skripsi purnaningrum l d 2102407166 - selamat …lib.unnes.ac.id/7122/1/10484.pdf · pendidikan...
TRANSCRIPT
LAKON WAYANG
SEMAR MBANGUN KAYANGAN
OLEH DHALANG KI HADI SUGITO
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
oleh
Purnaningrum Lestari Damayanti
2102407166
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki
Hadi Sugito telah disetujui untuk diuji di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang.
Semarang, Juni 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Sukadaryanto, M.Hum Drs. Widodo NIP 19561217 198803 1003 NIP.196411091994021001
iii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
pada hari : Senin
tanggal : 11 Juli 2011
Panitia Ujian Skripsi
Ketua Sekretaris
Drs. Dewa Made Kartadinata, M. Pd, Sn Dra. Endang Kurniati NIP 195111181984031001 NIP 196111261990022001
Penguji I
Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum NIP 196101071990021001
Penguji II Penguji III
Drs. Widodo Drs. Sukadaryanto, M. Hum NIP 196411091994021001 NIP 195612171988031003
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi dengan judul Lakon
Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki Hadi Sugito ini benar-benar
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Juni 2011
Purnaningrum Lestari Damayanti
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Ø Apapun yang anda bisa lakukan atau bermimpi untuk bisa melakukannya,
mulailah sekarang juga. Keberanian memulai akan menggugah unsur jenius
dalam diri kita, menggugah kekuatan dan keajaiban untuk bisa menyelesaikan
apa yang telah kita mulai tadi. (Johann Wolfgang von Goethe)
Persembahan
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada:
Ø Bapak dan Ibuku serta kakak-kakakku yang
selama ini selalu mendukung dan mendoakanku.
Ø Mas Bowo yang selalu memberi motivasi,
semangat, dan selalu ada untukku di kala suka
maupun duka dalam menyusun skripsi.
Ø Sahabat-sahabatku di Tweety Kost dan teman-
teman seperjuangan yang selalu
menyemangatiku.
Ø Best Prendku, Tiyas. Terima kasih untuk
persahabatan yang telah engkau berikan selama
ini dan untuk dukungan serta semangat yang
selalu kau berikan untukku.
Ø Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa UNNES
yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan kepadaku.
vi
PRAKATA
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkah dan rahmatnya penulis mampu menyelesaikan tugas akhir
menyusun skripsi yang berjudul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh
Dhalang Ki Hadi Sugito. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang disebutkan di bawah ini.
1. Drs. Sukadaryanto, M. Hum., sebagai pembimbing I dan Drs. Widodo
sebagai pembimbing II yang telah bersedia mengarahkan serta memberikan
ide dan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran sampai selesainya
skripsi ini.
2. Drs. Agus Yuwono, M. Si., M. Pd. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.
3. Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang.
4. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M. Si. Rektor Universitas Negeri
Semarang.
5. Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang
telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
6. Bapak dan ibu serta kakakku yang selalu memberikan dukungan dan
motivasi kepadaku.
7. Mas Bowo yang selama ini selalu menyemangatiku dan memberikan
dukungan yang sangat berarti dalam proses menyusun skripsi ini.
vii
8. Sahabat-sahabatku di Tweety Kost (Cucur, Uki, Tiblung, Kanjeng Mami, dan
Kak Iyus).
9. Teman-teman seperjuangan (Rita, Epi, Wahyu, Nobi, dkk).
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Semoga semua bimbingan, dukungan, dan motivasi yang diberikan
mendapatkan berkah dari Allah SWT. Harapan penulis semoga dengan
diselesaikannya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada
khususnya dan semua pihak pada umumnya.
Semarang, Juni 2011
Penulis
Purnaningrum Lestari Damayanti
viii
ABSTRAK
Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.
Kata kunci: wayang purwa, struktur lakon.
Pertunjukan wayang purwa yang sering diadakan di Jawa mengambil lakon Mahabarata dan Ramayana. Dalam pertunjukan wayang purwa sudah banyak lakon yang ditampilkan oleh para dhalang, misalnya Bima Maneges, Gathutkaca Gugur, Semar Mbangun Kayangan, dan lain-lain. Dari sekian banyak lakon dalam pertunjukan wayang purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito yang terpilih menjadi objek kajian dalam skripsi ini.
Permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Tujuan dari penelitian ini yaitu menjelaskan struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pewayangan. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat digunakan mahasiswa lain sebagai referensi penelitian selanjutnya, serta dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi guru dan elemen masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan ini digunakan untuk penelitian yang meneliti tentang unsur-unsur intrinsik suatu karya sastra. Unsur-unsur intrinsik ini dibagi menjadi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), serta tema dan amanat.
Setelah dilakukan penelitian terhadap lakon Semar Mbangun Kayangan, struktur lakon dari lakon ini meliputi alur, penokohan, latar, tema dan amanat, serta pembagian tahapan pathet. Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Menurut jumlahnya, alur lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur tunggal. Dilihat dari segi prosesnya, alur dalam lakon ini termasuk alur menanjak (rising plot). Tahapan alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Pembagian tahapan pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan meliputi pathet lima, pathet sanga, dan pathet manyura. Tokoh protagonis dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Raden Antasena, Sang Hyang Padawenang, dan Bathara Kaneka Putra. Tokoh antagonis dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna, Bathara Guru, Bathari Durga, dan Maling Sukma. Tokoh durjana dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna. Aspek ruang dalam lakon ini terdapat di Kraton Ngamarta, Sitinggil Binatutata, Kayangan Jonggring Saloka, Pedhukuhan Karang Kapulutan, dan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu dalam lakon ini tidak digambarkan dengan jelas sehingga tidak diketahui peristiwa ini terjadi pada masa apa. Aspek suasana dalam lakon Semar Mbangun Kayangan berupa suasana hikmad, tegang, dan gembira. Tema yang diangkat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah perjalanan menuju kebenaran. Amanat lakon
ix
Semar Mbangun Kayangan ada dua, yaitu bagi para pemimpin untuk mau mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat yang kedua yaitu bagi rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena kebenaran pasti akan menang.
Saran yang dapat diberikan adalah wayang sebagai budaya terbesar masyarakat Jawa hendaknya tetap dijaga kelestariannya, terutama oleh generasi muda supaya sampai kapanpun wayang tetap menjadi pertunjukan yang selalu diminati masyarakat Jawa. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap lakon wayang ini karena pada penelitian ini hanya membahas tentang struktur lakon, sedangkan masih banyak hal yang perlu diteliti dari lakon ini.
x
SARI
Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.
Tembung wigatos: wayang purwa, struktur lakon
Pagelaran wayang purwa sing sering dianakke ing Jawa njupuk lakon Mahabarata lan Ramayana. Ing pagelaran wayang purwa wis akeh lakon sing ditampilake para dhalang, kayata Bima Maneges, Gathutkaca Gugur, Semar Mbangun Kayangan, lan liya-liyane. Saka akehe lakon ing pagelaran wayang purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan dening Ki Dhalang Hadi Sugito sing dipilih dadi bahan garapan ing skripsi iki.
Perkara sing arep diteliti yaiku struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Ancas saka panaliten ini yaiku jlentrehake struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Paedah teoretis dikarepake panaliten iki bisa digunaake kanggo ngembangake ilmu pengetahuan khususe ing bidang pewayangan. Paedah praktis dikarepake panaliten iki bisa digunaake mahasiswa liya kanggo sumber panaliten sateruse, sarta bisa digunaake sumber pengetahuan kanggo guru lan elemen masyarakat. Panaliten iki nggunaake pendekatan objektif. Penedekatan iki digunaake kanggp panaliten sing neliti babagan unsur-unsur intrinsik sawijining karya sastra. Unsur-unsur intrinsik kabagi dadi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), sarta tema lan amanat. Asil panaliten saka lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku, dideleng saka mutune, alur sing digunakke ing lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku alur tunggal. Saka jumlahe, alur lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku alur tunggal. Dideleng saka prosese, alur sing dinggo ing lakon iki yaiku alur menanjak (rising plot). Urutan alur saka lakon iki yaiku eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, lan keputusan. Urutan pathet saka lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku pathet lima, pathet sanga, lan pathet manyura. Paraga protagonis ing lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Raden Antasena, Sang Hyang Padawenang, lan Bathara Kaneka Putra. Paraga antagonis ing lakon iki yaiku Bathara Kresna, Bathara Guru, Bathari Durga, lan Maling Sukma. Paraga durjana ing lakon Semar Mbangun Kayangan yaiku Bathara Kresna. Aspek ruang ing lakon Semar Mbangun Kayangan kasebar ing Kraton Ngamarta, Sitinggil Binatutata, Kayangan Jonggring Saloka, Pedhukuhan Karang Kapulutan, lan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu ing lakon iki ora digambarake kanthi gambalang mulane ora dingerteni kedadeyan iki ana ing wektu apa. Aspek suasana ing lakon Semar Mbangun Kayangan arupa hikmad, tegang, lan gembira. Temane lakon iki mlaku tumuju bener. Amanat lakon Semar Mbangun Kayangan ana loro, yaiku kanggo para pemimpin supaya gelem ngrungokke suara rakyat, bijaksana, ora mung menangan, lan adil. Amanat sing kaloro yaiku kanggo rakyat supaya wani nyuarakke bener lan gigih menangake kabeneran kuwi.
xi
Saran sing bisa diwenehake yaiku wayang minangka budaya paling gedhe kanggo masyarakat Jawa kudune dijaga kalestariane, khususe generasi muda supaya nganti kapan wae wayang tetep dadi pagelaran sing diminati masyarakat Jawa. Perlu ana panaliten luwih marang lakon Semar Mbangun Kayangan amarga ing panaliten iki mung mbahas struktur lakon, kamangka isih akeh sing perlu diteliti saka lakon iki.
xii
DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii PENGESAHAN........................................................................................... iii PERNYATAAN .......................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................. v PRAKATA .................................................................................................. vi ABSTRAK ................................................................................................... viii SARI (Bahasa Jawa) ................................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka ............................................................................. 8
2.2 Landasan Teoretis ........................................................................ 8
2.2.1 Wayang .................................................................................... 8
2.2.2 Strukturalisme .......................................................................... 10
2.2.3 Struktur Lakon .......................................................................... 11
2.2.3.1 Alur ....................................................................................... 12
2.2.3.2 Penokohan ............................................................................. 20
2.2.3.3 Latar ...................................................................................... 24
2.2.3.4 Tema dan Amanat .................................................................. 28
2.3 Kerangka Berpikir ....................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................. 32
3.2 Sasaran Penelitian ........................................................................ 32
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 33
3.4 Teknik Analisis Data ................................................................... 33
xiii
BAB IV STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN
4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ....................................... 35
4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ........................... 35
4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ...................... 38
4.1.2.1 Eksposisi ............................................................................... 38
4.1.2.2 Konflik .................................................................................. 39
4.1.2.3 Komplikasi ............................................................................ 42
4.1.2.4 Krisis ..................................................................................... 50
4.1.2.5 Resolusi ................................................................................. 60
4.1.2.6 Keputusan .............................................................................. 68
4.2 Penokohan ................................................................................... 82
4.2.1 Tokoh Protagonis ...................................................................... 82
4.2.2 Tokoh Antagonis ...................................................................... 89
4.2.3 Tokoh Durjana .......................................................................... 92
4.3 Latar ............................................................................................ 94
4.3.1 Aspek Ruang ............................................................................ 94
4.3.2 Aspek Waktu ............................................................................ 100
4.3.3 Aspek Suasana .......................................................................... 100
4.4 Tema dan Amanat........................................................................ 104 BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ..................................................................................... 106
5.2 Saran ........................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 109 LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di tanah Jawa ini ada banyak dhalang yang sudah terkenal di kalangan
masyarakat. Beberapa nama dhalang tersebut yaitu Ki Anom Suroto, Ki Mantep
Sudarsono, Ki Enthus, Ki Hadi Sugito, dll, namun yang paling menarik dari
beberapa dhalang yaitu Ki Hadi Sugito. Ki Hadi Sugito merupakan seorang
dhalang yang berasal dari daerah Wates, Yogyakarta. Ki Hadi Sugito dikenal
sebagai seorang dhalang yang tetap berpegang kuat pada pakem wayang kulit
gaya Yogyakarta yang tetap menonjolkan fungsi wayang sebagai tontonan
sekaligus tuntunan. Kepiwaian beliau dalam jagad pakeliran sudah terkenal di
nusantara. Beliau seorang dhalang yang kreatif dan inovatif. Pesan-pesan yang
beliau sampaikan tiap tampil selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan
terkadang beliau juga mempublikasikan masalah yang sedang aktual di kalangan
masyarakat. Kehebatan lain dari Ki Hadi Sugito yaitu kepiawaiannya dalam
mbanyol atau lawak. Pada lakon Semar Mbangun Kayangan, beliau benar-benar
bisa menghidupkan tokoh punakawan dengan berbagai macam banyolannya,
sehingga penonton tidak merasa bosan saat melihat pertunjukan wayang. Ki Hadi
Sugito juga terkenal dengan seorang dhalang yang pandai dalam antawecana,
yaitu menyuarakan secara tepat suara tiap tokoh wayang. Beberapa lakon yang
pernah dimainkan oleh beliau yaitu Semar Mbangun Kayangan, Abimanyu
Ranjap, Arimba Gugur, Gathotkaca Gugur, dll.
2
Keistimewaan lain dari Ki Hadi Sugito terletak pada sanggitnya. Sanggit
merupakan kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan
dialog dan skenario untukmembentuk atau mengarahkan opini penonton terhadap
jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut oleh Dhalang. Hal
tersebut terlihat dari kemahiran Ki Hadi Sugito yang membuat tiap adegan selalu
ada guyonannya, dan itu sangat berbeda dengan dhalang yang menganut pakem
Surakarta.
Penelitian ini difokuskan pada cerita wayang dengan judul Semar Mbangun
Kayangan yang didhalangi oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Pada lakon ini tokoh
utamanya yaitu Ki Semar Badranaya yang merupakan titisan Bathara Ismaya. Ki
Semar Badranaya merupakan pengasuh Pandhawa terutama Arjuna. Beliau
menggulawenthah dan mendidik Pandhawa. Lakon ini menceritakan tentang
Semar yang ingin memperbaiki budi pekerti dan jiwa kepemimpinan para
penguasa Ngamarta, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Ceritanya dimulai dari Ki Semar Badranaya yang tidak pernah hadir dalam
pertemuan agung di Ngamarta. Akhirnya Petruk datang ke Ngamarta untuk
memberitahukan kepada para Pandhawa bahwa Ki Semar Badranaya akan
membangun kayangan dan membutuhkan bantuan para Pandhawa serta pusaka
Ngamarta berupa Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Songsong
Tunggulnaga.
Simbolisme tiga pusaka tersebut cukup menjelaskan niat baik Semar.
Kalimasada dimaknakan sebagai kalimat syahadat. Pusaka syahadat inilah yang
3
akan digunakan Semar untuk membangun ruhani. Tumbak Karawelang adalah
simbol ketajaman yang dengan personifikasi tersebut Semar bermaksud
membangun ketajaman hati, ketajaman visi dan indera para Pandawa. Songsong
Tunggulnaga adalah ungkapan bahwa Pandawa sebagai pemimpin harus memiliki
karakter mengayomi sebagaimana fungsi songsong.
Penyajian cerita yang dikemas dalam bentuk jalan cerita menjadikan lakon
Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito ini menarik untuk diteliti.
Dimulai dari pertemuan yang diadakan di Ngamarta, dilanjut dengan pertemuan
Kresna dengan Batara Guru, pertemuan pandhawa kecuali Arjuna dengan Ki
Semar Badranaya, lawakan-lawakan punakawan, sampai akhirnya Semar berhasil
membangun jiwa kepemimpinan pandhawa. Jalan cerita tersebut disajikan oleh Ki
Hadi Sugito dengan sangat baik dan menarik.
Penokohan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito
sangat bervariasi, mulai dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh
durjana. Keberadaan tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi Sugito dalam lakon
ini membuat cerita semakin hidup. Tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi
Sugito adalah Bathara Kresna. Dia berperan menjadi penghasut pandhawa supaya
pandhawa tidak membantu Ki Semar Badranaya dalam membangun kayangan.
Lawakan-lawakan yang disajikan Ki Hadi Sugito melalui Gareng, Petruk, dan
Bagong membuat lakon wayang ini tidak monoton. Ketiga tokoh tersebut
membuat cair suasana yang tadinya tegang menjadi tenang dan penuh guyonan.
Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan anak dari Ki Semar Badranaya. Mereka
4
bertiga dalam lakon ini ikut andil juga dalam usaha Ki Semar Badranaya untuk
memperbaiki kepribadian para pandhawa. Bantuan mereka ditunjukkan dengan
usaha memerangi para buta suruhan Betari Durga yang akan membunuh Ki Semar
Badranaya. Lawakan-lawakan dan jalan cerita yang disajikan oleh Ki Hadi Sugito
sangat sudah sesuai dengan fungsi wayang sebagai tontonan, yaitu tontonan yang
bisa menghibur masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi wayang sebagai tuntunan, lakon Semar Mbangun
Kayangan juga banyak mengandung nilai-nilai ajaran hidup yang berguna bagi
masyarakat. Nilai-nilai ajaran hidup tersebut tertuang dalam dialog tiap tokoh.
Salah satu contohnya terdapat pada dialog Ki Semar Badranaya dengan
Pandhawa. Ki Semar Badranaya menjelaskan kepada Pandhawa bahwa sebagai
ratu yang menjadi contoh ratu-ratu di negeri-negeri lain haruslah memiliki watak
kuat pada pendirian dan tidak goyah terhadap bujukan seperti yang dilakukan oleh
Arjuna.
Keistimewaan dari lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat pada
filosofinya, yaitu usaha memperbaiki karakteristik pemimpin di Ngamarta yang
dilakukan oleh Ki Semar Badranaya. Rakyat jelata yang menjadi korban
kelaliman para pemimpinnya. Namun Ki Semar Badranaya sebagai seorang jelata
tidaklah mau kalah dengan pemimpinnya. Dia tetap berpegang teguh pada tekad
dan kemauannya untuk berjuang demi pembaharuan yang baik. Keistimewaan
yang lain terdapat pada kepandaian Ki Semar Badranaya yang meminjam tiga
pusaka penting di Ngamarta untuk melaksanakan niatnya membangun kayangan
5
yang tak lain adalah jiwa kepemimpinan dari penguasa Ngamarta. Akhirnya
dengan segala perjuangannya, Ki Semar Berhasil memperbaiki jiwa
kepemimpinan para pemimpinnya. Di sinilah pelajaran yang sangat berharga,
sebagai rakyat jelata harus mau mencontoh apa yang dilakukan oleh Semar,
menyuarakan pendapat kita tanpa takut mati, terutama di saat negara sedang
terpuruk seperti ini.
Lakon Semar Mbangun Kayangan diangkat dalam penelitian ini karena
ceritanya yang sangat menarik. Tokoh dan penokohannya yang menarik. Cerita
dalam lakon tersebut sangatlah erat kaitannya dengan Negara Indonesia saat ini.
Para pemimpin di Negara Indonesia hanyalah mementingkan kekuasaan, tidak
memperhatikan keadaan rakyatnya, dan sama sekali tidak mempunyai jiwa
kepemimpinan yang handal. Hal itu seperti yang terjadi pada penguasa Ngamarta
yaitu para Pandhawa. Fenomena tersebut yang membuat Ki Semar Badranaya
ingin mengembalikan mereka ke jalan yang benar, supaya mereka tidak hanya
mementingkan kekuasaan.
Tujuan meneliti cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan untuk lebih
mengetahui tentang struktur lakon dari cerita wayang tersebut. Penelitian ini akan
membuat lebih paham dan mengerti tentang teori-teori yang berhubungan dengan
struktur lakon, terutama struktur lakon yang terdapat dalam cerita wayang Semar
Mbangun Kayangan. Struktur lakon ini akan memfokuskan pada dialog-dialog
dari para tokoh yang terjadi pada tiap peristiwa. Dialog-dialog tersebut yang akan
memunculkan peristiwa-peristiwa baru.
6
Penelitian terhadap cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan
diharapkan bisa memberi masukan kepada para pejabat di Negara Indonesia
supaya bisa memahami dan menjalankan amanat dari cerita wayang tersebut.
Amanat dari cerita wayang tersebut yaitu bagi penguasa untuk mau mendengar
suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-
mena dalam menegakkan keadilan. Sekaligus amanat bagi rakyat khususnya
rakyat Indonesia untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam
mempertahankan kebenaran itu.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana struktur lakon pada pertunjukan wayang kulit dengan lakon
Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi Sugito?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan yang
hendak dicapai dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur lakon dari
pertunjukan wayang kulit Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi
Sugito.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat teoretis maupun manfaat
praktis kepada para mahasiswa. Secara teoretis penelitian ini dapat digunakan
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pewayangan. Secara
7
praktis penelitian ini dapat digunakan mahasiswa lain sebagai referensi penelitian
selanjutnya, serta dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi guru dan
elemen masyarakat.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS
2.1 Kajian Pustaka
Lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito belum pernah dikaji
menggunakan teori apapun. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang
mengkaji lakon Semar Mbangun Kayangan, oleh karena itu tidak ada skripsi atau
penelitian yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam skripsi ini.
2.2 Landasan Teoretis
Teori-teori yang berkenaan dengan penelitian ini antara lain mengenai (1)
wayang, (2) strukturalisme, dan (3) struktur lakon yang di dalamnya ada beberapa
unsur yaitu, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan
amanat
2.2.1 Wayang
Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa, maksudnya wayang
merupakan jati diri manusia Jawa, oleh karena itu wayang sangatlah istimewa
bagi orang Jawa. Keistimewaan itu terdapat pada filosofisnya. Filosofi wayang
mampu menjadi tuntunan hidup sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini
dibuktikan dengan tidak sedikitnya nama tempat atau nama orang yang diambil
dari pewayangan. Misalnya, puncak Gunung Muria dinamakan Sapto Arga yang
merupakan tempat pertapaan Yudhistira, nama orang zaman sekarang ada yang
namanya Yudhistira, Arjuna, Bima, dll. Hal itu membuktikan bahwa wayang
sangatlah berarti bagi masyarakat Jawa (Hermawati 2006:1).
Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu
dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia
(Jawa : ayang-ayang). Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah
wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar
putih. Pengertian itu telah menunjuk pada boneka dua dimensi, yaitu boneka
wayang kulit (Mulyono 1978:39-40).
Wayang pada Kamus Istilah Drama merupakan boneka tiruan orang yang
terbuat dari patahan kulit atau kayu, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan
untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (seperti di Bali,
Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dhalang.
Orang Jawa pada zaman dahulu sengaja memberi ruang tersendiri untuk
pertunjukan wayang di rumahnya. Ruangan tersebut disebut dengan Pringgitan.
Bagi orang Jawa yang tidak mengerti tentang wayang berarti orang tersebut
tidaklah paham terhadap jati dirinya. Hal itu dimaksudkan bahwa sebagai seorang
manusia Jawa, kita harus memahami kebudayaan Jawa, terutama seni wayang
yang merupakan kesenian terbesar dari budaya Jawa.
Wayang disebut sebagai kesenian terbesar dalam kebudayaan Jawa karena
wayang tidak hanya sebagai tontonan bagi orang Jawa tetapi juga sebagai
tuntunan tingkah laku. Wayang bukan hanya sekadar sarana hiburan, tetapi juga
sebagai sarana komunikasi serta media pendidikan. Di dalam tiap cerita wayang
pasti terkandung makna dan amanat yang bisa diambil oleh penonton, maka dari
itu wayang berfungsi sebagai tuntunan.
Di Tanah Jawa ini wayang yang sangat terkenal dan sering dipertontonkan
yaitu wayang purwa, yaitu wayang yang mengambil tema Mahabarata dan
Ramayana. Mahabarata menceritakan kisah hidup Pandhawa, yaitu putra Pandu
yang terdiri dari Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ramayana
menceritakan tentang kisah hidup Ramawijaya dan Sinta.
Pertunjukan wayang purwa atau wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang
dhalang. Dhalanglah yang menjadi sutradara dalam pertunjukan wayang,
sehingga seorang dhalang harus benar-benar mengerti cerita wayang yang sedang
dimainkannya. Pada Masyarakat Jawa, dhalang dianggap sebagai "wong kang
wasis ngudhal piwulang” maksudnya orang yang pandai menyampaikan ajaran-
ajaran. Jadi, dalam pertunjukan wayang dhalang berperan sebagai seorang filsuf,
seorang guru, seorang seniman, seorang pelawak, seorang orator, dan seorang
komunikator.
2.2.2 Strukturalisme
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur
pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan,
dan gambaran semua bahan serta bagian yang menjadi komponennya yang secara
bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams 1981 : 68). Struktur karya
sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur intrinsik yang bersifat
timbale balik, saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tiap unsur itu akan menjadi berarti dan
sangat penting setelah ada hubungan dengan unsur yang lain.
Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan
yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang
bersangkutan. Jadi analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur intrinsik yang
dimaksud yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting atau latar, serta tema
dan amanat. Dengan demikian analisis struktural bertujuan untuk memaparkan
fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghasikan sebuah satu kesatuan yang utuh.
2.2.3 Struktur Lakon
Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik lebih bersifat batin
daripada fisik. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motif.
Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian.
Lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa. Lakon berasal dari
kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa. Jadi, lakon
wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang.
Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang
ditampilkan (Murtiyoso, dkk 2004: 57).
Mohammad Kanzunnudin dalam bukunya yang berjudul Kamus Istilah
Drama (2003:62) memberikan definisi lakon adalah karangan berbentuk drama
yang ditulis dengan maksud untuk dipentaskan. Pada Kamus Istilah Sastra,
definisi lakon adalah karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud
untuk dipentaskan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
lakon adalah drama.
Jenis lakon berbeda dengan jenis prosa dan puisi dalam hal hakikat, bentuk
pengungkapan, dan teknik penyajiaannya. Hakikat lakon adalah tikaian (konflik).
Hakikat prosa adalah cerita, dan hakikat puisi adalah imajinasi. Lakon, prosa, dan
puisi merupakan bentuk-bentuk pengungkapan sastra. Teknik penyajian lakon
menggunakan cakapan, baik monolog maupun dialog. Prosa menggunakan
kisahan, sedangkan puisi menggunakan citraan.
Di dalam drama ada dua aspek yang sangat penting, yaitu struktur dan
tekstur. Struktur merupakan komponen paling utama dalam drama. Struktur
adalah bangunan yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur tersusun menjadi suatu
kerangka bangunan arsitekstural. Satoto (1985:14) mengatakan bahwa adegan-
adegan di dalam lakon merupakan bangunan unsur-unsur yang tersusun dalam
satu kesatuan. Jadi untuk menganalisis struktur lakon, harus memulai dengan unit
paling dasar yaitu adegan. Unsur-unsur pendukung struktur lakon yaitu alur atau
plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.
2.2.3.1 Alur atau Plot
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu. Tautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal dan
hubungan kasual (sebab akibat). Pengertian lain tentang alur yaitu rangkaian
peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan
cerita melalui perumitan atau komplikasi ke arah klimaks dan penyelesaian.
Pada Kamus Istilah Drama (2003:4-5), alur diartikan jalinan peristiwa di
dalam naskah drama atau sastra untuk mencapai efek tertentu. Tautannya dapat
diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau
sebab akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin secara
seksama, yang sanggup menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan kea rah
klimaks dan penyelesaian atau tanpa penyelesaian.
Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (1966:14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang
ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
Struktur umum yang membentuk alur dramatik sebuah lakon adalah
introduction atau exposition (perkenalan atau eksposisi), rising action atau
complication (perumitan, penggawatan atau komplikasi), the climax atau turning
point (klimaks atau puncak yang sangat menentukan), falling action atau
unravelling ( leraian atau selesaian), the denouement atau resolution in tragedy
(resolusi), dan yang terakhir the conclusion (kesimpulan akhir).
Alur adalah rangkaian peristiwa yg direka dan dijalin dng saksama dan
menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan ke arah klimaks dan penyelesaian
atau jalinan peristiwa dl karya sastra untuk mencapai efek tertentu, pautannya
dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal
atau sebab-akibat (http://www.artikata.com/arti-318576-alur.html).
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang
disusun sebagai sebuah inter-relasi fungsional dalam karya fiksi. Alur ini
merupakan perpaduan unsur–unsur yang membangun cerita. Alur merupakan
rangkaian suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan
rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konfflik yang terdapat
di dalamnya (http://pendekarjawa.wordpress.com/2009/05/06/analisis-struktural-
cerkak-%E2%80%9Cbecak%E2%80%9D-karya-budi-susanto.html).
Pendapat lain disampaikan oleh William Henry Hudson (dalam Satoto,
1985:21-22). Menurutnya struktur drama ada enam tahap, yaitu eksposisi, konflik,
komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Berikut ini penjelasan Hudson
mengenai tahap-tahap di atas.
(1) Eksposisi, cerita diperkenalkan agar penonton mendapat gambaran selintas
mengenai drama yang ditontonnya, agar mereka terlibat dalam peristiwa
cerita.
(2) Konflik, pelaku cerita terlibat dalam satu pokok persoalan. Di sini mula
terjadinya insiden akibat timbulnya konflik.
(3) Komplikasi, terjadilah persoalan baru dalam cerita atau disebut juga rising
action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat, maka tahap ini disebut
perumitan atau penggawatan.
(4) Krisis, pada tahap ini persoalan telah mencapai puncaknya (klimaks). Pada
tahap ini harus diimbangi dengan upaya mencari jalan keluar.
(5) Resolusi, pada tahap ini persoalan telah memperoleh peleraian. Tegangan
akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini disebut juga
dengan falling action.
(6) Keputusan, pada tahap ini persoalan telah memperoleh penyelesaiaannya.
Konflik sudah dapat diakhiri.
Jadi jika dilukiskan dengan gambar, alur struktur drama di atas
sebagai berikut:
d
c e
a b f
a : eksposisi
b : konflik
c : komplikasi
d : krisis
e : resolusi
f : keputusan
Alur dilihat dari segi mutunya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) alur
erat atau ketat yaitu jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam karya sastra.
Kalau salah satu peristiwa atau kejadian dihilangkan, maka keutuhan cerita akan
terganggu. (2) alur longgar yaitu jalinan peristiwa yang tidak padu. Kalau salah
satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya
cerita. Pada alur longgar sering disisipi alur-alur bawahan, maka sering timbul
penyimpangan alur.
Alur dilihat dari segi jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1)
alur tunggal, dan (2) alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu alur, alur
ini digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu
sebagai hero atau pahlawan. Pada alur ganda terdapat lebih dari satu alur atau
terdapat beberapa tokoh yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan
konflik yang dihadapi. Alur ganda terdapat pada lakon wayang.
Alur dilihat dari sisi lain dapat dibedakan menjadi sembilan. Berikut ini
pembagian alur dilihat dari sisi lain.
(1) Alur menanjak (rising plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra
yang semakin menanjak sifatnya.
(2) Alur menurun (falling plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra
yang semakin menurun sifatnya.
(3) Alur maju (progressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya
sastra yang berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari tahap
awal sampai tahap akhir cerita.
(4) Alur mundur (regressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya
sastra yang urutan atau penahapannya bermula dari tahap akhir atau tahap
penyelesaian, baru tahap-tahap peleraian, puncak, perumitan, dan
perkenalan.
(5) Alur lurus (straight plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra
yang penahapannya runtut atau urut, baik sebagai alur maju maupun alur
mundur.
(6) Alur patah (break plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra
yang penahapannya tidak urut atau runtut tetapi patah-patah.
(7) Alur sirkuler (circular plot) atau alur bundar atau alur lingkar, yaitu alur
yang melingkar-lingkar dari suatu cerita.
(8) Alur linier (linear plot), yaitu alur lurus (progressive plot).
(9) Alur episodik (episodic plot) atau nonlinier plot. Jalinan peristiwanya tidak
lurus, tetapi patah-patah. Alur episodik ini merupakan alur kecil. Peristiwa
yang dijalin ke dalam alur episodik ini merupakan episode-episode atau
bagian dari cerita panjang. Misalnya episode-episode dalam Bharatayudha
(termasuk di dalamnya episode “Karna Tandhing”).
Alur dilihat berdasarkan kriteria isi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)
alur peruntungan, (2) alur tokohan, dan (3) alur penikiran. Alur peruntungan
berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan yang
menimpa tokoh utama dari cerita yang bersangkutan. Alur peruntungan dibedakan
menjadi alur gerak, alur sedih, alur tragis, alur penguhukuman, alur sentimental,
dan alur kekaguman. Alur yang kedua alur tokohan, yaitu alur yang menyaran
pada adanya sifat pementingan tokoh, di sini tokoh yang menjadi fokus perhatian.
Alur tokohan dibedakan menjadi alur pendewasaan, alur pembentukan, alur
pengujian, dan alur kemunduran. Alur yang ketiga alur pemikiran, yaitu alur yang
mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan,
berbagai macam obsesi, dan lain-lain hal yang menjadi masalah hidup dan
kehidupan manusia. Alur pemikiran dibedakan menjadi alur pendidikan, alur
pembukaan rahasia, alur afektif, dan alur kekecewaan.
Teknik pengaluran yang biasa digunakan dibagi menjadi dua yaitu, (1)
sorot balik, dan (2) tarik balik. Sorot balik yaitu teknik pengaluran mundur,
pengungkapan peristiwa berjalan surut ke peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelumya. Tarik balik yaitu bentuk teknik pengaluran patah, penyisipan alur
bawaha ke dalam alur utama. Alur bawahan yang disisipkan berupa peristiwa
yang secara kronologis terjadi sebelumnya (Satoto 1985:23).
Menurut Satoto, secara tradisional struktur lakon wayang mempunyai tiga
tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
(1) Pathet Nem
Pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan yang ditancapkan condong
ke kiri, tahapan pathet sanga ditandai dengan gunungan ditancapkan tegak lurus,
dan pathet manyura ditandai dengan penancapan gunungan condong ke kanan.
Sesuai dengan adegan-adegannya, tahapan pathet nem melambangkan kehidupan
manusia pada masa kanak-kanak. Jejer merupakan adegan pertama dalam
wayang. Pada adegan kedhaton di mana raja yang selesai bersidang diterima
permaisuri untuk bersantap bersama yang diartikan sebagai lambang bayi yang
baru lahir disambut oleh ibunya. Adegan paseban jawi diartikan melambangkan
kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar.
Adegan jaranan yang ditampilkan dengan pasukan binatang diartikan watak
anak, bahwa anak yang belum dewasa wataknya seperti binatang. Adegan perang
ampyak diartikan melambangkan perjalanan hidup seorang anak yang sudah
beranjak dewasa, mulai menghadapi banyak kesulitan dan hambatan. Akhir dari
perang ampyak menunjukkan semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan
baik. Adegan sabrangan dilambangkan sebagai seorang anak yang sudah dewasa
namun masih mempunyai watak-watak yang dominan dalam keangkaramurkaan,
emosional dan nafsu. Adegan terakhir dalam pathet nem adalah perang gagal,
yaitu suatu perang yang belum berakhir dengan kemenangan. Adegan ini
melambangkan tataran hidup yang belum mantap.
(2) Pathet Sanga
Adegan pada pathet sanga terdiri dari gara-gara, adegan pertapaan atau
pandhita, adegan perang kembang, dan adegan sintren. Adegan gara-gara
merupakan adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan ini diartikan
bahwa ketika manusia menginjak dewasa, hidup terasa indah dan menyenangkan.
Adegan pandhita adalah adegan pertemuan antara seorang pendeta di pertapaan
dengan seorang kesatria. Adegan ini melambangkan suatu masa di mana manusia
sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.
Adegan perang kembang adalah adegan perang antara raksasa melawan
seorang kesatria yang diiringi punakawan. Adegan perang kembang
melambangkan suatu tataran di mana manusia sudah mulai mampu dan berani
memenangkan atau mengalahkan nafsu keangkaramurkaan. Adegan sintren adalah
adegan yang menggambarkan seorang kesatria sudah menetapkan pilihannya
dalam menempuh hidup. Adegan tersebut melambangkan tataran di mana manusia
sudah mampu menentukan pilihan hidupnya.
(2) Pathet Manyura
Adegan pada pathet manyura terdiri dari jejer manyura, perang brubuh, dan
tancep kayon. Pada jejer manyura diceritakan bahwa tokoh utama di dalam lakon
sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini
melambangkan tataran kehidupan manusia, di mana manusia setelah berhasil
menentukan pilihan, lalu bertekad untuk menggapai tujuan hidupnya tersebut.
Adegan perang brubuh disebut juga perang ageng karena merupakan perang
yang paling besar, dengan banyak korban yang berjatuhan. Perang ini diakhiri
dengan kemenangan di pihak kesatria. Adegan ini melambangkan bahwa manusia
sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan hambatan guna mencapai tujuan
hidup yang diinginkan. Adegan terakhir adalah tancep kayon sebagai penutup
pada pagelaran wayang tersebut, yaitu kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir
sebagaimana halnya ketika pertunjukan wayang belum dimulai. Adegan tancep
kayon ini melambangkan proses maut, yaitu manusia sudah meninggalkan alam
fana menuju ke alam baka yang kekal dan abadi. Pada akhir pertunjukan wayang
kulit purwa seringkali dimainkan tarian wayang golek wanita yang menyiratkan
suatu anjuran agar para penonton mencari makna atau ajaran dari pagelaran
wayang tersebut. Ada pula yang tidak memainkan boneka kayu, melainkan
menarikan tokoh ksatria pemenang, misal Werkudara. Adegan ini disebut
tayungan.
2.2.3.2 Penokohan
Penokohan yaitu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak
dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh.
Pada penokohan, watak tokoh dapat terungkap melalui (a) tindakan, (b) ujaran
atau ucapannya, (c) pikiran, perasaan, kehendaknya, (d) penampilan fisiknya, dan
(e) apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang
lain.
Pada proses penokohan, ada dua teknik yang digunakan, yaitu:
(1) Teknik analitik, yaitu teknik penampilan tokoh secara langsung melalui
uraian pengarang.
Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan
dengan seoarang yang tak mempunyai kelamin, mempunyai perut yang
besar, dan kepalanya ditutup dengan topi kuncung putih. Pelukisan
tersebut menggambarkan bahwa Semar seorang yang bijaksana dan
mempunyai ilmu banyak.
(2) Teknik dramatik, yaitu teknik penampilan tokoh yang dideskripsikan
pengarang secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifat
dan watak tokoh bisa diketahui melalui cakapan, tingkah laku, pikiran dan
perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar,
dan pelukisan fisik.
Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan
sebagai seorang tokoh yang bijaksana. Hal tersebut dapat dilihat dari
beberapa adegan dalam lakon tersebut, bagaimana Semar menghadapi
orang-orang yang menentang dia. Semar tetap terlihat sabar dalam
menghadapi orang-orang tersebut.
Tokoh dalam seni sastra disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai
pemegang peran watak, baik dalam jenis roman atau jenis lakon. Tokoh
merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam
berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian
(http://wcatatansingkat.blogspot.com/2011/01/tokoh-dan-penokohan-dalam-
cerpen.html).
Satoto (1985:25) membagi tokoh menurut kejiwaannya menjadi empat,
yaitu:
(1) Tokoh Protagonis, yaitu peran utama yang merupakan pusat atau sentral
cerita.
(2) Tokoh Antagonis, yaitu peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang
tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik).
(3) Tokoh Tritagonis, yaitu peran penengah yang bertugas menjadi pelerai,
pendamai atu pengantar protagonis dan antagonis.
(4) Tokoh Peran Pembantu, yaitu peran yang tidak secara langsung terlibat
dalam konflik (tikaian) yang terjadi tetapi ia diperlukan untuk membantu
menyelesaikan cerita.
Tokoh dilihat dari segi perkembangan wataknya dapat dibedakan menjadi
delapan. Di bawah ini pembagian tokoh menurut wataknya.
(1) Tokoh Andalan, yaitu tokoh yang tidak memegang peranan utama, tetapi
menjadi kepercayaan protagonis. Tokoh andalan sering dipakai penulis lakon
atau novel atau roman untuk menyampaikan pikiran dan maksud protagonis
untuk menghindari monolog (cakapan seorang diri tentang masa lalu),
solilokui (cakapan seorang diri tentang masa datang), dan sampingan
(cakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton atau publik). Fungsi
utama tokoh andalan adalah memberi gambaran lebih terperinci tentang
protagonis.
(2) Tokoh Bulat, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik jenis lakon maupun roman
atau novel yang diperikan segi-segi wataknya hingga dapat dibedakan dari
tokoh-tokoh yang lain. Tokoh-tokoh bulat dapat mengejutkan pembaca,
pendengar, atau penonton karena kadang-kadang terungkap watak yang tak
terduga.
(3) Tokoh Datar sama dengan tokoh pipih, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik
lakon maupun roman atau novel yang hanya diungkapkan dari satu segi
wataknya. Tokoh semacam ini sifatnya statis, tidak dikembangkan secara
maksimal. Tokoh-tokoh dalam tetater tradisional bentuk wayang pada
umumnya termasuk tokoh datar atau okoh pipih.
(4) Tokoh Durjana, yaitu tokoh jahat dalam cerita. Pada lakon, tokoh durjana
menjadi biang keladi atau pengahasut. Misal pada tokoh wayang Sakuni.
(5) Tokoh Lawan, sama dengan tokoh antagonis.
(6) Tokoh Statis, yaitu tokoh yang dalam lakon maupun roman atau novel
perkembangan lakunya sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak berubah.
(7) Tokoh Tambahan, yaitu tokoh dalam lakon yang tidak mengucapkan sepatah
katapun. Mereka tidak memegang peranan, bahkan tidak penting sebagai
individu.
(8) Tokoh Utama, sama dengan tokoh protagonis.
2.2.3.3 Latar atau Setting
Abrams (1981:175) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (1965)
mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita)
sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca
secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan menciptakan suasana
tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan
demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya, di
samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan
pengetahuaannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran,
ketepatan, dan aktualisasi lataryang diceritakan sehingga merasa lebih akrab.
Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang
sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu
mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke
dalam cerita (Nurgiyantoro 2005:217).
Nurgiyantoro (2005:218-222) membagi latar menjadi empat, yaitu (1) latar
fisik, (2) latar spiritual, (3) latar netral, dan (4) latar tipikal.
(1) Latar Fisik, latar yang berupa nama tempat dan waktu terjadinya suatu
peristiwa. Penunjukan latar fisik dalam karya fiksi dapat dengan cara yang
bernacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada
pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar
menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus
menceritakan situasi latar.
(2) Latar Spiritual, nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar
spritual berupa tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang
berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya
karya-karya fiksi Indonesia hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik.
Hal ini akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik
yang bersangkutan. adanya deskripsi latar spiritual inilah yang menyebabkan
latar tempat tertentu, misalnya Jawa dapat dibedakan dengan tempat-tempat
lain.
