struktural dan nilai pendidikan naskah nyai ontosoroh

Download Struktural Dan Nilai Pendidikan Naskah Nyai Ontosoroh

If you can't read please download the document

Upload: yusuf-muflikh-r

Post on 24-Oct-2015

144 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

Sebuah analisis singkat, tinjauan struktural dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam naskah drama Nyai Ontosoroh

TRANSCRIPT

ANALISIS NASKAH DRAMA NYAI ONTOSOROHDENGAN PENDEKATAN STRUKTURALISMEDisusun untuk Memenuhi Tugas Semester VIIMata Kuliah Kajian Apresiasi DramaDosen: Budi Waluyo S.S., M.PdOleh:Kelompok VAjeng PurnamasariK1210006Dony Suryodi PutraK1210021Indri Kusuma WardaniK1210030Riana Chandra SariK1210044Rio DevilitoK1210048Yusuf Muflikh R.K1210064PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013BAB IPENDAHULUANLatar BelakangMemasuki era 2000-an mulai tercium banyak permasalahan yang menyangkut hak-hak perempuan. Dikatakan demikian karena banyak ditemui kasus, baik dari media massa cetak atau elektronik, yang memberitakan pelanggaran atas hak-hak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga.Berkenaan dengan itu, saat ini seolah-olah kita tengah mengalami perputaran roda di mana saat zaman kolonial berkuasa di Indonesia. Zaman kolonial merupakan zaman kaum-kaum pribumi ditindas oleh penjajah. Penindasan berwujud pada penindasan hak dan kewajiban. Pada zaman itu, kaum pribumi dituntut untuk memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penjajah. Laki-laki diminta untuk bekerja sangat keras dan perempuan banyak yang dijadikan budak pemuas nafsu oleh penjajah.Fokus ke dalam permasalahan yang dialami oleh kaum perempuan, menjadikan permasalahan ini memiliki ciri khusus yang harus diamati. Karena pada dasarnya, pada zaman kolonial, kaum perempuan sudah menunjukkan semangat feminisme. Banyak kisah yang mendeskripsikan semangat feminisme ini sehingga menjadikan mata kita terbuka bahwa pada saat itu, kaum perempuan memiliki jiwa perjuangan di dalam mempertahankan hak hidupnya. Seperti halnya pada kisah Nyai Ontosoroh.Berangkat dari uraian singkat di atas, penulis bermaksud menggali lebih dalam dengan mengkaji strukturalisme dari kisah Nyai Ontosoroh, khususnya pada naskah dramanya. Mengangkat dari kisah ini karena penulis meyakini bahwa kisah drama ini bisa dijadikan refleksi atas permasalahan yang sedang terjadi di era 2000-an, seperti yang telah diuraikan di atas.Rumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan hal yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini, sebagai berikut:Bagaimana strukturalisme yang melekat pada naskah drama Nyai Ontosoroh?Bagaimana nilai pendidikan yang melekat pada naskah drama Nyai Ontosoroh?TujuanDengan mengkaji strukturalisme naskah drama Nyai Ontosoroh, penulis memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:Mendeskripsikan strukturalisme yang melekat pada naskah drama Nyai Ontosoroh.Mendeskripsikan nilai pendidikan yang melekat pada naskah drama Nyai Ontosoroh.BAB IIKAJIAN PUSTAKAPengertian Naskah DramaMenurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan yamg belum diterbitkan. Sedangkan drama, menurut Imam Suryono adalah suatu aksi atau perbuatan.Menurut Sendarasik, naskah drama adalah bahan dasar sebuah pementasan dan belum sempurna bentuknya apabila belum dipentaskan. Naskah drama juga sebagai bentuk ungkapan pernyataan penulis yang berisi nilai-nilai pengalaman secara umum.Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan jika naskah drama pada umumnya disebut skenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbasan sesuai dengan kebutuhannya. Dengan kata lain, naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk dialog atau dalam bentuk tanya-jawab antar pelaku. Biasanya naskah drama ditulis untuk kepentingan pementasan yang diangkat dari isu-isu dari masyarakat. Namun, ada juga naskah drama yang berupa adaptasi dari novel, puisi, cerpen dan karya sastra yang dapat diadaptasi yang dari keseluruh cerita itu ditulis ulang menjadi naskah drama.Unsur-unsur Pembangun Naskah DramaDalam sebuah karya sastra tentu terdapat unsur-unsur pembangun didalamnya, pada umumnya unsur pembangun tersebut berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik. Begitu pun dengan unsur-unsur pembangun dalam naskah drama juga terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik didalamnya. secara umum, unsur-unsur intrinsik naskah drama meliputi: tema, alur atau plot, penokohan atau perwatakan, latar atau setting, dan amanat. Berikut penjelasannya:TemaZainuddin Fananie berpendapat bahwa tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra (Zainuddin Fananie, 2002:84). Pendapat lain mengatakan, bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan (Dick Hartoko & Rahmanto, 1986:142).Senada dengan dua pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro juga mengatakan bahwa tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan setia mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain dapat mencerminkan gagasan dasar umum (baca:tema) tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 2002:70).Sedangkan Menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2002 ) tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa tema adalah gagasan dasar yang umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum itulah yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.Analisis terhadap tema diusahakan untuk memahami cerita secara terpadu. Meskipun demikian, dalam sebuah karya sastra terkadang tidak hanya memuat satu tema. Karena itu, curahan perhatian sering tertuju pada bagian-bagian itu. Dengan kata lain, kemunculan motif yang berulang kali dapat dikatakan sebagai pengenalan terhadap tema utama dan tema bawahan atau tema-tema minor mempertegas tema mayor. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah persoalan yang menduduki tempat utama yang dijadikan sebagai dasar pemikiran dan pengembangan cerita dalam suatu karya sastra.Alur atau plotAlur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa. Peristiwa yang dirangkaikan tersebut adalah susunan peristiwa yang lebih kecil. Rangkaian kejadian itu tidak hanya disusun berdasarkan komposisi cerita melainkan bergerak berdasarkan hubungan sebab akibat. Dengan demikian Teknik pengaluran menurut Sudiro Satoto (1992: 27-28) ada dua yaitu, dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari tahap awal, tahap tengah atau puncak, dan tahap akhir terjadinya peristiwa, yang kedua dengan jalan regresif (alur mundur) yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atu puncak, dan berakhir pada tahap awal. Tahap progresif bersifat linear, sedangkan teknik regresif bersifat non linear.Ada juga teknik pengaluran yang disebut sorot Mesirk (flashback), yaitu urutan tahapannya diMesirk seperti halnya regresif. Teknik flashback jelas mengubah teknik pengaluran dari progresif ke regresif. Teknik tarik Mesirk (back tracking), jenis pengalurannya tetap progresif, hanya pada tahap-tahap tertentu, peristiwanya ditarik ke belakang, jadi yang ditarik ke belakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa yang lalu), tetapi alurnya tetap maju atau progresif (Sudiro Satoto, 1992:28-29).Burhan Nurgiyantoro berpendapat unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Burhan Nurgiyantoro, 2002:16). Berbeda dengan pandangan Agustien, alur terdiri atas beberapa bagian, yaitu :Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh- tokohnya.Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh atau para pelakunya.Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokohnya semakin seru.Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap.Penokohan atau perwatakanMenurut Sudjiman, penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra. Dalam kisah yang fiktif pengarang membentuk tokoh-tokoh yang fiktif secara meyakinkan sehingga pembaca seolah-olah merasa berhadapan dengan manusia yang sebenarnya (Sudjiman, 1984:42).Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh meliputi tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita, tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita, dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun antagonis.Berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya tokoh meliputi tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon, tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dan tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita. Pegembangan penokohan meliputi dua aspek yaitu aspek penampilan dan aspek watak atau karakter.Mochtar Lubis (1981:17) berpendapat bahwa caracara dalam mengamati tokoh dan melakukan penokohan sebagai berikut, Phisical description (melukiskan bentuk lahir pelaku). Potrayal of thought stream or of conscious thought (melukiskan jalan pikiran pelaku-pelaku atau apa yang melintas dalam pikirannya. Dengan ini pembaca dapat mengetahui bagaimana watak pelaku itu).Sudiro Satoto berpendapat bahwa analisis penokohan dapat ditinjau dari beberapa dimensi yaitu, fisiologis, sosiologis dan psikologis. Dimensi fisioligis, yaitu ciri-ciri lahir misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, ciri-ciri badani, dan lain-lain. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan dalam naskah drama adalah cara pengarang menggambarkan tokoh yang dapat menggerakkan cerita. Sedangkan tokoh-tokoh dalam cerita itu mempunyai watak atau karakter yang menghidupkan ketokohannya.Latar atau settingLatar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Panuti Sudjiman, 1988:44). Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator. Abrams (dalam Zainudin Fananie, 2002:99) berpendapat, latar dibedakan menurut tiga indikator yang meliputi; pertama, general locale (tempat secara umum); kedua historical time (waktu historis); ketiga social circumstances (lingkungan sosial).Senada dengan Abrams, Burhan Nurgiyantoro (2002:227) juga membedakan latar menjadi tiga kategori :Latar tempat, yaitu menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.Fungsi setting/latar menurut Rene Wellek dan Austin Warren adalah sebagai berikutLatar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama interior rumah dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Rumah seseorang adalah perhiasan bagi dirinya sendiri. Kalau kita menggambarkan rumahnya berarti kita menggambarkan sang tokoh. Latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya dan berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh, latar menjadi metafor dari keadaan emosional dan spiritual tokoh.Latar yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan mood: alur dan penokohan didominasi oleh nada dan kesan tertentu disebut latar noveltik, misalnya pada karya noveltik. Deskripsi naturalistik lebih bersifat dokumentasi, dengan tujuan menciptakan ilusi.Dalam drama, latar digambarkan secara verbal (seperti dalam drama Shakespeare)atau ditunjukkan oleh petunjuk pementasan yang menyangkut dekorasi dan peralatan panggung disebut latar realistis.Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu (Wellek, Rene dan Warren, Austin, 1989:290-1).Latar tidak hanya menunjukkan di mana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari itu, latar juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau logika ceritanya. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Fananie dalam bukunya Telaah Sastra. Zainuddin Fananie, (2002:99) berpendapat bahwa dalam telaah setting/latar sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat. hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga dari konteks diagesis-nya kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya tersebut diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana kewajaran, logika peristiwa, perkembangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.AmanatAmanat merupakan nilai didik dan nilai moral yang disampaikan melalui karya sastra yang berisi tentang ajaran dan anjuran yang baik terhadap pembaca. Jika permasalahan yang diajukan dalam cerita diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluar itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat dalam karya sastra tertuang secara implicit dan eksplisit. Secara implisit yaitu jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Sudjiman (1986:35). Sedangkan amanat secara eksplisit yaitu jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.BAB IIIPEMBAHASANAnalisis Dilihat dari Pendekatan StrukturalismeBerikut ini adalah hasil pembahasan dari analisis naskah drama Nyai Ontosoroh dengan pendekatan strukturalisme:TemaTema drama Nyai Ontosoroh adalah perjuangan untuk memperoleh kesamaan hak asasi.Tokoh dan penokohanNyai Ontosoroh atau SanikemNyai Ontosoroh atau Sanikem adalah tokoh sentral dan protagonis yang digambarkan sebagai gundik Tuan Besar Mellema yang berusia 35 tahun. Walaupun dia hanya seorang gundik, tapi sikap tegasnya membuatnya dihormati bahkan ditakuti oleh tuannya sendiri. Karakter tokoh Nyai Ontosoroh dimunculkan melalui dandanan yang rapi, wajah yang jernih, senyum keibuan, dan rias yang sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat (Toer, 2005: 32). Sifat yang patut diteladani dari tokoh Nyai Ontosoroh ini adalah kemauan keras untuk berusaha dan belajar, penurut, tidak suka menentang, namun tegas dan kuat, berpendirian kuat serta rasional. Contoh cuplikan: Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem tidak ada sekarang.Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!Robert, masihkan sedikit punya kesopanan terhadap Ibumu? Buatmu, tidak ada yang lebih agung daripada menjadi Eropa? Dan kau menginginkan semua pribumi untuk tunduk padamu yang mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Pergi sana. Jadilah orang Eropa yang kau agungkan.Wujud kuatnya tokoh Ontosoroh ditunjukkan pada saat Annelies mengucapkan perpisahan. Mamaku sayang, suamiku tercinta, jangan menangis. Kenanglah yang baik dan lupakan yang buruk. Aku hanya minta kepada Mama dan suamiku, buatkan aku adik kecil yang tidak merepotkan sepertiku. Rawatlah dia sebaik-baiknya sampai Mama, tak merasa lagi pernah ada Annelies di sisi MamaTuan Besar MellemaTuan Besar Mellema adalah seorang kulit putih berusia 50 tahun yang menjadi tuan Nyai Ontosoroh. Tokoh ini merupakan tokoh tambahan dan termasuk tokoh protagonis di bagian awal kemudian berubah menjadi tokoh antagonis di bagian tengah cerita. Sifat tokoh ini awalnya baik, ramah, penyayang, perhatian, namun pada beberapa tahun terakhir sebelum kematiannya sifatnya berubah drastis menjadi pria mesum, pemarah, suka berbicara kasar dan mengesalkan walaupun ia masih tetap tunduk pada gundiknya. Contoh cuplikan:Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang mahaluas. Dengan begitupun, bahasa Melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan pengetahuan.Ha..ha..ha.. tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata-rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut dan berantakan.Kau terlalu keras NyaiTemui Ayahmu!Satu sifat yang paling menonjol dari Tuan Besar Mellema adalah ketidaksukaannya pada pribumi, khususnya kepada tokoh Minke yang dibuktikan pada cuplikan berikut:Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet? Kowe kira, kalau sudah pake kain Eropa, bersama Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas menjadi Eropa? Kowe tetap monyet!Robert MellemaRobert Mellema adalah anak pertama dari perkawinan Tuan Besar Mellema dan Nyai Ontosoroh. Di dalam drama ini, tokoh Robert Mellema digambarkan sebagai seorang pemuda berumur sekitar 20 tahunan yang sangat membenci pribumi. Tokoh ini termasuk tokoh antagonis, yang dibuktikan dengan seringnya tokoh ini menentang tokoh central dan tokoh utama. Dia tidak pernah mengakui Nyai Ontosoroh sebagai ibunya hanya karena beliau seorang pribumi. Dia sangat bangga dengan darah Eropanya yang selalu diagung-agungkan. Tokoh ini termasuk tokoh antagonis penentang tokoh utama. Contoh cuplikan:Aku bukan pribumi! Aku bukan pribumi! Aku anak Papawek!Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak peduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa. Aku bukan pribumi.Hei, Minke! Betul kau suka pada adikku? Adikku memang gadis yang baik dan pandai bekerja, juga cantik. Sayang sekali kau hanya pribumi.Kau tak tahu diri Minke! Kau tak akan pernah mendapatkan apa yang kau impikan. Tidak Minke. Kau seorang kafir! Engkau seorang pribumi yang tidak pantas mengawini Eropa.Dia bukan Ibuku. Dia lonthe!Selain itu, tokoh Robert juga memiliki watak yang bejat. Ditunjukkan dengan tindakannya yang menyetubuhi adiknya sendiri, Annelies. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut. Kutipan ini dututurkan oleh tokoh Annelies kepada Minke.Kau bukan lelaki yang pertama, Mas. Tetapi itu bukan kemauankau. Bukan kehendakku. Kecelakaan itu sungguh tak bisa saya elakkan Dia Robert Mellema!AnneliesAnnelies adalah anak kedua Nyai Ontosoroh yang terkenal akan kecantikannya di Surabaya. Dia sangat menyayangi ibunya, berbeda dengan kakaknya. Dia bahagia dan bangga menjadi seorang pribumi. Tokoh ini termasuk tokoh utama dan tokoh protagonis karena mempunyai peran yang penting dalam cerita, mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh protagonis, sejalan dengan tokoh utama dan tidak menentang ataupun menyebabkan konflik. Contoh kutipan:Saya sayang sekali sama Mama. Saya bahagia sekali Mama.Tidak. Oh mengapa kau pucat? Pribumi juga baik. Ibu saya pribumi. Pribumi Jawa.MinkeMinke merupakan putra Bupati Brojonegoro berusia 18 tahun yang menyukai Annelies dan akhirnya berhasil menikahinya. Minke merupakan salah satu tokoh utama dan tokoh protagonis yang memperjuangkan agar pernikahannya diakui bersama dengan Nyai Ontosoroh di Pengadilan Putih. Tokoh ini digambarkan sangat mencintai Annelies dan memiliki kekaguman luar biasa terhadap Nyai Ontosoroh. Contoh cuplikan:Tetapi di balik semuanya itu ada peran seorang perempuan yang lebih berharga. Dialah orang yang menjadi tuan besar di rumah besar itu. Orang-orang memanggilnya Nyai Ontosoroh.Tuan-tuan saya menyangkal semua keputusan Tuan Hakim dan Tuan Jaksa. Saya suami Annelies. Saya mencintainya. Cinta setulusnya.Mauritz MellemaMauritz Mellema adalah anak Tuan Besar Mellema dengan Mevrow Amellia Mellema Hammers. Usianya 25 tahun dan memiliki perangai yang sangat buruk. Sifat serakahnya terlihat dari usahanya mengadukan perihal kematian Tuan Besar Mellema dan mencoba merebut semua harta benda serta perusahaan milik ayahnya di Pengadilan Putih. Tokoh ini merupakan tokoh tambahan yang menentang tokoh utama (antagonis). Contoh cuplikan:Hemm..o..o..o.. ini tidak ada urusannya dengan kowe, Nyai. Tuan Mellema, biarpun tuan kawini Nyai, gundik ini, dengan perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekerinya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrow Amellia Mellema Hammers, lebih busuk dari semua kebusukan yang pernah Tuan tuduhkan kepada Ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir pribumi berwarna! Dosamu tak terampuni, Tuan!Seorang gundik juga punya sopan santun? Tuan Mellema, jadi Tuan tahu sekarang siap sesungguhnya Tuan? Ssssstt! Diam kamu gundik!DarsamDarsam adalah tokoh kepercayaan tokoh utama, Nyai Ontosoroh. Dia adalah tokoh tambahan yang muncul beberapa kali di drama ini. Sifat utama yang dimiliki tokoh ini adalah bisa dipercaya dan patuh.Contoh cuplikan:Semua pekerjaan rumah biarkan saya kerjakan sendiri. Tetapi jangan kuatir, kalian akan pergi dengan membawa bekal. Lagipula, di lain tempat pasti kalian akan bisa memburuh atau apa saja, karena kalian merdeka. Kecuali kau Darsam, tetaplah di sini. Jagalah saya!SastrotomoSastrotomo adalah ayah Sanikem yang sudah berusia 45 tahun yang berperan sebagai tokoh tambahan dan termasuk tokoh antagonis. Sastrotomo digambarkan sebagai seorang pribumi yang serakah dan gila harta sehingga ia rela mengorbankan apa saja, termasuk anak gadisnya untuk dijadikan gundik orang Belanda yang jauh lebih tua darinya. Sifat serakahnya ini yang menjerumuskan Sanikem, anaknya yang akhirnya tidak mau mengakui dia sebagai ayah. Contoh