spiritual ibadah haji

2
SPIRITUAL IBADAH HAJI OLEH : AMAN “haji” secara bahasa artinya “menuju kemuliaan”. Menurut Syara‟ haji adalah pergi ke baitullah untuk melaksanakan amalan-amalan yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, tempat tertentu dan dengan cara tertentu pula. (Abdurrahman Jaziri, alfqih „ala mazahib al -„arba‟ah, juz IV, hlm. 177). Di lihat dari sisi maknanya, ibadah haji adalah ibadah yang sangat mulia. Tidak semua orang dapat menunaikan ibadah yang satu ini, karena adanya “istita‟ah” (kesanggupan). Jika seseorang telah memiliki Kesanggupan., maka jatuhlah hukum wajib baginya. Kesanggupan dalam hal ini mencakup berbagai aspek, yaitu : fisik, finansial (materi) untuk akomodasi dan transportasi, keamanan dan memiliki muhrim bagi wanita. (Zuhailiy, al-Fqih al-Islamiy wa Adillatuhu, juz III, hl. 386-387). Namun demikian, walaupun seseorang itu dinyatakan sanggup, kewajiban haji hanya satu tahun sekali, setelah itu hukumnya sunat. Haji merupakan ibadah menampakkan penghambaan tertinggi dan syukur nikmat kepada Allah. Penghambaan tertinggi dimulai dari meninggalkan harta, keluarga tercinta dan bentuk keduniaan lainnya. Selanjuitnya hanya mengenakan pakaian putih tanpa berjahit. Sehingga akan munculah sikap zuhud dan tawaddu‟ di hadapan Allah. Syukur nikmat dapat dimulai dari adanya kesanggpun fisik berupa kesehatan jasmani dan ruhani. Juga adanya kecukupan harta untuk menunaikan ibadah haji merupakan kesyukuran tertinggi atas rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Pada akhirnya selesai haji ia akan mendapat predikat hamba Allah yang paling bertakwa . (Ala al-Din al- kasaniy, Badai‟ as-Sanai‟, juz II, hlm. 118). Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki spritualitas (kemampuan ruhani untuk selalu berzikir kepada Allah dan memiliki akhlak yang tinggi). Allah sendiri dalam Al-Qur‟an menyebut orang-orang yang menunaikan ibadah haji dengan kalimat “ulul albab”, yang artinya orang-orang yang memiliki mata hati yang tajam untuk berzikir kepada Allah dan meiliki akhlak yang tinggi. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 197 : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklum, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai ulil albab.Allah mengaitkan kalimat “ulul albab” dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Ibadah haji dilakukan dengan niat ikhlas dan harus mampu menjaga kata-kata kotor/tidak pantas (rafas), berbuat kefasikan dan melakukan perbantahan. Setelah seseorang yang telah menunaikan ibadah hajinya sampai ke tanah airnya, maka diharapkan ia menjadi kelompok ulul al-bab, yaitu : orang yang gemar berzikir, menjaga martabat dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Kalimat yang keluar dari bibirnya bukan lagi kata-kata rafas, menjelekkan orang lain, membukakan aib orang lain dan fitnah keji kepada saudaranya. Imam Gazali di dalam Ihya Ulumuddin mengisahkan perjalanan seorang „Alim yang shalih sedang menempuh perjalanan haji. Namanya „Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan:“Pada suatu malam,

Upload: aman-kadis

Post on 06-Jul-2015

215 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Spiritual ibadah haji

SPIRITUAL IBADAH HAJI

OLEH : AMAN

“haji” secara bahasa artinya “menuju kemuliaan”. Menurut Syara‟ haji

adalah pergi ke baitullah untuk melaksanakan amalan-amalan yang

dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, tempat tertentu dan dengan

cara tertentu pula. (Abdurrahman Jaziri, alfqih „ala mazahib al-„arba‟ah,

juz IV, hlm. 177). Di lihat dari sisi maknanya, ibadah haji adalah ibadah

yang sangat mulia. Tidak semua orang dapat menunaikan ibadah yang

satu ini, karena adanya “istita‟ah” (kesanggupan). Jika seseorang telah

memiliki Kesanggupan., maka jatuhlah hukum wajib baginya.

Kesanggupan dalam hal ini mencakup berbagai aspek, yaitu : fisik,

finansial (materi) untuk akomodasi dan transportasi, keamanan dan

memiliki muhrim bagi wanita. (Zuhailiy, al-Fqih al-Islamiy wa Adillatuhu,

juz III, hl. 386-387). Namun demikian, walaupun seseorang itu

dinyatakan sanggup, kewajiban haji hanya satu tahun sekali, setelah itu

hukumnya sunat.

Haji merupakan ibadah menampakkan penghambaan tertinggi

dan syukur nikmat kepada Allah. Penghambaan tertinggi dimulai dari

meninggalkan harta, keluarga tercinta dan bentuk keduniaan lainnya.

