studi tafonomi moluska pada formasi · pdf fileorgan tubuh yang kompleks telah dimiliki...
TRANSCRIPT
14
Bab III Studi Tafonomi Moluska
III.1 Moluska
Moluska berasal dari bahasa latin yang berarti soft nut atau soft body,
merupakan hewan lunak dan tidak memiliki ruas. Tubuh hewan ini tripoblastik,
simetri bilateral, umumnya memiliki mantel yang dapat menghasilkan bahan
cangkang, cangkang ini tersusun dari bahan kalsium yang kuat, dan apabila
organisme tersebut mati, cangkangnya dapat terawetkan dalam sedimen dan
menjadi fosil.
Cangkang moluska berfungsi sebagai rumah (rangka luar) yang terbuat
dari zat kapur misalnya kerang, tiram, siput laut, siput sawah dan bekicot. Namun
ada pula Moluska
Moluska merupakan suatu filum dari golongan invertebrata (makhluk yang
tidak memiliki tulang belakang) yang penting dan banyak jumlah spesiesnya,
kedua setelah Insecta. Faktor – faktor yang mempengaruhi keberadaan moluska(
Beu dan Maxwel, 1990), diantaranya adalah :
yang tidak memiliki cangkang, seperti cumi-cumi, sotong,
gurita atau siput telanjang.
1. Temperatur
Faktor ini memegang peranan penting dalam perkembangan, daya tahan
ataupun ukuran serta ketebalan cangkang. Dengan menurunnya suhu, ukuran
dan ketebalan cangkang juga berkurang karena, CaCO3 tersaturasi pada air
bersuhu rendah.
Temperatur berhubungan pula dengan kedalaman (Glasson, 1959, op cit.
Isnaniawadhani, 1994), sebagai berikut:
Temperatur Kedalaman
11,1 – 20,60 0 – 37 m C
9,6 – 14,20 38 – 74 m C
8,0 – 11,10 75 – 180 m C
15
2. Kedalaman
Kedalaman sedikitnya akan mempengaruhi morfologi cangkang, karena makin
dalam laut, makin rendah temperatur, makin tinggi CO2 dan makin tinggi
tingkat kelarutan CaCO3.
3. Salinitas
Salinitas di definisikan sebagai banyaknya kadar garam (NaCl) yang terlarut
di dalam air, dinyatakan dalam permil (o/oo). Berdasarkan tingkat salinitasnya
dapat digolongkan menjadi Hyposaline (< 33 o/oo), Normal Marine (33-37 o/oo) dan Hypersaline (> 37 o/oo
4. Keadaan Substrate
). Pengaruh perubahan kadar garam akan
berakibat lambat ataupun terhentinya perkembangan. Pada umumnya berbagai
jenis moluska terdapat di daerah yang bersalinitas normal marine atau
hyposaline.
keadaan permukaan dimana moluska berada. Keadaan substrate ditentukan
oleh tekstur, kimia, mineralogi dari dasar pembentuknya. Dengan sendirinya
ini akan sangat berpengaruh terhadap pH dan nutrisi.
Moluska mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan merupakan filum yang
paling berhasil dalam hidupnya dibandingkan dengan filum lainnya. Hidup dari
Zaman Kambrium sampai Resen dan banyak diantaranya dijadikan sebagai fosil
indeks yang baik.
Organ tubuh yang kompleks telah dimiliki moluska, yakni dilengkapi
dengan organ mulut yang mempunyai radula (lidah parut) sampai dengan anus
terbuka di daerah rongga mantel. Di samping itu juga terdapat kelenjar
pencernaan yang sudah berkembang baik. Pernafasan dilakukan dengan
menggunakan insang atau “paru-paru,” mantel atau oleh bagian epidermis. Alat
ekskresi berupa ginjal. Sistem saraf terdiri atas tiga pasang ganglion yaitu
ganglion cerebral, ganglion visceral dan ganglion pedal yang ketiganya
dihubungkan oleh tali-tali saraf longitudinal. Alat reproduksi umumnya terpisah
atau bersatu dan pembuahan internal atau eksternal. Moluska memiliki kaki yang
bentuk dan fungsinya berbeda untuk setiap kelasnya.
