s/n - courseware.nus.edu.sgcourseware.nus.edu.sg/im@bip/bulletin/bi4/lab3202_bulletin[1].pdfsesudah...
TRANSCRIPT
2
S/N
Daftar Isi
Bagian Penulis No. halaman
1. Prakata - 3
2. Kumpul Kebo
Tay ShengWei Laura 5
Brandon Albert Lim 6
Quek Yen Lin Jeffrey 7
Lim Yinfang Jacinta 8
3. Orang Tionghoa di
Indonesia
Tay Ching Yee 12
Ho Jia Le Larissa 13
Wee Feng Yi 15
Sarah Tan Ya Ling 17
4. Ayo kita pergi ke
Batam lagi!
Brandon Albert Lim
Lim Yinfang Jacinta
Tay Ching Yee
Wee Feng Yi
21
Ho Jia Le Larissa
Quek Yen Lin Jeffrey
Sarah Tan Ya Ling
Tay Shengwei Laura
29
3
Buletin ini adalah kumpulan pengalaman dan pelajaran kami di kelas
Bahasa Indonesia 4. Bahasa yang kami pakai di BI4 memang lebih sulit
daripada bahasa yang dipakai di tiga tingkat sebelumnya. Meskipun
demikian, kami berangsur-angsur dapat belajar cara untuk menangani
berbagai bacaan yang termasuk cerpen dan artikel-artikel dari koran. Oleh
karenanya, kemampuan kami untuk berinteraksi dengan orang asli Indonesia
dapat meningkat.
Prakata
Selain itu, kami juga dapat mengenal teman-teman kami secara lebih
dalam di kelas BI4 karena di setiap kelas, kami diminta untuk membagi
pendapat dan perasaan kami mengenai bermacam-macam isu yang kami
diskusikan, contohnya aborsi, wanita karier, gaya hidup, dan metode
pengajaran.
Saat kami mulai menyadari pengetahuan dan kemampuan kami untuk
berbahasa Indonesia telah meningkat, kami sesungguhnya merasa bahwa
keputusan kami untuk masuk ke kelas BI4 memang adalah keputusan yang
benar. Waktu yang kami habiskan bersama-sama di kelas BI4 sama sekali
tidak sia-sia. Walaupun kami hanya bertemu tiga kali seminggu dan
semester ini cepat berakhir, pengalaman kami di kelas Bahasa Indonesia
masih penuh dengan persahabatan dan tawa.
Yang penting, kami ingin menucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Johanna dan Ibu Lucia - dosen kami yang sangat sabar dan lucu. Terima
kasih atas semua pelajaran yang Anda berikan, dan atas juga kenangan-
kenangan yang kita ciptakan bersama-sama di BI4! Semoga menikmati
buletin ini!
4
5
Penulis: Tay ShengWei Laura
Sesudah membaca surat yang berjudul ‘Time to Replace Marriage with a
Cohabitation Contract’, saya tidak setuju dengan pendapat penulis. Meskipun pendapat
saya berbeda dengan pendapat penulisnya, saya masih merasa suratnya sangat menarik
karena isinya memicu saya memulai memikirkan persoalan ini. Dalam esei ini, saya akan
memberikan tiga alasan yang menjelaskan pendapat saya bahwa pernikahan lebih baik
daripada kumpul kebo.
Pertama-tama, menurut saya, pernikahan adalah sesuatu hal yang kudus.
Pernikahan adalah suatu perayaan tentang perpaduan seorang lelaki dan perempuan.
Karena itu, pernikahan berarti komitmen atau tanggung jawab pada pasangan sepanjang
hidup. Saya percaya bahwa cinta manusia tidak kekal. Perasaan cinta atau emosi akan
berubah terutama setelah berhubungan sudah lama, semua kelemahan dan kebiasaan
yang jelek dari pasangan pelahan-lahan mulai timbul. Karena ini adalah watah dasar
manusia, hubungan pasangan tidak bisa melulu tergantung pada perasaan atau emosi
saja. Salah satu syarat agar hubungan menjadi suskes dan abadi adalah komitmen.
Dengan kumpul kebo, kemungkinan besar pasangan akan diganti seperti baju, karena ini
dianggap sebagai kontrak saja dan tidak kudus kalau dibandingan dengan pernikahan,
jadi tidak perlu komitmen. Selain itu, saya tidak setuju dengan penulisya yang
mengatakan bahwa pernikahan tidak ada keuntungnya untuk pria atau tujuan pernikahan
adalah tentang pria mencari nafkah untuk kebutuhan hidup istrinya. Sebaliknya,
pernikahan adalah penting dan diperlukan komitmen, sebagai perlindungan untuk saling
menemani selama perjalanan hidup.
Kedua, pernikahan adalah tempat yang aman untuk manusia menikmati
perkelaminan. Saya percaya bahwa perkelaminan adalah salah satu cara untuk
mengungkapkan cinta dalam pernikahan. Dengan ini, nafsu bersetubuh dari dasar pria
juga diciptakan untuk menghargai istrinya dalam hidup perkawinan. Jadi, saya tidak setuju
mengijinkan kumpul kebo. Kalau begitu, ini bermaksud melintasi batas dari pernikahan
supaya pria bisa memenuhi nafsu saja dan tindakan ini tidak adil pada wanita. Lagipula,
cara ini akan meningkatkan resiko mendapat penyakit kelamin. Akitbatnya, kumpul kebo
mendukung anggapan bahwa wanita dianggap sebagai simbol atau sarana untuk
memenuhi nafsu saja dan bukan sebagai wanita yang membutuhkan pasangan untuk
melindungi dan mengasihi dia.
6
Pada akhirnya, pernikahan membawa kebaikan untuk keluarga, terutama setelah
anak-anak dilahirkan. Kalau diijinkan kumpul kebo, ini tidak hanya bermaksud bahwa bisa
mengganti pasangan tapi barangkali juga bisa ada beberapa perselingkuhan sambil
punya pasangan. Dengan begitu, kumpul kebo akan menimbulkan kecemburuan dan
kekhawatiran waktu istrinya merasa gersang tanpa kasih dan perhatian dari suami.
Permasalahan ini akan merusak keutuhan dan kualitas rumah tangga. Selain itu, juga
menyebabkan pengaruh yang buruk pada anak anak.
Pendek kata, saya tidak setuju mengijinkan kumpul kebo menggantikan
pernikahan. Menurut pendapat saya pribadi, kumpul kebo akan merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap wanita. Selain itu, ini juga menimbulkan banyak
permasalahan, bukan hanya masalah secara psikologi, tetapi juga ada yang namanya
masalah secara fisik dan ekonomi.
--
Penulis: Brandon Albert Lim
Artikel ini ditulis oleh Mr. Wilson Wong, seorang pria berumur setengah tua. Pak
Wong itu terkejut menemukan banyak teman laki-laki dia yang mempunyai hubungan
gelap setelah bersuami. Teman itu juga tidak ada berniat untuk minta bercerai. Jadi, Pak
Wong merasa bahwa tindakan pernikahan sekarang sudah ketinggalan jaman; malah, kita
seharusnya praktek ‘kumpol kebo’. Menurut Pak Wong, manfaat praktek ‘kumpul kebo’
adalah kalau seorang memutuskan kontrak itu, akibatnya akan kurang berat. Lagipula,
Pak Wong meneruskan, karena dewasa ini perempuan telah lebih independen dan kaya,
mengapa masih perlu dilindungi oleh ‘kontrak pernikahan’?
Saya terkejut setelah membaca artikel ini. Pada prinsipnya, saya betul-betul kurang
setuju saran Pak Wong untuk mengganti pernikahan dengan kontrak ‘kumpol kebo’.
Pendapat saya adalah pernikahan pada akhirnya merupakan janji suci antara suami istri
berdua, lagipula mereka juga tidak dipaksa menikah, betul? Karena itu, tanggung jawab
mereka berdua adalah menghormati pernikahan sebaik mungkin, terutama jika mereka
mempunyai anak-anak.
7
Selain itu, saya juga tidak begitu percaya pernyataan penulis bahwa laki-laki selalu
kalah dalam pernikahan (kata-kata penulis dalam Bahasa Inggeris: “men always lose out
in marriage”). Sementara laki-laki semua pasti berbagi harta dan kekayaan mereka
dengan istri-istrinya, kita seharusnya jangan lupa koin selalu ada dua pihak. Intinya, laki-
laki juga bisa mendapatkan keuntungan dari pernikahan, terutama kalau istrinya ada
kedudukan karier tinggi atau penghasilan lebih daripada suami. Situasi seperti itu semakin
nyata hari ini karena perempuan sekarang sudah memiliki pendidikan dan kesempatan
karier sama dengan laki-laki.
