studi hukum terhadap pelaku kelalaian kepemilikan senjata …
TRANSCRIPT
STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL
(Analisis Putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt)
Skripsi
Di ajukan kepada Fakultas Syariah & Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD SYAIFULLOH
NIM: 11140450000090
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA
2021/1442 H
i
STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL
(Analisis Putusan Pengadilan Nomor: 4/Pid.B/2020/PN Bnt)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Ahmad Syaifulloh
NIM: 11140450000090
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
NIP: 195903191979121001 NIP: 197202032007011034
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H/2021 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN
KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL (Analisis Putusan Pengadilan
Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt)’ telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Agustus 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata (S-1)
pada Program Studi Hukum Pidana Islam.
Jakarta, 04 Agustus 2021
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A
NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A. (………………)
NIP. 196906292008011016
2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (………………)
NIP. 197604082007101001
3. Pembimbing I : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. (………………)
NIP. 195903191979121001
4. Pembimbing II : Dr. Alfitra, S.H, M.Hum. (………………)
NIP. 197202032007011031
5. Penguji I :.AM. Hasan Ali, M.A (………………)
NIP. 197512012005011005
6. Penguji II : Qosim Arsadani, M.A. (………………)
NIP. 196906292008011016
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana strata 1 (SI) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber penelitian yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 06 Agustus 2021
Ahmad Syaifulloh
NIM: 11140450000090
iv
ABSTRAK
AHMAD SYAIFULLOH. NIM. 11140450000090. STUDI HUKUM
TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA API
ILEGAL (Analisis Putusan Pengadilan Nomor: 4/Pid.B/2020/PN Bnt). Program
Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai kasus tindak pidana
kelalaian dalam kepemilikan senjata api ilegal yang menyebabkan hilangnya nyawa
dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt yang memvonis terdakwa
dengan pidana 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan penjara. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui sanksi yang tepat dalam tindak pidana kelalaian dalam menggunakan
senjata api ilegal yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dalam hukum
pidana positif dan hukum pidana Islam
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode pendekatan
penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif yaitu meletakkan hukum sebagai
sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).
Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan teknik studi
pustaka (Library Research) berupa jurnal, buku, peraturan perundang-undangan,
internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini. Sumber data yang
digunakan berupa data primer dan data sekunder. Adapun teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif untuk menemukan jawaban secara ilmiah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hukum positif pelaku yang
dinyatakan bersalah karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain dan
mempergunakan senjata tanpa izin diatur dalam pasal 359 KUHP dan pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan hukuman yaitu hukuma
mati, hukuman penjara seumur hidup, atau hukuman penjara setinggi-tingginya dua
puluh tahun. Dalam Islam, kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa termasuk
dalam kategori al-qatl al-khata yang sanksinya adalah diyat mukhafafah dan kifarat.
Diyat mukhaffah adalah diyat yang berlaku pada pembunuhan karena kelalaian yang
dibebankan kepada ahli waris pelaku pembunuhan dan dibayar dengan jumlah diyat
100 ekor unta, serta kewajiban kifarat dilakukan dengan memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin, namun apabila tidak tidak diperoleh hamba sahaya maka
penggantinya adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Kata kunci : Senjata Api, Kelalaian, Al-khata
Pebimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : 1960 s.d 2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan Syukur serta do’a penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis hingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Sepenuhnya, tanpa bantuan-Nya semua ini tidak akan
terwujud dengan baik.
Skripsi berjudul “STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN
KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL (Analisis Putusan Pengadilan Nomor
4/Pid.B/2020/PN Bnt)”, penulis ajukan untuk melengkapi salah satu syarat guna
memenuhi tugas akhir dalam mencapai gelar Sarjana Setara Satu (S1).
Dalam menyusun dan menulis skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
izinkan penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. H.,M. A., Selaku Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qasim Arsadani, M.A., Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah)
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A., Selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam (jinayah).
4. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum dan Dr. Alfitra, S.H., M.Hum selaku Pembimbing
dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan
dan arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmunya.
6. Teristimewa kepada almarhumah ibunda tercinta Hj.Juriyah dan ayahanda
Rahmat yang tulus mencurahkan kasih sayang, yang selalu mendoakan,
memberikan motivasi dan pengorbanan baik dari segi moril, materi kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vi
7. Kepada Junaedi Firmansyah, Puspita Sari, Yeran Ubaid Firmansyah kakak saya
juga Istri dan Anaknya yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis.
8. Kepada Dewi Setiawati, S.Ikom yang selalu memberi semangat dan do’a kepada
penulis serta ibunda Maryanih yang memberi semangat dan doa kepada penulis.
9. Kepada Shinta Rosdiana, S.E,. Eva Fauziah,S.Ikom,. Kahfi, Mahisa Agni, teman
teman seperjuangan Fizkry Maulana. Yang selalu memberikan dorongan agar
tetap semangat mengerjakan skripsi kepada penulis.
Harapan penulis semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan rahmat-Nya
serta membalas amal budi baik dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan yang
disebabkan keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 06 Agustus 2021
Ahmad Syaifulloh
111404500000090
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah............................ 8
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.......................................................... 10
D. Kerangka Teori Konseptual ............................................................... 11
E. Metode Penelitian ............................................................................... 12
F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELALAIAN KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL ...................................................................... 19
A. Tindak Pidana ....................................................................................... 19
1. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif ............................................ 19
2. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam ............................................. 25
3. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana .......................... 34
B. Kesengajaan Dan Kealpaan .................................................................. 37
1. Kesengajaan ................................................................................... 37
2. Kealpaan ........................................................................................ 39
C. Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api Ilegal .............................. 42
1. Pengertian Senjata Api .................................................................. 42
2. Peraturan Kepemilikan Senjata Api .............................................. 44
viii
3. Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal ............................ 47
BAB III KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL ................................................................... 50
A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan 4/Pid.B/2020/PN.Bnt .................. 50
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kepemilikan
Senjata Api Ilegal ................................................................................. 53
C. Kebijakan Hukum Terhadap Pelaku Penggunaan Senjata Api Ilegal
Menurut Hukum Positif ........................................................................ 60
D. Kebijakan Hukum Terhadap Pelaku Penggunaan Senjata Api Ilegal
Menurut Hukum Islam ......................................................................... 64
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN KASUS KELALAIAN DALAM
PENGGUNAAN SENJATA API ILEGAL YANG
MENYEBABKAN KEMATIAN ........................................................... 69
A. Pertimbangan Majelis Hakim ............................................................... 69
B. Analisis Penulis Dalam Putusan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt ........... 75
1. Penerapan Hukum Majelis Hakim Dalam Penetapan Pengadilan
Negeri Barito Selatan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt ....................... 75
2. Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Islam Terhadap Penetapan
Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt ........................................ 78
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 87
A. Kesimpulan ............................................................................................... 87
B. Saran .......................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Plato, seorang filosof Yunani berkata bahwa sebuah negara yang baik adalah
negara yang didasarkan oleh pengaturan hukum, yaitu mengatur hubungan antar
masyarakat yang dapat memberikan dampak ketentraman dan keamanan dalam
kehidupan berwarga negara,1 dengan demikian diperlukan sistem hukum untuk
menciptakan sebuah keteraturan. Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa sistem
hukum terdiri atas perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-
undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen tersebut
mendukung berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial,
keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-
perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau
globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.2 Di Indonesia berbicara struktur
hukum maka hal tersebut merujuk pada struktur institusi-institusi penegakan hukum,
seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Aspek lain dari sistem hukum adalah
substansinya.3 Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
pedoman bagi aparat penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum
yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya)
terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi
1 Jostein Gaarder, Dunia Shopie Terjemahan Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), h.,
29-30. 2 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Reflika Aditama, 2007), h., 26.
3 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h., 8.
2
hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat
dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara
efektif. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak
lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk
menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih
baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau
peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke
dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum
(law enforcement) yang baik.1 Bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi
perundang-undangannya belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya. Unsur-
unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu apakah suatu
sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, hal tersebut senada dengan
Soerjono Soekanto yang menjelaskan bahwa ketiga komponen tersebut merupakan
bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika
diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.2
Republik Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki fundamental yang
tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum sehingga wajib untuk setiap warga negara dalam
menaati semua aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan segala bentuk
pelanggaran dan kejahatan yang telah ditetapkan hukumnya dalam undang-undang.
Di Indonesia, kepemilikan senjata api diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api yang telah
dirubah dan ditambah dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Tentang Mengubah “Ordannantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948
Nomor 17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948
yang menyebutkan bahwa senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota
1 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003), h., 40. 2 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h., 72.
3
Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian, oleh karena itu semua
orang yang ingin memiliki senjata api harus melalui prosedur yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang agar tidak terjadi hal-hal yang dapat membahayakan
masyarakat sipil sekaligus menggangu ketertiban dan keamanan umum. Dengan
demikian, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 merupakan entry point bagi
hak warga sipil untuk memiliki senjata api di Indonesia. Penting jika dalam
kepemilikannya harus diawasi ketat agar pemilik senjata api dapat teruji baik dengan
syarat yang telah ditentukan dalam Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang
Tata Cara Pemeriksaan Psikologi bagi Calon Pemegang Senjata Api Arganik POLRI
dan Senjata Non Organik TNI/POLRI yang dalam pengawasan kepemilikan senjata
api telah jelas ada dalam peraturan pemberian izin pemakaian dan penggunaan senjata
api organik dan non organik diperlukan dengan pemeriksaan psikologis untuk
mencegah penyalahgunaan senjata api tersebut.3 Berdasarkan Peraturan Kapolri
Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata
Non-Organik persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah yaitu
cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu
Keluarga, dan lain-lain, seorang berusia 24 sampai 65 tahun yang memiliki sertifikat
menembak, dengan demikian dapat memiliki senjata. Peraturan Kapolri Nomor 18
Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-
Organik tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk keperluan
pribadi dibatasi minimal setingkat kepala dinas atau Bupati untuk kalangan pejabat
pemerintah, minimal pangkat Letnan Satu untuk angkatan bersenjata, dan pengacara
atas rekomendasi Departemen Kehakiman.4
Dalam penyalahgunaan kepemilikan senjata api tanpa memiliki izin
dikategorikan dalam tindak pidana khusus dengan hukuman berat yang tercantum
3 Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Psikologi bagi
Calon Pemegang Senjata Api Arganik POLRI dan Senjata Non Organik TNI/POLRI 4 Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian Senjata Non-Organik.
4
dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang isinya
adalah “Barang siapa, tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan
padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata
api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau
hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya
20 Tahun penjara.” Dalam aturan tersebut tertera jelas bahwa Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 melarang siapapun yang memasukkan ke
Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata api, amunisi, atau
sesuatu bahan peledak.
Dalam perkembangan zaman, senjata api masih sangat erat dengan kehidupan
manusia yang salah satu tujuannya yaitu digunakan sebagai alat untuk
mempertahankan diri dari musuh seperti serangan hewan liar yang hidup di hutan
yang berdampingan dengan area pemukiman masyarakat dan berbagai ancaman
lainnya. Senjata api pada dasarnya dipergunakan untuk kepentingan menjaga diri,
akan tetapi setiap orang yang menggunakan, menguasai, dan memiliki senjata api
tanpa izin dikategorikan sebagai tindak pidana.5 Dengan demikian, hukum yang
diperlukan salah satunya adalah tentang penggunaan dan kepemilikan senjata api
karena maraknya persebaran senjata api dikalangan warga sipil merupakan fenomena
global serta salah satu kejahatan yang meresahkan masyarakat adalah kejahatan
5 Josias Simon Runturambi Atin & Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan Tindak
Kriminal, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), h., 6.
5
dengan menggunakan senjata api. Kejahatan dengan menggunakan senjata api itu
banyak macamnya, misalnya tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, penculikan,
dan sebagainya.6
Berdasarkan data Markas Besar Polri, setidaknya telah terjadi 453 kasus
penyalahgunaan senjata api pada tahun 2011. Pada tahun 2012 tercatat ada 561 kasus
mengalami penurunan menjadi 482 kasus pada tahun 2013. Pada tahun 2014 jumlah
kasus penggunaan senjata api menurun menjadi 322 kasus dengan mengunnakan
senjata api.7 Kriminolog dari Universitas Indonesia yaitu Adrianus Meliala
menyatakan bahwa dibutuhkan pendekatan berbeda untuk menekan peredaran senjata
api ilegal dikalangan warga sipil. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan non-
penal yaitu dengan melakukan operasi kepolisian karena berdasarkan pasal 9
Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 pihak yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian senjata ap adalah Polri, baik dari tingkat terendah
sampai dengan pusat.8 Dengan demikian, seiring dengan meningkatnya kejahatan
dengan senjata api Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan penarikan
senjata api yang ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar
dikalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah
habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin kepemilikan
senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk mengurangi kepemilikan
senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan senjata api oleh masyarakat.
Meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti
6 Evan Munandar, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata
Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law Journal, II, 3, (Desember 2018),
h., 339. 7 Marfuatul Latifah, “Kepemilikan Dan Penyalahgunaan Senjata Api Di Indonesia”, Jurnal
Info Singkat Hukum, IX, No.22, (November 2017), h., 119. 8 Sonya Airini Batubara, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Senjata
Api Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil”, Jurnal Hukum Kaidah, Volume 18, Nomor 3, (Februari
2017), h., 43.
6
psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata.9 Masalah
kepemilikan hingga penyalahgunaan senjata api adalah merupakan suatu hal yang
sangat berbahaya dan beresiko tinggi. Hal mana senjata api dapat mengakibatkan
hilangnya nyawa seseorang ataupun orang banyak. Meskipun senjata api sangat
bermanfaat dan diperlukan dalam hal pertahanan dan keamanan negara, namun pada
umumnya apabila disalahgunakan atau penggunaannya tidak sesuai dengan peraturan
undang-undang yang berlaku, maka akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan
perorangan maupun masyarakat, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar
bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa. Meningkatnya kriminalitas sebagai
akibat dari kepemilikan senjata api akan menimbulkan kerugian besar bagi
kepentingan masyarakat, yaitu hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban
dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mengatasi kepemilikan hingga penyalahgunaan senjata api, terlebih
dahulu perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan
hingga penyalahgunaan senjata api dan akibat apa yang ditimbulkan dari
penyalahgunaan senjata api karena apabila dicermati upaya-upaya yang dilakukan
oleh penegak hukum memang sudah dapat menekan ataupun mengurangi angka
kejahatan dari kepemilikan senjata api ataupun penggunaannya, akan tetapi dengan
datangnya globalisasi dengan segala macam informasi, kebudayaan, teknologi yang
datang begitu mudahnya dari berbagai pelosok dunia, sehingga memungkinkan dalam
membuat atau memproduksi senjata api memgikuti pola-pola senjata api standar
tempur. Baik yang diproduksi secara resmi oleh pabrik-pabrik pembuatan senjata
tetapi oleh industri kerajinan ilegal yang dibuat oleh masyarakat yaitu senjata api
rakitan.
Perkelahian, pertikaian dan perampokan semua ini tidak lepas dari masih
adanya peredaran dan penyalahgunaan senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik
9 Rizki Amantha, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penjualan Senjata Api Ilegal
Melalui Media Online Facebook”, Law Journal Universitas Bandar Lampung, VII, 8, (Februari 2018),
h., 96.
7
standar atau rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki
kekuatan yang cukup untuk menyerang orang lain, akan tetapi tanpa disadari bahwa
orang yang akan diserang juga memiliki senjata api yang sama. Dampak dari
fenomena tersebut dapat menyebabkan beberapa nyawa melayang dengan sia-sia.10
Oleh karena itu, peredaran senjata api harus dapat di tanggulangi sehingga angka
kriminalitas dapat menurun dengan kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak
hukum karna sekarang berbagai aspek kejahatan yang di sebabkan oleh tindak pidana
kejahatan yang menggunakan senjata api bersifat menganiaya mulai dari
penganiayaan yang ringan sampai penganiayaan berat dan bahkan sampai kasus
kelalaian dalam menggunakan senjata api tanpa izin hingga menyebabkan orang lain
meninggal dunia.
Kasus dalam menggunakan senjata api tanpa izin yang dijadikan topik oleh
penulis dalam skripsi adalah kasus yang terjadi di Desa Bintang Ara, Kecamatan
Gunung Bintang Awai, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah pada
hari Jum‟at tanggal 20 September 2019 sekitar pukul 08.00 Wib dengan terdakwa
yang bernama Roketson memiliki dan menyimpan senjata api rakitan tanpa
dilengkapi surat izin dari pihak kepolisian serta terdakwa yang belum pernah
menggunakan dan tidak memiliki keahlian dalam menggunakan senjata api langsung
menarik grendel pemicu senjata api rakitan yang terdakwa bawa dan langsung
membidik kearah babi hutan, akan tetapi yang terdakwa dengar adalah teriakan
seseorang dari arah depan yang sejajar dengan letak babi hutan yang terdakwa bidik
tersebut. Mendengar hal tersebut, terdakwa langsung menghampiri korban dan segera
mencari bantuan sehingga korban berhasil dievakuasi dan dibawa kerumah korban di
Desa Ugang Sayu. Dengan demikian, akibat kejadian tersebut korban meninggal
dunia sesuai dengan hasil Visum Et Repertum Nomor 02/IPJ/RSUD/X/2019 tanggal
19 Oktober 2019 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Ricka Brilianty Zaluchu,
10
Josias Simon Runturambi & Atin Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan Tindak
Kriminal, h., 13.
8
SpKF dengan hasil pemeriksaan bahwa korban meninggal dunia karena pendarahan
hebat akibat kekerasan senjata api.
Dalam kasus di atas, terdakwa dikenakan pasal berlapis, yaitu pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena menggunakan senjata api
tanpa izin dengan ancaman hukuman penjara maksimal dua puluh tahun dan kematian
korban karena kelalaian terdakwa dengan menggunakan senjata tanpa izin maka dapat
dikenakan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman
maksimal hukuman lima tahun penjara, akan tetapi Pengadilan Negeri Barito Selatan
dalam putusan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt hanya menjatuhkan vonis hukuman
penjara selama 1 tahun dan 2 bulan yang tentu saja kurang memberikan efek jera.
Penulis mencoba membandingkan dengan aturan hukum dalam hukum pidana Islam.
Dalam hukum pidana Islam juga membahas tentang bagaimana tindak pidana atau
jarimah pembunuhan yang terjadi karena kelalaian secara tidak sengaja yang sering
dikaitkan dengan tindak pidana atas jiwa yaitu pembunuhan yang disebut dengan
isitilah qatl.11
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan untuk melakukan analisis
lebih lanjut mengenai putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan Nomor
4/Pid.B/2020/PN tentang pemidanaan terhadap pelaku pemilik senjata tanpa izin yang
karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia untuk diangkat
menjadi sebuah skripsi dengan judul STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU
KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL (Analisis Putusan
Pengadilan Nomor: 4/Pid.B/2020/PN Bnt).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
identifikasi beberapa permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, yaitu:
11
Ahmad wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 135.
9
a. Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan perseorangan atau
hak asasi manusia dan masyarakat
b. Sanksi pidana yang diberikan kepada terdakwa agar menimbulkan efek jera dan
tidak mengulangi perbuatannya.
c. Peraturan tentang kepemilikan dan penggunaan senjata api yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 yang telah dirubah dan ditambah dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan dan
Penggunaan Senjata api
d. Fenomenana yang terjadi di masyarakat yang beranggapan bahwa dengan
memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan yang cukup untuk
menyerang orang lain, akan tetapi tanpa disadari bahwa orang yang akan diserang
juga memiliki senjata api yang sama. Dampak dari fenomena tersebut dapat
menyebabkan beberapa nyawa melayang dengan sia-sia
e. Banyaknya kriminalitas yang terjadi masyarakat dengan kasus tindak pidana
penyalahgunaan senjata api yaitu sebesar 453 kasus penyalahgunaan senjata api
pada tahun 2011. Pada tahun 2012 tercatat ada 561 kasus mengalami penurunan
menjadi 482 kasus pada tahun 2013. Pada tahun 2014 jumlah kasus penggunaan
senjata api menurun menjadi 322 kasus dengan mengunnakan senjata api
berdasarkan data Mabes Polri.
2. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada dan agar tidak melebar dan keluar
dari pokok pembahasan maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini adalah
tentang kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal yaitu kepemilikan dan
pengunaan senjata api tanpa izin dari pihak kepolisian sesuai Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api yang
telah dirubah dan ditambah dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Tentang Mengubah “Ordannantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948
Nomor 17) dan konsep hukum Islam mengenai pelaku penggunaan senjata api ilegal
yang menyebabkan hilangnya nyawa menggunakan Kitab fikih jinayah At Tasyri‟u
10
Al Jinaiy Al Islamy karya Abdul Qadir Audah dalam kajian sanksi pemidanaan
terhadap pelaku penggunaan senjata api ilegal yang menyebabkan hilangnya nyawa
di Pengadilan Negeri Barito Selatan. Penulis tertarik mengangkat kasus tersebut
karena Pengadilan Negeri Barito Selatan dalam putusan Nomor 4/Pid.B/2020/PN
Bnt menyatakan terdakwa secara sah dan bersalah dengan dijerat dua pasal yaitu
pasal 359 KUHP perihal kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia
dan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 perihal
kepemilikan dan pengunaan senjata api secara illegal, akan tetapi Majelis Hakim
hanya menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 1 tahun dan 2 bulan yang tentu
saja kurang memberikan efek jera bagi terdakwa.
3. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi 2 (dua) sub masalah, yaitu:
a. Bagaimana penerapan hukum oleh majelis hakim dalam penetapan Pengadilan
Negeri Barito Selatan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt perihal pemidanaan terhadap
pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api ilegal yang menyebabkan
hilangnya nyawa?
b. Bagaimana tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam terhadap
putusan putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt
perihal pemidanaan terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api
ilegal yang menyebabkan hilangnya nyawa?
C. Tujuan Dan Manfaat Pemelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan hukum majelis hakim dalam kepemilikan dan
penggunaan senjata api ilegal dalam putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan
Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt.
b. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam
terhadap putusan putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan Nomor
4/Pid.B/2020/PN Bnt terhadap pelaku kepemilikan dan penggunaan senjata api
ilegal yang menyebabkan hilangnya nyawa
11
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam mengetahui
pandangan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana
kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, hasil penelitian ini
diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kalangan pelajar,
mahasiswa, dan akademisi lainnya. Manfaat kebijakan hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat kepada penegak hukum dalam penerapan
hukum tentang pemidanaan terhadap pelaku kelalaian pemilik senjata api illegal
yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
D. Kerangka Teori Konseptual
Kerangka teori dimaksudkan untuk memberi gambaran atau batasa-batasan
tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang dikemukakan
sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa kejadian dan asas-asas, hukum-
hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan serta
pendapat cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu. Menurut Effendy,
teori berguna menjadi titik tolak landasan berpikir dalam memecahkan atau
menyoroti masalah. Fungsi teori sendiri adalah untuk menerangkan, meramalkan,
memprediksi, dan menemukan fakta-fakta yang ada secara sistematis.12
Analisis Penelitian dalam skripsi ini dapat direalisasikan dengan rinci dan
sistematis serta menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan, maka
dibutuhkan teori-tori yang dapat membantu dalam menganalisis masalah yang
dibahas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
teori penegakan hukum. Kedua, teori pemidanaan. Ketiga, teori tentang kepemilikan
senjata api secara illegal. Keempat, teori kelalaian yang menyebabkan hilangnya
12
Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, (Bandung: PT Remaja Rosdyakarya, 2004),
h., 2004.
12
nyawa orang lain dalam hukum pidana. Penulis menggunakan penedekatan objek
kajian pemidanaan terhadap pelaku kelalaian pemilik senjata api illegal hingga yang
menyebabkan orang lain meninggal dunia yang ditinjau dari Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1951 dan Pasal 359 KUHP.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang menekankan pada aspek suatu pemahaman secara
mendalam terhadap masalah yang diteliti.13
Dalam penelitian ini peneliti membahas
masalah ini melalui Undang-undang. Pembahasan masalah kelalaian/kealpaan dalam
pemidanaan terhadap pemilik senjata api illegal hingga menyebabkan orang lain
meninggal dunia terdapat pada pasal 359 KUHP, dan Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1951.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunkan dalam penelitian ini adalah yuridis-
normatif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah penelitian yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-perundangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).14
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Sumber primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat15
yakni dari penelitian
ini adalah Kitab fikih jinayah At Tasyri‟u Al Jinaiy Al Islamy karya Abdul Qadir
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), h.,
23.
14 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2010), h.31.
15
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat),
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h.13.
13
Audah, Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1951, dan putusan hakim nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt
b. Sumber sekunder yang pengumpulan data diperoleh dari dokumen-dokumen yang
berupa catatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah beberapa
literatur baik berupa buku-buku, catatan, dan dokumen-dokumen atau diktat yang
ada pada redaksi.16
Dari penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian, majalah, surat
kabar, jurnal ilmiah, artikel, internet dan seterusnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu
kepustakaan (Library Research). Data kepustakaan dipeoleh melalui penelitian
kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan, buku-buku serta
dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek, dan
masalah dalam penelitian.17
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis data
kualitatif dilakukan apabila data yang diperoleh berupa kumpulan kata-kata dan
bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun dalam-dalam kategori atau struktur
kualifikasi.
Menurut Miles dan Huberman, analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang saling jalin menjalin merupakan
proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data.18
16
Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1998), h.32.
17
Jaenal Aripin, dkk, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17. 18
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004), h., 6.
14
F. Review Studi Terdahulu
Penelitian atau pembuatan skrispi, terkadang terdapat tema yang berkaitan
dengan penelitian yang penulis teliti sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah
terlebih dahulu membahas terkait dengan kepemilikan dan penggunaan senjata api
ilegal, yaitu:
Pertama, Penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan dengan tema
yang penulis teliti yaitu berjudul ANALISIS KELALAIAN PENGGUNAAN
SENJATA API OLEH APARAT KEPLOLISIAN (STUDI PUTUSAN
PENEMBAKAN KEPALA RUMAH SAKIT BHAYANGKARA), Skripsi karya
Muhammad Rai Harahap, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari‟ah Dan
Hukum, Univesitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada tahun 2014. Kemiripan
yang ada ialah tentang kelalaian penggunaan senjata api dan dalam skripsi tersebut
membahas lebih kepada penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian yang dikaji
melalui alasan pembenar dan pemaaf dalam hukum pidana.
Kedua, Penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan dengan tema
yang penulis kaji yaitu berjudul PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API
MENURUT UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 DI
WILAYAH POLRES GRESIK, skripsi karya Deddy Setyawan, Universitas
Pembangunan Nasional pada tahun 2012. Kemiripan yang ada ialah tentang
penyalahgunaan senjata api dan dalam skripsi tersebut lebih spesifik membahas
tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pelaku penyalahgunaan
senjata api di wilayah hukum Polres Gresik yang dikaji melalui pasal-pasal dan frasa-
frasa hukum dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Ketiga, Penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan dengan tema
yang penulis kaji yaitu berjudul TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP
PENYALAHGUNAAN SENJATA API (STUDI KASUS DI KOTA
MAKASSAR TAHUN 2010-2014, skripsi karya Abdillah Fadlyansyah, Fakultas
15
Hukum, Universitas Hasanudin pada tahun 2015. Kemiripan yang ada ialah tentang
penyalahgunaan senjata api. Dalam skripsi tersebut membahas lebih kepada faktor-
faktor yang menggunakan senjata api di Kota Makassar pada tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014 yaitu penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh pihak
kepolisian diantaranya yaitu faktor psikologi dan emosional sedangkan faktor-faktor
penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil di Kota Makassar adalah kurangnya
pemahaman tentang penggunaan senjata api dan terlalu mudah untuk mendapatkan
izin kepemilikan senjata api.
Keempat, Penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan dengan tema
yang penulis teliti yaitu berjudul PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API TANPA IZIN DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA karya Evan Munandar dalam jurnal Syiah Kuala
Law Journal Volume 2, Nomor 3, Desember 2018. Dalam jurnal tersebut membahas
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya tindak pidana
kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa izin di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Jantho serta upaya yang ditempuh untuk penanggulangan tindak pidana
penggunaan senjata api tanpa izin dengan upaya preventif yaitu melakukan
penyuluhan kepada masyarakat secara rutin dan melakukan razia terhadap senjata api.
Upaya represif yang dilakukan berupa penyedikian, penuntutan, dan pemidanaan
terhadap pelaku penggunaan senjata api tanpa izin.
Kelima, Penelitian yang penulis temukan memiliki kemiripan dengan tema
yang penulis teliti yaitu berjudul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK
PIDANA KEPEMILIKAN SENJATA API TANPA HAK OLEH
MASYARAKAT SIPIL (PUTUSAN NOMOR 79/PID.B/2016/PN.BLG) karya
Sonya Arini Batubara dalam jurnal Hukum Kaidah Volume 18, Nomor 3, Februari
2017. Dalam jurnal tersebut membahas tentang penerapan hukum mengenai
kepemilikan senjata api yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 dan
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Penggunaan Senjata Api
dan Pertimbangan Hakim Dalam perkara kepemilikan senjata api dengan terdakwa
16
Ependi Ais Ipen dengan hukuman penjara selama tiga bulan dalam putusan
pengadilan nomor 79/PID.B/2016/PN.BLG
Penelitian penulis yang berjudul STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU
KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL (Analisis Putusan
Nomor: 4/Pid.B/2020/PN Bnt). Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dari
penelitian sebelumnya dan penelitian penulis lebih spesifik membahas akan sebuah
kasus kejahatan yang terjadi dalam wilayah hukum Pengadulan Negeri Barito Selatan
dan masuk dalam kategori tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api
ilegal yang diatur di dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun
1951 serta kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dalam Pasal 359
KUHP. Dalam proses peradilan tindak pidana ini majelis hakim memutus hukuman
perkara yang lebih ringan dari yang tertera dalam undang-undang. Hal tersebut
berdasarkan atas pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara melihat dari
pemeriksaan fakta yang akan terungkap dalam persidangan baik dari keterangan
saksi, keterangan terdakwa, alat bukti dan sebagainya dan ditambah dengan
keyakinan hakim yang didasari oleh rasa keadilan yang ada pada diri seorang hakim.
Dengan demikian, masalah yang diteliti adalah mengenai sebuah kasus dalam
wilayah hukum Pengadilan Negeri Barito Selatan dalam Putusan Nomor tentang
tindak pidana kepemilikan senjata api. Masalah yang kami kaji antara lain adalah;
pertama, pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan nomor
4/Pid.B/2020/PN Bnt dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Barito Selatan tentang
kelalaian kepemilikan dan penggunaan senjata api secara ilegal hingga menyebabkan
orang lain meninggal dunia. Kedua analisis Hukum Pidana Islam mengenai kelalaian
kepemilikan senjata api secara illegal hingga menyebabkan orang lain meninggal
dunia. Perbedaan yang mendasar dari penelitian lain yaitu terletak pada objek yang
diteliti, jika pada penelitian lain meneliti tentang kepemilikan senjata api tanpa izin,
maka pada penelitian ini penulis akan meneliti tentang pemidanaan terhadap kelalaian
kepemilikan senjata api secara illegal yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
17
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami isi skripsi dan mencapai sasaran seperti yang
diharapkan, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”. Adapun sistematika pembahasannya sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada BAB I penulis menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalh, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu
dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELALAIAN
KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL
Pada BAB II penulis akan menguraikan tentang pengertian
tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, unsur-unsur tindak
pidana, tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana,
pengertian kesengajaan dan kealpaan, alasan hapusnya
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, pengertian senjata
api, peraturan kepemilikan senjata api, dan tindak pidana
kepemilikan senjata api ilegal
BAB III KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN
SENJATA API SECARA ILEGAL
Pada BAB III penulis akan menguraikan duduk perkara
putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt, faktor-faktor
terjadinya tindak pidana kepemilikan senjata api ilegal,
kebijakan hukum terhadap kepemilikan senjata api ilegal dari
pandangan hukum positif dan hukum Islam.
18
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
NOMOR 4/Pid.B/2020/PN Bnt TENTANG KELALAIAN
PEMILIK SENJATA API ILEGAL YANG
MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA
Pada BAB IV penulis akan memuat tentang analisis hukum
terhadap Pengadilan Negeri Barito Selatan Nomor
4/Pid.B/2020/PN Bnt perihal pemidanaan terhadap pelaku
kelalaian pemilik senjata api illegal yang menyebabkan orang
lain meninggal dunia.
BAB V PENUTUP
Pada BAB V penulis menguraikan pentup yang memuat hasil
akhir meliputi kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dan dimuat pula saran atas penelitian tersebut.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA
API ILEGAL
A. Tindak Pidana
1. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari kata strafbaarfeit (Bahasa Belanda), yang
terdiri dari tiga kata, yaitu kata straf yang artinya pidana, baar yang artinya dapat
atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata strafbaarfeit sering diartikan
berbeda-beda oleh para pakar hukum pidana, sehingga belum ada univikasi yang
pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Strafbaarfeit sering diartikan sebagai
berikut.1
Tindak pidana, istilah tindak pidana dapat dikatakan istilah yang resmi
digunakan dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan Indonesia. Ahli
hukum yang menggunakan istilah ini adalah Wirjono Prodjodikoro,2 sedangkan
Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana menggunakan istilah perbutan
pidana karena menurutnya istilah tersebut lebih tepat dari pada istilah-istilah yang
lain.3 Istilah lain adalah peristiwa pidana, Pembentuk undang-undang juga pernah
menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) Tahun 1950. Istilah pelanggaran pidana, istilah ini digunakan pembentuk
undang-undang dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang
Senjata api dan Bahan Peledak dan terakhir adalah istilah perbuatan yang boleh
dipidana, istilah tersebut digunakan oleh Karni dalam bukunya yang berjudul
1 Adam Chazawi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana I, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h.,
70. 2 Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Refika Aditama,
2011), h., 8. 3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 20.
20
Ringkasan Tentang Hukum Pidana.4 Pembentuk undang-undang tidak memberikan
suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan istilah
strafbaarfeit, maka timbullah dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut dan seperti halnya untuk
memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah
untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah strafbaarfeit.
Masalah tindak pidana dalam ilmu hukum pidana merupakan bagian yang
paling pokok dan sangat penting. Telah banyak diciptakan oleh para pakar hukum
pidana perumusan atau definisi tentang istilah tersebut, namun tidak ada kesatuan
pendapat diantara mereka. Berikut ini beberapa definisi atau pengertian dari istilah
Strafbaarfeit menurut pendapat para penulis, yaitu menurut D. Simons yang
menjelaskan bahwa tindak pidana adalah kelakuan (hendoling) yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab,5 sedangkan menurut Karni,
tindak pidana adalah perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan
dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa
perbuatan patut dipertanggung jawabkan. Menurut Wiryono Prodjodikoro,
menjelaskan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan pidana,6 dan Moeljatno yang berpendapat bahwa tindak pidana adalah
perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana apabila
melanggar larangan tersebut.7 Dengan demikian istilah Strafbaarfeit secara garis
besar dapat disamakan dengan istilah “Tindak pidana” dengan menyampingkan
berbagai pendapat para pakar hukum pidana dan dengan pertimbangan hampir semua
peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah tersebut.
4 Karni, Risalah Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1958), h., 32.
5 PAF Lamintang, Delik-Delik Khusus, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h., 185
6 Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, h., 9.
7 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, h., 22.
21
b. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Macam-macam jenis tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa bagian
yaitu:
1) Delik kejahatan dan delik pelanggaran
Delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-
undang atau tidak. Sementara pelanggaran adalah perbuatan yang oleh masyarakat
baru disadari sebagai perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya
sebagai delik. Perbedaan keduanya terletak pada sistematika KUHP: buku II
memuat delik-delik yang disebut dengan kejahatan (misdrijven), sedangkan buku
III KUHP memuat delik-delik yang disebut pelanggaran (overtredingen).8
2) Delik formil dan delik materil
Tindak pidana formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana telah dianggap
selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
tanpa mempersoalkan akibatnya. Sementara tindak pidana materil adalah
perbuatan pidana yang perumusannya dititkberatkan pada akibat yang dilarang.
Tindak pidana baru dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi.9
Contoh tindak pidana formil terdapat dalam Pasal 362 KUHP tentang
pencurian. Dengan melakukan perbuatan berupa “mengambil, maka perbuatan
tersebut sudah menjadi delik selesai. Sedangkan contoh tindak pidana materil
adalah pembunuhan. Pembunuhan dikatakan telah selesai setelah adanya orang
mati.
3) Delik aduan dan delik bukan aduan
8Franz Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h. 69. 9Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jogjakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 102
22
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari
pihak yang berkepentingan. Jika tidak ada pengaduan, maka perbuatan itu tidak
dapat dituntut di depan pengadilan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis, yaitu
delik aduan absolute dan delik aduan relative. Delik aduan absolute adalah delik
yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya.
Sedangkan delik aduan relative adalah delik yang dilakukan masih dalam
lingkungan keluarga.
Dalam KUHP, aturan umum tentang delik aduan diatur dalam Buku I Bab VII
dalam Pasal 72-75. Adapun delik bukan aduan atau delik biasa, adalah delik yang
tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya.10
4) Delik sengaja dan delik kealpaan
Delik sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Contohnya Pasal
338 KUHP yang menentukan bahwa barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
15 tahun. Sedangkan delik kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan
kealpaan atau culpa. Contohnya dalam Pasal 359 KUHP yang menentukan bahwa
barangsiapa karena kealpaan menyebabkan matinya orang, diancam pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
5) Delik komisi dan delik omisi
Delik komisi atau commise delict adalah delik yang mengancamkan pidana
terhadap dilakukannya suatu perbuatan berupa perbuatan aktif. Dengan kata lain,
delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat
sesuatu yang dilarang. Sedang delik omisi adalah delik berupa pelanggaran
terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah.
Contoh delik komisi adalah adanya norma yang bersifat larangan seperti pasal
pencurian. Seseorang diancam pidana karena melakukan sesuatu, yaitu mengambil
suatu barang. Sementara contoh delik omisi terdapat dalam Pasal 531 KUHP yang
10
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 102.
23
mengancam pidana terhadap seseorang yang melihat orang lain dalam keadaan
maut namun tidak memberikan pertolongan.
6) Delik selesai dan delik percobaan
Delik selesai adalah perbuatan yang sudah memenuhi semua unsur dari suatu
tindak pidana. Sedangkan delik percobaan adalah delik yang pelaksanaannya tidak
selesai. Hanya saja dalam KUHP tidak memberikan defenisi pasti tentang
percobaan atau poging.11
7) Delik berlangsung terus menerus dan delik tidak berlangsung terus
Perbuatan pidana yang berlangsung terus menerus memiliki ciri bahwa
perbuatan yang terlarang itu terus berlangsung. Misalnya, delik merampas
kemerdekaan seseorang. Sedangkan perbuatan pidana yang tidak berlangsung
terus menerus adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri bahwa keadaan yang
terlarang itu tidak berlangsung terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan.12
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam perbuatan pidana, memiliki unsur-unsur sehingga dapat dibedakan
dengan perbuatan biasa. Berikut ini unsur-unsur tindak pidana menurut para ahli
hukum: Menurut Lamintang, bahwa tindak pidana yang terangkum dalam KUHP
umumnya unsur-unsurnya menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan objektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku termasuk segala sesuatu
yang terkandung dalam hatinya. Sementara unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana tindakan si pelaki itu harus
dilakukan.13
Hal yang sama dikemukakan Satochid Kartanegara bahwa unsur tindak pidana
terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri manusia yang berupa: Suatu tindakan, Suatu akibat, Keadaan
11
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h. 69-82. 12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 103. 13
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 183
24
(omstandigheid). Sementara unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yaitu:
kemampuan, dan kesalahan.14
Selanjutnya menurut Lamintang, unsur subjektif dari
suatu tindak pidana yaitu:
1) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging;
3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachtteraad;
4) Perasaan takut.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: pertama, sifat melawan hukum
atau wederrechttelijkheid. Kedua, kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai
seorang pegawai negeri. Ketiga, kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana
sebagai penyebab dengan suatu kenyataan . Menurut Moeljanto, unsur-unsur tindak
pidana antara lain: pertama, Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia.
