studi sosio teologis terhadap makna pembagian daging babi...
TRANSCRIPT
i
Studi Sosio Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut Warga Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang
Oleh:
SATRA SAMBA’ LANGI’
712013078
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Studi Sosio Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut Warga Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang
oleh:
SATRA SAMBA’ LANGI’
712013078
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Retnowati, M.Si Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Y. M. Lattu, Ph.D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
iii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Satra Samba’ Langi’
NIM : 712013078 Email : [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi
Judul tugas akhir : Studi Sosio Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut
Warga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang
Pembimbing : 1. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan
lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil
pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan
pembimbing akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan
disetujui oleh pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan
orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan
dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga, 28 Mei 2017
SATRA SAMBA’ LANGI’
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Satra Samba’ Langi’
NIM : 712013078 Email: [email protected]
Fakultas : Teologi Program Studi: Teologi
Judul tugas akhir : Studi Sosio Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut
Warga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang
Dengan ini saya menyerahkan hak non-eksklusif* kepada Perpustakaan Universitas – Universitas
Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap
karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri
tanda pada kotak yang sesuai):
a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
PerpustakaanUniversitas, dan/atau portal GARUDA
b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori
Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**
Demikian
pernyataa
n ini saya
buat
dengan
sebenarnya.
Salatiga, 28 Mei 2017
Satra Samba’ Langi’
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Retnowati, M. Si PPdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
* Hak yang tidak terbatashanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang
menyerahkan hak non-ekslusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil
karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.
** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/ alasan
tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprodi).
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Satra Samba’ Langi’
NIM : 712013078
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hak
bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:
Studi Sosio Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut Warga Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal : 25 Mei 2017
Yang menyatakan,
Satra Samba’ Langi’
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Dr. Retnowati, M.Si Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
vi
KATA PENGANTAR
Penulisan Tugas Akhir (TA) adalah hal mutlak yang harus dihadapi oleh setiap
mahasiswa. Tuagas akhir dapat dikatakan tantangan terakhir yang harus dilalui jika ingin
memperoleh gelar sarjana.Syukur kepada Tuhan sebab penulis telah melewati rintangan yang
terakhir tersebut. Dalam proses mengerjakan tugas akhir penulis merasakan bahwa Tuhan
tidak pernah meninggalkan. Ia selalu ada bersama-sama dengan penulis ketika penulis
menghadapi berbagai rintangan dalam mengerjakan tugas akhir. Walaupun Ia seola-ola
meninggalkan ketika penulis sudah hampir menyerah, namun penulis menyadari bahwa Ia
membiarkan penulis menghadapai hal tersebut. Ia mengijinkan penulis untuk mengalami
“penderitaan” dalam mengerjakan tugas akhir. Menurut refleksi penulis, tujuan hal itu
dilakukan adalah ketika penulis mencapai tujuan, maka penulis benar-benar akan merasakan
kehadiranNya. Bila proses pengerjaan tugas akhir berjalan secara mulus atau tanpa rintangan,
mungkin penulis akan menjadi angkuh dan mengandalkan diri sendiri.
Penyertaan Tuhan bagi penulis tentu tidak dapat penulis alami ketika Ia tidak
mengijinkan penulis untuk berjumpa dengan orang-orang di sekitar. Oleh karenanya penulis
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada pertama, dosen pembimbing I, ibu
Pdt. Dr. Retnowati M.Si, yang sekaligus merupakan dosen wali penulis. Penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan dalam penulisan tugas
akhir, serta segala nasehat-nasehat yang diberikan sebagai dosen wali. Biarlah Tuhan yang
membalas setiap kebaikan dari ibu. Selanjutnya kedua saya ucapkan terimakasih yang tidak
terhingga kepada dosen pembimbing II, bapak Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo.
Terimakasih atas segala arahan, bimbingan dan kritikan bagi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Biarlah kiranya Tuhan menyertai bapak dalam segala
kehidupan yang bapak jalani. Ketiga, saya mengucapkan terima kasih kepada semua dosen
dan pegawai yang telah menolong penulis selama proses perkuliahan. Biarlah segala ilmu
yang telah penulis terima dari para dosen dapat menjadi bekal bagi penulis untuk menjalani
kehidupan yang lebih baik, dan biarlah pelayanan yang tulus dari para pegawai menjadi
berkat tersendiri bagi setiap bapak dan ibu.
Keempat, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua (Yulius
Samba’ dan Elisabeth Timba Bulawan). Keduanya memiliki peranan yang begitu berharga
bagi penulis. Kekuatan doa dan nasehat yang mereka berikan selalu menjadi senjata bagi
penulis untuk berjuang menempu pendidikan di tempat ini hingga selesai. Penulis meyadari
vii
bahwa kasih sayang itu tidak akan terbalaskan dengan apa pun juga. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada kedua adik yang penulis sangat kasihi dan cintai Evita Eda
Efendi dan Si kecil Charis Samba’ Langi’. Mereka berdua menjadi motivasi bagi saya untuk
menjadi labih baik. Harapannya bahwa mereka dapat menjadikan kakak mereka sebagai
teladan.
Kelima, terimakasih kepada saudara-saudara yang telah berjuang bersama-sama
dengan saya sejak tahun 2013. Dari kalianlah saya belajar banyak hal mengenai bagiamana
membangun kehidupan di dalam perbedaan. Dari kalianlah saya belajar bahwa perbedaan itu
indah. Secara khusus saya ucapkan kepada empat sahabat saya Gali, Paulus, Laja Batuk, dan
Laki-Laki. Terima kasih atas segala kenangan yang telah terukir. Biarlah itu menjadi memori
yang indah untuk dikenang jika Tuhan mengijinkan kita hidup lebih lama lagi.
Kepada saudara-saudara saya 2013, berkenanlah kiranya mengampuni segala
kesalahan saya jika ada perkataan dan tindakan yang kurang berkenan di hati saudara-saudara
sekalian. Terlebih khusus untuk “seseorang”, saya ingin menyampaikan permohonan maaf
yang sedalam-dalamnya atas keputusan yang saya ambil. Berkenanlah kiranya mengampuni
dan melupakan segala kesalahan yang telah saya perbuat seperti halnya yang Yesus lakukan,
dan trimakasih atas pengalaman hidup singkat yang telah kita jalani bersama-sama.
Keenam, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada saudara-saudara saya dari
Toraja di salatiga. Terimakasih kasih kepada PKMST karena telah memberikan begitu
banyak kesempatan bagi saya untuk mendewasakan diri sebagai seorang pelayan. Kiranya
pengalaman-pengalaman berharga yang saya peroleh dapat menjadi bekal bagi saya ketika
menjadi pelayan nantinya. Terimakasih lebih khusus kepada kak Daud, kak Tian, kak Tato’,
Raya, Erik atas kekeluargaan yang boleh terjalin. Biarlah kita semuanya senantiasa diberkati
oleh Tuhan.
Ketuju, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua anggota Persekutuan
Mahasiswa Kristen Salatiga (PMKS3). Terimakasih segala pengalaman menarik yang boleh
saya terima selama bergabung dalam organisasi. Kepada kakak Kelompok Tumbuh Bersama
(KTB) kak delon, kepada saudara KTB saya Adrian, Nael. Terimakasih telah menjadi kakak
dan saudara bagi saya di salatiga. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepadan adik-
adik KTB saya Atan, Berti, dan Daus. Terima kasih telah bersedia untuk berjuang dalam
menjalani proses pertumbuhan di dalam Tuhan. Biarlah Tuhan memberkati adik-adik
senantiasa dalam kehidupan adik-adik. Selanjutnya saya ingin mengucapkan terimakasih
viii
kepada saudara-saudara PMKS3 angkatan 2013. Terima kasih untuk kebersamaan yang
terjalin biarlah Tuhan memberkati saudar-saudara sekalian. Tidak lupa juga saya
mengucapkan terimakasih kepada Staff dan semua kakak-kakak yang telah membimbing saya
selama bergabung dalam PMKS3, terutama pada waktu saya menjadi ketua. Terakhir, saya
ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan dan
kelemahan saya. Kiranya Tuhan selalu hadir dalam organisai PMKS3, dan selalu
membimbing kakak-kakak, saudara-saudara, serta adik-adik semua. Jayalah PMK! Selemat
bertumbuh menjadi murid Tuhan yang setia, taat, dewasa, tangguh dan menjadi teladan
sehingga menjadi berkat yang nyata bagi keluarga, gereja dan masyarakat (poin pertama Visi
PMKS3).
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ........................................ iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI .................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
MOTTO ................................................................................................. xi
ABSTRAK ............................................................................................. xii
1. Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah, Tujuan, Metode Penelitian ..................... 4
1.3 Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan ...................... 6
2. Teori .................................................................................................. 6
2.1 Stratifikasi Sodial ..................................................................... 7
2.2 Simbol .......................................................................................... 9
2.3 Ritus ............................................................................................. 12
2.4 Identitas Sosial ............................................................................. 13
3. Peneltian............................................................................................ 15
3.1 Gambaran Singkat Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo............. 15
3.2 Pembagian Makanan Berupa Daging Babi .............................. 16
3.3 Tanggapan Majelis dan Warga Jemaat ............................... 20
x
4. Makna dan Manfaat Pembagian Daging Babi .............................. 21
4.1 Makna Pembagian Daging Babi ............................................. 21
4.2 Manfaat Pembagian Daging Babi ........................................... 24
5. Penutup ............................................................................................ 26
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 26
5.2 Saran .......................................................................................... 27
Daftar Pustaka ..................................................................................... 28
xi
MOTTo
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh Iman; itu
bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil
pekerjaanmu: jangan ada yang memegahkan diri. Karena kita
ini buatan Allah diciptakan dalam Kristus Yesus untuk
melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah
sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya”
Efesus 3:8-10
xii
Abstrak
Pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda adalah tradisi
yang dilaksanakan oleh masyarakat Simbuang Tana Toraja, termasuk di dalamnya Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo. Potongan daging babi yang berbeda-beda tersebut menjadi hal
yang menarik untuk diteliti. Oleh karenanya sangat penting untuk memahami makna dan
manfaat dari potongan daging babi yang berbeda-beda tersebut. Upaya pemahaman terhadap
pembagian daging babi kemudian dibandingkan dengan argumen para ahli, terlebih khusus
yang berkaitan dengan Stratifikasi Sosial, Simbol, Ritus dan Identitas Sosial.
