status epileptikus komplit
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
Status Epileptikus
Kejang umum yang berulang pada sebuah frekuensi yang mencegah kembalinya kesadaran
pada selang waktu antara kejang (grand mal status) merupakan masalah terapeutik paling
serius (secara keseluruhan pada mortalitas 20 sampai 30 persen, menurut Towne dan
coleagues, tapi mungkin lebih rendah pada tahun baru-baru ini). Kebanyakan pasien epilepsi
yang meninggal karena kejang yang tak terkontrol dari tipe ini. Terkomplikasi oleh efek dari
penyakit utama atau cedera terus menerus karena serangan kejang. Meningkatnya temperatur,
asidosis, tekanan darah rendah, dan gagal ginjal dari myoglobinuria adalah sebuah urutan dari
kejadian mengancam jiwa yang mungkin ditemui pada kasus status epileptikus. Kejang yang
berkepanjangan (leboh dari 30 menit) juga membawa resiko serius pada gejala sisa
neurologis (epileptic enchepalopathy). MRI selama dan setelah 2 hari pada status epileptikus
sering menunjukan abnormalitas signal pada bagian facal atau pada hippocampi, kebanyakan
dari mereka bisa pulih kembali, tapi kami menemukan beberapa pasien yang terbangun dan
didapati amnesia permanen. Perubahan MRI kebanyakan jelas pada urutan FLAIR. Dengan
komplikasi akut medis dari waktu ke waktu, kasus edema neurogenik pulmonary ditemui
selama atau setelah kejang, dan beberapa pasien menjadi hipertensi ekstrim, dan menjadi sulit
dibedakan dengan hipertensi enchepalophaty.
Pengobatan (tabel 16-9) banyak resimen yang diusulkan pada pengobatan membuktikan
bahwa tidak ada satupun dari mereka sama sekali puas dan tidak ada yang jelas lebih unggul
(pengobatan dll). Penulis yang paling banyak berhasil dalam mengikuti program: ketika
pasien pertama terlihat, sebuah penilaian awal dari fungsi cardiorespiratory telah dilakukan
dan ditetapkan jalan nafas oral. Melalui jalur intravena, darah diambil untuk pemeriksaan
glukosa, blood urea nitrogen (BUN), elektrolit, dan gambaran metabolisme dan obat. Infus
NS dimulai dan diberikan glukosa melalui bolus (dengan thiamine jika ada faktor malnutrisi
dan alkoholisme). Untuk menekan kejang dengan cepar, diazepam diberikan secara intravena
dengan laju 2mg/menit hingga kejang berhenti atau sampai total 20mg yang diberikan. Atau
Lorazepam 0,1 mg/kg diberikan intravena hingga tidak melebihi 2mg/menit, mungkin
diberikan, lebih efektif diberikan lebih sedikit dari diazepam, karena lorazepam memiliki
masa kerja lebih lama dalam CNS (lihat tabel 16.2 dan 16.9).
Setelah itu segera, diberikan dosis phenytoin (15-18mg/kg) melalui vena dengan laju tidak
lebih dari 20 mg/menit. Lebih cepat diberikan pada resiko hipotensi dan blok jantung. Untuk
itu dianjurkan pemantauan tekanan darah dan EKG selama infus diberikan. Phenytoin harus
diberikan melalui jalur sendiri bersama NS (itu mengendap pada cairan lain) dan tidak boleh
diinjeksikan intramuskular. Sebuah penelitian besar oleh Treiman dan colleagues telah
menunjukan keunggulan menggunakan lorazepam daripada sebagai obat utama untuk
mengontrol status. Tapi ini tidak mengejutkan mengingat efek kerja yang lama dari
phenytoin. Alldredge dan Colleagues telah menunjukan bahwa diazepine bisa diberikan oleh
paramedis dengan efek yang baik pada status epileptikus, menghentikan kejang pada kurang
lebih setengah dari pasien ini. Tetap saja antikonvulsan yang bekerja lama seperti phenytoin
diberikan dengan segera setelah diazepam bisa mengontrol awal kejang. Sebuah alternatif
berupa obat fosphenytoin larut air, yang mana diberikan pada dosis yang sama dengan
phenytoin tapi bisa diinjeksikan pada dua kali laju maksimum. Tambahan pula, itu bisa
diberikan intramuskular pada kasus yang mana sulit menemukan pembuluh venanya. Akan
tetapi, tertundanya konversi fosphenytoin di hati menjadi aktif phenytoin membuat efek klinis
tak terlihat yang kira-kira sama pada kedua obat.
