skripsi kajian aktivitas antimikroba ekstrak...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.)
TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
Oleh
EVA H. DIREJA
F 24102097
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Eva H. Direja. F24102097. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.) terhadap bakteri patogen dan perusak pangan. Dibawah bimbingan : Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. dan Ir. Elvira Syamsir, MSi.
ABSTRAK
Seiring dengan banyaknya kasus keracunan pangan oleh mikroba yang menyebabkan penyakit dan kematian serta kerugian ekonomi, perlu dilakukan usaha-usaha untuk menguranginya. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mengaplikasikan bahan yang berpotensi sebagai antimikroba pada proses pengolahan pangan. Jintan hitam yang umumnya digunakan sebagai obat-obatan diduga memiliki aktivitas antimikroba dan berpeluang untuk digunakan sebagai pengawet bahan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba beberapa jenis ekstrak jintan hitam terhadap bakteri patogen dan bakteri perusak makanan.
Tahapan penelitian ini meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Tahapan penelitian pendahuluan mencakup persiapan kultur mikroba, ekstraksi tunggal biji jintan hitam dengan metode refluks menggunakan air dan etanol, serta penyulingan minyak atsiri. Penelitian lanjutan mencakup ekstraksi bertingkat pada ampas penyulingan minyak atsiri jintan hitam, dengan metode refluks menggunakan beberapa pelarut organik dengan polaritas yang berbeda, yaitu heksan, etil asetat dan metanol secara berurutan. Dari keseluruhan proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Efektivitas senyawa antimikroba dari masing-masing ekstrak jintan hitam diuji menggunakan metode difusi agar. Pada minyak atsiri, ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol selanjutnya dilakukan pengujian nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) terhadap satu jenis bakteri. Selain itu, dilakukan juga identifikasi kualitatif komponen fitokimia terhadap ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, yaitu minyak atsiri, ekstrak etanol, dan ekstrak etil asetat jintan hitam.
Minyak atsiri, ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat dapat menghambat semua bakteri uji sehingga dianggap memiliki spektrum yang luas. Ekstrak air dan ekstrak heksan kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak metanol tidak dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli.
Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Salmonella Typhimurium adalah 0.084 % (w/w), nilai MIC minyak atsiri terhadap Bacillus cereus adalah 1.72% (w/w), nilai MIC ekstrak etil asetat terhadap Staphylococcus aureus adalah 1.88 % (w/w), dan nilai MIC ekstrak metanol terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah 1.88 % (w/w). Pada minyak atsiri menunjukkan adanya komponen fenol dan terpenoid. Identifikasi komponen fitokimia pada ekstrak etanol menunjukkan adanya komponen fenol dan steroid dan pada ekstrak etil asetat menunjukkan adanya fenol dan flavonoid.
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.)
TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
EVA H. DIREJA
F 24102097
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
EKSTRAK JINTAN HITAM (Nigella sativa L.)
TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK PANGAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
EVA H. DIREJA
F 24102097
Dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1984
Di Bandung, Jawa Barat
Tanggal lulus : 19 Desember 2006
Menyetujui,
Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. Ir. Elvira Syamsir, MSi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 28 Oktober
1984, sebagai anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan
Bapak Sortamin Purba dan Ibu Tiaman Manik. Masa kecil
penulis hingga Sekolah Menengah Umum (SMU) dilalui di
Kota Bandung. Penulis menempuh pendidikan di Taman
Kanak-Kanak Harapan Ibu (1989-1990), Sekolah Dasar ST Melania (1990-1996),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Providentia (1996-1999) dan penulis
merupakan alumni Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bandung (1999-2002).
Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur
Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
organisasi, di antaranya Pemuda Gereja Kristen Protestan Simalungun (Pemuda
GKPS) Bogor, Parsadaan Mahasiswa Simalungun (Parmasi) IPB, Komisi
Pelayanan Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, Koran Kampus IPB
(reporter), serta pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan.
Selain itu, penulis aktif mengikuti berbagai seminar yang memperluas wawasan,
di antaranya Seminar Anak Bermasalah : Apa itu autis? (2003), Seminar
Pemantapan Road Map Penganekaragaman Pangan dan Bogasari Nugraha VII
(2004), IDF International Conference of fgW Student Forum for Milk and Milk
Product (2005) serta Seminar dan Pelatihan HACCP (2005).
Pada pertengahan tahun 2005, penulis melakukan Praktek Lapangan di PT
Indomilk Jakarta dengan topik “Mempelajari proses pengolahan dan pengawasan
mutu susu bubuk di PT Indomilk”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian dan menyusun laporan
penelitian tersebut sebagai skripsi dengan judul “Kajian aktivitas antimikroba
ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.) terhadap bakteri patogen dan perusak
pangan”.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan anugerah-
Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Kajian aktivitas antimikroba ekstrak jintan hitam (Nigella sativa L.)
terhadap bakteri patogen dan perusak pangan”. Skripsi ini berisi hasil penelitian
tentang aktivitas antimikroba dari beberapa ekstrak jintan hitam. Dari penelitian
ini, dapat diketahui ekstrak biji jintan hitam yang memiliki spektrum luas dalam
menghambat bakteri uji serta nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari
beberapa ekstrak jintan hitam terhadap bakteri tertentu. Selain itu, diketahui juga
komponen fitokimia yang terdapat dalam beberapa ekstrak jintan hitam.