Ketertarikan untuk memahami makna dan manfaat pembagian daging babi dengan
potongan yang berbeda-beda tentu menyebabkan penulis harus hadir untuk menyaksikan
secara langsung pelaksanaan tradisi tersebut. Oleh karenanya di dalam penelitian yang
dilaksanakan, wawancara secara mendalam terhadap tokoh masyarakat, Pendeta, Majelis
Jemaat dan Warga Jemaat perlu untuk dilakukan.
Setelah melaksanakan hal di atas, maka pembagian daging babi dengan potongan
yang berbeda-beda dapat dipahami sebagai bentuk penghargaan kepada orang yang
mempunyai kedudukan dalam masyarakat dan dalam gereja. Selanjutnya, pembagian daging
babi menjadi tradisi yang harus tetap dipertahankan oleh masyarakat Simbuang.
Kata kunci : Daging babi, pengucapan syukur (rambu tuka’), Stratifikasi Sosial, Simbol,
Ritus, Identitas Sosial
1
Bagian I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Manusia dalam upayanya untuk menjalani kehidupan, setidaknya akan diperhadapkan
dengan dua peristiwa penting, yakni kedukaan dan pengucapan syukur. Kedukaan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peristiwa di mana seseorang mengalami
kesusahan atau kesedihan yang mendalam di dalam hatinya, sementara pengucapan syukur
adalah ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta karena suatu hal yang dialami dalam
kehidupan.1
Apabila kedua hal di atas ditarik masuk ke dalam konteks kehidupan masyarakat
Toraja, terlebih khususnya warga Gereja Toraja, maka masyarakat Toraja mengenal peristiwa
tersebut sebagai Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Rambu Solo’ adalah upacara keagamaan
yang dilakukan pada saat masyarakat Toraja sedang mengalami kedukaan, sementara Rambu
Tuka’ merupakan pengucapan syukur atas perisitiwa-peristiwa menggembirakan yang
dialami.2
Dalam upaya mempermudah memahami istilah Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’, maka
penulis akan menjelaskan terjemahan istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Rambu
Tuka’ terdiri atas dua suku kata yaitu rambu yang dapat diartikan sebagai “asap”, sementara
tuka’ bisa diartikan sebagai “naik”.3 Melalui hal tersebut, rambu tuka’ dapat dipahami
sebagai persembahan syukur yang dilakukan oleh masyarakat Toraja, yang ditujukan kepada
Puang Matua atau Tuhan Allah, dewa-dewa dan arwah (jiwa) para leluhur yang telah
menjadi dewa (tomembali puang).4 Penting juga untuk dipahami bahwa persembahan
tersebut biasanya dilakukan oleh masyarakat Toraja mulai dari pagi sampai tengah hari.5
Selanjutnya, rambu solo’ yang juga terdiri atas dua suku kata yaitu rambu yang dalam
bahasa Indonesia berarti asap, kemudian solo’ yang dalam bahasa Indonesia berarti turun.
Dengan adanya penjelasan yang demikian, maka rambu solo’ dapat dipahami sebagai
ungkapan dukacita yang dilakukan dengan cara memberikan persembahan yang ditandai
dengan pemotongan kerbau atau babi yang ditujukan kepada jiwa orang atau keluarga yang
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga, (Jakarta : Balai Pustaka
2015), 1115. 2 A. T. Marampa’, Mengenal Toraja, (Penerbit tidak dicantumkan) 59-66.
3 Th. Kobong dkk., Aluk, Adat, dan Kebudayaan Toraja Dalam Perjumpaan Dengan Injil, (Tana Toraja :
Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja), 6. 4 Th. Kobong dkk., Aluk, Adat, dan Kebudayaan, 6.
5 Th. Kobong dkk., Aluk, Adat, dan Kebudayaan, 6.
2
meninggal.6 Lebih jauh lagi dapat dipahami bahwa kerbau dan babi yang dipersembahkan
untuk keluarga yang meninggal akan menjadi bekal untuk memperoleh keselamatan.7
Penulis tidak akan membahas kedua ritus ini, melainkan hanya akan fokus untuk
membahas bagian yang kedua yaitu pengucapan syukur atau rambu tuka’. Perlu dipahami
bahwa bentuk-bentuk pengucapan syukur yang dilakukan oleh masyarakat Toraja berbeda-
beda, oleh karenanya penulis akan berupaya untuk menjelaskan pemahaman tentang rambu
tuka’ secara umum terlebih dahulu, lalu kemudian menjelaskan pengucapan syukur atau
rambu tuka’ yang dilaksanakan oleh Gereja Toraja di Simbuang.8
Rambu tuka’ yang dilaksanakan oleh masyarakat Toraja secara umum memiliki
pemahaman yang sama yaitu tanda ungkapan syukur kepada Tuhan yang ditandai dengan
pemotongan ayam atau babi.9 Bentuk-bentuk rambu tuka’ yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Toraja adalah mangrara banua (ungkapan syukur atas rumah yang baru selesai
dibangun), ma’bugi’ (ungkapan syukur yang dilakukan setelah panen), dan beberapa hal
lainnya.10
Hal penting yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan rambu
tuka’ di atas adalah walaupun bentuk pengucapan syukurnya sama, namun cara-cara untuk
melakukan pengucapan syukur tersebut berbeda-beda. Nampaknya hal tersebut terjadi karena
Toraja awalnya terbagi atas tiga bagian, yaitu timur, tengah, barat. Ketiga bagian ini memiliki
pemimpin yang berbeda-beda. Adanya pemimpin yang berbeda-beda, mengakibatkan
masyarakat Toraja melakukan acara rambu tuka’ dengan cara yang berbeda pula. Pemimpin
yang di bagian timur diberi gelar Pong, misalnya Pong Tiku, Pong Simpin, sementara di
bagian tengah diberi gelar Puang, misalnya Puang Ri Buntu’, Puang Ri Papa Sura’, dan
terakhir di bagian barat diberi gelar Ma’dika, misalnya Ma’dika Simbuang, Ma’dika
Mamasa.11
Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa rambu tuka’ yang
dilaksanakan masyarakat Simbuang termasuk warga Gereja Toraja saat ini adalah rambu
tuka’ yang peraturannya pada waktu itu ditentukan oleh Ma’dika Simbuang.
Pengucapan Syukur atau Rambu Tuka’ yang dilakukan oleh warga gereja Toraja di
Simbuang biasanya dilakukan pada saat acara pernikahan, selesai membangun rumah baru,
6 Th. Kobong dkk., Aluk, Adat, dan Kebudayaan, 6.
7 A.T. Marampa’, Mengenal Toraja, 65.
8 Simbuang adalah salah satu kecamatan di Tana Toraja, bagian Barat.
9 A.T. Marampa’, Mengenal Toraja, 59.
10 A.T. Marampa’, Mengenal Toraja, 60.
11Frans Bararuallo, kebudayaan Toraja,(Jakarta : Universitas Atma Jaya 2010), 33.
3
ulang tahun anak (biasanya yang berusia satu tahun), acara kelulusan wisuda, natal keluarga,
dan beberapa bentuk pengucapan syukur lainnya. Hal menarik dari pengucapan syukur atau
rambu tuka’ yang dilakukan oleh warga Gereja Toraja jemaat lebo-lebo di simbuang adalah
di akhir dari acara pengucapan syukur, yakni pada saat pembagian makanan. Dikatakan
menarik sebab pada saat acara makan, masing-masing orang akan diberikan lauk berupa
daging babi oleh keluarga atau panitia yang dibentuk dengan potongan yang berbeda-beda.
Potongan-potongan lauk tersebut ditentukan oleh jabatan atau kedudukan seseorang dalam
masyarakat atau gereja. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kedudukan
seseorang dalam gereja atau pun masyarakat, maka semakin besar potongan daging babi yang
didapatkan.
Realita di atas, tentu saja memunculkan pemahaman yang perlu untuk dipahami lebih
dalam. Dikatakan demikian karena orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam
gereja atau pun masyarakat seperti pendeta, majelis jemaat, camat, lurah, mendapatkan
penghargaan dari keluarga dengan memperoleh potongan daging yang besar, sementara
undangan lainnya yang berasal dari strata sosial yang rendah memperoleh jumlah yang
sedikit dari mereka yang memperoleh strata sosial yang tinggi.
Dari perspektif kristen kita akan menjumpai bahwa pembagian daging babi dalam
acara pengucapan syukur yang dilakukan oleh waraga Gereja Toraja tidak sesuai dengan apa
yang diajarkan dalam kekristenan. Dikatakan demikian karena kekristenan mengajarkan
berita baik tentang Yesus Kristus, yang inti ajarannya adalah mengasihi sesama manusia
seperti mengasihi diri sendiri (Matius 22:37-40).12
Dalam kasih tersebut, manusia dituntut
untuk menerapkan kesetaraan dengan semua orang, sesama, dan hukum.
Lebih jauh lagi dalam Yohanes 15:14 dikatakan bahwa “kamu adalah sahabat-Ku,
jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu”. Hal ini berarti bahwa ketika umat
kristiani melakukan pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda, maka
potongan tersebut diberikan layaknya seorang sahabat memberikan sesuatu kepada
sahabatnya. Dengan kata lain, potongan daging babi yang diberikan dibagi secara merata.
Permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas, menarik untuk diteliti, sebab hal
tersebut mengandaikan bahwa ada stratifikasi sosial yang secara umum tetap dipertahankan
oleh gereja, padahal injil mengajarkan kesetaraan untuk mengasihi manusia tanpa membeda-
bedakan. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan bagi beberapa anggota jemaat atau
12
G. C. Van NIFTRIK dan B. J. BOLAND, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1981), 405-406.
4
masyarakat, terlebih khususnya bagi mereka yang memiliki stratifikasi sosial yang rendah.
Namun, hal yang perlu dipertimbangkan adalah ketika pembagian daging dengan potongan
yang berbeda-beda tersebut dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan injil, maka
orang Toraja akan kehilangan identitasnya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
penerimaan akan injil mengakibatkan kita harus kehilangan budaya kita?
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka melalui penelitian ini penulis akan
menggunakan dua pertanyaan penelitian, yaitu :
Apa makna pembagian makanan sesuai dengan strata sosial dalam acara
pengucapan syukur yang dilakukan oleh warga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo,
di Simbuang, Toraja?
Apa manfaat pembagian makanan dalam acara pengucapan syukur bagi Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo, di Simbuang?
1.3 Tujuan Penelitian
Alasan penulis untuk mengajukan dua pertanyaan penelitian di atas adalah
Mendeskripsikan tentang apa sebenarnya yang menjadi makna dari pembagian
daging yang berbeda-beda dalam acara pengucapan syukur yang dilakukan oleh
warga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo di Simbuang.
