studi tentang provisional agreement on the land boundary between the republic of indonesia and the...

84
1 STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL. SKRIPSI Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : ANDIKA OKTAMA SANTRIA NIM. 0310103013 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2007

Upload: emafoho

Post on 25-Nov-2015

73 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Studi Tentang Provisional Agreement on the Land Boundary Between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor Leste Ditinjau Dari Perspektif Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum PerjanjiEditRatings: (0)|Views: 1|Likes: 0Published by Dominique SilvaSee More 68BAB VPENUTUPA. KESIMPULANBerdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dari rumusan masalah yangdibahas dapat disimpulkan :1. Bahwa terdapat berbagai persoalan yang dipicu oleh masih banyaknya pengungsi Timor Leste yang bertahan di kamp-kamp pengungsi dan berbagai kasus tindak kekerasan dan gangguan gerakan separatis bersenjata yang terjadi, serta masih banyak pelanggaran terhadapkedaulatan hukum negara RI (penyelundup), perlu diselesaikan secaraarif, adil, dan tranparan. Penegakkan keadilan terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan langkah penting bagi penyelesaian kasus-kasus pasca disintegrasi Timor Leste dandalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat internasionalterhadap penegakkan hukum dan keadilan oleh pemerintah.2. Bahwa dalam Provisional Agreement on the Land Boundary betweenthe Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Lesteini telah memenuhi azas suatu perjanjian internasional didalamkonvensi, yaitu azas itikad baik (good faith) dan azas pacta suntservanda, maka perjanjian ini adalah sah menurut Konvensi Wina1969.3. Bahwa untuk menjaga kawasan perbatasan perlu adanya suatu peranserta bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Kab./Kota)dan masyarakat tidak hanya merupakan kinerja pemerintah daerahProvinsi NTT saja. Perlu adanya pelaksanaan terhadap upaya yang 69 berjangka pendek dan berjangka panjang yang telah dirumuskan demitercapainya stabilitas politik dan keamanan yang aman dan terkendaliutamanya di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste.B. SARANAdapun saran-saran yang dapat diberikan adalah :1. Bahwa masalah penentuan garis batas yang belum rampung harussegera diselesaikan demi menghindari masalah yang mungkin akanterjadi antar kedua Indonesia dan Timor-Leste. Penegasan kembali batas-batas wilayah RI dengan negara Timor Leste merupakan salahsatu kebijakan pemerintah yang penting dalam menata dan menetapkangaris batas dan patok-patok batasnya secara permanen2. Bahwa situasi perpolitikan dan keamanan di kawasan perbatasan RI– Timor Timur yang tergolong labil harus segera ditangani. Hingga saatini masih sering muncul gangguan keamanan. Pergolakan politik dankeamanan di kedua kawasan ini telah cukup lama berlangsung.Lepasnya Timor Timur melalui referendum pada tahun 1999 darikedaulatan NKRI, yang kemudian berubah nama menjadi Negara berdaulat Timor Timur hingga saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan terutama masalah sosial, politik dan keamanan. Berbagaigangguan keamanan dan ketertiban masyarakat silih berganti terjadiyang menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi terpuruk.Jumlah pengungsi meningkat dan terjadi rawan pangan yang parahterutama di desa-desa perbatasan terpencil. Republik Indonesia masihmenyisakan banyak masalah di bidang kawasan penjagaan perbatasan. 70Dari sekian banyak masalah yang muncul haruslah segera dilakukan penanggulangan mengingat kawasan perbatasan, utamanya perbatasanIndonesia-Timor Leste, maka perlu dilakukan upaya-upaya penyelesaiannya, antara lain menegakkan dan menerapkan supremasihukum dengan jujur dan adil, serta meningkatkan mutu profesionalitasaparat pemerintah di perbatasan. 71DAFTAR PUSTAKAA. BukuI Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional , Bagian Pertama,Mandar Maju, Bandung, 2005I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional , Bagian Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2002J.G. Starke, Introduction to International Law , Butterworths, London, 1989J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional , Edisi Kesepuluh, Buku Dua,PT Sinar Grafika, Jakarta, 2004Haryomataram, Kushartoyo, Pengantar Hukum Humaniter , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005Marnixon R.C Wila, Konsepsi Hukum Dalam Peng

TRANSCRIPT

  • 1STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY

    BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC

    REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI

    WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.

    SKRIPSI

    Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat

    Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan

    Dalam Ilmu Hukum

    Oleh :

    ANDIKA OKTAMA SANTRIA

    NIM. 0310103013

    DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    FAKULTAS HUKUM

    MALANG

    2007

  • 2LEMBAR PERSETUJUAN

    STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY

    BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC

    REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI

    WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.

    Oleh :ANDIKA OKTAMA SANTRIA

    NIM. 0310103013

    Disetujui pada tanggal:

    Pembimbing Utama,

    SUCIPTO, SH, MHNIP. 130 890 048

    Pembimbing Pendamping,

    NURDIN, SH, MHNIP. 131 573 926

    Mengetahui

    Ketua Bagian

    Hukum Internasional

    SETYO WIDAGDO, SH, MHNIP. 131 573 949

  • 3LEMBAR PENGESAHAN

    STUDI TENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARY

    BETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATIC

    REPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSI

    WINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL.

    Oleh:ANDIKA OKTAMA SANTRIA

    NIM. 0310103013

    Disetujui pada tanggal:

    Pembimbing Utama,

    SUCIPTO, SH, MHNIP. 130 890 048

    Pembimbing Pendamping,

    NURDIN, SH, MHNIP. 131 573 926

    Ketua Majelis Penguji,

    Dr. Sihabudin, S.H.,M.H.NIP. 131 472 753

    Ketua Bagian Hukum Internasional

    Setyo Widagdo, SH, MHNIP. 131 573 949

    Mengetahui

    Dekan,

    Herman Suryokumoro, SH., MSNIP. 131 472 741

  • 4KATA PENGANTAR

    Puji syukur tiada henti senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

    segala limpahan rahmat dan karunia hingga Peneliti sampai pada tahap ini, khususnya

    dengan selesainya skripsi ini.

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam

    menyelesaikan studi di jenjang S-1 bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

    Brawijaya Malang, yang disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian

    kepustakaan. Peneliti menyadari bahwa kesemuanya ini tidak akan dapat terwujud dan

    terlaksana dengan baik tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu,

    dalam kesemuanya ini Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang

    tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada:

    1. Bapak Herman Suryokumoro, S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum

    Universitas Brawijaya Malang;

    2. Bapak Setyo Widagdo, SH, MH. selaku Ketua Bagian Hukum Internasional;

    3. Bapak Sucipto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Utama atas segala

    petunjuk dan arahan yang telah diberikan kepada penulis;

    4. Bapak Nurdin, S.H.,M.S, selaku Dosen Pembimbing Pendamping, atas segala

    petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan

    baik dan serta waktu yang telah diluangkan kepada penulis demi sempurnanya

    tulisan;

    5. Seluruh Dosen FH-UB atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama ini dan

    juga seluruh staff karyawan FH-UB;

    6. Ibuku tercinta Dra. Andang Widianingsih dan Bapakku Drs. Untung Suropati,

    BcKn, MM, yang selalu memberikan doa, kesabaran, semangat, serta kasih

  • 5sayang tiada henti-hentinya, sehingga peneliti berhasil menyelesaikan skripsi

    ini.

    7. Adikku Ananda Aditya Dwi Novarianto tercinta atas doa dan dukungan yang

    telah diberikan kepada penulis.

    8. Prita Kania Putri yang menemani, memberikan doa, kesabaran, serta

    memberikan pengertian sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini.

    9. Teman suka duka ku Bambang, Alfan, Fadhil, Ardiyan, Febri, Soka, Rendra,

    Edgard, Erick, Aris Aji, Chusnul, Ananda, Monique, Vivi, Jaka, Herodian,

    Indra, sebagai sahabat serta teman-teman fakultas hukum terutama angkatan

    2003 lainnya yang selalu memberi saran, pendapat, dan dukungan dalam

    penyusunan skripsi ini.

    10. Pihak-pihak dari Departemen Luar Negeri yang telah memberikan informasi

    sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

    11. Dan seluruh pihak yang turut membantu selesainya skripsi ini yang tidak dapat

    penulis sebutkan satu persatu.

    Penulis menyadari bahwa dalam penyusun skripsi ini masih banyak

    kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran akan sebisa mungkin diterima sebagai

    masukan positif bagi penulis. Semoga pada akhirnya skripsi ini dapat bermanfaat bagi

    semua pihak yang membutuhkannya. Amin.

    Malang, Januari 2008

    Penulis

  • 6DAFTAR ISI

    Lembar Persetujuan i

    Lembar Pengesahan ii

    Kata Pengantar iii

    Daftar Isi... v

    Daftar Tabel. viii

    Daftar Bagan. ix

    Daftar Lampiran... x

    Abstraksi.. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang 1

    2. Rumusan Masalah.. 10

    3. Tujuan Penelitian.... 10

    4. Manfaat Penelitian.. 11

    5. Sistematika Penulisan.. 12

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    A. Kajian Umum Provisional Agreement on the Land Boundary between

    the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste 14

    1. Latar Belakang Perjanjian... 14

    2. Arti Perjanjian..... 14

    3. Jenis Perjanjian.... 15

    4. Isi Perjanjian 15

    5. Tujuan Perjanjian. 16

    6. Azas Perjanjian 17

    B. Kajian Umum Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969

    (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)................................. 17

    1. Latar Belakang Konvensi Wina 1969.. 17

    2. Isi Konvensi Wna 1969... 17

    3. Konsiderans Konvensi Wina 1969.. 18

    4. Substansi Konvensi Wina 1969 20

    5. Annex dan Deklarasi yang terkait dengan Konvensi Wina 1969 23

    C. Kajian Umum Undang-Undang No. 24 tahun 2000................................. 24

    1. Latar Belakang Undang-Undang. 24

  • 72. Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.. 25

    D. Penegakan Hukum Internasional.. 28

    1. Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaian internasional secara

    damai

    28

    2. Kewajiban negara untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan

    terhadap negara lain..

    29

    3. Kewajiban Negara untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri

    negara lain...

    30

    4. Suksesi Negara 31

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Penelitian 34

    B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum..