Kedua, perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang. Ketiga, perbuatan itu bertentangan dengan hukum. Ketiga, Harus dilakukan
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, Perbuatan itu harus
dipersalahkan kepada si pembuat,15
akan tetapi perlu dipertegas bahwa unsur-unsur
dari strafbaar feit sangat dipengaruhi oleh oleh aliran monistis dan dualistis
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Salahsatu penganut aliran monistis
adalah Simons. Menurutnya, unsur-unsur tindak antara lain:
1) Perbuatan manusia
2) Diancam dengan pidana
3) Melawan hukum
4) Dilakukan dengan kesalahan
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Dari unsur-unsur ini, Simons kemudian membedakan antara unsur objektif dan
subjektif. Unsur objektif dari strafbaar feit adalah perbuatan orang, akibat yang
14
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 10. 15
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT Refika Aditama,
2011), h., 98.
25
nampak dari perbuatan, adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-
perbuatan. Sementara unsur subjektif adalah orang yang mampu bertanggungjawab,
dan adanya kesalahan. Penganut aliran dualistis, seperti H.B. Vos menyebutkan,
bahwa strafbaarfeit hanya berunsurkan kelakuan manusia dan diancam dengan
pidana dalam undang-undang. Penganut aliran dualistis di Indonesia seperti R. Tresna
juga memberikan pandangan yang sama, bahwa unsur tindak pidana meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diadakan
tindakan hukuman.16
Maka itu, pandangan sarjana yang beraliran dualistis dengan
tegas memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility.17
Menurut prespektif penulis sendiri, memang sudah seharusnya diadakan
pemisahan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Cara demikian akan
membuat pengambilan keputusan lebih sistematis dan penuh dengan tuntutan
ketelitian hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai pertanggungjawaban pidana.
2. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
a. Pengertian Jarimah
Hukum pidana Islam dalam bahasa Arab disebut dengan jarimah atau jinayah
yang berasal dari kata jarama-yajrimu-jarimatan artinya “berbuat” dan “memotong”.
Secara khusus digunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang
dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama-yajrimu artinya “melakukakn
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan
yang lurus”.18
Istilah jarimah oleh sebagian ahli fiqh dianggap sama dengan istilah jinayah.
Menurut Wahbah Al-Zulhaili jarimah berarti dosa, kemaksiatan, atau semua jenis
perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan. Kata jarimah dalam bentuk
16
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), h., 13. 17
Sudarto, Hukum Pidana 1A- 1B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto,
h. 33. 18
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), h., 1.
26
kata kerjanya disebutkan dalam firman Allah Qs. Al-Maidah (5): 8 :19
ول يرمناكم شنا ن ق وم عل ى الا ت عدلوا اعدلوا هو اق رب ي ها الاذين ا من وا كون وا ق واامي لل شهداء بلقسط ي
ر با ت عملون خبي انا الل للت اقو ى وات اقوا الل Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Secara terminologis, jarimah merupakan larangan-larangan syara‟ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman hudud dan takzir. Menurut Qanun no. 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat, bahwa jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh
syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan uqubah hudud dan atau tazir.20
Menurut Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, jarimah adalah
melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat Islam dalam Qanun Jinayat
diancam uqubah hudud, qisash, diyat, dan atau tazir.21
Definisi jarimah menurut
fuqaha ialah melakukan perbuatan yang diharamkan dan diancam dengan sanksi
diperintahkan dan diancam dengan sanksi hukum atas tindakan tidak
melakukan.22
Menurut pendapat Al-Mawardi, jarimah (tindakan criminal) adalah semua
yang diharamkan oleh syariat. Allah Swt mencegah terjadinya tindak criminal
dengan menjatuhkan hudud atau ta‟zir kepada pelakunya. Adapun menurut Abdul
Qadir „Audah, jarimah ialah melakukan perbuatan yang diharamkan yang apabila
melakukannya mengakibatkan ancaman sanksi hukum tertentu, atau tidak melakukan
perbuatan yang dilarang, yang diancam sanksi hukum tertentu apabila tidak
19
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 7. 20
Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat 21
Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat 22
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 10.
27
melakukannya atau dengan kata lain, melakukan atau meninggalkan (perbuatan)
yang keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya ancaman hukuman
tertentu23
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, jarimah ialah melakukan
perbuatan yang dilarang Allah, membangkang perintah Allah, atau dengan kata lain
membangkang terhadap perintah Allah yang ditetapkan dalam hukum syara‟ yang
mulia. Menurut kamus Al-Arabiyyah Al-Muyassarah, jarimah dalam arti luas adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemasyarakatan. Dalam masyarakat modern
jarimah dipahami sebagai pelanggaran terhadap undang-undang. Secara yuridis suatu
tindakan bisa dipandang sebagai pidana, tindakan itu harus dilakukan oleh orang
yang mampu mempertanggung jawabkannya, yaitu orang yang dewasa dan berakal
sehat. Sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku harus diselenggarakan oleh
pemerintah atau melalui undang-undang.24
b. Unsur-Unsur Jarimah
Menurut pendapat M. Nurul Irfan unsur-unsur jarimah jika ditinjau
berdasarkan objek utama fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:25
1) Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang
yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak
pidana.
2) Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan
sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu)
maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).
3) Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
23
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakarta:
Pustaka Setia, 2013), h., 15. 24
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 11. 25
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 2.
28
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur,
atau sedang berada dibawah ancaman.
Pelaku jarimah dalam unsur formal megharuskan adanya nash. Allah SWT
mengajarkan bahwa tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya
untuk memberikan hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka yang
membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus jarimah ta‟zir harus ada peraturan dan
undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa. Firman Allah SWT dalam Qs. Al-
Isra (17): 15:26
ي وما كناا معذ ها ول تزر وازرة وزر أ خرى ا يضل علي ا ي هتدى لن فسهۦ ومن ضلا فإنا مان ٱهتدى فإناعث رسول حتا ن ب
Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa
yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Pada unsur materiil perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah
dilakukan. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan
bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad SAW atas sesuatu
yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau
mengerjakan dengan nyata. Dalam unsur moral yang terpenting merupakan adanya
niat pelaku untuk berbuat tindak pidana atau jarimah.27
Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana harus memenuhi syarat pada
setiap tindak pidana. Antara unsur formal, materiil dan moral saling berkaitan satu
sama lain. Dan ketiga unsur tersebut jika diklasifikasikan menjadi unsur umum
dalam sebuah tindak pidana. Menurut pendapat Asep Saepudin Jahar sebagaimana
dikutip oleh Mardani dalam unsur-unsur tindak pidana terdapat 3 hal ruang lingkup,
26
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h.,84 27
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h., 85.
29
yaitu:28
1) Subjek perbuatan ialah pelaku atau menyangkut pertanggung jawaban pidana,
merupakan keadaan yang membuat seseorang dapat dipidana serta alasan-
alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang terbukti melakukn tindak
pidana dapat dipidana.
2) Objek perbuatan, ialah perbuatan yang dilarang dan lazim disebut sebagai
tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana.
3) Saksi hukuman merupakan hukuman atau sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
seseorang yang melakukan tindak pidana dan kepadanya dianggap
bertanggungjawab.
c. Jenis-Jenis Jarimah
Ruang lingkup fiqh jinayah merupakan pondasi terpenting dalam menentukan
seseorang melakukan tindak pidana. Kajian-kajian tersebut memiliki tiga kunci
utama, sebagai berikut:
1) Jarimah Qisash,
Jarimah qisash secara bahasa berasal dari kata qashasha-yaqushshu-
qishashan yang artinya mengikuti dan menelusuri jejak kaki. Qisash berarti
menelusuri jejak kaki manusia atau hewan, dimana antara jejak kaki dan telapak kaki
pasti memiliki kesamaan bentuk. Qishash merupakan suatu ketentuan Allah
berkenaan dengan kesamaan antara perbuatan pidana dan sanksi hukumannya.
Menurut pendapat Al-Jurjani, qisash ialah mengenakan sebuah tindakan (sanksi
hukum) kepada pelaku persis seperti tindaka yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban. Selain itu, Al-Mu‟jam Al-Wasith mengartikan qisash dengan menjatuhkan
sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang
dilakukan; nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.29
Pada dasarnya, seseorang haram menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan
sya‟ra bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
28
Mardani, Hukum Pidana Islam, h., 8 29
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 30.
30
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. Dalam Islam, pemberlakuan
hukum mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak jika korban
atau wali korban memaafkan, sehingga hukuman dapat gugur atau diganti (diyat).
Diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman asli (uqubah
ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari korban atau wali korban.
Jarimah qisash terbatas jumlah dan hukumannya tidak mengenal batas tertinggi atau
terendah untuk setiap jarimah. Qisash mengenal hak perseorangan hanya diberikan
kepada korban atau wali korban, bahkan kepala negara tidak berkuasa memberikan
pengampunan kecuali ia merupakan wali korban. Kekuasaan hakim terbatas pada
penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan dapat dibuktikan. Sebagai
pengganti penghapusan semua hukuman, hakim dapat menjatuhkan ta‟zir yang
tujuannya sebagai ta‟dib (memberi pengajaran). Sehingga qisash merupakan bentuk
hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja. Dalam menerapkan jarimah qisash diyat hakim harus hati-hati dan
yakin akan kesalahan terdakwa karena sifat asas legalitas jarimah sangat ketat untuk
menghindari kesalah putusan.30
Terdapat beberapa macam jarimah qisash, yaitu:31
a) Pembunuhan Sengaja (al-qathlu al-„amdu)
b) Pembunuhan Semi Sengaja (al-qathlu syibhu al-„amdi)
c) Pembunuhan Tidak Sengaja (al-qathu khata)
d) Penganiayaan Sengaja (al-jarhu al-amdu‟)
e) penganiyaan Tidak Sengaja (al-jarhu khata)
Dasar pelaksanaan qisash dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 178:
ل ب ع ت وا ك ن ين آم ا الاذ ي ه د ي أ ب ع ل د ب ب ع ل لر وا الر ب ى ل ت ق ل اص ف ا ص ق م ال ك يه ي ل اء إ د روف وأ ع م ل اع ب اتب ء ف ي يه ش خ ن أ ه م ي ل ف ن ع م ف ى ث لن ى ب ث والن
ف م ورحة ك ن ر يف م ك تف ل ان ذ س يم بح ل اب أ ذ ه ع ل ك ف ل د ذ ع ى د ت ع ن ا م
30
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h.,72. 31
Mardani, Hukum Pidana Islam, ..., h.12
31
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
2) Jarimah Hudud
Jarimah Hudud, kata hudud bentuk jamak dari kata had yang berarti cegahan.
Hudud merupakan hukuman yang telah ditetapkan syariat untuk mencegah
kejahatan. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, hudud
dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji (dosa), dan juga karena Allah telah
menentukan hukumannya, sehingga tidak bisa ditambah dan dikurang. Dalam Qanun
No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, hudud adalah jenis hukuman yang bentuk
dan besarnya telah ditentukan dalam qanun secara jelas.81
Secara mendasar terdapat
dua jenis hudud yaitu hudud yang termasuk hak Allah seperti, hudud atas jarimah
zina, meminum minuman keras, pencurian dan pembrontakan.32
Dan yang termasuk
hak manusia seperti had qadzf dan qisash. Jarimah hudud ada tujuh macam, sebagai
berikut:33
a) Jarimah Zina adalah hubungan badan yang diharamkan (diluar pernikahan) dan
disengaja oleh pelakunya. Zina terdapat dua kategori, yaitu zina muhshan
merupakan zina yang dilakukan seorang suami, istri, duda, atau janda artinya
yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Sanksi
(uqubah) dari zina muhshan adalah hukuman rajam yaitu pelaku dikubur sebatas
bahu lalu dilempari batu hingga meninggal. Yang kedua zina ghairu muhsan
merupakan zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Sanksi
32
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 16 33
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 48-92.
32
(uqubah) dari zina ghairu muhsan adalah hukuman cambuk sebanyak serratus
kali dan diasingkan selama setahun.
b) Jarimah Qadzf (Penuduhan Zina) ialah menuduh berzina pihak lain tanpa bukti
yang bisa diterima. Syaratnya penuduh harus mendatangkan empat orang saksi
jika tidak bisa maka penuduh mendapatkan hukuman. Sanksi (uqubah) jarimah
qadzf berupa cambuk sebanyak delapan puluh kali.
c) Jarimah Syurb Al-Khamr (Meminum Minuman Keras) menurut jumhur ulama
meminum khamr dalam jumlah banyak atau sedikit tetap saja haram, baik
mabuk maupun tidak. Sanksi hukuman bagi pelaku jarimah khamr delapan puluh
kali cambuk. Namun kelompok Syafi‟yah berpendapat bahwa sanksinya empat
puluh kali cambuk.
d) Jarimah Al-Baghyu (Pembrontakan) adalah sikap menolak untuk tunduk
terhadap seorang pemimpin yang sah tidak dengan kemaksiatan, tetapi dengan
perlawanan, walaupun alasannya kuat. Unsur terpenting jarimah pemberontakan
yaitu pemberontakan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat, sikap
pemberontakan yang demonstratif dan unsur melawan hukum.
e) Jarimah Riddah (Murtad) adalah orang yang kembali dan agama Islam kepada
kekufuran, seperti orang yang mengingkari eksistensi Allah sebagai pencipta.
Tidak mengakui para utusan Allah. Serta mengharamkan segala sesuatu yang
diharamkan. Sanksi (uqubah) jarimah riddah merupakan hukuman mati namun
hukuman pelaku tidak diterapkan sebelum dianjurkan bertobat dan kembali ke
agama Islam.
f) Jarimah Sariqah (Pencurian) adalah mengambil harta milik seseorang dengan
sembunyi-sembunyi dan tipu daya. Sanksi (uqubah) jarimah sariqah dihukum
potong tangan apabila seorang pencuri terbukti dan memenuhi batas minimal
(nisab).
g) Jarimah Hirabah (Perampokan) adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan didalam
maupun diluar rumah, dengan tujuan menguasai harta korban, membunuh
33
korban, atau meneror korban. Sanksi (uqubah) jarimah hirabah terdapat empat
macam yaitu dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang,
dan diasingkan tergantung bentuk tindakan yang dilakukan.
3) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta‟zir, secara bahasa berarti menolak dan mencegah. Dalam kamus
Al-Mu‟jam Al-Wasith, mendefinisikan takzir sebagai pengajaran yang tidak sampai
pada ketentuan had syar‟i seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki
pihak lain tetapi bukan berupa tuduhan berzina. Takzir berlaku atas semua orang
untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan jarimah, membuat pelaku jera
sehingga tidak mengulangi, dan memberikan pendidikan untuk memperbaiki pola
hidup. Ada dua macam jarimah takzir, yaitu jarimah takzir yang menyinggung hak
Allah artinya semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan
umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, penimbunan bahan-bahan
pokok dan penyelundupan. Kedua, jarimah takzir yang menyinggung hak individu
artinya setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu, bukan
orang banyak. Misalnya pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan, dan
pemukulan. Sanksi (uqubah) jarimah takzir juga terbagi empat macam, sebagai
berikut:
a) Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan, yaitu hukuman mati dengan syarat
perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, dampak kemaslahatan masyarakat serta
pencegahan kerusakan yang menyebar dimuka bumi. Selain itu, hukuman
cambuk memberikan efek jera, penerapan hukuman cambuk sangat praktis dan
tidak membutuhkan anggaran yang besar serta tidak bersifat kaku karena
penguasa atau hakim diberi kewenangan untuk menentukan jumlah cambukan
sesuai dengan tindak pidananya.
b) Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, yaitu hukuman
penjara bermakna menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan hukum.
Hukuman penjara dalam syariat islam terbagi menjadi dua yaitu hukuman
penjara terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Selain itu, hukuman
34
pengasingan dijatuhkan kepada pelaku jarimah membawa pengaruh buruk
kepada orang lain sehingga pelakunya harus diasingkan.
c) Sanksi tazir yang berkaitan dengan harta, secara syariat Islam tidak menetapkan
batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda.
d) Sanksi tazir dalam bentuk lain, seperti peringatan keras, dihadirkan dihadapan
sidang, nasihat, celaan, pengucilan, pemecatan atau pengumuman kesalahan
secara terbuka seperti diberitakan di media cetak dan elektronik.
3. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorokenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.34
Menurut
Romli Atmasasmita,35
pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
dirugikan.
Pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari perbuatan pidana, sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu
melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, sangat dirasakan tidak adil jika tiba-
tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan tanpa melalukan tindakan
tersebut.36
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan
dikenal dengan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa
34
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban
Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia,
2012, Cet. Pertama), h.,71. 35
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000, Cet.
Kedua), h., 65. 36
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,
1983), h., 25.
35
Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty,
unless the mind legally bla,eworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang
terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin (mens rea).37
Dalam tindak pidana, pelaku dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur delik
yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Mahrus Ali mengatakan bahwa
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dengan demikian,
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang,
namun hal tersebut belum bisa memenuhi penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adannya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan
perbuatan itu harus memenuhi unsur kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.38
Dalam pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa si pelaku mampu
bertanggungjawab. Dikatakan mampu bertanggungjawab karena seseorang mampu
menilai dengan fikirannya atau perasaannya bahwa perbuatan yang dilakukannya
dilarang artinya tidak dikehendaki oleh Undang-undang karena pada dasarnya
seorang terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab kecuali dinyatakan sebaliknya
bahwa seseorang tidak mampu bertanggungjawab.39
Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan
adalah sebagai berikut. Menurut Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:40
37
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, VI, 11, (Februari
1999), h., 27. 38
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.,155-156. 39
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-MAWARID, XII, 1, (Februari-
Augustus 2012), h., 3. 40
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Eresko, 1986),
h., 55
36
a. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan
menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
b. Dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Pengertian perbuatan pidana terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok yang
secara tegas memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana,
dan kelompok yang menyamakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana.41
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa pada dasarnya perbuatan pidana
adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi
pidana.42
Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya Perbuatan Dan Pertanggungjawaban
Pidana menjelaskan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan dilarang.43
Dengan demikian, perbuatan
pidana hanya menunjuk pada perbuatan, baik secara aktif maupun secara pasif,
sedangkan apakah pelaku ketika melakukan perbuatan patut dicela dan memiliki
kesalahan bukan merupakan perbuatan pidana, tetapi sudah masuk pada
pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, apakah inkonkreto, yang melakukan
perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar arti
perbuatan pidana.44
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa perbuatan pidana tidak bisa
dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana. Menurut Simons, strafbaarfeit itu
adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan
berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab, sedangkan Van Hamel bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang
41
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kesatu), h., 97. 42
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 15. 43
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dalam
Hukum Pidana, (Jakarta; Aksara Baru, 1981), h., 99-100. 44
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,
1983), h., 11.
37
dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.45
Pendapat Simons dan Van Hamel yang mencampuradukkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana diikuti oleh beberapa ahli hukum pidana
Indonesia. Menurut Komariah Emong Supardjadja dalam bukunya Ajaran Melawan
Hukum Dalam Hukum Pidana Indonesia,46
perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah
melakukan perbuatan itu. Demikian halnya yang dikemukan oleh Indriarto Seno Adji
yang mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan pidana adalah perbuatan
yang seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,
terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.47
Pengertian perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Komariah dan
Indrianto Seno Adji tersebut dipengaruhi oleh pendapat Simons dan Van Hamel. Hal
itu terlihat dengan dimasukkannya kesalahan sebagai salah satu unsur perbuatan
pidana.
Dari kedua pendapat diatas, penulis lebih sepakat dengan pendapat yang
pertama, yaitu memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Dengan demikian ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang
oleh hukum pidana, tetapi tidak secara otomatis orang itu dijatuhi hukum pidana,
untuk menjatuhkan pidana kepada orang itu harus mempunyai unsur kesalahan dan
telah dibuktikan dalam proses pidana.