Mendeskripsikan tentang apa sebenarnya yang menjadi manfaat pembagian
daging babi dengan potongan berbeda-beda yang dilakukan oleh Gereja Toraja
Jemaat Lebo-Lebo Simbuang.
1.4 Metode Penelitian
a) Jenis Penelitian Lapangan
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode penelitian
kualitatif, yang bertujuan untuk mengumpulkan data deskriptif yang
mendeskripsikan objek penelitian secara rinci dan mendalam dengan maksud
mengembangkan konsep atau pemahaman dari suatu gejala.13
Dengan
menggunakan metode kualitatif, penulis dapat mendeskripsikan secara mendalam
13
B. Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2006), 49-50.
5
makna pembagian makanan dengan potongan daging yang berbeda dalam acara
pengucapan syukur di Gereja Toraja jemaat lebo-lebo, Simbuang.
b) Informan
Ada pun yang menjadi Informan dalam penelitian ini adalah Pendeta,
Majelis Gereja Toraja jemaat Lebo-Lebo di Simbuang, 20 anggota jemaat (10
Laki-laki dan 10 Perempuan) dengan usia minimal 30 tahun, dan tokoh masyarakat
yang memahami makna pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda.
c) Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara :
Pertama, melakukan wawancara secara mendalam terhadap Pendeta,
Majelis Jemaat, dan warga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo (10 Laki-Laki dan 10
Perempuan.
Kedua, melakukan wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh masyarakat
yang memahami pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda.
Ketiga, melakukan pengamatan pada pelaksanaan pembagian daging babi
dalam acara pengucapan syukur yang dilaksanakan oleh Gereja Toraja Jemaat
Lebo-Lebo.
Teknik pengumpulan data di atas mengacu pada teori-teori yang telah
disusun.
d) Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Gereja Toraja jemaat Lebo-Lebo, Simbuang,
kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Alasan penulis memilih lokasi tersebut dikarenakan sepengetahuan penulis
warga Gereja Toraja jemaat Lebo-Lebo mayoritas pekerjaannya adalah petani,
namun mereka masih melakukan pembagian makanan dengan potongan daging
yang berbeda-beda pada waktu melakukan acara pengucapan syukur.
e) Teori-teori
Ada pun teori-teori yang akan digunakan dalam penelitan ini adalah teori-teori
yang berkaitan dengan stratifikasi sosial, simbol, ritus, serta teori yang berkaitan
dengan identitas sosial.
6
1.5 Manfaat Penelitian
1) Untuk melestarikan nilai-nilai positif yang ada dalam budaya dan tradisi lokal
masyarakat, serta mengajak warga jemaat untuk memahami budaya tersebut
sebagai instrumen penting dalam kehidupan.
2) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai bagaimana
melakukan penghayatan iman yang bernuansa budaya.
1.6 Sistematika Penulisan
Berikut ini adalah sistematika penulisan yang akan penulis lakukan :
I. Bagian pertama berisi tentang pendahuluan, rumusan masalah, metode penelitian,
tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Di dalam bagian ini penulis akan
menjelaskan apa yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul “Studi Sosio
Teologis Terhadap Makna Pembagian Daging Babi Menurut Warga Gereja Toraja
Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang. Selanjutnya, penulis akan menyebutkan apa yang
menjadi rumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat
penelitian.
II. Pada bagian kedua akan dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan judul di
atas.
III. Bagian ketiga berisi hasil penelitian yang telah penulis laksanakan di Gereja
Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang, Tana Toraja.
IV. Bagian keempat berisi tentang analisa. Di dalam bagian ini penulis akan
membandingkan argumen dari para ahli dan realita pembagian makanan berupa
daging babi yang terjadi di Jemaat Lebo-Lebo.
V. Bagian kelima berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat penulis sampaikan
dalam penelitian ini.
Bagian II : Teori
Kajian studi yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah makna dan manfaat
pembagian makanan daging babi sesuai dengan strata sosial yang dilakukan oleh warga
Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang. Oleh karena itu, teori yang akan dipakai dalam
penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan stratifikasi sosial, simbol,ritus, serta teori
yang berkaitan dengan identitas sosial.
7
2.1 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adanya
pembedaan yang terjadi pada penduduk atau pun masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise.14
Sanderson berpendapat bahwa stratifikasi sosial merupakan sebuah fenomena yang di
dalamnya terdapat dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat.15
Sejalan dengan
pernyataan tersebut, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa stratifikasi sosial dapat
dipahami sebagai sebuah paham yang menggolongkan masyarakat ke dalam tingkat yang
berbeda-beda.16
Ada masyarakat yang berada dalam kategori masyarakat dengan kedudukan
tinggi dan ada masyarakat yang tergolong dalam kedudukan rendah.17
Melalui hal tersebut,
stratifikasi sosial dapat dipahami sebagai tingkatan atau kedudukan sosial seseorang dalam
masyarakat, berdasarkan kedudukan atau kekuasaan yang dimilikinya.
Munculnya pemahaman stratifikasi sosial tentu saja tidak terlepas dari pemikiran
Max Weber. Menurut analisisnya, ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya stratifikasi
sosial, yaitu kelas, status, dan partai.18
Pertama, kelas. Max weber mengemukakan bahwa
kelas lebih mengacu kepada kebutuhan manusia dalam hal ekonomi.19
Argumen tersebut
menimbulkan pertanyaan tentang kelas ekonomi seperti apa yang dimaksudkan, sebab ada
begitu banyak macam kelas ekonomi. John Golthrope misalnya, menggolongkan sebelas
kelas ekonomi, yaitu pemilik properti besar, pengusaha kecil, petani, wiraswastawan, kerja
pelayanan, pekerja rutin nonmanual, pekerja manual, pekerja terampil, pekerja tanpa
keterampilan, dan buruh tani.20
Nampaknya kelas ekonomi yang dimaksudkan oleh Weber adalah kelas sosial.
Pemikiran tersebut berangkat dari pemahaman bahwa semua individu memiliki peluang yang
sama dalam hal ekonomis, misalnya membeli rumah. Hanya saja ada individu yang dengan
sendirinya akan tersingkir sebab individu tersebut tidak memiliki modal untuk bersaing.21
Kedua, status. Weber mengemukakan bahwa status mengacu kepada sebuah
komunitas, dan individu yang menjadi anggota dari komunitas tersebut memiliki derajat yang
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar, 1092. 15
Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi : Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta : RajaGrafindo Persada 2010), 146.
16 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali
1984), 247. 17
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi, 247. 18
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul : Kreasi Wacana 2011), 138. 19
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, 138. 20
Jhon Scott, Sosiologi : The Key Concepts, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 47. 21
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi, 252.
8
berbeda.22
Sejalan dengan pemikiran Weber, Soekanto menjelaskan status dengan bahasa
yang lebih sederhana yaitu tempat atau posisi individu dalam kelompok sosial.23
Ketiga,
partai. Weber menjelaskan poin yang ketiga ini sebagai sarana bagi individu untuk meraih
kekuasaan yang tidak hanya diupayakan untuk dicapai dalam negara, melainkan juga dalam
klub-klub sosial.24
Dengan kata lain, dalam upaya untuk memperoleh kekuasaan, partai akan
berupaya untuk merekrut pengikut-pengikutnya dari klub-klub sosial dan dari negara.25
Hal menarik dari stratifikasi sosial yang disampaikan oleh Weber di atas adalah kelas,
status, dan partai, memiliki sifat multidimensional.26
Artinya bahwa individu dapat
memperoleh peringkat yang tinggi di satu dimensi, dan di saat yang bersamaan individu bisa
memperoleh peringkat terendah di dimensi lainnya.27
Dengan adanya pemahaman yang
demikian maka dapat dipahami bahwa stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat menurut
pemahaman Weber tidak akan mutlak didominasi oleh satu individu saja, dikarenakan
individu tidak dapat atau pun sulit untuk memperoleh peringkat tertinggi dari ketiga basis
stratifikasi sekaligus.
Adanya penjelasan mengenai kelas, status, dan partai di atas menimbulkan
pemahaman bahwa stratifikasi muncul karena adanya upaya individu untuk memperoleh
kekuasaan.28
Apabila dipahami demikian, maka agaknya jelas bahwa individu dalam
menjalani kehidupannya tidak selamanya berjuang untuk memperoleh kekayaan, melainkan
individu juga berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan penghormatan baik dalam
kehidupan sosial maupun dalam kehidupan politik.29
Singkatnya kelas, status, dan partai
adalah fenomena dari distribusi kekuasaan dalam sebuah komunitas.30
Pertanyaan menarik yang perlu dimunculkan adalah apakah status dan strata sosial itu
dapat berubah? Menjawab hal tersebut, perlu dipahami bahwa status dan strata sosial
seseorang dalam masyarakat ada dua macam, yaitu status yang diperoleh berdasarkan
keturunan (Ascriebed Status), dan status yang yang diperoleh atas usaha yang disengaja
(Achieved Status).31
Apabila melihat keduanya, Ascribed Status secara jelas tidak dapat
22
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, 138-139. 23
Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada), 208. 24
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, 139. 25
Max Weber, Sosiologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 233-234. 26
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, 138. 27
George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi, 138. 28
Max Weber, Sosiologi, 217. 29
Max Weber, Sosiologi,217. 30
Max Weber, Sosiologi,217. 31
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002), 93.
9
berubah, sebab status diperoleh berdasarkan kelahiran atau keturunan dalam masyarakat.32
Sebaliknya, Achieved Status justru memungkinkan perubahan status tersebut terjadi. Hal ini
dapat dicapai melalui perjuangan dari individu-individu. Seseorang bisa saja menjadi
presiden, hakim, dokter, menteri, asalakan orang tersebut mau berjuang dengan keras untuk
memperolehnya.33
Upaya seseorang untuk memperoleh status yang lebih tinggi dalam masyarakat,
nampaknya tidak terlepas dari motivasi untuk memperoleh penghargaan dalam masyarakat.
Dikatakan demikian karena semakin besar kedudukan seseorang dalam masyarakat (ekonomi,
politik, sosial) maka semakin besar penghargaan yang akan diberikan oleh masyarakat
terhadap dirinya.34
Jika demikian, maka dapat juga dipahami bahwa semakin rendah
kedudukan seseorang dalam masyarakat, maka penghargaan terhadap dirinya pun akan
menjadi semakin rendah.
