skripsi penyelesain konflik kebijakan …
TRANSCRIPT
1
SKRIPSI
PENYELESAIN KONFLIK KEBIJAKAN PERTAMBANGAN
( STUDI KASUS DI KECAMATAN LAMBU KABUPATEN BIMA)
Disusun dan diajukan oleh
RAMDHIN
Nomor Stambuk :105640227415
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MAKASSAR
2020
2
PENYELESAIAN KONFLIK KEBIJAKAN PERTAMBANGAN
(STUDI KASUS DI KECAMATAN LAMBU KABUPATEN BIMA)
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Pemerintahan
Disusun dan Diajukan Oleh
Ramdhin
Nomor Stambuk : 105640227415
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
3
4
5
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Ramdhin
Nomor Induk Mahasiswa : 105640227415
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Judul : Penyelesaian Konflik Kebijakan Pertambangan (Studi
Kasus di kecamatan Lambu Kabupaten Bima)
Menyatakan dengan sesungguhnya dengan penuh kesadaran bahwa Skripsi ini benar
adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa Skripsi ini merupakan
duplikat, tiruan, plagiat atau di buat oleh orang lain, maka gelar yang di peroleh Skripsi
ini karenanya batal demi hukum.
Makassar, 27 Agustus 2020
Penulis,
Ramdhin
6
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Segala syukur dan nikmat atas karunia Allah SWT. Yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul Penyelesaian Konflik Kebijakan Pertambangan (Studi
Kasus Di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima. yang merupakan suatu syarat
penyelesaian studi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis tentunya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan yang
disengaja maupun kesalahan yang tidak disengaja, termasuk dalam penulisan
skripsi ini yang tentunya menemui hambatan, dan kesulitan sehingga untuk menjadi
lebih baik membutuhkan doa dan dukungan yang merupakan perantara penulis
dengan sang pencipta baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam
memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Penulis menyadari skripsi ini tidak
akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus
terutama dan yang teristimewa kepada : Kedua Orang tua tercinta, Ayahanda
Syamsudin dan Ibunda Narima yang sangat berjasa bagi penulis. yang senantiasa
mencurahkan kasih sayang, yang selalu hadir dan menyertai penulis dengan doa-
7
doa dan juga memberi motivasi dan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini
Selanjutya ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya
penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Bapak Prof. H. Ambo Asse,
M.Ag,
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Makassar. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos, M.Si.
3. Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar. Ibu Dr. Nuryanti Mustari, S.IP,
M.Si.
4. Bapak Abdul Kadir Adis, S.H,. M.H selaku pembimbing I (satu) dan Bapak
Rudi Hardi, S.Sos.,MSi selaku pembimbing II (dua) yang senantiasa
meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga
skripsi ini dapat selesai.
5. Kepala Kecamatan Lambu dan Jajarannya, serta masyarakat yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi informan penulis selama
proses penelitian berlangsung.
6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan yang telah
menyumbangkan ilmunya kepada penulis selama mengenyam pendidikan
di bangku perkuliahan dan seluruh staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
8
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah banyak membantu
penulis.
7. Teman-teman penulis khususnya; Nurmiftahul Janah dan Nurfaujiah, S.E
yang tak hentinya memberi dukungan moril dan mendampingi penulis
disegala kondisi.
8. Teman-teman penulis di GENG khususnya, Julkiflin, Muhammad Haris,
Muhammad Akbar, Risman Hadikusuma, Haerudin Iwan, Amar Maaruf,
Adiansyah, M. Syafril Aydi, Lisnawati S.Ip, dan Hamdan, S.Pd yang telah
memberikan dukungan moril dan dorongan motivasi untuk menyelesaikan
skripsi ini.
9. Teman-teman kelas IP F yang sama-sama berproses dan berjuang untuk
sebuah cita-cita mulia. Terkhusus untuk Nursalam, Hamzah S, Muhammad
rizal, Rasyida Fikri, Anashafar dan Arham Jabal dan dkk yang tiada
hentinya memberi dukungan kepada penulis agar menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Forum Komunikasi Mahasiswa Sape Makassar yang
senantiasa menyambut penulis layaknya keluarga sendiri selama masa
penelitian dan memberi dukungan kepada penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini.
11. My Support System yaitu Awwal Nur, Apriyanto Gunawan, Adhar,
Lismaidin, S.Pd, Hermansyah S.Pd, Arif, S.Sos.
12. Keluarga besar HIMJIP, IMM Kom. Fisipol, dan BEM Fisipol Unismuh
Makassar yang senantiasa mendukung dan memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi
ini sangatlah jauh dari kesempurnaan karena segala sesuatu yang sempurna itu
hanya milik Allah SWT dan oleh karena itu demi kesempurnaan skripsi ini, kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi
ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan.
Makassar, 27 Juli 2020
Ramdhin
ix
10
ABSTRAK
Ramdin. Penyelesaian konflik kebijakan pertambangan study kasus di
kecamatan lambu kabupaten bima (di bimbingoleh Rudi Hardidan Abdul
KadirAdis)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konflik kebijakan yang
terjadi di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima yang dilater belakangi oleh
berbagai factor yaitu kurangnya sosialisasi dan kurangnya keterbukaan
pemerintah terhadap masyarakat mengenai kebijakan yang di keluarkanya
Informan dalam penelitian ini adalah 10 orang dua orang dari
DinasPertambangan, dua orang dari tokoh Masyarakat, dua orang dari Kantor
KecamatanLambu, dua orang dari Kantor Desa Sumi dan dua orang dari Polsek
Lambu.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif, yaitu metode wawancara dan pengambilan dokumentasi.
Proses terjadinya konflik kebijakan adalah: Konflik kebijakan dilatar belakangi oleh
berbagai faktor yaitu: kurangnya sosialisasi dari pemerintah; pemerintah kurang terbuka
terhadap masyarakat mengenai kebijakan kebijakan yang di keluarkanya.
Penyelesaian konflik kebijakan pertambangan yaitu melalui mediasi,
administrasi dan negosiasi yang di lakukan oleh DPRD Kabupaten Bima.
Dengan mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik, Masyarakat
Lambu dan Pemerintah Kecamatan Lambu untuk berdiskusi serta mencapai
suatu kesepakatan bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Kata Kunci: Penyelesaian Konflik Kebijakan Pertambangan Yaitu :
- Mediasi
- Administrasi
- Negosiasi
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... .....................
i ..............................................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................... ii
PENERIMAAN TIM..................................................................................... iii
KEASLIAN ILMIAH..................................................................................... iv
ABSTRAK....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
A. Penelitian Terdahulu .................................................................................... 7
B. Proses TerjadinyaKonflik ............................................................................ 12
C. TahapDalamKonflik .................................................................................... 14
D. Mediasi ........................................................................................................ 18
E. KerangkaPikir .............................................................................................. 19
F. FokusPenelitian ........................................................................................... 21
G. DeskripsiFokusPenelitian ................................................. ... ... ................... 22
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 24
A. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 24
B. Jenis Penelitian ............................................................................................ 24
C. Informan Penelitian ..................................................................................... 24
D. Jenis dan sumber data .................................................................................. 26
12
E. Teknik pengumpulan Data ........................................................................... 26
F. Analisis data ................................................................................................ 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................... 28
A. Karakteristik objek penelitian.......................................................................
28
B. Bentuk konflik kebijakan pemerintahan daerah terhadap pengelolaan
pertambangan di kecamatan lambu kabupaten bima.................................... 31
C. Proses Penyelelesaian Konflik di Kecamatan Lambu Kabupaten
Bima ..............................................................................................................
45
BAB V PENUTUP........................................................................... ............... ..
64
A. Kesimpulan...................................................................................................
64
B. Saran-
Saran…………………………………………………………….…..65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 66
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah Negara yang terdiri dari pulau-
pulau kecil, pulau ini didiami oleh suku-suku tertentu. Salah satu suku
yang ada di Negara Indonesia adalah suku lambu, suku ini berada di
Provinsi Nusa Tenggara Barat tepatnya salah satu Kecamatan yang
berada di kabupaten Bima, lebih tepatnya terletak di Kecamatan
Lambu. Suku lambu sering di sebut Dou lambu.
Jika mendengar kata Lambu, maka akan teringat tragedi Bima
Berdarah. Tragedi Bima Berdarah bukan hanya tragedi yang menjadi
rahasia publik masyarakat Bima, namun merupakan tragedi yang telah
disaksikan oleh Indonesia secara umum. Tragedi ini merupakan tragedi
yang diselimuti oleh aksi demonstrasi secara besar-besaran yang
dilakukan oleh masyarakat Lambu dalam menolak proyek tambang
emas yang telah disahkan oleh Bupati Bima dalam SK Nomor :
188.45/357/004/2010 tertanggal 28 april 2010.
Pada dasarnya tragedi Bima Berdarah merupakan interpretasi
terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal
pemberian izin pemanfaatan lahan untuk tujuan pertambangan. Sesuai
dengan adanya desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah dalam
Undang-Undang No. 32/2004, Pemerintah Daerah memiliki hak yang
14
berkenaan dengan berbagai macam kebijakan salah satunya ialah
melakukan pemanfaatan terhadap SDA. Namun, berdasarkan UUD 1945
pasal 33 yang terjabar pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 12 Ayat 2, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 95 (d), (e), Pasal 98, pengelolaan SDA yang semula economic
development menjadi sustainable development dengan mempertimbangkan
kelestarian, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Regulasi
tersebut juga jelas menyatakan bahwa pengelolaan SDA harus menciptakan
keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Namun disisi lain, Syafa’at (2016) mengatakan bahwasannya dalam
paradigma pengelolaan sumber daya alam di sektor pertambangan yang
dilakukan pemerintah selama ini menimbulkan berbagai permasalahan,
antara lain: semakin meningkatnya konflik, kerusakan lingkungan dan
tingkat kemiskinan masyarakat yang belum berubah serta mengabaikan
sistem nilai, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Sedangkan,
Cahyono (2013) mengatakan bahwasannya implementasi regulasi yang
berkaitan dengan SDA dalam prakteknya tidak hanya mendapatkan
keuntungan ekonomi tetapi menimbulkan konflik karena para pelaku
ekonomi dan para politisi bertindak tidak rasional berkaitan dengan
kebijakan publik, sering memutuskan kebijakan publik tidak sesuai amanah
yang diembannya. Dengan kata lain, dalam prakteknnya kebijakan
15
pemerintah yang dalam hal ini berkenaan dengan pertambangan melahirkan
konflik kebijakan pertambangan itu sendiri.
Dalam hal ini, konflik kebijakan terjadi dikarenakan kebijakan tidak
partisipatif, kebijakan diatur tidak memenuhi hak-hak masyarakat terlebih
kebijakan dilakukan tanpa partisipasi gagasan daripada masyarakat. Hal ini
tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 32/2004 yang pada butir b
dinyatakan bahwa: “Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah,”.
Penyataan diatas memberikan pemahaman bahwa masyarakat baik
secara individu maupun melalui representasi institusional yang ada
didalamnya, sejak diberlakukannya undang-undang tersebut akan memiliki
ruang untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam artian, masyarakat harus dilibatkankan dalam pengambilan
kebijakan untuk menghindari sesuatu yang tak seharusnya terjadi, yang
dalam hal ini konflik kebijakan pertambangan.
Konflik kebijakan pertambangan membawa dampak sosial yang
sangat besar pada manusia, namun selain dari itu konflik pada saat itu
memberikan dampak yang sangat luas yaitu perubahan dalam masyarakat
Lambu itu sendiri. Perubahan itu terlihat pada pola struktur masyarakat,
norma, tindakan, hubungan sosial, lembaga sosial dan interaksi sosialnya.
Karena memang pada dasarnya, konflik dapat mempengaruhi pola struktur
16
masyarakat, norma, tindakan, hubungan sosial, lembaga sosial dan interaksi
sosial seseorang atau kelompok. Hal ini terjadi dikarenakan adanya
kompromi-kompromi yang berbeda dengan keadaan semula yang
mengakibatkan lahirnya nilai dan norma baru dalam masyarakat.
Sebagaimana soekanto (2005) menyatakan “faktor penyebab terjadinya
perubahan sosial adalah bertambah atau berkurangnya penduduk,
penemuan-penemuan baru, pertentangan (conflict) masyarakat dan
terjadinya pemberontakan artau revolusi”.