B. Kesengajaan Dan Kealpaan
1. Kesengajaan
a. Pengertian Kesengajaan
Wetboek Van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undnag-
45
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 97. 46
Komariah Emong Supardjadja, Ajaran Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung: Alumni, 2002), h., 22. 47
Indriarto Seno Adji, Pergeseran Hukum Pidana, (Jakarta: Diadit Media, 2012), h., 17.
38
undang.48
Rusli Effendy menuliskan dolus atau kesengajaan menurut Memory Van
Toelichting (Risalah penjelasan Undang-undang) berarti pelaku harus menghendaki
apa yang dilakukannya (menghendaki dan menginsyafi suatu tindakan beserta
akibatnya).49
b. Teori-Teori Dalam Kesengajaan
Kata sengaja dalam Undang-Undang meliputi semua yang perkataan yang ada di
belakangnya, termasuk didalamnya akibat dari tindak pidana. Dalam hal ini terdapat
dua teori, yaitu:
1) Teori Pengetahuan (Voortellings Theory)
Menurut teori pengetahuan seseorang sudah dapat diatalan sengaja melakukan
perbuatan pidana jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.50
2) Teori Kehendak (wills Theory)
Menurut Teori kehendak, seseorang dianggap sengaja melakukan suatu
perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki dilakukannya perbuatan itu.
Dalam konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang.51
c. Bentuk-Bentuk Kesengajaan
Kesengjaan yang merupakan corak sikap batin yangmenunjukkan tingkatan atau
bentuk kesengajaan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Kesengajaan Sebagai Maksud (opzet als oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa
pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya. Arti kata maksud
disini adalah maksud untuk menimbulkan akibat tertentu.
2) Kesengajaan Sebagai Kemugkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijin)
48
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 174. 49
Rusli Effendy, Asas-Aas Hukum Pidana, (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian Universitas
Muslim Indonesia, 1989), h., 69. 50
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 175. 51
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 186.
39
Kesengajaan kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa
yang dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar
sebagai suatu kemungkinan yang terjadi.
3) Kesengajaan Sebagai Kepastian (opzet bil noodzakelijkheids)
Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang sudah
mengerti dan menduga bagaimana akibat dari perbuatannya atau hal-hal mana
nanti akan turut serta mempengaruhi akibat dari perbuatannya.
2. Kealpaan
a. Pengertian Kealpaan
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
geocompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliuaran pada kekeliuran dalam
perbuatan seseorang secara lahiriah, dan sisi lain mengarah pada keadaan batin
seseorang. Dengan demikian, maka di dalam kealpaan terkandung makna kesalahan
dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaaan antara
kesengajaan dan kealpaan, dimana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif,
yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan
yang dilarang, dalam kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.52
Dilihat dari jenisnya, Mahrus Ali dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar
Hukum Pidana membaginya menjadi dua jenis,53
yaitu:
1) Kealpaan Yang Disadari (Bewuste Culpa)
Dalam kealpaan ini pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, tetapi pelaku berharap bahwa kaibat buruk tidak akan terjadi.
2) Kealpaan Yang Tidak Disadari (Onbewuste Culpa)
Dalam kealpaan ini pelaku tidak menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Padahal pelaku seharusnya
memperhitungkan akan akibat yang akan ditimbulkan.
52
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 217. 53
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 178-179.
40
Berbeda halnya dengan Frans Maramis dalam karyanya yang berjudul Hukum
Pidana Umum Dan Tertulis membaginya dalam dua bentuk, yaitu:54
1) Kealpaan Berat (Culpa Lata)
Dalam kealpaan berat ilmu hukum pidana maupun yurisprudensi menerangkan
bahwa hanya kealpaan berat yang dapat dipidana karena tergolong sebagai
kejahatan
2) Kealpaan Ringan (Culpa Levis)
Dalam kealpaan ini karena sifatnya ringan dan terdapat panda ngan bahwa Culpa
Levis oleh Undang-undang tidak diperhatikan sehingga tidak diancam pidana.
3. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana
Dalam Hukum Pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus
pertanggungjawaban pidana atau alasan pemaaf, yaitu:
a. Daya Paksa (overmarcht)
Daam KUHP daya paksa diatur di dalam pasal 48 yang berbumyi “Barang
siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”
Rumusan pasal tersebut menimbulkan pertanyaan, yakni apakah daya paksa
yang dikategorikan sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa fisik atau daya
psikis. Secara teoritis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu:
1) Vis Absoluta
Vis Absoluta adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuasaan
tenaga manusia (fisik) oleh orang lain.
2) Vis Compulsilva
Vis Compulsilva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun
secara perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan
memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan. Dalam Vis Compulsilva yang
54
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, h., 130-132.
41
terjadi adalah paksaan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa secara mutlak,
tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.55
Berdasarkan uraian diatas, ternyata yang dikategorikan sebagai daya paksa
sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa psikis atau Vis compulsilvai. Alasannya,
orang yang berbuat bukan yang terkena paksaan, tetapi orang yang memberi keadaan
psikis. Vis compulsilva masih dibagi menjadi dua bagian, yaitu daya paksa dalam arti
sempit dan keadaan darurat. Pengertian daya paksa dalam arti sempit adalah sumber
datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang dipaksa, sehingga orang
tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kemauan orang yang
memaksanya itu, sedangkan dalam keadaan darurat yang terkena daya paksa itu
sebenarnya masih memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan
dilakukan.56
b. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
Pasal 49 ayat 2 KUHP menyatakan “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan
atau ancaman serangan itu tindak dipidana”
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu
dilampaui, jadi tidak proporsional. Melalui batas pembelaan ada dua macam.
Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat,
kedua ialah orang yag berhak membela diri karena terpaksa karena akibat
keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.
c. Menjalankan Perintah Jabatan
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang namun pelaku
menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang.
Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan
itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam
55
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, h., 151. 56
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 182.
42
lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 2 KUHP yang
berbunyi “Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya
pidana, kecuali jika yag diperintah, dengan itikad yang baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam
lingkungan pekerjanya”
Menurut vos, mengenai ketentuan pasal 51 ayat 2 KUHP itu, perintah jabatan
yang diberikan jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos
pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
1) Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa
perintah itu datang dari yang berwenang.
2) Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang
lingkup pembuat sebagai pahlawan.57
C. Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api Ilegal
1. Pengertian Senjata Api
Istilah senjata api atau pistol digunakan secara bergantian seiring dengan
perkembangan zaman, penggunaan istilah kata yang signifikan pada waktu dan
kondisi tertentu. Istilah pistol lebih sering digunakan oleh kalangan jurnalis dan
umum, sementara istilah senjata api cenderung digunakan oleh kelompok
akademisi.58
Senjata api ini, seperti yang disampaikan oleh Tom A. Warlow,
merupakan senjata yang dapat dibawa kemana-mana. Hal ini kemudian menunjukkan
senjata api sendiri merupakan jenis senjata yang mudah digunakan pemiliknya tanpa
harus memberikan beban seperti senjata berbeban berat yang biasa digunakan untuk
perang.
Dapat disampaikan bahwa pengertian senjata api tidak memiliki perbedaan
yang signifikan antara text book yang satu dengan yang lainnya. Perbedaannya hanya
berada pada konteks pembahasan tentang senjata api itu sendiri, apakah dari sisi
57
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban
Sebagai Syarat Pemidanaan, h., 91. 58
Josias Simon Runturambi Atin & Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan Tindak
Kriminal, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), h., 1.
43
bentuk fisik senjata maupun fungsi serta efek yang ditimbulkan dari penggunaannya.
Charles Springwood menyatakan senjata api merupakan jenis senjata yang secara
proyektif menghasilkan tembakan dari pengapian propelan serta menjelaskan
pengertian senjata api berdasarkan cara kerja dan fungsi dari senjata api tersebut.59
Senjata api memiliki berbagai macam jenis, baik itu yang digunakan dalam
ruang lingkup TNI dan POLRI maupun yang digunakan di luar ruang lingkup TNI
dan POLRI. Senjata api yang digunakan dalam lingkup TNI dan POLRI adalah
senjata api yang dipakai oleh kesatuan tersebut dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Adapun jenis-jenisnya sebagai berikut:60
a. Revolver model 66 kal. 357
Asal negara USA, panjang dan berat senjata 241 mm dan 35 ons, panjang laras
102 mm, jarak tembak 25 m, isi magasen 6 peluru.
b. Revolver model 28 kal. 357
Asal negara USA, panjang dan berat senjata 285 mm, dan 4,2 kg, panjang laras
152 mm, jarak tembak 25 mm, isi magasen 6 peluru (silinder).
c. Pistol Pindad P1 Kal. 9 mm
Asal negara Indonesia, panjang dan berat senjata 196 mm dan 0,9 kg, panjang
laras 118 mm, jarak tembak 1080 m, isi magasen 13 peluru.
d. Pistol isyarat Rusia kal 26 mm
Asal negara Rusia, panjang senjata 8 inchi, panjang laras 4,5 inchi.
e. Pistol US M. 1991 A1 kal. 45 mm
Asal negara USA, panjang dan berat senjata 469,9 m dan 101,65 gr, panjang
laras 127 mm, jarak tembak 1440 m, isi magasen 7 peluru.
Senjata api yang digunakan diluar lingkup TNI dan POLRI adalah senjata api
milik perorangan atau instansi-instansi pemerintah yang telah memiliki surat izin
59
Sonya Airini Batubara, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api
Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil” Jurnal Hukum Kaidah, Volume 18, Nomor 3, (Februari 2017), h.,
49. 60
Mei Rini, “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api
Tanpa Prosedur”, Jurnal Lex et Societatis, Volume IV, Nomor 2, (Februari 2016), h., 2.
44
khusus untuk pemilikan senjata api. Senjata api yang boleh dimiliki untuk perorangan
adalah senjata api untuk olahraga menembak, senjata api untuk berburu dan senjata
api untuk koleksi. Senjata api yang boleh digunakan diluar lingkup TNI dan POLRI
dibatasi bahwa senjata api tersebut adalah:
a. Non otomatik;
b. Senjata bahu dengan maksimum kaliber 22 atau kaliber lainnya;
c. Senjata genggam dengan maksimum kaliber 32 atau kaliber lainnya;
d. Senjata bahu (laras panjang) hanya dengan kaliber 12 GA dan kaliber 22 dengan
jumlah maksimal dua pucuk per orang;
e. Senjata api berpeluru karet atau gas (IKHSA) jenis senjata api tersebut antara
lain: revolver kaliber 22/25/32 dan senjata bahu Shotgun kaliber 12 mm;
f. Untuk kepentingan bela diri seseorang hanya boleh memiliki senjata api
genggam jenis revolver dengan kaliber 31/25/22. atau senjata api bahu jenis
shotgun kaliber 12 mm, dan untuk senjata api (IKHSA) adalah jenis hunter 006
dan hunter 007.
2. Peraturan Kepemilikan Senjata Api
Di Indonesia, kepemilikan senjata api diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api.
Peraturan yang tercantum dalam pasal 9 Undang- undang Nomor 8 tahun 1948
tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api menjelaskan
bahwa setiap orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang memakai dan
memiliki senjata api harus mempunyai izin pemakaian senjata api menurut contoh
yang ditetapkan oleh kepala kepolisian negara. Dengan demikian, dasar hukum
tersebut memiliki pengertian bahwa setiap izin yang keluar untuk kepemilikan atau
pemakaian senjata api (IKSA) harus ditanda tangani langsung oleh Kapolri dan tidak
bisa didelegasikan kepada pejabat lain seperti Kapolda ataupun pangkat lainnya.61
61
Evan Munandar, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata Api
Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law Journal, Volume II, Nomor 3,
(Desember 2018), h., 341.
45
Kepentingan pengawasan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia juga
mendasarkan sikapnya pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perizinan Menurut Undang-Undang Senjata
Api.62
Menurut Undang-Undang tersebut ada persyaratan-persyaratan utama yang
harus dilalui oleh pejabat baik secara perorangan maupun swasta untuk memiliki dan
menggunakan senjata api. Pemberian izin itu pun hanya dikeluarkan untuk
kepentingan yang dianggap layak. Misalnya untuk olahraga, izin hanya diberikan
kepada anggota Perbakin yang sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan jasmani dan
rohani dan memiliki kemahiran menembak serta mengetahui secara baik peraturan
perundang-undangan mengenai penggunaan senjata api. Izin kepemilikan senjata api
yang bertujuan untuk bela diri hanya diberikan kepada pejabat tertentu. Menurut
ketentuannya, mereka harus dipilih secara selektif. Mereka masing-masing adalah
pejabat swasta atau perbankan, pejabat pemerintah, TNI/Polri dan purnawiraman.
Untuk pejabat swasta atau bank, mereka yang diperbolehkan memiliki senjata
api masing-masing: presiden direktur, presiden komisaris, komisaris, direktur utama,
dan direktur keuangan. Untuk pejabat pemerintah, masing-masing: Menteri, Ketua
MPR/DPR, Sekjen, Irjen, Dirjen, dan Sekretaris Kabinet, demikian juga Gubernur,
Wakil Gubernur, Sekwilda, Irwilprop, Ketua DPRD dan anggota DPR/MPR,
sedangkan untuk jajaran TNI/Polri yang diperbolehkan memiliki senjata api hanyalah
perwira tinggi dan perwira menengah dengan pangkat serendah-rendahnya Kolonel
namun memiliki tugas khusus. Demikian pula untuk purnawirawan, yang
diperbolehkan hanyalah perwira tinggi dan perwira menengah dengan pangkat
terakhir Kolonel yang memiliki jabatan penting di Pemerintah/swasta.63
Warga sipil dapat memiliki senjata api kepemilikannya telah diatur dalam
Undang -Undang Nomor 8 tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin
62
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang
Kewenangan Perizinan Menurut Undang-Undang Senjata Api. 63
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, (Jakarta: Grasindo, 2009), h., 302-303.
46
Pemakaian Senjata Api. Di Indonesia, perizinan kepemilikan senjata api secara
spsifik diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perizinan,
Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik. Senjata api yang
diperbolehkan dimiliki oleh warga sipil adalah senjata api non organik TNI/Polri,
berupa senjata genggam Kaliber 22 sampai 32, serta senjata bahu golongan non
standard TNI Kaliberr 12 GA dan KA. Prosedur untuk memiliki senjata api untuk
warga sipil harus terlebih dahulu dilihat dari sisi urgensinya serta mengacu pada
Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Peng
endalian Senjata Api Non Organik.64
a. Pemohon harus memenuhi syarat medis
Jika ingin memiliki senjata api legal, pertama harus memenuhi syarat medis yang
berarti sehat jasmani dan rohani. Selain itu juga tidak ada cacat fisik yang bisa
mengurangi keterampilan menggunakan senjata api dan yang penting masih
mempunyai penglihatan normal.
b. Pemohon harus lolos seleksi psikotes
Orang yang cepat gugup dan panik dalam menghadapi sesuatu maka
kemungkinan besar tidak bisa memiliki izin kepemilikan senjata api resmi dari
kepolisian. Sebab syarat kepemilikan senjata api bagi warga sipil harus bisa
menjaga emosi dan tidak cepat marah.
c. Pemohon tidak pernah terlibat tindak pidana
Pemohon harus berkelakuan baik sebelum mengajukan permohonan izin
kepemilikan senjata api. Tidak pernah terlibat kasus pidana yang bisa dibuktikan
dari SKKB (Surat Keterangan Kelakuan Baik) dari Kepolisian.
d. Usia pemohon harus terpenuhi
Batas usia yang dibolehkan memiliki senjata api minimal 21 tahun dan maksimal
65 tahun.
e. Pemohon harus memenuhi syarat administratif
64
Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian
Senjata Api Non Organik.
47
Syarat administratif yang harus dipenuhi berupa fotocopy KTP sebanyak 5
lembar, fotocopy KK sebanyak 5 lembar, fotocopy SKCK, rekomendasi Kapolda
setempat, foto berwarna 2x3 sebanyak 5 lembar, foto berwarna 3x4 sebanyak 5
lembar, foto berwarna 4x6 sebanyak 5 lembar dan mengisi formulir permohonan
dari Mabes Polri. Jenis senjata api yang boleh dimiliki oleh warga sipil yaitu
senjata api genggam jenis revolver kaliber 32, kaliber 25, atau kaliber 22, senjata
api bahu jenis shotgun kaliber 12 mm, dan senjata api bahu kaliber 12 GA dan
kaliber 22.
3. Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal
Kontrovesi kepemilikan senjata api ilegal merupakan suatu persoalan yang
harus diselesaikan. Ilegal yang dimaksud disini ialah tidak legal, atau tidak sah
menurut hukum. Kepemilikan senjata api ilegal ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk
pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai suatu sarana kejahatan yang berbahaya oleh
pelaku tindak pidana, hal tersebut sejalan dengan meningkatnya dan maraknya tindak
kejahatan dimasyarakat, penembakan oleh orang tidak dikenal, teror penembakan
disejumlah tempat-tempat umum, hingga kejahatan yang diikuti oleh ancaman
bahkan pembunuhan dengan senjata api tersebut.65
Senjata api ilegal merupakan
senjata yang beredar secara tidak sah dikalangan sipil, tidak diberi izin oleh orang-
orang terlatih dan memiliki spesialisasi dibidang kejahatan tertentu sehingga
kemudian membutuhkan dukungan senjata api dalam rangka memuluskan
rencananya.
Kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan kepemilkan senjata api oleh
masyarakat sipil. Kepemilikan senjata api secara umum diatur dalam Undang-undang
Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana. Pasal 1 ayat (1) UU darurat
Nomor 12 Tahun 1951 disebutkan:
65
Bagoes Rendy, “Pertanggujawaban Pidana Atas Kepemilikan Senjata Api Tanpa Ijin
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurist-Diction Journal, Volume 2, Nomor
6, (November 2019), h., 207.
48
“Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum
dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”
Sumber-sumber utama peredaran senjata api ilegal di Indonesia sangat beragam
dan komplek, antara lain:66
a. Pencurian dari gudang senjata aparat atau pembelian secara ilegal dari oknum
TNI atau POLRI. Prosedur penyimpanan senjata oleh TNI dan POLRI
kelihatannya ketat, tetapi gudang senjata dibanyak wilayah tidak dijaga dengan
baik ataupu diinventarisir seperti yang seharusnya, selain keterlibatan oknum
militer ataupun oknum polisi karena memang mereka dilegalkan oleh UU untuk
menyimpan, memiliki dan menggunakan senjata api. Kepemilikan senjata api
yang legal tersebut sering disalahgunakan dengan cara menjual senjata api
organik TNI/POLRI dengan harga yang murah kepada masyarakat sipil,
mudahnya penggunaan senjata api laras panjang yang biasa digunakan sebagai
kelengkapan dari TNI/POLRI dikalangan masyarakat luas termasuk dikalangan
kriminal menimbulkan tanda tanya siapa oknum pelaku dari bebasnya peredaran
senjata laras panjang yang merupakan tanggung jawab aparat.
b. Senjata rakitan buatan lokal, pada dasarnya senjata rakitan juga disebut small
arms karena merupakan replika dan dirakit secara khusus mengikuti pola senjata
api standar tempur, hanya bedanya yang pertama diproduksi secara legal oleh
pabrik-pabrik pembuatan senjata sedangkan senjata rakitan bukan diproduksi
oleh pabrik pembuatan senjata tetapi oleh home industri ilegal yang dilakukan
oleh masyarakat. Produksi ilegal senjata api terjadi diberbagai negara seperti
66
Ernest Runtunkahu, “Beberapa Aspek Tentang Delik Senjata Api, Amunisi Dan Bahan
Peledak Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume VI, Nomor 4, (Juni 2019), h., 9.
49
Afrika Selatan, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
c. Penyelundupan senjata api ilegal didatangkan dengan banyak cara dan
selanjutnya akan menghiasi “pasar gelap” senjata api di Indonesia dimana
keberadaan senjata-senjata itu tidak pernah terpantau dengan jelas.