Ada berbagai bentuk penghargaan yang dapat diterima dalam masyakat jika memiliki
status yang tinggi. Salah satu contohnya adalah ia dapat berinteraksi secara mudah dengan
masyarakat.35
Interaksi itu dicapai bukan karena individu dari orang tersebut, melainkan
karena status tinggi yang dimilikinya dalam masyarakat.36
2.2 Simbol
Manusia dalam menghadapi realita kehidupan di masa kini, tentu tidak dapat
melepaskan dirinya dari pertanyaan tentang mengapa hal tersebut terjadi. Upaya untuk
berefleksi tersebut, kemudian akan membawa manusia kembali menelusuri hal-hal yang
terjadi di masa lalu.
Refleksi manusia yang demikian bila dikaitkan dengan pemahaman akan simbol bisa
dikatakan memiliki kesamaan. Namun sebelumnya, penting juga untuk memahami mitos,
sebab mitos erat kaitannya dengan simbol. Kata mitos berasal dari bahasa Yunani, yang
awalnya memiliki hubungan yang erat dengan agama.37
Mitos pada zaman purba diyakini
32
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, 88. 33
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, 93. 34
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, 83-84. 35
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, 93. 36
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, 93.
37 Peter L. Berger, Pyramid of Sacrifice, diterjemahkan oleh A. Rahman Tolleng, Piramida Kebudayaan
Manusia, (Nama Tempat Terbit Tidak Dicantumkan : Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982), 15.
10
sebagai istilah merujuk kepada adanya campur tangan mahkluk-mahkluk atau kekuatan gaib
dalam kehidupan manusia.38
Mitos dipahami sebagai upaya manusia untuk merenungkan bahwa keberadaan
dirinya tidak terjadi begitu saja. Kesadaran akan hal tersebut, lalu kemudian membuat
manusia meyakini bahwa ada begitu banyak fenomena-fenomena dalam kehidupan ini yang
sulit untuk dipahami oleh manusia.39
Manusia meyakini bahwa keberadaan itu terjadi karena
adanya campur tangan dari Yang Ilahi.40
Pemahaman akan sumber keberadaan itulah yang
kemudian membuat manusia membentuk simbol, dalam hal ini bahasa simbolik untuk
berefleksi terhadap Yang Ilahi.41
Selain itu, mitos juga dijadikan oleh sekelompok individu
sebagai penuntun atau arah dalam menjalani kehidupannya untuk menjadi orang yang
bijaksana di dunia.42
Oleh karenanya, simbol kemudian hadir untuk membantu memahami
cara menjalani kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Yang Ilahi.43
Penjelasan di atas dapat dipahami sebagai simbol yang bernuansa religi. Ternyata
selain simbol religi, ada juga simbol yang lain yaitu simbol dalam tradisi atau adat istiadat,
yang berupaya untuk mewariskan upacara-upacara adat secara turun temurun.44
Meskipun
demikian, simbol tradisi ini pada akhirnya akan kembali kepada hal yang bersifat religi,
sebab tujuan dari upacara tersebut adalah kepada Yang Ilahi.
Defenisi tentang simbol itu sendiri bila melihat akar katanya dalam bahasa Yunani
adalah symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada
seseorang.45
Simbol dapat dijadikan sebagai sesuatu hal yang dapat menuntun individu untuk
memahami sebuah objek.46
Namun perlu diingat bahwa objek yang dipilih adalah objek yang
pemaknaannya telah disepakati secara bersama. Dengan kata lain, simbol yang dibentuk oleh
masyarakat memiliki isi dan bentuk ungkapannya.47
Salah satu contohnya ketika seseorang
38
Peter L. Berger, Pyramid, 15. 39
Claude Levi Strauss, Anthropologie Structurale, diterjemahkan oleh Ninik Rochani Sjams, Antropologi Struktural, (Yogyakarta :Kreasi Wacana, 2005), 277.
40 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan : Tinjauan Antropologis, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar 2008), 81. 41
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan, 81. 42
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan, 81-82. 43
Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan, 82-83. 44
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta :Penerbit Ombak 2008), 48. 45
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, 17. 46
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, 18. 47
Emanuel Martasudjita, Liturgi : Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta : Penerbit Kanisius 2011), 131.
11
membawa rangkaian bunga kepada kerabat yang berduka, maka yang menjadi fokus bukan
bunganya, melainkan tanda turut berdukacita atas kerabat tersebut.48
Selain penjelasan di atas, simbol juga dapat dipahami sebagai lambang atau tanda
yang dibentuk oleh masyarakat untuk menggambarkan atau mengingatkan mereka akan apa
yang disimbolkan.49
Dengan kata lain, pemaknaan terhadap simbol yang dibentuk oleh
masyarakat akan menjadi warisan bagi generasi berikutnya, dan simbol itu akan tetap
dimaknai sebagaimana yang dimaknai oleh masyarakat yang membentuk simbol tersebut.
Hal penting yang perlu dipahami adalah tidak semua tanda dapat dipahami sebagai
simbol, namun semua simbol dapat dipahami sebagai tanda.50
Untuk lebih memperjelas
perbedaan diantara keduanya, maka penulis akan menjelaskan perbedaan antara simbol dan
tanda.
Dalam simbol setidaknya terdapat empat macam ciri pokok. Pertama, simbol
merupakan tanda yang bukan sekedar suatu ungkapan kosong belaka, melainkan simbol
menunjuk suatu realitas atau tindakan nyata dan real.51
Kedua, simbol dipahami sebagai
realitas yang mengatasi hal indrawi, seperti halnya Allah yang transenden.52
Ketiga, simbol
yang muncul dalam masyarakat karena kebersamaan.53
Contohnya bendera merah putih yang
diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai simbol identias dirinya.54
Keempat, simbol bukan
hanya ada dalam tataran rasional belaka, melainkan menyapa dan menyentuh seluruh diri
manusia dan benar-benar menyentuh pengalaman hidup manusia.55
Berbeda dengan simbol, tanda dapat digolongkan dalam dua bagian, yakni tanda
alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah merupakan tanda yang terjadi secara alami,
seperti tangisan bayi karena ia lapar, anjing menggonggong karena ada tamu, asap mengepul
karena ada sesuatu yang terbakar, dan lain sebagainya.56
Sementara tanda konvensional
merupakan tanda yang dibentuk dalam masyarakat atau komunitas.57
Salah satu contohnya
48
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, 19. 49
F.W. Dillistone, The Power of Simbols, Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya, Daya Kekuatan Simbol(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2002), 21.
50 E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2013), 31. 51
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, 31. 52
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen, 32. 53
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen, 32. 54
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen, 32. 55
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen, 32. 56
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, 33. 57
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, 33.
12
adalah tanda rambu lalu lintas, ketika berwarna hijau maka pengendara boleh berjalan terus
dan warna merah berarti pengendara wajib untuk berhenti.58
2.3 Ritus
Apabila berbicara tentang ritus, maka tentu saja yang muncul pertama dalam
pemikiran kita adalah tata upacara atau perayaan keagamaan yang dilakukan di dalam
masyarakat.59
Upacara keagamaan atau ritus muncul dengan tujuan untuk memberi makna
terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.60
Namun perlu diasadari bahwa
upacara keagamaan yang dilaksanakan, tidak dilakukan oleh semua masyarakat secara
unviersal. Artinya bahwa ritus berlandaskan pada kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
yang sama dalam masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat
moral atau moral comunity.61
Ritus sebenarnya memiliki hubungan yang erat dengan mitos dan simbol. Dikatakan
demikian karena ritus hadir melalui penggunaan simbol-simbol yang berupaya menjelaskan
mitos-mitos yang ada.62
Ritus berfungsi untuk menjadi sarana pengungkapan emosi dalam
masyarakat. Artinya bahwa setiap realita yang terjadi dalam masyarakat disadari sebagai
kehendak dari Yang Ilahi. Dengan kata lain, masyarakat yang melaksanakan ritus menyadari
bahwa mereka tidak berdaya untuk melakukan apa pun di dunia ini, jika Sang Ilahi tersebut
tidak ikut campur tangan di dalamnya.63
Oleh karenanya, ritus mengarahkan masyarakat
untuk melakukan hal-hal yang sakral, kudus, dan ilahi.64
Dalam memahami tentang ritus, setidaknya ada tiga fase yang akan terjadi dalam
masyarakat. Pertama, fase pemisahan. Fase ini merupakan sikap simbolik yang menandakan
pertahanan diri seseorang atau kelompok dari sebuah nilai yang terbentuk dalam struktur
sosial, dari situasi budaya yang ada.65
Kedua, liminalitas. Fase ini merupakan karakteristik
subjek ritual yang ambigu. Individu yang berada pada fase ini diperhadapkan dengan
58
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, 33.
59Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya ngadha dalam perbandingan dengan ekaristi,
(Yogyakarta : Ledalero 2009), 48. 60
Iwayan Sudharma, Imade Sumarja, I Putu Putra Kusuma Yudha, Penti Weki Peso Bea Reca Rangga Walin Tahun di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, ( Yogyakarta : Penerbit Ombak 2013), 54.
61 Iwayan Sudharma, Imade Sumarja, I Putu Putra Kusuma Yudha, Penti Weki, 54.
62 Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya, 48.
63 Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya, 48.
64 Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya, 49.
65 Victor W. Turner, The Ritual Process, (Harmondsworth : Penguin Books 1969), 80.
13
kebudayaan yang sama sekali tidak memiliki atribut masa lalu dan masa depan.66
Ketiga,
pengumpulan kembali. Pada fase ini subjek ritual yang dilaksanakan berada dalam kondisi
stabil, dan individu-individu yang melakukan ritual memiliki hak serta kewajiban satu sama
lain, yaitu bersikap sesuai dengan norma dan standar etis yang ada dalam masyarakat.67
Dari ketiga penjelasan di atas, fase yang penting untuk diperhatikan adalah fase kedua
yakni fase liminalitas. Dikatakan demikian karena liminalitas adalah sikap seseorang yang
patuh secara pasif. Mereka harus menerima perintah, menerima hukuman, menerima aturan-
aturan tanpa bisa protes.68
Adanya tuntutan untuk patuh dan taat pada segala peraturan yang
ditetapkan dalam masyarakat, maka masyarakat dituntut untuk wajib hadir secara bersama-
sama untuk melaksanakan ritus kepada yang ilahi. Apabila masyarakat tidak taat untuk
melaksanakan ritus, maka hal itu akan membawa malapetaka bagi dirinya sendiri. Salah satu
contohnya adalah ketika seseorang sedang hamil, maka orang tersebut wajib untuk
melaksanakan ritus-ritus yang telah ditetapkan, sehingga bayi yang dalam kandungan dapat
terhindar dari malapetaka yang disebabkan oleh murka mahkluk halus dan arwah para
leluhur.69
2.4 Identitas Sosial
Identitas dapat dipahami sebagai sebuah upaya bagi beberapa atau pun sekelompok
individu untuk menunjukkan keberadaanya di tengah masyarakat.70
Di zaman sekarang ini,
tentu jelas bahwa ada banyak kelompok-kelompok yang berupaya untuk menunjukkan
identitas mereka. Contohnya para pembela perempuan, masyarakat adat, pembela kaum gay,
dan lain sebagainya.71
Oleh karenanya, menurut pemahaman penulis, identitas sosial dapat
dipahami sebagai sebuah upaya beberapa atau sekelompok individu yang hadir dalam
masyarakat, untuk menunjukkan atau memperjuangkan hal-hal tertentu.