(3) Latar Netral, latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang
menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar
tersebut merupakan sifat umum terhadap hal sejenis, misalnya desa, kota,
hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku di mana saja. Artinya,
jika tempat-tempat tersebut dipindahkan, hal itu tidak akan mempengaruhi
pemplotan dan penokohan.
(4) Latar Tipikal, latar ini memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu,
baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.
Latar dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya
peristiwa. Ada perbedaan yang tidak mudah dilihat antara setting bagian dari teks
dan hubungan yang mendasari suatu lakuan terhadap keadaan sekeliling. Latar
dapat menjadi lebih luas dari sekadar urutan lakuandan tidak tergantung pada arti
dari setiap peristiwa. Perumusannya, latar dipandang sebagai bagian jenis
informasi, evaluation atau penilaian, collateral atau yang mengiringi, di mana
atau where, kapan atau when, while, saat atau waktu dalam masalah apa kejadian
itu ditempatkan. Pada konteks ini latar dibicarakan dalam non-events. Jelasnya,
latar (setting) dalam lakon tidak sama dengan panggung. Panggung merupakan
perwujudan dari setting. Setting mencakup dua aspek penting yaitu, (1) aspek
ruang, dan (2) aspek waktu. Di samping dua aspek tersebut, ada satu aspek lain
yang perlu dipertimbangkan, yaitu (3) aspek suasana.
(1) Aspek Ruang
Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Pada
drama tradisional, tempat terjadinya peristiwa dalam lakon sering
diidentifikasikan dengan tempat dalam realita. Lokasi atau tempat terjadinya
peristiwa dalam lakon dapat di istana, rumah biasa, hutan, gunung, langit,
laut, pantai, tempat peperangan, dan sebagainya. Peristiwa itu juga bisa
terjadi di dunia atau di kahyangan. Jika lokasi terjadinya peristiwa bertempat
di dalam diri manusia itu sendiri, maka akan timbul konflik batin yang sulit
dileraikan. Manusia dalah sumber segala konflik, maka manusia pulalah yang
harus menyelesaikannya.
(2) Aspek Waktu
Aspek waktu dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) waktu cerita dan (b) waktu
penceritaan.
(a) Waktu Cerita, yaitu waktu yang terjadi dalam seluruh cerita atau satu
episode dalam lakon. Misalnya, perang “Bharatayudha” dalam lakon
wayang berlangsung selama 18 hari. Waktu cerita dalam lakon “Banjaran
Karna” berlangsung seusia Karna Basukarna (di dalamnya diceritakan
sejak Karna lahir sampai dengan Adipati Karna gugur di tangan Arjuna,
adiknya sendiri dalam Bharatayudha). Waktu cerita dalam lakon
“Banjaran Bisma” (di dalamnya diceritakan sejak lahirnya Dewabrata,
nama Bisma ketika kecil, hingga Bisma gugur di tangan Srikandi dalam
Bharatayudha).
(b) Waktu Penceritaan, sama dengan masa putar. Hal ini dianalogkan dengan
lakon jenis film yang penyajiannya dengan memutar roll film yang
direkamnya. Cara untuk menghitung waktu penceritaan jenis lakon adalah
dengan menghitung berapa babak, berapa adegan, dan berapa movement
dalam keseluruhan lakon. Lakon wayang kulit yang menggunakan waktu
pentas semalam suntuk mempunyai struktur ruang dan waktu yang
mempunyai fungsi dan maknanya simbolik.
(3) Aspek Suasana
Pada mulanya pagelaran wayang berhubungan dengan kepercayaan.
Kegiatannya merupakan kegiatan gaib yang berhubungan dengan upacara
sakral, magis, religius, dan didaktis. Itu semua adalah fungsi inti dari
pertunjukan wayang yang tetap dipertahankan meskipun terus berkembang
dan mengalami perubahan. Aspek suasana ini didapat dengan penggunaan
kelir, blencong, kothak, kepyak, dan dhalang.
2.2.3.4 Tema dan Amanat
Tema pada Kamus Istilah Drama (2003:109) diartikan sebagai gagasan,
ide, pikiran utama dalam karya drama. Tema tidak sama dengan pokok masalah
atau topik. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum
sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang digunakan oleh pengarang
untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro 2005:70).
Satoto (1985:15) mendeskripsikan tema dalam suatu karya sastra bukan
merupakan pokok persoalannya melainkan lebih bersifat ide sentral (pokok) yang
dapat terungkapkan baik secara langsung maupun tak langsung. Jadi, tema adalah
gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun
tidak.
Amanat dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung
maupun tak langsung, secara tersurat, tersirat atau simbolis. Mohammad
Kanzunnudin (2003:5) mendeskripsikan amanat sebagai pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang naskah drama atau sastra kepada penonton atau
pembaca.
Lakon bentuk wayang biasanya menggunakan teknik penyampaian pesan
secara simbolis. Wayang merupakan karya seni yang simbolis. Itulah sebabnya,
meski sumber ceritanya sama, tiap-tiap dalang berbeda cara dan hasil
penafsirannya. Masing-masing dalang berbeda dalam pendekatan, garapan, dan
gaya penyajiannya. Tiap dalang memiliki kadar imajinasi atau sanggitnya masing-
masing. Begitu pula publik penikmatnya akan bermacam-macam cara dan hasil
pendekatan atau penafsiran terhadap tema dan amanat dalam lakon wayang yang
dipagelarkan oleh dalang.
Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok
persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Tema dan amanat dalam
seni satra sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jadi tema dan
amanat tidak terlepas dari konteksnya.
2.3 Kerangka Berpikir
2.3.1 Bagan Kerangka Berpikir
CD pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito
Mengumpulkan dan mentranskripsi data
Identifikasi Masalah
Mengalisis data dengan menggunakan teori
strukturalisme dan metode analisis struktural
Hasil Analisis Data
Simpulan dan Saran
Lakon Semar Mbangun Kayangan yang menceritakan tentang simbol
rakyat menghendaki para pemimpin untuk membangun jiwa. Pada lakon ini pula
terlihat bahwa terkadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat,
memperlakukan rakyat sebagai objek yang bodoh, penguasa cenderung bertangan
besi dan mau menang sendiri. Pada Semar Mbangun Kahyangan ini terlihat pada
akhirnya penguasa yang lalim akan terkoreksi oleh rakyat jelata.
Permasalahan yang akan dikaji pada lakon Semar Mbangun Kayangan
yaitu struktur lakon lakon wayang tersebut. Di dalam struktur lakon terdapat
unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra, yaitu alur, tokoh dan penokohan,
latar, serta tema dan amanat. Struktur lakon wayang yang berupa tiga tahapan
akan dibahas pada bagian alur.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyimak dan
menonton pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan yang
terdapat pada kepingan CD produksi Dunia Hijau Record. Data tersebut berupa
transkrip teks monolog dan dialog antar tokoh dalam lakon Semar Mbangun
Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.
Data yang dihasilkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan
metode analisis struktural sastra, yaitu metode untuk membedah unsur-unsur
karya sastra, terutama unsur-unsur intrinsik dari sebuah karya sastra. Hasil analisis
data berupa pendeskripsian dari unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada lakon
wayang Semar Mbangun Kayangan.
Simpulan dari penelitian ini berisi tentang penjelasan secara ringkas hasil
analisis unsur-unsur intrinsik pada lakon Semar Mbangun Kayangan. Saran dalam
penelitian ini berisi tentang nasihat-nasihat pada elemen masyarakat, guru, dan
mahasiswa lain agar bisa mencontoh atau meniru sikap tegas dan keberanian
Semar dalam menegakkan keadilan, serta diharapkan skripsi ini bisa menjadi
panduan untuk penelitian selanjutnya.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini digunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif
merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada unsur-unsur intrinsik.
Masalah mendasar yang diungkapkan dalam pendekatan objektif misalnya citra
bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan
kualitas estetis. Pada fiksi, yang dicari misalnya unsur-unsur plot, tokoh, latar,
kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Pendekatan objektif akan digunakan
untuk mengeksploitasi semaksimal mungkin unsur-unsur intrinsik dari suatu karya
sastra (Ratna 2008:73-74).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
struktural. metode analisis struktural bertujuan untuk mengkaji fungsi dan
keterkaitan antar unsur pembangun dalam karya sastra. Teeuw (1988:135)
menyimpulkan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh.
3.2 Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian dalam skripsi ini adalah lakon Semar Mbangun Kayangan
oleh Ki Hadi Sugito. Penelitian ini akan mengkaji unsur-unsur intrinsik dalam
lakon Semar Mbangun Kayangan. Unsur-unsur intrinsik tersebut yaitu alur atau
plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.
33
Data dalam penelitian ini berupa penggalan teks cerita beserta dialog yang
diambil dari rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar Mbangun
Kayangan oleh Ki Hadi Sugito. CD lakon wayang ini diproduksi oleh Dunia
Hijau Record yang direkam pada tanggal 6 Agustus 2007 saat Ki Hadi Sugito
mengadakan pagelaran wayang di Wates, Kulonprogo.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik menyimak.
Teknik menyimak yaitu suatu kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan
dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta intepretasi untuk
memperoleh informasi (http://kleang.blogspot.com/2010/02/pengertian-definisi-
dan-fungsi.html). Pada penelitian ini yang disimak bukan merupakan hasil
wawancara melainkan rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar
Mbangun Kayangan yang didhalangi oleh Ki Hadi Sugito. Penggunaan teknik
menyimak ini dikarenakan bahan data berupa rekaman CD yang harus dilihat dan
didengar dengan seksama untuk memperoleh data penelitian. Data dari hasil
menyimak berupa teks atau transkrip yang berisi dialog serta monolog dalam
pertunjukan wayang lakon Semar Mbangun Kayangan. Data tersebut selanjutnya
akan dianalisis secara deskriptif.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik analisis struktural yang
digunakan untuk membedah unsur-unsur dari karya sastra, terutama unsur
intrinsiknya yang terdiri dari alur atau plot, latar atau setting, tokoh dan
penokohan, serta tema dan amanat.
34
Adapun secara rinci langkah kerja yang dilakukan dalam menganalisis data
dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut:
1. Mendengarkan dan menonton rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon
Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.
2. Menstrankripsi monolog dan dialog dalam rekaman ke dalam bentuk teks
atau tulisan.
3. Menganalisis sehingga ditemukan alur, tokoh dan penokohan, latar, serta
tema dan amanat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan.
4. Memaparkan hasil analisis secara deskriptif.
35
BAB IV
STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN
Lakon wayang Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito
merupakan salah satu jenis lakon wayang dalam dunia pewayangan. Lakon
wayang Semar Mbangun Kayangan akan dianalisis struktur lakon yang meliputi
alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), serta tema dan amanat.
4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan
4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan
Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar
Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Alur longgar adalah jalinan peristiwa
yang tidak padu, jika salah satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan
mengganggu keutuhan dan jalannya cerita. Pada alur longgar, sering disisipi alur-
alur bawahan. Alur bawahan ini merupakan lakuan tersendiri, tetapi masih ada
hubungannya dengan alur utama. Alur bawahan dalam lakon ini terdapat pada
adegan ke-12 dan ke-21. Adegan ke-12 menceritakan Wisanggeni yang berperang
dengan Jaramaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERPERANG) JARAMAYA
Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi? ‘Jika kamu berani dengan saya lalu kekuatan yang kamu pakai berasal
dari mana?’ WISANGGENI
Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha.
36
‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Saya pendek kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’ JARAMAYA
Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek. Ora uman patan aku.
‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku prajurit, menendang, menyepak. Tidak tersisa kesempatan.’ WISANGGENI
Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.
‘Ayo maju ke sini. Meskipun besar tapi kalau seperti Kakek Jaramaya hanya duduk-duduk saja. Sesudah makan kenyang, tidur.’ JARAMAYA
Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni. ‘Seenaknya sendiri kamu sama saya. Jangan lari Wisanggeni.’ WISANGGENI
Isa ngoyak aku ya nyata buta digdaya. ‘Bisa mengejarku memang nyata raksasa kuat.’ JARAMAYA
“Candhak, mati.” ‘Terkejar. Mati.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Alur bawahan yang kedua terdapat pada adegan ke-21 yang menceritakan
tentang Maling Sukma dan Maling Raga yang berdiskusi bahwa mereka selalu
tidak bisa menang berperang melawan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja.
Seperti kutipan di bawah ini.
(MALING SUKMA MENGELUH KEPADA MALING RAGA) MALING SUKMA Dhi. ‘Dik.’ MALING RAGA Nun.
‘Iya.’
37
MALING SUKMA Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan. ‘Seperti apapun tetap tidak bisa karena GAthutkaca, Antareja bisa melihat
kita. Kamu maju Dik, kita gantian.’ MALING RAGA Wuuh, paling ya kalah. ‘Wuuh, paling juga kalah.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Menurut jumlahnya, alur lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur
tunggal. Pada alur tunggal hanyalah terdapat satu alur atau terdapat satu tokoh
yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Pada
lakon Semar Mbangun Kayangan, tokoh yang disorot adalah Ki Semar Badranya.
Ki Semar Badranaya yang ingin memperbaiki jiwa para pandhawa dan
mendapatkan banyak halangan dari orang-orang yang memusuhinya, tetapi
akhirnya tetap Ki Semar Badranaya yang menang dengan berhasil membangun
jiwa para pandhawa. itulah inti dari lakon wayang Semar Mbangun Kayangan.
Dilihat dari segi prosesnya, alur dalam lakon ini termasuk alur menanjak
(rising plot). Tahapan alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi,
krisis, resolusi, dan keputusan. Lakon ini juga menggunakan alur maju
(progressive plot), di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lakon ini
berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari awal sampai akhir. Lakon
Semar Mbangun Kayangan menceritakan awal rencana Ki Semar Badranaya
mbangun kayangan sampai akhirnya berhasil dengan melewati berbagai macam
rintangan. Tahapan yang runtut dan urut ini termasuk dalam alur lurus (linier
plot).
38
4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan
Tahap penceritaan yang digunakan dalam lakon Semar Mbangun
Kayangan terdiri dari enam tahap, yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis,
resolusi, dan keputusan.
4.1.2.1 Eksposisi
Pada tahap ini dhalang memperkenalkan cerita kepada penonton.
Pengenalan cerita berupa monolog atau dalam lakon wayang disebut sebagai
janturan. Tahap ini berisi tentang sekilas informasi awal lakon wayang yang
berfungsi sebagai pengenalan cerita sehingga penonton bisa masuk dan terlibat
dalam tiap adegan.
Tahap eksposisi dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dapat diketahui
melalui janturan pada awal adegan pertama. Dalam tahap eksposisi ini
digambarkan keadaan Kraton Ngamarta yang makmur, sejahtera, subur, aman,
dan terkenal di mancanegara.
Seperti dalam kutipan di bawah ini.
Adegan : bagian awal adegan pertama
Tempat : Kraton Ngamarta
Pathet : Nem
JANTURAN
…Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh
jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi mapan siti ketumpangan
wareh, apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining
tembung murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula
kang sami among tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal
yen negara dadi pikuwat saka guruning negara. Werdining gemah
39
lakuning para sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet
datan wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing
ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan wonten
sambekala…
‘…Di depan sudah diceritakan bahwa wilayah Kerajaan Ngamarta itu
subur dan tentram. Tanahnya tulus semua yang ditanam pasti jadi ditaruh
di tanah dan terkena air, apa yang ditancapkan pasti tumbuh hijau.
Tentram artinya murah yang semua bisa dibeli karena orang-orangnya
pintar dalam mengelola pertanian. Tidak salah jika negara menjadi kuat
saka gurunya negara. Para saudagar berlayar para nahkoda yang datang
mulai malam tidak ada putusnya selalu silih berganti dari wilayah
Kerajaan Ngamarta sehingga sampai mancanegara tidak ada
halangan…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Kutipan janturan tersebut menceritakan Kraton Ngamarta yang subur.
Semua tumbuhan yang ditanam pasti tumbuh, semuanya tampak hijau. Semua
barang di Kraton Ngamarta harganya murah sehingga penduduk bisa membelinya.
Banyak saudagar yang berlayar, mulai pagi sampai pagi lagi. Hal itu yang
menyebabkan Kraton Ngamarta terkenal sampai mancanegar. Keadaan yang
seperti itu membuat Kraton Ngamarta menjadi kuat.
4.1.2.2 Konflik
Pada tahap ini mula pertamanya muncul insiden akibat adanya konflik.
Dalam tahap ini pelaku cerita terlibat dalam suatu pokok permasalahan. Konflik
pada lakon ini muncul pada bagian awal adegan ke-2 dan bagian akhir adegan ke-
2. Tahap ini dimulai dengan kedatangan Petruk ke Sitinggil Binartatra yang
membawa berita bahwa pandhawa diminta ke Karang Kapulutan untuk membantu
Ki Semar Badranaya membangun kayangan.
40
Seperti dalam kutipan dialog di bawah ini.
Adegan : 2 bagian awal
Tempat : Sitinggil Binartatra
Pathet : Nem
(PETRUK MENGHADAP PRABU PUNTADEWA UNTUK MENYAMPAIKAN PESAN AYAHNYA YAITU MEMBOYONG PANDHAWA KE KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBANTU KI SEMAR BADRANAYA MEMBANGUN KAYANGAN)
PETRUK Menawi sampun katampi mbok bilih wonten longgaring penggalih. Ing palenggahan menika sinuwun sakadang kalebet Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara kembar dipunaturi rawuh wonten Karang Kapulutan kanthi ngampil pusaka tetiga, sepisan Kalimasada Jamus Kalimasada, ingkeng angka kalih kagungan Ndalem Tumbak Karawelang, ingkeng angka kaping tiga kagungan Ndalem Songsong Tunggulnaga awit minangka kangge sarana bapak anggenipun badhe mbangun kayangan.
‘Jika sudah diterima jika ada kelonggaran pikiran. Di tempat pertemuan ini sinuwun sekeluarga termasuk Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara Kembar disuruh datang ke Karang Kapulutan dengan membawa tiga pusaka, yang pertama jamus kalimasada, yang kedua kepunyaan sinuwun Tumbak Karawelang, yang ketiga kepunyaan sinuwun Songsong Tunggulnaga karena sebagai sarana bapak untuk membangun kayangan.’
PRABU PUNTADEWA Sing bakal dibangun kayangan ngendi tah? ‘Yang akan dibangun kayangan mana?’
PETRUK Kula mboten ngertos. ‘Saya tidak tahu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Petruk menyampaikan pesan Ki Semar Badranaya kepada Prabu
Puntadewa. Saat Petruk ditanya tentang kayangan yang akan dibangun Ki Semar
Badranaya, Petruk tidak bisa menjawab. Konflik selanjutnya terdapat pada bagian
41
akhir adegan ke-2. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan rasa
marah karena merasa dirinya tidak dianggap oleh Prabu Puntadewa.
Seperti pada kutipan dialog di bawah ini.
Adegan : 2 akhir
Tempat : Sitinggil Binartatra
Pathet : Nem
(BATHARA KRESNA MARAH KARENA MERASA DIRINYA TIDAK DIANGGAP DALAM PERTEMUAN AGUNG DI SITINGGIL BINARTATRA) BATHARA KRESNA Nuwun sewu yayi, gandheng wonten kedadosan kados mekaten, sakmenika ingkeng raka badhe nyuwun pirsa. Yayi taksih badhe ngginaaken dhatenging ingkeng raka menapa mboten? Yen pancen sampun mboten ngginaaken dhatenging raka, mboten perlu kula kempal wonten Ngamarta. ‘Permisi Yayi, karena ada kejadian seperti ini, sekarang Raka akan bertanya. Yayi masih menggunakan kedatangan Raka apa tidak? Jika memang sudah tidak menggunkana kedatangan Raka, tidak perlu saya kumpul di Ngamarta.’ PRABU PUNTADEWA Dhuh, Kaka Prabu, banjur kados pundi pun duka sesembahan kula, banjur kados pundi kaka prabu minangka dadosipun para pandhawa? Lajeng menapa dhasaripun? ‘Duh, Kaka Prabu, kenapa Kaka Prabu sebagai penasihat kami malah marah, lalu bagaimana Kaka Prabu sebagai tempat berlindung pandhawa? Lalu apa dasarnya?’ BATHARA KRESNA
Petruk matur yen Kakang Semar bakal mbangun kayangan. Kayangan menika ingkang kagungan dewa. Leres Kakang Semar menika titisane jawata, nanging saksampunipun Kakang Semar medhak dhateng marcapada, menika sampun kalebet titah sowantah. Yen jawata marengaken Kakang Semar nggandheng panyuwun mekaten, para pandhawa supados mbiyantu ngrencangi ngrantos anggenipun badhe ambabar kesaenanipun Kakang Semar. Kosok wangsulipun yen jawata mboten marengaken para pandhawa temtu badhe dipunubet dhateng
42
jawata. Pramila saking penulu mekaten kalawau, yen pancen yayi awrat dhateng aturipun Petruk mboten perlu ngangge Kresna.
‘Petruk ngomong jika Kakang Semar akan membangun kayangan. Kayangan ini yang punya dewa. Benar Kakang Semar itu titisannya dewata, tetapi sesudah Kakang Semar turun ke bumi, itu sudah termasuk kodratnya di bumi. Jika dewata membolehkan Kakang Semar mempunyai keinginan seperti itu, para pandhawa supaya membantu itu akan membabarkan kebaikan Kakang Semar. Sebaliknya jika dewata tidak membolehkan para pandhawa membantu pasti akan dihukum dewata. Maka dari itu dari perkataan seperti tadi, jika yayi berat terhadap omongan Petruk tidak perlu menggunakan Kresna.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Kutipan dialog di atas memperlihatkan kemarahan Bathara Kresna
karena sikap Prabu Puntadewa yang plin plan dan dinilai membela Petruk. Beliau
merasa dirinya tidak dianggap dan tidak dibutuhkan dalam pertemuan agung di
Sitinggil Binartatra. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan
rasa marah.
4.1.2.3 Komplikasi
Pada tahap ini terjadilah persoalan baru dalam cerita atau disebut juga
rising action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat, maka tahap ini disebut
perumitan atau penggawatan. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan,
komplikasi pertama terjadi pada adegan ke-4, yaitu ketika Bathara Kresna
menghasut Raden Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden
Sentyaki untuk menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya membangun
kayangan dan beliau juga menyuruh mereka untuk mengusir Petruk dari Kraton
Ngamarta.
Seperti pada kutipan dialog di bawah ini.
Adegan : 4
43
Tempat : Kraton Ngamarta
Pathet : Nem
(BATHARA KRESNA MENYURUH RADEN GATHUTKACA, RADEN ANTAREJA, DAN RADEN SENTYAKI UNTUK MENGUSIR PETRUK DARI KRATON NGAMARTA) BATHARA KRESNA
Nembe iki lagi ana pitakonan mengkono, ning Petruk kandheg ora ngerti karepe Kakang Semar. Lha Petruk tak ngendikani akeh-akeh lagi iki mau aku diwaneni karo Petruk. Mula Gathutkaca, Antareja, lan Sentyaki, kowe sing bocah enom bisaa ngrawuhi marang Petruk Kanthong Bolong. Coba saiki Petruk balikna, elikna supaya Kakang Semar gagal nggon bakal mbangun kayangan. Yen pancen manut, sukur binagiya. Yen ora manut, diruda padeksa.
‘Baru kali ini ada pertanyaan seperti itu, tetapi Petruk berhenti tidak tahu apa yang dimaksud Kakang Semar. Saya berbicara banyak sama Petruk kok malah baru kali Saya dilawan Petruk. Makanya Gathutkaca, Antareja, dan Sentyaki, kalian yang masih muda, datangilah Petruk Kanthong Bolong. Coba sekarang Petruk dipulangkan, ingatkan supaya Kakang Semar tidak jadi membangun kayangan. Jika dia nurut, syukur banget. Jika tidak nurut, dianiaya.’
RADEN GATHUTKACA Nyuwun pangestu. ‘Minta doa restu.’ RADEN ANTAREJA Nyuwun pangestu. Kula badhe manggihi Petruk Kanthong Bolong. ‘Minta doa restu. Saya akan menemui Petruk Kanthong Bolong.’ RADEN SENTYAKI Nyuwun pangestu Kaka Prabu. ‘Minta doa restu Kaka Prabu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 2) Berdasarkan kutipan dialog di atas terjadilah permasalahan baru yaitu
Bathara Kresna menyuruh Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden
Sentyaki mengusir Petruk dari Ngamarta. Jika Petruk tidak mau pergi, mereka
disuruh untuk merudha peksa Petruk.
44
Komplikasi kedua muncul pada adegan ke-8. Dalam adegan ini diceritakan
Bathara Kresna datang ke kayangan melaporkan kepada Bathara Guru tentang
rencana Ki Semar Badranaya membangun kayangan. Tanpa berpikir panjang,
Bathara Guru menyuruh Bathara Kresna untuk menggagalkan rencana Ki Semar
Badranaya.
Seperti pada kutipan berikut ini.
Adegan : 8
Tempat : Kayangan Jonggring Sloka
Pathet : Nem
(BATHARA GURU MENYURUH BATHARA KRESNA UNTUK MEMBAWA KI SEMAR BADRANAYA MENGHADAP KEPADANYA) BATHARA GURU
E,e,e. Iya, kulun tampa ngger. Senadyan ta kepiye wae kakang Semar tetep luput, awit kayangan dudu kuwajibane Kakang Semar. Wis ta, dina iki kowe kulun utus aja nganti ketara yen dewa bakal paring uninga utawa ndandani keluputane Kakang Semar sing nganti disekseni para titah. Becik kita mudhuna ning marcapada, Kakang Semar boyongen mrene.
‘E,e,e. Iya, kulun terima Nak. Meskipun bagaimana Kakang Semar tetap salah, karena kayangan bukan kewajiban Kakang Semar. Ya sudah, hari ini kamu kulun perintah jangan sampai terlihat jika dewa akan memberikan peringatan atau memperbaiki kesalahan Kakang Semar yang sampai disaksikan para manusia. Lebih baik kamu turun ke bumi, Kakang Semar bawa ke sini.’ BATHARA KRESNA Upami mangke ngantos kelampah Kakang Semar mbreguguk ngutha waton mbegundhang datan para ratu. ‘Seandainya nanti sampai terjadi Kakang Semar tetap melawan kita.’ BATHARA GURU
Dirada kasembadan banjur dirampungi. Awit bakal nyampar mestaka mlumpate kuwidanganing dewa.
‘Disiksa lalu diselesaikan. Karena akan melanggar aturan dewa.’
45
BATHARA KRESNA Nyuwun pangestu kulun. ‘Minta doa restu kulun.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4) Berdasarkan kutipan di atas, Bathara Kresna melaksanakan perintah
Bathara Guru untuk membawa Ki Semar Badranaya ke kayangan menghadap
Bathara Guru. Jika Ki Semar Badranaya tidak mau ikut, Bathara Guru menyuruh
Bathara Kresna untuk menyiksa dan membawanya secara paksa.
Komplikasi yang ke-3 terjadi pada adegan ke-12, ketika Wisanggeni yang
menyamar menjadi seseorang yang bernama Kampret berhadapan dengan
Jaramaya.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 12
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Nem
(WISANGGENI YANG MENYAMAR MENJADI KAMPRET BERCAKAP-CAKAP TENTANG ISTRI KAMPRET YANG NYIDAM RUJAK MATA BUTA) WISANGGENI
Lho ya ana. Anyidame bojoku sing meteng kuwi njaluk rujak mata buta. Apa kowe isa minangkani pa? ‘Lho, ya ada. Nyidamya istriku yang sedang hamil ingin makan rujak mata raksasa. Kamu bisa memenuhi?’ JARAMAYA
Mengko tak thethelke buta sing ngantuk-ngantuk, tak coplokane matane, rujaken.
‘Nanti saya copotkan raksasa yang ngantuk-ngantuk, saya copotkan matanya, buat rujak.’ WISANGGENI Sing dijaluk ki ya buta kaya kowe, jenenge ya kayak owe, mripate ya kaya kowe.
46
‘Yang diminta ya raksasa seperti kamu, namanya ya seperti kamu, matanya juga seperti kamu.’ JARAMAYA
Ngomong wae njaluk mataku. Ora sewiyah-wiyah Pret. Kowe ya apa kira-kira karo pandhawa manunggal?
‘Bilang saja minta mata saya. Jangan seenakmu sendiri Pret. Kamu dengan pandhawa apa kira-kira bersatu?’ WISANGGENI Mripatmu mengko tak dandani. He, Kaki Jaramaya, sawangen aku sapa. ‘Matamu nanti saya perbaiki. He, Kaki Jaramaya, lihatlah aku siapa.’ JARAMAYA Walah, tak kira ki dudu kowe. Jarene Kampret. ‘Walah, saya kira bukan kamu. Katanya Kampret.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 5)
Jaramaya tidak mengenali bahwa Kampret adalah malihan dari Raden
Wisanggeni. Ketika dia mengetahuinya, maka marahlah Jaramaya, dan terjadilah
peperangan.
Tahap komplikasi yang keempat terjadi pada bagian awal adegan ke-16.
Pada awal adegan ke-16, Raden Antareja dirasuki oleh Maling Sukma sehingga
beliau menggigit Raden Abimanyu sampai mati. Raden Gathutkaca tidak terima
dan marahlah beliau.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 16 awal
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN GATHUTKACA MARAH KARENA RADEN ANTAREJA MEMBUNUH RADEN ABIMANYU) PETRUK
Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara Gathutkaca. Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo aku wis nglenggana, ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa Ndara Gathutkaca. Ateges
47
bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara. Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki.
‘Nah karena Ndara Antareja sampai sini bersama Ndara Gathutkaca. Meskipun tadi Ndara Gathutkaca dengan saya sudah berbaik hati, tetapi kenyataanya yang membawa Ndara Antareja adalah Ndara Gathutkaca. Jadi bahaya yang masuk di Karang Kapulutan itu yang membawa Ndara Gathutkaca. Dari kaca penglihatanku, tentram ya dari Ndara. Tidak juga dari Ndara.’ RADEN GATHUTKACA Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare. ‘Sudah, tidak usah ngomel-ngomel. Kakang Antareja akan kuhajar.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 6) Berdasarkan kutipan di atas Raden Gathutkaca marah dan merasa
menyesal karena membawa Raden Antareja ke Pedhukuhan Karang Kapulutan.
Hal yang membuat beliau sangat marah karena Raden Antareja menggigit Raden
Abimanyu sampai meninggal. Raden Gathutkaca memutuskan untuk menghajar
Raden Antareja.
Tahap komplikasi selanjutnya berlangsung pada bagian akhir adegan ke-
19. Pada adegan tersebut diceritakan bahwa Raden Gathutkaca dan Raden
Antareja mengetahui pelaku yang telah masuk ke dalam raga Raden Antareja,
sehingga membuat beliau membunuh Raden Abimanyu. Mereka berdua
memutuskan untuk membunuh Maling Sukma.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 19 akhir
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA TELAH MELIHAT BIANG KELADI YANG MEMBUAT MEREKA BERPERANG)
48
RADEN GATHUTKACA Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa. ‘Nggak pantas sekali. Aduh Kangmas. Benar-benar ada jin.’
RADEN ANTAREJA Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi. ‘Wah, kurang ajar. Yang mengadu saudara ya ini. Hajar.’ RADEN GATHUTKACA Sendika. ‘Siap.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7) Melalui kutipan dialog di atas memperlihatkan bahwa Raden Gathutkaca
dan Raden Antareja melihat banyak jin di Pedukuhan Karang Kapulutan,
termasuk Maling Sukma yang tadi mengadu mereka. Mereka tidak terima diadu
oleh Maling Sukma, apalagi sampai membuat Raden Abimanyu meninggal.
Mereka berniat menghajar Maling Sukma.
Tahap komplikasi yang keenam yaitu bagian awal adegan ke-24. Pada
bagian tersebut Bathara Kresna datang ke Karang Kapulutan dengan menyamar
menjadi raksasa yang besar bernama Digdya Jajalanang. Kedatangannya ke
Karang Kapulutan untuk menemui Ki Semar Badranaya dan mengajaknya ke
kayangan.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 24 awal
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(BATHARA KRESNA DAN KI SEMAR BADRANAYA PADU) BATHARA KRESNA
Ming karek kowe manut karo aku. ‘Kamu hanya harus nurut aku.’
49
KI SEMAR BADRANAYA Ora. Aku ora arep manut. Ora butuh tepung karo buta. ‘Tidak. Aku tidak akan nurut. Tidak butuh kenal raksasa.’ BATHARA KRESNA Yen ora manut aku arep.. ‘Jika tidak nurut aku akan..’ KI SEMAR BADRANAYA Arep apa? ‘Mau apa?’ BATHARA KRESNA
Tadhah teleng. ‘Terima Pukulanku.’
KI SEMAR BADRANAYA Jajal mangkata. ‘Coba saja.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Dialog di atas menceritakan Bathara Kresna memaksa Ki Semar
Badranaya untuk ikut ke kayangan menemui Bathara Guru, namun Ki Semar
Badranaya menolak. Hal itu membuat Bathara Kresna marah dan berniat
menganiaya Ki Semar Badranaya.
Tahap komplikasi yang terakhir terjadi pada adegan ke-26, yaitu ketika
Bathara Kresna melapor kepada Bathara Guru tentang kekalahan beliau melawan
Ki Semar Badranaya beserta anak-anaknya.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 26
Tempat : Kayangan Jonggring Sloka
Pathet : Manyura
(BATHARA KRESNA MELAPOR KEPADA BATHARA GURU TENTANG KEKALAHANNYA MELAWAN KI SEMAR BADRANAYA)
50
BATHARA KRESNA Adhuh ketiwasan. Kakang Semar mbreguguk ngutha waton datan wong
agung mboten purun kula boyongdhateng kayangan, kados sampun mangertos.
‘Aduh, Kakang Semar menantang pada orang besar, tidak mau saya ajak ke kayangan, seperti sudah tahu.’ BATHARA GURU Wah, keparat. ‘Wah, keparat.’ BATHARA KENAKA PUTRA
Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten napa-napa, wong sing jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng kawontenan.
‘Dhi Guru. Hati-hati Dhi. Kakang Semar itu orang tidak apa-apa, orang yang jujur. Adhi guru harus bisa melihat keadaan.’ BATHARA GURU
“Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.” (Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
Kutipan dialog di atas menceritakan Bathara Guru yang marah saat
mendengar laporan dari Bathara Kresna. Beliau akan menemui Ki Semar
Badranaya dan menghajarnya.
4.1.2.4 Krisis
Dalam tahap ini persoalan telah mencapai puncaknya (klimaks). Pertikaian
atau persoalan yang ada harus diimbangi dengan adanya jalan keluar (resolusi).
Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, krisis dimulai ketika Petruk didatangi
oleh Raden Gathutkaca, Raden Sentyaki, dan Raden Antareja. Mereka ingin
mengusir Petruk dari Ngamarta, dan kalau Petruk tidak mau akan dianiaya. Krisis
yang terjadi pertama kali pada adegan ke-5.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 5
51
Tempat : Kraton Ngamarta
Pathet : Nem
(PETRUK DISERANG OLEH RADEN SENTYAKI) RADEN SENTYAKI Aku ngemban dhawuh saka Kaka Prabu Dwarawati. Dina iki Petruk
didhawi bali. Malah bapakmu Kakang Semar elikna le bakal mbangun kayangan.
‘Aku mendapatkan perintah dari Kaka Prabu Dwarawati. Hari ini Petruk disuruh pulang. Malah bapakmu Kakang Semar ingatkan maksudnya untuk membangun kayangan.’ PETRUK
Ah, panjenengan niku wong mau mboten ndherek rembugan kok. Kula niki mpun wong tuwa dudu bocah wingi sore. Saweg keng raka kemawon kula mboten ajrih dipundukani. Jer duwe dedhasar aku wong bener. Napa malih Ndara Sentyaki.
‘Ah, anda tadi kan tidak ikut diskusi.Saya ini sudah orang tua bukan anak baru kemarin. Dengan ayah saja saya tidak takut dimarahi. Dengan berdasar aku orang benar. Apalagi dengan Ndara Sentyaki.’ RADEN SENTYAKI
Aja gawe muringku. Petruk gelem bali apa ora? ‘Jangan membuatku marah. Petruk mau pulang apa tidak?’
PETRUK Menawi dereng nampi ngendikanipun Gusti kula nata Ngamarta, kula
dereng badhe wangsul. ‘Jika belum menerima perintah Gusti Raja Ngamarta, Saya belum akan
pulang.’ RADEN SENTYAKI Kelakon tak pecah sirahmu. ‘Kupecah kepalamu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 2)
Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Sentyaki yang marah
karena Petruk tidak mau mematuhi perintahnya. Akhirnya Raden Sentyaki
menghajar Petruk.
(PETRUK DISERANG OLEH RADEN GATHUTKACA) RADEN GATHUTKACA
52
Wis saiki ngene apike, kowe baliya. Mengko ganti wektu aku bakal ganti nekani ana kana, ndherekke Wa Kresna.
‘Ya sudah, sekarang lebih baik kamu pulang. Nanti lain waktu ganti aku yang datang ke sana, mengantarkan Wa Kresna.’ PETRUK
Ah, mboten sah. Sing perlu pancen kula keparingan dhawuh kula kedah wangsul ning sageda saking Sinuwun Ngamarta menapa para kadang-kadangipun. Yen Keng Wa Dwarawati niku kalih kula mpun mboten cocok.
‘Ah, tidak usah. Yang pasti saya harus mendapat perintah pulang dari Sinuwun Ngamarta atau saudara-saudaranya. Keng Wa Dwarawati itu dengan saya sudah tidak cocok.’
RADEN GATHUTKACA Ming kowe gari gelem bali apa ora? ‘Kamu mau pulang apa tidak?’ PETRUK Upami mboten? ‘Jika Tidak?’ RADEN GATHUTKACA Kelakon tak pothol gulumu. ‘Kupatahkan lehermu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 3)
Melalui kutipan di atas diketahui bahwa Raden Gathutkaca marah karena
Petruk tidak mematuhi perintahnya untuk pulang ke Pedhukuhan Karang
Kapulutan. Raden Gathutkaca memotong leher Petruk.
(PETRUK DISERANG OLEH RADEN ANTAREJA) PETRUK
Nembe pinanggih keng rayi Ndara Gathutkaca. Sarenng kula ndongeng ingkeng werni-werni Ndara Gathutkaca njur ngendika ya wis tak nang Karang Kapulutan.
‘Baru bertemu Ndara Gathutkaca. Sesudah saya bercerita banyak, Ndara Gathutkaca lalu berbicara akan ke Karang Kapulutan.’ RADEN ANTAREJA Merga kena pengaruhmu ya. Sing jenenge Petruk, Gareng, Bagong kuwi pembujuk elek. Ayo minggat. Ora gelem bali, ngati-ati ‘Karena pengaruhmu ya. Yang namanya Petruk, Gareng, Bagong itu pembujuk jelek. Tidak mau pulang, hati-hati.’
53
PETRUK Kula niki badhe mang napakke? Wong kula mboten wonten rembug sulaya
kaliyan njenengan. Panjenengan kalih kula kok lajeng ngendika mekaten rak ya kleru ta. Mbok nggih disabarke. Dadi satriya niku kedah sing sabar.
‘Saya ini mau diapakan? Saya tidak ada omongan jelek kepada anda. Anda dengan saya kok malah berbicara begitu, apa tidak salah. Sabar. Menjadi satria itu harus sabar.’ RADEN ANTAREJA
Tak ganjar mati kowe. ‘Kubunuh kau.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 3)
Melalui kutipan dialog di atas, Petruk telah membuat Raden Antareja
marah karena Petruk tidak mau disuruh pulang ke Karang Kapulutan dan
menasehati Raden Antareja supaya menjadi kesatria yang penyabar. Raden
Antareja tidak senang mendengarnya dan beliau akan membunuh Petruk.
Tahap krisis kedua dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terjadi pada
adegan ke-9. Pada adegan ini diceritakan Bathari Durga menyuruh anak buahnya
untuk turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna membunuh Ki Semar
Badranaya.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 9
Tempat : Kayangan Ganda Mayit
Pathet : Nem
(BATHARI DURGA MENYURUH JARAMAYA TURUN KE PEDHUKUHAN KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBUNUH KI SEMAR BADRANAYA) BATHARI DURGA
Dhawuhana karo wadya bala, buta loro sing kok pilih maling sukma maling raga supaya mlebu ana Karang kapulutan nyendhal mayang Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar.
54
‘Perintahkan kepada anak buahmu, dua raksasa yang kamu pilih pencuri jiwa pencuri raga supaya masuk ke Karang Kapulutan membunuh Kakang Semar atau siapa saja yang akan membela Kakang Semar.’ JARAMAYA
Inggih. Ngestokaken dhawuh Bu. ‘Iya. Melaksanakan tugas Bu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4) Berdasarkan dialog di atas dapat diketahui bahwa Bathari Durga menyuruh
Jaramaya dan anak buahnya turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna
membunuh Ki Semar Badranaya atau siapapun yang mendukung Ki Semar
Badranaya.
Tahap krisis yang ketiga berlangsung pada bagian akhir adegan ke-12.
Pada adegan ini diceritakan Wisanggeni menyamar menjadi Kampret. Beliau
malih rupa guna mengelabui Jaramaya. Ketika Jaramaya tahu bahwa Kampret
adalah Wisanggeni, maka terjadilah perkelahian.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 12
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Nem
(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERKELAHI) WISANGGENI Saiki sambata, tak banda tanganmu, najan ora ana kene papanku. Ning sing kok rasani pepundhenku, wajib aku mbelani. ‘Sekarang mengeluhlah, aku ika tanganmu, meski tidak di sini tempatku. Tapi yang kamu omongkan adalah leluhurku, aku wajib membela.’ JARAMAYA
Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi? ‘Jika kamu berani denganku yang akan kamu gunakan sebagai kekuatan
dari mana?’
55
WISANGGENI Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha. ‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Aku pendek kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’ JARAMAYA
Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek. Ora uman patan aku.
‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku satria, menendang, menyepak. Tidak dapat jatah kamu.’ WISANGGENI
Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.
‘Ayo, maju ke sini. Meskipun besar tapi jika seperti Kaki Jaramaya hanya duduk-duduk. Sesudah makan kenyang, tidur.’ JARAMAYA
Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni. ‘Seenaknya sendiri denganku. Jangan lari Wisanggeni.” (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan dialog di atas menceritakan Jaramaya yang telah mengetahui
bahwa Kampret adalah Wisanggeni. Wisanggeni mengejek Jaramaya. Jaramaya
tidak terima dan terjadilah perkelahian.
Tahap krisis yang keempat terjadi pada adegan ke-17. Pada adegan ini
terjadilah perkelahian antara Raden Gathutkaca dan Raden Antareja yang telah
dirasuki oleh Maling Sukma.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 17
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN GATHUTKACA MARAH DENGAN RADEN ANTAREJA, TERJADILAH PERKELAHIAN)
56
RADEN GATHUTKACA Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang
Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.
