suara politik pers medan prijaji: kajian terhadap...
TRANSCRIPT
SUARA POLITIK PERS MEDAN PRIJAJI: KAJIAN TERHADAP
TULISAN R.M TIRTO ADHISOERJO TAHUN 1909-1910
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh :
Asep Halimi
1111022000059
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/ 1437 H
i
ABSTRAK
Skripsi ini berusaha untuk menganalisa pengaruh tulisan R.M. Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) dan kebijakan pemerintah terhadap pers. Dalam hal ini,
pers sebagai alat perjuangan pribumi berpotensi menjadi ancaman bagi
keberlangsungan politik kolonial Hindia Belanda. Selain itu skripsi ini juga ingin
melanjutkan kajian pers (surat kabar) yang belum banyak membahas secara
terperinci tentang pengaruh pers di abad ke-20 Masehi. Penelitian ini bersifat
analitycal history, karena itu, metode yang penulis gunakan adalah kajian
kualitatif, dan data penulis peroleh melalui penelusuran literatur dan dokumentasi.
Penulis mendasarkan analisa ini pada teknik penelitian sejarah: heuristik,
verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Dalam penelitian ini, penulis
mendapatkan temuan-temuan baru terkait dengan pengaruh pers di awal abad ke-
20 M. dengan mengkaji beberapa tulisan R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
dalam surat kabar Medan Prijaji. Selain itu, penulis juga menemukan fakta-fakta
terkait suara-suara politik tentang pemerintah dan masyarakat pribumi dalam surat
kabar Medan Prijaji. Dengan demikian, penelitian ini penulis harapkan dapat
melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang belum sempat menjawab
permasalahan yang menjadi fokus kajian skripsi ini.
Skripsi ini juga ingin meningkatkan kajian sejarah dari sudut pandang pers
dengan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa dengan menggunakan
pendekatan tersebut, penulis simpulkan bahwa tulisan-tulisan R.M Tirto
Adhisoerjo yang bermuatan politik dalam surat kabar Medan Prijaji menjadi
ancaman bagi keberlangsungan pemerintahan kolonial dan menjadi sarana
penyadaran politik bagi masyarakat pribumi.
Kata kunci : Pers, Medan Prijaji, R.M. Tirto Adhisoerjo, Pemerintah,
Pribumi
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih Lagi
Maha Penyayang karena atas rahmat dan karuniaNya, sholawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang
sungguh-sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis dapat menyelesaikan
Skripsi ini dengan Judul “Suara Politik Pers Medan Prijaji: Kajian Terhadap
Tulisan R.M. Tirto Adhisoerjo Tahun 1909-1910”. Meskipun penulis sadar
betul akan banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis
berkeyakinan karya ini dapat memberikan manfaat bagi para penggiat kajian
sejarah pers.
Terwujudnya Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun
pemikiran yang diberikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
3. H. Nurhasan, M.A Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora.
iii
4. Drs. Tarmizy Idris, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan banyak nasihat, masukan dan arahan bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Solikhatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam yang telah sabar mengurusi semua administrasi yang penulis butuhkan.
6. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A. selaku dosen penguji I sekaligus
penasihat akademik yang baik dalam memberikan, masukan, arahan dan
motivasi yang baik bagi penulis.
7. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A., Ph.D., selaku doen penguji II yang
telah membantu penulis dalam memperbaiki skripsi ini baik dari segi isi,
maupun kalimatnya. Dari perbaikan ini, penulis belajar bagaimana menulis
tulisan yang akademik, dan lebih enak dibaca.
8. Drs. H. Azhar Saleh, M.A selaku dosen pembimbing akademik yang telah
dengan sabar mengajari dan membimbing penulis.
9. Amil Sarmili dan Nafsiah, selaku orang tua penulis. Terimaksih atas motivasi,
cinta dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.
10. Ust. Abdullah Syafi‟i selaku orang tua dan guru spiritual yang banyak
mendoakan dan memotivasi penulis.
11. Kaka dan adik-adikku tercinta, M. Yunus, Nurjanah, Ma‟mun Nawawi, Dede
Nurhadi, Melinda dan Dzidane Abdillah. Trimakasih telah menjadikan rumah
sebagai lingkungan yang hangat dalam berdiskusi dan mengadu hati.
12. Seluruh Dosen Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
13. Jeanita Inayah Arifianingsih, „Alarm‟ terindah yang selalu mengingatkan
bahwa skripsi ini harus segera selesai. Semoga semuanya indah pada
waktunya
14. Mumu Muakhir, Hanna Nurjanah, Tomy Sutrisno. Terimakasih atas segala
masukan dan bimbingan yang tanpa pamrih terhadap penulis.
15. Jaka Samudri, Amalia Rahmadanty, Zahrul Muntaqo. kawan seperjuangan
dalam menggapai cita-cita, terimaksih telah menjadi sahabat yang baik dalam
hal saling mensupport dan mengkritik.
16. Segenap kawan-kawan GPPI (Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia), yang
telah menuntun dan terus memberikan transformasi kesadaran menuju tugas
mulia yang seharunya sebagai pemuda patriotik untuk mampu menjadi
pelopor kemajuan dan kemandirian bangsanya.
17. Teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2011 yang selalu memberi
dukungan dan masukan kepada penulis.
Semoga segala bantuan yang tidak ternilai ini mendapat keberkahan disisi
Allah SWT, Amiin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh Karen itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan kedepannya. Amiin Ya
Rabbal „Alamin.
Jakarta, 23 Juni 2016
Penulis,
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................v
DAFTAR ISTILAH ..........................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................10
D. Tujuan Penelitian .........................................................................11
E. Manfaat Penelitian .......................................................................11
F. Tinjauan Pustaka .........................................................................12
G. Metode Penelitian ........................................................................15
H. Sistematika Penulisan ..................................................................19
BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA DAN
SEJARAH TEBENTUKNYA PERS MEDAN PRIJAJI
A. Kebijakan Politik Pemerintah Hindia Belanda di Awal
Abad ke-20 ..................................................................................20
B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pers .........................................23
C. Sejarah Perkembangan Pers di Hindia Belanda dan
Awal Kebangkitan Pers Pribumi .................................................34
D. Sejarah Terbentuknya Pers Medan Prijaji ..................................40
BAB III PERAN PERS MEDAN PRIJAJI TERHADAP PRIBUMI
A. Medan Prijaji sebagai Medan Perjuangan Masyarakat
Pribumi ........................................................................................57
B. Medan Prijaji sebagai Alat Tranformasi Politik Masyarakat
Pribumi ........................................................................................ 66
vi
C. Medan Prijaji Pengawali Lahirnya Kesadaran Nasional ............ 74
BAB IV PENGARUH SUARA POLITIK R.M. TIRTO ADHISOERJO
DALAM MEDAN PERIJAJI
A. Suara Politik R.M. Tirto Adhisoerjo sebagai Kritik
Terhadap Sistem Pemerintah Kolonial ........................................85
B. Suara Politik R. M Tirto Adhisoerjo dalam Pembongkaran
Skandal Politik Pemerintah Hindia Belanda ...............................91
C. Suara Politik R.M. Tirto Adhisoerjo sebagai Penyalur
Advokasi Masyarakat Terhadap Pemerintah Hindia Belanda .....96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................108
B. Saran ...........................................................................................110
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................112
LAMPIRAN…………………………………………………………………....115
vii
DAFTAR ISTILAH
Algemeen Verslag Laporan umum
bervoedering van welvaart Memajukan kesejahteraan.
Culturestelsel Sistem tanam paksa
Drukpersreglement Peraturan Pers
Fiscus Pembendaharaan negeri
Landrente Sistem pajak yang dibuat oleh Stanford
Raflles
ontwikkeling Perkembangan
opvoeding Pendidikan
Patrimonial Sistem bentukan hubungan tuan dan anak buah
Pers Putih Pers yang dimiliki oleh orang kulit putih (Eropa)
Persdelict Kasus Pers atau pelanggaran pers
Politik Etis Politik balas budi
Preventif Sistem pencegahan
Pribumi Masyarakat asli Hindia Belanda (Indonesia)
Prijaji Kelas sosial dalam golongan bangsawan
Represif Sistem pengawasan yang ketat
vooruitgaang, opheffing Kemajuan
viii
DAFTAR SINGKATAN
ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia
ENOI Encyclopaedie van Nederlandsch Oost Indie
HB Hindia Belanda
IP Indische Partij
MP Medan Prijaji
PNRI Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
RR Regeerings Reglement
SDI Sarekat Dagang Islam
VOC Verenigde Oost-Indische Compagnie
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi industri yang terjadi di Eropa berhasil mendorong terjadinya
perubahan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa,
akan tetapi juga masyarakat di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.
Apalagi dengan perubahan paradigma filsafat yang diterapkan oleh
imperialisme Barat pada saat itu. Daerah jajahan tidak hanya merupakan
daerah taklukan saja tetapi fungsinya lebih diberdayakan dari sekedar daerah
penghasil bahan baku dan pemasaran hasil industri, tetapi juga secara aktif
dijadikan sebagai tempat penanaman modal (investasi). Selain karena desakan
kebutuhan aman yang menuntut diikutinya arus revolusi industri, muncul pula
kritikan dari kaum humanis dan demokrat di negeri Belanda tentang
pemberlakuan sistem tanam paksa di Indonesia. Desakan desakan tersebut
pada akhirnya mendorong untuk dihapuskannya sistem tanam paksa pada
tahun 1870.1
Disamping derasnya arus Imperialisme dan kolonialisme di Nusantara
khususnya di Indonesia berkembang juga industri percetakan dan pers sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari dampak revolusi industri. pada abad ke-19
berkembang juga Industri Persuratkabaran di Hindia Belanda sebagai
penopang jalannya ekspansi kolonial. Pada tahun 1860-1880 mulai
1 http://www.gurusejarah.com/2015/02/pengaruh-revolusi-industri-di-indonesia.html
2
bermunculan geliat pers Belanda berbahasa pribumi yang digerakan oleh
swasta guna menunjang sistem ekonomi liberal pada masa diterapkan
kebijakan politik ekonomi pintu terbuka oleh Belanda. Pada masa sistem
politik kolonial liberal (1850-1870)2 pers berfungsi sebagai alat untuk
memasarkan hasil industri dan memuat informasi perdagangan di Hindia
Belanda.
Tahun 1870 Belanda memasuki kapitalisme modern. Dari hasil revolusi
industri selama dua dasawarsa sebelumnya dibuktikan dengan perkembangan
industri, perkapalan, perbankkan, dan alat komunikasi modern. Volume
perdagangan berkembang dengan pesatnya, sedangkan perkembangan modal
mununjukan jumlah perbandingan yang besar, sistem perdagangan yang
bebas mengatur hubungan perdagangan-perdagangan Belanda dengan negara
tetangga. Politik pintu terbuka di Hindia Belanda dan perkembangan
perusahaan-perusahaan milik swasta telah sampai pada kelebihan produksi
yang kemudian harus mencari pasaran di negara-negara lain di luar Belanda
sendiri. 3 Pada masa ini Pers memegang peranan penting sebagai bagian dari
alat komunikasi modern untuk menyuguhkan informasi pasar dan
perkembangan arus modal di Hindia Belanda. Di zaman ini pers sebagai
bagian dari dampak revolusi industri berfungsi sebagai penopang jalannya
ekspansi kolonial di Hindia Belanda, gerakannya sejalan dengan arus
perkembangan kondisi sosio-politik yang ditentukan oleh kebijakan
pemerintah kolonial. Hal ini terus berlanjut sampai pada tahun 1902 ketika
2 Anonimous, Politik Kolonial Hindia Belanda Abad k-XIX, tahun 1967, koleksi
perpustakaan Nasional Indonesia.h. 18 3 Anonimous, Politik Kolonial Hindia Belanda Abad Ke-XIX, h.19.
3
diterapkannya kebijakan politik etis yang memberikan perubahan baru pada
kondisi sosio-poitik Hindia Belanda. Masa politik etis merupakan zaman
modern kedua yang memicu sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Sejarah pergerakan Indonesia di mulai sejak diterapkan gagasan politik
etis4 atau politik balas budi yang di gagas oleh Van de Venter pada sekitar
tahun 1902. Ide ini yang kemudian melahirkan elit-elit modern di Indonesia.
Pemerintah Hindia-Belanda yang mencanangkan pengadaan dan perbaikan di
bidang pendidikan untuk pribumi tanpa disadari telah mengilhami kesadaran
kebangsaan dan memicu perubahan sosial pada masyarakat Hindia-Belanda.
Pada babak awal abad ke-20 ini banyak kaum pribumi terutama kaum elit
terdidik yang mulai memiliki kesadaran kebangsaan, hal ini dapat dilihat dari
langkah progresif yang dilakukan tokoh-tokoh pribumi dalam hal
mengorganisasikan diri dan menuangkan gagasan serta konsep
kebangsaannya melalui pers. Pers sebagai langkah positif yang dipergunakan
oleh tokoh-tokoh muda terpelajar pribumi sebagai sarana yang tepat untuk
menyebarluaskan gagasan kebangsaan bagi bangsa pribumi. Hal ini dapat
dilihat dari kemajuang pers milik pribumi pada abad ke-20 yang memberikan
warna baru bagi kehidupan sosio-politik Hindia Belanda.
Sejalan dengan itu, penulis tertarik untuk mengkaji suatu pembahasan
sejarah dari objek kajian yang berbeda. Melalui analisis terhadap sejarah pers
4 Takashi Siraishi menyebutkan bahwa zaman etis “pilitik eties” adalah zaman modern
yang merupakan zaman baru dalam politik colonial dimulai. Semboyan dari zaman baru ini adalah
“kemajuan”. Kata-kata yang menandakan kemajuan, seperti “vooruitgaan, opheffing (kemajuan)
ontwikkeling (perkembangan), dan opvoding (pendidikan), membubuhi bahasa saat itu bersama
bervoedering van welvaart (memajukan kesejahteraan). Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak,
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Grafiti: Jakarta, 1997) cet. I, h. 35.
4
pribumi yang memiliki peranan sangat besar pada era awal kebangkitan
nasional. Dalam skripsi ini penulis mendapatkan ketertarikan besar untuk
mengkaji bagaimana peran persuratkabaran atau pers pribumi memberikan
kontribusi dalam sejarah pergerakan di masa awal kebangkitan nasional.
Ditengah ketatnya peraturan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers,
kehadiran pers yang digerakan oleh pribumi mampu bertahan dan
memberikan kontribusi yang luar biasa bagi lahirnya kesadaran nasional.
Sebagai pers yang berpihak dan membela kepentingan bangsa pribumi,
tentu kehadirannya menjadi ancaman bagi jalannya pemerintah kolonial
Hindia Belanda. berangkat dari asusmsi itu, penulis tertarik untuk menelisik
lebih jauh mengenai keberadaan dan fungsi pers di awal zaman pergerakan
Indonesia. Melalui telaah terhadap kajian sejarah pers, ditemukan kiprah
seorang tokoh muslim pelopor pers bernama R.M Tirto Adhisoerjo (1880-
1918) yang lahir dalam keluarga bupati Bojonegoro pada tahun 1880, tetapi
menolak masuk Pangrehpraja, bersekolah beberapa tahun di STOVIA
Batavia. Pada tahun 1903 ia mendirikan dan memimpin surat kabarnya
sendiri, Soenda Berita. Dengan bantuan keuangan dari Bupati Cianjur R.A.A.
Prawiradireja lalu bergabung dengan Pemberita Betawi sebagai redaktur pada
tahun 1906. Ia mendirikan Sarekat Prijaji yang bermaksud untuk memajukan
pendidikan anak-anak priyai dan bangsawan pribumi lainnya dengan
pemberian beasiswa. Pada tahun 1907, ia menerbitkan mingguan baru dengan
judul Medan Prijai dan tahun berikutnya bersama Haji Mohamad Arsad dan
Pengeran Oesman mendirikan perusahaan terbatas pertama milik pribumi,
5
N.V Javasche Boekhandelen Drukkerijj “Medan Prijaji”. dan membeli salah
satu percetakan pertama milik pribumi. sebagai penopang modal untuk
Medan Prijaji ia juga mendirikan Sarekat Dagang Islamijah tahun 1909 yang
terdiri atas saudagar-saudagar muslim di Bogor. Sebagai perkumpulan kaum
Mardika, terjemahan bahasa Melayunya dari istilah Belanda Vrije Burgers
dan mengitkuti bentuk Siang hwee (kamar dagang Tionghoa), ini adalah suatu
bentuk Idea of Progress yang ditangkap oleh R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-
1918) pada zamannya untuk memajukan bangsa pribumi5
R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) adalah bangsawan muslim Jawa
pertama yang sadar memasuki dunia perniagaan dengan jurnalistik sebagai
sarana, ia juga orang yang pertama terjun di bidang jasa sosial, mula-mula
dikerjakan sebagai perorangan, mencarikan kerja, dan memberi bantuan
hukum bagi bangsa pribumi secara cuma-cuma. Semua kerja kerasnya
tersebut dapat ditemukan dalam pers Medan Prijaji yang ia dirikan. Ia adalah
motor gerakan kemajuan bangsa pribumi, dengan segala usahanya dalam
mendirikan Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islamijah (1909), dan pers Soenda
Barita (1903-1906), Medan Prijaji (1907-1912), Soeloeh Keadilan (1909-
1912), Poetri Hindia (1909-19012).6 Dari usaha besarnya mumbuktikan
bahwa kemajuan atas bangsa pribumi telah dimulai, dengan kerjakerasnya
yang luar biasa, tokoh ini mampu menangkap tantangan zamannya dengan
baik serta mampu mengawal lahirnya kesadaran nasional.
5 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di JAwa1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Grafiti, 1997) h. 43-44. 6 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h. 7-8.
6
Terlepas dari besarnya peran tokoh R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
pada masa awal sejarah pergerakan Indonesia pada abad ke-20, dalam
penulisan skripsi ini penulis akan memfokuskan objek kajian pada pers
Medan Prijaji yang ia dirikan. Medan Prijaji adalah organnya yang
diterbitkan mula-mula sebagai mingguan (1907-1909) dan berubah menjadi
harian pada tahun (1910-1912). R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
menciptakan gaya jurnalistiknya tersendiri dalam Medan Prijaji dengan
bahasa yang penuh sindiran dan menggunakan kata-kata Melayu, Jawa,
Sunda, dan Belanda7, Medan Prijaji menjadi surat kabar yang terkemuka
pada saat itu , dengan pelanggan mencapai 2000 orang pada awal tahun 1911,
meskipun menggunakan nama Medan Prijaji, surat kabar ini tidak lagi
menjadi forum bagi priyai seperti Pewarta Prijaji dari Koesoemo Oetojo.
Seperti yang terungkap dalam mottonya” “ Soeara bagi sekalian Radja-radja,
Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan Saudagar Boemiputra dan Officer-
officer serta Saudagar-saudagar dari bngsa jang terperentah lainnya jang
dipersamakan dengan anak negeri, di seloeroeh Hindia Olanda.8 “Bangsa”
kini dapat dibayangkan dengan jelas kata Tirto Adhisoerjo sendiri sebagai
anak Negeri Hindia Belanda (Indonesia).9
Medan Prijaji adalah surat kabar mingguan pertama di Jawa yang
mengambil peran sebagai corong kaum pribumi dan forum bagi pembaca
pribumi untuk mengekspresikan pandangan serta mendiskusikan berbagai isu
7 Lihat karangannya yang brjudul “Persdelict: Umpatan – A. Simon Kontra R.M. Tirto
Adhisoerjo.” Naskah aslinya ditrbitkan dalam Medan Prijaji, no. 19 (1909), h. 223-235. 8 Pramoedya Ananta Toer, sang Pemula, h. 49.
9 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa1912-1926, h. 44-45.
7
terkait ksejahteraan pribumi, terutama soal pendidikan bangsa pribumi dan
soal-soal sosial-politik seperti kritik terhadap priyai yang korup dan pejabat
pemerintah yang telah menyalahgunakan kekuasaan dan mengeksloitasi
rakyat kecil. Disini pandangan Medan Prijaji terlihat jauh lebih radikal dari
pendahulunya Soenda Barita . kritik blak-blakan R.M. Tirto Adhisoerjo
(1880-1819) kepada pejabat Belanda dan pribumi, serta sentiment
nasionalistisnya yang mencolok jelas menunjukan orintasi politik pers ini.10
Sebagai corong perjuangan bangsa pribumi, Medan Prijaji tetap konsisten
beridiri ditengah ketatnya peraturan terhadap pers yang dibuat oleh pemrintah
Hindia Belanda.
Keberhasilan R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) sebagai redaktur
penerbit pertama, sebagian karena hubungannya dengan Gubernur General
Van Heutsz yang memberinya perlindungan dari gangguan birokrasi dan
kehormatan diantara anak bangsanya yang terdidik.11
Karena pemikiran
etisnya membuat R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) mempunyai hubungan
yang spesial dengan Van Heutsz. Akan tetapi pada 1909 van Heutsz
meninggalkan jabatannya dan Gubernur Jenderal baru, A.W.F Idenburg tiba
di tanah Hindia dan ia segera kehilangan perlindungannya yang paling kuat
dan beberapa bulan harus menjalani hukuman pembuangan atas kritikan dan
tulisan-tulisannya terhadap penguasa dalam pers Medan Prijaji. Selepas
hilangnya perlindungan Gubernur Jenderal Van Heutsz berbagai serangan
datang dari lawan politiknya yang pernah ia bongkar skandal atas kasus-
10
Ahmat Adam, Seajarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonsiaan 1855-
1913, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), h. 188. 11
Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 51-54.
8
kasusnya.12
Dengan demikian, perjalanan pers Medan Prijaji dan R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) mulai menemukan jalannya yang terjal sampai pada
akhir berehentinya terbitan Medan Prijaji tahun 1912.
Melalui kajian terhadap tulisan R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
dalam pers Medan Prijaji tahun 1909 dan 1910 (terbitan tahun 1907-1908 dan
1911-1912 tidak dapat ditemukan), dapat ditemui beberapa fakta mengenai
usaha-usaha Tirto untuk memperjuangkan bangsanya melalui dunia
jurnalistik. Suara-suara politiknya yang berani dan penuh sindiran telah
berhasil membuat gentar pemerintahan Hindia Belanda yang tidak
menjalankan kekuasaan dengan sebagaimana mestinya. Kehadirannya bahkan
berpotensi menjadi ancaman baru bagi jalannya pemerintahan kolonial Hindia
Belanda, dengan adanya pengetatan peraturan pemerintah terhadap pers dan
respons dari para penguasa yang menjadi lawan politiknya, ia tetap konsisten
meneruskan perjuangannya dalam Medan Prijaji. Disisi lain, tulisan-
tulisannya mampu menjadi stimulus lahirnya kesadaran kebangsaan bagi
bangsa pribumi, sebagai pers yang berpihak pada kepentingan rakyat pribumi,
Medan Prijaji dan R.M Tirto Adhisoerjo berhasil menjadi wadah bagi
perjuangan bangsa pribumi.
Berangkat dari kajian terhadap tulisan-tulisan Tirto Adhisoerjo dalam
Medan Prijaji yang memberikan dampak posisif bagi kemajuan masyarakat
pribumi, oleh karena itu, kehadirannya dianggap menjadi ancaman baru bagi
jalannya pemerintahan. Maka dari itu perlu kiranya ditelisik lebih dalam
12
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa1912-1926, h. 45.
9
menganai kenapa pers Medan Prijaji tetap bertahan disaat menjadi ancaman
bagi jalannya pemerintahan Hindia Belanda, dan bagaimana respons
pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kehadiran Medan Prijaji.
berangkat dari pertanyaan tersebut, penulisan skripsi ini akan berusaha
menjawab pertanyaan yang diajukan dan belum terjawab oleh peneliti sejarah
pers sebelumnya.
B. Identifikasi Masalah
Sejak diterapkannya kebijakan politik etis tahun 1901, muncul berbagai
perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial-politik di Hindia Belanda
Suatu zaman modern yang ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh pergerakan
nasional Indonesia. Pada zaman ini muncul dan berkembang pers yang di
gerakan oleh bangsa pribumi sebagai sarana perjuangan melawan sistem
kolonial Belanda. Sebagai pelopor perjuangan tersebut, muncul seorang tokoh
bernama R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) yang pertama menggunakan
pers sebagai senjata pembela keadilan bagi rakyat pribumi dengan mendirikan
surat kabar Medan Prijaji (1907-1912). Sejak kemunculan pers pribumi,
dalam hal ini pers Medan Prijaji dianggap sebagai ancaman bagi jalannya
pemerintahan kolonial Belanda. Terdapat beberapa permasalahan yang
berhasil penulis identifikasi dan perpotensi menjadi objek kajian terkait peran
pers di tengah ketatnya sistem pemerintahan Hindia Belanda, diantaranya:
10
1. Kehadiran tulisan R.M. Tirto Adhisoerjo dalam surat kabar Medan Prijaji
menjadi ancaman bagi jalannya sistem pemerintahan kolonial Hindia
Belanda.
2. Kebiajakan pers internasional tidak berpihak pada pelaku pers di Negara-
negara jajahan seperti di Hindia Belanda.
C. Pembatasaan dan Perumusan Masalah
Dari dua permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya
penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar
tulisan-tulisan R.M Tirto Adhisoerjo dalam surat kabar Medan Prijaji
terhadap sistem pemerintahan Hindia Belanda. Penulis juga akan menelisik
lebih jauh mengenai dampak dari tulisan-tulisan R.M Tirto Adhioerjo bagi
pemerintahan Hinidia Belanda dan rakyat pribumi. Batas tahun yang
digunakan ialah tahun 1907-1912 dimana surat kabar Medan Prijaji berdiri.
Ruang lingkup yang digunakan adalah Hindia Belanda secara keseluruhan,
ditrutama di pulau Jawa dimana surat kabar Medan Prijaji berdiri.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, kemudian muncul beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Kenapa pers Medan Prijaji tetap bertahan disaat menjadi ancaman bagi
jalannya pemerintahan Hindia Belanda?
2. Bagaimana kebijakan dan respons pemerintah Hindia Belanda terhadap
pers Medan Prijaji?
3. Bagaimana peran surat kabar Medan Prijaji terhadap pribumi?
11
4. Bagaimana pengaruh tulisan Tirto Adhisoerjo dalam surat kabar Medan
Prijaji?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan kenapa pers Medan Prijaji tetap bertahan disaat menjadi
ancaman bagi jalannya pemerintahan Hindia Belanda
2. Menjelaskan kebijakan dan respons pemerintah Hindia Belanda terhadap
pers Medan Prijaji?
3. Bagaimana peran pers Medan Prijaji bagi masyarakat pribumi
4. Bagaimana pengaruh tulisan Tirto Adhisoerjo dalam pers Medan Prijaji?
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari pnelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran bagaimana peran R.M Tirto Adhisoerjo dalam pers
Medan Prijaji terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan masyarat
pribumi
2. Menambah khazanah penelitian terhadap surat kabar (pers) terutama pers
Medan Prijaji setelah sebelumnya pembahasan ini tidak banyak bahkan
belum sama sekali menjadi sorotan, terutama oleh mahasiswa Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas
Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Melihat pada peran dan manfaat
perkembangan pers di awal abad ke-20 yang signifikan dalam mengawali
12
kesadaran nasional masyarakat pribumi seharusnya dapat menambah
gairah kajian sejarah khususnya bagi mahasiswa Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam kosentrasi Asia Tenggara.
3. Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara terperinci
dengan menggunakan metode penelitian sejarah yang ilmiah. Untuk itu
penelitian ini juga bermaksud untuk memberikan tambahan terhadap
kajian sejarah pers agar kelak penelitian ini dapat menjadi sumbangan
yang berarti bagi kajian sejarah pers di Asia Tenggara. Khususnya bagi
mereka yang menaruh perhatian terhadap sejarah pers di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian mendalam mengenai suara politik Medan Prijaji belum
pernah dilakukan oleh para peneliti, kebanyakan penelitian yang dilakukan
oleh penulis lebih berorientasi pada tokoh R.M Tirto Adhisoerjo dan
pembahasan Medan Prijaji secara umum. Walaupun demikian, sedikit banyak
informasi dan kiprah Medan Prijaji tersebut telah dipaparkan. Adapaun
penilitian lebih mendalam terhadap aspek politis dalam tulisan yang di
terbitkan dalam Medan Prijaji baru pertama kali untuk penelitian sejarah ini.
Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka:
1. Terbitan Medan Prijaji tahun ke III dan IV (1909-1910) sebagai bahan
kajian teks mendalam. Sebagaimana fokus kajian Skripsi ini tentang suara-
suara politik Medan Prijaji dalam kajian tulisan-tulisan R.M Tirto
Adhisoerjo, data dan dokumen yang diterbitkan oleh redaksi pers ini
13
menjadi bahan utama untuk membuktikan bagaimana Medan Prijaji
memberikan warna yang berbeda dalam dunia persuratkabaran di Hindia
Belanda. Pembahasaan redaksi yang berani, tegas dan penuh semangat
dapat ditemukan dari beberapa terbitan yang diedarkan pada tahun 1909-
1910.
2. Sang Pemula13
karya Pramoedya Ananta Tour. Buku ini lebih menitik
beratkan pada kiprah seorang tokoh R.M Tirto Adhisoerjo sebagai seorang
pemula dalam konteks perjuangan diawal zaman pergerakan. Namun,
dalam tulisannya tersebut sedikit banyaknya Pramoedya telah memberikan
informasi menyangkut Medan Prijaji sebagai pers pribumi yang didirikan
oleh Tirto Adhisoerjo (1880-1918) di tahun 1907-1912. Pembahasan pada
buku Sang Pemula, Pramoedya memberikan penjelaskan singkat tentang
bagaimana Tirto Adhisoerjo membangun Medan Prijaji, termasuk
didalamnya dibahas kelahiran, perkembangan sampai masa berakhirnya
Medan Prijaji.14
3. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan15
, karya
Ahmat Adam. Buku ini lebih menitikberatkan pada pembahasan
menyangkut sejarah awal pers dan pertumbuhannya, tetapi juga membahas
mengenai Medan Prijaji sebagai surat kabar mingguan pertama di Jawa
yang mengambil peran sebagai corong kaum terpelajar pribumi dan forum
bagi para pembaca pribumi untuk mengekspresikan pandangan mereka
13
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Hasta Mitra:Jakarta) 1985. 14
Informasi terkait Medan Prijaji dapat dilihat pada buku Pramoedya Ananta Toer, Sang
Pemula, (Hasta Mitra:Jakarta) 1985. 15
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1855-
1913, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003)
14
serta mendiskusikan berbagai isu menyangkut kesejahteraanya, terutama
soal pendidikan dan politik seperti kritik terhadap para priyayi yang korup
dan kritik terhadap sistem kolonial yang menindas. Gaya tulisan dan kritik
balak-blakannya yang tegas menyangkut kebijakan pemerintah dan sistem
kolonial memberikan gambaran sentimen politik yang semakin radikal dan
berani untuk meningkatkan semangat nasionalisme rakyat pribumi16
.
4. Beberapa Segi Perkembangan pers di Indonesia, di susun oleh tim peneliti
Sejarah pers Indonesia. Dalam penlitian tersebut lebih menitik beratkan
pada aspek-aspek perkembangan pers Indonesia dalam lintas sejarah.
Dalam penelitian ini hanya sedikit informasi yang dituliskan menyangkut
pembahasan pers Medan Prijaji. Buku tersebut hanya memberikan
informasi singkat mengenai pers Medan Prijaji sebagai pelopor pers
nasional yang didiriakan oleh Tirto Adhisoerjo sejak tahun 1907 yang
awalnya terbit dalam skala mingguan dan kemudian pada tahun 1910 terbit
menjadi skala harian sampai akhirnya runtuh di tahun 1912. Namun
meskipun pembahasan menyangkut Medan Prijaji sangat minim informasi
yang lengkap mengenai segi-segi perkembangan pers dan kebijakan
pemerintah memberikan banyak informasi tentang bagaimana pers pribumi
mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap kemajuan bangsa
pribumi.17
17
Informasi terkait Medan Prijaji dapat ditemui dalam buku Abdurahman Surjomihardjo,
Hilman Adil, A.B. Lapian, dkk, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia,(Jakarta:
Kompas,2002) . h. 76-78.
15
Melalui komparasi beberapa buku sekunder dan kajian terbitan-
terbitan asli Medan Prijaji (1909-1910) ini penulis akan mengkaji lebih
mendalam tentang bagaimana suara politik R.M Tirto Adhisoerjo dalam
Medan Prijaji terhadap pemerintah Hindia Belanda maupun masyarakat
pribumi sehingga dapat memberikan gambaran informasi yang
komprehensip tentang bagaimana peran pers dalam perjuangan politik di
awal zaman pergerakan.
G. Metode Penelitian
Penelitian karya tulis ilmiah atau Skripsi ini penulis menggunakan
metode kualitatif berbasis pada kepustakaan dengan pendekatan deskriptif
analitik, yakni dengan memberi pemaparan umum tantang perkembangan
pers dan kondisi sosial politik di bawah pemerintahan Hindia Belanda serta
analisis lebih fokus menyangkut suara-suara politik Medan Prijaji terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Sebagai faktor penting dari proses penelitian
tersebut tentu diperlukan data yang penulis dapatkan dari dua tipe data, data
Primer dan Skunder, data Primer merupakan data yang penulis peroleh berupa
terbitan asli Medan Prijaji pada tahun 1909 dan 1910 (masih tersimpan di
Arsip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia), Sedangkan data Sekunder
adalah sumber diperoleh dari sumber seperti buku, jurnal, majalah, koran
yang berkaitan dengan topik penelitian, sejalan dengan metode penelitian
sejarah penulis menggunakan metode sebagai berikut :
16
1. Heuristik (pengumpulan sumber-sumber), dalam proses pengumpulan
sumber Primer penulis melakukan pencarian pada Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK)
Administrasi Jakarta Pusat dan Universitas Indonesia. Diantara sasaran
pencarian sumber tersebut, penulis tidak dapat menemukan terbitan surat
kabar Medan Prijaji sebagai bahan sumber Primer. Peninggalan surat
kabar Medan Prijaji hanya penulis temukan di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia lantai tujuh. Berdasarkan atas pencarian catalog
Perpusnas ditemukan dua kumpulan terbitan Medan Prijaji dengan nomor
catalog (B:-376 3; 1909) adalah terbitan Medan Prijaji tahun 1909 dan
terbitan Medan Prijaji dengan nomor catalog (B: 376 4;1910) tahun 1910.
Semua sumber ini dapat ditemukan dalam format yang sudah dibukukan.
Sedangkan sumber data Sekunder didapatkan dari perpustakan Utama
UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia,
rekomendasi Dosen, rekomendasi teman, serta internet. Ada lima buku
skunder yang penulis gunakan sebagai bahan penunjang dan komparatif
bagi sumber primer, antaranya: Sang Pemula, Sejarah Awal Pers dan
Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1855-1913, Beberapa Segi
Perkembangan Pers di Indonesia, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat
di Jawa, dan Pembredelan Pers Indonesia. Sementara selebihnya penulis
mengumpulkan sumber buku-buku, surat kabar Jurnal dan sumber internet
sebagai tambahan sumber dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.
17
2. Verifikasi atau kritik sumber, pada tahap ini saya melakukan kritik
mengenai keabsahan sumber primer dan sekunder. Kritik sumber
dilakukan dengan metode kritik ekstern dan intern. Berdasarkan atas kritik
sumber terbitan surat kabar Medan Prijaji (1909-1910) dengan beberapa
aspek pendekatan, diantaranya:
2.1) Kritik intern yang digunakan untuk meneliti keabsahan tentang
kesahihan sumber. Kritik ini terdiri dari dua unsur:
2.1.a) Dari bentuk kertas yang digunakan. Dalam hal ini, terbitan
Medan Prijaji tahun 1909 memiliki diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan terbitan tahun 1910 menggunakan
kertas berwarna kecoklatan18
yang umumnya digunakan oleh
perusahaan perctakan pada abad ke-20.
2.1.b) Dari bahasa yang digunakan. Dalam hal ini, terbitan surat
kabar Medan Prijaji menggunakan ragam bahasa Melayu
rendah yang pada umunya dipergunakan sebagai bahasa
komunikasi masyarakat pribumi. kalimat dan ungkapan
dalam beberapa terbitannya mampu mewakili kondisi sosial-
politik pada abad ke-20 M.
18
Penggunaan kertas dalam terbitan surat kabar Medan Prijaji tahun 1909-1910 memiliki
kesamaan dengan lazimnya kertas yang digunakan oleh perusahaan percetakaan di Hindia Belanda
abad ke-19 dan 20. Sebagai bahan perbandingan, penulis membandingkan majalah dan surat kabar
yang terbit pada abad tersebut dan hasilnya kebanyakan memiliki kesamaan dengan kertas
kecoklatan yang digunakan dalam terbitan Medan Prijaji. kritik sumber terhadap bahan kertas ini
juga dikuatkan dengan kesaksian petugas Perpustakan Nasional Republik Indonesia yang
mengatakan bahwa dokumen terbitan surat Kabar Medan Prijaji adalah dokumen asli yang sudah
diberi pelindung agar terhindar dari gangguan rayap maupun gangguan kerusakan lainnya.
18
2.2) Kritik eksternal: adalah merupakan kritik yang dilakukan untuk
meguji keakuratan sumber, hal ini dilakuakan dengan cara kritik
teks pada terbitan-terbitan Medan Prijai. Pengujian dilakukan
dengan pengumpulan beberapa terbitan yang beredar tahun 1909-
1910 melalui analisis dan perbandingan dapat ditemukan adanya
konsistensi tanggal, terbitan, tim redaksi dan perusahaan terbitan
yang dimuat sesuai dengan kondisi objektif, buku-buku sekunder
serta bukti sejarah peninggalan suarat kabar Medan Prijaji yang
lainnya. Melalui verifikasi atau kritik intern dan ekstern, otentisitas
dan kredibilitas Medan Prijaji sebagai sumber primer dapat diakui
keabsahannya.
3. Interpretasi19
: merupakan tahap lanjutan dari verifikasi, pada tahap ini saya
mencoba untuk menganalisis (menguraikan) sumber-sumber yang sudah di
verifikasi dan kemudian membuat sintesis (menyatukan) sumbr dan data
yang sudah diperoleh dalam satu hipotesa awal.
4. Historiografi, adalah tahap terakhir yang sangat penting, pada tahap ini
penulisan hasil dari beberapa tahap metode menjadi suatu karya tulis
penelitian sejarah.
19
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektivitas. Sebagian itu benar,
tetapi sebagian salah. Benar karena, tanpa penafsiran sejarawan data tidak bisa berbicara.
Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan darimana data itu diperoleh. Orang
lain dapat melihat kembali dan menafsirkan ulang. Itulah sebabnya, subjektifitas sejarah diakui,
tetapi dihindari. Interpretasi itu terbagi menjadi dua macam, yaitu: analisisi dan sintesis. Analisis
berarti menguraikan dan sintesis brarti menyatukan. Lebih jelas lihat: Kuntowijoyo, Pengantar
Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bnetang Budaya, 1995), h. 100-101.
19
H. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terbagai menjadi lima bab, adapun
susunan skripsi ini terdiri dari:
Bab I berisikan Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi focus kajian, identifikasi masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika
penulisan.
Bab II membahas mengenai Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Dan
Sejarah Tebentuknya Medan Prijaji yang meliputi pembahasan tentang
Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda di awal abad ke-20, Kebijakan
pemerintah terhadap pers, Sejarah perkembangan pers di Hindia Belanda dan
awal kebangkitan pers pribumi, serta terbentuknya pers Medan Prijaji.
Bab III Membahas mengenai Peran Pers Medan Prijaji Terhadap Pribumi
yang meliputi pembahas terkait Medan Prijaji sebagai medan perjuangan
masyarakat pribumi, Medan Prijaji sebagai alat tranformasi politik
masyarakat pribumi dan Suara Medan Prijaji pengawal lahirnya kesadaran
Nasional.
Bab IV Peran Surat Kabar Medan Prijaji Terhadap Pribumi yang meliputi
pembahasan tentang Medan Prijaji sebagai medan perjuangan masyarakat
pribumi, Medan Prijaji sebagai alat tranformasi politik masyarakat pribumi,
Suara Medan Prijaji pengawal lahirnya kesadaran Nasional.
Bab V Kesimpulan yang berisi jawaban atas permasalahan yang menjadi
fokus kajian skripsi ini dan saran-saran dan masukan-masukan bagi perbaikan
penelitian selanjutnya.
21
BAB II
KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA DAN SEJARAH
TEBENTUKNYA MEDAN PRIJAJI
A. Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda di awal abad ke-20
Pada abad ke-20 sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai,
yaitu zaman etis. Semboyan dari zaman ini adalah “kemajuan”. Kata-kata
yang menandakan kemajuan seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan),
ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi
bahasa saat itu bersama bervoedering van welvaart (memajukan
kesejahteraan.1
Asumsi dasar tentang politik etis awalnya di gagas oleh Van de Venter
yang menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Ereschuld, “Suatu utang
kehormatan”, di dalam jurnal belanda de Gids, dia menyatakan bahwa negeri
Belanda berhutang kepada bangsa Hindia Belanda atas semua kekayaan yang
sudah di peras dari negeri mereka. Utang ini sebaiknya di bayar kembali
dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia
Belanda di dalam kebijakan kolonial. 2
Sistem politik etis ini diterapkan pada tahun 1902. Setelah sebelumnya
pada 1901 Ratu Wilhemina melakukan penyelidikan tentang kondisi rakyat di
Jawa. Sistem politik etis ini mengandung tiga prinsip dasar yang diantaranya
adalah, pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk atau sering juga di
sebutkan dalam literature lain “edukasi, irigasi dan emigrasi”. Kebijakan ini
1Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Garffiti,1997), h. 35 2 M.C Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, h. 328.
21
mulai diberlakukan sejak diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai
menteri urusan jajahan.
Pada masa ini Hindia masuk pada zaman baru yang yang Furnivall
sebut dalam bukunya Nederlandsc India merupakan zaman “ekspansi,
efesiensi dan kesejahteraan.” Semua wilayah yang berada mulai dari sabang
sampai merauke kini berada dibawah kontrol Belanda sepenuhnya. Pada Era
politik etis banyak sarana dan prasarana yang kemudian didirikan untuk
menunjang kesejahteraan penduduk pribumi dan kesejahteraan Belanda pada
umumnya.
Zaman politik etis pada tahun 1902 mempunyai arti penting dalam
menandai kemajuan bagi kaum pribumi, pasalnya pada masa ini lahir kaum
terpelajar pribumi yang mulai bersentuhan dengan dunia percetakan.
Kebijakan politik etis pada abad ke-20 menjadi latar belakang lahirnya elit
modern (kaum terpelajar pribumi). semangat etis yang ditandai dengan
kebangkitan pers pribumi.
Tabel. 5. Surat kabar berbahasa anak negeri3
Nama surat kabar Tahu terbit Kota terbit Bahasa terbitan
Selompret Melajoe 1860 Semarang Melayu
Bientang Timoer 1862 Jawa Timur Melayu
Bromartani 1865 Surakarta Jawa
Tjahaja Siang 1868 Minahasa Melayu
Bintang Djohar 1873 Padang Melayu
Bentara Melajoe 1877 Sumatra Melayu
Wazir India 1878 Batavia Melayu
3 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1858-1913,
(Hasta MItra: Jakarta), 2003, h. 25-65.
22
Perkembangan pers berbahasa pribumi memang sudah ada pada
pertengahan abad ke-19 namun ketika dilihat pada tujuannya, surat kabar
berbahasa pribumi pada saat ini lebih beroerintasi pada perdagangan,
kristenisasi dan budaya. Sistem kepemilikan dan percetakannya masih
dikuasai oleh orang-orang Eropa. Keterlibatan bangsa pribumi atau Indo
dalam persuratkabaran belum terlihat pada masa ini, dari orientasi yang dapat
dilihat dari semua terbitan pers berbahasa pribumi pada masa ini belum ada
surat kabar yang berorintasi politik yang membela kepentingan bangsa
pribumi.
Tabel. 6. Surat Kabar yang lahir tahun 1980-1920
Nama surat kabar Tahun terbit Kota terbit Bahasa terbitan
Pemberita Behroe 1881 Surabaya Melayu
Tjahaja India 1882 Semarang Jawa
Tjahaya Mulia 1883 Surabaya Melayu dan jawa
Batara Indra 1885 Sumatra Melayu
Pewarta Prijaji 1909 Semarang Melayu rendah
Bintang Hindia 1902 Amsterdam Melayu
Pemberita Betawi 1902 Betawi Melayu
Soenda Barita 1903 Betawi Melayu
Medan Prijai 1907 Betawi Melayu
Pers yang murni dimiliki oleh pribumi sebenarnya belum ada sebelum
tahun 1900, sekalipun banyak surat kabar yang menggunakan bahasa Jawa
dan Melayu, orang-orang yang berdiri didalam redakturnya tetap orang
Belanda dan Eropa. Meskipun pada waktu itu sudah banyak orang Pribumi
yang terlibat didalam redaksi surat kabar seperti: Abdoel Rivai, Sosrokartono,
Wahidin Soediro Hoesodo, R. Dirjoatmojo, Datoek Soetan Maharaja dan
23
lain-lain. Keterlibatan mereka dalam dunia Persuratkabaran masih berada di
bawah naungan bangsa Eropa. 4
Sampai akhirnya muncul surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1907
sebagai pers yang didirikan, dikelola, dibiayai oleh orang pribumi. seperti
yang sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya Medan Prijaji didirikan oleh
R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) di Bandung dengan bantuan H.M. Arsad
dan pangeran Oetsman yang terbit setiap hari sabtu sebagai mingguan dan
beralih menjadi harian pada pertengahan tahun 1910 dan bertahan sampai
1912 adalah merupakan pelopor Pers Nasional yang gencar menyuarakan
keadilan untuk kaum pribumi.
B. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pers
Kemunculan pers sudah ada sejak Bataviasche Nouvelles yang
didirikan pada 1744. Namun, dalam perkembangannya pers hanya menjadi
pelengkap bagi ekspansi kolonial Belanda. Kebanyakan pers yang muncul
pada abad ke-20 masih didominasi oleh golongan pemerintah dan Eropa.
Motifnya lebih berfokus pada pemerintahan, ekonomi dan kristenisasi.
Pertumbuhan pers berbahasa anak negeri juga mulai bermunculan
pada tahun-tahun 1860-1873. Namun, meskipun pers-pers ini menggunakan
bahasa anak negeri sebagai bahasa pemberitaannya sistem kepemilikan dan
redakturnya tetap masih di pegang oleh orang-orang Belanda dan Eropa. Di
samping itu, banyak penggiat pers yang muncul dari orang-orang Tionghoa.
Sampai pada akhir abad ke-19 perkembangan pers banyak di dominasi oleh
orang Belanda, Eropa, orang Tionghoa. Muncul kemudian pers yang
4 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Hasta MItra: 1858) Jakarta, h. 52-54.
24
digerakan dan dirikan oleh bangsa pribumi. Pada tahap selanjutnya, kehadiran
pers milik bangsa pribumi menjadi kekuatan baru dalam dunia pers di Hindia
Belanda.
Keterlibatan orang Indo dan pemuda pribumi terpelajar dalam dunia
pers ini mulai menggeliat pada permulaan abad ke-20. Meskipun pada era
kebijakan politik Liberal sudah muncul peranakan Indo seperti Max Havelar
yang mengkritik pedas sIstem tanam paksa atau Culturestelsel, geliat pers
sebagai media untuk membentuk suara-suara persatuan bangsa pribumi baru
bermunculan setelah diberlakukannya kebijakan politik etis. Semangat etis
yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan Pieter Brooshooft5 dan Van Deventer
sangat memperngaruhi perubahan sikap editor Indo dan Eropa yang
menerbitkan surat kabar. Hampir semua surat kabar pada masa itu
menemukan perubahan yang ditularkan dari semangat etis.
Geliat pers pribumi yang terus merambah hampir ke seluruh Hindia
Belanda, keterlibatan kaum muda terpelajar pribumi dalam dunia pers Hindia
Belanda telah menandakan semangat kemajuan baru. Dengan media pers ini,
para kaum muda terpelajar pribumi saling bertukar pengalaman, gagasan, ide,
maupun informasi tentang dunia. Pers telah berwujud menjadi sarana efektif
yang tanpa disadari menjadi alat transformasi kesadaran kebangsaan bagi
bangsa pribumi. Dalam hal ini, para kaum muda terpelajar pribumi menyadari
akan adanya satu kesamaan nasib bahwa mereka berada dalam satu
5 Pieter Brooshooft adalah editor surat kabar berbahasa Belanda “de Locomotief” pada
sekitar pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Pandangannya tentang politik etis diterbitkan dalam
buku kecilnya, “De Ethiesche Koers in de Koloniale Politiek”. Lihat Ahmat Adam, Sejarah Awal
Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. (Yogyakarta: Pt. Putaka Pelajar, 2013), h. 155.
25
keterjajahan dan satu ketertindasan. Bangsa yang seharusnya menjadi raja
untuk negrinya sendiri, bukan menjadi budak dibawah cengkraman
kolonialisme. Oleh karena itu, banyak pers yang didirikan oleh kaum muda
pribumi terpelajar yang menyuarakan tentang kadilan, tentang persamaan
hak, bahkan secara tegas melawan kebijakan pemerintah kolonial yang
menindas.
Sejalan dengan semangat perjuangan pers pribumi kemudian muncul
reaksi keras dari pemerintah kolonial. Pers lambat-laun memberikan ancaman
yang serius bagi jalannya pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Bersamaan
dengan itu, kekhawatiran-khawatiran pemerintah Hindia Belanda yang
semakin meningkat terhadap perkembangan pers milik pribumi, membuat
pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatur etika
pers untuk melindungi keberlangsungan kekuasaannya atas negeri jajahan
Hindia Belanda. Sebetulnya peraturan pertama tentang pers telah dibuat pada
tahun 1856. Pemerintah Jajahan di Belanda mengeluarkan Undang-Undang
yang dijuluki “ciptaan kegelapan” (Drukpers-reglement) di Belanda, tetapi
karena asas hukum Hindia Belanda waktu itu mengikuti Belanda,
Undang_Undang itu juga berlaku di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia
Belanda yang dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsche-indie
pada tahun 1856 yang kemudian diperbaiki pada tahun 1906.6 Isinya adalah
pembatasan terhadap ruang gerak pers yang sangat ketat. Di ubah lagi pada
tahun 1932 dengan Persbreidel Ordonantie. Lalu pada tahun 1938 lahirlah
Undang-Undang Pers Breidel di tanah jajahan Belanda. Semua aturan itu
merupakan tekanan dan pengekangan terhadap kebebasan pers. Sanksinya
6 Abdurahman Surjomiharjo, ed., Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia,
(Jakarta: Kompas) h.171-174.
26
cukup berat selain pencabutan atas penerbitan pers itu, juga ganjaran penjara
bagi pelakunya.7
Memang bisa dikatakan bahwa Drukpers-reglement tahun 1856 lebih
bersifat pengawasan prepentif, sedangkan ketentuan perundang-undangan
tahun 1906 mengenai pers bersifat pengawasan represif. Terbaca dalam RR
1856 (KB 8 April 1856 Ind.stb.no.74) antara lain: semua karya cetak sebelum
diterbitkan, satu ekslemplar harus dikirimkan dahulu kepada kepala
pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene Secretarie. Pengiriman
ini harus dilakukan oleh pihak pencetak atau penerbitnya dengan
ditandatangani. Kalau ketentuan itu tidak dipenuhi, karya cetak tersebut
disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat
penyimpanan barang-barang cetakan tersebut.
Dalam perubahan yang dilakukan tahun 1906 (KB 19 Maret 106 Ind.stb
no. 270) dihapuskan ketentuan yang bersifat preventif, sehingga penyerahan
ekslemplar kepada pejabat tersebut dilakukan dalam waktu 24 jam setelah
barang cetakan diedarkan. Ketentuan tersebut harus dijalankan dengan syarat
mencantumkan nama dan tempat tinggal penerbit dan pelanggaran atas hal itu
akan dikenakan denda f.10-f.100.8
Dalam dekade terakhir abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20,
khususnya setelah undang-undang pers yang baru diganti sensor preventif
menjadi sensor represif, jumlah penerbitan pers tetap saja terus meningkat.
Tercatat jumlah dan perdaran terbitan berkala berbahasa melayu dan daerah
7 Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 51
8 Abdurahman Surjomiharjo, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, h.171-174.
27
meningkat dari 8 judul pada 1890 menjadi 18 judul pada 1905, dan 36 judul
pada 1910. Walaupun tidak ada data statistik tentang peredarannya,
peningkatannya dapat dilihat dari bukti bahwa barang cetakan yang
dikirimkan lewat layanan pos meningkat jadi 370 persen meningkat pada
1910, jika dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1890.9
Orang-orang pribumi pertama yang aktif dalam jurnalisme adalah orang
Indo10
, sampai pada tahun 1903 R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918), sorang
pribumi asli memimpin surat kabarnya sendiri, Soenda Barita. Kemudian
pada tahun 1907 ia menerbitkan Medan Prijaji. R.M Tirto Adhisoerjo (1880-
1918) menciptakan gaya jurnalistik tersendiri dalam Medan Prijaji dengan
bahasa yang penuh sindiran dan penuh ketegasan. Seperti yang terungkap
dalam mottonya “ Soeara bagi sekalian Radja-radja, bangsawan asali dan
fikiran, prijaji dan saudagar Bumiputera dan officer-officer serta saudagar-
saudagar dari bangsa yang terperentah lainnya yang dipersamakan dengan
Anaknegeri, diseloeroeh Hindia Olanda”.11
Dari mottonya saja sudah dapat dinilai bahwa Medan Prijaji memberi
batasan yang jelas terhadap kaum pribumi yang terperintah dan bangsa
Belanda yang memerentah. Menegaskan bahwa pribumi adalah pemilik asli
Hindia Belanda dan Belanda hanyalah orang asing yang mencoba
memperbudak kaum pribumi. Gaya jurnalistiknya yang tajam, membuat
9 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa, h. 42.
10 Sebutan bagi seorang yang mempunyai garis keturunan Eropa dan Pribumi (Indonesia),
hasil dari perkawninan antara Eropa dan Indonesia yang kemudian dilahirkan di Hindia Belanda. 11
Bagian muka Medan Prijaji tahun ke III 1909, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia lt. 7.
