strategi menuju ketahanan pangan...

2
GFSI Keterjangkauan Ketersediaan Kualitas & Keamanan Pendapatan Per Kapita Negara Peringkat Nilai Peringkat Nilai Peringkat Nilai Peringkat Nilai Singapura 2 88.2 1 80.0 11 78.9 13 84.6 53.274 Malaysia 34 69.0 40 68.1 29 69.2 36 70.4 10.073 Tiongkok 42 64.2 50 61.0 39 65.2 38 69.3 8.280 Thailand 52 60.0 46 63.4 57 58.6 61 58.6 5.246 Vietnam 65 53.4 69 48.9 52 58.4 69 50.7 2.170 India 68 50.9 72 47.4 58 56.1 79 45.3 1.688 Filipina 72 49.4 73 44.4 66 53.4 68 50.8 2.951 Indonesia 74 46.7 74 44.3 72 51.2 88 40.1 3.415 Myanmar 78 44.0 92 29.0 64 54.3 65 42.9 1.268 Kamboja 96 34.6 91 30.3 101 39.1 98 32.8 1.139 Meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik, terutama melalui pembangunan infrastruktur pertanian (pembukaan lahan, fasilitas irigasi) dan R&D, dan secara bertahap mulai mengurangi anggaran subsidi pupuk yang terbukti kurang efektif untuk melindungi kesejahteraan petani. Perlu dikaji ulang kebijakan impor pangan yang tidak berdasarkan pembatasan dan penjatahan, karena rawan untuk dipolitisasi dan menjadi sumber korupsi dan rente ekonomi. Kebijakan penerapan bea masuk impor dapat menjadi alternatif, mengingat Indonesia masih dapat menerapkan bea masuk yang cukup tinggi. Mempertimbangkan dengan serius impor pangan sebagai alternatif instrumen stabilisasi harga pangan. Indonesia tidak boleh bergantung terhadap impor, tetapi juga tidak perlu tertutup sama sekali. Saat ini peran impor pangan sangat krusial dalam mencapai ketahanan pangan di Indonesia, terutama dengan kondisi pasokan domestik yang belum memadai dalam kuantitas maupun kualitas. Melakukan perbaikan pada desain dan implementasi kebijakan intervensi melalui Operasi Pasar, dengan berdasarkan data yang akurat, agar lebih efektif dalam stabilisasi harga pangan di pasar ritel. Dalam UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan oleh pemerintah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, berdasarkan prinsip kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak hanya berbicara mengenai ketersediaan pangan, tetapi juga mengenai keterjangkauan harga pangan serta kualitas dan keamanan pangan. Pemerintah berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan konsumen dan produsen dalam setiap kebijakan pangan. Di saat yang sama, pemerintah juga telah berusaha untuk meningkatkan partisipasi produsen domestik dalam penyediaan pangan, bahkan menargetkan swasembada untuk beberapa produk pangan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai. Namun demikian, sejumlah indikator menunjukkan buruknya kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Dalam Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), misalnya, pada tahun 2015 Indonesia berada di urutan 74, jauh di bawah Malaysia (32), Thailand (52), Vietnam (65), dan Filipina (72). Lebih jauh, kinerja Indonesia tergolong buruk pada ketiga dimensi ketahanan pangan: ketersediaan (72), keterjangkauan (74), serta kualitas dan keamanan (88). Meskipun memiliki pendapatan per kapita yang cukup tinggi, kondisi ketahanan pangan Indonesia lebih buruk dibanding sejumlah negara lain dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia Strategi Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), 2015 Sumber: The Economist, 2015.

Upload: vanliem

Post on 10-Jun-2019

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GFSI

Keterjangkauan

Ketersediaan

Kualitas & Keamanan

PendapatanPer KapitaNegara

Peringkat

Nilai

Peringkat

Nilai

Peringkat

Nilai

Peringkat

Nilai

Singapura

2

88.2

1

80.0

11

78.9

13 84.6

53.274

Malaysia

34

69.0

40

68.1

29

69.2

36 70.4

10.073

Tiongkok

42

64.2

50

61.0

39

65.2

38 69.3

8.280

Thailand

52

60.0

46

63.4

57

58.6

61 58.6

5.246

Vietnam

65

53.4

69

48.9

52

58.4

69 50.7

2.170

India

68

50.9

72

47.4

58

56.1

79 45.3

1.688

Filipina 72 49.4 73 44.4 66 53.4 68 50.8 2.951

Indonesia 74 46.7 74 44.3 72 51.2 88 40.1 3.415

Myanmar 78 44.0 92 29.0 64 54.3 65 42.9 1.268

Kamboja 96 34.6 91 30.3 101 39.1 98 32.8 1.139

Meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik, terutama melalui pembangunan infrastruktur pertanian (pembukaan lahan, fasilitas irigasi) dan R&D, dan secara bertahap mulai mengurangi anggaran subsidi pupuk yang terbukti kurang efektif untuk melindungi kesejahteraan petani.

