studi kasus: dinamika self-forgiveness dikaitkan dengan ...€¦ · studi kasus: dinamika...
TRANSCRIPT
STUDI KASUS: DINAMIKA SELF-FORGIVENESS DIKAITKAN DENGAN
STRATEGI COPING PADA PECANDU NARKOBA
YANG MERUPAKAN ANAK ADOPSI
Oleh :
JANUARETTE GABRIELLA CHAAY
802008117
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Januarette Gabriella Chaay
NIM : 802008117
Progam Studi : S1 Psikologi
Fakultas : Psikologi
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, dengan judul:
STUDI KASUS: DINAMIKA SELF-FORGIVENESS DIKAITKAN DENGAN
STRATEGI COPING PADA PECANDU NARKOBA YANG MERUPAKAN
ANAK ADOPSI
Yang dibimbing oleh :
1. Rudangta A. Sembiring, M.Psi.
2. Krismi D. Ambarwati, M.Psi.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian
kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri
tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 5 Desember 2014
Yang memberi pernyataan
Januarette Gabriella Chaay
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Januarette Gabriella Chaay
NIM : 802008117
Progam Studi : S1 Psikologi
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
Hak bebas royalty non-eksklusif (non exclusive royalty free right) atas karya ilmiah
saya yang berjudul :
STUDI KASUS: DINAMIKA SELF-FORGIVENESS DIKAITKAN DENGAN
STRATEGI COPING PADA PECANDU NARKOBA
YANG MERUPAKAN ANAK ADOPSI
Beserta perangkat yang ada (bila perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih
media atau mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal : 5 Desember 2014
Yang menyatakan,
Januarette Gabriella Chaay
Mengetahui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Rudangta A.S., M.Psi. Krismi D. Ambarwati, M.Psi.
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI KASUS: DINAMIKA SELF-FORGIVENESS DIKAITKAN DENGAN
STRATEGI COPING PADA PECANDU NARKOBA
YANG MERUPAKAN ANAK ADOPSI
Oleh
Januarette Gabriella Chaay
802008117
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal: 5 Desember 2014
Oleh:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Rudangta A.S., M.Psi. Krismi D. Ambarwati, M.Psi.
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Ferdy Samuel Rondonuwu, Ph.D.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
STUDI KASUS: DINAMIKA SELF-FORGIVENESS DIKAITKAN DENGAN
STRATEGI COPING PADA PECANDU NARKOBA
YANG MERUPAKAN ANAK ADOPSI
Januarette Gabriella Chaay
Rudangta Arianti Sembiring
Krismi D. Ambarwati
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
ABSTRAK
Salah satu penyebab penggunaan narkoba adalah individu yang lari dari masalah atau
kesusahan hidupnya dan tidak mampu menghadapi tekanan dari lingkungan. Hal ini
sejalan dengan strategi coping yang digunakan yaitu, perilaku menghindar (avoidance).
Strategi coping tersebut dapat dilakukan oleh siapapun termasuk pecandu narkoba yang
merupakan anak adopsi. Ketika individu memiliki kecenderungan untuk mengampuni,
lebih sedikit simptom depresi yang dialami dan stressor yang dihadapi, bahwa stressor
tersebut dinilai berada pada titik yang rendah (Wald dan Temoshok, dalam
Riasnugrahani dan Wijayanti, 2011). Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran
dinamika self-forgiveness dan dikaitkan dengan coping pada pecandu narkoba yang
merupakan anak adopsi. Penelitian ini merupakan rancangan studi kasus untuk melihat
suatu keseluruhan yang mencakup hubungan-hubungan atau proses. Temuan penelitian
ini menunjukkan adanya perubahan strategi coping sebelum dan sesudah partisipan
masuk dalam proses self-forgiveness. Strategi coping yang digunakan lebih efektif
menjelang berakhirnya proses self-forgiveness. Maka bagi pecandu narkoba diharapkan
dapat menerapkan self-forgiveness agar strategi coping yang digunakan lebih efektif
dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.
Kata kunci : Self-forgiveness, coping, pecandu narkoba
ii
ABSTRACT
One of the causes of drug use are individuals who run away from trouble or distress of
his life and unable to cope with the pressure of the environment. This is in line with the
coping strategies used, namely, avoidance behaviors. The coping strategies can be done
by anyone, including drug addicts who are adopted. When individuals have a tendency
to forgive, fewer symptoms of depression and stressors faced, that stressors such as
being at a low point (Wald and Temoshok, in Riasnugrahani and Wijayanti, 2011). The
research objective was to determine the dynamics of self-forgiveness and coping on a
drug addict who is the child adoption. This research is a case study design to see a
whole which includes relationships or processes. The findings of this study indicate a
change in coping strategies before and after participants were included in the process
of self-forgiveness. Coping strategies are used more effectively towards the end of the
process of self-forgiveness. Therefore, drug addicts are encouraged to use the self-
forgiveness thus coping strategies used more effectively in dealing with the problems in
his life.
Keywords: Self-forgiveness, Coping, Drug Addict
1
PENDAHULUAN
Dari segi etimologi, kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda
“Adoptie” atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia online, anak angkat adalah anak orang lain yang diambil
(dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Sementara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak:
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga,
orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan setiap orang tua. Sama seperti anak lain, anak adopsi tidak harus
menimbulkan masalah namun orang tua mesti mewaspadai hal-hal berikut seperti
ketertolakan dan kemarahan, rasa tidak aman serta ketersesatan.
Menurut Gunarsa (2004) rasa aman dalam keluarga merupakan salah satu syarat
bagi kelancaran proses perkembangan anak. Keluarga dengan ikatan abadi merupakan
tempat yang memberi rasa aman bagi anak. Namun, tidak jarang dalam keluarga
seorang anak akan mengalami peristiwa-peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan,
penolakan dan frustrasi-frustrasi. Tentu saja hal ini bisa berdampak buruk bagi
perkembangan anak bila tidak mendapat kontrol dari orang tua dan juga anak tidak
mempunyai coping yang baik, maka hal tersebut dapat menjadi pemicu anak terjerumus
dalam kenakalan remaja. Menurut Kartono (2003) kenakalan remaja adalah perilaku
jahat atau kenakalan-kenakalan anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
2
sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Jenis-jenis
kenakalan remaja meliputi penyalahgunaan narkoba, seks bebas, tawuran antar pelajar,
dan lain sebagainya, dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penyalahgunaan
narkoba.
Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif
lainnya. Narkoba sering di kenal dengan istilah NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif). Narkotika adalah zat atau obat dari tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU Narkotika No
22 Tahun 1997 Pasal 1). Ada beberapa faktor penyebab penyalahgunaan narkotika pada
seseorang. Dipandang dari sisi kesehatan masyarakat, faktor penyebab timbulnya
penyalahgunaan narkotika adalah faktor individu dan faktor lingkungan. Tiap individu
memiliki perbedaan tingkat resiko untuk menyalahgunakan NAPZA. Alasan-alasan
yang biasanya berasal dari diri sendiri sebagai penyebab penyalahgunaan NAPZA
antara lain; keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang
mengenai akibatnya, keinginan untuk bersenang-senang untuk mengikuti trend atau
gaya. Selain itu, keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok. Lari dari
kebosanan, masalah atau kesusahan hidup dan juga pengertian yang salah bahwa
penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan ketagihan. Tidak mampu atau tidak berani
menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan
NAPZA dan tidak berani berkata tidak pada NAPZA (BNN, 2010).
Lari dari masalah dan ketidakmampuan dalam menghadapi masalah
berhubungan dengan strategi coping yang digunakan oleh individu. Menurut Lazarus &
Folkman (1984) dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan yaitu,
3
problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping, yaitu
usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan
lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Emotion-focused coping,
yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang dianggap penuh tekanan. Individu cenderung untuk menggunakan problem-
focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut
dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion-focused
coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol
(Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi
tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh
individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa penggunaan strategi emotion-
focused coping oleh anak-anak secara umum meningkatnya seiring bertambahnya usia
mereka (Band & Weisz, Compas et al., dalam Wolchik & Sandler, 1997).
Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) perilaku coping yang berorientasi pada
emotion-focused coping antara lain: avoidance, denial, self-criticism, dan positive
reappraisal. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, menghindar (avoidance) dari
masalah merupakan salah satu alasan seseorang menggunakan narkoba. Daya tarik
narkotika terletak pada kesanggupan untuk menciptakan perasaan nyaman, karena dapat
menghilangkan rasa takut, ketegangan dan kegugupan secara semu. Para pemakai pada
umumnya timbul rasa santai dan gembira. Dalam keadaan „high‟, yakni perasaan
gembira sekali, ditemukan suatu perasaan di luar kenyataan, seperti mimpi. Apabila
daya kerja narkotika mulai habis, perasaan „high‟ tersebut hilang, hidung dan mata
basah, muntah-muntah, otot sakit-sakit, perut sakit dan mual, kemudian muncul
4
halusinansi dan khayalan. Khayalan mulai berkembang dan dalam hal ini biasanya
timbul bayangan yang sangat menakutkan (Trevalga, 2000).
Upaya penanganan penyalahgunaan narkoba dipandang penting mengingat
masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proses rehabilitasi. Undang-undang
Narkotika no. 35, pasal 54 dan 55 mengatur kewajiban pecandu untuk melakukan
rehabilitasi. Rehabilitasi medis maupun sosial harus dijalani oleh para pecandu narkoba
diharapkan agar dapat membantu mereka kembali sehat, produktif, terbebas dari
perbuatan kriminal, dan terhindar dari ketergantungan terhadap narkoba. Masa
menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkoba juga merupakan suatu bentuk perlindungan
sosial yang mengintegrasikan pecandu narkoba ke dalam tertib sosial agar tidak lagi
melakukan penyalahgunaan narkoba.
Masa pemulihan merupakan suatu masa yang akan dilewati oleh seorang
pecandu yang memutuskan untuk berhenti menggunakan narkotika. Mereka akan diberi
pengobatan medis, psikologis dan terapi untuk ketergantungan zat. Kecanduan zat tidak
pernah dapat sepenuhnya diatasi jika tidak ada intervensi psikologis dan medis, tidak
hanya untuk mengobati ketergantungan fisik dan psikologis pada zat, tetapi juga untuk
membantu orang yang menderita dari kecanduan mengatasi tekanan hidup tanpa
menyalahgunakan zat, setelah mereka menyelesaikan program di pusat rehabilitasi. Ide
untuk mengikuti rehabilitasi mungkin menakutkan bagi sebagian orang yang berjuang
dengan kecanduan, sebagian besar karena memaksa mereka untuk mengakui bahwa
mereka memiliki masalah serius yang berada di luar kendali mereka. Bagi mereka yang
menjadi korban penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif lainnya, pengobatan yang
dilakukan dari segi medis, dalam arti melepaskan ketergantungan fisik tidak begitu sulit,
5
yaitu dengan pengobatan yang disebut dengan detoksifikasi yang memerlukan waktu
sedikitnya tiga minggu. Namun terkadang kekambuhan (relapse) datang kembali karena
faktor psikologis, atau kepribadian si pecandu dan faktor lingkungan (Trevalga, 2000).
Seperti yang sudah dipaparkan di awal, faktor penyebab penggunaan narkoba
juga berasal dari individu yang lari dari masalah atau kesusahan hidupnya serta tidak
mampu menghadapi tekanan dari lingkungan. Ketika individu memiliki kecenderungan
untuk mengampuni, lebih sedikit simptom depresi yang dialami dan stressor yang
dihadapi, serta bahwa stressor tersebut dinilai berada pada titik yang rendah (Wald dan
Temoshok, dalam Worthington, 2000). Oleh karena itu, pecandu diharapkan bisa
menerapkan self-forgiveness untuk bisa meredakan tekanan-tekanan tersebut sehingga
hal ini bisa meminimalkan peluang bagi pecandu untuk relapse. Enright (dalam
Worthington, 2005) mendefinisikan pemaafan pada diri sendiri adalah sebagai bentuk
kesediaan untuk melepaskan rasa kebencian diri sendiri dan mengakui bahwa dirinya
bersalah, sekaligus menumbuhkan rasa belas kasihan, kemurahan hati dan cinta
terhadap diri sendiri. Hall & Fincham (2003) berpendapat bahwa pemaafan sebagai
suatu perubahan motivasi dimana seseorang merasakan penurunan motivasi untuk
menghindari rangsangan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap dirinya
sendiri dan semakin menurun motivasi untuk membalas terhadap diri sendiri (misalnya:
menghukum diri, terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri, dan lain-lain) dan
semakin termotivasi untuk bertindak murah hati terhadap diri sendiri.
Menurut Enright (1996) ada empat fase pemaafan, yakni fase pengungkapan
(uncovering phase), fase keputusan (decision phase), fase tindakan (work phases), dan
fase hasil (outcome/deepening phase). Uncovering phase adalah fase yang meliputi
konfrontasi terhadap rasa sakit emosional yang terjadi akibat dari peristiwa
6
menyakitkan, kemudian merasa marah dan malu. Sedangkan decision phase merupakan
fase yang dipandang sebagai bagian kritis dari proses forgiveness. Dalam fase ini
individu mengeksplorasi ide forgiveness dan apa yang dilibatkan dalam proses
forgiveness sebelum berkomitmen untuk sungguh-sungguh mengampuni. Karena
pentingnya fase ini sebagai bagian dari proses forgiveness, fase ini dibagi ke dalam tiga
bagian, yakni meninggalkan masa lalu, memandang ke masa depan, dan memilih jalan
dari forgiveness. Selanjutnya, work phase adalah adanya kesadaran bahwa forgiveness
membutuhkan penerimaan terhadap luka yang dialami. Fase terakhir adalah
outcome/deepening phase dimana individu menemukan makna bagi diri sendiri dan
orang lain dalam penderitaan dan selama proses forgiveness. Selain itu, menyatakan
bahwa dirinya membutuhkan forgiveness dari orang lain pada masa lalu dan mempunyai
tujuan baru dalam hidup dikarenakan oleh penderitaannya. Tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini yaitu, mendeskripsikan gambaran self-forgiveness dan coping untuk
menghadapi masalah pada pecandu narkoba yang merupakan anak adopsi .