Banyak pihak telah terlibat dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian
dan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Sedarnawati. Yasni, M. Agr. selaku Dosen Pembimbing Akademik I
dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik II yang
telah banyak memberi arahan dan bimbingan sejak awal perencanaan
penelitian, penyelesaian penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Ir. Budi Nurtama, M. Agr. selaku Dosen Penguji yang juga turut
membantu dalam pengolahan data hasil penelitian ini.
3. “DEIDENG CENTER” yang telah memberikan bantuan dana untuk
pelaksanaan penelitian ini.
4. Bapatua Sudiman Purba, Bapaanggi Pandapotan Purba, Tulang Sabarman
Damanik, Oppung Dj. F. Sinaga dan Bapatua Mulia Purba atas dukungan
moril dan materiil.
5. Mama, Papa, Daus “Uus”, Ledi “Dodot”, Tante Rus dan Uda Butar, Tante
Loisi dan Uda Pea, atas kasih sayang dan dukungan moril serta materiil.
6. Dora-ku dan Deddy, untuk kerjasama kita yang menyenangkan.
7. Mba Ari, Pak Taufik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiyah, Bi Entin, Bi
Sari, Pa Udin, Pak Karna/Abah, Pak Mulyono/Pak Mul, Pak Rojak, Pak
Koko, Teh Ida dan Mas Edi, atas bantuan selama penulis bekerja di
laboratorium.
ii
8. Bu Yuspi, atas bantuan selama penulis bekerja di laboratorium dan atas
peminjaman jurnal-jurnal yang terkait dengan penelitian ini. Mba Tri, Mba
Lala, Mba Hon, dan Mba Era, atas bantuan sebagai rekan kerja di
laboratorium serta Mba Santy dan Bu Asriani, atas diskusi “2 sks” kita.
9. Inda, untuk peminjaman inkubatornya. Manginar, Olga, Christ, Icha,
Mumust, Novi, Tina untuk kebersamaan di TPG.
10. Kenot, Prasna, Samsul, buat kebersamaan sebagai kelompok C6 yang
sangat berkesan.
11. Meilina, yang setia mendengar ceritaku dan anak mie lainnya..(Tukep dll).
12. Hana Bona yang baik dan Mba Agnani Marlis.
13. Eko-TPG 39 dan Yanty-Statistik 39, atas bantuan dalam pengolahan data.
14. Elma, Evrin, Fiona, Melissa, buat persahabatan yang sehat sejak kita SMA
15. Bang Apri Girsang, Bang Pirma Girsang, Bang Bruly Tarigan, Bang Jubel
Girsang, dan Bang Kristiansen Purba, atas dukungan dan bantuan selama
kuliah dan penelitian, yang juga sudah seperti abang sendiri bagi penulis.
16. Warga Wisma Jo, Mba Lia-LP, dan anak-anak Parmasi. Simalungun Jaya!
17. Pemuda GKPS Bogor, terima kasih untuk akhir yang menyenangkan di
Pesparawi Pemuda walaupun kita kalah.
18. Teman-teman Golongan C, terima kasih untuk kebersamaan yang ceria.
19. Semua yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah dan bersedia untuk
diganggu saat menerima sms berisi keluhan penulis selama penelitian.
20. Someone who ever loved me so deep and spent time just for supported me
in my hard times.
21. Semua pihak yang belum tersebut tetapi turut membantu hingga penelitian
ini dapat terlaksana dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun
demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membaca.
Bogor, Desember 2006
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. TUJUAN DAN SASARAN .................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
A. JINTAN HITAM ................................................................................... 3
B. EKSTRAKSI ......................................................................................... 6
C. KARAKTERISTIK BAKTERI PATOGEN DAN PERUSAK ............ 12
D. SENYAWA ANTIMIKROBA ............................................................. 16
E. UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA ..................................................... 19 F. SENYAWA FITOKIMIA ..................................................................... 21
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................... 25
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 25
B. TEMPAT DAN WAKTU ..................................................................... 25
C. METODE PENELITIAN ...................................................................... 26
D. METODE ANALISIS ........................................................................... 32
E. RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................ 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 38
A. PENGHITUNGAN JUMLAH MIKROBA UMUR 24 JAM ............... 38
B. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU .................................................... 39
C. KARAKTERISTIK EKSTRAK ........................................................... 39
D. AKTIVITAS ANTIMIKROBA ............................................................ 44
E. IDENTIFIKASI KUALITATIF SENYAWA FITOKIMIA ................. 58
F. MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC) ......................... 60
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 63
A. KESIMPULAN ..................................................................................... 63
B. SARAN ................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 65
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Biji jintan hitam ............................................................................. 3
Gambar 2. Bunga jintan hitam ........................................................................ 3
Gambar 3. Tanaman jintan hitam .................................................................... 3
Gambar 4. Susunan alat penyulingan uap ........................................................ 8
Gambar 5. Susunan alat ekstraksi refluks ....................................................... 12
Gambar 6. Struktur DMSO [(CH3)2SO] ......................................................... 20
Gambar 7. Penggolongan senyawa terpenoid ................................................. 23
Gambar 8. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air ......... 29
Gambar 9. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol ... 29
Gambar 10. Diagram proses ekstraksi bertingkat dengan metode refluks ........ 31
Gambar 11. Pengaruh berbagai ekstrak jintan hitam terhadap bakteri uji ........ 46
Gambar 12. Pengaruh ekstrak air terhadap bakteri uji ...................................... 47
Gambar 13. Pengaruh ekstrak metanol terhadap bakteri uji .............................. 49
Gambar 14. Pengaruh ekstrak etanol terhadap bakteri uji ................................. 50
Gambar 15. Zona penghambatan ekstrak etanol jintan hitam terhadap