Mengingat dampak negatif daripada konflik kebijakan yang terjadi,
maka perlu adanya resolusi ataupun penyelesaian terhadap konflik kebijkan
yang dialami. Hal ini juga dilakukan dalam konflik kebijakan pertambangan
yang terjadi dikecamatan Lambu kabupaten Bima. Namun, dalam
prakteknya, penyelesaian konflik kebijakan dilakukan berdasarkan
pertimbangan akan jenis konflik, waktu dan kondisi lapangan. Oleh sebab
itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana proses dan bentuk
penyelesaian konflik kebijakan yang terjadi yang dalam hal ini alah konflik
kebijakan pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam kesempatan ini peneliti
bermaksud melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Penyelesaian
Konflik Kebijakan Pertambangan (Studi Kasus dikecamatan Lambu
Kabupaten Bima)”
17
Uraian dalam tulisan ini akan di pusatkan pada masyarakat
dikecamatan Lambu Kabupaten Bima dan mendeskripsikan kronologis
konflik kebijakan yang terjadi serta bagaimana bentuk dan proses
penyelesaian konflik kebijakan tersebut dilakukan.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kronologis terjadinya konflik kebijakan pertambangan di
Kecamatan Lambu Kabupaten Bima?
2. Bagaimana penyelesaian konflik kebijakan pertambangan di
Kecamatan Lambu Kabupaten Bima?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian berdasarkan uraian di atas adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kronologi konflik pertambangan di Kecamatan
Lambu Kabupaten Bima.
2. Untuk mengetahui penyelesaian konflik pertambangan di Kecamatan
Lambu Kabupaten Bima ?
18
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat secara Akademis
Penelitian ini di harapakan dapat menjadi bahan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan sosial lebih khususnya pada penyelesaian konflik
pertambangan.
2. Manfaat secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau
sumbangsi pemikiran bagi pemeritntah secara khusunya maupun pihak-
pihak secara umum dalam hal permasalahan yang tengah di hadapi oleh
masyarakat dan upaya-upaya dalam menanganinya.
3. Secara teoritis,
Penelitian ini di harapkan dapat memeberikan arah pemikiran baru
sebagai salah satu rujukan ataupun teori yang berkaitan dengan
penyelesaian konflik pertambangan khususnya pada masyarakat Lambu
Kabupaten Bima.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini. Diantaranya ialah:
1. Munawarroh, Wahyudi & Zuhdi (2018) dengan penelitiannya yang
bertujuan untuk menganalisis peran Pemerintah Daerah dalam melakukan
penanganan konflik tambang emas yang terjadi di Desa Dukuh Kecamatan
Watulimo Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur tahun 2016-2017.
Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Trenggalek dalam penanganan konflik terletak pada proses
pencegahan konflik yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan
informasi terkait permasalahan yang ada di lapangan serta memfasilitasi
dan mengkoordinasi proses-proses penanganan permasalahan. Namun
dalam pelaksanaannya, masih terdapat beberapa tindakan yang belum
dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah Daerah dalam hal meredam
potensi konflik dan pembangunan sistem peringatan dini. Pemerintah
Daerah juga belum melakukan manajemen konflik dengan baik yang
ditunjukkan dengan kurangnya pendekatan terhadap pihak-pihak yang
berkonflik.
2. Satriani (2015) dalam pengkajiannya akan hubungan negara-warga dalam
konteks berdemokrasi dengan menggunakan perspektif demokrasi Charles
20
Tilly dalam konflik tambang di Bima. Jika mendasarkan pada parameter-
parameter milik Charles Tilly ini derajat demokrasi di Bima dalam kasus
konflik Lambu dapat dikategorikan dalam perpotongan antara kapasitas
rendah demokrasi dengan kapasitas rendah tidak demokrasi. Dalam
kategori kapasitas rendah demokratis ditandai oleh seringnya intensitas
perjuangan kekerasan. Sedangkan, dalam kategori kapasitas rendah tidak
demokratis tergambar dalam gerakan sosial yang memang terjadi dengan
intensitas sering, kegiatan kelompok, kepentingan dan mobilisasi partai
politik ditambah konsultasi formal (termasuk pemilihan kompetitif) juga
sangat tinggi meskipun pemantauan keadaan kurang efektif, keterlibatan
yang lebih tinggi dari pelaku legal dan setengah ilegal dalam politik lebih
tinggi.
3. Syafa’at & Qurbani (2017) yang telah melakukan studi tentang mekanisme
alternatif penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution
berkenaan dengan konflik pertambangan di Lumajang, dimana mekanisme
tersebut tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang
terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan
penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki
dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di
Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi
untuk semakin dikembangkan di Indonesia.
Pada dasarnya terdapat persamaan yang perbedaan yang cukup signifikan
antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Perbedaan dan persamaan
21
inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan oleh peneliti dalam
melakukan penelitian ini. Adapun persamaan antara penelitian terdahulu
dengan penelitian ini ialah sama-sama mengangkat permasalahan tambang.
Sedangkan, perbedaannya ialah terletak pada signifikasi penelitian dengan
spesifikasi pada tujuan penelitian serta tempat dan waktu penelitian.
Diantaranya ialah, yang pertama, Munawarroh, Wahyudi & Zuhdi telah
melakukan penelitian untuk menganalisis peran Pemerintah Daerah dalam
melakukan penanganan konflik tambang emas yang terjadi di Desa Dukuh
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur tahun 2016-
2017. Berikutnya, Satriani sebelumnya telah melakukan pengkajian akan
hubungan negara-warga dalam konteks berdemokrasi dengan menggunakan
perspektif demokrasi Charles Tilly dalam konflik tambang di Bima. Kemudian
Syafa’at & Qurbani telah melakukan studi tentang mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution berkenaan dengan
konflik pertambangan di Lumajang. Sedangkan, penelitian ini berfokus pada
kronologi kejadian dan usaha penyelesaian yang dilakukan dalam penanganan
konflik tambang emas dikecamatan Lambu Kabupaten Bima.
B. Kebijakan dan Konflik
1. Kebijakan
Dye (1992) menyebutkan bahwasannya kebijakan adalah pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever
government chooses to do or not to do). Sedangkan, Wahab (2006)
mengatakan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada
22
tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan
atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Definisi ini dibuatnya dengan
menghubungkan pada beberapa definisi lain. Disisi lain, Anderson dalam
Islamy (2000) mengatakan bahwasannya kebijakan adalah putusan-putusan
yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana
implikasi dari kebijakan tersebut adalah:
a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
b. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
c. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
d. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
e. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif
didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan
memaksa (otoritatif)
23
2. Konflik
a. Pengertian konflik
Konflik berasal dari kata kerja, yaitu configure yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Susan (2009)
mengatakan bahwa dalam kamus besar bahasa indinesia yang disusun
poerwadarminta, konflik berati pertentangan atau pececokan.
Pertentangan sendiri muncul kedalam bentuk pertentangan ide maupun
fisik antara dua belah pihak berseberangan. Disisi lain, Soekanto (1982)
“Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan”.
Sedangkan, menurut Pritt dan Rubbin dalam Ramadhan (2008) konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan ( repceived
divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-
pihak yang berkonflik tidak dapat tercapai secara simultan.
Selanjutnya, Soekanto (2006) mengemukakan bahwa konflik
merupakan perbedaan atau pertentangan antar individu atau klompok
sosial yang terjadi karena perbedaan kepentingan, serta adanya usaha
memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan disertai dengan
ancaman atau kekerasan.
24
b. Proses Terjadinya Konflik
Salah satu proses terjadinya konflik adalah karena ketidak
seimbangan antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek sosial,
ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang meratanya kemakmuran
dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya yang kemudian
akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat.
Adapun yang menjadi faktor penyebab proses terjadinya konflik
antara lain yaitu:
a) Adanya perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan
pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan perasaan dan
pendirian ini akan menjadi satu faktor proses terjadinya konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial seorang individu
tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya.
b) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan
terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan
itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat
memicu proses terjadinya konflik.
c) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu
memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya
berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing
individu atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda.
25
Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi
tujuanya berbeda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan
dalam hal pemanfaatan lahan pertanian untuk dijadikan ekplorasi
tambang oleh investor. Para tokoh masyarakat menganggap lahan
tersebut sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka sehingga harus di jaga dan tidak boleh
melakukan penggalian. Disini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainya
sehingga mudah terjadinya proses konflik antara masyarakat lambu
dan Pemerintah setempat dan konflik ini tidak lepas dan ada
kaitanya dengan politik, ekonom,i sosial dan budaya.
Selain itu, ada pula sebab-sebab proses terjadinya konflik antara
lain:
a) Komunikasi
Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa
yang sulit di mengerti dan informasi yang tidak lengkap.
b) Struktur
Pertarungan kekuasaan antara pemilik kepentingan atau
sistem yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan
sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua
atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk
mencapai tujuan mereka.
c) Pribadi dengan kelompok
26
Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan
perilaku yang di perankan mereka, dan perbedaan nilai
persepsi masing masing.
c. Tahapan dalam Konflik
Situasi konflik akan selalu berubah dari waktu ke waktu apabila
konflik tersebut terus di biarkan terjadi tanpa adanya suatu penanganan
atau penyelesaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Fisher (2001) menyebutkan ada beberapa alat bantu untuk menganalisis
konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah
setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan
kekerasan yang berbeda. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapatsuatu ketidak
sesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul
konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun
salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi
konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara
beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu
sama lain.
b) Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika
hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para
pendukungya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainya.
27
c) Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/
kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini
merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak
terbunuh. Komunikasi normal di antara dua pihak kemungkinan
putus, peryataan-peryataan umum cenderung menuduh dan
menentang pihak lainya.
d) Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau
tampa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak
ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak
untuk menghentikan pertikaian.
e) Pasca-Konflik: akhirnya situasi di selesaikan dengan cara
mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang
dan hubungan mengarah lebih normal di antara dua pihak. Namun
jika isu-isu dan masalah-maslalah yang timbul karena sasaran
mereka saling bertentangan tidak di atasi dengan baik, tahap ini
sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan penyatuan dan
pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga
garis batas antara dua atau lebih individu atau kelompok. Konflik
individu atau kelompok lain dapat memperkuat kembali identitasnya
dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya.
28
Konflik atau pertentangan tentu saja mempunyai dampak positif
maupun dampak negatif. Apakah satu pertentangan membawa dampak-
dampak yang positif atau tidak, tergantung dari persoalan yang di
pertentangkan dan juga struktur sosial dimana pertentangan tersebut
bersifat positif oleh karena itu ia mempunyai kecenderungan untuk
memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma atau
hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan sesuai
dengan kebutuhan individu maupun bagian-bagian kelompok.
C. Resolusi Konflik
Penyelesaian atau Resolusi konflik merupakan suatu kondisi di
mana pihak-pihak yang berkonflik melakukan suatu perjanjian yang dapat
memecahkan ketidak cocokkan utama di antara mereka, menerima
keberadaan satu sama lain dan menghentikan tindakan kekerasan satu
sama lain. Ini merupakan suatu kondisi yang selalu muncul setelah
konfliknya terjadi. Resolusi konflik ini merupakan suatu upaya perumusan
kembali suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan
baru yang lebih diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita mengetahui bahwa
konflik itu ada dan diarahkan pada keterlibatan berbagai pihak dalam isu-
isu mendasar sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Selain itu, agar
kita memahami gaya dari resolusi konflik dan mendefinisikan kembali
jalan pintas ke arah pembaharuan penyelesaian konflik. Resolusi konflik
difokuskan pada sumber konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama
29
mengidentifikasikan isu- isu yang lebih nyata. Selain itu, resolusi konflik
dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
Fisher (2001) menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan
lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Menunjuk pada pemaparan diatas maka yang dimaksud dengan resolusi
konflik adalah suatu cara antara pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapinya secara sukarela. Resolusi konflik juga
menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif
untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-
pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka
sendiriatau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk
membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.
Menurut Nasikun (2003), pola penyelesaian konflik dapat dilakukan
dalam beberapa pendekatan, di antaranya:
a. Konsiliasi (conciliation)
Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga lembaga tertentu
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-
keputusan diantara pihak pihak yang berlawanan mengenai persoalan
persoalan yang mereka pertentangkan.
b. Mediasi (mediation)
30
Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang
bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya
tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka
c. Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan,
dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi
berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan
yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan
seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima
keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi
sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.
d. Perwasitan
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk
memberikan keputusan keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi diantara mereka.
D. Mediasi
Mediasi (Mediation) pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan
dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. bahwa
mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang
bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi
tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Sementara itu, pihak
ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketadinamakan sebagai
mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara
31
lain:Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan
Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencaripenyelesaian.
Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhirisengketa.
Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi
merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat
berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam
masyarakat.
E. Kerangka Pikir
Dalam pelaksanaan pembangunan suatu wilayah, sangat penting dalam
pelaksanaan pembangunan tersebut adalah pengambil kebijakan atau pada elit
politik yang berkewenangan dalam hal ini, tentunya kita sepakat bahwa salah
satu elemen yang penting dalam pengambilan kebijakan ini adalah perintah atau
para birokrat, kewenagan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek
kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewengan yang terlalu besar itu,
bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan
ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani
masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi dianggap sebagai
sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah
yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang
dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala
32
sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh
praja dari pada pamong praja. Reformasi birokrasi pemerintahan saat ini
memang belum sepenuhnya terlihat. Birokrasi pemerintahan masih kental
dengan nuansa klasik, yaitu kekuasaan tunggal ada di tangan pemerintah. Selain
itu, rancangan besar yang lengkap dan tuntas mengenai penyelenggaraan
birokrasi pemerintah belum terlihat. Struktur organisasi pemerintahan bahkan
tergolong gemuk, sehingga kegiatan yang di lakukan cenderung boros.
Pemberian otonomi daerah telah memberikan keleluasaan kewenangan
dengan segala kelebihan dan kekurangannya bagi daerah untuk menatanya.
Dampak positif dari kewengan yang lebih luas kepada daerah telah melahirkan
aktor-aktor politik, memperluas ruang publik, meningkatkan aktifitas politik
lokal dan dinamika politik lokal. Sehingga pergeseran kosentrasi kekuasaan
makin membukakan peluang bagi aktor politik lokal dalam mempengaruhi
proses politik. Banyak kasus yang menunjukan bahwa perubahan-perubahan
tersebut telah berkembang menjadi ketegangan yang mengarah pada konflik
Vertikal dan konflik horisontal, konflik negara dengan masyarakat, konflik
masyarakat dengan masyarakat yang terbuka sebagai akibat dari berbagai
kompetisi kepentingan.
Kerangka Pikir
Surat keputusan (SK) Bupati
Bima No: 188.45/357/004/2010
tentang eksplorasi pertambangan
33
F. Fokus Penelitian
Sebagaimana yang telah menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini, maka yang menjadi fokus penelitian adalah pasca terjadinya konflik pada
masyarakat Lambu Kabupaten Bima. Mediasi adalah pihak-pihak yang
berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan
nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang
mereka alami.
Dari uraian singkat diatas, maka Deskripsi Fokus yang penulis dapat
simpulkan adalah:
Supaya pemerintah Kecamatan
Lambu dan Masyarakat Lambu
harmonis kembali Seperti
Biasanya
34
G. Deskripsi Fokus Penelitian
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dan untuk membatasi kajian
penelitian ini, maka beberapa istilah penting yang digunakan dalam penelitian
ini perlu kiranya di jelaskan yaitu sebagai berikut:
a. Pengelolaan konflik yang efektif adalah dikatakan berhasil bila mana
individu atau kelompok mampu mengembangkan dan
mengimplementasikan strategi konflik dengan hati-hati. Dan di
pertemukan kedua bela pihak yang bersangkutan untuk mengadakan
musyawarah dan mufakat sehingga menuju satu solusi.
b. Negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau
organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain.
c. Mediasi adalah pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk
pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan
penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami.
d. Administrasi adalah menyepakati solusi atau pelaksanaan kesepakatan
yang telah dibuat secara persyuratan, semua pihak yang terlibat dalam
konflik harus menerima dan melaksanakan kesepakatan tersebut dengan
sebaik-baiknya.
e. Faktor mempengaruhi adalah pemerintah dan organisasi masyarakat
harus berperan aktif dalam pelaksanaan sosialisasi ataupun kegiatan
yang bernilai positif untuk membangun kembali keharmonisan
masyarakat setempat.
35
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima dan
penelitian ini di laksanakan dalam waktu 2 (dua) bulan mulai dari bulan 11
sampai bulan 1.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif
yang bertujuan memberikan gambaran secara sistimatis fakta tentang objek yang
diteliti. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
kualitatif berupa lingkungan atau tingkah laku mereka yang terobsesi. Penelitian
kualitatif adalah tradisi tertentu yang secara fundamental tergantung pada
pengamatan manusia dalam pengawasannya itu sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang yang bergelut dilingkungan tersebut.
Dengan demikian penelitian kualitatif adalah upaya untuk mengetahui suatu
hal dengan cara mengungkapkan atau menganalisis hal-hal yang ada di lapangan
secara fundamental dan tergantung pada pengamatan yang rasional.
C. Informan Penelitian
Sebagaimana dalam penelitian kualitatif maka penulis menggunakan
metode wawancara mendalam (in depth interview) dengan informan yang
memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian ini. Wawancara
dilakukan dengan cara terbuka dimana informan mengetahui kehadiran penulis
37
sebagai peneliti yang melakukan wawancara di lokasi penelitian, dan dalam
melakukan wawancara dengan pada informan penulis menggunakan alat rekam
sebagai alat bantu. Sementara itu yang menjadi informan atau objek penelitian
dalam penelitian ini antara lain, yaitu:
1. Dinas Pertambangan Kabupaten Bima ( 2 orang )
• Pak Nasir S.T
• Pak Rusli S.T
2. Pemerintahan Kecamatan Lambu ( 2 orang )
• Pak Syaikhu S.sos
• Pak Lismaidin S.sos
3. Polsek Lambu ( 2 orang)
• AKBP Pak Rosi
• AKP Pak Rijal
4. Pemerintahan Desa ( 2 orang )
• Pak Syamsudin S.sos
• Pak Hasanudin S.sos
5. Tokoh Masyarakat ( 2 orang )
• Bang Muliadin S.pd
• Bang Irfan S.sos
Keseluruhan jumlah informan adalah sebanyak 10 orang
38
D. Jenis Dan Sumber Data
a. Jenis datas
Adapun jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
Data kualitatif adalah seluruh data-data berupa uraian dan keterangan
menunjukan kualitas suatu objek atau benda yang diteliti.
b. Sumber data
1. Data primer yaitu data yang di peroleh menulis melalui hasil observasi
dan wawancara
2. Data sekunder adalah data tertulis berupa laporan, peraturan dan
dokumen, serta literature lain yang dapat menunjang penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini di perlukan beberapa data,
karena itu, dalam melaksanakan pengumpulan data digunakan metode sebagai
berikut:
1. Teknik Observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di
lapangan yang merupakan lokasi penelitian. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran umum tentang lokasi penelitian dan kondisi
demografisnya serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
2. Teknik wawancara yaitu melakukan tanya jawab langsung dengan
sejumblah responden dan informan terpilih. Tujuan dan wawancara ini
adalah untuk mendapatkan tambahan informasi dan gagasan yang
berkaitan dengan penelitian ini. Tentang kebijakan pemerintah daerah
39
dalam pengelolaan pertambangan. Kemudian wawancara bebas juga di
lakukan dalam penelitian ini dan pertanyaan yang di ajukan tidak di susun
secara sistematis karena menyesuaikan dengan kondisi dan situasional.
3. Teknik dokumentasi
Teknik ini sangat penting untuk melengkapi data dalam rangka
menganalisis masalah penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berusaha
mengumpulkan data dari beberapa desa yang ada di kecamatan lambu
kabupaten bima dan data lain yang diperlukan dalam penulisan ini.
F. Analisa Data
Di dalam penelitian ini, data yang telah dikumpulkan akan di analisa secara
kualitatif yakni data yang di peroleh akan di analisis dalam bentuk kata-kata lisan
maupun tulisan. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang umum
dan menyeluruh dari objek penelitian. Serta hasil-hasil penelitian baik dari hasil
studi lapangan maupun studi literatur untuk kemudian memperjelas gambaran
hasil penelitian.
BAB IV
40
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik objek penelitian
a. Keadaan Geografis
Kecamatan lambu adalah pemekaran dari kecamatan sape yang
kini telah menjadi salah satu dari delapan belas kecamatan yang ada di
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Wilayah kecamatan lambu
memiliki luas 404.25 Km yang terbagi dalam 14 desa, dimana desa
terluas adalah desa nggelu dengan luas wilayah 95,77 Km dan desa
terkecil adalah desa Kale,o dengan luas wilayah 5,62 Km. Pusat
pemerintahan kecamatan lambu berada didesa sumi yang berjarak 51
Km dari ibu Kota Kabupaten Bima. Sebagai ibu kota kecamatan, desa
sumi berada pada ketinggian 2,5 meter diatas permukaan laut dengan
luas wilayah 76,00 Km diantara 14 desa yang ada di Kecamatan lambu,
Desa nggelu merupakan desa dengan jarak terjauh daru ibu kota
kecamatan yaitu 10 Km, komposisi pengunaan lahan di wilayah
Kecamatan di dominasi oleh hutan negara dengan luas 39.117,86 Ha,
sementara untuk lahan pertanian dengan luas 20.842,53 Ha. Lahan
perkebunan / tegalan seluas 129.464,17 Ha, untuk lahan bangunan dan
pekarangan seluas 13.704,18 Ha, sedangkan lainya dengan luas
4.421,26 Ha, salah satu desanya adalah desa sumi yang merupakan
tempat explorasi tambang yang dilakukan oleh PT. Sumber mineral
Nusantara dengan dikantonginya IUP bernomor
41
188/45/357/004/2010dan pengoperasianya di lakukan di lokasi seluas
24. 980 Ha.
Kecamatan lambu terletak di ujung timur kabupaten Bima,
berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan berada dalam
wilayah pulau sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan batas-
batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sape
- Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Indonesia
- Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Wawo
- Sebelah timur berbatasan dengan selat Sape
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hidup dari
kehidupan manusia yang mendiami daerah tertentu adalah faktor
geografis, betapa pentingnya faktor geografis ini dapat kita lihat pada
kenyataan bahwa proses kehidupan manusia tergantung dari letak
geografisnya seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan serta pembawaanya.
Itu semua tergantung dari keadaan geografisnya. Oleh karena itu untuk
menganalisa suatu masalah yang ada hubnganya dengan pengaruh suatu
daerah, maka obyek penelitian dengan penganalisaan tentu
membutuhkan pengetahuan secara lengkap tentang lokasi daerah
penelitian.
Kecamatan lambu terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah
dan dataran pegunungan yang hijau oleh dedaunan hutan tropis yang
tumbuh dengan rimbunan dan lebat. Dengan keadaan yang demikian ini
42
maka kecamatan lambu teryata merupakan titik sentral di wilayah
Kabupaten Bima yang merupakan daerah agraria dan berada dalam
daerah atau lembah pertanian yang menjadi andalan di wilayah
kKabupaten Bima pada umumnya. Maka dengan keadaan geografis
inilah yang menguntungkan sehingga kecamatan lambu merupakan titik
tambang yang menggiurkan pemodal asing untuk membuka
pertambangan, kecamatan lambu memiliki potensi sumber daya alam
terbesar diselutruh Kabupaten Bima (profil Daerah Kab. Bima, 2012)
b. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin perDesa/Kelurahan
No Nama
Desa/kelurahan
Laki-
Laki
Perempuan Jumlah Asal Desa
Induk
1. Desa kale.o 2,224 2,263 4,487
2. Desa Lambu 418 410 828
3. Desa Lanta 1,535 1,484 3,020
4. Desa lanta Barat 1,251 1,605 2,856 Lanta
5. Desa Mangge 1,363 1,019 2,381
6. Desa Melayu 1,029 999 2,028 Soro
7. Desa Nggelu 1,359 1,255 2,614
8. Desa Rato 1,745 1,681 3,425
9. Desa Simpasai 1,789 1,748 3,538
10. Desa Soro 2,132 2,174 4,305
11. Desa Sumi 1,674 1,682 3,356
43
12. Desa Cangga 1,301 1,231 2,532 Simpasai
13. Desa Monta
Baru
1,110 1,157 2,267 Kale,o
14. Desa Hidi Rasa
719 721 1,441 Mangge
Total 19,605 19,989 39,591
Sumber BPS Kab. Bima,2012
B. Bentuk konflik kebijakan pemerintahan daerah terhadap pengelolaan
pertambangan di kecamatan lambu kabupaten bima
Jika kita coba menganalisis lebih jauh terhadap
penyelesaian konflik lambu ini, terlihat dalam kelambatan Bupati Bima dalam
mencabut izin PT SMN sebagai penyebab meluasnya eskalasi konflik. Bupati
terlalu lanmban mengantisipasi aspirasi masyarakat. Aksi protes itu dianggap
sepele. Pasca peristiwa di pelabuhan sape bupati tidak langsung mencabut izin PT
SMN. Baru setelah terjadi eskalasi, pembakaran beberapa kantor instasi, baru
bupati mencabut izin tersebut. Bupati bima sangat terkesan tidak peka melihat
perkembangan eskalasi konflik yang kian membesar dari pergerakan warga sejak
akhir 2010 lalu. Jika kita coba menganalisis konflik lambu ini dari kacamata teori
koflik sosial, maka hakikat konflik itu sendiri adalah merupakan perselisihan yang
terjadi antara paling tidak oleh dua pihak, dimana kebutuhan keduanya tidak dapat
di penuhi dengan sumber daya yang sama pada saat yang bersamaan. Kondisi ini
merupakan suatu kondisi ketidakcocokan (incompatibility). Posisi kedua pihak
juga tidak cocok satu sama lain. Dimana ada bentuk-bentuk kelangkaan yang
44
terjadi di antara kedua pihak tersebut. Selain itu, menurut Kartono dan Gulo
(1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan
dengan orang lain. Keaadaan mental merapakan hasil impuls-impuls, hasrat-
hasrat, keinginan-keinginan, dan sebagainya yang saling bertentangan, namun
bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya di beri pengertian sebagai
satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan
diantara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik
dan non-fisik, yang ada pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik
menjadi berbentuk fisik.
