studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
TRANSCRIPT
STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG
(STUDI KASUS HUTAN DESA PATTANETEANG KAB.BANTAENG)
N A U F AL M 111 06 016
PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2011
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : STUDI LANDSKAP HUTAN DESA DALAM
MENDUKUNG FUNGSI LINDUNG (STUDI KASUS HUTAN DESA PATTANETEANG KAB.BANTAENG)
Nama : Naufal Nim : M 111 06 016 Program Studi : Manajemen Hutan
Skripsi ini Dibuat sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Program Studi Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Menyetujui,
Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP Dr. Ir. H. Anwar Umar, M.S NIP. 19700918199702 1001 Nip. 19500724198003 1002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
Ir. Budirman Bachtiar, MS NIP. 19580626 198601 1 001 Tanggal Lulus : 2011
iii
ABSTRAK
Naufal (M 111 06 016) Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung Fungsi Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kab.Bantaeng), dibawah bimbingan Supratman dan Anwar Umar
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi landskap hutan desa di Desa Pattaneteang dari faktor sosial serta melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan pengelolaan Hutan Lindung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model Landskap untuk pemanfaatan areal hutan desa dengan mempertimbangkan aspek hutan dalam mendukung fungsi lindung. Agar tercipta pengelolaan Hutan Desa secara berkelanjutan dan lestari
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 pada Hutan Desa Pattaneteang di Desa Pattaneteang Kecamatan Birengere Kabupaten Bantaeng. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk landskap Hutan Desa digunakan analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)Faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah : Keterbatasan lahan, system pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan penutupan awal sebelum warga masuk kedalam Hutan Desa. (2)Mental Model Pengelolaan lahan : a.Masyrakat yang berkebun dibawah tegakan, b. Masyarakat yang berkebun diareal kritis. (3)Penutupan Areal Hutan Desa : a.Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan ini adalah areal yang vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon rata-rata diatas 40 tahunan. Jenis vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah Albisia, galatiri, Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh. b. Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan Alam yang disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga. Pemanfaatan itu berupa menanam kopi dibawah tegakan, tanpa menebang pohon – pohon yang telah ada dalam hutan tersebut. Pada areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 tahunan. c. Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal yang tanamannya didominasi kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang digunakan sebagai pohon penaung. Kopi tersebut masih berumur >10 tahunan. Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini tumbuhan kopi rata sudah berumur 6 tahunan. (4)Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung
iv
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera…
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Studi Landskap Hutan Desa Dalam Mendukung Fungsi
Lindung (Studi Kasus Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng)”.
Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama
penyusunan skripsi ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat
terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan
penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Supratman, MP dan Bapak Dr. H. Anwar Umar,
M.S sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan
pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi
bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta
motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M. Sc, Dr.Ir. H. Usman Arsyad,
M.S, dan Gusmiaty, S.P, MP sebagai dosen penguji yang telah meluangkan
waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muh. Restu, M.Si selaku dekan Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin. Bapak Ir. Budirman Bachtiar, MS selaku Ketua
Jurusan Manajemen Hutan.
4. Bapak Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS selaku Penasehat Akademik (PA) yang
telah banyak memberi bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis
dalam menyelesaikan studi.
5. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak
terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin
Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan
v
mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, serta
kerja keras sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Kehutanan.
6. Sahabat-sahabat terbaikku: Muh.Azhrul Hidayat, Taufik, Muh.Warkah,
A.Didit Haryadi, Muh.Anshari, Haeruddin, dan Muh. Ramadhan Tefu.
Terima kasih atas segala bantuan, semangat, dan motivasinya selama ini.
Kalian selamanya akan menjadi sahabat yang terbaik. Kenangan akan
kebersamaan selama menempuh pendidikan dibangku kuliah tak akan lekang
oleh waktu, saat ini sampai selamanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Untuk
itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu
bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian.
Makassar, Desember 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Tujuan dan Kegunaan .............................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landskap ................................................................................... 5
B. Mental Model ......................................................................... 5
C. Hutan Lindung ....................................................................... 6
D. Pengelolaan Hutan Lindung .................................................... 7
E. Hutan Desa ............................................................................. 7
F. Hak Pengelolaan Hutan Desa .................................................. 8
G. Pemanfaatan Areal.................................................................. 11
H. Pengorganisasian & Kelembagaan .......................................... 11
I. Bumdes .................................................................................. 12
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ................................................................ 13
B. Alat dan Bahan ...................................................................... 13
vii
C. Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 14
1. Populasi & Sampel ............................................................. 14
2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 14
3. Jenis Data ........................................................................... 15
4. Analisis Data ...................................................................... 15
5. Konsep Oprasional ............................................................. 16
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Dan Luas ...................................................................... 18
B. Topografi Wilayah ................................................................. 19
C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah ...................................... 20
D. Kependudukan ........................................................................ 22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang ............ 23
1. Luas Areal ...................................................................... 23
2. Topografi ........................................................................ 23
3. Jenis Tanah…………… …………………………………. 25
4. Curah Hujan .................................................................... 26
5. Penutupan Lahan ............................................................. 28
6. Pemanfaatan Areal Kerja...………………………………. 32
7. Daerah Aliran Sungai ...................................................... 34
B. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Landskap ........................ 36
1. Faktor Sosial ..................................................................... 36
2. Faktor Ekonomi ............................................................... 38
Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung ........... 40
1. Fungsi Tata Air ................................................................... 40
2. Tehnik Pengendalian Erosi ................................................. 42
a. Lahan Hutan Campuran Kopi …………..………………. 42
b. Lahan Monokultur Kopi ………………………………... 44
viii
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 50
B. Saran ........................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 52
LAMPIRAN.............................................................................................. 54
ix
DAFTAR GAMBAR
No Teks
Halaman
1. Peta Administrasi Desa Pattanenteang………………….………. 19
2. Peta Klas Lereng Desa Pattaneteang…………………………….. 24
3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang.............................................. 27 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel................................................... 30 5. Profil Desa Pattaneteang................................................................. 30 6. Profil Desa Pattanetang................................................................... 31 7. Batas Sub Das Salo Maesa.............................................................. 35 8. Skema Rorak................................................................................... 44 9. Tanaman Penutup Tanah................................................................. 46 10. Penerapan Skema Rorak & Tanaman Penutup Tanah..................... 47
x
DAFTAR TABEL
No Teks
Halaman
1. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattanetang………………………......
29
2. Tabel Jenis Tanah Dalam Luasan…………………………………....
21
3. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga Desa Pattanetang …………………………….…….…………………………………..
22
4. Tabel Luas Klas Lereng Desa Pattaneteang.......................................... 23
5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang .................................................. 26
6. Tabel Luas Penutupan Hutan Desa……….………………................ 28
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks
Halaman
1. Daftar nama pemilik lahan yang berada pada areal Hutan Desa Pattaneteang ......................................................................................
54
2. Data Responden Penelitian……………………………………..…… 56
3. si Tally Sheet.......................................................................................... 57
4. Kuisioner.........…………………………………………….…….…..
58
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan
pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Pembentukan Hutan Desa diawali dari
usulan penetapan areal kerja hutan desa oleh Bupati/walikota kepada Menteri
Kehutanan berdasarkan permohonan kepala desa. Permohonan kepala desa
tersebut dilampiri peta dengan skala minimal 1:50.000 dan deskripsi kondisi
kawasan hutan antara lain fungsi hutan, topografi, dan potensi. Apabila areal kerja
hutan telah memperoleh penetapan dari Menteri Kehutanan, selanjutnya kepala
desa mensosialisasikan kepada masyarakat dan kemudian membentuk Lembaga
Desa yang akan mengelola areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan tersebut.
Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak
pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa
yang bersangkutan. Kriteria tersebut berdasarkan rekomendasi dari Kepala KPH
atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang kehutanan. Hak pengelolaan hutan desa ini diberikan untuk jangka waktu
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Evaluasi akan dilakukan paling
lama setiap 5 tahun sekali oleh pemberi hak.
Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung
dan hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan
2
usaha budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya
lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak. Masyarakat
juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi pemanfaatan
jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman
hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan atau
penyimpanan karbon.
Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh pemegang Hak
Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang
walet, meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan,
dan pemasaran hasil. Untuk mengatur pengelolaan hutan desa, pemerintah dalam
hal ini Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.