Pada seorang pasien epilepsi dikenal menggunakan antikonvulsan sejak lama tapi pada yang
mana level serum obatnya tidak diketahui, mungkin yang terbaik jika mengatur sepenuhnya
dosis phenytoin atau fosphenytoin yang diusulkan. Jika itu bisa membuat serum phenytoin
10mg/ml, dosis rendah diberikan perlahan sebaiknya. Jika kejang berlanjut tambahkan
5mg/kg. Jika hal ini gagal dalam menekan kejang, dan keadaan menetap selama 20-30 menit,
harus dipasang selang endotrakeal dan berikan O2.
Beberapa pendekatan telah disarankan untuk mengontrol keadaan yang menetap setelah
usaha itu dilakukan. Hal yang lazim dan satu-satunya yang dapat diandalkan adalah infuse
thiopental, dimulai dengan 5mg/kg atau phenobarbital dengan laju 100mg/menithingga
kejang berhenti atau dosis total 20mg/kg tercapai. Menurut pengalaman kita, selama masa
stupor harus diantisipasi setelah kejang berhasil dikontrol. Tapi beberapa epileptologis masih
memilih ini sebagai penatalaksanaan awal. Hipotensi sering membatasi penggunaan
barbiturat, tapi Parviainen dan colleagues memungkinkan untuk mengatur masalah ini dengan
cairan infus, dopamin, dan neosynephrine (kami cenderung tergantung pada neosynephrine).
Secara alternatif, pada tahap ini kita telah memilih jalan melalui pendekatan kumar dan
Bleck, dengan memberikan dosis tinggi midazolam (0,2 mg/kg dosis perlahan diikuti dengan
onfus 0,1 sampai0,4 mg/kg/jam ditentukan secara klinis dan memantau EEG). Jika kejang
berlanjut, dosis bisa dinaikan sesuai tekanan darah. Kami mempunyai kesempatan untuk
menggunakan lebih dari 20mg/jam karena sebuah berkurangnya efek dari hari ke hari.
Penatalaksaan dengan midazolam dan phenytoin mungkin dipertahankan untuk beberapa hari
tanpa efek penyakit utama pada kesehatan pasien sebelumnya. Profol diberikan melalui bolus
2mg/kg dan kemudian drip intravena 2 sampai 8 mg/kg/jam midazolam merupakan pilihan
efektif, tapi setelah 24 jam obat menunjukan reaksi seperti barbiturat dosis tinggi ada
kemungkinan sulit menjadi hipotensi.
Jika tak satupun dari langkah ini berhasil mengontrol kejang, semua pengobatan kecuali
phenytoin harus dihentikan dan pendekatan yang lebih agresif diambil untuk mengurangi
semua aktifitas listrik otak menggunakan anastesi umum. Pengobatan yang dipilih untuk
tujuan ini yaitu pentobarbital dan propofol yang mana meskipun riwayatnya buruk sebagai
antikonvulsan primer, tapi lebih mudah diatur daripada anastesi inhalasi. Dosis intravena
awal dari 5mg/kg pentobarbital atau 2mg/kg propofol diberikan secara lambat untuk
menginduksi pola ledakan-tekanan EEG, yang mana dipertahankan pelaksanaan 0,5 sampai
2mg/kg/jam pentobarbital atau hingga 10mg/kg/jam propofol. Setiap 12 sampai 24 jam laju
infus diperlambat hingga kejang berhenti. Pengalaman Lowenstein dan Colleagues, seperti
yang kami miliki, bahwa banyak contoh dari status epileptikus yang tidak bisa dikontrol
dengan antikonvulsan dasar dan midazolam hingga dosis tinggi barniturat atau propofol, tapi
infus ini menyebabkan hipotensi dan tidak bisa diberikan pada waktu yang lama.