Kabupaten Bima memiliki sejumlah potensi kekayaan
sumber daya alam, bahan galian berupa emas, mangan, tembaga hingga pasir besi.
Potensi ini menyebar hingga di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bima.
Potensi ini tentunya tidak di sia-sialkan oleh pemerintah daerah bima untuk
menarik investor guna mengeploirasi potensi tambang tersebut. Ekplorasi
tambang di bima di gadang-gadang mampu memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat setempat, membuka lapangan kerja bagi tenaga pengangguran, dan
tentunya akan mennghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Berdasarkan
tujuan tersebut, Bupati Bima Ferry Julkarnain ST. mengeluarkan 14 izin usaha
penambangan untuk mengekplorasi potensi tambang di bima, 14 IUP tersebut di
antaranya:
1. PT Mineral Nusantara Citra Persada dengan IUP ekplorasi nomor
188.45/346/004/2010, masa berlaku tgl 28 april 2010 hingga 1 mei 2015,
dengan luas wilayah 14,403 Hektare. Meliputi wilayah kecamatan
45
madapangga yaitu desa campa, Tonda, Mpuri, Rade, Woro, kemudian
kecamatan bolo didesa tumpu dan kecamatan Woha di Desa Keli dan
Risa. Bahan galian jenis tembaga.
2. PT Indomineral Citra Persadadengan IUP ekplorasi nomor
188.45/348/004/2010, dengan luas wilayah 30.521 hektare. Berada di
kecamatan monta, meliputi desa baralau, Pela,Tolo Uwi, wilamaci dan
Kecamatan parado, meliputi desa parado wane, dan Lere. Dengan jenis
bahan galian tembaga.
3. PT Indomineral Citra Persada, IUP ekplorasi tembaga nomor
188.45/347/004/2010, luas wilayah 14.318 hektare, berada di kecamatan
lambu, meliputi Desa Mangge, Lanta dan Simpasai, serta Kwcamatan
Langgudu pada desa Waworada.
4. PT Indomining Karya Buana mengantongi tujuh IUP operasi produksi,
dengan jenis bahan galian berupa mangan dan pasir besi. Untuk mangan
berada didesa woworada, Karumbu, Rupe kecamatan Langgudu, desa
Mpuri, Tonda dan campa, kecamatan madapangga, Desa Pela,
Kecamatan Monta, Desa kawuwu, Kecamatan Langgudu, Desa
Sambori, Kecamatan Lambitu, Desa Kombo, kambilo, maria, dan ntori,
Kecamatan Wawo.
5. Sedangkan untuk bahan galian pasir besi diberikan PT Indoning Karya
Buana menngantongi IUP di Desa Oi Tui, tawali dan tengge, kecamatan
wera, dan desa mawu, Nipa, Nangaraba dan Tololai, kecamatan
ambalawi.
46
6. PTJjagad Mahesa Karya mengantongi IUP operasi produksi bahan
galian pasir besi dengan SK nomor 188.45/345/004/2010 untuk wilayah
desa sangiang, Oi Tui, Tadewa, Kecamatan Wera, dan Desa Mawu,
Kecamatan ambalawi.
7. Untuk bahan galian emas, pemerintah Kabupaten keluarkan IUP
ekplorasi pada PT Bima Putra Minrals dengan SK nomor
188.45/004/2010, pada wilayah desa maria, Pesa dan Kambilo,
Kecamatan Wawo.
8. Kemudian untuk biji besi dikeluarkan IUP ekplorasi
188.45/356/004/2010, pada PT Bima Feroindo, pada wilayah desa
karampi, Waduruka, Kecamatan Langgudu.
Kenyataanya, kebijakan Pemerintah Kabupaten Bima
memberikkan izin pada perubahan tambang, bertentangan dengan
keinginan masyarakat yang selama ini hidup dengan pertanian,
peternakan dan kelautan. Walaupun Bima memiliki potensi sumber
daya tambang yang melimpa, tapi secara geografis Bima telah dikenal
sebagai penghasil bawang dengan kualitas terbaik. Bawang keta
monca saat ini menjadi komoditi unggul Nasional, dan bersama bidang
usaha pertanian lainya telah memberikan subangan cukup signifikan
dalam perekonomian Kabupaten Bima. Selain produksi yang besar,
bawang keta moncol di kenal memiliki mutu dan ciri khas tersendiri
serta banyak diminati konsumen baik dari bali, Jawa, Makassar, dan
Banjarmasin maupun luar Negri, seperti Malaysia, dan singapura,
47
bahkan sejak 2019 lalu. Kabupaten Bima dijadikan sentral benih
bawang merah Nasional. Produksi bawang merah kabupaten Bima
pada 2009 mencapai 113.542 ton, meningkat 49,41 persen
dibandingkan tahun sbelumnya. Sebagian produksi bawang merah
kabupaten bima merupakan komoditi ekspor guna memenuhi
kebutuhan daerah lainya utamanya pulau Lombok (BPS,2009). Luas
lahan untuk pengembangan bawang merah di kabupaten Bima tercatat
13.663 hektare, yang telah dimanfaatkan seluas6.710 hektare tersebar
di Sape, Lambu, Wera, Ambalawi, Belo dan Monta. Karena aktivitas
mata pencaharian utama inilah yang menjadi alasan warga menolak
kegiatan pertambangan. Pertambangan akan membuat susutnya debit
air, irigasi lahan pertanian, khususnya tanaman bawang merah, mata
pencaharian mereka. Selain melindungi sumber air, mereka belajar dari
potret buruk tambang emas raksasa di batu hijau milik Newmont,
tetangga di pulau yang sama.
Pasca bupati bima mengeluarkan SK Nomor: 188.45/357/004/2010
tertanggal 28 april 2010 tentang izin usaha pertambangan yang di
berikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas wilayah
24,980 hektare dengan lokasi tambang di Kecamatan Sape, Kecamatan
Lambu dan Kecamatan Langgudu untuk kegiatan ekplorasi dalam
bahan galian emas. Masa berlaku izin tersebut, yakni 28 april 2010 s/d
1 mei 2015. SK Nomor : 188.45/357/004/2010 hanya salah satu dari
13 SK yang di kenal dengan 188 yang semua di keluarkan tertanggal
48
28 april 2010 dan diberikan kepada enam perusahaan dengan wilayah
operasi yang berbeda-beda, termasuk jenis tambangnya, seperti
mangan, pasir besi, dan tembaga. Dari enam perusahaan tertsebut,
sebagian sudah melakukan ekploitasi dan sebagian lagi masih dalam
tahap ekplorasi, diantaranya PT Sumber Mineral Nusantara. Sejak
2010 s/d 2011, keputusan Bupati Bima tersebut telah menimbulkan
reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagian menolak dan ada
pula yang mendukung keberadaan tambang di Kecamatan Lambu,
namun pertanyaanya kenapa hanya gerakan masyarakat yang menolak
tambang yang lebih menonjol di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima,
padahal izin usaha tambang juga terdapat di beberapa kecamatan
lainya. Mungkin jawabanya, karena gerakan penolakan tambang
tersebut yang lebih intens melakukan aksi unjuk rasa dan sering sekali
terjadi insiden bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian,
sehingga peristiwa tersebut menarik perhatian media msasa maupun
media televisi (terutama inside 10 februari2011 dan 24 desember
2011)
Selama tahun 2011, konflik agraria dan penolakan tambang hampir
terjadi di beberapa kabupaten /Kota. Dalam bidang agraria, sengketa
lahan antara masyarakat dan pemerintah, dan antara masyarakat
dengan perusahaan marak terjadi di beberapa Daerah di wilayah NTB,
seperti di kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Sumbawa Barat,
49
Sumbawa, Dompu dan Bima. Konflik lahan pertambangan juga
tersebar di beberapa Kabupaten di NTB.
Konflik pertambangan yang terjadi di kecamatan lambu kabupaten
Bima bukanlah fenomena baru, karena konflik tersebut sudah mulai
muncul sejak tahun 2010 pasca bupati bima mengeluarkan SK Nomor
: 188.45/357/004/2010 tertanggal 28 april 2010 tentang izin usaha
pertambangan yang diberikan kepada PT sumber mineral Nusantara
dengan luas wilayah 24,980 hektare dengan lokasi tambang di
kecamatan sape, kecamatan lambu dan kecamatan langgudu untuk
kegiatan ekplorasi dalam bahan galian Emas. Masa berlaku izin
tersebut, yakni 28 april 2010 sampai dengan1 mei 2015. SK Nomor :
188.45/357/004/2010 hanya salah Satu dari 14 SK yang dikenal
dengan 188 yang semua dikeluarkan tertanggal 28 april 2010 dan
diberikan kepada 6 perusahaan dengan wilayah operasi yang berbeda-
beda, termasuk jenis tambangnya,seperti mangan, pasir besi, dan
tembaga. Dari enam perusahaan tersebut, sebagian sudah melakukan
eksploitasi dan sebagian lagi masih dalam tahap eksplorasi,
diantaranya PT Sumber Mineral Nusantara.
Sejak 2010 sampai 2011, keputusan bupati bima tersebut
telah menimbulkan reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat,
sebagian menolak dan ada pula yang mendukung keberadaan
tambang di kecamatan lambu, namun pertanyaanya kenapa hanya
gerakan masyarakat yang menolak tambang yang lebih menonjol di
50
kecamatan lambu kanupaten Bima. Bima, padahal izin usaha
tambang juga terdapat di beberapa kecamatan lainya. Mungkin
jawabanya, karena gerakan penolakan tambang tersebut yang lebih
intens melakukan aksi unjuk rasa dan sering sekali terjadi insiden
bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian, sehingga
peristiwa tersebut menari perhatian media massa maupun media
televisi ( terutama insiden 10 februari 2011 dan 24 desember 2011).
Sementara gerakan masyarakat yang mendukung tambang tidak
mendapatkan perhatian dari publik dan media massa.
Tabel . Kronologis Koflik Lambu Kabupaten Bima
tanggal Peristiwa Keterangan
Oktober
2010
Aksi warga terjadi bentrok berdarah yang
menyebabkan jatuhnya 35 0rang
korban luka berat dan ringan
(amputasi geger otak dll) dari warga.
31 januari
2011
Demo massa
1500 orang
(FRAT) kembali mendatangi kantor
camat dan meminta camat lambu
untuk menandatangani surat
peryataan penolakan adanya
pertambangan emas yang telah di
operasikan oleh PT. SMN.
51
10
februari
2011
Demo ke 3,
7000 orang dari
12 Desa
Setelah itu aksi masa ricuh, M. Nasir
(23) terkena peluru polisi (Aksi
tambah parah) ditambah ulah preman
kecamatan yang membuat situasi
memanas.
23
desember
2011
Ocupacy for
sape
pemblokiran pelabuhan sape oleh
warga lambu hingga dilakukan
pembubaran paksa oleh aparat polisi
yang menyebabkan tiga nyawa
melayang.
23
desember
2011
Pencabutan izin
sementara
Keputusan Bupati Bima Nomor :
188.45/743/004/2010 tanggal 23
desember 2011 tentang penghentian
sementara izin eksplorasi Emas oleh
PT. Sumber Mineral Nusantara di
kecamatan lambu, Sape dan
kecamatan langgudu Kabupaten
Bima.