Lagipula, sementara saya tidak memaafkan orang berselingkuh dalam pernikahan,
saya merasa tidak adil untuk menganggap bahwa laki-lakinya selalu sebagai orang
pezina dalam hubungan mereka. Sebagai seorang laki-laki, saya bermaksud menjelaskan
bahwa teman Pak Wong sudah salah menggambarkan kaum laki-laki semua!
Pada akhirnya, bahkan jika masyarakat telah berubah waktu ini, alasan utama
mengapa orang menikah – untuk menghabiskan sisa kehidupan dengan orang yang
dicintai – masih sama. Jadi, menghapuskan pernikahan, atau lebih buruk, menggantikan
dia dengan kontrak ‘kumpol kebo’, merupakan langkah yang sangat salah. Meskipun
teman-teman Pak Wong menikmati obrolan penyesalan mengenai pernikahan mereka,
pendapat saya lebih bermanfaat kalau mereka menggunakan waktu untuk membicarakan
bagaimana memperbaiki pernikahan mereka.
--
Penulis: Quek Yen Lin Jeffrey
Saya kurang setuju dengan bacaan ini yang mengusulkan ide “kumpul kebo”.
“Kumpul kebo” adalah tindakan antara wanita dan laki-laki hidup bersama tanpa menikah.
Ide ini mungkin berasal dari pikiran Barat, karena menurut tradisi Asia, seorang laki-laki
dan pacarnya tidak boleh tinggal bersama sebelum menikah. Tetapi karena globalisasi,
akhir-akhir ini, semakin banyak pasangan berkumpul kebo. Walau begini, masih tetap ada
beberapa orang Asia yang berpikiran konservatif, terutama di kalangan tua. Pikiran saya
juga begitu.
8
Saya setuju dengan penulis bahwa perempuan-perempuan jaman ini cukup bisa
menjaga diri sendiri, jadi mereka tidak lagi perlu dilindungi laki-laki. Tetapi, bagaimanapun
kohabitasi tidak bisa menggantikan pernikahan karena upacara ini menunjukkan
komitmen antara pasangan, jadi perselingkuhan itu salah. Lagipula, pernikahan
mengijinkan tindakan-tindakan yang sebenarnya dianggap tidak pantas bagi pasangan
yang belum menikah, terutama seks. Paling penting, pernikahan juga mengakui
hubungan mereka di dalam keluarga besar mereka. Demikian pula, wanita dan laki-laki
pasti akan menghormati perjanjian pernikahan itu dan hubungan mereka tidak akan
hancur dengan mudah.
Jika kumpul kebo menjadi norma masyarakat, pasti akan ada lebih banyak
masalah daripada sekarang. Misalnya, hubungan pria dan wanita mungkin tidak akan lagi
berkembang dari komitmen, melainkan dari seks, karena inilah dasar manusia apabila
tidak dilarang. Akibatnya masalah lain akan muncul, misalnya penyakit AIDS menyebar
luas dan keluarga-keluarga yang akan terpisah karena tindakan yang tidak
bertanggungjawab. Anak-anak yang dilahirkan keluarga tersebut akan mengalami
ketidakbahagiaan dan kesepian. Kalaupun pasangan itu bertanggungjawab, pasangan itu
mungkin belum siap untuk mendukung bayi baru mereka, karena mereka belum
memutuskan untuk mendirikan sebuah keluarga.
Pada akhirnya, seperti perceraian, kohabitasi juga menghadapi masalah yang
berkaitan dengan hak, yaitu harta peninggalan dan pemeliharaan. Problem harta
peninggalan mungkin tidak separah problem pemeliharaan, karena pembagian harta bisa
ditentukan dengan surat warisan atau peraturan hukum, sedangkan pemeliharaan hanya
bisa ditentukan di pengadilan.
Sudah cukup masalah di dunia ini, jadi lebih baik kalau kohabitasi tidak akan
menjadi lebih luas.
--
Penulis: Lim Yinfang Jacinta
Sesudah saya membaca artikel “Time to replace marriage with a cohabitation
contract” di surat kabar “TODAY”, saya merasa marah. Saya ingin mengirimkan Wilson
Wong kepadad IMH. Wilson Wong mengatakan banyak gila hal-hal di surat ini. Pendapat
dia tidak hanya untuk saya, tapi juga untuk masyarakat di Singapura. Saya juga sangat
9
marah bagaimana surat kabar “TODAY” bisa menerbitkan surat Wilson Wong. Kalau
semua laki-laki di Singapura piker sama seperti Wilson Wong, semua perempuan lebih
baik tidak menikah! Mengapa saya marah-marah tentang surat Wilson Wong?
Pertama-tama, Wilson Wong memberikan pendapat yang adalah nnormal untuk
laki-laki penipu. Wilson Wong memberikan beberapa faktor mengapa itu adalah normal
untuk laki-laki yang menipu. Contoh: pengusaha, teman-teman dia. Satu faktor yang
Wilson Wong berikan adalah sesudah istri melahirkan, istri akan keilangan dorongan
seksual mereka, jadi suami harus mencari perempuan yang lain untuk aktifitas seksual.
Dia mengatakan laki-laki memiliki dorongan seks yang lebih tinggi. Faktor yang lain yang
Wilson Wong berikan adalah sesudah istri melahirkan, istri akan menhadi lebih gemuk
dank arena istri harus jaga anak-anak, dia ada kurang waktu untuk suami. Wilson Wong
sendiri bertanya, “so, is this an excuse for men to stray?”
Sebelum saya memberikan faktor yang dia katakan, saya akan jawab pertanyaan itu
“is this an excuse for men to stray?” Saya seratus persen tidak setuju. Ketika perempuan
dan laki-laki menjadi istri dan suami, itu berarti mereka seduah memiliki janji. Pernikahan
adalah janji tentang bagaimana saumi dan istri harus cinta dan mengurus sampai mereka
mati. Wilson Wong dan teman teman dia adalah suami. Kalau mereka tidak cinta istri,
mengapa mereka mau menikah? Kalau mereka menipu karena istri menjadi lebih gemuk
atau istri tidak ada waktu untuk mereka karena istri harus menjaga anak-anak, cinta
mereka di mana? Kalau suami mencari perempuan yang lain karena istri menjadi lebih
gemuk, saya merasa saumi tidak benar-benar mencintai istri.
Wilson Wong mengatakan pengusaha teman-teman dia tidak punya niat untuk
mengajukan cerai meskipun mereka membohongi istri-instrinya. Mereka merasa mereka
ada hak ke mencari perempuan yang lain dan masih mau ada istri. Ini adalah mentalitas
orang serakah. Wilson Wong dan teman-teman dia menolak model tradisional yang
prempuan dan laki-laki harus menikah tapi Wilson Wong mau mengusulkan “kumpul
kebo” sebagai solusi. Saya merasa “kumpul kebo” adalah alasan untuk laki-laki. Kalau
laki-laki memiliki “kempul kebo” dan tidak mau menikah, itu berarti laki laki mau
pengurangi komitmen. Mengapa perempuan di masyarakat harus mentolerir laki-laki
semacam ini?
Saya akan selalu lebih suka model tradisional. Kalau perempuan dan laki laki saling
mencintai, mereka didorong untuk menikah. Sesudah menikah, laki-laki atau perempuan
10
harus tidak menipu. Wilson Wong harus jangan lupa laki-laki di masyarakat tidak hanya
ada dia teman-teman dia. Masyarakat masih ada laki-laki baik yang tidak berzinah da
nada keluarga bahagia. Penulis di artikel. Wilson Wong jelas memiliki masalah moral. Dia
dan teman-teman dia adalah egois dan tidak ada control diri. Tapi Wilson Wong bukan
wakil dari semua laki-laki di masyarakat, mungkin masyarakat masih ada harapan.
--
11
12
Penulis: Tay Ching Yee
Sejak jaman Orde Baru (1965) yang dijalankan oleh pimpinan Indonesia Soeharto,
semua sekolah Cina harus ditutup, orang Indonesia harus ada nama Indonesia, dan
mereka tidak boleh merayakan upacara seperti Tahun Baru Cina. Kebijaksanaan ini
membuat orang Tionghoa generasi muda menjadi lebih Indonesia dan masyarakat
Tionghoa di Indonesia makin bercorak Indonesia.