    1. Jenis Bahan Hukum.... 34

    2. Teknik Penelusuran Bahan Hukum.. 36

    3. Teknik Analisis Bahan Hukum.... 36

    4. Definisi konseptual.................. 37

    1. Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-

    Leste. 37

    2 Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969

    (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)..................... 37

    3 Undang-Undang No. 24 tahun 2000 38

    4 Penegakan Hukum Internasional.. 39

    BAB IV PEMBAHASAN

    A. Masalah-Masalah Hukum yang Timbul dari Provisional Agreement

    on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the

    Democratic Republic of Timor-Leste. 40

    1. Belum pulihnya pengamanan wilayah perbatasan yang harus

    dilakukan dengan garis batas yang sangat panjang.. 42

    2. Belum pulih sepenuhnya stabilitas politik dan keamanan di

    kawasan perbatasan RI Timor Leste.. 43

    3. Belum ada pengaturan teknis tentang DAS Malibaka sebagai

    DAS lintas batas antarnegara.... 44

  • 84. Sarana CIQS dan prasarana wilayah masih kurang memadai. 45

    5. Aksesibiltas menuju kawasan perbatasan relatif masih kurang

    memadai... 45

    6. Terdapat tanah hak ulayat penduduk Timor Leste di wilayah

    RI, dan sebaliknya 46

    7. Maraknya penyelundupan barang dan orang (pelintas batas

    ilegal) dan pencurian kayu (illegal logging). 46

    8. Belum terbentuknya penataan ruang wilayah (RTRW)

    khususnya perbatasan RI Timor Leste.. 47

    9.Rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) masyarakat

    di perbatasan.

    47

    10. Belum tuntasnya permasalahan penanganan eks pengungsi

    Timor-timur.. 48

    11.Masih lemahnya penegakkan supremasi hukum dan

    profesionalisme aparatur pemerintah di perbatasan. 48

    B. Status Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste

    dikaji dari perspektif Konvensi Wina 1969.. 51

    1. Penggunaan azas good faith dan Azas Pacta Sunt Servanda

    dalam Konvensi Wina 1969 kaitannya dengan Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of

    Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste. 54

    2. Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-

    Leste dilihat dari Undang-undang no. 24 tahun 2000.. 56

    C. Upaya hukum yang dapat ditempuh agar Provisional Agreement on

    the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the

    Democratic Republic of Timor-Leste bisa berjalan sesuai dengan

    tujuan yang ditetapkan. 59

    1. Jangka Pendek

    a. Peningkatan sistem pertahanan, keamanan, dan ketertiban

    wilayah perbatasan dan koordinasi terpadu 59

    b. Pemulihan keamanan dan ketertiban melalui upaya

  • 9penanggulangan gerakan separatis bersenjata 60

    c. Penegasan kembali batas-batas wilayah negara dengan

    Timor Leste yang menyangkut DAS lintas Negara 61

    d. Pemenuhan kebutuhan prasarana CIQS dan infrastruktur

    kebutuhan dasar masyarakat... 62

    e. Peningkatan sarana transportasi dan prasarana wilayah di

    kawasan perbatasan 63

    f. Pengakuan, perlindungan, dan pengaturan hak ulayat/adat

    masyarakat.............................................................................. 64

    g. Peningkatan pengawasan keamanan di perbatasan dan

    penertiban pelaku illegal logging........................................... 65

    h. Penentuan format penyusunan rencana tata ruang wilayah

    perbatasan dengan instansi terkait.......................................... 66

    i. Pengembangan sarana pendidikan dan pelatihan untuk

    masyarakat perbatasan............................................................ 66

    j. Penyelesaian masalah pengungsi yang masih bertahan di

    perbatasan secara tuntas......................................................... 67

    k. Penegakkan supremasi hukum dan peningkatan profesional

    aparatur pemerintah. 68

    2. Jangka Panjang 69

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan 72

    B. Saran.. 73

    DAFTAR PUSTAKA 75

    LAMPIRAN 78

  • 10

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Darat RI Timor Leste di

    Provinsi NTT Tahun 2003................................................................................... 4

    Tabel 2 Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Laut RI Timor Leste di

    Provinsi NTT Tahun 2003................................................................................... 5

    Tabel 3 Peta Wilayah Perbatasan Indonesia Dan Timor-Leste............................. 8

  • 11

    ABSTRAKI. ANDIKA OKTAMA SANTRIA, HUKUM INTERNASIONAL, FAKULTASHUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG, JANUARI 2008, STUDITENTANG PROVISIONAL AGREEMENT ON THE LAND BOUNDARYBETWEEN THE REPUBLIK OF INDONESIA AND THE DEMOCRATICREPUBLIC OF TIMOR-LESTE DITINJAU DARI PERSPEKTIF KONVENSIWINA 1969 TENTANG HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL,SUCIPTO, SH, MH, NURDIN, SH, MH.

    Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic ofIndonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini artinya adalah perjanjiansementara tentang perbatasan darat antara Republik Indonesia dan RepublikDemokratis Timor-Leste tentang perbatasan darat. Perjanjian itu memuat hal-hal yangtelah disepakati dalam perundingan batas darat kedua negara yaitu suatu garis batasyang terdiri atas 907 titik-titik koordinat yang menjadi titik-titik koordinat dari garisbatas darat kedua negara. Sifat sementara atau provisional dari persetujuan sementaradimaksud adalah karena masih banyak hal yang perlu dibenahi lagi dan jugaperjanjian ini bersifat sebagai suatu perjanjian yang bersifat in-guardable, masihbanyak ketidak tetapan dalam perjanjian ini.

    Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian yuridisnormatif untuk mengkaji permasalahan yang ada.

    Dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasionalyang mengantisipasi dari Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkanKonvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna Convention on theLaw of Treaties, 1969), yang mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980, tidakdisebutkan tentang perjanjian internasional yang bersifat sementara. Menurut peneliti,pengakuan akan Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republicof Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini tentulah menjadi satuhal yang harus dibuktikan menurut hukum nasional Indonesia itu sendiri, menurutundang-undang yang berlaku serta menurut hukum internasional yang mengaturmasalah perjanjian yaitu, Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969.

    Banyak sekali permasalahan yang muncul dari Provisional Agreement on theLand Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic Republic ofTimor-Leste yang masih bersifat sementara dan belum sepenuhnya rampung ini.Terutama masalah yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan dengankondisi keamanan dan ketertiban akibat belum pulihnya kondisi keamanan danketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta kualitas peraturan perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak hukum yang masih rendah.

    Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic ofIndonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini adalah suatu perjanjianinternasional yang belum matang namun sah dan memuat unsur-unsur azas perjanjianinternasional yang memang harus disertakan dalam setiap perjanjian internasionalyang akan atau sedang dibuat.

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan

    pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita

    yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari

    persengkataan wilayah oleh Palestina dan Israel yang belum juga menemukan

    titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah

    Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-

    pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan

    dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini.

    Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Maka, tidak

    heran bila kemudian ada istilah jamrud khatulistiwa. Kita selalu bangga

    dengan istilah jamrud khatulistiwa itu. Namun kebanggaan tersebut bisa

    menjadi ironisme yang memperihatinkan ketika satu dua pulau terluar menjadi

    incaran dan dicaplok Negara tetangga. Masih segar dalam ingatan kita, dua

    pulau yaitu pulau Sipadan dan pulau Ligitan- resmi menjadi milik Malaysia

    sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional PBB.

    Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu

    pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan

    Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik

    Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat,

    sabang ke ujung timur, merauke.

  • 2Pembicaraan mengenai Timor-Leste akhir-akhir ini menjadi semakin

    ramai dan mengundang banyak perhatian dunia apalagi setelah Pemerintah

    Indonesia menawarkan usulan untuk melepaskan Timor-Leste dari wilayah RI

    sebagai opsi kedua apabila opsi pertama yaitu memberikan status khusus

    dengan otonomi luas ditolak. Berdasarkan hasil jajak pendapat rakyat Timor

    Timor yang dilakukan 30 Agustus 1999 dan diumumkan 4 September 1999,

    79% (tujuhpuluh sembilan persen) rakyat Timor-Leste memilih opsi kedua

    yaitu menghendaki adanya pemisahan dari Indonesia atau berkeinginan untuk

    merdeka, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa Timor-Leste akan

    terpisah dengan Indonesia dan berdiri sebagai negara baru yang merdeka.

    Kemudian Timor-Leste merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Menurut hukum

    internasional, munculnya negara baru ini akan membawa banyak konsekuensi

    internasional, seperti hutang-hutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan

    keterikatannya pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh negara

    lama. Hal itu tidak terkecuali Timor-Leste yang menjadi negara baru yang

    merdeka terlepas dari Indonesia. Kondisi di atas akan dihadapi baik oleh

    Timor-Leste sendiri sebagai negara yang baru merdeka maupun Indonesia

    yang telah kehilangan kedaulatannya di wilayah Timor-Leste.

    Hal tersebut adalah wajar, karena Timor-Leste sebagai negara baru

    telah memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, berhak menentukan

    kebijakan politik dalam dan luar negerinya. Sehingga berkaitan dengan itu

    pula Timor-Leste berhak menentukan tetap akan terikat atau tidak pada

    perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral yang telah

    dilakukan oleh Indonesia. Bagi Indonesia sendiri merdekanya Timor-Leste

    tersebut berakibat tidak memilikinya kedaulatan atas wilayah tersebut.

  • 3Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa setiap kebijakan internasional yang

    telah dibuat Indonesia yang berkaitan dengan Timor-Leste termasuk

    perjanjian-perjanjian internasional harus ditinjau kembali atau menjadi tidak

    berlaku menurut hukum internasional.

    Ada 3 (tiga) aspek pokok yang mendasari karakteristik kawasan

    perbatasan RI Timor-Leste, yaitu sosial ekonomi, pertahanan keamanan, dan

    politis. Aspek sosial ekonomi ditunjukan oleh karakteristik daerah

    berkembang yang antara lain disebabkan :

    1. Lokasinya terpencil/terisolasi dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga

    tingkat mobilitas dan gerak langkah masyarakatnya pun menjadi rendah,

    terutama antar desa perbatasan dengan pusat kegiatan ekonomi dan

    pemerintahan;

    2. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan akibat keterbatasan fasilitas,

    serta kurang memadainya jumlah tenaga pendidik dan tenaga medis sebagai

    akibat posisi wilayah yang relatif jauh dari pusat-pusat pelayanan pendidikan

    dan kesehatan;

    3. Tingkat kesejahteraan rendah yang ditandai dengan banyaknya jumlah

    penduduk miskin dan desa tertinggal akibat terbatasnya pelayanan dan

    kesempatan kerja sebagai akibat daya saing produksi rendah;

    4. Informasi tentang pemerintah dan pembangunan sangat langka, karena

    keterpencilan lokasi, sehingga sulit dijangkau siaran media informasi nasional,

    sebaliknya malah lebih mudah menjangkau siaran dari negara tetangga;

    Aspek Hankam ditunjukkan oleh karakteristik luas wilayah dan pola sebaran

    penduduk yang tidak merata. Akibatnya, rentang kendali pemerintahan, pembinaan,

    dan pengawasan teritorial sulit dilaksanakan secara mantap dan efisien, sedangkan

  • 4Aspek politis ditunjukkan oleh karakter kehidupan sosial ekonomi yang cenderung

    lebih berorientasi kenegara tetangga. Kondisi ini rawan, sebab pada gilirannya

    orientasi sosial ekonomi itu dapat saja bergeser ke politik.1

    Tabel I

    Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Darat RI Timor Leste di

    Provinsi NTT Tahun 2003 :

    No Kabupaten Ibukota KecamatanJml.

