lainnya untuk buah-buahan dan sayuran Other processing and preserving offruits and vegetables

15141 31151 Minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani – Crude cooking oil

15144 31154 Minyak goreng dari minyak kelapa sawit - Cooking oil made of palm oil

15211 31121 Susu - Powdered, condensed and preserved milk

15311 31161 Penggilingan padi dan penyosohan beras - Rice milling and husking

15312 31162 Penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya - Other grain mill products

15316 31165 Pengupasan & pembersihan kacangkacangan - Peeling and cleaning of nuts

15321 31168 Tepung terigu - Wheat flour

15322 31169 Tepung dari bahan nabati lainnya - All flour made of other grains and roots

15323 31211 Pati ubi kayu – Tapioca

15410 31179 Roti dan sejenisnya - Bakery products

15421 31181 Gula pasir - Granulated sugar

15440 31171 Makaroni, mie, spagheti, bihun, so'un dan sejenisnya - Macaroni, spaghetti, noodle and the like

15495 31249 Makanan dari kedele dan kacangkacangan lainnya selain kecap dan tempe - Other food made of soya bean/ other nuts

15499 31279 Makanan yang belum termasuk kelompok manapun - Other food products

Sumber: BPS, 2003

Lampiran 2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja.

Output Labor Tahun Nilai Output Growth Rataan Nilai Growth Rataan

1994 14818872686 779471125 1995 18489665048 0.22131 1057894925 0.3054206 1996 22542210440 0.19817 0.20974 780212369 -0.3044701 0.000471997 26456663 -6.74763 1300875495 0.5112266 1998 45248691246 7.44442 2153499476 0.5040566 1999 31631966338 -0.35800 0.11292 2936407719 0.3100927 0.441792000 62850354063 0.68658 5435126773 0.6156958 2001 77532723572 0.20994 5723954739 0.0517771 2002 92712879104 0.17880 0.35844 3188262233 -0.5851839 0.027432003 1.23093E+11 0.28343 3970161101 0.2193306 2004* 1.34492E+11 0.08856 4263497251 0.0712831 2005** 1.38126E+11 0.02666 0.13288 4348788532 0.0198075 0.10347

Sumber: BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Lampiran 3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi.

kapital Indeks Teknologi Tahun Nilai Output Pertumbuhan Rata-rata Pertumbuhan Rata-rata

1994 10314500617 -0.19807753 1995 13925773348 0.30019058 -1.32935519 1996 16822986196 0.18900485 0.244597723 2.058644105 0.3646444541997 17824532 -6.84992574 -76.3777058 1998 30909501009 7.45824318 76.37369805 1999 41556121649 0.29598123 0.301432888 -21.5473656 -7.18379117 2000 45305333422 0.08637991 18.82973989 2001 51151400009 0.12136510 3.398094316 2002 64683128492 0.23471054 0.147485187 -1.10451811 7.0411053642003 92912003873 0.36215244 -1.18744775 2004* 1.06569E+11 0.13713539 -0.63161035 2005** 1.12782E+11 0.05667071 0.185319518 -0.66102621 -0.82669477

Sumber: BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Cara yang sama dipergunakan untuk menghitung pertumbuhan pada masing-masing kelompok industri.

Lampiran 4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa.

Kode Tahun L M E R S 1995 5875803 41671832 1439826 102480 22264471996 4963794 59125921 2743534 179103 37548081997 9381243 73976 2777 399 55321998 9979479 114532298 2818703 81203 48436141999 17694140 124353618 3144333 93241 92007852000 28510220 141457827 2601010 66088 81290592001 37104907 209564434 7582946 232516 163062412002 47899234 382189579 18113549 1621595 185852692003 80550640 482013658 22139349 33998196 306491292004* 93221344 511012628 23439509 125371993 35130958

15112

2005** 97659002 518983133 23842295 422980162 36632682Sumber: BPS Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Lampiran 5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total.

kode Tahun sL sM sE sR sS 1995 0.1145014 0.8120569 0.0280578 0.00199702 0.043386661996 0.0701426 0.8354994 0.0387684 0.00253087 0.053058621997 0.9912632 0.0078166 0.0002934 4.21601E-05 0.000584531998 0.0754561 0.8659940 0.0213125 0.00061398 0.036623211999 0.1145355 0.8049501 0.0203534 0.00060355 0.059557352000 0.1577205 0.7825544 0.0143889 0.00036560 0.044970512001 0.1370241 0.7738972 0.0280029 0.00085865 0.060217062002 0.1022593 0.8159309 0.0386703 0.00346191 0.039677412003 0.1240479 0.7423006 0.0340945 0.05235719 0.047199632004* 0.1182747 0.6483480 0.0297389 0.1590659 0.04457245

112

2005** 0.0887731 0.4717611 0.0216728 0.38449341 0.03329949Sumber: BPS, diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

xXTx

θ = (X = L, M, E, R, S); Tx = Total Input

Lampiran 6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1. kode Tahun OL OM OE OR OS

1995 0.10459217 0.82457724 0.02826785 0.00110596 0.0414567661996 0.09232205 0.82377820 0.03341314 0.00226395 0.0482226441997 0.53070293 0.42165802 0.01953094 0.00128651 0.0268215791998 0.53335971 0.43690533 0.01080301 0.00032807 0.0186038751999 0.09499582 0.83547207 0.02083304 0.00060877 0.0480902862000 0.13612798 0.79375226 0.01737123 0.00048458 0.0522639362001 0.14737231 0.77822581 0.02119595 0.00061212 0.0525937872002 0.11964175 0.79491407 0.03333664 0.00216028 0.049947242003 0.11315364 0.77911580 0.03638246 0.02790955 0.0434385272004* 0.12116132 0.69532434 0.03191674 0.10571154 0.045886045

112

2005** 0.10352388 0.56005457 0.02570590 0.27177965 0.038935974Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

1

2x x

xθ θ −+

Θ = (X = L, M, E, R, S)

Lampiran 7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan.