Kabupaten Bantaeng memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang relatif
kecil dibanding kabupaten lain di Sulawesi Selatan, yakni hanya 0,3% dari total
kawasan hutan Sulawesi Selatan. Namun demikian, kawasan hutan tersebut sangat
strategis karena dari sekitar 6.222 ha luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng,
terdapat kawasan hutan lindung seluas 2.773 ha atau sekitar 44,6%, yang
mempunyai fungsi hidroorologis penting bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng
dan kabupaten lain di sekitarnya. Sebagian besar (54,4%) kawasan hutan
mengalami degradasi yang sangat berat. Konversi kawasan hutan menjadi lahan
budidaya pertanian dan perkebunan rakyat merupakan pemicu utama terjadinya
degradasi. Pada saat ini terdapat 1.518 KK penduduk miskin yang melakukan
aktivitas perladangan di dalam kawasan hutan dengan luas lahan garapan 2.138 ha
3
atau rata-rata seluas 1,4 ha/KK. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat
ketergantungan msyarakat atas lahan kawasan hutan.
Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bantaeng melaksanakan Program
Pembangunan Hutan Desa sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengatasi
permasalahan pembangunan kehutanan. Pada tahap awal, program ini
dilaksanakan pada dua desa dan satu kelurahan di Kelompok Hutan Tompobulu
yaitu, Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Kelurahan Campaga. Luas kawasan
hutan yang kritis di ketiga desa tersebut sebesar 398 ha atau sebesar 56,6% dari
704 ha total kawasan hutan, terdapat 320 KK (30%) yang melakukan aktivitas
usahatani kebun kopi di dalam kawasan hutan, dengan luas kebun kopi sebesar
165 ha. Produktivitas kebun kopi tersebut relatif rendah yaitu sebesar 0,518
ton/ha/tahun untuk jenis robusta dan sebesar 0,489 ton/ha/tahun untuk jenis
Arabica. Masyarakat juga telah mengembangkan budidaya tanaman markisa pada
lahan-lahan di luar kawasan hutan, dan tanaman tersebut berpotensi untuk
dikembangkan di dalam kawasan hutan melalui pengembangan pola-pola
agroforestry.
Permasalahan saat ini adalah untuk melakukan model pengelolaan yang baik
dengan mempertimbangkan fungsi hutan lindung, tata air, pengelolaan yang
berkelanjutan yang diperbenturkan akan kebutahan hidup masyarakat yang
bergantung pada Hutan Desa. Untuk itu diperlukan studi pembuatan landskap
hutan desa agar model pengelolaan nantinya akan mempertimbangkan aspek
fungsi lindung tanpa mengabaikan sosial ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraannya masyarakat.
4
Lanskap Kehutanan sendiri adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi
barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan
secara berkelanjutan (Boyce 1995). Dengan demikian hadirnya studi landskap
kehutanan dinilai dapat menjawab permasalahan diatas. Ketika kawasan hutan
yang telah kritis ditanami kopi yang dinilai tidak produktif, selain itu masyarakat
telah mendapatkan hak pemanfaatan sedangkan fungsi lindung hutan semakin
terancam maka dibutuhkan suatu model pengelolan yang baru untuk mengatur
semua itu.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Mengetahui faktor-faktor sosial yang mempengaruhi landskap hutan desa di
Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng.
2. Melakukan penataan Landskap Hutan Desa yang sesuai dengan tujuan
pengelolaan hutan lindung.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model landskap untuk
pemanfaatan areal hutan desa, dengan mempertimbangkan aspek hutan dalam
mendukung fungi lindung. Agar tercipta pengelolaan hutan desa secara
berkelanjutan dan lestari.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landskap
Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis produksi
barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan
secara berkebelanjutan (Boyce 1995).
Landskap Ekologi adalah ilmu meningkatkan hubungan antara pola spasial
dan proses ekologis pada skala besar dan tingkat organisasi. (Wu & Hobbs 2002).
Forman dan Godron (1986) mendefinisikan lanskap sebagai "lahan heterogen
terdiri dari ekosistem yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam
suatu areal."
Landskap meliputi gambaran-gambaran yang nampak dari suatu lahan,
termasuk element-element biofisik (bentuk lahan), air, element-element hidup
(penutupan lahan), elemant-element manusia (penggunaan lahan bagunan &
struktur) dan element yang dapat berubah seperti iklim dan cuaca (Calder 1981)
B. Mental Model
Mental model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam
pikiran seseorang. Penjelasan mengenai proses berpikir seseorang tentang
bagaimana sesuatu bekerja didunia nyata. Cara untuk menggambarkan proses
aktifitas manusia untuk memecahkan masalah penalaran deduktif (Boyce 1995).
Mental Model Suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi,
keyakinan, dan prasangka atas rangsangan yang muncul. Mental model
memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi
6
yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik
dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental
model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok,
dan organisasi (Senge.P dkk ,1999)
C. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan (Departemen Kehutanan,1999). Hutan
lindung (protection forest) adalah suatu kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-
fungsi ekologisnya --terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah-- tetap
dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Undang-
undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan.
“Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.“
Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah
hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan
hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di
tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi
yang diharapkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_lindung)
7
D. Penglolaan Hutan Lindung
Pengelolaan hutan lindung dimaksud meliputi kegiatan : tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam di hutan lindung (Departemen
Kehutanan,1999).
E. Hutan Desa
Menurut San Afri Awang, Pengertian hutan desa dapat dilihat dan beberapa
sisi pandang antara lain:
1. Di lihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam
wilayah adininistrasi sebuah desa definitif, dan ditetapkan oleh
kesepakatan masyarakat.
2. Di lihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang
terletak pada wilayah adininistrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh
pemerintah sebagai hutan desa.
3. Di lihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan inilik
rakyat dan inilik pemerintah yang terdapat dalam satu wilayah adininstrasi
desa tertentu, dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah
daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi
masyarakat desa.
Hutan Desa merupakan salah satu skim kebijakan pemberdayaan masyarakat
di dalam pengelolaan hutan. Hutan desa sebagaimana disebutkan di dalam
Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008 adalah hutan negara yang dikelola oleh desa
8
dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Penyelenggaraan hutan desa
dimaksudkan untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui
lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan
(P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa).
2. Hak Pengelolaan Hutan Desa
Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada
penjelasan pasal 5, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa
untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan
sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa
dan untuk kesejahteraan desa (Departemen Kehutanan,1999).
Pemberian akses pengelolaan hutan desa lebih lanjut dituangkan dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa,
yang ditetapkan pada 28 Agustus 2008. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan
sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang
belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan dan berada dalam wilayah
administrasi desa yang bersangkutan (P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.)
Para pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa pada kawasan hutan lindung dan
hutan produksi berhak memanfaatkan kawasan antara lain melalui kegiatan usaha
budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah,
penangkaran satwa liar, atau budidaya hijauan makanan ternak (P.49/Menhut-
II/2008 tentang Hutan Desa.)
9
Masyarakat juga dapat melakukan kegiatan di bidang jasa lingkungan meliputi
pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau
penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang dapat
dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa antara lain rotan,
madu, getah, buah, jamur, atau sarang walet, meliputi penanaman, pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil (P.49/Menhut-
II/2008 tentang Hutan Desa.).
3. Pengelolaan Hutan Desa
Dari hutan desa ini, masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan kayu dan
bukan kayu yang ada dalam kawasan selain memanfaatkan jasa lingkungan.
Namun untuk hutan yang berstatus lindung, masyarakat tidak dapat
memanfaatkan kayunya. Untuk pemanfaatan hasil hutan kayu juga tetap mengacu
pada aturan yang ada. Masyarakat juga dapat melakukan aktivitas budidaya
tanaman atau penangkaran satwa (Heri Mustari, 2009)
Hutan desa ini merupakan sebuah bentuk perubahan tata kelola hutan yang
dilaksanakan untuk kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di sekitar hutan. Perlu juga dipahami bahwa hak pengelolaan yang diberikan ini
bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan dan pengelolaannya juga harus
memerhatikan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Hutan desa tentunya akan
lebih melihat hutan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya selama ratusan tahun
sebagai satu kesatuan yang mampu mewujudkan hutan lestari sebagaimana yang
diharapkan (Heri Mustari, 2009)
10
Menururut Mustari ada Tiga paradigma atau cara pandang pengelolaan hutan
tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Paradigma pengelolaan hutan dan sumber daya alam untuk kepentingan
kelestarian (Ecofasis).