Munculnya identitas terhadap individu selalu dipengaruhi oleh komunitas sosial di
mana individu tersebut berada. Dikatakan demikian karena lokasi sosial individu meliputi
66
Victor W. Turner, The Ritual, 80. 67
Victor W. Turner, The Ritual, 80. 68
Victor W. Turner, The Ritual ,81. 69
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 133.
70 Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial gereja suku dalam masyarakat sipil (Yogyakarta : LkiS,
2004), 5. 71
Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial, 5.
14
keberadaan dari indvidu (being) maupun perbuatan dari individu (conduct).72
Melalui hal
tersebut, identitas sosial tidak muncul begitu saja atau terjadi secara alami, melainkan
identitas terbentuk berdasarkan pengakuan masyarakat terhadap individu.73
Pembentukan identitas sosial individu nampaknya penting untuk diperhatikan secara
khusus. Dikatakan demikian karena setiap tindakan yang dilakukan terhadap individu sejak
individu tersebut lahir, akan berpengaruh pada tindakannya dalam komunitas sosial. Misalnya
seorang anak yang tidak diberikan belas kasihan, akan membentuk identitas anak itu menjadi
individu yang tidak memiliki sifat-sifat manusiawi.74
Sebaliknya, seorang anak yang
diberikan rasa hormat, akan berupaya dan berjuang untuk menghormati dirinya sendiri dan
orang lain di sekitarnya.75
Selain pembentukan identitas individu, hal penting yang juga perlu untuk dipahami
adalah pemberian identitas sosial terhadap individu.76
Pemberian identitas yang melekat pada
diri individu akan diupayakan untuk tetap dipertahankan untuk memperoleh pengakuan dari
masyarakat. Dikatakan demikian karena selagi masyarakat mengakui akan identitas sosial
yang ada pada individu, maka identitas individu itu akan tetap ada.77
Sebaliknya, jika
identitas sosial itu tidak lagi mendapat pengakuan dari masyarakat, maka identitas itu secara
otomatis juga akan hilang.78
Salah satu contohnya individu yang awalnya dalam masyarakat
dianggap sebagai orang yang baik, namun pada kenyataannya individu tersebut menjadi
narapidana. Identitas yang melekat pada individu tersebut bukan lagi identitasnya sebagai
individu yang baik, melainkan identitas yang melekat adalah individu tersebut merupakan
mantan narapidana.79
Oleh karenanya, individu tersebut harus berjuang untuk mendapatkan
kembali identitasnya sebagai orang yang baik, walaupun harus diakui bahwa hal itu bukanlah
perkara yang mudah untuk dilakukan.
Individu dalam upayanya untuk menjalin hubungan dengan masyarakat, tentu saja
harus berjuang untuk membangun solidaritas dalam masyarakat. Menurut pemahaman
durkheim, ada dua asas solidaritas yang muncul dalam masyarakat yaitu tipe mekanis dan
72
Peter L. Berger, Invitation to Sociology, A Humanistic Perspective, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, Humanisme Sosiologi, (Jakarta : Inti Sarana Aksara, 1985), 132.
73 Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 140.
74 Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 140-141.
75Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 141.
76Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 141.
77 Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 141.
78Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 141.
79 Peter L. Berger, Invitation to Sociology, 141-142.
15
organis.80
Durkheim memunculkan pemikiran ini, sebab ia mengkritik pandangan Hobbes
yang memahami bahwa masyarakat muncul secara tidak alami, melainkan masyarakat
muncul dengan adanya keinginan untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri.81
Menurut Hobbes, karena keinginan untuk mencapai kepentingan pribadi itu tidak dapat
dicapai dengan menggunakan kekerasan karena adanya berbagai peraturan, maka individu
terpaksa untuk mengikuti konstruksi sosial yang dibangun dalam masyarakat.82
Ada pun maksud dari tipe mekanis menurut Durkheim adalah tipe masyarakat yang
didominasi oleh keserupaan. Artinya bahwa individu-individu yang ada dalam masyarakat
menjalani pengalaman-pengalaman hidup yang serupa, memiliki keterampilan-keterampilan
dan kemampuan-kemampuan yang serupa, serta mengembangkan pemikiran-pemikiran dan
sikap-sikap yang sama.83
Masyarakat yang tergolong dalam tipe ini menurut Durkheim
adalah masyarakat tradisional.84
Berbanding terbalik dengan tipe mekanis, tipe organis justru
menekankan tentang perbedaan-perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggota
masyarakat.85
Melalaui hal tersebut, dapat dipahami bahwa tipe mekanik merupakan identitas
apa adanya dalam masyarakat tradisional, sementara identitas organik berkaitan dengan
pembagian kerja dalam masyarakat moderen.
Selain adanya sikap saling membutuhkan dalam masyarakat, identitas kelompok juga
muncul karena adanya kesadaran bersama untuk tetap mempertahankan nilai-nilai
kebudayaan dalam masyarakat.86
Upaya untuk membangun kesadaran bersama tersebut lalu
kemudian dilaksanakan melalui ritus.87
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ritus
menjadikan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi identitas sosial dalam suatu masyarakat
tetap dipertahankan.88
Bagian III : Penelitian
3.1 Gambaran Singkat Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo
Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo berada di wilayah paling barat kabupaten Tana
Toraja. Lebih tepatnya berada di Kecamatan Simbuang, Kelurahan Sima. Jarak kota
80
Peter Worsley, Introducing Sosiology, diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo, Pengantar Sosiologi : Sebuah Pembanding Jilid 2, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1992), 229.
81Peter Worsley, Introducing, 226.
82Peter Worsley, Introducing, 226-228.
83Peter Worsley, Introducing, 229.
84Peter Worsley, Introducing, 229.
85 Peter Worsley, Introducing,230.
86Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya, 57.
87 Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya,48.
88Christologus Dhogo, Su’i Uwi : ritus budaya, 49.
16
kabupaten (Makale) ke Simbuang kurang lebih 90 KM. Perjalanan ke sana dapat ditempuh
dengan menggunakan kendaraan bermotor selama 4-6 jam.
Jumlah Kepala Keluarga Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo adalah 40 KK.89
Di jemaat
lebo-lebo jumlah Pegawai Negeri Sipil dua orang serta tenaga honorer dua orang. Sisanya
berprofesi sebagai petani
Gambaran singkat tentang Jemaat Lebo-Lebo di atas, kiranya mampu memberikan
gambaran bahwa jemaat tersebut berada di desa. Oleh karenanya tradisi-tradisi dari nenek
moyang mereka tentunya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan, walaupun
mereka sudah menganut kepercayaan kristen.
3.2 Pembagian Makanan Berupa Daging Babi
Orang Toraja terlebih khusus masyarakat Simbuang merupakan bangsa yang hidup
dalam ikatan kekeluargaan yang tinggi dan merasakan bahwa dirinya berada di tengah kuasa-
kuasa yang lain. Oleh karenanya, dalam upaya untuk membangun relasi dengan sesama dan
juga kuasa-kuasa lain maka leluhur orang Toraja telah mengembangkan tradisi-tradisi ritual
dalam dua siklus, yakni siklus kehidupan dan siklus pertanian. Dalam pembahasan ini penulis
tidak akan membahas kedua siklus tersebut, melainkan penulis akan fokus kepada siklus
kehidupan.
Masyarakat Simbuang terlebih khusus agama Aluk Todolo mengenal tiga macam
siklus kehidupan yaitu Aluk Bati’ (kelahiran anak), Aluk Banua (pembangunan rumah baru),
dan Bammayang/ Tananan Dapo’ (Rumah tangga baru/ pernikahan).90
Dalam ketiga siklus
inilah pembagian makanan berupa daging babi itu dilakukan.
Pelaksanaan ketiga siklus ini dikenal dalam kekristenan sebagai ucapan syukur
kepada Tuhan. Padahal dalam masyarakat Tana Toraja, terlebih khususnya Simbuang, ritus-
ritus tersebut maknanya bukanlah pengucapan syukur. Ada pun makna dari ritus-ritus
tersebut adalah pertama, melestrarikan strata sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata
lain untuk mengetahui di mana letak posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat.
Kedua, dalam masyarakat Simbuang ritus dibuat untuk memperkuat solidaritas. Ketiga,
sebagai ungkapan terimakasih kepada Dewa atau Dewata sebab atas perkenaanNyalah
sehingga seorang anak bisa lahir, rumah baru boleh selesai dibangun, dan rumah tangga baru
dapat terebentuk.
89
Wawancara yang dilakukan kepada Pendeta Jemaat. 90
Wawancara yang dilakukan kepada Tokoh Masyarakat Di Simbuang.
17
Keempat, sebagai bentuk permohonan kepada Dewa atau Dewata agar Ia mampu
memberkati anak yang baru lahir dalam pertumbuhannya, memberkati rumah baru sehingga
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan (kebakaran, kemalingan dan hal buruk lainnya),
memberkati keluarga baru sehingga mereka tetap hidup sebagai keluarga yang harmonis.
Adanya keinginan masyarakat Simbuang untuk tetap melaksanakan ritus-ritus
tersebut, maka orang kristen memikirkan jalan keluar. Tujuan untuk mencari jalan keluar ini
adalah agar pelaksanaan ritus-ritus tersebut tidak bertentangan dengan iman kristen. Jalan
keluar tersebut diupayakan untuk melakukan transformasi dari makna yang ada dalam adat
menjadi sebuah pengucapan syukur.91
Pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya untuk melakukan transformasi tersebut
berhasil. Untuk menjawab hal tersebut maka mari kita melihat hasil penelitian yang penulis
lakukan di Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang.