Perlu dikaji ulang kebijakan impor pangan yang tidak berdasarkan pembatasan dan penjatahan, karena rawan untuk dipolitisasi dan menjadi sumber korupsi dan rente ekonomi. Kebijakan penerapan bea masuk impor dapat menjadi alternatif, mengingat Indonesia masih dapat menerapkan bea masuk yang cukup tinggi.

Mempertimbangkan dengan serius impor pangan sebagai alternatif instrumen stabilisasi harga pangan. Indonesia tidak boleh bergantung terhadap impor, tetapi juga tidak perlu tertutup sama sekali. Saat ini peran impor pangan sangat krusial dalam mencapai ketahanan pangan di Indonesia, terutama dengan kondisi pasokan domestik yang belum memadai dalam kuantitas maupun kualitas.

Melakukan perbaikan pada desain dan implementasi kebijakan intervensi melalui Operasi Pasar, dengan berdasarkan data yang akurat, agar lebih efektif dalam stabilisasi harga pangan di pasar ritel.

Dalam UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan

bahwa penyelenggaraan pangan oleh pemerintah

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,

berdasarkan prinsip kedaulatan pangan, kemandirian

pangan, dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak

hanya berbicara mengenai ketersediaan pangan, tetapi

juga mengenai keterjangkauan harga pangan serta kualitas

dan keamanan pangan. Pemerintah berusaha untuk

menyeimbangkan kepentingan konsumen dan produsen

dalam setiap kebijakan pangan. Di saat yang sama,

pemerintah juga telah berusaha untuk meningkatkan

partisipasi produsen domestik dalam penyediaan pangan,

bahkan menargetkan swasembada untuk beberapa produk

pangan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai.

Namun demikian, sejumlah indikator menunjukkan

buruknya kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Dalam

Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), misalnya, pada

tahun 2015 Indonesia berada di urutan 74, jauh di bawah

Malaysia (32), Thailand (52), Vietnam (65), dan Filipina

(72). Lebih jauh, kinerja Indonesia tergolong buruk pada

ketiga dimensi ketahanan pangan: ketersediaan (72),

keterjangkauan (74), serta kualitas dan keamanan (88).

Meskipun memiliki pendapatan per kapita yang cukup

tinggi, kondisi ketahanan pangan Indonesia lebih buruk

dibanding sejumlah negara lain dengan pendapatan per

kapita yang lebih rendah.

Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia

Strategi Menuju Ketahanan Pangan Indonesia

Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI), 2015

Sumber: The Economist, 2015.

Untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih baik, diperlukan

sejumlah faktor pendukung (enablers), antara lain infrastruktur

logistik yang efisien, kerangka regulasi serta kebijakan

perdagangan dan investasi yang mendukung, serta ketersediaan

data pertanian yang akurat untuk mendukung pengambilan

kebijakan pangan yang tepat. Keberadaan faktor pendukung

tersebut perlu dilengkapi dengan paradigma dan implementasi

kebijakan pangan yang tepat, terutama dalam dua dimensi

berikut: sisi penawaran dan sisi intervensi. Berikut adalah

sejumlah permasalahan kunci serta rekomendasi pada kedua

dimensi tersebut.

Sisi Penawaran

Tantangan utama pada sisi penawaran adalah untuk

meningkatkan kapasitas produksi pangan dalam negeri,

terutama dalam kondisi di mana laju pertumbuhan produksi

pangan nasional belum mampu mengejar laju pertumbuhan

permintaan pangan nasional, yang mengakibatkan seringnya

terjadi kelangkaan (dan akibatnya tingginya harga) pada

beberapa komoditas pangan kunci.

Saat ini terdapat setidaknya empat kendala kunci dalam

peningkatan kapasitas produksi pangan domestik. Pertama,

kurangnya ketersediaan lahan untuk bercocok tanam.

Penurunan secara konsisten pada luas lahan pertanian, yang

dikarenakan oleh peralihan fungsi lahan, telah menyebabkan

penurunan signifikan pada kapasitas produksi pangan domestik

(Erwidodo, 2014). Kedua, kapasitas produksi domestik juga

menurun karena intensitas panen dan tanam yang stagnan

dan bahkan cenderung berkurang, dikarenakan oleh kurang

memadainya fasilitas irigasi.