    Keluarga

    1

    2

    3

    Kupang

    TTU

    Belu

    Kupang

    Kefamenanu

    Atambua

    Amfoang Utara

    Miomaffo Barat

    Miomaffo Timur

    Insana

    Malaka Timur

    Tasifeto Barat

    Tasifeto Timur

    Lamaknen

    Kobalima

    1

    14

    2

    2

    3

    2

    10

    9

    4

    Sumber: BPKD Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2003

    Tabel II

    Data Wilayah Kecamatan Perbatasan Laut RI Timor Leste di Provinsi NTT Tahun

    2003 :

    No Kabupaten Ibukota Kecamatan

    1

    2

    Kupang

    TTU

    Kupang

    Kefamenanu

    Amfoang Utara

    Insana Utara

    1 Badan Perencanaan Nasional, 2007 (www.bappenas.go.id) (Diakses pada tanggal 13 agustus 2007)

  • 5No Kabupaten Ibukota Kecamatan

    3

    4

    Belu

    Alor

    Atambua

    Kalabahi

    Tasifeto Barat

    Kobalima

    Alor Barat Daya

    Sumber: BPKD Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2003

    Wilayah perbatasan RI Timor Leste merupakan bagaian integral dari

    wilayah Propinsi NTT yang merupakan kawasan penyangga dengan kemungkinan

    gangguan dan kerjasama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, kawasan

    perbatasan perlu diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak

    sebagaimana daerah-daerah lainnya.

    Sehubungan dengan Timor Barat adalah kawasan yang berbatasan langsung

    dengan suatu negara lain, maka dalam kerangka pembangunan termasuk dalam

    katagori kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga, sehingga

    penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan. Kondisi kawasan perbatasan

    dengan jumlah penduduk dan pengungsi yang terus meningkat, harus diimbangi

    dengan tuntutan kebutuhan dalam berbagai sektor antara lain: terpenuhinya kebutuhan

    dasar masyarakat atau penduduk dan infrastruktur wilayah. Kebutuhan akan kedua

    sektor itu merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi. Kawasan perbatasan

    perlu dipercepat pembangunannya mengingat ; (i) sebagian besar lokasinya masih

    dalam katagori terpencil/terisolir dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga tingkat

    mobilitas kehidupan dan gerak langkah masyarakatnya pun relatif rendah; (ii) tingkat

    kesejahteraan masyarakat perbatasan masih sangat rendah.

    Permasalahan yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan dengan

    kondisi keamanan dan ketertiban adalah karena belum pulihnya kondisi keamanan

    dan ketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta kualitas peraturan

  • 6perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak hukum yang masih rendah.

    Kemudian, karena NKRI adalah suatu Negara kepulauan, maka daerah-daerah

    provinsi, daerah-daerah kabupaten dan kota tidak hanya berada pada suatu pulau

    (daratan) saja melainkan berada pada beberapa pulau(daratan) dan Provinsi Nusa

    Tenggara Timur (NTT) berada di Pulau Timor2.

    Dalam tiga tahun terakhir, kedua Pemerintah telah berunding untuk

    menetapkan perbatasan kedua negara didasarkan atas perjanjian perbatasan yang

    dibuat oleh kekuasaan kolonial Belanda dan Portugis pada tahun 1904. Kemajuan

    besar telah dapat dicapai dimana kedua Pemerintah telah dapat menyetujui 96 % garis

    perbatasan daratnya. Hal tersebut tidak mudah mengingat kenyataan di lapangan tidak

    selalu sama dengan deskripsi yang tercantum dalam perjanjian perbatasan jaman

    kolonial.3

    Pada tanggal 8 April 2005 di Dili, Timor-Leste, Menlu Indonesia dan Timor-

    Leste, atas nama Pemerintah masing-masing, telah menandatangani Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the

    Democratic Republic of Timor-Leste. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh

    Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang

    melakukan Kunjungan Kenegaraan ke Timor-Leste.

    Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat antara Indonesia dengan

    Timor-Leste disebabkan karena adanya fakta-fakta bahwa (a) masih perlu

    dilakukannya survey, delineasi dan densifikasi titik-titik koordinat perbatasan; (b)

    terdapat tiga segmen, yaitu Dilumil/Memo, Bijael Sunan Oben and Noel Besi/Citrana

    yang masih dalam proses perundingan.

    2 Marnixon R.C willa, Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah PerbatasanAntar Negara, . PT Alumni, bandung, 2006, Hal 23 http://www.kbridili.org/bilateral.htm (22 agustus 2007)

  • 7Walaupun demikian, perjanjian tersebut bersifat final dalam hal tidak akan ada

    lagi modifikasi terhadap 907 koordinat perbatasan yang telah disetujui. Setelah

    perbatasan darat disepakati seluruhnya, Indonesia dan Timor-Leste akan segera

    memulai perundingan mengenai batas maritim

    Provinsi Timtim berada di pulau Timor sebelah timur sedang disebelah

    Baratnya adalah provinsi NTT. Ketika Povinsi Timtim sebelumnya disebut Timor

    Portugis- yang berintegrasi ke dalam wilayah NKRI pada tahun 1976 yang

    dikukuhkan melalui Undang-undang No.7 Tahun 1976 dan Ketetapan MPR No.

    IV/MPR/1978 lepas (pisah) dari ikatan NKRI menjadi satu Negara merdeka lewat

    jajak pendapat rakyat Timtim tahun 1999 dan merdeka pada tanggal 20 mei 2002,

    ketika itu pula timbul berbagai persoalan berkenaan dengan adanya wilayah

    Kabupaten Ambeno ( sekarang Distrik Oekusi ) sebagai wilayah enclave ( daerah

    kantong )4 Negara Timor Leste Yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara

    Timur.5

    Jika melihat keadaan yang sekarang, banyak sekali masalah yang timbul

    dikarenakan belum jelasnya batas wilayah antara Negara Timor Leste dengan

    perbatasan Indonesia. Sehingga sering timbul kerancuan antar pasukan pengawal

    perbatasan wilayah kedua Negara. Apalagi tidak terjaminnya kondisi keamanan di

    perbatasan kedua Negara. Indikasinya, terjadi kasus penembakan seorang anggota

    TNI tidak berpakaian dinas dan memanggul senjata laras panjang- oleh pasukan

    Penjaga Perdamaian PBB (UN-PKF) di tapal batas, dimana pemerintah Indonesia

    mengklaim bahwa ketika penembakan terjadi, korban berada dalam wilayah NKRI.

    Sementara pasukan perdamain PBB mengklaim bahwa korban telah berada dalam

    4 Enklave adalah Negara atau bagian Negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu Negara lain.5 Ibid, hal 3.

  • 8wilayah Negara Timor Lorosae. Peristiwa ini terjadi karena batas wilayah antara

    kedua Negara belum jelas.6

    Tabel III

    Peta Wilayah Perbatasan Indonesia Dan Timor-Leste

    sumber: http://www.bakosurtanal.go.id (20september2007)

    Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menurut lembaran Negara RI tahun 1959 no.

    75 tanggal 5 juli 1959 menjelaskan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu

    suatu eenheidsstaat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam

    lingkungannya yang bersifat staat juga. Bila bunyi Penjelasan Pasal 18

    UUD 1945 ini disandingkan dengan kenyataan bahwa dalam wilayah NKRI

    terdapat bagian wilayah Negara Timor Leste (Distrik Oekusi sebagai wilayah

    enclave), maka disini timbul masalah mendasar bagaimana Pemerintah

    Indonesia menyikapi kenyataan ini.7

    6 Ibid, hal 47 ibid, hal 5

  • 9Dengan keadaan agreement (perjanjian) tersebut yang bersifat

    provisional (sementara) timbul asumsi bahwa perjanjian atau agreement

    tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka perlulah untuk

    merujuk pada konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional.

    Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, maka penulis menganggap

    perlu mengangkat masalah ini untuk diteliti lebih lanjut. Oleh karena itu

    diperlukan adanya kajian terhadap permasalahan mengenai Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the

    Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari perspektif Konvensi Wina

    1969.

    B. RUMUSAN MASALAH

    Permasalahan yang timbul antara lain :

    1. Apa saja masalah-masalah hukum yang bisa timbul dari Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the

    Democratic Republic of Timor-Leste menurut Konvensi Wina 1969?

    2. Bagaimana status Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari

    perspektif Konvensi Wina 1969?

    3. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh agar Provisional Agreement on the

    Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah:

  • 10

    1. Untuk mengkaji eksistensi Provisional Agreement on the Land

    Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste ini, sehingga banyak sekali pelanggaran yang

    terjadi di daerah perbatasan.

    2. Untuk memaparkan hal apa saja yang menghambat Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia

    and the Democratic Republic of Timor-Leste ini tidak dapat berjalan

    dengan baik.

    3. Untuk merumuskan upaya agar Provisional Agreement on the Land

    Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste ini dapat berjalan sesuai dengan keinginan

    para pihak.

    D. MANFAAT PENELITIAN

    Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain :

    1. Teoritis

    a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

    perkembangan Hukum Perjanjian Internasional.

    b. Bagi Peneliti lainnya, diharapkan agar nantinya hasil dari

    penelitian hukum ini berguna sebagai masukan dan bahan

    untuk melakukan penelitian selanjutnya.

    2. Praktis

    a. Bagi Masyarakat, diharapkan dapat memperoleh wawasan dan

    penjelasan mengenai perbatasan wilayah secara jelas.

  • 11

    b. Bagi Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia diharapkan

    mampu memulihkan stabilitas politik dan keamanan diwilayah

    perbatasan, khususnya di perbatasan RI-Timor Leste.

    c. Sebagai masukkan nantinya bagi Pembuat Undang-Undang

    agar nantinya Rancangan Undang-Undang mengenai

    pengaturan dan pengelolaan wilayah perbatasan antar Negara

    yang akan datang dapat disusun secara efektif.

    E. SISTEMATIKA PENULISAN

    BAB I PENDAHULUAN

    Dalam Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan skripsi,

    perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika

    penulisan.

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    Dalam Bab ini akan diuraikan tentang pustaka yang digunakan oleh

    peneliti, yaitu Kajian Umum Mengenai Hak dan Kewajiban Negara,

    Pengertian Hak dan Kewajiban Negara, Pengertian Negara, Pengertian

    Kedaulatan Negara, Kajian Umum mengenai Provisional Agreement on the

    Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste, Kepatuhan Hukum, Patuh Terhadap Hukum yang

    Berlaku, Tidak Patuh Terhadap Hukum yang Berlaku, Penegakan Hukum dan

    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi, Alternative Upaya Hukum

  • 12

    BAB III METODE PENELITIAN

    Dalam Bab ini berisi tentang metode penelitian, meliputi metode

    pendekatan penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, sumber data, dan

    teknik analisa bahan hukum.

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dalam Bab ini akan menguraikan mengenai perbatasan negara dalam

    pespektif kajian dan analisa mengenai bentuk ancaman atau gangguan yang

    terjadi guna mempertahankan kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia

    di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste.