28
Medan Prijaji menjadi ancaman serius bagi kelangsungan kekuasaan
pemerintah Belanda di tanah Hindia Belanda.
Pada abad ke-20 dimana kebijakan terhadap pers yang diterapkan oleh
Belanda adalah Drukpers-Reglement yang sudah diperbaiki pada tahun 1906
(pengawasan represif). Medan Prijaji adalah satu dari sekian banyaknya pers
yang giat mengkritisi jalannya pemerintahan kolonial Belanda di masa itu.
Medan Prijaji menjadi pembeda karena surat kabar mingguan ini adalah
murni milik pribumi, R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) yang bertindak
sebagai kepala redaksi dengan penuh semangat terus memajukan bangsanya
lewat media cetak. Medan Prijaji ini yang mula-mula menularkan kesadaran
kebangsaan pada rakyat pribumi. Melalui bahasa politik yang tegas dan tajam
serta keberpihakan pada bangsa pribumi, menandakan bahwa pers ini adalah
pers dari pribumi oleh pribumi dan untuk pribumi.
Berkaitan dengan peraturan pemerintah terhadap pers, Medan Prijaji
sebagai surat kabar milik pribumi yang gencar menyuarakan keadilan sering
kali membuat tulisan terkait para pemerintahan yang korup dan yang tidak
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Pada tahuan 1909 Medan Prijaji
terjerat dalam kasus Persdelict karena terbitan-terbitannya yang mengritik
tajam pemerintah kolonial. Dalam terbitan Medan Prijaji tahun 1909 yang
berjudul “Presdelict: Oempatan”12
, dalam tulisannya ini Medan Prijaji
membongkar skandal politik Aspiran Kontrolir A. Simon yang telah
bersekongkol dengan Wedana dalam mengangkat seorang lurah untuk Desa
12
Tulisan ini diumumkan dalam Medan Prijaji No.19 Th. III, 1909 h. 223-235; lihat juga
Soeloeh Keadilan Th. III, jilid IV, 1909, h. 193-220.
29
Bapangan, padahal dalam pemilihan tersebut ada calon yang memiliki suara
terbanyak dari masyarakat yang seharunya terpilih dan menjadi kepala desa
yang sah justru tidak terpilih dan malah dijatuhi hukuman krakal.
Terbakar oleh amarah atas penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh A.Simon, Trito Adhisoerjo yang berlaku sebagai redaksi yang
membongkar dan menulis kasus itu menyebut A. Simon sebagai “snot aap”
(monyet netek atau ingusan) sehingga pada akhirnya hal ini menjadi
persoalan ganda, di satu pihak Medan Prijaji berhasil membongkar skandal
politik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, disisi lain Medan Prijaji
dalam hal ini Tirto Adhisoerjo yang berlaku sebagai kepala redaksi dituntut
karena dianggap telah melakukan tidakan umpatan (pencorengan nama baik)
terhadap pejabat pemerintah. Akibat dari kasus tersebut akhirnya Medan
Prijaji terjerat dalam Persdelict yang mengharuskan R.M Tirto Adhisoerjo
(1880-1918) sebagai kepala redaksi Medan Prijaji menerima hukuman
pembuangan ke Teluk Betung, Lampung.
Dalam peninjauan kembali Drukpers-reglement 1856 (dilaksanakan
dalam tahun 1906, Ind Stbl. No. 770) pada bagian B tentang “Pengetatan
Pengawasan Atas Pers di Hindia Belanda Melalui Peninjauan kembali
Drukpers-reglement dalam tahun 1906:
“4.Vb.19-3-10-5
Nota (tanggal 26 Oktober 1908) dari Bagian AI Menteri
Daerah Jajahan Tentang:
1. Perubahan baru-baru ini atas Drukpers-reglement
2. Pertanyaan apakah di India Inggris ada kemerdekaan pers yang
tak terbatas. Nota (10 Maret1910) dari Bagian AI MvK tentang
30
isi “Indian Pers Act” 1910 sebagai bahan perbandingan dengan
tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk Hindia Belanda.”
“5.Vb. 20-2-13-53
Retroacta (Vb 9-10-12-14
Nota bagian. AIMvK (13 Februari 1913); lanjutan dari nota yang
disebutkan dalam Vb sebelumnya. memberikan contoh dari surat-
surat kabar (Medan Prijaji, Warna Warta, Pewarta Soerabaja,
Kaoem Moeda, Sinar Djawa) tentang bahasa yang menghasut.
Menyimpulkan dari sini bahwa peraturan tentang pers pada tahun
1906 itu tidak memadai (pengawasan represif). Kita harus cari jalan-
jalan lain. Bag. AI adalah “Penentang yang yakin” dari sensor (atau
apa saja yang mirip dengan itu), dan lebih condong kepada sistem
pers Act India Inggris (1910) dan penerapan yang lebih luas dari apa
yang disebut “hak-hak esterbitan” Gubernur General (artikel 45-77
dari Reginering Reglement)”.13
Dari kutipan tentang Kebijaksanaan Pemerintah Belanda dan Hindia
Belanda Mengenai Pers dan Radio di Hindia Belanda diatas, Medan Prijaji
muncul dalam perhatian pemerintah sebagai salah satu dari pers-pers yang
menimbulkan kegelisahan bagi pemerintah atas segala terbitan-terbitannya.
Nama Medan Prijaji masuk sebagai pers yang berbahaya bagi jalannya
pemerintahan, hal ini menjadi wajar ketika kita melihat bagaimana Medan
Prijaji dengan bahasanya yang tegas, tajam dan berani mengkritik jalannya
pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.
Medan Prijaji telah berhasil menggetarkan pemerintah Hindia Belanda dan
disisi lain mampu menjadi corong bagi kaum pribumi dengan sentimen
nasionalistisnya yang tinggi Medan Prijaji tumbuh sebagai media perjuangan
bagi kaum pribumi.
13
Dikutip dari Abdurahman Surjomiharjo, ed., Beberapa Segi Perkembngan Pers di
Indonesia, (Jakarta: Kompas), h. 171-174.
31
Sebelum terjerat dalam kasus Persdelict, Medan Prijaji pada tahun
1909 (terbitan tahun 1907 dan 1908) telah banyak menerbitkan suara-suara
politik yang menentang jalannya pemerintah kolonial, secara aktif Medan
Prijaji terus melakukan kritikan-kritikannya sekalipun kebijakan pemerintah
terhadap pers pada abad ke-20 ini mensyaratkan hukuman denda dan
pembuangan bagi siapapun pelaku pers yang tidak mematuhi hukum pers
yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Diantara terbitan-terbitannya :
“Soerat dari Desa Bapangan”, “Satoe Poelitiek di Banjumas”, “Drejfusiana di
Madiun”, “Kekejaman di Banten”, “Oleh-oleh dari tempat pembuangan” dan
lainnya. Semua tulisan itu dapat ditemukan pada terbitan Medan Prijaji tahun
1909 dan 1910 yang masih tersimpan di Perpustakan Nasional Indonesia lt. 7.
Medan prijaji dengan tegas menunjukan garis pemisah antara kaum
terperentah dan kaum yang memerentah, pribumi sebagai bangsa yang
terperentah harus segera bangkit dari keterjajahannya, lewat tulisan-tulisan
diatas dapat dirasakan betapa Medan Prijaji ini memiliki usaha yang keras
untuk mentrasformasikan kesadaran tertindas bagi rakyat pribumi,
memberikan sarana bantuan hukum (advokasi bagi kaum pribumi yang
tertindas, mengritik dengan tegas para pemerintah kolonial yang tidak
menjalankan kekuasaan sebagaimana mestinya. Medan Prijaji adalah pelopor
pers perjuangan bagi kaum pribumi, bahasanya yang tajam dan berani dalam
mengritik sistem kolonial Hindia Belanda menjadi pembeda dari pers yang
berkembang pada abad ke-19 dan ke-20.
32
Kebijakan pemerintah terhadap pers yang semakin ketat, semakin
berbahaya dan menimbulkan ancaman bagi para jurnalisnya. Namun dalam
hidupnya selama lima tahun, Medan Prijaji tetap konsisten menyuarakan
keadilan. Melalui transformasi kesadaran dan advokasi terhadap kaum
pribumi yang tertindas, Medan Prijaji menjadi tonggak awal perjuangan
melalui pers dan mengilhami para penerus perjuangan pers selanjutnya.
Pada tahun selanjutnya kebijakan pemerintah terhadap pers semakin
ketat. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1931, Pemerintah kolonial
melahirkan Persbreidel Ordonantie (7 September 1931). Pemerintah
setempat melarang terbit atas penerbitan, percetakan, dan penyebaran media
cetak tertentu yang dinilainya bisa “: mengganggu keteriban umum”, selain
itu dikenal pula tindakan terhadap pers berdasarkan Haatzai Artikelen yang
berisi ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau
Hindia Belanda dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok atau golongan
penduduk yang ada di Hindia Belanda baik berdasarkan ras, agama,
kebangsaan, keturunan, suku baik yang dilakukan lewat tulisan, lisan maupun
gambar. Hukuman atas pelanggaran pasal-pasal tersebut paling tinggi adalah
tujuh tahun atau denda paling banyak f300 (tiga ratus gulden).14
Hukuman pidana baru diberlakuan setelah G.J Van Heutsz (1851-1924)
meningggalkan jabatan gubernur jendralnya yang kemudian digantikan oleh
A.W.F Idenburg (1861-1935), Van Heutsz yang sebelumnya sedikit
melindungi Tirtoadhisoejo dalam aktivitas persnya dan memberikan
kemudahan baginya dalam urusan birokrasi kolonial, setelah jabatan Van
Heutsz (1851-1924) digantikan oleh A.W.F Idenburg (1861-1935), R.M
14
Abdurahman Surjomiharjo, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, h.171-174.
33
Tirtoadhisoerjo (1880-1918) segera kehilangan perlindungannya. Kasus
pembongkaran skandal politik A. Simon yang dilakukannya membuat Tirto
terjerat dalam hukum karena tuduhan Persdelict. Dengan begitu, tidak lama
setelah kehilangan perlindungannya, Tirto mendapatkan hukuman buang serta
diasingkan selama dua bulan. Semuanya disebabkan dari kritikan-kritikan
pedasnya terhadap pemerintah.15
Seperti dialami oleh para generasi penerusnya, hukuman pembuangan
tetap diterapkan bagi siapa saja yang berusaha mengusik pemerintahan Hindia
Belanda lewat tulisannya. Para pendiri Indische Partij yang lebih akrab
dipanggil tiga serangkai, Douwes Dekker, Tjiptomangun Kusumo, Soewardi
Soerjadiningrat atau Ki Hajar Dewantara mendpatkan hukuman buangan
karena tulisannya yang mengkritik dan mengecam sikap pemerintah kolonial
Belanda yang terus mengekspolitasi kaum pribumi. Lewat risalahnya yang
terkenal “Als ik eens Nederlander was….”(sekiranya saya orang Belanda…)
yang bernada Ironis yang mengatakan bahwa : “ Sekiranya ia sorang Belanda,
tak akan pernah ia menyuruh bangsa yang tertindas merayakan pembebasan
para penindasnya, karena dianggap tidak pantas dan berbahaya kemudian Ki
Hajar dewantara mendapatkan hukuman pembuangan atas risalahnya.
Kehadiran Medan Prijaji mampu menjadi stimulus bagi para pemuda
terlepajar pribumi di era pergerakan untuk mengikuti jejak langkahnya. Para
sarjana pribumi yang membentuk organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam,
Indische Partij dan lainnya, menggunakan media pers sebagai corong untuk
kemajuan, dan sebagai sarana transformasi politik bagi masyarakat pribumi.
15
Imas Emalia, op cit. h. 42-43.
34
Sebagai pelopor pers nasional, Medan Prijaji mampu memberikan kontribusi
yang signifikan bagi lahirnya kesadaran nasional. Organisasi pergerakan dan
pers menjadi dua bagian penting yang tidak dapat terpisahkan, kehadirannya
mampu menjadi sarana yang efektif dalam menciptakan kesatuan dan
persatuaan masyarakat pribumi.
Seperti apapun bentuk pertentangan yang terjadi antara pers pribumi
dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, perlu diperhatikan garis penting
yang harus di pahami bersama, bahwa dalam perkembangannya pers milik
pribumi telah berhasil menjadi media pemersatu bangsa pribumi. Melalui
tulisan-tulisannya yang tajam dan persuasif Pers Medan Prijaji berhasil
membangkitkan semangat nasionalisme pribumi. Kehadirannya menjadi alat
transformasi kesadaran dan sarana yang sangat penting dalam mengawali
tumbuhnya kesadaran nasional.
C. Sejarah Perkembangan Pers di Hindia Belanda dan Awal Kebangkitan
Pers Pribumi
Sejarah pers berbahasa pribumi (Melayu, Jawa, Sunda dan bahasa
daerah lainnya) dimulai ketika muncul surat kabar Bromartani16
pada 29
Maret 1855 yang menggunakan bahasa Jawa kromo (rendah), terbit setiap
hari Kamis oleh penerbit Harteveld & Co. di Banjarsari dekat Sriwedari,
Surakarta. Mempunyai pelanggan sekitar 320-an dengan harga langganan
16
Sumber lain mengatakan kemunculan terbitan pertamanya 25 Januari 1855, mungkin ini
con toh untuk menguji respon para pembaca serta untuk mepublisitas luas ke penduduk local, guna
menarik langganan. Hamper semua penerbit atau pencetak surat kabar baru meniru cara
mengedarkan percobaan seperti itu sepanjang abad ke-19. Ahmat Adam, ibid,. h. 27.
35
pertahun 12 Gulden atau 1 gulden perbulan.17
Secara simultan kemudian pada
tahun ini juga muncul surat kabar berbahasa daerah lainnya seperti Poespita
Pantjawarna yang dipimpin oleh Gustaf Winter yang menguasai bahasa dan
sastra Jawa. Pada tahun 1856, E. Fuhri, seorang penerbit di Surabaya
menerbitkan surat kabar pertama berbahasa Melayu di Hindia Belanda yaitu,
Soerat Kabar Bahasa Melaijoe. Terbitan ini lebih bersifat komersial dan
terbitan pada 5 Januari 1856.18
Tahun 1856 muncul terbitan berkala berbahasa Melayu Bintang
Oetara, terbitan perdana pada 5 Febuari 1856. Bintang Oetara adalah
terbitan berkala yang brorientasi pada pencerahan, pada halaman-halamannya
menyedikan hikayat Melayu dan Indo-Persia, pantun, artikel, pengetahuan
umum, dan reportasi berbagai peristiwa dari negeri-negeri yang jauh, seperti
Amerika dan Belanda. Muncul pula Soerat Cabar Betawi pada 3 April 185.
Seperti pendahulunya Soerat Kabar Bahasa Melaijoe terbitan ini juga terbit
mingguan, tertbit disetiap Sabtu, dicetak dalam huruf Rumi dan Jawi, setiap
halamannya dibagi kedalam dua kolom, dengan berita iklan yang sama dalam
dua versi tulisan. Tebalnya enam halaman dan menggunakan bahasa Melayu
rendah.19
Pada tahun 1863-187120
adalah titik balik yang menentukan dalam
kebijakan pemerintah Hindia Belanda dibidang pendidikan. Menjelang 1863,
17
Imas Emalia, Suara-Suara Pmbaharuan dalam Islam, Kajian atau Pers Islam di
Indonesia masa Hindia Belanda (1900-1930-an), (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanan
Keagamaan Badan Litbang Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012) h. 25-26. 18
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, h. 32-34. 19
Ibid,. h.33. 20
Pada tahun 1871 pemerintah mengeluarkan UU pendidikan yang antara lain menetapkan
bahwa sekolah guru harus dibuka, tidak saja di pulau Jawa, tetapi juga di seluruh bagian HIndia
Belanda. Juga di paparkan prinsip bahwa “Pendidikan di sekolah-sekolah untuk orang pribumi
akan diberikan dalam bahasa darah”. Selanjutnya, Undang-Undang itu mendesak bahwa biaya
pendidikan di sekolah negeri seluruhnya dibebankan pada anggaran pemerintah. Seluruh ketetapan
36
pendidikan untuk kalangan pribumi dipertanyakan oleh tokoh-tokoh liberal
seperti Thorbecke dan Fransen van de Putte, yang meminta upaya yang lebih
besar agar Gubrnur Jenderal memperjuangkan kondisi yang menciptakan
kesempatan yang luas bagi penduduk pribumi untuk memperoleh
pendidikan.21
Pada masa ini mulai masuknya pengaruh paham liberal ke Hindia
Belanda, fase ini yang kemudian menjadi pembeda bagi tatanan sosial dan
politik di Hindia Belanda. Pada masa ini kemudian banyak dari orang
pribumi, priyai-priyai Jawa dan orang Indo22
berkesampatan untuk
mengenyam pendidikan Barat. Suatu kondisi yang menentukan lahirnya elit
modern Indonesia. Bersamaan dengan perubahan kondisi sosial politik itu
banyak dari priyai-priyai Jawa dan orang Indo yang ikut terlibat dalam
industri pers di Hindia Belanda.
Pada 3 Februari 1860, muncul Koran Slompret Melayu yang terbit
mingguan di Semarang. Diterbitkan oleh G.T.C van Dorp & Co. kemudian
setahun berselang sejak kemunculannya Koran Slompret Melajoe, muncul
surat kabar berbahasa Melayu yang kedua, yaitu Bintang Timoor, terbit di
Surabaya pada 10 Mei 186223
. Pada 7 Desember 1864 dua orang pemilik toko
ini ditunjukan untuk mengatur sistem sekolah secara rinci. Pendek kata, berarti bahwa perhatian
yang lebih besar dipusatkan pada pendidikan untuk kalangan pribumi. lihat Ahmat Adam, Sejarah
Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan., h.36. 21
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan., h.36., 22
Orang Indo adalah sebutan untuk para keturunan Eropa yang garis keturunannya di
dasarkan pada pertalian hubungan perkawinan antara seorang laki-laki Eropa dengan seorang
permpuan pribumi. Biasanya orang Indo ini termasuk kedalam lpisan masyarakat Eropa di Hindia
Belanda dan dipandang mmpunyai kedudukan dan derajat yang lbih tinggi dari pada kalangan
nmasyarakat pribumi. 23
pada bulan Mei 1862, Bintang Timoor meluncurkan nomor percobaan mingguannya
sedangkan edisi regulernya terbit pada 1 Juli 1862 di bawah arahan J.Z van den Berg. Sperti
Slompret Melajoe, Bintang Timoor juga bertujuan untuk melayani kalangan bisnis di kota
Surabaya daan Jawa Timur.
37
buku dan percetakan di Padang, Zadelhofft dan Fabritius mendirikan surat
kabar berbahasa Melayu yang juga mereka namakan Bintang Timoor, yang
mulai terbit 4 Januari 1858.24
Bersamaan dengan munculnya Bintang Timoor di Padang, muncul surat
kabar berbahasa Jawa di Surakarta, Djoeroemartani terbitan yang bertujuan
memberikan pendidikan dan juga menyebarkan pengetahuan umum pada para
siswa di Surakarta. Edisi percobaannya muncul pada 1864, kemudian edisi
regulernya muncul mingguan pada 5 Januari 1865. Dicetak oleh De Groot,
Kolff & Co. di Surakarta dan di asuh oleh F.W. Winter.25
Surat kabar misionari juga banyak bermunculan kembali pada masa ini.
Pada tahun 11 September 1867 muncul terbitan Biang Lala, terbitan yang
semula terbit setiap Kamis dan berubah menjadi Sabtu pada tahun 1872.
Meskipun terbitan ini juga memuat berita-berita lokal dan luar negeri,
orientasinya lebih memfokuskan pada orientasi misionaris. Di Minahasa
kemudian juga muncul Koran misionari yang kedua, yaitu “Certas Chabar
Minahasa” (Surat Kabar Minahasa), tidak jauh berbeda dengan Biang Lala,
pada dasarnya terbitan-terbitannya lebih banyak memuat tentang orientasi
ajaran Kristen. Pada tahun 1868 muncul juga Tjahaja Siang yang diprakarsai
oleh Graafland. Tebitannya lebih banyak memuat tentang hal-hal yang
berisfat keagamaan dan pendidikan Kristen.26
24
Ahmat Adam, Sang Pemula, h.41. 25
F.W Winter, anggota keluarga C.F Winter Sr., juga seorang ahli bahasa Jawa. Sebagai
guru pembantu pada sekolah guru ia memperkenalkan tmbang kepada para siswa. Kemudian pada
1868, C.W. Winter Jr. menjadi editor dan pada 1869 digantikan oleh F.L. Winter (SM, 611-1869).
Ibid. h. 43. 26
Ahmat Adam, Sejarah Awal PErs dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, h. 34-52.
38
Kemunculan pers maupun surat kabar pada tahun-tahun selanjutnya
tentu masih terus berlanjut, baik pers milik pemerintah maupun badan swasta
telah berhasil menjamur di berbagai daerah di Hindia Belanda. Geliat pers
pada babak kedua pers di Hindia Belanda telah banyak melibatkan orang
Tionghoa maupun Indo dalam Industri persuratkabaran. Kemunculan pers
berbahasa pribumi menjadi pertanda dimulainya babak baru sejarah pers di
Hindia Belanda, penggunaan bahasa Melayu rendah dan bahasa daerah
seperti “bahasa Jawa” dan sebagainya menujukan bahwa perkembangan pers
sudah berorientasi semakin luas. Dengan adanya pers-pers berbahasa pribumi
dan kebijakan politik eties disisi lain, memberikan sumbangan yang
signifikan dalam perkembangan masyarakat kolonial Hindia Belanda pada
masa ini.
Kemunculan pers berbahasa pribumi ini yang kemudian menjadi
pembeda dari perkembangan pers sebelumnya.27
Pada dasarnya
perkembangan pers di Hindia Belanda pada masa-masa awal, disebut dengan
babak putih28
karena dalam perkembangnnya, pers dimasa ini hanya dikuasai
oleh kalangan Eropa dan Belanda khususnya. Menggunakan bahasa Belanda,
ditujukan hanya untuk orang Eropa, muatannya berisikan berita-berita seputar
Belanda dan tidak ada sama sekali kaitannya dengan kehidupan pribumi.
Sementara babak kedua ditandai sejak kemunculan pers yang
menggunakan bahasa pribumi yang secara kasar dapat diagi menjadi:
27
Sejarah Indonesia terbagi dalam dua babak. Babak pertama berlangsung sejak di
datangkannya mesin percetakan dan munculnya surat kabar yang pertama sampai pada tahun 1854,
sedangkan babak kedua berlangsung sejak 1854 sampai era kebangkitan nasional yang bersamaan
dengan diberlakukannya politik etis. 28
Pramoedya ananta Toer, Sang Pemula, h. 34.
39
1. Antara tahun 1854-1860: Periode ini surat kabar berbahasa Belanda tetap
menduduki tempat penting dalam pers Hindia Belanda, tetapi surat kabar
berbahasa melayu (Slompret Melayu) mulai muncul.
2. Antara tahun 1860-1880: surat kabar berbahasa pribumi mulai banyak,
tetapi kegiatan-kegiatan persuratkabaran pada masa ini masih dipimpin
oleh orang-orang Belanda dan peranakan Eropa
3. Antara tahun 1881 sampai Kebangkitan Nasional: periode ini mempunyai
ciri yang tersendiri, kerena para pekerja pers, terutama para redakturnya
tidak lagi orang peranakan Eropa, Tetapi mulai banyak orang peranakan
Tionghoa dan orang pribumi (Indonesia)29
Pada periode ketiga ini banyak pers yang digerakan oleh bangsa
pribumi bertumbuh, kaum muda terpelajar pribumi kemudian menggagas pers
milik sendiri. Lahirnya pers oleh pribumi menjadi titik awal lahirnya embrio
kesadaran kebangsaan bagi kalangan terpelajar, Idea of Progress tersebut
kemudian diterjemahkan dengan baik oleh seorang pionir revolusioner seperti
R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918). Sebagai seorang pribumi muslim
terdidik, ia mampu mendirikan pers sebagai alat untuk mentransformasikan
kesadaran politik dan kebangsaan lewat pers.
Munculnya R. M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) seorang tokoh
revolusioner yang membawa pengaruh besar pada awal zaman pergerakan.
Sebagai seorang jurnalis yang berani kemudian mendirikan pers “Medan
Prijaji”, terbit pada tahun 1907-1912 dicetak di Betawi dan berkantor pusat
29
Abdurahman Surjomihardjo, Bebrapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, h. 51-52.
40
di Bandung. Surat kabar pertama yang dimiliki, dikelola, dan dijalankan oleh
seorang pribumi dan pelopor pers nasional yang pada masanya memberikan
pengaruh yang sangat besar bagi kesadaran politik bangsa pribumi.
D. Sejarah Terbentuknya Pers Medan Prijaji
Seperti yang sudah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya, pada
babak ketiga perkembangan pers di Hindia Belanda mulai menyentuh
kalangan pribumi. Masuknya paham liberal ke Hindia Belanda serta
diterapkannya politik etis menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam
perkembangan pers saat itu, dimana kaum pribumi terpelajar berperan sebagai
aktor penting yang menentukan perubahan tatanan sosial dan budaya di
Hindia Belanda.
Zaman modern yang menandai embrio menuju kabangkitan nasional,
dimana pemuda pribumi terpelajar mulai menyadari dimana posisi mereka
seharusnya dan bagaimana seharunya mereka bersikap sebagai bangsa
pribumi. Hal tersebut kemudian menuntut mereka untuk menyatukan
kekuatan dan membentuk organisasi yang kemudian mereka aktualisasikan
dalam segala hal yang positif, dalam hal ini tentunya peranan pers merupakan
sarana efektif yang digunakan oleh kaum muda pribumi terpelajar untuk
berbagi pengalaman tentang dunia, gagasan serta kesamaan nasib yang
kemudian menjadi kekuatan pemersatu kaum pribumi.
Pada babak ketiga perkembangan pers ini, pers mulai berubah menjadi
alat pemersatu bagi kaum muda terpelajar pribumi, menjadi alat transformasi
kesadaran dan media menyampaikan gagasan. Begitupula dengan bahasa
41
Melayu rendah yang ikut populer dalam industri persuratkabaran. Hal ini
menjadi pertanda bahwa sebelum kaum pribumi membentuk suatu organisasi,
kesadaran nasional sudah mulai tumbuh dan melahirkan sebuah “embrio
kebangkitan nasional” yang dilihat lewat lahirnya surat kabar milik pribumi.
Pers murni milik pribumi dapat dikatakan belum ada sebelum tahun
1990, walaupun banyak dari terbitan pers yang menggunakan bahasa pribumi,
bahasa Melayu, Jawa maupun bahasa daerah lainnya, sebelum tahun 1909
kepemilikan pers masih dikuasai oleh orang Eropa, Belanda dan Tionghoa.
Meskipun pada masa sebelum abad ke-20 banyak dari kaum pribumi yang
terlibat menjadi bagian dari team redaksi , pada masa itu pers boleh dikatakan
masih “dari mereka untuk pribumi” bukan dari pribumi untuk pribumi.
Masa sebelum munculnya pers milik anak negeri memang sudah
muncul nama-nama orang pribumi seperti, Abdul Rivai, Sosrokartono,
Wahidin Sudiro Husodo, F.D.J Pangemanann, Koesomo Oetoyo, Maharaja
salambuwe, Datoek Soetan Maharadja, Dja Endar Moeda. Raja Sampono, R.