Ketiga, produktivitas lahan domestik tidak bertumbuh dengan

signifikan karena kurangnya alokasi anggaran untuk

penelitian & pengembangan (R&D), yang sangat krusial

untuk perbaikan teknologi pertanian serta meningkatkan

jumlah dan kualitas panen. Keempat, anggaran pemerintah di

sektor pertanian terlalu banyak diserap oleh subsidi pupuk

(mencapai Rp 39,48 triliun pada 2015) yang sebenarnya

kurang efektif dalam mendukung dan melindungi petani, dan

bahkan cenderung distortif. Pembangunan infrastruktur

pertanian baru (lahan padi, bendungan, fasilitas irigasi) serta

perbaikan infrastruktur yang telah ada, serta tambahan

anggaran untuk R&D dan penggunaan asuransi tanaman

pangan (crop insurance) akan lebih efektif bagi kesejahteraan

petani dan ketersediaan pasokan pangan yang memadai,

ketimbang subsidi pupuk (Erwidodo, 2016).

Dalam intervensi pangan domestik, instrumen Operasi Pasar

(OP) terbukti kurang efektif dalam stabilisasi harga pangan,

terutama beras. Akibatnya, harga beras Indonesia jauh lebih

tinggi dari harga beras dunia. Pada Februari 2016, tercatat harga

beras kualitas medium di Indonesia 78% lebih tinggi dari

Vietnam.

Kurang efektifnya instrumen OP untuk stabilisasi harga

disebabkan oleh beberapa hal berikut. Pertama, pelaksanaan OP

yang seringkali tidak mengikuti prosedur yang telah diatur oleh

Permendag No 4 Tahun 2012. Kedua, jumlah dan/atau kualitas

yang tidak tepat dalam penyaluran OP. BULOG seringkali tidak

memiliki ketersediaan pasokan dalam kuantitas dan kualitas yang

memadai. Akibatnya, persediaan yang menipis di BULOG

memicu tindakan spekulatif dari pedagang grosir, yang

kemudian meningkatkan harga ritel (Erwidodo, 2016). Ketiga,

OP tidak ditargetkan dengan baik, sehingga sering terjadi

penyalahgunaan oleh pedagang di tingkat daerah. Keempat, OP

sering tertunda karena persoalan ketersediaan pasokan dan

inefisiensi dalam proses distribusi, terutama karena kondisi

infrastruktur dan logistik dalam negeri (Bank Dunia, 2016).

Dalam intervensi pangan yang melibatkan perdagangan

internasional, saat ini terdapat paradigma di mana impor pangan

dianggap tidak baik bagi kepentingan nasional. Bahkan ada

persepsi umum, di mana keberhasilan kebijakan pangan

domestik diukur dengan tidak dibukanya keran impor.

Keinginan untuk tidak mengimpor pangan seringkali sangat

besar hingga mengorbankan ketahanan pangan Indonesia, di

mana terjadi kelangkaan dan kenaikan harga pangan di dalam

negeri, sehingga akhirnya merugikan masyarakat secara luas.

Selain itu, impor juga masih sangat diperlukan untuk mencukupi

kebutuhan industri makanan dalam negeri akan produk pangan

(seperti jagung, gula dan garam industri) dengan kualitas tinggi

yang belum bisa disediakan oleh produsen domestik. Industri

makanan olahan di Indonesia merupakan suatu industri yang

mempunyai potensi dan menyerap banyak tenaga kerja.

Ketersediaan pasokan bahan baku menjadi bagian penting dalam

meningkatkan kinerja industry tersebut.

Pembatasan impor pangan dengan ketat sering dijalankan

dengan alasan dapat meningkatkan insentif bagi petani dalam

memproduksi pangan domestik. Kenyataannya, disparitas harga

eceran dan harga produsen semakin membesar, sehingga

kenaikan harga hanya dinikmati oleh para pedagang dan

perantara. Akibatnya kebijakan yang restriktif tersebut tidak

efektif dalam mendorong pasokan pangan domestik. Kebijakan

perdagangan terkait pangan, yang umumnya berbentuk

monopoli impor dan pembatasan, juga terbukti tidak responsif

terhadap keadaan, tidak efektif dalam menstabilkan harga, dan

bahkan cenderung rawan terjadi rente ekonomi. Selain itu, tidak

ditetapkannya pemicu yang jelas dan berbasis data, mengenai

kapan dan berapa banyak impor perlu dilakukan mengakibatkan

kebijakan impor rawan dipolitisasi.

Sisi Intervensi

Sementara itu, pada sisi intervensi, pemerintah dapat

melakukan dua jenis intervensi untuk menstabilisasi harga

pangan di pasaran, yaitu melalui kebijakan Operasi Pasar dan

kebijakan impor pangan. Dalam hal ini, ada beberapa

paradigma yang perlu dikaji kembali.

Publikasi Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia ini merupakan hasil dari Aktivitas KEBIJAKAN EKONOMI DI INDONESIA yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) dengan melibatkan sejumlah peneliti yang kompeten dalam berbagai bidang kebijakan ekonomi