cuplikan:Betul, saya akan jadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru Bayar adalah pekerjaan yang saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah.Kamu jangan banyak omong. Saya telah memperjuangkan anak saya untuk menjadi wanita terhormat. Istri Tuan Besar. Tuan Besar di Tulangan yang sangat kaya raya dan terhormat. Sanikem akan terhormat. Dan kita akan terhormat, karena Sanikem akan menjadi kaya raya dan tidak menjadi gelandangan bersama pemuda-pemuda kampung yang tidak berpendidikan.Istri SastrotomoIstri Sastrotomo adalah ibu Sanikem yang merupakan wanita lemah dan tidak bisa menentang keinginan suami. Ia tidak bisa mempertahankan Sanikem sehingga akhirnya ia kehilangan anaknya selama-lamanya. Tokoh ini merupakan tokoh tambahan yang muncul di awal drama dan termasuk protagonis. Contoh cuplikan:Jangan, Pak, jangan! Kenapa Ikem, kau serahkan kepada laki-laki raksasa itu? Oh Pak, Pak. Kenapa kau tega, Pak?Buat apa harta benda, kalau hatinya terpenjara. Hidupnya terkerangkeng dalam genggaman, seorang laki-laki. Kita sudah kehilangan segalanya, Pak. Kamu lebih memilih sekeping Golden dan jabatan palsu. Tetapi sampeyan telah mengorbankan segalanya yang telah kita miliki dan telah kita rawat bertahun-tahun.Babah Ah TjongBabah Ah Tjong merupakan tokoh tambahan dan tokoh tritagonis yang digambarkan sebagai germo pemilik rumah pelacuran tempat Tuan Besar Mellema biasa menghabiskan malam-malamnya. Babah Ah Tjong adalah pria keturunan Tionghoa berusia 50 tahun. Contoh cuplikan:Aya.. Tuan Besal mau ada yang balu. Di sana Tuan tinggal pilih-pilih. Ada lima yang baru oi datangkan dari negeri Tiongkok. Yang local juga ada, oi datangkan dari Blitar dan Dampit. Tuan Besal pasti senang. Tinggal pilih, tinggal pilih. Mereka masih gadis-gadis mereka juga pandai menali.MinemMinem merupakan salah satu buruh pabrik yang bertugas memerah susu sapi. Dia memiliki hubungan yang agak dekat dengan Annelies. Tokoh ini merupakan tokoh tambahan dan tokoh tritagonis yang memiliki sopan santun tinggi. Contoh cuplikan:Ngapunten Ndoro Putri. Dereng mindak-mindak.Bilih Ndoro Putri berkenan, saget mawon.AlurAlur yang digunakan pada drama Nyai Ontosoroh adalah alur maju karena cerita dimulai dari kejadian Sanikem diserahkan oleh ayahnya (Sastrotomo) kepada Tuan Besar Mellema saat umurnya 14 tahun. Kemudian berlanjut pada adegan Minke mengenal Annelies, Tuan Besar Mellema meninggal, dan adegan di pengadilan.LatarLatar dalam naskah drama Nyai Ontosoroh ini dapat dibagi kedalam tiga unsur yakni:Latar TempatLatar tempat pada drama ini antara lain rumah Tuan Besar Mellema di Surabaya, perkebunan Tuan Besar Mellema, rumah pelesiran Babah Ah Tjong, dan pengadilan.Latar WaktuDrama ini menceritakan kehidupan zaman kolonial Belanda yang terjadi antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.Latar SosialLatar sosial dalam naskah drama Nyai Ontosoroh ini, antara lain:Banyak anak Pribumi (anak bangsawan) yang menuntut ilmu secara sekolah modern atau Eropa.Adanya pendewaan terhadap budaya maupun peradaban Eropa, sehingga menciptakan semacam arogansi bahwa ras berkulit putihlah lebih baik dari ras kulit berwarna.Adanya prostitusi, sehingga banyak diantara perempuan Pribumi yang menjadi gundik atau simpanan para petinggi/pengusaha Belanda.Adat jawa yang masih kental, salah satunya pengangkatan Bupati atau bangsawan dengan sistem nepotisme.Amanat Amanat atau berupa nilai yang terkandung dalam drama Nyai Ontosoroh adalah :Seorang terpelajar harus sudah berlaku adil, sejak dalam pikiran apalagi dalam perubatan. Maka fungsi dari pikiran serta hati kita bukan untuk menghakimi orang lain, melainkan untuk menghargai mereka.Bahwa hidup adalah perjuangan dimana kekuatan jiwa bertarung dengan segala kemampuan dan ketidak mampuan.Bahwa sebenarnya dunia manusia itu bukan terletak pada jabatan, pangkat, gaji, maupun kecurangan, tetapi dunia manusia itu adalah bumi manusia dengan segala persoalannyaAnalisis Dilihat dari Nilai Pendidikan yang TerkandungSelain