Dirjoatmodjo, R Martodarsono dan lain-lain. Pada masa ini peran mereka
masih berkutat pada pedoman tulisan pers putih.30
Penulisannya belum pada
tahapan membentuk pemikiran umum atau gagasan asli yang dilahirkan dari
hasil pemikiran kaum pribumi.
Pers pribumi adalah pers yang dikelola, dimodali, dan dimiliki oleh
orang-orang pribumi sendiri walaupun kemunculannya tidak terlepas dari
perkembangan pers yang dimiliki oleh Belanda dan Tionghoa. Karena ketiga
30
Istilah per putih adalah merupakan analogi kata yang menunjukan kepemilikan pers dari
orang-orang berkulit putih, semisal Eropa khususnya Belanda. Lihat Pramoedya Ananta Toer, op.
cit, h. 23-15.
42
golongan masyarakat yang ada pada saat itu menggunakan media pers
sebagai sarana yang efektif untuk mengekspresikan pandangannya baik untuk
kepentingan politik, ekonomi maupun agama.31
Lahirnya surat kabar Medan Prijaji tidak akan terlepas dari seorang
tokoh bernama R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)32
sebagai seorang pelopor
dalam dunia pers pribumi yang kemudian mendirikan Medan Prijaji.
Gambar. 1. Raden Mas Djokomono Tirto Adhisoerjo (1880-1918), sorang
pelopor pers nasional dan merupakat pendiri surat kabar Medan Prijaji
tahun 1907-1912.33
31
Imas Emalia, op. cit,. h. 28. 32
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo disebut pelopor dalam bidang jurnalistik
modern karena beliau melakukan pembaharuan dalam penyusunan isi surat kabar atau dalam
istilah lain sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.Beliau termasuk
salah satu tokoh kebangkitan nasional Indonesia, namanya sering disingkat T.A.S.. Raden Mas
Tirto Adhi Soerjo (TAS) lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880 dengan nama masa kecilnya
Djokomono. Beliau adalah putra bangsawan Jawa.Sempat mengenyam pendidikan di sekolah HBS
Belanda lalu melanjutkan studinya di STOVIA Batavia sebagai mahasiswa kedokteran. Namun
Raden Mas Tirto Adhisoerjo tidak menyelesaikan sekolah kedokterannya karna dia lebih sibuk
menulis di media massa. Kemudian Beliau pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung Tirto
Adhisoerjo menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) yang
beralamat di Jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan
Pusat Kebudayaan-YPK) dan dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan
bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani oleh
orang pribumi Indonesia asli, serta menerbitkan surat kabar Putri Hindia (1908).
http://muspen.kominfo.go.id/index.php/berita/343-bapak-pers-nasional-qraden-mas-djokomono-
tirto-adhi-soerjoq diakses 04 Mei 2016. 33 Photo penulis ambil dari:
http://muspen.kominfo.go.id/index.php/berita/343-bapak-persnasional-qraden-
mas-djokomono-tirto-adhi-soerjoq.
43
Setelah pengembaraannya di Maluku, Tirto Adhisoerjo telah
menyiapkan rencana besar untuk mendirikan surat kabar lain dari yang lain
dan merupakan penggabungan antra suksesnya di dunia jurnalistik, maka
pada tahun 1907 terbitlah surat kabar Medan Prijaji dengan delapan butir
gagasan pokoknya, diantaranya:
1. Memberi informasi,
2. Pemberi penyuluh keadilan,
3. Memberi bantuan hukum,
4. Tempat orang bersia-sia mengadukan halnya,
5. Mencari pekerjaan bagi mereka yang mebutuhkan pekerjaan di Betawi,
6. Menggerakan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasikan diri,
44
7. Membangunkan dan memajukan bangsanya, dan memperkuat usahanya
lewat perdagangan.34
Dicetak dalam format tabloid, Medan Prijaji adalah surat kabar
mingguan pertama di Jawa yang mengambil peran sebagai corong bagi kaum
terpelajar ptibumi dan forum bagi pembaca pribumi untuk mengekspresikan
pandangan mereka serta mendiskusikan berbagai isu terkait kesejahteraan
pribumi, terutama soal pendidikan bagi kaum pribumi dan soal-soal politik,
sperti kritik trhadap priyayi yang korup dan suka mempolitisasi rakyat kecil.
Pandangan Medan Prijaji jauh lebih radikal dari pada pendahulunya Soenda
Berita. Kritik blakblakan R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) kepada pejabat
Belanda dan pribumi, serta sentimen nasionalisme yang mencolok jelas
menunjukan orientasi politik surat kabar mingguan ini.35
Pada awalnya Medan Prijaji merupakan mingguan yang sangat
sederhana, 12,5 x19,5 cm., 22 halaman., dicetak pada percetakan Kho Tjeng
Bie yang berlokasi di Pancoran Jakarta Selatan. Rubrik tetapnya adalah
mutasi pegawai negeri, salinan lembaran negara, dan lampirannya, surat-surat
masuk dan jawabannya, cerita bersambung, surat-surat pembaca dan
jawabannya serta bantuan hukum sebagai bantuan jasa redaksi Medan Prijaji
kepada para langganan.
Modal pertama dalam penerbitan Medan Prijaji ini diprakarsai
oleh bantuan seorang Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja yang juga pernah
memberi R.M Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) tambahan modal pertama untuk
34
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 46. 35
Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, h. 188-
189.
45
Soenda Barita. R.A.A. Prawiradiredja memberi tambahan modal sebesar f
1.000,- gulden dan kemudian mendapat tambahan lagi dari Oesman Sjah36
sebesar f 500,- gulden. Untuk mensiasati tetap berjalannya terbitan Medan
Prijaji dengan modal yang minim, R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
memberlakukan sistem pembayaran langganan di awal yang harus dibayarkan
terlebih dahulu selama setengah atau satu tahun.37
Suratkabar Medan Prijaji terbit di Bandung tepatnya di jalan Naripan,
Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK).
Dicetak pada percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Betawi. Motto majalah
ini semula berbunyi:
“Swara bagi sekalijan Radja2, Bangsawan Asali dan fikiran
saudagar- saudagar Anaknegeri, lid-lid Gemeente dan Gewestelijke
Raden dan saudagar bangsa yang terprentah lainnya.38
Kemudian
pada tahun 1909 menjadi: Swara Ontoeq Sekalian Radja-jadja
bangsawan asali, bangsawan pikiran, prijaji Prijaji dan kaum moeda
dari bangsa Priboemi serta bangsa jang di persamakan denganja di
seloeroerh Hindia-Olanda.39
Motto Medan Prijaji tahun 1910
mengalami perubahan redaksi tulisan seperti: SOERA bagai sekalian
Radja-radja, bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar
Boemiputra dan officer-officer serta saudagar-saudagar dari bangsa
36
Seorang putra mahkota dari raja bacan yang kemudian menjadi adik ipar Tirto
Adhisoerjo setlah menikahi putrid mahkota sultan Bacan. Pengembaraan yang dilakukan oleh
Tirto Adhisoerjo setelah sebelumnya berhasil membongkar sekandal kasus politik J.J. Donner
yang menyalahgunakan kekuasaannya telah mmbuat perskongkolan dengan patih dan jaksa kepala
Madiun, Mangun Atmojo dan Adipoetro dalam menurunkan Bupatio Madiun, Brotodiningrat. Hal
ini yang kemudian membuat popularitas yang pertama bagi Tirto Adhi Soerjo dalam dunia pers,
meskipun waktu itu ia masih menjabat di beintang betawi. Sebagai reakdi dari pemerintah atas
usikan yang dilakukan oleh Tirto kemudian pemerintah memutuskan untuk mngurangi kiprahnya
di bidang pers, setelah itu Tirto pergi ke Maluku dan menikahi seorang putrid Mahkota Bacan.
Sepeulangnya ia dari pengembaraan kemudian ia mendirikan surat kabar Medan Prijaji. 37
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 45-48. 38
Satrio Arismunandar,"Medan prijaji, Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara:
Wacana Lintas Kultural" artikel yang tidak diterbitkan. h. 2-3. 39
Bagian muka surat kabar Medan Prijaji tahun ke III, tahun ke IV, N.V. Jav. Boekh En
Dreukkerij “ Medan Prijaji: Batavia), 1909.
46
jang terperentah laenja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di
seloeroeh Hindia Olanda.”40
Dari mottonya yang tegas Medan Prijaji berusaha membuat garis
pemisah antara bangsa yang memerentah (pemerintah Kolonial Belanda) dan
bangsa yang terperentah (bangsa pribumi) dengan bahasanya yang tegas dan
memihak kaum pribumi menunjukan sentimen nasionalisme rakyat pribumi.
Para pengelola Medan Prijaji, seperti yang terdapat pada halaman muka
terbitan ini tercantum nama: Directeur Hooft Red. R.M. Tirto Adhisoerjo
(1880-1918),41
Buitenzorg, Redacteur: Goenawan dan R.B Karta Diredja.
Redakteur en Vertegenwoordiger boeat Eropa: J.J. Meijer Qud Asst. Res.
Assendelfstr. Redacteur en Vertegenw, boeat Molokken: A. L. Wawo Runtu
Oud Major di Manado. Redacteur n Vertegenw. Boeat Priangan: R. Ng. Tjitro
adhi Winoto, aloen-aloen Bandung.42
40
Bagian muka surat kabar Medan Prijaji tahun ke IV, N.V. Jav. Boekh En Dreukkerij “
Medan Prijaji: Batavia), 1910. 41
Sebelum perubahan dan pembahasan pada NV. Medan Prijaji tahun 1910, kepala redaksi
dipimpin oleh H. M. Arsad sebagai donator utama dalam penerbitan Medan Prijaji. 42
Halaman muka surat kabar Medan Prijaji, nomor 16, tahun ke IV, N.V. Jav. Boekh En
Dreukkerij “ Medan Prijaji: Batavia)
47
Gambar.2 Terbitan Medan Prijaji tahun 191043
Belum genap satu tahun terbitan Medan Prijaji terbit, R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) telah tenggelam dalam hutang sebesar lebih dari
tujuh kali lipat modal pokok. Terlalu sedikit iklan yang masuk. Begitupun
daya beli masyarakat waktu itu masih sangat lemah dengan kondisi
perekonomian masyarakat pribumi yang jauh dari kesejahteraan. Nafsu R,M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) yang terlalu besar dalam memajukan
bangsanya lewat media cetak menjadi penyebab terlilitnya hutang disisi lain.
Namun, kemudian datang bantuan dari H. M Arsad,44
seorang muslim yang
43
Surat kabar Medan Prijaji tahun 1910, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 44
Tokoh yang memungkinkan terus terbitnya Medan Prijaji dan Soeleoh Keadilan ini
hanyalah lulusan sekolah dasar. Setelah menjadi juru tulis kantor kontrolir di luar Jawa dia bekerja
pada seorang Dokter Jerman, yang membawanya sampai keliling Hindia sampai ke Papua Jerman
(Papua Timurlaut). Karena bimbingan dokter trsebut H. M. Arsad berhasil mengumpulkan harta.
Ia adalah seorang administrator Medan Prijaji yang kemudian menjadi Komisaris Sarekat Dagang
Islam (SDI) dan merupakan anggota dari Budi Utomo cabang Walttevreden. Seorang tokoh yang
48
maju pada masanya memberikan bantuan. Terjadi kerjasama dengan Firma H.
M. Arsad & Co. Pada hari senin tanggal 30 November 1908 H. M. Arsad,
Tirto Adhisoerjo dan Pengeran Oetsman datang pada Notaris Marien John
Smissaert di Betawi untuk membuat Medan Prijaji Menjadi NV. Perusahaan
itu diberi nama Naamloonze Vennootschap: Javaansche Boekhandel en
Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften (NV Medan Prijaji). Dengan adanya
bentuk hukum ini, Medan Prijaji tidak mudah untuk di hentikan. perusahaan
tersebut mulai mengumpulkan modal sebesar 75.000 gulden, yang dipecah
menjadi 3000 lembar saham, seharga 25 gulden setiap lembarnya. Semua
sahamnya dikelompokan menjadi tiga bagian yang masing-masing bernilai
25.000 gulden. Bagian pertama dibeli oleh para pendiri perusahaan,
sedangkan sisianya di jual kepada pihak luar, termasuk kalangan Tionghoa
dan Eropa.45
Badan hukum ini mendapat pengesahan pemerintah pada 10
Desember 1908. H. M Arsad diangkat menjadi Redaktur Medan Prijaji pada
tahun 1908 sementara Pangeran Oesman46
setelah pengesahan NV itu
berangkat ke Eropa.47
NV Javasche Boekhandel en Derukerij en Handel in Schrijf behoeften
“Medan Prijaji” beralamat di Djalan Naripan, Bandung, yaitu di Gedung
Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK) adalah NV
berjasa menolong Medan Prijaji yang terblit hutang dan kesulitan modal. Pada tanggal 30
November 1908 H.M Arsad beserta Tirto Adhisoerjo dan Oetsman Sjah mendirikan NV. Medan
Prijaji. 45
Ahmat Adam, op cit. h. 193-194. 46
Karena tuan Prins Oesmann soeda berangkat ke Europa liwat daratan Siberia dengan
biaya Medan Prijaji Maka yang ganti tempatnja R.M. Tirtoadhikoesoemo putra pngsiun regent
Magelang yang telah pernah ke Europa (Medan Prijaji, tahun ke III, 1909 NV Jav. Bokh. En
Drukerij on Handel in Schrijfb. Medan Prijaji: Batavia) hal. 125. 47
Pramoedya Ananta Toer, op. cit., h. 48-50.
49
pribumi pertama. Modalnya adalah sebesar f 75.000,- terbagi atas 3000
lembar saham. Saham seri pertama sebesar f 25.000,- telah masuk48
.
NV Medan Prijaji dapat dikatakan adalah bentuk perseroan terbatas di
Hindia Belanda pertama yang didiriakan oleh kaum pribumi dalam
memajukan industri pers milik pribumi yang memiliki badan hukum.
Meskipun pada awal abad ke-20 sudah banyak bermunculan sarekat dagang
pribumi tapi diantaranya masih belum ada yang sampai berbadan hukum.
Adanya NV. Medan Prijaji ini, Medan Prijaji resmi sebagai badan usaha
berbadan hukum yang dimiliki oleh bangsa pribumi. hal tersbut juga
menegaskan posisi Medan Prijaji sebagai surat kabar pertama, yang dikelola,
dijalankan dan ditujukan untuk bangsa pribumi.
Dalam terbitan tahun ketiga, 1909, (terbitan tahun ke II dan III, 1907-
1908 tidak dapat ditemukan) Medan Prijaji berhasil membongkar skandal
politik Aspiran Controlieur A. Simon yang telah bersekongkol dengan
wedana dalam mengangkat seorang lurah untuk desa Bapangan, padahal ada
satu calon yang mendapat dukungan penuh oleh warga desa dan mendapatkan
suara terbanyak tidak tepilih dan malah dihukum dengan hukuman krakal.
Suara politik Medan Prijaji ini yang kemudian membuat gentar para
pemerintahan yang tidak menjalankan pemerintahan sesuai dengan
semestinya. 49
Atas tindakan pembongkaran kasus A. Simon, kemudian R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) yang berlaku sebagai pemimpin redaktur Medan
48
Tirto Adhisoerjo: “Pendahuluan Medan Prijaji tahun 1909”, MP Th. III, 1909, hlm. 6 -14
dan “Keterangan dan Aturannya NV Medan Prijaji”, Poetri Hindia Th. IV No. ½, Januari 1911, h.
16-24. 49
Medan Prijaji, No. 19 tahun ke III, (Jav. Bokh. En Drukerij on Handel in Schrijft. Medan
Prijaji : Batavia) 1909, h. 223-235
50
Prijaji diajatuhi hukuman pembuangan ke Teluk Betung, Lampung selama
dua bulan. Selama menjalani proses pembuangan R.M Tirto Adhisoerjo
(1880-1890) tetap menjalankan kegiatan Jurnalkistiknya, banyak dari tulisan-
tulisannya yang kemudian dikirimkan pada sk. Perniagaan (terbit: Batavia,
1903-1930, selanjutnya dengan nama Siang Po sampai 1942). Sekalipun
Medan Prijaji dapat terbit di Betawi. Namun, dalam masa pembuangan
tulisan-tulisan R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) dikirim dan diterbitkan
dalam sk. Perniagaan yang kemudian baru di kutif kembali dalam terbitan
Medan Prijaji tahun 1910 dengan judul “Oleh-oleh dari tempat
pembuangan.”50
Tulisan tersebut merupakan dokumen sosial tentang tata pemerintahan
dan politik dari kurun kebangkitan nasional, dan membuktikan betapa keras
dan tajam penanya, terutama keberaniannya dalam membongkar
penyalahgunaan kekuasaan mulai dari kepala kampung sampai residen
Lampung, sehingga hanya dalam waktu dua bulan pemerintah dipaksa
menampung akibat pembongkarannya. Pembongkaran tersebut disusul oleh
perubahan dan perbaikan tata pemerintahan.51
Menjadi beralasan kenapa R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
menerbitkan tulisan-tulisannya dalam masa pembuangan di sk. Perniagaan.
Ini dapat dilihat sebagai upaya Tirto Adhisoerjo untuk melindungi Medan
Prijaji selama ia masih dalam masa pembuangan. Namun, ketajaman dan
50
Kecuali pengantar tulisan ini diumumkan dalam harian Perniagaan, kemudian
diumumkan kembali dalam harian medan prijaji no. 20-24, Th.IV, 1910, hlm. 235-239, 246-257,
257-264, 265-273, 291-296). 51
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h. 57-58.
51
tetegasannya dalam menulis tetap dilajutkan dengan adanya surat-surat yang
dikirimkannya ke harian sk. Perniagaan dan yang kemudian diterbitkan
kembali setelah R.M Tirto Adhisoerjo kembali dari tempat pembungannya
dalam harian Medan Prijaji.
Sepulangnnya dari pembuangan Tirto langsung membenahi NV Medan
Prijaji yang dirasakannya tidak berkembang sesuai dengan semakin besarnya
kepercayaan umum pada kemampuan, keberanian, ketepatan informasi, dan
kegentaran aparat kolonial terhadap Medan Prijaji. Hasil dari
pembenahannya adalah: saham teritinggi NV dimiliki oleh Raden Ajoe Tirto
Adhisoerjo, Siti Habibah. Dalam rapat kepemilikan saham diputuskan, H. M
Arsad digantikan oleh R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) sendiri sbagai
redaktur. Haji Anang Tajib, seorang saudagar besar, dan Haji Amir, seorang
saudagar kain yang dua-duanya tinggal di Bogor berlaku sebagai komisaris.
H. M. Arsad sendiri keluar dari perusahaan semenjak adanya poembongkaran
redaksi. Redaksi dan administrasi dipusatkan di Bogor sedangkan terbitan-
terbitannya dicetak di percetakan H. A Benjamins, Heerenstraat, Semarang.52
Pada paruh kedua tahun 1910 Medan Prijaji berubah merubah
bentuknya yang lama sebagai berkala dengan format kecil, diubah menjadi
harian dan dicetak di prcetakan Nix, Jalan Naripan no. 1, Bandung yang
berlaku sebagai kantor pusat NV Medan Prijaji, dengan demikian Medan
Prijaji Menjadi surat kabar harian pertama yang dimiliki oleh bangsa
pribumi. Kebutuhan dan keinginan Medan Prijaji dalam mempercepat
52
Pramoedya Ananta Toer , Sang Pemula, h. 59-60.
52
memajukan bangsanya lewat terbitan dapat dilihat dalam tahun-tahun ini,
dengan berlakunya surat kabar Medan Prijaji sebagai terbitan harian,
menunjukan betapa besarnya keingainan pers ini untuk terus mempercepat
memajukan bangsa pribumi.
Tahun-tahun 1909-1911 dapat dikatakan sebagai masa jaya Medan
Prijaji. hal ini bukan tanpa alasan karena pada tahun 1909 Medan Prijaji
berhasil membongkar skandal politik A. Simon53
juga dengan berani Medan
Prijaji melakukan pembongkaran-pmbongkaran ditempat-tempat yang lain.
Terutama untuk kepentingan rakyat-rakyat kecil. Hal ini dapat di lihat dalam
terbitan-terbitan Medan Prijaji tahun 1909 dan 1910 dalam karya-karya non
fiksi R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918).
Tahun 1910 Jendral Van Heutz yang selama ini menjadi pelindung R.M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) dalam terbitan-Terbitannya digantikan oleh G.J
Idenburg, dalam tulisan yang diterbitkan dalam Medan Prijaji Tahun ke III,
1909, hlm. 660-663. Ia menuliskan karangannya yang berisi:
a. Wali Oemoem (Goebernoer Djenderal) selaloe bertoedjoean oentoek
bangsa jang memerintah, tida memikirkn oentoek bangsa jang terperentah,
b. Ia soedah tidak kemadjoean berfikir penuh (kebebasan berfikir) dan harta
kekayaan kami
c. Ia telah bikin hamba baru ini seperti bangsa jang ditakluken dan tida
diindahken hak-hak dan kehormatantja,
d. Ia soedah roesak hak-hak kami jang tida boleh tergangoe atas kehoermatan
dan kepoentjaan kami (hak azasi),
53
A. Simon. Dari data arsip kolonial Belanda di Belanda dapat diketahui bahwa pada tahun
1906 ia diangkat menjadi asistn Kontrolir. Pada tahun 1907 (dalam hubungan dengan tulisan Tirto
Adhisoerjo) ditetapkan ia akan terus bekrja di Keresidenan Kedu. Pada 1909 diangkat menjadi
kontrolir BB, tetap di Keresidenan Kedu. Pada 1916 ditunjuk untuk belajar poada Nederlandsche
Indische Bestuursakademie (Akademi Pemerintahan Hindia Belanda) mninggal pada 1921. lihat
Pramodeya Ananta Toer, ibid. h. 74.
53
e. Kami dilarang memboektikan kata merdeka kami akan kebenartan yjang
terucapken dengan daja cetak (Drukpers-reglment 1856),
f. Kami dipikoeli kewadjiban belandja negri jang berat dan tida ketentuan,
g. Korupsi officieel (resmi) didiamkan saja,
h. Bangsawan oesoel dan fikiran kami dianiaja oleh pembantingan martabat
dan deradjat.54
Pada tahun 1909 orang-orang yang telah bebas karena usaha pemberian
bantuan hukum oleh Medan Prijaji telah mencapai 225 orang. Gugatan
terhadap rsiden Bali karena kontrolir Praya telah melakukan pengusiran
terhadap golongan penduduk Timur Asing dari kawasannya juga berhasil
gemilang, begitu juga dalam menghadapi sekandal patih Bandung dan
skandal Brunsveld van Hulten juga berhasil secara gmilang. Dalam
bentukanya yang baru ini Medan Prijaji juga mendapatkan tambahan
pembantu di redaksi, yaitu Mas Marco Kartodikromo, dari darah kelahiran
yang sama dengan Tirto yang kemudian semakin membuat perjuangannya
semakin menggebu-gebu. Tiras Medan Prijaji melompat naik mencapai
2000, iklan semkin banyak Haji Mukti menyemarakan dalam kurun ini
dengan cerita bersambung Hikayat Siti Mariah mulai 7 November 1910
sampai Januari 1912 yang cukup memukau pembacanya.55
Sampai pada awal tahun 1912 Medan Prijaji memang berada dalam
masa jayanya, berbagai keberhasilan dalam hal pemberian advokasi hukum
bagi kaum pribumi yang membutuhkan, pemerian informasi umum terkait
kemajuan bangsa pribumi, karya non fiksi sebagai perlawanan rakyat kecil,
54
Tirto Adhisoerjo: “Sajian untuk Gubernur Jenderal baru”, Medan Prijaji, Th. III ,1909, h.
660-663. 55
Tirto Adhisoerjo: “Sajian untuk Gubernur Jenderal baru”, Medan Prijaji, Th. III ,1909, h.
660-663.
54
dan juga pemasukan dari langganan iklan yang jadi penopang terbitan harian
ini. Dari semua keberhasilannya yang gemilang, tidak kemudian harian ini
terus berjalan mulus. Gaya tulisan yang tegas dan tajam serta suara politiknya
yang berani membuat pemerintahan kolonial geram dan mengambil tindakan
tegas. Peraturan pers yang termaktub dalam Drukpers-reglement 1856 yang
kemudian diperbaiki pada tahun 1906 menjadi salah satu upaya pemerintah
untuk membatasi ruang gerak pers pribumi. Medan Prijaji merupakan bagian
dari banyaknya pers yang berkembang diawal abad ke-20. Menjadi perhatian
pemerintah karena suara politiknya yang tajam. Meskipun pemimpin
redakturnya tidak pernah mengatakan bahwa terbitan Medan Prijaji adalah
terbitan politik, tapi dari beberapa tulisannya, dan bantuan hukum yang
diberikannya bagi rakyat pribumi menunjukan terbitan harian ini berwatak
politik.
Para pejabat Eropa yang tidak suka kekuasaannya telah diusik oleh
Medan Prijaji melakukan perlawanan balik. Hal ini dapat dilihat dari adanya
suatu gerombolan terror yang dipimpin oleh seorang jurnalis muda yang
lincah keturunan Itali, Dominique Willem Baretty (kelak menjadi pendiri
kaontor berita ANETA). Dominique yang menamakan dirinya sebagai “De
Zweep” (si cambuk) pada suatu kali mengawal Brunsveld van Hulten
mendatangi kantor redaksi Medan Prijaji yang menuntut kepada Medan
Prijaji untuk mencabut tulisan-tulisannya tertentu dikorannya. Serangan yang
kedua datang dari Dr. D.A. Rinkes yang mengirimkan surat rahasia kepada
Gubernur Jnderal tertanggal 19 Februari 1912. Bahwa Rinkes telah menulis
55
tentang Medan Prijaji yang harus segera mendapatkan perhatian dari
pemerintah dan agar pemerintah segera mengambil tindakan tegas atas tebitan
Medan Prijai. Laporan Dr. D.A. Rinkes singkatnya adalah berupa nasihat
kepada pemerintah dengan jalan menyampaikan laporannya terhadap Medan
Prijaji.56
Medan Prijaji dalam lapooran Rinkes dianggap sebagai harian yang
lincah, energik, penuh bakat dalam menyampaikan kepentingan-
kepentingannya. Medan Prijaji dianggapnya sebagai sebuah pers modern
yang digunakan sebagai alat menyampaikan keluh kesah, dan kritikan
pedasnya terhadap pembesar sudah menimbulakan ketidaksenangan baru dan
terus menimbulkan ketidaksnangan yang lain.57
Adanya laporan Rinkes ini
memberi indikasi betapa berbahaya Medan Prijaji bagi pemerintahan kolonial
yang tidak menjalankan pemerintahan dengan semsetinya.
Adanya serangan dari Dominique Willem Baretty dan Dr. D.A Rinkes
merupakan konsekuensi yang harus dihadapi oleh Medan Prijaji sebagai surat
kabar harian yang berpihak pada kaum pribumi. Keberpihakan surat kabar
harian ini yang secara tegas memberikan garis pemisah antara bangsa yang
Memerintah (pemerintah kolonial) dan bangsa yang teperentah (penduduk
pribumi). dari laporan Rinkes dapat dipahami bagamana Medan Prijaji sudah
menjadi perhatian bagi pemerintahan Hindia Belanda. Dr. D.A. Rinkes yang
diam-diam mengamati dapur Medan Prijaji untuk kemudian dapat
mengumpulkan kekuatan dalam menghentikan laju terbitan pers ini.