‘Kakang Antareja jangan seenakmu sendiri. Kakang Antareja sampai Karang Kapulutan karena Gathutkaca. Ada kejadian Abimanyu meninggal karena Kakang Antareja. Aku tidak terima.’ RADEN ANTAREJA
Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah nggugu karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca.
‘Yang bodoh itu kamu. Semar itu hanya kosong tidak ada apa-apanya. Yang namanya Badranaya itu tidak ada apa-apanya. Orang seperti itu kok dijadikan guru, orangnya blak blak blak. Akan ada kemajuan apa kamu? Jangan pada percaya sama nasihatnya Semar. Tidak ada apa-apanya Gathutkaca.’ RADEN GATHUTKACA
Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa.
‘Meskipun seperti itu tidak di sini tempatnya Kakang Antareja tidak nurut ilmunya Semar, terserah, tapi jangan mengganggu siapa-siapa.’ RADEN ANTAREJA
Aku ora nrimakake yen para pepundhenku ming karo Semar kok dianggep. ‘Aku tidak terima jika para leluhurku hanya Semar kok dianggap.’
RADEN GATHUTKACA Ayo nutut banda. ‘Ayo tarung saja.’ RADEN ANTAREJA
Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati. ‘Oo, hajar aku. Siapa yang mati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Gathutkaca marah karena
Raden Antareja membuat kerusuhan di Pedhukuhan Karang Kapulutan. Raden
Antareja tidak terima dengan Raden Gathutkaca yang membela Ki Semar
Badranaya, dan terjadilah perkelahian.
57
Tahap krisis yang kelima terjadi pada adegan ke-20. Adegan ini
menceritakan tentang perkelahian antara Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan
Maling Sukma.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 20
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA BERKELAHI DENGAN MALING SUKMA)
RADEN GATHUTKACA Kowe sapa? ‘Kamu siapa?’ MALING SUKMA Maling sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya aku
mateni Siwa Badranaya. ‘Aku Maling sukma. Jangan menghalangiku. Aku mendapatkan perintah
supaya aku membunuh Siwa Badranaya.’ RADEN ANTAREJA Ora. Minggata. Pothol sirahmu. Ora urus buta buthak. Kowe gawe
cilakane aku karo adhiku gathutkaca. Tangia, sembur blasahmu. ‘Tidak. Pergilah. Putus kepalamu. Tidak urus raksasa botak. Kamu
membuat celakanya aku dengan adikku Gathutkaca. Bangunlah, kusembur tubuhmu.’
MALING SUKMA Mati aku. Antareja, gathutkaca dha tembayatan. ‘Mati aku. Antareja, gathutkaca pada bersekongkol.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7) Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Gathutkaca dan Raden
Antareja yang telah bertemu dengan Maling Sukma. Raden Antareja marah
karena Maling Sukma telah membuat beliau dan Raden Gathutkaca celaka.
Terjadilah perkelahian, dan Maling Sukma merasa kewalahan karena Raden
Antareja dan Raden Gathutkaca bersatu.
58
Tahap krisis yang selanjutnya terjadi pada bagian tengah adegan ke-24.
Adegan ini menceritakan tentang Raden Antasena yang mengajari Gareng, Petruk,
dan Bagong cara mengusir Buta Jajalanang yang merupakan malihan dari Bathara
Kresna.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 24 tengah
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN ANTASENA MEMBERIKAN MANTRA PENGUSIR BUTA KEPADA GARENG, PETRUK, DAN BAGONG) RADEN ANTASENA
Aku mengko tak ngetutke, kowe dha nyuwaraa nek isa. Teguh rahayu yuwana slamet. Slamet kersaning dewa.
‘Aku nanti akan mengikuti, kalian bersuaralah kalau bisa. Teguh Selamat selamat selamat. Selamat karena takdirnya dewa.’ GARENG Wah, mboten apal kula. ‘Wah, saya tidak hafal.’ RADEN ANTASENA Kajate ora dadi ngono wae. ‘Keinginannya tidak jadi, gitu saja.’ GARENG
Ha nek niku gampang. ‘Nah kalau itu mudah.’ PETRUK Kula nggih ngoten niku? ‘Saya juga begitu?’ RADEN ANTASENA Hoo. Karo Gareng kiblat lor karo kidul. ‘Iya. Gareng juga ngomong kiblat utara kiblat selatan.’ PETRUK Kajate ora dadi. ‘Keinginannya tidak jadi.’
59
BAGONG Mangsa dadia. Dadi ra menyang ya ora dadi ya. ‘Jadilah. Jadi tidak berangkat yang tidak jadi ya.’ RADEN ANTASENA Aku ro kowe bareng. Teguh rahayu slamet. Slamet ngarsaning dewa. ' Aku dengan kamu bersama-sama. Teguh selamat selamat. Selamat
karena takdir dewa.’ BAGONG Alah, bar mulang kok langsung lunga. Ha ya lali aku. Teguh rahayu
wuyana kuwi adhine slamet. Teguh rahaayu yuwana karo slamet nang nggone siwa.
‘Alah, habis mengajar langsung pergi. Aku lupa kan. Teguh selamat wuyana itu adiknya slamet. Teguh selamat selamat dengan slamet ke tempat Siwa.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Antasena yang
memberikan mantra pengusir raksasa kepada Gareng, Petruk, dan Bagong. Mantra
itu digunakan untuk mengusir raksasa Jajalanang yang merupakan malihan dari
Bathara Kresna.
Tahap krisis yang terakhir terjadi pada bagian awal adegan ke-27. Pada
adegan ini Bathara Guru turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan dan berniat
untuk menghajar Ki Semar Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 27 awal
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(BATHARA GURU MENDATANGI KI SEMAR BADRANAYA) BATHARA GURU Kakang Semar ngancu neraka bakal mbangun kayangan. ‘Kakang Semar masuk neraka akan membangun kayangan.’
60
KI SEMAR BADRANAYA Nek aku ki mbangun kayangan Suralaya sing wis tak dhongkeli nggone
sapa? Agek tak nggo mangan wae sedina telung dina prei. Ha kok nyela-nyela mbangun kayanganing dewa.
‘Jika aku membangun kayangan Suralaya yang akan aku bangun punyanya siapa? Buat makan sehari tiga hari libur. Ha kok mau membangun kayangannya dewa.’ BATHARA GURU
Tembung sing kaya mengkono ora bakal luput. Nyangklak saka wewanguning kayangan. Ngko tak cekel kakang Semar. Sotke Kalacandra.
‘Kata yang seperti itu tidak bakal salah. Melanggar bangunan kayangan. Aku hajar Kakang Semar. Kena Kalacandra.’ KI SEMAR BADRANAYA Ee, lhadalah. Bojling wis slamet. Kowe arep njajal kakangmu, jajalen. ‘Ee, lhadalah. Selamat. Kamu akan mencoba kakangmu, coba saja.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
Melalui kutipan dialog di atas dapat diketahui bahwa Bathara Guru telah
turun ke Pedukuhan Karang Kapulutan. Beliau bermaksud membunuh Ki Semar
Badranaya dengan Kalacandra karena Ki Sema Badranaya tidak mau ikut Bathara
Kresna ke kayangan. Ki Semar Badranaya marah karena tidak dihormati oleh
adiknya, dan terjadilah peperangan.
4.1.2.5 Resolusi
Tahap resolusi merupakan tahapan di mana persoalan telah memperoleh
peleraian. Tegangan akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini
disebut juga dengan falling action.
Tahap resolusi yang pertama dalam lakon Semar Mbangun Kayangan
terdapat pada bagian akhir adegan ke-5. Adegan ini menceritakan Petruk yang
berhasil mengalahkan Raden Antareja dan Raden Sentyaki. Hal ini membuat
Raden Antareja mengadu kepada Raden Janaka.
61
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 5 akhir
Tempat : Kraton Ngamarta
Pathet : Nem
(RADEN ANTAREJA MELAPOR KEPADA RADEN JANAKA BAHWA PETRUK TELAH BERHASIL MENGALAHKAN BELIAU DAN RADEN SENTYAKI) RADEN ANTAREJA
Adhuh ketiwasan Paman. ‘Aduh memalukan Paman.’
RADEN JANAKA Ana apa Antareja? ‘Ada apa Antareja?’
RADEN ANTAREJA Kula kadhawuhan Wa Kresna manggihi Petruk. wusana rikala wau
manggihi Petruk sepisan Paman Sentyaki. Ingkeng angka kalih Gathutkaca. Ewadene Paman Sentyaki kaliyan Gathutkaca sami nandang kewirangan. Kepeksa kula ingkeng tumandang. Petruk kula para tangan ngangge menapa mawon mboten didamel raos lan mboten purun males. Sareng keng putra dhasar kula nyungut, Petruk krasa lara men gek minggat. Malah piyambakipun ugi gadhah kemandhen kados kula Paman.
‘Saya disuruh Wa Kresna menemui Petruk. Yang menemui Petruk pertama kali Paman Sentyaki. Yang kedua Gathutkaca. Tetapi Paman Sentyaki dan gathutkaca pada malu. Terpaksa saya yang bertindak. Petruk saya hajar memakai apa saja tidak dirasakan dan tidak mau membalas. Saat saya menyengat, supaya Petruk merasa kesakitan lalu pergi. Malah dia juga punya sengat seperti punya saya Paman.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 3) Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Antareja yang merasa malu
karena telah dikalahkan Petruk. Beliau melaporkan kekalahannya kepada Raden
Janaka. Tidak hanya Raden Antareja yang dibuat malu oleh Petruk, Raden
Sentyaki dan Raden Gathutkaca juga dibuat malu oleh Petruk.
62
Tahap resolusi yang kedua terdapat pada adegan ke-10. Pada tahap ini
diceritakan Bathara Kresna yang memutuskan untuk menyamar menjadi Raksasa
guna menghadapi Ki Semar Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 10
Tempat : Kraton Ngamarta
Pathet : Nem
(BATHARA KRESNA MALIH RUPA MENJADI RAKSASA) …Sinarta nat semana ingkang sinuwun Dwarawati arsa samudana sirna
wujuding nalendra dadi wujud gandar sagunung gedhene. Manebak maneklir kacandra sinungan ngabda lawan aneng ngabda lawan…
‘…Pada saat itu Sinuwun Dwarawati menyamar sirna wujudnya raja menjadi raksasa sebesar gunung. Dicandra membunuh lawan dalam membunuh lawan…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan suluk di atas menceritakan Bathara Kresna, Ratu Dwarawati yang
telah malih rupa menjadi raksasa sebesar gunung. Bathara Kresna akan memasuki
wilayah Pedhukuhan Karang Kapulutan dengan wujud raksasa supaya tidak ada
yang mengetahui bahwa raksasa itu adalah dirinya.
Tahap resolusi ketiga dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat
pada adegan ke-13. Adegan ini menceritakan Anoman yang mendapat perintah
dari Wisanggeni untuk menjaga Pedhukuhan Karang Kapulutan karena telah
berhasil mengalahkan Jaramaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 13
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
63
Pathet : Nem
(WISANGGENI MENYURUH ANOMAN MENJAGA PEDHUKUHAN KARANG KAPULUTAN) WISANGGENI Siwa Anoman. ‘Siwa Anoman.’ ANOMAN
Kula Ngger. ‘Saya Nak.’
WISANGGENI Ngapa kok njuk tumungkul? ‘Kenapa kok muncul?’
ANOMAN Sewu kalepatanipun ingkeng bapa nyuwun pangapunten. Mangertos yen
angger Wisanggeni bujung gandarwa, raosing manah kula mboten narimakaken daya-daya kawontenan menika enggal paripurna. Rejasa saking taman kekiyatan kula saknalika mlajar.
‘Seribu kesalahan bapak minta maaf. Melihat Nak Wisanggeni dihajar raksasa, hati saya tidak menerima keadaan itu, ingin segera berakhir. Oleh karena itu saya menggunakan kekuatan saya.’ WISANGGENI
Oo, nek jane mana ya luput. Tak kandhani Wa. Lupute Siwa Anoman durung tak aturi pirsa. Ning ya bener, benere Siwa Anoman mbelani karo aku. Ya gandheng wis tekan mangsane kudu ngono. Saiki tak pasrahke mangsa bodho Siwa Anoman supaya tansah ngawat-awati pedhukuhan Karang Kapulutan.
‘Oo, sebenarnya ya salah. Saya beri tahu Wa. Salahnya Siwa Anoman belum aku beri tahu. Tetapi juga benar, benarnya Siwa Anoman membelaku. Karena sudah sampai waktunya harus begitu. Sekarang aku pasrahkan Siwa Anoman supaya mengawasi Pedesaan Karang Kapulutan.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 5)
Kutipan dialog di atas menceritakan Wisanggeni yang agak kecewa karena
Anoman muncul pada waktu yang salah. Anoman muncul karena tidak tega
melihat Wisanggeni yang hampir dikalahkan oleh Jaramaya. Wisanggeni akhirnya
memutuskan untuk pulang dan menyuruh Anoman menjaga Karang Kapulutan.
64
Tahap resolusi yang keempat terjadi pada bagian akhir adegan ke-18.
Adegan ini menceritakan peperangan Raden Antasena dengan Raden Antareja.
Raden Antasena berhasil mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 18 akhir
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(RADEN ANTASENA BERHASIL MENGELUARKAN MALING SUKMA DARI RAGA RADEN ANTAREJA) RADEN ANTASENA
Heem.aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga janma. Nek kowe ra roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga.
‘Iya. Jangan lama-lama bertempat di kakakku. Itu raga, raga manusia. Jika kamu bukan roh jahat, jangan kau teruskan. Pergi.’ RADEN ANTAREJA
Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga. ‘Tidak peduli. Jika belum membunuh Semar tidak akan pergi.’
RADEN ANTASENA Tak tandingna aku. ‘Bertandinglah melawanku.’ RADEN ANTAREJA
Aduh Dhimas, pun Kakang wis tobat. ‘Aduh Dhimas, Kakang tobat.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
Kutipan dialog di atas menceritakan Raden Antasena yang telah berhasil
mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja. Raden Antareja merasa
bersalah karena telah dirasuki oleh Maling Sukma.
Tahap resolusi yang kelima terdapat pada bagian adegan ke-21. Pada
adegan ini mengisahkan tentang Maling Sukma yang berkeluh kesah kepada
Maling Raga karena kekalahannya melawan Raden Gathutkaca dan Raden
65
Antareja. Maling Sukma menyuruh Maling Raga untuk menggatikannya
menyerang anak-anak pandhawa.
Seperti pada kutipan di bawah ini.
Adegan : 21
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(MALING SUKA MENYURUH MALING RAGA UNTUK MENGGANTIKANNYA MELAWAN ANAK-ANAK PANDHAWA)
MALING SUKMA Wadhuh, ketanggor wong edan. Wadhuh, Antareja meh arep mati,
ngantem ora tak gawe rasa, Gathutkaca ya ketoke wedi. Bagong tak getak kayane kontal kok metu meneh. Awakku digebyok-gebyok nganggo ngangkrang. Aku awake kenceng dicokoti ngangkrang, suwe-suwe kendho.
‘Waduh, terkena orang gila. Waduh, Antareja hampir mati, menghajar tidak kurasakan, Gathutkaca sepertinya juga takut. Bagong sepertinya tadi mental kok muncul lagi. Tubuhku diberi Ngangkrang. Tubuhku digigiti Ngangkrang, lama-lama kendor.’
MALING RAGA Ha dha ning kene barang. ‘Pada di sini ya.’
MALING SUKMA Dhi. ‘Dik.’
MALING RAGA Nun. ‘Iya.’ MALING SUKMA Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan. ‘Seperti apapun tetap tidak bisa karena Gathutkaca Antareja bisa melihat
kita. Gentian kamu maju dik.’ MALING RAGA Wuuh, paling ya kalah. ‘Wuuh, paling juga kalah.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
66
Kutipan dialog di atas menceritakan kekalahan Maling Sukma melawan
Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Bagong. Dia menyuruh Maling Raga
untuk menggantikannya menyerang anak-anak pandhawa, tetapi Maling Raga
menolak karena dia tahu dia akan kalah.
Tahap resolusi yang keenam terjadi pada bagian akhir adegan ke-24. Pada
bagian akhir adegan ini diceritakan Raden Antasena bersama Petruk, Gareng, dan
Bagong telah berhasil mengusir Bathara Kresna atau Raksasa Jajalanang dari
Pedhukuhan Karang Kapulutan.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 24 akhir
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(BATHARA KRESNA MENCERITAKAN KEKALAHANNYA KEPADA RADEN JANAKA) RADEN JANAKA Kados pundi Kaka Prabu? ‘Bagaimana Kaka Prabu?’ BATHARA KRESNA Yayi arep weruh? Ketiwasan Yayi. Ketiwasan. Punakawane dha diulang karo anakmu Antasena nganti pun kakang kejodheran. Pun kakang tak matur Sang Hyang Guru mangsa bodho si adhi kang tumandang.
‘Yayi ingin tahu? Memalukan Yayi. Memalukan. Punakawannya pada diajari anakmu Antasena sampai Kakang kewalahan. Kakang akan melapor Sang Hyang Guru, sekarang Adhi yang bertindak.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Melalui kutipan dialog di atas diketahui bahwa Bathara Kresna yang
menyamar menjadi raksasa telah dikalahkan oleh Raden Antasena bersama
67
dengan Gareng, Petruk, dan Bagong. Beliau menceritakan apa yang dialaminya
kepada Raden Janaka. Hal itu membuat Bathara Kresna malu.
Tahap resolusi yang terakhir terdapat pada bagian akhir adegan ke-27.
Pada adegan ini diceritakan Prabu Puntadewa memintakan maaf Ki Semar
Badranaya untuk Bathara Guru.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 27 akhir
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(PRABU PUNTADEWA MEMINTAKAN MAAF UNTUK BATHARA GURU) KI SEMAR BADRANAYA
Ampun angadhangi Gusti. Kajenge adhi kula Bethara Guru kula ajar. Eee, karo kakangne kok wani kaya ngono. Kowe dadi ratu ana kayangan kuwi aku sing nganggonke. Kae biyen aku ya isa tak wenehke kowe ki pira-pira kok ra maturnuwun. Malah kowe wani karo ku, Hee Guru? Eee, guru ning mulang arang-arang. Renea nek kon ngidak-idak.
‘Jangan menghalangi Gusti. Biar adik saya Bethara Guru saya hajar. Dengan kakaknya kokberani seperti itu. Kamu jadi ratu di kayangan itu aku yang menempatkan. Dulu aku serahkan ke kamu, kamu kok tidak berterima kasih. Malah berani denganku. Hee Guru? Ee, Guru tetapi ngajar jarang-jarang. Ke sini kalau ingin aku injak-injak. PRABU PUNTADEWA
Pukulun, kula nyuwunaken pangapunten kalepatanipun pukulun Bathara Guru. Kula nyuwunaken pangapunten dhateng kelepatanipun Kaka Prabu Bethara Kresna. Awit sedaya saged kalimput saged kamendhungan.
‘Pukulun, saya memintakan maaf atas kesalahan Pukulun Bathara Guru. Saya memintakan maaf atas kesalahan Kaka Prabu Bathara Kresna. Karena semua itu bisa menjadikan kegelapan.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8) Kutipan dialog di atas menceritakan Ki Semar Badranaya yang marah
kepada Bathara Guru karena berbuat lancang kepadanya. Lalu Prabu Puntadewa
68
memintakan maaf atas kesalahan Bathara Guru dan Bathara Kresna kepada Ki
Semar Badranaya.
4.1.2.6 Keputusan
Tahap keputusan merupakan tahap di mana persoalan telah memperoleh
penyelesaiaannya. Pada tahap ini konflik telah berakhir karena telah dicari jalan
keluarnya. Dalam lakon ini tahap keputusan terjadi pada adegan ke-28, yaitu
ketika Sang Hyang Padawenang datang dan marah kepada Bathara Guru. Beliau
menyuruh Bathara Guru dan Bathara Kresna untuk ikut ke kayangan guna
mendapat pelajaran dari Sang Hyang Padawenang.
Seperti kutipan di bawah ini.
Adegan : 28
Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pathet : Manyura
(SANG HYANG PADAWENANG MEMAAFKAN BATHARA GURU) SANG HYANG PADAWENANG He, Guru. ‘He, Guru.’ BATHARA GURU Kula Kulun. ‘Saya Kulun.’ SANG HYANG PADAWENANG Dina iki kita kulun paring pangapura, ning kabeh tingkah laku kita kang
kaya mengkono mau kudu kok ilangi. Ora kena kok baleni. ‘Hari ini kamu kulun beri maaf, tetapi semua tingkah lakumu yang seperti
itu harus kamu hilangkan. Tidak boleh kamu ulangi.’ BATHARA GURU
Nuwun ngestokaken dhawuh. ‘Saya melaksanakan perintah.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
69
Kutipan dialog di atas menceritakan Sang Hyang Padawenang yang telah
memaafkan Bathara Guru dan Menyuruh Bathara Guru untuk tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Bathara Guru berjanji kepada Sang Hyang Padawenang untuk
tidak akan mengulangi perbuatannya.
(KI SEMAR BADRANAYA MEMAAFKAN BATHARA KRESNA) BATHARA KRESNA Kakang Semar, aku sing nyuwunke pangapura. ‘Kakang Semar, saya minta maaf.’ KI SEMAR BADRANAYA Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking pukulun
padawenang wau minangka dados kekancingipun Gusti Nata Dwarawati. ‘Sudah. Tidak apa-apa. Semoga sedikit dari Pukulun Padawenang tadi
bisa menjadi kunci bagi Gusti Nata Dwarawati.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 8) Kutipan dialog di atas mengisahkan Ki Semar Badranaya yang memaafkan
semua yang telah dilakukan oleh Bathara Kresna kepadanya. Ki Semar Badranaya
berharap Bathara Kresna bisa melaksanakan pesan-pesan dari Sang Hyang
Padawenang.
Setelah menguraikan lakon Semar Mbangun Kayangan dalam beberapa
tahap, yaitu tahap eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan
maka dapat digambarkan melalui grafik berikut.
70
24 27 20 9 17 26 5 19 12 21 25
8 10 18 4 5 16 22&23
13 28 6&7 11 14&15 3 1
pathet nem pathet sanga pathet manyura
Keterangan:
1. Tahap Eksposisi atau Pengenalan, terjadi pada janturan pada awal adegan
pertama. Tahap ini memaparkan Kraton Ngamarta yang subur dengan
tanaman yang tampak hijau serta harga sandang pangan yang murah.
Diceritakan juga banyak saudagar yang berlayar mulai pagi sampai pagi lagi.
Adaanya saudagar-saudagar itu yang membuat Kraton Ngamarta terkenal
sampai mancanegara.
2. Tahap Konflik, terjadi pada bagian awal dan bagian adegan ke-2. Pada bagian
awal adegan ke-2 menceritakan tentang Petruk yang membawa kabar bahwa
Prabu Puntadewa beserta adik-adiknya diiringi dengan pusaka Ngamarta
Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Songsong Tunggulnaga.
Konflik yang kedua yaitu ketika Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil
Binartatra dengan perasaan marah karena merasa dirinya tidak dibutuhkan
lagi kehadirannya oleh Prabu Puntadewa.
71
3. Datar, terjadi pada adegan ke-3, yaitu ketika Prabu Puntadewa, Raden
Werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa sedang berdoa bersama-sama
di rumah pusaka.
4. Tahap Komplikasi 1, terjadi pada adegan ke-4, yaitu ketika Bathara Kresna
berhasil menghasut Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden Sentyaki
untuk mengusir Petruk dari Kraton Ngamarta.
5. Tahap Krisis 1, terjadi pada bagian awal adegan ke-5, yaitu ketika Petruk
diserang oleh Raden Sentyaki, Raden Gathutkaca, dan Raden Antareja.
Petruk tidak melawan sama sekali sehingga membuat malu ketiga satria
tersebut.
6. Tahap Resolusi 1, terjadi pada bagian akhir adegan ke-5, ketika Raden
Antareja melaporkan bahwa Petruk telah membuat dirinya, Raden Sentyaki,
dan Raden Gathutkaca malu kepada Raden Janaka.
7. Datar, pada adegan ke-6, yaitu ketika Petruk akhirnya pulang dari Kraton
Ngamarta mengikuti pusaka-pusaka Ngamarta.
8. Datar, pada adegan ke-7, yaitu ketika Raden Sadewa memberikan penjelasan
kepada anak-anak pandhawa bahwa para pandhawa kecuali Raden Janaka
akan pergi ke Karang Kapulutan.
9. Tahap Komplikasi 2, terjadi pada adegan ke-8. Pada adegan ini diceritakan
Bathara Kresna yang telah berhasil menghasut Bathara Guru hingga akhirnya
Bathara Guru menyuruh Bathari Durga menurunkan anak buahnya ke Karang
Kapulutan guna menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya.
72
10. Tahap Krisis 2, terjadi pada adegan ke-9, yaitu ketika Bathari Durga
menyuruh Jaramaya beserta anak buahnya turun ke Karang Kapulutan untuk
membunuh Ki Semar Badranaya. Jaramaya membawa Maling Sukma dan
Maling Raga turun ke Karang Kapulutan.
11. Tahap Resolusi 2, terjadi pada adegan ke-10, yaitu ketika Bathara Kresna
memutuskan untuk datang ke Karang Kapulutan dengan wujud raksasa yang
sebesar gunung. Raden Janaka disuruh malih rupa menjadi harimau.
12. Datar, terjadi pada adegan ke-11. Pada adegan ini Wisanggeni menemui
Anoman di Kendhalisada. Wisanggeni meminta Anoman untuk membantu
melancarkan rencana Ki Semar Badranaya.
13. Tahap Komplikasi 3, terjadi pada bagian awal adegan ke-12, yaitu ketika
Wisanggeni bertemu dengan Jaramaya dan mereka adu omongan. Saat itu
Wisanggeni menyamar menjadi Kampret.
14. Tahap Krisis 3, terjadi pada bagian akhir adegan ke-12, yaitu ketika
Wisanggeni yang sudah berubah menjadi Wisanggeni sejati berkelahi dengan
Jaramaya.
15. Tahap Resolusi 3, terjadi pada adegan ke-13. Pada adegan ini mengisahkan
Anoman telah berhasil menyelamatkan Wisanggeni dari serangan Jaramaya
dan beliau juga berhasil mengalahkan Jaramaya.
16. Datar, terjadi pada adegan ke-14, yaitu ketika Gareng, Petruk, dan Bagong
bernyanyi bersama-sama untuk menghibur diri dan penonton.
73
17. Datar, terjadi pada adegan ke-15, yaitu ketika Prabu Puntadewa tiba di
Karang Kapulutan dan disuruh Ki Semar Badranaya untuk mati di dalam
hidup guna mendapatkan wejangan dari Sang Hyang Padawenang.
18. Tahap Komplikasi 4, terjadi pada bagian awal adegan ke-16. Adegan ini
menceritakan kedatangan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja ke Karang
Kapulutan. Tiba-tiba raga Raden Antareja dimasuki oleh Maling Sukma dan
beliau membunuh Raden Abimanyu.
19. Tahap Krisis 4, terjadi pada adegan ke-17. Adegan ini menceritakan Raden
Gathutkaca yang marah karena Raden Antareja telah membunuh Raden
Abimanyu. Raden Gathutkaca ingin balas dendam kepada Raden Antareja,
terjjadilah peperangan.
20. Tahap Resolusi 4, terjadi pada bagian akhir adegan ke-18. Pada adegan ini
diceritakan Raden Antasena telah berhasil mengeluarkan Maling Sukma dari
raga Raden Antareja.
21. Tahap Komplikasi 5, terjadi pada bagian tengah adegan ke-19, yaitu ketika
Raden Antareja dan Raden Gathutkaca sudah bisa melihat makhluk apa yang
telah merasuki Raden Antareja. Mereka berniat membunuh Maling Sukma.
22. Tahap Krisis 5, terjadi pada adegan ke-20. Terjadi peperangan antara Raden
Antareja dan Raden Gathutkaca melawan Maling Sukma.
23. Tahap Resolusi 5, terjadi pada bagian awal adegan ke-21, yaitu ketika Maling
Sukma mengakui kekalahannya. Dia tidak sanggup lagi untuk melawan
Raden Gathutkaca dan Raden Antareja.
74
24. Datar, terjadi pada adegan ke-22, yaitu ketika Prabu Puntadewa, Raden
werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa mendapatkan wejangan dari
Sang Hyang Padawenang.
25. Datar, terjadi pada adegan ke 23, yaitu ketika Ki Semar Badranaya menyuruh
Prabu Puntadewa beserta adik-adiknya untuk bertapa.
26. Tahap Komplikasi 6, terjadi pada bagian awal adegan ke-24. Ketika Bathara
Kresna datang ke Karang Kapulutan dengan menyamar menjadi raksasa yang
besar bernama Digdya Jajalanang. Kedatangannya ke Karang Kapulutan
untuk menemui Ki Semar Badranaya dan mengajaknya ke kayangan.
27. Tahap Krisis 6, terjadi pada bagian tengah adegan ke-24, yaitu ketika Raden
Antasena yang mengajari Gareng, Petruk, dan Bagong cara mengusir Buta
Jajalanang yang merupakan malihan dari Bathara Kresna.
28. Tahap Resolusi 6, terjadi pada bagian akhir adegan ke-24, yaitu ketika
Bathara Kresna telah berhasil diusir dari Karang Kapulutan oleh Gareng,
Petruk, Bagong, dan Raden Antasena.
29. Datar, terjadi pada adegan ke-25. Ketika Raden Janaka tiba di Karang
Kapulutan dan tiba-tiba beliau meminta maaf kepada Ki Semar Badranaya.
Ki Semar Badranaya lalu menyuruhnya untuk ikut bertapa bersama saudara-
saudaranya.
30. Tahap Komplikasi 7, terjadi pada adegan ke-26. Adegan ini menceritakan
Bathara Kresna yang melaporkan kekalahannya kepada Bathara Guru.
Akhirnya Bathara Guru turun ke Karang Kapulutan untuk menemui Ki Semar
Badranaya.
75
31. Tahap Krisis 7, terjadi pada bagian awal adegan ke-27, yaitu ketika Bathara
Guru tiba di Karang Kapulutan dan menantang Ki Semar Badranaya. Ki
Semar Badranaya marah karena adiknya telah berani berbuat seperti itu.
32. Tahap Resolusi 7, terjadi pada bagian akhir adegan ke-27. Ki Semar
Badranaya yang marah kepada Bathara Guru karena berbuat lancang
kepadanya. Lalu Prabu Puntadewa memintakan maaf atas kesalahan Bathara
Guru dan Bathara Kresna kepada Ki Semar Badranaya.
33. Tahap Keputusan, terjadi pada adegan ke-28. Sang Hyang Padawenang dan
Ki Semar Badranaya telah memaafkan perbuatan Bathara Guru dan Bathara
Kresna.
Lakon Semar Mbangun Kayangan mempunyai grafik yang naik turun dan
pada bagian puncaknya tidak sama ketinggiannya. Hal itu disebabkan tingkatan
masalah yang timbul berbeda-beda sehingga menghasilkan klimaks yang berbeda
pula. Ketika masalah tersebut benar-benar sangat berat dan berpengaruh sekali
dengan tokoh utama, klimaks akan mencapai titik puncak tertinggi. Permasalahan-
permasalahan dalam lakon ini dinaikkan dan diturunkan oleh dhalang sesuai
dengan apa yang diinginkan karena dalam suatu pertunjukan wayang kulit
dhalanglah yang menjadi sutradaranya.
Bagian-bagian dalam pertunjukan wayang dibedakan menjadi tiga, yaitu
pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Pengambilan nama tersebut
76
disesuaikan dengan pathet gamelan yang digunakan untuk mengiringi. Bagian-
bagian pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut.
a. Pathet Lima
Pathet Lima merupakan bagian awal dari suatu pertunjukan wayang.
Pathet ini berlangsung mulai dari pukul 21.00 sampai pukul 24.00. Dalam
pagelaran wayang kulit, pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan
yang condong ke arah kiri. Bagian pathet lima menggambarkan kehidupan
manusia pada masa kanak-kanak yang berarti awal dari kehidupan manusia.
Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan bagian pathet lima terdapat pada
adegan pertama sampai adegan ke-13.
9 5 12
8 10 4 5
2 6&7 11 13 3 1
Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, adegan pada pathet nem
menceritakan tentang rencana Ki Semar Badranaya untuk membangun
kayangan yang disampaikan oleh Petruk kepada Prabu Puntadewa di Sitinggil
Binartatra. Diawali dengan itu muncullah konflik-konflik yang ditimbulkan
oleh Bathara Kresna. Bathara Kresna mengahasut Raden Janaka untuk tidak
mengikuti rencana Ki Semar Badranaya. Beliau juga melapor kepada Bathara
Guru tentang rencana Ki Semar Badranaya tersebut dan sekaligus menghasut
kalau perbuatan Ki Semar Badranaya itu salah. Akhirnya Bathara Guru
77
menyuruh Bathara Kresna untuk membawa Ki Semar Badranaya ke
kayangan. Bathara Guru juga menyuruh Bethari Durga menurunkan anak
buahnya ke Pedhukuhan Karang Kapulutan untuk menggagalkan rencana Ki
Semar Badranaya. Bagian pathet lima ditutup dengan adegan antara
Wisanggeni dengan Anoman. Wisanggeni menyuruh Anoman menjaga
Pedhukuhan Karang Kapulutan karena Anoman telah menyelamatkan dia dari
Jaramaya. Inti dari pathet lima terdapat pada bagian akhir adegan ke-2 yang
menceritakan tentang kebimbangan Prabu Puntadewa menghadapi
permintaan Ki Semar Badranaya dan kemarahan Bathara Kresna yang
melarangnya untuk mengikuti kata-kata Ki Semar Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
(PRABU PUNTADEWA MENCURAHKAN ISI HATINYA KEPADA ADIK-ADIKNYA) PRABU PUNTADEWA Kadangipun Kakang, Dhimas Werkudara lan Dhimas Sadewa. ‘Saudarane Kakang, Dhimas Werkudara dan Dhimas Sadewa.’
RADEN WERKUDARA Mbarep Kakang apa? ‘Ada apa Kakak tertua?’ RADEN SADEWA Nuwun wonten paring pangandika dhawuh Kaka Prabu. ‘Mau berbicara apa Kaka Prabu?’ PRABU PUNTADEWA Rumangsa peteng jagadipun Kakang. Ana kedadeyan kaya mengkono ing atas. Kaka Prabu kaaturan rawuh supaya bisa ndandani suwasana kang rusak, gawe kaanan kang peteng, lha kok dadi malah ana kedadeyan Kaka Prabu ra cocok lan ora bisa jumbuh marang kekarepane Kakang Semar. ‘Gelap sekali dunia Kakang. Ada kejadian seperti ini. Kaka Prabu datang supaya bisa memperbaiki suasana yang rusak, membuat keadaan yang gelap, lha kok malah ada kejadian Kaka Prabu tidak cocok dan tidak bisa sependapat dengan keinginannya Kakang Semar.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
78
Kutipan di atas menceritakan tentang inti dari pathet nem, yaitu tataran
hidup manusia yang belum mantap, masih dipenuhi kebimbangan dalam
hidupnya. Hal itu yang terjadi pada Prabu Puntadewa. Prabu Puntadewa merasa
bimbang harus mengambil keputusan apa terhadap keadaan yang sedang
dihadapinya, antara menuruti permintaan Ki Semar Badranaya dan menghadapi
kemarahan Bathara Kresna yang tidak sependapat dengan Ki Semar Badranaya.
b. Pathet Sanga
Pathet sanga merupakan bagian pertengahan dalam pertunjukan
wayang. Pathet ini biasanya berlangsung dari pukul 00.00 sampai pukul
03.00. Dalam pertunjukan wayang pathet sanga ditandai dengan penancapan
gunungan yang tegak lurus. Pathet sanga ini melambangkan masa dewasa.
Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan pathet sanga terdapat pada adegan
ke-14 sampai adegan ke-21.
20
17 19
16 18 21
14 & 15
Bagian pathet sanga dalam lakon Semar Mbangun Kayangan diawali
dengan Gareng, Petruk, dan Bagong yang bernyanyi bersama-sama untuk
menghibur penonton. Nyanyian itu juga digunakan untuk menyambut
bendara mereka yaitu pandhawa. Cerita selanjutnya tentang kedatangan
Prabu Puntadewa, Raden Werkudara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa yang
79
datang ke Pedhukuhan Karang Kapulutan untuk bertemu dengan Ki Semar
Badranaya. Mereka meminta kejelasan tentang yang dimaksud dengan
membangun kayangan. Ki Semar Badranaya menyuruh mereka berempat
tidur dalam mati untuk bisa mengetahui maksud dari membangun kayangan.
Di sela-sela itu juga ada adegan perang antara Raden Antareja dan Raden
Gathutkaca dengan Maling Sukma. Pathet ini diakhiri dengan pertempuran
antara Raden Antasena dan Raden Gathutkaca dengan Maling Sukma. Inti
dari pathet sanga terdapat pada bagian tengah adegan ke-19 yang
menceritakan bahwa Raden Antasena dan Raden Gathutkaca sudah
mengetahui penyebab perkelahian mereka dan Raden Antasena sudah
menyadari semua kesalahannya.
Seperti kutipan di bawah ini.
RADEN GATHUTKACA Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa. ‘Sangat tidak pantas. Aduh Kangmas. Benar-benar ada jin.’ RADEN ANTAREJA Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi. ‘Kurang ajar ini. Yang mengadu domba ya ini. Hajar.’ RADEN GATHUTKACA Sendika. ‘Siap.’ RADEN ANTAREJA Aku njaluk supaya bisa weruh setan piye Dhimas? ‘Aku minta supaya bisa melihat setan bagaimana Dhimas?’ RADEN ANTASENA Oiya kowe ora nduwe ya Kang. Nyoh, tak caosi nek mbok menawa priksa. ‘Oiya kamu tidak punya ya Kang. Ini, kuberi mungkin saja bisa melihat.’
80
RADEN ANTAREJA Aku ora trima didu karo sedulur. Kecandhak, antemane buta iku. ‘Aku tidak terima diadu dengan saudara. Aku hajar raksasa itu.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Kutipan dialog di atas menunjukkan bahwa Raden Antareja dan Raden
Gathutkaca akan membasmi jin dan setan yang menyebabkan perkelahian
mereka. Saat itu pula Raden Antareja menyadari semua kesalahannya.
c. Pathet Manyura
Pathet manyura berlangsung dari pukul 03.00 sampai pukul 06.00.
Dalam pertunjukan wayang pathet manyura ditandai dengan penancapan
gunungan yang condong miring ke kanan. Pathet ini melambangkan akhir
dari kehidupan manusia. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan pathet
manyura terdapat pada adegan ke-22 sampai dengan adegan ke-28.
27 24 26 25
22 & 23 28
Pathet manyura dalam lakon ini menceritakan tentang para pandhawa
kecuali Raden Janaka yang telah menemukan jalan yang benar dalam
hidupnya setelah mendapatkan banyak wejangan dari Sang Hyang
Padawenang. Pada bagian tengahnya terdapat peperangan hebat antara
81
Bathara Kresna dengan Ki Semar Badranaya dan juga peperangan antara
Bathara Guru dengan Ki Semar Badranaya. Kedua peperangan tersebut
dimenangkan oleh Ki Semar Badranaya. Akhirnya orang-orang yang berniat
jahat kepada Ki Semar Badranaya diberi wejangan oleh Sang Hyang
Padawenang. Bagian akhir dari pathet ini yaitu tancep kayon yang artinya
pertunjukan telah selesai dan melambangkan kematian manusia. Pada pathet
ini ditemukan penjelasan arti kayangan yang dimaksud oleh Ki Semar
Badranaya. Kayangan yang dimaksud Ki Semar Badranaya bukanlah
kayangan tempat tinggal dewa, melainkan jiwa para pandhawa. Jiwa
pandhawa yang bobrok hendak diperbaiki oleh Ki Semar Badranaya. Inti dari
pathet manyura terdapat pada akhir adegan ke-22 yang menceritakan tentang
Prabu Puntadewa dan adik-adiknya yang telah menentukan jalan hidup
mereka dengan berpegang kepada wejangan-wejangan yang diberikan oleh
Sang Hyang Padawenang kepada mereka.
Seperti kutipan di bawah ini.
(PRABU PUNTADEWA, RADEN WERKUDARA, RADEN NAKULA, DAN RADEN SADEWA TELAH MENGERTI MAKSUD DARI WEJANGAN-WEJANGAN SANG HYANG PADAWENANG) SANG HYANG PADAWENANG Wus kita tampa? ‘Sudah kalian terima?’ PRABU PUNTADEWA
Sampun. ‘Sudah.’
SANG HYANG PADAWENANG Kabeh iku mau dadi wewarah kang becik. Mbesuk yen wis kumpul
kadang-kadang kita, jer kabeh iku mau sih gampang kena coba. Citapsara kasebut kena minangka dadi piwulang kang becik marang kabeh para kadang lan kawula.
82
‘Semua itu akan menjadi ajaran yang baik kelak jika sudah berkumpul dengan saudara-saudara kalian. Meskipun semua itu masih mudah terkena cobaan. Citapsara tersebut sebagai ajaran yang baik kepada semua saudara dan manusia.’ PRABU PUNTADEWA Matur sewu sembah nuwun. ‘Beribu-ribu terima kasih.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Kutipan dialog di atas menceritakan tentang tujuan hidup selanjutnya
Prabu Puntadewa dan adik-adiknya. Mereka sudah memahami arti keberadaan
mereka yang harus selalu selaras dengan Jimat Kalimasada. Menjalankan tampuk
kepemimpinan dengan berpegang pada arti dari pusaka-pusaka yang mereka
miliki. Bagian ini menggambarkan manusia telah berhasil menentukan pilihan
hidupnya, lalu bertekad menggapai tujuan hidupnya.
4.2 Penokohan
Pada lakon Semar Mbangun Kayangan terdapat tiga macam tokoh, yaitu
tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh durjana.
4.2.1 Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis merupakan peran utama yang merupakan pusat atau
sentral cerita. Pada suatu lakon biasanya hanya ada satu atau dua tokoh yang
menjadi tokoh protagonis utama yang dibantu atau didukung oleh tokoh-tokoh
lain yang juga masuk dalam kategori protagonis. Tokoh protagonis ini merupakan
tokoh yang dianggap baik. Berikut ini tokoh protagonis dalam lakon Semar
Mbangun Kayangan.
83
a. Ki Semar Badranaya
Ki Semar Badranaya merupakan titisan Bathara Ismaya yang turun ke
marcapada untuk menggulawenthah para satriya terutama pandhawa. Beliau
seseorang yang mempunyai watak lembah manah, jujur, dan sederhana.
Dalam lakon ini Ki Semar Badranaya menjadi tokoh utama. Beliau berperan
menjadi seorang rakyat serta seorang guru yang ingin memberikan wejangan
kepada ratunya, yaitu pandhawa. Ki Semar Badranaya membangun mental
kepemimpinan pandhawa supaya mereka tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri, tetapi juga mengutamakan rakyat. Beliau mempunyai watak bijaksana
dan pemaaf.
Seperti kutipan di bawah ini.
Ee, mboten kena. Mboten kena. Niku ngibarate wong meguru, bapa
karo anak bareng mboten kena. Kudu salah sawiji. Yen bapakne
bapakne, yen anake ya anake. Sing ora kena bareng sing nampa
wejangan. Mpun, sekecakke sing lenggah, kula tak teng pengkeran.
Sekecakke Den.
‘Ee, tidak bisa. Tidak bisa. Itu ibaratnya orang berguru, bapak dengan
anak tidak boleh. Harus salah satu. Jika bapaknya ya bapaknya, jika
anaknya ya anaknya. Yang tidak bisa yang menerima nasihat.
Sudahlah, dienakkan saja yang duduk, saya mau ke belakang.
Dienakkan Den.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
Kutipan dialog di atas menggambarkan watak bijaksana dari Ki Semar
Badranaya. Beliau menjelaskan kepada Raden Antareja dan Raden Gathutkaca
bahwa dalam berguru, orang tua tidak boleh bersamaan dengan anaknya, tidak
pantas atau tidak sopan hukumnya.
84
Seperti kutipan di bawah ini.
Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking Pukulun
Padawenang wau minangka dados kekancinganipun Gusti Nata
Dwarawati.
‘Sudah. Tidak apa-apa. Semoga sedikit dari Pukulun Padawenang tadi
bisa menjadi kunci bagi Gusti Raja Dwarawati.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
Kutipan dialog di atas menggambarkan sifat pemaaf dari Ki Semar
Badranaya. Beliau mau memaafkan Bathara Kresna meski Bathara Kresna telah
memusuhi dan berusaha untuk membunuh dirinya.
b. Raden Sadewa
Raden Sadewa merupakan pandhawa yang terakhir, atau sering disebut
ragil. Dalam lakon ini Raden Sadewa mempunyai watak cerdas, teguh
pendirian, dan bijaksana. Raden Sadewa menjelaskan kepada kakak-
kakaknya kecuali Raden Janaka tentang arti kata kayangan yang
dimaksudkan oleh Ki Semar Badranaya. Raden Sadewa membuat ketiga
kakaknya tidak terhasut oleh Bathara Kresna. Raden Sadewa juga mengajak
ketiga kakaknya pergi ke Karang Kapulutan untuk menerima segala wejangan
yang akan diberikan oleh Ki Semar Badranaya. Raden Sadewa juga
menyuruh anak-anak pandhawa untuk ikut ke Karang Kapulutan guna
menjaga dukuh tersebut dari musuh.
Seperti kutipan di bawah ini.
Jalaran kayangan menika mboten namung ngemung kagunganipun jawata nanging pedhukuhan Karang Kapulutan kelebet dados kayanganipun Kakang Semar Badranaya. Yen kapundhut dasar pusaka tetiga, Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, lan Songsong
85
Tunggulnaga ingkeng kula kuwatosi yen ingkeng badhe dipundandosi menika kayangan raosing manah, klebet saklebeting driya. Kaka Prabu sakadang badhe dipunprenahaken tingkah lampah ing analisir dhateng kautaman, badhe dipundandosi dhumateng Kakang Semar, jalaran pusaka tetiga menika klebet dados sasmita. Kalimasada jujuring para pandhawa. Tumbak Karawelang lantiping manah kula sakadang. Songsong Tunggulnaga jejibahanipun Kaka Prabu minangka dados pangayoming para pandhawa. Yen mangke ngantos menika mboten dipunleksanani badhe kapitunan.
‘Karena kayangan itu tidak hanya berarti miliknya dewata tetapi Pedhukuhan Karang Kapulutan termasuk kayangannya Kakang Semar Badranaya. Jika diambil dasar pusaka tiga, Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Payung Tunggulnaga yang saya khawatirkan yang akan diperbaiki itu adalah rasa hati, termasuk di dalam jiwa. Kaka Prabu bersama saudara akan dibenarkan tingkah laku yang tidak sesuai keutamaan, akan diperbaiki oleh Kakang Semar, karena pusaka tiga itu termasuk tanda. Kalimasada jujurnya pandhawa. Tumbak Karawelang tajamnya hati saya bersama saudara. Payung Tunggulnaga kewajiban Kaka Prabu sebagai pengayom para pandhawa. jika nanti sampai ini tidak dilaksanakan akan mendapatkan malu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Kutipan di atas menggambarkan watak Raden Sadewa yang cerdas. Di
saat para kakaknya tidak bisa berpikir tentang maksud dari keinginan Ki Semar
Badranaya, Raden Sadewa bisa menafsirkan apa yang dimaksud oleh Ki Semar
Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Nuwun sewu keparenga Petruk kadohana medal njawi rumiyin,
mangke dipunrembag ingkang sae-sae kemawon. Yen ngantos menika
mangke kedangon tundhonipun badhe ngucemaken asma Kaka Prabu.
‘Permisi, bolehlah Petruk disuruh keluar dulu, nanti didiskusikan yang
baik-baik. Jika ini sampai berlarut-larut pasti akan membuat jelek
nama Kaka Prabu.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
86
Kutipan pembicaraan Raden Sadewa di atas menggambarkan watak
Raden Sadewa yang bijaksana. Beliau tidak ingin nama baik kakaknya menjadi
rusak hanya karena masalah yang tidak dibicarakan dengan baik-baik di arena
pertemuan agung, oleh karena itu beliau member usul supaya Petruk disuruh
keluar dan mereka membahasnya dengan otak dingin.
c. Raden Antasena
Raden Antasena merupakan putra dari Raden Werkudara. Raden
Antasena bisa terbang dan masuk ke dalam tanah. Raden Antasena
mempunyai watak tegas, bijaksana, dan teguh pendirian. Dalam lakon ini
Raden Antasena ikut membantu rencana Ki Semar Badranaya untuk
membangun kayangan, yang tak lain adalah mental para pandhawa. Raden
Antasena membantu melawan siapapun yang berusaha menggagalkan
rencana Ki Semar Badranaya. Kebaikan Raden Antasena dapat dilihat ketika
Raden Antasena membantu Petruk melawan Raden Sentyaki dan Raden
Antareja. Kebaikan selanjutnya ketika Raden Antasena membantu
Mengeluarkan Maling Sukma dari raga Raden Antareja. Terakhir ketika
Raden Antasena membantu Gareng, Petruk, dan Bagong melawan Bathara
Kresna.
Seperti kutipan di bawah ini.
(RADEN ANTASENA MENYURUH MALING SUKMA KELUAR DARI RAGA RADEN ANTAREJA) RADEN ANTASENA Heem. Aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga janma. Nek kowe ra roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga. ‘Iya. Jangan lama-lama bertempat di kakakku. Itu raga, raga manusia. Jika kamu bukan roh jahat, jangan kau teruskan. Pergilah.’
87
MALING SUKMA Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga. ‘Tidak peduli. Jika belum membunuh Semar tidak akan pergi.’ RADEN ANTASENA Tak tandingna aku. ‘Tandinglah denganku.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
Kutipan dialog di atas menggambarkan watak tegas dari Raden
Antasena. Raden Antasena tidak rela kakaknya dikendalikan oleh Maling Sukma.
Dia menyuruh Maling Sukma keluar dari raga kakaknya, tetapi karena Maling
Sukma menolak, dihajarlah dia oleh Raden Antasena.
d. Sang Hyang Padawenang
Sang Hyang Padawenang merupakan dewa dari semua dewa. Beliau
mempunyai watak bijaksana. Dalam lakon ini beliaulah yang memberikan
banyak wejangan dan mengartikan semua pusaka milik pandhawa ketika para
pandhawa mati dalam hidup atau sering disebut mati suri. Beliau yang
membantu Ki Semar Badranaya untuk membangun kayangan atau jiwa para
pandhawa. Sang Hyang Padawenang juga seseorang yang membantu Ki
Semar Badranaya untuk mengalahkan Bathara Guru dan Bathara Kresna
dengan cara memberi nasihat dan menyuruh mereka ikut ke kayangan untuk
mendapatkan pelajaran tentang kehidupan.
Seperti kutipan di bawah ini.
Kita dadi pangayoming para pandhawa anggunakna kawicaksanan pretungan kang premati aja mung waton bisa ngarani aja mung anut marang hardening kamurkan. Sedaya kalepatan nyuwun pangapunten kulun. ‘Kamu menjadi pengayom para pandhawa menggunakan kebijaksanaan hitungan yang teliti jangan hanya bisa menuduh jangan
88
hanya nurut kemurkaanmu. Semua kesalahan minta maaflah pada Kulun.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
Kutipan dialog di atas menggambarkan watak Sang Hyang Padawenang
yang tegas, bijaksana, dan suka member nasihat. Beliaulah yang membantu
Ki Semar Badranaya menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi di
Pedhukuhan Karang Kapulutan.
e. Bathara Kaneka Putra
Bathara Kenaka Putra merupakan kakak dari Bathara Guru. Dalam
lakon ini beliau berperan sebagai penasihat Bathara Guru saat Bathara Guru
dihasut oleh Bathara Kresna, namun ternyata nasihatnya tidak diterima oleh
Bathara Guru.
Seperti kutipan di bawah ini.
(BATHARA KANEKA PUTRA MENASIHATI BATHARA GURU) BATHARA KANEKA PUTRA Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten napa-napa, wong kang jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng kawontenan. ‘Dik Guru. Hati-hati Dik. Kakang Semar itu orang tidak apa-apa, orang yang jujur. Adik Guru harus bisa melihat keadaan.’ BATHARA GURU Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar. ‘Tidak. Seperti apa wajah Kakang Semar.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 8)
Kutipan dialog di atas menunjukkan watak Bathara Kenaka Putra yang
suka memberi nasihat kepada Bathara Guru, tetapi Bathara Guru tidak pernah
mengindahkannya karena beliau sudah terlanjur terkena hasutan Bathara
Kresna.
89
4.2.2 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang
tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik). Tokoh antagonis
merupakan tokoh yang dianggap jahat. Tokoh antagonis selalu menjadi
penghalang buat tokoh protagonis. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan
terdapat beberapa tokoh antagonis, adalah sebagai berikut:
a. Bathara Kresna
Bathara Kresna adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis Ki Semar
Badranaya. Bathara Kresna merupakan penasehat pandhawa. Dalam lakon ini
Bathara Kresna mempunyai watak gegabah , merasa dirinya paling benar, dan
penghasut. Konflik yang muncul dalam lakon ini timbul karena sikap Bathara
Kresna yang tidak mau berpikir lebih lanjut tentang maksud Ki Semar
Badranaya untuk mendirikan kayangan. Beliau pergi meninggalkan
pertemuan di Sitinggil Binartatra dengan rasa marah karena pandhawa tidak
mau mengikuti apa yang dikatakannya. Akhirnya Bathara Kresna berhasil
menghasut Raden Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antareja, Raden
Sentyaki, dan Bathara Guru untuk melawan Ki Semar Badranaya.
Sepeti kutipan di bawah ini.
Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing sitinggil binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe mulyakaken percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun Kakang Semar badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge sarana mbiyantu anggenipun Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ateges badhe mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten dados rembag ingkeng mboten prayogi. Paribasan menika naming sapala nanging dados perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-kadang kula Ngamarta wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu Kakang Semar. Dhuh, pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing
90
para jawata. Yen pancen pukulun nglilani Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ingkeng wayah siyaga badhe nututi para kadang mbiyantu Kakang Semar. Nanging yen menika Kakang Semar dianggep lepat, kados pundi caranipun saged paring pengajaran dhateng ingkeng kalepatinipun titah?
‘Saya tahu sendiri ketika berkumpul di Sitinggil Binartatra di Kraton Ngamarta membahas tentang maksud memulyakan candi. Tiba-tiba Petruk anaknya Kakang Semar akan memboyong saudara-saudara saya sebagai sarana membantu Kakang Semar yang akan membangun kayangan, artinya memulyakan kayangan. Yang seperti ini menjadi diskusi yang tidak baik. Peribahasanya itu hanya sedikit menjadi masalah. Sehingga Petruk pulang, saudara-saudara saya Ngamarta akan hilang, terlihat jika akan membantu Kakang Semar. Duh, Pukulun. Padahal kayangan itu kuasanya para dewata…’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Penggalan perkataan Bathara Kresna di atas menggambarkan wataknya
sebagai seorang penghasut. Beliau tidak berpikir panjang tentang maksud dari Ki
Semar Badranaya dan sudah melaporkannya kepada Bathara Guru. Beliau juga
merasa bahwa kayangan itu bukanlah kuasanya Ki Semar Badranaya melainkan
para dewa.
b. Bathara Guru
Dalam lakon ini Bathara Guru berperan sebagai penentang Ki Semar
Badranaya. Bathara Guru memiliki watak tidak teguh pendirian dan gegabah.
Hal itu menyebabkan dia mudah dihasut oleh Bathara Kresna. Beliau tidak
mendengarkan nasihat Bathara Kenaka Putra bahwa hal itu harus dipikirkan
lebih lanjut karena Ki Semar Badranaya merupakan seseorang yang jujur dan
beliau juga seorang dewa. Penjelasan Bathara Kenaka Putra tentang arti
kayangan untuk Ki Semar Badranaya juga tidak didengarkan oleh Bathara
Guru. Bathara Guru menyuruh Bethari Durga untuk menurunkan raksasa-
raksasanya ke Karang Kapulutan dan membunuh Ki Semar Badranaya.
91
Seperti kutipan di bawah ini.
(BATHARA GURU MENYURUH BATHARI DURGA UNTUK MENURUNKAN ANAK BUAHNYA KE KARANG KAPULUTAN) BATHARA GURU Durga. ‘Durga.’ BATHARI DURGA Nuwun Dhawuh. ‘Menerima Perintah.’ BATHARA GURU Metua njaba, dhawuh marang putra-putra bajul badi yen nganti gagal Kresna nyuba Kakang Semar, pasrahna bajul badi. ‘Keluarlah, suruh anak-anak buaya badi jika sampai gagal Kresna mencoba Kakang Semar, pasrahkan bajul badi.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan dialog di atas menggambarkan watak Bathara Guru yang jahat.
Beliau menyuruh Bathari Durga untuk menurunkan anak buahnya ke Karang
Kapulutan guna membantu Kresna memboyong Ki Semar Badranaya ke kayangan
dengan paksaan.
c. Bathari Durga
Bathari Durga adalah adik dari Bathara Guru. Beliau penguasa
Kayangan Ganda Mayit. Beliau ratu dari para raksasa, jim, dan setan. Bathari
Durga masuk dalam tokoh antagonis karena belaiau mendukung usaha
Bathara Kresna dan Bathara Guru untuk menggagalkan rencana Ki Semar
Badranaya membangun kayangan. Bathari Durga menurunkan para raksasa
ke Karang Kapulutan untuk membunuh Ki Semar Badranaya. Kejahatannya
dilihat dari beliau yang menyuruh Jaramaya membunuh Ki Semar Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
92
Dhawuhana kawo wadya bala, buta loro sing kok pilih Maling Sukma Maling Raga supaya mlebu ana Karang Kapulutan nyendhal mayang Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar. ‘Suruhlah kepada anak buahmu, dua raksasa yang kau pilih Maling Sukma Maling Raga supaya masuk ke Karang Kapulutan membunuh Kakang Semar atau siapa saja yang membela Kakang Semar.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Penggalan perkataan Bathari Durga di atas menunjukkan bahwa dia
berwatak jahat seperti Bathara Guru. Beliau menyuruh anak buahnya turun ke
Karang Kapulutan untuk membunuh Ki Semar Badranaya.
d. Maling Sukma
Maling Sukma adalah raksasa yang suka memakan jiwa manusia
dengan cara masuk ke dalam raga manusia yang ingin dibunuh. Maling
Sukma disuruh Jaramaya untuk membunuh Ki Semar Badranaya. Pada saat di
Pedhukuhan Karang Kapulutan Maling Sukma masuk ke raga Raden Antareja
dan membuat Raden Antareja membunuh Raden Abimanyu. Maling Sukma
berperang melawan Raden Gathutkaca dan Raden Antareja, karena mereka
menghalangi niatnya untuk membunuh Ki Semar Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Maling Sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya
aku mateni Siwa Badranaya.
‘Aku Maling Sukma. Jangan menghalangiku. Aku mendapatkan
perintah supaya aku membunuh Siwa Badranaya.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)
Penggalan perkataan di atas menunjukkan bahwa Maling Sukma berniat
untuk membunuh Ki Semar Badranaya karena perintah dari Jaramaya. Dia tidak
ingin langkahnya dihalangi oleh orang lain.
93
4.2.3 Tokoh Durjana
Tokoh durjana merupakan tokoh yang jahat sekali. Dia biasanya suka
menghasut atau Semar Mbangun Kayangan hanya ada satu tokoh durjana, yaitu
Bathara Kresna. Pada lakon ini Bathara Kresna menjadi penghasut dan provokator
untuk para pandhawa, anak-anak pandhawa, dan Bathara Guru supaya
menghalangi rencana Ki Semar Badranaya untuk membangun kayangan. Bathara
Kresna berhasil menghasut Arjuna, Bathara Guru, Sentyaki, serta anak-anak
pandhawa kecuali Raden Antasena untuk menggagalkan rencana Ki Semar
Badranaya.
Seperti kutipan di bawah ini.
Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing sitinggil binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe mulyakaken percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun Kakang Semar badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge sarana mbiyantu anggenipun Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ateges badhe mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten dados rembag ingkeng mboten prayogi. Paribasan menika naming sapala nanging dados perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-kadang kula Ngamarta wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu Kakang Semar. Dhuh, pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing para jawata…
‘Saya tahu sendiri ketika berkumpul di Sitinggil Binartatra di Kraton Ngamarta membahas tentang maksud memulyakan candi. Tiba-tiba Petruk anaknya Kakang Semar akan memboyong saudara-saudara saya sebagai sarana membantu Kakang Semar yang akan membangun kayangan, artinya memulyakan kayangan. Yang seperti ini menjadi diskusi yang tidak baik. Peribahasanya itu hanya sedikit menjadi masalah. Sehingga Petruk pulang, saudara-saudara saya Ngamarta terlihat jika akan membantu Kakang Semar. Duh, Pukulun. Padahal kayangan itu kuasanya para dewata…’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
94
Penggalan perkataan Bathara Kresna di atas menggambarkan wataknya
sebagai seorang penghasut. Beliau tidak berpikir panjang tentang maksud dari Ki
Semar Badranaya dan sudah melaporkannya kepada Bathara Guru. Beliau juga
merasa bahwa kayangan itu bukanlah kuasanya Ki Semar Badranaya melainkan
para dewa.
4.3 Latar
Menurut Satoto, latar mencakup tiga aspek penting, yaitu aspek ruang,
aspek waktu, dan aspek suasana.
4.3.1 Aspek Ruang
Lokasi-lokasi yang terdapat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a. Kraton Ngamarta
Kraton Ngamarta merupakan kraton yang dipimpin oleh Prabu
Puntadewa. Kraton Ngamarta sering disebut sebagai Kraton
Indraprastha atau Kraton Mrentani. Kraton Ngamarta digambarkan
dengan suatu kerajaan yang terkenal sampai mancanegara dengan
segala kesuksesannya. Tidak hanya pemimpinnya yang terkenal, tetapi
juga kemakmuran rakyatnya. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan
penyebaran latar di Kraton Ngamarta terdapat pada adegan
kedhatonan, yaitu pada adegan pertama. Penyebaran pathet dalam
lakon yang berlatar di Kraton Ngamarta terdapat pada pathet nem.
Seperti kutipan di bawah ini.
95
JANTURAN …Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi mapan siti ketumpangan wareh, apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining tembung murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula kang sami among tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal yen negara dadi pikuwat saka guruning negara. Werdining gemah lakuning para sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet datan wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan wonten sambekala… ‘…Di depan sudah diceritakan bahwa wilayah Kerajaan Ngamarta itu subur dan tentram. Tanahnya tulus semua yang ditanam pasti jadi ditaruh di tanah dan terkena air, apa yang ditancapkan pasti tumbuh hijau. Tentram artinya murah yang semua bisa dibeli karena orang-orangnya pintar dalam mengelola pertanian. Tidak salah jika negara menjadi kuat saka gurunya negara. Para saudagar berlayar para nahkoda yang datang mulai malam tidak ada putusnya selalu silih berganti dari wilayah Kerajaan Ngamarta sehingga sampai mancanegara tidak ada halangan…’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Kutipan janturan tersebut menceritakan Kraton Ngamarta yang
subur. Semua tumbuhan yang ditanam pasti tumbuh, semuanya tampak
hijau. Semua barang di Kraton Ngamarta harganya murah sehingga
penduduk bisa membelinya. Banyak saudagar yang berlayar, mulai pagi
sampai pagi lagi. Hal itu yang menyebabkan Kraton Ngamarta terkenal
sampai mancanegara. Keadaan yang seperti itu membuat Kraton Ngamarta
menjadi kuat.
b. Sitinggil Binartatra
Sitinggil Binartatra merupakan ruang pertemuan di Kraton Ngamarta.
Ruang tersebut sangat megah dan biasa digunakan Prabu Puntadewa
96
beserta keempat adiknya untuk mengadakan pertemuan dengan
segenap orang penting Ngamarta. Dalam lakon ini Sitinggil Binartatra
masuk dalam adegan kedhatonan dan terdapat pada adegan pertama
sampai adegan ke-2. Penyebaran pathet yang berlatar di Sitinggil
Binartatra terdapat pada pathet nem.
Seperti kutipan di bawah ini.
…wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah. Pocapa tuking titiwancine sang nata arep sanabda, songsong kencana, mijil saking kedhaton byar tindho kumelating ratih. Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga paran sabda nata ngangseg ngge nyungadep.
‘…sudah berakhir candra sampai sini. Telah sampai waktunya sang raja akan bersabda, payung kencana, menyatu dari kerajaan berkilauan sinar lampu. Semua para abdi tanggap dengan tanda dari raja.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1) Kutipan suluk di atas menceritakan tentang keadaan di Sitinggil
Binartatra ketika sedang diadakan rapat pertemuan dengan petinggi-
petinggi Ngamarta. Ketika raja akan bersabda, payung mulai dibuka dan
lampupun dinyalakan dengan sinar yang berkilauan.
c. Kayangan Jonggring Sloka
Kayangan Jonggring Sloka merupakan kayangan tempat di mana para
dewa tinggal. Kayangan tersebut dikuasai oleh Bathara Guru.
Kayangan Jonggring Sloka sering dipakai oleh para dewa untuk
mengadakan pertemuan. Di kayangan ini Bathara Kresna melapor
kepada Bathara Guru tentang rencana Ki Semar Badranaya untuk
membangun kayangan. Penyebaran latar di Kayangan Jonggring Sloka
terdapat pada adegan ke-8 dan adegan ke-26. Penyebaran pathet di
97
Kayangan Jonggring Sloka terdapat pada pathet nem dan pathet
manyura.
Seperti kutipan di bawah ini.
Ing Kayangan Jonggring Sloka ya Kayanganing Giri Pati. Ingkeng lenggah ing kono sedaya para jawata. Nanging ampun ngantos kelentu penampi, dewa menika pada ingkang supados paring piwulang reh anggewulang kautaman dhateng para titah-titah ingkeng kelentu keblatipun… ‘Di Kayangan Jonggring Sloka ya Kayangan Giri Pati. Yang duduk di sama semua para dewata. Tetapi jangan sampai salah terima, dewa ini merupakan pemberi pedoman supaya memberikan ajaran keutamaan kepada para manusia yang salah arah…’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan di atas mengungkapkan bahwa Kayangan Jonggring Sloka
adalah tempat tinggal para dewa. Dalam konteks ini dewa adalah pemberi
pedoman kepada manusia yang melakukan kesalahan di dunia.
d. Pedhukuhan Karang Kapulutan
Pedhukuhan Karang Kapulutan merupakan pedhukuhan yang dipimpin
oleh Ki Semar Badranaya. Pedhukuhan ini terdapat pada wilayah
Kraton Ngamarta. Dalam lakon ini, Pedhukuhan Karang Kapulutan
digunakan sebagai tempat Ki Semar Badranaya medharaken ilmu
kepada pandhawa. Di sini Sang Hyang Padawenang juga medharaken
ilmu pada pandhawa pada adegan ke-22. Di pedhukuhan ini juga
terjadi banyak peperangan, perang antara Wisanggeni dengan
Jaramaya yang terdapat pada adegan ke-12, perang antara Raden
Gathutkaca dan Raden Antareja dengan Maling Sukma yang terdapat
pada adegan ke-20, perang antara Ki Semar Badranaya dengan Bathara
98
Guru pada adegan ke-27. Penyebaran pathet yang berlatar di
Pedhukuhan Karang Kapulutan terdapat pada pathet nem, pathet sanga,
dan pathet manyura.
Seperti kutipan di bawah ini.
(RADEN GATHUTKACA MARAH KARENA RADEN ANTAREJA MEMBUNUH RADEN ABIMANYU) PETRUK Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara Gathutkaca. Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo aku wis nglenggana, ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa Ndara Gathutkaca. Ateges bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara. Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki. ‘Nah karena Ndara Antareja sampai sini bersama Ndara Gathutkaca. Meskipun tadi Ndara Gathutkaca dengan saya sudah berbaik hati, tetapi kenyataanya yang membawa Ndara Antareja adalah Ndara Gathutkaca. Jadi bahaya yang masuk di Karang Kapulutan itu yang membawa Ndara Gathutkaca. Dari kaca penglihatanku, tentram ya dari Ndara. Tidak juga dari Ndara.’ RADEN GATHUTKACA Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare. ‘Sudah, tidak usah ngomel-ngomel. Kakang Antareja akan kuhajar.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
Berdasarkan kutipan di atas Raden Gathutkaca marah dan merasa
menyesal karena membawa Raden Antareja ke Pedhukuhan Karang
Kapulutan. Akhirnya, beliau memutuskan untuk menghajar Raden
Antareja.
e. Pertapaan Kendhalisada
Pertapaan Kendhalisada merupakan pertapaan milik Anoman. Di
pertapaan ini Anoman nggulawenthah murid-muridnya. Di pertapaan
99
miliknya, Anoman terkenal sebagai guru yang bijaksana dan tidak kikir
dalam membagikan ilmu kanuragan serta ilmu kehidupan kepada
murid-muridnya. Dalam lakon ini penyebaran latar ini terdapat pada
adegan ke-11, yaitu ketika Wisanggeni mendatangi Anoman dan
memintanya untuk membantu rencana Ki Semar Badranaya untuk
membangun kayangan dengan cara memerangi orang yang ingin
menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya. Penyebaran pathet yang
berlatar Pertapaan Kendhalisada terdapat pada pathet nem.
Seperti kutipan di bawah ini.
(ANOMAN MENYAMBUT KEDATANGAN WISANGGENI DI PERTAPAAN KENDHALISADA)
ANOMAN Wong bawana langgenga, yoganipun ingkeng Bapa ngger. Tilema
sakliyepan mboten badhe nyupena bilih angger Wisanggeni badhe lenggah wonten ing Kendhalisada. Saksampunipun sakwetawis anggen lenggah, pun bapa atur pambagya panakrama.
‘Orang agung, sepantasnya Bapak, Nak. Tidur sebentarpun tidak akan bermimpi karena Nak Wisanggeni akan datang ke Kendalisada. Sesudah beberapa waktu duduk, Bapak menghaturkan salam bahagia.’
WISANGGENI Tak tampa ngendikane Siwa Begawan mbagekke karo aku.
Pangestunipun Siwa Anoman kaya ora kurang siji-sijia menapa. Sembahku tampanana Pakdhe.
‘Saya terima Siwa Begawan yang sudah menyambut saya. Pangestu Siwa Anoman seperti tidak kurang apapun. Sujud sembahku terimalah Pakdhe.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)
Kutipan dialog di atas mengisahkan peristiwa yang terjadi di
Pertapaan Kendalisada. Peristiwa itu ketika Wisanggeni datang ke
100
Pertapaan Kendalisada dan mendapatkan sambutan yang menyenangkan
dari Anoman.
4.3.2 Aspek Waktu
Latar waktu dalam lakon ini tidak diperlihatkan dengan jelas. Pada awal
pertunjukan, dhalang tidak menjelaskan kepada penonton kapan dan pada masa
apa peristiwa itu terjadi. Dalam lakon ini hanya diketahui bahwa peristiwa itu
terjadi saat Semar ingin membangun mental para ratunya yang telah bobrok.
4.3.3 Aspek Suasana
Dalam suatu drama atau pagelaran wayang, aspek suasana juga sangat
berpengaruh. Adanya aspek suasana membuat penonton bisa merasakan apa yang
sedang terjadi dalam tiap adegan. Pada lakon ini terdapat beberapa aspek suasana
yang dikemukakan sebagai berikut.
a. Hikmad
Suasana yang hikmad dapat dirasakan pada saat pertemuan di
Sitinggil Binartatra dimulai. Saat Prabu Puntadewa masuk bersama
dengan keempat adiknya, semua orang yang sudah berkumpul di situ
mulai diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh ratunya. Pada
lakon ini terdapat pada adegan pertama. Penyebaran pathet pada
suasana hikmad terdapat pada pathet nem.
Seperti kutipan di bawah ini.
…wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah. Pocapa tuking titiwancine sang nata arep sanabda, songsong kencana, mijil saking kedhaton byar tindho kumelating ratih. Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga paran sabda nata ngangseg ngge nyungadep. Kepireng suwara kang
101
ompyan gemuruh ora mantra-mantra para kawus madhong candrane lir negara keprabon pangramuk saka mancanegara nggih kanca jagading dhadha maju sag seg sag seg sateguh.
‘…sudah berakhir candra sampai sini. Telah sampai waktunya sang raja akan bersabda, payung kencana, menyatu dari kerajaan berkilauan sinar lampu. Semua para abdi tanggap dengan tanda dari raja. Terdengar suara yang bergemuruh dicandrakan negara yang terkenal sampai mancanegara, negara tetangga.’
(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)
Kutipan di atas menggambarkan suasana di Sitinggil Binartatra
yang hikmad ketika diadakan pertemuan dengan petinggi-petinggi
Ngamarta. Suasana begitu hikmad ketika Prabu Puntadewa mulai bersuara.
Para abdi mulai menempatkan diri dan bersiap mendengarkan apa yang
dikatakan rajanya.
b. Tegang
Suasana tegang dalam lakon ini dapat dirasakan pada adegan ke-2,
yaitu saat Bathara Kresna marah di Sitinggil Binartatra karena beliau
merasa tidak digugu oleh Prabu Puntadewa. Suasana tegang yang
lainnya dirasakan saat terjadi peperangan, yaitu perang antara Raden
Gathutkaca dengan Raden Antareja pada bagian awal adegan ke-17
dan saat perang antara Raden Antareja melawan Raden Antasena pada
bagian akhir adegan ke-18. Penyebaran pathet dengan suasana tegang
terdapat pada pathet nem dan pathet manyura.
Seperti kutipan di bawah ini.
(RADEN GATHUTKACA MARAH DENGAN RADEN ANTAREJA, TERJADILAH PERKELAHIAN)
102
RADEN GATHUTKACA Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake. ‘Kakang Antareja jangan seenakmu sendiri. Kakang Antareja sampai Karang Kapulutan karena Gathutkaca. Ada kejadian Abimanyu meninggal karena Kakang Antareja. Aku tidak terima.’ RADEN ANTAREJA Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah nggugu karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca. ‘Yang bodoh itu kamu. Semar itu hanya kosong tidak ada apa-apanya. Yang namanya Badranaya itu tidak ada apa-apanya. Orang seperti itu kok dijadikan guru, orangnya blak blak blak. Akan ada kemajuan apa kamu? Jangan pada percaya sama nasihatnya Semar. Tidak ada apa-apanya Gathutkaca.’ RADEN GATHUTKACA Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa. ‘Meskipun seperti itu tidak di sini tempatnya Kakang Antareja tidak nurut ilmunya Semar, terserah, tapi jangan mengganggu siapa-siapa. RADEN ANTAREJA Aku ora nrimakake yen para pepundhenku, ming karo Semar kok dianggep. ‘Aku tidak terima leluhurku, hanya Semar kok dianggap.’ RADEN GATHUTKACA Ayo nutut banda. ‘Kuhajar kau.’ RADEN ANTAREJA Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati. ‘Oo, hajar aku. Siapa yang akan mati.’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 6)
103
Kutipan di atas menggambarkan suasana yang tegang saat terjadi
peperangan antara Raden Gathutkaca dengan Raden Antasena. Peperangan
pada saat itu berlangsung sengit karena Raden Antasena dibantu oleh
Maling Sukma yang berada di raganya.
c. Gembira
Suasana gembira dapat dirasakan saat Gareng, Petruk, dan Bagong
menyanyikan berbagai macam tembang, baik macapat maupun
campursari di Pedhukuhan Karang Kapulutan. Pada saat itu suasana
begitu gayeng, sehingga tidak membuat monoton isi ceritanya.
Suasana tersebut terdapat pada adegan ke-14, dan adegan itu disebut
juga dengan gara-gara. Penyebaran pathet dengan suasana gembira
terletak pada pathet sanga.
Seperti kutipan di bawah ini.
(GARENG DAN BAGONG BERNYANYI BERSAMA) BAGONG
Ee,, lha gebleg. Gambang suling sing nggenah swarane. Eyoo.. ‘Ee,,bodoh. Gambang suling yang benar suaranya. Eyoo..’ GARENG Apik iki Gong. ‘Bagus ini Gong.’ BAGONG Nong ning nung. ‘Nong ning nung.’ GARENG
Ek..ok.. Ek..ok.. ‘Ek..ok.. Ek..ok..’ (Semar Mbangun Kayangan Disk 5)
104
Kutipan di atas menggambarkan suasana yang menggembirakan
saat Gareng dan Bagong bernyanyi bersama. Mereka menyanyi untuk
menghibur penonton dan para pandhawa yang baru tiba di rumah Ki
Semar Badranaya.
4.4 Tema dan Amanat
Lakon berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau
rentetan peristiwa. Jadi, lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau
rentetan peristiwa wayang. Peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang ada
dalam suatu lakon dilambangkan dengan monolog, dialog, dan tingkah laku para
tokohnya. Serentetan peristiwa yang terjadi tersebut pastilah mempunyai tema dan
amanat yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan meneliti struktur lakon
dalam lakon ini, maka dapat diketahui tema dan amanat yang ingin disampaikan
Ki Hadi Sugito kepada penonton.
Lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito ini bertemakan
perjalanan menuju kebenaran. Dapat dilihat bahwa perjalanan Ki Semar
Badranaya untuk membangun mental para pandhawa banyak mendapatkan
halangan. Ki Semar Badranaya ingin pandhawa tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri, tetapi juga mengutamakan kepentingan rakyatnya. Mental atau jiwa
kepemimpinan pandhawa dilambangkan Ki Semar Badranaya dengan nama
kayangan. Tema dalam lakon ini dapat diketahui secara tersirat melalui adegan-
adegan yang terjadi dalam lakon ini.
105
Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok
persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Jadi amanat pastilah
sejalan dengan tema. Amanat yang dapat diambil dari lakon ini yaitu bagi para
pemimpin untuk mau mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau
menang sendiri, dan tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat
bagi rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam
mempertahankan kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena
kebenaran pasti akan menang.
106
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar
Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Menurut jumlahnya, alur yang
digunakan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur tunggal. Alur ini
menceritakan tentang kisah Ki Semar Badranaya yang ingin memperbaiki jiwa
kepemimpinan para pandhawa. Dilihat dari segi prosesnya, alur yang digunakan
adalah alur menanjak (rising plot). Lakon Semar Mbangun Kayangan juga
menggunakan alur maju dan alur lurus, cerita dalam lakon berurutan. Tahapan
alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan
keputusan.
Pembagian pathet dalam lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki
Hadi Sugito ini masih mengikuti pakeliran tradisional yang tediri dari tiga
tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pada lakon wayang ada tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Lakon
Semar Mbangun Kayangan mempunyai tiga pembagian tokoh yaitu, tokoh
protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh durjana. Tokoh protagonis dalam lakon ini
yaitu Ki Semar Badranaya, Raden Sadewa, Raden Antasena, Sang Hyang
Padawenang, dan Bathara Kaneka Putra. Tokoh antagonis dalam lakon ini yaitu
107
Bathara Kresna, Bathara Guru, Bathari Durga, dan Maling Sukma. Tokoh durjana
dalam lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu Bathara Kresna.
Latar dalam lakon ini mencakup tiga aspek yaitu, aspek ruang, aspek
waktu, dan aspek suasana. Aspek ruang atau lokasi kejadian dalam lakon ini
terdapat di Kraton Ngamarta, Sitinggil Binartatra, Kayangan Jonggring Sloka,
Pedhukuhan Karang Kapulutan, dan Pertapaan Kendhalisada. Aspek waktu dalam
lakon Semar Mbangun Kayangan tidak dipaparkan dengan jelas sehingga tidak
diketahui peristiwa tersebut terjadi pada masa apa. Aspek suasana dalam lakon
Semar Mbangun Kayangan berupa suasana hikmad, tegang, dan gembira.
Tema yang diangkat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah
perjalanan menuju kebenaran, seperti dikisahkan dalam lakon ini Pandhawa
dengan bimbingan Ki Semar Badranaya akhirnya bisa menemukan kemantapan
hati dan kebenaran tujuan dari keberadaan mereka di muka bumi. Amanat lakon
Semar Mbangun Kayangan ada dua, yaitu bagi para pemimpin untuk mau
mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan
tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat yang kedua yaitu bagi
rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan
kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena kebenaran pasti akan
menang.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian terhadap struktur lakon Semar Mbangun
Kayangan, ada beberapa saran yang bisa disampaikan, yaitu sebagai berikut.
108
1. Wayang merupakan budaya terbesar milik masyarakat Jawa, tetapi sekarang
generasi muda sudah tidak menyukai bahkan tidak mengenal wayang.
Hendaknya generasi muda ikut mengembangkan dan melestarikan wayang
supaya wayang tetap hidup di lingkungan masyarakat Jawa sampai kapanpun
karena wayang merupakan budaya asli milik masyarakat Jawa.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap lakon wayang ini karena pada
penelitian ini hanya membahas tentang struktur lakon, sedangkan masih
banyak hal yang perlu diteliti dari lakon ini.
109
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Chafid Ibnu. 2011. Lakon Wayang Golek Sunan Kalijaga. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Bastomi, Suwaji. 1992. Seni Dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
K, Ismunandar. R.M. 1994. Wayang Asal Usul Dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize.
Kanzunnudin, Mohammad. 2003. Kamus Istilah Drama. Rembang: Adhigama.
Lestari, Dewi Indah. 2010. Struktur Dramatik Lakon Karna Tandhing Oleh Ki Enthus Susmono. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
MT, Hermawati. 2006. Wayang Koleksi Museum Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.
Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal Usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurlailah. Laelasari. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Pamintosih, Retno. 2010. Struktur Dramatik Wayang Krucil Lakon Jaka Sesuruh. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Prabu (2010). Dunia Pewayangan Yang Berinduk. Online at http://kabar-jawa.blogspot.com/2010/04/dalam-dunia-pewayangan-yang-berinduk.html (accessed 5/03/2011)
Prabu, (2009). Pertunjukan Wayang Sebuah Proses Penciptaan Manusia. Online at http://wayangprabu.com/2009/04/20/pertunjukan-wayang-sebuah-proses-penciptaan-manusia.html (accessed 5/03/2011)
Pujiyati, Nurul Badiah. 2009. Struktur Dramatik Wayang Dalam Lakon Banjaran Sawitri. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
110
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa Makna Dan Struktur Dramatiknya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Soetarno. 2007. Estetika Pedhalangan. Surakarta: Adji Surakarta.
Sujamto. 1992. Wayang Dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Susanto (2009). Analisis Struktural Cerkak. Online at http://pendekarjawa.wordpress.com/2009/05/06/analisis-struktural-cerkak-%E2%80%9Cbecak%E2%80%9D-karya-budi-susanto.html (accessed 5/03/2011)
Teeuw. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Waluyo J, Herman. 2003. Drama Teori Dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
111
NASKAH LAKON SEMAR MBANGUN KAYANGAN OLEH KI DHALANG HADI SUGITO
Disk 1 Pathet Nem Jejer Kraton Ngamarta (Janturan) Lega donya lila sekaring bawana. Agung den nya paring dana anggeganjar saben dina. Hong ilahing, hong ilahing awit nomas tu purnama siden. Mastu silantiwan jagad karana siran tandha kawisisan wibisana sana sinawung langen laba estu maseh lestantun binantur tutur katula tetela mrih para kirabdya. Winisuda treh kang dinuma dama winursita upama paramasegara tumying jaman purwa winarditan pangayun pelambang, angayun pelambang matumpa-tumpa ingkang rinengga panggung panggeng panggung gung sang murweng tata. Nenggih ingkang rinuweng gupita inkeng kaeka adi dasa purwa. Eko wilangan sawiji adi dasa wilangan sepuluh purwa kawitan senadyan tan upaya. praja sewu sangang atus sadasa satus datan nyata ingkeng kinarya purwaning kandha ing latri punika anyandra adeging pagelarang agung kraton ngamarta. Yo kraton ing indraprastha uga sinebat kraton batanakawatca yo negara mrentani. Narman niki bebuka wurciting kawi pawartaning tumekeng mancanegara. Yen ing kraton ngamarta pancen punjung pasir loh jinawi gemah ripah tata karta raharja. Werdine pancen dawa punjung dhuwur upama cinengkala dawaning kraton tangelamun. Pasemone pancen dawa punjung pocapane, dhuwur wibawane, dawa jajane, dhuwur kawekasane, padhang obore, dhuwur guguse. Pasir samudra wukir gunung nyandra tata rengganing kraton kalakan arga ngananken wana tuwin pasabinan. Ngiringaken pategalan tumekeng tepining benawi ngayonaken bandar ageng. Senajan ta kathah titah dewa ingkang sinengga pertiwi binayungan winangun kapiting samudra nanging candraning dhawuh samudra ing kraton ngindraprastha tetela kathah kawula-kawula kang sami anggana raras. Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi, mapan siti ketumpangan wareh apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining tembung murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula kang sami among tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal yen negara dadi pikuwat saka guruning negara. Werdining gemah lakuning para sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet datan wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing ngamarta saengga dugi mancanegari pranggene datan wonten sambekala. Candrane hanglur pepindhaning kerta kang milih tanpa kendhat. Wonten krukubang kraton ing mrentani kawestara jubel katekan titis yen saknyataning bumi ngamarta ta jembar, nanging ketingal rupak merga saking
112
kathahe panguwasa banjur katon jejel uyel-uyelan. Ewa semana datan wonten tengah rumangsa kacingkrangan gesahipun mracitani kalamanta agung dananing nata kathah kawula mancanegari kang sarwa ndherek gesang yen kadulu seka purwakaning den nya papa sudra. Nanging dat kanggo rasa welas pinaringan bumi magersari ingkeng datan sepinten jembaring bumi nanging nyatane kinarya gesang saged merta jati-jati tun mulya tata titi tentrem. Upama ta kinarya among tetanen kaya bisa nandur debog peputu cindhal kencana kathah kang sami suka ngingu rajakaya maesa, lembu,kambangan, ayam, uga mendo sakpiturute. Datan wonten kang cinenthangan datan kang wonten kangge ngandhang. Yen wengi wangsul ing papan padunungane dhewe-dhewe. Ewadene sepi lakuning angkar datan wonten ingkang kelangan senajan ta kathah wilangane. Para kawula ing ngamarta deneh kapitadosanipunpranggene dene manunggal tekade amayu hayuning negara sakyek saeko praya tan wenten kang wrengkang marang daling narendra. Ora mokal kathah para satul-satul sekti saking manca negari sing isoh mundur ing jaman melayu senajan ta. Kathah para wadyabala nantang wenten wani manjing wonten kukuban kraton ngamarta malah ngondhangaken yen kraton ngamarta satumara satumati jalma. Gawat kaliwat wingit kepati-pati kang minangka candrane iwen kang miber ngubengi njungkel kapisanan luntak ludara sela margarahayu. Para raja maharaja, para ratu maharatu ingkang sami teluk kang tanpa kerana karembaging pancakara saben kalawanci atur blebet timah glondhong pengareng-areng, peni-penira raja peni jur bakal dadi. Tumpraping tata gelar ratu pingsusun wigatos yekti kayungyun marang kautamaning narendra ingkeng pantes minangka dadi keblating para raja. Punggul semanten, rerengganing kraton ngamarta kondhang pocapa ing lenggah wonten bampar kencana. Kalamun kacandra dasanamaning ratu dasa wilang sepuluh, nama werdine kasih, narendra gung binantara ingkang jejuluk prabu puntadewa ya prabu darmakusuma, darmaputra, ya darmamangsa, ya prabu yudhistira, pandha dwija kangku. Senajan ta narendra darbe watak brahmana nyingkur marang bandha perbaya datan keli jembar ciuting kadonyan. Ingkeng den penggalih kejaba laku ingkeng utama minangka kanggo dasar ndeyudya, sowan ing ngayungan pada mbenjang akhir tembe. Nuhoni mangan pusaka ngamarta jamus kalimasada, ngerti isining pusaka kasebat ateges urip bisa mangerti keblating pati, tangeh lamun yen ta bakal tumindak angkara murka. Mula senajan ta kathah para ratu datan wenten kang pada marang narendra ngamarta datan menggalih edining busana, datan menggalih marang nikmating kamukten. Nakmus semanten nggadampar kencana leme kasut prangundan. Pinaringan narendra cinawing agung tirta kasturi larang-larang ganda katuring samikara kang ngawanda mrataning para kadang lan para kawula kang wenten tri pangan kila. Mengkeraken para adi bedaya jaka palara-lara ingkang sami ngampil bokor kencana. Ora mantra-mantra entuk kutipan marcapada pindesanging darma lan pakehing para widadari. Rikala seniwaka ingkang sinuwun datan menggalih marang edining keprabon narendra ingkeg tansah dening penggalih tata titi tentreming para kawur. Kathah ingkeng nuju wonten pasowanan nanging datan wenten ingkang kepareng ayun.
113
Kejawi ngereng kekalih nunggal rama sanes ibu kekasih raden nakula wil raden sedewa. Senajan ta kadang nunggal rama sanes ibu natkala lairipun ingkeng rayi kembar sareng sedanipun ingkeng rama lan ibu. Ora mokal ageng katresnanipun sang nata kaya dinarengku kadanga pribada senajan ta ingkeng rayi kekalih darbe penganggep yen ta ingkeng raka nata ngamarta ingkang minangka gumantining sudarma. Andeg umar telu ambeber poca pisahsah sarekma. Niki pocapa kang kepareng ayun ingkeng rayi pamadyaning pandhawa ingkeng lenggah wonten kasatriyan madukara kekasih raden janaka, ya raden pamadya, ya raden arjuna, kondhang ngala ali danangjaya ya walikiti, ya wijanarka, ya bambang permadi, kathah kekasihipun. Mula kondhanging raden janaka iku lananging jagad, nanging ampun ngantos kelentu penampi. Senajan ta lananging jagad, raden janaka mboten kok merga ditresnani sekathahing para wanodya nanging raden janaka bisa manjing marang jagad tetiga, ya jagad rame, jagading kadewatan, ya uga bisa ngrawuhi jagading jim. Natkala semana wus nate minangka senopati ing andeku nggenku sowan, nglangen dhadha nganglangaken jangga muka yayah konjem-konjem nyata. Nenggih pocapa kang nembe kewala rawuh pangayoming para pandhawa, ingkang minangka dados suking para kadang narendra dwarawati ya narendra dwaraka, prabu sri bathara kresna ya harimurti, ya sasra sungkana, ya padmanaga. Ingkang sinuwun pirsa kadang werda rawuh gupuh nggih ngacarani kinurmatan lenggah sajajar wenten singgil binatunaruta. Ingkeng nenggih kananira jumeneng sentana ngamarta satriya jhodipati ya satriya ngagul pawenang. Raden Harya Werkudara ya Raden Bratasena ya raden wijasena dhandhunwacana, senopating kraton ngamarta kondhang pinunjuling kangapak-apak. Ingkeng dados pangrasaning dewan pangarsa pepatih ing ngamarta, patih andakawana. Ingkang tinanggenah mranata para narwaja manggaling kraton ngagelar pindho jaledri duging dharata. Sirep kang wantun sami sambowo-bowo hamung kapiwarsa pating grendeng pating klesik candraning kaya jatmaka pikantuk pusaka golek kencana. Ingkeng wenten sakjawining abdi dalem gemblak geni ingkeng wasan driya jalagra blandhong kanca prabangsa kekancan. Ingkeng sami kekandhan dhawuhing pating jlenggring.
(Suluk) Wus paripurna candraning ingkeng pinuju saknewenggah. Pocapa tuking titiwancine sang nata arep sanabda, songsong kencana, mijil saking kedhaton byar tindho kumelating ratih. Sedaya para naka padha tanggap ing sasmita daya uninga paran sabda nata ngangseg ngge nyungadep. Kepireng suwara kang ompyan gemuruh ora mantra-mantra para kawus madhong candrane lir negara keprabon pangramuk saka mancanegara nggih kanca jagading dhadha maju sag seg sag seg sateguh.
114
ADEGAN 1 (PERTEMUAN PARA PEMIMPIN NGAMARTA BESERTA PETINGGI NGAMARTA DI SITINGGIL BINARTATRA) PP : “Niwang sukma sasmintaningsun, mangke ta kadang kula werdaka Kaka
Prabu. Nyuwun pangapunten ngantos karunden wekdal angger kula ngacarani rawuh jengandika. Sasampunipun prayogi lenggah sumene ing penggalih ripat duka ngaturaken pambagya panakrama rawuh jengandika Kaka Prabu Bathara Kresna.”
BK : “Niwang sukma kang linuwih. Nuwun kula tampi tangan kekalih katedha kalingga murda. Pangandikanipun yayi ingkang rumentar dhumateng Raka Para Dwarawati. Upami yayi kelos kadang kula ingkang werda. Kula cancang puceng weni kasamprangan widangan dhumawah pangkon ama wahana bawa leksana. Nanging kosok wangsulipun inggih kadang raka werda kula petelaken wonten dhadha kendel sami-sami. Nampi pamujinipun yayi winantu karaharjan nir sambekala, yayi prabu.”
PP : “ Suku binagih sewu Kaka Prabu. Kula suwun sekecakna anggenipun lenggah.”
BK : “ Kados kirang prayogi yayi Samiaji.” PP : “ Sena, Janaka, lan Kembar ora tak wiji-wiji, aturna sungkem sira kadang
werda ingkang nembe rawuh.” RW : “ Kula ngestokaken dhawuh kepareng munggel pengandhe dalem, Kaka
Prabu.” BK : “ Tak lilani yayi.” PP : “ Ing ngaturaken sembah pangabekti konjuk saandhape pada Kaka
Prabu.” BK : “ Kaipe dana wikara tak tampa ngaturake sungkem marang pun kakang
pangestunipun kakang tumrapa marang si adhi.” RW : “ Kula cancang puceng weni. Clidheng kakangku, sembahku
tampanana.” BK : “ Iya Dhimas Werkudara tak keterke ana dhadha, kendela padha-padha.
Astutinipun kakang tampanana.” RW : “ Iya, tak uguli.” RJ : “ Ingkeng rayi ngaturaken pangabekti Kaka Prabu.” RN, RS : “ Kula ngaturaken mahabekti Kaka Prabu.” BK : “ Dhimas kembar tak tampa atur sungkem marang kadang werda.
Pangestunipun kakang tumrapa marang jeneng para yayi.” RN : “ Kula sumedik ana nur cahya. Kepareng minangka jejibahan
saklaminipun Kaka Prabu.” PP : “ Kakang Patih Andakawana. Ingsun mundhut kabeh para kawula kang
ana pasowanan dhawuhana lerem sakwetara. Ingsun bakal sakrembug imbal wacana marang Kaka Prabu.”
PA : “ Dhuk, sesembahan marcapada Sinuwun. Lajeng kula sumanggaaken wonten ngarsa dalem. Keparenga tumuli imbal wacana ngantos paripurna. Ing ngabdi ndherek midhangetaken lan tansah sumedhung dhawuh. Mbok dipuntimbali sungkem pangabekti konjuk saandhap pada.”
115
PP : “ Iya ingsun tampa. Pangestu ingsun tampanana.” PA : “ Nuwun sanget kapundhi.” PP : “ Kaka Prabu, kadang kula werda.” BK : “ Nun wonten paring pangandika ingkang adawi, yayi.” PP : “ Natkala ari kapengker ingkang rayu utusan gandhek, sekembaran kados
ngeten Kaka Prabu angrawuhi ing pepanggihan wekdal ing palenggahan punika. Mbok menawi wonten kalepatanipun ingkeng rayi, ing atasipun kadang taru ingkang anggadhahi watak besukra, sedaya menika wau kula suwunaken pangapunten wonten ngersaa duka Kaka Prabu.”
BK : “ Sakgluguting kolang-kaling juwawut pinarsasa. Mboten wonten panggaraita ingkang mekaten. Kadang raos manahipun kakang kadhawuhan kempal wonten sitinggil binartrata. Ingkeng mekaten pun kakang badhe kepengin mangertos menapa ta duhkitaning penggalih tangeh lamun yen tan mengkuku gati pepanggihan ageng ingkang mekaten.”
PP : “ Kula nuwun inggih yen saking para raka namung sapalananging ugi andadosaken panggraita ingkeng ageng.”
BK : “ Menapa kepareng yayi medharaken?” PP : “ Rikala semanten kula sakadang nampi dhawuh saking eyang prabu
matsyapati ingkeng isinipun kabeh putu-putuku pandhawa senajan ta kaya ngapa muktimu, kaya ngapa peparinging para dewa kang para tampa, nanging poma-dipoma aja nganti kelimput marang leluhurmu ingkeng padha, Semar ana percandhen Giri Sarangan. Ing pangajab kula sakadang kadawan mulyakaken percandhen Giri Sarangan, nanging ndadosna kawuningan aurating manah menapa menika pancen cobining ingkeng kuwaos? Dene percandhen sarangan dipunmulyakaken enjing, sonten risak, dipundandosi sonten enjing sampun dados karang aban. Ingkang mekaten mbok menawi pancen kula lan kadang sedaya kirang prihatos. Mbok menawi wonten kalepatan keparenga mboten ketang namung saklimah Kaka Prabu kula aturi medharaken menapa ta lepat kula lan menapa ta kekirangan kula sakadang, Kaka Prabu.”
BK : “ Kepareng Kakang badhe medharaken bab menika yayi.” PP : “ Kula nuwun inggih Kaka Prabu.” BK : “ Menawi menggah saking raos prihatosipun para pandhawa, menggah
saking raos prihatosipun para pandhawa sampun mboten kekirangan. Gandheng ingkang Semar wonten percandhen menika, sedaya para leluhur ingkeng langkung ageng tanwasanipun menapa yayi sampun kabiyantu dhateng para pepundhen?”
PP : “ Sampun Kaka Prabu.” BK : “ Sepisan menika angka kalih. Pusaka-pusaka ngamarta menapa wonten
ingkeng mendra?” PP : “ Yen ngendikanipun rayi kados mboten wonten. Werkudara, pusaka
Jodhipati kepiye?” W : “ Isih nglumpuk.” PP : “ Janaka kepiye pusakamu?” RJ : “ Kados mboten wonten ingkeng gumingsir, Kaka Prabu.”
116
PP : “ Lha menika sedaya taksih kempal, Kaka Prabu.” BK : “ Ingkeng wujud pusaka menika mboten namung wujud wesi aji ning
senajan ta jalma kalebet dados pusakaning pun para pandhawa. Kaki Semar Badranaya, senajan ta Kaki Semar setunggalipun titah marcapada nanging menika pamomongipun ingkang sami semare wonten percandhen. Upami sedaya para pinisepuh sampun paring pangestu, nanging yen yayi dereng sarembag kaliyan Kakang Semar menika dereng sampurna.”
PP : “ Yen Semar menika ingkang kagungan Dhimas Janaka. Kula mboten saged imbal pengendikan jalaran ingkang saged ngandhani inggih Dhimas Janaka.
RW : “ Janaka sok sulaya karo Semar.” BK : “ Apa tau ta Dhimas, cilik nyendhu Kakang Semar, gedhe duka.” RJ : “ Mboten nate.” RW : “ Yen lali ora kok bayar.” RJ : “ Malah dereng dipunlampahi pedamelan sampun nyuwun rumiyin. “ PP : “ Nek ngono Semar ki ya telaten banget.” RJ : “ Inggih Kaka Prabu.” RS : “ Kula kepareng rayi munjuk atur.” PP : “ Piye Sadewa?” RS : “ Gandheng Kaka Prabu sampun ngendikaken bilih Kakang Semar
ingkeng anjalari randhatipun para pandhawa mulyakaken percandhen, langkung prayogi tinimbang dados perang cucukan ingkang kathah-kathah mindhak mboten sae, dipuntimbali kemawon. Ingkeng rayi mboten kawratan nimbali Kakang Semar Badranaya.”
RW : “ Ra patek percaya. Saiki ala becik, bener luput, sing nduwe kon mangkat.”
BK : “ Dhimas Arjuna, siyaga tata-tata Kakang Semar ditimbali, dijak rembugan, mumpung
Iki para kadang padha kumpul.” RJ : “ Ngestokaken dhawuh kakang Prabu.” PP : “ Ya coba ta dhimas, enggal timbalana.” (Suluk) Sedem jroning pasowanan wadya gung tanpa sabawa.... Kapraban sanelindratama mangun-mangun kawuningan lir wusing duka cipta....Berbudi mandana raras....Rikala semana nggen nyuimbal pangandikan dereng ngantos paripurna. Ingkeng sinuwun wus dhawuh marang Raden Janaka kinen nimbali Ki Lurah Semar Badranaya ewadene dereng ngantos Raden Janaka lengser anglenggaha kayut minangka wardi. Yen jaman semono iku ujare cangeketca. Wardi ujare cangaganten. Senajan ta kecoh dereng manjing bantala ngantenana, durung abang lathine katungka gegere njaba ngarsa tangkeping wuri. Nenggih pocapa ingkeng mancat pancawerdi wis nglongok sitinggil. Utusan seka padukuhan Karang Kapulutan Ki Lurah Kanthong Bolong peper-peper manggih kadi mandi krama.
117
Disk 2 ADEGAN 2 (PETRUK MENGHADAP PRABU PUNTADEWA UNTUK MENYAMPAIKAN PESAN AYAHNYA YAITU MEMBOYONG PANDHAWA KE KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBANTU KI SEMAR BADRANAYA MEMBANGUN KAYANGAN) P : “ Ing ngarsaning sinuwun. Ha..wo..nok..no..e... nuwun kula tampi mawi
tangan kula kalih pengendika dhawuhipun sinuwun ingkang rumentar dhateng adidasat kula. Nampi pangestu dalem ingkang winantu karaharjan nir sambekala. Sembah bekti kula konjuk wonten ngarsa dalem Gusti Nata Agung.”
PP : “ Iya ya ingsun tampa, Petruk. Pangestu ingsun tampanana.” P : “ Inggih. Kula pundhi mugi dadosa jejimat, Gusti.” PP : “ Petruk padha Basuki.” RN, RS : “ Kowe padha Basuki, Petruk.” P : “ Oo,inggih. Pangestunipun Ndara Kembar kados wilujeng lampah kula.
Sembah bekti kula konjuk, Den.” RN : “ Iya Petruk, tak trima.” RS : “ Iya Petruk, tak tampa.” BK : “ Hey, Petruk, padha Basuki!” P : “ Menika kados Gusti Nata Agung Dwarawati.” BK : “ Iya.” P : “ Pangestunipun Ndara ndadosaken wilujeng lampah kula. Dangu mboten
nate pinanggih. Sembah pangabekti kula konjuk.” BK : “ Iya, tak tampa.” RJ : “ Petruk kowe padha slamet.” P : “ Inggih, pangestunipun Ndara Janaka wilujeng.” RJ : “ Kowe kok ra tau sowan napa sebabe?” P : “ Nganu, wonten pedamelan piyambak, Den.” RJ : “ Kok banjur nglirwakke karo aku.” P : “ Dospundi?” RJ : “ Kok nglirwakke karo Janaka.” P : “ Ah, mboten nggih. Nggih karana wekdal menika ingkang dipupun
padosi menika pedamelan, Raden. Gandheng Ndra prei, kula pados pedamelanipun pundi ingkang nimbali kula lampahi.”
RW : “ Petruk padha slamet.” P : “ Inggih, pangestunipun Ndara Werkudara wilujeng.” RW : “ Wis mari durung sing edan?” P : “ Niki malah meh ajeng banget.” PP : “ Sawise lenggah kanthi prayoga, mbok menawa ana wigati, enggal tuli
matura apa diutus karo Kakang Semar Badranaya? Apa merga saka tuwing nalarmu pribadi?”
P : “ Saksampunipun tuwing ing penggalih, kepareng adi munjuk atur wonten ngarsa Kanjeng Dewa Aji mbok menawi wonten ketlangsunipun atur kula nerak uba sita ingkeng mboten kerana kula jarag, kula nyuwun
118
lumunturing gung pangaksami mawantu-wantu awit kula namung ing atasipun tiyang alit, derajat pangkat kula.”
PP : “ Ya wis ora dadi apa Petruk.” P : “ Sowan kula menika estunipun ingkang sepisan ngaturaken sungkem
bekti kula tiyang sakkeluwarga, anak bojo kula. Ingkeng angka kalih dipunkengken bapak, yen cara piyayi ngoten kula pun utus Kanjeng Rama. Ning gandheng namung Semar, kula pun kengken bapak tinanggenah ngaturaken sungkem wonten ngarsa dalem Kanjeng Dewa Aji.”
PP : “ Ya wis tak tampa Petruk, Nak.” P : “ Menawi sampun katampi mbok bilih wonten longgaring penggalih. Ing
palenggahan menika sinuwun sakadang kalebet Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara kembar dipunaturi rawuh wonten Karang Kapulutan kanthi ngampil pusaka tetiga, sepisan Kalimasada Jamus Kalimasada, ingkeng angka kalih kagungan Ndalem Tumbak Karawelang, ingkeng angka kaping tiga kagungan Ndalem Songsong Tunggulnaga awit minangka kangge sarana bapak anggenipun badhe mbangun kayangan.”
PP : “ Sing bakal dibangun kayangan ngendi tah?” P : “ Kula mboten ngertos.” PP : “ Kaka Prabu.” BK : “ Dospundi yayi?” PP : “ Menika Petruk dipunkengken Kakang Semar. Kula sakadang supados
tedhak wonten Karang Kapulutan jalaran Kakang Semar badhe mbangun kayangan.”
BK : “ Kepareng pun Kakang kepanggih kaliyan Petruk.” PP : “ Kula sumanggaaken.” (Suluk) Seseking renggana, renanggana digelar ma gaweya gelar wus rowang-wang...oooo... Lir makutha majur jungkung. Tidhangna sorati mantra, sorati mantra. BK : “ Petruk.” P : “ Nun.” BK : “ Aku tak takon karo kowe.” P : “ Inggih. Mundhut pirsa dospundi Gusti?” BK : “ Kok dadi Kakang Semar matur lantaran saka aturmu marang yayi yen
para kadang diaturi kumpul perlu mbiyantu le bakal mbangun kayangan. Aku tak takon yen Petruk ngerti sing bakal diucaprasani mring Kakang Semar kuwi kayangane sapa?”
P : “ Lha kula mboten dhong, niku malahan. Kayangan pundi ingkang badhe dipun bangun, mboten ngertos. Wong nyatane mboten wonten hubungan kalih dewa niku.”
BK : “ Lha iki ngene Petruk. Sing dijaga kuwi tembe wurine. Para kadang bakal nampa sesiku kang abot. Mula dina iki kowe baliya, matura karo
119
Kakang Semar Badranaya, yen bisa endhakna, aja dibacutake nggone bakal mbangun kayangan.”
P : “ Ngeten Gusti, janipun niki wau kula saking ngriki terus dipunutus bapak supados sowan wonten Dwarawati. Dene panjenengan kalenggahan wonten mriki, atur kula wonten ngarsa dalem mboten wonten bentenipun kaliyan ingkang anggen kula matur wonten ngarsa dalemipun sinuwun ing Ngamarta. Lha yen niku kantun kersa rawuh menapa mboten. Yen kersa, sukur. Ngombyohi sediyanipun kakekne. Ning yen mboten kersa mboten dados menapa. Yen panjenengan dalem ingkeng sinuwun paring dhawuh wonten ngriki ingkang isinipun ngaten, kula kepeksa mboten saged nampi jalaran kula wonten ngriki menika sowan wonten ngarsa dalemipun sinuwun Prabu Puntadewa mboten wonten Dwarawati. Yen wonten Dwarawati, panjenengan dalem paring dhawuh dhateng kula, mangkat, bali. Ora ketang nggandhul-nggandhul truk. Ning gandheng wonten ngriki kula dereng nampa dhawuh, kepeksa kula mboten saged nampi ngendikanipun sinuwun.”
BK : “ Suwaramu kok nyangklak temen. Aku iki Kresna.” P : “ Lha inggih, lha. Kula nggih mboten ngarani njenengan Gareng,
mboten.” BK : “ Kok kowe dadi nampa gunemku kok sepelekke.” P : “ Mboten kok ateges nyepelekaken, ning urute ngoten lho Gusti.” BK : “ Aku iki pengayom Ngamarta.” P : “ Lha kula niki nggih panitiyane Ngamarta. Pada dene panitiya kok sami
sureng. Abot kula kaliyan sampeyan. Kula lak mlebu metu mlebu metu.” BK : “ Lha kok dadi Petruk wani karo aku. Lagek iki aku diwaneni karo
Petruk.” RS : “ Kaka Prabu.” PP : " Apa Sadewa?” RS : “ Nuwun sewu keparenga Petruk kadohana medal njawi rumiyin, mangke
dipunrembag ingkang sae-sae kemawon. Yen ngantos menika mangke kedangon tundhonipun badhe ngucemaken asma Kaka Prabu.”
PP : “ Petruk.” P : “ Wonten dhawuh.” PP : “ Jengistra, metua njaba dhisik. Sakpungkurmu bakal tak rembug kang
dadi ngendikane Kakang Semar Badranaya.” P : “ O, inggih. Yen ngoten kepareng pamit medal njawi Sinuwun.” PP : “ Sing prayitna, ngati-ati.” P : “ Ndara kembar sekecakaken.” RN : “ Iya Petruk.” RS : “ Iya Petruk.” P : “ Ndara Janaka, Ndara Werkudara, sekecakaken lho ya.” RJ : “ Iya Petruk.” RW : “ Iya Petruk.” P : “ Reka Patih, amit sewu kula langkung.” PA : “ Iya Petruk.”
120
(BATHARA KRESNA MARAH KARENA MERASA DIRINYA TIDAK DIANGGAP DALAM PERTEMUAN AGUNG DI SITINGGIL BINARTATRA) BK : “ Nuwun sewu yayi, gandheng wonten kedadosan kados mekaten,
sakmenika ingkeng raka badhe nyuwun pirsa. Yayi taksih badhe ngginaaken dhatenging ingkeng raka menapa mboten? Yen pancen sampun mboten ngginaaken dhatenging raka, mboten perlu kula kempal wonten Ngamarta.”
PP : “ Dhuh, Kaka Prabu, banjur kados pundi pun duka sesembahan kula, banjur kados pundi kaka prabu minangka dadosipun para pandhawa? Lajeng menapa dhasaripun?”
BK : “ Petruk matur yen Kakang Semar bakal mbangun kayangan. Kayangan menika ingkang kagungan dewa. Leres Kakang Semar menika titisane jawata, nanging saksampunipun Kakang Semar medhak dhateng marcapada, menika sampun kalebet titah sowantah. Yen jawata marengaken Kakang Semar nggandheng panyuwun mekaten, para pandhawa supados mbiyantu ngrencangi ngrantos anggenipun badhe ambabar kesaenanipun Kakang Semar. Kosok wangsulipun yen jawata mboten marengaken para pandhawa temtu badhe dipunubet dhateng jawata. Pramila saking penulu mekaten kalawau, yen pancen yayi awrat dhateng aturipun Petruk mboten perlu ngangge Kresna.”
PP : “ Kula sumanggaaken wonten ngarsa duka Kaka Prabu.” BK : “ Inggih ampun ngendika mekaten. Cetha yen yayi menika taksih
ngginaaken pun kakang, pun kakang nyuwun pamit, Petruk badhe kula wangsulaken.”
PP : “ Kula suwun ampun ngantos wonten kedadosan klenta klentu.” BK : “ Mboten yayi. Yayi Arjuna.” RJ : “ Wonten pun dhawuh.” BK : “ Pun Kakang dherekaken.” RJ : “ Sendika. Nyuwun pangestu pun Kaka Prabu.” PP : “ Sing ngati-ati Janaka.” (PRABU PUNTADEWA BERKELUH KESAH DENGAN ADIK-ADIKNYA) PP : “ Kadangipun Kakang, Dhimas Werkudara lan Dhimas Sadewa.” RW : “ Mbarep Kakang, apa?” RS : “ Nuwun wonten paring pangandika dhawuh Kaka Prabu.” PP : “ Rumangsa peteng jagadipun kakang. Ana kedadeyan ingkeng kaya
mengkono ing atas. Kaka Prabu kaaturan rawuh supaya bisa ndandani suwasana kang rusak, gawe kaanan kang peteng, lha kok dadi malah ana kedadeyan Kaka Prabu ra cocok lan ora bisa jumbuh marang kekarepane Kakang Semar.”
RW : “ Yen aku babar pisan ora ngerti. Saiki takona karo sadewa, adhiku. Iki ta senajan meneng-meneng bocah wis waspada.”
PP : “ Sadewa.” RS : “ Nuwun paring pangandika.” PP : “ Yen saka panemumu kepiye yayi?”
121
RS : “ Yen ingkeng yayi nggadhahi atur dereng kantenan yen Kaka Prabu menika wau leres, dereng kantenan yen Kakang Semar menika lepat.”
PP : “ Kok isa matur kaya mengkono?” RS : m PP : “ Kok ya ora mau-mau.” RS : “ Kula badhe matur ajrih kaliyan Kaka Prabu Dwarawati .” RW : “ Lha iki.. saiki ngerti yen Ngamarta jane ana bocah pinter ning ora
ketara, durung disekseni wong akeh. Iki bocah pinter tak kandhani.” RS : “ Yen kula menika estunipun mboten saged menapa-napa Kangmas,
sepinten kasemparahanipun namung kadang tarno ingkeng ragil. Inggih mangka kula niku mboten nate nyaketi piyantun ingkeng wicaksana, mboten nate meguru. Benten yen kaliyan Kakang Mas Werkudara, sakora-orane muride Durna.”
RW : “ Wis, gek terus-teruske.” PP : “ Saiki mengkene wae Dhimas, amrih prayogane pun Kakang kudu
kepiye?” RS : “ Sakmenika kula dherekaken kondur kedhaton. Nanging konduripun
Kaka Prabu sakadang nyaketi pesareanipun para pusaka. Yen pusaka menika mangke nampi ciptaning manah pangengenipun cipta raosing manah kula sakadang, jengkar saking papan palenggahan papan pasareanipun ateges pusaka menika mbiyantu Kakang Semar. Wajibibun para kadang kedah ndherek pusaka menika. Nanging menawi pusaka menika mboten nampi ciptaning raos kula sakadang, mboten jengkar saking pasareanipun. Mracihnani yen Kakang Semar ingkang lepat.”
PP : “ Yen mengkono, ayo enggal kondur kedhaton merpeki ana ing papan gedhong pusaka.”
RS : “ Kula dherekaken kaka prabu.” RW : “ Iya, tak dherekake.” PP : “ Kakang Patih Andaka, ayo metua ning njaba mangsa bada budhaling
para wadyabala anjaga negara sing tertib aja nganti ana dom sumurup ing banyu.”
PA : “ Kula ngestokaken dhawuh kaliyan nyuwun pamit medal njawi Sinuwun.”
PP : “ Aja kaya bocah cilik.” (Suluk) Purna pangandikan sabda pandhita ratu, sebda pancap pandhita temen ratu. Pangandikaning pandhita, sabdaning nata, kalamun ta wit-witan ana bedane. Pandhita hangabda tan kena wali-wali yen nalendra, anyabda rata tiyang saknagari. Yayah tirta Kresna kang ancang seta datan lumebek mangsini. Kondur kedhaton kadherekaken para kadang, para abdi bedaya. Sinawang saking pinandra dewa kaliyan widadari. Ireng-ireng kembang bopong sarimulat. Kembang teratai bangrera yungeyan lumele rumambat pepuletan. Lir kembang karani sungsang.
122
ADEGAN 3 (PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIK-ADIKNYA TELAH SAMPAI DI TEMPAT PENYIMPANAN PUSAKA) PP : “ Kadangipun Kakang, yayi sadewa.” RS : “ Kula nuwun wonten paring pangandika Kaka Prabu.” PP : “ Iki ana ngarepan iki papan pesareyane pusaka Ngamarta kang kasebut
ing ngarep mau.” RS : “ Nuwun ingih, ingkeng rayi sampun mangertos.” PP : “ Banjur seka pamrayogane si adhi njuk kepiye?” RW : “ Nganggo cara apa.” RS : “ Mangga kula aturi sesarengan nyuwun dhumateng ingkeng kuwaos
mugi-mugi pusaka menika mangke saged anggraita menapa ingkeng dados panuwunipun Kaka Prabu lan panuwunipun ingkeng rayi tetiga.”
PP : “ Banjur matur kepiye?” RS : “ Nyuwun supados mangertos awon saenipun Kakang Semar lan saged
ngertosi goroh temenipun Kakang Badranaya.” PP : “ Upamane mengko pun kakang sakadang nyuwung marang jawata yen
katarima pusaka mbanjur jengkar saka pasareyan.” RS : “ Mekaten.” PP : “ Menawi ora katarima ateges Kakang Semar ingkeng luput tingkah
lakune.” RS : “ Kaluhuran Kaka Prabu.” PP : “ Ayo Dhimas Sena bebareng manekung marang jawata ngagem
kapercayanane dhewe-dhewe.” RW : “ Iya mbarep kakangku.” RS : “ Kula dherekaken Kaka Prabu.” (Suluk) Nalendra kang ambeg narutama...ooo... lega donya kawisring bawana..ooo.... Angesthi panglengening cipta. Pandhi tan mengkono pocapa. Rikala ingkeng sinuwun sakadang manekung maring ingkeng maha kuwaos angginaaken pangacipta, panuwun tinampa marang dausung katarima bisa ngawuni-ngani tumindake Ki Semar Badranaya. Paripurnaning panganing, paripurnaning cipta, pusaka saknalika murca saka ing papan padunungan. Jamus pusaka Ngamarta, Songsong Tunggulnaga, lan Tumbak Karawelang mendra saka papan panguningan tumuju ing pedhukuhan Karang Kapulutan. Angesthi dupah silaswara...oooo... Ngengetana risang Puntadewa...ooo.... Doaning pamujan...eee... (PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIK-ADIKNYA MELIHAT PERISTIWA TERBANGNYA PUSAKA-PUSAKA DARI TEMPAT PENYIMPANAN) PP : “ Adhinipun Kakang, yayi. Ora ngira babar pisan yen bakal kedadeyan
kaya mengkono.” RW : “ Aku gumun lha kok pusaka banjur oncat temenan. Iki oncate ana
ngendi Ragil?”
123
RS : “ Sangking pandugi kula mboten lepat temtu badhe mlebet wonten pedhukuhan Karang Kapulutan.”
PP : “ Yen mengkono prayoganipun kakang sakadang...” RS : “ Kedah rawuh Kaka Prabu.” PP : “ Mbanjur kakangmu Janaka?” RS : “ Mbok bilih menika mangke enget, temtunipun kangmas badhe nyusul
wonten Karang Kapulutan.” PP : “ Oiya. Yen pancen mengkono pun kakang sakadang tumut budhal
sakwise pamit marang mbak ayumu kanjeng ratu.” RS : “ Mangga Kaka Prabu. Ingkeng rayi badhe medal njawi rumiyin. Mangke
saksampunipun, Kaka Prabu badhe kula tututi.” RW : “ Karepmu apa kok ndadak metu njaba?” RS : “ Dhawuh dhateng para putra-putra mbok menawi menika mangke keng
putra Gathutkaca, Antareja kenging pambujukipun Kaka Prabu satemah tega dhateng para panakawan.”
RW : “ Yen pancen kowe mangsa boronga. Ayo mbarep kakangku tak dherekake.”
PP : “ Iya yayi. Nakula siyaga tata-tata sakwise pamit marang mbak ayumu kanjeng ratu.”
RN : “ Mangga Kaka Prabu, kula dherekaken.” (Suluk) Menggyat pada suramapangga, tekaping para pandhawa...ooo... Sumaping pabarisan ronanggana, ronanggana gawe gelar sowang-swang makutha majuru jungkung.. ADEGAN 4 RG : “ Raka Prabu, ingkeng putra nyadhong dhawuh.” RA : “ Ingkeng putra njangkar bumi nyadhong dhawuh. Senajan ingkeng rayi
nyungsun pawarta Raka Prabu.” BK : “ Janaka.” RJ : “ Kula Kaka Prabu” BK : “ Para putra-putra padha nyadhong dhawuh.” RJ : “ Kula sumanggaken wonten ngersa dalem.” BK : “ Gathutkaca, Antareja, Sentyaki.” RG : “ Wonten paring pangandika ingkeng prabu.” RA : “ Wonten paring pangandika ing adhawuh.” RST : “ Jumateng dhawuh Raka Prabu.” BK : “ Sumur nyatpala ana pinggir binartatra. Ingkang padha dingendikakke
para pepundhenmu nggone mulyakke percandhen gagal. Esuk dimulyakke, sore rusak. Sore dimulyakke, esuk ya wis rusak. Bareng ana paniliti kang permati jebul ingkeng mahanani dadi rusaking kahanan iku mau Kakang Semar Badranaya. Wusana, Kakang Semar bakal ditimbali jebul Petruk sowan. Isine Petruk arep mboyong pandhawa. Lha mungguh karepe Kakang Semar Pandhawa supaya mbiyantu nggone mbangun kayangan.”
124
RG : “ Ingkeng badhe pun bangun niku kayangang ingkeng pundi?” RA : “ Lha napa kinten-kinten dewa mboten saged mbangun?” BK : “ Nembe iki lagi ana pitakonan mengkono, ning Petruk kandheg ora
ngerti karepe Kakang Semar. Lha Petruk tak ngendikani akeh-akeh lagi iki mau aku diwaneni karo Petruk. Mula Gathutkaca, Antareja, lan Sentyaki, kowe sing bocah enom bisaa ngrawuhi marang Petruk Kanthong Bolong. Coba saiki Petruk balikna, elikna supaya Kakang Semar gagal nggon bakal mbangun kayangan. Yen pancen manut, sukur binagiya. Yen ora manut, diruda padeksa.”
RG : “ Nyuwun pangestu.” RA : “ Nyuwun pangestu. Kula badhe manggihi Petruk Kanthong Bolong.” RST : “Nyuwun pangestu Kaka Prabu.” (BATHARA KRESNA MENYURUH RADEN JANAKA MENGIKUTI ANAK-ANAKNYA) BK : “ Arjuna.” RJ : “ Kula nuwun paring pangandika.” BK : “ Pun Kakang rada tegel karo Petruk, nanging ing pengangkah pun
kakang ora sumedya arep misahake antarane Semar karo Janaka. Ing pengajab pun kakang kepengen ndandani marang tingkah lakuning Kakang Semar sing analisir seka kautaman.”
RJ : “Kula sumanggaaken Kaka Prabu.” BK : “Lha mula tak dhawuhi, putra-putramu Gathutkaca, Antareja, lan adhimu
Sentyaki, tututana. Ana mogang-mogang mangsa bolong Dhimas ingkeng paring pitutur maring Petruk.”
RJ : “Nyuwun pangestu, Kaka Prabu.” BK : “Sing ngati-ati yayi.” (Suluk) Pocapa nat semana Raden Janaka mengker saking pisowananipun. Ingkeng raka nata Dwarawati, pusaka-pusaka ingkeng wonten ing jumantara, senjata cakra uninga nututi lakuning para pusaka. (PETRUK BERTEMU DENGAN RADEN ANTASENA) P : “Wah, jan kaya ngapa bungah kula. Nembe menika pinanggih ndara
Antasena.” RAN : “Iya Truk.” P : “Kok piyambakan mawon.” RAN : “Kakang Gathutkaca karo Kakang Antareja wis dha menyang.” P : “Lha sampeyan kok mboten tindak?” RAN : “Aku arep mrei.” P : “Oo.. Lak mboten dilereni ta le nyambut gawe?” RAN : “Ora.” P : “Sokur. Jane-janing kendel.” RAN : “Iya. Kowe mau ko endi kok yahene-yahene gak ndang metu.”
125
P : “Nak jane ngoten kula nggih mpun siap-siap lakon sing apik. Ning ingkang dikersaake lakon ingkeng niki kok. Nggih mpun kula kari ndherek mawon wong kula ya isa.”
RAN : “Lha jane nek kowe metu sore ngene iki ya krungu aku.” P : “A..inggih. kula ya ngantek jelehe.” RAN : “Kowe mau ko ndi?” P : “Sangking Ngamarta.” RAN : “Jan ora gara-gara.” P : “Mboten kok. Teng Ngamarta niku ming tanpa onten rowange jane
dhewe.” RAN : “Ora karo Gareng?” P : “Mboten. Gareng sek meriyang niki.” RAN : “Oo..meriyang..” P : “Inggih, wong nganu kemala ingkeng nggene nyaur utang.” RAN : “Iya, kebangeten. Mbok dilekkake. Jumbuh karo dadi Gareng ngono
kuwi rada sing ngati-ati karo dhuwit.” P : “Hh, watake gareng angger mpun nyekel nggih malah methenthang
methentheng.” RAN : “Lha Bagong?” P : “Bagong sing mboten. Sowan teng Ngamarta sebabe bojone ajeng
manak.” RAN : “Njur kowe dhewe ana apa?” P : “Dipunkengken bapak mboyong para bendara kula Ngamarta jalaran
bapak badhe mbangun kayangan ngoten. Sageda kerawuhan sinuwun Prabu Puntadewa sakadang.”
RAN : “Sing arep dibangun kayangan ngendi? Jalaran kayangan kuwi werna-werna. Suralaya kayangan, mbiyen bapakmu ya nduwe wewenang ing Suralaya.”
P : “Nanging ora tau hubungan kaliyan dewa kok mbangun kayangan.” RAN : “Lho, omahe bapakmu kuwi ya kayangan. Aku bisa kandha ngono
jalaran bapakmu kuwi piyayi sepuh. Yen dewa wis padha pirsa, yen kuwi kerep dilenggahi Kaki Semar. Ateges sing lenggah ana kono dewa ngejawantah. Andandani omahmu.”
P : “Nek miturut kula mboten. Nek arep ndandani omah kok kayune malah didoli. Angger negor kayu didol.”
RAN : “Dikumpulke para pandhawa, kuwi mbok menawa sing arep dibangun kuwi tumprap tembung sing apik bakal mbangun rohani. Ndandani isining kebatinan antarane para pepundhenku.”
P : “Oo, mbok menawi nggih niku Den. Jalaran bapak ngendikakke kudu nganggo sarana pusaka telu. Siji kalimasada, loro tunggulnaga, telu tumbak karawelang.”
RAN : “Lha mula kuwi. Kuwi cocok. Dadi bapakmu kuwi aja kok oso-oso. Yen katitik seka kahanan bapakmu kuwi...”
P : “Oo, lha inggih mbok menawa. Angerti aku sakniki.” RAN : “Aku omong apa?” P : “Aembuh.”
126
RAN : “Wong rung ngerti kok andan clemong.” P : “Karan nganu mboten ngendika cetha, brengose.” RAN : “Bapakmu kuwi ompol isi madu.” P : “Pa merga dirubung semut niku?” RAN : “Ora. Senajan tata gelar titah marcapada, ning Kaki Semar kuwi sejati
pancen ana sing momor.” P : “Oo, lha mbok menawa nggih. Wong bapakne niki sakniki napa-napa
mandi..e. ana wong lara mara disuwuk bapak mari. Wong lempoh ra isa mlaku disuwuk bapak mari. Niku sing sok nginggahke rokoke kalih wajibe kula. Nek mboten kula, Simbok. Ya rong puluh ewu, ya seket entuk terus mawon. Dadi bapak niki muk nyuwak nyuwuk thok mboten lahnapa-napa. “
RAN : “Oo, ngono. Kudu ngalah karo simbokmu. Karang ya ana mbokmu.” P : “Jane nggih simbok niku tak kon meneng mawon, aku sing arep nemoni
ngoten lho. Bapak nggih mpun mboten udut kok sakniki. Lha sing udut lak ya anak-anake. Ning bapak niku dhong lagek ana kepentingan ngoten, sing nyuwuk kula.”
RAN : “Mari?” P : “Mati.” RAN : “Ning ngati-ati lho Truk aku tak omong sepisan meneh. Kowe mau
niyate bakal mboyong para pepundhenku nyekseni le bakal mbangun kayangan Kaki Semar.”
P : “Inggih.” RAN : “Ning ana piyayi sepuh sing dadi sesepuh ana kana kleru penampa, ana
ora?” P : “Onten. Onten. Keng nata Dwarawati.” RAN : “Lha sing ngati-ati. Wa nata Dwarawati gedhe panguwasane ana kraton
Ngamarta.” P : “Inggih. Nanging piyayi pinter kok ngoten nggih Den.” RAN : “Ngelingana kowe karo aku ki titah. Sowantah titahe sing maha kuwasa.
Kowe kok ora kudu bener, ora kok kudu wicaksana, bisa wae sok kelebon pengaruh, kelebon pambujuk, sok lali marang tumindak kabecik. Wis, saiki ngono kowe sing ngati-ati kowe mengko arep dikroyok wong akeh.”
P : “Sampeyan ampun clemongan. Sampeyan niku nek ngendika mandi njur ngawur wae ora dipikir.”
RAN : “Lho kok malah ngonekke ngawur. Merga wa Kresna ora trima kowe le wangsulan ning kono dianggep luput. Ya sing ngati-ati wae. Kowe percaya sapa temen bakal tinemu, sapa salah bakal seleh.”
P : “Inggih.” RAN : “Sapa utang kudu mbayar.” P : “Inggih. Ning nek kula nggih mboten mesti.” RAN : “Wis, saiki temonana. Mengko nek ana apa-apa kowe kudu sing ngati-ati
kudu wani.” P : “Pripun nggih Den?” RAN : “Wis aja sumelang. Aku ora mbela sapa-sapa, sing bener tak belani.”
127
P : “Oo, inggih. Maturnuwun nggih Den. Untung ketemu Ndara Antasena. Piyayi siji ki jan ora mikirke apa-apa kok. Sing dipikir mung dolan wae. Mangka angger dolan kesel kondur. Beda karo Bagong, dolan. Dhuite entek ya dolan wae. Upamane niki Den, upama nggih niki. Upama niki mangke kula njur nganti dipilara kula ajeng males.”
RAN : “Aja. Aja kok wales.” P : “Njur pripun nggih Den?” RAN : “Kowe wis aja sumelang. Mengko nek kowe lara tak tambani, nek mati
tak uripke.” P : “Tenane?” RAN : “Wis aja sumelang. Aku aja nganti ketara tak mlebu ana njeron bumi.
Nek mengko dhasare ana apa-apa kowe njuk ndelokke aku.” P : “Mawi tandha napa?” RAN : “Njejak lemah ping telu.” P : “Oo, nggih.” RAN : “Ati-ati ya.” P : “Piyayi siji ki pancen seneng aku. Ketoke karo wong sing bener iki ketok
nek gemati. Lho..?” RAN : “Ana apa Truk?” P : “Ndandani sepatu..ek. Njedhul temenanan. (Suluk) Pocapa dereng ngantos watara dangu Raden Sentyaki mrepeti Kanthong Bolong. ADEGAN 5 P : “Matur sembah nuwun pinanggih Ndara Sentyaki. Sugeng Den?” RST : “Iya waras. Kowe padha slamet.” P : “Wilujeng. Mbok menawi wonten dhawuh.” RST : “Aku ngemban dhawuh saka Kaka Prabu Dwarawati. Dina iki Petruk
didhawi bali. Malah bapakmu Kakang Semar elikna le bakal mbangun kayangan.”
P : “Ah, panjenengan niku wong mau mboten ndherek rembugan kok. Kula niki mpun wong tuwa dudu bocah wingi sore. Saweg keng raka kemawon kula mboten ajrih dipundukani. Jer duwe dedhasar aku wong bener. Napa malih Ndara Sentyaki.”
RST : “Aja gawe muringku. Petruk gelem bali apa ora?” P : “Menawi dereng nampi ngendikanipun Gusti kula nata Ngamarta, kula
dereng badhe wangsul.” RST : “Kelakon tak pecah sirahmu. P : “Dhuer.. Mak prepet ning sirah. Isa sesak ki blangkonku. Aku ngko ra
entuk males, yen males nampa dukane ndara Antasena. Karepmu ah, lara ya ana sing nambani. Tekade nduwe dokter pribadi. Gus, Sentyaki. Sampeyan dadi wong mulya terus ora tau ngluruhi.”
RST : “Ora sah kakehan omong.” P : “ Nggih mpun. Keprandengan kula lakoni.” RST : “Btt.”
128
P : “Hadhuh, mati aku.” RST : “Mungsuh karo wong edian. Dipara tangan ora gelem manut, mbareng
nyandhak bangkekane diobat-abitake. Ning untung ora dibanting. Petruk.”
P : “Nun.” RST : “Kowe ki yen edan aja banget-banget.” P : “Kula niki mboten edan.” RST : “Kowe ki karo aku wis mungsuh. Keneng apa kok nyandhak
bangkekanku ora kok guwang kok ora kok banting?” P : “Ajeng kula guwang eman-eman. Wong isih dawa. Ajeng kula banting
mesakke Ndara Sentyaki wong momongan kula, mangke nek wonten napa-napa ndhak kula kelangan. Mpun, kondur ngrika. Keng Sinuwun Ndara Dwarawati badhe tindak mriki.”
RST : “Kowe ngerti ora nek aku nesu?” P : “Ha nggih ngerti mawon.” RST : “Minggat. Gada wesi kuning ajur kowe.” Disk 3 (PETRUK MENCOBA MEMANGGIL RADEN ANTASENA) P : “Ha iki, ana wong kapusan. Wong mau janji-janji dhewe, nek ana apa-
apa kowe ngabani karo aku, njejak lemah ping telu. Ha mangka sing tak wedeni gada wesi kuning iki ngantem aku ajur temenan aku ya. Kelalen turu yak’e. Ha lehku nusul njuk kepiye? Ha jenenge kok ya aneh temen. Mbok yen pancen sayah, mbengi nyambut gawe awan mbaldheg kuwi mbok ya turu ngono lho.”
RAN : “Oo, Petruk. ndandan sepatu pa?” P : “Hah. Sepatu napa. Sampeyan kok ra. Ngantek jebol meneh sepatuku.” RAN : “Mau njejak lemah ping telu aku metu, ndandani tungkak sepatu. Ha
saiki arep ngapa kok njejak lemah ping telu?” P : “Sampeyan wau ngendika napa? Nek kula lara.” RAN : “Tak tambani. Lara pa?” P : “Mboten. Nek mati.” RAN : “Tak uripke. Mati pa?” P : “Mati kok mlayu-mlayu. Ning niki mangke nek mboten mbok ewangi,
calone mati.” RAN : “Isih ngko?” P : “Inggih, lha wong ngko mboyos.” RAN : “Saiki omong-omongan dhisik.” P : “Iki piye ta iki. Lha wong isih mengko kok omong-omongan dhisik. Le
matur ngoten niku ngarepake bebaya.” RAN : “Bebaya apa?” P : “Wau Ndara Sentyaki mrepepegi kula, Petruk kowe baliya karepe Semar
lerenana aja diteruske. Kula ngeyel. Sampeyan malih kula gugua. Keng Raka Dwarawati mawon mboten kula gugu. Wusana Ndara Sentyaki
129
muring ngantem kula dhuer. Lara. Njur tangi maneh. Ning saksampunipun kula tangi kula kelingan aku dipenging males. Wis tak rewangi lara ya wis ben. Njuk diantemi kula kalih Ndara Sentyaki. Ampun ngantuk.”
RAN : “Ora.” P : “Kene omong grememeng, kono theklak thekluk.” RAN : “Njur saiki?” P : “Bareng muring, Ndara Sentyaki nggawa gada wesi kuning. Ora minggat
antem gada wesi kuning, modar kowe. Genah mpun nesu tenan ketara kasar le ngendikan.”
RAN : “Ha mbok dipethukke, mengko nek mati tak uripake.” P : “Anu mawon Den. Le badhe nambani ngangge napa?” RAN : “Sungut. Ki mengko angger tak urut tak wedhakke ning awakmu sing
lara mari.” P : “Niki apike ngeten mawon, sungute kula gawane mawon, dadia napa-
napa kula mangke mpun mboten napa-napa.” RAN : “Ora kena dithethel dhengkulmu.” P : “Njuk niki pripun niki?” RAN : “Aja semelang aja nganti ketok yen aku mbantu kowe. Aku tak manggon
nggonmu.” P : “Ning ngliwet dhewe. Sakniki-niki napa-napa larang. Golek dhuwit
kangelan usahane ning dinggo ngecakne kaanan angel mboten sepintena. Luwih-luwih dilereni nyambut gawe, mati kowe.”
RAN : “Aku manggon ning nggonmu ki ora kok manggon ning omahmu. Aku tak mlebu njerone awakmu.”
P : “Oh, ngriki?” RAN : “Iya.” P : “Ngko gek nggrenjel.” RAN : “Ora. Wis, tata-tata ya.” P : “Inggih.” RAN : “Mengko kowe dianten gada ora papa. Tur kowe kanggonan aku isa
mabur. Isa ambles. Mlebu banyu ya isa.” P : “Wah, iki. Mbok wau-wau. Angger ana Ndara Antasena, tenang aku.
Nyolong blumbange sapa-sapa tak gogohi iwake.” RAN : “Aja ngrugekke wong liya. Meh nyegur nyolongi gurameh. Wis ngapet
tapeyan.” P : “Hhh, Prrt. Mbrobos teng ngriki e. Wadhuh, ampun tenan aku iki,
ngungkuli Ndara Gathutkaca. Mantemake gada sampeyan Den.” (Suluk) Ye kata risang pinawarsa gumregut ngagut ing ngayuda, ing ngayuda. Eeeng.. (RADEN SENTYAKI MENCOBA MENGANIAYA PETRUK TETAPI
GAGAL) RST : “Kowe pancen adol kekendelan. Aku nyekel gada iki, aku nesu temenan.
Lha kok Petruk ora mundur malah maju.”
130
P : “Kula mpun nduwe tekad praya, aja ming lara, mati kula lakoni. Mantemake gada sampeyan Den.”
RST : “Apa? Ora minggat ateges mati.” P : “Inggih.” (Suluk) Sinarta natkala semana gada wesi kuning den ungkulaken Ki Lurah kanthong bolong. Awit saka panguwasane Ki Semar Badranaya, gada oncat saka astane Ndara Sentyaki kondur dhateng ganduri manjalma ana susuhipun . Ye kata risang Gathutkaca sigra nampak arga suta. Ooong.. Mancat pundhak ngasta jangga. Eeeng.. (RADEN SENTYAKI BERKELUH KESAH DENGAN RADEN GATHUTKACA) RG : “Kula tingali paman kados mundur kewirangan.” RST : “Adhuh, ngger, ketiwasan Ngger.” RG : “Wonten menapa paman?” RST : “Rikala kula ngemban dhawuh saking Keng Wa supados manggihi
Petruk wusana Petruk kula paring pangandikan ingkeng kathah-kathah mboten dipunanggep. Nyepelekaken dhateng kula. Saking gempuring manah Petruk kula tantang.”
RG : “Lajeng Petruk ajrih?” RST : “Mboten. Malah wani kalih kula. Kula mara tangan mboten males,
namung damel wirang. Sareng kula kewirangan, kula nyepeng gada. Petruk kula antem gada, gada wesi kuning oncat saking tangan kula. Kados wonten tula sare ingkeng wonten hangganipun Petruk Kanthong Bolong. Nyuwun bantu Ngger. Mangka Petruk saged mabur.”
RG : “Mabur?” RST : “Inggih. Nyamber kula sawuju-wuju.” RG : “Wonten paman nyamber Petruk nggih saged buyer?” RST : “Mboten. Mung ambune sarunge niku.” RG : “Lenggah, mangke kula pothole.” (RADEN GATHUTKACA MENYURUH PETRUK PERGI DARI KRATON NGAMARTA) P : “Sembah bekti kula konjuk Ndara.” RG : “Iya Petruk tak trima. Kowe bekti karo aku?” P : “Inggih. Suwe ra tau ketemu kangen karo dhuwite aku.” RG : “Wah, nek omong sok clemongan. Petruk, bapakmu Kakang Semar bakal
mbangun kayangan. Sing arep dibangun kayangan ngendi?” P : “Kula mboten ngertos amrih prayoginipun panjenengan tindak mrika
mawon. Sing arep kok bangun kayangan ngendi mbah, ngaten mawon? Mangke dospundi ingkang badhe atur wangsulan.”
RG : “Wis saiki ngene apike, kowe baliya. Mengko ganti wektu aku bakal ganti nekani ana kana, ndherekke Wa Kresna.”
131
P : “Ah, mboten sah. Sing perlu pancen kula keparingan dhawuh kula kedah wangsul ning sageda saking Sinuwun Ngamarta menapa para kadang-kadangipun. Yen Keng Wa Dwarawati niku kalih kula mpun mboten cocok.”
RG : “Ming kowe gari gelem bali apa ora?” P : “Upami mboten?” RG : “Kelakon tak pothol gulumu.” P : “Ha nek panjenengan tegel kalih kula, mangkata.” RG : “Mati kowe. Wong edian. Diuntir gulune awake melu mubeng.” P : “Wong sing mati dipothol niku kurang prigel jane. Nek ngriki diuntir
kene katut ya ora pothol-pothol. Ajenga sewengi mboten badhe pothol-pothol. Lha kene diuntir kene ora ya pothol ngoten mawon. Nyemelangi ta.”
RG : “Kowe ra males karo aku?” P : “Ha mboten. Males niku njur olehe napa? Kula kalih njenengan niku para
piyayi wis dha pirsa. Kae panakawan karo bendarane. Njur kula kalih penjenengan dha klera kleru apa ora digeguyu wong mbendina dolan bareng? Didherekke kok padu. Pira-pira Gathutkaca melu nyaur utange Petruk. Gene kok ya ora. Penjenengan kaliyan kula niku mpun kedanang kesaean Den. Rikala jaman semanten penjenengan badhe pinanggih Keng Rayi Pregiwa, lha kula mbelani kaya ngapa. Inggih ta. Penjenengan diprepegi dicaosi layang nek ora sida dhaup nesu. Awak dibanting-banting mabur niba bress. Ha ya rapapa wong kanthi wikrama. Sing remuk malah watu-watu. Njur njenengan muwun. Nggih mboten? Nembang kinanthi sandhung ta biyen? Ha njur kula matur. Ndara.”
RG : “Apa?” P : “Sampeyan mpun tau nyolong putri dereng?” RG : “Urung.” P : “Sakniki kula ajari nyolong. Ha tenan bareng njenengan kula ajari
nyolong, Ndara Pregiwa dadi bojone njenengan. Kula melu nglakoni cilaka.”
RG : “Wis aja kok omongke sapa-sapa. Aku isin.” P : “Ah, mboten sah isin karo kancane kok. Ndara Janaka niku sambat
kaliyan Ki Semar Badranaya mpun bolak balik. Lha wau kula pinanggih Keng Rayi ragil Ndara Antasena, Bapak kae kompol isi madu. Iya nek sing dibangun kayangan Suralaya, omahe bapakmu. Yen sing dibangun rohanine para pandhawa njuk ora pada dileksanani apa ora kapitunan?”
RG : “Ana luputku aku njaluk ngapura Petruk. Aku tak mrepegi Karang Kapulutan takbantune Kaki Badranaya.”
(RADEN ANTAREJA PERANG DENGAN PETRUK) RA : “Ana apa kok meneng-meneng wae?” P : “Wah, nek iki rada pekok iki. Ora kena dilus wong aku ya rung tau. Rung
tau aku ndherekke Ndara Antareja. Aku ming ora seneng le pekok apa-apa. Woo, ngeplak.”
RA : “Aku wangsulana ana apa kok meneng wae?”
132
P : “Nembe pinanggih keng rayi Ndara Gathutkaca. Sarenng kula ndongeng ingkeng werni-werni Ndara Gathutkaca njur ngendika ya wis tak nang Karang Kapulutan.”
RA : “Merga kena pengaruhmu ya. Sing jenenge Petruk, Gareng, Bagong kuwi pembujuk elek. Ayo minggat. Ora gelem bali, ngati-ati.”
P : “Kula niki badhe mang napakke? Wong kula mboten wonten rembug sulaya kaliyan njenengan. Panjenengan kalih kula kok lajeng ngendika mekaten rak ya kleru ta. Mbok nggih disabarke. Dadi satriya niku kedah sing sabar.”
RA : “Tak ganjar mati kowe.” P : “Irungku kok ampuh ya. Ndara Antareja nyungut, dhadhaku panas. Ning
aku ngerti wong nduwe wisa ning kene kok. Ha nek irungku ngono ana apane lho? Mangka anane mung upil ki. Wah, nek ngono ki ora wani ngesun anakku ki karo mbokne. Ha mesti mati. He Gus, enteni. Ayo tanding kalih kula.”
(Suluk) Mulat marang Sang Arjuna. Ismanya kamanungsan, kamanungsan. Ooong.. (RADEN ANTAREJA MEAPORKAN KEKALAHANNYA KEPADA RADEN JANAKA) RA : “Adhuh ketiwasan Paman.” RJ : “Ana apa Antareja?” RA : “Kula kadhawuhan Wa Kresna manggihi Petruk. wusana rikala wau
manggihi Petruk sepisan Paman Sentyaki. Ingkeng angka kalih Gathutkaca. Ewadene Paman Sentyaki kaliyan Gathutkaca sami nandang kewirangan. Kepeksa kula ingkeng tumandang. Petruk kula para tangan ngangge menapa mawon mboten didamel raos lan mboten purun males. Sareng keng putra dhasar kula nyungut, Petruk krasa lara men gek minggat. Malah piyambakipun ugi gadhah kemandhen kados kula Paman.”
RJ : “Kaya dudu karepe dhewe. Wis sumingkira Antareja . Petruk ora gelem sumingkir saka Ngamarta ngati-ati. Cemethi Kyai Pamuk rontok bangkemu.”
ADEGAN 6 (PETRUK PULANG KE KARANG KAPULUTAN MENGIKUTI PUSAKA-PUSAKA NGAMARTA) P : “Gus, Antasena.” RAN : “Ana apa Truk?” P : “Ha niki nek mboten kleru rak pusaka-pusaka kelimasada, tumbak
karawelang, songsong tunggulnaga.” RAN : “Ha ya kuwi sing dikersakke bapakmu ta?” P : “Inggih.”
133
RAN : “Iki disedhiyakke kanggo Kakang Semar kanggo mbantu anggone arep mbangun kayangan yaiku budine para pandhawa lan bakal medharake apa sedyane para pandhawa.”
P : “Cocok ngendikane panjenengan kok den.” RAN : “Ha iya.” P : “Njuk pripun? Napa niki kula bekta wonten Karang Kapulutan?” RAN : “Kowe muliha dhisik bareng karo pusaka-pusaka kuwi. Tak tututi kowe.” P : “Inggih.” (Suluk) Para pandhawa mulat nebaring pusaka. Kumlebeting bandira…oooo… Mulat saka barisan kura. Kendhi biru mangungkung ing gegana. Karang aban wonten telenging wasata. ADEGAN 7 (RADEN SADEWA MENGAJAK RADEN SENTYAKI DAN ANAK-ANAKNYA IKUT KE KARANG KAPULUTAN) RS : “Antareja.” RA : “Kula wonten paringan dhawuh.” RS : “Dhimas Sentyaki.” RST : “Wonten dhawuh.” RS : “Kepiye anggonmu methukke petruk?” RA : “Wah, kula kewirangan. Kula semanten Kakang Mas kula kewirangan.” RST : “Kok isa kewirangan?” RA : “Petruk kula dhawuhi wangsul mboten purun. Malah kula gregeten kula mara tangan. “ RAN : “Iki mau ta Kang?” RA : “Iya. Lha apa Antasena ora ndhenger?” RAN : “Ora ndhenger aku. Aku angger ra teka.” RA : “Lajeng Petruk kula sungut supados wangsul nandang sanget. Jebul Petruk saged nyungut.” RAN : “Sungute Petruk ya ampuh ta?” RA : “Iya pancen ampuh Petruk.” RAN : “Edan. Ampuh tenan. Aneh temen Petruk. Kok nduwe sungut barang ki lho.” RS : “Ngaturaken kawuningan Kangmas.” RS : “Apa?” RST : “Kula majeng malah didamel wiring kaliyan Petruk. Malah Petruk saged
ambles saged ngambah aji mantara.” RAN : “Aneh temen. Ning iki Petruk pancen aneh. Kok dadi wani mabur
barang. Le ajar ki ya yah apa ngono. Ning ngene Kang, aja njur kowe nduweni rasa kuwatir yen Petruk ki le ampuh seka kadigdayan. Ha, saiki telitinen, awit kanggo sasmita senajan ta digday sing kaya ngapa yen kadigdayan kuwi ta sok nggo sesungaran, sok nggo pamer, ora mandi. Mula dieling-eling aja nganti nduwe watak kang kumingsun, adigang, adigung, adiguna. Karo sapa wae ki tak suwun supaya sing andhap asor
134
sareh. Ngko nek ketanggon kaya Petruk lak ngisin-isini ta? Antareja kok kalah karo Petruk. Ya ra Lik.”
RS : “Iya nek ra ngono.” RAN : “Lha nek cara aku ngono Petruk ya ra nggenah. Angger diomongi sok
ngeyel ngono lho. Tak omongi ora nggugu kok.” RA : “Lho, jare ora ngerti apa-apa.” RAN : “Eh, heem ding.” RA : “Tak piker-pikir kok kaya ana wadi ngono lho.” RS : “Gathutkaca ngendi?” RA : “Sampun rumiyin. Nitik saking ginemipun Petruk, badhe mrepegi Karang
kapulutan. ” RS : “Oo,,ya. Yen ngono tak kandhani ya Antareja. Sejatine Kakang Semar ki
bakal didandani, bakal dimulyakke kuwi rasaning para pandhawa tuwin para putra-putra padha ngestokake lan nggugu le bakal mbangun kayangan Kakang Semar, ateges bakal tambah lan wuwuh kawruhmu.”
RA : “Oo,inggih. Yen mekaten kula sakmenika kantun ndherek paman kemawon.”
RST : “Kula semanten inggih ndherek Kangmas Sadewa.” RAN : “Pak cilik Sentyaki.” RST : “Kula.” RAN : “Kowe ditampa ya ora, ora ditampa ya ora. Kena ngetutke ning during
bisa dadi rombongan.” RST : “Sababipun menapa?” RAN : “Awit penemune Kresna karo Petruk ora cocok. Mangka kowe ki adhine
Wa Kresna. Ya nek pancen pikiranmu ki mulung tenan, ndherek Pak Cilik Sadewa katut karo aku. Ngko nek separo kene, separo kono jajal. Ngandel ora? Mangka tak kira watake Sentyaki karo aku beda. Separo ki lho ning kene separo ning kono. Yen mengko akeh kono piye jajal?”
RS : “Mbok ya ra clemongan. Antareja tak nututi Kaka Prabu. Kowe kabeh padha tata-tata njaga ana saknjabaning angrah Karang Kapulutan.”
RA : “Iya paman.” Disk 4 Sritinong ing pamiyat. Busaka maneka warna. Rengging kencana abra. Bandira layu kumitir jintreng pandersing maruta. Sirna kumaraning wiyat mangkyan kumlebeting dwaja. Srusu brastha kayu kaprapal ron manjrahing sidi. Paripurna peperangan ing Indraprastha karana saking muntaping para putra-putra nundhung Ki Lurah Kanthong Bolong kanthi darbe watak ingkang deksura. Nanging Ki Lurah Kanthong Bolong lembut ing pambudi dipunbiyantu dening Raden Antasena. Mula sedaya kamurkaning para putra-putra pandhawa mboten wonten ingkeng dipunlayani lan mboten wonten ingkeng dipuntandingi dening Ki Lurah Kanthong Bolong, mula sami mundur kewirangan dugi paripurna. Rikala semana para pusaka tansah tut wuri sedya marang Ki Semar Badranaya. Ing kono sumedya tumekeng ing Karang kapulutan anyarengi Ki Lurah Kanthong Bolong.
135
Nata Dwarawati tuwin Raden Janaka saknalika sami oncat saking bumi kraton Ngamarta sowan ing Kayangan Jonggring Slaka. Para putra-putra ndherekaken Raden Sadewa anyeketi ing pedhukuhan Karang Kapulutan, nrajang tepasing wana diwasa tepasing dadi, minggah ing arga, tumurun ing jurang curik. Senajan ta kawontenan wis peteng ndhedhet karana surya manjing bantala, kawontening wana mawarna-warna suwarane, kutu-kutu langen tlaga. Ing dunung wonten grumbul-grumbuling jurang kang curem genti ingkeng winursita. Kocapa ingkeng lenggah ing Kayangan Jonggring Slaka. Sag ingkeng permedi Bathara Guru den adep ingkeng rayi Batari Durga, sloka raka Sang Hyang Kaneka Putra tuwin para dewa tridasa watak nawa. Kinurmatan suwara gong saloka nata. Ing Kayangan Suwalaya, Jonggring Slaka ya Kayanganing Giri Pati. Ingkeng lenggah ing kono sedaya para jawata. Nanging ampun ngantos kelentu penampi, dewa menika pada ingkang supados paring piwulang reh anggewulang kautaman dhateng para titah-titah ingkeng kelentu keblatipun. Awit sanyata dewa taksih gadhah panggalih angkara, taksih gampil kataman pambujuk. Duk rika semana mengkerekan gunung jamur dipa. Kinarya analiti marang jagad kang nyalawadi, ngananaken wana tegal kepanasan ingkang minangka pangonaning satu klangenaning para dewa, ngiringaken kawah candradimuka, kawah candradimuka dede neraka jahanam. Puniku kawahipun gunung siula-ulu ingkeng sering tinampa paring pidana marang para dewa-dewa ingkeng nerak paugeran. Angayonaken plataran, kwanda aru kang minangka pasebaning para dewa tri dasa watak nawa. Nenggih kocapa kalenggah wonten dampar watu cundhu manik, retuning para dewa kang winisis Sang Hyang Guru ya Sang Hyang Girinata ya Sang Hyang Catur Boja ya Sang Hyang Solewah Randhu Gumbala. Kang naka semanten lenggah sejajar marang ingkeng rayi Batari Durga ingkeng lenggah ing Kayangan Pasetran Ganda Mayit ya Kayangan Dandang Mangure. Niki pocapa kang mundhi ngarsa. Ingkeng raka pepatih ing Suwalaya, lenggah ing suduk pangudal-udal, Sang Hyang Resi Kaneka Putra mengkeraken ingkeng putra Bathara Penyarikan. Kocapa katungka marang sinuwun nata Dwarawati, Prabu Kresna. (Suluk) Siyang pantara ratri among cipta pukulun. Taliyan kang kaeksi angaturna sang cunda manik. Sasat rengging ngulun kang sumembah. Sasat sampun prapti. Mungging asta pukulun sang rama dewaningsun. ADEGAN 8 (BATHARA GURU SEDANG MENGADAKAN PERTEMUAN DENGAN SAUDARA DAN ABDI-ABDINYA) BG : “Wong awja adi sangarep palungguhan kulun. Adi batari.” BD : “Nuwun wonten pangandika ingkeng dhawuh. Pukulun dhateng miji
ingkeng rayi.” BG : “Mara ta prayogakna jeneng kita sowan.”
136
BD : “Kula nuwun kados mboten kirang pangabekti. Sungkem pangabekti kula konjuk saandhap pada.”
BG : “Wus Ulun tampa. Kakang Kaneka.” BKP : “Hong, siwarsana rayi. Wenten paring pangandika ingkeng dhawuh Dhi.” BG : “Kadiparan pawarta sakjawil langkah para putra-putra jawata.” BKP : “Menawi adhi taken bab meniku, engetipun niraka kados mbeten wonten
jawata ingkeng nglirwakaken. Sedaya sami sowan. Netepi dhateng kuwajiban lan mboten badhe nguciwani penggalih Dhi.”
BG : “Sokur yen ngono. Penyarikan.” BP : “Nuwun wonten dhawuh Rama Pukulun.” BG : “Kita prayogakna sowan ana ngarsa uni.” BP : “Ngestokaken dhawuh sakderenge tumandhap. Ingkeng putra sampun
siyaga wonten pasowanan, kejawi saking menika kepareng ngaturaken sembah pangabekti konjuk saandhap pada.”
BG : “Wus Ulun tampa. Pangestu Ulun tampanana.” BP : “Sanget anggen kula mundhi.” BG : “Kakang Kaneka.” BKP : “Inggih, adhi.” BG : “Marmane Kakang rada tebih mbok dipuncaketaken. Ingkeng rayi badhe
nyuwun pirsa. Wonten gara-gara ingkeng minggah dhateng kayangan ndadosaken bingunipun para dewa ngantos kathah para dewa lan widadari ingkeng sami kontrang-kantringan. Jalaran wonten kedadosan mekaten menika kalebet nyalawadi. Kakang, yen pancen Kakang rada priksa gara-gara puniki saking punapi. Yen pancen wonten kawontenan ingkeng nyalawadi perlu kaboyong minggah dhateng kayangan upaminipun wonten sela ingkeng nyalawadi, saged ta minangka imbuhipun umpak bale marcupundha. Yen wonten wreksa ingkewng nyalawadi kaboyong minangka imbetipun saka dhomas bale kencana. Yen tirta imadwija trang menika minangka imbetipun tirta panggesangan.”
BKP : “Sedaya pangandikanipun adhi guru mboten wirya wenten ingkeng leres. Wirya wenten ingkeng cocok.”
BG : “Gandheng Kakang Werda menika rakanipun ingkeng rayi mboten wenten awonipun ingkeng rayi nyuwun pirsa dhateng Kakang.”
BKP : “Lha anggen kulun matur menika manjing wonten pasemon. Pasemonipun gara-gara ingkeng munggah wonten kayangan estonipun wonten kedadosan ing marcapada. Dewa ingkeng anawur titah badhe mbabar kautaman dhumateng sedaya para putra wayahipun lan ingkeng dipungulawenthah. Ning ugi wonten titah ingkeng pangawak dewa ingkeng estonipun menika nampi bebenduning jawata, mboten nrimakaken bab wonten kedadosan mekaten. Lha kalih-kalih matunggal dereng jumbuh manahipun, dereng saged jumbuh manahipun Dhi, mila ngantos ndadosaken gara-gara.”
BG : “O, ngajwaladi palungguhan kulun. Lha menapa kinten-kinten gegambaran mekaten menika ingkeng wayah titah marcapada ingkeng sowan.”
137
BKP : “Sinten Dhi?” BG : “Keng wayah kun Bathara Kresna.” BKP : “Cobi kewala katimbalan. Kados pundi aturipun, nanging adhi guru kula
aturi jumeneng wonten tengah-tengahing kaleresan. Nora kena mban cindhe mban ciladan.”
BG : “Kresna.” BK : “Nuwun paring pangandikan kulun.” BG : “Kita ulun parakaken maju.” BK : “Nuwun estokaken dhawuh kepareng. Ingkeng wangsalan ampun ngantos
ketaman wos sae.” BG : “Iya, kulun lilani.” (Suluk) Anjrah lir puspitarum. Katiuping samirana amrih pungesthi, punges gandaning sekar gadhung. Kasiliring samirana. Raras rumeseping driya. (BATHARA KRESNA MELAPORKAN PERISTIWA YANG TERJADI DI KRATON NGAMARTA) BG : “Padha basuki kita sowan.” BK : “Kula nampi pangestu ingkeng pukulun winantu karaharjan nir
sambekala keparenga wayah pati brapujan kara muluk ngaturaken sungkem pangabekti kulun.”
BG : “Iya, kulun tampa. Pangestu kulun tampanana.” BK : “Kapundhi mugi dadosa cahya nur cahya.” BKP : “Hey, Kresna. Kita padha basuki.” BK : “Pangestunipun pukulun narada kados widadari. Sembah pangabekti kula
konjuk.” BKP : “Iya, kulun tampa.” BG : “Ana wigati punapi kita munggah ing kayangan tanpa kulun timbale
nganti nggeterake kayangan, nggegerke para dewa?” BK : “Saksampunipun pukulun sampun sumabda mekaten keparenga wayah
pati kula munjuk atur. Sewu kalepatan ingkeng wayah nyuwun gunging samudra pangaksami.”
BG : “Iya, ora dadi apa.” BK : “Ingkeng wayah mangertos piyambak natkala kempal wonten ing
sitinggil binartatra ing kraton Ngamarta ngrembag anggenipun badhe mulyakaken percandhen. Wusana Petruk sowan, Petruk putranipun Kakang Semar badhe mboyong kadang-kadang kula pinangka kangge sarana mbiyantu anggenipun Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ateges badhe mulyakaken kayangan. Lha ingkeng mekaten dados rembag ingkeng mboten prayogi. Paribasan menika naming sapala nanging dados perkawis. Saekngga Petruk wangsul, kadang-kadang kula Ngamarta wusana ajeng ical, trang yen badhe mbantu Kakang Semar. Dhuh, pukulun. Mangka kayangan menika kuwaosing para jawata. Yen pancen pukulun nglilani Kakang Semar badhe mbangun kayangan, ingkeng
138
wayah siyaga badhe nututi para kadang mbiyantu Kakang Semar. Nanging yen menika Kakang Semar dianggep lepat, kados pundi caranipun saged paring pengajaran dhateng ingkeng kalepatinipun titah?”
(Suluk) Tukul yayah sinipi kumetut padoning lathi, pardoning lathi. Jaja bangawinga wingis. Tinaping muka kadulu lir kabeh ranang. Nggeget lathi kerat waja. (BATHARA GURU MENYURUH BATHARA KRESNA UNTUK MEMBAWA KI SEMAR BADRANAYA KE KAYANGAN JONGGRING SLOKA) BG : “E,e,e. Iya, kulun tampa ngger. Senadyan ta kepiye wae kakang Semar
tetep luput, awit kayangan dudu kuwajibane Kakang Semar. Wis ta, dina iki kowe kulun utus aja nganti ketara yen dewa bakal paring uninga utawa ndandani keluputane Kakang Semar sing nganti disekseni para titah. Becik kita mudhuna ning marcapada, Kakang Semar boyongen mrene.”
BK : “Upami mangke ngantos kelampah Kakang Semar mbreguguk ngutha waton mbegundhang datan para ratu.”
BG : “Dirada kasembadan banjur dirampungi. Awit bakal nyampar mestaka mlumpate kuwidanganing dewa.”
BK : “Nyuwun pangestu kulun.” BG : “Pangestu kulun tampanana.” BKP : “Mrekencong waru dhoyong e, yak, ya.” BG : “Tegesipun punapi Kakang?” BKP : “Ngendikanipun adhi kaliyan pemanggih pikulun mboya saged leres.
Mrekencong kaya waru dhoyong. Mula ciptaning ingkang kuwaos mboten wonten wit waru kok bener.”
BG : “Inggih.” BKP : “Kulun sampun matur wonten dewa ingkeng nawur titah badhe ndandosi
rohani utawi badhe ngleresaken tingkah ingkang lepat, ngaten. Kakang Semar menika dewa. Lajeng wonten titah ingkeng nawurti dewa, titah marcapada nanging nganggo jeneng bathara kresna ingkeng mboten ngertos ngantos wonten kedadosan klenta klentu. Wonten ngriku menika, nanging adhi guru mboten saged menggalih bab atur kula wonten pasemon. Lha kedadeyan katos mekaten menika. Mila mrekencong waru dhoyong. Lhadalah.”
BG : “Kakang Nrada.” BKP : “Inggih adhi guru.” BG : “Sedaya ngendikanipun Kakang Nrada sampun pukulun tampi. Nanging
senajan ta kados pundi Kresna menika tetep lepat jalaran kumawani badhe ngucap ngraosi kayangan.”
BKP : “Lha, sing during pana babagan pasemon kayangan menika adhi guru. Senajan dewa taksih, nuwun sewu lho, taksih rada bodho. Nek bocah sakniki ngomonge goblok. Kayangan menika dede Suwalaya ngriki, niki lak kayanganing dewa, merga sing nglenggahi dewa disebut kayangan.
139
Ning yen titah marcapada kayanganipun wonten saklebeting manah, sumber kayangan niki ing ngriki. Yen paba babagan ngelmu niku teng ngriki niki. Ee, dewa kok bodho.”
BG : “Sampun ta Kakang Nrada, mboten perlu kathah-kathah. Ingkang wekdal menika wus Kakang Semar kulun timbali. Yen wonten menapa-napa kok awon sae lepat, kulun dhadha.”
BKP : “Mangga mawon. Kulun tunggak waru mboya melu-melu.” BG : “Durga.” BD : “Nuwun dhawuh.” BG : “Metua njaba, dhawuh marang putra-putra bajul badi yen nganti gagal
Kresna nyuba Kakang Semar, pasrahna bajul badi.” BD : “Nyuwun pamit kulun.” (Suluk) Putra pandhawa tata gati wisraya. Mingis yung lir mawa parabowo. Netra kaya soroting surya kembar. Gedrug-gedrug ambengkapna bumi. ADEGAN 9 (BATHARI DURGA MENYURUH JARAMAYA TURUN KE BUMI) J : “E. e. e. Lhadalah. Nyadhong dhawuh Bu. Kula tingali wau ibu bethari
alit kok sakniki ageng.” BD : “Iya,mau mung merga kleru nyandhang. Aku metu merga ngemban
dhawuh njur tiwikrama.” J : “Oo, ngaten.” BD : “Kowe, Joromoyo.” J : “Inggih.” BD : “Dhawuhana karo wadya bala, buta loro sing kok pilih maling sukma
maling raga supaya mlebu ana Karang kapulutan nyendhal mayang Kakang Semar utawa sapa sing bakal mbelani Kakang Semar.”
J : “Inggih. Ngestokaken dhawuh Bu.” BD : “Nurambadewa.” N : “Nuwun paring pangandika bu.” BD : “Budhalna kabeh para wadyabala. Iki malah ana wektu sing apik bisa
nyirnakke para pandhawa bakal dipilih dadi ratu ingkeng pilihan. Sijining ratu kang minangka tetungguling para ratu.”
N : “Kula sakmenika nyuwun pamit nata para wadyabala.” BD : “Sing ngati-ati kowe aja sok percadu.” J : “Nyuwun pamit.” BD : “Ya, ya, ya.” (Suluk) Rindhu ngewur, ngewur awuran tinantaraning prajurit. Gunge guru gangsa. Swara tetege mbutulna wur telenging metu randha esthi. Rekatak ing rai. Tuwaja layu sepi.
140
(JARAMAYA MENYURUH MALING SUKMA DAN MALING RAGA TURUN KE BUMI) MS : “Nyadhong dhawuh Kakang Joromoyo.” MR : “Nyadhong dhawuh Kakang Joromoyo.” J : “He, maling sukma maling raga. Wong loro maling kabeh. Tak timbale
ngemban dhawuh saka ibu bethari, kowe supaya mbanjul mateg dayamu kumayang jati aja nganti kaweruhan. Kowe didhawi lumawat ing Karang Kapulutan. Sapa sing mbantu karo Wa Semar, kok pateni. Sokur bisa nyendhal mayang jiwa Badranaya.”
MS : “Yen mekaten nyuwun pangestu kemawon. Najan mboten siwa Semar mangke, siswa-siswa ingkeng pokok menika kula pejahi.”
J : “Iya.” MS : “Ayo dhi, tata-tata. Nyuwun pamit Kakang Joromoyo.” (Suluk) Mijil saking kayangan, umyating gegana katon puncaking gunung-gunung. ADEGAN 10 (BATHARA KRESNA DAN RADEN JANAKA MALIH RUPA MENJADI RAKSASA DAN HARIMAU) BK : “Yayi Arjuna.” RJ : “Kula nuwun wonten dhawuh.” BK : “Untung kok pun ngendika paring dhawuh marang si adhi, upama ta
nganti kerundhen mlaku bisa klakon pukulun bathara guru duka. Pancen Kakang Semar luput dhi.”
RJ : “Adhuh. Mboten nginten Kaka Prabu yen Semar kalepatan kalih pukulun Bathara Guru.”
BK : “Lha yen nganti kedadeyan lak pun kakang dingo parang cucukan. Aja nganti kebacut-bacut. Ayo padha diprepeki Karang Kapulutan. Sokur bisa pinanggih para kadang sing nyaketi Kaki Semar, mengko tak kandanane. Lan pun kakang bakal suka atur marang yayi Puntadewa.”
RJ : “Kula nuwun inggih lajeng dospundi?” BK : “Dhawuhe pukulun ngene, pinangka pengajaran Kakang Semar pun
kakang lan si adhi supaya tumeka ing Karang Kapulutan mboyong kakang Badranaya.”
RJ : “Caranipun kados pundi?” BK : “Lha yen pun kakang karo si adhi nganggo cara kaya ngene genah yen
konangan. Senajan ta mboyong Kakang Semar yen perlu samudana.” RJ : “Kula dherekaken Kaka Prabu.” (Suluk) Sinarta nat semana ingkang sinuwun Dwarawati arsa samudana sirna wujuding nalendra dadi wujud gandar sagunung gedhene. Manebak maneklir kacandra sinungan ngabda lawan aneng ngabda lawan. Gero-gero kang pindha mangsa, kunerpa. BK : “E, e, e, e. Janaka.”
141
RJ : “Kula Kaka Prabu.” BK : “Pun kakang nganti awut-awut padha gogrog karebe dhewe.” RJ : “Inggih Kaka Prabu.” BK : “Lha wong dasare ngana wong sing padha ngawut-awut ra patek
ngrungokna, kaya ngene iki mesthi ora ketara pun Kakang Kresna, Dhimas yayi Arjuna ayo diprepeki Karang kapulutan. Tak gaglag sakkampungmu.”
(Suluk) Nyata yen pandhita kang wus limpat winangun sawuning samudana. Mengkulireng kasarjanan.” ADEGAN 11 (WISANGGENI DATANG KE PERTAPAAN KENDALISADA MENEMUI ANOMAN) A : “Wong bawana langgenga, yoganipun ingkeng Bapa ngger. Tilema
sakliyepan mboten badhe nyupena bilih angger Wisanggeni badhe lenggah wonten ing Kendhalisada. Saksampunipun sakwetawis anggen lenggah, pun bapa atur pambagya panakrama.”
W : “Tak tampa ngendikane Siwa Begawan mbagekke karo aku. Pangestunipun Siwa Anoman kaya ora kurang siji-sijia menapa. Sembahku tampanana Pakdhe.”
A : “Kula tampi kula lebetaken wonten dhadha kendel sami-sami.” C : “Sungkem pangabekti kula konjuk dhateng ndara Raden Wisanggeni.” W : “Iya, iya, Cantrik, tak trima. Kowe mbagekake aku.” C : “Nuwun prayoginipun Ndara Raden Wisagrama.” A : “Genine ki aja dibasakke. Saksampunipun lenggah ingkang prayogi,
ingkeng bapa badhe nyuwun pirsa menapa wigatosipun Raden. Panjenenganipun tedhak wonten ing pertapan Kendhalisada?”
W : “Aku tak matur ya Wa, yen ana luputku sing gedhe pangapurana, amarga kurang pengalaman ora bisa tata krama, ora nduwe unggah ungguh.”