Penyelundupan senjata api tidak hanya berkaitan dengan impor namun juga
ekspor dan sering dilakukan baik oleh perusahaan-perusahaan eksportir/importir
ataupun secara pribadi dengan cara melakukan pemalsuan dokumen tentang isi
dari kiriman. Peredaran senjata api di Indonesia selain diramaikan produk dalam
negeri juga didatangkan dengan cara impor tidak hanya secara resmi karena
pesanan institusi negara, tetapi kerap dilakukan secara ilegal demi kepentingan
perorangan.
Kepemilikan senjata api ini sendiri memang diatur secara terbatas,
dilingkungan Kepolisian dan TNI sendiri terdapat peraturan mengenai prosedur
kepemilikan dan syarat tertentu untuk memiliki senjata api. Di lingkungan
masyarakat sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara
legal. Prosedur tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 5 ayat (1) UU Nomor
8 Tahun 1948 mewajibkan setiap senjata api yang berada ditagan orang bukan
anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan olh Kepala Kepolisian Keresidenan.
Menurut Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang
mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata
api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin
pemakaian senjata api ini diberikan oleh Kepala Kepolisian atau orang yang
ditunjukkannya. Lebih lanjut, pengajuan izin kepemilikan senjata api non organik
yang dilakukan oleh masyarakat yang biasa disebut dengan Izin Khusus Senjata Api
(IKSHA), dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Kepala Kepolisian.67
67
Evan Munandar, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata Api
Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law Journal, Volume II, Nomor 3,
(Desember 2018), h., 348.
50
BAB III
KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP KEPEMILIKAN SENJATA API
SECARA ILEGAL
A. Duduk Perkara Putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt
Dalam sistem beracara pidana, yang dikedepankan saat ini adalah adversary
system yaitu sistem berhadapan atau biasa juga disebut accusatoir. Sistem ini sebagai
lawan dari inquisitoir yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan, sedangkan
hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama. Dengan mengedepankan
sistem saling berhadapan, maka diandaikan ada pihak terdakwa yang di belakangnya
terdapat penasihat hukumnya, sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang
atas nama negara menuntut pidana. Hakim berada di tengah pihak-pihak yang
berperkara dan tidak memihak.1
Dalam putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt menyebutkan
terdakwa bernama Roketson anak dari Kekem tempat tanggal lahir Ugang Sayu
Kabupaten Barito Selatan 17 Januari 1965, beragama Islam dan bertempat tinggal di
Desa Ugang Sayu RT 06 RW 02 Kecamatan Gunung Bintang Awai, Kabupaten
Barito Selatan Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam dakwaan penuntut umum tanggal 5 Februari 2020 menyebutkan
bahwa terdakwa Roketson anak dari Kekem, pada hari Jum‟at tanggal 20 September
2019 sekitar jam 08.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain yang masih
termasuk dalam bulan September 2019 bertempat di Gunung Usang Desa Bintang
Ara Kecamatan Gunung Bintang Awai Kabupaten Barito Selatan atau setidak-
tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri
Buntok yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, karena kealpaannya
atau kelalaiannya menyebabkan matinya orang yaitu korban Nata perbuatan mana
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Cet. ke-2, h.
64.
51
dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut, Pada waktu dan tempat seperti
tersebut di atas, berawal pada hari Rabu tanggal 18 September 2019 sekitar jam 02.30
wib terdakwa dan korban berangkat dari Desa Ugang Sayu Kecamatan Gunung
Bintang Awai menuju ke hutan daerah Gunung Usang Desa Ara dengan
menggunakan sepeda motor, kemudian sekitar jam 06.00 wib, terdakwa dan korban
sampai di sebuah pondok milik korban selanjutnya terdakwa dan korban beristirahat
di pondok tersebut, tidak lama kemudian korban pergi meninggalkan terdakwa di
pondok lalu korban kembali lagi menemui terdakwa dengan membawa sepucuk
senjata api rakitan serta menunjukan kepada terdakwa, selanjutnya korban
membersihkan senjata api rakitan tersebut dan mengajarkan kepada terdakwa cara
menggunakan senjata api rakitan yaitu dengan memasukan peluru dan menegangkan
senjata api serta cara membidik senjata api rakitan tersebut.
Pada hari Kamis tanggal 19 September 2019 sekitar jam 06.00 wib, terdakwa
dan korban pergi dari pondok milik korban dengan maksud untuk memulai
melakukan perburuan dengan menggunakan senjata api rakitan, dimana saat itu
terdakwa yang membawa senjata api rakitan tersebut dengan cara menggantungkan
senjata api rakitan pada bagian bahu terdakwa sementara korban berjalan di depan
terdakwa, namun pada hari tersebut terdakwa dan korban tidak mendapatkan hewan
buruan dan hanya melihat kubangan bekas hewan babi, maka akhirnya terdakwa dan
korban kembali lagi ke pondok untuk beristirahat.
Pada hari Jum‟at tanggal 20 september 2019 sekitar jam 06.00 wib, korban
berangkat terlebih dahulu dari pondok dengan membawa karung dan korban pergi
untuk mencari jejak hewan buruan, namun sebeum meninggalkan pondok korban
sempat memberikan pesan kepada terdakwa agar terdakwa membawa senjata api
rakitan yang telah diisi peluru oleh korban serta kemudaian sekitar jam 06.30 wib
terdakwa berangkat dari pondok dengan maksud menemui korban, tetapi di tengah
perjalanan sekitar jam 08.00 wib terdakwa melihat seekor babi hutan disebuah
gundukan tanah dengan jarak sekitar 15 meter dari terdakwa, terdakwa yang
sebelumnya belum pernah menggunakan senjata api dan tidak memiliki keahlian
52
dalam menggunakan senjata api langsung menarik grendel pemicu senjata api rakitan
yang terdakwa bawa dan langsung membidik kearah babi hutan tersebut dan langsung
menembakan senjata api rakitan tersebut kearah babi hutan namun yang terdakwa
dengan adalah teriakan seseorang “aduh” dari arah depan sejajar dengan posisi babi
hutan yang terdakwa bidik tersebut, mendengar suara tersebut maka terdakwa
langsung berlari menuju arah suara teriakan dan saat itu terdakwa melihat korban
tergeletak ditanah dengan posisi tangan kirinya memegang dada sebelah kiri yang
mengeluarkan darah, melihat hal tersebut terdakwa langsung meletakkan senjata api
rakitan yang terdakwa pegang dan terdakwa langsung menaiki tubuh korban serta
meminta maaf lalu terdakwa mencium korban dan selanjutnya terdakwa mengambil
karung dari belakang tubuh korban dan meletakkannya dibagian kepala korban
sebagai alas dan terdakwa juga sempat memegang tangan korban dan berdoa serta
terdakwa juga sempat menyalakan api disekitar tubuh korban bagian kaki agar tubuh
korban tidak diserang oleh hewan buas, setelah itu terdakwa pergi meninggalkan
korban menuju kearah pondok untuk mengambil sepeda motor dan pergi kearah luar
pondok untuk mencari sinyal agar bisa menghubungi orang lain dengan maksud
mencari bantuan untuk membawa korban kembali kerumahnya, namun ditengah
perjalanannya terdakwa sempat menyimpan senjata api rakitan di semak-semak dekat
sebuah pohon. Pada saat sedang berusaha meminta bantuan dengan menghubungi
orang lain, terdakwa berhasil menghubungi saksi Masrianto dan saksi Mudi Harta dan
terdakwa langsung meminta bantuan untuk mengevakuasi korban yang saat itu
terdakwa mengatakan bahwa korban dalam keadaan saksi di dalam hutan, sekitar
beberapa jam kemudian hingga pada akhirnya terdakwa, saksi Masrianto dan saksi
Mudi Harta tiba dilokasi tempat korban berada langsung melakukan evakuasi dengan
cara membuat tandu dengan menggunakan sarung yang sebelumnya dibawa oleh
saksi Masrianto, yang mana bagian kepala korban dimasukkan kedalam sarung
sedangkan pada bagian kaki dimasukkan kedalam karung kemudian dipikul dengan
menggunakan sebatang kayu bulat lalu tubuh korban dievakuasi dengan cara ditandu,
ketika berada di pinggiran sebuah sungai saksi Masrianto dan saksi Mudi Harta tidak
53
sanggup lagi memikul tubuh korban sehingga tubuh korban diletakkan ditempat yang
aman sementara terdakwa, saksi Masrianto dan saksi Mudi Harta mencari bantuan
tambahan dengan menghubungi keluarga saksi Masrianto, hingga akhirnya sekitar
jam 23.30 WIB datang saksi Kariano, saksi Redit dan saksi Anang dengan mobil
milik PT. MUTU membantu untuk melakukan evakuasi korban hingga pada akhirnya
pada hari Sabtu tanggal 21 September 2019 sekitar jam 02.30 WIB korban berhasil
dievakuasi dan dibawa kerumah korban di Desa Ugang Sayu.
Dengan demikian, akibat kejadian tersebut korban meninggal dunia sesuai
dengan hasil Visum Et Repertum Nomor ; 02/IPJ/RSUD/X/2019 tanggal 19 Oktober
2019 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. Ricka Brilianty Zaluchu, SpKF.
dengan kesimpulan hasil pemeriksaan sebagai berikut jenazah adalah seorang laki-
laki umur tiga puluh delapan tahun. Pada pemeriksaan luar dan dalam ditemukan
tanda kekerasan tajam akibat peluru di dada kiri korban yang menyebabkan
perdarahan hebat, disertai mati lemas disebababkan kematian perdarahan hebat akibat
kekerasan senjata api.
B. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Kepemilikan Senjata Api Ilegal
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Hukum
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya, penegakan hukum
berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Masalah penegakan
hukum terletak pada upaya terbaik penegakkan hukum pidana materil sebagaimana
ketentuan hukum pidana formil mampu menjadi pengawal dalam membingkai
semangat dan tujuan hukum pidana meteril itu sendiri. Dalam banyak hal upaya
penegakan hukum, tidak cukup hanya dilihat dari aspek hukum saja agar dapat
berjalan secara efektif, tetapi ada aspek lain yaitu aparat hukum serta budaya yang
hidup dimasyarakat.
1. Faktor Untuk Menjaga Diri
Kepemilikan senjata api ilegal tidak hanya digunakan untuk pelanggaran
hukum, tetapi juga sebagai suatu sarana untuk melindungi diri dari kejahatan yang
54
berbahaya bagi pelaku. Alasan sulit mewendapatkan izin, kepemilikan senjata api
oleh masyarakat sipil jelas memerlukan prosedur permohonan izin tertentu mencakup
syarat keterampilan dan psikologis. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan.
Aturan tentang kepemilikan senjata api di kalangan sipil tertuang dalam
Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004. Aturan itu mencantumkan tentang siapa
saja yang boleh memiliki senjata api di kalangan sipil.Dalam aturan itu tercantum
sipil yang bisa memiliki senjata api hanya kalangan tertentu, misal, direktur utama,
menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha utama, komisaris, pengacara, dan dokter.
Sipil yang ingin memiliki senjata juga harus dites kejiwannya. Calon pemilik senjata
api, wajib punya keterampilan menembak minimal tiga tahun. Calon pemilik juga
harus secara resmi mendapatkan surat izin dari instansi, atau kantor yang bertanggung
jawab atas kepemilikan senjata api. Surat-surat kelengkapan senjata juga harus
diperpanjang izinnya setiap tahun.2
Faktor untuk membela diri atau untuk menjaga diri merupakan faktor yang
sering dijadikan alasan pelaku tindak pidana memiliki dan menyimpan senjata api
secara tanpa izin. Pelakunya menyatakan bahwa mereka memiliki dan menyimpan
senjata api secara tanpa izin dalam rangka untuk menjaga diri dari serangan musuh.
Terdakwa membawa senjata api itu karena untuk menjaga dirinya dari rasa takut
karena belakangan ini sering terjadinya kejahatan seperti perampokan atau
perampasan terhadap mobil.
2. Faktor Kurangnya Pengawasan Dari Pihak Kepolisian
Pengawasan senjata api merupakan tugas dan tanggungjawab kepolisian
Republik Indonesia. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e yang berbunyi : Kepolisian
memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata
tajam. Pengertian Pengawasan dalam menurut Sumardjo Tjitrosidoyo menjelaskan
bahwa pengawasan adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara menyeluruh
2 Dwi Yulianti, “Pertanggungjawaban Hukum Penguasaan Senjata Api Dan Amunisi Tanpa
Izin Oleh Warga Sipil”, Recidive Journal, Volume 3 Nomor 3, (September 2014), h., 341.
55
dengan mengadakan perbandingan yang seharusnya (das Sollen) dan yang adanya
(das Sein), hal tersebut senada dengan Azwar Daris dalam bukunya tentang Tujuan
dan ruang lingkup pengawasan yang menjelaskan bahwa pengawasan adalah segenap
kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa tugas atau pekerjaan telah
dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah
digariskan dan perintah yang diberikan.3
Dalam pengawasan senjata api, berdasarkan Surat Direktur Intelpam atas
nama Kapolri Nomor R/WSD 404/VII/98/Dit LPP tertanggal 21 Agustus 1998,
peralatan keamanan yang dapat digunakan untuk mengancam atau
menakuti/mengejutkan adalah senjata gas air mata yang berbentuk pistol/revolver
gas, stick/pentugan gas, spray gas, gantungan kunci gas, extinguising gun/pemadam
api ringan, pulpen gas, senjata kejutan listrik yang berbentuk stick/tongkat listrik,
kejutan genggam, senter serba guna, senjata panah berupa model cross bow (senjata
panah), panah busur, senjata tiruan/replika, serta senjata angin kaliber 4,5 mm.
Kepolisian Republik Indonesia adalah instansi yang ditugaskan dalam
memberikan memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api. Dengan
demikian, setiap orang yang mengajukan permohonan kepemilikan senjata api kepada
Polri akan dilegalisasi permohonannya. Kriteria khusus untuk pemohon yang
berkeinginan mengajukan perizinan kepemilikan senjata api yaitu pemohon harus
mengikuti aturan yang telah ditetapkan Polri. Prosedur untuk Kepemilikan senjata api
dicantumkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan
Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik. Pemohon yang ingin memiliki
senjata api harus mengajukan melalui Polda setempat, kemudian diteruskan ke Mabes
Polri dan yang diperiksa pertama kali adalah syarat formal antara lain adalah kriteria
calon yang boleh memiliki senjata api, yaitu pejabat pemerintah, minimal setingkat
Kepala Dinas ditingkat pusat dan setingkat Bupati dan Anggota DPRD di daerah;
Pejabat TNI/POLRI, minimal Perwira Menengah atau Perwira Pertama yang tugas
3 Nurdianto Eko, “Pengawasan Penggunaan Senjata Api Ilegal Di Wilayah Hukum Kepolisian
Daerah Metro Jaya”, Jurnal Dialektika, Vol. 14, No. 1, (April 2019), h., 1-3.
56
operasional pejabat bank/swasta, minimal Direktur Keuangan; Pengusaha/Pemilik
Toko Mas, Satpam atau Polisi khusus yang terlatih.4
Ancaman hukuman penjara 20 (dua puluh) tahun hingga seumur hidup kepada
pemilik senjata api illegal belum memberikan suatu dampak yang signifikan, karena
dalam realitanya vonis yang diberikan kepada pelaku kepemilikan senjata api illegal
tidak sebanding dengan ancaman yang tercantum dalam Undang-Undang, sehingga
tidak memberikan efek jera dan menjadikan pemilik senjata api illegal lainnya untuk
memasih menyimpan senjata api illegal.5
3. Faktor Sulitnya Prosedur Kepemilikan Senjata Api Legal
Dalam Pasal 1 ayat 1 Perpu No 20 Tahun 1960 disebutkan Ketentuan
perijinan mengenai senjata api, obat peledak, mesiu dan lain sebagainya untuk
kepentingan Angkatan Perang hendaknya diatur dalam lingkungan Angkatan perang
sendiri. Dengan demikian, adapun yang diperuntukkan bagi pribadi anggota
Angkatan Perang tetap termasuk bidang kewenangan perijinan seperti untuk umum
di luar Angkatan Perang di bawah Menteri/Kepala Kepolisian Negara. Senjata untuk
masyarakat sipil dapat diimpor apabila memiliki izin dalam hal ini Pejabat yang
berwenang untuk memberi izin pemasukan senjata api non standar TNI/POLRI
adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia.6 Kepala Direktorat intelejen
pengamanan menjelaskan bahwa untuk bisa memasukkan senjata api seorang
importir harus memiliki izin dari Kapolri, memiliki Angka Pengenal Impor dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan tempat pemasukan senjata api dan
amunisi ditempuh adalah importir mengajukan permohonan kepada Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dengan mencantumkan identitas, jumlah dan jenis
senjata api, negara penjual, jangka waktu pemasukkan, pelabuhan pemasukkan, dan
lain-lain.7
4 Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, h., 24.
5 Eka Yusman, “Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Yang Beredar Di Masyarakat”, e-
Jurnal Katalogis, Vol. 3, No. 12, (Desember 2015), h., 88. 6 Djamin Awaloedin, Sistem Administrasi Kepolisian, (Jakarta: YPKIK, 2011), h., 17.
7 Djamin Awaloedin, Sistem Administrasi Kepolisian, h., 19.
57
Izin senjata api yang dikeluarkan berlaku selama enam bulan, dan apabila
realisasi impor tidak dipenuhi dalam jangka waktu tersebut izin harus diperpanjang.
Sulitnya mekanisme dalam kepemilikan senjata api secara legal membuat masyarakat
sipil yang hendak mengajukan kepemilikan senjata api menjadi salah satu penyebab
ketidakmauan measyarakat sipil untuk memiliki senjata api, padahal dalam kejahatan
penyelundupan senjata api pada dasarnya terjadi karena tersedianya peluang untuk
melakukannya. Oleh karena itu, peluang yang tersedia tidak boleh dibiarkan terbuka
begitu serta harus memiliki usaha penanggulangannya. Usaha-usaha yang ditawarkan
yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Ketegasan hukum dimana menerapkan sanksi nyata pada si pelaku tanpa
pandang siapa yang melakukan.
b. Dibentuknya badan khusus penanganan perdagangan senjata api gelap
c. Memperketat wilayah Perbatasan Republik Indonesia yang diduga sebagai
masuknya senjata Illegal api di Indonesia.8
Izin kepemilikan senjata api yang cukup rumit menjadi salah satu bagian dari
fungi pengawasan Polri supaya masyarakat sipil yang memiliki senjata api nantinya
tidak memiliki sikap arogansi yang memicu terjadinya ketidaktenangan masyarakat
dan bahkan dapat digunakan untuk melakukan kejahatan sehingga pihak Polri harus
bekerja keras memperketat pemberian ijin mengenai senjata api kepada masyarakat
sipil. Asas hukum pidana Indonesia mengatur sebuah ketentuan yang mengatakan
KUHP yang disebut dengan asas legalitas yaitu asas mengenai berlakunya hukum.
Dengan demikian, dalam menjatuhkan atau menerapkan suatu pemidanaan terhadap
seorang pelaku kejahatan harus memperhatikan hukum yang berlaku belum diatur
dalam suatu perundang-undangan atau hukum tertulis dan untuk menjatuhkan atau
menerapkan suatu pemidanaan terhadap seorang pelaku kejahatan harus
memperhatikan hukum yang berlaku.9
8 Marcelino Mourits, “Hak Dan Perlindungan Bagi Pengguna Senjata Api Yang Sudah
Mempunya Izin Pakai”, Lex Crimen, (April 2019), h., 95. 9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 2.
58
4. Perdagangan Gelap Senjata Api
Masyarakat Indonesia yang ingin memiliki senjata api, sekarang tidak perlu
harus menjadi tentara atau polisi. Meskipun ketentuan hukum mengatur kepemilikan
senjata. Namun Disisi lain, maraknya kepemilikan senjata juga dilihat dari aspek rasa
keamanan masyarakat. Peningkatan kepemilikan juga dipicu oleh rasa aman yang kini
sangat sulit diperoleh masyarakat. Angka kejahatan yang tinggi berakibat tumbuh
suburnya jual-beli senjata api secara illegal warga sipil memang jadi lebih merasa
aman dan percaya diri, namun masyarakat kita justru bisa terganggu keamanannya
jika mereka tidak dapat menahan emosinya dan tidak bisa bertanggung jawab.
