soal ppkn pitri

Upload: enjela-jewelf

Post on 07-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nanana

TRANSCRIPT

1. Kontingen garuda yang terakhir adalah yang ke berapa dan dimana ?Kontingen Garuda XXVI-C2 atau biasanya di Indonesia dikenal dengan Satgas Indonesian Force Protection Company (Indo FPC) adalah Satuan Tugas yang diberikan wewenang dan tanggung Jawab untuk pengamanan UNIFIL Head Quarter di Naqoura. Kontingen Garuda XXVI-C2/UNIFIL mengambil alih tanggung jawab pengamanan dari Kontingen Garuda XXVI-B2/UNIFL melalui upacara Transfer Of Autority (TOA) dari Letkol Inf Fulad kepada Mayor Inf Henri Mahyudi dalam upacara serah terima yang dilaksanakan pada tanggal 19 Nopember 2010 di Lapangan Upacara Sudirman Camp. Kontingen Garuda XXVI-C2/UNIFIL terdiri dari 150 prajurit yang direkrut melalui seleksi dari Pasukan elit TNI antara lain dari Kopassus, Paskhas, Marinir, Den Jaka dan beberapa personel pendukung dari Kostrad dan Mabes TNI.Adapun Tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Kontingen Garuda XXVI-C2 meliputi: 1. Penjagaan Main Gate, Patroli, Observation Post dan penjagaan Food Platoon. 2. Menyiapkan Tim Penanggulangan Huru-Hara (CRC)dengan kemampuan untuk mengendalikan massa dalam waktu singkat dapat bergerak menuju ke titik ancaman. 3. Menyiapkan Tim Reaksi Cepat 24/7 yang dapat digerakan setiap saat. 4. Melaksanakan pengawalan (escort) terhadap semua asset Force Commander pada saat perjalanan di daerah operasi dengan mengacu pada Frago Force Commander. 5. Sebagai bagian dari unit pertahanan terkoordinasi di wilayah Naqoura UNIFIL Head Quarter. 6. Memberikan bantuan perkuatan terhadap unsur-unsur UNIFIL lainnya di luar Naqoura Camp jika mendapatkan serangan. 7. Melaksanakan tugas lainnya sesuai perintah Force Commander.Kontingen Garuda XXVI-C2 mengakhiri misi perdamaian dunia di Lebanon Selatan pada 1 Desember 2011, dengan ditandai dengan penyerahan bendera PBB kepada Kontingen Garuda XXVI-D2/UNIFIL dalam upacara TOA pada tanggal 23 Nopember 2011 kepada Kapten Inf Wimoko.2. Mengapa pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan secara utuh di daerah kabupaten/kota?Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam Undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi dengan Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan :untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, danuntuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.3. Dampak negatif pelaksanaan otonomi daerah dan solusinya ?Dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Sejauh pengamatan saya, setidaknya ada dua fenomena yang mengkhawatirkan. Pertama, adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah. Kedua, penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol alias korupsi.Eksploitasi Pendapatan DaerahSalah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Korupsi di DaerahFenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnyaUpaya Alternatif dan Kontrol MasyarakatPada intinya, dua dampak negatif tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerahPemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi hemat. Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.4. Perbandingan kontruksi atau susunan pemerintah di daerah bardaulatan UU RI No. 5 Tahun 1974 dengan UU RI No. 22 Tahun 1999 ?A. UU No. 5 Tahun 1974Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi, UU No.5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. UU ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip, yaitu:a. Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerahb. Dekonsentrasi, yaitu, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerahc. Tugas perbantuan (medebewind), yaitu pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.Akibat dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah otonom dan wilayah administratif.Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.Ada beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan Pemda menurut UU ini:1. Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.2. Pemda diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah Otonom, dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan.3. DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari Pemda. Prisip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di Indonesia karena pada umumnya DPRD terpisah dari Pemda.4. Peranan Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap Daerah.5. UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah.6. Keuangan Daerah, sebagaimana umumnya dengan UU terdahulu, diatur secara umum saja. `UU No.5/1974 meninggalkan prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya dan diganti dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab

B. UU No. 22 Tahun 1999UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1).Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.5. Pengertian Retribusi ?Pengertian Retribusi menurut Munawir (1985: 3) ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan dapat jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini yakni bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran, contohnya retribusi pasar dan retribusi air minum. Pendapat Munawir tersebut di atas perlu dilakukan perbaikan, yaitu bahwa paksaan dalam Pengertian Retribusi tidak hanya bersifat ekonomis, melainkan memuat pula paksaan secara yuridis berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.