Saya mewawancarai Ibu C, dia adalah orang Tionghoa yang berasal dari
Indonesia. Menurut dia, waktu Orde baru masih dipaksakan, dia masih kecil. Jadi orang
tua dia sangat melindungi dia dan dia tidak pernah merasa sedih bahwah dia adalah
orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Dia bahkan bisa berteman dengan orang
pribumi di sana. Ibu C bilang, dia pikir tidak ada banyak perbedaan dengan penduduk
pribumi karena semuanya orang Indonesia dan dulu, di lingkungan tempat dia tinggal dia
bisa mempunyai hubungan yang baik antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga
Negara Asing (WNA). Ibu ini menambahkan bahwa proses pembauran itu diperlukan dan
mereka harus terbiasa, dan tidak boleh punya pikiran bahwa ada perbedaan antara WNI
dan WNA. Semua orang harus hidup bersama dengan rukun dan damai. Semua orang
harush saling menghormati. Ibu juga bilang, kakak dia menikah dengan orang pribumi
Indonesia, dan tidak ada masalah. Jadi saya pikir benar bisa ada hubungan yang baik
antara orang pribumi dan orang Cina.
Ibu C juga mengatakan bahwa dulu orang tua dia tidak mengajar dia bahasa Cina
untuk melindungi dia. Jadi Ibu C tidak bisa berbahasa Cina, tapi anak-anaknya bisa
belajar bahasa Cina di Singapura. Sebaliknya, Ibu C mengajar anak-anaknya bahasa
Indonesia supaya mereka tidak lupa bagaimana berbahasa Indonesia.
Ibu C pindah ke Singapura pada tahun 2001. Pada masa itu, Goes Doer
Abdurahman Wahid menjadi presiden dan dia memperbolehkan masyarakat Tionghoa
merayakan upacara agama seperti Tahun Baru Cina, Festival Kue Bulan, bahkan boleh
ada pertunjukkan tari singa dan berbahasa Cina. Ibu C juga bilang, situasi sekarang
sudah lebih baik daripada dulu. Status orang Tionghoa sudah menjadi lebih baik di
Indonesia. Ibu mengatakan dia mengharapkan bahwa situasi ini bisa terus berlangsung
dan menjadi lebih baik.
13
Saya pikir karena situasi telah membaik, status orang Tionghoa di indonesa sudah
dinaikkan dan bisa hidup seperti orang pribumi. Mereka juga bisa merayakan semua
festival yang dirayakan oleh orang Cina di negara-negara yang lain. Tapi saya pikir kalau
orang Tionghoa tinggal di Singapura, mereka akan ada kesempatan yang sama dengan
orang Singapura karena pemerintah Singapura menerima dengan senang hati orang
asing yang berbakat. Di Singapura, anak-anak sejak kecil sudah belajar untuk saling
menghormati tanpa memandang bangsa atau agama. Jadi di Singapura, warga negara
Singapura dan warga Negara asing akan saling bergaul dengan rukun dan damai.
Pada akhirnya, saya mengharap bahwa masa depan orang Tionghoa akan menjadi
lebih baik, karena tradisi-tradisi dan identitas yang orang Cina ada harus diteruskan.
Kalau tidak, akan kasihan sekali.
--
Penulis: Ho Jia Le Larissa
Sejak jaman Orde Baru pada tahun 1965, semua sekolah Cina harus ditutup, surat
kabar Cina dan semua organisasi Cina pun harus ditutup. Maka masa itu tidak mudah
untuk orang Cina Indonesia karena ada banyak peraturan yang mereka harus
turuti.Misalnya, Warga Negara Indonesia dan keturunannya harus punya nama Indonesia.
Jadi, banyak WNI keturunan orang Tionghoa harus ganti nama. Dan lagi, masa itu
mereka tidak bisa belajar di sekolah Cina atau merayakan Tahun Baru Cina.
Melalui mewawancarai orang Cina Indonesia saya menyadari lebih banyak tentang
proses pembauran ini alias Indonesianisasi. Waktu Soeharto adalah pemimpin Indonesia
dia menjalankan politik pembauran ini untuk mempersatukan warga negara Indonesia dan
untuk masyarakat Tionghoa di Indonesia makin becorak Indonesia.
Ibu yang saya wawancarai merasa proses pembauran ini perlu dan penting untuk
WNI saling mengerti sama satu lain. Walaupun dia orang Cina Indonesia, dia tidak perlu
ganti nama dan dia bilang proses pembauran ini tidak mempersulitkan kehidupannya.
Soalnya, sejak dilahirkan, dia sudah punya nama Indonesia bukan nama Cina. Lagipula,
keluarganya tidak berbahasa Cina. Jadi tidak ada masalah untuk adaptasi dengan
peraturan-peraturannya. Dia juga bilang proses pembauran tidak menghentikan orang di
Indonesia merayakan tahun baru cina sama sekali cuma tidak boleh ada perayaan yang
besar. Keluhannya hanya karena Soeharto ingin menghilangkan perbedaan, dia terus
14
menerus mendorong WNI untuk pembauran, pembauran, pembauran, akibatnya
perbedaan antara orang cina Indonesia dan pribumi Indonesia makin jelas.
Saya pikir selama proses pembauran ini, pasti ada orang tionghoa yang tidak
setuju dengan kebijakan Soeharto tapi mereka tidak punya kuasa untuk berubah proses
ini. Maka berangsur-angsur budaya orang tionghoa di Indonesia makin berkurang. Karena
proses pembauran mulai sejak 1965, saya pikir sekarang warga Indonesia sudah terbiasa
dengan sistem ini di Indonesia. Seperti kasus Ibu yang saya wawancarai, dia berusia 30
tahun. Saya yakin karena orang tuanya sudah tahu peraturan-peraturan yang
keluarganya harus turuti jadi mereka memberikan nama Indonesia kepada dia dan tidak
berbahasa cina di rumah. Dari kasus ini, saya merasa kebijakan Soeharto berhasil
mempersatukan WNI dan memberikan corak Indonesia kepada semua.
Apakah proses pembauran ini berhasil menghilangkan perbedaan antara WNI?
Menurut informasi yang saya kumpulkan dari wawancara, walaupun Soeharto hasil
menjalankan proses pembauran, antara WNI masih ada prasangka buruk terhadap orang
cina Indonesia. Yang paling jelas adalah kesempatan untuk masuk universitas. Tempat di
universitas pemerintah untuk orang cina Indonesia terbatas 10 persen. Jadi, lebih sulit
kalau orang cina Indonesia ingin masuk universitas.
Kalau dibandingkan dengan singapura, keadaan orang tionghoa sangat berbeda
dengan keadaan di Indonesia. Walaupun pribumi singapura(orang melayu) punya hak
istimewa seperti biaya sekolahnya gratis sampai universitas, kesempatan untuk masuk
universitas atau kesempatan untuk dapat pekerjaan di pemerintah sama. Karena proporsi
orang tionghoa di singapura paling besar kalau dibadingkan dengan bangsa yang lain.
Maka tidak heran kalau lebih banyak orang tionghoa berhasil mendapat tempat di
universitas atau pekerjaan di pemerintah.
Selain itu, karena di singapura kerukunan antara suku sangat penting untuk
pemerintah, sejak kecil kanak-kanak di singapura diajar bergaul dengan orang dari
bangsa atau agama yang berbeda dengan dirinya. Jadi kalau sudah besar tidak ada
prasangka buruk antara warga negara Singapura.
Sejak Goes Doer Abdurahman menjadi presiden Indonesia pada November 2000,
masyarakat tionghoa mulai diperbolehkan merayakan upcara agamanya, surat-kabar cina
15
diijinkan buka lagi dan bahasa Cina pun mulai dipelajari oleh anak-anak keturunan
Tionghoa. Kelihatannya, masa depan orang tionghoa di Indonesia seharusnya lebih baik.
Akhirnya, Ibu yang diwawancarai bilang dia pikir masa depan orang tionghoa bisa
lebih baik asalkan pemerintah tidak mengistemewakan pihak pribumi. Yang paling penting
untuk pembauran adalah bahwa pendidikan mengenai pembauran harus mulai dari
keluarga. Kalau anak-anak lihat orang tua punya prasangka buruk terhadap bangsa lain,
anak-anaknya pasti berkelakuan sama. Jadi, kalau ingin kehidupan orang tionghoa lebih
baik di masa depan, semua WNI harus dididik hidup dengan rukun dan damai dengan
keluarganya.