56
Pramoedya Ananta Toer, op. cit. h. 66-68. 57
Lebih lengkap baca salinan surat laporan Rinkes yang ditujukan untuk Gubernur Jenderal
terhadap Medan Prijaji dalam, Pramodya Ananta Tor, op. cit. h. 66-68.
56
Akhirnya Medan Prijaji berhenti terbit pada tanggal 22 Agustus 1912,
kematiannya diawali oleh publikasi-publikasi yang tidak menguntungkan oleh
dua berkala berbahasa Jawa di Jawa Tengah. Kemudian menyusul pukulan
dibidang perniagaan, perusahaan-perusahaan besar mendadak membatalkan
iklannya di Medan Prijaji, para finansir Eropa pun menolak memberi kredit.
Pada tahun 1912 NV Medan Prijaji failit dan kemudian muncul bahwa setiap
NV harus tunduk pada hukum Eropa. R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
selaku pendiri Medan Prijaji dan pemimpin Redaksi terlilit dalam hutang
yang tidak bisa dibayarnya, dia juga kemudian disudutkan dengan adanya
laporan dan serangan dari lawan politiknya di pemerintahan Hindia Belanda.
Dengan kondisi yang sangat memperihatinkan akhirnya R.M Tirto Adhisoerjo
(1880-1918) dijatuhi hukuman buang selama enam bulan ke Ambon.58
Kematian Medan Prijaji dapat tahun 1912 adalah merupakan suatu
rencana yang sudah di susun sedemikian rupa oleh para pemerintahan
kolonial, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya serangan Dar Dominique W.
Baretty dan Dr. Rinkes yang menggunakan orang untuk menyusupi dapur
Medan Prijaji. ada usaha yang dilakukan oleh lawan MP dengan cara
pemboikotan tehadap para finansir dan para pengiklan perniagaan. Medan
Prijaji disudutkan secara terncana dengan serangan terhadap R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) sebagai penggerak terbitan ini. Membuat berkala
harian ini berhenti terbit pada tahun 1912.
58
Pramoedya Ananta Toer, op. cit. h. 68-77.
58
BAB III
PERAN PERS MEDAN PRIJAJI TERHADAP
MASYARAKAT PRIBUMI
A. Medan Prijaji Sebagai Medan Perjuangan Masyarakat Pribumi
Sejauh perkembangan pers di Hindia Belanda sampai pada penghujung
abad ke-19 di dominasi oleh pers putih1, sampai pada akhirnya muncul usaha
percetakan atau pers yang digerakan oleh orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda. Hal ini pula yang kemudian menjadi lecutan semangat kaum muda
terpelajar pribumi untuk mengikuti jejak yang sama. Pada era politik etis
yang menjunjung tinggi nilai kemodernan, kemudian muncul sosok kaum
terpelajar pribumi yang mengawali kiprah pers milik bangsa pribumi.
Pers murni milik pribumi dapat dikatan belum ada seblum tahun 1900,
sekalipun banyak dari terbitan pers yang menggunakan bahasa pribumi
saperti Jawa, Melayu dan yang lainnya. Pada masa ini belum ada terbitan pers
yang dimiliki dan dikelola oleh kaum pribumi. Seperti yang dibahasakan
Pramoedya, pada masa ini perkembangan pers yang “dari pribumi untuk
pribumi”. Meskipun pada tahun-tahun tersebut sudah banyak koran pribumi
yang terlibat dalam redaksi, seperti : Abdoel Rivai, Soesrokartono, Wahidin
Sodirohoesodo, F. D.J Pangemanann, Koessoemo Oetoyo, Maharaja
1 Pers putih adalah nama lain bagi terbitan pers yang dimiliki oleh orang-orang Blanda dan
Eropa yang berada di Hindia Belanda. Pada masa awal perkembangannya pers di Hindia Belanda
didominasi oleh orang-orang Eropa dan Belanda khususnya. Dari mulai bahasa dalam tulisan
redaksinya, kepemilikan percetakan, dan orang-orang yang menjalankan sebuah terbitan pers di
kuasai sepenuhnya olh orang-orang berkulit putih. Ini yang kemudian yang disebut Pramoedya
dalam bukunya sang pemula sebagai “babak putih”, hal ini didasarkan pada kepemilikan dan
keberpihakan perss waktu itu yang hanya terpusat pada orang-orang berkulit putih yakni Eropa dan
Belanda. Namun dalam perkembangannya pers putih sendiri masih jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan perkembangan pers di Eropa. Pramoedya Anata Toer, Sang Pemula,
(Jakarta: Hasta Mitra, 1985), h. 25.
58
Sampono, R. Dirdjoatmodjo, R. Marto Darsono, dan lain-lain, “kiprah mereka
baru sampai pada tarap dari mereka untuk pribumi, bukan dari pibumi untuk
Pribumi”.2
Pada tahun-tahun awal kiprah kaum muda terpelajar pribumi di dunia
pers orientasinya masih sangat sederhana, dimana pergerakannya hanya pada
tarap kepentingan ekonomi yang fokus dalam hal perniagaan dan
perdagangan, tulisan-tulisan fiksi dan informasi-informasi yang juga banyak
yang masih di kutip dari pers putih, belum ada tokoh pers yang mampu
membangun pers sebagai medan perjuangan yang dapat membentuk pendapat
umum atau dapat mengawal pemikiran umum. Media pers yang kemudian
dapat menjadi medan perjuang kaum muda terpelajar bahkan seluruh bangsa
pribumi dalam melepaskan diri terhadap segala bentuk penindasan dan
penghisapan pemerintah kolonial.3
Semangat politik etis yang menjunjung tinggi kemodernan, kemajuan
dan kesejateraan pada saatnya ditangkap dan diterjemahkan dengan baik oleh
tokoh kaum muda terpelajar pribumi. Idea of Progress yang kemudian
dihadirkan oleh tokoh perintis pers Hindia Belanda bernama R.M. Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) dalam usahanya mendirikan pers milik pribumi dan
untuk pribumi. Pengaruh dari semangat politik etis dan bakat jurnalistik disisi
lain yang ia miliki melecutkan semangatnya untuk menghimpun bangsanya
sendiri. Melalui media pers yang didirikan, tirto menjadikan pers Medan
Prijaji sebagai sarana untuk mentrasformasikan keasadaran, dan menularkan
2 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h. 23-24.
3 Pramoedya Ananta Toer, Pemula, h. 26-27.
59
semangat berjuangan bagi seluruh bangsa Hindia Belanda yang berada dalam
cengkraman pemerintah kolonial Belanda.
Medan prijaji adalah surat kabar mingguan pertama di Jawa yang
mengambil peran sebagai corong kaum terpelajar pribumi dan forum bagi
pembaca pribumi untuk mengekspresikan pandangan mereka serta
mendiskusikan berbagai isu menyangkut kesejahteraan pribumi, terutama soal
pendidikan bagi kaum pribumi dan soal-soal politik seperti kritik terhadap
priyai yang korup dan pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan
dan mengeksploitasi orang kecil. Dalam terbitan ini, pandangan Medan
Prijaji jauh lebih radikal dibanding pendahulunya Soenda Barita. Kritik blak-
blakan R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) kepada pejabat Belanda dan
pribumi, serta sentiment nasionalistisnya yang mencolok jelas menunjukan
orientasi politik mingguan ini.4 Selain membela kepentingan kaum pribumi
melawan ketidakadilan penguasa pribumi dan pejabat pemerintah yang korup,
Medan Prijaji juga sangat keras mengkritik sistem Kolonial Belanda.
4 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Ksadaran Keindonsiaan, 1855-1913,
(Jakarta: Hasta Mitra, 2003), h. 188.
60
Gambar. 1 Terbitan Medan Prijaji tahun 1910: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia
Sentiment kebangsaan dalam medan prijaji sebenarnya sudah dapat di
lihat dari motto pada halaman depan terbitannya :
”SOEARA bagai sekalian Radja-Radja, Bangsawan asali dan fikiran,
Prijaji dan saudagar boemipoetra dan officer-officer serta saudagar-
saudagar dari bangsa jang terperntah lainja jang dipersamakan
dengan anaknegri, diseluruh Hindia Olanda.”
Dari motto yang digunakan menjadi jelas bahwa surat kabar ini
merupakan medan perjuangan bagi golongan “Priyayi” (bangsawan),
61
“saudagar” (pedagang), dan “officier” (pejabat) untuk bersama-sama
memajukan penduduk bumiputera (priyai) yang tertinggal bila dibandingkan
dengan masyarakat Tionghoa, apalagi dengan masyarakat Belanda, di
Indonesia. Adapun sebutan “asali” dan “fikiran” bagi golongan “raja-raja” itu,
hanya untuk menunjukkan bahwa status golongan yang pertama didasarkan
atas asal-usul keturunan, sedangkan yang kedua berdasarkan atas
pendidikan.5
Dalam setiap redaksinya Medan Prijaji mencoba untuk memberikan
titik pemisah yang jelas antara kaum yang terperentah dengan kaum yang
memerentah. Tidak peduli seorang penduduk asli pribumi, peranakan
Tionghoa dan sebagainya. yang dipersamakan atas nama satu ketertindasan
oleh pemerintah kolonial, Medan Prijaji bermaksud mengakomodir semua
kalangan dengan bahasanya yang tajam dan persuasif serta terus
mentransformasikan keasadaran tertindas pada bangsa pribumi dengan
harapan mampu bersatu dan berjuang dalam memerdekakan bangsanya.
Surat kabar Medan Prijaji yang merupakan pers pribumi pertama ini
merupakan medan perjuangan bagi golongan Priyai (Bangsawan), Saudagar
(pedagang) dan Officer (pejabat bumiputra) untuk mensejahtrakan rakyat
bumi putra yang tertinggal dibandingkan masyarakat Tionghoa apalagi
Belanda. Surat kabar ini dianggap sudah modern pada masa itu dibanding
dengan surat kabar lainnya yang masih banyak berisi pengumuman, cerita dan
dongeng. R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) sebagai mengelola surat kabar
5 Andi Suwirta, “Zaman Pergerakan, Pers, dan Nasionalisme di Indonesia”, Jurnal Mimbar
Pendidikan No. 4 (Badung: Universitas Pendidikan Indonesia, 1999).
62
ini turut menyajikan tulisan-tulisan dengan bahasa Melayu rendahan yang
berisi pandangan dan keinginan agar H.B (Hindia Belanda atau Indonesia
sekarang) maju serta mau mengejar ketinggalan terhadap bangsa-bangsa lain
di dunia.6
Medan Prijaji yang merupakan surat kabar berkala mingguan kemudian
benar-benar menjadi medan perjuangan sesungguhnya. Sikap tegas dan
kebernainnya dalam menyuarakan kadilan dapat dilihat dalam terbitan-
terbitannya, misalkan dalam terbitan Medan Prijaji Th. III “Satoe Poelitiek di
Banjumas”, menceritakan bagaimana orang desa yang menuntut haknya atas
pemimpinnya yang sewenang-wenang, seperti dalam kutipan:
“…Pembaca tahu betapa boedoh oerang desa, betapa pendek fikir
dan takut, namun djikalau soedah poenjai kehendak, kehendak jang
soedah menjadi kejakinan oemoem menoeroet kelajakan dan hak,
mereka tidak akan moendoer dalam ikhtirnja asalkan kehendaknja
ditoeroeti, biarpoen kehendaknja itu di kemoedian hari memberatken
pukulnja. Mereka oerang Pardikan itu bersedia di padjaki asal
diperkenankan memilih kepala desa. Demikian pengadoean orang-
oerang desa itoe kepada kita, jang semakin besar keperjayaanja
kepda kita. Dan Tuhan Allah taoe dari siapa tahu nama dan roemah
kita hingga moereka datang koepada kita dari tempat jang boegitu
djaoeh, mereka tida dari Cilacap sadja, toetapi djoega dari
koeresidenan Banten, Cirebon, Rembang, Madioen, Kediri, lebih
djauh lagi dari Palembang, dari Boerneo…”7
Terbitan tersebut berisi tentang keluhan masyarakat dari desa Pardikan
Kuncen Cilacap yang tidak setuju atas perlakuan Resident Banyumas atas
tindakannya menurunkan kepala desa yang sudah dipilih oleh masyarakat.
6 Andi Suwirta, Surat Dari Dua Kota: Revolusi Indonesia Dalam Pandangan Surat Kabar
Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan (Yogyakarta) 1945-1947, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000) h. 20-
22. 7R.M Tirto Adhisoerjo, Madan Prijaji, “Soatoe Poelitiek di Bajumas”, no III Th. 1909, h.
463-465.
63
Tindakan Residen Banyumas yang kemudian mengganti kepala desa dengan
orang pilihannya memunculkan reaksi penolakan dan keluhan dari
masyarakat. Penolakan langsung yang dilakukan oleh masyarakat tidak
langsung dikabulkan. Namun, justru memberikan syarat yang berat bagi
masyarakat untuk siap membayar beban pajak yang besar ketika pengaduan
dan permohonannya ingin dikabulkan. Strategi politik pemerintahan Hindia
Belanda yang membuat marah masyarakat desa tersebut kemudian
menimbulakan tekad dan kehendak untuk mencari perlindungan dan bantuan.
Oleh karena itu, masyarakat desa Pardikan mendatangi redaktur Medan
Prijaji untuk meminta bantuan atas kondisi politik yang terjadi. Sebagai pers
yang berpihak pada masyarakat pribumi, Medan Prijaji berhasil menjadi
media perjuangan atas keluhan dan ketrtindasan yang terjadi pada masyarakat
pribumi. dalam tulisan itu juga dijelaskan bagaimana penduduk dari berbagai
daerah lain yang datang untuk meminta bantuan hukum dan perlindungan dari
kekejaman sistem pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dari tulisan diatas dapat kita tafsirkan bahwa pada masa itu sebuah
pers, dalam hal ini Medan Prijaji telah menjadi medan atau sarana untuk
menampung segala keluhan dan tuntutan dari orang-orang kecil, orang-orang
pribumi yang kemudian dikerdilkan di tanah airnya sendiri, lewat kebijakan
pemerintah yang semena-mena yang mencoba meperlakukan bangsa pribumi
sebagai sapi perah yang harus terus membayar pajak dan dipimpin oleh
pemimpin yang bukan dari keinginan mereka sendiri.
64
Jawaban atas kepercayaan bangsa pribumi terhadap redaktur Medan
Prijaji dapat dilihat ketegasan bahasanya dalam sambungan kutipan artikel:
“…Boegini singkatja regeerprogram8 itoe. Memang Djikalau seoerang
Radja Anak Negeri Begitoe alpa dan begitoe lalai atau kejam soehingga
rakjat tida bisa mendapatkan kesenangan dan kemadjuan, solaloe dip
eras dan dipijit, selaloe tida moendapatken ketentuan hokeoem dan
kemerdekaan, keradjaan haroes dihapoes, radjanja haros ditoereoenkan
dari tahta dengan mendapat tundjangan sebagei pengganti keroegian
sketika atau ditangggoehken smpai kematiannja…tetapi djika radja itoe
tida berdoesa dan diberhentikan, digantie dan digantinja tida atas
persoetoejoan rakjat atoe pembesar-pembesar keradjaan (rijkgrooten)
laloe rijksgrooten ini disoereoeh memasoekan permohoenan supaja
diganti radja lain dan kemodian jang memoengoet pajak adalah
Gubermen, apakah dalem hal ini Gobermen tida berlakoe mengindjak
hak kependoedoekan keradjaan itu boekan karen keadilan tetapi hanja
karna Fiscus9 alias Doeit?”
10
Dari redaksi yang digunakan dalam menyampaikan pendapat umum
tersebut yang kemudian memberikan bentuk wujud keberpihakan Medan
Prijaji terhadap bangsa pribumi, melalui bahasa sindiran yang tajam dalam
mengkritik pedas sistem pemerintahan Hindia Belanda yang menindas.
Medan Prijaji dengan berani tampil sebagai medan perjuangan yang
sebenarnya bagi masyarakat pribumi.
Dalam terbitan lainnya yang berjudul “Kekejaman di Banten”11
:
8 Regeerprogram berasal dari bahasa Belanda yang berarti program penaklukan.
9Ficsus berasal dari bahsa Belanda, Latin yang berarti Pembendaharaan negeri.
10 Madan Prijaji, ibid., h. 463-465.
11 Kekedjaman di Banten, sebuah cerita yang menggambarkan tentang kadaan sosial di
Banten Kidul, kondisi sosial di desa Nebol kabupaten Pandeglang yang selalu di pijit dan diperas
serta dianiyaya oleh lurahnya, dan berbulan-bulan penduduk desa itu mencari perlindungan.
Sampai pada akhirnya datang pada redaktur Medan Prijaji yang kemudian menceritakan keadaan
social yang sebenarnya yang diciptkan oleh kepala desa bernama Nada dengan brbagai tuntutan
.catatan tulisan ini diumumkan dalam terbitan Medan Prijaji tahun 1909. Th. III. h. 592-598.
65
“…djangan kaget, pembaca kita di Nederland, djangan kaget, dan
djangan lantas terboeroe boeroe memaki dan mentjatji kita, karena kita
soedah berani bilang jang hal hal sebage ditjeritaken oleh Multatuli
masih di dapet pada masa kini di Kresidenan Banten, teroetama di
Banten kideoel, jang soedah bertahoen tahoen pendoedoek desa Nebol,
Onderdistrik12
Mandalawangi, Distrik Tjimanuk, Kabupaten
Pandeglang, dipidjit dan dip eras serta dianijaja oleh lurahntja, dan
berbolan bolelan pendoedoek desa itoe mencari perlindoengan, ja
sampe prig pada Residenja, semakin jadi brutal, semakin kedjam sperti
seeker binatang boeas…Sebagemana Multatuli soedah sia sia mentjari
kebenaran, karna dapet halangan dari Slijmering dan Droogstoppel,
begitu juga pendoedoek desa Nebol Soedah Lemah dan tiada kebenaran
terhadap kekedjaman loerahnja. Sampai pada soeatu masa doea tiga
oerang desa tersebot dapet tahoe bahwa di Bogor ada seboeah kantor
redaksi dari soerat kabar, jang pintoentja selaoe terboeka boeat
menolong oerang oerang desa atoe oemoemntja anak negeri jang
kelemahan…”
Kutipan “Kekedjaman di Banten” diatas berisikan tentang bagaimana
kondisi sosio-politik di desa Nebol yang di pimpin oleh seorang lurah yang
kejam dan korup. Didalamnya diterangkan pengaduaan tiga orang perwakilan
warga desa Nebol yang datang ke Bogor (kantor Redaksi Medan Prijaji) yang
menceritakan kekejaman kepala desanya yang bernama Nada. Dalam terbitan
tersebut terdapat 19 kasus lurah Nada yang sudah menyalahgunakan
kekuasaannya untuk menindas masyarakat desa Nebol. Dalam terbitan
tersebut dapat di lihat bagaiaman kondisi sosio-politik di Hindia Belanda
khususnya di Banten yang begitu kontras, dimana pemerintahan Hindia
Belanda dengan kekuasaannya mampu berbuat sewenang-wenang terhadap
masyarakat pribumi, tindakan korup, kejam, dan tanpa belaskasihan tetap
mendapatkan perlindungan dari pemrintahan diatasnya sedangkan masyarakat
pribumi yang lemah dipekerjakan dan dikerdilkan hak-haknya tanpa adanya
12
Onderdistrik (Belanda: Onderdistrict: Kcamatan).
66
perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan. Hal ini yang kemudian
membuat masyarakat kecil berbondong-bondong mencari perlindungan
kepada Medan Prijaji. 13
Sebagai pers yang memihak rakyat kecil pribumi, Medan Prijaji
memberikan peran yang tepat bagi kebutuhan masyarakat pribumi pada masa
itu, sebagai medan perjuangan kaum pribumi, pers ini beperan terus
mengakomodir keluhan dan tuntutan masyarakat pribumi dari berbagai
daerah yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dan haknya. Melalui
telaah tulisan R.M. Tirto Adhosoerjo (1880-1918) dalam pers Medan Prijaji
dapat disimpulkan bagaimana pers ini mampu menjadi pembela bagi kaum
pribumi, kehadirannya dapat menjadi pembeda dari pers sebelumnya di
Hindia Belanda. Masyarakat pribumi yang sebelumnya tidak memiliki
kekuatan dan alat untuk memperjuangkan kesejahteraannya mampu di
akomodir dengan baik dengan adanya pers Medan Prijaji di awal abad ke-20
M.
B. Medan Prijaji Sebagai Alat Transformasi Politik Masyarakat Pribumi
Dalam Bab sebelumnya sudah diulas bagaimana kemunculan pers
Medan Prijaji menjadi tonggak awal kemunculan media pers yang murni
milik bangsa pribumi, meskipun pada masa tahun 1900-an sudah banyak
keterlibatan orang-orang pribumi dalam dunia persuratkabaran. Namun,
keterlibatan mereka masih sebatas pembantu bagi pers Belanda dan
13
Informasi lebih jelas terkait pengaduan warga desa Nebol atas kekejaman lurahnya yang
kejam dan korup dapat dilihat pada R.M. Tirto Adhisoerjo, Medan Prijaji, Kekedjaman di Banten
tahun ke III, no. , h. 592-598.
67
Tionghoa, keterlibatanya belum sampai pada tahap membentuk pendapat
umum. Medan Prijaji lahir sebagai pembeda dari media pers yang lain,
sebagai suratkabar yang didirikan, dikelola dan dikepalai oleh seorang
pribumi, pers ini mampu membentuk pendapat umum dan batasan yang jelas
antara pribumi dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Medan Prijaji juga
mampu mengambil peran sebagai alat transformasi kesadaran bagi kaum
pribumi yang terperentah, hal ini bahkan dapat dirasakan sejak kita membaca
bahasa redaksi mottonya:
“…SOEARA bagai sekalian Radja-Radja, Bangsawan asali dan fikiran,
Prijaji dan saudagar boemi poetra dan officer-officer serta saudagar-
saudagar dari bangsa jang terperntah lainja jang dipersamakan dengan
anak negri, diseluruh Hindia Olanda…”
Motto yang diusung Medan Prijaji jelas menunjukan batas yang tegas
antara kaum pribumi (bangsa yang terperintah) dengan orang-orang Belanda
dan Eropa (bangsa yang memerintah) di Hindia Belanda. Bahasanya yang
menyebutkan “bangsa jang terperentah” merupakan sentimen bahasa yang
menegaskan keberpihakan pers ini bagi kaum pribumi. Kondisi objektif yang
ditangkap oleh R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) bahwa kaum pribumi dan
bangsa lain di Hindia Belanda yang terjajah oleh kebijakan pemerintah
kolonial harus segera bangkit dan berjuang dalam menemukan
kemerdekaannya.
Di samping menyajikan informasi terhadap berbagai perkembangan
dunia dan khususnya perkembangan kebijakan pemerintah kolonial di Hindia
Belanda Medan Prijaji juga menerbitkan tulisan dari berbagai pengalaman
68
dan pandangan umum dengan maksud untuk transformasi kesadaran politik
bagi pembaca agar menyadari dimana posisi bangsa pribumi saat itu. Adanya
ketidaksesuaian yang sangat jelas antara kenyataan dan keharusan. Bangsa
pribumi yang sejatinya adalah pemawaris yang sah atas tanah Hindia
Belanda, kenyataannya hanya menjadi sapi perah bagi pemerintahan Hindia
Belanda. Sementara itu, bangsa Eropa yang datang ke Hindia Belanda
menjadi tuan yang memerintah bangsa pribumi dengan sewenang-wenang.
Negeri Belanda sebagai pendatang sudah menancapkan cengkramannya
di Hindia Belanda, berawal dari monopoli perdagangan yang di mulai sejak
datangnya VOC sampai pada hegemoni kekuasaan atas tanah Hindia Belanda
pada peralihan abad ke-20 Hindia Belanda telah sepenuhnya berada dalam
cengkraman kolonial Belanda. Kekuasaan tertinggi berada dipihak Asing
(Belanda) para pemimpin pribumi hanya sebagai pion yang juga diperalat
untuk melancarkan ekspansi Belanda saat itu. Kondisi ini yang kemudian
ditangkap dengan baik oleh para pemuda terpelajar pribumi, buah dari politik
etis telah nyata membuat blunder bagi pemerintah kolonial sendiri. Semakin
terdidik kaum pribumi semakin cerdas mereka menyadari ketertindasan yang
dialami oleh bangsanya.
Medan Prijaji yang di pelopori R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918)
sebagai perwujudan dari blunder Politik etis telah mampu menjadi sarana
perjuangan bagi kaum pribumi dan bangsa lainnya yang dipersamakan
dengan anak negeri atas dasar ketertindasan. Medan Prijaji mampu
mengambil peran sebagai sarana tranformasi politik bagi kaum pribumi, hal
69
ini dapat dibuktikan dengan bahasanya yang berani dan memihak. Seperti
dalam tulisan yang diterbitkan Medan Prijaji pada tahun ke IV (1910) yang
berjudul “Deradjat Boemi Poetra”
”Kalo kita doedoek berpikir memikirkan keadaan kita pendoedoek di
tanah Djawa dan yang disamakan dengan dia, maka merasa gemaslah
hati kita. Ja, gemas yang tiada terbilang hebantja, hendakpoen
berloempat, kekoewatan tiada poenja sebab kaki terikat oleh soeatu
petjakit melarat, hendak berterak-tereak minta toeloeng tida
didengarnya oleh jang wadjib. Djadi dari sana sini selalu mendapat
halangan jang besar. Ada beberapa anak boemi jang ada maksoed dan
beroesaha agar bangsaja jangan slaloe djadi tendangan dan makian
bangsa sopa, jaitu bangsa eropa. Kita selaloe didjeromoeskan dalam
lembah kehinaan dan kesengsaraan. Sehingga habislah tenaga kita boeat
indar dari pada bahaja. Sekean lamaja kita djadi boedak dan patjitaan
(makanan) bangsa sopan. Soenoeh tahan sekali bangsa kita
menanggoeng seksaan dengan sabar kita menerima nasib jang tida enak
ini. Apa bangsa sopan tida merasa alan poeja belas kasihan jang dia
soedah mengindjak dan menghisap habis abisan aken bangsa kita? Ada
djoga bangsa sopan jang tjinta dan sajang pada anak boemi dan soeka
pimpin merekka itoe pada djalan jang lurus dan selamat...”14
Dalam tulisan “Deradjat Boemi Poetra” ini Medan Prijaji berupaya
untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial yang timpang saat itu,
ketimpangan strata sosial antara orang Eropa yang disebutnya sebagai bangsa
sopan dengan para boemiputra (pribumi). Disamping itu, ada segelintir para
pemimpin Jawa yang berada dibawah perintah bangsa Eropa yang bersikap
begitu penurut dengan bangsa sopan namun, sebaliknya begitu kejam dan
sombong terhadap bangsanya sendiri. Dalam tulisan ini Medan Prijaji secara
tegas menuangkan bagaimana kondisi derajat bangsa pribumi dan berupaya
14
Tirto Adhisoerjo, “Deradjat Boemi Putra” dalam Medan Prijaji terbitan tahun 1910. h.