Dengan cara pandang seperti ini, pengelolaan hutan lestari masih
terjebak pada pemahaman yang sempit tentang pengelolaan hutan dimana
masyarakat adalah bagian terpisah dari hutan. Hutan dianggap sebagai
kawasan suci yang tidak boleh dijamah masyarakat, walaupun masyarakat
tersebut telah ratusan tahun tinggal dikawasan hutan yang dianggap suci.
Masyarakat tidak punya hak untuk mengelola sumber daya alam yang
sebenarnya sangat dekat dengan mereka dan bahkan dapat
menyejahterakan.
2. Paradigma yang lebih berorientasi pada pengelolaan hutan dan sumber
daya alam untuk kepentingan ekonomi (Ecodevelopmentalis).
Dengan cara pandang seperti inilah sejak puluhan tahun lalu,
pemerintah memberikan hak kelola hutan pada pemodal sehingga yang
muncul kemudian adalah praktek eksploitasi yang berdampak pada
deforestasi massal terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia.
Cara pandang ini juga tidak memberikan dampak pembangunan yang
berkelanjutan, masyarakat hanya menjadi penonton di wilayahnya sendiri,
bencana alam pun tak terelakkan lagi. Hal ini sangat terlihat pada
runtuhnya industri perkayuan yang dahulu dianggap sebagai salah satu
penopang pembangunan di Indonesia.
11
3. Paradigma yang lebih berorientasi pada bagaimana hutan dan sumberdaya
alam yang ada di dalamnya bisa diakses masyarakat dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan (ecopopulis).
Pemerintah kemudian mencoba mengambil jalan baru dengan
kebijakan hutan desa. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari cara
pandang yang ketiga karena memperhatikan deforestasi dan bencana
ekologis yang terjadi sementara masyarakat hanya bisa merasakan dampak
tanpa bisa mengakses pemanfaatan hutan tersebut.
4. Pemanfatan Areal
Hutan desa merupakan pengelolaan hutan negara dengan melibatkan
masyarakat lokal sebagai aktor utama. Pada prakteknya, lahan di hutan negara
tersebut diserahkan kepada rakyat yang akan mengelola hutan tersebut dengan
perjanjian diantara dua belah pihak. Dalam pembagian areal garapan ini mesti
dilakukan secara adil sehingga tidak akan menimbulkan gejolak diantara para
petani hutan yang menggarap lahan tersebut. Keadilan serupa ini juga mesti
ditegakkan ketika menentukan pembagian hasil keuntungan pengolahan hutan
antara negara dengan rakyat melalui suatu perundingan terbuka dan partisipatif
diantara negara sebagai pemilik lahan dengan masyarakat lokal sebagai penggarap
lahan tersebut (Yuwono, 2010).
5. Pengorganisasian dan Kelembagaan
a. Masyarakat Desa Hutan
Masyarakat (community) adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu
tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan yang
12
disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan. Berdasarkan pada
tipologinya, masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang mendiami wilayah
yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan
masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan (Awang dkk, 2008).
6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Badan usaha ini sesungguhnya telah
diamanatkan di dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(bahkan oleh undang-undang sebelumnya, UU 22/1999) dan Peraturan Pemerintah
(PP) no. 71 Tahun 2005 Tentang Desa. Pendirian badan usaha tersebut harus
disertai dengan upaya penguatan kapasitas dan didukung oleh kebijakan daerah
(Kabupaten/Kota) yang memfasilitasi dan melindungi usaha ini dari ancaman
persaingan para pemodal besar. Mengingat badan usaha ini merupakan lembaga
ekonomi baru yang beroperasi di pedesaan dan masih membutuhkan landasan
yang kuat untuk tumbuh dan berkembang. Pembangun landasan bagi pendirian
BUMDes adalah Pemerintah (PKDSP, 2007).
13
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan yaitu bulan Juli sampai Agustus
tahun 2010 pada hutan desa ,di Desa Pattaneteang, Kecamatan Birengere
Kabupaten Bantaeng.
B. Alat dan Bahan
1. Kamera untuk mendokumentasikan objek penting yang terkait dengan
penelitian
2. Alat tulis menulis untuk mencatat data-data yang diperoleh di Lapangan
3. Kompas.
4. Meteran Roll.
5. GPS
6. Peta Hutan Desa Pattaneteang Kabupaten Bantaeng
7. Penutupan Lahan.
8. Peta Kelerengan
9. Peta Intensitas Curah Hujan
10. Peta Jenis Tanah
14
C. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengumpulan dilakukan dengan metode propusive sampling, yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan berdasarkan keriteria-kriteria tertentu
seperti status lahan, dan perbedaan vegetasi pada tiap lahan.
1. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitan adalah seluruh areal hutan desa di desa Pattaneteang.
Populasi sasaran adalah rumah tangga dan areal hutan desa yang dikelola oleh
setiap rumah tangga.
b. Sampel
Sampel penelitian adalah setiap rumah tangga pengelola areal hutan desa yang
memiliki lahan pada areal tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran, pengamatan, wawancara
dan telaah dokumentasi berbagai sumber, seperti laporan hasil penelitian, laporan
dari instansi-instansi terkait atau yang terkait dengan tujuan penelitian.
Pengukuran dilakukan untuk mengumpulkan datakondisi biofisik setiap unit
landskap. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kondisi umum landskap.
Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat
yang mempunyai lahan didalam Hutan Desa Pattaneteang.
15
3. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer terdiri atas :
1) Kodisi biofisik Landskap Hutan Desa meliputi luas, kelerengan,
penutupan vegetasi, ketinggian muka laut, jenis tanah, daerah aliran
sungai, curah hujan dan jarak dari pusat desa.
2) Kondisi umum landskap yang meliputi, jenis tanaman, struktur,
tindakan-tindakan konservasi, dan preskripif pengelolaan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan dari faktor yang mempengaruhi
Landskap Hutan Desa, yaitu sejarah dan system pengelolaan, status lahan,
produktifitas komoditas yang ditanam, .
4. Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara kuantitatif dan
deskriftif sebagi berikut :
1. Analisis Kuantatif
Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa
data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan
sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap
data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga
analisis tabular/attribut. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data
spasialnya untuk menghasilkan data spasial yang mengambarkan pembentuk unit
landskap.
16
2. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif yang digunakan adalah “Analisis Mental Model”
untuk mengetahui sejarah dan faktor-faktor pembentuk unit ladskap Hutan Desa
Pattaneteang
5 . Konsep Operasional
a. Lanskap Kehutanan adalah seni mengatur hutan untuk mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat yang membutuhkan dua atau lebih jenis
produksi barang yang diinginkan, dengan mempertimbangkan aspek
kelestarian hutan secara berkelanjutan.
b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.
c. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari.
d. Mental Model adalah gambaran pola realitas kehidupan yang ada dalam
pikiran seseorang. Penjelesan mengenai proses berpikir seseorang tentang
bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata. Cara untuk menggambarkan
proses manusia melalui untuk memecahkan masalah penalaran deduktif.
e. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay)
beberapa data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan
digunakan sebagai unit analisis.
17
f. Analisis spasial adalah analisis yang dilakukan dengan
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial untuk menghasilkan
unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis.
g. Analisis deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu informasi berupa keterangan dan yang
menggambarkan suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna.
h. Analisis vegetasi adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui struktur
dan komposisi vegetasi komunitas hutan dan hubungannya dengan
lingkungan tempat tumbuh.
18
BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PATTANETEANG
A. Letak Dan Luas
Desa Pattaneteang secara administratif termasuk dalam wilayah
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Letak
wilayah Desa ini berjarak 28 km dari ibu kota Kabupaten dan 146 km dari ibu
kota Provinsi Sulawesi Selatan.
Luas wilayah Desa Pattaneteang 1.161.5 ha. Desa ini terbagi atas tiga
Dusun yaitu, Bungeng, Katabung, dan Biring’Ere (Gambar 1). Desa Pattaneteang
mempunyai batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ulu Ere’,Kabupaten Bantaeng.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan
Gantarangkidang.
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Labbo, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Bantaeng.
d. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba, Kecamatan
Gangking.
