studi kasus marsinah

13
MK : HAM DAN KEPOLISIAN TUGAS PERORANGAN PADA KULIAH TUTORIAL TANGGAL 17 OKTOBER 2008 DI POLDA BALI (DOSEN : IBU YUNDINI ERWIN, MA) I. PERTANYAAN : 1. Jelaskan tentang kasus Marsinah ! 2. Menurut Anda, apakah kasus Marsinah ini merupakan pelanggaran HAM atau bukan ? 3. Kalau ada Novum, bagaimana proses pengajuannya ? Jelaskan ! II. JAWABAN : 1. Penjelasan tentang Kasus Marsinah : Latar Belakang Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah— resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke

Upload: handik-zusen

Post on 14-Jun-2015

12.493 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Analisa kasus Marsinah

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI KASUS MARSINAH

MK : HAM DAN KEPOLISIAN

TUGAS PERORANGAN PADA KULIAH TUTORIAL TANGGAL 17 OKTOBER

2008 DI POLDA BALI (DOSEN : IBU YUNDINI ERWIN, MA)

I. PERTANYAAN :

1. Jelaskan tentang kasus Marsinah !

2. Menurut Anda, apakah kasus Marsinah ini merupakan pelanggaran

HAM atau bukan ?

3. Kalau ada Novum, bagaimana proses pengajuannya ? Jelaskan !

II. JAWABAN :

1. Penjelasan tentang Kasus Marsinah :

Latar Belakang

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra

Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—resah karena ada kabar

kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur.

Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk

menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada

minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS

mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan

kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran

Gubernur.

Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak

masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga,

Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data

tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang

ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai

penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan

unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari

ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama

Page 2: STUDI KASUS MARSINAH

memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam

yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan

shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta

merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil

meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.

Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di

perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah

meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS.

Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan

tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah

tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya

perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan.

Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan

pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai

dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah

perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.

Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha

tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh

dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat

dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak

tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat

PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan

psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh

di-PHK di tempat yang sama.

Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk

menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya

dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,

Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan

tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah

mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan

sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada

Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan

membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya.

2

Page 3: STUDI KASUS MARSINAH

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh

rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat

pada tanggal 9 Mei 1993.

Kematian Marsinah

Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,

Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa

ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya

penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua

pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam

keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda

keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah,

diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian

yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.

Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.

Proses Penyelidikan dan Penyidikan

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu

Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung

jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas

Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik

Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik

PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun, pemimpin

pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik

PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS

Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS

Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS

Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT

CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala

bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam

dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku

3

Page 4: STUDI KASUS MARSINAH

Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang

ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama

diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai

Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa

mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk

membunuh Marsinah.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah

mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat

pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D.

Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim

untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10

orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah

seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut

adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda

Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut

antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165

KUHP jo Pasal 56 KUHP.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di

bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di

dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi

dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan

Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono

(satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan

sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12

tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi

Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat

kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para

terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut

Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah

4

Page 5: STUDI KASUS MARSINAH

menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul

tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Temuan Komnas HAM

Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi

keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus

pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen

Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu

bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dengan

berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika

masalah itu dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan

terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati dhewe,

tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka

sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat. Tidak ada

keinginan menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa

kasus yang sudah terjadi tujuh tahun lalu itu hampir

mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum.

Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah

pengakuan dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang

memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum,

jangan politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal

Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang

yang melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada

solidaritas politik," katanya.

Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan

penahanan para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar

hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya

bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya

penganiayaan baik fisik maupun mental. Komnas HAM

mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.

Upaya Tindak Lanjut Penuntasan Kasus Marsinah

Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan

bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah

5

Page 6: STUDI KASUS MARSINAH

tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan

masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang

senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya

mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal

dengan sebutan kasus 1713.

Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut

pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden

Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri

agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna

mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan

era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki

komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus

Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah belum

terungkap.

2. Kasus Marsinah merupakan Pelanggaran HAM .

Dasar Yuridis

a. Pasal 1 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.

b. Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik

disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara

melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang

yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,

atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

6

Page 7: STUDI KASUS MARSINAH

c. Pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

meningkatkan taraf kehidupannya.