Desenber
2011
Rapat
konsultasi
kabupaten
Bima
Bupati tetap akan bersikukuh tidak
akan mencabut SK 188/2010
dikarenakan tidak ada alasan yang
mendasar untuk melakukan itu.
Bupati berdalih, ada tiga hal yang bisa
52
mencabut SK itu, yakni jika
perusahaan pemegang izin tidak
melksanakan kewajibanya, terlibat
masalah pidana dan di nyatakan pailit.
26 januari
2011
Pembakaran
kantor bupati
Bima dengan
20.000 massa
Puncak amarah warga pasca 5 hari
sebelumnya Bupati bersedia menemui
warga, namun hingga hari itu bupati
tak kunjung mau menemui warga.
28 januari
2012
Bupati cabut
tetap IUP
Nomor 188
2010
Pencabutan secara tetap IUP No
188/2010 melalui SK
188.45/64/004/2012
Sebelum konflik ini terjadi, sebenarnya komnas HAM telah
mengeluarkan surat rekomendasi Nomor 2784-K-PMT-XI-2011
yang ditujukan untuk bupati Bima, Kapolda NTB, dan direktur PT.
SMN. Surat rekomendasi tertanggal 19 November 2011 ini lahir
atas laporan warga pada April 2001. Surat rekomendasi itu beirisi
imbauan bagi Bupati Bima agar memperbaiki sistim infornmasi dan
sosialisasi kegiatan pertambangan mulai dari ekplorasi sampai
dengan eksploitasi serta menghentikan sementara kegiatan
eksplorasi PT. SMN, sambil menunggu situasi kondusif. Surat
tersebut juga meminta kapolda NTB untuk menempuh langkah
53
kordinatif dan komunikatif kepada seluruh unsur untuk mencegah
konflik horizontal di Kabupaten Bima. Teryata jajaran pemerintah
Nusa Tenggara Barat tidak memperhatikan rekomendasi yang di
keluarkan oleh komnas HAM terkait dengan aktivitas eksplorasi
tambang.
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam
ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (Dalam filsufgaul,
2012) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi
materinya yaitu salah satunya konflik kebijakan, konflik kebijakan
dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok
terhadap perbedaan kebijakan yang di kemukakan oleh satu pihak
dan kebijakan lainya. Dari pembahasan tersebut jelaslah bahwa
konflik lambu merupakan konflik kebijakan yang bersumber dari
keputusan sepihak Bupati Bima yang menerbitkan surat izin
penambangan No. 188/2010 kepada PT. Mineral Nusantara Citra
Persada, tampa terlebih dahulu mengkomunikasikan dan
mensosialisasikanya kepada masyarakat. Konflik kebijakan ini
kerap kali terjadi jika pemegang kebijakan tidak melibatkan
stakeholdernya dalam proses pengambilan keputusan. Ini tentunya
akan menimbulkan ketidakpuasaan dari masyarakat terhadap
pemegang kebijakann yang bisa berimmpllikasi terhadap terjadinya
konnflik-konflik sosial. Dan inilah beberapa hasil wawancara kami
dengan tokkoh masyarakat lambu mengenai sebab awal terjadinya
54
konflik kebijakan pertambangan di kec. Sape dan lambu di
Kabupaten Bima.
“Pertama sebab terjadinya konflik, karena adanya penembakan dari
pihak yakni M. Nasir (23 thn) diduga korban penembakan peluru
tajam pada saat demo didepan kantor camat lambu, setelah itu
masyarakat meminta pertanggung jawaban dari pihak pemerintah
kecamatan, tapi pemerintah kecamatan tidak menghiraukanya,
akhirnya masyarakat marah dan melakukan demo selanjutnya dan
berujung pada pembakaran kantor camat lambu” (D H, 24 januari
2020)
Karena belum bertemu kembali dengan camat lambu,
FRAT kembali memasukan surat pemberitahuan unjuk rasa yang
kedua kalinya. Tepat pada hari senin tanggal tiga puluh satu januari
tahun dua ribu sebelas (31-01-2011) dengan kekuatan masa yang
lebih besar . sekitar 1.500 orang yang tergabung dalam Front
Rakyat Anti Tambang (FRAT) kembali mendantangi kantor camat
dan meminta camat lambu untuk menandatangani surat pernyataan
penolakan adanya pertambangan emas yang telah di operasikan
oleh PT. SMN. Walaupun PT tersebut baru melakukan ekplorasi,
ini sama halnya membuka pintu gerbang eksploitasi hasil alam di
kecamatan Lambu yang akan berimbas pada dampak lingkungan
yang buruk dan embrio bencana bagi masyarakat Lambu, serta
terkuras dan hilangnya mata air di wilayah IUP PT . SMN dan
terganggunya kegiatan pertanian masyarakat yang tentunya pula
akan menyengsarakan generasi dan masyarakat lambu, Sape dan
Langgudu dan bahkan masyarakat Kabupaten Bima pada
umumnya. Sebagaiman keterangan yang diberikan oleh
55
Coordinator Front Rakyat Anti Tambang Bima yang mengatakan
bahwa:
“Pertambangan merupakan penjajahan model baru yang dilakukan
dalam bidang ekonnomi. Karena tidak ada sejarah, pertambangan
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, tapi justru sebaliknya
yang terjadi. “ tidak ada sejarah pertambangan mensejahterahkan
rakyat, makanya kita tolak segala bentuk pertambangan di wilayah
Kabupaten Bima” (AK, 24 Januari 2020)
“Pada Tanggal 20 Desember 2011 sejumlah massa yang
menamakan dirinya Forum Rakyat Anti Tambang menduduki
dermaga feri sape Bima dan mellayangkan surat kepada Pemda
setempat agar SK bupati Bima Nomor 188 tahun 2010 yang
memberikan izin pertambangan kepada PT Sumber Mineral
Nusantara dan meminta agar tersangka saudara JApong yang
ditahan polisi yang diduga terkait provokasi pembakaran kantor
camat lambu pada 10 maret 2011 supaya dilepaskan” (J K, 24
Januari 2020)
Peryataan ini senada dengna peryataan sekdes desa rato Kecamatan
lambu Kabupaten Bima yang mengatakan bahwa:
“Bentrokan antara warga kecamatan Sape Dan Kecamatan Lambu
di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dengan aparat kecamatan
karena protes yang dilakukan terhadap keluarnya izin usaha
pertambangan di Kecamatan Lambu. Warga marah atas kebijkan
yang di ambil oleh Bupati mengeluarkan izin usaha pertambangan
dalam bentuk surat keputusan Nomor 188.45/357/004/2010
Tanggal 28 April 2010 yang diberikan kepada PT. Sumber Mineral
Nusantara dengan luas 24.980 hektar untuk melaksanakan ekplorasi
mineral emas dan mineral pengikutnya selama 5 tahun “(DR
wawancara 24 januari 2020)
Tragedi berdarah yang terjadi pada sabtu 24 desember 2011
lalu di pelabuhan sape merupakan titik kulminasi dari reistensi
warga lambu terhadap kegiatan pertambangan yang ada di wilayah
mereka. Sampai saat ini di peroleh informasi dari komnas HAM
bahwa jumlah korban meninggal tiga orang dan puluhan orang
lainya luka-luka. Suasana mencekam pun masih melanda dan jalan
menuju kedua menuju kedua wilayah tersebut di blokir warga.
Sebelum tragedi sabtu berdarah itupun koflik terkait pertambangan
56
bukan hal yang pertama kali terjadi di kabupaten Bima. Konflik
serupa pernah terjadi di kecamatan Parado dan di Kecamatan
Lambu sendiri. Warga parado menolak kegiatan pertambangan
dengan membakar base camp para pekerja tambang. Polisi
kemudian menangkap warga desa yang melakukan pembakaran.
Aksi ini berujung dengan pembakaran mapolsek parado 0leh warga
yang geram dengan penangkapan teman mereka. Warga marah
karena mereka sama sekali tidak di beri informasi terkait adanya
kegiatan pertambangan diatas gunung yang menjadi lingkungan
penopang kehidupan mereka.
Konflik akibat pertambangan yang melibatkan warga lambu
juga bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada 10 maret 2011,
telah terjadi konflik antara warga lambu yang menolak ekplorasi
tambang dengan pemerintah daerah. Warga lambu beramai-ramai
mendantangi kantor kecamatan untuk berdemonstrasi
menyampaikan permintaan agar camat mendatangkan Bupati Fery
Zulksrnain. Warga lambu ingin berdialog secara langsung dengan
bupati perihal kegiatan pertambangan di daerah mereka. Akan
tetapi Bupati urung hadir sehingga memicu kemarahan para warga
yang berujuk rasa. Warga kemudian membakar kantor kecamatan
yang dibalas dengan pembubaran paksa oleh polisi yang disertai
penembakan dengan peluru tajam. Beberapa pemuda pun terluka.
Rombongan komnas HAM yang di pimpin oleh salah satu
57
komisionernya yakni kabul Supriadin datang ke lambu untuk
melakukan investigasi. Hasil investigasi ini di bawah kepemerintah
daerah dan kapolres untuk ditindaklanjuti akan tetapi tidak ada
kebijakan yang kongkrit keudian dalam menyelesaikan masalah
tersebut. Inilah hasil wawancara kami dengan tokoh masyarakat
Desa Sumi Kecamatan Lambu Kabupaten Bima.
“Kedatangan komnas HAM di lambu kemarin hanya semata mata
jalan-jalan, karena mereka hanya datang untuk menjenguk
masyarakat yang luka akibat terkena tembakan peluru tajam oleh
polisi saja kemarin. Buktinya tidak ada kok hasilnya sampai
sekarang “(WR, wawancara 24 januari 2020)
C. Proses Penyelesaian Konflik Di Kecamatan Kabupaten Bima
Resolunsi konflik merupakan suatu kondisi dimana pihak
pihak yang berkonflik melakukan suatu perjanjian (agreement)
yang dapat memencahkan ketidak cocokan (incopatibility) utama
diantara mereka, menerima keberadaan satu sama lain sebagai dan
menghentikan tindakan kekerasan satu sama lain. Ini merupakan
suatu kondisi yang selalu muncul setelah konfliknya terjadi.
Resolusi konflik ini merupakan suatu upaya perumusan kembali
suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan
baru yang lebih diterima oleh pihak pihak yang berkonfliik.
Memberikan beberapa langkah langkah yang biasanya dilalui
dalam resolusi konflik:
58
f. Negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau
organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain.
g. Mediasi adalah pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk
pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan
penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami.
h. Administrasi adalah menyepakati solusi atau pelaksanaan kesepakatan
yang telah dibuat secara persyuratan, semua pihak yang terlibat dalam
konflik harus menerima dan melaksanakan kesepakatan tersebut dengan
sebaik-baiknya.
perjanjian yang dilakukan dalam resolusi konflik biasanya merupakan
suatu pemahaman resmi, dimana suatu dokumen yang dihasilkan di
tanda tangani oleh pihak-pihakyang berkonflik dalam kondisi yang
serius. Namun, perjanjian ini dapat bersifat informal, yakni terjadi
pemahaman yang implisit di antara mereka. Perjanjian seperti itu
mungkin terjadi dan disimpan dalam sebuah dokumen rahasia,
misalnya saja, sebuah perjanjian yang dibuat sebagai prakondisi
pengaturan resmi, atau sebagai kesepakatan antar pihak yang
berkonflik secara ekplisit.
Pada kasus konflik lambu jelas tidak pernah terjadi
agreement antara pembkab Bima dengan masyarakat. Yang terjadi
adalah keputusan untuk menghentikan kegiatan penambangan
sementara lewat 188.45/743/004/2010 tgl 23 desember 2011
59
tentang penghentian sementara izin eksplorasi Emas oleh PT.
Sumber Mineral Nusantara di kecamatan Lambu, sape dan
kecamatan langgudu Kabupaten Bima. Hal ini tetap tidak disetujui
oleh masyarakat karena sifatnya yang sementara maka pada
dasarnya tidak ada upaya perumusan kembali atas konflik yang
berlangsung. Kondisi ini tak layaknya sebuah penguluran waktu
agar bisa menenangkan masyarakat yang kian memanas emosinya.