    BAB V PENUTUP

    Dalam Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil pembahasan

    pada Bab sebelumnya sekaligus saran yang berisi beberapa masukkan yang

    diharapkan menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait, khususnya

    dari pihak pemerintah sebagai perumus kebijakan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Berisi keseluruhan literatur dan referensi serta pengarang yang telah

    dijadikan acuan oleh penulis dalam menulis proposal skripsi.

  • 13

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Kajian Umum Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste

    1. Latar Belakang Perjanjian

    Sebagai Negara yang baru merdeka, perlulah Timor Leste dan

    Indonesia mengadakan perjanjian tentang tapal batas antara kedua

    Negara agar tidak terjadi kesalahpahaman di wilayah perbatasan antara

    kedua pemerinah, seiring banyaknya kasus yang terjadi di wilayah

    perbatasan kedua Negara karena kurang jelasnya batas antara

    Indonesia dan Timor Leste.

    Kedua Pemerintah telah berunding untuk menetapkan

    perbatasan kedua negara didasarkan atas perjanjian perbatasan yang

    dibuat oleh kekuasaan kolonial Belanda dan Portugis pada tahun 1904.

    Kemajuan besar telah dapat dicapai dimana kedua Pemerintah telah

    dapat menyetujui 96 % garis perbatasan daratnya. Hal tersebut tidak

    mudah mengingat kenyataan di lapangan tidak selalu sama dengan

    deskripsi yang tercantum dalam perjanjian perbatasan jaman kolonial.

    2. Arti Perjanjian

    Perjanjian ini adalah perjanjian yang bernama Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia

    and the Democratic Republic of Timor-Leste yang artinya adalah

    perjanjian sementara tentang perbatasan darat antara Republik

    Indonesia dan Republik Demokratis Timor-Leste.

  • 14

    3. Jenis Perjanjian

    Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste ini

    bersifat Provisional atau sementara, maksudnya dalam perjanjian ini,

    pasal 25 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina dengan judul Provisional

    application of a treaty menegaskan8, suatu perjanjian internasional

    (secara keseluruhannya) atau sebagian dari perjanjian itu dapat

    diterapkan sementara waktu, sambil menunggu saat mulai berlakunya.

    Suatu perjanjian dapat diterapkan sementara waktu bila perjanjian itu

    menetapkan demikian, atau negara yang melakukan perundingan (the

    negotiating satates) dengan cara lain menyetujui penerapan sementara

    tersebut.

    4. Isi Perjanjian

    Perjanjian itu memuat hal-hal yang telah disepakati dalam

    perundingan batas darat kedua negara yaitu suatu garis batas yang

    terdiri atas 907 titik-titik koordinat yang menjadi titik-titik koordinat

    dari garis batas darat kedua negara. Sifat sementara atau provisional

    dari persetujuan sementara dimaksud adalah karena (a) masih

    diperlukan perapatan atau densifikasi titik-titik koordinat (b) dan masih

    terdapatnya tiga unresolved segments yaitu Dilumil/Memo, Bijael

    Sunan-Oben dan Noel Besi/Citrana. Namun demikian perjanjian

    tersebut bersifat final, dalam arti bahwa 907 titik-titik koordinat yang

    telah disepakati tidak akan diubah lagi.9

    8 I wayan partiana, Hukum Perjanjian Internasional, bagian 2, CV. Mandar Maju Bandung, 2005, hal.2949 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0504/09/nas12.html , 21 september 2007.

  • 15

    5. Tujuan Perjanjian

    Perjanjian ini bertujuan untuk, mempererat dan

    mengembangkan hubungan bertetangga baik yang memandang kearah

    masa depan dan saling menguntungkan diantara kedua Negara,

    menetapkan perbatasan darat antara republic Indonesia dan Republic

    Demokratik Timor-Leste untuk lebih memperkuat stabilitas dan

    keamanan perbatasan di sepanjang wilayah perbatasan, dan juga kedua

    pemerintah menyadari pentingnya menetapkan secara tepat batas-batas

    darat di Pulau Timor seperti dijelaskan dalam Konvensi Perbatasan

    antara Portugis dan Kerajaan Belanda di Pulau Timor yang

    ditandatangani di Den Haag pada 1 oktober 1904, Arbitral Award

    Rendered in Execution of the Compromis yang ditandatangani di Den

    Haag, 3 april 1913, antara Belanda dan Portugal mengenai masalah

    Perbatasan yang Menjadi Bagian Kepemilikan Kedua Negara terhadap

    Pulau Timor yang ditandatangani di Paris pada 25 juni 1914 dan

    dokumen-dokumen lain yang relevan.

    6. Azas Perjanjian

    Azas hukum yang mendasari perjanjian tersebut adalah Azas

    Itikad Baik (Good Faith) dan Azas Pacta Sunt Servanda (kewajiban

    para pihak untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian).

    Kedua azas ini berkaitan erat, yakni kewajiban para pihak

    untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian (Azas Pacta

    Sunt Servanda) haruslah dijiwai oleh azas itikad baik (good faith).

  • 16

    B. Kajian Umum Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969

    (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)

    1. Latar Belakang Konvensi Wina 1969

    Pada tahun 1968 diadakan konferensi intenasional mengenai

    hukum perjanjian internasional yang diadakan di Vienna. Konferensi

    Vienna tahun 1968 ini menghasilkan Konvensi Vienna mengenai

    hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna Convention on the Law of

    Treaties, 1969), dan mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980.

    2. Isi Konvensi Wna 1969

    Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian yaitu bagian

    ansiderans dan bagian isi. Disamping itu terdapat annex dan dua

    deklarasi yaitu Deklarasi mengenai Larangan Menggunakan Paksaan

    Militer, Politik, Ekonomi, dalam Membuat Suatu perjanjian, dan

    Deklarasi mengenai Partisipasi Universal dalam Konvensi Wina 1969

    tentang Hukum Perjanjian. Preambule dan substansi Konvensi adalah

    merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan yang

    lainnya. Sedangkan annex dan deklarasi masing-masing berdiri sendiri

    dan terlepas dari konvensi, meskipun memang tetap ada hubungannya

    dengan konvensi.10

    3. Konsiderans Konvensi Wina 1969

    Konsiderans ini menggambarkan dasar-dasar pertimbangan dari

    lahirnya konvensi, baik berupa fakta-fakta yang sudah ada dan berlaku

    sebelumnya, maupun azas-azas hukum yang melandasi substansi atau

    pasal-pasal konvensi, serta tujuan yang hendak dicapai oleh Konvensi.

    10 I wayan partiana, op cit, bagian 1, hal. 51

  • 17

    Konsiderans pertama menyatakan, bahwa negara-negara yang

    menjadi peserta atau menjadi pihak dalam konvensi mengakui peranan

    yang sangat fundamental dari perjanjian internasional dalam sejarah

    hubungan internasional (recognizing the fundamental role of treaties in

    the history of internasional relations).

    Konsiderans kedua menggambarkan mengenai fakta peranan

    dan arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem

    sosial budaya, ketatanegaraan, maupun perbedaan-perbedaan lainnya,

    bukanlah faktor penghalang bagi negara-negara untuk mengadakan

    perjanjian-perjanjian internasional.

    Konsiderans ketiga ditegaskan tentang beberapa prinsip hukum

    umum yang melandasi hukum perjanjian internasional sebagaimana

    terdapat dalam konvensi.11

    Konsiderans keempat ini mengandung suatu harapan supaya

    negara-negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul

    dari suatu perjanjian internasional secara damai. Upaya penyelesaian

    sengketa secara damai adalah melalui lembaga peradilan atau lembaga

    penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui

    arbitrase, melalui Mahkamah internasional maupn Mahkamah regional,

    atau melalui lembaga atau organisasi internasional dimana pihak-pihak

    yang bersengketa menjadi anggotanya.12

    Konsiderans kelima ditujukan kepada rakyat dari perserikatan

    bangsa-bangsa, bukan ditujukan kepada negara-negara, untuk

    menciptakan kondisi dimana keadilan dan penghormatan tehadap

    11 ibid12 Ibid , hal 52

  • 18

    kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dapat

    dipelihara. Karena pada akhirnya keadilan, keamanan, ketertiban

    maupun hak-hak dan kewajiban yang timbuldan beasal dari perjanjian

    internasional terpulang kepada rakyat masing-masing negara diseluruh

    dunia.

    Konsiderans keenam menyinggung prinsip-prinsip hukum

    internasional sebagaimana terdapat dalam Piagam PBB, seperti

    kesamaan hak dan hak penentuan nasib sendiri dari rakyat, kesamaan

    kedaulatan dan kemerdekaan dari semua negara .

    Selanjutnya Konsiderans ketujuh menunjukkan suatu keyakinan

    dari negara-negara peseta konvensi, bahwa pengembangan progresif

    dan pengkodifikasian hukum perjanjian internasional sebagaimana

    ditegaskan dalam piagamnya, misalnya pemeliharaan perdamaian dan

    keamanan, pengembangan hubungan bersahabat dan tercapainya

    kerjasama antar bangsa-bangsa, dengan suatu keyakinan, bahwa

    prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional itu

    akan mendorong tercapainya tujuan PBB sebagaimana ditegaskan

    dalam Piagamnya.

    Akhirnya, konsiderans kedelapan yang juga merupakan suatu

    pengakuan, bahwa hukum kebiasaan internasional, khususnya hukum

    perjanjian internasional, khususnya hukum perjanjian internasional

    yang masih berbentuk hukum kebiasaan internasional, yaitu hukum

    kebiasaan internasional yang berada di luar Konvensi, masih tetap

    terus mengatur persoalan yang tidak diatur atau tidak diketemukan

  • 19

    dalam Konvensi. Jadi, kaidah hukum kebiasaan internasional itu

    melengkapi kekosongan hukum dari konvensi ini.

    4. Substansi Konvensi Wina 1969

    Substansi Konvensi Wina 1969 meliputi bagian-bagian (parts)

    dan masing-masing Bagian terdiri dari Pasal-Pasal (Articles) dan tiap

    Pasal dibagi menjadi Ayat-Ayat (Paragraph), tetapi tidak semuanya.

    Dan tiap Ayat (paragraph) dibagi menjadi Sub-Ayat (Sub-Paragraph).

    Tegasnya Konvensi terdiri dari 8 (delapan) Bagian, dan kedelapan

    Bagian itu terdiri dari 85 pasal.

    Bagian pertama (Part I) merupakan bagian pengantar

    (Introduction) terdiri dari lima pasal yaitu pasal 1 (Satu) sampai pasal 5

    (lima). Yaitu tentang kaidah hukum perjanjian internasional yang

    terdapat didalam konvensi ini hanya mencakup perjanjian-perjanjian

    antar negara.

    Bagian kedua (Part II) mengatur tentang pembuatan atau

    perumusan dan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional

    (Conclusion and Entry Force of Treaties) yang terbagi lagi dalam tiga

    seksi (Section) dan semuanya meliputi 19 pasal, dari pasal 9 sampai

    dengan 25.