Dalam perkembangan zaman, lahirnya pasar gelap senjata api di Indonesia
baik secara tertutup ataupun terbuka membuat aktivitas transaksi yang berlangsung
lebih mudah. Realitas yang terjdi di masyarakat, seringkali terdengar percakapan
yang mengatakan bahwa hanya dengan sejumlah uang puluhan juta bisa mendapatkan
senjata api jenis revolver atau pistol serta terdapat barang yang harganya jauh lebih
murah. Para pemilik senjata api dari warga sipil memang dapat lebih merasa aman
dan percaya diri, akan tetapi sebagian masyarakat justru dapat terganggu
keamanannya apabila para warga sipil yang memiliki senjata api tidak mampu
mengatur emosinya dan kurang bertanggung jawab. 10
Masyarakat memang mendapatkan keuntungan yang besar dengan menjual
senjata api rakitan kepada seseorang, akan tetapi keuntungan pribadi itu yang
didapatkan tidak sepadan dengan resiko yang ditimbulkan akibat perdagangan
tersebut karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa senjata api tersebut digunakan
untuk apa nantinya. seandainya tidak terlepas dari kenyataan jika senjata-senjata api
tersebut menjadi barang sewaan untuk melakukan teror, perampokan, dan kejahatan
lainnya.11
10
Anggi Setio Rachmanto, “Pola Penyelendupan Dan Peredaran Senjata Api Ilegal Di
Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 2, No. 5, (Agustus 2019), h., 113. 11
Eka Yusman, “Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Yang Beredar Di Masyarakat”, e-
Jurnal Katalogis, Vol. 3, No. 12, (Desember 2015), h., 93.
59
Sebuah konflik bersenjata tidak jarang melibatkan orang-orang sipil. Hal
tersebut seringkali menjadi pertanyaan terkait bagaimana caranya memperoleh
senjata yang mereka gunakan, sedangkan senjata yang diperdagangkan secara bebas
legal atau illegal didefinisikan oleh Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai
perdagangan yang melanggar hukum nasional ataupun hukum internasional (illegal).
Definisi tersebut pada akhirnya memunculkan dua kemungkinan jenis pasar ilegal,
yaitu Grey Market dan Black Market. Gray Market merujuk pada situasi dimana
perdagangan terjadi dengan sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun
mungkin melanggar aturan internasional, sedangkan Black Market adalah merujuk
pada perdagangan yang terjadi yang sepenuhnya diluar kontrol pemerintahan
nasional. Perdagangan senjata ilegal, sering dikaitkan dengan tindakan terorisme
ataupun tindakan separatisme yang menimbulkan banyak korban. Tindakan
perdagangan senjata api yang melintasi batas negara dan melibatkan oknum-oknum
tertentu, ditambah lagi dengan ketidakjelasan status senjata api tersebut.12
5. Hukuman Yang Belum Maksimal Terhadap Pelaku Kepemilikan Senjata
Api Ilegal
Pada dasarnya sanksi yang diancam sesuai dengan UU Darurat No 12
Tahun1951 Pasal 1 ayat 1 berbunyi : Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan, atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau
sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur
hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Ancaman
hukuman penjara 20 (dua puluh) tahun hingga seumur hidup kepada pemilik senjata
api illegal belum dapat memberikan efek jera karena dalam kenyataannnya vonis
yang diberikan kepada pelaku kepemilikan senjata api illegal tidak sebanding dengan
12
Putri Arianingsih, “Upaya Indonesia Dalam Mencegah Perdagangan Ilegal Senjata Api
Berkaliber Kecil Dan Ringan”, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 1, No. 2, (Januari 2015), h., 101.
60
ancaman sesuai dengan peraturan yang ada sehingga tidak memberikan efek jera dan
menjadikan pemilik senjata api illegal lainnya untuk masih menyimpan senjata api
illegal tersebut.13
Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak
yang merasa dirugikan atau sejak adanya dugaan terhadap seseorang telah melakukan
perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan Hakim. Dalam sistem peradilan pidana,
sebagai suatu jaringan menjelaskan bahwa mengoperasionalkan hukum pidana
sebagai sarana utama dan dalam hal ini berupa pidana materiil, hukum pidana formil,
dan hukum pelaksanaan pidana. Dalam kedudukannya yang demikian inilah Hakim
sebagai salah satu penegak hukum memiliki posisi yang paling menguntungkan
dibandingkan dengan pihak Polisi (Penyidik) dan Jaksa (Penuntut Umum). Polisi dan
Jaksa dapat dituntut oleh pihak tersangka atau terdakwa apabila telah melakukan
perbuatan yang salah terhadap tersangka atau terdakwa, sedangkan Hakim tidak dapat
dituntut apabila melakukan kesalahan dalam menjatuhkan putusan.14
Putusan yang diberikan oleh hakim yang seperti kurang adil dan tidak sesuai
tuntutan jaksa dalam mengeluarkan putusan pada terdakwa dinilai tidak dapat
memberikan efek tidak pada terdakwa. Hakim tidak dapat dituntut bila salah dalam
menjatuhkan putusan, hal tersebut dikarenakan asas Majelis Hakim tidak dapat
dituntut menyebabkan korban atau keluarganya merasa ada ketidak-adilan. Hal ini
terkait dengan adanya kesalahan dan perekayasaan perkara yang diperiksa oleh
Hakim.
C. Kebijakan Hukum Terhadap Pelaku Penggunaan Senjata Api Secara Ilegal
Menurut Hukum Positif
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi tindak pidana menjadi dua
jenis yakni Kejahatan dan Pelanggaran. Delik-delik yang termasuk dalam kejahatan
dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III, akan
13
Evan Munandar, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata
Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law Journal, Volume II, Nomor 3,
(Desember 2018), h., 329. 14
Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Setara Press, 2015), h., 12.
61
tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria yang dipergunakan dalam membedakan
kedua jenis delik tersebut. Perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan merupakan
perbedaan antara delik Undang-undang dan delik hukum. Kejahatan merupakan delik
hukum sedangkan pelanggaran merupakan delik Undang-undang, jadi kejahatan
perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang oleh Undang-undang dicap sebagai suatu
perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum.15
Menurut Sudarto, kriteria
untuk membedakan kedua jenis delik tersebut di atas didasarkan atas pendapat
bahwa antara kedua jenis delik ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Kedua jenis
delik yang dimaksud kejahatan atau “Rechtdelicten” yaitu perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam
suatu Undang-undang atau tidak. Sedangkan jenis delik yang kedua yaitu pelanggaran
atau “wetsdelicten” ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu
tindak pidana karena Undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena
Undang-undang yang mengancamnya dengan pidana.16
KUHP Indonesia menganut aliran monistis yang di dalamnya tidak terdapat
perbedaan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pandangan monistis
adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu
kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-
prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan pidana sudah tercakup di
dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana/kesalahan (criminal responbility).17
Dalam ketentuan hukum di Indonesia, KUHP menjelaskan tentang Kepemilikan
Senjata Api terdapat dalam Pasal 500 KUHP. Pada ketentuan KUHP tersebut tidak
menerangkan di dalamnya kualifikasi yuridis kejahatan dan pelanggaran, karena
15
Ahmad Babiej, “Sejarah Problematika Hukum Pidana Material Di Indonesia”, SOSIO-
RELIGIA, Vol. 5, No. 2, (Februari 2006), h., 5. 16
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h., 21. 17
Titik Suharti, “Grasi Dalam Konsep Tujuan Pemidanaan”, Jurnal PERSPEKTIF, Vol. X,
No. 2, (Juli 2006), h., 293.
62
kualifikasi yuridis antara kejahatan dan pelanggaran memiliki akibat yuridis yang
berbeda pula, antara kejahatan dan pelanggaran dalam hal percobaan, pembantuan,
penyertaan dan residive. Percobaan menurut pasal 54 terhadap pelanggaran tidak
dapat di pidana, sedangkan pada pasal 53 ayat 3 percobaan terhadap kejahatan di
pidana. Pengaturan tentang senjata api lebih spesifik terdapat pada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1948, tentang pendaftaran dan pemberian izin kepemilikan senjata
api dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yang Mengubah
“Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948 No. 17) dan
Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948.18
Dengan
banyaknya senjata api ilegal yang berada di Indonesia menunjukkan bahwa
kurangnya rasa kepedulian negara dalam wujud apresiasinya terhadap perlindungan
warga negara. Dengan demikian, hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak
sinkronnya antara perbuatan dan sanksi dalam hukum pidana dimana perbuatan dan
tindakan yang nyata-nyata telah dilarang dalam hukum pidana serta mempunyai
sanksi pidana yang cukup berat namun masih juga terdapat pelanggaran. Menurut
lawrence M. Friedman penegakan hukum yang tidak berjalan dengan semestinya
disebabkan karena;19
1. Faktor legal substance, dimana perundang-undangan tidak tegas dalam
menyatakan senjata apa yang diperbolehkan dan senjata apa yang tidak
diperbolehkan untuk dimiliki masyarakat sipil.
2. Faktor legal structure, yaitu penerapan dari ketentuan perundang-undangan oleh
aparat penegak hukum kurang berjalan maksimal karena berbagai faktor intern
dan ekstern yang menyebakan kerugian bagi mereka sendiri
3. Faktor legal culture, partisipasi masyarakat dalam pelaporan penggunaan senjata
api ilegal dianggap sebagai hal yang dapat mengancam diri mereka sendiri.
Pengguna senjata api dianggap sebagai orang yang sangat berbahaya.
18
Josias Simon Runturambi & Atin Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan Tindak
Kriminal, h., 4. 19
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Reflika Aditama, 2007), h., 26
63
Dalam perkembangan zaman, penegakan hukum dapat dikatakan belum
memenuhi harapan, bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak
hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta
masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Proses penegakan hukum
tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan
kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan
masyarakat (social welfare).20
Sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1951 sangat berat namun ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut dirasa
kurang efektif dalam memini malisir penyalahgunaan senjata api terutama dalam hal
krisis penegakan hukun pada saat sekarang ini. Masalah penegakan hukum tidak bisa
dilepaskan dari efektivitas hukum. Masalah efektivitas hukum berhubungan erat
dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup dalam masyarakat,
dalam artian berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, berarti
bahwa hukum itu berlaku sebagaimana yang dikehendaki, berlaku secara yuridis
artinya sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berlaku secara sosiologis
maksudnya hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat tersebut.21
Para pelaksana atau para penegak hukum tidak memberikan contoh yang baik
dalam kepatuhan terhadap hukum. Kepatuhan terhadap hukum seharusnya
dicontohkan dengan baik oleh penegak hukum namun yang terjadi malah sebaliknya.
Arogansi yang dilakukan oleh penegak hukum menjadi contoh yang buruk bagi
masyarakat, terutama dengan penggunaan senjata api dalam penyelesaian konflik
terhadap pelanggar hukum, pemilik kewenangan lain yang juga menggunakan senjata
api maupun dengan sesama instansi sendiri.
20
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h., 12. 21
Bagoes Rendy, “Pertanggujawaban Pidana Atas Kepemilikan Senjata Api Tanpa Ijin
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurist-Diction Journal, Volume 2,
Nomor 6, (November 2019), h., 199,
64
Kepemilikan senjata api diatur secara implisit dalam undang-undang agar
tidak terjadi penyalahgunaan terhadap senjata tersebut. Dalam undang-undang
disebutkan bahwa ijin kepemilikan senjata api hanya diberikan kepada pejabat
tertentu, antara lain;
1. Pejabat swasta atau perbankan, yakni presiden direktur, presiden komisaris,
komisaris, diretur utama dan direktur keuangan.
2. Pejabat pemerintah, yakni Menteri, Ketua MPR/DPR, Sekjen, Irjen, Dirjen, dan
Sekretaris Kabinet, demikian juga Gubernur, Wakil Gubernur, Sekwilda,
Irwilprop, Ketua DPRD-I dan Anggota DPR/MPR, TNI, Polri dan
Purnawirawan.
Berdasarkan Pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang No. 22 Tahun 2002
Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa pihak Kepolisian
berwenang untuk memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam. Selain peraturan tersebut, berdasarkan Pasal 7 ayat 1
Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang
Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di
Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia untuk
ekspor, impor pembelian, penjualan, produksi, pemilikan, penggunaan, penguasaan,
pemuatan, pembongkaran, pengangkutan, penghibahan, peminjaman, pemusnahan
senjata api standar militer dan amunisinya diperlukan izin Menteri.22
Izin tersebut
dapat diberikan dengan pembatasan-pembatasan tertentu sesuai tugas pokok dan
fungsi kepada instansi pemerintah non Kementerian Pertahanan dan TNI badan
hukum nasional Indonesia tertentu, perorangan (pejabat pemerintah tertentu, atlet
menembak; kolektor), kapal laut Indonesia, dan pesawat udara Indonesia.
D. Kebijakan Hukum Terhadap Pelaku Penggunaan Senjata Api Secara Ilegal
Menurut Hukum Islam
22
Mei Rini, “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api
Tanpa Prosedur”, Jurnal Lex et Societatis, Volume IV, Nomor 2, (Februari 2016), h., 7.
65
Perbuatan yang termasuk dalam unsur perbuatan pidana dapat menjerat pelaku
suatu hukuman yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan juga disebut sebagai
perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain siapapapun yang melakukan kejahatan
ataupun pelanggaran hukum pidana untuk menghukum dari perbuatan melawan
hukum tersebut. Mempelajari berbagai macam tindak pidana dalam hukum pidana
Islam terbagi menjadi dua macam yaitu, jarimah dan jinayah. Keduanya mempunyai
pengertian yang berbeda dalam proses hukumnya, tindak pidananya dan proses
hukuman pidananya. Jarimah sendiri artinya berbuat jahat ataupun berbuat dosa
dan jarimah secara terminologi memiliki pengertian yaitu tindak pidana ataupun
kejahatan yang Allah mengancam dengan hukuman ta‟zir dan hukuman had apabila
melanggar hukum pidana Islam.23
Sebuah kejahatan dapat dikategorikan jarimah apabila seseorang melakukan
ataupun tidak melakukan, mengerjakan atau meninggalkan, bersifat aktif maupun
pasif. Dengan demikian, perbuatan jarimah tidak hanya berlaku untuk seseorang
yang melanggar dan melakukan pelanggaran melainkan dengan meninggalkan
kewajiban yang harus dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum pidana Islam
yang masuk dalam kategori jarimah.24
Menurut pendapat Abdul Qadir Al-Audah
adalah menjelaskan bahwa jarimah berasal dari suatu hal yang melanggar hukum
yang telah ditetapkan ataupun tidak melakukan hal yang seharusnya dikerjakan
ataupun diperintahkan. Menurut Abdul Al Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri Al-
Jinaiy Al-Islamy menjelaskan bahwa jinayah adalah suatu perbuatan kejahatan yang
menimbulkan dosa dan perbuatan tersebut diharamkan oleh syara‟ baik yang
langsung berkenaan dengan jiwa dan harta maupun yang tidak berkenaan dengan hal
tersebut.25
23
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h., 9-11. 24
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h., 14. 25
Abd al-Qadir Audah, at-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamy, Juz I, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 21.
66
Larangan perbuatan kejahatan ini juga mengenai hal yang dilarang maupun
yang harus dikerjakan dan diperintahkan namun tidak dilaksanakan sebagai larangan
dan perintah agama, yang mengakibatkan hukuman dunia dan ukhrawi. Menurut para
ahli fiqh jinayah sebenarnya mengenai kejahatan yang berkenaan dengan jiwa dan
dan harta benda, akan tetapi kadangkala para ahli fikih lain berpendapat bahwa
jinayah hanya kejahatan yang berkenaan dengan jiwa manusia sendiri seperti fisik
yang dilukai, dibunuh, dianiaya, dan sebagainya. Islam sendiri sebagai agama yang
rahmatan lil alamin lebih mendahulukan kemaslahatan masyarakat umum daripada
kepentingan perorangan dengan melihat dari sisi kejahatan yang dapat menggangu
kenyamanan dan ketentraman umum karena dari situ pula hukum pidana Islam lebih
menekankan hukuman yang keras bagi kejahatan yang mengganggu kedamaian dan
ketentraman masyarakat serta kejahatan itu pula dianggap sebagai kejahatan terhadap
Allah jika mengenai gangguan keamanan terhadap masyarakat umum yang luas.26
Jarimah adalah sebuah perbuatan dosa, jahat dan salah yang berkenaan
dengan jiwa, harta benda maupun kejahatan yang tidak berkenaan terhadap jiwa dan
harta benda. Perlu diketahui bahwa kejahatan terhadap masyarakat umum berarti
dianggap kejahatan terhadap Allah Swt yang diancam dengan hukuman sesuai
dengan firman Allah Swt dalam al-Qur‟an Q.s. Al An‟am (6): 151, yaitu:
ان و س ح ن إ ي د ل وا ل وب ا ئ ي ه ش وا رك ش لا ت م أ ك ي ل م ع ك رام ر ا ح ل م ت وا أ ال ع ل ت ل قول وا أ ل ت ق ا ت ه ن ر م ه ا ظ ش م واح ف ل وا ا ر ق م ول ت ه يا م وإ ك رزق ن ن ق ن ل م ن إ م م دك
م لاك ع ه ل م اك م وصا ك ل لق ذ لا ب إ رام اللا س الات ح ف وا الن ا ل ت ق ن ول ت ط ا ومون ل ق ع ت
Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
26
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h., 14.
67
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
Pemilik senjata api yang tidak memiliki izin, senjata api bisa melukai
seseorang karena pemilik senjata api tersebut tidak berkompeten dalam menggunakan
senjata api dan senjata api dapat disalahgunakan. Oleh sebab itu kepemilikan senjata
api tanpa izin selama memiliki dampak yang buruk terhadap umat muslim
meresahkan umat muslim merupakan suatu jinayah atau jarimah, karena
menimbulkan keresahan dalam masyarakat terkait dengan kemaslahatan umat
manusia dan juga melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan
demikian, jarimah tersebut merupakan jarimah ta‟zir karena tidak dijelaskan secara
spesifik dalam al-Qur‟an dan as-Shunnah sedangkan dalam hukum pidana Islam,
kepemilikan senjata api secara ilegal tidak didefinisikan secara khusus namun pada
intinya Islam selalu memerintahkan pada umatnya untuk selalu menjaga alam dan
mengutamakan kemaslahatan umum dengan cara menjaga keamanan dan ketertiban
umum serta tidak berbuat zalim di muka bumi ini agar tidak meresahkan sesama umat
manusia yang rahmatan lil alamin, hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt
Q.s. Yunus (10): 23, yaitu:
ي ه غون ف ٱلرض غي ٱلق ي هم إذا هم ي ب ة ف لماا أنجى ع ٱلي و ا غيكم على أنفسكم مات ا ٱلنااس إنانا مرجعكم ف ن ن بئكم با كنتم ت عملون ن يا ثا إلي ٱلد
Artinya: “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat
kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya
(bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu
hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu
Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Berdasarkan dari ayat al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa harus selalu
menjaga diri agar terselamatkan dari hukuman duniawi maupun akhirat akibat
68
perilaku kejahatan seperti berbuat zalim di muka bumi yang dapat menggangu
keamanan dan ketertiban umum berwarga negara Indonesia, karena tindakan
kejahatan seperti kepemilikan senjata api ilegal mempunyai dampak meresahkan
masyarakat. Tindakan kejahatan tersebut bisa tergolong dalam suatu Jinayah
maupun jarimah karena menimbulkan keresahan pada masyarakat terkait
kemaslahatan masyarakat, dan juga melanggar peraturan pemerintah yang telah
ditetapkan di sebuah negara. Maka dari itu kejahatan ini termasuk pada jarimah
ta‟zir karena hukumannya tidak ditentukan dalam al-Qur‟an dan as-Shunnah yang
hukumannya diputus oleh penguasa negara melalui ijtihadnya. Secara ringkas
dikatakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya.27
Penentuan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara global
saja, artinya pembuat Undang-Undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta‟zir melainkan hanya menetapkan pengadilan ataupun jenis tindak
pidana yang dapat ditunjukkan dalam Undang-Undang.28
Pemberian kekuasaan
dalam menentukan bentuk jarimah ini kepada penguasa agar mereka merasa leluasa
mengatur pemerintahan sesuai dengan kondisi dan situasi wilayahnya, serta
kemaslahatan daerahnya masing-masing.