Karena tidak ada kesepakatan, maka dapat dikatakan bahwa
resolusi konflik atas dasar pencabutan sementara atau bisa juga
dikatakan tidak terjadi. Yang ada hanyalah sebuah upaya
peredaman konflik namun tidak menyelesaikan akar
permasalahanya. Warga hanya seakan diberikan kelegaan atas
kekhawatiran lahanya di ekploitasi dalam beberapa waktu saja
hingga dirasa pemkab menemukan formulasi dan legitimasi yang
tepat untuk memutuskan nasib PT Mineral Nusantara Citra
Persada. Berdasarkan keterangan dari salah satu informan yang
mengatakan:
“Setelah pembantaian kemanusiaan yang terjadi di pelabuhan sape
Bupati Bima saya hanya memberhentikansementara ijin eksplorasi
emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara di kecamatan Lambu,
Sape dan Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima, yang kami
inginkan bahwa izin tambang itu harus di cabut untuk selamanya
dan Bupati Bima harus bertanggung jawab aras meninggalnya dua
saudara kami yang tertembak di pelabuhan sape”(AS, wawancara
24 Januari 2020)
60
Dalam kasus ini terlihat pihak pihak yang berkonflik
berupaya untuk keluar dan mengakhiri masing-masing peranya
dalam konflik tersebut. Terlihat dengan di keluarkanya SK
188.45/64/004/2012 pemerintah kabupaten Bima ingin konflik
dengan masyarakat ini lekas selesai. Dan disisi masyarakat pasca di
keluarkanya SK trsebut masyarakat mulai menarik dari konflik
tersebut menuju suatu rekonsiliasi kedepan yang lebih baik untuk
mendiskusikan lebih jauh terkait dengan potensi tambang yang
harusnya bisa di manfaatkan oleh masyarakat. Perumusan
penghentian semua tindakan kekerasan yang dilakukan satu sama
lain selama konflik berlangsung merupakan hal yang paling
penting dalam suatu perjanjian damai. Kesepakatan penghentian
tindakan kekerasan merupakan bagian dari perjanjian damai yang
dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan secara terpisah. Seringkali,
penghentian tindakan kekerasan antara pihak yang berkonflik di
umumkan pada saat yang sama ketika perjanjian damai dicapai.
Dengan demikian, perang telah berakhir dan bahaya terjadinya
pembunuhan berkurang. Sesuai dengan peryataan informan yang
mengatakan bahwa :
“Setelah SK pertambangan di Kecamatan Sape-Lambu dan
langgudu itu dicabut oleh Bupati Bima, masyarakat tidak pernah
lagi melakukan unjuk rasa, cuman masyarakat lambu pada saat itu
masih mengalami trauma atas insiden penembakan yang terjadi di
pelabuhan Sape’(AB wawancara 24 Januari 2020)
Terkait konflik kebijakan pertambangan di Kecamatan
lambu Kabupaten Bima banyak sekali pihak yang mendesak agar
61
Bupati Bima segera mencabut SK No. 188.45/357/004/2010. Salah
satunya Irman Gusman, Ketua Dewan perwakilan Daerah (DPD)
RI didalam mitranews,com, akan meminta pemerintah daerah
Bima NTB dan kementrian ESDM mencari cela untuk mencabut
SK Bupati Bima Nomor 188 tahun 2010 tentang izin usaha
pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara (PT. SMN) sesuai
keinginan masyarakat Bima. Irman juga mengatakan, persoalan
agraria atau pertanahan atau pertambangan adalah persoalan yang
sangat krusial dan rawan konflik. Oleh karenanya DPD berencana
akan mempertemukan pihak pihak yang berkepentingan di Bima,
untuk mencarikan solusi penyelesaian dalam rangka
mengakomodasi tuntutan masyarakat. Ketua tim investigasi kasus
Bima, yang juga anggota komnas HAM, Ridha Saleh, didalam
antaranews.com Komnas HAM mendesak Bupati Bima segera
mencabut surat keputusan (SK) bernomor 188.45/357/004/2010
tertanggal 28 april 2010 itu. Sebelumnya, Menteri Energi Sumber
Daya Mineral Jero Wacik menyatakan, pihaknya telah meminta
Gubernur NTB mencabut izin tambang eksplorasi. Menurut dia,
berdasarkan Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 tahun
2009, Bupati Bima seharusnya lebih mementingkan hak-hak warga
terlebih dahulu sebelum mengeluarkan SK tersebut.
Atas desakan dari berbagai pihak, akhirnya Bupati Bima
Ferry Zulkarnain menyatak bersedia mencabut ijin eksplorasi PT
62
SMN asalkan mendapat jaminan dari pemerintah pusat. Menko
Perekonomian Hatta Radjasa di antaranews.com menegaskan
Bupati Bima, NTB, Ferry Zulkarnain bisa langsung mencabut izin
eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) tampa intervensi
Pemerintah Pusat.Hatta mengatakan tidak ada aturan yang
menyatakan pemerintah pusat bisa mencabut izin yang telah
dikeluarkan oleh Bupati. Menurut Hatta, Bupati Bima ketika
mengeluarkan izin untuk PT SMN tidak meminta pertimbangan
pemerintah pusat. Hatta mengakui kewenangan pemerintah daerah
untuk meberikan izin ekplorasi kepada perusahaan swasta tampa
kordinasi dengan pemerintah pusat telah membuahkan masalah.
Pasca keluarnya keputusan pencabutan IUP 188/2010
dengan di keluarkanya SK 188.45/64/004/2012 pada tanggal 28
januari 2012 jelas tidak terjadi lagi friksi-friksi yang menimbulkan
tindak kekerasan. Pasca pembakaran kantor Bupati Bima yang ada
adalah ketegangan karena polisi mencari dan menangkapi beberapa
warga yang diduga menjadi pfovokator dalam aksi pembakaran
kantor Bupati Bima. Seperti yang di tuturkan oleh kapolsek Lambu
Kab. Bima:
“Walaupun SK tambang itu sudah di cabut oleh Bupati Bima
bukan berarti sudah selesai masalah, pihak kepolisian sebagai
penegak hukum tetap melakukan pencarian terhadap beberapa
warga yang terduga provokasi dalam insiden pembakaran kantor-
kantor instansi pemerintahan kecamatan maupun fasilitas
pemerintah daerah lainya”(DR, wawancara 25 Januari 2020)
63
Resolusi konflik tidak selalu identik dengan perdamaian.
Ada tumpang tindih antara kedua konsep tersebut. Namun gagasan
paling umum tentang kondisi damai adalah ketiadaan atau
berakhirnya perang yang terjadi. Perlu di tegaskan bahwa sebuah
konflik tidak dapat di akhiri sebelum perjuangan bersenjata juga
berakhir. Dengan demikian, perdamaian tidak cukup hanya dengan
berakhirnya pertempuran dan peperangan. Resolusi konflik ini
lebih kepada devinisi atau kondisi damai yang terbatas.
Sebagaimana keterangan yang di berikan oleh wakil kapolsek
lambu Kab. Bima:
“Walaupun pihak masyarakat dan pemerintah sudah damai proses
hukum tetap berjalan, kami tetap melakukan pencarian terhadap
oknum oknum yang terduga melakukan provokasi terkait
pembakaran kantor Bupati maupun masyarakat yang melarikan diri
di polres Kab. Bima yang ditahan pada saat pembakaran kantor
camat dulu”(FR, wawancara 25 Januari 2020)
Jika konsep damai disini adalah tidak terjadinya suatu
perang (kontak fisik), maka dapat dikatakan kondisi Lambu terkait
dengan konflik izin pertambangan dapat di katakan kondusif.
Belakangan tidak terlihat lagi aksi massa yang menimbulkan
kontak fisik karena warga merasa tuntutan mereka telah di penuhi
oleh Bupati. Seperti yang di tuturkan oleh Front Rakyat Anti
Tambang – Bima:
“Tidak mungkin ada akibat tampa ada sebab, terjadinya
pemblokiran sampai pada pembakaran instansi yang ada di
kecamatan lambu maupun kantor Bupati, karena Bupati masi
mempertahankan SK tambang tersebut, tapi setelah Bupati Bima
Fery zulkarnain mencabut izin tambang tersebut tidak ada lagi
64
masalah antara masyarakat dengan pemerintah kecamatan maupun
pemerintah daerah”(DE, wawancara 26 Januari 2020)
Dalam kasus Lambu masing-masing pihak yang berkonflik
memiliki kepentinganya masing-masing. Warga yang merasa
terancam mata pencharianya dan khawatir akan nasib tanahnya
pasca penambangan akan bersifat reaktif terhadap kegiatan
penambangan tersebut. Karena kegiatan penambangan akan
mematikan mata pencaharian mereka sebagai petani bawang.
Warga seakan menyadari betul bahwa kegiatan penambangan
sifatnya hanyalah sementara, karena barabg tambang adalah
sumber daya alam yang tidak dapat di perbaharui, bebrbeda halnya
dengan pertanian yang bisa terus di upayakan sepanjang hayat.
Demikian hasil wawancara kami dengan tokoh masyarakat desa
Lambu yang mengatakan:
“Masyarakat lambu yang tergabung dalam front Rakyat Anti
Tambang (FRAT) menolak izin tambang kemarin bukan karena
ada kepentingan politik maupun kepentingan para elit saja, tapi
gerakan masyarakat kemarin betul betul gerakan murni yang keluar
dari hati nurani masyarakat karena kami menyadari bahwa daerah
lambu, sape dan langgudu bukan daerah indusri pertambangan, tapi
daerah kami adalah daerah pertanian, kami hidup dan dibesakan
dari hasil pertanian bukan hasil dari pertambangan, kami sudah
sejahtera dengan hasil pertanian bahkan kami sanggup
menyekolahkan anak kami sampai sukses”(GH, wawancara 27
Januari 2020)
Seperti hasil wawancara diatas teryata bertentangan dengan
kepentingan pemerintah kabupaten Bima yang menghendaki Bima
menjadi daerah dengan potensi pertambangan. Hal ini tentunya
tidak bisa disalahkan sepenuhnya, mengingat UUD 1945 juga
mengisyaratkan untuk mengekplorasi potensi SDA yang ada.
65
Sebagai penentu kebijakan pemberian izin usaha tambang,
pembkab Bima seakan memiliki kekuasaan penuh untuk
menentukan nasib Bima kedepan. Disinilah “power” berproses
menjadi sesuatu yang sifatnya memaksa dan sekehendak hati
sendiri tampa mengindahkan faktor faktor dan kepentingan lainya.
Aksi sepihak inilah yang menimbulkan reaksi masyarakat terhadap
kebijakan yang dibuat oleh pemkab setempat. Keputusan yang
dibuat pemkab dirasa tidak mengindahkan kepentingan yang sudah
sejak bergantung mata pencaharianya kepada sektor pertanian.
Demikian hasil wawancara kami dengan salah satu masyarakat
desa sumi kecamatan Lambu Kab. Bima yang mengatakan:
“Izin usaha pertambangan yang di keluarkan oleh bupati kemarin
itu adalah keputusan sepihak, dia tidak melibatkan masyarakatanya
padahal dalam aturanya masyarakat mesti harus tau lebih awal
sebelum keputusan itu di keluarkan oleh Bupati, supaya
masyarakat tau teryata di daerah kami akan ada industry tambang,
akan tetapi pemerintah tidak demikian”(FG, wawancara 28 Januari
2020)
Merujuk dari pada dasarnya sistem sosial terbentuk bukan
oleh kerja sama sukarela ataupun oleh konsensus, tetapi oleh
“ketidakbebasan dan dipaksakan” yang bersumber dari adanya
distribusi otoritas. Dalam teori konfliknya, masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan
yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Teori konflik menilai
kereraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah
disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari
atas oleh golonganya berkuasa.
66
Dari postulat tersebut jelas bahwa konflik Lambu adalah
proses dari satu perubahan sosial itu sendiri. Konflik tidak bisa
begitu saja di lepaskan dari keseharian masyarakat, tampa adanya
konflik masyarakat tidak pernah tau bagaimana memperjuangkan
hak dan kepentinganya. Mungkin jika tidak dengan konflik ini
masyarakat lambu tidak pernah tau secara detil bagaimana
Kapitalisme ( perusahaan ) menguasai aset sumber daya mereka.
Dengan adanya konflik ini, mereka (masyarakat) akan belajar
bagaimana kelak harus mengelola aset sumber daya yang
dimilikinya.
Konflik lambu utamanya peristiwa port sape dan
pembakaran kantor Bupati Bima yang dilakukan oleh ribuan massa
menjadi indikator bahwa setiap unsur lapisan masyarakat pada
dasarnya berperan dalam proses perubahan tersebut. Mayoritas
masyarakat ini akan terus bergerak menyuarakan aspirasinya
kepada pihak-pihak minoritas yang memegang kendali kekuasaan.
