status epileptikus
DESCRIPTION
terjemah Nelson textbook tentang status epileptikus. bisa menjadi sumber kepustakaan bagi penulisan makalah kedokteranTRANSCRIPT
Status epileptikus adalah kedaruratan medis yang harus diantisipasi pada setiap pasien yang
mengalami bangkitan kejang akut. Ia didefinisikan sebagai aktivitas kejang yang terus
menerus atau aktivitas kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran yang berlangsung selama
lebih dari 5 menit sebagai definisi operasional yang diberlakukan selama beberapa tahun
terakhir. Dahulu, parameter durasi kejang (cut-off point) ialah 30 menit, namun standar ini
telah dikurangi untuk menekan risiko-risiko yang berhubungan dengan durasi yang lebih
lama. ILAE mendefinisikan status epileptikus yaitu “sebuah bangkitan yang menunjukkan
tidak adanya tanda klinis pemulihan setelah satu durasi yang meliputi mayoritas besar tipe
bangkitan pada kebanyakan pasien atau bangkitan berulang tanpa kembalinya fungsi dasar
SSP diantara periode kejang.” Tindakan penatalaksanaan status epileptikus harus dimulai
pada tiap pasien dengan bangkitan akut yang tidak berhenti dalam hitungan beberapa menit.
Tipe yang paling umum adalah status epileptikus konvulsif (tonik generalisata, klonik, tonik-
klonik), akan tetapi tipe lainnya juga terjadi, termasuk status nonkonvulsif (parsial kompleks,
absens), status mioklonik, epilepsia partialis continua, dan status epileptikus neonatal.
Insidensi status epileptikus berkisar antara 10-60 per 100.000 populasi dari berbagai studi.
Status epileptikus paling lazim terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun, dengan insidensi
pada kelompok usia ini lebih dari 100 per 100.000 anak.
Kira-kira 30% pasien yang mengidap status epileptikus mengalami bangkitan kejang
pertama mereka dan 40% dari ini berkembang menjadi epilepsi di kemudian hari. Status
epileptikus febrile adalah tipe yang paling lazim pada anak-anak. Pada tahun 1950 dan
1960an, tingkat mortalitas dari 16-18% dilaporkan setelah status epileptikus; dewasa ini,
dengan penetapan status epileptikus sebagai suatu kegawatdaruratan medis, tingkat mortalitas
yang lebih rendah sebesar 4-5% telah teramati, kebanyakan dari itu adalah sebab sekunder
terhadap etiologi yang mendasari daripada bangkitan kejangnya. Sttus epileptikus
mempengaruhi sekitar 14% risiko deifisit neurologis yang baru, kebanyakan darinya (12,5%)
merupakan keadaan tambahan disamping keadaan patologis yang mendasari.
Status epileptikus nonkonvulsif bermanifestasi sebagai suatu keadaan konfusi, demensia,
hiperaktivitas dengan masalah perilaku, fluktuasi gangguan kesadaran dengan rasa linglung
sperti sedang duduk atau berjalan, fluktuasi status mental, halusinasi, paranoia, katatonia
agresif, dan gejala psikotik. Status epileptikus harus dipertimbangkan pada yang mana saja
dari situasi-situasi tersebut, terutama pada keadaan tidak ada respon dan anak ensefalopatik.
Epilepsia partialis continua telah dipaparkan sebelumnya dan dapat disebabkan oleh tumor,
penyebab vaskular, penyakit mitokondrial (miopati mitokondrial, ensefalopati, asidosi laktat,
dan serangan seperti-stroke [MELAS]) dan, ensefalitis Rasmussen.
Status epileptikus refrakter adalah status epileptikus yang telah gagal merespon terhadap
terapi, biasanya dengan sekurang-kurangnya 2 (misalnya benzodiazepin dan obat lainnya).