Staphylococcus aureus .................................................................. 50
Gambar 16. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap bakteri uji ........................... 51
Gambar 17. Pengaruh minyak atsiri terhadap bakteri uji .................................. 52
Gambar 18. Pengaruh ekstrak heksan terhadap bakteri uji ............................... 54
Gambar 19. Pengaruh masing-masing ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif ........................................ 56
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi minyak atsiri jintan hitam ................................................ 5
Tabel 2. Komposisi asam amino biji jintan hitam .......................................... 6
Tabel 3. Komposisi asam lemak biji jintan hitam ........................................... 6
Tabel 4. Pelarut yang umum digunakan untuk ektraksi .................................. 10
Tabel 5. Nilai polaritas beberapa pelarut ......................................................... 11
Tabel 6. Mekanisme aksi antibiotik ................................................................ 18
Tabel 7. Jumlah sel mikroba pada umur 24 jam .............................................. 39
Tabel 8. Hasil analisis proksimat biji jintan hitam .......................................... 39
Tabel 9. Hasil penyulingan minyak atsiri biji jintan hitam ............................. 41
Tabel 10. Karakteristik ekstrak jintan hitam ..................................................... 43
Tabel 11. Hasil analisis ragam .......................................................................... 45
Tabel 12. Jenis senyawa fitokimia yang terekstrak pada berbagai pelarut ........ 58
Tabel 13. Hasil identifikasi kualitatif senyawa fitokimia ................................. 59
Tabel 14. Nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam .......................................... 61
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara keseluruhan ............................. 70
Lampiran 2. Diagram alir persiapan kultur bakteri dan uji konfirmasi jumlah
mikroba ...................................................................................... 71
Lampiran 3. Diagram alir uji difusi sumur ....................................................... 72
Lampiran 4. Contoh perhitungan penentuan jumlah mikroba ......................... 73
Lampiran 5. Hasil uji konfirmasi jumlah sel bakteri dengan metode hitungan
cawan ......................................................................................... 74
Lampiran 6. Hasil analisis minyak atsiri tanpa penghalusan bahan ................. 75
Lampiran 7. Hasil analisis minyak atsiri dengan penghalusan bahan .............. 76
Lampiran 8. Contoh perhitungan rendemen ..................................................... 77
Lampiran 9. Hasil perhitungan standar eror ..................................................... 78
Lampiran 10. Hasil analisis ragam ..................................................................... 79
Lampiran 11. Hasil uji lanjut Duncan ................................................................ 80
Lampiran 12. Zona penghambatan ekstrak-ekstrak jintan hitam terhadap bakteri
uji (Mean ± SE) ........................................................................... 81
Lampiran 13. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri
Salmonella Typhimurium .......................................................... 82
Lampiran 14. Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri
Bacillus cereus ........................................................................... 83
Lampiran 15. Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap
bakteri Staphylococcus aureus ................................................... 84
Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak metanol jintan hitam terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa .......................................................... 85
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh makanan dan air merupakan
penyebab utama penyakit dan kematian di negara berkembang (Roller, 2003).
Menurut WHO (2005), diperkirakan 2.1 juta orang meninggal sepanjang tahun
2000 yang disebabkan oleh penyakit diare karena kontaminasi pada makanan
dan air minum. Di Indonesia, terdapat 7343 kasus keracunan pangan yang
dilaporkan sepanjang tahun 2004, termasuk di dalamnya 45 kasus yang
menyebabkan kematian (Badan POM, 2005).
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh keracunan bahan pangan
menyebabkan kerugian ekonomi, berupa biaya pengobatan dan kehilangan
produktivitas. Kerusakan pangan juga memegang peranan penting terhadap
kerugian ekonomi, tetapi sulit untuk diketahui jumlahnya (Roller, 2003). Di
USA, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bakteri patogen diperkirakan
mencapai $ 35 milyar pada tahun 1997 (WHO, 2005). Kasus penyakit infeksi
oleh bakteri patogen dan kasus kerusakan pangan, keduanya diakibatkan oleh
pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dalam bahan pangan. Oleh
karena itu, penting dilakukan pengendalian terhadap pertumbuhan mikroba
dalam pangan.
Menurut Thongson et. al. (2004), salah satu strategi untuk mengurangi
jumlah kasus food-borne illnesses dapat dilakukan dengan mengaplikasikan
antimikroba pada saat proses pengolahan pangan untuk menginaktifkan
ataupun untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Penggunaan rempah-rempah
dalam makanan, tidak hanya memberi karakteristik rasa, kepedasan, dan
warna, melainkan juga memberikan aktivitas antioksidan dan antimikroba,
farmaseutikal, dan nilai gizi.
Aktivitas antimikroba adalah kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba, baik berupa bakteriostatik maupun fungistatik (Hirasa
et. al., 1998). Sifat antimikroba dari rempah-rempah sudah diketahui dan
digunakan sejak berabad-abad yang lalu, misalnya penggunaan kayu manis
dan jintan untuk mengawetkan mumi di Mesir. Saat ini aplikasi aktivitas
2
antimikroba sudah mengalami perkembangan yang pesat karena negara-
negara industri mulai menghidupkan kembali pendekatan secara tradisional
untuk melindungi ternak dan makanannya dari penyakit, binatang perusak,
dan kebusukan (Dorman et. al., 2000). Menurut Singh et. al. (2004), sifat
antimikroba pada bahan yang ditambahkan pada makanan sangat penting
untuk meningkatkan umur simpan makanan dan untuk memberikan rasa aman
pada konsumen.
Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama black cumin (Nigella sativa
L.) merupakan tanaman yang umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai
obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia. Di
Indonesia, biji jintan hitam digunakan untuk mengobati sakit perut (Heyne,
1987). Sakit perut merupakan salah satu gejala yang disebabkan oleh
keracunan akibat mikroba, seperti Staphylococcus aureus. Oleh karena itu,
diduga biji jintan hitam memiliki aktivitas antimikroba dan perlu dilakukan
analisis untuk mengetahui aktivitas antimikroba jintan hitam terhadap
beberapa bakteri patogen ataupun bakteri perusak pangan.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba
beberapa jenis ekstrak jintan hitam terhadap bakteri patogen dan bakteri
perusak makanan. Sasaran penelitian ini adalah pengembangan pemanfaatan
jintan hitam sebagai bahan pengawet pangan alami dan atau sebagai bahan
pangan fungsional.
3
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. JINTAN HITAM (Nigella sativa L.)
Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama black cumin (Nigella sativa
L.) merupakan tanaman asli dari Eropa Selatan dan banyak ditemukan di
India. Jintan hitam yang ada di Indonesia berasal dari Bombay (Heyne, 1987).
Tanaman penghasil jintan hitam merupakan tanaman yang tumbuh liar sampai
pada ketinggian 1100 m dari permukaan laut. Biasanya ditanam di daerah
pegunungan ataupun sengaja ditanam di halaman atau ladang sebagai tanaman
rempah-rempah (Achyad et. al., 2000). Berikut ini adalah gambar biji, bunga
dan tanaman jintan hitam.
Gambar 1. Biji jintan hitam
Gambar 2. Bunga jintan hitam Gambar 3. Tanaman jintan hitam
(Sumber : Anonim, 2006a)
Jintan hitam merupakan tanaman herba berbunga tahunan, tingginya 20
cm hingga 30 cm. Daunnya berwarna hijau muda. Bagian yang digunakan
sebagai obat maupun bumbu adalah biji jintan hitam. Biji jintan hitam berada
dalam buah. Jika telah matang buah tersebut akan terbuka dan bijinya akan
terkena udara sehingga warnanya berubah menjadi hitam. Biji jintan hitam
berbentuk kerucut, berwarna kehitaman yang dihasilkan oleh tanaman
berbatang lembut, berbunga biru muda atau putih, jumlah kelopak bunganya
4
lima (Anonim, 2006a). Taksonomi jintan hitam menurut Hutapea (1994) yang
dikutip oleh Syamani (2001) :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Ranunculales
Suku : Ranunculaceae
Marga : Nigella
Spesies : Nigella sativa L.
Selain jintan hitam, dikenal juga jintan putih (Cuminum cyminum L. dari
suku Apiaceae) yang lebih sering dipakai dalam masakan walaupun dipakai
juga untuk jamu-jamu tertentu, dan dalam bahasa lnggris disebut cummin.
Jintan hitam juga berbeda dengan jintan manis (Pimpinella anisum L. dari
suku Apiaceae) yang lebih dikenal sebagai adas manis (Inggris : anise ;
Belanda : anijs). Bahkan juga berbeda dengan jintan (Carum carvi L. dari
suku Apiaceae) yang dalam bahasa Inggris disebut caraway dan dalam bahasa
Belanda disebut karwijzaad (Achyad, et. al., 2000). Beberapa nama daerah
untuk jintan hitam adalah zwarte komijn, nigelle cultivee, schwarzkummel,
black cumin (Heyne, 1987).
Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat
tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh
et. al., 2006). Biji jintan hitam biasanya ditambahkan pada makanan
tradisional dan dicampur dengan roti ataupun madu sebagai pemberi citarasa
(Al-Saleh et. al., 2006 dan Al-Jabre et. al., 2003). Menurut Baytop yang
dikutip oleh Donmez (2004), biji jintan hitam biasanya digunakan sebagai
bumbu dan umumnya dibudidayakan di Afyon, Burdur, Isparta, dan Denizli
wilayah Turki. Di India, biji jintan hitam digunakan sebagai obat dan bumbu.
Jintan hitam yang ada di Indonesia didatangkan dari Bombay, setelah
dicampur dengan bahan lain digunakan sebagai obat sakit perut (Heyne,
1987).
5
Komposisi kimia jintan hitam sangat beragam. Menurut El-Alfy yang
dikutip oleh Al-Saleh et. al. (2006), berdasarkan berat keringnya, jintan hitam
mengandung 0,4 % minyak atsiri yang terdiri dari carvon, limonene, p-
cymene, trans-anethole. Jintan hitan juga mengandung selenium, DL-α-
tokoferol, DL-γ-tokoferol, all-trans-retinol, thymoquinone, dan thymol (Al-
Saleh, 2006). Berikut ini adalah komposisi minyak atsiri jintan hitam.