Ahli paleontologi membagi taksonominya berdasarkan atas perbedaan
bagian yang keras, meliputi bentuk-bentuk cangkang maupun ornamen spine
16
(duri). Sementara oleh ahli neontologi, hewan ini dibagi berdasarkan atas
perbedaan pada bagian lunak, seperti sistem otot (muscle system), urat saraf
(nerves), insang, atau bagian halus lainnya.
Berdasarkan perbedaan tersebut diatas, maka Moluska dibagi dalam tujuh
kelas (Fairbridge dan Jablonski, 1979), yaitu :
1. Kelas Monoplacophora
2. Kelas Polyplacophora
3. Kelas Aplacophora
4. Kelas Scaphopoda
5. Kelas Gastropoda
6. Kelas Pelecypoda (Bivalvia)
7. Kelas Cephalopoda
Dari ketujuh kelas dalam pembagian filum moluska diatas, pada penelitian
studi tafonomi ini hanya dua kelas yang ditemukan, yaitu :
III.1.1 Kelas Gastropoda
Dalam filum moluska, Gastropoda merupakan kelas terbesar, menempati
habitat terestrial hingga kedalaman ribuan meter di dasar laut, dan hidup dari
Zaman Kambrium hingga Resen, Umumnya bergerak dalam wilayah yang
terbatas tetapi mobile
Tubuh keras (cangkang) gastropoda berupa satu cangkang yang terpilin
memanjang pada satu garis sumbu, berbentuk tabung atau kerucut yang tertutup di
salah satu ujungnya dan terbuka di ujung lainnya. Pada cangkang ini terdapat
beberapa bagian – bagian dan hiasan – hiasan. Bagian – bagian dari cangkang
tersebut adalah : Whorl, spire, body whorl, apex, aperture, anterior canal, posterior
(Fairbridge dan Jablonski, 1979).
Gastropoda adalah hewan yang bertubuh lunak, berjalan dengan perut yang
dalam hal ini disebut kaki. Gerakan Gastropoda disebabkan oleh kontraksi-
kontraksi otot seperti gelombang, dimulai dari belakang menjalar ke depan. Pada
waktu bergerak, kaki bagian depan memiliki kelenjar untuk menghasilkan lendir
yang berfungsi untuk mempermudah berjalan, sehingga jalannya meninggalkan
bekas.
17
canal, outer lip, inner lip, columella (umbilikus), protoconch, sutura (Gambar
III.1). Sedangkan yang menghiasi permukaan cangkang disebut ornamentasi.
Pada cangkang yang terputar, setiap satu putaran disebut whorl, garis
kontak antara whorl disebut sutura. Satu putaran ( whorl ) terakhir disebut body
whorl, dan bagian whorl selebihnya dinamakan spire. Pada kamar terakhir
biasanya akan memperlihatkan adanya siphonal canal.
Gambar III.1. Bagian cangkang Gastropoda (Fairbridge dan Jablonski, 1979).
III.1.2. Kelas Pelecypoda (Bivalvia)
Pelecypoda hidup dari zaman Ordovisium bawah sampai Resen
(Fairbridge dan Jablonski, 1979), merupakan kelas (kelompok) kedua terbesar dari
18
filum Moluska. Ciri utama hewan ini memiliki dua buah cangkang/tangkup (bi =
dua, valve
1) Ligament adalah suatu depresi atau cekungan yang terletak di bagian
dorsal di sekitar belakang beak.
= katup), yang umumnya sama besar (equivalve) dan terbentuk dari
material gampingan. Kedua cangkang dihubungkan oleh semacam engsel, yang
dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot adductor dalam
tubuhnya. Cangkang ini berfungsi untuk melindungi tubuh. Fungsi kaki untuk
merayap dan menggali lumpur atau pasir.
Kelas Pelecypoda mempunyai daya adaptasi yang tinggi, lingkungan
hidupnya di dalam air laut, air payau, dan air tawar, seperti di sungai dan danau.