Saat ini, kecenderungan tidak menyebutkan durasi minimum, semetara dahulu durasi
minimumnya ialah 30 menit, 60 menit, atau bahkan 2 jam pernah dikutip. Onset baru (new-
onset) Status epileptikus refrakter telah diidentifikasi sebagai entitas yang berbeda yang dapat
disebabkan hampir apa aja penyebab dari status epileptikus pada pasien tanpa epilepsi
sebelumnya. Ia juga sering terjadi karena penyebab yang tidak diketahui, diduga oleh karen
ensefalitis atau potensefalitis, dapat bertahan selama beberapa minggu atau lebih lama lagi,
dan sering namun tidak selalu memiliki progonsis yang buruk. Ensefalopati epileptik
berbahaya pada anak usia sekolah, juga dikenal Ensefalopati Epileptik Refraktori terinduksi-
demam pada anak usia sekolah (Febrile Induced Refractory Epilepticus Status-FIRES) adalah
sindrom dari status epileptikus refrakter yang berhubungan dengan infeksi demam akut,
muncul sebagai parainfeksi pada dasarnya, sangat tinggi resistensi obat tapi responsif
terhadap diet ketogenik.
ETIOLOGI
Etiologi mencakup epilepsi new-onset dari segala tipe; intoksikasi obat (misalnya
antidepresan trisiklik) pada anak-anak dan penyalahgunaan alkohol dan obat pada remaja;
penghentian atau overdosis pada pasien dengan AEDs (Antiepileptic Drugs); hipoglikemia;
hipokalsemia; hiponatremia; hipomagnesemia; trauma kepala akut; ensefalitis; meningitis;
ensefalitis autoimun (seperti sindroma reseptor anti-NMDA dan antibodi kompleks anti-
voltage-gated potassium channel [anti gerbang voltase saluran kalium]); iskemik arteri/vena
stroke; perdarahan intrakranial; ketergantungan pyridovxal phosphate dan pyridoxine dan
asam folat (ini biasanya terdapat pada infant tapi onset masa kanak-kanak mungkin terjadi);
kegagalan metabolisme bawaan seperti hiperglikenemia non-ketotik pada neonatus dan
ensefalopati mitokondrial dengan asidosis laktat (MELAS) pada infant, anak-anak, dan
remaja; epilepsi terkait-saluran ion (mutasi saluran Na-K); cedera hipoksik-iskemik (setelah
henti jantung); kondisi sistemik (seperti ensefalopati hipertensif, ensefalopati posterior
reversibel, ensefalopati renal atau hepatik); tumor otak; dan kelainan yang lain yang dapat
menyebabkan epilepsi (malformasi otak, gangguan neurodegeneratif, tipe berbeda dari
epilepsi mioklonik progresif; penyakit storage/penyimpanan).
Kondisi yang langka disebut sindroma epilepsi hemikonvulsi-hemiplegia terdiri dari status
epileptikus febris yang memanjang agaknya disebabkan oleh ensefalitis akut fokal dengan
hasil atrofi pada hemisfer yang terlibat, hemiplegia kontralateral, dan epilepsi kronis. Hal ini
harus dikenali secara dini sebagai usaha mengontrol bangkitan sesegara mungkin. Ini dan
satu kondisi yang agaknya mirip seperti telah disebutkan di atas (FIRES) sangat mungkin
memiliki etiologi parainfeksius autoimun. Ensefalitis Rasmussen sering menyebabkan
Epilepsy partialis continua dan kadang status epileptikus konvulsif. Beberapa tipe infeksi
lebih mungkin menyebabkan ensefalitis dengan status epileptikus, seperti herpes simpleks
(parsial kompleks dan status konvulsif). Bartonella (status nonkonvulsif secara khusus), virus
Eipstein-Barr , dan Mikoplasma (ensefalomyelitis postinfeksi dengan tipe status epileptikus
manapun). Ensefalitis postinfeksi dan ensefalomielitis disseminata akut adalah penyebab
umum status epileptikus termasuk status epileptikus refrakter. HHV6 dapat menyebabkan
sindrom epilepsi yang lain dengan status epileptikus limbik pada pasien imunosupresif.