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus
yaitu desain penelitian yang melihat unit sosial sebagai suatu keseluruhan dan
penelitiannya biasanya mencakup hubungan-hubungan atau proses. Pengambilan data
menggunakan wawancara dan observasi. Selanjutnya, peneliti juga melakukan
triangulasi data dengan konselor yang menangani partisipan selama berada di panti
rehabilitasi. Triangulasi dilakukan di panti rehabilitasi sebanyak satu kali setelah
peneliti melakukan wawancara kedua dengan partisipan.
7
Partisipan
Partisipan adalah seorang laki-laki yang berusia 21 tahun. A salah satu residen
yang sedang menjalani program rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Sehat
Mandiri Yogyakarta. Sejak berusia lima bulan A sudah diadopsi oleh salah satu
keluarga, karena anak laki-lakinya telah meninggal dunia. Saat A berusia empat tahun
sang ibu meninggal dunia. A tinggal bersama ayah dan kedua kakaknya. Seiring
berjalannya waktu, sang ayah menikah lagi dengan wanita lain. Namun, pernikahan
sang ayah tidak diketahui oleh anak-anaknya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama
karena A dan kedua kakak akhirnya mengetahui bahwa ayahnya telah menikah.
Hubungan antara A serta kedua kakaknya dengan ibu tiri mereka tidaklah harmonis.
Setelah menikah, sang ayah tidak tinggal serumah lagi dengan A dan kedua
kakaknya. Sejak saat itu hubungan antara ayah dan anak-anak pun mulai renggang. A
yang dulunya sering di antar dan jemput sepulang sekolah, kini harus pergi dan pulang
sekolah sendirian. Sampai akhirnya saat perpisahan sekolah pun sang ayah maupun
kedua kakak tidak bisa hadir. Hal ini meninggalkan kekecewaan dalam diri A. Sejak
saat itu perilaku A berubah menjadi lebih agresif. Tidak jarang A sering terlibat
perkelahian fisik dengan temannya, hingga akhirnya A melanjutkan pendidikannya ke
sekolah menengah pertama. Tetapi karena pergaulan serta kurangnya kontrol dari orang
tua membuat A mudah terjerumus dalam pengaruh negatif.
Sejak duduk di bangku kelas dua SMP, A mulai mengenal minuman keras
hingga naik ke kelas tiga A sudah mencoba-coba menggunakan obat-obatan. A merasa
kehidupan keluarganya tidak sehangat sebelum ayahnya menikah dengan ibu tirinya.
Sang ayah seperti tidak punya waktu untuk bersama dengan A dan saudara-saudaranya.
A merasa ayahnya hanya sibuk mengurusi ibu tirinya dan seakan-akan tidak peduli
8
dengan kehidupan anak-anaknya. Hal ini menjadi alasan A menggunakan obat-obatan
terlarang. A ingin mencari jalan keluar dari masalah yang selama ini dihadapinya. A
lebih banyak menghabiskan waktu bersama komunitasnya dibandingkan dengan
keluarga, karena menurut A dirinya diterima dalam komunitasnya. Selain itu, A juga
terlibat dalam beberapa kasus kriminal hingga A menjadi tahanan pihak kepolisian.
Selain itu, A juga mengetahui bahwa dirinya adalah anak yang diadopsi oleh
keluarga yang selama ini sudah dianggapnya sebagai keluarga kandung.
Ketidakmampuan A dalam menghadapi kenyataan yang ada sejak kecil hingga A
beranjak dewasa, membuat A cenderung bersikap menghindar. Perilaku menghindar
ditunjukkan lewat penggunaan narkoba. Hingga akhir Desember tahun 2013, A mulai
mengikuti program rehabilitasi. A dijemput oleh pihak panti untuk mengikuti program
rehabilitasi. Saat A dibawa ke panti rehabilitasi, A sedang dalam kondisi teler. A
merasa sangat lelah dengan kehidupannya yang terus-menerus dikendalikan oleh obat-
obatan, sehingga A ingin pulih dari penyalahgunaan narkoba.
Peneliti melakukan pengambilan data sebanyak tiga kali, yang pertama
membangun rapport dengan partisipan dan pertemuan selanjutnya adalah wawancara
mendalam. Wawancara dilakukan di panti rehabilitasi, yang pertama pada tanggal 24
Februari 2014 pukul 09.35-10.50 WIB. Selanjutnya, wawancara kedua dilakukan pada
tanggal 28 Agustus 2014 pada pukul 10.44-11.45 WIB dan bertempat di panti
rehabilitasi. Partisipan adalah salah satu residen yang sedang mengikuti program
rehabilitasi di PSPP M.
Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara dengan
mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata perkata. Peneliti juga mengetik
9
hasil observasi lapangan yang didapatkan pada saat pengambilan data berlangsung.
Selanjutnya, proses pengodean pada transkrip memudahkan dalam proses analisis data.
Proses selanjutnya ialah penentuan tema serta makna di balik setiap kalimat yang
diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan
makna tersebut peneliti tambahkan pada bagian kiri transkrip. Kemudian berdasarkan
tema dan makna yang peneliti mengelompokkannya menjadi beberapa kategorisasi
tema.
HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa kategorisasi tema seperti berikut:
Latar belakang partisipan sebagai anak yang diadopsi, hubungan partisipan dengan
keluarga, permasalahan yang dihadapi partisipan sejak kecil hingga saat ini, coping
dalam menghadapi permasalahan, terlibat dalam penggunaan narkoba serta alasannya
menggunakan narkoba, mengikuti program rehabilitasi serta gambaran self-forgiveness
dan coping dalam menghadapi stressor, dan reward bagi diri partisipan berupa tawaran
menjadi konselor addict.