    Bagian tiga (Part III) berkenaan dengan penghormatan,

    penetapan, dan penafsiran suatu perjanjian internasional (observance,

    application, and interpretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12

    pasal yaitu pasal 26 sampai dengan pasal 38.

    Bagian empat (Part IV) berkenaan dengan amandemen dan

    modifikasi atas suatu perjanjian internasional (Amandement and

  • 20

    Modification of treaties), terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 39, 40, dan

    pasal 41.

    Bagian lima (Part V) mengatur tentang ketidaksahan,

    pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional

    (Invalidity termination, and suspension of the Operation of Treaties)

    terdiri dari lima seksi dan 30 (tiga puluh) Pasal, yaitu dari pasal 42

    sampai dengan pasal 72. Bagian V ini merupakan bagian yang

    terpanjang jika dibandingkan dengan bagian yang lainnya.

    Bagian VI (Part VI) berupa ketentuan-ketentuan lain

    (Miscelleneous provisions), terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 73, 74,

    dan pasal 75. dalam bagian ini diatur tentang hal-hal yang berdasarkan

    sistematikanya tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu bagian

    tersebut di atas dan oleh karena itu dihimpun di dalam bagian VI ini.

    Bagian VII (Part VII) mengatur tentang penyimpanan,

    pemberitahuan, perbaikan, dan pendaftaran suatu perjanjian

    internasional. Bagian tujuh ini terdiri dari 5 (lima) pasal, yaitu pasal

    76, 77, 78, 79, dan pasal 80.

    Bagian delapan (Part VIII) yangmerupakan bagian akhir dari

    konvensi, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan akhir, yaitu berupa

    ketentuan yang dari segi sistematikanya memang layak ditempatkan

    pada bagian paling akhir dari suatu naskah perjanjian atau konvensi.

    Yaitu pasal 81 berupa penandatanganan (signature), pasal 82 tentang

    ratifikasi (ratification), pasal 83 tentang aksesi (accesion), pasal 84

    tentang mulai berlakunya (entry into force), dan pasal 85 tentang

  • 21

    naskah konvensi yang otentik (authentic text) Bagian delapan ini terdiri

    dati 5 pasal seperti telah disebutkan diatas.

    5. Annex dan Deklarasi yang terkait dengan Konvensi Wina 1969

    Diluar dari konvensi ini, terdapat sebuah Annnex atau

    tambahan mengenai pembentukan komisi konsiliasi dalam

    hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi

    sebagaimana diatur dalam pasal 66 konvensi, yaitu penyelesaian

    sengketa antara para pihak melalui konsiliasi.

    Selain daripada Annex, Konvensi Wina 1969 ini disertai pula

    dengan dua buah deklarasi. Berbeda dengan Annex tersebut diatas

    yang tidak ditegaskan status hukumnya dalam hubungannya dengan

    konvensi, kedua deklarasi ini adalah sebagai akte akhir (final act) dari

    konferensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian.

    Kedua deklarasi tersebut adalah :

    1. Declaration of the Prohibition of Military,Political or

    Economic Coercion in the Conclusion of Treaties

    (Deklarasi mengenai Larangan Menggunakan Paksaan

    Militer, Politik, Ekonomi, dalam Membuat Suatu

    perjanjian); dan

    2. Declaration on the Universal Participation in the

    Vienna Convention of the Law of Treaties (Deklarasi

    mengenai Partisipasi Universal dalam Konvensi Wina

    1969 tentang Hukum Perjanjian).

  • 22

    C. Kajian Umum Undang-Undang No. 24 tahun 2000

    1 Latar Belakang Undang-Undang

    Latar belakang UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah untuk

    mengantisipasi Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkan

    Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna

    Convention on the Law of Treaties, 1969), dan mulai berlaku (entry

    into force) 27 januari 1980, maka pemerintah Indonesia telah

    mengundangkan Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

    Internasional 23 oktober 2000.13

    Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di

    Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat Presiden No.

    2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan

    Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses

    pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-

    undang atau keputusan presiden, bergantung kepada materi yang

    diaturnya. Namun demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi

    berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut,

    sehingga perlu diganti dengan Undang-undang tentang Perjanjian

    Internasional.

    Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang

    ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum

    internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi

    internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama

    perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain :

    13 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, buku 1, bagian umum, pautra abardinbandung, hlm 118.

  • 23

    treaty, convention, agreement, memorandum of understanding,

    protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of

    notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus

    vivendi, dan letter of intent.

    2. Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000

    Substansi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 meliputi bagian-

    bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari Pasal-Pasal dan tiap

    Pasal dibagi menjadi Ayat-Ayat. Dan tiap Ayat dibagi menjadi Sub-

    Ayat, tetapi tidak semuanya. Tegasnya Konvensi terdiri dari 8

    (delapan) Bagian, dan kedelapan Bagian itu terdiri dari 22 pasal.

    Bagian pertama yaitu ketentuan umum yang terdiri dari 3 pasal,

    yaitu pasal 1, 2, dan pasal 3. bagian ini berisi tentang tugas dan fungsi

    menteri, yaitu memberikan pendapat dan pertimbangan politis dalam

    membuat dan mengesahkan perjanjian internasional berdasarkan

    kepentingan nasional. Sebagai pelaksana hubungan luar negeri dan

    politik luar negeri, Menteri juga terlibat dalam setiap proses pembuatan

    dan pengesahan perjanjian internasional, khususnya dalam

    mengkoordinasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk

    melaksanakan prosedur pembuatan dan pengesahan perjanjian

    internasional.

    Bagian kedua Undang-Undang terdiri dari 5 pasal yaitu pasal 4

    (empat) sampai dengan pasal 8 (delapan). Bagian ini berisi tentang

    pembuatan perjanjian internasional, subyek hukum internasionalnya,

    dan subyek hukum internasional itu sendiri.

  • 24

    Bagian ketiga berisi tentang pengesahan suatu perjanjian

    internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh

    para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan

    akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan

    sebagaimana diatur dalam undang-undang. Bagian ini terdiri dari 6

    pasal yaitu pasal 9 (sembilan) sampai dengan pasal 14 (empat belas).

    Selanjutnya Bagian keempat, bagian ini menegaskan tentang

    Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan adanya pengesahan

    dalam pemberlakuan perjanjian tersebut dan memuat materi yang

    bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian

    induk, dapat langsung berlaku setelah penandatanganan, pertukaran

    dokumen perjanjian/nota diplomatik atau setelah melalui cara-cara lain

    sebagaimana disepakati para pihak pada perjanjian internasional.

    Perjanjian yang termasuk dalam kategori tersebut di antaranya adalah

    perjanjian yang secara teknis mengatur kerja sama di bidang

    pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan, kesehatan,

    keluarga berencana, pertanian, kehutanan, serta kerja sama

    antarpropinsi dan antarkota. Terdiri dari dua pasal yaitu pasal 15 dan

    16.

    Bagian lima undang-undang ini, yaitu pasal 17, berisi tentang

    penyimpanan naskah otentik dari suatu perjanjian internasional yang

    dilakukan oleh menteri negara yangmenjalankan tugas dan fungsinya.

    Bagian keenam undang-undang ini terdii dari 3 (tiga) pasal

    yaitu pasal 18, 19, dan pasal 20. bagian keenam ini berisi tentang

    pengakhiran perjanjian apabila salah satu butir dalam salah satu pasal

  • 25

    dalam undang-undang ini sudah terjadi. Hak dan kewajiban para pihak

    dalam perjanjian internasional akan berakhir pada saat perjanjian

    internasional tersebut berakhir. "Hilangnya objek perjanjian"

    sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 undang-undang ini dapat terjadi

    apabila objek dari perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi.

    "Kepentingan nasional" sebagaimana dimaksud pada pasal 18 undang-

    undang ini harus diartikan sebagai kepentingan umum (public interest),

    perlindungan subjek hukum Republik Indonesia, dan yurisdiksi

    kedaulatan Republik Indonesia.

    Selanjutnya bagian ketujuh undang-undang yaitu pasal 21,

    berisi tentang pengesahan suatu perjanjian internasional yang masih

    atau akan berlangsung, diselesaikan menuut ketentuan undang-undang

    no.24 tahun 2000 ini.

    Akhirnya bagian kedelapan undang-undang pasal 22 berisi

    tentang mulai berlakunya (entry into force) undang-undang ini sejak

    tanggal diundangkannya.

    D. PENEGAKAN HUKUM INTERNASIONAL.

    A. Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaian internasional

    secara damai:

    Pasal 2 (3) Piagam PBB menyatakan bahwa dalam menghadapi

    pertikaian internasional (pertikaian antar negara), maka negara-negara

    anggota PBB wajib menyelesaikannya dengan cara-cara damai

    sedemikian rupa agar tidak mengancam perdamaian dan keamanan

    internasional serta keadilan. Piagam PBB mengusahakan pemeliharaan

  • 26

    perdamaian dan keamanan internasional melalui penyelesaian damai

    sebagai salah satu tujuan utama PBB, yaitu dengan mengenakan

    "tanggung jawab" kepada anggotanya untuk menyelesaikan pertikaian

    internasional secara damai. Dengan demikian para pihak diminta untuk

    menyelesaikan pertikaian mereka yang diperkirakan dapat mengancam

    perdamaian dan keamanan internasional, dengan utamanya mencari

    penyelesaian dengan cara damai menurut pilihan mereka sendiri.14

    Dalam rangka mencari penyelesaian pertikaian secara damai itu ncgara

    yang terlibat pertikaian itu tidak diperkenankan untuk mengambil

    tindakan-tindakan yang dapat memperkeruh situasi sehingga dapat

    mengancam perdamaian dan keamanan internasional .Sebaliknya

    negara tersebut harus melakukanya sesuai dengan prinsip-prinsip dan

    tujuan PBB.15 Kewajiban negara untuk menyelesaikan pertikaiannya

    secara damai tersebut tidak termasuk kewajiban untuk menyelesaikan

    macam pertikaian tertentu dengan cara-cara tertentu atau untuk

    mengikuti urutan prioritas tertentu apapun dalam memilih cara-cara

    yang dikehendaki. Satu-satunya pengecualian pernyataan yang bersifat

    umum tersebut adalah bahwa menurut Pasal 52 (2) negara anggota

    PBB diminta untuk mengupayakan setiap usaha agar bisa dicapai

    penyelesaian.

    B. Kewajiban negara untuk tidak menggunakan ancaman atau

    kekerasan terhadap negara lain.

    14 Lihat komentar dari pasal 33 Piagam PBB.15 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625(XXV) tanggal 24 Oktober 1970.