Morfologi cangkang bagian luar (Gambar III.2), terdiri dari :
2) Lunule adalah suatu depresi atau cekungan yang terletak di bagian dorsal
di sekitar muka beak.
3) Beak adalah permulaan pembentukan cangkang, cembung atau
melengkung yang terletak di ujung cangkang dorsal.
4) Umbo adalah puncak dari suatu cangkang, cembung atau melengkung
yang terletak di ujung cangkang dorsal.
5) Garis tumbuh ( Growth Line ) merupakan garis-garis konsentris dengan
spasi yang beraturan, dibentuk oleh mantle lobes karena pertumbuhan
binatangnya.
6) Ornamentasi adalah gambaran atau ukiran pada permukaan kulit kerang
bagian luar.
19
Gambar III.2. Bagian cangkang Pelecypoda (Abbot dan Dance, 1988)
Cara hidup dari Pelecypoda (Pelecypoda) terhadap dasar cekungan
(sungai, danau atau laut) dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1. Infaunal (Gambar III.3 C,E,G,H,I,J,K,L,M,O), hidup terkubur seutuhnya
dalam sedimen. Moluska yang hidup dengan cara seperti ini memiliki
orientasi posterior menghadap ke bawah, dan biasanya stabil karena posisi
tubuhnya.
2. Semi – Infaunal (Gambar III.3 N), posisi hidup hewan berorientasi vertikal
(posterior menghadap ke bawah) tetapi hanya terkubur sebagian di dalam
sedimen.
3. Reclining (Gambar III.3 B), posisi hidup hewan ini memiliki efek melayang
secara horizontal di sedimen. Pada umumnya, moluska dengan posisi hidup
seperti ini memiliki cangkang yang rata. Modifikasi cangkang seperti
permukaan yang lebar dan duri – duri membantu hewan ini mengambang.
Sedikit catatan bahwa salah satu dari spesimen ini memiliki duri, yang
muncul sebagai adaptasi tambahan untuk reclining di sedimen yang halus.
4. Epifaunal (Gambar III.3 A,D), posisi hidup dari moluska tertambat di sedimen
atau di obyek lainnya (contohnya tanaman – tanaman laut).
Gambar III.3 Posisi hidup dari Fosil Moluska (Fairbridge dan Jablonski, 1979)
20
Moluska dapat digunakan sebagai indikator suatu lingkungan
pengendapan terutama untuk area tepi cekungan (Wesselingh, 2006). Sebagai
contohnya adalah kemunculan fosil Placuna, Turritella, Paphia, dan Natica yang
merupakan penciri lingkungan Soft bottom coastal-offshore.
III.2 Penentuan Perubahan Posisi Muka Air Laut
Perubahan naik–turunnya muka air laut berkaitan erat dengan
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme laut, diantaranya juga terjadi
pada moluska.
Pada saat muka air laut naik moluska yang hidup di dasar laut yang
dangkal masih akan dapat bertahan hidup dan dapat berkembang hingga menjadi
dewasa karena kondisi lingkungan yang relatif tenang. Jika organisme tersebut
mati, maka akan diendapkan dalam sedimen sesuai dengan posisi hidup dan
lingkungannya dengan kondisi cangkang yang masih lengkap (Aswan, 2006).
Sebaliknya saat muka air laut turun, moluska yang hidup pada dasar laut
yang dangkal tidak akan dapat bertahan hidup karena lingkungannya yang
menjadi kering dan tidak sesuai dengan kebutuhannya untuk dapat tumbuh dan
berkembang. Turunnya muka laut yang cepat, kemungkinan besar juga akan
mentransport cangkang–cangkang moluska yang terendapkan di bawah laut.
Dalam kondisi ini moluska akan ditemukan dalam sedimen dengan posisi yang
tidak sama dengan posisi hidupnya. Organisme yang menjadi fosil pun masih
kecil karena belum sempat tumbuh dan berkembang serta menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Organisme moluska dengan cangkang yang tipis akan
cenderung ditemukan dalam keadaan pecah – pecah dan tidak lengkap. Penurunan
muka air laut juga umumnya di temukan campuran sedimen dengan butir yang
kasar (Aswan, 2006).