MEKANISME
Mekanisme yang mengarahkan pada pembentukan aktivitas bangkitan berkelanjutan terlihat
pada status epileptikus nampaknya melibatkan (1) kegagalan desensitisasi reseptor glutamat
AMPA , sehingga eksitabilitas meningkat persisten, dan (2) pengurangan inhibisi GABA-
termediasi sebagai hasil internalisasi intraselular dari reseptor GABAA . Hal ini menjelaskan
observasi klinis bahwa status epileptikus agaknya seringkali da[at pulih pada periode spesifik
berikutnya semakin lama bangkitan bertahan dan ini mengapa benzodiazepin tampak kurang
efektif makin lama aktivitas bangkitan menetap. Selama status epileptikus terdapat
peningkatan tingkat metabolisme serebral dan peningkatan kompensatorik CBF yang mana
setelah kira-kira 30 menit tidak mampu menanggulangi dengan peningkatan tingkat
metabolisme serebral. Hal ini menjurus pada perubahan dari kondisi adekuat menjadi tekanan
oksigen yang tidak adekuat dan bersamaan dengan faktor lain berkontribusi pada cedera
neuronal akibat dari status epileptikus. Status epileptikus dapat menyebabkan baik nekrosis
neuronal dan apoptosis. Mekanisme apoptosis diperkirakan berkaitan dengan peningkatan
kalsium intraselular dan faktor proapoptotik seperti seramid, Bax, dan faktor terlibat-
apoptosis. Sebagai tambahan, inflamasi melalui sitokin (seperti interleukin-1B) dilepaskan
selama aktivitas bangkitan dapat memodifikasi eksitabilitas neuronal dengan memodifikasi
fungsi neurotransmitter dalam sejumlan cara, seperti melalui fosforilasi dari subunit NR2B
membawa reseptor NMDA menjadi lebih permeabel terhadap influks kalsium, peningkatan
ekspresi dari reseptor AMPA highly calcium-permeable, dan induksi endositosis reseptor
GABAA. Prostaglandin (PGE2) dapat meningkatkan pelepasan glutamat dan mengurangi arus
natrium menuju pada peningkatan eksitabilitas.
TERAPI
Status epileptikus adalah kedaruratan medis yang membutuhkan perhatian awal dan
berkelanjutan untuk mengamankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (dengan monitoring
terus menerus terhadap vital sign termasuk EKG) dan penetapan dan manajemen etiologi
yang mendasari (misalnya hipoglikemia). Studi laboratorik termasuk glukosa, natrium,
kalsium, magnesium, hitung darah lengkap, metabolik dasar, CT scan, EEG berkelanjutan,
dibutuhkan semua pasien. Kultur darah dan cairan spinal, skrining toksik, dan tes kelainan
metabolisme bawaan seringkali dibutuhkan. Level AEDs dibutuhkan untuk menentukan
semua pasien yang telah diketahui mengkonsumsi obat ini. Punksi lumbal, skrining
toksikoloogi komprehensif, MRI dan pemeriksaan laboratorium lainnya dilakukan tergantung
pada kecurigaan klinis dan kebutuhan. EEG membantu dalam mengeksklusi pseudo-status
epileptikus (reaksi konversi psikologik menyerupai status epileptikus) atau gangguan
pergerakan yang lain (khorea, tiks), rigor, klonus dengan stimulasi, dan postur
deserebrasi/dekortikasi. EEG juga dapat membantu dalam mengidentifikasi status epileptikus
(generalisata vs fokal) yang mana dapat membimbing pada pemeriksaan lanjutan untuk
mengetahui etiologi yang mendasari dan terapi lebih lanjut. EEG juga membantu
membedakan antara depresi postiktal dan tahap kemudian dari status epileptikus dimana
manifestasi klinisnya tidak begitu mencolok (sentakan mioklonik minimal) atau absent
(disosiasi elektroklinikal), dan dapat membantu memonitor terapi, khususnya pada pasien
yang lumpuh dan diintubasi. Neuroimaging harus dipertimbangkan setelah keadaan anak
stabil, terutama jika diindikasikan dengan adanya manifestasi klinis, dengan suatu
abnormalitas EEG asimetris atau fokal, atau dengan kurangnya informasi tentang etiologi
yang mendasari. Manifestasi EEG dari status epileptikus menunjukkan beberapa tahap yang
terdiri dari bangkitan elektrografik inisial yang jelas (tahap I) diikuti oleh bangkitan
elektrografik yang menyusut (waning) dan bertambah besar (waxing) (tahap II), bangkitan
elektrografik kontinyu (tahap III; kebanyaan pasien mulai langsung pada tahap ini), pelepasan
lonjakan (ictal) kontinyu yang diselingi periode datar (tahap IV), dan periode pembebasan
epileptiform dengan manifestasi klinis yang samar dan dengan kemungkinan rendah respon
terhadap medikasi.
Terapi inisial emergensi biasanya mencakup diazepam intravena, lorazepam, atau midazolam.