Fakta – fakta Kejadian

a. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,

Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak

dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka

memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-

lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-

kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga

karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang

sama menempel kain putih yang berlumuran darah.

b. Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Kasus Marsinah

tersebut oleh Polri termasuk temuan Komnas HAM, didapatkan

fakta bahwa kematian Marsinah diduga keras dilatarbelakangi

tindakan Marsinah yang sangat vokal saat unjuk rasa di PT CPS

dalam rangka menuntut kenaikan gaji buruh dan keberaniannya

menentang perlakuan aparat TNI AD di Kodim Sidoarjo yang

secara sewenang-wenang dan tanpa hak meminta beberapa buruh

PT CPS menandatangani surat PHK yang pada akhirnya

menyebabkan Marsinah dibunuh oleh pihak tertentu untuk

meredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat

itu.

Laporan Komnas HAM Tahun 2007 (hal. 37)

Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah pelanggaran HAM yang

tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini akan

menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen

dan pro status quo untuk mengungkap kasus-kasus pembunuhan

para pembela HAM seperti kasus aktivis buruh Marsinah,

wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim Syaifuddin dan

Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

7

Page 8: STUDI KASUS MARSINAH

Kesimpulan

Berdasarkan uraian tentang definisi HAM pada pasal 1 butir ke-1 jo

pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999, dikaitkan dengan dengan

adanya fakta kejadian tersebut diatas, serta didukung oleh

pernyataan Komnas HAM dalam laporan tahunannya pada tahun

2007, maka pembunuhan terhadap Marsinah dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun bukan

termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (vide pasal 7 UU

No. 26 tahun 2000), sebagaimana halnya dalam kasus

pembunuhan aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang

dalam nampak dalam proses hukumnya dengan diterapkannya

pasal-pasal dalam KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal-pasal

dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

3. Proses Pengajuan Novum

Apabila ada Novum (Bukti Baru) dalam kasus Marsinah, dapat diajukan

melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang prosesnya dilakukan

dengan cara permintaan PK tersebut diajukan pemohon kepada

panitera Pengadilan Negeri (PN) yang memutus perkara tersebut dalam

tingkat pertama. Selanjutnya PK tersebut diteruskan oleh PN kepada

Mahkamah Agung (MA) (vide pasal 264 KUHAP), dengan catatan

bahwa jangka waktu daluwarsa dalam kasus dimaksud belum

terlampaui / lewat, dalam Kasus Marsinah ini, mengingat pasal KUHP

dengan ancaman hukuman terberat yang diterapkan yaitu pasal 340

KUHP, yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup, maka jangka

waktu daluwarsanya adalah 18 (delapan belas) tahun (vide pasal 78

butir 1 ke-4 KUHP), yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2011.

Pemohon yang dapat mengajukan PK tersebut, apabila berpegang pada

ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu hanya terpidana atau ahli

warisnya, itu pun hanya berlaku terhadap putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewjisde), kecuali

putusan bebas (vrijspark) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag

rechts vervolging). Sehingga, apabila hanya mengacu secara eksplisit

8

Page 9: STUDI KASUS MARSINAH

terhadap ketentuan dimaksud, maka PK dalam kasus dimaksud tidak

dapat dilakukan karena putusan terhadap para terdakwa adalah bebas

dari segala dakwaan dan permohonan PK pun tidak diperkenankan

dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.

Namun, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada yaitu putusan MA

No. 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996, yang “menerima secara

formal” permintaan PK oleh Jaksa / Penuntut Umum dalam kasus

Muchtar Pakpahan yang juga digunakan oleh Kejaksaan Agung RI pada

pengajuan PK dalam Kasus Munir atas nama terdakwa Pollycarpus

dengan putusan PK bahwa terdakwa Pollycarpus terbukti secara sah

dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap

Munir sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP, dimana putusan

tersebut membatalkan putusan MA No. 1185 K/Pid/2006, tanggal 3

Oktober 2006, yang hanya menghukum terdakwa Pollycarpus karena

bersalah telah melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu dan

membebaskannya dari dakwaan melanggar pasal 340 KUHP.

Disamping Itu, dalam PK Kasus Munir, Jaksa / Penuntut Umum juga

menggunakan dasar yuridis dari ketentuan pasal 23 ayat (1) UU No. 4

tahun 2004 yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan

dapat mengajukan PK kepada MA, yang dalam hal ini diartikan oleh

Kejaksaan Agung RI bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tersebut

termasuk Jaksa / Penuntut Umum demi kepentingan umum.

Oleh karena itu, dalam Kasus Marsinah pun, Jaksa / Penuntut Umum

dapat mengajukan PK.

Referensi :

1. www.tempointeraktif.com

2. M. Yahya Harahap, S.H. Pembahasan Permasalahan dan

Penerapan KUHAP; pemeriksaan sidang pengadilan, banding,

kasasi dan peninjauan kembali.Penerbit Sinar Grafika/Edisi

Kedua Cetakan Keenam 2005/Jakarta.

3. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

4. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

9