Latar belakang partisipan sebagai anak yang diadopsi
Partisipan adalah anak yang di adopsi oleh salah satu keluarga karena anak laki-
laki mereka meninggal dunia. Selain itu, pasca meninggalnya sang anak, ibunya sering
sakit-sakitan. Oleh karena itu, keluarga ini memutuskan untuk mengadopsi partisipan:
“Iya. Karna ibu ini dan bapak yang baru tadi, bapak dari kakak-kakakku itu
memang bukan bapak kandungku. Aku dulu diambil dari rumah sakit waktu
usiaku masih lima bulan, aku diadopsi sampai sekarang ini. Jadi, dulu sebelum
aku diangkat jadi anak, ibu ini punya anak cowok tapi meninggal. Setelah
kakaknya yang meninggal cowok, ibunya sakit-sakitan setelah adopsi anak
ibunya sembuh.”
10
Hubungan partisipan dengan keluarga
Setelah meninggalnya sang ibu, partisipan tinggal bersama ayah dan kedua
kakak angkatnya. Figur kelekatan partisipan digantikan oleh ayahnya:
“Ketika aku SD aku biasanya diantar dan dijemput sekolah. Dulu bapak selalu
punya waktu buat kami, cuma sekedar ngobrol biasa, ngumpul bareng gitu. Tapi
bapak ngingetin dengan cara kasar itu gak pernah, gak pernah. Didik anaknya
gak pernah dengan cara kasar tuh gak pernah.”
Menurut partisipan hubungannya dengan kedua kakak baik dan mereka berperan
sebagai orang tua bagi partisipan:
“Baik. Mereka malah berperan sebagai orang tua buat aku. Aku tinggal sama
mereka, aku makan bareng mereka.”
Permasalahan yang dihadapi partisipan sejak kecil hingga saat ini
Sejak usia empat tahun partisipan kehilangan kelekatan dengan ibu karena sang
ibu meninggal dunia:
“Setelah empat tahun kemudian ibu meninggal. Ya jadi sejak itu aku udah gak
ngerasain figure seorang ibu.”
Setelah kepergian almarhum ibu, partisipan tinggal bersama ayah dan kedua
kakaknya. Namun, beberapa tahun kemudian sang ayah menikah secara diam-diam
dengan wanita lain. Partisipan merasa kehilangan perhatian sejak ayahnya menikah lagi:
” Bapak sendiri selama beberapa tahun, bapak diam-diam nikah lagi, nikah siri.
Dan selama bapak menikah ini bapak kurang merhatiin anak karna ketika
bapak, jarang ada waktu dengan bapak. Tahu bapak nikah lagi aku mulai
sendiri disitu. Bapak cuma sekedar ngasih uang kami, ngobrol pun jarang, gak
kayak dulu lagi yang selalu ada waktu buat kami.”
Coping dalam menghadapi permasalahan
Dalam menghadapi masalah partisipan cenderung menghindar dengan cara
menggunakan narkoba. Partisipan merasa nyaman dan seolah-olah tidak mempunyai
beban ketika menggunakan narkoba:
11
“Iya aku lari ke situ, dengan yang harus aku terima dari kecil, aku gak bisa
nerima kenyataan, aku gak bisa hadapin masalah. Aku mulai kenal miras, masih
ngerasa kurang lain mulai kelas tiga SMP aku kenal obat-obatan. Dan masalah-
masalah yang ada itu saat make emang nyaman gitu seakan-akan gak ada
beban gitu. Lambat laun ketika udah mulai ada masalah dikit-dikit larinya ke
situ, gak bisa ngerasain masalah akhirnya ke situ lagi.
Partisipan juga merasa lebih nyaman dengan komunitasnya dibandingkan
keluarga:
“Ya jadi sejak itu aku udah gak ngerasain figur seorang ibu dan kedekatan
dengan bapak, jadi aku lebih nyaman dengan komunitasku. Cuma dengan
teman-teman, bahkan keluarga dari teman-temanku udah anggap aku kayak
anak sendiri, entah aku di Jogja, entah aku di Magelang, entah aku di Rembang,
mereka anggap aku kayak anaknya sendiri yang bikin aku jauh lebih nyaman ya
itu.”
Terlibat dalam penggunaan narkoba serta alasannya menggunakan narkoba
Partisipan terlibat dalam penggunaan narkoba sejak duduk di bangku kelas tiga
sekolah menengah atas. Partisipan mengaku alasannya menggunakan narkoba karena
kurangnya perhatian dari sang ayah. Berawal dari mengkonsumsi minuman keras
hingga pada penggunaan narkoba:
“Nah, itu awalnya kenapa aku mulai minum, mulai make obat-obat karna
ngerasa udah gak diperhatiin jadi larinya ke sana. Mulai aku kenal miras aku
duduk dibangku sekolah kelas dua SMP. Selama bapak menikah ini bapak
kurang merhatiin anak. Bapak cuma sekedar ngasih uang kami, ngobrol pun
jarang, gak kayak dulu lagi yang selalu ada waktu buat kami. Nah, itu awalnya
kenapa aku mulai minum, mulai make obat-obat. Karna ngerasa udah gak
diperhatiin jadi larinya ke sana.”
“Saat itu emang karena kurangnya perhatian sama orang tua, dengan bapak
nikah lagi. Tapi lambat laun dari masalah yang datang itu aku tahu aku emang
terbebani dan ternyata aku emang gak bisa buat hadapin itu.”
Keterlibatan partisipan dalam penggunaan narkoba juga berpengaruh pada
perilakunya yang cenderung anti sosial seperti, meminta uang dengan paksa (malak)
kepada temannya, mencuri dan merampok:
“Iya duit hasil malak-malakin teman di sekolah, kalau make uang saku kita
sendiri gak cukup buat beli, otomatis butuh tambahan uang, jadinya malakin
12
teman-teman. Dan itu dia ketika tuntutan untuk setiap kali ada masalah aku
harus make obat itu yang selalu memaksa aku untuk berbuat kriminal dengan
mencuri, merampok, menjambret, segala macamnya.”
Timbul perasaan jenuh dengan keadaanya yang terus-menerus berada di bawah
ketergantungan terhadap narkoba. Selain itu, adanya keinginan agar partisipan bisa
mewujudkan kehidupan yang lebih baik di masa depan:
”Aku juga udah merasa jenuh dan bosan dengan make obat, gak ada pandangan
yang baik ke depan rasanya semua ini, seperti gak berujung.”
Kejenuhannya juga nampak dalam tindakan partisipan yang mengaku sudah
berulang kali mencoba untuk berhenti menggunakan narkoba, tetapi usahanya gagal:
“berulang kali aku coba berhenti, tapi belum bisa.”
Kejenuhan yang dirasakan partisipan disebabkan oleh keinginan partisipan untuk
hidup normal tanpa menggunakan narkoba. Selain itu, partisipan juga tidak ingin
menyusahkan banyak orang:
“Aku juga uda bosan kayak gitu terus, gak mau ngerepotin banyak orang. Aku
pengen hidup normal.”
Mengikuti program rehabilitasi serta gambaran self-forgiveness dan coping dalam
menghadapi stressor
Pada awal Desember 2013 partisipan mulai mengikuti program rehabilitasi,
walaupun saat itu partisipan dalam keadaan mabuk dijemput oleh pihak panti:
“Waktu itu dijemput sama bro E, pas itu aku dalam keadaan make aku ke sini.”