--
Penulis: Wee Feng Yi
Saya kuliah di Pusat Studi Asia Tenggara NUS sudah tiga tahun lebih. Sewaktu saya
kuliah di sini, saya sering membaca karangan-karangan tentang kehidupan orang
Tionghoa di Indonesia. Ada yang bercerita tentang keberhasilan orang Tionghoa di dalam
bidang perdagangan, dan ada juga yang menuturkan bermacam-macam kesulitan yang
dialami oleh mereka sejalan sejarah modern Indonesia. Misalnya, saya pernah membaca
tentang politisi-politisi yang sering mengambinghitamkan golongan orang Tionghoa
sehingga hubungan di antara mereka dan orang pribumi menjadi tegang ataupun buruk.
Sebagai orang Tionghoa juga, saya selalu penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang
pengalaman orang Tionghoa di Indonesia. Sekarang saya merasa berterima kasih karena
selama dua tahun terakhir ini saya telah sempat berkenalan dengan beberapa orang
Tionghoa Indonesia. Di sini saya ingin menceritakan kisah mereka dan membandingkan
kehidupan mereka dengan kehidupan orang Tionghoa di negara saya yaitu Singapura.
Waktu saya tinggal di Yogyakarta, saya sering makan di sebuah toko makanan yang
terletak di dekat kos saya. Di toko itu, saya bertemu dengan Mbak Vensi, seorang
mahasiswi yang berasal dari Medan. Mbak Vensi itu seorang warga Tionghoa Indonesia.
Setelah jam sekolah, dia sering pergi ke toko untuk membantu orang-tuanya. Saya sangat
mengagumi keluarga Mbak Vensi karena mereka semua pintar memasak makanan Cina
dan bekerja lebih keras daripada saya. Misalnya, kalau saya sibuk, saya selalu mengirim
SMS kepada Mbak Vensi untuk pesan makanan. Tidak lama lagi, Mbak Vensi pasti
muncul dari sudut jalan dengan motornya untuk mengantar makanan ke saya. Yang
16
menarik perhatian saya adalah keluarga Mbak Vensi hampir tidak bisa berbahasa
Mandarin, tetapi bisa berbahasa Hokkien. Bahasa Hokkien yang dipakai mereka pun lebih
halus daripada Bahasa Hokkien yang dipakai oleh nenek dan ibu saya di rumah. Itulah
salah satu karakteristik orang Tionghoa di Indonesia yang membuat saya tertarik.
Selain Mbak Vensi, saya juga berteman dengan seorang mahasiswa dari Universitas
Gadja Mada. Nama panggilannya Ah Wee dan dia berasal dari Medan juga. Orang tua Ah
Wee punya perkebunan di Medan, dan mereka sering main ke Singapura. Meskipun Ah
Wee bukan orang pribumi atau penganut Islam, Ah Wee dan teman-temannya tetap
sering bergaul dengan orang pribumi di Indonesia. Misalnya, pada bulan Ramadan, Ah
Wee pernah mengajak saya ke sebuah panti asuhan di Kaliurang untuk buka puasa
dengan anak-anak di sana. Bagi saya, hal itu adalah bukti bahwa hubungan di antara
orang Tionghoa dan orang pribumi di Indonesia masih bagus dan damai. Meskipun
demikian, Ah Wee pernah mengatakan sesuatu yang tidak pernah akan saya lupakan.
Katanya, dia tidak bisa faham mengapa saya begitu tertarik dengan Indonesia karena
kondisi kehidupan orang Tionghoa di Singapura jauh lebih bagus daripada kehidupan
orang Tionghoa di Indonesia. Kata Ah Wee dia ingin sekali menjadi warga negara
Singapura tetapi harapan itu belum bisa diwujudkan. Saya kira, keinginan seperti itu
mungkin disebabkan oleh perasaan orang Tionghoa di Indonesia bahwa mereka belum
bisa menjadi penduduk yang punya status dan hak yang benar-benar sama dengan
pribumi.
Pada akhirnya, saya juga sempat berbicara dengan seorang WNI keturunan Cina
melalui telepon. Ibu ini namanya Bu Tina, dan dia sudah delapan belas tahun lebih tinggal
di Singapura dengan suaminya. Saya mewawancarai Bu Tina pada 23 September, dan
ingin tahu pendapatnya tentang orang Tionghoa di Indonesia. Bu Tina berasal dari
Jakarta, dan dia banyak bercerita tentang kehidupannya. Misalnya, dia punya tiga anak
yang sudah mulai kerja di luar negeri. Selain itu, hobinya menjahit dan Bu Tina bisa
berhasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Namun, saat ditanya tentang situasi orang
Tionghoa di Indonesia (contohnya pendapatnya tentang masa depan orang Cina di
Indonesia atau proses pembauran orang Tionghoa), suara Bu Tina terdengar menjadi
ragu-ragu. Katanya, sampai sekarang orang Tionghoa “masih ok-ok saja di Indonesia”,
dan dia tidak bisa memprediksikan masa depan mereka. Selain itu, dia juga merasa orang
pribumi dan orang Tionghoa “tentu beda” di Indonesia, tetapi “sepanjang kita bisa bergaul,
kita ok”.
17
Begitulah kisah, pengalaman dan pendapat tiga WNI keturunan Cina. Dengan jelas,
sejak leluhur kami meninggalkan daratan Cina untuk mencari kehidupan yang baru,
keturunan mereka berangsur-angsur berasimilasi dan mengadaptasi di negara-negara
tertentu sehingga orang Tionghoa di Indonesia dan Singapura sekarang mempunyai
identitas masing-masing yang tetap beda dan unik.
--
Penulis: Sarah Tan Ya Ling
Calon wawancara saya ialah Ibu Lucy, seorang warganegara Indonesia berbangsa
Cina dari kota Bogor, kira-kira sejam perjalanan dari kota Jakarta jikalau bermobil. Ibu
Lucy adalah generasi keempat WNI keturunan Cina dalam keluarganya dan ibu ini tidak
bisa mengerti ataupun berbahasa Cina.
Menurut Ibu Lucy, segala aspek-aspek budaya kaum Cina dilarang waktu Orde
Presiden Suharto karena beliau ingin menyatukan Negara Indonesia melalui proses ini.
Antara usaha-usaha yang dikerjakan termasuk: warganegara Indonesia kaum Cina tidak
dibenarkan merayakan Tahun Baru Cina, sekolah-sekolah Cina dan organisasi Cina juga
ditutup, dan penerbitan surat khabar Cina dihentikan. Akibatnya, generasi yang
mengalami pemerintahan Presiden Suharto dinamakan sebagai “The Lost Generation”
karena segala bekas tentang budaya atau kaum Cina turut lenyap.
Selain daripada itu, Ibu Lucy juga menjelaskan bahwa diskriminasi rasial ini telah
membuat proses pendaftaran untuk masuk ke universitas pemerintah sulit buat
mahasiswa kaum Cina karena prioritas diberikan kepada kaum lain dan barangkali
universitas tersebut mempunyai kwota untuk jumlah mahasiswa kaum Cina yang diterima
setiap tahun. Oleh sebab itu, Ibu Lucy memutuskan untuk berkuliah di Negara Jerman
setelah menyelesaikan SMA tiga dan sejak itu, Ibu Lucy telah meninggalkan Indonesia
selama dua puluhan tahun.
Tambahan pula, kebanyakan usahawan dan pedagang yang suskes di Indonesia
adalah kaum Cina yang mahir mengurus perusahaannya. Oleh itu, kaum pribumi merasa
khawatir dan terancam dari segi sosial dan ekonomi karena mereka tidak semampu kaum
Cina walaupun mereka adalah bangsa mayoritas di Indonesia. Jadi, ketegangan dan
perasaan iri terhadap kaum Cina makin bertambah karena perbedaan tersebut.
18
Walaupun hal diskriminasi rasial ini adalah suatu masalah sosial yang
mengkhawatirkan, namun Ibu Lucy tidak pernah sekalipun merasa dihina atau disindir
waktu tahun-tahun ibu bersekolah di Indonesia. Sebaliknya, ibu itu banyak bergaul
dengan kaum pribumi dan mempunyai banyak teman rapat berkaum pribumi pada masa
bersekolah. Jadi Ibu tidak pernah merasakan ketegangan sebagai seorang kaum Cina
dengan kaum-kaum yang lain.
Seterusnya, Ibu Lucy juga mengatakan bahwa ibu tidak merasa rugi walaupun
tidak memahami sepatah kata pun dalam Bahasa Cina karena ini memang tidak penting
buat seorang warganegara Indonesia. Sebaliknya, adalah Bahasa Indonesia yang harus
diketahui oleh semua warganegara Indonesia dan itu yang lebih penting. Tetapi jikalau
seseorang warganegara Indonesia bisa memahami Bahasa Cina, itu adalah suatu
keuntungan dan kebaikan buat orang tersebut. Seperti anak Ibu Lucy, Ibu menjelaskan
bahawa mereka harus mempelajari Bahasa Cina di bawah syarat-syarat sekolah
Singapura dan ibu turut merasa bahwa pengetahuan ini adalah keuntungan anak-anak
ibu.