Letak Geografi Desa Pattaneneang adalah 119o58’00” - 119 o 59’20”.
Bujur Timur dan 05 o 22’40” - 05 o 24’20” Lintang Selatan, dengan ketinggian
antara 650 – 1700 meter dari permukaan laut.
19
Gambar 1. Peta Administrasi Desa Pattaneteang
B. Topografi Wilayah
Dari hasil overlay peta klas lereng Banteang dengan peta batas Desa maka
didapatkan sebaran kelas lereng yaitu klas lereng sangat curam dan agak curam.
Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal Desa Pattaneteang
termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan > 45%). Areal tersebut berada
pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal dengan kelerengan agak
curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang. Informasi luasan masing-
masing klas lereng dapat dilihat pada Table 3.
20
Tabel 3. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang
No Klas Lereng
Sebaran Klas Lereng
Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa
Luas (ha) % Luas(ha) %
1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100
2 Agak Curam 198 17.05 - -
TOTAL 1161.5 100 339.2 100
Sedangkan pada Areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya
berada di kelas lereng sangat curam atau sebesar 35.2% dari kelas lereng sangat
curam dari Desa Pattaneteang.
C. Penggunaan Lahan Dan Jenis Tanah
1. Pengguanaan Lahan
Penggunaan lahan di Desa Pattaneteang terdiri dari Areal perkebunan yang
didominiasi kebun kopi dan cengkeh. Hutan Lindung seluas 339,2 ha atau sama
dengan 29,20% dari totol keseluruhan Desa Pataneteang, Adapun penggunaan
lain seperti areal pemukiman, dan semak belukar.
2. Tanah
Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan batas administrasi
Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah pada Desa
Pattanetang terdiri dari dua yaitu Andosol dan Latosol. Masing-masing luasan
dapat dilihat pada Tabel 1.
21
Tabel 1. Jenis Tanah dalam Luasan
No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase
1 Andosol 1021 87.90%
2 Latosol 140.5 12.09%
Tabel 1 jenis menunjukan tanah Latosol yang paling sedikit dijumpai di
Desa Pattaneteang, jenis tanah ini tersebar merata pada bagian paling Selatan
Desa ini dan menutupi 12.10 % dari total luas wilayah Desa Pattaneteang.
Sedangkan jenis tanah Andosol sebesar 87.90% atau seluas 1021 ha yang tersebar
merata di daerah bagian Barat Desa ini. Hal ini menandakan jenis tanah pada
seluruh Areal Hutan Desa Pattaneteang adalah jenis tanah Andosol.
3. Keadaan Iklim
Untuk melihat keadaan iklm Desa Pattanetang secara umum maka harusla
dilihat dari letak geografi Kabupaten Bantaeng yang strategis memiliki alam tiga
dimensi, yakni bukit pegunungan, lembah dataran dan pesisir pantai. Dengan dua
musim dan perubahan iklim setiap tahunnya yang dikenal di daerah ini dengan
nama musim barat antara bulan Oktober sampai dengan bulan Maret dan musim
timur antara bulan April sampai bulan September.
Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata
setiap bulan 140,5 mm dengan jumlah hari hujan berkisar 153 hari pada tahun
2008. Musim hujan dengan angin barat jatuh pada bulan Oktober sampai
September.
22
D. Kependudukan
Jumlah keseluruhan penduduk Desa Pattaneteang adalah sebanyak 1846
jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 514 kepala keluarga. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga, Desa Pattaneteang
No. Lingkungan Jumlah
Penduduk (jiwa)
Jumlah Kepala
Keluarga (KK)
1 Bungeng 586 184
2 Panrangngaji 644 171
3 Bioring’ ere 616 159
Jumlah 1846 514
Sumber : Kantor Desa Pattaneteang, 2009.
Pada Dusun Bungeng terdapat 586 jumlah penduduk dari 184 Kepala
Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang, di dusun inilah penduduk yang paling
sedikit dibanding dua dusun lainnya. Jumlah penduduk pada dusun ini, terdiri dari
298 laki-laki dan 288 perempuan . Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan
bertani.
Dusun Panrangngaji terdapat 644 jumlah penduduk dari 171 Kepala
Keluarga yang ada pada Desa Pattaneteang. Penduduk dusun ini terdiri 337 laki-
laki dan 307 perempuan dari total keseluruhan. Sedangkan di Dusun BiringEre
terdapat 616 jumlah penduduk dari 159 Kepala Keluarga dan terdiri dari 316 laki-
laki dan 159 perempuan. Pekerjaan penduduknya dominan berkebun dan bertani.
23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang
1. Luas Areal
Luas areal keseluruhan Desa Pattaneteang adalah 1161.5 ha dan luas Hutan
Desa Pattaneteang adalah 339,2 ha. Ini berarti luas Hutan Desa Pattaneteang
sebesar 29,20% dari luas total Desa Pattaneteang.
2. Topografi
a. Kelerengan
Dari hasil overlay peta klas lereng Kabupaten Banteang dengan peta batas
Desa Pattaneteang maka didapatkan sebaran kelas lereng Hutan Desa tersebut
pada Gambar 2. Hasil analisis peta diketahui sebagian besar (82,95%) areal
Desa Pattaneteang termasuk klas lereng sangat curam (kelerengan >40%).
Areal tersebut berada pada bagian Barat Desa Pattaneteang sedangkan areal
dengan kelerengan agak curam berada pada bagian Timur Desa Pattaneteang.
Informasi luasan masing-masing kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Kelas Lereng Desa Pattaneteang
No Klas Lereng
Sebaran Klas Lereng
Total Wilayah Desa Areal Kerja Hutan Desa
Luas (ha) % Luas(ha) %
1 Sangat Curam 963.5 82.95 339.2 100
2 Agak Curam 198 17.05 - -
TOTAL 1161.5 100 339.2 100
24
Sedangkan pada areal kerja Hutan Desa Pattaneteang keseluruhannya
berada di kelas lereng sangat curam (Gambar 2) atau sebesar 35.2% dari kelas
lereng sangat curam yang ada di Desa Pattaneteang.
Gambar 2. Peta Kelas Lereng Desa Pattaneteang
b. Ketinggian Muka Laut
Ketinggian dari muka laut Desa Pattaneteang yang paling rendah adalah
ketinggian 725 mdpl (berada di areal pemukiman) dan daerah yang paling
tinggi sampai pada ketiggian 1750 mdpl (berada dalam Hutan Desa
Pattaneteang). Sedangkan Areal Hutan Desa Pattaneteang sendiri paling
rendah berada pada ketiggian 1150 mdpl sampai 1750 mdpl.
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kelas lereng yang sangat curam akan
mempengatuhi Sungai Salo Maesa dan Sungai Salo Kalambung karena
keduanya mempunyai Hulu Sungai didaerah yang lebih tinggi dan Klas
lereng sangat curam, Sedangkan Sungai Balang Bialo yang membagi dua
25
Hutan Desa Pattanetang mempunyai hulu sungai di kecamatan Elu Ere’
dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Sedangkan Sungai Salo
Maesa mempunyai puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450
mdpl. Dan Sungai Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu
mencapai 1067 mdpl dan di hilil 700 mdpl panjang aliran sungai ini dari hulu
ke hilir kurang lebih 4 km.
3. Jenis Tanah
Dari hasil overlay peta jenis tanah Kab.Bantaeng dan areal desa dan
hutan Desa Pattanetang, dapat dijelaskan secara makro bahwa jenis tanah
pada hutan desa dan Desa Pattanetang umumnya sama yang tergolong dalam
jenis tanah andosol.
Tanah jenis ini biasanya subur dan bertekstur gembur hingga seperti
lempung, bahkan di beberapa tempat bertekstur debu. Sehingga petani
menyukainya karena mudah dalam pengolahan. Sangat ringan dicangkul dan
pori-pori tanahnya memudahkan sirkulasi udara masuk ke akar tanaman.
Karena mengandung unsur hara sedang hingga rendah (N,P dan K) maka,
kebanyakan petani memanfaatkan jenis tanah andosol untuk fungsi
perkebunan seperti teh, kopi, pinus dll.