Diawal keberadaannya di panti, partisipan merasa sendirian dan cenderung
menutup diri dari interaksinya dengan lingkungan sekitar. Partisipan mengaku tidak
peduli dengan orang sekitarnya dan lebih menikmati hidupnya sendiri. Partisipan
merasa ego yang tinggi disebabkan karena sampai saat itu partisipan belum bisa
memaafkan dirinya sendiri:
13
“Pertama kali masuk sini, yang aku rasa aku ngerasa aku sendiri disini aku
udah gak punya siapa-siapa, aku udah ngerasa gak punya orang tua lagi, aku
sendiri disini. Disini emang ngerasa sendiri, aku ga peduli dengan orang-orang
yang ada disini, gak ada peduli aku cuma dikamar, nyuruh bersih-bersih aku
bersih-bersih terus ke kamar lagi, jauh lebih menikmati hidup sendiri. Aku
kemarin-kemarin gak bisa kayak gini, gak mau ngobrol sama orang tapi
syukurlah sekarang udah bisa kayak gini ngobrol sama orang. Pokoknya aku
gak ngerasa peduli dengan perasaan orang lain, cuma mentingin diri sendiri aja
egonya emang benar-benar tinggi disitu. Karna belum bisa maafin diri sendiri
juga, belum bisa damai dan sampai masuk di PSPP ini.”
Partisipan cenderung melakukan avoidance saat akan kembali ke lingkungan
sosialnya. Karena partisipan menilai bahwa lingkungan sosialnya mempunyai peluang
untuk bisa relapse:
“Aku belum mau untuk pulang ke Y, belum siap aku. Masih belum mampu,
masih belum ada keberanian untuk tinggal di Y lagi. Aku bakal keluar kota
entah keluar kota atau keluar pulau. Jauh lebih banyak mereka yang seperti aku
karna emang daerahku itu banyak. Belum berani aku, mending di luar Jogja.
Karna menurutku pertama aku gak tahu seluk beluknya jadi aku lebih hati-hati
disitu, mulai melangkah dengan hidup yang baru, bakal jauh lebih mudah
meskipun ya di daerahku sendiri.”
Sejak partisipan melarikan diri dan relapse, partisipan mulai kehilangan
kepercayaan dari keluarga. Hal ini berdampak pada kesempatannya untuk bisa pulang
(home live) karena menurut data triangulasi, pihak keluarga mengkhawatirkan kondisi
partisipan jika diberi kesempatan home live. Namun, secara perlahan-lahan kepercayaan
itu dapat dibangun kembali hingga partisipan diperbolehkan home live:
“Terus ketika dia akan pulang akhirnya menjadi tidak bisa kan karena
keluarganya jangan dulu bro kalau sekarang kami khawatir nanti di rumah dia
akan nyari barang lagi.”
“Mereka belum bisa memaklumi, belum mau untuk memaklumi. Karena
berulang kali aku minta maaf tapi kenyataannya apaan gitu ? Gak ada! Jadi
pelan-pelan aku dijenguk, mulai terbangun lagi kepercayaanya sampai aku bisa
pulang lagi.”
Partisipan diperbolehkan pulang (home live) dalam beberapa hari oleh pihak
panti. Namun, menurut triangulasi data, selama home live partisipan menghabiskan
waktunya di rumah:
14
“Oh, baik-baik aja kok di rumah gak ke mana-mana, mainan aja sama
keponakannya.”
Proses self-forgiveness yang dialami oleh partisipan
Proses self-forgiveness di awali dengan timbulnya perasaan malu dengan
statusnya sebagai seorang pecandu:
“Mereka tahunya aku di pesantren ga di panti sini. Aku malu sih sebenarnya
sama mereka.”
Mulai bisa memaafkan dirinya karena partisipan tidak ingin di masa yang akan
datang dirinya hanya dibayangi perasaan bersalah:
“Udah bisa memaafkan diri sendiri pelan-pelan. Karena aku gak mau makin ke
depan cuma dihantui perasaan bersalah gitu.”
Partisipan merasa bahwa proses untuk bisa memaafkan dirinya bukanlah hal
yang mudah untuk dijalani. Namun, partisipan merasa mendapat dukungan dan motivasi
dari residen yang lain sehingga dalam menghadapi masalahnya partisipan tidak lagi
melakukan avoidance:
“Ya prosesnya sih berawal dari hal yang gak enak dulu. Kita dipentokin dengan
segala macam masalah ketika kita diingatkan dengan kesalahan kita segala
macam. Cuma memang recovery seorang addict itu ya itu mereka selalu
blocking gak pernah, gak mau untuk mengakui kesalahannya kan. Emang
awalnya rasanya emang semua aku yang salah cuma dengan mereka pentokin
seperti itu, mereka kasih feedback ke aku, kasih motivasi ke aku. Misalnya, kamu
harus hadapin karena itu udah kamu lakuin, sekarang semuanya udah kamu
rasain, kamu ambil dan kamu entah ngelakuin hal apapun entah itu yang
pertama udah ngerugiin diri kamu sendiri, yang kedua merugikan keluarga, dan
ketiga merugikan masyarakat dan orang-orang lain. Ya pelan-pelan dan selalu
seperti itu aku bisa maafin diriku sendiri, tapi disitu juga aku tetap ada
hubungan dengan keluarga.”
Selain itu, partisipan juga sudah bisa menerima luka-luka batin di masa lalu yang
pernah dialaminya:
“Kalau dipresentasekan untuk saat ini kurang lebih udah delapan puluh lima
persen, aku bisa menerima.”
15
Walaupun dulu hubungan partisipan dengan ibu tiri tidak harmonis, namun
partisipan sudah mulai membuka diri untuk bisa bertemu dengan ibu tirinya dan
membangun hubungan baik dengan beliau dan anggota keluarga yang lain:
“Dari yang terakhir kita bincang-bincang sampai saat ini ya alhamdulilah
sudah mulai lagi terjalin kedekatan dengan keluarga dan apa yang aku sampein
ke keluarga dan aku mintaa maaf ke mereka. Ketemu sama ibu tiri ini kami
ngobrol, aku minta maaf, coba sampein apa yang jadi uneg-unegku dan juga
dengar apa yang mereka mau dari aku.”
Partisipan mengaku setelah mengalami berbagai masalah dan proses self-
forgiveness, partisipan menemukan makna diri yang sebenarnya:
“aku hidup tuh bukan hanya untuk diriku sendiri tapi untuk orang lain. Karena
masing-masing dari kita ini, kita memiliki peran, kita memiliki arti dari sebuah
kehidupan. Makanya kita gak boleh egois, gak boleh mementingkan diri sendiri.