Di samping itu, Ibu Lucy juga ditanya mengenai masa depan kaum Cina di
Indonesia dan keberhasilan proses pembauran yang bertujuan untuk menyatukan kaum
pribumi dengan kaum Cina di Indonesia. Jawaban Ibu Lucy semuanya positif dan dengan
penuh kepercayaan, ibu Lucy mengatakan asalkan pemerintah Indonesia bertekad ingin
menyatukan dan menghilangkan masalah ketegangan sosial antar kaum, rintangan ini
memang bisa ditangani sedikit demi sedikit setelah waktu yang lama. Contohnya,
perayaan Tahun Baru Cina sekarang bisa dirayakan di seluruh Negara Indonesia dan
terdapat penampilan calon-calon kaum Cina dalam pemerintahan Indonesia. Sekolah-
sekolah di Indonesia juga mulai mengajari Bahasa Cina dan kaum Cina boleh berbicara
dalam Bahasa Cina dengan sesuka hatinya lagi.
Kalau dibandingkan dengan kaum Cina di Singapura, kaum Cina di sini tidak
dipandang rendah oleh masyarakat karena negara Singapura merupakan sebuah negara
yang berbagai suku yang tinggal dengan hamonis. Selain itu, pemerintahan Singapura
juga mendukung kedatangan orang asing, jadi tidak mungkin terdapat ketegangan antar
kaum seperti yang terjadi di Indonesia tahun-tahun yang lalu. Salah satu contohnya
adalah perayaan seperti “Racial Harmony Day” yang diadakan pada bulan Juli setiap
tahun di Singapura dengan tujuan untuk mengingatkan semua warganegara Singapura
19
supaya bersifat dengan sabar terhadap budaya kaum-kaum lain. Dengan ini ketegangan
atau kesalahfahaman antar apa pun kaum bisa dikurangkan, karena mereka lebih sering
bergaul antara satu sama lain daripada hidup secara berkelompok.
Sebagai penutup, semua suku haruslah dianggap sebagai sederajat walaupun
warna kulit, bahasa, budayanya sangat berbeda untuk memupuk dan menyatukan seluruh
negara.
--
20
21
Ayo, Ke Batam Lagi! Penulis-penulis: Brandon Albert Lim
Lim Yinfang Jacinta
Tay Ching Yee
Wee Feng Yi
Kata Pengantar
Pada 21 September 2010, kami berkunjung ke Batam dengan guru-guru serta
teman-teman kami dari kelas Bahasa Indonesia yang lain. Bagi kebanyakan mahasiswa
dari BI4, kunjungan ini adalah kunjungan kedua kami ke Batam. Oleh karenanya,
seharusnya kami mulai lebih mengenal dengan kehidupan sehari-hari warga Indonesia
yang tinggal di Batam.
Pertama-tama, kota Batam adalah kota yang terbesar di propinsi Kepulauan Riau.
Ketika dibangun pada awal tahun 1970-an awal, Batam hanya dihuni sekitar 6.000
penduduk. Meskipun demikian, jumlah penduduk Batam hari ini telah melebihi 1.000.000
jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang sebesar ini disebabkan pertumbuhan Batam
yang sangat pesat. Sebetulnya, pemerintah Indonesia pernah berharap bahwa Batam
bisa menjadi sebuah ‘Singapura’ kecil di Indonesia. Oleh karena dukungan dari
pemerintah, pertumbuhan ekonomi Batam memang lebih cepat (tinggi) kalau
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun demikian, ada pula sebagian penduduk Batam yang mengatakan
B.A.T.A.M. sebetulnya berarti “Banyak Anak Tanya Anak Mana”. Ungkapan ini
disebabkan kehidupan “gelap” yang berada di Batam. Dengan jujur, bagi warga
Singapura, Batam juga dikenal sebagai tempat wisata yang banyak dikunjungi dengan
niat berselingkuh atau mencari pacaran yang tidak sah. Siapa sangka, bila kami
berkunjung ke Batam pada malam hari, kami mungkin dapat melihat kenyataan ini yang
sesungguhnya memprihatinkan.
Selain pertumbuhan Batam yang menarik perhatian, keanekaragaman penduduk
Batam juga merupakan salah satu ciri-ciri Batam yang menarik. Masyarakat Batam terdiri
22
dari beragam suku dan golongan, dan suku yang dominan antara lain Melayu, Jawa, dan
Tionghoa. Selain itu, meskipun kebanyakan penduduk Batam adalah penganut Islam,
Batam sebetulnya memiliki Vihara yang konon terbesar di Asia Tenggara, yaitu Vihara
Duta Maitreya. Menurut pemandu kami, ada banyak turis yang datang ke Batam untuk
berkunjung ke vihara ini.
Di paragraf-paragraf berikutnya, kami akan bercerita tentang perjalanan kami
di Batam semester ini.
Pengalaman Kami di Sekolah Mondial
Tujuan pertama kami adalah Sekolah Mondial (SM). Sekolah Mondial ini belum
mempunyai sejarah yang lama, dan baru didirikan pada bulan Februari 2003. Kepala
sekolah adalah Ibu Irma Miclat, dan dia adalah seorang warga Filipina. Sejak pemulaan
Sekolah Mondial, kepala sekolah belum pernah diganti.
Waktu kami berkumpul di dekat pintu masuk, seorang wakil Sekolah Mondial
memberitahu kami bahwa sekolah ini tidak sama dengan sekolah biasa di Indonesia.
Alasannya Sekolah Mondial mendorong dan mengharuskan semua siswa mereka
berbicara dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa
Mandarin. Peraturan yang seperti ini sama sekali tidak mengherankan, karena
kebanyakan siswa Sekolah Mondial adalah keturunan orang Tionghoa (di Indonesia),
yang tinggal di Batam atau daerah-daerah lain di dekatnya. Selain itu, anak-anak dari
komunitas ekspatriat juga merupakan sebagian besar siswa yang belajar di Sekolah
Mondial. Penyediaan pendidikan yang bermutu tinggi mengakibatkan biaya sekolah yang
agak mahal. Misalnya, orang tua seorang siswa SMA3 harus membayar Rp.1,030,000
(S$150) setiap bulan. Bagi seorang siswa dari luar Indonesia, biaya sekolahnya akan
dikali dua (S$300). Meskipun demikian, jumlah siswa di Sekolah Mondial masih cukup
banyak. Setiap tahun, kira-kira ada 450 siswa yang terdaftar di jenjang SD, SMP dan
SMA. Sebetulnya, biaya sekolah ini juga cocok karena Sekolah Mondial memang
menyediakan fasilitas yang sangat lengkap, misalnya lemari-lemari untuk para siswa dan
alat pendingin ruangan yang terdapat di belakang setiap ruangan kelas. Kelengkapan
fasilitas ini menunjukkan Sekolah Mondial bukan main kayanya Sekolah Mondial, karena
ada banyak sekolah swasta di Singapura pun yang belum memiliki fasilitas selengkap itu.
23
Selain itu, ada juga ada banyak guru lelaki yang memakai kemeja biru dan celana
panjang hitam, seolah-olah mereka berseragam. Tetapi sayang sekali, kami tidak sempat
bertanya kepada mereka tentang hal ini.
Setelah brifing yang agak singkat, kami semua diberi kesempatan untuk masuk ke
beberapa ruang kelas untuk menyaksikan pelajaran-pelajaran yang sedang berjalan. Hal
yang sangat menarik perhatian kami adalah perilaku dan sikap siswa-siswi di Sekolah
Mondial. Meskipun mereka masih muda, mereka kelihatannya sangat patuh, proaktif, dan
matang. Mereka sama sekali tidak malu untuk mengangkat tangan dan dengan sukarela
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberi guru. Siswa yang dipilih guru akan
langsung berdiri, dan memberi jawaban dengan suara yang keras dan jelas. Kelihatannya
siswa-siswi di Sekolah Mondial sangat disiplin, dan ketaatan mereka juga dikarenakan
pengajaran dan bimbingan yang ketat dan bagus.