  • 27

    PasaI 2 (4) memberikan kewajiban kepada semua negara

    anggota PBB untuk tidak menggunakan baik ancaman maupun

    kekerasan (threats or use of force) di dalam hubungan internasional

    terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan politik dari sesuatu

    negara atau dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan

    PBB. Yang dimaksud dengan "penggunaan kekerasan" (use of force) di

    sini menyangkut kekerasan militer yang dilakukan baik secara

    langsung maupun tidak langsung.16 Kekerasan senjata terhadap sesuatu

    negara hanya dapat dilakukan atas otorisasi Dewan Keamanan PBB

    jika negara itu melakukan tindakan yang dapat mengancam

    perdamaian, melanggar perdamaian dan melakukan tindakan agresi

    terhadap negara lain.17 Di samping itu tindakan kekerasan itu juga

    dapat dilakukan oleh sesuatu negara terhadap negara lainnya dalam

    rangka hak bela diri (the right of self defense).18

    Dalam hal ini Majelis Umum PBB yang mempunyai tanggung

    jawab residual dibidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan

    internasional19 juga dapat memberikan rekomendasi untuk

    menggunakan langkah-langkah militer bahwa negara dalam situasi

    tertentu dapat menggunakan haknya untuk membela diri sesuai dengan

    Pasal 51 Piagam.20 Setiap negara mempunyai kewajiban untuk tidak

    melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap negara lain,

    karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional

    16 Leland M. Goodricg, hal. 50.17 Bab VII Piagarn PBB khususnya Pasal 42.18 Pasal 51 Piagam PBB.19 Lihat Resolusi 377 A (V) mengenai Uniting for Peace Resolution.20 Pernyataan Delegasi Inggris dan Delegasi Colombia di MU-PBB, GAOR/ 5 th Session, 1 stCommittee/300 th Meeting/October 12, 1950/paragaphs 4,71-73.

  • 28

    dan Piagam PBB.21 Pada waktu Indonesia mengirimkan tentaranya ke

    Timor Timur dan sesudah itu mengintegrasinya menjadi provinsinya

    yang ke-27 dalam tahun 197622 telah menimbulkan reaksi keras di

    PBB dan DK-PBB menyatakan "menyesal terhadap Pemerintah

    Indonesia atas intervensi pasukan militernya diwilayah Timor Timur"

    serta "menyerukan agar Pemerintah Indonesia segera menarik

    pasukannya dari wilayah tersebut."23

    C. Kewajiban Negara untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri

    negara lain.

    Pasal 2 (7) Piagam juga memberikan kewajiban kepada anggota

    PBB untuk tidak melakukan campur tangan urusan dalam negeri

    negara lain. Baik negara maupun kelompok negara tidak mempunyai

    hak dengan alasan apapun juga untuk mencampuri urnsan dalam negeri

    negara lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

    itu intervensi senjata dan segala bentuk intervensi lainnya atau

    ancaman yang dilakukan terhadap personalitas negara atau terhadap

    unsur-unsur budaya, ekonomi dan politik adalah pelanggaran terhadap

    hukum internasional.24 Namun demikian tidak mengurangi adanya

    kemungkinan bahwa campur tangan itu dapat dilakukan dalam hal

    penerapan Bab VII Piagam yaitu mengenai pelaksanaan dari langkah-

    Iangkah untuk mengenalkan sanksi. Pemerintah Swedia juga bisa

    21 Declaration of Principles of International Law Concerning Friendly Relations and CooperationAmongStates in Accordance with the Charter of the United Nations, 24 Oktober 1970,22 Lihat UU No.7 Tahun 1976 dan TAP MPR VI/MPR/1978.23 Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB 384 (1975) tanggal 22 Desember 1975.24 Resolusi MU-PPB 2625 (XXV), tanggal 24 Oktober 1970.

  • 29

    dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (masalah

    Aceh) dengan membiarkan warga negaranya (Hassan Tiro)

    mengadakan konspirasi untuk memimpin, membantu dan menghasut

    GAM melakukan perlawanan terhadap Pemerintah yang sah dan

    memisahkan diri dari NKRI.

    D. Suksesi Negara

    Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina 1978 menentukan bahwa

    "succestion of states means the replacement of one state by another in

    the responsibility for the international relations of territory."

    Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan

    Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena

    berbagai sebab, yaitu:

    1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam

    hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara

    tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.

    2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa

    waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang

    tidak bebas yang dalam hubungan internasional di bawah

    tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan.

    3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua

    wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka.

    4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi

    beberapa negara baru.

    Kemudian suksesi menurut Starke adalah:

  • 30

    principally concerned with the transmission of right and

    obligations from state which have altered or lost their identity to other

    states or entities, such alteration or loss identity occurring primarily

    when complete or partial changes of souveregnty take place over

    portions of territory."25

    Pada hakikatnya bahwa di dalam suksesi negara akan terjadi

    persoalan kepindahan hak dan kewajiban dari negara pendahulu

    kepada negara pengganti. Walaupun begitu tidak selamanya perpin-

    dahan hak dan kewajiban dalam negara itu selalu didahului dengan

    adanya suksesi.

    Dapat dikatakan bahwa suksesi ini merupakan masalah hukum

    internasional karena hal ini menyang-kut hak-hak dan kewajiban-

    kewajiban negara sebagai subyek hukum internasional serta

    menyangkut persya-ratan dasar dari suatu negara menurut hukum

    internasional. Implikasi dari suksesi negara yang sering muncul dalam

    masyarakat internasional adalah dalam hal:

    1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti.

    2. Keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional

    maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan

    eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu

    dengan Negara ketiga;

    3. Nasionalitas;

    4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana

    negara dan arsip negara;

    25 STARKE J.G., Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, Hal. 321

  • 31

    5. Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara

    pendahulu.

    Dapat dikatakan bahwa berdirinya Timor Timur sebagai negara

    baru yang merdeka termasuk dalam salah satu bentuk suksesi negara

    menurut hukum inernasional karena memenuhi salah satu cara adanya

    suksesi, yaitu apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang

    dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab Negara

  • 32

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif, untuk

    mengkaji penegakkan supremasi hukum menurut Provisional Agreement on

    the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste.

    Dengan penggunaan metode ini, permasalahan diatas akan dikaji

    melalui sejumlah peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang

    berkaitan dengan permasalahan tersebut.

    B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.

    1. Jenis Bahan Hukum.

    Jenis Bahan Hukum dalam Penelitian ini bertumpu atau terfokus pada

    Bahan Hukum sekunder yang terdiri dari berbagai bahan hukum, antara lain:

    a. Bahan hukum primer, adalah suatu bahan pustaka yang berisikan

    pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru

    tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide)

    yang digunakan untuk mengetahui norma-norma hukum yang ada dan

    berlaku sebagai hukum yang berkaitan dengan masalah perbatasan

    serta stabilitas politik dan keamanan di wilayah perbatasan Indonesia

    Timor Leste, yaitu meliputi:

    1) Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-

    Leste

  • 33

    2) UU 20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara

    3) UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri

    4) UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional.

    5) Vienna Convention of the Law of Treaty 1969

    6). Convention of the Law of the Sea yang diratifikasi dengan UU

    17/1985 tentang Hukum Laut.

    b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan

    informasi menegnai bahan primer. Bahan hukum sekunder yang

    digunakan peneliti didapat dari buku-buku, dokumen, pendapat pakar,

    artikel, jurnal serta Peraturan Perundang-undangan lain yang

    digunakan untuk memperjelas konsep-konsep dan teori hukum yang

    terdapat pada bahan hukum primer secara mendalam mengenai

    Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of

    Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste.

    c. Bahan Hukum Tersier, adalah suatu bahan yang memberikan petunjuk

    terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

    nantinya akan digunakan oleh peneliti , misalnya : kamus,

    ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum dan sejenisnya untuk

    memperjelas bahan hukum sebelumnya.

    2. Teknik Penelusuran Bahan Hukum

    Teknik memperoleh bahan hukum dalam penelitian ini, penulis

    mempergunakan beberapa cara dalam memperoleh bahan hukum.

    Diantaranya adalah dengan melakukan rujukan/penelusuran dokumen

  • 34

    dan penelusuran pustaka dari berbagai sumber, surat kabar, serta

    browsing melalui internet mengenai masalah perbatasan serta

    Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic of

    Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste.

    3. Teknik Analisis Bahan Hukum

    Penelitian ini menggunakan teknik analisis isi, dengan cara

    Deskriptif Kualitatif, yaitu memaparkan dan menganalisis secara

    kualitatif bahan Provisional Agreement on the Land Boundary between

    the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-

    Leste, UU 20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, UU

    37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU 24/2000 tentang

    Perjanjian Internasional, Vienna Convention of the Law of Treaty

    1969, Convention of the Law of the Sea yang diratifikasi dengan UU

    17/1985 tentang Hukum Laut.

    4. Definisi konseptual

    1. Provisional Agreement on the Land Boundary between the

    Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-

    Leste

    Provisional Agreement on the Land Boundary

    between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste adalah perjanjian sementara tentang

    perbatasan darat antara Republik Indonesia dan Republik

    Demokratik Timor-Leste. Perjanjian ini adalah perjanjian

    bilateral yang dilaksanakan oleh dua Negara. Didalam

    perjanjian ini terdapat koordinat- koordinat batas darat antar

  • 35

    kedua Negara. Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat

    antara Indonesia dengan Timor-Leste disebabkan karena

    adanya fakta-fakta bahwa (a) masih perlu dilakukannya survey,

    delineasi dan densifikasi titik-titik koordinat perbatasan; (b)

    terdapat tiga segmen, yaitu Dilumil/Memo, Bijael Sunan Oben

    and Noel Besi/Citrana yang masih dalam proses perundingan

    2 Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian, tahun 1969

    (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969)

    Konvensi adalah suatu perjanjian internasional

    multirateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan

    penting, dalam hal ini tentang hukum perjanjian internasional,

    dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas baik dalam ruang

    lingkup regional maupun umum. Konvensi Wina mengenai

    hukum perjanjian, tahun 1969 (Vienna Convention on the Law

    of Treaties, 1969) sendiri adalah perjanjian internasional yang

    diadakan di Vienna. Konferensi Vienna tahun 1968 ini

    menghasilkan Konvensi Vienna mengenai hukum perjanjian,

    tahun 1969 ( Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969),

    dan mulai berlaku (entry into force) 27 januari 1980.

    3 Undang-Undang No. 24 tahun 2000

    Undang-Undang ini adalah Undang-Undang yang

    mengatur tentang perjanjian internasional antara Republik

    Indonesia dan subjek hukum internasional lain. Maksud dari

    subjek hukum internasional lain dalam undang-undang ini

    adalah suatu entitas hukum yang diakui oleh hukum

  • 36

    internasional dan mempunyai kapasitas membuat perjanjian

    internasional dengan negara lain.

    Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

    Internasional 23 oktober 2000 ini adalah antisipasi dari

    Konferensi Vienna tahun 1968 yang menghasilkan Konvensi

    Vienna mengenai hukum perjanjian, tahun 1969 ( Vienna

    Convention on the Law of Treaties, 1969), yang mulai berlaku

    (entry into force) 27 januari 1980.

    Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian

    internasional di Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat

    Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960,

    kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi

    pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional,

    yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan

    presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Namun

    demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi berbagai

    penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut,

    sehingga perlu diganti dengan Undang-undang tentang

    Perjanjian Internasional.

    4 Penegakan Hukum Internasional

    Menurut Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum

    Internasional FH-UI,26 Hukum internasional tidaklah sama

    dengan hukum nasional. Penegakan hukum internasional sangat

    lemah. Tidak heran bila hukum internasional dianggap sebagai

    26 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/07/opini/1011572.htm, 21 desember 2007

  • 37

    hukum yang primitif. Sama seperti hukum primitif, hukum

    internasional akan sangat bergantung kepada siapa yang akan

    melakukan penegakan. Bila yang melakukan penegakan adalah

    negara adidaya, akan efektif. Namun, bila yang menegakkan

    adalah negara biasa-biasa saja, tidak akan efektif. Meski hukum

    internasional berfungsi, ia hanya berfungsi sebagai pembenar

    (justification).

  • 38

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    A. Masalah-Masalah Hukum yang Timbul dari Provisional Agreement on the

    Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste

    Sifat provisional dari perjanjian perbatasan darat antara Indonesia

    dengan Timor-Leste disebabkan karena adanya fakta-fakta bahwa masih perlu

    dilakukannya survey, delineasi dan densifikasi beberapa titik-titik koordinat

    perbatasan yang masih dalam proses perundingan.27 Sampai dengan Masalah

    perbatasan itu masih tersisa sekitar dua persen menyangkut memasang patok

    disejumlah lokasi. Pemasangan patok yang belum dapat terlaksana itu karena

    masih perlu disosialisasikan terhadap warga masyarakat setempat, baik bagi

    warga negara Indonesia yang tinggal di Nusa Tenggara Timur maupun warga

    Timor Leste. Keberatan warga kedua negara itu cukup beralasan, karena lokasi

    daerah yang tadinya masuk wilayah Indonesia menjadi masuk wilayah Timor

    Leste dan sebaliknya.28

    Daerah perbatasan yang belum disepakati cara penyelesaiannya adalah

    di Manusasi sepanjang tiga kilometer dan Noei Besi sepanjang empat

    kilometer. Selain itu, ada juga daerah yang belum disurvei, yaitu daerah

    Subina sepanjang 20 kilometer. Beberapa waktu lalu terjadi insiden di sisa

    wilayah yang belum terselesaikan ini. Insiden yang terjadi merupakan salah

    27 http://www.kbridili.org/bilateral.htm, 26 oktober 200728 http://www.kapanlagi.com/h/0000136793.html, 1 november 2007

  • 39

    persepsi dari warga yang merasa bingung mengenai batas wilayah Indonesia

    dan Timor Leste darat.29

    Wilayah perbatasan RI Timor Leste merupakan bagaian integral dari

    wilayah Propinsi NTT yang merupakan kawasan penyangga dengan

    kemungkinan gangguan dan kerjasama dengan wilayah negara tetangga.

    Untuk itu, kawasan perbatasan perlu diberikan perhatian yang lebih besar

    untuk dibangun secara layak sebagaimana daerah-daerah lainnya.

    Sehubungan dengan Timor Barat adalah kawasan yang berbatasan

    langsung dengan suatu negara lain, maka dalam kerangka pembangunan

    termasuk dalam katagori kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah

    negara tetangga, dalam hal ini Negara yang berbatasan adalah Negara Timor-

    Leste, sehingga penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan.

    Kondisi kawasan perbatasan dengan jumlah penduduk dan pengungsi yang

    terus meningkat, harus diimbangi dengan tuntutan kebutuhan dalam berbagai

    sektor antara lain: terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat atau penduduk

    dan infrastruktur wilayah. Kebutuhan akan kedua sektor itu merupakan suatu

    kebutuhan yang harus terpenuhi. Kawasan perbatasan perlu dipercepat

    pembangunannya mengingat ; (i) sebagian besar lokasinya masih dalam

    katagori terpencil/terisolir dengan tingkat aksesibilitas rendah, sehingga

    tingkat mobilitas kehidupan dan gerak langkah masyarakatnya pun relatif

    rendah; (ii) tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan masih sangat rendah;

    Permasalahan yang sering timbul di kawasan perbatasan berkaitan

    dengan kondisi keamanan dan ketertiban adalah karena belum pulihnya

    kondisi keamanan dan ketertiban wilayah, lemahnya penegakkan hukum, serta

    29 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/21/brk,20051021-68349,id.html, 22 oktober2007

  • 40

    kualitas peraturan perundang-undangan dan profesionalisme aparat penegak

    hukum yang masih rendah. Masalah yang muncul dari Provisional Agreement

    on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste yang masih bersifat sementara dan belum sepenuhnya

    rampung ini adalah:

    1. Belum pulihnya pengamanan wilayah perbatasan yang harus

    dilakukan dengan garis batas yang sangat panjang.

    Pemulihan keamanan dan ketertiban baik terhadap gangguan

    internal maupun eksternal belum tuntas. Meskipun dalam Provisional

    Agreement on the Land Boundary between the Republic of Indonesia

    and the Democratic Republic of Timor-Leste ini telah diatur tentang

    patok garis batas yang definitive, namun berbeda dengan yang terjadi

    di lapangan, karena perjanjian ini bersifat sementara (provisional)

    maka praktek yang terjadi dilapangan menyampingkan butir-butir yang

    diatur di perjanjian ini. Seperti disebutkan dalam pasal 2

    (dua)perjanjian :

    Para pihak akan menyelesaikan delineasi batas lebih lanjut untuk

    menetapkan garis batas yang definitive dan akan berupaya untuk

    menyelesaikan segmen-segmen yang belum terselesaikan seperti

    disebutkan dalam Lampiran C.

    Hal ini dapat dilihat dari masih seringnya terjadi gangguan

    kamtib, akibat dari minimnya kontrol aparat keamanan POLRI dan

    TNI di sepanjang perbatasan negara yang membujur dari arah utara ke

    selatan. Untuk itu, sangat penting menjaga stabilitas hankam, demi

  • 41

    menciptakan kondisi wilayah yang kondusif dalam rangka

    pembangunan di kawasan perbatasan secara berkelanjutan.

    2. Belum pulih sepenuhnya stabilitas politik dan keamanan di

    kawasan perbatasan RI Timor Leste.

    Terjadi berbagai tragedi dan kerusuhan yang berakibat kepada

    instabilitas politik dan keamanan seperti konflik sosial yang makin

    meruncing dan meluas di masyarakat dan hilangnya kesadaran

    masyarakat terhadap pentingnya keamanan dan ketertiban terutama di

    kawasan perbatasan. Indikasinya terjadi insiden bentrokan yang

    melibatkan warga Distrik Oekusi Timor Leste dan warga Desa

    Sumsea, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Kedua wilayah ini

    memang hanya dibatasi sungai, di mana wilayah selatan masuk bagian

    Timor Leste dan wilayah Utara masuk kawasan RI. Sampai saat ini

    memang belum ada kesepakatan mengenai penetapan garis batas kedua

    negara. Sehingga tidak ada garis batas lain yang memisahkan Distrik

    Oekusi dan Desa Sumsea selain alur sungai tersebut, tidak ada kawat

    berduri atau pagar pembatas lainnya. Warga di kedua wilayah ini bisa

    berinteraksi bebas seperti layaknya tetangga desa. Sementara posko

    pengamanan jaraknya cukup jauh dari lokasi.30

    3. Belum ada pengaturan teknis tentang DAS Malibaka sebagai DAS

    lintas batas antarnegara.

    Salah satu permasalahan batas darat antara RI dengan Negara

    Timor Leste adalah menyangkut keberadaan sungai-sungai yang

    melintas kedua negara antara lain Sungai Malibaka. Permasalahan

    30

    Http://detikinet.com/index.php /detik.read/tahun/2005/bulan/04/tgl/29/time/154141/idnews/351208/idkanal/10, 16 oktober 2007

  • 42

    selalu terjadi dikarenakan tipikal sungai-sungai yang ada di wilayah

    NTT ini termasuk jenis sungai musiman. Sungai akan kering di musim

    kemarau, dan penuh di musim penghujan. Persoalan yang selalu timbul

    adalah diakibatkan tipikal air yang mengalir di musim hujan selalu

    berpindah dari waktu ke waktu, bahkan cenderung terus menggerus

    wilayah RI karena posisi wilayah RI berada di bagian bawah wilayah

    Timor Leste. Dengan demikian, maka akan berubah pula batas wilayah

    kedua negara. Meskipun dalam Pasal 5 (Lima) perjanjian disebutkan

    :

    Para Pihak akan membuat pesetujuan terpisah mengenai

    pengelolaan sungai.

    Tetapi pengaturan batas wilayah secara topografi yang didasarkan pada

    satuan wilayah pengelolaan sungai atau DAS, belum diatur secara

    teknis baik sistem pengelolaannya maupun lembaga/badan pengelola

    baik antara pemerintah RI dengan Timor Timur maupun tingkat level

    dibawahnya. Tegasnya, pasal ini belum ada realisasi atau bukti

    pelaksanaannya.

    4. Sarana CIQS dan prasarana wilayah masih kurang memadai.

    Kurang memadainya sarana dan prasarana serta fasilitas CIQS

    (bea cukai, imigrasi, karantina, dan keamanan) di kawasan perbatasan

    dan Pos Lintas Batas telah menyebabkan terjadinya

    penyusupan/penyelundupan pelintas batas illegal dan berbagai kegiatan

    illegal lainnya. Apalagi dalam perjanjian dalam Pasal 3 (tiga) dan Pasal

    4 (Empat)hanya diatur mengenai penempatan dan pemeliharaan tugu

  • 43

    batas. Itupun tidak jelas karena penempatan tugu batas akan dilakukan

    jika diperlukan. Selanjutnya disebutkan :

    Pasal 3 (tiga) Proses demarkasi, dengan menempatkan tugu batas

    jika diperlukan dan disetujui oleh kedua Pihak, akan dimulai secara

    bersama setelah Persetujuan Sementara ini berlaku.

    Pasal 4 (Empat)Setelah demarkasi selesai dan jika dianggap

    memungkinkan, Para Pihak akan melakukan pemeliharaan terhadap

    tugu batas.

    5. Aksesibiltas menuju kawasan perbatasan relatif masih kurang

    memadai.

    Peningkatan produksi (barang dan jasa) dan peluang pasar

    untuk meningkatkan pendapatan dari sektor industri jasa dan

    perdagangan akan sangat terbuka luas, apabila ada akses sarana

    pendukung yang memadai ke kawasan perbatasan. Sarana pendukung

    utama dalam meningkatkan peluang tersebut adalah adanya sarana

    transportasi, komunikasi, listrik, pelayanan air bersih, dan pelayanan

    perbankan di perbatasan, sayangnya, hal itu relatif masih kurang

    memadai.