Walaupun memiliki banyak kelebihan, namun tanah andosol juga
memiliki banyak kelemahan. Kelemahan tanah Andosol adalah, karena
strukturnya yang gembur dan rapuh, sehingga tanah jenis ini sangat mudah
terseret air hujan, angin dan erosi. Karena itu, petani banyak menyiasatinya
dengan menggunakan sistem tanam berteras. Di antara sela-sela teras
26
bertingkat itu biasanya ditanami rumput atau juga tanaman keras penguat
teras. Dengan berbagai cara tersebut, tingkat erosi dapat dikurangi secara
signifikan, dan petani dapat tetap memanfaatkannya secara maksimal.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa tanah andosol memiliki
kelemahan karena strukturnya yang gembur dan rapuh, maka dilakukan
tindakan-tindakan untuk mencegah terjadinya erosi.
4. Curah Hujan
Data yang didapatkan dari Subdin Pengairan Kabupaten Bantaeng Tahun
2007. Jika dilihat curah hujan Desa Pattaneteang relatif tinggi pada bulan
Oktober – Maret, sedangkan pada bulan April – September curah hujan relatif
rendah (Tabel 5)
Tabel 5. Tabel Curah Hujan Desa Pattanetang
27
Umumnya Hujan di sebagian besar wilayah Indonesia dipengaruhi oleh
angin muson. Angin muson dari barat membawa banyak uap air sehingga
terjadi musim hujan (oktober-maret). Angin muson dari timur mengandung
sedikit uap air sehingga terjadi musim kering pada bulan april-september.
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?id=20100318055456AA2Ba6g)
Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan pada Tabel 5 dapat dilihat
bahwa bulan Oktober – Maret dominan curah hujan tinggi, yang berbeda
dengan bulan April – September curah hujan dominan rendah.
Sebaran dari curah hujan tersebut dapat dilihat dari hasil overlay peta
curah hujan secara makro Kab.Bantaeng dengan peta administrasi Desa
Pattanetang maka didapatkan dua intensitas curah hujan secara makro pada
Desa Pattaneteang dapat dilihat pada Gambar 3. Hal ini menggabarkan bahwa
hampir semua kondisi Desa Pattaneteang mempunyai curah hujan 1100-
2100mm/thn (curah hujan tinngi) dan sebagian kecil yang berada pada daerah
agak curam < 1100mm/thn (curah hujan menegah)
(Gambar 3. Peta Curah Hujan Desa Pattaneteang)
28
5. Penutupan Lahan
Hasil observasi dilapangan dapat diketahui penutupan lahan pada areal
kerja Hutan Desa Pattaneteang terdiri dari Hutan Alam, Hutan Campuran
dan Monokultur Kopi, luas penutupan lahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 6, sedangkan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 4.
Tabel 6. Luas Penutupan Hutan Desa No. Penutupan Luas (Ha) Persen Penutupan
1 Hutan Alam 174.5 51.44%
2 Hutan Campuran 135 39.7%
3 Monokultur Kopi 29.7 8.75%
TOTAL 339.2 100%
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa penutupan lahan pada Hutan Desa
Pattaneteang didominasi oleh Hutan Alam melebih setengah dari areal
kawasan tersebut atau sebesar 51,44%, sedangkan hutan campuran seluas
135 ha, penutupan lahan sebesar 39,7% dari luas total keseluruhan Hutan
Desa Pattanetang. Penutupan lahan yang paling sedikit sebesar 29,7 ha atau
8,75% adalah monokultur kopi. Deskirpsi pada masing-masing areal
penutupan Hutan Desa tersebut sebagai berikut
a. Hutan Alam
Hutan Alam yang dimaksdukan pada penelitan ini adalah areal yang
vegetasinya masih alami dan pada areal ini umur pohon > 40 tahun.
Vegetasi yang biasa dijumpai pada areal ini adalah Albisia, galatiri,
Damar laki, Damar Gana, Lutuh, Lossongg dan Balanteh.
29
b. Hutan Campuran
Hutan Campuran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Hutan
Alam yang disebutkan di atas dan dimanfaatkan oleh warga.
Pemanfaatan itu berupa menanam kopi dibawah tegakan, tanpa
menebang pohon – pohon yang telah ada dalam hutan tersebut. Pada
areal ini tumbuhan kopi rata-rata sudah berumur 10 tahunan. Data
tersebut dari hasil pengambilan sampel di lapangan (Gambar 4)
c. Monokultur Kopi
Monokultur Kopi yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah areal
yang tanamannya dominan kopi dan tumbuhan kayu atau pohon yang
digunakan sebagai penaung masih berumur rata masih berumur 10
tahunan. Tumbuhan penaungnya seperti Nangka, Jambu batu, Alpokat,
Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Pada areal ini
tumbuhan kopi rata sudah berumur 6 tahunan. Data tersebut dari hasil
pengambilan sampel dilapangan (Gambar 4)
30
Gambar 4. Peta Lokasi Pengambilan Sampel
Dari hasil analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa penutupan lahan
Hutan Alam (174.5 ha) pada areal Hutan Desa Pattanetang berjarak kurang lebih
3,7 sampai 4,1 km dari pemukiman terdekat. Pada Hutan Campuran (135 ha)
pada areal Hutan Desa Pattaneteang berjarak kurang lebih 3,1 sampai 3,7 km dari
lokasi pemukiman terdekat. Sedangkan pada Monokultur kopi berjarak pada 2
sampai 3,1 km dari lokasi pemukiman terdekat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 5 & 6.
Gambar 5. Profil Desa Pattaneteang
31
Gambar 6. Profil Desa Pattaneteang
Dari Gambar 5 & 6, dapat dijelaskan bahwa areal penutupan lahan Hutan
Alam berada diketinggian 1650 – 1775 dengan jarak ± 3.7km lebih, dari
pemukiman terdekat, Hutan Campuran berada pada ketinggian 1600 – 1650zmdpl
dan berjarak ± 3,1km dari pemukiman terdekat. Sedangkan Monokultur Kopi
berjarak ± 2km dari pemukiman terdekat dengan ketinggian 1450 – 1600mdl. Hal
ini mengidentifikasikan bahwa sungai-sungai yang melalui warga atau yang
dimanfaaatkan oleh warga dan hulu sungai tersebut berada dalam Areal Hutan
Desa maka akan ini akan berdampak pada kuantitas dan kontinyuitas air yang
megalir di aliran sungai tersebut terhadap kondisi yang berada di Hulu Sungai,
baik itu kondisi penutupan lahan, kelerengan, dan faktor curah hujan.
32
6. Pemanfaatan Areal Kerja Hutan Desa
Dari hasil wawancara kepada 9 responden yang memiliki lahan pada
Areal Hutan Desa Pattaneteang diketahui bentuk pemanfaatan areal kerja
Hutan Desa sebagai berikut :
a. Pemanfaatan ruang tumbuh di bawah tegakan
Pemanfaatan ruang tumbuh dibawah tegakan, dimulai pada tahun 1999
karena keterbatasan lahan. Masyarakat setempat beberapa kali melakukan
pertemuan dengan Dinas Kehutanan Kab.Bantaeng untuk memanfaatkan
ruang tumbuh dibawah tegakan Hutan Lindung (pada saat ini termasuk areal
kerja Hutan Desa).
Dari hasil pertemuan tersebut disepakati bahwa masyarakat boleh
memanfaatkan areal Hutan Lindung tetapi tidak boleh menebang. Melalu
kesepakatan tersebut masyarakat masuk berkebun dalam Hutan Lindung
dengan menanam kopi dibawah tegakan. Pada saat ini masyarakat juga
menanam markisa didalam Hutan Lindung.
Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang, maka mereka hanya
memanfaatkan ruang tumbuh dibawah tegakan untuk menanam kopi
diselah-selah pohon Albisia, Galitiri, Damar, Lutuh, Lossong dan Balanteh.
Aktifitas masyarakat memanfaatkan ruang tumbuh tersebut telah
membentuk penutupan Hutan Campuran pada saat ini.
b. Pemanfaatan Areal Kritis di dalam Kawasan Hutan.
Hal yang berbeda dilihat pada lahan kritis yang berada pada Hutan Desa
Pattaneteang. Pada tahun 2000 – 2001 awal masyarakat memanfaatkan
33
lahan tersebut ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yaitu
salah satu jenis kayu yang pertumbuhannya kerdil dengan ukuran diameter
batang rata-rata 10 cm.