Selain itu, Brandon yang penasaran juga menengok beberapa buku pelajaran yang
ada di meja, dan memberitahu kami bahwa buku pelajaran Bahasa Inggris dan
Matematika yang dipakai di Sekolah Mondial ternyata diimpor dari Singapura. Adapun
guru-guru yang bekerja di sana, ada banyak juga yang berasal dari berbagai negara,
misalnya Filipina dan Cina. Dengan jelas, Sekolah Mondial memang merupakan tempat
pertemuan bermacam budaya dan bahasa yang terdapat di Asia bahkan dunia. Bagi
seorang murid yang menempuh pendidikannya di Sekolah Mondial, kami yakin dia pasti
dapat mempersiapkan dirinya untuk menghadapi masa depannya yang tentu saja
dipengaruhi oleh arus globalisasi yang kuat.
Selain menyaksikan cara pembelajaran di Sekolah Mondial, kami juga mendapat
kesempatan untuk mengobrol dengan siswa-siswi di sana. Kegiatan ini bertujuan untuk
memberi kami kesempatan untuk berbicara dengan penutur-penutur asli supaya kami
bisa lebih menguasai Bahasa Indonesia. Di dalam kelompok Brandon dan Jacinta
misalnya, ada delapan siswa dari Sekolah Mondial. Semua siswa itu berumur antara 17
dan 18 tahun, dan mereka belajar di tingkat SMA3. Salah satu hasil wawancara kami
yang agak menarik adalah remaja Indonesia juga suka permainan computer seperti
‘DoTa’ dan ‘Starcraft 2’ – tidak berbeda dengan remaja di Singapura. Selain itu, Jacinta
juga berpikir bahwa salah satu siswa lelaki sangat mirip seorang bintang pop Korea.
Adapun kelompok Feng Yi, ada dua siswi yang sangat sopan dan manis. Mereka
24
bernama Mei dan Cecilia, dan kedua siswi ini mengungkapkan keinginannya untuk belajar
di Singapura setelah lulus dari Sekolah Mondial. Mei dan Cecilia adalah keturunan
Tionghoa, dan kata Mei, setelah jam sekolah, dia suka ikut kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan vihara yang terletak di dekat rumahnya, misalnya tarian tradisional.
Di antara semua siswa, yang paling ramah-tamah adalah Dodi. Dodi bercita-cita
untuk menjadi seorang dokter karena orang tua dan beberapa pamannya juga berkerja
dalam bidang medis. Dodi cukup berminat untuk belajar di Singapura, dan banyak
bertanya kepada kami mengenai pendaftaran dan biaya sekolah di NUS. Namun, ketika
Brandon menjawab bahwa proses itu tidak hanya ketat tetapi biaya sekolahnya juga agak
mahal (paling sedikit SGD25,000), Dodi kelihatannya kehilangan semangat. Dapat dilihat,
masa depan para remaja ini masih penuh dengan ketidak-pastian. Namun demikian,
Brandon bercanda dengan Dodi bahwa dia ingin segera bertemu dengan Dodi di NUS.
Secara singkat, kami belajar banyak dari kunjungan ini, dan merasa senang karena
meskipun kami dan siswa-siswi Sekolah Mondial berasal dari negara-negara yang
berbeda, kami semua masih dapat bergaul dengan hangat dan mudah.
25
Sesudah makan siang, kami naik bis lagi dan menuju ke sebuah rumah orang
Tionghoa. Keluarga ini sangat pintar membuat kue lapis yang enak, dan mereka menjual
kue lapis di atas nama ‘Diana Layer Cakes”. Di rumah kecil mereka tersedia berbagai
mesin dan alat yang khas untuk membuat kue lapis.
Kue Lapis Yang Enak
Sebetulnya, sebelum kami masuk ke tempat Diana Layer Cakes, kami sudah bisa
mencium bau wangi dari kue lapis yang sedang dibuat. Saat itu, kami kehilangan
konsentrasi untuk mewawancarai keluarga itu dan pembantunya. Syukurlah, tidak lama
kemudian, kami teringat bahwa kami masih ada tugas yang harus diselesaikan.
Nama pemilik Diana Layer Cakes adalah Ibu Diana. Bu Diana berkata bahwa
mereka memutuskan membuat dan menjual kue lapis karena mereka merasa usaha
rumah ini ada prospek yang bagus. Mereka sudah menjual kue lapis selama 6 tahun.
Pada hari kerja, Diana Layer Cakes dibuka dari jam 5 pagi sampai jam 6 sore, dan pada
akhir minggu, mereka bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Diana Layer Cakes
dikelola oleh 3 anggota keluarga Bu Diana dan 5 pegawainya. Ibu itu berkata, setiap hari,
mereka membuat sekitar 200kg kue lapis. Selain itu, Ching Yee juga mendengar dari
pemandu kami bahwa kue lapis yang dibuat di sana hanya dijual bagi para turis.
Inilah cara untuk membuat kue lapis yang enak:
1. Pisahkan putih telur dari telur. (untuk setiap kilogram kue lapis perlu 20 telur!)
2. Campurkan dan kocok kuning telur, tepung, gula dan esens vanilla.
3. Sebarkan adonan kue itu lapis demi lapis ke dalam Loyang , sampai sebanyak 15
lapis. Setiap lapis harus dipanggang selama 5-10 menit.
4. Keluarkan loyang dari oven. Biarkan kue lapis itu menjadi dingin.
Seluruh proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama (kira-kira 2 jam). Dengan
jelas, membuat kue lapis adalah usaha yang sesungguhnya menuntut kesabaran. Adapun
harga, 1kg kue lapis adalah Rp175.000 (S$25). Kami semua menikmati pengalaman ini
26
karena kami dapat mencicipi kue lapis yang baru saja dipanggang, dan menyaksikan
proses untuk membuat kue lapis.
Berbelanja di Nagoya Hill
Nagoya Hill Shopping Mall letaknya di dekat Nagoya Plaza Hotel, dan mal ini juga
dikenal sebagai Nagoya Hill Superblock di Batam. Nagoya Hill cukup besar, dan terdiri
tiga bagian utama, yaitu Matahari, Hypermart dan Food Street.
Semester yang lalu, kami juga mampir ke Nagoya Hill sebelum pulang ke
Singapura. Kegiatan-kegiatan yang patut dikenang waktu itu termasuk pengalaman
Brandon yang memotong rambutnya di sana, dan kamus-kamus yang kami beli dengan
harga yang lebih murah.
Kali ini, waktu kami turun dari bis, ada sebagian dari siswa BI4 yang ingin mencari
barang elektronik dulu. Yang lainnya ingin pergi ke toko buku, jadi kami langsung bubar
menjadi dua kelompok. Ching Yee, Jacinta dan Feng Yi ikut kelompok kedua.
Toko buku yang kami kunjungi cukup besar. Barang-barang yang dijual juga ditata
dengan tertib. Misalnya, ada bagian yang khas untuk buku, dan bagian ini pun dibagi lagi
menjadi beberapa seksi. Bagi kami, yang menarik perhatian kami adalah besar jumlah
buku-buku mengenai Islam. Buku-buku ini beranekaragam, dan menunjukkan betapa
pentingnya Islam di dalam kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena
toko ini agak besar, kami menggunakan waktu yang cukup lama untuk berbelanja di sana.
Jacinta juga melihat Feng Yi mengobrol dengan seorang kasir yang cantik dan muda.
27
Kasir itu ingin tahu kami berasal dari mana, dan Feng Yi memberitahunya tujuan kujungan
kami di Batam.
Setelah itu, kami pergi ke hypermart untuk berbelanja lagi. Sarah dan Brandon
tidak mau ikut jadi mereka ke kafe J-Co untuk menunggu kami. Bagi kami yang
berbelanja di hypermart, pengalaman ini memang mengasyikkan sekali. Pertama-tama,
Larissa memutuskan duduk di kereta dorong karena dia sudah merasa lelah. Jeffrey yang
kuat menawarkan diri untuk mendorongnya berkeliling hypermart. Selain itu, kami semua
juga membeli banyak makanan seperti kerpirik singkong dan mi kering. Hasil
pembelanjaan ini sangat memuaskan karena semua makanan ini sangat enak dan tidak
mahal.
Sesudah berbelanja, kami naik bis lagi dan menuju ke Taman Miniatur Batam. Di
taman ini dapat ditemukan banyak rumah kecil yang memamerkan bermacam-macam
budaya yang terdapat di Indonesia, di antara lain Minangkabau dan Batak. Arsitektur
semua rumah ini sangat unik, dan setiap rumah menyimbolkan budaya propinsi tertentu di
Indonesia. Kami semua bermain seperti anak-anak di taman miniatur ini, dan banyak
memotret dengan semua rumah kecil ini yang lucu dan indah.
Ayo pergi ke Taman Miniatur!