Diazepam setidaknya sama efektif dengan lorazepam intravena namun memiliki efek
samping yang lebih sedikit. Penggunaan midazolam autoinjector sebagai terapi inisial untuk
bangkitan akut ditemukan setidaknya sama bermanfaat dan aman dengan pemakaian
lorazepam intravena dan menghasilkan respon lebih awal. Apabila akses intravena tidak
tersedia , midazolam buccal atau intranasal, lorazepam intranasal, atau diazepam rektal
merupakan pilihan yang efektif. Midazolam IM sama efektif dengan lorazepam IV. Dengan
semua pilihan tersebut, depresi pernafasan merupakan efek samping potensial bagi pasien
sebaiknya dimonitor dan dikelola sebagaimana kebutuhan. Pada beberapa infant/bayi, uji
terhadap piridoksin mungkin terjamin. Bukti paling kuat atas terapi inisial dan emergensi
adalah untuk diazepam atau lorazepam, diikuti oleh fenitoin/fosfenitoin dan fenobarbital,
kemudian valproat dan levetiracetam.
Setelah terapi emergensi biasanya dengan benzodiazepin, medikasi terapi mendesak
berikutnya adalah biasanya fosfenitoin dan loading dose biasanya 15-20 (Phenitoin
Equivalent) PE/kg. Satu tahap biasanya dilanjutkan 2 jam kemudian untuk memastikan
pencapaian konsentrasi terapeutik. Tergantung level konsentrasi obat, dosis pemeliharaan
dapat dimulai segera atau lebih lazim dalam jangka 6 jam. Dengan fenobarbital dan fenitoin
maing-masing 1 mg/kg meningkatkan konsentrasi serum sekitar 1 μg/mL; untuk valproat
masing-masing 1 mg/kg meningkatkan konsentrasi serum sekitar 4 μg/mL. Tindakan
pencegahan terhadap tingkat laju infusi fosfenitoin dan fenitoin (tidak >0,5-1,0 mg/kg/menit)
dan medikasi lain perlu difollow-up karena efek samping sering tergantung pada laju infusi.
Medikasi lanjutan biasanya fenobarbital. Dosis pada neonatus biasanya 20 mg/kg loading
dose, namun pada bayi dan anak dosisnya yaitu 5-10 mg/kg (utuk mencegah depresi
pernafasan), dengan dosis ulangan apabila tidak dijumpai respon yang memadai. Bukti terkini
untuk terapi urgensi/mendesak yang paling kuat adalah valproat, diikuti oleh
fenitoin/fosfenitoin, dan midazolam infus kontinyu, kemudian fenobarbital dan leviracetam
yang terakhir dimana penggunaannya meningkat belakangan ini.
Setelah medikasi kedua atau ketiga diberikan, dan terkadang sebelum itu, pasien mungkin
membutuhkan prosedur intubasi. Semua pasien dengan status epileptikus, walaupun
seseorang yang merespon, perlu dimasukkan ke ICU untuk kelenkapan terapi dan monitoring.
Idealnya, terapi emergesi dan urgensi (mendesak) harus telah diterima dalam waktu kurang
dari 30 menit sehingga dapat dimulai terapi lanjutan segera, yang demikian ini mengurangi
kemungkinan terjadinya sekuele. Untuk tatalaksana status epileptikus refrakter, bolus IV
diikuti oleh infus kontinyu midazolam, propofol, fenobarbital, atau tiopental dapat dipakai.
Ini telah diselesaikan dalam perawatan ICU. Bolus lanjutan dan penyesuaian laju infusi
biasanya dibuat berdasarkan klinis dan respon EEG. Karena kebanyakan dari pasien ini perlu
diintubasi dan dilumpuhkan, EEG menjadi metode pilihan untuk mendukung mereka.
Targetnya adalah untuk menghentikan aktivitas elektrografik bangkitan sebelum mengurangi
terapi. Biasanya hal ini diimplikasikan dengan capaian pendataran (flattening) komplit dari
EEG. Beberapa menganggap bila tercapai supresi dari pola lonjakan sudah mencukupi, dan
periode untuk flattening dalam kasus butuh 8-20 detik untuk memastikan interupsi aktivitas
elektrografik bangkitan. Meski demikian, area ini masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Dewasa ini, tahap bukti bagi tatalaksana status epileptikus refrakter yang paling kuat adalah
valproat dan midazolam, diikuti propofol dan pentobarbital/tiopental, kemudian
levetiracetam, fenitoin/fosfenitoin, lacosamide, topiramat, dan fenobarbital.