88-90.
70
untuk mentransformasikan kesadaran pada kalangan pribumi untuk segera
sadar dan bangkit akan ketertindasan yang terjadi.
Dengan bahasanya yang berani Medan Prijaji mampu menjadi corong
bagi perjuangan kaum pribumi. Kodisi sosial yang dituangkan dalam tulisan-
tulisannya mampu menggugah para pembaca dimasa itu, awal permulaan
abad ke-20 yang ditandai dengan kebangkitan pers mampu ditangkap dengan
baik sebagai sarana transformasi politik bagi kaum pribumi. Seperti yang
disebut Takhesi Shiraishi bahwa sebelum munculnya organisasi pergerakan
kesadaran tertindas sudah ada dalam setiap pikiran-pikiran tokoh yang
kemudian ditransformasikan dalam bentuk terbitan-terbitan persuratkabaran.
Penanaman embrio kesadaran nasional di awali oleh pers yang mereka
dirikan.15
Medan Prijajilah yang mengawali kiprah kebangkitan pers milik
pribumi serta mampu memberikan pembeda dari pers Belanda dan Tionghoa.
Medan Prijaji lahir sebagai corong perjuangan dan sarana transformasi politik
dalam menemukan kesadaran nasionalnya.
Dalam terbitan yang lain misalnya “oleh oleh dari tempat
pemboeangan”16
, terbitan yang merupakan berbagai rekaman sosial atas
pengalaman R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) selama pengembaraannya
dalam pembuangan di Teluk Betung. Pengalaman perjalanan yang ditangkap
15
Takashi Siraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Garffiti, 1997), h. 42. 16
Kecuali kata pengantar tulisan ini diumumkan dalam harian perniagaan dan kemudian
diterbitkan kembali dalam terbitan Medan Prijaji No. 20 tahun 1910. h. 235-239,246-252, 257,
265, 265-273, 291-296. adalah merupakan sebuah catatan yang dihasilkan dari pengalaman R.
Tirto Adhisoerjo selama pembuangan yang di terimanya di Teluk Betung. Hukuman buangan yang
diterimanya akibat ulahnya dalam membongkar skandal politik seorang aspiran kontrolir A. Simon
dengan bahasa umpatan yang digunakannya yang kemudian membuatnya terjerat dalam
Persdelict. Pada 19 Mei 1910 Tito Adhisoerjo kembali ke tanah Jawa untuk kembali menuliskan
hasil pengalamannya itu dalam terbitan berkala Medan Prijaji.
71
dan dicatat olehnya ini kemudian diterbitan dalam harian Medan Prijaji.
Dalam kutipannya:
“…Oerang oerang jang memegang pemerintahan sering berfikir ,
oentoek mendjalankan penmerintahan dengan sempoerna mesti
dilakoeken paksaan dan kekerasan, djadi boekan diberi toeladan jang
baik sehingga oerang melakoeken kewadjibanja dengan cinta dan
setia. Tida demikian halnja lakoe paksaan dan kekerasan, karna maski
baik djalannja pemerintahan, tetapi tida dilakoekan oleh bangsa jang
terperentah. Karna kesetiawanan dan kecintaan hanja dilakoeken
karna takoet, dan batinja tida terlepas dari pri kbentjian.
Tanah Hindia di masa ini adalah negri jang belum teratoer sebage
negri jang soedah beres, jang memberi kemerdekaan dan ketentoean
hoekoem sebagemana didjandjikan dalam fatsal 108 dalem Regeering
Reglerment boeat tanah Olanda, dimana didjadiken perlindoengan atas
harta benda dan badan pada segala pendoedoek di Hindia Olanda.
Dame lah rasa hati ini djika membatja djandji terseboet, dan
sesoenggoehnya dapet dirasaken kebenaranja oleh kita orang
penduduk di Hindia Olanda ini. Djika djandji dalam fatsal itu tida
terboekti itu disebabken kealpaan oerang oerang jang melakoeken
titah nagri. Berboeat sesoeka sndiri dan pilih kasih adalah penjakit
kebnjakan oerang jang berkuasa di Hindia ini. Setiap hari terdengar
hal hal jang menjataken bagemana oerang ta mempenjai kemerdekaan
dan dan ketentoean hoekoem…”17
Dari kutipan diatas terlihat keberanian Medan Prijaji dalam penanya
menyuarakan kondisi sosial politik yang dihadapi bangsa pribumi di masa itu.
Memberikan pandangan umum bagaimana sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh para penguasa yang bukan berasal dari bangsa pribumi
sendiri, melainkan oleh bangsa yang memerintah. Kekuasaan yang dijalankan
atas dasar paksaan dan kekerasaan atas bangsa pribumi hanya melahirkan
kebencian. Kemerdekaan bangsa pribumi yang sangat jauh dari haknya
membuat bangsa pribumi pada masa ini jauh dari kesejahteraan.
17
Kutipan dari terbitan Medan Prijaji, Oleh oleh dari tempat pemboengan, tahun ke IV
1910.
72
Dengan bahasanya yang berani dan tajam, Medan Prijaji mampu
menggambarkan bagaimana kondisi sosial politik yang sedang terjadi,
memberikan gagasan yang mampu mengawal kesadaran kaum pribumi atas
posisinya sebagai anak bangsa. Melalui telaah artikel diatas, Medan Prijaji
mampu menerangkan kenyataan objektif yang terjadi pada masa itu, melalui
terbitan ini kemudian Medan Prijaji bermetamorfosis sebagai sarana yang
efektif untuk transformasi politik bagi kaum pribumi yang harus segera sadar
dan bangkit atas tetertindasan.
Pembahasan yang cukup panjang dalam “oleh-oleh dari tempat
pembuangan” dapat disimpulkan disini beberapa nilai penting yang bisa
dianggap sebagai sarana transformasi politik bagi kaum pribumi, lewat
pengalaman dari tempat pembuangan Medan Prijaji menggambarkan betapa
menyedihkan kondisi sosial rakyat Hindia Belanda khususnya bangsa
pribumi, tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sebagaimana
mestinya, pemungutan pajak yang dipaksakan dan bagaimana tumpulnya
hukum bagi kaum pribumi menujukan adanya ketidakadilan yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Disisi lain dalam terbitan itu juga digambarkan bagaimana sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh para penguasa, terjadi begitu banyak
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para penguasa, pemungutan
pajak yang berlebihan, penegakan hukum tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, dan tidak adanya usaha-usaha yang diberikan guna
mensejahterakan bangsa pribumi. Medan Prijaji menunjukan batas yang jelas
antara bangsa pribumi yang terperentah dan bangsa sopan (Eropa) yang
73
memerintah. Melalui gambaran kondisi objektif yang dituangkan dalam
terbitan-terbitan tersebut, surat kabar ini mampu mengawal asusmsi publik
dan membentuk pikiran umum. Medan Prijaji dengan ketegasannya berusaha
mentrasformasikan kesadaran politik bagi kaum pribumi.
Seperti yang termaksud dalam delapan butir gagasannya:
1. Memberi informasi,
2. Menjadi penyuluh keadilan,
3. Memberikan bantuan hokum,
4. Tempat orang tersia-sia mengadukan halnya,
5. Mencarikan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di
Betawi,
6. Membangunkan dan memajukan bangsany, dan
7. Memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.18
Dari delapan butir diatas dengan tegas Medan Prijaji didirikan sebagai
surat kabar murni milik pribumi yang berangkat dari kepentingan kaum
pribumi dan berkembang menjadi corong bagi kaum terpelajar pribumi untuk
menyampaikan gagasannya. Lewat bahasa jurnalistik yang memihak dan
tajam pers ini mempunyai peranan penting dalam transformasi politik bagi
bangsa pribumi. Dari poin ke enam dan ke tujuh misalnya, pers ini berusaha
menggiring para pemuda pribumi untuk sadar atas ketertindasan yang terjadi,
mengajak seluruh bangsa yang terperentah untuk memperjuangkan hak dan
kewajibannya.
18
Pramoedya Ananta Toer, op. cit. h. 46.
74
Pada awal abad ke-20 ini lah geliat pers pribumi mulai memunculkan
penanya yang tajam, bahkan jauh sebelum munculnya organisasi gerakan
benih dari kesadaran nasional sudah ada pada pikiran kaum terpelajar pribumi
yang mereka tuangkan lewat pers. Banyak dari pers yang dikembangkan oleh
orang-orang pribumi yang memberikan kontribusi dalam mentrasformasikan
kesadaran bagi kaum pribumi diseluruh Hindia Belanda. Medan Prijaji lahir
sebagai pelopor pers pribumi yang murni dikelola oleh para pemuda
terpelajar pribumi. Melalui bahasanya yang tegas dalam membedakan antara
bangsa yang memerentah dan bangsa yang terperentah, jelas pers ini
menunjukan watak politiknya dalam melawan segala bentuk penindasan
terhadap kaum pribumi dari kesewang-wenangan pejabat pemerintahan.19
Meskipun penulis hanya mampu menemukan terbitan Medan Prijaji
pada tahun 1909 dan 1910, dirasai sudah cukup untuk menilai bagaimana pers
ini mampu mendongkrak semangat pada zamannya, memberikan informasi
dan gagasan-gagasan umum terkait nasib rakyat pribumi dimasa itu. Dengan
tidak mengesampingkan pers-pers sebelumnya dan yang muncul setelahnya,
Medan Prijaji mampu menjadi pelopor pers yang mengambil peran sebagai
sarana transformasi politik bagi kaum pribumi.
C. Suara Politik Medan Prijaji Sebagai Pengawal Lahirnya Kesadaran
Nasional
Awal abad ke-20 merupakan zaman baru bagi Hindia Belanda, zaman
penerapkan sistem politik etis yang ditandai dengan kemajuan berbagai aspek
19
Takeshi Siraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Garffiti, 1997), h. .
75
sosio-politik di Hindia Belanda. Hal ini dapat dilihat dengan kemajuan
pendidikan yang melahirkan kaum muda terpelajar pribumi, sebagai kaum
teperlajar mereka membentuk kesadaran “nasional” mebagai masyarakat
pribumi Hindia Belanda, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam
garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, , suatu titik yang hilang
di masa depan, yang memberikan makna pada keberadaan mereka saat itu.
Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain secara pribadi, tetapi mereka
tahu pasti kehadiran yang lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo,
Yogyakarta, Surabaya, dan seluruh Hindia. Mereka juga berbagi pengalaman
dan gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Untuk
sementara waktu “embrio bangsa” belum mendapatkan nama, dan mereka
tetap hanya bumiputra dan kaum muda. Pergerakan nasional yang dipahami
dalam historiografi ortodoks dari Indonesia pasca merdeka adalah perjalanan
“embrio bangsa” ini dalam mencari namanya-Indonesia. Akan tetapi sebelum
Indonesia ditemukan, “emrbrio bangsa” ini telah hadir dalam pikiran dan
gaya kaum muda, dan segera memperoleh alat kelembagaan untuk
mengungkapkan kesadaran “nasional”-nya. Alat itu adalah surat kabar
bumiputra (pribumi).20
Pada tahun-tahun awal ke-20, semua jurnalis bumiputra (pribumi) ini
bekerja pada penerbit Indo dan Tionghoa sehingga mereka tidak sepenuhnya
bebas memimpin “embrio bangsa”. Kemudian pada 1903, munculan R.M.
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) yang telah mnjadi wartawan pada usia sekitar
21 tahun, dan memimpin surat kabar pertamanya, Soenda Barita, dengan
20
Takeshi Siraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta:
Perpustakaan Utama Garffiti, 1997), h. 40.
76
bantuan keuangan dari bupati Cianjur R.A.A Prawiradirdja dan pada tahun
1907 mendirikan pers Medan Prijaji.21
R.M. Tirto Adisoerjo (1880-1918) mampu menjadi pengawal lahirnya
kesadaran nasional pribumi, melalui tulisan-tulisannya yang diterbitkan
dalam Medan Prijaji, pers ini mampu menjadi pengawal lahirnya kesadaran
nasional bagi masyarakat pribumi (Indonesia). Hal ini dapat dilihat bahkan
dari mottonya:
“…SOEARA bagai sekalian Radja-Radja, Bangsawan asali dan fikiran,
Prijaji dan saudagar boemi poetra dan officer-officer serta saudagar-
saudagar dari bangsa jang terperntah lainja jang dipersamakan dengan
anak negri, diseluruh Hindia Olanda…”
Bahasa redaksinya yang tegas dan berani memberikan batasan yang
jelas antara kaum terperentah (pribumi) dan kaum yang memerentah
(pemerintah Hinida Belanda). Dengan pemilihan redaksi yang termuat dalam
motto tersebut menegaskan betapa Medan Prijaji mengharapkan munculnya
kesadaran bersama bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Satu
kesamaan atas ketertindasaan oleh bangsa yang memerintah (pemrintahan
Hindia Belanda) diharapkan mampu menjadi “embrio kesadaran nasional”
bagi lahirnya persatuan masyarakat pribumi.
Melalui corong suara pergerakan bernama Medan Prijaji, R.M. Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) berupaya untuk menawarkan cara pandang khas
mengenai bangsa. Dalam gagasan tentang bangsa ia melakukan klasifikasi
kelompok manusia ke dalam dua kategori bangsa antara “jang terperentah”
21
Ibid., h. 43.
77
dan “jang memerentah”. Cara pandang ini membuat penegasan yang jelas
antara kelas tertindas dan kelas yang menindas, hal ini merupakan buah
pemikiran yang maju, ia menuangkan cara pandang yang baru dalam surat
kabar Medan Prijaji dimana sebelumnya pada masyarakat pribumi masih
terpisah-pisah dengan ragam suku dan etnis, penamaan Jong Ambon, Jong
Selebes, Jong Java dan sebagainya, masih menjadi garis pemisah antara
masyarakat pribumi di pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Melalui
konsep pemikirannya itu, R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-1918) bermaksud
melebur gagasan sentimen kebangsaan dengan gagasan baru “gagasan
kebangsaan” yang merupakan konsep kesadaran Nasional.
Melalui konsep pemikirannya yang maju, R.M. Tirto Adhisoerjo (1880-
1918) menawarkan cara pandang dan konsep berpikir yang baru, konsepsi
bangsa yang terperentah dan bangsa yang memerintah setidaknya
mengegaskan dua makna penting, pertama: ia ingin menarik masyarakat
pribumi dari kesadaran kedaerahan menuju kesadaran kebangsaan (kesadaran
nasional). Kedua: ia iangin mengungkap selubung penghisapan yang
dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda atas bangsanya, dengan garis
pemisah yang jelas, bahasa “jang memerentah” merupakan penegasan bahwa
kolonialisme sedang merongrong bangsa pribumi. melaui kedua pnegasan
tersebut ia bermaksud merespon kesadaran nasional dan menyadari
ketertindasan yang sedang terjadi atas bangsa pribumi.
Dalam terbitannya yang lain, Seperti dalam tulisan R.M. Tirto
Adhisorjo yang ditulis atas nama Diana. Melalui artikel ini kita akan melihat
78
suatu gambaran bagaimana keadaan bangsa jang terperentah itu demikian
diremehkan oleh bangsa yang memerentah sebagai bangsa sopan.
“...demikianlah bangsa Tionghoa bisa djadi madjoe. Sekarang
betapakah halnja tentang orang Boemi poetera? ...oerang berkoeli,
jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan dari angkatken orang laen
punja barang...”
“ tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa
sopan. Dogcart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari,
barangkali soedah empat lima djam lamanja.. „sekarang berhenti disini
sir‟,‟saja toean‟, „ini sewanja‟... „een kwartje‟, „minta tambah, toean!‟,
„apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean‟, „ini terlaloe sedikit
sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. „Apa itu, soeara bedil!
Boekan! Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang
brutaal. Kasihan!”
“...lihat itoe disana!... seorang Opziender poekoel pada koeli. Apa
sebab? Oleh koeli tida maoe berhormat dan madoeka pada itoe
kandjeng toean besar Opziender.”22
Dari artikel tulisan diatas dapat di lihat betapa upaya penulis ingin
merespon membaca tulisan atas nama Diana tersebut akan menangkap
suatu gambaran bahwa laku semena atau penindasan benar-benar telah
terjadi. Baik itu hinaan, kekerasan fisik, atau eksploitasi. Dari tulisan tersebut
kita bisa memungut gambaran bahwa penindasan itu menghujani keseharian
rakyat dengan berbagai profesi mulai dari kusir, kuli, dan sebagainya yang
tak dituliskan sebab menurut penulisnya terlalu banyak jika harus dibeberkan
semua, “djikaloe disini haroes diseboetken roepa-roepa hinaan itoe, tentoelah
terlaloe makan banjak tempat.”23
Itulah potret dari bangsa pribumi yang diperlakukan sedemikian rupa
selayaknya binatang oleh bangsa “sopan” sebagaimana kata “sopan” itu
22
Diana, Mendjoendjoeng bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III (NV Medan Prijaji:
Batavia, 1909) h. 764-769. 23
Diana, Mendjoendjoeng Bangsa...h. 769
79
dipilih oleh penulis artikel untuk dikontraskan dengan laku semena atas
kusir yang dianggap brutal hanya karena berani menuntut haknya. Sebuah
satire yang menguak kesadaran sekaligus sentimen kebangsaan dalam upaya
merajut kesadaran nasional. Oleh sebab artikel semacam ini dapat
memberikan kabar menggantikan lisan untuk bertutur dan berbagi keluh
peluh atas penindasan yang dialami saudara sebangsa di belahan nusa yang
tak saling tatap mata. Dan lagi-lagi harus kita katakan bahwa di sinilah
suratkabar berperan melipat jarak, sehingga meski mata tak saling tatap
namun satu sama lain bisa saling pandang melalui kata dan berita. Namun
demikian, penulis artikel tersebut memberikan sikap sekaligus pandangannya
atas fenomena tersebut, bahwa keadaan seperti itu tidak bisa didiamkan.
Sebab menurutnya, binatang saja tidak boleh disakiti apalagi orang, dan
kebusukan dalam bentuk apapun harus di usir dari dunia.
Masih dalam tulisan yang sama, penulis menjelaskan bahwa ini semua
bukan hanya disebabkan oleh perkara uang dan pengetahuan yang dimiliki
kaum yang dipertuan saja. tapi juga oleh sebab mental minder atau rasa
rendah diri dari kaum pribumi yang merasa takut sejak awal. Dan oleh
karenanya, menurut artikel tersebut, maka “tiada lain, soepaja orang
Boemi terlepas dari penganiajaan, haroeslah orang Boemi Poetra djadi
koeat dan koeasa djoega”,24
dan jalan satu-satunya tiada lain adalah
dengan merebut kemerdekaan harkat sebagai sebuah bangsa terhormat.
Untuk itu dalam artikel yang membakar kesadaran ini, penulis kita
24
Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, dalam Medan Prijaji no.33 tahun III, h. 770
80
memberikan uraian mengenai apa saja langkah yang harus ditempuh untuk
melakukan upaya membebaskan bangsa dari penindasan. Menurut penulis
yang menggunakan nama Diana ini setidaknya ada tiga poin yang
digarisbawahi. Menurutnya, orang harus memperhatikan modal intelektual,
berkerja keras, dan menggaungkan persatuan bangsa agar mampu berdiri di
atas kaki sendiri, “berame-rame menoeloeng bangsanja, mengangkat dari
tempat jang rendah ketempat jang tinggi...”25
Dari telaah artikel yang ditulis atas nama Diana di Medan Prijaji
diatas, dapat disimpulkan betapa Medan Prijaji melalui bahasanya yang
tegas dengan sentimn kebangsaannya beruapaya untuk membangunkan
bangsanya “jang terperentah” untuk sadar akan ketertindasan yang
dilakukan olehbangsa “jang memerentah”. Melalui sentiment kebangsaan
yang tegas Medan Prijaji berupaya menyuntikan konsep atau gagasan
berfikir baru yang lebih universal. Masyarakat Hindia Belanda yang semula
tersegmentasi dalam sentiment kedaerahan masing-masing harus berfikir
lebih maju bahwa mereka adalah satu kesatuhan atas nasib yang sama
sebagai bangsa “jang terperentah”. Demikian juga dengan artikel-artikel
kritis Medan Prijaji yang seolah memanggil bangsa jang terprentah untuk
sadar. Dan ketika respon diberikan seperti halnya oleh orang desa Bapangan,
maka yang terjadi adalah terbentuknya rasa “kebangsaan” yang
25
Diana, Mendjoendjoeng Bangsa, h. 771
81
tergambarkan betapa “senar-senarku telah ditarik dari tempat lain, oleh suara
yang bahkan tidak kukenal namun tampaknya kutaati”26
Dari dalam newsroom Medan Prijaji kita telah menyaksikan
bagaimana sekerumun aksara diatur sedemikian rupa sehingga berubah
wujud menjadi sekawanan berita yang memburu mengejar para penguasa
baik itu kolonial Belanda maupun penduduk bumiputera yang menjadi
hamba kolonial. Sejumlah artikel yang dilesatkan dari busur pemikiran kritis
membuat mereka yang bersalah tak nyenyak tidur. Selayaknya lambang dari
suratkabar pengusung Jurnalisme advokasi yang berupa pendekar pemanah,
berita yang dikandung Medan Prijaji seolah melesat seperti anak panah
mencari sasaran. Dalam bahasa yang berbau hiperbolis, dalam beberapa
literatur mengenai Medan Prijaji, kita akan mendapati ilustrasi betapa pena
tajam dari sang empunya mampu membuat para pejabat muntah darah
karena buah pikiran sang jurnalis. Watak yang selalu berpihak pada mereka
yang lemah inilah yang membuat Medan Prijaji tampil sebagai surat
kabar pembela kaum tertindas.27
Melalui pemilihan bahasa yang tegas berani dan tajam, Medan Prijaji
telah berhasil mngawal pikiran umum bagi bangsa pribumi untuk memahami
suatu konsep identitas nastion, dari sini embrio kesadaran nasional bangsa
pribumi mulai terbentuk. Melalui berbagai upaya yang dilakukan oleh
Medan Prijaji dalam membambangunkan bangsanya, pers ini memiliki
26
Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural Studies... h.241-243. 27
Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia dalam Sang Guru (Jogjakarta: Ekspresi
Buku, 2006) h.228.
82
sumbangan yang cukup signifikan dalam mengawal lahirnya kesadaran
nasional bangsa Indonesia di awal abad ke-20 M.
Namun demikian, Medan Prijaji ternyata tak hanya melahirkan berita-
berita pedas, artikel-artikel yang merongrong laku semena para penguasa,
maupun cerita bernada sinis. Dari ruang penggodokan berita itu, tergodok
pula pemikiran seorang anak muda yang merupakan hasil didikan R.M
Tirtoadhisoerjo (1880-1918). Adalah Mas Marco Kartodikromo yang
menganggap Medan Prijaji selayaknya sekolah yang mendidiknya tidak
hanya mengenai cara menyusun huruf selaku seorang letterzetter
(penyusun aksara), namun juga tempat di mana pikiran, gagasan, dan
kepiawaiannya di dunia jurnalistik diasah setajam anak panah pada lambang
Medan Prijaji. Berbagai literatur berkenaan dengan sosok R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) seolah tak membiarkan kedua nama ini terpisah. Hal
serupa juga datang dari tulisan penulis muda, Iswara N Raditya, yang
menaruh perhatian dan meneliti cukup lama seputar Tirtoadhisoerjo dan
tentunya Medan Prijaji. Dalam karya yang merupakan himpunan tulisan
beberapa penulis muda itu ia menggambarkan betapa Marco mengakui
bahwa “lantaran pimpinannya saya bisa menjadi redaktur...”.28
Dalam paparan yang lebih panjang, Pramoedya Ananta Toer
menuliskan pengakuan Marco mengenai sang guru bahwa “...saya mesti
mengaku juga bahwa lantaran pimpinannya… saya bisa menjadi redacteur,
pada ketika saya ada di Bandung, kumpul serumah dengan beliau... seorang
28
Iswara N Raditya, Para Pemula Indonesia .....h.230
83
journalist Jawa paling tua......mashur di seluruh Hindia lantaran
keberaniannya mengusik laku sewenang-wenang...” 29
Tulisan Marco ini
sejatinya merupakan suatu upaya melepas wafatnya sang guru. Marco
menulisnya di Sinar Hindia lima hari setelah sang Guru menghembus
nafas akhir.
Keterbatasan tema pada karya ini membuat ruang kita
membahas Marco harus dibatasi pula. Oleh karenanya saya tidak akan
berpanjang kalam dalam pembahasan Marco, hanya selintas sekadar
memberi petanda betapa hubungan guru murid itu ada dan berpengaruh
dalam dunia jurnalistik pergerakan. Berikut saya kutipkan syair Marco
Kartodikromo dalam surat kabar Sinar Hindia 14
Agustus 1918
berjudul “Awas! Kaoem Journalist!” sebagai suatu gambaran mengenai
sikap Marco sebagai seorang jurnalis yang dipelajarinya dari sang guru:
“Awas! Kaoem Journalist!”
“Jadi Journalist zaman sekarang
Berani dihukum dan di buang
Karena dia yang mesti menendang
Semua barang yang melangmalang
Journalist harus berani mati
Bekerja berat membanting diri
Sebab dia hendak melindungi
Guna mencari anak sendiri
Journalist harus bisa berdiri
Sendiri juga yang keras hati
Dan tidak boleh main komedi
Guna mencari enak sendiri
Koran itu tooneel umpamanya
Tuan membaca yang menontonnya
Journalisnya jadi pemainnya
29
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985) h.7
84
Hoofdredacteur jadi kepalanya.”30
30
Muhidin M Dahlan, Revolusi yang Lahir dari Cetak dalam majalah BASIS no. 01-02
Januari- Februari 2009. h. 4
85
BAB IV
PENGARUH SUARA POLITIK R.M. TIRTO ADHISOERJO DALAM
PERS MEDAN PERIJAJI
A. Suara Politik R.M. Tirto Adhisoerjo Sebagai Kritik Terhadap Sistem
Pemerintah Kolonial
Pada pertengahan abad ke-19 sudah banyak bermunculan pers
berbahasa anak bangsa dan juga adanya keterlibatan bangsa pribumi dalam
redakturnya, pers pada masa ini lebih berorientasi pada perdagangan dan
iklan belaka, dalam terbitan-terbitannya masih banyak yang mengkuktif dari
pers putih. Pers yang berhaluan politik dan mengawal gagasan umum baru
dapat ditemukan pada awal abad ke-20 dengan munculnya Medan Prijaji
pada tahun 1907, pers yang pertama kali diterbitkan oleh seorang bumiputera
R.M Tirto Adisoeryo (1880-1918) yang sebelumnnya mendirikan SDI
(Sarekat dagang Islam) bersama H. Samanhudi. Pada awalnya ia mendirikan
Sarekat Prijaji yang mempunyai tujuan untuk memajukan dan
mensejahterakan penduduk bumi putera dengan memberikan beasiswa
pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Sebagai sarana untuk
mensosialisasikan tujuannya itu dengan menerbitkan Medan Prijaji pada
tahun 19051 dalam edisi mingguan yang kemudian berubah menjadi harian
pada tahun 1909.2
1Sepertinya ada kekeliruan yang dijelaskan dalam literatur yang penulis kutif, dalam
literature yang lain Medan Prijaji didirikan pada tahun 1907 sebagai berkala mingguan yang
sangat sederhana yang dicetak pada percetakan Kho Tjeng Bie, Pancoran Betawi. Rubric tetapnya
adalah: mutasi pegawai negeri, salinan lembaran Negara dan lampirannyasurat-surat masuk dan
jawabannya, cerita bersambung, surat-surat pembaca dan jawabannya serta pemberian bantuan
hukum sebagai pemberian jasa redaksi redaksi Medan Prijaji. lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang
Pemula, Hasta Mitra: Jakarta, 1985. Hlm. 46. 2 Imas Emalia, Suara-Suara Pembaharuan Islam: Kajian Atas Pers Islam di Indonesia
Masa Hindia Belanda (1900-1930-an), Puslitbang Lektur dan Kazanah Keagamaan Badan
Penelitian dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia: Jakarta, 2012. Hlm. 28
86
Sebagai pemimpin redaksi Medan Prijaji R.M Tirto Adisoerjo (1880-
1918) juga aktif dalam menyikapi kehidupan sosial-politik di Hindia Belanda.