dengan adanya unsur intrisik yang disebutkan di atas tadi, naskah drama Nyai Ontosoroh ini juga terdapat nilai-nilai pendidikan yang dapat pembaca ambil. Dari sudut pandang pendidikan, dalam naskah drama ini banyak mengandung contoh pembelajaran kehidupan wanita pribumi. Terlepas dari kedudukan sosial dan dosa asusila yang disandangnya, Nyai Ontosoroh adalah sebuah perwujudan manusia pembelajar yang teguh memperjuangkan nilai dirinya di mata masyarakat bahkan dunia kala itu. Manusia akan memiliki nilai ketika ia mampu dan mau untuk belajar. Secara ilmu pengetahuan, budaya, dan kemanusiaan, kemampuan Nyai Ontosoroh bahkan digambarkan mampu mengungguli wawasan guru-guru Minke di HBS. Proses pembelajaran memang tidak pernah dibatasi oleh ruang kelas dan kastanisasi akreditasi lembaga sekolah. Nilai pendidikan religius yang dapat diambil yaitu diajarkan untuk saling bertoleransi kepada sesama manusia dan menghormati kepercayaan yang dianutnya. Sedangkan untuk nilai pendidikan sosial ini mengajarkan untuk bersikap sopan santun terhadap sesama bukan hanya dengan kalangan menengah ke atas, namun kepada semuanya. Manusia hidup di dunia tidak sendiri dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.BAB IVPENUTUP Simpulan Strukturalimse naskah drama Nyai Ontosoroh memiliki kebermenarikan tersendiri. Dengan mengusung tema perjuangan mendapatkan hak asasi manusia seorang perempuan dan pribumi pada saat zaman kolonial Belanda. Tokoh pun beragam. Nyai Ontosoroh atau Sanikem yang tergolong tokoh protagonis berperan sebagai tokoh sentral di cerita ini, didukung oleh Annelies, Minke, TB Mellema, Istri Sastrotomo, dan Darsam sebagai tokoh protagonis. Sementara tokoh tritagonis atau antara lain Babah Ah Tjong dan Minem. Tokoh antagonis disematkan pada TB Mellema, Robert Mellema, dan Mauritz Mellema. Cerita ini menggunakan alur maju. Seting yang digunakan pun mengambil di daerah Surabaya sekitar tahun 1898 1918 yang masih berkaitan dengan kondisi sosial pada saat zaman kolonial Belanda. Amanat yang hendak disampaikan adalah keharusan bagi siapa saja untuk menjunjung tinggi keadilan, tidak memperhatikan jabatan atau dari golongan tertentu.Ditinjau dari sudut pandang pendidikan, naskah drama ini mengandung banyak nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat digunakan sebagai bahan refleksi. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain: 1) manusia akan memiliki nilai ketika ia mampu dan mau untuk belajar serta meningkatkan kualitas diri (moral); 2) belajar tidak pernah dibatasi oleh ruang dan kasta (sosial); 3) kita harus saling bertoleransi kepada sesama manusia dan menghormati kepercayaan yang dianutnya (religi); 4) kita harus menjaga sopan santun terhadap semua orang (sosial).SaranNaskah drama Nyai Ontosoroh merupakan salah satu naskah drama yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Naskah ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk melengkapi atau mendukung materi pembelajaran drama di sekolah.DAFTAR PUSTAKAAgustien. 1990. Buku Pintar Sastra Indonesia. Semarang: CV. Aneka Ilmu.Aminudin. 1991. Pengantar Apresiasi Sastra. Jakarta: CV. Sinar Baru.Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Jabrohim 1994. Pengantar Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Nazir, Muhammad. 1985. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia.Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Kajian Fiksi. Yogyakarta : UGM Press.Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stlistika. Jakarta : Grafiti.Pradopo, Rachmat Djoko. 1976. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : UGM Press.______________________. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Semi, Atar. 1988. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa.Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia.Wurajdi, 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : PT. Hamindita Graha Widia.Zaidan, Abdul Rozak, Anita K. Rustapa, dan Haniah. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka.