slametan · 2018. 1. 8. · sesudah 1000 hari (nyewu, nyadaran besar).2 hal tersebut akan dilakukan...

40
1 SLAMETAN “KAJIAN SOSIO-TEOLOGIS TENTANG PERINGATAN LELUHUR DAN ORANG MATI DI JEMAAT GKJW WILAYAH BALUN” Oleh, Yohanes Candra Dwi Santoso NIM: 712012088 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol) Program Studi Teologi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2017

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    SLAMETAN

    “KAJIAN SOSIO-TEOLOGIS TENTANG PERINGATAN LELUHUR DAN

    ORANG MATI DI JEMAAT GKJW WILAYAH BALUN”

    Oleh,

    Yohanes Candra Dwi Santoso

    NIM: 712012088

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

    Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Sarjana Sains dalam

    bidang Teologi (S.Si-Teol)

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga

    2017

  • 2

  • 3

  • 4

  • 5

    Kata Pengantar

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas

    kasih-Nya yang begitu besar dalam hidup, sehingga penulis dapat menyelsaikan

    tugas akhir dengan judul “SLAMETAN. Sebuah Kajian Sosio-Teologis Tentang

    Peringatan Leluhur dan Orang Mati di Jemaat GKJW Wilayah Balun”. Tugas

    akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelsaikan Program

    Sarjana Fakultas Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam

    menyelsaikan penyusunan tugas akhir ini penulis banyak mendapatkan dorongan

    motivasi, saran dan bimbingan dari berbagai pihak yang memiliki keterkaitan

    untuk menyelsaikan penulisan. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa dukungan,

    saran dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut, maka penulisan Tugas Akhir

    tidak dapat berjalan dengan lancer sesuai dengan kehendak yang diinginkan

    penulis. Oleh karena itu dengan tulus dan kerendahan hati penulis mengucapkan

    banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membimbing, membantu

    dan memberikan fasilitas dalam menyelsaikan tugas akhir ini.

    Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis menyadari bahwa masih

    banyak kekeurangan dalam penulisan oleh karena keterbatasan pengetahuan dan

    wawasan yang penulis miliki. akhir kata semoga tugas akhir ini dapat memberikan

    manfaat bagi penulis, warga gereja, keluarga dan masyarakat yang membaca serta

    terlibat dalam penulisan tugas akhir ini.

    Salatiga,

    Yohanes Candra Dwi Santoso

  • 6

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ....................................................................................

    LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................

    PERNYATAAN KEASLIAN…...................................................................

    PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES.................................................

    KATA PENGANTAR....................................................................................

    DAFTAR ISI...................................................................................................

    UCAPAN TERIMA KASIH.........................................................................

    MOTTO..........................................................................................................

    ABSTRAK......................................................................................................

    I. PENDAHULUAN..............................................................................

    1.1 Latar Belakang........................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 6

    1.3 Tujuan Penelitian....................................................................... 6

    1.4 Metode Penelitian....................................................................... 6

    1.5 Sistematika Penulisan................................................................. 7

    II. LANDASAN TEORI........................................................................

    2.1 Koentjaraningrat ........................................................................ . 7

    2.2 Clifford Geertz............................................................................ 9

    2.3 Victor Turner............................................................................... 12

    2.4 Harun Hadiwijono...................................................................... 13

    III. TEMUAN HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN

    ANALISA..........................................................................................

  • 7

    3.1 Profil Jemaat .............................................................................. 14

    3.2 Sejarah Singkat Jemaat............................................................... 15

    3.3 Pemahaman Pendeta, Majelis dan Jemaat GKJW Lamongan Wilayah

    Balun tentang Slametan orang mati secara tujuh hari berturut-turut

    .................................................................................................... 16

    IV. PENUTUP.........................................................................................

    4.1 Kesimpulan................................................................................. 23

    4.2 Saran.......................................................................................... 25

    DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 27

  • 8

    Penulis menguvcap terima kasih kepada:

    1. Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya dalam seluruh kehidupan saya,

    terkhusus dalam menyelsaikan Pendidikan saya, serta atas segala

    pertolonganNya yang selalu ada setiap waktu.

    2. Pdt. Dr. Retnowati selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu

    dan tenaga untuk membimbing dan memberikan semangat kepada penulis

    dalam mengerjakan Tugas Akhir.

    3. Astrid Bonik Lusi, M.Th sebagai pembimbing 2 yang telah memberikan

    waktu untuk membimbing dan memberikan motivasi yang baik dalam

    penulisan Tugas Akhir Tersebut.

    4. Pdt. Dr. Ebenhaizer Nuban Timo sebagai dosen wali studi yang telah

    memberikan waktu untuk membimbing dan memberikan motivasi yang baik

    dalam penulisan Tugas Akhir Tersebut.

    5. Seluruh dosen dan pegawai tata usaha (TU) Fakultas Teologi Universitas

    Kristen Satya Wacana yang telah membantu seluruh proses dari awal

    perkuliahan sampai pada penulisan Tugas Akhir Tersebut yang merupakan

    salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teologi.

    6. Orang Tua yang hebat yang selalu mendukung, senantiasa mendoakan,

    memberi semangat, memberi motivasi dan membiayai penulis dalam proses

    pendidikan yang penulis lalui.

    7. Bapak Pdt. Jatmiko yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan

    semangat dalam proses perkuliahan yang penulis tempuh.

    8. Seluruh Majelis Jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun yang telah

    membantu penulis dalam penulisan Tugas Akhir ini sebagai narasumber

    dalam penulisan tugas akhir ini dan yang senantiasa memberikan dukungan

    dalam proses perkuliahan penulis baik dalam bentuk materi maupun non-

    materi.

    9. Keluarga besar Teologi angkatan 2012 “SAPI” Fakultas Teologi Universitas

    Kristen Satya Wacana yang selalu mememberikan semangat dan perhatian

    kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

  • 9

    10. Keluarga besar Persekutuan Pelayanan Sekolah Minggu dan Ibu-ibu Komisi

    Anak GKJ Salatiga yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan semangat

    untuk penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

    11. Keluarga besar RESIMEN MAHASISWA UKSW yang senantiasa

    memberikan didikan, semangat dan motivasi kepada penulis dalam

    menyelesaikan tugas akhir ini hingga selesai.

    12. Guru-Guru Sekolah Minggu GKJ Salatiga yang senantiasa mendukung penulis

    dalam proses perkuliahan dan pelayanan selama berada di Salatiga.

    13. Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Asal GKJW di UKSW “Among Dhami”

    untuk setiap dukungan, semangat persaudaraan dan motivasi yang selalu

    diberikan kepada penulis selama ini.

  • 10

    MOTTO

    “BUKAN YANG DILIHAT MANUSIA YANG DILIHAT

    ALLAH; MANUSIA MELIHAT APA YANG DIDEPAN

    MATA, TETAPI TUHAN MELIHAT HATI”

    1 SAMUEL 16:7

    “JALANI DAN NIKMATI SETIAP TAHAP

    KEHIDUPAN, TANAMKAN DIHATI PETUAH ORANG

    TUA KARENA HIDUP HAYA SATU KALI”

  • 11

    I. Pendahuluan

    1.1 Latar belakang

    Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan adalah desa yang

    menjunjung tinggi nilai budaya dan adat. Desa tersebut memiliki keberagaman

    agama dan budaya. Ada tiga agama yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Bangunan

    untuk beribadah dari masing-masing agama pun sangatlah berdekatan satu dengan

    yang lain. Kehidupan di desa pun tergolong rukun dan memiliki jiwa toleransi

    yang tinggi dalam hal keagamaan serta adatnya. Sehingga terjalinlah rasa saling

    menghargai dan menghormati antar agama. Kemudian di desa ini memiliki adat

    dan kebudayaan yang sangat kuat untuk mengingat orang yang telah meninggal.

    Meskipun sudah ada beberapa agama yang masuk ke desa namun untuk tradisi

    kematian memiliki keunikan tersendiri dari desa-desa disekitar wilayah Lamongan

    lainnya.

    Setiap hari Jumat Kliwon masyarakat dari berbagai penjuru kota

    berkunjung untuk berziarah pada makam yang diyakini “Waliluyah” atau pelaku

    sejarah Kota Lamongan. Orang-orang datang untuk membawa bunga, kemenyan

    dan memanjatkan doa yang diinginkan ke makam yang diyakini sebagai cikal

    bakal Lamongan atau sebagai orang pertama yang ada di Lamongan. Dalam

    kehidupan masyarakat desa ada yang khas untuk mengenang atau menghormati

    orang yang telah meninggal yaitu dengan diadakannya ibadah penghiburan selama

    tujuh hari berturut-turut, lalu empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan

    “pendak” atau setiap tahun di peringati terhitung ketika orang tersebut meninggal.

    Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka akan terjadi hal buruk bagi keluarga

    yang ditinggalkan dan bagi yang meninggal. Ketika meninggal selama tujuh hari

    secara berturut-turut keluarga yang ditinggalan akan mengadakan syukuran atau

    selametan, serta pada Jumat Kliwon mengirim bunga dan berdoa ke makam untuk

    mendoakan yang telah meninggal serta meminta kelancaran rezeki atau

    perlindungan. Kemudian jika akan merayakan hari besar keagamaan pasti ada

    acara ucapan syukur kepada Tuhan yang didalam acara itu juga menyediakan

  • 12

    sesajen untuk keluarga yang telah meninggal, karena diyakini bahwa keluarga

    yang sudah meninggal akan datang dalam acara ucapan syukur itu. Hal yang

    demikian terjadi secara terus menerus bagi setiap keluarga yang ditinggakan,

    bahkan apabila dari anggota keluarga memiliki peranan penting dalam suatu

    agama jika meninggal akan diperlakukan lebih mewah untuk acara peringatannya.

    Desa Balun merupakan salah satu tempat yang dianggap sebagai

    persinggahan dari “Mbah Alun” atau Sunan Tawang Alun 1. Beliau merupakan

    seseorang yang sangat berpengaruh dalam sejarah terbentuknya Kota Lamongan.

    Sunan Tawang Alun merupakan seorang Ulama dengan sebutan Raden Alun atau

    Raden Sin Alun. Beliau berasal dari Pesantren Giri Kedatan, beliau juga memiliki

    dan menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasyawut. Ilmu- ilmu

    tersebut dalam perjalannanya digunakan untuk membekali diri.

    Di desa Balun ada istilah yaitu “Slametan”. Slametan merupakan cara

    yang dilakukan oleh warga desa untuk mengingat dan menghormati leluhur dan

    orang mati. Cara yang dilakukan juga merupakan salah satu hasil dari kebudayaan

    yang ada pada cikal bakal dari desa balun sendiri. Sehingga setiap warga desa

    akan melakukan selametan terhadap orang yang telah meninggal, apabila tidak

    melakukan selametan akan berpengaruh bagi setiap individu atau keluarga,

    misalnya akan menjadi bahan pembicaraan tetangga dan saudara, serta dipercayai

    akan menghambat orang yang meninggal menuju sorga. Salah satunya warga desa

    melakukan slametan secara tujuh hari berturut-turut ketika ada salah satu

    keluarganya yang meninggal. Dalam selametan secara tujuh hari berturut-turut

    acara yang dilakukan yaitu berkumpul mengundang sanak-saudara dan tetangga,

    ibadah singkat dan mendoakan bagi keluarga serta terkadang juga mendoakan

    orang yang telah meninggal. Hal tersebut terjadi juga bagi warga Kristen sehingga

    terkadang ada juga yang merasa ganjal ketika mengikuti acara tersebut.

    Tradisi slametan sendiri memang tidak bisa dipisahkan dalam lingkup

    masyarakat Jawa. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan dari Almarhum Rachmat

    Subagya tentang kerohanian itu timbul dan tumbuh secara spontan bersama (suku)

  • 13

    bangsa itu sendiri.1 Di Jawa selamatan biasanya diulangi pada hari ke-3, -7, -40, -

    100, sesudah satu tahun (pendhak), dua tahun (peling atau pendhak pindo),

    sesudah 1000 hari (nyewu, nyadaran besar).2 Hal tersebut akan dilakukan secara

    terus menerus oleh keturunannya. Slametan juga merupakan salah satu nilai hidup

    yang dimiliki oleh masyarakat di Jawa dengan berbagai budaya yang ada. Melihat

    dari prespektif Viktor Turner tentang nilai kehidupan manusia sendiri itu

    “imaginative and emotional”3 memang sangatlah berpengaruh pada budaya yang

    ada atau yang dimiliki dalam suatu tatanan masyarakat. Sehingga pemikiran yang

    timbul dari imajinasi manusia akan diekspresikan melalui hal-hal yang dianggap

    manusia adalah cara untuk dapat memahami orang yang meninggal. Sehingga

    menemukan suatu kelegaan apabila melihat saudara yang meninggal yang mana

    hal ini tercermin dalam slametan yang dilakukan masyarakat.

    Budaya Jawa banyak yang berbeda kaitannya memahami orang yang

    meninggal. Sehingga orang-orang banyak memiliki pendapat yang berbeda antara

    satu dengan yang lain, serta pemahaman yang diperoleh tidak bisa dipastikan

    hanya cara satu saja yang benar. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan

    juga pernyataan-pernyataan diberikan yang membingungkan. Pemahaman dari sisi

    budaya atau adat dalam konteks Jawa memiliki peranan yang sangat besar dan

    erat sekali dengan masyarakat. Jika mengikuti anatomi Clifford Geertz yang

    menunjuk adanya dua aspek pokok dalam setiap kebudayaan yaitu aspek moral

    dan estetik yang sering disebut ethos disuatu pihak dan aspek-aspek kognitif dan

    eksistensial yang sering disebut sebagai pandangan hidup.4 Sehingga diperlukan

    pemahaman yang lebih untuk membuka dan memberikan pengetahuan mana saja

    yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan ketika seseorang sudah

    menganut suatu kepercayaan. Seseorang akan merasa bahagia jika sudah

    melakukan hal baik dan pada akhirnya nanti akan memperoleh hal baik juga.

    1 R Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia (Jakarta Pusat: Yayasan

    Cipta Loka Caraka, 1979),13. 2 R Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia (Jakarta Pusat: Yayasan

    Cipta Loka Caraka, 1979),160. 3 Victor Turner, The Ritual Proces: structure and Anti- Structure (Chicago: Aldine

    publicsing company,1969),5. 4 Cliford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Book, 1973), 126-127.

  • 14

    Sehingga melalui apapun caranya manusia akan melakukannya agar dalam hidup

    yang dijalani masa sekarang dan masa depan dapat memperoleh kebahagiaan.

    Dalam budaya Jawa pemberian Sesajen sebuah upacara adat digunakan

    untuk persembahan atau ucapan terima kasih kepada dewa atau roh yang telah

    melindungi dan memberi keberkahan kepada mereka dalam berbagai hal, mereka

    yang percaya akan hal itu akan terus menerus mempertahankan hal tersebut. Sama

    halnya dengan penghormatan kepada leluhur, ingin menjelaskan bahwa

    penghormatan kepada leluhur digambarkan kepercayaan manusia sendiri akan

    hidup sesudah kematian. Hal ini dapat memberikan dampak pada sekelompok

    orang yang ingin mempertahankan adat atau budaya menggunakan beberapa cara

    agar budayanya atau adatnya yang seperti ini bisa disandingkan dengan

    kepercayaan pada masa sekarang.

    GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) didirikan pada tanggal 11 Desember

    1931.5 GKJW merupakan salah satu bentuk organisasi gereja yang berkembang di

    Indonesia dan didalamnya terdapat dogma-dogma yang harus dilakukan. Dalam

    perkembangan GKJW dogma sangatlah penting. Dogmatika adalah bagian yang

    tak terpisahkan dari disiplin ilmu Teologi.6 Dalam perkembangan GKJW, dogma

    tersebut tertuang dalam Tata Pranata Greja Kristen Jawi Wetan. Ada beberapa hal

    yang sangat penting dalam dogmatika yaitu berbicara tentang sejarah gereja,

    oikumenika dan hukum gereja. Sehingga membuat perkembangan gereja tidak

    dapat dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi harus dari berbagai sudut

    pandang.

    Dalam lingkungan masyarakat Lamongan, Kekristenan sangatlah

    minoritas sehingga bangnan grerja-gereja pun tidak banyak didirikan. Adapun

    salah satunya gereja yang berkembang yaitu GKJW. GKJW di Lamongan dibagi

    menjadi 3 wilayah yaitu GKJW Wilayah Lamongan, GKJW Wilayah Balun dan

    5 Tata Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, bab 1(malang: Majelis Agung Greja Kristen

    Jawi Wetan, 1996), 4. 6 Ebhenhaizer I Nuban Timo, Allah Yang Mengulang Dirinya Tiga Kali: Suatu

    Pertimbangan Bagi Dogmatika Kontekstual di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana

    University Pers, 2013), 1.

  • 15

    GKJW Wilayah Pelang. Ketiga wilayah tersebut dilayani oleh seorang Pendeta.

    Sehingga dalam perkembangannya di dunia GKJW tidak hanya campur tangan

    Tuhan saja yang terjadi namun ada juga campur tangan manusia. Manusia

    diciptakan dengan dibekali akal dan pikiran, sehingga manusia memiliki

    pemahaman-pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lain. Pemahaman-

    pemahaman tersebut adalah pemahaman tentang ilmu pengetahuan, yang

    merupakan ilmu bisa dibuktikan secara nyata dan pemahaman ilmu mistis atau

    yang tidak bisa dipikirkan secara logika manusia. Ketika melihat dari alam

    pemikiran mistis, manusia berhadapan dengan dunia dan dunia itu dipresepsi

    sebagai lingkungan yang penuh kuasa-kuasa.7 Sehingga banyak hal yang bisa

    memengaruhi manusia untuk mengingat dan menghormati orang mati dan leluhur.

    Hal tersebut akan berbeda jika manusia melihat dari sudut pandang ilmu

    pengetahuan, bahwa manusia apabila mati sudah tidak bisa lagi berkomunikasi

    dengan manusia yang hidup.

    Sehingga akan ada beragam cara dapat dilakukan dalam masyarakat untuk

    melakukan perwujudan pemberian ucapan syukur dalam suatu kepercayaan.

    Doktrin yang diberikan pada suatu kepercayaan tentunya berbeda satu dengan

    yang lain dan tidak bisa disamaratakan. Hal ini belum banyak orang yang

    memahami sehingga masih banyak orang-orang beranggapan kepercayaan yang

    dianut adalah yang paling benar. Ada banyak cara yang diberikan oleh manusia

    kepada sesamanya yang telah meninggal. Namun manusia terkadang belum

    mengetahui apakah memang hal itu baik atau tidak jika dilihat dari sisi

    kepercayaan dan budaya yang dianut. Sehingga manusia perlu penjelasan dan

    pemahaman agar semua cara yang dilakukan untuk memahami dan menghormati

    leluhur dan orang mati tidak hanya dilakukan secara ikut-ikutan orang lain, tetapi

    hal tersebut memang sudah menjadi ungkapan syukur dan terima kasih kepada

    leluhur.

    7 Robby I. Chandra, Teologi dan Komunikasi (Yogyakarta: Duta Wacana University

    Press, 1996), 51.

  • 16

    Dalam Kekristenan, hakekat gereja dipercayai dari “atas” yaitu atas

    kehendak dan amanat Tuhan sendiri.8 Hal tersebut bisa diartikan perkembangan

    gereja adalah kehendak Tuhan. Tetapi ada yang tidak bisa dipungkiri bahwa

    manusia juga ikut berperan penting untuk pemikiran-pemikiran dalam

    perkembangan gereja. Manusia dalam hal ini ikut ambil bagian karena memiliki

    akal dan pikiran yang memang dikarun iakan Tuhan dibandingkan ciptaan-Nya

    yang lain, sehingga gereja dapat berkembang dan tidak terombang-ambing dalam

    arus dunia, terlebih jika gereja berada dalam lingkup pengaruh adat atau

    kepercayaan yang sangat kuat.

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi

    permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1.2 Rumusan Masalah

    1. Mengapa Jemaat GKJW Wilayah Balun melakukan slametan orang mati

    selama tujuh hari berturut-turut?

    2. Apa tanggapan GKJW Wilayah Balun tentang cara slametan orang mati

    selama tujuh hari berturut-turut?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1. Menjelaskan dan mendeskripsikan alasan Jemaat GKJW Wilayah Balun

    melakukan slametan untuk mengingat leluhur dan orang mati secara tujuh

    hari secara berturut-turut.

    2. Mendeskripsikan dan menganalisis tanggapan GKJW Wilayah Balun

    tentang slametan secara tujuh hari secara berturut-turut untuk

    menghormati leluhur dan orang mati.

    1.4 Metode Penelitian

    a. Pendekatan

    8 Retnowati, Agama dan Masyarakat Iptek (Salatiga: Fakultas Teologi), 1.

  • 17

    Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan

    pendekatan kualitatif yang mendalam tentang cara masyarakat desa Balun

    mengingat leluhur dan orang mati selama tujuh hari berturut-turut.

    b. Cara pengambilan data

    Dalam melakukan penelitian, akan dilakukan dengan wawancara karena

    dapat membantu penulis untuk dapat mengerti, mengetahui, dan

    memahami apa yang terjadi di lapangan dan melakukan studi pustaka

    (studi dokumen) untuk memperoleh data tentang pemahaman slametan

    tujuh hari berturut-turut untuk menghormati leluhur dan orang mati.

    c. Informan atau responden

    Dalam hal ini akan dilakukan wawancara yang mendalam kepada Pendeta

    Jemaat, Majelis Gereja dan Jemaat GKJW Balun.

    d. Lokasi penelitian

    Penelitian dilakukan di Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Wilayah Balun,

    Lamongan-Jawa Timur.

    e. Manfaat penelitian

    1. Manfaat dari penelitian ini agar dapat menjadi bahan pemikiran dan

    dapat menjelaskan bahwa agama dan adat bisa berjalan secara

    beriringan tanpa harus menghilangkan kebiasaan atau tradisi sehingga

    dapat menjadi pelengkap satu dengan yang lain.

    2. Melalui penelitian ini akan dihasilkan karya ilmiah yang diharapkan

    dapat menjadi sumber pustaka yang bermanfaat bagi kalangan

    intelektual dan warga Gereja tentang penghormatan orang mati melalui

    slametan selama tujuh hari berturut-turut, serta menjadi pemahaman

    bagaimana cara menghormati orang mati dan leluhur menurut budaya

    dan cara hidup Iman Kristen.

    1.5 Sistematika Penulisan

    Penulis membagi sistematika penulisan penelitian dalam empat bagian.

    Pertama, menjelaskan tentang latar belakang masalah, alasan pemilihan judul,

    rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

  • 18

    sistematika penulisan. Kedua, berisikan tentang landasan Teori dari teori dari

    Koentjaraningrat, Clifford Geertz, Victor Turner, H. Hadiwijono dan pemahaman

    Budaya Jawa tentang Slametan orang mati secara berturut-turut. Ketiga, dibahas

    hasil penelitian yang meliputi permasalahan-permasalahan yang ditemukan.

    Keempat, bagian ini berisi penutup yang meliputi kesimpulan berupa temuan-

    temuan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian, pembahasan dan analisis.

    II. Landasan Teori

    2.1 Tradisi slametan menurut Koentjaraningrat

    Daerah asal orang Jawa adalah pulau jawa, yaitu satu pulau yang

    panjangnya lebih dari 1.200 km, dan lebarnya 500 km, bila diukur dari ujung-

    ujungnya yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan Kepulauan Indonesia,

    kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis katulistiwa. Pulau ini hanya

    merupakan tujuh persen dari seluruh daratan kepulauan Indonesia.9 Daerah Jawa

    beragam akan kebudayaan dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakatnya.

    Diperkirakan bahwa sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di

    Pulau Jawa sudah memiliki suatu kebudayaan.10

    Masyarakat Jawa pada umumnya merupakan masyarakat yang memang

    sangat kental dengan tradisi warisan para leluhur atau nenek moyang. Seperti

    halnya ketika melihat acara adat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada

    umumnya tidak akan lepas dari ritual-ritual yang harus dilakukan. Misalnya saja

    ketika ada keluarganya yang meninggal tentunya akan ada acara untuk

    penghormatan atau cara-cara tersendiri untuk mengenang atau mensyukuri apa

    yang telah terjadi.

    Dalam perkembangan kehidupan masyarakat Jawa, memang masih ada

    yang masih mengikuti kepercayaan atau keyakinan Agami Jawi atau “Kejawen”.

    Hal tersebut memang tidak bisa dihilangkan sepenuhnya karena sebelum agama

    (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan Katholik) masuk ke Pulau Jawa

    masyarakat banyak yang mengikuti aliran kepercayaan. Meskipun ada beberapa

    hal yang terkadang memiliki kesamaan ketika sedang melakukan ritual-ritual

    9 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 3.

    10 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 31.

  • 19

    tertentu. Sebagian dari system budaya agama Kejawen merupakan suatu tradisi

    yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagian penting yang juga terdapat

    dalam kesusteraan yang dianggap sangat keramat dan bersifat moralis.11

    Sehingga

    melalui hal tersebut dapat memberikan pemahaman seseorang yang percaya

    menjadi yakin bahwa apa yang telah dilakukan adalah tindakan yang benar.

    Pemahaman orang Jawa memiliki keyakinan bahwa tidak lama setelah

    orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) yang

    disebut lelembut, yang berkeliaran disekitar tempat tinggalnya. Makhluk halus itu

    lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan pada saat-saat tertentu keluarganya

    mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah di tempuh roh itu menuju

    alam roh, tempatnya yang abadi kelak.12

    Sehingga dalam masyarakat Jawa tradisi

    slametan merupakan bagian yang penting bagi kehidupan dan keyakinan yang

    dianggap benar oleh setiap masyarakat. Kemudian dalam tradisi Jawa apabila

    seseorang telah meninggal ada beberapa tahapan yang harus di jalani untuk yang

    hidup dan yang meninggal, untuk yang masih hidup akan melakukan slametan

    dan yang meninggal akan ada tahapan-tahapan untuk mempertanggung jawabkan

    perbuatannya selama masa hidupnya. Ketika seseorang anggota keluarga telah

    meninggal maka dalam keluarga tersebut akan memiliki tanggungan yang harus

    dilakukan yaitu mengurus makam, hal tersebut merupakan salah satu tradisi dan

    merupakan tempat melakukan kontak dengan keluarga yang masih hidup, dan

    dimana keturunannnya melakukan hubungan simbolik dengan roh orang yang

    telah meninggal.13

    Masyarakat Jawa sangatlah kental dengan tradisi slametan. Tradisi

    slametan sendiri merupakan salah satu upacara yang penting, upacara yang

    terpenting adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa disebut wilujengan

    (krami) atau slametan (ngoko).14

    Didalam lingkup masyarakat Jawa sendiri ada

    tingkatannya dalam berbahasa yaitu “karma atau krami” dan “ngoko” Bahasa

    Jawa Ngoko yaitu dipakai untuk orang yang sudah di kenal akrab, dan terhadap

    11

    Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 319. 12

    Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 335. 13

    Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 338. 14

    Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 343.

  • 20

    orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya.

    Sebaliknya bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk bicara dengan yang belum

    dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap

    orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.15

    Hal itu merupakan tradisi

    turun-temurun yang ada sejak dahulu atau warisan dari nenek moyang. sehingga

    melalui tradisi Slametan serta Bahasa yang dipergunakan dapat memmupuk rasa

    persaudaraan atau kekerabatan antar sesama manusia yang ada disekitarnya.

    Hal tersebut didukung dengan adanya unsur-unsur dari kebudayaan yang

    paling menonjol sistim klasifikasi simbolik orang jawa adalah Bahasa dan

    komunikasi, kesenian dan kesusteraan, keyakinan keagamaan, ritus, ilmu gaib dan

    petangan, serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya.16

    Karena berbagai

    hal tersebut merupakan salah satu alasan bahwa masyarakat Jawa masih mewarisi

    tradisi yang diberikan oleh nenek moyangnya.

    2.2 Tradisi slametan menurut Clifford Geertz

    Kehidupan dari masyarakat di Indonesia, sebagian masih percaya akan

    aliran kepercayaan. Misalnya di daerah Jawa, masyarakat Jawa masih banyak

    yang mengikuti aliran kepercayaan. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya

    masyarakat yang mengikuti dan melakukan ritual-ritual tertentu untuk

    memberikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tradisi dan ritual-

    ritual yang ada dalam suatu daerah, merupakan hasil dari warisan yang

    ditinggakan oleh pendahulunya atau nenek moyang. Sehingga kebiasaan-

    kebiasaan yang dilakukan oleh pendahulu atau nenek moyang, akan tetap bertahan

    dan terus-menerus dilakukan oleh anak cucu serta pewaris generasi berikutnya.

    Tradisi dan ritual-ritual memang tidak bisa dipisahkan dalam lingkup

    masyarakat Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa ada satu tradisi yang tidak

    bisa ditinggalkan dan dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya yaitu Slametan.

    Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara

    keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan

    social mereka yang ikut serta didalamnya. Handai-taulan, tetangga, rekan sekerja,

    15

    Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1970),

    323. 16

    Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 428.

  • 21

    sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa

    yang hamper terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan

    karena itu terikat kedalam suatu kelompok social tertentu yang diwajibkan untuk

    tolong menolong dan bekerja sama.17

    Sehingga banyak masyarakat yang meyakini

    bahwa slametan merupakan salah satu cara yang paling cocok untuk memberikan

    dan mengungkapkan rasa syukur kepada sesama maupun kepada Tuhan Yang

    Maha Kuasa.

    Masyarakat Jawa melakukan slametan tidak hanya untuk memberikan atau

    mengungkapkan rasa syukur karena berkat yang diberikan Tuhan, tetapi

    masyarakat di Jawa juga melakukan tradisi slametan dalam pelbagai hal, misalnya

    kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti

    nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan,

    dan memulai suatu rapat politik - semuanya itu bisa memerlukan slametan.18

    Sehingga dalam kehidupan masyarakat Jawa slametan merupakan ritual dan

    tradisi yang sangat penting untuk dilakukan oleh masyarakat.

    Untuk slametan orang yang meninggal dalam lingkup masyarakat Jawa

    slametan merupakan hal yang harus dilakukan. Hal tersebut terjadi dihampir

    semua seluruh daerah di Jawa. Ada tradisi dan ritual-ritual tertentu yang dilakukan

    oleh masyarakat untuk menghormati orang yang telah meninggal. Dalam tradisi

    yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, orang yang telah meninggal akan

    dikuburkan dengan waktu yang cepat. Hal tersebut berbeda dengan beberapa

    tradisi yang ketika ada orang yang meninggal atau keluarga yang meninggal maka

    akan ada jarak beberapa hari untuk penghormatan sebelum dimasukan dalam liang

    lahat. Alasan yang lazim dikemukakan bila ada orang bertanya mengapa tergesa-

    gesa adalah bahwa roh orang yang meninggal itu berkeliaran tak menentu

    (seringkali dibayangkan sebagai seekor burung) sampai jasadnya dikuburkan, dan

    ini berbahaya bagi setiap orang, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.

    Makain cepat ia di kuburkan, makin cepat pula rohnya kembali ketempat yang

    17

    Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa (Jakarta Pusat:

    Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1981), 13. 18

    Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa, 13.

  • 22

    layak.19

    Sebagian masyarakat Jawa meyakini hal tersebut sehingga tidak akan

    menunggu terlalu lama untuk memakamkan seseorang yang telah meninggal.

    Setelah upacara penguburan barulah keluarga yang ditinggalkan melakukan

    slametan.

    Slametan untuk kematian merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh

    keluarga yang ditinggalkan yaitu pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dan

    keseratus20

    dan kemudian dilanjutkan peringatan tahun pertama dan kedua.

    Kemudian ketika keluarga melakukan slametan adapun persiapan-persiapan yang

    disediakan mulai dari tempat, orang yang akan memberikan doa dan tamu

    undangan, sesajen bagi yang meninggal, makanan dan minuman. Slametan pada

    umumnya dilakukan dimalam hari sehingga memberikan banyak waktu bagi

    keluarga untuk berkumpul dan bagi para sanak saudara yang datang untuk

    mengungkapkan rasa bela sungkawa kepada kelauarga yang ditinggalkan.

    Sehingga dalam keyakinan masyarakat yang melakukan slametan khususnya

    dalam masyarakat Jawa meyakini bahwa mereka semua orang akan merasakan

    diperlakukan secara sama yaitu tak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tak

    seorang pun merasa lebih rendah dari yang lain dan tak seorang pun punya

    keinginan untuk mengucilkan diri dari yang lain21

    , sehingga membuat rasa bahwa

    manusia diciptakan sama dan saling membutuhkan semakin kuat.

    2.3 Tradisi slametan menurut Victor Turner

    Setiap manusia tentunya memiliki pemahaman yang berbeda-beda antara

    satu dengan yang lain. Hal tersebut bisa dikatakan sebuah warisan yang diberikan

    pedahulu atau nenek moyangnya. Sehingga dari setiap manusia dapat

    mengekspresikan diri untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya masing-

    masing. Jika Melihat dari prespektif Viktor Turner tentang nilai kehidupan

    manusia sendiri itu “imaginative and emotional”22

    memang sangatlah

    19

    Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa, 92. 20

    Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa, 96. 21

    Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa, 17. 22

    Victor Turner, The Ritual Proces: structure and Anti- Structure (Chicago: Aldine

    publicsing company,1969),5.

  • 23

    berpengaruh pada budaya yang ada atau yang dimiliki dalam suatu tatanan

    masyarakat.

    Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya berkaitan dengan pekembangan

    budaya dan tradisi yang ada ditempat itu, misalnya slametan di kalangan

    masyarakat Jawa yang merupakan warisan dan hasil pemahaman tentang cara

    masyarakat untuk menghormati seseorang. Hal tersebut bisa dilihat karena pada

    dasarnya manusia diciptakan memiliki akal dan pikiran, sehingga memiliki

    pemikiran tersendiri melalui pengalaman yang telah dilakukan. Hal ini akan

    membuat manusia dapat menentukan jalan yang akan dipilihnya. Imajinasi dan

    emosional atau perasaan dari seseorang tidak dapat diukur dengan pemikiran

    logika manusia karena imajinasi seseorang hanya bisa dirasakan oleh manusia itu

    sendiri, sehingga manusia bebas untuk berimajinasi dan mengekspresikan dirinya

    sendiri. Karena hal yang demikian maka manusia dapat menerima dan dapat

    berpikir bagaimana cara untuk membuat dirinya bisa merasa bahagia dalam

    menjalani kehidupan, terlebih dapat memilih dan meneruskan tradisi atau warisan

    dari nenek moyangnya.

    Dalam perkembangan zaman, imajinasi dan perasaan manusia memang

    sangatlah besar pengaruhnya. Seseorang dapat menentukan jalan hidupnya jika

    orang tersebut sudah merasa puas dan terbiasa dengan apa yang sudah

    dilakukannya. Misalnya dalam melakukan tradisi tertentu, jika manusia sudah

    merasa bahwa yang diakukan benar dan tidak ada penolakan dari perasaannya

    serta dianggap baik karena tidak menyimpang dari kebiasaan masyarakat

    setempat, maka manusia itu akan melakukannya dengan sepenuh hati.

    2.4 Tradisi kematian menurut Harun Hadiwijono

    Dalam menjalani kehidupan didunia setiap manusia tentunya memiliki

    keyakinan untuk menentuka arah kehidupan. Suatu keyakinan yang dimiliki

    manusia tentunya memiliki peraturan-peraturan yang harus dilakukan. Misalnya

    dalam kehidupan masyarakat Kristen, setiap individu yang mengaku dirinya

    Kristen atau percaya dan yakin bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat dan

    penebus dosa maka individu tersebut juga harus mengikuti perintah dan larangan

  • 24

    yang diberikan oleh Yesus. Dalam hal ini bisa dilihat jika Yesus memberikan

    pengajaran tentang Kasih kepada manusia (Matius 22:39) maka sebagai orang

    yang percaya haruslah menerapkan kepada sesama manusia dengan hidup saling

    mengasihi dan tolong menolong.

    Tidak hanya Kasih dalam ajaran Kekristenan juga terdapat ajaran tentang

    kematian didalam Yesus Kristus. Hal tersebut dapat dilihat dalam Alkitab yang

    merupakan sumber dari pengajaran Kereristenan misalnya di Lukas 23:43; Wahyu

    14:13 dan Filipi 1:2. Dari beberapa ayat tersebut ingin memberikan pemahaman

    bagi orang yang percaya tentang kematian bersama dengan Yesus Kristus.

    Kemudian melihat dari pemahaman Dr. H. Hadiwijono juga berpendapat tentang

    penyelamatan yang dilakukan oleh Allah kepada manusia. Adapun yang dimaksud

    dengan alat keselamatan adalah jalan atau alat lahiriah yang biasa dipakai Roh

    Kudus untuk menerapkan buah karya penyelamatan Kristus guna mengumpulkan

    dan memelihara GerejaNya.23

    Sehingga manusia yang percaya dan yakin bahwa

    Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat maka keselamatan itu akan ada dalam

    setiap kehidupan individu tersebut sampai individu tersebut meninggal.

    Keselamatan yang diberikan Tuhan Allah hadir dalam pelbagai bentuk, misalnya

    kita bisa merasakan melalui Alkitab dan pemberitaan Firman. Hal tersebut

    menjadi salah satu cara Tuhan Allah untuk menyelamatkan seseorang yang

    percaya. Sehingga manusia tidaklah sulit untuk mencari keselamatan dalam

    menjalani kehidupannya.

    Begitupun dengan kematian yang dialami oleh orang Kristen. Dalam

    Kekristenan meyakini bahwa apabila seseorang telah meninggal dalam Yesus

    Kristus maka roh mereka yang meninggal akan kembali kepada Yesus dan

    memperoleh kebahagiaan dalam Yesus di surga. Sehingga akan sangat erat

    kaitannya jika seseorang sudah menentukan kehidupannya untuk mengikuti jalan

    dan percaya kepada Yesus Kristus sebagai penolong dan penyelamat.

    Kemudian didalam ajaran Kekristenan kematian adalah hal yang mutlak

    akan terjadidalam setiap individu, tidak akan ada individu yang bisa lepas dari

    kematian. Hal tersebut sersirat dalam Pengkhotbah 12:7 yang berbunyi “dan debu

    23

    Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia,1984),418.

  • 25

    kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang

    mengaruniakannya” sehingga sangatlah jelas bahwa manusia yang hidup di dunia

    pada akhirnya akan meninggalkan dunia. Pemahaman tentang kematian sebagai

    seorang yang percaya Yesus Kristus menurut beliau tidak langsung berhenti

    setelah seseorang itu meninggal. Akan tetapi pemahaman kematian dalam Yesus

    masih terus berlanjut kekal selamanya. Hal itu terjadi karena memang merupakan

    janji dari Yesus Kristus sebagai Penyelamat manusia. Karena perlu diketahui juga

    bahwa mati didalam Alkitab bukan berarti ninasa atau hancur, melainkan terpisah.

    24 Sehingga hal tersebut dapat menjelaskan kepada setiap individu bahwa

    keselamatan yang diberikan Tuhan Allah kepada manusia memang masih ada

    meskipun sudah meninggal.

    Maka dari beberapa hal tersebut dapat dipahami bawa Kekristenan

    memiliki cara tersendiri untuk memberikan pemahaman bagi orang yang masih

    hidup dan seseorang yang telah meninggal. Sehingga ajaran Kekristenan memiliki

    dasar yang kuat tentang pemahaman dasar kehidupan sampai kematian.

    III. Sejarah Jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun

    3.1 Profil Jemaat

    Jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun terletak di desa Balun,

    Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Desa yang mendapat

    julukan desa Percontohan dalam Kerukunan Umat Beragama. Untuk mencapai

    GKJW Lamongan Wilayah Balun akses jalan yang ditempuh tidak terlalu sulit,

    akses jalan dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat serta letaknya

    tidak jauh dari kota Lamongan. Karena berada di posisi jalan poros Lamongan-

    Surabaya. Anggota Jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun terdiri dari berbagai

    golongan namun yang paling mendominasi yaitu dari golongan Jawa. Jumlah

    jemaat saat ini ada 270 kepala keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

    warga jemaat sebagian besar petani tambak ikan dan udang, PNS, buruh pabrik

    dan bangunan serta usaha rumahan.

    3.2 Sejarah Singkat Jemaat

    24

    Hadiwijono, Iman Kristen, 478.

  • 26

    Pada awal tahun 1945 dengan adanya pristiwa G30/S PKI terjadi

    permasalahan tentang penganiayaan dan pembunuhan yang pada saat itu suasana

    desa sangat mencekam. Orang-orang banyak yang diculik dan dibunuh oleh

    karena mengikuti kelompok PKI. Keadaan di desa semakin tak terkendali ketika

    penangkapan oleh pihak yang berwajib tidak memberi kesempatan bagi orang-

    orang untuk menjelaskan asal usul mereka, namun para pihak yang menangkap

    orang-orang ini langsung membunuh barang siapapun yang dianggap sebagai

    pengikut kelompok PKI. Karena kebanyakan yang ditangkap lalu di bunuh

    merupakan orang yang memiliki kemiripan nama dengan daftar pencarian.

    Ketika keadaan desa Balun sudah sangat yang mencekam, ada seorang

    tokoh dari desa yang merupakan putra desa yang dahulunya bertugas di Irian Jaya

    sebagai TNI AD, pulang kampung untuk kembali kepada keluarganya. Beliau

    adalah anggota TNI AD yang bernama P. Bati. Ketika beliau pulang, Ia merasa

    heran dengan situasi yang terjadi di desa Balun. Kedatangan beliau ini memiliki

    pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan yang terjadi di desa itu. Kehadiran

    beliau dirasa bisa memberikan rasa aman bagi masyarakat yang ada pada masa itu.

    Karena beliau merupakan anggota ABRI. Sehingga masyarakat merasa nyaman

    ketika beliau ada di desa itu.

    Kemudian sesuadah masyarakat sudah merasa aman, maka beliau

    dicalonkan sebagai kepala desa. Pak. Bati merupakan orang kaum nasionalis

    sehingga sangat peduli dengan keadaan yang terjadi di desa. Ketika pencalonan

    kepala desa, terdapat dua kandidat, dan yang terpilih yaitu Pak. Bati. Beliau pun

    akhirnya terpilih menjadi kepala desa. Setelah terpilih menjadi kepala desa yang

    disana mayorits masih Muslim. Ada seseorang yang menemukan gulungan kretas

    yang merupakan cikal-balkal ajaran Kristen yaitu Mbah Asman. Ajaran yang

    dibawa oleh Mbah Asman ini mempunyai daya tarik yang baik kepada kepala

    desa. Lalu keduanya belajar untuk mendalami ajaran itu dan dibaptislah mereka

    yang adalah dua orang pertama yang menyebarkan ajaran Kristen di desa Balun.

    Beliau berdua dibaptis oleh pendeta dari Surabaya. Pada tahun 1967 terjadi

    pembabtisan sebanyak dua puluh orang dewasa. Kemudian ttahun 1968 ada dua

  • 27

    ratus anak dan dewasa yang dibaptis secara masal. Lalu berkembang sampai saat

    ini menjadi 270 kepala keluarga.

    3.3 Pemahaman Pendeta, Majelis dan Jemaat GKJW Lamongan Wilayah

    Balun tentang Slametan orang mati secara tujuh hari berturut-turut

    Dari beberapa penjelasan yang diberikan oleh Pendeta, Majelis dan Warga

    jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun banyak berbagai macam pemahaman

    tentang Slametan orang mati secara tujuh hari berturut-turut yang dilakukan warga

    jemaat GKJW Lamongan Wilayah Balun. Pemahaman yang diberikan oleh

    narasumber merupakan pemahaman yang didapat dalam proses pelayanan dan

    prakteknya dalam kehidupan sehari hari.

    Perkembangan Kekristenan yang ada di wilayah Lamongan merupakan

    wujud nyata dari perkembangan budaya dan kebinekaan dalam masyarakatnya.

    Hal tersebut dapat dilihat dari pelbagai denominasi gereja-gereja yang ada di

    Lamongan. Salah satunya yaitu GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan). Dalam

    kehidupan masyarakat di Lamongan yang mayoritas beragama Muslim,

    Kekristenan cukup dikenal oleh masyarakatnya sehingga keberadaanya tidak

    menjadi suatu ancaman bagi masyarakat lain. Dalam kehidupan warga jemaatnya

    GKJW Lamongan terbagi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Kota Lamongan,

    Wilayah Balun dan Wilayah Pelang.

    Perkembangan GKJW Wilayah Balun memang merupakan suatu

    kebinekaan yang sangat terasa didalam kehidupan masyarakatnya. Mengapa bisa

    demikian? Karena perkembangan gereja di desa Balun tidaklah muda, tetapi

    memiliki pelbagai kesulitan untuk dalam perkembangan masyarakatnya.

    Masyarakat yang ada di desa mayoritas masih sangat kental dengan budaya Jawa

    yang memang sangat menjunjung tinggi tradisi-tradisi yang tidak bisa dihilangkan

    atau ditinggalkan. Masyarakatnya masih banyak yang berpegang teguh pada

    tradisi yang ditinggalkan oleh keyakinan nenek moyang meskipun sudah

    menganut suatu agama. Misalnya bisa dilihat dalam melakukan tradisi Slametan.

    Orang Jawa pada umumnya menganggap bahwa slametan adalah hal yang

  • 28

    penting dan tidak bisa ditinggalkan karena tradisi slametan sendiri merupakan

    salah satu upacara yang penting yang dimaknai sebagai upacara makan dan

    berkumpul bersama. Sehingga hal ini ingin menunjukan bahwa tradisi yang

    ditinggalkan nenek moyang harus tetap dilakukan dan dilestarikan.

    Jika melihat pemahaman masyarakat yang ada di desa Balun, tradisi

    slametan dilakukan dalam pelbagai bidang, misalnya ketika salah satu keluarga

    melahirkan, menikah, mendirikan rumah, kenaikan jabatan, acara keagamaan,

    kematian dan lain sebagainya. Ketika masyarakat melakukan slametan, ada

    beberapa sesajen yang harus disediakan dan ada, misalnya kue Apem dan sepiring

    nasi serta lauk yang diletakkan di meja. Kue apem merupakan sajian yang tidak

    bisa dipisahkan dalam setiap kali warga melakukan slametan. Terlebih dalam

    melalakukan slametan orang meninggal. Hal tersebut karena anggapan masyarakat

    bahwa selama dalam jangka waktu tujuh hari roh dari seseorang yang meninggal

    masih berada dalam rumah atau sekitar rumah yang ditinggalkan. Sehingga perlu

    untuk disediakan makanan.

    Warga masyarakat beranggapan bahawa kue Apem merupakan makanan

    kesukaan dari roh orang yang telah meninggal sehingga apabila orang tersebut

    meninggal sebelum sampai dengan tujuh hari maka rohnya masih ada disekitar

    rumah. Maka dari itu keluarga yang hidup menyediakan makanan agar roh

    tersebut apabila lapar akan memakannya atau kue Apem dilemparkan ke atap

    rumah, karena menganggap bahwa roh dari keluarga yang meninggal akan

    memakannya. Apem adalah kue yang terbuat dari tepung beras, ragi serta gula dan

    merupakan makanan yang memang harus disediakan dalam setiap slametan.

    Padahal akan bersifat sebaliknya jika melihat dari sudut pandang Kekristenan

    bahwa orang yang telah meninggal sudah tidak ada hubungannya dengan manusia

    yang hidup, hal ini terkandung dalam Lukas 23:43 (Kata Yesus kepadanya: “Aku

    berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan

    Aku di dalam Firdaus”). Begitu pun dengan sepiring nasi dan lauk yang di letakan

    dimeja, anggapan keluarga yang ditinggalkan adalah agar roh dari anggota

    keluarga yang meninggal masih dapat merasakan makanan yang menjadi

  • 29

    kesukaan ketika hidup. Pemahaman-pemahaman yang demikian merupakan

    wujud dari kekentalan tradisi yang ditinggalkan nenek moyang yang ada di desa

    Balun. Kemudian dalam melakukan slametan orang mati, di desa Balun memiliki

    ciri yang khas yaitu melakukan slametan orang mati tujuh hari secara berturut-

    turut. Tradisi tersebut memang sedikit berbeda dari tradisi orang Jawa pada

    umumnya apabila melihat dari sisi budaya Jawa. Pada umumnya slametan untuk

    kematian dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan yaitu pada hari ketiga,

    ketujuh, keempat puluh dan keseratus.25

    Namun di desa Balun warga masyarakat

    melakukan slametan orang mati selama tujuh hari secara berturut-turut.

    Dalam melakukan slametan selama tujuh hari secara berturut-turut, untuk

    perkembangannya pun mengalami berbagai macam persoalan, misalnya pendapat

    dari keluarga yang perekonomiannya dibawah akan sangat memberatkan jika

    harus melakukan slametan secara tujuh hari secara berturut-turut dan pendapat

    dari pemahaman agama yang tentunya berbeda terlebih dalam Kekristenan

    dengan pemahaman tradisi dan budaya. Seperti halnya pemahaman warga jemaat

    GKJW Wilayah Balun yang memiliki pemahaman tersendiri dalam melakukan

    tradisi dan Kekristenan. Dari beberapa wawancara yang penulis lakukan, sebagian

    warga jemaat GKJW Wilayah Balun menganggap bahwa slametan orang mati

    selama tujuh hari secara berturut-turut itu penting karena warga jemaat masih

    memiliki pemahaman bahwa ketika seseorang itu meninggal maka rohnya masih

    ada disekitar rumah sampai tujuh hari lamanya. Pemahaman warga jemaat

    tersebut didasari bahwa hal tersebut memang warisan dari nenek moyang dan

    merupakan tradisi yang harus dilestarikan. Namun sedikit berbeda dengan

    anggapan yang warga jemaat yang selalu mengikuti perkembangan zaman,

    mereka beranggapan bahwa jika perekonomian mencukupi akan dilakukan

    slametan tetapi jika tidak mencukupi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja

    yaitu hari pertama, ketiga dan ketujuh.

    Ada warga jemaat juga yang beranggapan slametan orang mati tujuh hari

    berturut-turut merupakan tradisi yang bukan dari pemahaman orang Kristen. Hal

    25

    Geertz, Abangan Santri Priyayi dalam Mayarakat Jawa, 96.

  • 30

    itu terjadi karena pada saat Kekristenan masuk di desa Balun, tidak ada yang

    namanya slametan tujuh hari berturut-turut yang ada hanya slametan pada hari

    pertama, ketiga, ketujuh, ke empat puluh, ke serratus dan seribu. Namun karena

    anggapan warga semua keyakinan itu memiliki tradisi yang sama, maka

    dilakukanlah tradisi yang sama dengan tradisi yang ditinggalkan nenek moyang

    mereka. Sehingga memiliki kesamaan dalam aliran kepercayaan Kejawen atau

    kepercayaan Jawa yaitu jika ada salah satu keluarga yang meninggal maka

    dilakukan slametan dengan waktu-waktu tertentu yaitu hari pertama, ketiga,

    ketujuh, keempat puluh, ke seratus dan seribu. Jadi ada tenggang waktu bagi

    keluarga untuk bersiap-siap melakukan tradisi slametan.26

    Slametan yang dilakukan tidak hanya berkumpul bersama sanak keluarga

    tetapi yang dilakukan warga jemaat adalah berkumpul beribadah (ibadah

    penghiburan) dengan disertai hidangan makanan. Tradisi tersebut adalah tradisi

    turun-temurun yang dilakukan oleh warga jemaat sehingga apabila tidak

    dilakukan akan dipercayai membawa akibat buruk bagi keluarga yang hidaup

    maupun yang sudah meninggal. Kemudian bapak Nasekan menambahkan

    penjelasannya bahwa di desa sebenarnya ada anggapan agama yang dianut adalah

    agama keluarga. Sehingga tidak ada perbedaan antara slametan agama satu

    dengan yang lain semua agama melakukan slametan orang mati selama tujuh hari

    berturut-turut. Hal tersebut juga diungkapkan oleh bapak Sudironawi, tetapi beliau

    menambahkan bahwa memang agama di desa Balun merupakan Agama Keluarga

    namun dalam Kekristenan yang beliau yakini memiliki ke khasan tersendiri untuk

    arti melakukan Slametan secara tujuh hari berturut-turut yaitu selama tujuh hari

    Tuhan Allah menciptakan bumi dan seisiNya sehingga dipercaya bahwa tujuh hari

    merupakan hari penghormatan bagi setiap manusia yang meninggalkan dunia.

    Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa agama keluarga atau Kristen Jawa

    adalah Kristen yang masih menerapkan sistim ungah-ungguh budaya Jawa

    terlebih ketika seseorang dari keluarga telah meninggal. Hal ini bisa dilihat jika

    salah satu keluarga ada yang meninggal maka akan melakukan slametan tujuh

    26

    Bapak Nasekan 24 April 2017, pukul 18.10 WIB.

  • 31

    hari berturut-turut kemudian mengundang keluarga lain untuk ikut dalam ibadah

    sebagai ungkapan terima kasih keluarga serta dapat dijadikan untuk menjaga

    keharmonisan antar sesama untuk menjalani hidup bersama dilingkungan yang

    sama. Hal tersebut juga didukung dengan adanya pandangan dari Koentjaraningrat

    tentang unsur-unsur dari kebudayaan Jawa. Sehingga dengan adanya unggah-

    ungguh dalam sistem masyarakatnya akan terbentuk rasa untuk saling menjaga

    yaitu dengan komunikasi satu dengan yang lain dan menghormati satu sama lain

    yitu ketika diundang dalam ibadah penghiburan ikut datang untuk menghibur,

    sehingga keluarga yang diundang dan yang mengundang merasa saling dihargai

    satu dengan yang lain.

    Dalam wawancara yang penulis lakukan juga menemukan pemahaman

    boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan yaitu untuk melakukan slametan orang

    mati secara tujuh hari berturut-turut, dengan pertimbangan kalau misalnya

    keluarga yang ditinggalkan merupakan keluarga yang mampu dan

    perekonomiannya mendukung maka harus dilakukan tetapi jika kondisi

    ekonominya tidak memungkinkan maka tidak melakukan tidak menjadi

    masalah.27

    Hal tersebut dapat menunjukan adanya pemikiran yang mulai

    mengikuti perkembangan yang ada sesuai dengan pemahaman yang diberikan

    oleh Viktor Turner tentang nilai kehidupan manusia. Karena manusia diciptakan

    memiliki akal dan pikiran sehingga manusia memiliki pemikiran dan pemahaman

    tentang bagaimana cara untuk memberikan toleransi kepada sesama yang memang

    dalam kondisi tertentu tidak bisa melakukan Slametan orang mati tujuh hari

    secara berturut-turut, sementara disisi lain harus melakukan hal tersebut sebagai

    ungkapan syukur kepada Tuhan dan penghormatan tradisi yang ada.

    Dalam melakukan tradisi slametan orang mati tujuh hari secara berturut-

    turut di kehidupan warga jemaat yang masih kental dengan tradisi dan budaya

    serta pandangan masing-masing individu memang tidak selalu sama atau

    sependapat dengan orang lain, ada pandangan warga yang mengatakan hal

    tersebut harus dilakukan, tanpa berfikir untuk masa depan dirinya sehingga

    27

    Bapak Sudironawi 25 April 2017, pukul 18.15 WIB.

  • 32

    apapun yang terjadi meskipun harus berhutang ke sesama untuk modal slametan

    terhadap keluarga yang meninggal. Maka dari pemahaman tersebut bisa juga

    timbul pandangan yang mengatakan jika budaya atau tradisi tersebut dianggap

    menyusahkan dan akan lebih baik ditinggalkan. Sehingga akan menimbulkan

    permasalahan baru dalam kehidupan berkeluarga dan ber masyarakat misalnya

    terjadinya pertengkaran dalam keluarga antara pihak satu dengan yang lain ingin

    melakukan slametan atau tidak. Hal-hal yang demikian dapat menjadi salah satu

    faktor dari warga jemaat menjadi bingung bagiamana cara untuk memberikan

    sikap yang sesuai, apakah harus mempertahankan tradisi dan budaya atau harus

    meninggalkan tradisi dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam

    pemikiran kepercayaan yang lain.

    Hasil penelitian kepada Pendeta dan beberapa perwakilan Majelis Gereja

    jawabannya pun belum menemukan hasil yang sesuai untuk memberikan

    pemahaman tentang perkembangan keyakinan, kondisi dan tradisi yang dianut

    oleh warga jemaat di GKJW Wilayah Balun. Pemahaman yang diberikan oleh

    Pendeta dan Majelis Gereja masih tertuju pada satu pemahaman agar warga

    jemaat bisa memilih salah satu yang harus di dahulukan atau diutamakan. Namun

    disisi lain pendeta dan majelis jemaat belum bisa memberikan cara bagaimana

    menyampaikan untuk dapat diterima oleh sekuruh warga jemaat. Karena jika

    melihat dari sudut pandang lain yaitu budaya Jawa, Slametan sangatlah penting

    dalam lingkup budaya Jawa dan masyarakatnya sehingga tidak bisa dipisahkan

    karena merupakan sarana untuk berkumpul bersama yang di dukung juga dalam

    pandangan Geertz yang mengungkapkan Slametan merupakan suatu tradisi

    kesatuan dari suatu tradisi Jawa untuk berkumpul bersama. Sehingga jika warga

    jemaat diberikan pilihan untuk meninggalkan tradisi tersebut, maka akan sangat

    sulit bagi warga jemaat untuk meninggalkan karena sudah menjadi kebiasaan dari

    zaman dahulu dan warga jemaat juga telah memiliki keyakinan dalam melakukan

    Slametan.

    Dari hal tersebut tanggapan GKJW Wilayah Balun tentang slametan orang

    mati secara tujuh hari berturut-turut, gereja pun belum menunjukan kejelasan

  • 33

    dalam memberikan pemahaman kepada warga jemaat. Gereja masih memberikan

    keleluasaan dan kebebasan kepada warga jemaat untuk melakukan hal tersebut

    atau tidak melakukan. Padahal dari pemahaman Alkitab dan Kekristenan

    meyakini bahwa orang yang sudah meninggal dalam Kristus sudah selamat ada

    dalam Surga (Lukas 23:43; Roma 8:38-39; Filipi 1:6; 3:20-21). Dari pemahaman

    yang demikian, ingin menjelaskan bahwa jika seseorang yang telah meninggal

    dalam Yesus Kristus sudah pasti akan bersama-sama dengan Yesus dan tidak

    akan ada penderitaan lagi karena sudah memperoleh kebahagiaan bersama-Nya.

    Kehidupan yang ada di dunia akan berbeda dengan kehidupan setelah mati karena

    kematian sudah tidak ada kaitannya dengan manuasia melainkan hanya berkaitan

    dengan Yesus Kristus yang merupakan Penebus dan Penyelamat manusia yang

    percaya. Hal tersebut seharusnya Kekristenan dapat menjadikannya sebagai solusi

    bagi setiap warga jemaat agar dapat menerima keyakinan dengan sepenuh hati.

    Pemahaman demikian juga disampaikan oleh Dr. H. Hadiwijono tentang keadaan

    seseorang setelah mati bersama Kristus.

    Dr H. Hadiwijono mengatakan keselamatan setelah mati ini memang

    nyata. Keselamatan ini diungkapkan dengan kata-kata bersama-sama dengan

    Kristus seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada penjahat di kayu salib.28

    Kemudian hal tersebut juga didukung dengan ayat Alkitab 1 Korintus 15:12-34

    dan 1 Tesalonika 4:13-18, yang ingin menjelaskan bahwa kematian dalam kristus

    memang nyata dan akan terjadi jika seseorang percaya dan meyakini dengan

    sepenuhnya percaya bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat manusia.

    Sehingga gereja dalam hal ini belum memberikan pelayanan secara utuh

    pada warga jemaatnya di wilayah Balun. Gereja masih belum tegas dalam

    memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Tuhan kepada warga

    jemaat yang ada di wilayah Balun. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya

    tradisi yang dilakukan dalam penghormatan orang meninggal atau mati dengan

    biaya yang cukup besar sehingga bagi sebagian kalangan yang salah satu

    keluarganya meninggal tidak hanya mendapatkan beban secara rohani tetapi

    28

    Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 477.

  • 34

    beban secara materi juga. Padahal dalam ajaran Kekristenan tradisi demikian

    tidak dipakai dan diajarkan dalam Firman Tuhan, karena dalam Alkitab

    mengajarkan bahwa bahwa manusia yang meninggal Rohnya sudah bersama

    dengan Kristus (Lukas 23:43). Sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan

    timbulnya beberapa kebimbangan iman dalam keyakinan warga jemaat sendiri

    tanpa adanya solusi yang jelas dari masing-masing pihak.

    Jika melihat dari sisi manusia, memang setiap manusia menginginkan

    kebebasan dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya di dunia, tetapi

    kebebasan pun memiliki aturan dan batasan, apalagi jika kita sudah memiliki dan

    mempercayai suatu keyakinan haruslah kita menjalankan sesuai dengan

    aturannya. Karena apabila dilihat dari kehidupan secara utuh manusia

    mengungkapkan apa yang hidup dalam dirinya berupa kepercayaan terutama

    dengan dua cara yaitu dalam perbuatan atau upacara (ritus) dan tanggapan-

    tanggapan atau dogma-dogma.29

    Sehingga melalui kebebasan dan keleluasaan

    yang demikian maka spiritualitas dari warga jemaat pun akan terbentuk menjadi

    beberapa tujuan pemahaman diantaranya anggapan kepada Kristus, Gereja dan

    roh nenek moyang. Spiritualitas merupakan hal yang sangat penting dalam

    kehidupan bergereja dalam perkembangannya. Hal ini juga mengingatkan saya

    dengan cerita Jhon Calvin tentang spiritualitas yang dapat mengubah hidupnya.

    Sehingga menjadikan spiritualitas merupakan sarana seseorang dalam meyakini

    segala sesuatu yang dianggap benar termasuk dirinya sendiri. Karena jika melihat

    dari perkembangan gereja, terlebih GKJW Wilayah Balun dalam Tata Pranata di

    jelaskan pada bab 4 yaitu Kegiatan Pelayanan pasal 6 ayat 1- 630

    harus

    memberikan pemahaman dan menjalankan panggilannya kepada warga jemaat

    dalam pelbagai bidang pelayanan.

    Sehingga melihat slametan orang mati tujuh hari bertrut-turut dari

    pandangan warga jemaat, Majelis Jemaat dan Pendeta Jemaat dapat diartikan

    29

    A.C Kruyt, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (Poso: BPK Gunung Mulia, 1976), 37.

    30 Tata Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, bab 4, 1996.

  • 35

    bahwa tradisi slametan orang mati tujuh hari bertrut-turut masih perlu penjelasan

    yang lebih dari gereja kepada warga jemaat untuk memberikan pemahaman yang

    bisa diterima oleh warga jemaat. Hal tersebut karena melihat dari wawancara yang

    telah dilakukan banyak hal yang belum diketahui oleh warga jemaat GKJW

    Lamongan Wilayah Balun untuk memahami bagaimana cara yang harus

    dilakukan untuk slametan orang mati. Sehingga apabila melihat dari salah satu

    faktor tersebut warga jemaat masih perlu pemahaman untuk menyikapi hal-hal

    yang demikian. Agar dalam menjalani kehidupan tidak menimbulkan

    kebimbangan dan permasalahan dalam setiap melihat perkembangan masyarakat

    dan Gereja.