Setelah beralihnya terbitan Medan Prijaji dari mingguan menjadi harian
berkala ini semakin gencar menyuarakan aspirasi dan membentuk gagasan
umum bagi para kaum bumiputra. Suara-suara Medan Prijaji yang berhaluan
politik dengan berani melakukan perlawanannya terhadap system
pemerintahan di Hindia Belanda yang sewenang-wenang. R.M Tirto
Adisoeryo (1880-1918) mengelola surat kabar dengan menyajikan tulisan-
tulisan dengan bahasa melayu rendahan yang berisi pandangan dan keinginan
agar HB (Hindia Belanda atau Indonsia sekarang) maju serta mau mengejar
ketinggalan terhadap bangsa-bangsa lain di dunia.3
Dalam kondisi ini R.M Tirto Adisoeryo (1880-1918) dan Medan Prijaji
seolah merupakan titik tolak pers kebangsaan yang “berdikari” sebab
ditangannyalah pers berperan sebagai media yang berpolitik. Sebagai seorang
yang sadar dan peduli pada keadaan bangsanya sebagai Bangsa yang
“terprentah”, ia menggunakan media pers sebagai alat perjuangannya. Jika
pada umumnya pahlawan dikenal sebagai orang yang berjuang dengan
senjata, maka yang menjadi senjata dalam perjuangan beliau melawan
kesewenangan Kolonial adalah pena tajamnya. Melalui Medan Prijaji yang
dipimpinnya tersebut ia lakukan pembelaan pada bangsanya atas perlakuan
semena-mena para pejabat belanda ataupun pejabat pribumi yang menjadi
kaki tangan penjajah.
3 Andi Suwirta, Surat Dari Dua Kota: Revolusi Indonesia Dalam PAndangan Surat Kabar
Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan (Yogyakarta) 1945-1947, Balai Pustaka: Jakarta, 2000 hal. 20-
22.
87
Melalui Medan Prijaji, R.M Tirto Adisoeryo (1880-1918) menyebarkan
kesadaran kebangsaan. Sebagai media, Medan Prijaji memainkan peran
penting pada masanya dengan menjadi media yang berpolitik, Medan
Prijaji menggeliat sebagai alat propaganda yang menyebarkan kesadaran
tentang konsep “bangsa”, sebuah konsep kebangsaan yang di paparkan R.M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) menggunakan bahasa yang sederhana dengan
membedakan antara bangsa yang “terprentah” dengan bangsa yang
“memerentah”.
Suara-suara R.M Tirto Adisoeryo (1880-1918) dalam Medan Prijaji
pun memberikan banyak pengaruh terhadap keberlangsungan pemerintahan
Hindia Belanda. Tirto berani mengkritik dan menyarakan permasalahan
pemertintahan yang selama ini tak pernah diungkapkan. Suara-suara Tirto
yang begitu kritis kerap merongrong penguasa juga dituangkan dalam ragam
yang berbeda. Dua diantaranya yang mencolok dan senafas adalah seputar
kritik terhadap penguasa di satu sisi dan “sentimen kebangsaan” di lain sisi.
Namun sebenarnya kedua sisi tersebut memiliki satu sasaran yang sama.
Kadang kedua tema tersebut termuat dalam satu artikel, kritik terhadap
“bangsa jang memerentah” yang kelak melahirkan konsekuensi berupa
lahirnya rasa ke”bangsa”an. Yakni, “kita” yakni, “bangsa jang terprentah”
berbeda, dan harus mengatakan tidak terhadap “mereka” yang tak lain
“bangsa jang memerentah”.
Berkenaan dengan itu, tidak satu dua permasalahan yang dicuatkan
oleh pers pembangkit bumiputra dari tidurnya ini. Tidak sedikit pula kasus
88
yang disorotinya berkenaan dengan laku semena-mena para penguasa, baik
itu dari bangsa Eropa maupun bangsa pribumi yang bersatu dengan bangsa
jang memerentah. Boleh jadi watak konfrontatif dalam mengawal kasus
kaum lemah dan kritik atas penguasa ini yang membuat Medan Prijaji kerap
berurusan dengan hukum. Berikut kita akan melihat sebuah berita yang
dimuat Medan Prjiaji berkenaan dengan kritik-kritiknya terhadap
penguasa, salah satunya adalah kritisisme Medan Prijaji dalam upaya
menolong orang-orang desa Bapangan atas laku kuasa Aspirant Controleur
Purworedjo, A. Simon yang berbuntut panjang.
Gambaran dari peristiwa saat itu kira-kira sebagai berikut; “…kita
didakwa soeda mengoempat seakan akan kita ada toedoeh Asp. Controleur
itu terima smeer, tetapi toedoehan ini tida di terima olih en Raad van justitie
en olih Hof besar sehingga kita terlepas dari toedoehan itoe, akan hal ini
soerat-soerat kabar melaijoe jang ternama soeda menjatakan
kegirangannja”.4
Dalam tulisan lain, R.M Tirto Adisoerjo (1880-1918) yang menulis
dengan nama pena berupa inisial T.A.S, mengutipkan suatu keadaan
perkembangan kritisisme media yang diberitakan ulang Medan Prijaji dari
Java Bode No.226 bahwa pers bumiputera sudah menggeliat luarbiasa maju.
Dalam artikel itu, dikatakan bahwa “bagi kebaekannja gerakan boemi poetra
maka pers anak negeri ta‟akan moenkir lagi. Maka boemi poetra soedah
4 Tirtoadhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra dalam Medan Prijaji
tahun III (NV. Medan Prijaji,1909) h.906
89
berdiam diri sekian lamanja, tetapi sekarang soedah moelai hendak majoe,
dan pers-pers disini soedah berterejak pandjang lebar”.5
Semangat yang berapi-api nampaknya juga akibat disulut rasa simpati
dari “orang-orang kecil” yang menuliskan surat berisi dukungan mereka
untuk berhadapan dengan sang Aspirant yang juga dimuat dalam Medan
Prijaji sebagai berikut:
“…Dipersembahkan pada toeankoe Raden Mas Tirtohadisoerjo jang
berpangkat hoofdredakteur Medan Prijaji di Bogor. Hamba,
1.Soetodikromo, 2. Himan Djojo, 3. Mangoenkarso, 4. Matkarip,
mendengar kabar djikaloe padoeka didakwa olih toean Apirant
Controleur Poerworedjo perkara padoeka soeda toeloeng pada
hamba dan teman-teman semoea sedjoemblah 236 (orang). Hal itoe
djangan koewatir djikaloe padoeka toean didenda, hamba orang 236
jang bersanggoep bajar, memang itoe poetoesannja toean tida adil…”6
Seteru antara kedua pihak, Medan Prijaji kontra A. Simon ini
dipertajam dengan suatu kalimat sarkastik ketika Medan Prijaji menyebut A.
Simon sebagai Snot-aap alias monyet ingusan. Ini berawal dari
kecurangan persekongkolan politik dalam upaya memenangkan salah satu
calon Lurah yang sudah kalah suara pada pemilihan di distrik Cangkrep,
Bapangan.7
Tak melulu mengenai sistem pemerintahan, Medan Prijaji juga
menyoroti ketidakberesan lain yang menurutnya harus diwartakan. Seolah
5 Tirto Adhisoerjo, Doenia Soerat-soerat Chabar Boemipoetra.., h. 902
6 Soeratnja orang-orang desa Bapangan pada Hoofd Red M.P. dalam Medan Prijaji Th. III/
1909 h. 15 7 Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto
Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909 h. 224. Sebagai
catatan, Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula menuliskaannya dengan “Persdelict:
Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto Adhi Soerjo. Lih. Sang Pemula. h. 208. Dalam Sang
Pemula, Pramoedya juga kerap mengubah tidak hanya ejaan tapi juga redaksional yang berbeda
dari teks asli Medan Prijaji. Dan itu diakuinya agar membuat nyaman para pembaca.
90
tak rela ketidakberesan itu terlanjur dianggap wajar, maka lekas-lekas ia
menghantamnya. Berikut adalah suatu kritik yang diwartakan menyangkut
perilaku hidup mewah seorang bupati yang “...soeda mendadak bisa bli
automobiel bebrapa sehingga arganja betreak seperti treaknja boereoeng
podang, ewoe, ewoe woe!!!”…usut punya usut ternyata kekayaan mendadak
itu datang setelah “...ada fabriek goela” yang dibuka di daerah sang Bupati.
Alhasil dengan segala kepemilikan bupati yang mewah itu “... orang ketjil
soeda takoet dan srahkan sawahnja pada paksa Bupati automobiel itoe akan
disewa boeat kebon teboe…”.
Dan tentunya, akibat nafsu sang Bupati memperoleh untung dari
upaya penanaman tebu itu, ia perluas ladang tebu sehingga “orang ketjil
betreak tida bisa tanam padi atau polowidjo”. Dengan gaya bahasa yang
sangat meledek, seperti menyisipkan suara burung Kepodang tadi, Tirto
menutup artikel itu “Eeee! Main Ewoe Ewoe sadja! Apa lagi nanti kalau
soeda giling, ewoe, ewoe orang dipaksa djadi koeli, sebab, ewoe ewoe soeda
masoek di kabopaten...”8
boleh jadi bunyi kepodang yang dimaksudnya
adalah bunyi mesin giling tebu. Kesulitan rakyat kecil semacam ini
digambarkan juga dalam Medan Prijaji dengan sebuah pantun mengenai
pemaksaan pemerintah pada rakyat untuk menanam sirih, dan jika
tidak, maka akan diancam hukuman, “melak seureuh di boeroehan, oi!.
Prentah ti kawedanaan, oi!. Abong menak pamarentahan, oi!. Henteu njaah
8 R.M.Tirto Adhisoerjo, Baoe Goela dalam Medan Prijaji tahun III (NV Medan Prijaji,
1909) h.787.
91
kasamahan, oi!”, menanam sirih di halaman, perintah dari kewedanaan,
mentang-mentang pejabat negeri (prijaji), tidak kasihan pada orang kecil.9
B. Suara Politik R. M Tirto Adhisoerjo Sebagai Penyalur Advokasi serta
Pembongkaran Skandal Politik Pemerintah Hindia Belanda
Seperti yang dapat disimak di atas bahwa R.M Tirto Adisoeryo (1880-
1918) menjadi sangat berpengaruh setelah suara-suara kritikan terhadap
pemerintahan yang di tuangkan dalam Medan Prijaji. Sejak saat itu juga
Medan Prijaji seakan mejadi ancaman bagi para penguasa HB terutama bagi
mereka yang telah merugikan pribumi. Salah satu kesuksesan Tirto adalah
berhasil membongkar skandal politik HB. Seorang Aspiran Controlir A.
Simon telah bersekongkol dengan Wedana dalam mengangkat seorang lurah
untuk Desa Bapangan, pada hal jago yang mendapatkan suara terbanyak
ditangkap dan dikenakan hukum kerakal10
. R.M Tirto Adhisoerjo yang
terbakar amarahnya karena melihat penyalahgunaan wewenang ia namai
pejabat tersebut “snot aap” (monyet netek atau ingusan). Dalam
pembongkaran kasus ini R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) di dukung oleh
seluruh warga desa Bapangan. Perkara yang kemudian menjadi perkara
ganda: penyalah gunaan wewenang oleh A. Simon dan penghinaan oleh R.M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) terhadapnnya.11
9 Kamerdikaannja Peladang Kita dalam Medan Prijaji tahun III, h. 713
10 Krakal (Jawa) , hukuman terpaksa menjalankan pekerjaan umum, terutama membikin
atau membetulkan jalan umum, hukuman yang ditakuti oleh pegawai karna menurunkan
pretigenya. Sebuah hukuman yang dijatauhkan yang berdasarkan atas lamanya kurang dari tiga
bulan. 11
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta MItra: Jakarta, 1985. Hlm. 50-51.
92
Suara-suara politik yang kemudian di terbitkan dalam Medan Prijaji
tahun ke III 1909 dan di terbitan Soeloeh keadilan Th. III Jilid IV, 1909 hlm .
193-220. Yang membuat R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) terbelit dalam
kasusu Persdelict: Umpatan. Seperti yang diterbitkan dalam Medan Prijaji
tahun ke III 1909 halaman. 223-235. Berawal dari laporan Mas
Tjokrosentono, Wedono Cengkarep, Purworejo yang sudah lama menjadi
langganan Medan Prijaji memboikot dan menghentikan langganannya atas
Medan Prijaji yang kemudian disusul dengan pengaduan dari seorang warga
desa benama Soerodimedjo yang tinggal di Bapangan, distrik Cengkarp. Ia
datang untuk mengadukan halnya sudah dipilih menjadi lurah di desa tersebut
dengan tidak sebagaimana mestinya.
Dalam pemilihan kepala desa tersebut sebenarnya ada dua calon. Calon
nomor satu yang diusung oleh warga desa Bapangan dan calon kedua yang
diusung oleh seorang Eropa. Singkatnya kedatangang Soerjodimedjo dalah
untuk melaporkan ktidak adilan atau telah terjadinya kecurangan dalam
pemilihan desa Bapangan. Adanya penyalahgunaan wewenang oleh Aspiran
Controlir bernama A. Simon sehingga terpilihnya calon no. 2 sebagai kepala
desa.
Terbakar dengan penyalahgunaan wewenang oleh Aspiran Controlir
tersebut kemudian kepala redaktur Medan Prijaji menyerukan suara-suara
politiknya dalam terbitan Medan Prijaji. seperti dalam penggalan
karangannya yang termaktub di terbitan Medan Prijaji:
93
”…maka kwadjiban kita sekarang membicaraken seperlunja ini hal
dalam organ Radja-Radja, Bangsawan Oeseoel, Prijaji dll.(maksudnya
Medan Prijaji)ini, jang memadjukan tanah rakjat, itu sebabnja
perboeatan sperti jang soedah dilakoekn oleh Mas Tjocro dan Aspiran
Controleur dalam perkara Soerjodimedjo tiu tidak boleh
disembuntjiken, karna perpuatan begitoe tida layak bagi pegawai jang
diberikan kekeuasaan memerintah dan dipercaya menjadga keselamatan
anak negri jang bodoh itu. Perboeatan demikien mentjataken Tjokro dan
Asp. Controleur, doea-doeanja mebikin kesoesahan atau kekoesoetan
alias abtenaar broddelar12
atau abtenaar stumperaar.”13
Dengan bahasa yang tendensius dan sinis menunjukan Tirto ingin
menunjukan betapa kaum pribumi sudah geram dan marah atas pemerintahan
yang selalu menyalahgunakan kekuasaannya dan memimpin dengan jalan
yang tidak benar. Adanya Medan Prijaji menjadi angin segar bagi rakyat
kecil yang hendak menyalurkan pengaduannya, menjadi sarana advokasi
politik bagi kaum pribumi yang tertindas. Dengan semangat yang tinggi
dalam memajukan bangsa pribumi dalam berbagai bidang, suara-sura politik
ini telah mampu membuat para pemimpin pemerintahan Hindia Belanda yang
sewenang-wenang menjadi takut.
Suara-suara politik Medan Prijaji juga dapat kita temukan dalam
terbitannya yang lain, misalnya: dalam terbitan yang berjudul “Satoe Politiek
di Bnjumas14
” yang berangkat dari banyaknya pengaduan dari rakyat kecil
atas penghisapan oleh pemerintah, rakyat kecil dipimpin dengan paksaan dan
tanpa pri kemanusiaan, dengan adanya system pajak yang tidak sesuai dengan
system ekonomi yang ada pada masyarkat. Menyebabkan kemelaratan dan
kelaparan yang diterima oleh rakyat pribumi pada masa itu. Dari laporan dan
12
Broddelaar, Bahasa Belanda yang artinya penceroboh. 13
Stumperaar, maksudnya :stumperd (Belanda), orang yang patut dikasihani 14
Tulisan ini diumumkan dalam Medan Prijaji no.., Th. III, 1909,hlm. 463-465.
94
pengaduan tersebut Medan Prijaji kemudian menyerukan suara-suara
politiknya dalam mengritik sistem pemerintahan yang menindas rakyat
bumiputra.
Suara-suara yang termuat dalam terbitan Medan Prijaji memang tidak
bisa dipisahkan dari tajamnya pena pemimpin redaksinya yaitu R.M Tirto
Adhisoerjo, sikapnya yang berani dan tegas dalam menyarakan keadilan
menjadi pembeda bagi Medan Prijaji dengan terbitan surat kabar yang lain
pada permulaan abad ke-20. Sebelum R.M Tirto Adisoeryo (1880-1918)
mendirikan Medan Prijaji Ia juga pernah membongkar skandal politik yang
dilakukan oleh Residen Madiun J.J. Donner yang telah membuat
persekongkolan dengan patih dan jaksa kepala madiun, Mangoenatmodjo dan
Adipoetro dalam usahanya menurunkan bupati Madiun, Brotodiningrat.15
Skandal politik J.J. Donner yang berhasil di bongkar oleh Tirto
Adhisoerjo ini pernah di muat dalam Surat Kabar Pemberita Betawi.
Pembongkran skandal politik ini yang kemudian menyebabkan hukuman
pembuangan pertama bagi Tirto Adhisoerjo (1880-1918) ke pulau Bacan.
Sekembalinya beliau dari Pulau Bacan ia langsung mendirikan Medan Prijaji
pada tahun 1907 sebagai pers milik pribumi yang dipergunakan untuk
melanjutkan suara-suara politiknya terhadap pemerintahan.
15
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra: Jakarta, 1985. Hal. 28-29.
95
Dalam Medan Prijaji sekandal politik J.J. Donner kembali dimuat
dalam hariannya di tahun 1909, yang berjudul “Dreyfusiana di Madiun”16
,
suatu ketegasan dimana keadilan harus ditegakan. Dalam kutipan tulisan ini:
”…Biar dia mendapatken peladjaran betapa kongsi Resident-Patih-
Jaksa-Kepala soedah bikin Willekeur dan favorisme, ya ni dengan
menggoenakan kekuasaan yang diberikan kepadanja untuk merampas
sesoeka hatinja, kemerdekaan oerang (Personlijke Vrijheid) dan
menghilangken rechtszekerheid (ketentuan hoekeoem anak negri. Biar
doenia mendapatken peladjaran betapa satoe kongsi Residen-Patih-
Djaksa,Kepala soedah membinasaken Djasa dan kesetiakawanan
beberapa pegawai bangsa Eropa karena mereka tida mau menjadi
pembohoeng, penipoe, pendeknja tida maoe jadi anggoeta kaumja”
Dalam Dreyfusiana di Madiun ini Medan Prijaji secara tegas
menyuarakan perlawanannya terhadap penyalahgunaan kkuasaan yang
dilakukan oleh J.J. Donner yang telah besekongkol dengan patih dan Jaksa
kepala Madiun dalam menurunkan Bupati Madiun, Brotodiningrat.
Persekongkolan yang memebuat mereka menyalahgunakan wewnang atas
jabatan yang mereka miliki.
Lewat penulisan kembali tulisan ini pada terbitan Medan Prijaji, jelas
ini menunjukan keberanian dan ketegasan pers ini dalam menyuarakan suara-
suara politiknya. Suara-suara politik yang terus di terbitkan melalui pena-
penanya yang tajam akan menyerang siapapun pejabat pemerintah yang
sewenang-wenang dan berlaku tidak semestinya. Suara-suara politik yang
bermaksud untuk para pembaca, tentunya para priyai-priyai dan kaum
pribumi pada umumnya untuk bangkit dari tidurnya. Mentrasformasikan
16
Karangan ini diumumkan kembali dalam Medan Prijaji 1909, tahun III, hlm. 560-563
dangan kesalah tulisan: Dreyfusiana menjadi Drijvusiana, dalam penerbitan ulang ini kesalahan
dibetulkan.
96
kesadaran lewat media tulis, memberikan stimulus bagaimana suatu keadilan
harus ditegakan. Suara-suara politik Medan Prijaji dalam perkembangannya
mmberikan dampak signifikan bagi kaum pribumi yang kemudian sadar atas
ketertindasan yang mereka alami, mulai mengorganisasi diri dan membentuk
kekeuatan untuk meraih kemerdekaannya.
C. Respon Terhadap Suara-suara R.M Tirto Adisoeryo dalam Pers Medan
Prijaji
Disamping sebagai kritikan terhadap Pemerintahan, Medan Prijaji pun
kerap tampil sebagai pers dengan semangat jurnalisme advokatif dengan
melakukan fungsi advokasi atas permasalahan yang dihadapi rakyat pribumi.
Berbagai upaya dilakukan sebagai aksi pendampingan pada warga yang
terjerat masalah, utamanya dalam perkara hukum. Ini dilakukan Tirto
dengan begitu lihai sebab memang ia memiliki pemahaman yang lumayan
baik seputar hukum. Melalui pengetahuannya itulah ia melakukan
pembelaan atas bangsanya, bangsa yang “terprentah”.
Sikap Medan Prijaji ini tergambar pada delapan azas yang dijadikan
garis pijakan bagi misinya; 1.Memberi informasi, 2.Menjadi penyuluh
keadilan, Memberikan bantuan hukum, 4.Tempat orang tersia-sia
mengadukan halnya, 5. Mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan
pekerjaan di Betawi, 6.Menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau
mengorganisasi diri, 7.Membangunkan dan memajukan bangsanya, 8.
Memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.17
17
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.46
97
Keberhasialan R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) dalam keberaniannya
menyuarakan suara rakyat adalah karena kedekatannya dengan Gubernur
Jenderal van Heutsz yang memberikan perlindungan dari gangguan birokrasi
dan kehormatan diantara anak bangsanya yang terdidik. Berbeda halnya
ketika masa sebelum dan sesudahnya G.G van Heutsz, surat kabar tidak bisa
mencela pemerintahana yang dijalanakan dengan sepertinya oleh pegawai
pemerintahan. Pada masanya celaan terhadap birokrasi, asal tidak menyerang
kehormatan(eer) dan harga kesopanan (zedeliike waarde) orangnya, pegawai
yang dicela, meski dengan perkataan tajam dan pedas pun diluputkan dari
hukuman. Hal ini yang memberikan kelonggaran yang cukup untuk ikhtiar
pers dalam tidak membenarkan kelakuan orang-orang berpengaruh yang
berjalan semena-mena.18
Semakin pers berani menyatakan pikirannya,
semakin ia dimudahkan oleh pemerintah. Perindahan bagi pers adalah ikhtiar
G.G van Heutsz. Ia suka sekali menunjang pers dengan memperkenanannya
para jurnalis atau anggotaa pers untuk hadir dalam pesta-pesta resmi dan di
tempat-tempat yang ditutup oleh polisi, dan adanya pengurangan biaya kereta
api kompeni sebesar 25% untuk anggota pers.
Akan tetapi pada tahun 1909, setelah van Heutsz meninggalkan
jabatannya dan Gubernur Jenderal yang baru A.W.F. Idenburg tiba di tanah
Hindia, hal ini menjadikan R,M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) Tirto
kehilangan pelindungnya yang paling kuat. Dan benar saja beberapa bulan
keudian Tirto pun dibuang selama dua bulan karena tuntutann Persdelict. Hal
18
Takhasi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Grafiti:
Jakarta, 1997) cet. I, h. 45.
98
ini jelas memperlihatkan bahwa Gubernur yang baru tidak berkenan
melindungi R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) seperti halnya van Heutsz.19
Setelah pembuangannya itu, Tirto berhasil bersuara dengan“oleh-oleh
dari tempat pemboeangan”20
, terbitan yang dibuahkan dari pengalaman R.M.
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) selama pengembaraannya dalam pembuangan
di Teluk Betung. Pengalaman perjalanan yang ditangkap dan dicatat oleh
R.M Tirto inilah kemudian di terbitan dalam harian Medan Prijaji. dalam
kutupannya:
”…oerang oerang jang memegang pemerintahan sering berpikir,
oentoek mendjalankan pemerintahan dengan sempoerna mesti
dilakoeken paksaan dan kekerasan, djadi boekan diberi toeladan jang
baik sehingga oerang melakoeken kewadjibanja dengan cinta dan setia.
Tida demikian halnja lakoe paksaan dan kekerasan, karna maski baik
djalannja pemerintahan, tetapi tida dilakoekan oleh bangsa jang
terperentah. Karna kesetiawanan dan kecintaan hanja dilakoeken karna
takoet, dan batinja tda tida terlepas dari pri kbentjian. Tanah Hindia di
masa ini adalah negri jang belum teratoer sebage negri jang soedah
beres, jang memberi kemerdekaan dan ketentoean hoekoem
sebagemana didjandjikan dalam fatsal 108 dalem Regeering
Reglerment boeat tanah Olanda, dimana didjadiken perlindoengan atas
harta benda dan badan pada segala pendoedoek di Hindia Olanda.
Dame lah rasa hati ini djika membatja djandji terseboet, dan
sesoenggoehnya dapet dirasaken kebenaranja oleh kita orang penduduk
di Hindia Olanda ini. Djika djandji dalam fatsal itu tida terboekti itu
disebabken kealpaan oerang oerang jang melakoeken titah nagri.
Berboeat sesoeka sndiri dan pilih kasih adalah penjakit kebnjakan
oerang jang berkuasa di Hindia ini. Setiap hari terdengar hal hal jang
19
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.235 20
Kecuali kata pengantar tulisan ini diumumkan dalam harian perniagaan dan kemudian
diterbitkan kembali dalam terbitan Medan Prijaji No. 20 tahun 1910. h. 235-239,246-252, 257,
265, 265-273, 291-296. Dalah merupakan sebuah catatan yang dihasilkan dari pengalaman R.
Tirto Adhisoerjo selama pembuangan yang di terimanya di Teluk Betung. Hukuman buangan yang
diterimanya akibat ulahnya dalam membongkar skandal politik seorang aspiran controlir A. Simon
dengan bahasa umpatan yang digunakannya yang kemudian membuatnya terjerat dalam
Persdelict. Pada 19 Mei 1910 Tito Adhisoerjo kembali ke tanah Jawa untuk kembali menuliskan
hasil pengalamannya itu dalam terbitan berkala Medan Prijaji.
99
menjataken bagemana oerang ta mempenjai kemerdekaan dan dan
ketentoean hoekoem.”21
Suara-suara Tirto dalam Medan Prijaji dalam memberikan gambaran
tentang kondisi sosial politik yang dihadapi pribumi berhasil memberikan
pengaruh yang positif bagi masyarakat. Dengan adanya informasi-informasi
yang disuguhkan Medan Prijaji, bangsa pribumi mampu membentuk
pandangan umum mengenai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para
penguasa yang bukan berasal dari bangsa pribumi sendiri, melainkan oleh
bangsa yang memerintah. Kekuasaan yang dijalankan atas dasar paksaan dan
kekerasaan atas bangsa bumiputra (pribumi) hanya melahirkan kebencian.