Dimana pun tempat yang kita singgahi disitu pasti ada orang lain selain kita.
Dan mau gak mau aku harus bisa buat bermasyarakat dan mengerti bahwa
bukan hanya kita yang ingin selalu dimengerti.”
16
PEMBAHASAN
Bagan latar belakang partisipan
Keterangan:
X : Ibu yang mengadopsi partisipan
X‟ : Ibu tiri partisipan
Y : Mantan suami ibu angkat partisipan
Y‟ : Bapak yang mengadopsi partisipan
Latar belakang kehidupan serta stressor di awal kehidupan
Saat partisipan berusia empat tahun ibunya meninggal dunia, partisipan tinggal
bersama ayah dan kedua kakaknya. Setelah kepergian almarhum sang ibu, partisipan
mengaku merasa sangat kehilangan figur seorang ibu, mengingat usianya yang masih
terlalu dini dan masih sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu. Maka bisa dikatakan
XY adalah pasangan
suami isteri yang tidak
mempunyai keturunan
X dan Y bercerai, lalu X menikah
dengan Y‟ dan mempunyai tiga
anak; dua anak perempuan dan
satu anak laki-laki
Namun, anak laki-lakinya
meninggal dunia. Setelah
meninggal dunia X sering
sakit-sakitan
Tetapi saat partisipan berusia
empat tahun, X meninggal
dunia. Partisipan merasa
kehilangan figur seorang ibu.
Partisipan tinggal bersama Y‟
dan kedua kakak
perempuannya
Namun, secara diam-diam Y‟
menikah lagi dengan X‟.
Setelah menikah Y‟ tidak lagi
tinggal serumah dengan
partisipan dan kedua kakak
perempuannya
X dan Y‟ mengadopsi
partisipan dari salah satu
rumah sakit di Magelang. Pada
saat itu usia partisipan baru
lima bulan. Setelah partisipan
diadopsi kesehatan X
berangsur membaik
17
bahwa partisipan sudah kehilangan kelekatan dengan ibunya. Istilah kelekatan
(attachment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog Inggris pada
tahun 1985 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap
dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969. Kelekatan merupakan suatu ikatan
emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan
Dearing, 2002). Bowlby (dalam Haditono dkk, 1994) menyatakan bahwa hubungan ini
akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan
kelekatan anak pada ibu atau figur lain penggati ibu.
Hal ini juga dialami oleh partisipan yang mana setelah meninggalnya almarhum
sang ibu, figur kelekatan digantikan oleh ayahnya. Awalnya hidup keluarga mereka
berjalan normal seperti keluarga pada umumnya, terbukti partisipan mengaku bahwa
mereka selalu mempunyai waktu untuk berkumpul bersama, bercanda gurau dan
berbagi cerita satu sama lain. Selain itu, saat partisipan duduk di bangku sekolah dasar
sang ayah sering mengantar dan menjemputnya seusai sekolah. Namun, seiring
berjalannya waktu, secara diam-diam ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Sejak
menikah lagi, sang ayah tidak tinggal serumah dengan anak-anaknya, tetapi tinggal
bersama ibu tiri mereka. Sang ayah lebih banyak menghabiskan waktu bersama
keluarganya yang baru dibandingkan dengan partisipan dan kedua kakaknya. Partisipan
mulai merasa kehilangan kedekatan dengan sosok sang ayah semenjak ayahnya
menikah. Ayahnya sibuk mengurusi keluarga barunya, sedang anak-anaknya tidak lagi
mendapat perhatian seperti dulu. Kesibukan sang ayah membuat hubungan mereka
menjadi renggang, terbukti partisipan mengaku bahwa mereka sudah tidak pernah
berkumpul lagi bersama seperti dulu sebelum ayahnya menikah. Selain itu, ayahnya
18
sudah tidak pernah mengantar dan menjemputnya lagi sepulang sekolah. Hal ini bisa
dikatakan sebagai stressor di awal kehidupan partisipan.
Penelitian pada anak-anak yang tidak tinggal dengan ayah dan ibunya akan
berujung pada penyalahgunaan obat-obatan (Hoffmann, 2002). Begitu juga yang
dialami oleh partisipan, sejak berada di bangku sekolah menengah atas partisipan mulai
mengkonsumsi narkoba. Menurut Hawari (2009), penyalahgunaan NAZA (narkotika,
psikotropika dan zat adiktif) dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu ketergantungan
primer, ketergantungan reaktif dan ketergantungan simtomatis. Partisipan termasuk
dalam golongan pertama yaitu, ketergantungan primer yang ditandai dengan kecemasan
dan depresi yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil.
Selain itu, menurut Hawari faktor penyebab penyalahgunaan NAZA, yaitu faktor psikis
seperti mencari kesenangan dan kegembiraan, mencari inspirasi, melarikan diri dari
kenyataan, rasa ingin tahu, meniru, mencoba dan sebagainya. Hal ini juga terjadi pada
partisipan yang mana menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian dari kenyataan
yang harus diterimanya. Partisipan cenderung merasa lebih nyaman ketika
menggunakan narkoba, sehingga saat diperhadapkan dengan masalah maka partisipan
menunjukkan sikap avoidance dengan menggunakan narkoba.
Coping terhadap stressor di awal hidup
Ada dua strategi dalam coping yaitu, problem-focused coping dan emotion-
focused coping. Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara
bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu. Dari hasil
pemaknaan yang sudah dipaparkan peneliti di atas menunjukkan bahwa partisipan
cenderung menggunakan emotion-focused coping. Emotion-focused coping merupakan
sekumpulan proses kognitif yang diarahkan untuk mengurangi penderitaan emosional
19
dan mencakup strategi seperti menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif
memilih perhatian, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa
negatif (Lazarus & Folkman, 1984). Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang
menemukan bahwa partisipan cenderung menghindar (avoidance) saat menghadapi
masalahnya. Saat partisipan melakukan avoidance perilaku yang ditunjukkan adalah
mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Nampak juga dalam kesehariannya
sewaktu masih di sekolah, partisipan memalak temannya untuk mendapatkan uang agar
bisa membeli minuman keras dan narkoba. Selain itu, partisipan juga lebih banyak
menghabiskan waktu di luar rumah bersama komunitasnya, sebagai bentuk menjaga
jarak dan meminimalisir masalah yang akan dihadapi. Terbukti bahwa partisipan
mengaku setelah dua tahun berada di sekolah menengah pertama dirinya mulai
mengenal minuman keras dan setelah naik ke kelas tiga sudah mulai menggunakan
narkoba. Partisipan jarang pulang ke rumah, kalau pun pulang itu hanya untuk meminta
uang saku, tetapi setelah itu pergi lagi. Suasana rumah yang sudah berbeda serta
kurangnya perhatian dari sang ayah membuat partisipan mulai tidak nyaman berada di
dalamnya. Keadaan ini terus dirasakan partisipan hingga dirinya menyelesaikan
pendidikan di sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Partisipan merasa bahwa dirinya lebih nyaman saat berada di tengah-tengah
komunitasnya.