    6. Terdapat tanah hak ulayat penduduk Timor Leste di wilayah RI,

    dan sebaliknya.

    Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya status

    pemilikan sertifikat tanah, dan masih adanya kepemilikan tanah

    masyarakat Timor Leste di wilayah RI sering menyebabkan berbagai

    sengketa baik antara masyarakat kedua negara ataupun dengan

    pemerintah RI. Pelepasan tanah hak ulayat yang telah dikuasai

  • 44

    pemerintah untuk kegiatan/kepentingan pemerintah seperti fasilitas

    CIQS, dan irigasi, belum dilakukan secara resmi, sehingga di

    khawatirkan akan menimbulkan persengketaan yang menyangkut hak

    ulayat.

    7. Maraknya penyelundupan barang dan orang (pelintas batas ilegal)

    dan pencurian kayu (illegal logging).

    Maraknya kegiatan perdagangan ilegal ini, umumnya dilakukan

    oleh para pelintas batas tradisional kedua negara. Mereka melintasi

    perbatasan untuk melakukan kegiatan dan aktifitas perdagangan lintas

    negara. Warga Negara dari kedua Negara melintasi batas wilayah

    NKRI dan Negara Timor-Leste, termasuk wilayah Didtrik Oekusi

    (wilayah enclave Negara Timor Leste di dalam wilayah Provinsi NTT)

    tanpa dokumen resmi (ilegal) seperti paspor atau visa.31

    Hal ini terjadi, disebabkan oleh kondisi sosial dan budaya

    masyarakat sekitar perbatasan serta masih terbatasnya prasarana

    penunjang bagi sektor perdagangan atau kegiatan usaha lainnya.

    8. Belum terbentuknya penataan ruang wilayah (RTRW) khususnya

    perbatasan RI Timor Leste.

    Pembangunan di wilayah perbatasan harus memperhatikan

    kaidah keruangan sesuai manfaat dan fungsi, serta harus memiliki

    rencana tata ruang wilayah pengembangan wilayah perbatasan secara

    lengkap. Rencana tata ruang wilayah ini dapat pula dijadikan sebagai

    Master Plan bagi perencanaan pembangunan wilayah khusus

    perbatasan. Oleh karena itu, menjadi hal yang penting dalam

    31 ibid.

  • 45

    pembuatan dokumen penataan ruang wilayah bagi kawasan perbatasan

    RI Timor Leste.

    9. Rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) masyarakat di

    perbatasan.

    Peningkatan infrastruktur dasar masyarakat yang tinggal di

    kawasan perbatasan terkait erat dengan upaya pemberdayaan tenaga

    kerja yang produktif, peningkatan mutu SDM serta ekonomi

    masyarakat secara terpadu di berbagai aspek baik pendidikan,

    kesehatan, maupun ekonomi. Apabila infrastruktur tidak tersedia

    dengan baik, maka pembangunan dasar atas ilmu pengetahuan

    (knowledge based development) tidak akan berhasil dengan optimal.

    10. Belum tuntasnya permasalahan penanganan eks pengungsi Timor-

    timur.

    Permasalahan yang berkembang berkaitan dengan upaya

    penyelesaian ribuan pengungsi asal Timor Timur (Timtim) yang

    tersebar di sejumlah camp penampungan di Betun atau dibagian selatan

    Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Timtim (distrik

    Ainaro dan Suai) serta kantong-kantong pengungsi lainnya yang

    tersebar di beberapa daerah lainnya. Permasalahan ini secara tidak

    langsung turut menghambat pertumbuhan kondisi sosial ekonomi

    masyarakat kita yang ada di sekitar perbatasan akibat resiko sosial

    yang mereka tanggung untuk memenuhi kebutuhan dan penghidupan

    para pengungsi.

  • 46

    11. Masih lemahnya penegakkan supremasi hukum dan

    profesionalisme aparatur pemerintah di perbatasan.

    Masih adanya keberpihakkan penegakkan dan penerapan

    supremasi hukum kepada sebagian golongan, telah mengakibatkan

    sikap ketidakpercayaan lagi masyarakat kepada hukum dan keadilan

    yang seharusnya dapat menjadi momentum bagi pemulihan keamanan

    dan ketertiban masyarakat serta menciptakan iklim politik yang

    harmonis dengan terciptanya good goverment dan good governance.

    Lembaga pengelolaan dan pengembangan perbatasan dalam bentuk

    Joint Border Commitee (JBC) antara Pemerintah RI dengan UNMISET

    perlu disempurnakan melalui penetapan kedudukan, tugas, dan fungsi

    serta kewenangan tiap lembaga secara jelas. Hal ini tentunya

    merupakan kebutuhan dan permasalahan strategis pemerintah yang

    harus diprioritaskan. Meskipun demikian, kapasitas kelembagaan dan

    kemampuan (profesionalisme) sumberdaya manusia yang kita miliki

    masih jauh dari memadai, sehingga lembaga yang ada belum mampu

    melakukan tugas sebagai lembaga pengelola perbatasan yang

    melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasan baik terhadap kebijakan

    maupun kesepakatan pemerintah dengan negara tetangga.

    Perkembangan sosial budaya di kawasan perbatasan, khususnya dengan negara

    yang relatif lebih rendah ekonominya tetapi memiliki potensi untuk berkembang

    secara pesat terutama pasca referendum di Timor Timur memperlihatkan perbedaan

    tingkat kemajuan yang signifikan. Kemajuan ini membawa dampak tersendiri bagi

    penduduk yang tinggal disepanjang kawasan perbatasan, dengan munculnya

    fenomena migrasi penduduk lokal (masyarakat adat) sepanjang perbatasan dan

  • 47

    persoalan pengungsi yang belum terselesaikan. Hal ini karena aksesibilitas baik

    politik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya terutama yang ada di wilayah negara

    kita relatif lebih baik dan memberikan harapan bagi ekonomi mereka, dibandingkan

    dengan kondisi wilayah sendiri. Kondisi ini menciptakan kerawanan yang berdampak

    pada stabilitas keamanan terutama dari para pelintas batas illegal yang sering

    melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi illegal (illegal business), dan pada akhirnya

    akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dan budaya terhadap masyarakat

    yang tinggal di kawasan perbatasan. Dibandingkan dengan kawasan perbatasan

    lainnya yang relatif lebih baik, kawasan perbatasan RI-Timor Timur masih memiliki

    keterbatasan baik fasilitas sosial dan fasilitas umum maupun infrastruktur lainnya.

    Situasi perpolitikan dan keamanan di kawasan perbatasan RITimor Timur

    juga tergolong labil. Hingga saat ini masih sering muncul gangguan keamanan

    terutama pasca referendum. Pergolakan politik dan keamanan di kedua kawasan ini

    telah cukup lama berlangsung. Timor Timur, sudah lama menjadi daerah operasi

    militer TNI. Lebih dari 3 dekade pergolakan politik yang disertai dengan

    pemberontakan separatis bersenjata yang berakhir dengan lepasnya Timor Timur

    melalui referendum pada tahun 1999 dari kedaulatan NKRI, yang kemudian berubah

    nama menjadi Negara berdaulat Timor Timur. Pergolakan tersebut, hingga saat ini

    masih menyisakan berbagai permasalahan terutama masalah sosial, politik dan

    keamanan. Berbagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat silih berganti

    terjadi yang menyebabkan kondisi kehidupan masyarakat menjadi terpuruk. Jumlah

    pengungsi meningkat dan terjadi rawan pangan yang parah terutama di desa-desa

    perbatasan terpencil.

  • 48

    B. Status Provisional Agreement on the Land Boundary between the Republic

    of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste dikaji dari

    perspektif Konvensi Wina 1969.

    Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian

    internasional, menurut pasal 2 Konvensi Wina, jika suatu perjanjian

    menetapkan bahwa perjanjian itu tunduk pada atau hal itu dipandang tidak

    bertentangan atau sesuai dengan perjanjian, maka ketentuan dari perjanjian

    yang lain itulah yang harus diutamakan. Dalam hal ini Provisional Agreement

    on the Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste adalah perjanjian yang pertama dibuat tentang batas

    wilayah indonesia dan timor leste.

    Sifat Provisional atau penetapan sementara dalam perjanjian ini, pasal

    25 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina dengan judul Provisional application of a

    treaty menegaskan sebagai berikut32 :

    1. A treaty or a part of a treaty is applied provisionally pending its

    entry into force if:

    (a) the treaty itself so provides; or

    (b) the negotiating States have in some other manner so

    agreed.

    2. Unless the treaty otherwise provides or the negotiating States have

    otherwise agreed, the provisional application of a treaty or a part of a

    treaty with respect to a State shall be terminated if that State notifies

    the other States between which the treaty is being applied provisionally

    of its intention not to become a party to the treaty.

    32 I wayan parthiana, ibid, bagian 2, hal. 294

  • 49

    Menurut pasal 25 ayat 1 konvensi ini, suatu perjanjian internasional

    (secara keseluruhannya) atau sebagian dari perjanjian itu dapat diterapkan

    sementara waktu, sambil menunggu saat mulai berlakunya. Suatu perjanjian

    dapat diterapkan sementara waktu bila perjanjian itu menetapkan demikian,

    atau negara yang melakukan perundingan (the negotiating satates) dengan cara

    lain menyetujui penerapan sementara tersebut.33

    Dalam hal ini, perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa yang dapat

    ditetapkan untuk sementara waktu tersebut adalah;

    Pertama, perjanjian itu sendiri, baik secara keseluruhan atau hanya atas

    sebagian dari isi perjanjian itu;

    Kedua, penerapan sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan

    dari seluruh subjek hukum atau negara-negara yang ikut serta dalam negoisasi

    yang menghasilkan perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau

    sebagian saja dari semua negara yang melakukan negoisasi;

    Ketiga, penerapan sementara itu dilakukan sebelum perjanjian itu

    sendiri mulai berlaku atau dengan kata lain, sambil menunggu saat mulai

    berlakunya perjanjian tersebut.

    Keempat, walaupun tidak secara explicit dinyatakan dalam pasal 25

    konvensi ini, pemberlakuan sementara tersebut tidak boleh menghambat atau

    menghalangi usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri.34

    Jika dipahami maksud dan tujuan dari penerapan sementara atas suatu

    perjanjian internasional itu, tampaknya alternatif yang kedua, yaitu, penerapan

    sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan dari seluruh subjek hukum

    atau negara-negara yang ikut serta dalam negoisasi yang menghasilkan

    33 ibid, hal. 29534 ibid, hal 296

  • 50

    perjanjian itu, ataupun kesepakatan dari beberapa atau sebagian saja dari

    semua negara yang melakukan negoisasi, pada Provisional Agreement on the

    Land Boundary between the Republic of Indonesia and the Democratic

    Republic of Timor-Leste, adalah lebih mendekati. Penerapan sementara atas

    suatu perjanjian dapat saja dilakukan oleh kedua kelompok negara-negara

    tersebut, yaitu antara Republik Indonesia dan Timor Leste, tergantung pada

    macam dari p