A : “Mboten dados menapa.” W : “Aku ki krungu kondhange Siwa Anoman. Kondhang tekan ngendi-endi
yen Siwa Anoman kuwi pendhita sing wicaksana tur ya sekti mandraguna. Anggonku matur sekti mandraguna jalaran rikala semana mbedhahi kraton Ngalengka ki Siwa Anoman. Aku matur wicaksana jalaran Siwa seneng mbeber ngelmu kang diparingke marang para putra siswamu. Lak ya ngana ta Wa?”
A : “Kula mboten pamer. Rikala jaman semanten kula mejahi prabu rahwana ingkeng saged nabet wonten Gunung Sumawana niku kula. Yen kethek sanes nggih namung limrah.”
W : “Lha iya wong pancen kethek. Nek Siwa Anoman lak kepetung sari-sari kethek .”
A : “Kaya apa sari-sari. Lha lajeng babing ngelmu badhe ngersakaken ngelmu menapa kula badhe nyaosi. Senajan sangkan parisma dumadi sembyang-sembyang cepaking kuntul anglayang, galih kangkung kula
142
sampun mangertos. Ngelmu sakderengipun winarah, kula sampun mangertos.”
W : “Sing tak jaluk ya kuwi Wa.” A : “Panjenengan badhe ngersakaken ngelmu menapa?” W : “Lha ngene. Gandheng dina iki ing Karang Kapulutan, Negara Ngamarta
kuwi ana goncang sakwetara, gara-gara kang bakal tumeka ana kono kuwi jan-jane sangkane saka apa? Lan kepiye carane bisa meper gara-gara meper kamurkaning titah isa ngakurke sedulur kang pisah? Kuwi nganggo cara apa Wa? Ingkeng cumondhoking wonten Karang Kapulutan.”
A : “Wadhuh. Malah kula dereng mangertos niku.” C : “Sing nakokke wae nyalahi ukum ngono.” A : “Piye ta Cantrik?” C : “Nek teng rekaman niku Wisanggeni ora ana.” A : “Mbok menawa ana sedulur sing kepengin bakal pirsa Wisanggeni.” C : “Oo, lha nggih ngoten niku sing jenenge nyimpang.” A : “Kula mboten mangertos.” W : “Lha nek pancen Siwa Anoman ora ngerti, saiki aku tak takon. Nek
pancen ora ngerti kepengen ngerti apa ora?” A : “Kepengen ngertos.” W : “Lha yen kepengen ngerti Siwa Anoman kudu meguru karo aku. Gelem
apa ora?” A : “Ndherek mawon.” W : “Aja nganggep aku guru kok golek murid ki ora. Ning perlu nyocokke
kawruh nunggalke pangerten.” A : “Kesinggihan.” W : “Lha tak kandhani ya Wa. Ning mengko yen aku wis matur Siwa
Anoman kudu gumregut melu cancut taliwanda merga Siwa kuwi cumondhoke ana pertapan Kendhalisada. Kendhalisada kuwi kukuban Kraton Ngamarta.”
A : “Sendika.” W : “Siwa Badranaya kuwi anakal mbabar kawruh, wis aku blaka wae yen
Siwa Semar bakal mbabar kawruh. Ning ana ingkeng kurang pangertine.” A : “Sinten Ngger?” W : “Siwa Bathara Kresna. Lha mangka Wa Kresna wadule ing Kayangan
Jonggring Slaka. Watak Sang Hyang Guru banjur dhawuh marang Bathari Durga. Bathari Durga sing nyebar bajul barat. Aku nyuwun tulung marang Siwa Anoman gandheng Siwa Anoman mau wis ngendika kaya mengkono. Ayo tata-tata bajul barat disingkirna. Sing bakal nganggu Wa Semar, elikna.”
A : “Menawi kula wakil.” W : “Ora isa wakil.” (Suluk) Anoman pracandra seta jujarawun kapimenda.
143
A : “Kaliyan panjenengan ta Ngger.” W : “Aku mengko mung ndherekke. Nek wis rampung aku nyaosi pirsa
ateges aku wis ngelingke Siwa Anoman tak kon ngerteni lan kepiye carane wong tanggung jawab.”
A : “Sendika.” W : “Ayo, tata-tata.” A : “Cantrik.” C : “Kula nuwun Panembahan.” A : “Aja lunga-lunga kowe saka pertapan. Mengko yen ana tamu aturana
pirsa yen aku ora ana. Sokur mengko yen ana tamu sing kudu temandang ngladeni pamundhute tamu kowe.”
C : “Ah, ndhak ra mandi. Mpun tak trima nengga njenengan.” A : “Mangga kula dherekaken.” W : “Siwa Anoman sing ngati-ati.” (Suluk) Sigrat sumangkah rising Wisanggeni maya. Ngelingana ing kutrahing kutuma. W : “Siwa Anoman.” A : “Kula ngger.” W : “Sakwise kula karo aku mudhun saka pertapan, kowe weruh apa?” A : “Mboten sumerep menapa-napa.” W : “Ngati-ati lho nek katarak.” A : “Wah, apun sewiyah-wiyah.” W : “Lha iki kowe nek pengen ngerti. Iki lho kongkonane Bathari Durga,
Kaki Joromoyo sakkancane.” A : “Wah, keparat. Kula labrake.” W : “Lho, ngko dhisik. Nek kowe teka-teka nglabrak, konangan. Nek arep
mbantu Siwa Semar, wis tak pethukne, methukke wae kudu samudana. Aja lunga-lunga ya Wa.”
(Suluk) Yeksa Kendra sang reksasa manganuk anung kadulu pindha singabarong. Manebak malir nabda lawan. ADEGAN 12 (JARAMAYA BERPERANG DENGAN WISANGGENI) J : “Saka kadohan mawa Teja, nanging bareng tak prepeki jebul wonge kaya
slontrot. Kok aneh temen ya. Kaya-kaya wong toyan.” W : “Nek biyen ncen aku seka kana. Embuh kok tekan kene ki.” J : “Sapa?” W : “Lha kowe sapa?” J : “Buta saka ing kayangan, saka ing kayangan Suralaya. Aku Joromoyo.” W : “Anake sapa?” J : “Ibu bethari durga. Laha kowe?”
144
W : “Nek aku seka kiwa tengen kene omahku. Jenengku Kampret. Wadananku Benguk.”
J : “Oo, nduwe wadanan barang.” W : “Biyen. Nanging bareng dadi wong juwara ya ora.” J : “Kowe arep ning ngendi Pret?” W : “Mbantu wong tuwa. Wong tuwaku nduwe kuwajiban apa tak bantu. Apa
ya golek kayu, apa ya golek ramban kanggo makani kewan. Lha kowe arep ning ngendi buta?”
J : “Yen kowe during ngerti kekarepanku, aku bakal nyaketi pedhukuhan Karang kapulutan.”
W : “Perlu apa kok mrono-mrono?” J : “Ngemban dhawuh saka pukulun Bathara Guru supaya aku mateni Siwa
Semar Badranaya yen perlu sakanak muride.” W : “Lha anak muride ki sapa wae?” J : “Puntadewa, Werkudara, sakkadange. Putra-putra Gathutkaca, Antareja,
Antasena, Wisanggeni, sakpiturute.” W : “Kuwi arep kokpangan kabeh?” J : “Iya.” W : “Aneng, mbedhudhak wetengmu. Kowe tak kandhani ya, nek mungsuh
karo Gathutkaca, Antareja, nek kayak owe mesthi ora menang mergane gathutkaca, Antareja ki pengapesane sing nyekel aku.”
J : “Ndhak iya Pret?” W : “Iya.” J : “Saiki ngene wae, apik-apikan aten amrih lakuku ya aja nganti ketara.
Kowe wae tak kongkon Pret, patenana Gathutkaca, Antareja, Antasena, Abimanyu, wisanggeni, sakpiturute.”
W : “O, ya. Aku saguh. Njur nek wis dha mati?” J : “Kowe melu aku. Tak suwitakke marang putra-putra ing pasetran, Prabu
Wiramba Dewa saksedulur. Mbesuk kowe bakal dadi maju.” W : “Resi Kampret.” J : “Iya.” W : “Tak kandhani ya Joromoyo. Aku saguh wong-wong kuwi mau mati
nganggo tanganku. Ning ora ana rupa tanpa bea. Aku kuwi nduwe bojo. Bojoku kuwi lagi nyidam.”
J : “Lho ya ana wong seneng karo dhapurmu kuwi?” W : “Lho ya ana. Anyidame bojoku sing meteng kuwi njaluk rujak mata buta.
Apa kowe isa minangkani pa?” J : “Mengko tak thethelke buta sing ngantuk-ngantuk, tak coplokane matane,
rujaken.” W : “Sing dijaluk ki ya buta kayak owe, jenenge ya kayak owe, mripate ya
kaya kowe.” J : “Ngomong wae njaluk mataku. Ora sewiyah-wiyah Pret. Kowe ya apa
kira-kira karo pandhawa manunggal?” W : “Mripatmu mengko tak dandani. He, Kaki Joromoyo, sawangen aku
sapa.” J : “Walah, tak kira ki dudu kowe. Jarene Kampret.”
145
W : “Saiki sambata, tak banda tanganmu, najan ora ana kene papanku. Ning sing kok rasani pepundhenku, wajib aku mbelani.”
J : “Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi?”
W : “Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha.”
J : “Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek. Ora uman patan aku.”
W : “Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.”
J : “Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni.” W : “Isa ngoyak aku ya nyata buta digdaya.” J : “Candhak, mati.” W : “Theng..theng..theng..kugeruk.. Angger nyendhal, cengker. Cekiker.” J : “Nek tendon adu arep.” W : “Watak Wisanggeni aja nganti kok kowe ndemek, isa nglancangi lehku
mlayu wae aku rumangsa kalah.” J : “Ah. Candhak kowe. Ra sah gameli. Amba jangkahku. Gedhe tanganku.
Okeh tadhaku.” W : “Oyaka” J : “Eleh. Ketiging. Lhadalah. Cara-carane mungsuh pitik ngono mungsuh
karo pitik jengger wilah. Wis wareng, jengger wilah. Ora wani tarung, mloya mlayu.”
W : “Ee, lha kok mbalik. Nek ngglendhengi ati-ati kowe.” J : “Coba nek tanggon. Padha tanggon ora menang kowe karo aku. Mlayu
ngetiging, angger tubruk luput, tandhing karo jengger wilah.” W : “Jengger wilah kae nek ngembun.” J : “Le teka yah apa kae mau?” W : “Ngoyaka. Buta kaya ngono ora wedi aku.” J : “Lah, aja mlayu kowe Ni. Ha, ngandel ora lak mati nganggur.” W : “Aku ki ora mati lho, Kaki. Iki nek cara ndersila geni, perang model
gangsir ngenthir.” J : “Ha, njur dayane?” W : “Clenthik. Ngemeka. Slenthik, bengkah dhadhamu.” J : “E,e. Candhak.” W : “Theng..theng.. ngapa?” J : “Ngenthir.” W : “Gangsir kok semono gedhene.” J : “Gangsir benggala iki.” W : “Njur?” J : “Ngemeka. Slenthik bengkah.” W : “Ya. Kono wae. Tak mek ngko.” J : “Ora urus. Jebulane ngidaki kijing ta aku. Pantes sikilku lara. Aja mlayu
Wisanggeni.” W : “Ayo, nututa mrene.”
146
Disk 5 (Suluk) Anoman pracandra seta cucarawung kapimenda. Kapimenda. Ooo… Banjur kocapa semana teka Resi Mancangkara dupi uninga Raden Wisanggeni kabujung dening reksasa. Senajan ta dereng nampi ngendikanipun Raden Wisanggeni, saknalika cancut taliwanda den watek aji mahundri. Joromoyo, senajan datan sirna mlayu, saknalika plajar kapiyandem. Buta tata galena. Kalana katayut takung maringgut ADEGAN 13 (WISANGGENI MENYURUH ANOMAN UNTUK MENJAGA KARANG KAPULUTAN) J : “E, e, e. Lhadalah. Ora ngerti jebul ditutake karo sing kawakan, Anoman
mateg daya kekuwatan. Sujana aku. Yen luput bisa kelakon dadi kuwalaya aku. Tak tinggal nyimpang dalan, sakpungkurku ana jayi kepranggul ana papan sing tak karepake. Aja takon dosa tak kembari kowe.”
Kacariya langening wanadri tumuwuh kang anut mangsa. Mawantu tumibaning warih. Megar ingkang sarwa puspita. Ambabar geganda kang ngarung. Katiyuping samirana bermara kang ngresep sarining kembang. Oooo..
W : “Siwa Anoman.” A : “Kula Ngger.” W : “Ngapa kok njuk tumungkul?” A : “Sewu kalepatanipun ingkeng bapa nyuwun pangapunten. Mangertos yen
angger Wisanggeni bujung gandarwa, raosing manah kula mboten narimakaken daya-daya kawontenan menika enggal paripurna. Rejasa saking taman kekiyatan kula saknalika mlajar.”
W : “Oo, nek jane mana ya luput. Tak kandhani Wa. Lupute Siwa Anoman durung tak aturi pirsa. Ning ya bener, benere Siwa Anoman mbelani karo aku. Ya gandheng wis tekan mangsane kudu ngono. Saiki tak pasrahke mangsa bodho Siwa Anoman supaya tansah ngawat-awati pedhukuhan Karang Kapulutan.”
A : “Lha ngger badhe tindhak pundi?” W : “Aku bali. Ewadene yen mengko ana apa-apa kok Siwa Anoman ora
keconggah utawa ora geduga mateka aji pampering, tak tekani Wa.” (Suluk) Mundur saking ngayuda. Mulat para wadyabala katon gumuruh. Suwarane gundhi mangungkung ing gegana. Ooo.. A : “Yen pancen sampun mekaten mboten sanes ingkeng bapa badhe
nyendikani angger Wisanggeni anggenipun ngendika.” W : “Oo, ya sokur, sokur.” A : “Ngaturaken sugeng.” W : “Iya. Aku tak mara kayangan. Mengko yen ana apa-apa matur ya Wa.” A : “Inggih. Sendikaken dhawuh Ngger.”
147
Pathet sanga (Suluk) Tumiyup saka jumangkara sang resi mayangkara. Amulat kayun ontran ing wewengkon pedhukuhan Karang Kapulutan. Dinulu saking katebihan ketingal bramakarta. Mracihnani kalamun ta saklingkuping pedhukuhan kono. Kataman ing bebaya. Kataman ing sambekala. Ing pangajab sang tapa Begawan Mayangkara arsa ndherek mbangun pepadhang kalimputing pepeteng ing pedhukuhan iku. Angudharu kawontenan ingkang ruwet marmane pendhita kang gentur tapane nggen clupat cluput gen oleh sandhi bisa nelakaken prabawa ageng gara-gara kang tanpa upami. ADEGAN 14 (GARENG, PETRUK, DAN BAGONG BERNYANYI BERSAMA-SAMA MENYAMBUT KEDATANGAN TUANNYA) P : “Lingguh. Nek ra kawung aku emoh.” G : “Teka-teka kok nembang pangkur.” B : “o..wi..yung..” G : “Aja nyendhaki Gong. Ngono..ha..e..” B : “Ngono.” G : “Pating pecothot.” P : “Cing..cong..” B : “Lur kini kilur.” G : “Dudu nggone. Edipeni.” P : “Ngono aja ngono.” B : “Ngono mbok ya men. Waton tanggung jawab.” G : “Kowe ki ngapa ya.” P : “Wong urip sabar narima.” G : “Kudu sabar nrima.” B : “Aku ora sabar.” G : “Aku tak takon Gong. Kowe modhel ngendi pangkur kok keri dhewe tiba
dadi jathilan. Ketoke seni cara Solo ya ora ana sing kaya ngono kuwi. Mbanyumasan ya ora ana sing kaya ngono kuwi. Luwih-luwih nggone dhewe ya ora ana sing kaya ngono kuwi.”
B : “Mula gawe.” G : “Kok njur reka-reka wae. Hemm. Mula gawe. Mula gawe.” B : “Aku ki angger muni ana tembung thing thung thing thung, waduh, aku
kelingan sok dadi encling, waduh. Medem temenanan.” G : “Sakgeleme dhewe. Medem medem. Ana pangkur apik-apik kok ya
thungkling thungkling thungkling thungkling. Kemerep ora.” B : “Kowe ya melu njoged kok kayane.” G : “Aku rak ming katut kowe.” P : “Ah, malah dha udur.” G : “Ora ndene kok teka-teka pangkur ngethigling.” P : “Tembang jawa tembunge. Jawa dadi pasemon. Pangkur minangka
kanggo gawe tuladha gegambaran pandonga lan panuwun muga-muga
148
sakpungkure padha pepanggihan agung ngluwari pangudarasa sakpiturute bisa lebar tanpa ana tabet. Lha sakpungkure banjur tembange pangkur. Kasempangna seka bebaya. Kasingkurna seka dening sakliring trimala.”
G : “Wah, sokur. Yen ngana kowe ki pancen jan kamot pituture. Sok meneh nek nembang kaya ngono kuwi nek kira-kira ana pitutur sing apik ora sah ngejak Bagong. Bagong ki dadi pengelek-eleke kabeh.”
B : “Aku ki ra tau dikon Reng. Ning nek krungu menyat. Kowe aja kaya ngono kuwi kowe.”
G : “A, iya.” B : “Njuk kepriye Truk, para pepundhenmu Pandhawa?” P : “Rawuh.” G : “Dhawi ngruyuk bapak.” P : “Heem.” B : “Sokur.” G : “Saiki bapak gek dadi wong ampuh kok. Ketoke wong kaya ngono ta,
cethuthat cethuthut ning agek diarep-arep, gawa ning Jakarta, gawa ning Jawa Timur. Merga saka bapak kuwi le pinter ngendhang kuwi. Mangka asline kendhange kae ora urut jane. Bapak Semar Badrayana kuwi nek ngendhang ki jane ya mung nirokke jogede awake dhewe iki. Thung thung thak blang thak blang ta. Ya ta? Tak ndhundhang ndhundhang ta Gareng. Petruk barang ki katut. Tak ndhundhang ndhundhang Petruk. Prandek kuna laris Truk. Bapak kae, aku seneng karo nangsibe bapak kae. Wingenana ki lara bareng aku, bapak kae strook. Aku sakjrone lara wolung sasi ora mari-mari malah kabarke modar. Ning ya rapapa wong nyatane awet urip kok ya. Bapak ya awet urip cethuthat cethuthut, ning malah dhuwite okeh wong kae ki. Ya muga-muga wae. Aku biyen ndelok le mbangun omah kok apik temen, modhele kaya omah sewan.”
G : “Padhakke omah sewan.” B : “Lho le gawe lokasine kuwi aku dhewe ya gumun. Kok kaya wong ra
patek pengalaman.” P : “Kang Gareng karo Bagong tak kandhani ya. Aja nyepelekke karo bapak.
Ndara Antasena wae ngendikake yen bapak kuwi kompol isi madu.” G : “Ora legie wonge.” P : “Nek wonge aja kokdilat, mesthi ora legi. Ning sing dianggep madu kuwi
kawruhe bapak sing ana njeroning atine bapak. Ya kuwi unen-unen bapak bakal mbangun kayangan, merga bapak arep medharake kawruh diwejangke marang para bendara sing supaya bisa manunggal.”
G : “Oo, ngono.” P : “Mula pasemone nganggo pusaka telu.” G : “E, e, e, e. Agek ngerti iki aku. Ning sing sok ngoso-oso bapak ki malah
Bagong iki lho. Kowe kupingmu rungokna Gong. Kowe kudu sing wedi karo bapak.”
B : “Ya. Ya mengko nek weruh bapak tak tutupane raiku. Aku tak wedi.”
149
G : “Tegese wedi karo bapak ki kudu mbangun miturut apa ucape wong tuwwa diprentahke kowe kudu Inggih sendika Pak. Ngono. Ora kok njuk tutupi raimu kuwi.”
P : “Iki gandheng para bendara rawuh Kang. Aku kesel. Mau ing Ngamarta aku dikruyuk wong okeh nganti ana kedadeyan peperangan.”
G : “Lhoh, kowe ki perang?” P : “Heem.” G : “Mungsuh sapa?” P : “Ndara Sentyaki. Kaya raja karo Sentyaki.” B : “Kowe ki raja ngana pa? Raja kok bluput.” P : “Le tandhingan mana Ndara Sentyaki. Ning aku ya dibelani karo Ndara
Antasena.” G : “Lha kuwi. Kuwi cocok nek karo Truk. Awit le koplak padha.” P : “Koplak. Koplak. Ayo kowe nggendhing sing apik ora ketang mung
sakdhelok kanggo atur panembrama lan kanggo ngadhem pikir aku le sayah.”
G : “Tak kinthengi ya.” P : “Ya. Coba.” G : “Thinthinge nem nem karo jangga. Iki mau ana titipan karo kersane sing
kagungan dalem supaya aku nggendhing Kutut Manggung.” B : “Ah. Jane mendele.” G : “Ora perduli. Ya ben. Wong dikersakke kok. Pathete menyura.” B : “Pelog apa slendro? Apa pendro?” G : “Pendro ki apa?” B : “Pelog slendro muni bareng.” G ; “Ya tak nitik slendrone dhisik.” P : “Heem. Ning njaba.” G : “Mengko kowe peloge ya.” P : “Ya. Aku mengko peloge.” G : “Ning nonong. Mbangsur. Mengko warangganane Bu Surtinah.” B : “Lumempeng lho kuwi. Ning dhaerah Temon kana juwara.” G : “Juwara?” B : “Juwara le nyindhen kuwi.” G : “Sore-sore ya apapak.” (GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG) G : “Wah, rada ampuh ki. Mau bengi prei, mulane ampuh.” B : “Dhasare ditunggoni pacare.” G : “Sing ngendi?” B : “O..we..yo.. Wah.. pancen singgetan kuwi nganggo blang gentung
gentung dhung. Ketok-ketoke ya blang gentung gentung jleng jleng. Kelingan ngomah.”
P : “Senggakan kaya ngono kok ngelingke ngomah.” B : “Blang gentung meneh.” P : “Udu. Udu. Kok sing kokapali mung blang gentung gentung.” G : “Aku nyanyi dhewe lho Gong. Ora kok rusuhi.”
150
B : “Blang gentung. Wah, jan. kaceke bapak ora mrene ya.” G : “Nek rene?” B : “Tak kon ngendhang jane. Cengkoke kuwi maul ho tak genti blang
gentung gentung.” G : “Ya ra wangun iku.” B : “Wah, jan.. Hm..hmhm..hm.. Hm..hm..hm..hm..” G : “Ge muni meneh!” (GARENG NEMBANG SIMPANG LIMA) G : “Simpang lima ria. Lapangan pancasila. Semarang ngumandhang
pranyata serba guna. Ning nong ning nong.” P : “Ya aja dadi ati. Saweneh ki wis ana sing lali, arang-arang ditabuh.” B : “Ngertiku rak simpang lima Wates kae.” G : “Kowe ki sing ora-ora. Genten kowe Thong. Aku mengko tak melu
nggerong.” P : “O, inggih. Sampeyan nek gendhing kula mboten gendhingan. Ajeng
nyuwun sinoman kalih Bu Susilo Wardoyo.” G : “Uler Kambang wae lho.” P : “Keparengan sing kagungan dalem dikersakke uler kambang.” B : “Sore. Sore.” G : “Udu. Ana uler kok ngambang sore-sore ki ngapa?” P : “Lho, rak apik.” B : “Dang gentung gentung.” G : “Isane mung blang gentung gentung. Kuwi mau jenenge tembang uler
kembang.” P : “Niki nek dingo wong telu isa regeng.” G : “Carane piye?” P : “Keneng apa kok sajake.” G : “Kuwi Bagong.” P : “Lewa lewa. Nak nung nak nung nak nung nak nung nak nung. Inuk-inuk
lan ora inuk. Cing encang encing kencung cang encung encang encung. Blang thong thong thong.”
B : “Dang gentung gentung.” G : “Ora ana uler kambang kok dang gentung gentung.” B : “Apik temenan kuwi Truk. Regeng.” P : “Ning kowe isa apa ora?” B : “Isa. Isa. Isa.” (GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG GENDHING BANYUMASAN) P : “Keneng apa.” G : “Sajake kok.” B : “Lewa-lewa. Nang nung nak nung nak nung nak nung nak nung. Nung
nak nung.” G : “Kowe ki mau mikir apa ora bathukmu? Kuwi mau bageyane Petruk.
Bageyanmu ki incing incing ngono mau. Aku nong neng nong neng
151
nong, kowe tekku. Ha wong iku ulangane bapak Badrayana kok. Aku sengit karo Bagong ki. Mumpung ning pathet menyura.”
P : “Inggih kula mangke tak nyuwun Eling-eling Mbanyumasan.” G : “Kono jajal, tak krungu. Wah, ketok apik disuwuk.” P : “Inggih, Eling-eling Mbanyumasan pancen ngoten suwuke.” B : “Ah, aku arep nyuwun tulung Mbak Sih.” G : “Nek ra ngono. Sapa Mbak Sih?” B : “Nyuwun tulung pangkur.” G : “Pangkur apa?” B : “Pangkur macapat.” G : “Iya. Tibane gendhing..” B : “Halah. Sakanane.” G : “Ya aja sakana-anane, nyuwun.” B : “Ya mengko nek wis rampung agek pangkur.” G : “Anu wae tibane dolanan dipadhakke pangkur karo caping gunung
ngono.” B : “Oiya.” Disk 6 (GARENG, PETRUK, DAN BAGONG NEMBANG CAPING GUNUNG) B : “Aja turu Reng.” G : “Ora. Sing ngantuk dheweke kok aku sing diomongi.” B : “Pipa gadhing nek tuku kok larang. Becik nyolong wae.” G : “Kowe ki ngapa, tambatan kok seko kono.” B : “Suwek.” G : “Kanca-kanca wiraswara.” B : “Ee,, lha gebleg. Gambang suling sing nggenah swarane. Eyoo..” G : “Apik iki Gong.” B : “Nong ning nung.” G : “Ek..ok.. Ek..ok..” B : “Oeyo.. eyo.. eyo..” G : “Kudune dijogedi Gong nganggo kendhangan cara jaipong.” B : “Ning aku kesel.” G : “Ya wis nek kesel. (GARENG, PETRUK, DAN BAGONG MEMBICARAKAN PUSAKA-PUSAKA NGAMARTA YANG DATANG KE KARANG KAPULUTAN) KSB : “Ee, Nala Petruk, Gareng, Bagong, kowe ndang mrenea. Ki lho
sesembahanmu wis padha lenggah.” P : “Inggih Pak.” G : “Inggih Pak.” B : “Inggih Pak.” G : “Sik, aku tak takon.” P : “Takon apa?”
152
G : “Sing teng clorot metu ndhuwurku mau apa?” P : “Nah, dha ra pengalaman.aku mau tekan ngomah ya bareng kuwi, ning
aku ra medhun kana. Medhun terus tiba pang, pang anjlog terus njebluge kowe mau. Ki mau pusaka Ngamarta Kang, Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, Songsong Tunggulnaga. Sing keri ki mau tumbake. Ngarepe tumbak senjata cakra.”
B : “Kuwi lak kagungane Sinuwun Dwaraka ta?” P : “Ha iya.” B : “Ha kok melu rene.” P : “Ha yo ben.” B : “Oo, kangen ro pusakaku kuwi.” G : “Pusaka kok komplot, ya ra ketemu nalar.” P : “Ayo Reng padha diseboh Kyai Semar, diadhep para gusti-gustimu Ngamarta.” G : “Ayo ta. Siyaga tata-tata. Ayo Gong.” P : “Alon-alon.” Punika warnanipun pedhukuhan Karang kapulutan ya Kembang Sore, Karang Kadhempul, Parang Pinaritis. Senajan ta kono mung mujudake pedhukuhan, nanging sanyata rikala semana iku ingkang angripta pandhita ingkeng kagentur tapane swargi Begawan Germani ingkang ambabar Tri Sasana. Tri wilangan telu, sasana papan. Ingkang sepisan, ambabar pertapan wukir rehtawu ya pertapan sapta arga ingkang minangka cumondhokipun pandhita ingkang turun saking Begawan Germani. Ingkeng angka kalih, pesarean Giri Sarangan ingkeng kinarek-narekaken para pandhita ingkeng turun saking Begawan Germani. Ingkeng angka tiga, Karang Kapulutan, pedhukuhan ingkang minangka cumondhokipun pamomong wiji ratu ya Ki Semar Badranaya Boja Gati Nayantaka. Momong putra tiga kang gombaki kang kuncungi. Pambayun Gareng, panegak Kanthong Bolong, kang ragil Ki Lurah Bagong. Natkala semanten lenggah mogok-mogok tenggok melok-melok kaya tembok kerawan para sinuwun bendara Ngamarta, Prabu Puntadewa kadherekaken rayi tetiga raden Harya Sena ya Raden Werkudara saha rayi kekalih Raden Nakula Raden Sadewa. Natkala semanten kang datan bisa pisah sakrikma pinarasasra bebasane Raden Angkawijaya ya Raden Abimanyu, putra Madukara. Ing kono arep sowan ngacarani bendara ingkang nembe rawuh. Kepareng lucitaning driya lathi Ki Semar Badranaya. ADEGAN 15 (KI SEMAR BADRANAYA MENYAMBUT KEDATANGAN PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIKNYA) KSB : “Ee, anakku Nala Gareng, Petruk, lan Bagong.” G : “Kula Pak.” P : “Kula Pak.” B : “Dalem Pak.” KSB : “Kowe padha kendela sakuntara. Aku tak manggihi marang sesembahan.” G : “Inggih, sendika Pak.”
153
P : “Sendika Pak.” (Suluk) Semar rika den prayitna. Eeee… Ooooong… Eeee… Risang mahayekti. Oooong… Oooong… Sawusnya semedi. Oooong… Oooong… Munggwing pacrabaan. A..e… Ana mulat wijiling sasangka.. wijiling sasangka… Oooo… Sangking ardi karahaningtyas alon-alon ngendika… Oooonn.. triwagatra tundhu.. KSB : “Kowe ki meneng sik ta Le, aku tak nemoni bendara.” B : “Mangga Pak.” KSB : “Lha kok malah nyuwara Mak O.” B : “Eman-eman nek ora ditabohi.” KSB : “Wis kowe meneng-meneng karo mangan. Gusti kula sinuwun ingkang
nembe rawuh, sakderengipun nyuwun pangapunten. Kula ngaturaken pambagya panakrama rawuhipun Gusti Nata Agung lan para bendara kula sedaya.”
PP : “Kawula nuwun nampi pangestu Ki Semar kados mboten kirang setunggal menapa.”
KSB : “Ee, mangke rumiyin ta. Lha kok njenengan kaliyan kula tata krama niku dospundi?”
PP : “Tumpraping tata gelar panjenenganipun Kaki Semar Badranaya, nanging mengging batos kula sampun mangertos bilih Kaki Semar menika estunipun minangka dados tameng.”
KSB : “Inggih, inggih. Mpun. Mpun mboten sah ngendika kathah-kathah.” RN : “Semanten ugi kula ngaturaken raharja Kaki.” RS : “Kula semanten ugi ngaturaken raharja Kaki.” RW : “Aku semana uga nampa pangestumu kaya ora ana alangan Kaki
Dhepol.” KSB : “Inggih sokur Den.” G : “Ndara Werkudara nek karo bapak kok muni Kaki Dhepol ngono ya
Truk. Jane karepe ya Kaki Jebol. Kaki Dhepol.” B : “Nek ora ya Kaki Dhegus.” G : “Kae lak nyela-nyela. Apa ana wong tuwa disebut Dhegus.” KSB : “Ee, Ndara Abimanyu.” RAB : “Kula nuwun wonten paring adhawuh.” KSB : “Mboten wonten alane penjenengan atur sungkem.” RAB : “Kepareng nyelani pangandikanipun Kaki.” KSB : “Inggih. Sumangga.” RAB : “Wa Prabu kula ngaturaken sembah pangabekti.” PP : “Iya ya Ngger Abimanyu, tak tampa.” RAB : “Rama Werkudara semanten ugi ngaturaken pangabekti.” RW : “Iya Abimanyu, tak trima.” RAB : “Paman kembar, sungkem kula konjuk, paman.” RN : “Iya Ngger Abimanyu tak tampa.” RS : “Iya Ngger Angkawijaya tak tampa.” KSB : “Nala Gareng, Petruk, Bagong ra sah nyuwara.”
154
G : “Inggih Pak.” RW : “Ora entuk nyuwara ya.” KSB : “Mung Petruk sing takdhawuhi natkala semana ndherek kiswara rawuh
marang bendara kabeh. Wis padha rawuh lan pusaka nyata wis mlebu ning padaringan.”
P : “Inggih Pak.” KSB : “Ya taktrima ya Le. Pancen kowe ngestokake marang dhawuhe bapak.” P : “Pangestunipun bapak kula suwun.” KSB : “Heem. Ee, anakku sing isa tak percaya lagek kowe kok Ngger, Ngger.
Sing pinter minangka kanggo gawe sranane wong tuwa.” P : “Inggih, pangestunipun bapak.” KSB : “Sing Gareng mung thengak thenguk.” G : “Inggih, pangestunipun bapak.” KSB : “Hush. Thengak thenguk kok pangestunipun bapak.” B : “Kalih kula Pak, nggih mung thengak thenguk.” KSB : “Iya ya. Kowe ya kena nyambut gawe Thole Bagong.” B : “Inggih. Inggih. Inggih. Sok nek bar rekaman kula ndherek nggih Pak.” KSB : “Heem. Kejawi saking menika Gusti. Natkala semanten Petruk sowan
marang panjenengan supados matur bilih panjenengan kula aturi rawuh supados abiyantu anggen kula badhe mbangun kayangan.”
PP : “Kula nuwun inggih Kaki. Namung kemawon senadyan ta sampun wonten minangka dados tuladha para pusaka kasebat. Ewadene kula sakadang dereng saged ngaturaken lan dereng mangertos menapa ta werdinipun Kaki Semar badhe mbangun kayangan?”
KSB : “Ha niki. Kuciwani teng ngriki. Janipun ajeng kula tegeske wujudipun para bendara kula pandhawa. Ning nyatanipun pandhawa niku kudu lima kok mung ana papat. Ha niki Ndara Janaka teng pundi?”
PP : “Dhimas Janaka waunipun kenging pambujukipun Kaka Prabu Dwarawati saengga kalimput dhateng kula sakadang.”
KSB : “Ha. Niki ngaten. Sedaya titah marcapada menika kasinungan kesagedan kasinungan daya menapa kemawon, nanging ngaten menika nek ora nganggo dhasar setiti ngati-ati niku tumprap wong mlaku sok kejeglong-jeglong. Kadosdene lampahipun pandhawa ingkang minangka dados tepa tuladhanipun para ratu nyatanipun Keng Rayi Raden Janaka gampang kena pambujuk saengga ninggalke kadang. Mangka yen kadang lima kok ilang siji ateges mpun dudu pandhawa.”
PP : “Kula ngaturaken kalepatan mbok bilih wonten lepatipun Dhimas kula Janaka sakmenika. Ingkang kula suwun sediyanipun Kaki Semar Badranaya menapa ta dipunsebataken badhe mbangun kayangan?”
KSB : “Nah, ngaten. Gandheng ajeng matur mangsa kagol omong kula. Sakmenika panjenengan badhe mangertos isinipun batin kula, penjenengan sedaya kudu bisa nglakoni mati sakjroning urip.”
Oooong.. Dening utamaning nata berbudi bawa leksana. Oooong.. Lir ingkang bawa leksana mengkana dennya paring donya ageganjar saben dina. Lir ingkang berbudi ngerti pangendika. Omm.
155
Cinarta nalika semana wong agung Ngamarta wus pinaringan pangandikan Ki Semar Badranaya supados anglampahi seda saklebetipun gesang. Wusana ilang kakedhepaken. Ora ngemongaken tiyang agung Ngamarta, sedaya para titah marcapada pancen anggayuh utawi anggadhahiniyat kepengin badhe nindakaken kados dening linang sukma seda saklebetipun gesang mboten lepat. Wonten ingkeng saged maringi tuladha kados dene contonipun Nata Ngamarta wilang kakedhepaken. Ing kono maruka wonten ing pedaringanipun Ki Semar Badranaya sedaya pinanggih nugraha agung. (Suluk) Anjrah lir sang puspitarum. Katiyuping samirana amrih. Gandaning sekar gadhung mangember. Oooong… ADEGAN 16 (RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA SAMPAI DI KARANG KAPULUTAN) RG : “Kula Sowan Kaki.” RA : “Kula sowan Kaki.” KSB : “Ee.. Ee.. Bareng muni, ketekan dhayoh. Prul-prulan. Ndara Gathutkaca
kaliyan Ndara Antareja.Sami wilujeng Den?” RG : “Pangestunipun Kaki paring raharja.” RA : “Pangestunipun Kaki kados mboten wonten alangan.” RAB : “Kula ngaturaken pangabekti Kang Mas.” RG : “Iya Dhimas Abimanyu.” RA : “Iya Dhimas Abimanyu taktampa.” KSB : “Kok panjenengan sami lenggah ndheku-ndheku dhateng ngajengan
kula.” RG : “Estonipun kula mangertos piyambak bilih Wa Prabu sakadang sampun
wonten ngarsanipun Kaki anggenipun badhe nampi wejangan. Estonipun kula menika nggih kadangipun pandhawa, putra kadang pandhawa atmajanipun Rama Werkudara. Lha penuwun kula, kula kepengin badhe minututi Wa Prabu lan Rama supados sami-sami mangertos wigatosing pepanggihan menika.”
RA : “Kula semanten ugi Kaki.kepengin badhe mangertos menapa werdinipun ingkang kasebat badhe mbangun kayangan.”
KSB : “Ee. Mboten kena. Mboten kena. Niku ngibarate wong meguru, bapa karo anak bareng mboten kena. Kudu salah sawiji. Yen bapakne bapakne, yen anake ya anake. Sing ora kena bareng sing nampa wejangan. Mpun, sekecakke sing lenggah, kula tak teng pengkeran. Sekecakke Den.”
B : “Thak thuk thak thuk. Ambune ra enak. RG : “Yayi Abimanyu.” RAB : “Nuwun paring pangandika.” RG : “Rumangsa kagol pikiripun Kakang. Dhimas ing Karang kapulutan wis
diwejang apa karo mbahe?” RAB : “Sampun kathah ingkang dipunwedharaken Kaki lan estu damel
padhanging manah kula Kang Mas. Jane pun Kakang kepengen melu-
156
melu. Mbok menawi sampun cekap para pepundhen menika mangke saged. Kang Mas Gathutkaca lan Kang Mas Antareja nampi wejangan.”
Mulata gegana katon teja kang sinawuran. Tejane katon lir kusuma. Lir kusuma kawuryan. Ooong… Pocapa anggenipun imbal wacana semana kandheg jalaran Raden Gathutkaca lan Raden Antareja rumaos kagol ing penggalih. Nenggih ingkeng wonten jumantara reksasa jim ingkeng wus darbe kekuwatan aji kumayang jati. Datan wenten janma kang uninga wusana manjalma malih Raden Antareja. Kapanjalman jim maling sukma Raden Antareja sakbalika gumregah malik ing brol markata rupa. Paningal mondhar mandhir nyawang Raden Abimanyu kaya mestadaken singgat betatung. Jumangkah padha sakala ngidak tangane Raden Angkawijaya. Kacoka jangganipun. Sirna marahayu. (RADEN ABIMANYU MENINGGAL) RG : “Kadangku Yayi. Kowe keneng apa Abimanyu?” G : “Ndara Antareja kok sok sadis.” P : “Apa Reng?” G : “Sadis. Karo Ndara Abimanyu tegele kaya ngono. Gumunku kok Ndara
Antareja latihan nyokot.” P : “Rikala ana Ngamarta, Ndara Antareja, Ndara Sentyaki kuwi ro aku ora
akur.” G : “Oo. Heem.” P : “Lha mangka Ndara Antareja tekane kene bareng Ndara Gathutkaca.
Senajan Ndara Gathutkaca iku rikala semana karo aku wis nglenggana, ning nyatane Ndara Antareja sing nggawa Ndara Gathutkaca. Ateges bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara. Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki.”
RG : “Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare.” (RADEN ABIMANYU DISEMBUHKAN OLEH KI SEMAR BADRANAYA) G : “Turu ae. Turu ae Ndara.” B : “Piye Reng kaya ngene iki? Wis, pokoke ngene wae urip ya dipasrahke
bapak, ora ya bapak. Sing marai nekakke tamu okeh ki bapak. Tamu pirang-pirang ra menehi apa-apa. Pak.”
KSB : “Lhadalah. Gawe kaget.” B : “Ketiwasan Pak.” KSB : “Ana apa?” B : “Ndara antareja mau nyokot Ndara Abimanyu. Saiki Ndara Abimanyu
seda.” KSB : “Ngko dhisik, agek manembah.” B : “Manembah ki mengko. Sing pokok kae diurusi.” KSB : “Ee. Mengko dhisik.” B : “Mengko dhisik kepiye. Selak piyayine. Ayo. Lha wong ana kedadeyan
kaya ngene mung clumak clumik.”
157
KSB : “Bocah iki nek goblog, lhadalah. Lha wong kowe ki anak Semar, kowe anak Semar, kowe ya anak Semar. Ha kok sing tiru bapakne kok ora nana.”
B : “Tiru kowe elek kabeh wong buntek kok.” KSB : “Ee, wong tuwa dieneng-eneng. Brrt. Wungu.” (Suluk) Netra katon lir salira tunggal ciptaning sang abagus sang abagus. B : “Ngandel ora kowe bapak agek kesinungan. Mung Brrt kok mari. Ya ta?” G : “Ha ya.” B : “Padhakne karo gendhing pangkur sing ngendhangi tak dhung plak
dhung plak ya wangun. Nek cara awake dhewe ngerti gendhing ya brrt.” RAB : “Petruk.” P : “Nun.” RAB : “Ana apa iki mau Truk?” P : “Wah, kepripun. Ndara niki wau dicokot Ndara Antareja wusana nganti
kantaka. Penjenengan ingkang ngusadani bapak. Mergi saking menika Den, Ndara Gathutkaca njur mboten trima. Niki Karang Kapulutan onten kedadeyan sedulur karo sedulur. Ndara Gathutkaca karo Ndara Antareja dha kerengan.”
RAB : “Adhuh. Aku ra seneng yen kedadeyan kaya mengkono. Kowe metua njaba kono Petruk. Kangmas pisahen nggone panca.”
P : “Inggih. Yo Reng.” G : “Iya.” (Suluk) Oooongg… Oooong.. Ye kata sang Gathutkaca kinen Nampak arga suta, arga suta. Mulat mengandhap tumingal wadyabala kalamangga tuwin saking jumantara mir sang napati karna. Ooong.. ADEGAN 17 (RADEN GATHUTKACA BERPERANG DENGAN RADEN ANTAREJA) RA : “Gathutkaca ana apa kowe rene, He?” RG : “Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang
Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.”