Tabel 1. Komposisi minyak atsiri jintan hitam
Komposisi Persentase
Carvone 21.1% Alfa-Pinene 7.4%
Sabinene 5.5% beta-pinene 7.7% p-cymene 46.8% Lain-lain 11.5%
(Sumber : Anonim, 2006b)
Menurut Achyad et. al. (2000), kandungan biji jintan hitam antara lain
minyak atsiri, minyak lemak, dan saponin melantin, zat pahit nigelin, nigelon,
dan timokuinon. Minyak atsiri pada umumnya bersifat anti-bakteri, anti-
peradangan dan dapat menghangatkan perut. Menurut Achyad et. al. (2000),
buah dan biji jintan hitam memiliki kegunaan untuk mengatasi radang pada
selaput lendir mata penyebab penglihatan berkabut, batuk rejan, keputihan
pada gadis remaja, lepra, radang hidung, sembelit, encok, digigit
serangga/ular, dan influensa. Saat ini, beberapa komponen aktif jintan hitam
yang telah berhasil diisolasi adalah thymoquinone, thymohydroquinone,
dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine, nigellimine-N-
oxide and alpha-hedrin (Al-Jabre et. al., 2003).
Selain komposisi kimia dan kandungan komponen aktif yang beragam,
kandungan gizi jintan hitam cukup tinggi. Hal tersebut dilihat berdasarkan
kandungan asam amino dan asam lemaknya. Jintan hitam mengandung 8 jenis
dari 10 asam amino esensial dan 7 jenis dari 10 asam amino non-esensial.
Komposisi asam amino biji jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Komposisi asam amino biji jintan hitam
Asam amino Persentase Asam amino Persentase
Alanin Valin Glisin Isoleusin Leusin Prolin Treonin
3.77 3.06 4.17 4.03 10.88 5.34 1.23
Serin Asam aspartat Metionin Fenilalanin Asam glutamat Tirosin Lisin arginin
1.98 5.02 6.16 7.93 13.21 6.08 7.62 19.52
(Sumber : Babayan et. al., 1978)
Komposisi asam lemak biji jintan hitam juga cukup beragam. Selain itu
mengandung juga asam lemak esensial (essential fatty acid) yaitu asam
linoleat dan asam linolenat. Komposisi asam lemak jintan hitam dapat dilihat
pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Komposisi asam lemak biji jintan hitam
Asam lemak Persentase (%)
Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2)(Omega-6) Linolenat (18:3n-3) (Omega-3) Arakidonat (C20:0)
0.5 13.7 12.6 23.7 57.9 2.0 1.3
(Sumber : Anonim, 2006b)
Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan jintan hitam cepat rusak pada
kadar air yang cukup tinggi. Kerusakan umumnya disebabkan oleh kapang
karena kapang dapat memanfaatkan berbagai komponen makanan yang
kompleks seperti lipida (Fardiaz, 1992). Oleh karena itu, jintan hitam harus
ditangani secepat mungkin agar tidak mengalami kerusakan.
B. EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah proses memisahkan komponen tertentu dari dalam
suatu bahan atau campuran baik dengan cara kimia, fisika, ataupun mekanis
(WordNet, 2006). Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memilih
7
metode ekstraksi adalah tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang
akan diekstrak, sifat pelarut yang akan digunakan, penggunaan ekstrak, serta
penggunaan ulang pelarut (Houghton dan Raman, 1998). Jika telah diketahui
sifat senyawa yang akan diekstrak, ekstraksi dilakukan mengikuti prosedur
yang sudah ada dengan modifikasi seperlunya. Namun, jika bahan yang akan
diekstrak belum diketahui sifatnya, ekstraksi dilakukan untuk memperoleh
senyawa kimia pada kisaran yang luas. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan pelarut yang berbeda-beda.
Pemilihan metode ekstraksi harus mempertimbangkan sifat komponen
yang akan diekstrak. Sifat komponen yang akan diekstrak meliputi polaritas,
termostabilitas, dan pengaruh pH (Houghton dan Raman, 1998). Polaritas
pelarut yang akan digunakan harus disesuaikan dengan polaritas komponen
yang akan diekstrak. Termostabilitas komponen berkaitan dengan kestabilan
komponen terhadap pengaruh panas. Hal lain yang harus dipertimbangkan
adalah pH. Jika komponen yang akan diekstrak bersifat asam seperti asam
lemak, pelarut yang bersifat basa dapat digunakan untuk mengekstraknya.
Sifat pelarut berkaitan dengan polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar,
reaktivitas, ketersediaan dan harga. Polaritas pelarut berkaitan dengan
senyawa yang diharapkan terekstrak bersama pelarut. Toksisitas pelarut
berkaitan dengan penggunaan ekstrak lebih lanjut, jika akan diaplikasikan
pada manusia, keamanan residu pelarut yang tertinggal terhadap kesehatan
manusia harus diperhitungkan. Kemudahan pelarut untuk terbakar berkaitan
dengan suhu dan sumber panas yang akan digunakan saat ekstraksi.
Reaktivitas pelarut berkaitan dengan terjadinya pembentukan senyawa baru
selama ekstraksi berlangsung. Penggunaan kembali pelarut dan harga pelarut
berkaitan dengan nilai ekonomis pelarut.
Metode ekstraksi yang paling umum dilakukan adalah ekstraksi
menggunakan pelarut pada tekanan atmosfer dan dapat disertai aplikasi panas
(Houghton dan Raman, 1998). Namun, ada beberapa metode ekstraksi lain
yang dapat dilakukan seperti distilasi uap, Supercritical Fluid Extraction
(SFE), dan ekstraksi menggunakan gas cair.
8
1. Distilasi uap (penyulingan uap)
Penyulingan uap adalah metode paling umum digunakan untuk
memperoleh minyak atsiri. Selain dengan penyulingan, minyak atsiri dapat
juga diperoleh dengan enflurasi, maserasi dan dengan pelarut menguap.