Masyarakat memanfaatkan areal kritis tersebut dimulai dengan
melakukan pembersihan lahan, kemudian ditanami tanaman jagung sambil
menanam pohon penanung kopi. Jenis-jenisnya seperti Nangka, Jambu batu,
Alpokat, Albisia, Kaleandra, Cembang, Mangga, dan Galitiri. Setelah
tanaman penaung tersebut berumur diatas 2 atau 3 tahun, masyarakat
kemudian mengganti tanaman jagung tersebut dengan tanaman kopi. Hal ini
kemudian merubah tutupan vegetasi yang dahulunya dominan alang-alang
menjadi monokultur kopi. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada
Gambar 4.
7. Daerah Aliran Sungai
a. Sub DAS Biang Bialo
Sub Das Balang Bialo mempunyai hulu di Kecamatan Ulu Ere Kabupaten
Bantaeng dengan puncak ketinggian mencapai 2500 mdpl. Daerah aliran
sungai ini membelah Hutan Desa Pattaneteang menjadi dua dan sekaligus
menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten
Bulukumba. Dapat dilihat pada Gambar 7 Sub Das yang berada pada Desa
Pattaneteang.
b. Sub DAS Salo Kalambung
Sub Das Salo Kalambung mempunyai puncak tertinggi di hulu mencapai
1067 mpdl dan di hilir 700mdl panjang aliran sungai ini dari hulu ke hilir
34
kurang lebih 4 km. Hulu sungai terdapat di Areal Desa Pattaneteang yang dekat
dengan pemukiman dan hilir sungai berada pada sungai Salo Bialo yang
menjadi batas administrasi antara Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten
Bulukumba.
c. Sub DAS Salo Maesa
Sub DAS Salo Maesa adalah Sub DAS yang hulu sungainya berada
pada areal lokasi penelitian, hulu sungainya terdapat pada Hutan Desa
Pattanetang. Dari hasil analisis yang dilakukan maka didapatkan luas total
batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam dua kawasan
administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo.
Luas total batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan
Hutan Desa Pattaneteang 47.2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi
masing-masing hutan campuran 20.1 ha dan hutan monokultur kopi 27.1
ha. (Gambar 7) Luas Batas Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa
Pattaneteang 3.56% dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa
Sub Das Salo Mesa akan mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air
dan kontinyunitas air, setidaknya lebih dari 3.56% ketersediaan air disungai
tersebut.
Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang,
panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3.6km , dengan panjang
sungai dari Hulu ke Hilir ± 8km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di
areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal
yang dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa
35
penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan
cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600mdpl dan dihilir
450mdpl.
Gambar 7. Gambar Batas Sub DAS Salo Maesa
B. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Landskap
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi terbentuk landskap Hutan Desa Pattaneteang ialah :
1. Faktor Sosial
a. Mental Model Pengelolaan Lahan
Dari hasil wawancara terhadap 9 responden dapat diketahui bahwa Mental
model masyarakat yang terbangun dalam dua kondisi vegetasi yang berbeda
pada saat masyarakat mulai masuk dalam kawasan Hutan Desa. Yaitu dimana
satu kodisi lahan yang masih banyak ditemukan pohon – pohon yang berumur
40-60 tahun dan kondisi penutupan masih bagus, dan di kondisi lahan lain
36
tidak banyak ditemukan pohon-pohon melainkan alang-alng. Hal inilah yang
kemudian membentuk secara sendirinya membentuk mental model
masyarakat bagaimana sistem pengelolaan lahan pada dua kondisi berbeda
tersebut dapat dilaksanakan, berdasarkan pengetahuan yang masyarakat dapat
dari orang terdahulunya ataupun dari pengalamnnanya langsung dilapangan.
Hal inilah yang menyebabkan kondisi vegetasi sekarang berbeda. Kondisi
pada saat sekarang berbeda dapat dilihat dari bagaiman masyarakat tersebut
melakukan system pengelolaan.
Masyarakat yang berkebun di bawah tegakan
Awal mula masuknya warga pada area hutan desa untuk berkebun pada
lahan yang bervegetasi lebat masyarakat tidak diperbolehkan menebang
pohon –pohon yang telah ada, ini dikarenakan salah satu kesepakatan yang
terjadi pada tahun 2000 yang menyebabakan masyarakat diperbolehkan
mengelolah kawasan tersebut adalah larangan menebang pohon. Jadi pada
awal aktifitas masyarakat masuk berkebun dalam hutan desa dimulai
dengan pembersihan lahan yang berada dilantai hutan, dan kemudian
ditanami dengan kopi, kebanyakan masyrakat juga menanam markisa
pada saat itu. Karena masyarakat tidak diperbolehkan menebang maka
masyarakat hanya memanfaatkan kopi diselah-selah pohon yang telah ada.
Hal ini lah yang membuat tutupan vegetasi tersebut menjadi hutan
campuran pada saat ini. Untuk melihat model hutan campuran yang
memanfaatkan lahan dibawah tegakan untuk menanam kopi ada pada
Gambar 5 & 6.
37
Masyarakat yang berkebun di areal kritis
Hal yang berbeda dilihat pada lahan yang tidak bervegetasi pada awal
mula masyarakat masuk untuk berkebun diareal hutan desa. Di daerah ini
yang ada hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa kayu cembang yang
batangnya hanya sampai seukuran betis dan kemudian mati. Aktifitas
masyrakat pertamakali melakukan pembersihan lahan, dan kemudian
menanami jagung sambil menanam pohon penanung untuk persiapan
penaung kopi. Barulah sekitar 2 atau 3 tahun pada saat pohon penaung
tersebut besar, masyarakat kemudian mengganti tanaman jagung tersebut
dengan tanaman kopi. Hal ini kemudian merubah tutupan vegetasi yang
dahulunya alang-alang menjadi monokultur kopi.
b. Status Lahan
Faktor status lahan juga sangat besar berpengaruh terhadap aktifitas
masyarakat di kawasan hutan lindung tersebut. Dimulai pada zaman
penjajahan pada tahun 1940an warga mengangap kawasan hutan lindung
tersebut dimiliki oleh Belanda, yang pada saat itu menjajah Indonesia. Hal
tersebut ditandai dengan pemasangan batas – batas yang di buat oleh
Belanda pada saat itu. Sehingga warga tidak ada yang memasuki kawasan
tersebut
Setelah kemerdekaan dan pada tahun 1960an tidak ada yang
melakukan aktifitas pada kawasan tersebut karena masyarakat juga masih
trauma dan belum ada kepastian status lahan tersebut, barulah pada tahun
1989 yang pada saat itu Kepala Dinas Kehutanan melakukan pemasangan
38
tapal batas kawasan lindung, yang artinya masyarakat, jelas tidak boleh
melakukan aktifitas didalamnya. Pada tahun 2000 lah baru ada
kesepakatan – kesepakatan yang terjadi sehingga masyarakat
diperbolehkan mengelola kawasan lindung tersebut dan bahakan sampai
setatus kepemilikan lahan wajib pajak (SPPT).
Disinilah kegiatan yang paling aktif dilakukan didalam hutan lindung
oleh masyarakat pada tahun 2000-2001 karena status lahan yang telah
miliki sebagai wajib pajak.
2. Faktor Ekonomi
a. Keterbatasan lahan
Berdasarkan hasil wawancara dari 9 responden dapat dilihat bahwa salah
satu alasan mengapa warga masuk dan berkeinginan mengelolah kawasan
lindung pada saat itu adalah masalah keterbatasan lahan di sekitar areal
pemukiman warga. Karena pada sekitar tahun 1990an areal disekitar
pemukiman warga sudah padat akan kebun – kebun yang kebanyakan
ditanami kopi dan cengkeh. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk
semakin tahun semakin banyak, hal ini lah yang mengakibatkan perambahan
sampai hutan desa pattaneteang, disinilah pertama kali warga masuk dalam
dan mengelolah lahan (pada tahun 2000) yang mana areal tersebut adalah
Kawasan Hutan Lindung.
b. Rasio lahan & jumlah kependudukan
Faktor ekonomi juga yang menyebabkan masuknya perambahan kedalam
hutan desa pattaneteang. Di desa pattaneteang yang mayoritas penduduknya
39
bekerja sebagai petani dan berkebun, ditambah lagi dengan pendidikan yang
tidak memadahi. Maka akan melihat lahan dan hutan adalah salah satunya
sumber pengahasilan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Jarak tanam 2 x 2 meter dan setiap pohon rata-rata menghasilkan 3 liter
Luas Lahan Per KK =���� ��ℎ�� �� ��������ℎ
�����ℎ ��
=19.66 ℎ�
79 �� = 0.25ℎ�/��
Jarak tanam kopi 2 x 2 meter = 2500 pohon/ha
= 625 pohon/kk
Rata – rata jumlah orang dalam 1 kk adalah 5 orang maka perorang
akan dihidupi dari lahan tersebut 125 pohon/orang x 3 liter
(produksi/pohon) = 375 liter/orang.