RA : “Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah nggugu karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca.”
RG : “Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa.”
158
RA : “Aku ora nrimakake yen para pepundhenku, ming karo Semar kok dianggep.”
RG : “Ayo nutut banda.” RA : “Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati.” (PETRUK DAN BAGONG MEMBAHAS PEPERANGAN ANTARA RADEN ANTAREJA DAN RADEN GATHUTKACA) P : “Gong, Ndara Antareja lan Ndara Gathutkaca nek disawang seka
kadohan meh padha.” B : “Ha wong sedulur kok. Ketoke kakak beradik ning ora padha ki lak aku
karo kowe.” P : “Heem.” B : “Ha iya ta. Ketoke kakak beradik ning jane dhewe-dhewe. Contone
upamane kaya aku kabeh ya nggantheng. Ha nek kowe karo aku ya kaya lenga karo banyu.”
P : “Ah dapurmu.” B : “Semantakna ayo okeh-okehan Reng, lak ya apik aku. Mula anak-
anakane putune bapak kuwi ya sing apik turun Bagong. Ora ngandel, sawangen, anakku sing jenenge Asri. Huuh,,kae turun Bagong asli. Ha rak beda beda ta. Coba karo mbokne adoh suk sate, ayu Asri.”
P : “Karo bojomu?” B : “Ha iya.” P : “Bojomu anake ayu biyen nyeleweng.” B : “Cangkemmu.” P : “Aku gumun banget nek le antem-anteman ora maido, padha. Ning kok
bareng Ndara Antareja kepepet nyokot, aku ra patek percaya.” B : “Aku malah mesakake singdicokot kuwi Truk. Nek ra isa ngrampungi
kepiye coba?” P : “Takgolekna Ndara Antasena.” ADEGAN 18 (PETRUK MENGHADAP RADEN ANTASENA) RAN : “Petruk mlayu-mlayu.” P : “Inggih Den.” RAN : “Piye kaanane Karang Kapulutan?” P : “Sae.mboten wonten napa-napa. Keng Wa, Keng Rama, Keng Paman
mpun manut lan manunggal. Wigatosipun sampun cocok kados ingkang dipungendinkaken kaliyan Ndara wonten Ngamarta wau.”
RAN : “Rak tenan ta.” P : “Lajeng saksampunipun Ndara Sena ndherekaken Keng Wa, lan pirsa
mboten ngerti, pokoke ilang kula kedhepke. Njuk Keng Raka kekalih rawuh.”
RAN : “Kakang Gathutkaca lan Kakang Antareja?” P : “Inggih. Dha ndheku-dheku teng ngarepe bapak. Ha bapak semaya sesuk
nek wis rampung. Niki agek nggulawenthah sing tuwa, mboten kena ing
159
atase meguru kok bapa karo anak bareng. Ha bapak mlebet teng senthong. Ha kok Ndara Antareja niku njangkah, Ndara Abimanyu dicandhak terus dicokot.”
RAN : “Oo, iki mau. Ha apa wingi?” P : “Ha nggih niki wau.” RAN : “Ha njur?” P : “Semaput. Ndara Gathutkaca njur nesu. Njur kerengan Ndara Gathutkaca
karo Ndara Antareja.” RAN : “Ha njur?” P : “Ndara Abimanyu sing nguripke bapak.” RAN : “Ha njur?” P : “Anggenipun pancakara niku mboten wonten sing kalah mboten wonten
sing menang wong kula karo Bagong nunggoni. Ndara Antareja niku nyokot kados buta, Ndara Gathutkaca kantaka. Kula karo Bagong nduwe penemu nek mboten penjenengan ora isa.”
RAN : “Ha njur?” P : “Rampung. Niki kula kalih panjenengan tindak dhateng papan ngrika.
Nek mboten panjenengan mboten mlampah. Saged meper kamurkaninipun raka kekalih.”
RAN : “Ha njur?” P : “Nggih Ndara Antasena kudu nggunakke kepinteran. Kepiye carane.” RAN : “Ha njur?” P : “Njar njur njar njur.” (RADEN ANTASENA DAN PETRUK DATANG KE TEMPAT RADEN ANTAREJA DAN RADEN GATHUTKACA BERPERANG) RAN : “Wis tak tiliki le kerengan Truk.” P : “Njur?” RAN : “Mulane Kakang Gathutkaca ketemper jalaran Kakang Antareja kae kaya
dudu karepe dhewe.” P : “Oalah. Njur?” RAN : “Njur udelmu bodong.” P : “Nek kepepet njuk udel.” RAN : “Padune nirokke aku, njar njur njar njur.” P : “Jajal a taktinggal lunga piye.” RAN : “Iki nek ora isa ngilangi sing manggon ana Kakang Antareja ora bakal
bisa peper kamurkane. Meh ning ngendi Truk?” P : “Weruh e. kula sumanggaake Ndara, mangsa bodhoa.” RAN : “Tak tandangane ya.” P : “Inggih.” (RADEN ANTASENA BERPERANG DENGAN RADEN ANTAREJA) RA : “Iki Antasena rene.” RAN : “Heem.aja suwe-suwe le manggon ning kakangku. Kuwi raga, raga
janma. Nek kowera roh jahat, aja kok tutug-tutugke. Hayo, lunga.” RA : “Ora perduli. Yen urung mateni Semar ora bakal lunga.”
160
RAN : “Tak tandingna aku.” RA : “Aduh Dhimas, pun Kakang wis tobat.” RAN : “Kowe ki kok senengane nyuwungke jagad. Petruk.” P : “Nun.” RAN : “Kakang Antareja wis mari.” P : “Ha nggih, sokur.” RA : “Aku tobat Dhimas.” RAN : “Wis kana lungguh kono. Kakang Gathutkaca diprepegi njaluk ngapura.” RA : “Iya. Nang ngendi wonge mau?” P : “Teng petengan ngrika.” (PETRUK KESURUPAN) RAN : “Sing ngati-ati iki akeh lelembut padha nglambrang. Kowe sing ngati-ati lho Gong.” B : “Inggih. Mangke kula kalih Petruk tata-tata.” P : “Ora ana Antasena lho Gong.” B : “Aku ngerti kok Truk. Kowe kudu sing mawas, iki ana setan mawut.” P : “Setan kok mawut sing ngejemi sapa?” B : “Ya kudu digolekke wadhah, ora digolekke wadhah mbebayani.” P : “Kowe arep nyathek aku kowe, He?” B : “Kowe ki ngapa Truk?’ P : “Ngapa, ngapa. Minggat. Dudu menungsa kowe. Ayo, lunga, lunga.” B : “Petruk edan.” Disk 7 (RADEN ANTASENA MENYEMBUHKAN PETRUK) RAN : “Kowe ki ngapa?” B : “Wadhuh, Petruk edan.” RAN : “Ya nggene?” B : “Ngantemi kula niki teng penyonyong niki. Petruk mboten nate nyuwara
napa-napa ning niki wau ngonekke kula kok dudu wong kowe, asu kowe.”
RAN : “Dionekke kaya asu?” B : “Inggih.” RAN : “Mangka jane?” B : “Nggih cocok. Tulung nggih Den, Petruk ditambani nggih Den. Kula
semelang niki mangke nek balik anake nek dha diantemi wong Petruk wau ora nggenah.”
RAN : “Wis ra urus.” P : “Ha iki nek ra kleru Raden Antasena ditutke karo kudanil.” RAN : “Meneng wae lho Gong.” P : “Ayo. Ayo. Ayo. Ayo maju. Ora gelem menehi panganan aku, tak until
kowe.” RAN : “Ee, njaluk tak ajar kowe.” P : “Nyuwun ngapunten nggih Den.”
161
RAN : “Kowe mau ngapa Truk?” P : “Mumet e rasane. Gek ndelokke mburi kono gething. Wong kok kaya
memedi ngono.” RAN : “Sing ngati-ati, aku taknemoni Kakang Gathutkaca.” B : “Mau kowe ngonekke apa karo aku?” P : “Ora ngonekke apa-apa.” B : “Ora ngonekke apa-apa piye. Aku kok onekke asu kok.” P : “Ning aku ra ngonekke Gong, tenan kuwi.” B : “Apa aku salah krungu? Ngati-ati ki okeh setan mawut, kowe tata-tata tak
kon ngati-ati aja nganti kelebon setan. Kowe baung! Ayo kowe lunga, aku wis gatel sirahku. Ayo lunga, ngko ndak tak kamplengi. Ee, lunga, lunga, lunga. Adhuh, adhuh, bingung iki aku. Yung, adhuh. Iki kudune aku balik Gedhangan. Bingung temenan iki. Yen nggodha dewi Kasemo cilaka iki.”
P : “Gus Antasena, ketiwasan Gus. Bagong gemblung.” RAN : “Ndi wonge?” P : “Ha nika wonge.” RAN : “Edan pa kowe?” B : “Oo, mboten kok. Mpun mari. Ha nek kula wau mpun edan Petruk kula
kampleng ning separo kelingan separo ora. Niki wau sing ketok kok bojone kasemo.”
RAN : “Kakang Gathutkaca kon rene Truk.” P : “Inggih. Gus, niki lho dikersakaken ingkang rayi.” RAN : “Kang.” RG : “Apa Dhimas?” RAN : “Saiki gunakna kagunganmu sumping suket sulanggana siti. Kuwi nek
disipatke mripat rak isa weruh setan ya Kang.” RG : “Oo, ya bisa Dhimas.” RAN : “Lha coba.” RA : “Mbok coba dititi priksa Yayi.” RG : “Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa.” RA : “Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi.” RG : “Sendika.” RA : “Aku njaluk supaya bisa weruh setan piye Dhimas?” RAN : “Oiya kowe ora nduwe ya Kang. Nyoh, tak caosi nek mbok menawa
priksa.” RA : “Aku ora trima didu karo sedulur. Kecandhak, antemane buta iku.” P : “Kula paring Gus. Ora trima. Kula wau nggih didu e. nganti Ndara
Antasena tegel kalih kula ta wau.” RAN : “Hem.” B : “Kula. Ajeng kula ngge ngantemi buta. Ha wong kok meh didu. Ha
sujana nek ketoken.” RAN : “Kowe arep njaluk?” B : “Inggih, ben weruh.” P : “Nyoh Bagong.”
162
B : “Dhuh kowe ketok peteng. Setane peteng kaya ngono e. wadhuh, nek aku njuk ra weruh dalan, ning ketok setan tok. Hadhuh. Ndara Antasena njenengan teng pundi?”
RAN : “Ning kene. Lha kowe ngapa ta?” B : “Ha mboten weruh e. ha kok le ngleleti ora cocok.” RAN : “Aku ora ngleleti.” B : “Adhuh nek ra isa mari le kulak pasir piye.” RAN : “Kok kapakke ta Truk?” P : “Kula paring lendhut.” B : “Wah, jan Petruk ki jan ora weruh temenanan. Mulane kok peteng
ndhedhet wer liweran.” RAN : “Nyoh. Nyoh.” B : “Ha ngene weruhe. Apa ana wong mlaku kok miring? Ya dianu kabeh ta
Gus.” RAN : “Wah, kowe ki jan. mula mata ki aja amba-amba.” B : “Nah, rak kaya ngene ta. Wa. Wa. Wa.” P : “Wong buta ning kana wis nggereng kowe kok.” RAN : “Ngati-ati Truk ditututi Kakang Bagong.” P : “Inggih.” (Suluk) Yirsa Kendra katon lir sang manganak anu. Manebak manelpindha singa anepda lawan. Ooong.. ADEGAN 20 (MALING SUKMA BERPERANG DENGAN RADEN GTHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA) MS : “Wah, Gathutkaca nututi aku.” RG : “Kowe sapa?” MS : “Maling sukma aku. Aja ning ngarepan. Aku ngemban dhawuh supaya
aku mateni Siwa Badranaya.” RA : “Ora. Minggata. Pothol sirahmu. Ora urus buta buthak. Kowe gawe
cilakane aku akro adhiku gathutkaca. Tangia, sembur blasahmu.” MS : “Mati aku. Antareja, gathutkaca dha tembayatan.” MS : “Ki ngapa ta klithikan ki? Hah, nguyuhi aku ki lho.” P : “Ana swara ra ana rupa.” MS : “Wah, ora urus. Gek gathutkaca karo Antareja ora dha ketok, candhak
bara mangsa e.” RA : “Aku gek arep perang, aja clila clili.” B : “Anu kula niki weruj penjenengan ambles ki seneng. Mbok kula diwirid
Den.” RA : “Men napa?” B : “Men saged ambles.” RA : “Ha rak kowe sowan ning njangkar bumi.” B : “Halah, teng ngriki rak mboten napa-napa Den.”
163
RA : “Isa ambles ning ora jeru.” B : “Cethek-cethek wis gelem wis.” RA : “Iki kum-kuman ali-ali diombe.” B : “He, ana mbeleke ya.” MS : “Gathutkaca karo Antareja. Satriya loro kok mbotohke aku. Untal malang
sawiji.” MS : “Kae mau apa ya?” B : “Ayo, tandhing karo aku. Wakile Ndara Antareja.” P : “Gong, Gong. Ee, kowe aja ambles Le.” B : “Sebabe?” P : “Ora jero malah ngrusakke lemah e. lemah apik-apik njur dha mredhul-
mredhul.” B : “Aku seneng e.” P : “Seneng okeh sing rusak po? Ngrusakke teke wong-wong.” B : “Sesuk nek ngulon?” P : “Metu kidul. Aja metu ratan gedhe, ngrusakke ratan.” MS : “Ngrembug apa ya kae ya. Kudune salah siji ana sing tak entekke. Mboh
Antareja mboh Gathutkaca tetep tak candhak.” (ADEGAN 21) (MALING SUKMA BERKELUH KESAH DENGAN MALING RAGA) MS : “Wadhuh, ketanggor wong edan. Wadhuh, Antareja meh arep mati,
ngantem ora tak gawe rasa, Gathutkaca ya ketoke wedi. Bagong tak getak kayane kontal kok metu meneh. Awakku digebyok-gebyok nganggo ngangkrang. Aku awake kenceng dicokoti ngangkrang, suwe-suwe kendho.”
MR : “Ha dha ning kene barang.” MS : “Dhi.” MR : “Nun.” MS : “Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh
awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan.” MR : “Wuuh, paling ya kalah.” MS : “Ora karu-karuwan.” MR : “Mpun nek saiki sampeyan kalah ganti jeneng. Ora nganggo jeneng
maling sukma wong nyatane kalahan. Mamilih diparap parlin apa gimin?”
MS : “Hah, padha wae. Tinggal mundur dha diatur.” (Suluk) Miyat miyut lakuning angin sumawur kang ambabar geganda. Kasiliring mandra, mandra. RAN : “Buta sing calon mbebayani wis ilang tak kedhepake Kang.” RG : “Iya Dhimas.” RAN : “Lha iki aku perlu nyaosi Kakang Gathutkaca. Bebaya kang tumeka ing
Karang Kapulutan ora ming iki lho Kang. Kabeh para putra-putra kudu
164
sing ngati-ati. Lan Petruk semana uga kowe kudu ngubengi tetangga. Sakjrone ana kedadeyan ngene supaya sampur janur kuning, ing njero kudu diilan-ilani nganggo dedhasar kang bisa nolak sakliring bebaya alus.”
P : “Inggih. Kula mpun ngerti Den.” RAN : “Sokur. Kakang Gathutkaca lan Kakang Antareja kudu ngaso karo
ndelengake kaanan pedhukuhan Karang Kapulutan kang bakal tinempuh bebaya.”
RG : “Iya Dhimas.” Jejer Manyura Natkala semana Raden Gathutkaca saha para putra pandhawa ingkang tansah jaga rumeksa ing Karang kapulutan ingkeng wonten jumantara Sang Resi Mayangkara. Kocapa minangka ingkang sinabeting cinarita, natkala semana pepanggihan wonten saklebeting padaringan. Para pandhawa ngadhep marang Sang Hyang Padawenang. Wusana imbal wacana alon pangandikanipun. Eeng.. Ooong.. Alon tata lenggah nira. Ooong.. Ingkeng dumunung wonten sasan sepi ya ateges wonten panepen padaringan Sang Hyang Padawenang ingkeng natkala semanten mimpin mindho jalatri, esti manah, tansah hangarsa ingkeng wayah para pandhawa. Ingkeng wayah Prabu Puntadewa, Raden Werkudara utawa Raden Janaka, Raden Nakula, Raden Sadewa. Nanging kaya ngapa kagete Sang Hyang pada priksa keng wayah hamung wonten catur tunggal. Cuwaning penggalih Sang Pada datan bisa sesarengan hanggenipun nampi marang pengendikanipun. Ewadene marwane iku wus pinaringan sabdane nur cahya kinen ambabar pangandikan marang para wayah ingkang pantes minangka dadi tuladhaning para ratu pun satriya mancanegari. Ing kunarso rukmeng daya kepareng luciting driya kang kawiji dhateng lathi. Eeng.. Ooong.. Sasangka wusrumangsang wayah sumuluh amadhangi puncak ing gunung-gunung. Sirna kumedhaping kartika kasultan liwang pratandha mijil katandha wus gagad rahina. Ooong.. Sumiting samirana ambabar ganda kang arum. Ooong.. remu-remu tumawing bawana. Sidheng telenging wanadri. Oooong.. Kukila munya tetimbangan aneng panging mandira kapiyarsa swaraning mabuk srigunting. Eng.. ADEGAN 22 (PRABU PUNTADEWA BESERTA ADIKNYA MENDAPATKAN WEJANGAN DARI SANG HYANG PADAWENANG) SHP : “Wong ngajwaladisan palungguhan kulun Puntadewa?” PP : “Nuwun wonten paring pangandika.” SHP : “Kita kabeh padha basuki.” PP : “Kula nampi pangestunipun pukulun kanthi karaharjan.ingkeng wayah
ngaturaken sembah pangabekti konjuk saandhap pada.” RW : “Aku semana uga, sembahku tampanana.”
165
RN : “Kula ngaturaken pangabekti kulun.” RS : “Kula ngaturaken pangabekti kulun.” SHP : “Iya, iya, kulun tampa. Punta.” PP : “Kula.” SHP : “Natkala semana kulun dhawuh marang Ismaya supaya mboyong
pandhawa kumpul ana ngarsa kulun ingkang perlu bakal kulun paringi seserepan ingkang jumbuh marang tanggung jawab kita kabeh.”
PP : “Kula nuwun inggih.” SHP : “Kita darbe pusaka iku rikala semana seka sapa?” PP : “Tri sangking Prabu Yudhistira ingkang wujud Jamus Kalimasada malah
keleresan kulun. Inkeng wayah dereng saged mangertos isinipun Jamus Kalimasada.”
SHP : “Lha Jamus Kalimasada kuwi kudu jumbuh kelawan pandhawa. Pandhawa kuwi anane lima kok dadi mung papat ateges ora bisa jumbuh kelawan isine Jamus Kalimasada. Jamus ki kapercayan jati. Yen wis kena pusaka kuwi wus ora kena pambujuk dening kawruh liyan, jalaran isine kapercayanan iku mung ana telung perkara, mantep, mandhep, marep sepisan. Kang angka loro, percaya marang kang nyipta jagad. Ingkeng angka telu kang jujur iman lahir tuwin batin. Yen liyane telu iku wis ora nana. Senajan ta kita percaya ning nyatane gampang kena pambujuk, imanmu gampang dhoyong. Ora ana paedahe nggonmu nyekel jamus kalimasada. Kelima, wilangan lima. Panenggah kita ana limang perkara, wektune beda-beda. Ingkang pungkasan, usada. Usada iku yen kita bakal mangerti tumprape wong loro tetamba, sapa sing ngusadani. Ning gandheng iku kapercayan kita kudu bisa ngusadani sakliring tumindak ing angkara murka. Ora mokal yen Puntadewa tansah nyingkur marang jembaring bumi, ngiwakake marang donya lan brana ning nengenake marang tingkah laku kang utama patut dadi kiblating para manungsa. Lha yen panembah lima kok mung ana papat lak ora genep.”
PP : “Kula nuwun inggih matur sembah nuwun.” RW : “Aku kepengin ngerti tanceping agem-ageman sing wis diparingake
marang Dewaruci bapakku. Blung mangkara nata.” SHP : “Kuwi candraning kawula gusti. Senajan ta kita dadi gusti ning ora tresna
marang kawulamu ora paedah. Gusti mangerti marang kawula ana apa-apane kawula kudu bisa tanggung jawab, ning kawula ya kudu ngerti marang gusti.”
RW : “Cudhuk kang dipupuk jaroting asem.” SHP : “Kumpuling rasa. Pangrasaning si Werkudara.” RW : “Gelang candrakirana.” SHP : “Candra wus ngarani wujud. Kirana, mubeng. Wujuding urip marcapada
kabeh manut mubenging jagad lan kaanan. Ana kalane bungah ana kalane susah. Uga ana kalane nampa nugraha. Ning uga ana kalane sing bisa mrihatinake marang jeneng kita.”
RW : “Kampopoling pintu lajikip.”
166
SHP : “Kiblat papan mapane kang dunung ana wetan, kulon, lor, lan kidul. Yen jeneng kita bakal mangerti.”
RW : “Emm. Kabeh wis padha kumpul. Aku mangerti marang tandhege sumping pudhak sinupet.”
SHP : “Anggon kita tansah bekti marang kang mahakuwasa. Mula Gathutkaca, Puntadewa sakadang iku gambare janma kang cinipta manembah marang gustine. Mula digambarake Werkudara ngadeg jejeg, Puntadewa tansah eling marang tanggung jawabing urip.”
RS : “Kulun, menawi ingkeng wayah badhe mangertos sangkan paraning urip sampurna ing dumadi.”
SHP : “Sangkan paraning urip kita Ngger, tak kandhani. Rikala jaman kita durung medun ana marcapada isih ana awing-awang uwung-uwung kang dumunung sawiji cipta. Kita tansah nut lakuning dhawuh, pinanggih rama lan ibu kita, kita mapan ana sakndhuwure, sakwise dadi garwaning kita durng ana granane sakpiturute mengko banjur kita dedunung ana saktelenging kalbu satemah nganakake pinipanca. Kita titah ana marcapada kang wus darbe nur saengga candra. Nur eka candra dadi lan ing ati nur nawa candra. Iku ana lakune dhewe-dhewe. Yeng nganti tak wedharke ana kene nggladrah. Sing baku kaya mengkono kita kudu dumunung ana marcapada ngerti alam kang gumilar. Titah marcapada ngerti alam kang gumilar ateges ngerti alam pitung perkara. Sepisan alam kang gumelar. Angka loro alam bayi. Bayi iku ora duwe daya apa-apa kajaba mung dayane ana alam pangimpe nendra. Ingkeng angka papat alam timur. Kang angka lima alaming diwasa. Kang angka nem alaming sepuh. Kang angka pitu alam langgeng. Mengkono Nakula lan Sadewa.”
RS : “Matur sembah nuwun Kulun.” RN : “Nuwun aparingan dhawuh.” SHP : “Kita majeng mrene kulun paring pusaka minangka piyandel kena kok
tularke lank ok paringke marang kabeh para kawula kang aran njitapsara ngelmu sejati.”
PP : “Matur sembah nuwun pukulun.” (Suluk) Meh rahina semubang iwang aruna kanidi netraning agarepuh. Ooong.. Sabdaning kukila lir kanigara ring kanigara saketer kidunganingkung, kidunganingkung. Lir winising pinipancapa tekaping ayam wana. Ooong. SHP : “Wus kita tampa?” PP : “Sampun.” SHP : “Kabeh iku mau dadi wewarah kang becik. Mbesuk yen wis kumpul
kadang-kadang kita, jer kabeh iku mau sih gampang kena coba. Citapsa kasebut kena minangka dadi piwulang kang becik marang kabeh para kadang lan kawula.”
PP : “Matur sewu sembah nuwun.”
167
SHP : “Ingkeng pungkasan, kita neng Karang Kapulutan kudu kok genepi catur dasa dina. Tansah nenepi aneng Karang kapulutan. Aminta tetulungan marang Ki Semar Badranaya.”
PP : “Nun ngestokaken dhawuh Kulun. Kula kepareng nyuwun pamit.” RW : “Aku njaluk pamit.” RS : “Kula nyuwun pamit.” RN : “Nyuwun panembahing pangestu Kulun.” SHP : “Sing padha ngati-ati.” ADEGAN 23 (PRABU PUNTADEWA MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA) KSB : “Mangke ta Sinuwun.” PP : “Kula Kaki.” KSB : “Pripun? Dipundukani kaliyan Pukulun Padawenang?” PP : “Inggih seklimah kalih klimah pun dukani. Lan estu-estu pandhawa
menika dados gegambaran jumbuh kaliyan isinipun pusaka jimat kalimasada.”
KSB : “Nek digatekke tapi. Ning nek mboten nggih mboten.” PP : “Sampun dipuntegesaken.” RW : “Aku ya wis kalegan bisa ngerti.” RS : “Semanten ugi kula Kaki sampun mangertos sangkan paraning sampurna
ing dumadi.” KSB : “Nah, njur ingkang pungkasan ngendika kepripun?” PP : “Kula supados kandheg wonten ing Karang Kapulutan saklebetipun catur
dasa dinten.” KSB : “Ha, mpun sakniki lenggah wonten Karang Kapulutan ngriki nggih
dhaharipun dhahar cara dhusun.” PP : “Mboten dados menapa.” KSB : “Mpun mangga.” PP : “Sena.” RW : “Apa?” PP : “Ayo lenggah ana panepen.” RW : “Tak dherekke mbarep kakang.” G : “Pak.” KSB : “Hem.” G : “Sinuwun wau mpun pepanggihan kalih bapak?” KSB : “Wis.” G : “Nggih sokur. Njuk bapak sakniki taksih sering semedi mboten?” KSB : “Lha ya isih lha wong tanggung jawab.” G : “Nggih sokur saged wilujeng dhateng para putra wayah.” KSB : “Kene mengko arep ana tamu e.” G : “Tamu? Nggih mangke kula sing nggawa kembang menyane.” KSB : “Padahal milik rokoke ta, dhapurmu.” G : “Lha pancen niku pati urip e.”
168
(Suluk) Kacarita natkala semana Ki Semar Badranaya wus dhawuh marang putra Nala Gareng. Kocapa reksasa ingkeng dhateng wonten pedhukuhan Karang Kapulutan. Sutra dewa kang manganuk anung. Ooong.. Dinulu nir surya kembar. Tutu yayah lenging gutaka mingis siyung kadulu mawa prabawa. Eeeng.. ADEGAN 24 (BATHARA KRESNA YANG MENYAMAR MENJADI RAKSASA MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA) BK : “E. e. e. e. Kowe sing jenenge Tumar.” KSB : “Buta rada kocak iki. Wong Semar kok Tumar. Buta ngendi kowe, he?” BK : “Kreyang kabur kanginan tanpa dhongkotan. Jenengku Digdya
Jajalanak.” KSB : “Oo, lha memper.” BK : “Semar.” KSB : “Hem.” BK : “Aku teka mrene kongkon sing murba lakuku ora sembarangan
manungsa nanging mustikaning dewa pukulun Bathara Guru. Dina iki kowe ditimbali supaya menyang kayangan bareng karo aku Mar.”
KSB : “Hahaha.. Hehehe.. Lha kok dadi aneh temen kongkon kok kongkon buta. Guru ki adhiku, anak-anakku okeh nang kana. Sing anakku dhewe ana sepuluh nang kana. Ha kok kongkonan buta. Kowe buta ngendi jal?”
BK : “Aku ra nduwe papan.’ KSB : “Lho rak tenan ta. Bojo nduwe ora?” BK : “Ora.” KSB : “Kowe aja mungkir. Bojomu ki telu. Ora sah ndadak lewa-lewa. Iya ta?” BK : “Ora isa.” KSB : “Ora isa. Ora isa piye?” BK : “Ming karek kowe manut karo aku.” KSB : “Ora. Aku ora arep manut. Ora butuh tepung karo buta.” BK : “Yen ora manut aku arep..” KSB : “Arep apa?” BK : “Tadhah teleng.” KSB : “Jajal mangkata.” (GARENG MELAPORKAN KEDATANGAN RAKSASA YANG MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA) P : “Hah, hah, hah. Kowe ki nek mlayu aja banter-banter Reng. Tenagamu
wis sekeh. Sikilmu wis pincang, ya ta. Ambeganmu dhelok-dhelok kempis-kempis. Ha kok mlayu banter ra jamak ngono lho. Ora-ora ditinggal.”
G : “Tinggala ya rapapa wong aku nduwe dhuwit.” P : “Lha ana apa?” RA : “Tak takonane Truk.”
169
P : “Inggih taken mawon. Ora ngaku blaka tak idak-idak kowe.” RA : “Ana apa Reng?” G : “Ngeten nggih Den, kula wau rak sowan keng eyang nggih kakekne
ngaten. Wonten ngriku nembe ngendikan kalih Keng Rama, Keng Wa, Keng Paman. Sareng Keng Wa, Keng Rama, Keng Paman kasebut mlebet wonten ing senthong, ha njuk onten buta. Buta niku takon bapak nggih ngoten nika. Bapak le wangsulan kalih ngentut. Kula kontal bablas nganti tekan kene.”
RA : “Butane mau ngapa?” G : “Kowe ditimbali ing kayangan Mar. Butane wau nyeluke Tumar e. ora
tadhah rumangsa, bapak dioyak Den.” RG : “Kang, taktandangane.” (Suluk) Mancat pundhak ngasta jangga. Gunggung gumlundhung, gunggung gumlundhung rawe rantas malang pinutung-putung. Eeeng.. BK : “Ha, kowe Gathutkaca.” RG : “Kowe sapa?” BK : “Jaja Lanang. Aja kowe sing maju, Semar kok ketok. Antemane.” RAN : “Sembahku konjuk Kaki.” KSB : “Nggih, kula tampa Den.” RAN : “Kaya rame-rame.” KSB : “Ndara Gathutkaca, Ndara Antareja, Ndara Sentyaki arep nyekel buta.
Ning kuwat banget butane gedhene banget. Mangka buta niku diantem jan mboten nggendut.”
RAN : “Wis, aja semelang. Aku ngerti Kaki.” KSB : “Ee, sokur Den yen pirsa sami kaliyan kula.” RAN : “Lenggah kana Kaki.” KSB : “Eeh, wong tuwa dha diupret-upret.” RAN : “Reng. Truk. Gong” P&B : “Inggih.” RAN : “Iki ana buta sing nyalawadi. Saiki ayo dipethukke.” G : “Wah, Ndara Gathutkaca, Ndara Antareja mawon kemeng kok. Kula niki
mangke nek mboten dadi silit.” P : “Pripun carane Gus sing ngalahke?” RAN : “Aku mengko tak ngetutke, kowe dha nyuwaraa nek isa. Teguh rahayu
yuwana slamet. Slamet kersaning dewa.” G : “Wah, mboten apal kula.” RAN : “Kajate ora dadi ngono wae.” G : “Ha nek niku gampang.” P : “Kula nggih ngoten niku?” RAN : “Hoo. Karo Gareng kiblat lor karo kidul.” P : “Kajate ora dadi.” B : “Mangsa dadia. Dadi ra menyang ya ora dadi ya.”
170
RAN : “Aku ro kowe bareng. Teguh rahayu slamet. Slamet ngarsaning dewa.” B : “Alah, bar mulang kok langsung lunga. Ha ya lali aku. Teguh rahayu
wuyana kuwi adhine slamet. Teguh rahaayu yuwana karo slamet nang nggone siwa.”
Disk 8 (BATHARA KRESNA BERTEMU DENGAN GARENG, PETRUK, BAGONG, DAN RADEN ANTASENA) G : “Hah, semono gedhene. Haah.. Iku nek mithing rak ya..” BK : “Ha iki tak nggo sarapan.” G : “Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Kajate ora dadi jadahe ora dadi. Kajate
ora dadi kajate ora dadi.” BK : “Wadhuh, malah yer-yeran sirahe.” G : “Truk, ayo Truk muni kajate ora dadi. Lunga butane.” P : “Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Kajate ora dadi. Ning nang ning gong.” BK : “Adhuh mati aku. Punakawane dha edan. Methukke aku dha nyuwara.” RAN : “Teguh rahayu slamet. Slamet seka kersaning dewa.” BK : “Lha iki sing mimpin iki.” RAN : “Le mlaku ya themplek-themplek.” B : “Wadhuh. Teguh. Teguh. Teguh. Wiyana. Wiyana. Iya ta? Nak nggone
slamet bener ra? Teguh nak nggone slamet karo siwa. Halah mandi e.” (Suluk) Kocapa rikala semana gandarwa den bujeng dening punakawan sirna wujuding
buta. Macan mudhun sangka gunung anut ilining tirta nalusuping wana wasa, wana wasa. Eeeng.. RJ : “Kados pundi Kaka Prabu?” BK : “Yayi arep weruh?” BK : “Ketiwasan Yayi. Ketiwasan. Punakawane dha diulang karo anakmu
Antasena nganti pun kakang kejodheran. Pun kakang tak matur Sang Hyang Guru mangsa bodho si adhi kang tumandang.”
RJ : “Lenggah kula tandangane.” ADEGAN 25 (RADEN ANTASENA MELAPOR KEPADA KI SEMAR BADRANAYA) KSB : “Ee, baguse Ndara Antasena.” RAN : “Iya Kaki.” KSB : “Butane mpun mboten wonten?” RAN : “Wis. Ilang sipate buta. Iki mau sejati badhare Wa Kresna.” KSB : “Oo, nak ra tenan. Mula kula wau mpun matur arepa buta kae wong kowe
nduwe Negara, bojone ya telu.” G : “Hoo e, kaya aku e.” KSB : “Ha mulane kuwi.”
171
G : “Nek aku mau muni ngono kuwi pak. Kajate ora dadi.” KSB : “Gareng.” B : “Nek aku mau teguh yuwana slamet, slamet karo siwa. Ngono ya butane
lunga kok pake.” KSB : “Ya sokur. Kuwi paringane bendaramu Antasena. Nggih mpun ditrimak-
trimakke mawon Den. Niku nek ora ana sing ngajani ora kelakon.” (Suluk) Tan nyana teka mangkono kocapa malumpat satu Sumbawa. Ing kono kena wewalate Sang Hyang Padawenang. Nglumpruk tanpa daya. (RADEN ARJUNA MEMINTA MAAF KEPADA KI SEMAR BADRANAYA) RJ : “Adhuh, mati aku. Kaki Semar, aku wis tobat. Njaluk pangapura Kaki.” RAN : “Kaki.” KSB : “Hem. Wonten napa Den?” RAN : “Ya diwelasi ta Kaki. Rak ya priksa ta.” KSB : “Mpun kajenge riyin.” G : “Ora ndene macan niki wau lho den, mak klumbruk, brebel, wangi
ambune.” B : “Nek kuwi entutku kok.” G : “Omong sak-sake wae.” KSB : “Ee, sampeyan macan.” RJ : “Iya.” KSB : “Sakniki karepe ajeng pripun?” RJ : “Njaluk ngapura.” B : “Kula saguh maringi ngapura ning sampeyan tak kon mlaku dalan sing
bener. Aja mingar minger ndhak keblinger.” RJ : “Iya Bagong.” G : “Bagong kok ya digugu.” KSB : “Ha lha nek sampeyan mpun tobat temenan, kula nyuwun keng kuwaos
mugi-mugi ngudanana. Nek pancen rumiyinipun sampeyan manungsa, balia dadi manungsa. Ning nek pancen asline kewan, mang dadi kewan.”
(Suluk) Badar dadi sapala. RJ : “Aku njaluk pangapura Kaki.” KSB : “Ha nggih. Mboten dadi napa.” RAN : “He Pak.” RJ : “Apa?” RAN : “Sampeyan aja mung waton ngendika. Senajan ta juwi Kaki Semar
Badranaya ning bapak mesthi bisa mulat sapa ta sejatine. Lha sampeyan ora melu teka ing Karang Kapulutan karo Wa Prabu. Ora bareng karo Bapak Werkudara. Sampeyan rugi, hem. Jajal pirsanana sapa kuwi?”
172
(Suluk) Eeeng.. Mulat sang arjuna wus menyang kamanungsan. Eeeng.. RJ : “Adhuh kulun kula nyuwun pangapunten. Kula nyuwun kados kadang-
kadang kula.” KSB : “Ha telat. Ning wau Keng Raka Sinuwun Ngamarta sakadang mpun
pinaringan jitapsara, buku ngelmu sejati. Mpun niku mawon, mangke kena mang cupliki. Sing apik diagem. Mboten bakal kleru lan ora keri kaliyan Keng Raka.”
RJ : “Kula ajrih yen dipundukani.” KSB : “Oo, mboten, mboten. Mangke yen didukani kula. He, Den, Keng Rama
diterke.” RJ : “Nyuwun pangestu kulun. Ayo.” RAN : “Wis kana ndhisik. Ning ngati-ati.” RJ : “Iya.” G : “Karo maratuwane kok wani ya. Aku tau nggetak maratuwa dijaluk e
anake wedok.” KSB : “Ah, wis ra genah. Kaya ngene iki wulangane Sang Hyang Guru nganti
para momonganku dha wani karo aku. Ee.. Kaya ngapa.” (Suluk) Dewa nuntun pangarsa saya sinawang sangking mandrawa. Eeeng.. Ooong.. ADEGAN 26 (BATHARA KRESNA MELAPOR KEPADA BATHARA GURU BG : “Kresna.” BK : “Inggih Kulun.” BG : “Kepiye?” BK : “Adhuh ketiwasan. Kakang Semar mbreguguk ngutha waton datan wong
agung mboten purun kula boyongdhateng kayangan, kados sampun mangertos.”
BG : “Wah, keparat.” BKP : “Dhi Guru. Ngatos-atos Dhi. Kakang Semar menika tiyang mboten napa-
napa, wong sing jujur. Adhi guru kedah saged ngulat dhateng kawontenan.”
BG : “Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.” ADEGAN 27 (BATHARA GURU MENEMUI KI SEMAR BADRANAYA) BG : “Kakang Semar ngancu neraka bakal mbangun kayangan.” KSB : “Nek aku ki mbangun kayangan Suralaya sing wis tak dhongkeli nggone
sapa? Agek tak nggo mangan wae sedina telung dina prei. Ha kok nyela-nyela mbangun kayanganing dewa.”
BG : “Tembung sing kaya mengkono ora bakal luput. Nyangklak saka wewanguning kayangan. Ngko tak cekel kakang Semar. Sotke Kalacandra.”
173
KSB : “Ee, lhadalah. Bojling wis slamet. Kowe arep njajal kakangmu, jajalen.” BG : “Adhuh Kakang, aku tobat. Aku entuk mlayu?” KSB : “Iya, mlayu tekan telaking ula nek ra tak cekel kowe, aja takon dosa
kowe.” (PRABU PUNTADEWA MEMINTAKAN MAAF UNTUK BATHARA GURU DAN BATHARA KRESNA) PP : “Ampun angadhangi Gusti. Kajenge adhi kula Bethara Guru kula ajar.
Eee, karo kakangne kok wani kaya ngono. Kowe dadi ratu ana kayangan kuwi aku sing nganggonke. Kae biyen aku ya isa tak wenehke kowe ki pira-pira kok ra maturnuwun. Malah kowe wani karo ku, Hee Guru? Eee, guru ning mulang arang-arang. Renea nek kon ngidak-idak.”
PP : “Pukulun, kula nyuwunaken pangapunten kalepatanipun pukulun Bathara Guru. Kula nyuwunaken pangapunten dhateng kelepatanipun Kaka Prabu Bethara Kresna. Awit sedaya saged kalimput saged kamendhungan.”
KSB : “Sampeyan kalih kula kok muni pukulun.” PP : “Rikala wau pukulun lenggah wonten panepen ning sakmenika lenggah
wonten penjenenganipun pukulun Bathara Ismaya iya Ki Semar Badranaya, Pukulun Padawenang.”
(Suluk) Ooong.. Ireng-ireng kembang bopong, kembang bopong sarimulat. Kembang trate bang rerayungan, rerayungan. Rumambet bebuletan. Lir kembang karang sungsang. Ooong.. Eeeng… Ambuka ing gegana.. Ooong.. Eeeng.. ADEGAN 28 (SANG HYANG PADAWENANG MEMBERI MAAF KEPADA BATHARA GURU) SHP : “E.e. Bathara Guru.” BG : “Nuwun wonten dhawuh kulun.” SHP : “Upama ta ora tetameng pukulun Dharma kusuma, kita bakal kulun
paring pengajaran.” BK : “Kula nyuwun pangapunten kulun.” SHP : “Heh, wigatekna Kresna. Jeneng kita iku sing nyekel panguwasa ing
kayangan supaya nyekel marang adil nenepi dharmaning dewa ingkang patut dadi kiblating para titah. Kresna.”
BK : “Kula.” SHP : “Kita dadi pangayoming para pandhawa anggunakna kawicaksanan
pretungan kang premati aja mung waton bisa ngarani aja mung anut marang hardening kamurkan. Sedaya kalepatan nyuwun pangapunten kulun.”
SHP : “He, Guru.” BG : “Kula Kulun.”
174
SHP : “Dina iki kita kulun paring pangapura, ning kabeh tingkah laku kita kang kaya mengkono mau kudu kok ilangi. Ora kena kok baleni.”
BG : “Nuwun ngestokaken dhawuh.” SHP : “Yen pancen wis siyaga manut, kulun boyong ing kayangan ondar-andir
bawana. Bakal kulun paring pitutur kang becik.” (Suluk) Dewa kamanungsan, kamanungsan. Ooong.. Katon mulat ardaning ardi kadulu wijiling sanggwang surya. Eeeng.. BG : “Kula kantun ndherek.” SHP : “Munggah kayangan, Narada dijak.” (BATHARA KRESNA MEMINTA MAAF KEPADA KI SEMAR
BADRANAYA) BK : “Kakang Semar, aku sing nyuwunke pangapura.” KSB : “Mpun. Mboten dadi napa. Mugi-mugi seklimah saking pukulun
padawenang wau minangka dados kekancingipun Gusti Nata Dwarawati.”
BK : “Iya Kakang.” PP : “Mangsa bodho tumprepet petengin Karang Kapulutan.” KSB : “Mpun mangke kula temonane bethari durga.” (KI SEMAR BADRANAYA MENYURUH BATHARI DURGA UNTUK MEMBUBARKAN PASUKANNYA) KSB : “Durga.” BD : “Kula Kakang.” KSB : “Kowe ora sah mayeng-mayeng, manut karo aku.” BD : “Inggih.” KSB : “Saiki balamu, jim, setan, peri kayangan, klenthek, balungan, candhak,
jrangkong waru dhoyong dhoyong nang pinggir kali.” BD : “Niku rak wau.” KSB : “Kowe wis ngerti. Jaken bali ana pasetran. Aja nganti ana jak-jakan ana
kene, luwih-luwih ngganggu anak putuku ing desa kene. Aku sing ora trima.”
BD : “Inggih,ngestokaken dhawuh. Kepareng kula jak wangsul anak-anak kula.”