Cara Menentukan Pembagian Makanan
Sebelum penulis menjelaskan tentang pembagian makanan berupa daging babi, tentu
akan muncul pertanyaan mengapa hewan yang digunakan dalam pengucapan syukur adalah
babi? Apakah tidak bisa menggunakan hewan yang lain? Menjawab pertanyaan ini, perlu
diketahui bahwa pada masa yang lalu sebenarnya orang masih bisa menggunakan ayam.
Orang yang menggunakan ayam adalah orang yang tidak berada, atau memiliki strata sosial
yang rendah dalam masyarakat. Bahkan dalam pernikahan pun ada yang hanya menggunakan
ayam.92
Namun seiring dengan perkembangan yang ada di Simbuang, tidak ada lagi yang
menggunakan ayam dalam melaksanakan pengucapan syukur. Alasannya tentu saja jelas,
yakni merasa malu terhadap orang yang diundang untuk hadir dalam pengucapan syukur.
Selain penjelasan di atas, orang Simbuang juga mengenal istilah “kamu tunui kami
kandei, aku tunui kamu kandei”.93
Secara harafiah kalimat ini berarti “anda yang membakar
kami yang makan, saya membakar anda yang makan” Istilah ini ingin memberikan gambaran
bahwa pembagian makanan berupa daging babi menjadi wadah bagi mereka untuk saling
mendukung satu dengan yang lain. Ketika ada orang yang melaksanakan pengucapan syukur,
maka orang lain akan datang bersama-sama dalam pengucapan syukur untuk bersukacita
91
Wawancara yang dilakukan kepada Tokoh Kristen yang mengubah ritual dari Aluk Todolo, menjadi pengucapan syukur. 92
Wawancara dengan Tokoh adat dan Tokoh Kristen di Simbuang 93
Wawancara dengan Tokoh adat Simbuang dan Tokoh Kristen
18
bersama-sama, sebaliknya ketika orang yang diundang pun nantinya melaksanakan
pengucapan syukur maka orang yang melaksanakan pengucapan syukur pun wajib hadir.
Setelah menjelaskan tentang alasan mengapa yang harus digunakan adalah daging
babi, maka penulis akan menjelaskan cara menentukan pembagian makanan berupa daging
babi yang dilakukan oleh masyarakat Simbuang, terlebih khususnya Jemaat Lebo-Lebo.
Ucapan syukur yang dilakukan oleh anggota jemaat terlebih khususnya dalam
pembagian daging babi, ditentukan berdasarkan posisi atau kedudukan seseorang dalam
gereja, dan juga dalam masyarakat. Panitia yang ditunjuk untuk melakukan pembagian
daging babi, sebelumnya akan memantau siapa-siapa saja yang hadir dalam ibadah
pengucapan syukur.94
Selanjutnya panitia akan memotong daging babi berdasarkan posisi seseorang dalam
gereja atau pun dalam masyarakat. Setelah daging babi itu selesai dipotong, maka pada waktu
acara makan sudah tiba, panitia yang ditunjuk akan menunjuk beberapa orang untuk
membagi potongan daging babi tersebut.95
Jenis-Jenis Potongan Daging Babi
Ada pun jenis potongan dalam pembagian makanan berupa daging babi terdiri atas 9
macam yaitu Buku Siruk, Buku Lappa, Longa-Longa, Buku Piak, Pattunu, Buku Lengo,
Urang-Urang, Patta’takan (potongan untuk masyarakat umum), dan tawa pea (potongan
daging babi untuk anak-anak).96
Potongan daging babi yang paling tertinggi adalah buku
siruk, lalu kemudian diikuti dengan buku lappa, lalu potongan yang ketiga adalah Longa-
Longa. Selanjutnya Buku Piak, Pattunu, Buku Lengo, Urang-Urang, memiliki posisi yang
sejajar. Potongan berikutnya adalah Patta’takan (potongan untuk masyarakat umum), dan
terakhir tawa pea (potongan daging babi untuk anak-anak).
Kesembilan macam potongan daging babi di atas hanya dapat diperoleh dalam acara
perkawinan. Potongan daging babi yang pertama sampai ketiga (Buku Siruk, Buku Lappa,
Longa-Longa), diberikan kepada orang yang dihargai di dalam masyarakat, termasuk di
dalamnya Pendeta dan Majelis Jemaat. Sementara keempat potongan lainnya (Buku Piak,
Pattunu, Buku Lengo, Urang-Urang) diberikan kepada orang yang memimpin proses lamaran
(dari kaum laki-laki dan perempuan) dan kepada orang tua dari kedua mempelai.
94
Wawancara yang dilakukan dengan panitia yang ditunjuk dalam pengucapan syukur yang dilakukan oleh salah seorang anggota jemaat 95
Pengamatan penulis pada waktu pelaksanaan pengucapan syukur dilakukan. 96
Wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat di Simbuang
19
Melalui hal tersebut, potongan daging babi dalam acara pengucapan syukur lainnya
seperti kelahiran bayi, pembangunan rumah baru, dan beberapa jenis pengucapan syukur
lainnya hanya mengenal 5 macam jenis potongan yakni Buku Siruk (jenis potongan untuk
kelas sosial tertinggi atau orang baru yang disambut dalam masyarakat), Buku Lappa, Longa-
Longa, Patta’takan (potongan untuk masyarakat umum), dan tawa pea (potongan untuk
anak-anak).97
Masyarakat simbuang, terlebih khususnya warga gereja jemaat lebo-lebo masih tetap
mempertahankan pembagian daging babi berdasarkan posisi atau kedudukan seseorang dalam
gereja atau pun dalam masyarakat karena adanya penghargaan yang diberikan kepada
mereka.98
Ada pun status sosial yang berhak untuk memperoleh potongan daging babi yang
besar adalah Pendeta, Majelis Jemaat, Tokoh-Tokoh Masyarakat. Selain itu, seseorang yang
dianggap tamu akan memperoleh potongan yang tertinggi dari semua golongan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah istri dari pendeta jemaat lebo-lebo yang baru pertama kali hadir
di Simbuang. Pada waktu jemaat lebo-lebo melaksanakan pengucapan syukur, maka
potongan tertinggi dari daging babi yakni buku siruk diberikan kepada istri pendeta tersebut.
Lain halnya dengan seseorang yang tidak mempunyai kedudukan dalam gereja maupun
masyarakat, mereka tidak berhak untuk mendapatkan potongan-potongan yang besar seperti
buku siruk, buku lappa, dan longa-longa. Ada pun potongan daging babi bagi masyarakat
atau warga jemaat tersebut adalah pa’tattakan.
Keuntungan Mempertahankan Pembagian Makanan
Masyarakat Simbuang tetap berupaya untuk mempertahankan ritual pembagian
makanan tentu disebabkan karena ada keuntungan yang diperoleh dari pembagian makanan
tersebut. Ada pun keuntungan yang diperoleh adalah masyarakat akan memperoleh
penghargaan dari masyarakat karena tetap mempertahankan tradisi.99
Masyarakat Simbuang
perlu memahami bahwa ada kebiasaan dalam masyarakat yang perlu untuk dilakukan secara
bersama-sama, atau yang masyarakat Simbuang kenal sebagai Ada’.100
Salah satu kebiasaan
tersebut adalah Ada’ Rambu Tuka’ atau pengucapan syukur.101
97
Wawancara dengan tokoh masyarakat di Simbuang. 98
Wawancara dengan tokoh masyarakat di Simbuang, pendapat mayoritas anggota jemaat yang menjadi narasumber 99
Wawancara dengan tokoh masyarakat dan sejalas dengan pendapat majelis jemaat. 100
Wawancara dengan tokoh masyarakat Simbuang, sekaligus tokoh kristen 101
Wawancara dengan tokoh masyarakat Simbuang.
20
Apabila masyarakat, terlebih khususnya anggota gereja tidak melakukan potongan
daging babi secara berbeda-beda pada waktu pengucapan syukur maka orang tersebut akan
dikucilkan dalam masyarakat. Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah pendeta keminjil
yang menolak untuk melayani jemaatnya jika melakukan pembagian makanan berupa daging
babi dengan potongan yang berbeda-beda. Pada akhirnya pendeta tersebut mendapatkan
teguran dari masyarakat setempat dan gereja tersebut dikucilkan dalam masyarakat.102
3.3 Tanggapan Majelis Jemaat dan Warga Jemaat
Pertama, tanggapan Majelis Jemaat Lebo-Lebo. Menurut Majelis Jemaat, pembagian
makanan berupa potongan daging babi yang berbeda-beda adalah hal yang tidak bisa diubah.
Dikatakan demikian karena Jemaat Lebo-Lebo adalah bagian dari adat Simbuang yang
tentunya terikat dengan adat Simbuang. Apabila mereka menentang adat maka mereka akan
berhadapan dengan masyarakat yang ada di Simbuang.103
Dengan adanya penjelesan dari Majelis Jemaat di atas, maka hal menarik yang
muncul adalah ketika penulis bertanya kepada para Majelis Jemaat mengenai pendapat
mereka tentang kasih. Penjelasan yang panjang lebar dari Majelis Jemaat tersebut pada
intinya ingin menyampaikan bahwa kita harus saling mengasihi seperti yang diajarkan Yesus
kepada kita.
Namun, ketika saya mengembalikan pertanyaan ke topik awal yakni bagaimana
tanggapan mereka tentang pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda jika
dibandingkan dengan kasih? Majelis secara umum tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut
dan hanya mengatakan bahwa itulah yang menjadi tantangan kita gereja Toraja.
Kedua, tanggapan warga jemaat. Dalam wawancara dengan warga jemaat (10 laki-
laki dan 10 perempuan dengan usia 30 tahun ke atas), penulis dapat menggambarkan bahwa
jemaat dalam keadaan dilema dalam menanggapi pembagian makanan tersebut. Di satu sisi
pembagian makanan dengan potongan yang berbeda-beda merupakan penghargaan yang
diberikan kepada orang-orang yang dihargai dalam masyarakat (termasuk di dalamnya
Pendeta dan Majelis Jemaat). Namun di sisi lain, jemaat beranggapan bahwa pembagian
makanan dengan potongan yang berbeda adalah tindakan yang tidak adil. Terlebih lagi hal itu
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Yesus yaitu saing mengasihi satu dengan yang
lain.