III.3 Studi Tafonomi
Istilah tafonomi, (berasal dari bahasa Yunani taphos yang berarti
penguburan, dan nomos yang berarti aturan), dikenalkan di dunia paleontologi
pada tahun 1940 oleh ilmuwan Rusia, Ivan Efremov, untuk menjelaskan studi
21
transisi dari sisa, bagian dan produk dari organisme (fosil), dari biosfer, ke litosfer
(Shipman, 1981 op.cit. Pradana, 2008).
Tafonomi sendiri adalah ilmu yang mempelajari apa yang terjadi pada
organisma setelah mati dan sampai menjadi fosil. Hal tersebut termasuk
dekomposisi, transportasi setelah mati, pengendapan, kompaksi dan aktifitas
kimia, biologi atau fisika yang mana akan meninggalkan efek pada sisa organisma
tersebut (McRoberts, 1998).
Proses tafonomi (Gambar III.4) memungkinkan dapat memberikan suatu
informasi seperti merekonstruksi perpindahan tempat yang biasanya menjadi
panduan untuk mengerti lingkungan pengendapan dan sejarah kehidupan dari
suatu organisma.
Gambar III.4 Proses Tafonomi : langkah dari masa kehidupan organisma hingga menjadi fosil (Dimodifikasi dari McRoberts, 1998).
Beberapa proses tafonomi yang dapat diamati antara lain (McRoberts, 1998):
• Artikulasi dari cangkang dapat mengindikasikan burial secara cepat.
• Fragmentation, pecahnya cangkang biasanya merupakan indikasi dari
energi tinggi yang disebabkan oleh aksi gelombang dan arus.
• Ukuran cangkang, dapat menjadi indikator efektif dari kapasitas
aliran/kedalaman air.
Dalam geologi, studi tafonomi dapat digunakan diantaranya sebagai salah
satu indikator penting untuk interpretasi dari kerangka sikuen sehingga diketahui
hubungan tiap lapisan yang dilakukan secara berurut, yaitu perubahan relatif dari
permukaan air laut dalam pengistilahan system tracts (Trangressive Systems
22
Tract/TST, Lowstand Systems Tract/LST dan Highstand Systems Tract/HST)
(Aswan, 2006).
III.4 Arsitektur Sikuen
Arsitektur sikuen adalah suatu pendekatan berorientasi proses untuk
menginterpretasi paket sedimen, sehingga saat ini didefinisikan sebagai studi yang
mengkaji hubungan antar batuan, di dalam suatu kerangka waktu, dimana pola
urutan dari batuan – batuan itu adalah siklus dan tersusun oleh satuan batuan
stratigrafi yang berhubungan secara genetis dengan dibatasi oleh suatu bidang
erosi atau bidang tak berdeposisi atau bidang keseluruhan yang korelatif (dengan
bidang – bidang tersebut sebelumnya) (Posamentier dkk., 1988; van Wagoner
dkk., 1988 op.cit. Allen dan Possamentier, 1993).
Suatu sikuen diinterpretasikan diendapkan selama satu sea-level cycle
(Yarmanto, dkk, 1997), yaitu kecepatan turunnya permukaan laut yang paling
besar sampai kecepatan turunnya permukaan laut yang paling besar berikutnya).
Hal tersebut, akan menjadi sangat penting untuk mengetahui perkembangan
seperti apa yang akan kita pakai untuk interpretasi kita, sebelum berlanjut ke
sedimentologi dan arsitektur dari studi kita dalam konteks stratigrafi sikuen.
Systems Tract diartikan sebagai himpunan satuan genesa penyusun sistem
sedimentasi yang terbentuk secara (relatif) bersamaan dalam satuan segmen
tertentu dari kurva perubahan muka laut relatif (Posamentier dkk., 1988 dalam
Walker dan Bhattacharya, 1992). Penamaan dinyatakan sesuai segmen dalam
perubahan muka laut relatif (Gambar III.5), antara lain:
1. LST (Lowstand Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut turun.
2. TST (Transgressive Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut naik.
3. HST (Highstand Systems Tract), terendapkan ketika muka air laut telah
melewati maximum flooding atau perlahan mulai turun.