Ketika kejang berlanjut, secara klinis atau elekreograf, eskipun semua pengobatan, satu-
satunya alasan pada asumsi ini bahwak kejang sangat kuat sehingga tidak bisa diperiksa
dengan kuantitas antikonvulsan yang seharusnya. Beberapa pasien pada keadaan sulit ini
berhas selamat dan sadar bahkan dengan kerusakan saraf yang sangat sedikir. Isoflurance
(florane) telah digunakan pada keadaan ini dengan efek yang baik. Seperti yang telah kami
laporkan (Ropper dkk) tapi pemberian berkelanjutan dari sejenis agen inhalasi tidak berguna
pada beberapa unit perawatan kritis. Halothane tidak efektif sebagai antikonvulsan, tetapi
meskipun tidak berguna, pernah dulunya efektif pada beberapa kasus. Pada akhirnya pasien
dengan status sangat keras, hanya bergantung pada phenytoin 0,5g dan phenobarbital 0,4
g/hari ( dosis lebih kecil pada balita dan anak2 seperti yang ditunjukan tabel 16.9) dan pada
ukuran yang dijaga fungsi vital pasien. Valproate tersedia sebagai persiapan intravena
membuatnya pantas diberikan pada keadaan ini, tetapi peran pentingnya pada keadaan ini
tidak dipelajari secara luas.
Sebuah kata harus ditambahkan mengingat paralisis neuromuskular dan pemantauan EEG
yang terus menerus pada status epieptikus. Dengan kegagalan serangan antikonvulsan dan
penatalaksaan anastesi ada kemungkinan mengarah ke paralisis semua aktifitas otot, sebuah
efek dengan mudah dicapai dengan obat seperti pancuronium ketika mengabaikan penyebab
kejang. Penggunaan seperti obat pemblok neuromuskular tanpa menyesuaikan usaha aktifitas
penekan kejang tidak disarankan. Jika pengukuran seperti itu tidak dilakukan, penting untuk
melakukan pemantauan EEG secara sering atau terus menerus. Hal ini juga membantu pada
stadium awal status epileptikus dan menjadi pedoman dalam mententukan dosis
antikonvulsan dalam menekan kejang.
Hal yang berhubungan dengan ini tapi kondisi yang tidak serius dari kejang berulang akut
yang mana pasien dalam keadaan sadar, sebuah gel diazepam diserap dengan baik diberikan
melalui rektum, berguna pada institusi dan rumah pelayanan pasien epilepsi, meskipun
sedikit mahal. Efek yang sama juga didapat dari pemberian melalui nasal atau buccal
(tranmucosal) pemberian midazolam, yang mana diserap pada daerah ini (5mg/mL, 0,2mg/kg
secara nasal; 2mL hingga 10mg secara buccal). Pendekatan ini telah digunakan terutama pada
anak-anak dengan kejang berkali-kali yang tinggal dilingkungan yang diawasi, dimana ada
seorang perawat atau orangtua memberikan pengobatan.
Status petit mal harus diatur dengan lorazepam secara intravena, asam valproic, atau
keduanya diikuti ethosuximide. Status nonkonvulsif diobati sepanjang grand mal status,
biasanya dengan menghentikan pemberian agen anastesi pendek.
Pendekatan pengobatan status epileptikus pada orang dewasa
Penilaian penting
Pastikan jalannya udara adekuat, pasang oksigen, intubasi tekanan darah jika diperlukan,
berdasarkan saturasi oksigen yang rendah dan pernapasan yang tidak wajar.
Pasang jalur intravena
Berikan glukosa dan thiamine sesuai keadaan
Tampilkan gambaran toxic
Nilai dengan cepat cidera kranial dan servikal jika serangan kejang terjadi
Penekanan segera pada konvulsi
Lorazepam atau Diazepam 2 sampai 4mg/menit IV hingga total dosis 10-15 mg dengan
pemantauan tekanan darah laju dinaikan atau dosis sedang diberikan.
Permulaan atau memulai kembali dengan antikonvulsan
Phenytoin 15-18mg/kg IV pada 25-50 mg/menit dalam NS atau fosphenytoin pada 75
mg/menit
Dosis anastesi umum pada pengobatan status epileptikus
Midazolam 0.2 mg/kg dosis perlahan diikuti infus pada 0 1 hingga 0,4, mg/kg/jam atau profol
2mg/kg/jam
Penatalaksanaan lanjut jika konvulsi atau kejang elektrografik menetap setelah
beberapa jam
Jika mungkin tambahkan valproate atau phenobarbital 10mg/menit hingga total dosis 20
mg/kg sebagai antikonvulsan tambahan secara intravena atau carbamazepine atau
levetiracetam dengan selang nasogastric jika ada aktifitas lambung dan bowel.
Mempertimbangkan paralisis neuromuskular dengan memantau EEG jika konvulsi menetap.
Pentobarnital 10mg/kg/jam
Anastesi melalui inhalasi (isoflurane)
Tabel 16.9