Pasien dengan terapi-terapi ini menghendaki perhatian seksama terhada tekanan darah, dan
komplikasi sistemik, dan beberapa kegagalan multiorgan yang mungkin terjadi. Ini tidak
biasa bagi pasien untuk dilakukan koma fenobarbital supaya harus pada kondisi tekanan
multipel demi mempertahankan tekanan darah selama terapi.
Pilihan diantara opsi-opsi di atas guna mengobati status epileptikus refrakter seringkali
tergantung pada pengalaman tiap-tiap sentra spesifik. Midazolam mungkin memiliki efek
samping yang lebih minimal namun kurang efektif , dan koma barbiturat lebih efektif namun
membawa risiko yang lebih besar atas efek samping. Terhadap propofol, beberapa pasien
mengalami sindroma infusi propofol dengan asidosis laktat., instabilitas hemodinamik, dan
rhabdomyolysis, dengan laju infusi yang lebih tinggi (>67 μg/kg/menit). Selanjutnya
elektrolit, kreatinin fosfokinase, dan stuidi fungsi organ perlu dimonitor. Seringkali, koma
barbiturat dan terapi serupa dipertahankan selama 1 atau lebih hari sebelum terapi diturunkan
bertahap (tappering), biasanya berakhir dalam beberapa hari. Meskipun begitu, pada beberapa
kasus termasuk kasus new-onset status epileptikus refrakter, terapi demikian perlu
dipertahankan selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Walaupun begitu prognosis
new-onset status epileptikus refrakter lebih sering buruk dan banyak pasien tidak bertahan
hidup, pemulihan bermakna meski dengan rangkaian terapi berkepanjangan masih memiliki
kemungkinan. Terapi ini juga tampaknya dapat dipakai untuk sindroma FIRES. Sesekali,
anestetik lokal dapat bermanfaat. Kemungkina isoflurane lebih disukai karena halotan dapat
meningkatkan TIK dan enfluran dapat menginduksi kejang. Beberapa terapi termasuk
ketamin, kortikosteroid (misalnya untuk ensefalitis Rasmussen, ensefalopati Hashimoto, atau
ensefalitis autoimun lainnya), immunoglobulin, dan penggantian plasma ( pada pasien dengan
FIRES dan sindrom Landau-Kleffner), stimulasi nervus vagus pada epilepsi katastrofik pada
bayi, hipotermia, terapi elektrokonvulsif, stimulasi magnetik transkranial, dan manajemen
bedah dengan reseksi fokal. Terapi potensial lainnya masih dalam studi bagi status
epileptikus konvulsif adalah induksi asidosis (dengan hiperkapnia) yang mana dapat
mengurangi eksitabilitas neuronal.
Untuk status epileptikus nonkonvulsif dan epilepsia partialis continua, terapi butuh
penyesuaian berdasarkan manifestasi klinis dan sering terdiri dari uji oral berturut-turut dan
kadang obat antiepilepsi (AEDs) parenteral tanpa memilih koma barbiturat atau overmedikasi
yang dapat mengakibatkan konsekuensi pernafasan yang membahayakan. Pendekatan
terhadap status epileptikus parsial kompleks terkadang mirip dengan status epileptikus
konvulsif dan terkadang di tengah-tengah antara pendekatan epilepsi parsialis dengan status
konvulsif, tergantung derajat keparahannya. Konsekuensi jangka panjang setelah status
epileptikus parsial kompleks juga dapat terjadi, akan tetapi komplikasi seringkali tidak terlalu
parah daripada mereka yang setelah status epileptikus konvulsif dengan durasi yang sama.
Stauts epileptikus parsial kompleks nonkonvulsif yang berkepanjangan dapat menetap
sepanjang 12 minggu lamanya, dimana pasien bermanifestasi dengan adanya gejala psikotik
dan keadaan konvusional. Kasus demikian dapat saja resisten terhadap terapi. Meskipun
begitu pasien tersebut dapat mengalami kesembuhan total. Beberapa kasus ini nampaknya
mengalami perbaikan dengan steroid atau IVIG, yang mana digunakan manakala suatu
etiologi autoimun dan parainfeksi dicurigai.