Selanjuitnya hanya mengenakan pakaian putih tanpa berjahit.

Sehingga akan munculah sikap zuhud dan tawaddu‟ di hadapan Allah.

Syukur nikmat dapat dimulai dari adanya kesanggpun fisik berupa

kesehatan jasmani dan ruhani. Juga adanya kecukupan harta untuk

menunaikan ibadah haji merupakan kesyukuran tertinggi atas rezeki

yang diberikan Allah kepadanya. Pada akhirnya selesai haji ia akan

mendapat predikat hamba Allah yang paling bertakwa . (Ala al-Din al-

kasaniy, Badai‟ as-Sanai‟, juz II, hlm. 118).

Orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki

spritualitas (kemampuan ruhani untuk selalu berzikir kepada Allah dan

memiliki akhlak yang tinggi). Allah sendiri dalam Al-Qur‟an menyebut

orang-orang yang menunaikan ibadah haji dengan kalimat “ulul albab”,

yang artinya orang-orang yang memiliki mata hati yang tajam untuk

berzikir kepada Allah dan meiliki akhlak yang tinggi. Allah berfirman

dalam surah al-Baqarah ayat 197 : (Musim) haji adalah beberapa bulan

yang dimaklum, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu

akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan

berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang

kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan

bertakwalah kepada-Ku wahai ulil albab.” Allah mengaitkan kalimat

“ulul albab” dengan orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Ibadah

haji dilakukan dengan niat ikhlas dan harus mampu menjaga kata-kata

kotor/tidak pantas (rafas), berbuat kefasikan dan melakukan

perbantahan. Setelah seseorang yang telah menunaikan ibadah

hajinya sampai ke tanah airnya, maka diharapkan ia menjadi kelompok

ulul al-bab, yaitu : orang yang gemar berzikir, menjaga martabat

dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Kalimat yang keluar dari

bibirnya bukan lagi kata-kata rafas, menjelekkan orang lain,

membukakan aib orang lain dan fitnah keji kepada saudaranya.

Imam Gazali di dalam Ihya Ulumuddin mengisahkan

perjalanan seorang „Alim yang shalih sedang menempuh perjalanan

haji. Namanya „Ali bin al-Muwaffiq. Dikisahkan:“Pada suatu malam,

Page 2: Spiritual ibadah haji

tanggal 8 malam 9 Dhu al-Hijjah (malam hari „Arafah) ia tertidur di

masjid al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat

sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang

lain: “Hai teman (Abdullah), tahukah engkau berapa banyak orang yang

pergi haji tahun ini?”. Malaikat yang lain menjawab: “Tidak tahu!”.

Kemudian temannya tadi memberitahu bahwa mereka itu jumlahnya

mencapai 600.000 jamaah. Kemudian ditanya lagi: “tahukah kamu

berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur ?”. Tidak

tahu!, jawab temannya. Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa

yang meraih mabrur/ maqbul hajinya itu hanya 6 orang. Sampai dialog

ini, dua malaikat itu pun pergi. Setelah itu „Ali bin al-Muwaffiq pun

terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih dan gelisah.

Dalam hatinya bertanya: “Jika hanya 6 orang yang diterima hajinya dari

600.000 jamaah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”.

Demikianlah ia terus menerus merenungkan dan berusaha mencari

tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan

ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam

kelompok enam yang hajinya mabrur itu. (al-Gazali, Ihya „Ulumuddin,

juz I, hlm. 341). Kisah ini dapat kita ambil hikmah bahwa betapa

sulitnya menggapai haji mabrur. Rasulullah Saw pernah menjelaskan

tanda-tanda haji mabrur itu, Dari Jabir ra. Nabi Saw bersabda: “Haji

mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Rasul ditanya: “Apa

tanda-tanda mabrurnya?”. Nabi Saw menjawab: “Suka membantu

memberikan makanan dan santun dalam berbicara” (HR. Ahmad, al-

Tabrani, dan lain-lain). Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan

hadits ini shahih lighairih (Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, II/3).

Penjelasan di atas setidaknya memberikan gambaran kepada

kita, bahwa orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki

daya spiritual yang tinggi, yaitu daya zikir kepada Allah dan kepekaan

kepada masyarakat sekelilingnya. Imam Nawawi mengatakan : Jika

seseorang yang menunaikan ibadah haji telah kembali ke tanah airnya

tanpa membawa perubahan, maka ia jauh dari tanda-tanta mabrur.

(Mahyuddin an-Nawawiy, al-Idah fiy Manasik Hajj wa „Umrah, hlm.

516). Kita berdoa kepada Allah semoga saudara-saudara kita yang

telah menunaikan ibadah haji memperoleh haji yang mabrur dan kita

yang belum mampu melaksanakannya, semoga allah me;limpahkan

rahmatnya sehingga ditahun mendatang kita juga dapat

menunaikannya.