Harga jual kopi tersebut 1 liter = Rp. 5.000 jadi 375liter/orang x
Rp.5000 akan menghasilkan Rp.1.875.000/orang/tahun.
C. Penataan Landskap Hutan Desa Untuk Fungsi Lindung
Penataan Landskap untuk tujuan fungsi lindung dapat dilihat dari sejauh
mana fungsi hidrologi dan fungsi erosi dapat berperan dalam kehidupan dan
keberlangsung hutan dan sekitar Hutan Desa Pattaneteang.
Untuk mendukung fungsi hidrologi tersebut dapat dilihat pada uraian
deskripsi umum Landskap Hutan Desa Pattaneteang, bahwa terdapat tiga daerah
aliran sungai yaitu DAS yaitu Biang Bialo, Salo Kalambung dan Salo Maesa.
DAS Salo Maesa adalah daerah aliran sungai yang hulu sungainya terdapat
pada lokasi penelitian dan daerah aliran sungai ini berdampak sampai ke
40
pemukiman warga. Hal inilah yang menjadi beberapa alasan daerah aliran sungai
Salo Maesa menjadi fokus penelitian dari ketiga daerah aliran sungai lainnya.
1) Fungsi Pengaturan Tata Air (Sub DAS Salo Maesa)
Luas total batas Sub DAS Salo Mesa adalah 756 ha yang berada dalam
dua kawasan administrasi yaitu Desa Pattaneteang dan Desa Labbo. Luas total
batas Sub DAS Salo Mesa yang berada dalam kawasan Hutan Desa
Pattaneteang 47,2 ha yang menutupi 2 jenis penutupan vegetasi masing-masing
hutan campuran 20,1 ha dan hutan monokultur kopi 27,1 ha. (Gambar 6) Luas
Batas Sub Das Salo Mesa yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang 3,56%
dari jumlah keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa Das Salo Mesa akan
mempengaruhi debit air, baik itu ketersediaan air dan kontinyunitas air,
setidaknya lebih dari 3,56% ketersediaan air disungai tersebut.
Sub DAS Salo Maesa mempunyai hulu di Hutan Desa Pattaneteang,
panjang sungai ini sampai ke pemukiman terdekat ± 3,6km , dengan panjang
sungai dari Hulu ke Hilir ± 8 km lebih. Penutupan lahan pada Hutan Desa di
areal hulu sungai adalah Monokultur Kopi dan Hutan Campuran. Areal yang
dilalui sungai sampai di pemukiman penduduk setelah Hutan Desa
penutupannya dominan perkebunan kopi dan sisanya adalah perkebunan
cengkeh. Dihulu puncak ketinggian mencapai 1600 mdpl dan dihilir 450 mdpl.
Menurut Sihite (2005), Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi
kebun kopi menunjukan adanya pertambahan nilai koefisien aliran permukaan
Ini berarti perubahan penggunaan lahan akan menyebabkan jumlah air yang
menjadi aliran langsung ke sungai akan bertambah, khususnya pada musim
41
hujan. Faktor kekerasan permukaan, serasah yang lebih banyak dan system
perakaran yang lebih dalam menyebabkan kecepakatan aliran permukaan akan
lebih rendah dan akan memperbesar peluang terjadi infiltrasi ke dalam tanah.
Faktor ini juga menjadi salah satu penyebab besar atau kecilnya jumlah air
hujan yang akan langsung memasuki sungai.
Hal ini menunjukan bahwa Fungsi hidrologi dapat lebih baik di Hutan
campuran lebih baik daripada monokultur kopi karena di hutan campuran
lapisan strata lebih banyak, serasah dan system perakarannya juga lebih baik
sehingga akan lebih rendah dan akan memperbesar peluang infiltrasi kedalam
tanah.
Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab
utama terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi
dapat mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004).
2) Tehnik Pengendalian Erosi
Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu
teknik konservasi mekanik dan vegetatif. Konservasi tanah secara mekanik adalah
semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk
mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi dan meningkatkan kemampuan
tanah secara berkelanjutan.
Pada prinsipnya konservasi mekanik dalam pengendalian erosi harus selalu
diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa
tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam
42
yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun. Adapun Upaya yang
dilakukan pada dua kondisi penutupan lahan :
a. Pada Lahan Hutan campuran kopi, dimana umur kopi berumur 10
tahun.
Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah adalah
tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari
ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk memperbaiki sifat kimia
dan sifat fisik tanah.
Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya
perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan
tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan
daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi
kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut
menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi
jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke
dalam tanah, sehingga mengurangi erosi.
Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup
tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi
syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya
dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan
kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat
tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang
tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi
43
terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan
kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah
diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim
atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi
tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan
seperti duri dan sulur-sulur yang membelit.
b. Pada Penutupan Lahan Monokultur kopi, dimana umur kopi tersebut 5
tahunan
Pembuatan Rorak. Rorak merupakan lubang penampungan atau peresapan
air, dibuat di bidang olah atau saluran resapan. Pembuatan rorak bertujuan
untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah dan menampung tanah
yang tererosi. Pada lahan kering beriklim kering, rorak berfungsi sebagai
tempat pemanen air hujan dan aliran permukaan.
Dimensi rorak yang disarankan sangat bervariasi, misalnya kedalaman
60 cm, lebar 50 cm, dan panjang berkisar antara 50-200 cm. Panjang rorak
dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu
rorak dengan rorak lainnya berkisar 100-150 cm, sedangkan jarak
horizontal 20 m pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 m
pada lereng yang lebih curam. Dimensi rorak yang akan dipilih
disesuaikan dengan kapasitas air atau sedimen dan bahan-bahan terangkut
lainnya yang akan ditampung.
Sesudah periode waktu tertentu, rorak akan terisi oleh tanah atau
serasah tanaman. Agar rorak dapat berfungsi secara terus-menerus, bahan-
44
bahan yang masuk ke rorak perlu diangkat ke luar atau dibuat rorak yang
baru.
Pedoman Konservasi Tanah dan Air yang diterbitkan oleh Tim
Peneliti BP2TPDAS IBB Departemen Kehutanan (2002)
merekomendasikan pembuatan rorak dengan persyaratan teknis:
a) Ukuran panjang 1 – 2 meter, lebar 25-50cm dan dalam 20 – 30 cm.
b) Rorak dapat diisi dengan mulsa untuk mengurangi sedimentasi dan
meningkatkan kesuburan tanah.
c) Pembuatan rorak mengakibatkan pengurangan luas lahan olah sebesar
3 – 10%
d) Rorak buntu dapat dibuat pada bagian lereng atas dari tanaman
e) Sedimen yang tertampung dalam rorak buntu
Gambar 7. Skema rorak
Penerapan Sistem Agroforestry perlu diterapkan pada areal ini sehingga
lapisan strata lebih banyak dan system perakaran hutan yang dalam, serta
adanya serasah tanaman yang menutupi permukaan tanah akan lebih baik
untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai tujuan Fungsi Lindung
tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat. System Agrogorestri
45
ini dapat dilakukan dengan menanam tanaman-tanaman buah-buahan
(MPTS) dan kopi sebagai tanaman bawahnya. Jauh lebih baik dibanding
tanaman kayu-kayuan yang mungkin akan menyebabkan keinginan untuk
menebang nantinya. Hal ini dilakukan untuk menambah lapisan strata.
Menggunakan Tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah pada
gambar 8 adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk
melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan / atau untuk
memperbaiki sifat kimia dan sifat fisik tanah.
Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya
perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah,
(2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati
yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air
tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan
berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta
kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah,
sehingga mengurangi erosi.