Pengertian Retribusi tersebut di atas ternyata ditinjau dari aspek ekonomis bukan dari aspek hukum, padahal yang dibutuhkan adalah pengertian retribusi yang ditinjau dari aspek hukum. Sebenarnya harus ada perbedaan mencolok yang dapat membedakan pengertian retribusi dari aspek ekonomis dengan aspek hukum, sehingga kelihatan perbedaannya secara prinsipil. Pengertian Retribusi adalah pungutan oleh Pejabat Retribusi kepada Wajib Retribusi yang bersifat yang bersifat memaksa dengan tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan penaihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan penagihan retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.6. Contoh kebijakan publik ? Adapun yang termasuk kebijakan publik, antara lain: 1. Kebijakan kenaikan kenaikan tarif angkutan, 2. Kebijakan cukai tembakau, 3. Kebijakan pajak kedaran mewah, 4. Program transigrasi, dan 5. Program wajib belajar sembilan tahun.

7. Ciri-ciri kebijakan publik ?Solihin Abdul Wahab mengemukakan ciri-ciri kebijakan publik yaitu ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan oleh orang-orang yang memiliki wewenang dalam system politik, misalnya pada para ketua adat, ketua suku, eksekutif, legislator, hakim, administrator, dan lain sebagainya. Mereka itulah yang bertanggungjawab atas urusan-urusan politik tersebut dan berhak untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu, sepanjang tindakan tersebut masih berada dalam batas-batas peran dan kewenangan mereka. Oleh karena itu ciri-ciri kebijakan publik sebagaimana yang terdapat dalam Solichin Abdul Wahab adalah :1. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada prilaku atau tindakan serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan,2. Kebijakan publik hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan berpola mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan pejabat pemerintah bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Misalnya : kebijakan tidak hanya mencangkup keputusan untuk membuat Undang-Undang dalam bidang tertentu, akan tetapi diikuti pula keputusan-keputusan yang berkaitan dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya,3. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, dalam arti setiap kebijakan pemerintah itu diikuti dengan tindakan-tindakan konkrit,4. Kebijakan publik berbentuk positif maupun negatif, dalam bentuk positf kebijakan mencangkup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara itu bentuk yang negatif, kebijakan meliputi keputusan para pejabat-pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan. (Wahab, 1990:6)

8. Tata urutan perundang-undangan di indonesia dan denda hukumannya ?Tata perundang-undangan diatur dalam :1. Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.Urutannya yaitu :1) UUD 1945;2) Ketetapan MPR;3) UU;4) Peraturan Pemerintah;5) Keputusan Presiden;6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.2. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang.Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :1) UUD 1945;2) Tap MPR;3) UU;4) Peraturan pemerintah pengganti UU;5) PP;6) Keppres;7) Peraturan Daerah;Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2) UU/Perppu;3) Peraturan Pemerintah;4) Peraturan Presiden;5) Peraturan Daerah.Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2) Ketetapan MPR;3) UU/Perppu;4) Peraturan Presiden;5) Peraturan Daerah Provinsi;6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Definisi :1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.2. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar (konstitusi) yang tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.3. Ketetapan MPR merupakan putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR, yang terdiri dari 2 (dua) macam yaitu :Ketetapan yaitu putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis, Keputusan yaitu putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.4. Undang-Undang (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan bersama Presiden.5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan :Perppu diajukan ke DPR dalam persidangan berikut;DPR dapat menerima/menolak Perppu tanpa melakukan perubahan;Bila disetujui oleh DPR, Perrpu ditetapkan menjadi Undang-Undang;Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.6. Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.7. Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.8. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan Gubernur.9. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Bupati/Walikota.9. Mengapa DPA ( Dewan Pertimbangan Agung ) dibubarkan ?

Dewan Pertimbangan Agung (disingkat DPA) adalah lembaga tinggi negara Indonesia menurut UUD 45 sebelum diamandemen yang fungsinya memberi masukan atau pertimbangan kepada presiden.DPA dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 45 sebelum diamandemen. Ayat 2 pasal ini menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa DPA berbentuk Council of State yang wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah.Pada 25 September 1945, DPA dibentuk melalui pengumuman pemerintah (Berita Republik Indonesia No. 4) dengan ketua R. Margono Djojohadikusumo. Anggota DPA pertama ini berjumlah sebelas orang. Di antaranya adalah Radjiman Widiodiningrat, Syekh Djamil Djambek, Agus Salim dan dr. Latumeten. Tidak banyak yang dikerjakan DPA pertama ini. Ketika sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer, keberadaan DPA menjadi tidak berarti. Walau tetap eksis sampai pada 1949 tapi nasib DPA sebagai lembaga konstitusional menjadi terpuruk.Periode berikutnya posisi DPA makin tidak jelas. Kondisi ini berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. DPA Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22 Juli 1959. Ketuanya dirangkap oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul pada 1967 melalui UU No. 3 Tahun 1967 yang disahkan pejabat Presiden Soeharto.Berdasarkan UUD 45 yang telah diamandemen, lembaga ini dihapuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 135 /M/ 2003 pada tanggal 31 Juli 2003.[1]