Dalam studi ini, istilah – istilah ini akan dipakai untuk interpretasi
arsitektur sekuen di lingkungan laut dangkal/transisi.
23
Gambar III.5 System Track (modifikasi dari Posamentier dan Vail, 1988 op cit. Pradana, 2008).
Selain itu dalam penelitian ini membatasi pendekatan pada upaya untuk
menentukan perilaku muka air yang dianalisis langsung dari pola dan perubahan
satuan genesa (arsitektural elemen) sebagai komponen sikuen. Hal ini berarti hasil
penelitian tidak akan menentukan apakah variabel tektonik yang menjadi
penyebab dalam perubahan itu.
Untuk menjelaskan hipotesis dalam penelitian ini, berdasarkan pada
beberapa penelitian mengenai tafonomi dalam hal penentuan batas system tract
(Kondo dkk, 1998; Parras dan Casadio, 2004; Cantalamessa, dkk, 2005, Aswan,
2006, Pradana, 2008), yang secara umum membagi menjadi :
• Awal TST (Transgressive System Tract) mulai terjadi diatas batas erosional
(ravinement surface) atau batas sikuen (sequence boundary), dimana diatas
batas erosional ini terdapat butir – butir kasar sedimen, trace fossil, dan
disartikulasi cangkang yang dominan, dan fragmentasi cangkang
diinterpretasikan berasal dari sisa – sisa sedimen yang terendapkan
sebelumnya (Gambar III.6 dan III.7).
Gambar III.6 Dominasi disartikulasi dan fragmentasi cangkang menandai awal TST (Transgressive System Tract) (Cantalamessa, dkk, 2004)
24
Gambar III.7 Fosil jejak salah satu tanda awal TST (Transgressive System Tract) mulai terjadi diatas batas erosional (ravinement surface)
(Parras dan Casadio, 2004).
• Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena kelanjutan dari
kenaikan muka air laut, dapat dicirikan dari tingginya persentase cangkang
yang utuh dan dalam posisi hidup (insitu). Konsentrasi ini terakumulasi ketika
rata – rata produk bagian keras dari hewan (cangkang) tinggi dan rata – rata
masukan sedimen rendah (Gambar III.8 dan III.9).
Gambar III.8 Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena kelanjutan dari kenaikan muka air laut, di tandai oleh dominasi cangkang yang utuh (Parras dan Casadio, 2004).
25
Gambar III.9 Akhir TST (Transgressive System Tract) terjadi karena
kelanjutan dari kenaikan muka air laut ditandai oleh kehadiran artikulasi cangkang Pelecypoda (Cantalamessa, dkk, 2004).
• Awal HST (Highstand System Tract), dicirikan oleh cangkang fosil moluska
dengan cangkang yang utuh masih dapat ditemukan setempat atau pada spot –
spot tertentu (individual) dengan posisi cangkang dalam posisi hidup. Banyak
ditemukan fosil moluska yang masih muda dan fosil moluska dewasa dengan
cangkang yang pecah – pecah dikarenakan mulai berkurangnya ruang
akomodasi akibat berkurangnya kecepatan kenaikan muka laut, hal ini yang
menyebabkan moluska tidak dapat berkembang secara sempurna (Gambar
III.10).
•
Gambar III.10 Awal HST (Highstand System Tract) diantaranya terdapat
cangkang individual dalam posisi hidupnya (Parras dan Casadio, 2004).
26
• Akhir HST (Highstand System Tract), dapat dicirikan dari perulangan suatu
peristiwa berkali – kali (multiple-event concentrations) dari endapan penuh
fosil yang pecah – pecah dengan endapan yang relatif tidak mengandung fosil
(Gambar III.11). Hal ini terjadi diakibatkan oleh posisi muka laut yang berada
pada posisi highstand.
Gambar III.11 Akhir HST (Highstand System Tract) yang ditandai oleh perselingan lapisan mengandung fosil moluska dan lapisan yang tidak mengandung fosil moluska (Parras dan Casadio, 2004).