Dengan demikian, maksud dari
dilakukannya ta‟zi>r adalah agar pelaku mau menghentikan kejahatannya dan hukum
Allah tidak dilanggarnya. Pelaksanaan hukuman ta‟zi>r bagi imam sama dengan
pelaksanaan sanksi hudud., ataupun orang tua terhadap anaknya, suami terhadap
istrinya, majikan terhadap budaknya, hanya sebatas pada sanksi ta‟zir> , tidak sampai
pada sanksi hudud.29
27
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1997), h., 160-161. 28
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari‟at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h., 14. 29
M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2014), h., 131.
69
BAB IV
ANALISIS PENYELESAIAN KASUS KELALAIAN DALAM PENGGUNAAN
SENJATA API ILEGAL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN
(Analisis Putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt)
A. Pertimbangan Majelis Hakim
Majelis Hakim sebelum memutuskan suatu perkara memperhatikan dakwaan
jaksa penuntut umum, keterangan saksi yang hadir dalam persidangan, keterangan
terdakwa, alat bukti, syarat subjektif dan objektif seseorang dapat dipidana, serta hal-
hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Pengambilan putusan oleh
Majelis Hakim merupakan suatu keharusan dalam menjatuhkan pidana atau hukuman
yang diberikan kepada terdakwa. Pertimbangan Maelis Hakim dalam menjatuhkan
pidana setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesai, maka Majelis Hakim
mengambil keputusan yang seadil-adilnya. Dengan demikian, Perbuatan terdakwa
diatur dan diancam pidana sebagaimana pasal 359 KUHP dan Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Atas perbuatan terdakwa ini, pada pokoknya
Kejaksaaan Negeri Barito menyatakan tuntutan tanggal 5 Februari 2020 sebagai
berikut :
1. Menyatakan terdakwa Roketson anak dari Kekem telah terbukti bersalah
melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain
dan mempergunakan senjata tanpa izin” sebagaimana diatur dalam pasal 359
KUHP dan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
sesuai dengan yang telah didakwakan dalam surat dakwaan;
2. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Roketson anak dari Kekem dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan
perintah agar terdakwa tetap dalam tahanan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
70
a. 1 (satu) unit Sepeda Motor Merk Honda pretelan tanpa plat nomor
dikembalikan kepada ahli waris korban yaitu saksi Siana Natalia Anak dari
Biatu
b. 1 (satu) unit Sepeda Motor Merk Honda Supra X 125 tanpa plat nomor
dikembalikan kepada terdakwa
c. 1 (satu) pucuk senjata api rakitan laras panjang;
d. 1 (satu) buah Magazen
e. 2 (dua) butir selongsong peluru
f. 1 (satu) buah baju kaos lengan panjang warna abu-abu merek Uniqlo
g. 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru merk EXR 55
h. 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru merk LEVIS
i. 1 (satu) buah baju lengan panjang kamuflase motif daun merk P-TRA
j. 1 (satu) buah baju lengan pendek warna putih logo BIO-TRENT
k. 1 (satu) buah sarung kurung motif kotak warna biru orange
l. 1 (satu) buah karung warna putih motif gambar dan tulisan warna orange merk
SIA
Dirampas untuk dimusnahkan.
4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah):
Menimbang, bahwa oleh karena seluruh unsur dari dakwaan Kumulatif Kedua
yaitu Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 telah
terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
Kumulatif Kedua Penuntut Umum;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh selama di persidangan
dalam perkara ini, tidak ditemukan hal-hal yang dapat melepaskan Terdakwa dari
pertanggungjawaban pidana dan menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan
Terdakwa, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, karenanya Hakim
71
berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa haruslah
dipertanggungjawabkan kepadanya;
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pada Pasal 193 Ayat (1)
KUHAP, karena Terdakwa mampu bertanggung jawab dan perbuatan Terdakwa
bersifat melawan hukum, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak
pidana yang didakwakan terhadap diri Terdakwa, karena itu sudah sepatutnya apabila
Terdakwa dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya;
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (4)
KUHAP, karena dalam perkara ini terhadap diri Terdakwa telah dikenakan
penangkapan dan penahanan yang sah, maka perlu ditetapkan agar masa penangkapan
dan atau penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan kepada Terdakwa;
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 193 Ayat (2) huruf
b KUHAP, karena Terdakwa sebelum putusan ini berada dalam tahanan dan
penahanan terhadap diri Terdakwa dilandasi alasan yang cukup, sedangkan pidana
yang akan dijatuhkan melebihi dari lamanya Terdakwa selama berada di dalam
tahanan, sehingga terdapat alasan yang sah menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
Menimbang, bahwa barang bukti berupa 1 (satu) unit Sepeda Motor Merk
HONDA pretelan tanpa plat nomor, setelah melalui tahapan pembuktian telah
terbukti bahwa barang bukti tersebut merupakan milik dari korban NATA, maka
adalah tepat dan beralasan hukum agar barang bukti tersebut dikembalikan kepada
pemiliknya yang sah, yaitu korban NATA melalui Ahli warisnya yaitu saksi Siana
Natalia anak dari Diatu, sedangkan terhadap barang bukti berupa 1 (satu) unit Sepeda
Motor Merk HONDA Supra X 125 tanpa plat nomor,setelah melalui tahapan
pembuktian telah terbukti bahwa barang bukti tersebut merupakan milik dari
Terdakwa, maka adalah tepat dan beralasan hukum agar barang bukti tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Terdakwa Roketson anak dari
Kekem, sedangkan terhadap barang bukti berupa 1 (satu) pucuk senjata api rakitan
laras panjang, 1 (satu) buah Magazen, 2 (dua) butir peluru tajam aktif, 1 (satu) butir
72
selonsong peluru, 1 (satu) buah baju kaos lengan panjang warna abu – abu merk
UNIQLO, 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru merk EXR 55, 1 (satu) buah
celana panjang jeans warna biru merk LEKIS, 1 (satu) buah baju lengan panjang
kamuflase motif daun merk PTRA, 1 (satu) buah baju lengan pendek warna putih
logo BIO-TRENT, 1 (satu) buah sarung kurung motif kotak warna biru orange, 1
(satu) buah karung warna putih motif gambar dan tulisan warna orange merk SIA,
adalah merupakan alat atau sarana yang telah dipergunakan Terdakwa untuk
melakukan kejahatan dan merupakan hasil dari tindak kejahatan, sehingga
dikhawatirkan dikemudian hari akan dipergunakan lagi untuk mengulangi kejahatan,
maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dirampas untuk dimusnahkan;
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 222 Ayat (1)
KUHAP, karena Terdakwa dijatuhi pidana dan Terdakwa sebelumnya tidak
mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara, maka
Terdakwa harus dibebankan untuk membayar biaya perkara yang besarnya
sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka
perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan Terdakwa;
Keadaan yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan hilangnya nyawa korban NATA;
Keadaan yang meringankan:
- Terdakwa bersikap sopan dan kooperatif, sehingga persidang dapat berjalan dengan
tertib dan lancar;
- Terdakwa mengakui perbuatannya, merasa bersalah, menyesal dan berjanji tidak
akan mengulangi lagi perbuatannya di kemudian hari;
- Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga;
- Terdakwa belum pernah di hukum;
Menimbang, bahwa tujuan pemidanaan haruslah dipandang dari segi edukatif,
yaitu pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa bukanlah merupakan suatu
73
pembalasan terhadap perbuatan Terdakwa melainkan sebagai suatu pembinaan agar
Terdakwa menyadari akan kesalahannya, dapat memperbaiki diri dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya, sehingga kelak di kemudian hari setelah selesai
menjalani pidana Terdakwa dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat berperan aktif dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu tujuan pemidanaan harus pula
dipandang dari segi preventif, yaitu pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa
merupakan salah satu bentuk pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana serupa oleh
masyarakat;
Menimbang, bahwa setelah Hakim mempelajari tuntutan pidana (requisitoir)
Penuntut Umum dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka
Hakim menyatakan tidak sependapat terhadap lamanya pidana penjara sebagaimana
dalam tuntutan pidana (requisitoir) Penuntut Umum, sehingga Hakim akan
menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa berdasarkan konstruksi dakwaan
Penuntut Umum yang terbukti di persidangan yang lamanya sebagaimana disebutkan
dalam amar putusan ini, yang menurut hemat Hakim sudah sesuai dengan kadar
kesalahan Terdakwa serta rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat;
Memperhatikan Pasal 359 KUHP, Pasal 1 ayat (1) Undang – undang darurat
nomor 12 tahun 1951, Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman, Undang – Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum,
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
– peraturan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini;
MENGADILI:
1. Menyatakan Terdakwa Roketson anak dari Kekem, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan
matinya orang dan mempergunakan senjata api tanpa izin” sebagaimana dakwaan
Kesatu dan Kedua Penuntut Umum;
74
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Roketson anak dari Kekem oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap ditahan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) unit Sepeda Motor Merk HONDA pretelan tanpa plat nomor;
Dikembalikan kepada ahli waris korban yaitu saksi Siana Natalia Anak Dari
Biatu;
- 1 (satu) unit Sepeda Motor Merk HONDA Supra X 125 tanpa plat nomor;
Dikembalikan kepada Terdakwa;
- 1 (satu) pucuk senjata api rakitan laras panjang;
- 1 (satu) buah Magazen;
- 2 (dua) butir peluru tajam aktif;
- 1 (satu) butir selonsong peluru;
- 1 (satu) buah baju kaos lengan panjang warna abu – abu merk UNIQLO;
- 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru merk EXR 55;
- 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru merk LEKIS;
- 1 (satu) buah baju lengan panjang kamuflase motif daun merk P-TRA;
- 1 (satu) buah baju lengan pendek warna putih logo BIO-TRENT;
- 1 (satu) buah sarung kurung motif kotak warna biru orange;
- 1 (satu) buah karung warna putih motif gambar dan tulisan warna orange merk
SIA;
Dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah); Demikian diputuskan dalam sidang
Pengadilan Negeri Buntok Kelas II da hari Senin, tanggal 24 Februari 2020, oleh
John Ricardo, S.H., selaku kim tunggal, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum pada hari itu ga oleh Hakim tersebut dengan dibantu oleh Supriadi, S.H.,
75
Panitera pada ngadilan Negeri Buntok Kelas II, serta dihadiri oleh Agung Cap
awarmianto, S.H., Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Barito Selatan Terdakwa
serta Penasihat Hukumnya;
B. Analisis Penulis Dalam Putusan Pengadilan 4/Pid.B/2020/PN.Bnt
1. Penerapan Hukum Majelis Hakim Dalam Penetapan Pengadilan Negeri
Barito Selatan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt
Proses awal dalam menyelesaikan perkara yakni dimulai dengan penyelidikan,
penyidikan, tuntutan Jaksa Penuntut Umum, pemeriksaan dipersidangan dan
pembuktian.1 Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum
formal sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang tersebut
merupakan produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi dari Undang-
Undang tersebut mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-unsurnya
terpenuhi. Pijakan Mejelis Hakim dalam putusan 4/Pid.B/2020/PN.Bnt adalah Pasal
359 KUHP dan Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Bunyi
lengkap pasal 359 KUHP tersebut yaitu; “Barang siapa yang karena kesalahannya
menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun dan pasal 1 Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1951 yaitu; “Barang siapa yang Yang tanpa hak memasukkan ke
Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba
menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan,
mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau
sesuatu bahan peledak dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur
hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”
Untuk sampai kepada putusan, Majelis Hakim terlebih dahulu
mempertimbangkan antara fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 359 KUHP ini antara lain:
1 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.,
41-43.
76
1. Barang siapa
2. Karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati
Pertama, unsur „barang siapa‟ adalah siapa saja setiap orang sebagai subjek
huk um yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana. Terdakwa Roketson yang
dihadapkan dipersidangan ini dengan berdasarkan fakta yang terungkap dalam
persidangan yang diperoleh dari alat-alat bukti, barang bukti dan keterangan terdakwa
sendiri yang membenarkan identitasnya dalam surat dakwaan penuntut umum, maka
terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah Roketson anak dari Kekem sebagai
manusia yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian,
maka unsur „setiap orang‟ telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Kedua, unsur „Karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati. Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa terdakwa
melakukan kelalaian pada saat menembakkan senjata api yang Terdakwa gunakan
tersebut tersebut dimana Terdakwa tidak ada memeriksa terlebih dahulu apakah di
sekitar lokasi ada orang lain atau tidak dan Terdakwa tidak berhati-hati, sehingga
pada saat senjata api tersebut Terdakwa tembakkan ke arah babi hewan buruan
tersebut mengenai korban NATA yang berada di semak-semak arah depan Terdakwa
pada saat menembak babi yang Terdakwa lihat. Hasil Visum Et Repertum nomor
02/IPJ/RSUD/X/2019, tanggal 19 oktober 2019 yang ditandatangani oleh dr.Ricka
Brilianty Zaluchu, SpKF. bahwa dari hasil pemeriksaan tubuh bagian dalam pada
bagian dada tampak resapan darah di otot dada bagian dalam sebelah kiri sepanjang
sembilan sentimeter, lebar sepuluh sentimeter, bentuk tidak teratur, patah tulang dada
kelima dan enam, menembus rongga dada beserta organ paru kiri bawah, kandung
jantung dan berakhir menembus apex jantung, tidak ditemukan adanya anak peluru
dalam rongga dada diduga anak peluru berada disekitar tulang belakang, karena
kondisi jenazah sudah mengalami pembusukan sekitar tiga minggu sejak wafat dan
sudah diawetkan dengan formalin sehingga sukar dilakukan pembongkaran tulang
belakang tubuh korban, paru-paru kiri yang terkena lintasan peluru terdapat robekan
dan berwarna kehitaman, begitu juga dengan jantung korban. Dengan kesimpulan :
77
berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dari pemeriksaan diatas maka saya
simpulkan bahwa jenazah adalah seorang laki-laki umur tiga puluh delapan tahun,
pada pemeriksaan luar dan dalam ditemukan tanda kekerasan tajam akibat peluru di
dada kiri korban menyebabkan pendarahan hebat, disertai mati lemas, sebab kematian
pendarahan hebat akibat kekerasan senjata api. Dengan demikian, unsur „Karena
kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati‟ telah terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum.
Pijakan Hakim dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt selain
menggunakan pasal 359 KUHP menggunakan Pasal 1 Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1951. Unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut antara
lain:
1. Barang Siapa
2. Yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba
memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan,
atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu
bahan peledak.
Pertama, „barang siapa‟ unsur tersebut menurut majelis hakim berpendapat
bahwa unsur tersebut menunjuk kepada subyek hukum dari straafbaarfeit yang
didakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam surat
dakwaan penuntut umum. Dalam persidangan telah dihadapkan Terdakwa atas nama
Roketson anak dari Kekem dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merupakan Subyek Hukum tersebut.
Jika hal tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di Persidangan
maka ada kecocokan antara identitas Terdakwa dengan identitas sebagaimana
tersebut dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum, bahwa dialah yang dimaksud oleh
Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya, sehingga dalam perkara ini tidak terdapat
Error in Persona (kesalahan orang) yang diajukan ke persidangan. Dengan demikian,
78
unsur „barang siapa‟ telah terpenuhi dan telah terbukti secara sah meyakinkan
menurut hukum.
Kedua, „yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima,
mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.‟ Unsur kedua
tersebut mengandung makna alternatif yang terdiri dari beberapa sub unsur, sehingga
apabila salah satu dari sub unsur atau beberapa sub unsur atau seluruh sub unsur di
atas terpenuhi, maka unsur ini telah terbukti secara sah menurut hukum. Berdasarkan
keterangan yang diberikan oleh para saksi serta keterangan terdakwa dipersidangan
terungkap bahwa di dalam mempergunakan senjata api dan amunisinya sebagaimana
terurai di atas, terdakwa ternyata tidak mempunyai surat-surat ijin yang sah dari
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan yang berlaku, karena senjata api
yang dibawa oleh terdakwa tersebut adalah milik dari korban Nata serta senjata api
beserta amunsisnya sebagaimana terurai diatas tidak bisa dimiliki, disimpan, dikuasai
ataupun digunakan oleh orang perorangan, ataupun suatu organisasi perkumpulan
yang sifatnya sebagai kegemaran/ hoby seperti yang dikuasai atau dimiliki terdakwa.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas penulis berpendapat bahwa frasa
„tanpa hak menggunakan senjata api‟ telah terpenuhi dan karena unsur kedua tersebut
bersifat alternatif maka unsur ini telah terbukti secara sah menurut hukum.
2. Tinjauan Hukum Pidana Positif Dan Islam Terhadap Penetapan Pengadilan
Negeri Barito Selatan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt
Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan.
Pada hakikatnya, seorang Jaksa Penuntut Umum harus membuat surat dakwaan yang
bertujuan membuat terdakwa tidak dapat lolos dari jerat terhadap suatu tindak pidana.
Putusan Pengadilan Negeri Barito Selatan berangkat dari surat dakwaan yang disusun
oleh Jaksa Penuntut Umum dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt
menggunakan bentuk surat dakwaan kumulatif. Dakwaan kumulatif dapat diartikan
79
yaitu apabila dalam berkas perkara yang diterima penuntut umum diketahui terdapat
beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri serta harus dibuktikan semua. Dengan
demikian, dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas pembebasan
tersebut.
Dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt terdakwa didakwa
dengan dakwaan kumulatif yaitu dakwaan kesatu pasal 359 KUHP dalam kelalaian
yang menyebabkan kematian dan dakwaan kedua yaitu pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 perihal menggunakan senjata api tanpa
memiliki izin dari pihak kepolisian. Dalam fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan serta berdasarkan keterangan yang diberikan oleh para Saksi serta
keterangan Terdakwa dipersidangan terungkap bahwa didalam mempergunakan
senjata api dan amunisinya terdakwa Roketson anak dari Kekem tidak memiliki surat-
surat ijin yang sah dari pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan yang
berlaku, serta karena kelalaian terdakwa dalam menggunakan senjata api
menyebabkan hilangnya nyawa korban. Berdasarkan pemaparan di atas, majelis
hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa seluruh unsur dari dakwaan
kumulatif pertama yaitu pasal 359 KUHP dan kedua yaitu pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 telah terpenuhi, maka terdakwa Roketson
anak dari Kekem haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kumulatif jaksa
penuntut umum.
Putusan Majelis Hakim dalam pemberian sanksi tentunya tidak lepas dari
berbagai pertimbangan serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Pertimbangan majelis hakim dalam putusan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt cenderung
menggunakan teori tujuan/relatif dalam pemidanaan. Satochid Kartanegara dalam
karyanya yang berjudul Hukum Pidana Kumpulan Kuliah menjelaskan bahwa teori
tujuan/relatif dalam pemidanaan membenarkan pemidanaan berdasarkan atau
tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau
pencegahan terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, diancamkannya suatu pidana dan
80
dijatuhkannya sebuah sanksi bertujuan untuk memperbaiki perilaku terdakwa di
waktu yang akan datang.2 Menurut penulis, penggunaan teori tujuan/relatif dalam
pemidanaan oleh majelis hakim diindikasikan dari pertimbangan putusannya yang
menggunakan kalimat „pemidanaan haruslah dipandang dari segi edukatif, yaitu
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah merupakan suatu pembalasan
terhadap perbuatan terdakwa melainkan sebagai suatu pembinaan agar terdakwa
menyadari akan kesalahannya, dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi
perbuatannya, sehingga kelak di kemudian hari setelah selesai menjalani pidana
Terdakwa dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif
dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. Selain itu tujuan pemidanaan harus pula dipandang dari segi
preventif, yaitu pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa merupakan salah satu
bentuk pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana serupa oleh masyarakat‟.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berkesimpulan Majelis Hakim kurang
jeli dalam melakukan pertimbangan atas penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa.