    IV. Kesimpulan

    Setelah penulis melakukan penelitian dan wawancara di Greja Kristen

    Jawi Wetan Jemaat Lamongan Wilayah Balun dan menganalisa data maka dapat

    diketahui tentang bagaimana pandangan warga jemaat dan peran Gereja dalam

    melakukan slametan orang mati tujuh hari secara berturut-turut. Berdasarkan hasil

    penelitian yang dilakukan maka ada beberapa temuan-temuan penting yang

    peneliti dapatkan.

    Dalam melakukan slametan selama tujuh hari secara berturut-turut dalam

    perkembangannya pun mengalami berbagai macam persoalan, misalnya pendapat

    dari keluarga yang perekonomiannya dibawah, dan pendapat dari setiap

    pemahaman keyakinan yang tentunya berbeda dengan pemahaman tradisi dan

    budaya. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, sebagian warga jemaat GKJW

    Wilayah Balun menganggap bahwa slametan orang mati selama tujuh hari secara

    berturut-turut itu penting karena warga jemaat masih memiliki pemahaman bahwa

    ketika seseorang itu meninggal maka rohnya masih ada disekitar rumah sampai

    tujuh hari lamanya. Pemahaman warga jemaat tersebut didasari bahwa hal

    tersebut memang warisan dari nenek moyang dan merupakan tradisi yang harus

    dilestarikan. Namun sedikit berbeda dengan anggapan yang warga jemaat yang

    selalu mengikuti perkembangan zaman, mereka beranggapan bahwa jika

  • 36

    perekonomian mencukupi akan dilakukan slametan tetapi jika tidak mencukupi

    hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja yaitu hari pertama, ketiga dan

    ketujuh.

    Hasil penelitian dari tanggapan GKJW Wilayah Balun tentang slametan

    orang mati secara tujuh hari berturut-turut pada Pendeta dan beberapa Majelis

    Jemaat, dalam pelayanan gereja pun belum menunjukan ketegasan dan kejelasan

    dalam memberikan pemahaman kepada warga jemaat. Padahal dari pemahaman

    Alkitab dan Kekristenan meyakini bahwa orang yang sudah meninggal dalam

    Kristus sudah selamat ada dalam Surga (Lukas 23:43; Roma 8:38-39; Filipi 1:6;

    3:20-21). Dari pemahaman yang demikian, jika seseorang yang telah meninggal

    dalam Yesus Kristus sudah pasti akan bersama-sama dengan Yesus dan tidak

    akan ada penderitaan lagi karena sudah memperoleh kebahagiaan bersama-Nya.

    Kehidupan yang ada di dunia akan berbeda dengan kehidupan setelah mati karena

    kematian sudah tidak ada kaitannya dengan manuasia melainkan hanya berkaitan

    dengan Yesus Kristus yang merupakan Penebus dan Penyelamat manusia yang

    percaya. Pemahaman demikian juga disampaikan oleh Dr. H. Hadiwijono tentang

    keadaan seseorang setelah mati bersama Kristus, beliau mengatakan keselamatan

    setelah mati ini memang nyata. Keselamatan ini diungkapkan dengan kata-kata

    bersama-sama dengan Kristus seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus kepada

    penjahat di kayu salib.31

    Kemudian hal tersebut juga didukung dengan ayat

    Alkitab (1 Korintus 15:12-34 dan 1 Tesalonika 4:13-18) yang ingin menjelaskan

    bahwa kematian dalam kristus memang nyata dan akan terjadi jika seseorang

    percaya dan meyakini dengan sepenuhnya percaya bahwa Yesus Kristus adalah

    penyelamat manusia.

    Sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya beberapa

    kebimbangan iman dalam keyakinan warga jemaat sendiri tanpa adanya solusi

    yang jelas dari masing-masing pihak. Oleh karena itu seharusnya lebih fokus pada

    perkembangan warga jemaatnya khususnya di GKJW Lamogan Wilayah Balun

    agar setiap warga dapat menentukan pemahaman mana yang harus dilakukan

    31

    Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia,1984), 477.

  • 37

    tanpa mengurangi atau menghilangkan salah satu pihak yaitu antara agama dan

    tradisi.

    Maka dari pelbagai pemahaman dan faktor yang terjadidalam

    perkembangan warga jemaat di GKJW Lamongan Wilayah Balun melalui

    wawancara dan teori dari Koentjaraningrat, Clifford Geertz, Victor Turner, H.

    Hadiwijono dan pemahaman Budaya Jawa setempat setidaknya memberikan

    pemahaman baru tentang bagaimana pentingnya budaya dan keyakinan yang kita

    miliki. Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa warisan dan

    perjuangan nenek moyang yang ingin tetap dilestarikan oleh anak cucu sedangkan

    keyakinan merupakan wadah sebagai seseorang yang percaya akan yang Ilahi

    untuk memperoleh keselamatan. Sehingga apabila dari dua pemahaman ini kita

    bisa dipahami dan mengerti maka setiap tradisi dan kyakinan bisa berjalan

    seimbang.

    4.1 Saran

    Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, teori dan kesimpulan, maka

    terdapat beberapa hal yang mungkin dapat dipakai dan dilihat dalam

    melaksanakan tugas dan tanggung jawab gereja kepada warga jemaat:

    1. Para pelayan gereja harus menyadari bahwa mereka mempunyai tanggung

    jawab yang sangat besar terhadap Jemaatnya untuk memberikan

    pemahaman dan arti tentang keberagaman budaya yang harus dilestarikan

    dan mempertahankan keyakinan yang diyakini. Sehingga kebingungan

    Jemaat mendapatkan solusi yang tepat.

    2. Gereja memiliki fungsi dalam dukungan moral dan pemahaman melalui

    seminar yang diagendakan setiap tahun dengan tujuan menyiapkan,

    memberi semangat, menopang dan membimbing warga jemaat bagaimana

    menjadi hidup dalam keberagaman. Dalam hal ini untuk selalu

    memberikan dorongan dan motivasi yang baik kepada warga jemaat

    tersebut untuk siap dalam setiap perkembangan, dalam hal ini

    perkembangan gereja dan perkembangan dalam masyarakat.

  • 38

    3. Sinode GKJW semestinya mulai mengadakan agenda dalam memberikan

    pemahaman terhadap perkembangan budaya dan gereja secara rutin dalam

    agenda tahunan. Sehingga warga jemaat dapat memahami bagaimana

    perkembangan kehidupan bermasyarakat dan bergereja secara luas dan

    tidak mementingkan kepentingan sendiri.

    4.

    Daftar Pustaka

    Buku.

    Alfian. Presepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia, 1985.

    Chandra. I. Robby. Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta Wacana

    University Press, 1996.

    Geertz, Clifford. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Pusat:

    Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1981.

    Cliford Geertz, The Interpretation of Cultures. New York: Basic Book, 1973.

    Hadiwijiono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

    Hadiwijiono, Harun. Iman Kristen. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1984.

    Herusantoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008.

    Jabadu, Alex. Bukan Berhala: Penghormatan Para Leluhur. Maumere: Ledalero,

    2009.

    Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

    Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan,

    1970.

    Kruyt. A.C, Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Poso: BPK

    Gunung Mulia, 1976.

  • 39

    Retnowati. Agama Dan Masyarakat. Salatiga: Fakultas Teologi.

    Schreiner, Lothar. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tnah

    Batak. Jakarta: Gunung Mulia, 2003.

    Shaw, Mark. Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja. Surabaya:

    Momentum, 2010.

    Subagya Rachmat. Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia. Jakarta Pusat:

    Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979.

    Sugirtharajah R S. Wajah Yesus di Asia. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.

    Sujamto. Refleksi Budaya Jawa: Dalam Pemerintah dan Pembangunan.

    Semarang: Effhar Offset, 1992.

    Majelis Agung. Tata Pranata Greja Kristen Jawi Wetan. Malang, 1996.

    Turner Victor, The Ritual Proces: structure and Anti- Structure. Chicago: Aldine

    Publishing Company, 1969.

    Timo, Ebhenhazer I Nuban. Allah Yang Mengulang Dirinya Tiga Kali: Suatu

    Pertimbangan Bagi Dogmatika Kontekstual di Indonesia. Salatiga:

    Satya Wacana University Press, 2013.

    Verkuyl. J. Etika Kristen I. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1985.

    Wessels Anton. Memandang Yesus: Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya.

    Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

    WAWANCARA

    Wawancara dengan Bapak Nasekan 24 April 2017, pukul 18.10 WIB.

    Wawancara dengan Bapak Sudironawi 25 April 2017, pukul 18.15 WIB.

    Wawancara dengan Bapak Hari 26 April 2017, pukul 18.23 WIB.

    Wawancara dengan Pendeta Jemaat 01 Mei 2017, pukul 19.12 WIB.

    Wawancara dengan Ibu Majelis HW (inisial) 21 April 2017, pukul 16.10 WIB.

  • 40

    Wawancara dengan Bapak Majelis S (inisial) 12 Mei 2017, pukul 19.00 WIB.

    Wawancara dengan Ibu SY (inisial) 19 Mei 2017 pukul 16.07 WIB.