Sehingga pada hakikatnya, walaupun kekuasaan memiliki
legitimasi kekuasaan, tetap saja kekuatan masa bisa memberikan
perlawanan yang signifikan untuk menandingi kekutan penguasa
tersebut. Konflik pastilah menimbulkan suatu hasil yang bisa
menyebabkan suatu perubahan sosial.
Konflik lambu adalah pelajaran yang sangat berharga bagi
masyarakat bima. Berbagai macam kerugian materil dan non
67
materil jelas sangat besar jumlahnya. Terjadinya kasus tersebut
setidaknya mencerminkan tingkat solidaritas yang tinggi dari para
warga dalam menanggapi hal yang sekiranya akan merugikan
kehidupan mereka. Pada tanggal 20 desember 2011 sejumlah
massa yang menamakan dirinyaForum Rakyat Anti Tambang
menduduki dermaga feri sape Bima dan melayangkan tuntutan
kepada pemda setempat agar SK Bupati Bima Nomor 188 tahun
2010 yang memberikan izin pertambangan kepada PT Sumber
Mineral Nusantara dan meminta agar tersangka AS yang di tahan
polisi yang di duga terkait provokasi pembakaran kantor camat
lambu pada 10 maret 2011 supaya di lepaskan. Berdasarkan
laporan polda NTB, selama empat hari pendudukan pelabuhan
sape, polisi telah berulang kali lakukan pendekatan persuasif dan
negosiasi terhadap warga hingga detik-detik terakhir menjelang
pembubaran paksa pada sabtu (24/12/2011) pagi. Massa dapat
dibubarkan dan sebagian besar dapat di tangkap dan dibawa ke
markas polda NTB. Pada 24 desember 2011, merupakan hari ke
empat warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambanng
(FRAT) melakukan aksi penolakan, menduduki pelabuhan sape.
Aksi tersebut bukan yang pertama kali dilakukan menolak
kehadiran tambang emas PT Sumber Minersal Nusantara,
perusahaan yang mendapat izin usaha penambangan pada 2008
selama 25 tahun. Tetapi stelah bentrokan terjadi pada sabtu
68
nmalam di laporkan akibat bentrokan itu telah menewaskan 2
orang di pihak massa dan puluhan lainya luka-luka akibat senjata
tumpul dari aparat Brimob. Suara dari wahli NTB sendiri
menyatakan terdapat adanya korban 5 orang tewas. Berdasarkan
hasil wawancara kami dengan salah satu informan menyatakan:
“Konflik tambang kemarin adalah konflik yang paling bersejarah
di daerah Kabupaten Bima maupun skala nasional bahkan setara
dengan kasus yang ada di masuji, kasus di sampit, di poso maupun
kasus kasus yang besar lainya di indonesia. Konflik tambang Bima
juga menjadikan contoh atau bahan pembelajaran bagi daera-
daerah yang lainya di indonesia supaya tidak terjebak dengan hal
yang sama”(WE. wawancara 28 Januari 2020)
Harapan terhadap rekonsiliasi kedepan, bahwa masyarakat
tidak kehilangan kepercayaan kepada pemerintah kabupaten.
Bahwa sekiranya potensi tambang yang terdapat di lambu memang
sejatinya dapat di manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat
lambu sendiri.
Euforia reformasi bangsa indonesia telah memasuki tahun ke-15
kalau di hitung sejak tahun 1997, maka dengung desentralisasi, good
governance, dan masyarakat madani sangatlah terasa pada sebatas retorika
para pemmimpin bangsa ini, maka masyarakat idonesia suatu saat akan
menagih apa yang dicanangkan oleh para pemimpin bangsa ini.
Desentralisasi pemerintahan daerah telah di immplementasikan, bendera
good governance sudah dikibarkan, masyarakat madani akan segera di
wujudkan, tinnggal mmenunggu ekspetasi datang merona.
69
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan otonomi daerah
akan sangat terkait dengan hubungan atau interaksi antar organisasi yang
tercipta sebagai wujud otonomi daerah, dalam hal ini terutama interaksi
antara lembaga penyelenggara pemerintahan tingkat daerah yauitu
pemerinntahan daerah dan DPRD sebagai lembaga atau institusi perumus
kebijakan atau penetapan kebijakan publik. faktor yang sangat penting
dalam penyusunan sebuah kebijakan yaitu isu-isu apa saja yanng layak
dianggap sebagai masalah, atau bagaimana isuu di rumuskan, bagaimana di
definisikan dengan baik inti dari sebuah masalah. Berdasarkan UU
No.32/2004 pasal 19 ayat 2 yang di maksud pennyelennggara pemerintah
daerah adalah pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
(DPRD). Selanjutnya, pada pasal 1 ayat 2 UU No.32/2004 di tentukan
bahwa pemerintah darah adalah penyellenggara urusan pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas Otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan prinsip
NKRI, sebagaimana dimaksudkan undang-undang dasar Negara Republik
Indonnesia tahun 1945.
Pemberian otonomi daerah pun telah memberikan keleluasaan
kewenangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya bagi daerah
untuk menatanya. Dampak positif dari kkewenangan yang lebih luas
kepada daerah aktifitas politik lokal dan dinamika poolitik lokal. Sehingga
pergeseran konsentrasi kekuasaan makin membukakkan peluang bagi aktor
ppolitil lokal dalam mempengaruhi proses politik. Banyak kasus yang
mennunjukan bahwa perubahan-perubahan tersebut telah berkembang
70
menjadi ketegangan yang menngarah kepada konflik vertikal dan konflik
horizontal, konflik negara dengan masyarakat, konflik masyarakat dengan
masyaraka yang terbuka sebagai akibat dari berbagai kompetisi
kepentingan.
Pecahnya konflik antara masyarakat dan pemerintah ini sebagai
akibat dari macetnya komunikasi politik antara masyarakat dan Bupati.
Sejak meletusnya kasus tambang di ujung timur pulau sumbawa ini, belum
pernah dilakukan komunikasi antara masyarakat dan Bupati bima. Masin-
masing mengklaim dirinya paling benar bersandar pada alasan dan
argumentasi sendiri-sendiri. Pihak pemerintah mengklaim bahwa tambang
akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapat daerah serta di
yakini akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Sementara
masyarakat merasa dirinya telah ditipu oleh pemerintah daerah karena
dalam proses penerbitan sk 188, rakyat sama sekali tidak pernah di
libatkan. DPRD pun tidak berhasil menjebatani aspirasi Rakyat. Meskipun
konflik berjalan hampir setahun, belum ada peryataan resmi dari DPRD
terkait tuntutan masyarakat ini. Sebagaimana yang di turunkan oleh kepala
desa sumi Kecamatan lambu kabupaten Bima:
“ Memang pada awalnya, sebelum bupati Bima menerbitkan SK mengenai
pertambangan di kecamatan lambu, hubungan pemerintah daerah maupun
pemerintah kecamatan dengan masyarakat lambu sangat harmonis, bahkan
pada saat pemilihan bupati periode yang kedua masyarakat lambu
menitipkan harapannya kepada fery Julkarnaen untuk memimpin bima
untuk kedua kalinya”(AB wawancara 28 Januari 2020)
Demikian pula hasil wawncara kami dengan salah satu tokoh
masyarakat Kecamatan lambu Kabupaten Bima
71
“Semenjak bupati mengeluarkan izin tambang yang berlokasi di kecamatan
kami, semenjak itu juga kami masrakat lambu meminta kepada camat
supaya membuat surat rekomendasi kepada bupati bima supaya mencabut
sk tambang tersebut, karena tambang itu tidak cocok di daerah kami” (JS,
Wawancara 29 Januari 2020)
Konflik kebijakan yang terjadi di kecamatan lambu Kabupaten
Bima menjadi salah satu contohnya, konlik tersebut bersumber dari
keputusan sepihak bupati bima yang menerbitkan surat izin penambangan
No. 188/2010 kepada pt mineral nusantara citra persada, tampa terlebih
dahulu mengkomunikasikan dan mensosialisasikanya kepada masyarakat.
Konflik kebijakan ini kerap kali terjadi jika pemegang kebijakan tidak
melibatkan stakeholdernya dalam proses pengambilan keputusan. Ini
tentunya akan menimbulkan ketidakpuasaan dari masyarakat terhadap
pemegang kebijakan yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya konflik-
konflik sosial. Berdasarkan analisis terjadinya konflik tersebut, itu berawal
dari tidak adanya sosialisasi awal dari pihak pemerintah daerah berkaitan
dengan izin pertambangan tersebu.t sebagaimana yang di tuturkan oleh
kordinator Front Rakyat Tambang-Bima:
“Masyarakat menolak pertambangan tersebut, karena tambang emas itu
akan membahayakan mata pencarian warga. Warga lambu sebagia besar
pendunduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah
dan mengganggu sumber air, tentunya akan mengganggu pertanian warga.
Apalagi perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya kepada
masyarakat.(ak 29 Januari 2020)
FRAT menyampaikan penolakan, karena tambang emas itu akan
membahayakan mata pencarian warga. Warga lambu sebagian besar
penduduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah
dan mengganggu sumber air, tentunya akan mengganggu pertanian warga.
Apalagi perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya kepada
72
masyarakat. Sejak itu rakyat yang tergabung dalam front rakyat anti
tambang (FRAT) terus menerus melakukan penolakan. Akhir januari lalu,
1500 orang mendatangi camat untuk melakukan penolakan. Terkait dengan
hal tersebut,
Juga di tuturkan oleh salah seorang tokoh masyarakat desa sumi :
“Kami menolak pertambanngan tersebut, karena kami tidak mau di jajah
oleh orang luar, apalagi ketika tambang masuk sumber air yang menjadi
kehidupan kami tidak bisa di manfaatkan lagi sebagaimana mestinya,
seperti air bersih maupun air untuk menyiram bawang kami”(TY
Wawancara 30 Januari 2020)
Karena kebijakan pengeluaraan izin pertambangan hanya
berorientasi profit jangka pendek tentunya mengabaikan potensi konflik
dan kontek lokal – kultural warga di daerah tambang. Sosialisasi tentang
aktivitas pertambangan berangkat dengan niatan sebatas menyampaikan
keputusan pemerintan kabupaten dan tampa menyerap dan
mempertimbangkan masukan warga setempat. Dalam kasus lambu,
pemerintah daerah abai dengan kenyataan bahwa mayoritas warga lambu
adalah petani. Sumber air menjadi faktor penting yang menjamin
kelangsungan hidup mereka. Eksplorasi yang dilakukan oleh PT sember
mineral Nusantara sangat meresahkan warga lambu karena wilayah yang
rencananya akan di tambang adalah perbukitan yang merupakan sumber air
bagi lahan pertanian. Warga khawatir jika gunung tersebut di eksploitasi
maka sumber air mereka pun akan rusak sehingga mata pencaharian
mereka terganggu. Seperti yang disampaikan oleh salah satu dari
masyarakat desa sumi kecamatan lambu Kabupaten Bima:
73
“Kami menolak keberadaan perusahaan tambang karena khawatir dengan
kerusakan lingkungan di kawasan warga. Meski berkali kali mendapat
protes warga, namun perusahaan yang memperoleh izin usaha
pertambangan tetap melanjutkan aktivitasnya. Apalagi dampak dari
tambang emas itu akan membuat susutnya debit sair irigasi lahan pertanian
khusunya tanaman bawang merah, mata pencaharian kami”(AH
Wawancara 30 Januari 2020)
Kelemahan pemerintah dalam menangani perizinan ekplorasi
tambang. Semestinya pemerintah harus berhati dalam bermediasi dengan
pihak antara pemerintah (kepala daerah ) dengan msyarakat belum terjalin
harmonis dan transparan, serta kurang dekat dengan masyarakatnya,
sehingga selalu terjadi kebuntuan komunikasi. Keinginan atau kebijakan
pemerintah belum maksimal tersampaikan kepada masyarakat, demikian
pula sebaliknya, keinginan dan aspirasi masyarakat juga belum
tersampaikan atau lambat mendapatkan respon dari pemangku kebijakan.