Kemerdekaan bangsa pribumi yang sangat jauh dari haknya membuat bangsa
pribumi pada masa ini jauh dari kesejahteraan.
Dengan bahasanya yang berani dan tajam, R.M Tirto Adhisoerjo (1880-
1918) mampu menggambarkan bagaimana kondisi sosial politik yang sedang
terjadi, memberikan gagasan yang mampu mengawal kesadaran kaum
pribumi atas posisinya sebagai anak bangsa. Medan Prijaji mampu
menerangkan kenyataan objektif yang terjadi pada masa itu, lewat terbitan
inilah kemudian surat kabar ini bermetamorfosis sebagai sarana untuk
transformasi politik bagi kaum pribumi yang harus segera sadar dan bangkit
atas tetertindasanya.
Pembahasan yang cukup panjang dalam oleh-oleh dari tempat
pembuangan telah menggambarkan pengalaman dari tempat pembuangan
21
Tirto Adhisoerjo, Medan Prijaji, Oleh oleh dari tempat pemboengan, tahun ke IV 1910,
hal. 235-239.
100
betapa menyedihkannya kondisi sosial rakyat Hindia Belanda khususnya
bangsa pribumi, tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum
sebagaimana mestinya, pemungutan pajak yang dipaksakan dan tidak
sebagaimana mestinya dan bagaimana tumpulnya hukum bagi kaum pribumi
menujukan adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Disisi lain, dalam terbitan tersebut digambarkan bagaimana sistem
pemerintahan yang diajalankan oleh para penguasa, terjadi begitu banyak
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para penguasa, pemungutan
pajak yang berlebihan, tidak menegakan hukum sebagaimana mestinya, dan
tidak adanya usaha-usaha yang diberikan guna mensejahterakan bangsa
pribumi. dengan bahasanya yang tegas dan berani Medan Prijaji menunjukan
batas yang jelas antara bangsa pribumi yang terperentah dan bangsa sopan
(Eropa) yang memerentah. Dengan gambaran kondisi objektif yang
dituangkan dalam terbitan-terbitannya, pers ini mampu mengawal asusmsi
publik dan membentuk pikiran umum.
Tidak jarang akibat suara- suara atas pembelaan rakyat pribumi R.M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) harus berhadapan dengan aksi kekerasan
berupa pencambukan, pemukulan, atau jerat hukum kolonial. Berbagai
tuduhan kerap diarahkan padanya. Persdelict, adalah satu dari sekian batu
sandungan yang kerap menghalang-halangi jejak langkahnya. Buah
akibat aksi kritisnya terhadap pejabat Belanda bernama A. Simon ini
tergambar dalam karyanya “Persdelict: Umpatan” yang dikutip Pramoedya
101
dari Medan Prijaji.22
Contoh lain adalah penggerebegan kantor Medan Prijaji
oleh sekelompok orang di bawah pimpinan seorang jurnalis muda yang kelak
mendirikan kantor berita Aneta, Dominique Willem Beretty perihal kasus
skandal Van Hulten yang diungkap Medan Prijaji.23
Di lain pihak, ia pun kerap kali harus berhadapan dengan aksi intrik
busuk beberapa orang licik yang bermaksud membunuh karakternya. Semua
“karma” itu tentu buah akibat dari tajamnya anak panah surat kabar yang
berawal sebagai mingguan berukuran 12,5 x 19,5 cm pada 1907 ini.
Pada tahun 10 Desember 1908, tahun ke dua terbit, secara sah
berdasarkan akta notaris, berdiri sebuah perusahaan yang menaungi
penerbitannya, NV Javasche Boekhandel en Drukerij Schrijfbehoften
Medan Prijaji.24
Pada tahun ke tiga, 1909, Medan Prijaji telah memberi
pertolongan pada sedikitnya 225 orang. Mulai dari tukang ikan di pasar
hingga sultan di luar pulau Jawa ditolongnya.25
Panah yang mengarah pada
laku semena penguasa kulit putih maupun kulit berwarna itu mengubah diri
pada 1910 menjadi harian ditambah terbitan ekstra pada hari Minggu dengan
oplah mencapai dua ribu eksemplar.
Melalui media perslah mula-mula embrio perjuangan dan pergerakan di
mulai. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suara-suara politik pers Medan
Prijaji yang tegas dalam memihak bangsa pribumi yang terjajah. Kehadiran
pers ini mampu memberikan goncangan bagi pemerintah yang kesewenang-
wenangan. Pemerintah yang memerintah tidak sebagaimana mestinya merasa
22
Perdelict. Oepatan dan Penistaan. Aspirant Controleur A. Simon Contra R.M. Tirto
Adhi Soerjo Hoofd Redacteur Medan Prijaji, dalam Medan Prijaji Th.III/1909, h. 224.
Bandingkan, Pramoedya Ananta Toer, “Persdelict: Umpatan, A. Simon Kontra R.M. Tirto
Adhi Soerjo. dalam Sang Pemula ,h. 208. Artikel lain berjudul Persdelict dalam Medan Prijaji
tahun III, h.669 juga memuat hal serupa. 23
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.63-64 24
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.49 25
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.64
102
ketakutan dan mulai menyadari betapa pribumi sudah menemukan wadah
perjuangan melalui pers ini. Oleh karena itu, para pemerintah yang menjadi
sasaran politiknya, mulai merasakan bahayanya suara-suara politik dari pers
ini. Ha ini yang kemudian memicu perlawanan balik atas pers Medan Prijaji.
Seiring dengan tajamnya suara-suara politik yang disuarakan oleh
Medan Prijaji, terbitan ini dianggap berbahaya oleh pemerintahan Hindia
Belanda. Hal ini dapat diketahui dengan adanya surat-surat rahasia dari Dr.
D.A Rinkes kepada Gubernur Jendral tertanggal 19 Februari 1912. Bahwa ia
menulis tentang Medan Prijaji dan Tirto saja telah menjadi adanya perhatian
pemerintah. Sedang surat tersebut, yang resminya nasihat kepada pemerintah
pusat, hakikatnya adalah agar pemerintah memperhatikan, dan mengambil
tindakan bila perlu:
“Watak politik tidak dimiliki oleh berkala-berkala berumur pendek
itu, mereka terutama menyerang perorangan, yang cara dan
sepakterjangnya untuk sebagian berasal dari membaca Medan Prijaji,
yang di lingkungan setengah plajar cukup terpandang, dan selebihnya
harus di pandang sebagai cara yang modern untuk menyatakan keluh
kesah. Dulu dan juga sampai sekarang keluh kesah demikian lebih
banyak dilakukan oleh ki dalang dalam pertunjukan wayang dengan
selingan lelucon, dan seorang pembesar dikritik dengan cara demikian
sudah dapat mengendurkan prasaan tidak senang, untuk kemudian
menggunkan perasaan tidak senang baru.”26
Satu-satunya terbitan yang mendominasi semua terbitan tersebut,
kecuali Darmokondo, adalah Medan Prijaji, yang selain tidak keluar dari
watak umum tersebut juga banyak lebih energik, penuh bakat, tapi sementara
26
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.66
103
itu lebih tidak terbuka dan lebih berbisa sepakterjangnya, dan menyatakan
seluruh Jawa sebagai medan geraknya.”27
Dari surat-surat rahasia tersebut Nampak bahwa ada tenaga Rinkes
yang ingin melaporkan Medan Prijaji yang berbahaya terhadap pemerintahan.
Hal ini menjadi wajar karena memang suara-suara politik Medan Prijaji telah
menggangu jalannya pemerintahan kolonial pada masa itu. Keberhasilan
terbitan berkala ini selama lima tahun telah membuat kemajuan yang
signifikan bagi tumbuhnya kesadaran politik bagi kaum pribumi, lewat
bahasanya yang berani dan tajam terbitan berkala ini mampu memberikan
transformasi kesadaran bagi kaum pribumi untuk segera bangkit dan
memajukan diri.
Dengan semakin beraninya Medan Prijaji menyerukan suara-suara
politiknya muncul perlawanan balik dari pihak pemerintah yang pernah di
kritik dalam menjalankan pemerintahan. Usaha Dr. D.A Rinkes yang terus
menyudutkan Medan Prijaji berhasil melaporkan sepak terjang terbitan ini
kepada Gubernur General melalui Direktur Justisi untuk segera mengambil
tindakan atas terbitan berkala tersebut.
Dengan rencana terselubung Dr. D.A Rinkes, akhirnya R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) sebagai pemimpinan redaktur Medan Prijaji
berhasil disudutkan dengan pengumpulan kasus delik dan perdata. R.M Tirto
Adhisoerjo (1880-1918) dijatuhi hukuman buang selama 6 bulan ke Ambon,
pembuangan ini yang kemudian membuat keberlangsungan terbitan harian
27
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula. h. 66-68.
104
Medan Prijaji terancam. Akhirnya pada tanggal 22 Agustus 1912 berhenti
terbit.
Sebelum berhenti terbit, dalam terbitan Medan Prijaji 17 Mei 1911,
suara politik harian berkala ini kembali mencuat dengan menuding Bupati
Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat, suami almarhumah R.A Kartini
telah menyalah gunakan kekuasaan, dan sebagian dengan kerjasama Patih
Rembang, Raden Notowidjojo. Dalam Medan Prijaji 28 Mei 1912 dimuat
tulisan yang mengandung penghinaan terhadap dua orang residen, Ravensway
dan Boissevain, bertujuan menghalangi putra Djojodiningrat menggantikan
ayahnya menjadi Bupati. Dalam bulan Mei 1912 itu Bupati Rembang
meninggal karena serangan Jantung.28
Banyak dari terbitan-terbitan Medan Prijaji ditahun-tahun terakhir
menunjukan betapa beraninya terbitan ini dalam mengkritik pedas jalannya
pemerintahan kolonial. Dengan beberapa kajian tulisan R.M Tirto Adhisoerjo
(1880-1918) pada terbitan pers Medan Prijaji tahun 1909-1910, suara politik
pers ini dapat mengguncangkan sistem pemerintahan kolonial dan menjadi
pelopor perjuangan bangsa terpelajar pribumi di Hindia Belanda.
Akhir hayat Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912 bukan disebabkan
oleh rasa takut pada penguasa. Bukan pula oleh sebab kehabisan anak panah
yang terkenal tajam. Melainkan sebaliknya, mereka yang pernah dibuat
“muntah darah” oleh panahan sang Jurnalis semakin banyak. Mulai dari
pejabat kecil hingga sang penguasa. dalam Gubernur Jenderal Idenburg tak
28
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Hasta Mitra, 1985:Jkarta hlm. 65.
105
luput dari pantauannya. Idenburg diserang dengan sebuah artikel yang
menyebutnya sebagai “kyaine” yang menggunakan uang rakyat bukan untuk
semestinya.29
Rupa-rupanya, serangan bertubi-tubi ini membuat para penguasa
geram dan memulai suatu upaya merontokkan Medan Prijaji. Dengan cara
yang serba misterius, Medan Prijaji dinyatakan pailit oleh sebuah operasi
tersembunyi. Ini akibat berita yang keras membuat pelanggan takut pada
penguasa dan menghentikan berlangganan. Sebagian dari mereka tidak
membayar sehingga Medan Prijaji digerogoti hutang. Ini membuat R,M
Tirto Adhisoerjo (1880-1918) disandera dan kemudian sekali lagi, dibuang.
Sedemikian beracun panah Medan Prijaji sehingga para penguasa
menghelat suatu permufakatan jahat untuk menyudahi teriakan protesnya
yang lantang. Betapa bahayanya surat kabar ini tampak dari pengakuan
Rinkes dalam surat rahasianya untuk Idenburg pada 1912 yang menyatakan
bahwa “..Dalam mingguan yang kemudian jadi harian itu, di bawah
pimpinan redaktur-kepala, direktur, R.M Tirto Adhis oerjo (1880-1918)
diserang dengan keras pemerintahan dan para pegawai pemerintah,
peraturan-peraturan pemerintah dihaja”. Ia juga menekankan betapa Medan
Prijaji “meracuni” kaum setengah terpelajar untuk mengupayakan
perbaikan nasib. Dan “semua ditulis dengan berani, dan dengan tegas,
sehingga mengesankan pada pembaca dan membuat mereka pertama-tama
29
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.65
106
menyadari, harian itu sebagai pejuang untuk kepentingan mereka yang orang
harus menunjang dan mengikuti”.30
Berbahayanya pers ini dikukuhkan Rinkes sekali lagi pada 1915
dengan suatu pengakuan tentang pengamatannya mengenai dunia surat kabar
bahwa “pers pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak
menimbulkan alasan serius tertentu untuk mengeluh, (di waktu-waktu semasa
R.M Tirto Adhisoerjo (1880-1918) hal itu lebih gawat).” 31
Kekhawatiran
serupa juga tampak dari suatu dokumen Kementerian Daerah Jajahan
Belanda mengenai tinjauan ulang atas Drukpers-reglement 1856 yang
dilaksanakan pada 1906 dalam Staatsblad no. 770, di mana salah satu
pasalnya menyebutkan bahwa Medan Prijaji termasuk berbahaya
dengan “...bahasa yang menghasut.”32
Sepertinya Medan Prijaji telah
benar-benar membuktikan diri sebagai ruang perlawanan. Mengutip Saleh
Abdullah bahwa perlawanan tidak sebatas ide. Melainkan ia memerlukan
ruang aktualisasi diri untuk menunjukkan bahwa resistensi itu ada.33
Pada abad ke-20 merupakan babak baru bagi sejarah Indonesia yang
ditandai oleh kemajuan pers milik bangsa pribumi. Dalam hal ini, Medan
Prijaji yang dikelola, dimodali, dan dimiliki oleh orang pribumi menjadi
salah satu surat kabar yang gencar menyuarakan suara-suara politik terhadap
pemerintahan kolonial. Melalui kritikan-kritikan tajam dan suara politiknya
30
Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, h.67 31
Beginilah Tirto Adhi Soerjo dalam Majalah Seabad Pers Kebangsaan (Jakarta:
Indexpress, 2007) h. 17 32
Abdurrachman Soerjomihardjo,dkk, Beberapa Segi perkembangan sejarah Pers di
Indonesia, h. 303 33
Saleh Abdullah, Melawan Arus, Menguasai Ruang dalam Jurnal Wacana (Jogjakarta:
Insist Press, 2008) h. 7
107
yang berani, pers ini berhasil membongkar skandal-skandal polotik yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial. Disisi lain, pers ini berperan penting
dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan bagi bangsa pribumi.
Lahirya kesadaran kebangsaan bagi bangsa pribumi merupakan bagian
dari keberhasilan pers dalam memberikan pengaruhnya di abad ke-20. Pers
sebagai pengawal lahirnya kesadaran kebangsaan ini telah memberikan
perubahan yang signifikan bagi dinamika sosio-politik bangsa pribumi. Mula-
mula kesadaran beroganisasi dan mengorganisasi diri ditularkan melalui
media persuratkabaran, lalu diwujudkan dengan mendirikan organisasi-
organisasi seperti Budi Utomo, Idische Partij, SDI (Sarekat Dangang Islam)
dan lainnya. Munculnya organisasi pergerakan dan pers merupakan pertanda
dimulainya sejarah pergerakan bangsa pribumi (Indonesia). Pada abad ini
pers dan organisasi pergerakan menjadi satu kesatuan yang saling menopang
satu sama lain dalam gejolak perjuangan yang menjadi motor kemajuan
bangsa pribumi.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas tadi, penulis simpulkan bahwa ada tiga
alas an kenapa Medan Prijaji tetap bertahan ketika keberadaannya menjadi
ancaman bagi jalannya pemerinthan kolonial Hindia Belanda. Sebagai
berikut:
1. Kehadiran pers Medan Prijaji ditengah kehadirannya dianggap oleh
pemerintah Hindia Belanda sebagai ancaman karena, pada tahun 1907-
1909 R.M. Tirto Adhisoerjo sebagai kepala redaksi Medan Prijaji
mempunyai kesamaan pandangan dengan Gubernur Jendral Van Heutsz
terhadap kemajuan modernitas. Gagasan R.M Tirto Adhisoerjo yang ingin
melakukan perombakan besar dalam sistem pemerintahan, pembukaan
mata pencaharian baru bagi penduduk, meningkatkan pendidikan, dan
memajukan serta mensejahterakan bangsa pribumi. Hal ini sejalan dengan
“regeer program” (program penaklukan) Van Heutsz yang dipahaminya
sebagai gerakan kemajuan untuk membebaskan bangsanya dari kekuasaan
ningrat-priyai yang korup dan serakah. Kedekatan R.M Tirto Adhisoerjo
yang intens dengan van Heutsz membuatnya mendapatkan perlindungan
dan kemudahan birokrasi dalam menjalankan pers Medan Prijaji.
2. Pada tahun 1908 pers Medan Prijaji berubah menjadi perusahan yang
memiliki badan hukum. Dengan perubahan ini Medan Prijaji memiliki
nama: N.V. Javasche Boekhandelnen Drukkerij en Handel in
109
Chrijfbehoeften “Medan Prijaji. Perubahan nama pers Medan Prijaji yang
sudah memiliki badan hukum ini, membuat pers tersebut tidak bisa dengan
mudah dihentikan.
3. pers Medan Priajji telah berhasil menumbuhkan kesadaran nasional di
kalangan masyarakat pribumi. Karena itu pers Medan Prijaji mendapatkan
dukungan penuh dari bangsa pribumi.
Kebijakan pers internasional dan pers Hindia Belanda lebih berpihak
pada kepentingan Negara penjajah melahirkan peraturan pers yang terkesan
menyudutkan pers milik bangsa pribumi. Semua pers di Hindia Belanda harus
patuh pada peraturan pers yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi
di tengah ketatnya peraturan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers,
Medan Prijaji tetap berjalan dan berhasil memberikan pembeda dari pers
sebelumnya. kehadirannya mampu memngakomodir bangsa pribumi menuju
kesadaran kebangsaan dan memicu lahirnya semangat pergerakan nasional
bangsa Indonesia pada abad ke-20 .
Geliat pers pada abad ke-20 berperan sangat penting dalam
memunculkan sejarah pergerakan di Indonesia, pers dan organisasi
pergerakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan
sebagai perwujudan dari perjuangan bangsa pribumi menuju kemerdekaan.
Bahkan, sebelum munculnya organisasi gerakan seperti Budi Utomo, Sarekat
Dagang Islamiyah (SDI), Indische Partij, dan sebagainya. Kesadaran nasional
telah ada pada pemikiran tokoh-tokoh pemuda pribumi yang ditularkan
melalui pers. Pers merupakan media yang sangat penting dalam menuangkan
110
semangat kesadaran nasional, sebagai pers milik pribumi yang dibiayai,
dikelola, dan digerakan oleh bangsa pribumi, Medan Prijaji lahir sebagai
pelopor perjuangan bangsa pribumi lewat media cetak.
Medan Prijaji sebagai pelopor pers nasional berhasil menjadi ancaman
yang nyata bagi sistem kolonialisme Belanda di Indonesia. Kiprahnya yang
gemilang telah mewariskan semangat perjuangan bagi generasi selanjutnya.
Semangat yang ditularkan R.M. Tirto Adhisoerjo dalam pers Medan Prijaji
berhasil mengilhami tokoh-tokoh pergerakan Indonesia dalam menjadikan
pers sebagai media perjuangan yang efektif pada masa sejarah pergerakan
Indonesia. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi pergerakan
yang muncul pada abad ke-20, pers memiliki peranan yang vital dalam
mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
B. Saran
Melalui penelitian ini, penulis berusaha untuk menjadi penggiat
kajian sejarah pers, khususnya Medan Prijaji. Sebelumnya Penulisan sejarah
pers sepi dari perhatian penggiat sejarah, terutama di Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kajian terhadap sejarah pers belum banyak mendapatkan perhatian
dari para mahasiswa sejarah. Pembahasan mengenai sejarah pers memang
mendapatkan porsi yang sedikit dalam historiografi buku sejarah di
Indonesia. Namun, ketika melihat pada ralitas objektif pada arus sejarah abad
ke-20 atau yang lebih popular dengan zaman pergerakan, pers memiliki
111
peranan yang sangat penting dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan orgnisasi pergerakan yang muncul. Karena itu penulis ingin
memberikan beberapa saran bagi peneliti sejarah pers, sebagai berikut:
1. Menjadikan pers sebagai bahan sejarah yang harus dikaji secara
komprehensif. Penulisan sejarah yang didominasi oleh sejarah sosial-
politik, sosial-ekonomi, biografi tokoh dan lainnya, sebaiknya segera
mencermati kajian sejarah yang mengkaji peranan pers. Sehingga
mobilitas sosial yang terjadi dalam kronologi sejarah dapat diketahui
secara lengkap dengan adanya informasi yang dituliskan dalam setiap
terbitan-terbitan pers.
2. Penulis sadar betul bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan, baik pengumpulan sumber Primer maupun Skunder. Hal ini
dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya. Selain itu terbitan Medan
Prijaji yang radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda menyebabkan
peninggalan sumber ini menjadi terbatas. Namun, setidaknya penulisan
skripsi ini dapat menjadi penggugah bagi para penggiat dan peneliti pers
selanjutnya.
112
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Koran, Majalah & Artikel:
A. Kardiat Wiharyatnto, Kebijakan Ekonomi Kolonial Tahun 1830-1901.
Abdurahman Surjomihardjo, 2002, Hilman Adil, A.B. Lapian, dkk, Beberapa Segi
Perkembangan Pers di Indonesia,Jakarta: Kompas.
Ahmad Adam, 2003, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan 1858-1913, Jakarta: Hasta Mitra.
Andi Suwirta, 1999, “Zaman Pergerakan, Pers, dan Nasionalisme di Indonesia”,
Jurnal Mimbar Pendidikan No. 4. Badung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Anonymous, 2007, Seabad Pers Kebangsaan, Jakarta: Indexpress.
Anonymous , 2000, Surat Dari Dua Kota: Revolusi Indonesia Dalam Pandangan
Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan (Yogyakarta) 1945-
1947, Jakarta: Balai Pustaka.
Anonymous, Politik Kolonial Hindia Belanda abad ke-XIX, tahun 1967, koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Diana, 1909. Mendjoendjoeng bangsa, Batavia: NV Medan Prijaji: Batavia
Edwar C. Smith, Pembredelan Pers Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers.
Encyclopaedie Van Nederlandsch oost Indie (ENOI) supplement no. 22 April
1930.
Imas Emalia, 2012, Suara-Suara Pmbaharuan dalam Islam, Kajian atau Pers
Islam di Indonesia masa Hindia Belanda (1900-1930-an), Jakarta:
Puslitbang Lektur dan Khazanan Keagamaan Badan Litbang Diklat
Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kuntowijoyo, 1995, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bnetang
Budaya.
M.C. Ricklefs, 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.
Madan Prijaji, “Soatoe Poelitiek di Bajumas”, no III Th. 1909
Medan Prijaji No. 20-24, Th.IV, 1910.
113
Medan Prijaji No.19 Th. III, 1909
Medan Prijaji, nomor 16, tahun ke IV.
Peter Boomgaard, 2004, Anak Jajahan Belanda Sejarah Sosial dan konomi Jawa
1785-1880, Jakarta: KITLV-Jakarta dan Jembatan.
Poetri Hindia Th. IV No. ½, Januari 1911.
Pramoedya Anata Toer, 1985, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra.
R,M Tirto Adhisoerjo, “Deradjat Boemi Putra” dalam Medan Prijaji terbitan
tahun 1910.
R.M Tirto Adhisoerjo, “Pendahuluan Medan Prijaji tahun 1909”, MP Th. III,
1909,
R.M Tirto Adhisoerjo, “Sajian untuk Gubernur Jenderal baru”, Medan Prijaji, Th.
III ,1909.
Raditya, Iswara, N. Karya-karya Lengkap Tirtoadhisoerjo; Pers Pergerakan
dann Kebangsaan. Jakarta: I:BOEKOE, 2008.
Saleh Abdullah, 2008, Melawan Arus, Menguasai Ruang,Jogjakarta: Insist
Press.
Satrio Arismunandar,"Medan prijaji”, Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan
Negara: Wacana Lintas Kultural" artikel yang tidak diterbitkan.
Soeloeh Keadilan Th. III, jilid IV, 1909.
Takashi Siraishi, 1997, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,
Jakarta: Perpustakaan Utama Garffiti.
Tim Penyusun Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-2012. Jakarta: Biro Akademik
dan Kemahasiswaan UIN. 2012.
Wina Armada, 1993, Menggugat Kebebasan Pers, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
114
Internet:
http://www.gurusejarah.com/2015/02/pengaruh-revolusi-industri-di-
indonesia.html. Diakses pada tanggal 27 Juni 2016.
http://muspen.kominfo.go.id/index.php/berita/343-bapak-pers-nasional-qraden-
mas-djokomono-tirto-adhi-soerjoq diakses 04 Mei 2016. diakes pada tanggal 13
Maret 2016.
http://indoprogress.com/2013/08/imperialisme-sebagai-tahap-monopoli-dari-
kapitalisme/ diakes pada tanggal 13 Maret 2016.
http://www.jabarsatu.com/2016/07/15/gedung-ypk-saksi-sejarah-koran-pribumi-
nasional-pertama/ diakses pada tanggal 23 Juni 20016.
115
Lampiran 1 - Raden Mas Djokomono Tirto Adhisoerjo (1880-1918). Bapak
Pers Nasional pendiri dan radaktur kepala pers Medan Prijaji, Soenda Barita,
Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia.sumber penulis ambil dari:
https://en.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo diakses tanggal 23 Juni 2016.
116
Lampiran 2 - Yohannes Benedictus van Heutsz (1851-1924). Gubernur Jendral
Hindia Belanda (1904-1909) yang memiliki kedekatan dengan R.M. Tirto
Adhisoerjo pendiri pers Medan Prijaji. Gambar diambil dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Yohannes_Benedictus_van_Heutsz diakses tanggal
:23 Juni 2016
117
Lampiran 3 - Gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan) Bandung. Sebelum
menjadi Gedung Pusat Kebudayaan, gedung tersebut merupakan kantor N.V.
Javasche Boekhandelnen Drukkerij en Handel in Chrijfbehoeften “Medan Prijaji.
Sumber diambil dari: http://www.jabarsatu.com/2016/07/15/gedung-ypk-saksi-
sejarah-koran-pribumi-nasional-pertama/ diakses tanggal 23 Juni 2016.
118
Lampiran 4 - Surat kabar Soenda Barita. Didirikan oleh R.M Tirto Adhisoerjo
tahun 1903-1904). Merupakan surat kabar pertama Tirto dalam perjuangan pers.
Sumber penulis ambil dari: http://www.kompasiana.com/etikafitri/time-travel-di-
festival-museum-2013_552e05886ea8347b1f8b459a diakse taanggal 23 Juni
2016.
119
Lampiran 4 - Eduard Douwes Dekker (1820 – 1887). Penulis Belanda yang
terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas
perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.
Tokoh yang banyak menginspirasi R.M Tirto Adhisoerjo. Sumber penulis ambil
dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker diakses tanggal 23
Juni 2016