Namun ternyata avoidance yang digunakan oleh partisipan tidak bisa
menolongnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sebaliknya strategi
tersebut membuat masalah baru dalam hidupnya. Saat partisipan terlibat dalam
penyalahgunaan narkoba, dirinya kerap terlibat dalam tindakan kriminal yang membuat
partisipan menjadi tahanan pihak kepolisian. Hal ini tidak membuat partisipan jera,
20
tetapi tindakan kriminal terus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya.
Hingga partisipan kehilangan kesempatannya untuk bisa tetap melanjutkan pendidikan
ke sekolah menengah atas. Partisipan putus sekolah saat dirinya berada di semester
pertama kelas satu sekolah menengah atas.
Fase kejenuhan
Seiring berjalannya waktu, timbul perasaan jenuh dalam diri partisipan berkaitan
dengan kehidupan yang terus-menerus berada di bawah pengaruh minuman keras dan
ketergantungannya pada narkoba. Keadaan jenuh berarti bahwa objek atau aktivitas
yang sebelumnya diinginkan menjadi tidak lagi disukai karena pengalaman yang terus-
menerus dengannya. Sesuatu yang terlalu banyak menyebabkan kejenuhan dan
kemuakan (Lewin, 1951, dalam Hall & Lindzey, 1993). Partisipan berulang kali
mencoba untuk berhenti menggunakan narkoba namun usahanya selalu gagal, karena
partisipan menyadari bahwa lingkungan sosialnya sangat kental dengan pengaruh
negatif tersebut. Adapun hal-hal yang menyebabkan kejenuhan itu muncul karena
partisipan menganggap perlunya mewujudkan kehidupan yang lebih baik di masa
depan, serta tidak ingin menyusahkan orang lain.
Dinamika self-forgiveness dan coping dalam menghadapi masalah
Partisipan juga harus pulih dari ketergantungannya pada narkoba. Oleh karena
itu partisipan berada di PSPP Sehat Mandiri Yogyakarta guna mengikuti program
rehabilitasi. Masa pemulihan merupakan suatu masa yang akan dilewati oleh seorang
pecandu yang memutuskan berhenti menggunakan narkotika.
Tahap 1 : Sesudah masuk ke panti rehabilitasi
Seperti yang sudah dipaparkan di awal, faktor penyebab penggunaan narkoba juga
berasal dari individu yang lari dari masalah atau kesusahan hidupnya serta tidak mampu
21
menghadapi tekanan dari lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan yang dirasakan
partisipan bahwa dirinya tidak mampu menghadapi masalah-masalahnya. Menurut
penelitian Wald dan Temoshok (dalam Worthington, 2000) ketika individu memiliki
kecenderungan untuk mengampuni, lebih sedikit simptom depresi yang dialami dan
stressor yang dihadapi, serta bahwa stressor tersebut dinilai berada pada titik yang
rendah. Maka bisa dikatakan bahwa self-forgiveness dapat meredakan tekanan-tekanan
tersebut.
Di awal keberadaan partisipan di panti rehabilitasi, partisipan mengaku bahwa
dirinya merasa terbebani berada di tempat tersebut. Hal ini bisa dikatakan sebagai
stressor yang dialami partisipan. Namun, untuk menanggulanginya partisipan
cenderung menutup diri dari interaksi sosial di dalam panti. Partisipan lebih banyak
menyendiri dan tidak peduli dengan keberadaan orang lain. Menurut partisipan ego
yang tinggi diakibatkan karena partisipan belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Selain
itu, partisipan juga merasa belum mampu untuk kembali ke lingkungan sosialnya.
Stressor yang dialami partisipan bersumber dari lingkungan sosial yang dinilai masih
sangat kental dengan pengaruh negatif khususnya dalam penyalahgunaan narkoba. Oleh
karena itu, strategi coping yang dilakukan partisipan adalah dengan menghindar
(avoidance). Setelah menyelesaikan program rehabilitasinya, partisipan berencana akan
keluar dari kota Y bahkan keluar pulau Jawa. Karena menurut partisipan, saat dirinya
berada di tempat yang baru, partisipan akan lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga
partisipan tidak terjerumus dalam pengaruh negatif. Selanjutnya, partisipan juga
mengaku bahwa terkadang saat dirinya mendengarkan musik, partisipan seperti
merecall ingatannya serta muncul keinginan untuk menggunakan narkoba. Namun,
keadaan tersebut bisa dihadapinya dengan cara partisipan selalu berusaha melawan
22
keinginannya untuk relapse misalnya dengan membaca buku. Maka bisa dikatakan
bahwa partisipan menggunakan problem focused coping untuk menghadapi stressornya,
karena saat muncul keinginan untuk relapse partisipan berusaha mencari solusi agar
dapat mengatasinya. Coping ini efektif karena dapat meredakan keinginan partisipan
untuk relapse. Hal ini sejalan dengan definisi problem focused coping merupakan
bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari
situasi yang penuh tekanan. Artinya coping yang muncul terfokus pada masalah
individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang
baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa
tuntutan dari situasi dapat diubah (Flokman & Lazarus dalam Sarafino, 2006). Strategi
ini melibatkan usaha yang melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang
mengancam individu (Taylor, 2009).
Tahap 2 : Setelah beberapa bulan berada di panti rehabilitasi
Beberapa bulan di awal masa pemulihannya, partisipan berpartisipasi dalam kegiatan
sosialisasi yang dilakukan oleh pihak panti di kampung tempat tinggalnya. Partisipan
mengaku merasa malu dengan statusnya sebagai pecandu narkoba. Hal ini sejalan
dengan uncovering phase pada self-forgiveness yang menyatakan bahwa korban
mengakui adanya rasa malu. Di sisi lain partisipan merasa adanya dukungan dari
masyarakat tempat tinggalnya, sehingga partisipan merasa bahwa dirinya harus
sungguh-sungguh menjalani proses pemulihannya.
Seiring berjalannya waktu partisipan merasa perlu memaafkan dirinya sendiri,
karena partisipan tidak ingin di masa yang akan datang partisipan dihantui oleh perasaan
bersalah. Selain itu, partisipan juga ingin mewujudkan kehidupan yang lebih baik di
23
masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan decision phase yang merupakan
keinginan mempertimbangkan self-forgiveness serta perubahan hati dan pemahaman
baru. Partisipan mengaku bahwa setelah diperhadapkan dengan berbagai masalah sejak
kecil sampai saat ini, akhirnya partisipan menyadari bahwa dirinya tidak mampu
menghadapi kenyataan dan masalah dalam hidupnya. Hal ini konsisten dengan ciri
dalam uncovering phase yaitu, mengakui kesalahan. Proses self-forgiveness pada
partisipan juga ditandai dengan adanya keinginan partisipan membuka diri untuk
bertemu dan membangun hubungan yang baik dengan ibu tirinya. Hal ini sejalan
dengan work phase yang merupakan kesadaran bahwa forgiveness membutuhkan
penerimaan terhadap luka yang dialami.