Menurut penulis sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim masih tergolong ringan
yaitu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan. Majelis Hakim
semestinya memperhatikan hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu perbuatan
terdakwa telah mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Hal tersebut sudah
menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang berat sehingga
karena kelalaiannya dalam menggunakan senjata api illegal menyebabkan orang lain
meninggal dunia. Jadi, apabila ditinjau berdasarkan pemidanaan yang terdapat dalam
pasal 359 KUHP dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
maka pidana penjara yang divonis oleh majelis hakim hanya pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan 2 (dua) bulan dari hukuman maksimal setinggi-tingginya selama dua
puluh tahun penjara tidak memberikan efek jera, padahal salah satu tujuan terciptanya
2 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
2001), h., 57.
81
hukum adalah dapat memberikan efek jera bagi pelaku.3 Demikianlah analisis
putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt dalam hukum positif.
Kelalaian dalam Islam disebut dengan al-khata. Al-khata menurut istilah
adalah suatu perbuatan yang dimaafkan. Dalam hal kekeliuran niat dan pengetahuan
si pelaku sedikitpun tidak dipertimbangkan tidak adanya penduga atau kehati-hatian
dalam berbuat dan sedikitpun tidak berdosa.4
Menurut Ahmad Wardi Muslich, kelalaian (al-khata) adalah terjadinya suatu
perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa maksud melawan hukum, perbuatan
tersebut terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hati.5 Kelalaian yang dimaksud
adalah perbuatan yang tidak ada niat dan maksud untuk melakukan tindakan tersebut.
Dalam analisa fiqh jinayah, menghilangkan nyawa seseorang karena kelalaian
termasuk dalam tindak pidana pembunuhan.6 Dengan demikian, mengenai sanksi
bagi pelaku kelalaian dalam penggunaan senjata api ilegal merupakan jarimah
pembunuhan karena kelalaian yaitu jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat)
untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai
akibat dari kelalaiannya. Jarimah yang ada kesengajaan, semi sengaja, dan karena
kesalahan, dalam fiqh Jinayah adalah jarimah pembunuhan atau al-Qatl.
Pembunuhan dengan sengaja, dalam bahasa arab, disebut qatlual-amd. Secara
etimologi bahasa Arab, kata qatlu al-amd tersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan
al-amd. Kata al-qatlu artinya peruatan yang dapat menghilangkan jiwa, sedadngkan
kata al-amd artinya sengaja dan berniat. Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja
adalah seorang mukallaf secara sengaja membunuh jiwa yang terlindungi darahnya
dengan cara alat yang biasanya dapat pembunuh.
3 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011) h., 39.
4 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ketiga), h.,
155. 5 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), Cet. Kedua, h., 155 6 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah, (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h., 33.
82
Pembunuhan semi sengaja (syibhu al-amd) ialah seorang mukallaf bermaksud
membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya tidak
membunuh. Hal ini bisa jadi karena bermaksud mencelakakannya atau bermaksud
menghajarnya, seperti memukul dengan cambuk, tongkat, batu kecil, atau dengan
tangan, dan dengan seluruh cara atau alat tidak membunuh secara umumnya.
Pembunuhan karena kelalaian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia serta menggunakan alat lazim yang tidak mematikan. Pada dasarnya
dalam pembunuhan ini hilangnya nyawa seseorang tersebut bukanlah tujuan dari
pelaku, akan tetapi karena kelalainnya dalam bertindak mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang.7 Menurut Abdul Qadir Audah,
8 pembunuhan karena kesalahan
adalah pembunuhan karena kekeliuran dimana pelaku sengaja melakukan suatu
perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk mengenai orang melainkan karena terjadi
kekeliuran baik dalam perbuatannya maupun dalam dugaannya. Pengertian yang
diberikan oleh Abdul Qadir Audah dipertegas oleh Wahbah Zuhaili yaitu
pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang terjadi tanpa maksud
melawan hukum, baik dalam perbuatannya maupun objeknya.9 Unsur-unsur
pembunuhan karena kesalahan sebagaimana yang dikemukan oleh Abdul Qadir
Audah antara lain;10
Pertama, „Adanya Perbuatan yang Mengakibatkan Matinya
Korban‟. Untuk terwujudnya tindak pidana pembunuhan karena kesalahan
diisyaratkan adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, baik
dikehendaki perbuatan tersebut maupun tidak. Pembunuhan karena kelalaian juga
7 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Pertama),
h., 143-144. 8 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 104. 9 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989),
h., 223. 10
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 108-109.
83
diisyaratkan mengakibatkan kematian, baik pada saat itu maupun sesudahnya, apabila
korban tidak mati maka tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana atas
selain jiwa karena kesalahan, bukan pembunuhan.
Kedua, Perbuatan Tersebut Terjadi Karena Kelalaian‟ Unsur kelalaian ini
terdapat apabila dari suatu perbuatan timbul akibat yang tidak dikehendaki oleh
pelaku. Dengan demikian, dalam pembunuhan ini kematian terjadi akibat kelalaian
pelaku karena kurang berhati-hati. Ketidakhati-hatian itu sendiri pada dasarnya tidak
menyebabkan adanya hukuman, kecuali apabila terdapat kerugian kepada pihak lain.
Dengan demikian apabila terdapat kerugian maka terdapatlah pertanggungjawaban
dari kelalaian dan apabila tidak ada kerugian maka tidaklah ada pertanggungjawaban.
Ketiga, „Adanya Hubungan Sebab Akibat Antara Kekeliuran dan Kematian‟.
Untuk adanya pertanggungjawaban bagi pelaku dalam pembunuhan karena kelalaian
diisyaratkan bahwa kematian merupakan akibat dari kelalaian tersebut. Dengan
demikian, kelalaian merupakan penyebab bagi kematian terdapat hubungan sebab
akibat, apabila hubungan tersebut terputus maka tidak ada pertanggungjawaban bagi
pelaku.
Sanksi bagi pelaku al-qatl al-khata terbagi menjadi 2 macam yaitu sanksi
pokok dan sanksi tambahan. Sanksi pokok terhadap pembunuhan karena kesalahan
yaitu diyat dan kifarat. Hukuman diyat karena kesalahan adalah diyat mukhaffafah,
yaitu diyat yang diperingan.11
Dasar disyariatkannya perintah diyat terdapat dalam
firman Allah Swt yaitu dalam Q.s. An-Nisa (5): 92:
ا ومن ق تل مؤمنا خط ا ف تحرير رق بة مؤمن وما كان لمؤمن أن ي قتل مؤمنا إلا خط ة ودية مسلامة إقوا فإن كان من ق وم عدو لاكم وهو مؤمن ف تحرير رق بة مؤمنة أ وإن كان من ق وم هلهۦ إلا أن يصادا
أهلهۦ وترير رق بة مؤمنة يث ق فدية مسلامة إ ن هم م نكم و ي د فصيام شهرين مت تاعي ت وة ي فمن ا ي عليما حكيما وكان ٱللا ن ٱللا م
11
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1997), h., 41.
84
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
Diyat mukhaffah adalah diyat yang berlaku pada pembunuhan karena
kelalaian yang dibebankan kepada ahli waris pelaku pembunuhan dan dibayar dengan
jumlah diyat 100 ekor unta yang jika diperinci adalah 20 ekor unta bintu ma‟khad
(unta betina berumur 2 tahun), 20 ekor unta ibnu ma‟khad (unta jantan berumur 2
tahun) menurut Hanafiyah dan Hanabilah (unta jantan berumur 3 tahun), menurut
Malikiyah dan Syafi‟iyah, 20 ekor unta bintu labun (unta betina unur 3 tahun), 20
ekor unta hiqqah (unta umur 4 tahun), 20 ekor unta jadza‟ah (umur 5 tahun)12
.
Pembayaran diyat dibebankan kepada aqilah. Sayid sabiq menjelaskan bahwa aqilah
adalah kelompok yang secara bersama-sama menanggung pembayaran diyat dan
mereka adalah kelompok ashabah, yaitu semua kerabat laki-laki dari pihak bapak
yang balig, berakal, dan mampu. Dengan demikian, pihak perempuan, anak kecil,
orang gila, dan miskin tidak termasuk dalam kelompok aqilah.13
Pembebanan diyat
kepada aqilah dalam pembunuhan karena kelalaian didasarkan kepada hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud sebagai berikut:
12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 176 13
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), h., 470.
85
هما زوخ وولد فجعل رسول وعن جار ، أنا امرأت ي من هذ يل ق ت لت أحداه ا ال خرى ولكل واحدة من راث ها الله ص م د ية المقت و لة على عا قلة القا تلة و رأ ز وجها و و لد ها قال ف قال عا قلة قت و لة مي
المرا ث ها لزو جها و و لد ها لنا ف قا ل رسو ل الله ص م ل مي
Artinya: “Dari Jabir bahwa dua orang perempuan dari kabilah Hudzail salah
satunya membunuh yang lainnya, dan wanita itu masing-masing mempunyai suami
dan anak. Maka Rasulullah Saw menjadikan diat si terbunuh atas „aqilah (keluarga)
pembunuh, sedangkan suami dan anaknya dibebaskan dari kewajiban membayar
diat. Berkata Jabir: Berkata „aqilah korban (terbunuh): Apakah warisannya jatuh ke
tangan kami? Maka Rasulullah Saw bersabda: Tidak, warisannya tetap untuk suami
dan anaknya.” (H.r. Abu Dawud).14
Kewajiban kifarat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya yang
mukmin, namun apabila tidak tidak diperoleh hamba sahaya maka penggantinya
adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Allah berfirman dalam dalil yang
sama, yaitu dalam Al-qur‟an Q.s. An-Nisa (5): 92, yaitu:
عليما حكيما ن ٱللا وكان ٱللا د فصيام شهرين مت تاعي ت وة م فمن ا يArtinya: “Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kifarat ini disesuaikan dengan jumlah korban meninggal menurut pendapat
sebagian ulama, jadi misalnya dalam kasus kecelakaan yang meninggal sebanyak dua
orang, maka pelaku harus membebaskan dua hamba sahaya mukmin atau berpuasa
dua bulan berturut-turut dua kali. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa cukup
satu kifarat saja
Hukuman tambahan untuk tindak pidana pembunuhan karena kesalahan adalah
penghapusan hak waris dan wasiat. Namun dalam masalah ini, seperti dikemukakan
dalam hukuman pembunuhan sengaja, tidak ada kesepakatan dalam kalangan fuqaha.
14
Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-
Bhutus Al-Ilmiah, tt), h., 242.
86
Menurut jumhur ulama, pembunuhan karena keslahan dikenakan hukuman tambahan
karena pembunuhan ini termasuk dalam pembunuhan yang melawan hukum. Dengan
demikian, walaupun pembunuhan terjadi karena kesalahan, penghapusan hak waris
dan wasiat tetap diterapkan kepada pelaku, akan tetapi Imam Malik berpendapat
pembunuhan karena kesalahan tidak menyebabkan hilangnya hak waris dan wasiat
karena pelaku sama sekali tidak berniat melakukan perbuatan yang dilarang yaitu
pembunuhan.15
Bila dihubungkan dengan kelalaian dalam penggunaan senjata api yang tidak
berizin sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dalam putusan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt yang dilakukan oleh terdakwa Roketson anak dari kekem maka
perlu diuraikan penjelasannya. Pelaku pada faktanya tidak memiliki keahlian serta
tidak mempunyai surat izin dalam penggunaan senjata api sehingga menyebabkan
korban meninggal dunia serta membuat pihak keluarga merasa sangat kehilangan,
sehingga boleh dikategorikan tindakan pelaku tersebut adalah tindakan pembunuhan
karena kesalahan dalam hukum pidana Islam.
Pada tataran pembunuhan karena kelalaian yang terjadi dalam keadaan apapun,
dalam hukum pidana Islam pelaku dikategorikan dalam Jarimat Diyat. Jarimah Diyat
adalah jarimah yang diancam dengan dengan hukuman diyat dan sudah diatur
hukumannya oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa
hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat) sedangkan diyat merupakan
hak individu. Diyat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan
atau digugurkan oleh korban atau keluarganya.
15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 178.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan hukum oleh Majelis Hakim dalam putusan pengadilan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt perihal kelalaian dalam menggunakan senjata api yang
tidak memiliki izin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yang
dilakukan terdakwa Roketson anak dari Kekem adalah pasal 359 KUHP dan
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sudah tepat.
Terdakwa Roketson anak dari Kekem telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang dan
mempergunakan senjata api tanpa izin serta berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan, alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut
umum dan hasil visum et repertum, selain itu terdakwa dianggap sehat secara
jasmani maupun rohani sehingga dianggap mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam putusan pengadilan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt perihal kelalaian dalam menggunakan senjata yang tidak
berizin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yaitu menjatuhkan
pidana kepada terdakwa Roketson anak dari Kekem dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan serta menetapkan terdakwa tetap ditahan
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa Roketson anak dari Kekem dalam
perbuatannya melakukan kelalaian dalam menggunakan senjata api yang tidak
memiliki izin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain didasarkan pada
pasal 359 KUHP dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1951. Berdasarkan pasal tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Barito
Selatan menganggap kualifikasinya telah terpenuhi sehingga menjatuhkan sanksi
pidana penjara selama satu tahun dan dua bulan menetapkan masa penangkapan
dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
88
pidana yang dijatuhkan. Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan oleh majelis
hakim dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt hanya satu tahun
dua bulan dari hukuman maksimal setinggi-tingginya dua puluh tahun penjara
tidak memberikan efek jera, padahal salah satu tujuan adanya penegakan adalah
memberikan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
Demikian ini menjadi sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa ditinjau dari
hukum positif. Ditinjau dari hukum pidana Islam, terdakwa Roketson anak dari
Kekem dikategorikan pembunuhan karena kesalahan karena tidak ada niat sama
sekali dari pelaku untuk melakukan pembunuhan. Sanksi bagi pelaku
pembunuhan karena kesalahan dalam hukum pidana Islam adalah diyat
mukhafafah dengan 100 ekor unta dan kafarat dengan cara memerdekan hamba
sahaya atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut yang kedua pelaksanaan
hukumannya tersebut dibebankan aqilah.
B. Saran
1. Kepada para penegak hukum dan pemerintah agar bisa memberikan hukum
yang setimpal bagi pelaku tindak pidana kelalaian dalam menggunakan senjata
api yang tidak berizin hingga menyebabkan hilangnya nyawa supaya dapat
memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan. Pemerintah bersama aparat
penegak hukum juga harus memperhatikan langkah-langkah preventif untuk
kedepannya sehinngga tidak ada lagi pelaku tindak pidana kelalaian dalam
menggunakan senjata api yang tidak berizin hingga menyebabkan hilangnya
nyawa dikemudian hari.
2. Kepada masyarakat luas, diperlukan peran serta masyarakat luas untuk
melaporkan setiap aksi tindak pidana tersebut serta lembaga-lembaga pengawas
yang konsisten melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang memiliki
senjata api supaya peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.
89
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an & Hadist
Airini Batubara, Sonya, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan
Senjata Api Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil”, Jurnal Hukum Kaidah,
Volume 18, Nomor 3, (Februari 2017)
Al-Faruk, Assadullah, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Qadir Audah, Abdul, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Al-Arabi: Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, tt.
Amantha, Rizky, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penjualan Senjata Api
Ilegal Melalui Media Online Facebook”, Law Journal Universitas Bandar
Lampung, VII, 8, (Februari 2018).
Arianingsih, Putri, “Upaya Indonesia Dalam Mencegah Perdagangan Ilegal Senjata
Api Berkaliber Kecil Dan Ringan”, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 1,
No. 2, (Januari 2015)
Aripin, Jaenal dkk, Metode Penelitian Hukum, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000.
Awaloedin, Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian, Jakarta: YPKIK, 2011.
Babiej, Ahmad, “Sejarah Problematika Hukum Pidana Material Di Indonesia”,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5, No. 2, (Februari 2006).
Chazawi, Adam, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana I, Jakarta: PT Raja Grafindo,
2002.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
90
Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika
Aditama, 2011
Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdyakarya,
2004.
Effendy, Rusli, Asas-Aas Hukum Pidana, Ujung Pandang: Lembaga Penelitian
Universitas Muslim Indonesia, 1989.
Eko, Nurdianto, “Pengawasan Penggunaan Senjata Api Ilegal Di Wilayah Hukum
Kepolisian Daerah Metro Jaya”, Jurnal Dialektika, Vol. 14, No. 1, (April
2019).
Emong Supardjadja, Komariah, Ajaran Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Bandung: Alumni, 2002.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Gaarder, Joerstein, Dunia Shopie Terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,
1996.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, VI, 11,
(Februari 1999).
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2006.
Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, Yogyakarta: Rangkang
Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, 2012.
Irfan, M. Nurul & Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2014).
Karni, Risalah Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1958).
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa, 2001).
91
Latifah, Marfuatul, “Kepemilikan Dan Penyalahgunaan Senjata Api Di Indonesia”,
Jurnal Info Singkat Hukum, IX, No.22, (November 2017).
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2013.
Marbun, Rocky, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Setara Press, 2015.
Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Bina
Aksara, 1983.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004.
Mourits, Marcelino, “Hak Dan Perlindungan Bagi Pengguna Senjata Api Yang Sudah
Mempunya Izin Pakai”, Lex Crimen, (April 2019).
Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, Saudi Arabia: Idarah Al-
Bhutus Al-Ilmiah, tt.
Munandar, Evan, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan
Senjata Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law
Journal, Volume II, Nomor 3, (Desember 2018).
Murdiana, Elfa, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-
MAWARID, XII, 1, (Februari-Augustus 2012).
PAF Lamintang, Delik-Delik Khusus, (Bandung: Sinar Baru, 1984).
Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Pengawasan dan
Pengendalian Senjata Non-Organik.
Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Psikologi
bagi Calon Pemegang Senjata Api Arganik POLRI dan Senjata Non Organik
TNI/POLRI
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang
Kewenangan Perizinan Menurut Undang-Undang Senjata Api.
92
Prodjodikoro, Wijono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta: Refika
Aditama, 2011.
Rachmanto, Setio, “Pola Penyelendupan Dan Peredaran Senjata Api Ilegal Di
Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 2, No. 5, (Agustus 2019).
Rahman, Abdur, Tindak Pidana dalam Syari‟at Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Rendy, Bagoes, “Pertanggujawaban Pidana Atas Kepemilikan Senjata Api Tanpa Ijin
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurist-Diction
Journal, Volume 2, Nomor 6, (November 2019).
Rini, Mei, “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata
Api Tanpa Prosedur”, Jurnal Lex et Societatis, Volume IV, Nomor 2,
(Februari 2016).
Runtunkahu, Ernest, “Beberapa Aspek Tentang Delik Senjata Api, Amunisi Dan
Bahan Peledak Di Indonesia”, Lex Crimen, Volume VI, Nomor 4, (Juni
2019).
Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr, 1980.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Reflika Aditama, 2007.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dalam Hukum Pidana, Jakarta; Aksara Baru, 1981.
Seno Adji, Indriarto, Pergeseran Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2012.
Simon Runturambi Atin, Josias & Sri Pujiastuti, Senjata Api Dan Penanganan
Tindak Kriminal, Jakarta: Pustaka Obor, 2015.
Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
Suharti, Titik, “Grasi Dalam Konsep Tujuan Pemidanaan”, Jurnal PERSPEKTIF,
Vol. X, No. 2, (Juli 2006).
93
Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004.
Wardi Muslich, Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Wardi Muslih, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, Jakarta: Grasindo, 2009.
Yulianti, Dwi, “Pertanggungjawaban Hukum Penguasaan Senjata Api Dan Amunisi
Tanpa Izin Oleh Warga Sipil”, Recidive Journal, Volume 3 Nomor 3,
(September 2014).
Yusman, Eka, “Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Yang Beredar Di
Masyarakat”, e-Jurnal Katalogis, Vol. 3, No. 12, (Desember 2015).
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus, Dar Al-Fikr,
1989.