Kunjungan kami ke Batam kali ini merupakan kenangan yang tidak akan kami
lupakan. Bagi Brandon, dia merasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan
kepadanya, karena kunjungan ini membuat dia bisa melihat dan mengalami apa yang
biasanya tidak dapat dihilhat turis di Batam.
Kesan-Kesan
28
Bagi Ching Yee, dia sangat suka kunjungan kami ke usaha perumahan kue lapis
itu. Menurutnya, kami jarang dapat menyaksikan proses membuat kue lapis di Singapura.
Kami biasanya hanya makan saja, dan tidak pernah berpikir tentang proses untuk
membuatnya.
Bagi Jacinta dan Feng Yi, berbelanja di Nagoya Hill adalah pengalaman yang
paling berkesan dan menyenangkan karena kegiatan itu agak bebas, dan kami juga dapat
berjalan-jalan dan berbelanja secara sesuka hati. Kegiatan-kegiatan yang tidak diatur ini
juga mengingatkan Feng Yi dengan pengalamannya di Yogyakarta tahun yang lalu.
Selain itu, bagi kami yang berkunjung ke Batam semester yang lalu, kami juga
merasa kali ini kami sudah menjadi “kakak”. Selain itu, kalau dibandingkan dengan tingkat
Bahasa Indonesia kami semester yang lalu, kami sekarang sudah bisa lebih mengerti apa
yang dikatakan penutur-penutur Indonesia meskipun mereka bercakap dengan cepat.
Semoga kunjungan ini dapat menjadi kenangan-kenangan bagi semua siswa-siswi BI4
untuk selamanya.
29
Perjalanan kita di Batam Penulis-penulis: Ho Jia Le Larissa
Quek Yen Lin Jeffrey
Sarah Tan Ya Ling
Tay Shengwei Laura
Perjalanan di batam
Pada 21 September 2010 waktu matahari baru terbit, kami semua sudah di
Harborfront Macdonalds mengisi formulir untuk persiapan masuk Indonesia. Setelah itu,
walaupun kami masih mengantuk, kami masih menunjukkan tersenyum lebar untuk
kamera. Pada jam 9 pagi, feri kami berangkat dari Singapura dan kami mulai perjalanan
ke Batam!
Perjalanan di feri cuma satu jam saja. Tetapi karena ada perbedaan antara waktu
Batam dan waktu Singapura, kami sampai di Batam pada jam 9 pagi (waktu Batam).
Waktu sampai di Batam, kami dibagi dua kelompok untuk naik bis mini ke tujuan
pertama kami. Tujuan pertama kami adalah Sekolah Mondial. Di Sekolah Mondial, kami
mempunyai kesempatan untuk meninjau cara pengajarannya. Kami mengamati siswa-
siswi dari kelas TK sampai SMA. Lalu, kami diundang ke aula untuk bergaul dengan
siswa-siswi dari SMA.
30
Sesudah itu, kami berangkat dari Sekolah Mondial untuk melakukan aktivitas yang
orang Singapura paling suka- MAKAN! Kami pergi ke Rumah Makan Pak Datuk
makan makanan khas Indonesia. Penghidangan makanan banyak sekali! Di meja kami
ada 12 piring penuh dengan bermacam-macam makanan khas Indonesia. Misalnya, ada
tempe, ayam goreng, telur dadar, perkedel, kari nangka, rendang sapi, sambal ikan bilis
dengan petai, ikan goreng dan banyak lagi. Masakannya enak sekali, tetapi rasanya
mungkin terlalu keras bagi beberapa dari kami karena kami belum terbiasa makan
makanan khas Indonesia. Kami merasa kesempatan mencoba makanan khas Indonesia
di Batam bagus sekali, walaupun ada beberapa makanan khas Indonesia yang kami tidak
begitu suka. Soalnya rasa makanan khas Indonesia yang dijual di Singapura berbeda
dengan makanan khas yang dijual di Indonesia.
Selanjutnya, kami naik bis pergi ke Usaha Perumahan Kueh Lapis yang bernama
Diana Layer cakes. Di situ kami mencoba kueh lapis, pesan kueh lapis dan paling
penting, mewawancarai Ibu Diana, pemilik toko itu.
Menurut jadwal, kami seharusnya pergi ke Taman mini di Batam. Tetapi karena
hujan, kami dibawa ke Mal Nagoya Hill untuk berbelanja dulu. Mahasiswa yang pernah
datang ke mal tersebut langsung membawa teman-teman lain ke supermarket untuk
berbelanja. Di sana, kami membeli banyak makanan murah seperti Teh Botol, Indomie,
makanan kecil, kecap manis dan lain lain. Sebaliknya, mahasiswa yang ingin santai dan
minum kopi saja, seperti Brandon dan Sarah, pergi ke J.Co bermain Monopoly Deal.
31
Setelah itu kami pergi ke Taman Mini yang memamerkan rumah tradisional dari
propinsi-propinsi di Indonesia. Menarik dan lucu sekali rumah-rumah mini di sana! Kami
mengambil banyak foto-foto dengan rumah-rumah mini dan juga mencoba masuk salah
satu rumah mini yang berbentuk seperti teepee. Kelas kami juga mengambil foto kelas di
depan taman mini. Untuk foto itu kami harus loncat banyak kali sampai berhasil
mengambil foto yang bagus.
Sesudah seharian mengunjungi Batam, kami kembali ke terminal feri. Waktu kami
mendapat formulir kami, kami terkejut sebentar karena kami memperhatikan bahwa Sarah
ditulis sebagai laki-laki! Tetapi itu cuma salah tulis maka kami tertawa Sarah saja dan
terus naik feri pulang ke Singapura.
32
Di Sekolah Mondial
Tempat pertama yang kami kunjungi sesudah kami sampai di Batam ialah Sekolah
Mondial. Sebagai Konsultan Administrasi Sekolah Mondial, Ibu Irma Miclat
memperkenalkan sekolahnya lalu mengadakan wisata singkat di sekitar sekolah.
Sekolah Mondial adalah sebuah sekolah swasta yang didirikan Lembaga
Pendidikan Tahu Kedepan (LPTK) pada Februari 2003. Sebelumnya, sekolah tersebut
bernama Sekolah Tahu Kedepan karena mengikuti nama organisasi yang mendirikannya.
Lalu, setelah dipertimbangkan lagi, nama sekolah tersebut diubah menjadi Sekolah
Mondial.
Gedung sekolah sangat besar, jadi ada cukup ruang-ruang kelas untuk semua
siswa-siswi TK, SD, SMP dan SMA. Ruang-ruang kelas terletak di kedua samping
sepanjang gedung, sedangkan kantor guru dan aula berada di kedua ujung gedung. Di
tengah gedung ada tempat besar untuk orang tua menunggu anak-anak mereka dan ada
juga tempat bermain untuk anak-anak TK.
Karena kami hanya mengunjungi ruang-ruang kelas dan aula sewaktu wisata
singkat yang diadakan Bu Irma, kami cuma bisa melihat fasilitas-fasilitas yang berada di
ruang kelas saja. Walau begini, kami sudah bisa membayangkan kemakmuran keluarga
pelajar Sekolah Mondial, karena setiap ruang kelas dilengkapi alat pendingin ruangan dan
loker untuk siswa-siswi. Jadi tidak anehlah, biaya sekolah mahal sekali! Biaya bagi WNI
berharga 400 ribu rupiah untuk TK sampai 1,03 juta rupiah per bulan untuk SMA3,
sedangkan biaya bagi orang asing seharga S$100 sampai S$350 per bulan.
33
Menurut Bu Irma, calon guru ideal adalah orang Singapura karena mereka bisa
memberikan pendidikan berbahasa Inggris yang berkualitas. Tetapi ongkos untuk
mempekerjakan mereka mahal sekali. Jadi kebanyakan guru yang mengajar di Sekolah
Mondial adalah orang Filipina. Walau begitu, mereka juga bisa berbicara dengan
menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan lebih lancar daripada kami! Akan tetapi, mereka
hanya boleh pakai Bahasa Indonesia dalam beberapa subyek-subyek saja, karena
mereka diharuskan menggunakan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan siswa-
siswi. Kami kira kemungkinan besar dikarenakan pengaruh guru, aksen siswa-siswi
bercorak aksen Filipina apabila mereka berbicara dalam Bahasa Inggris.
Waktu kami di sana, kami mengunjungi lima kelas yang berbeda tingkat. Mereka
sedang belajar Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Bahasa Mandarin dan yang paling
lucu adalah Tarian! Sebenarnya, tarian itu merupakan salah satu aktivitas dalam subyek
Kesehatan untuk anak-anak TK. Waktu di kelas SMP1, kami merasa terkejut ketika kami
lihat sebuah buku pelajaran Bahasa Inggris yang ada di atas salah satu meja pelajar,
karena buku itu juga digunakan di Singapura!