Tumbuhan atau tanaman yang sesuai untuk digunakan sebagai penutup
tanah dan digunakan dalam sistem pergiliran tanaman harus memenuhi
syarat-syarat (Osche et al, 1961): (a) mudah diperbanyak, sebaiknya
dengan biji, (b) mempunyai sistem perakaran yang tidak menimbulkan
kompetisi berat bagi tanaman pokok, tetapi mempunyai sifat pengikat
tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang
tinggi, (c) tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, (d) toleransi
46
terhadap pemangkasan, (e) resisten terhadap gulma, penyakit dan
kekeringan, (f) mampu menekan pertumbuhan gulma, (g) mudah
diberantas jika tanah akan digunakan untuk penanaman tanaman semusim
atau tanaman pokok lainnya, (h) sesuai dengan kegunaan untuk reklamasi
tanah, dan (i) tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan
seperti duri dan sulur-sulur yang membelit.
Gambar 8. Tanaman Penutup Tanah
1. Penataan Landskap Hutan Desa Pattaneteang
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahawa kodisi Hutan campuran
yang berada dalam Hutan Desa Pattaneteang jauh lebih baik dalam berperan
menjaga fungsi hidrologi dan erosi dari pada monokultur kopi. Tetapi kebutuhan
masyarakat akan lahan yang digunakan menanam kopi juga patut dipikirkan
karena menyangkut masalah hidup menghidupi.
Perubahan kondisi tanah sesudah alih fungsi hutan adalah penyebab utama
terjadinya perubahan fungsi DAS. Sistem Agroforestri berbasis kopi dapat
mengembalikan kelestarian fungsi hidrologi (Farida, 2004).
Sistem Agroforestri atau sama dengan skema pada Hutan Campuran perlu
diterapkan pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan
system perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi
47
permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi sesuai
tujuan Fungsi Lindung tanpa menyepelekan kebutuhan ekonomi masyarakat.
Gambar 9. Penerapan Skema Rorak & Tanaman Penutup Tanah
2. Pencapaian Solusi Alternatif Penataan
Landskap Fungsi Lindung
Setelah ada solusi penataan landskap dalam mendukung fungsi lindung
seperti yang telah dijelaskan pada bagian II.Alternatif Solusi Penataan Landskap
Fungsi Lindung, maka perlulah dipikirkan bagaimana hal tersebut dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari sembilan sampel yang telah dijadikan
sebagai responden (quisener terlampir) dapat diambil beberapa poin penting yang
mempengaruhi pola pikir yang terbangun (Mental Model) dalam masyarakat
48
tersebut sehingga membentuk tutupan vegetasi sekarang ini baik didalam hutan
desa adalah sebagai berikut :
Sebagian warga tidak mempunyai pengetahuan lain tentang tanaman yang
akan ditanam selain kopi untuk mendapatkan nilai ekonominya.
Pengaruh tradisi yang melekat untuk menanam kopi yang dilakukan secara
turun-temurun. Hal ini dapat ditunjukan karena sebagian warga tidak tahu
apa dan mengapa alasan mereka pertama kali menanam kopi, mereka
kebanyakan hanya ikut pada orang tua yang pada saat itu juga menanam
kopi.
Masuknya warga ke dalam Hutan Desa untuk berkebun bukan saja karena
keterbatasan lahan garapan, tetapi status kepemilikan. Karena pada tahun
2000-2001 tepatnya warga mulai berani menggarap setelah memiliki status
yang mereka anggap status kepemilikan yaitu adanya SPPT (Surat
Pemberitauan Pajak Terutang).
Sebagian warga juga ingin menanam tanam tumbuhan bawah lainnya seperti
jahe dan talas tetapi pengetahuan dan keterampilan untuk membudidayakan
tanaman tersebut tidak ada, begitu pula dengan pasar juga bibit yang tidak
ada.
Warga tersebut juga ingin menanam tanaman buah-buahan, tapi terkendala
pada bibit, pengetahuan dan keterampilan tentang apa yang baik ditanam
didaerah tersebut.
Dari beberapa poin diatas maka dapat dikerucutkan bahwa perlu adanya
sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk merubah pola pikir baik
49
itu tetang menanam tanaman lain selain kopi, ataupun pola agroforesty dengan
tanaman buah-bahan untuk mendukung fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak
hanya sampai sosialiasi ataupun penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain
seperti bantuan bibit MPTS, distribusi ke pasar, pengetahuan nilai ekonomi yang
lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh Tim Ahli tentang hal
tersebut.
50
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis yang telah dilakukan pada studi
penelitain Landskap Hutan Desa Pattaneteang dalam mendukung fungsi lindung,
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem Agroforestri, Tanaman Penutup tanah, dan Rorak perlu diterapkan
pada monokultur kopi. Sehingga lapisan strata lebih banyak dan system
perakaran hutan yang dalam, serta adanya serasah tanaman yang menutupi
permukaan tanah akan lebih baik untuk menjaga fungsi Hidrologi dan Erosi
sesuai tujuan Fungsi Lindung
2. Perlu adanya sosialiasi dan kerjasama dari beberapa stakeholder untuk
merubah pola pikir baik itu tetang menanam tanaman lain selain kopi,
ataupun pola agroforesty dengan tanaman buah-bahan untuk mendukung
fungsi lindung. Hal tersbut pastinya tidak hanya sampai sosialiasi ataupun
penyuluhan tapi perlu juga kegiatan action lain seperti bantuan bibit MPTS
(Multile Purpose Trees Seeds) , distribusi ke pasar, pengetahuan nilai
ekonomi yang lebih baik sampai bantuan pendampingan dilapangan oleh
Tim Ahli tentang hal tersebut.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan Landskap saat ini adalah :
Keterbatasan lahan, system pengelolaan, status lahan, ekonomi, dan
penutupan awal sebelum warga masuk kedalam Hutan Desa.
51
B. Saran
Penelitian ini merupakan gambaran secara umum, diperlukan lagi peneltian-
penelitiah secara khusus, baik itu dari aspek ekologi, vegetasi, tanah, DAS, dan
Aspek sosial yang dikaji lebih mendalam.
52
DAFTAR PUSTAKA
Awang, S.A., Widayanti, W, T., Himmah, B., Astuti, A., Septiana, R, M., Solehudin., Novenanto, A., 2008, Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Prima, Jakarta.
Boyce, S. G., 1995, Landskap Forestry, John Wiley & Sons INC, USA . Calder, W.,1981, Beyond the View - our changing landscapes. Inkata Press,
Melbourne. Jackson, J.B., 1986, The vernacular landscape, in Penning-Rowsell, E.C. & D. Lowenthal, Landscape Meanings and Values, Allen & Unwin, London, p 65 - 79. James, P.E., 1934
Departemen Kehutann Repulik Indonesia, UU 41/1999 tentang Kehutanan. Farida., 2004, Role of agroforestry in maintenance of hydrological functions in
water catchement areas, World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office.
Mustari , H., 2008, Hutan Desa, Pengakuan Hak Kelola Rakyat, Lembaga Genawan., Jakarta.
Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP)., 2007, Panduan Pendirian Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, Universitas Brawijaya.
PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.49/Menhut-II/2008, tentang Hutan Desa,
2008.
Senge, P., Kleiner, A., Roberts, C., Ross, R., Roth, G. and Smith, B. (1999) The Dance of Change: The Challenges of Sustaining Momentum in Learning Organizations, New York: Doubleday/Currency).
Sihite, J., Penilaian Ekonomi Perubahan Penggunaan Lahan:Studi Kasis Di Sub-DAS Besai - Das Tulang Bawang, Lampung, Prosiding Multifungsi Pertanian 2005, Universitas Trisakti Jakarta
Wu, J. dan R. Hobbs (Dunia Ketiga). 2007. 2007. Key Topics in Landskap
Ecology. Cambridge University Press, Cambridge. Cambridge University Press, Cambridge.
Yuwono, G, D.,. Masyarakat Lokal, Negara, dan Hutan Desa. Diakses tanggal 13
Nopember 2010. (http://www.kabarindonesia.com /berita.php ?pil=4&jd=Lomba+Tulis+YP HL%3A+Partisipasi+Masyarakat+Desa+ Secara+Optimal+Dalam+Pelestarian+Hutan+Dengan+Mengelola+Hutan+Desa&dn=20081030071458)
53
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100318055456AA2Ba6g
http://id.answers.yahoo.com/question/index?id=20100318055456AA2Ba6g http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/files/workingpaper/WP0
029-04.PDF http://www.infed.org/thinkers/senge.htm
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100318055456AA2Ba6g