Kode Tahun Input Output At 1995 51316388 68601817 0.112025641996 70767160 100742914 0.063622321997 9463927 117043 -3.959953571998 132255297 156133821 3.7513740131999 154486117 199672278 0.089605512000 180764204 206629216 -0.123046492001 270791044 442059710 0.3557621412002 468409226 639833887 -0.1781973352003 649350972 826826608 -0.0971847882004* 788176432.9 886126098 -0.135093477

112

2005** 1100097275 903903714 -0.326181526Sumber: BPS, Diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

1 1 1 1 1 1

ln ln ln ln ln lnt t t t t tt L M E R S

t- t- t - t t t

Q L M E R SAQ L M E R S− − −

−Θ −Θ −Θ −Θ −Θ=

(Chambers dalam Felipe, 1997) Cara yang sama dilakukan untuk mencari indeks teknologi (efisiensi teknis) pada kelompok industri yang lain.

Lampiran 8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output.

Nilai Output (Ribu Rp) Kontribusi Output (%) Kode 2003 2004* 2005** 2003 2004 2005

15112 826826608 886126098 903903714 0.67 0.66 0.6515121 2330844924 2397968300 2416592684 1.89 1.78 1.7515122 308230872 303424921 302812064 0.25 0.23 0.2215124 13356110733 14194801154 14388253504 10.85 10.55 10.4215131 777660789 753038123 749695586 0.63 0.56 0.5415132 10285458 10454216 10487197 0.01 0.01 0.0115133 131063216 173085050 185327047 0.11 0.13 0.1315141 38302787578 40498316590 41167644671 31.12 30.11 29.8015144 34399184852 42108651744 44717016043 27.95 31.31 32.3715211 6950594439 6689889783 6641773444 5.65 4.97 4.8115311 1170128400 1184553759 1186588706 0.95 0.88 0.8615316 27265706 27331116 27336366 0.02 0.02 0.0215321 4108722422 4265088073 4296349319 3.34 3.17 3.1115322 349820794 350007332 350051220 0.28 0.26 0.2515323 970788328 942625942 937904933 0.79 0.70 0.6815410 3747385874 3503141248 3462878487 3.04 2.60 2.5115421 9596192024 9807508863 9844616918 7.80 7.29 7.1315440 4771844456 5489797437 5636262608 3.88 4.08 4.0815495 389365517 385973310 385248347 0.32 0.29 0.2815499 568017553 520376896 515462205 0.46 0.39 0.37Total 123093120543 134492159955 138126205065 100.00 100.00 100.00

Sumber : BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara

Lampiran 9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:36 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 12 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.965195 0.023386 41.27199 0.0000L? 0.029732 0.001565 18.99841 0.0000M? 0.820280 0.004277 191.7720 0.0000E? 0.069112 0.005081 13.60200 0.0000R? 0.010349 0.001190 8.697967 0.0000S? 0.074726 0.003022 24.72924 0.0000T? 0.036651 0.002854 12.84214 0.0000

Weighted Statistics R-squared 0.999939 Mean dependent var 69.07875Adjusted R-squared 0.999938 S.D. dependent var 80.72306S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72878F-statistic 584087.7 Durbin-Watson stat 1.756550Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.956226 Mean dependent var 19.76515Adjusted R-squared 0.954993 S.D. dependent var 3.007818S.E. of regression 0.638105 Sum squared resid 86.72879Durbin-Watson stat 1.927015

Lampiran 10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:41 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 29 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. L? 0.030542 0.001207 25.30020 0.0000M? 0.855832 0.006605 129.5828 0.0000E? 0.063447 0.003866 16.41237 0.0000R? 0.002593 0.001205 2.151633 0.0327S? 0.061220 0.003474 17.62132 0.0000T? 0.028097 0.002663 10.55094 0.0000

Fixed Effects 112_--C 0.691954 121_--C 0.800077 122_--C 0.571591 124_--C 0.186895 131_--C 0.654709 132_--C 1.290181 133_--C 0.813399 141_--C 0.642527 144_--C 0.584981 211_--C 0.751963 311_--C 0.608693 316_--C 0.705224 321_--C 0.400858 322_--C 0.657827 323_--C 0.364875 410_--C 0.251363 421_--C 0.714726 440_--C 0.491981 495_--C 0.442082 499_--C 0.550154

Weighted Statistics R-squared 0.999962 Mean dependent var 78.40112Adjusted R-squared 0.999957 S.D. dependent var 96.50561S.E. of regression 0.635456 Sum squared resid 78.33813F-statistic 202032.4 Durbin-Watson stat 2.029123Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.960461 Mean dependent var 19.76515Adjusted R-squared 0.955365 S.D. dependent var 3.007818S.E. of regression 0.635459 Sum squared resid 78.33873Durbin-Watson stat 2.239610

Lampiran 11. Hasil Perhitungan Uji Statistik Chow.

1, 19,194 20,200

( ) /( 1)/( )

(86.72878-78.33813)/(20-1) = 78.33813/(200-20-6)

= 1.0936303

1.971.0936303 1.97

Chow

N NT N K

Chow Tabel

RRSS URSS NFURSS NT N K

F F F

F F

− − −

− −=

− −

= ≡

=< → <

Lampiran 12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section.

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05

RESID112_RESID121_RESID122_RESID124_RESID131_RESID132_RESID133_

RESID141_RESID144_RESID211_RESID311_RESID316_RESID321_RESID322_

RESID323_RESID410_RESID421_RESID440_RESID495_RESID499_