34
Selain subyek-subyek yang tadi disebutkan, subyek-subyek yang lain bagi tingkat
SMP/SMA adalah Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam (Biologi, Kimia), Ilmu
Pengetahuan Sosial (Sejarah, Geografi, Ekonomi), Komputer, Pendidikan Olahraga, Seni
dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarga-negaraan). Menurut Mei (17), salah satu
siswi SMA3 yang kami wawancarai, Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial juga dibagi dua –
sebagian dalam Bahasa Inggris, sebagian dalam Bahasa Indonesia. Mei juga
menerangkan bahwa proporsi pelajar yang belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (50 orang)
lebih banyak daripada Ilmu Pengetahuan Alam (8 orang). Itu membuat kami heran,
karena demografi ini terbalik dibandingkan demografi yang sama di Singapura.
Seperti Mei, kebanyakan siswa-siswi yang kami interview berasal dari Batam.
Sisanya dari propinsi yang lain atau berasal dari luar negeri. Umumnya, kami merasa
siswa-siswi di Sekolah Mondial sangat taat dan senang belajar. Seperti pelajar-pelajar
yang sebaya mereka, mereka belum ambil keputusan tentang tujuan hidup masa depan
mereka. Jadi selama wawancara kami, mereka juga bertanya kembali kepada kami
tentang prasyarat modul-modul dan kehidupan di NUS. Tidak peduli apakah mereka
diterima di NUS, kami berharap bahwa mereka bisa berhasil dalam kehidupan mereka!
35
Di Perusahaan Kueh Lapis Rumahan
Salah satu tempat yang kami kungjungi waktu karya wisata kelas BI4 ke Batam
adalah perusahaan kueh lapis rumahan, Diana Layer Cakes. Kami semua mempunyai
peluang untuk menyaksikan cara membuat kue lapis, berbicara dan mewawancarai
pemilik toko Ibu Diana dan mencoba icip-icip kue yang dibuat oleh Ibu Diana.
Diana Layer Cakes adalah sebuah toko kueh yang terkenal di Batam, khusus
membuat kueh lapis dengan rasa asli saja. Toko ini sudah beroperasi selama 6 tahun
sejak 2004 dan terdapat delapan orang yang terlibat dalam pengurusan perusahaan ini,
yaitu tiga orang anggota keluarga Ibu Diana dan lima pegawai lain. Toko ini beroperasi
dari jam 5 pagi sampai 6 sore pada hari kerja dan jam 7 pagi hingga 2 siang pada akhir
pekan.
Menurut Ibu Diana, mereka memanggang sebanyak kira-kira 200kg kueh lapis
sehari. Dan mereka hanya menjual dua jenis kueh lapis, yaitu kueh lapis 1kg yang
berharga S$25 / Rp 175,000 atau 0.5kg yang berharga $12.50 / Rp 87,500. Walaupun
toko Diana Layer Cakes cuma buka buat jangka waktu yang lebih pendek pada hari akhir
pekan, mereka masih mendapat pesanan yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan
hari kerja. Selain daripada itu, musim perayaan seperti Tahun Baru Cina adalah waktu
yang paling sibuk buat semua pegawai di toko itu karena kebanyakan pelanggan toko Ibu
Diana adalah orang Cina.
Ibu Diana juga menjelaskan proses-proses yang diperlukan untuk menyediakan
kueh lapis yang sempurna. Pertama-tama, pisahkan telur kuning dari telur putihnya
karena hanya telur kuningnya diperlukan. Apabila ditanya apakah yang akan dilakukan
untuk kesemua telur putih yang tidak diperlukan, mereka menjelaskan bahwa telur putih
36
itu akan dikumpulkan dalam sebuah tong dan digunakan untuk penggunaan lain atau
dijual kepada orang lain. Vanili ekstrak juga ditambahkan pada telur kuning untuk
memberikan suatu bau yang harum untuk kuehnya.
Seterusnya, telur kuning dan margarin dicampur bersama dan diaduk dalam mesin
adukan sehingga warnanya bertukar dari kuning sampai warna krem dan teksturnya
menjadi halus. Tepung turut dimasukkan ke dalam adonannya untuk mengurangi dan
mengimbangkan kecairan adonannya. Lalu adonannya diaduk lagi untuk mencampur
kesemua bahan-bahan bersama. Setelah ini, adonannya dituangkan ke dalam cetakan
selapis demi selapis. Setiap lapis harus dipanggang dalam oven selama 4-5 menit atau
sehingga lapisannya menjadi warna kuning emas sebelum lapis berikutnya dituang ke
atasnya. Proses ini diulangi sehingga ukuran kuehnya mencapai 15 lapis.
Ibu Diana juga bilang bahwa kami bisa membuat sehingga adonannya habis
menurut kesukaan kami masing-masing, tetapi kuehnya akan susah dipotong jikalau
kuehnya terlalu tebal.
Waktu keseluruhan yang dipakai untuk menyelesaikan kueh lapis rata-rata selama
dua jam. Setengah jam untuk menyediakan bahan-bahan serta mencampurkan
adonannya, satu jam buat proses pembakaran yang berulang-ulang dan setengah jam
untuk mendinginkan hasil kueh lapis.
Meskipun kami pernah pergi ke Batam semester yang lalu, tetapi perjalanan ini
berbeda dengan perjalanan yang lalu. Yang paling jelas adalah kami bukan tingkat kelas
yang paling rendah lagi karena sekarang sudah di kelas BI4. Waktu kami mendengar
teman-teman dari kelas BI3 meminta pemandu wisata berbicara perlahan-lahan atau
Pikiran dan perasaan kami
37
bertanya tentang arti kata-kata yang dikatakan oleh dia, itu mengingatkan pengalaman
sama yang kami hadapi di Batam semester yang lalu. Pada saat itu, waktu masih di kelas
BI3, kami juga menghadapi kesusahan karena belum terbiasa pada cara berbicara dari
orang asli, jadi kami bisa mengerti perasaan mereka. Kalau dibandingkan dengan yang
lalu, sekarang kami bisa mengerti apa yang dikatakan oleh pemandu wisata dengan lebih
baik. Kami merasa puas karena ini menunjukkan kemajuan kemampuan bahasa
Indonesia kami.
Satu hal yang diperhatikan oleh kami adalah visi dan misi dari Sekolah Mondial.
Tujuan sekolah adalah mendidik siswa-siswi supaya mereka bisa menjadi berkat buat
bangsa dan dunia mereka. Tujuannya memang mulia! Karena ini berarti siswa-siswi dapat
pendidikan bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk memperbaiki tempat
lingkungan. Waktu di sana, kami diberikan kesempatan untuk meninjau beberapa kelas.
Di setiap kelas, ada peraturan yang harus siswa-siswi ikuti. Misalnya, mereka harus
mengangkat tangan kalau ingin memberi jawaban, berdiri sambil menjawab pertanyaan,
mengungkapkan terima kasih pada tamu-tamu sebelum kami meninggalkan kelas ruang
dan lain lain.
Di salah satu kelas matematika, kehadiran kami menyebabkan beberapa siswa-
siswi merasa malu dan takut coba menjelaskan jawaban di depan kelas. Yang
menambah rasa salut kami pada sekolahnya adalah gurunya tidak berhenti mendorong
mereka dan memberikan dukungan supaya mereka berani mencoba. Cara yang
dimanfaatkan dapat mendidik siswa-siswi untuk bersikap sopan dan mempersiapkan
mereka masuk ke dunia kerja di masa depan. Cara ini bisa sebagai salah satu model
metode yang kami bisa pelajari dan pakai, kalau kami akan menjadi guru-guru atau
bahkan waktu kami menjadi orang tua di masa depan.
38
Selain itu, perjalanan ini memberikan kesempatan kepada kami memperkuat tali
persahabatan kami. Selama perjalanannya, kami tidak hanya berusaha membuat proyek,
tetapi juga menikmati melakukan aktivitas bersama seperti makan, bermain mainan kecil
dan berbelanja. Perjalanan ini juga memberi kesempatan untuk kami bisa saling
mengetahui dengan lebih baik di luar kelas. Misalnya, kami bisa tahu siapa yang senang
berpose waktu mengambil foto, siapa yang tertawa paling lucu dan lain lain. Meskipun
aktivitas tersebut begitu kecil, tetapi itu akan menjadi kenang-kenangan yang
menyenangkan kami.