Selain itu, strategi coping yang digunakan partisipan adalah problem-focused
coping. Hal ini nampak dari kesediaan partisipan untuk bertemu dengan ibu tirinya
secara langsung. Partisipan tidak lagi menunjukkan perilaku avoidance yang dulu
diakuinya sangat sering partisipan gunakan, karena partisipan menganggap bahwa
beliau tidak pantas bertemu dengannya.
Tahap 3 : Menjelang berakhirnya program rehabilitasi
Dari setiap masalah bahkan proses self-forgiveness yang dijalaninya, partisipan
mengaku telah menemukan makna bagi dirinya sendiri. Partisipan mengatakan bahwa
hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Oleh karena
itu, partisipan belajar untuk tidak mementingkan dirinya sendiri. Selain itu, setelah
mengikuti program rehabilitasi partisipan ingin mencari pekerjaan serta kesibukan, tidak
ingin terjerat lagi dalam penggunaan narkoba. Sejalan dengan hal ini outcome phase
24
adalah memperoleh tujuan baru dalam hidup dikarenakan oleh penderitaannya serta
menemukan makna bagi diri sendiri.
Menjelang berakhirnya proses self-forgiveness yang dilakukan oleh partisipan,
maka strategi coping yang digunakan lebih efektif. Hal ini terbukti karena partisipan
menyadari bahwa saat ini partisipan dapat menghadapi masalahnya tanpa menggunakan
narkoba. Terbukti partisipan sudah bisa membuka diri untuk bertemu dan membangun
hubungan baik dengan ibu tirinya. Sebelum partisipan masuk dalam proses self-
forgiveness, partisipan cenderung menghindar (avoidance). Namun saat ini, strategi
coping yang digunakan lebih cenderung pada problem-focused coping. Partisipan juga
merasa adanya dukungan sosial dari orang sekitarnya seperti, sesama residen maupun
konselornya di panti rehabilitasi. Adanya dukungan tersebut semakin meyakinkan
partisipan bahwa perilaku menghindar (avoidance) tidak dapat menyelesaikan masalah
yang ada, tetapi masalah tersebut harus dihadapinya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses self-forgiveness yang
dilalui partisipan bukanlah hal yang mudah, karena partisipan harus diperhadapkan
dengan berbagai masalah dari dalam maupun dari luar dirinya. Masalah dari dalam diri
seperti partisipan belum siap menerima kenyataan dan menghadapi masalah dalam
hidupnya sehingga menjadikan narkoba sebagai jalan pintas demi mencari kenyamanan
sesaat. Seiring berjalannya waktu, partisipan mulai menyadari bahwa hal terpenting
untuk bisa melangkah menuju masa depan adalah melepaskan masa lalu dengan cara
memaafkan dirinya sendiri. Partisipan tidak ingin di masa yang akan datang dirinya
hanya merasa bersalah atas kesalahan yang diperbuatnya.
25
Temuan dari penelitian ini menunjukan adanya perubahan strategi coping yang
digunakan oleh partisipan sebelum dan sesudah adanya self-forgiveness. Sebelum
partisipan masuk dalam proses self-forgiveness partisipan cenderung menggunakan
emotion-focused coping dengan menunjukkan perilaku avoidance. Perilaku avoidance
ini nampak dari keterlibatan partisipan dalam penggunaan narkoba. Namun, setelah
partisipan berada dalam proses self-forgiveness, partisipan mulai bisa menghadapi
masalahnya sendiri tanpa menunjukkan perilaku avoidance. Partisipan juga menyadari
bahwa dirinya mampu menghadapi masalahnya tanpa menggunakan narkoba.
Selanjutnya, partisipan juga merasa adanya dukungan sosial dari orang sekitarnya
seperti, sesama residen maupun konselornya di panti rehabilitasi. Adanya dukungan
tersebut semakin meyakinkan partisipan bahwa perilaku menghindar (avoidance) tidak
dapat menyelesaikan masalah yang ada, tetapi masalah tersebut harus dihadapinya.
Melalui penelitian ini, bagi pecandu narkoba diharapkan bisa menerapkan self-
forgiveness sebagai strategi coping untuk bisa meredakan tekanan-tekanan dalam
hidupnya. Bagi pihak keluarga dan petugas di panti rehabilitasi agar dapat memberikan
dukungan kepada pecandu yang sedang bahkan sudah selesai mengikuti program
rehabilitasi dalam proses self-forgiveness. Selain itu, adanya program yang lebih efektif
guna mempersiapkan psikis dari pecandu berkaitan dengan proses self-forgiveness dan
strategi coping. Selanjutnya, bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan dukungan
serta penerimaan yang positif bagi para pecandu agar mereka bisa kembali menjalankan
kehidupannya seperti individu pada umumnya. Selain itu, mengingat masih adanya
kekurangan dalam penelitian ini maka, bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat
mengkaji lebih dalam lagi mengenai coping yang efektif dalam menghadapi stressor
pada pecandu narkoba.
26
DAFTAR PUSTAKA
BNN. (2010). Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
Bagi Lembaga Instansi. Jakarta. Tim Ahli.
Enright, R.D. (1996). Counseling within the forgiveness traid: On forgiving, receiving
forgiveness, and self-forgiveness. Counseling & Values,40(2), 107-127.
Fincham, F. D., Hall, J., & Beach, S. R. H. (2006). Forgiveness in Marriage: Curent
status and future directions. Family Relations, 55(4), 415-426.
Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. Gunung
Mulia.
Haditono, dkk. (1998). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hall, L & Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (klinis) Ahli Bahasa:
Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.
Hawari, D. (2009). Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza. Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI.
Kartono, K. (2003). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali.
Lazarus, S. & Folkman, R.S. (1986). Stress, Appraisal, and Coping. Springer: New
York.
Mc Cartney, K., & Dearing, E., (ED). (2002). Child Development. Mc Millan
Refference USA.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Riasnugrahani, M., & Wijayanti, Y. (2011). Studi Kasus Mengenai Forgiveness pada
Wanita dengan HIV/AIDS yang Teinfeksi Melalu Suaminya. Prosding
Konferensi Nasional “Pain Management & Quality of Life,” 180-90.
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology: Biopsychology Interactions. Fifth Edition.
US: John Wiley & Sons.
Taylor, G. I. (1991). Current views of the aluminium stress response. The physiological
basis of tolerance. Current Topics in Plant Biochem and Physiol, 10, 57-93.
Trevalga, S. 2000. Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Generasi Muda. Jurnal
Psikologi, 5(1), 33-45.