Penyulingan merupakan cara untuk memurnikan cairan (Koster, 2001). Pada
saat penyulingan akan terjadi pemisahan komponen-komponen suatu
campuran dari dua jenis campuran atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan
uap dari masing-masing zat tersebut. Ada 3 metode penyulingan yang
dikenal dalam industri minyak atsiri, yaitu penyulingan dengan air,
penyulingan dengan air dan uap, serta penyulingan dengan uap langsung.
Perbedaan ketiga metode tersebut hanya pada cara penanganan bahan
olahannya.
Sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan uap.
Pada proses penyulingan dengan uap langsung, bahan yang akan disuling
diletakkan di dalam rak-rak atau saringan berlubang. Uap lewat panas
bertekanan lebih dari 1 atmosfir dilewatkan melalui pipa uap melingkar
yang berpori, yang terletak di bawah bahan dan uap bergerak ke atas melalui
bahan yang terletak di atas saringan. Susunan alat penyulingan uap dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Susunan alat penyulingan uap
(Sumber : Coconut Coast Handmade Soap Co., 2006)
9
Sebelum disuling, bahan dirajang terlebih dahulu. Bila bahan dibiarkan
utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi jika uap air berhasil melalui
jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Hal ini terjadi secara
difusi. Jika bahan dirajang, ukuran ketebalan untuk terjadinya proses difusi
akan berkurang sehingga saat penyulingan, laju penguapan minyak atsiri
dari bahan menjadi lebih cepat. Namun, perajangan memiliki kelemahan,
yaitu jumlah rendemen minyak atsiri akan berkurang seimbang dengan laju
penguapan yang terjadi selama perajangan dan setelah perajangan serta
komposisi minyak akan berubah dan akan mempengaruhi baunya (Ketaren,
1987).
Minyak atsiri adalah konsentrat berupa cairan bersifat hidrofobik yang
mengandung komponen volatil dari tanaman (Anonim, 2006c). Minyak atsiri
dikenal juga sebagai minyak eteris. Minyak atsiri terutama terdiri dari
persenyawaan kimia mudah menguap, termasuk golongan hidrokarbon
asiklik dan hidrokarbon isosiklik serta turunan hidrokarbon yang telah
mengikat oksigen. Beberapa persenyawaan mengandung nitrogen dan
belerang. Senyawa-senyawa dalam minyak atsiri tersebut dapat digolongkan
ke dalam 4 kelompok besar yang dominan menentukan sifat minyak atsiri,
yaitu terpen, persenyawaan berantai lurus, tidak mengandung rantai cabang,
turunan benzena, dan bermacam-macam persenyawaan lainnya (Ketaren,
1987).
Bagian utama minyak atsiri adalah terpenoid, biasanya terpenoid
terdapat pada fraksi atsiri yang tersuling uap. Zat inilah yang menyebabkan
timbulnya wangi, harum, atau bau yang khas pada banyak tumbuhan
(Harborne, 1996). Beberapa komponen terpenoid yang terdapat dalam
minyak atsiri jintan hitam adalah carvone, alfa-pinene, sabinene, beta-
pinene, p-cymene (Anonim, 2006b).
Secara kimia, terpene minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua
golongan yaitu monoterpene dan seskuiterpena. Monoterpene dan
seskuiterpen adalah isoprenoid, perbedaannya terletak pada titik didihnya.
Monoterpena memiliki titik didih 140-180 oC, sedangkan seskuiterpena
memiliki titik didih lebih tinggi dari 200 oC.
10
2. Ekstraksi dengan pelarut
Ekstraksi menggunakan pelarut dilakukan dengan mengkontakkan
bahan baku pada pelarut selama periode waktu tertentu, kemudian
dilanjutkan dengan pemisahan larutan dari ampas. Pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi disesuaikan dengan sifat komponen yang ingin diekstrak.
Hal ini berdasarkan prinsip like dissolve like. Oleh karena itu, komponen
yang terekstrak akan memiliki kepolaran yang mirip dengan pelarut yang
digunakan dalam ekstraksi. Jika telah diketahui kepolaran senyawa yang
akan diekstrak, akan lebih mudah menentukan metode ekstraksi dan pelarut
yang digunakan. Namun, jika belum diketahui kepolaran senyawa yang akan
diekstrak, umumnya dilakukan ekstraksi bertingkat dengan beberapa pelarut
yang memiliki kepolaran yang berbeda-beda. Beberapa pelarut yang umum
digunakan untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pelarut yang umum digunakan untuk ekstraksi
Heksan Benzen, toluene Dietileter Kloroform, diklorometan Etil asetat Butanon Aseton Butanol Etanol Metanol Air Larutan asam, larutan basa
(Sumber : Houghton dan Raman, 1998) Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah heksan, etil asetat,
etanol, metanol, dan air. Berdasarkan perbandingan nilai polaritasnya, dalam
penelitian ini heksan digolongkan sebagai pelarut yang bersifat non polar,
etil asetat dan etanol digolongkan sebagai pelarut yang bersifat semi polar,
serta air dan metanol digolongkan sebagai pelarut yang bersifat polar. Nilai
polaritas beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 5.
semakin ke bawah kepolaran semakin meningkat
11
Tabel 5. Nilai polaritas beberapa pelarut
Pelarut Polaritas (ε) Pelarut Polaritas (ε) Karbondioksida 0.00 Etil asetat 0.38 Pentana 0.00 Aseton 0.47 Heksan 0.00 Etanol 0.68 Toluen 0.29 Metanol 0.73 Benzen 0.32 Air 0.90
(Sumber : Moyler, 1995 dalam Ardiansyah, 2001) Metode yang sederhana dari ekstraksi dengan pelarut adalah perkolasi.