102
Cerita dari tokoh masyarakat di Simbuang. 103
Wawancara Dengan Majelis Jemaat
21
Pertanyaan yang penulis lontarkan rupanya menjadi dilematis bagi jemaat sehingga
mereka kebingungan. Di satu sisi jemaat tidak mungkin meninggalkan adat, dan di sisi lain
rupanya mereka memiliki pemahaman bahwa pembagian makanan yang selama ini
diterapkan dalam ibadah pengucapan syukur, rupanya bertentangan dengan apa yang
diajarkan oleh Yesus Kristus.
Bagian IV : Makna dan Manfaat Pembagian Daging Babi
4.1 Makna Pembagian Daging Babi
Pembagian daging babi dengan potongan berbeda-beda yang dilakukan oleh
Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo menurut pemahaman penulis memiliki dua makna yang
penting, yakni penghargaan dan pengucapan syukur.
Penghargaan.
Stratifikasi sosial yang dipahami sebagai penggolongan masyarakat ke dalam tingkat
yang berbeda-beda,104
dapat terlihat secara jelas di dalam pembagian makanan berupa
daging babi yang dilakukan oleh Jemaat Lebo-Lebo.105
Namun sebelumnya, penulis akan
menyebutkan lapisan atau struktur sosial yang dikenal oleh masyarakat Toraja. Ada pun
lapisan tersebut adalah pertama, Tanak Bulaan. Lapisan ini merupakan lapisan sosial
golongan bangsawan tertinggi.106
Kedua, Tanak Bassi. Bagian kedua ini merupakan
lapisan sosial bagi masyarakat yang tergolong ke dalam bangsawan menengah.107
Ketiga,
Tanak Karurung. Orang-orang yang ada di lapisan ini adalah orang-orang yang tergolong
ke dalam masyarakat biasa.108
Keempat, Tanak Kua-Kua. Orang-orang yang terdapat
dalam lapisan ini adalah para hamba atau suruhan.109
Pembagian potongan daging babi yang dilakukan oleh Jemaat Lebo-Lebo,
tidak lagi berdasarkan keempat lapisan sosial yang dijelaskan di atas. Pembagian daging
babi dibagi berdasarkan posisi atau kedudukan seseorang di dalam masyararakat dan di
dalam gereja, seperti Camat, Lurah, Kepala Lembang, tokoh masyarakat, Pendeta dan
Majelis Jemaat.
104
Lihat Bagian dua halaman 8. 105
Lihat bagian 3, halaman 19-20 106
L.T. Tangdilintin, Tongkonan (Rumah Adat Toraja) : Arsitektur dan ragam hias Toraja, (Toraja : Yayasan Lepongan Bulan 1985), 17-18. 107
L.T. Tangdilintin, Tongkonan (Rumah Adat Toraja), 17-18. 108
L.T. Tangdilintin, Tongkonan (Rumah Adat Toraja), 17-18. 109
L.T. Tangdilintin, Tongkonan (Rumah Adat Toraja), 17-18.
22
Dengan adanya peristiwa tersebut, maka penulis menemukan beberapa hal
menarik.
Pertama, perubahan status sosial dari tradisional ke moderen. Pembagian daging
babi yang tidak lagi dibagi berdasarkan lapisan sosial yang dikenal oleh masyarakat
Toraja, menunjukkan bahwa perubahan itu dimungkinkan untuk terjadi. Namun yang
menjadi pertanyaan adalah jika lapisan sosial itu dapat berubah, lalu mengapa potongan
daging babi yang berbeda-beda itu tidak dapat berubah. Penyebab yang paling mungkin
dari realita tersebut adalah karena perubahan lapisan sosial dari tradisional ke moderen
tidak merusak atau mengganggu kenyamanan masyarakat. Sebaliknya menghilangkan
atau mengubah potongan daging yang berbeda-beda dianggap mengganggu kenyamanan
dalam masyarakat atau bertentangan dengat ada’ (kebiasaan dalam masyarakat).
Kedua,di dalam kehidupan sosial, seseorang bisa mendapat penghargaan yang tinggi
di satu dimensi, namun di dimensi lainnya seseorang bisa mendapat penghargaan yang
rendah.110
Hal ini dapat terlihat di Jemaat Lebo-Lebo. Perlu diketahui bahwa mayoritas
Majelis Jemaat Lebo-Lebo berprofesi sebagai petani. Apabila Majelis Jemaat tersebut
mengikuti ibadah pengucapan syukur yang dilaksanakan oleh Jemaat Lebo-Lebo, maka
mereka akan mendapatkan potongan yang besar dibandingkan dengan anggota jemaat
lainnya.111
Sebaliknya, jika Majelis Jemaat yang berprofesi sebagai petani tersebut
mengikuti ibadah pengucapan syukur yang dilaksanakan oleh jemaat lain, maka ia akan
mendapatkan potongan yang sama dengan masyarakat biasa.
Ketiga, Dalam bagian dua dijelaskan bahwa simbol dapat dipahami sebagai
ciri atau tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang.112
Potongan daging babi
yang diberikan kepada individu yang memiliki posisi atau kedudukan di dalam
masyarakat dan di dalam gereja adalah sebuah simbol. Ada pun makna dari simbol
tersebut adalah sebagai bentuk penghargaan kepada mereka. Dengan kata lain dapat
dipahami bahwa pemberian daging babi dengan potongan yang berbeda sama sekali
tidak berniat untuk menerapkan adanya ketidakadilan di dalam masyarkat. Potongan
daging babi yang berbeda justru merupakan simbol bahwa ada orang-orang yang perlu
untuk dihargai di dalam masyarakat. Oleh karenanya mereka harus mendapatkan sesuatu
yang berbeda dari masyarakat biasa.
110
Lihat bagian dua halaman 9. 111
Lihat bagian 3, halaman 19-20. 112
Lihat bagian dua , halaman 11.
23
Pengucapan Syukur
Pada penjelasan awal di bagian tiga secara jelas dipaparkan bahwa pembagian
makanan berupa daging babi dengan potongan yang berbeda-beda merupakan tradisi
Aluk Todolo.113
Adanya keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi pembagian
potongan daging babi yang berbeda-beda, maka tokoh kristen di Simbuang melakukan
transformasi. Namun yang menjadi perhatian adalah pelaksanaan yang dilakukan oleh
orang kristen di Simbuang, terlebih khusus jemaat Lebo-Lebo, rupanya tidak jauh
berbeda. Potongan daging babi yang berbeda-beda rupanya bertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh kekristenan. Hal ini dapat terlihat ketika penulis melakukan
wawancara dengan 20 anggota jemaat beserta Pendeta dan Majelis Jemaat. Dalam
wawancara tersebut, ketika penulis bertanya tentang kasih maka pada intinya mereka
mengatakan bahwa kasih adalah mengasihi sesama seperti yang diajarkan oleh Tuhan
Yesus. Namun, ketika saya mengembalikan pertanyaan ke topik awal bagaimana
tanggapan mereka tentang pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda,
maka mereka tidak bisa menjawab.114
Keadaan dilematis yang dialami oleh jemaat yakni di satu sisi mempertahankan tradisi
dari nenek moyang, sementara di sisi lain potongan daging babi yang berbeda-beda
rupanya tidak menerapkan kasih secara merata menjadi pergumulan yang serius bagi
jemaat Lebo-Lebo.
Melalui realita di atas, penulis dapat memahami bahwa mengubah atau
menghilangkan tradisi pembagian makanan berupa daging babi dengan potongan yang
berbeda-beda adalah hal yang tidak dapat dilakukan. Dikatakan demikian karena ketika
jemaat Lebo-Lebo menghilangkan hal tersebut, maka ia akan dikucilkan di dalam
masyarakat.
Hal yang dapat dilakukan oleh jemaat menurut pemahaman penulis adalah mengubah
pemahaman terhadap orang-orang yang menerima potongan babi yang tinggi. Artinya
bahwa di dalam pembagian potongan daging babi tersebut tidak ada istilah kelas rendah
atau pun kelas tinggi. Orang-orang yang mendapat potongan daging babi yang besar
dipahami sebagai orang-orang yang ditunjuk oleh Tuhan. Apabila orang tersebut adalah
Pendeta dan Majelis Jemaat, maka mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Tuhan
untuk menyebarluaskan FirmanNya. Oleh karenanya mereka harus dikasihi, dengan cara
memberikan penghargaan kepadanya. Selanjutnya, apabila orang tersebut adalah
113
Lihat bagian 3, halaman 17-18. 114
Lihat bagian 3, halaman 21-22
24
pemerintah dan tokoh-tokoh masayarakat, maka mereka adalah orang yang ditunjuk oleh
Tuhan untuk mensejahterakan rakyat, menjaga keamanan, serta memperjuangkan
berbagai hal-hal positif dalam masyarakat. Melalui hal tersebut, mereka pun wajib
memperoleh penghargaan dari masyarakat.
4.2 Manfaat Pembagian Daging Babi
Pembagian daging babi yang dilakukan oleh masyarakat Simbuang, terlebih khusus
Jemaat Lebo-Lebo merupakan upaya untuk mempertahankan tradisi dari para pendahulu.
Dalam upaya untuk menjelaskan manfaat pembagian daging babi, maka penulis akan
menjelaskan dalam tiga bagian yakni Simbol, Ritus, dan Identitas Sosial.
Simbol
Upaya untuk mempertahankan tradisi pembagian makanan berupa daging babi
dengan potongan yang berbeda-beda, merupakan simbol yang menunjukkan identitas
masyarakat Simbuang.115
Oleh karenanya, ketika ada masyarkat Simbuang yang
berupaya untuk menghilangkan tradisi tersebut, maka ia akan dikucilkan di dalam
masyarakat, sebab individu tersebut telah menghina apa yang menjadi identitas mereka.
Dengan adanya penjelasan di atas, maka jelas bahwa pembagian makanan berupa
potongan daging babi yang berbeda-beda tidak hanya sekedar menjadi ciri atau tanda,
melainkan benar-benar menjadi simbol bagi masyarakat Simbuang.116
Simbol tersebut
merupakan simbol yang diwariskan oleh para pendahulu masyarakat Simbuang.
Walaupun harus disadari bahwa hal tersebut telah ditransformasi menjadi pengucapan
syukur oleh orang-orang Kristen.117
Ritus
Pelaksanaan pengucapan syukur yang di dalamnya terdapat pembagian
makanan berupa daging babi dengan potongan yang berbeda-beda dapat dipahami
sebagai ritus. Dikatakan demikian karena ritus merupakan tata upacara atau perayaan
keagamaan yang dilakukan di dalam masyarakat.118
Ritus muncul dengan tujuan untuk memberi makna terhadap peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.119
Namun perlu diingat bahwa ritus tersebut
tidak dilaksanakan oleh masyarakat secara universal. Apabila membandingkan
115
Bandingkan bagian 2, halaman 12. 116
Bandingkan bagian 2, halaman 11-12. 117
Lihat bagian 3 halaman 18. 118
Lihat bagian dua halaman 13. 119
Lihat bagian dua halaman 13.