Pemerintah daerah masih terkesan eksklusif tertutup, dan lambat menyikapi
aspirasi berdasarkan keterangan dari salah satu informan yang mengatakan:
“Ijin legal formal perusahaan itu tak masalah, cuman tak ada sosialisasi
kepada masyakat, kemudian juga tidak adanya pembicaraan yang bagus
dari awal antara masyarakat, investor dan pemerintah tinggkat daerah
sehingga masuk ke msyarakat adalah informasi yang asimetris, yang
intinya adalah pertambangan itu pasti merusak lingkungan, jadi saya pikir
itu yang perlu di perbaiki”(HY wawancara 30 Januari 2020)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, pemkab tidak pernah
melakukan kegiatan sosialilasi kepada warga perihal rencana penambangan
di daerah tersebut. Hal ini yang menimbulkan perspektif masyarakat bahwa
ada kemungkinan kepentingan politis dan pribadi dari pengesahan izin
usaha penambangan di lambu tersebut. Dilihat dari model kebijakan
tersebut pengaruh aktor akroe elit dalam proses pembuatan kebijakan
sangat kuat sehingga pilihan terhadap nilai nilai tertentu sebelum kebijakan
74
di putuskan melalui prespektif elit lebih sering muncul daripada nilai-nilai
tertentu di hendaki oleh publik. demikian juga yang di sampaikan oleh juru
kampanye dari LSM jaringan advokasi tambang bima:
“Konflik sering terjadi karena pemerintah tidak sepenuhnya menjalankan
amanah undang-undang dasar 1945. Sudah sangat jelas di tegaskan bahwa
sumber daya alam harus di kuasai negarsdan hasilnya untuk kepentingan
rakyat. Kalau negara kemudian menjalankan mandat undang-undang 45 itu
yang mestinya terjadi tapi kan tidak, ini kemudian bahwa negara menguasai
untuk kelompok tertentu itu yang terjadi malah kan tampa dilihat dari
keselamatan rakyat”(SB, wawancara 30 Januari 2020)
Berdasarkan peryataan dari beberapa informan diatas tersebut,
maka dapat di sebutkan pemerintah tidak pernah mengsosialisasikan izin
mengenai tambang SK 188 tersebut, masyarakat seketika di kagetkan
dengan hadirnya perusahaan pertambangan yang akan mengelola sumber
daya alam di wil;ayah mereka. Sementara, tidak ada informasi awal dari
pemerintah dan instasi teknis, apa kegiatan dari perusahaan itu, apa mafaat
yang akan di terima warga dan lainya. Penolakan warga sebenarnya tidak
memiliki dasar yang kuat. Karena perusahaan baru masuk pada tahap
eksplorsi, masih mencari titik-titik potensi yang akan di garap ketika ketika
perusahaan mengantongi izin ekploitasi. Fakta yang terjadi di lapangan
adalah masyarakat merasa khawatir terhadap dampak dampak yang akan
terjadi jika kegiatan pertammbnangan tersebut dilakukan. Idealnya
masyarakat di sekitar lokasi pertambangan harus lebih awal mengetahui
kehadiran perusahaan tambang. Sehingga ketika ada aktifitas
pertambangan, inilah hasil wawancara kami dengan dinas pertambangan
dan energi kabupaten Bima:
75
“Izin kuasa pertambangan di berikan oleh pemerintah daerah kepada PT.
Sumber Mineral Nusantara (SMN) pertama kalinya pada tahun 2008 atas
permohonan pihak PT.SMN, mengingat adanya undang-undang NO.4
tahun 2009 tentang minerba, pemerintah pusat mlalui Dierjen minerba
mengintruksi agar penmerintah daerah menyesuaikan izin yang sudah
dikeluarkan yakni berupa izin usaha pertambangan (IUP)”(HT, wawancara
30 Januari 2020).
Hal senada yang yang disampaikan oleh sekcam Lambu Kabupanten Bima:
“Dalam hal izin tambang tidak bisa disalahkan sepenuhnya pemerintah
daerah, mengingat UUD 1945 juga mengisyaratkan untuk mengekplorasi
potensi SDA yang ada. Sebagai penentu kebijakan pemberian izin usaha
tambang, pemkab Bima juga punya legalitas kekuasaan penuh untuk
menentukan nasib Bima kedepan apa”(GT, wawancara 30 Januari 2020)
Hal diatas ditambahkan pula oleh camat lambu Kab. Bima:
“Pemerintah daerah sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
bahkan bahkan hal tersebut di lakukan berkali-kali salah satunya pertemuan
dengan perwakilan masa yang melakukan aksi demo dan pemblokiran
pelabuhan sape.Dalam pertemuan itu, bahkan Bupati Bima Fery Julkarnaen
mempertanyakan kepada perwakilan pendemo, apa kerugian warga lambu
terkait kegiatan ekplorasi yang dilakukan PT. SMN. “saat itu saya nanya,
warga lambu rugi apa? Mereka hanya menjawab rugi perasaan, buktinya
ada tanda tangan dari warga lambu kok (AB, wawancara 30 Januari 2020)
Gerakan penolakan tambang di kecamatan lambu yang diduga
melibatkan aktivis atau jaringan tertentu juga di usut untuk mengungkap
apakah penolakan tambang tersebut murni gerakan masyarakat atau di
tunggangi oleh kepentingan kelompok/lembagadengan menjadikan dan
mengeploitasi masyarakat sebagai alat perjuangan, sehingga menimbulkan
korban jiwa, demi memenuhi eksistensi gerakanya.
Demikian pula disampaikan oleh kepala desa sumi Kab. Bima:
“Jika alasan masyarakat menolak tambang, karena adanya kekawatiran
kerusakan lingkungan, menganggu lahan pertanian masyarakat, ataupun
yang lainya, menurut hemmat saya agak berlebihan, karena izin usaha pertambangan tersebut mashi dalam tahap ekplorasi. Sehingga di perlukan
data dan informasi akurat mengenai alasan dan penyebab munculnya
penolakan tambang” (ZB, wawancara 30 Januari 2020)
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses terjadinya konflik kebijakan adalah: Konflik kebijakan dilatar
belakangi oleh berbagai faktor yaitu: kurangnya sosialisasi dari
pemerintah; pemerintah kurang terbuka terhadap masyarakat mengenai
kebijakan kebijakan yang di keluarkanya.
2. Pola hubungan antara pemerintah (kepala daerah ) belum terjalin
harmonis dan transparan, serta kurang dekat dengan masyarakatya,
sehingga selalu terjadi kebuntuan komunikasi. Keinginan atau
kebijakan pemerintah belum maksimal tersampaikan kepada
masyarakat, demikian pula sebaliknya, keinginan dan aspirasi
masyarakat juga belum tersampaikan atau lamban mendapatkan respon
dari pemangku kebijakan. Pemerintah daerah masih terkesan ekslusif,
tertutup, dan lamban menyikapi aspirasi. Sementara masyarakat
memaksakan terkesan memaksakan kehendak, cenderung anarkis, dan
mengjhujat tampa solusi. Strategi dan metode penyampaian yang
dilakukan oleh masyarakat juga perlu di evaluasi, apalagi metodenya
melakukan pemblokiran pelabuhan atau jalan yang dapat menganggu
pelayanan dan kepentingan masyarakat lainya.
3. Penyelesaian konflik kebijakan pertambangan yaitu melalui mediasi,
administrasi dan negosiasi yang di lakukan oleh DPRD Kabupaten
Bima. Dengan mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik,
Masyarakat Lambu dan Pemerintah Kecamatan Lambu untuk
berdiskusi serta mencapai suatu kesepakatan bersama yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak.
B. Saran-saran
Saran saya, pemerintah di harapakan memperbaiki kinerjanya dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat
indonesia dan lambu khususnya, legislatif diharapakan lebih aspiratif,
77
responsif dan inovatif menyikapi aspirasi masyarakat, kepolisian di
harapkan agar lebih profesional dan akuntabel dalam menganyongi
dan melindungi masyarakatnya. Sementara masyarakat juga
diharapkan agar lebih tertib dan sabar dalam menyampaikan
aspirasinya.
.
78
DAFTAR PUSTAKA
Afadlal. 2015. Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta : Pusat
Penelitian politik LIPI.
Andi Admiral, 2012. Ancaman konflik agraria dan pertambangan Tahun 2012
di ntb; Belajar dari tragedi sape -lambu Kab. Bima Ntb
http://andiadmmirals.blogspot.com/2012/01/ancaman-konflik-agraria-
dan.html.
Andi Admiral, 2012. Ancaman konflik agraria dan pertambangan Tahun 2012
di ntb; Belajar dari tragedi sape -lambu Kab. Bima Ntb
http://andiadmmirals.blogspot.com/2012/01/ancaman-konflik-agraria-
dan.html
Brata kusuma, Deddy Supriadi, 2015,Otonomi Penyelenggara Pemerinntah
Daerah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bungin, Burhan .2015,Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Gravindo Persada.
Jakarta.
Dwiyanto, Agus, (2017) “ Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik “
,Seminar Kinerja Organisasi Sektor publik ,Kebijakan dan Penerepanya,
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Drendof, Raif, 1986 Konflik dan konflik dalam masyarakat Industri sebuah
Analisa –kritik. Jakarta: CV Rajawali.
Drendof, Raif, 1986 Konflik dan konflik dalam masyarakat Industri sebuah
Analisa –kritik. Jakarta: CV Rajawali.
Fisher et al (2010) Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Resolusi
Konflik Berbasis kearifan Lokal, Terjemahan, Global Pustaka Utama,
Jogjakarta.
Ikawati,Y,2006.Memahami kondisi geologi porog, jakarta
http://data.menkoskera.go.id/contect/ program/penyehatan-lingkungan
KachKarim, Abdul Gaffar. 2015.Kompleksitas persoalan Otonomi Daerah
Dinegara Republik Indonesia. Yogyajkarta : Pustaka Pelajar.
79
Kaho, Josef Rihu. 2018,Prospek Otonomi Daerah Di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jakarta:PT Raja Gravindo Persada.
Konflik Bima diselesaikan dengan Reformasi Agraria. www.tempo.coid.
(diakses 20 November 2012)
Karim, Abdul Gaffar 2015. Komplektifitas Persoalan Otonomi Daerah Di Negara
Repuplik Indonesia. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Madani, Muhlis, (2016). Dimensi Interaksi Aktor Dalam Perumusan Kebijakan ,
Publik, graha Ilmu. Yokyakarta
Nasikun J (2004) Sistim Sosial Indonesia. Pt raja Grafindo Persada Parsons
Wayne 2005 Public Policy Pengantar teori dan praktek Analisis
kebijakan. Jakarta. Kencana.
NOVRI Susan 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu Isu konflik
Kontemporer.Kencana Penada Media Grup, Jakarta h.5.
Pandu Yuhsina Adaba , 2013. Kekekrasan konflik tambang bima, politik Lokal
http://yogisetya.wordpress.com(di akses tgl 8 april 2013)
Rojali, Abdullah, (2016) “Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala
Daerah Secara langsung “RajaGravindo Persada. Jakarta.
Rojali Abdullah (2017) Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langsung.Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja
Gravindo, sJakarta.
Ramadhan, syahril (2011) :Konflik Sosial Pengungsi Ambon Dengan Masyarakat
Local Kota Bau-Bau (Studi Kasus Konflik Sosial Antara Pengungsi
Ambon Nasal Buton Dengan Warga Katobengke). Makassar: FISIP
Universitas Hasanuddin
Soetopo, Hendyat. 1999.Manajemen konflik.Malang : Universitas Negeri Malang
Sadono Sukirno. (2016) “ Ekonomi Pembangunan : Proses. Masalah,
Dan Dasar Kebijakan “ ,Edisi. Kedua. Kencana. Jakarta.
Supriadi. Konflik politik; http://www.google.co.id(diakses tgl 21 oktober 2012)
Septi Satriana (ed) dinamika peran elit lokal pada pemilu Bima 2010 (Yokyakarta
CV Andi Offset, 2015).
80
DOKUMEN PUBLIK
Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan mineral dan batu
bara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Surat keputusan (SK) Bupati Bima Nomor: 188.45/357/004/2010 Tentang
ekplorasi pertambangan emas di 3 kecamatan yaitu kecamatan lambu-
sape dan langgudu yang dilakukan oleh PT. Sumber mineral nusantara.
81
RIWAYAT HIDUP
Ramdhin. Lahir Parangina Sape, Kabupaten Bima pada tanggal
19Maret 1996. Anak ke lima dari lima bersaudara dan merupakan
buah kasih sayang dari pasangan Syamsudin dan Narimah penulis
menempuh pendidikan dasar di SDN 8 Sape kabupaten Bima mulai
tahun 2003 sampai tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan Pendidikan di SLTP Negeri 4sapeKabupatenBimaDantamat
padatahun 2012. Kemudian pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan SMU
Negeri 2 Sape dan tamat tahun 2014.
Pada tahun 2015 mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di
Universitas Muhamadiyah Makassar dan terdaftar pada jurusan ilmu pemerintahan
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Tahun (2020) menyelesaikan Studi sekaligus
menyandang gelar sarjana pendidikan (S.IP).