Pada perkolasi, bahan dikontakkan langsung dengan pelarut pada suhu ruang
ataupun di atas suhu ruang. Bahan yang akan diekstrak dimasukkan ke
dalam tabung yang memiliki keran dan saringan di bagian bawahnya,
kemudian pelarut dituang di atas bahan tersebut. Pada saat keran dibuka,
pelarut akan mengalir melewati bahan dan menetes sedikit demi sedikit.
Oleh karena adanya saringan, bahan tidak ikut terbawa oleh pelarut, tetapi
senyawa kimia yang diinginkan akan ikut terbawa dalam pelarut.
Hal yang menjadi kelebihan metode perkolasi adalah tidak perlu
dilakukan proses penyaringan. Kelemahan metode perkolasi adalah waktu
kontak antara bahan dan pelarut terbatas serta suhu yang digunakan rendah
sehingga komponen tidak terekstrak sempurna. Selain itu, suhu pelarut yang
digunakan kemungkinan sudah berkurang sehingga kurang efektif dalam
mengekstrak komponen.
Selain dengan cara perkolasi, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara
refluks. Pada ekstraksi refluks, bahan yang akan diekstrak dikontakkan
langsung dengan pelarut, yaitu dengan direndam selama waktu tertentu.
Refluks digunakan jika ekstraksi dilakukan dengan aplikasi panas secara
kontinyu. Pada beberapa proses ekstraksi diperlukan aplikasi panas secara
kontinyu untuk meningkatkan ekstraksi ataupun agar terjadi reaksi kimia
tertentu, misalnya hidrolisis glikosida (Houghton dan Raman, 1998).
Pemberian panas secara kontinyu dan waktu ekstraksi yang cukup lama akan
menyebabkan pelarut berkurang karena terjadi penguapan. Untuk
menghindari hal ini, digunakan kondensor yang akan mendinginkan uap
pelarut sehingga pelarut kembali ke dalam tabung ekstraksi. Susunan alat
ekstraksi metode refluks dapat dilihat pada Gambar 5.
12
Gambar 5. Susunan alat ekstraksi refluks
Jika pelarut yang digunakan adalah air, asam, ataupun basa, sumber
panas dapat berasal dari nyala api. Namun, jika digunakan pelarut yang
memiliki titik didih kurang dari 100 oC, digunakan penangas air (water bath)
sebagai sumber panas.
C. KARAKTERISTIK BAKTERI PATOGEN DAN BAKTERI PERUSAK
PANGAN
Bahan pangan mengandung bakteri dengan jumlah dan jenis yang
berbeda-beda. Jumlah dan jenis bakteri yang terdapat dalam bahan pangan
akan menentukan umur simpan dan keamanan bahan pangan tersebut jika
dikonsumsi. Umur simpan bahan pangan cenderung dipengaruhi oleh
keberadaan bakteri pembusuk, sedangkan keamanan bahan pangan
dipengaruhi oleh keberadaan bakteri patogen. Bakteri pembusuk/perusak
pangan adalah bakteri yang dapat memecah komponen-komponen yang ada
dalam bahan pangan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan
menyebabkan perubahan citarasa, penampakan, rasa ataupun aroma yang tidak
dapat diterima oleh konsumen. Bakteri patogen adalah bakteri yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia, baik secara infeksi ataupun intoksikasi.
Berdasarkan susunan dinding sel-nya, bakteri dapat digolongkan
menjadi bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Perbedaan susunan
dinding sel tersebut paling menyolok terlihat pada komposisi lapisan
peptidoglikan. Dinding sel bakteri Gram positif terdiri dari 90% lapisan
peptidoglikan dan lapisan tipisnya adalah asam teikoat, sedangkan dinding
Sumber
Kondens
Tetesan
Pelarut dan
13
bakteri Gram negatif, hanya 5-20% terdiri dari lapisan peptidoglikan dan
lapisan lainnya terdiri dari protein, lipopolisakarida, dan lipoprotein (Fardiaz,
1992). Perbedaan susunan dinding sel ini akan menyebabkan perbedaan
kesensitifan bakteri terhadap senyawa tertentu, seperti antibiotik penisilin.
Penisilin adalah senyawa antimikroba/antibiotik yang yang bekerja dengan
mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh. Oleh karena
bagian yang dipengaruhi adalah peptidoglikan, bakteri Gram positif akan
menjadi lebih sensitif terhadap penisilin daripada bakteri Gram negatif karena
kandungan peptidoglikannya lebih banyak.
1. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerobik
fakultatif, dan bersifat motil karena memiliki flagela peritrik. Secara
mikroskopik, Bacillus cereus berbentuk batang, mempunyai ukuran sel yang
besar, sekitar 1.0-1.2 µm dengan panjang 3.0-5.0 µm. Sebagian besar strain
Bacillus cereus bersifat mesofilik dan mampu tumbuh pada pangan berasam
rendah pada suhu 15 oC hingga 55 oC. Bacillus cereus bersifat patogen
meskipun sebagian besar golongan Bacillus bersifat non-patogen.