25
penjelasan tersebut dengan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Simbuang, terlebih
khusus jemaat Lebo-Lebo, maka hal tersebut dapat dibenarkan. Dikatakan demikian
karena ritual pembagian makanan berupa daging babi dengan potongan yang berbeda-
beda, sepengetahuan penulis hanya dilaksanakan oleh masyarakat Simbuang.
Apabila telah dipahami bahwa ritual pembagian makanan berupa potongan
daging babi yang berbeda-beda hanya dilaksanakan oleh masyarakat Simbuang, maka
upaya untuk mempertahankan tradisi ini perlu untuk dilakukan. Apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka ciri kahs orang Simbuang akan hilang dan bahkan salah satu ciri
khas di Tana Toraja pun akan hilang.
Upaya untuk mempertahankan ritual pembagian makanan berupa daging babi
dengan potongan yang berbeda-beda, telah dilakukan oleh masyarakat kristen di
Simbuang. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan transformasi terhadap ritual-ritual
yang dilakukan oleh para pendahulu ke dalam kekristenan, dengan mengubah menjadi
pengucapan syukur kepada Tuhan.
Identitas Sosial
Pada bagian dua dijelaskan bahwa Identitas dapat dipahami sebagai sebuah upaya
bagi beberapa atau pun sekelompok individu untuk menunjukkan keberadaanya di tengah
masyarakat.120
Oleh karenanya, pembagian makanan berupa daging babi dengan
potongan yang berbeda-beda yang dilakukan oleh masyarakat Simbuang merupakan
sebuah identitas.
Dalam upaya untuk menjelaskan identitas masyarakat Simbuang, terlebih khusus
Jemaat Lebo-Lebo, maka penulis akan membagi ke dalam dua bagian. Pertama, identitas
individu. Adanya pengakuan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap individu
menyebabkan identitas dari individu tersebut terbentuk.121
Jika demikian, maka individu
yang mendapat potongan daging babi dari yang besar sampai kecil di dalam masyarakat
merupakan identitas yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka. Individu yang
mendapat potongan daging babi yang besar identitasnya terbentuk menjadi individu yang
dihargai dalam masyarakat. Sebaliknya, individu yang mendapatkan potongan kecil atau
patta’takan122
identitasnya terbentuk menjadi individu biasa di dalam masyarakat.
120
Lihat bagian dua halaman 14. 121
Lihat bagian dua halaman 15. 122
Lihat bagian tiga halaman 19.
26
Kedua, identitas kelompok. Salah satu hal penting dari identitas kelompok
adalah adanya sikap saling membutuhkan di dalam masyarkat.123
Apabila
membandingkan hal ini dengan ritual pembagian makanan berupa daging babi yang
dilakukan oleh masyarkat Simbuang, terlebih khusus jemaat Lebo-Lebo maka hal
tersebut dapat terlihat.
Dalam acara pengucapan syukur, masyarkat Simbuang, terlebih khusus Jemaat
Lebo-Lebo, mereka mempersiapkan konsumsi tentu saja tidak memesan seperti yang
dilakukan oleh masyarakat kota. Berdasarkan pengamatan penulis, warga jemaat dan
masyarakat yang ada di sekitar, hadir untuk membantu keluarga mempersiapkan
konsumsi yang akan digunakan dalam ibadah pengucapan syukur. Melalui peristiwa ini
terlihat secara jelas bahawa ada sikap yang saling membutuhkan diantara mereka.
Selain sikap saling membutuhkan di dalam masyarakat Simbuang, terlebih khusus
Jemaat Lebo-Lebo, identitas kelompok juga muncul dengan tujuan untuk
mempertahankan nilai-nilai kebudayaan di dalam masyarakat.124
Hal ini dapat dilihat
melalui ritual pembagian makanan berupa daging babi dengan potongan berbeda-beda
yang masih dilaksanakan sampai saat ini.
Bagian V : Penutup
5.1 Kesimpulan
Pembagian makanan berupa daging babi dengan potongan yang berbeda-beda,
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam pengucapan syukur yang
dilakukan oleh Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang. Hal tersebut terjadi
karena Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo adalah bagian dari masayarakat Simbuang.
Dengan begitu maka Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo pun wajib melaksanakan apa
yang menjadi ada’ atau kebiasaan masyarakat Simbuang. Oleh karenanya, dalam
bagian kesimpulan ini, ada dua hal yang penulis temukan.
Pertama, pembagian daging babi dengan potongan yang berbeda-beda
dimaknai sebagai penghargaan kepada orang yang mempunyai kedudukan dalam
masyarakat dan dalam gereja. Hal ini pun mempertegas bahwa indikasi tentang adanya
ketidakadilan dalam pembagian makanan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Kedua, pembagian daging babi dengan potongan berbeda-beda yang hanya
dilakukan di masyarakat Simbuang, tentu mendorong masyarakat untuk tetap
123
Lihat bagian dua halaman 16. 124
Bandingkan bagian dua halaman 16.
27
mempertahankan tradisi tersebut. Dikatakan demikian karena pembagian daging babi
dengan potongan yang berbeda-beda adalah ciri khas dari masyarakat Simbuang,
sekaligus menjadi ciri khas dari Tana Toraja.
5.2 Saran
Pertama, kepada Fakultas. Sebutan Universitas Kristen Satya Wacana sebagai
Indonesia mini menggambarkan bahwa mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana,
termasuk di dalamnya Fakultas Teologi berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Dengan adanya realita yang demikian, maka Fakultas Teologi dapat mendorong
mahasiswanya untuk mempelajari tradisi-tradisi yang ada di daerahnya masing-masing
dengan menjadikan itu sebagai tulisan karya ilmiah.
Kedua, kepada Gereja Toraja Jemaat Lebo-Lebo, Simbuang. Apabila
memperhatikan kebiasaan masyarakat moderen dalam melaksanakan pengucapan
syukur, maka akan ditemukan bahwa pembagian makanan tidak lagi dilakukan
berdasarkan strata sosial. Tamu-tamu yang datang dihargai secara setara. Hal itu dapat
dilihat dari tamu-tamu yang datang mengambil makanan secara sendiri-sendiri di meja
makan yang telah disediakan oleh keluarga.
Dengan melihat realita masyarakat moderen tersebut, maka tentu dapat
dipahami bahwa pelaksanaan pembagian makanan yang dilaksanakan oleh masyarakat
Simbuang berbeda dengan apa yang dilaksanakan oleh masayarakat moderen. Oleh
karenanya, perbedaan tersebut harus dipertahankan karena merupakan ciri khas dari
masyarakat Simbuang dan juga Tana Toraja. Meskipun demikian, hal tersebut harus
dilakukan dengan berbagai-bagai modifikasi. Salah satunya dapat dilakukan dengan
cara memberikan makanan dengan memperhatikan status sosial, tetapi ukuran porsi
daging babi hendaknya diseterakan dengan perkembangan moderen yang mengarah
pada kesetaraan dan ajaran kristen mengenai kesetaraan. Dengan kata lain strata sosial
tetap dipertahankan, namun wujud atau bentuknya diperbaharui.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta : PT Bumi Aksara, 2002.
Berger, Peter L. Pyramid of Sacrifice. Diterjemahkan oleh A. Rahman Tolleng, Piramida
KebudayaanManusia. Nama Tempat Terbit Tidak Dicantumkan : Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982.
Berger, Peter L. Invitation to Sociology, A Humanistic Perspective. Diterjemahkan oleh
Daniel Dhakidae, Humanisme Sosiologi. Jakarta : Inti Sarana Aksara, 1985.
Bararuallo, Frans. kebudayaan Toraja, Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2010.
Daeng,Hans J. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan : Tinjauan Antropologis. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga, Jakarta : Balai
Pustaka, 2015.
Dhogo, Christologus. Su’i Uwi : ritus budaya ngadha dalam perbandingan dengan ekaristi.
Yogyakarta : Ledalero, 2009.
Dillistone, F.W. The Power of Simbols. Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Daya
Kekuatan Simbol.Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2002.
Herusatoto,Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta :Penerbit Ombak, 2008.
Kobong, Th. dkk., Aluk, Adat, dan Kebudayaan Toraja Dalam Perjumpaan Dengan Injil,
Tana Toraja : Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja.
Martasudjita, Emanuel. Liturgi : Pengantar Untuk Studi dan Praksis Liturgi. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 2011.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja : Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral .
Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2013.
Marampa’, A.T. Mengenal Toraja, Penerbit tidak dicantumkan.
Purwadi. Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2005.
Ritzer, George dan Doughlas J. Goodman. Teori Sosiologi. Bantul : Kreasi Wacana, 2011.
Sanderson, Stephen K. Makro Sosiologi : Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial.
Jakarta : RajaGrafindo Persada 2010.
Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian, Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher, 2006.
Sinaga,Martin Lukito. Identitas Poskolonial gereja suku dalam masyarakat sipil ,
Yogyakarta : LkiS, 2004.
Scott, Jhon. Sosiologi : The Key Concepts. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
29
Sinaga,Martin Lukito. Identitas Poskolonial gereja suku dalam masyarakat sipil ,
Yogyakarta : LkiS, 2004.
Soekanto, Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta : CV.
Rajawali, 1984.
Soekanto,Soerjono. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Strauss, Claude Levi. Anthropologie StructuraleI. Diterjemahkan oleh Ninik Rochani Sjams.
Antropologi Struktural. Yogyakarta :Kreasi Wacana, 2005.
Sudharma, Iwayan, Imade Sumarja dan I Putu Putra Kusuma Yudha. Penti Weki Peso Bea Reca
Rangga Walin Tahun di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta :
Penerbit Ombak, 2013.
Tangdilintin, L.T. Tongkonan (Rumah Adat Toraja) : Arsitektur dan ragam hias Toraja,
Toraja : Yayasan Lepongan Bulan, 1985.
Turner, Victor W. The Ritual Process, Harmondsworth : Penguin Books, 1969.
Weber, Max. Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Worsley, Peter. Introducing Sosiology. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo, Pengantar
Sosiologi : Sebuah Pembanding Jilid 2. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1992.