Bacillus cereus dapat membentuk spora yang tahan terhadap
pemanasan sehingga pemanasan tidak dapat menghilangkan Bacillus cereus
secara maksimum. Bacillus cereus ditemukan pada susu pasteurisasi, daging
beku, dan sayur-sayuran (Granum et. al., 2000). Selain itu, Bacillus cereus
sering menyebabkan masalah pada nasi dan nasi goreng dan menyebabkan
keracunan pangan. Keracunan pangan oleh Bacillus cereus terjadi secara
intoksikasi, yaitu masuknya enterotoksin yang diproduksi oleh Bacillus
cereus ke dalam tubuh manusia. Gejala yang muncul adalah diare atau
muntah dalam jangka waktu 2-16 jam setelah makanan dikonsumsi (Brooks
et. al. dalam Prescott et. al., 2003).
2. Staphylococus aureus
Staphylococus aureus merupakan bakteri Gram positif, non-motil,
tidak membentuk spora dan bersifat katalase positif. Sebagian besar galur
Staphylococus aureus tumbuh secara aerobik pada suhu antara 7-48 oC,
14
dengan suhu optimum 35-40 oC. Dinding sel Staphylococus aureus
mengandung 3 komponen utama, yaitu peptidoglikan, asam teikoat, dan
protein A yang berikatan secara kovalen dengan peptidoglikan (Baird-
Parker, 2000). Staphylococus aureus ditemukan pada kulit dan membran
mukous hewan berdarah panas. Selain itu ditemukan juga pada permukaan
kulit manusia (Baird-Parker, 2000).
Staphylococus aureus bersifat patogen, yaitu dengan memproduksi
enterotoksin yang akan menyebabkan penyakit jika dikonsumsi manusia.
Enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10-46 oC, optimum pada 40-45 oC
(Jay, 2005). Gejala keracunan enterotoksin meliputi mual, muntah-muntah,
keram perut, dan diare. Gejala tersebut muncul 1 hingga 8 jam setelah
enterotoksin masuk ke dalam tubuh (Brooks et. al. dalam Prescott et. al.,
2003). Staphylococus aureus ditemukan pada daging sapi mentah, daging
ayam mentah, seafood, dan produk bakery (Baird-Parker, 2000).
Staphylococus aureus dapat bertahan dalam debu sehingga dapat
ditemukan pada siklon ataupun ventilasi. Secara umum, Staphylococus
aureus tidak mampu berkompetisi dengan biota normal yang banyak
terdapat pada pangan. Staphylococus aureus tidak kuat bersaing dengan
bakteri lainnya, sehingga tidak memberikan efek yang cukup berarti pada
makanan yang telah dimasak. Sel Staphylococus aureus lebih sensitif
terhadap panas dibandingkan dengan toksinnya. Bakteri yang diketahui
antagonis terhadap Staphylococus aureus adalah Acinetobacter, Aeromonas,
Baccili, Enterobacteriaceae, Pseudomonas, dan Lactobaccilaceae (Jay,
2005).
3. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk
batang, termasuk famili Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae merupakan
bagian dari flora usus manusia dan Escherichia coli merupakan
predominannya. Panjang sel Escherichia coli adalah sekitar 2.0-6.0 µm dan
lebarnya 1.1-1.5 µm, bersifat motil atau non motil dengan flagela peritrikat
bersifat fakultatif anaerob. Kisaran suhu untuk pertumbuhannya adalah 10-
40 oC, dengan suhu optimum pertumbuhannya adalah 37 oC.
15
Keberadaan Escherichia coli dalam bahan pangan mengindikasikan
bahwa telah terjadi kontaminasi dari feses/kotoran manusia atau hewan
karena Escherichia coli secara normal ditemukan sebagai bagian dari flora
usus manusia segera setelah manusia dilahirkan (Willshaw et. al., 2000).
Kontaminasi bakteri Escherichia coli pada makanan biasanya berasal dari
kontaminasi air yang digunakan.
Tidak semua Escherichia coli mampu memproduksi toksin yang dapat
menyebabkan penyakit, hanya galur Enteropatogenik Escherichia coli
(EEC) saja yang dapat menyebabkan penyakit. Dosis yang dapat
menimbulkan gejala infeksi Escherichia coli berkisar antara 108-109 sel.
Berdasarkan karakteristik penyakitnya, Escherichia coli dapat dibedakan
menjadi Enteropatogenik Escherichia coli, Enteroinvasive Escherichia coli,
Enterotoxigenic Escherichia coli, Vero Cytotoxin-Producing (Shiga Toxin
producing) Escherichia coli (VTEC) (STEC), Enteroaggregative and
Diffusely Adherent Escherichia coli (Willshaw et. al., 2000). Gejala yang
terjadi umumnya adalah diare yang kadang-kadang disertai muntah dalam
jangka waktu 24-72 jam setelah makanan dikonsumsi (Brooks et. al. dalam
Prescott et. al., 2003).
4. Salmonella enterica serovar Typhimurium
Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, fakultatif anaerob,
berbentuk batang, berukuran kecil, dan tidak membentuk spora. Salmonella
sulit dibedakan dengan Esherichia coli di bawah mikroskop ataupun pada
media pertumbuhan yang tidak selektif (umum). Salmonella digolongkan
menjadi dua spesies, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori
(D’Aoust, 2000). Kedua spesies tersebut dikelompokkan lagi menjadi
subspecies-subspesies dan subspesies dikelompokkan lagi menjadi serovar.
Salmonella Typhimurium tergolong dalam spesies enterica serovar
Typhimurium. Suhu minimum untuk pertumbuhan Salmonella
Typhimurium adalah 6-20 oC, sedangkan suhu maksimum untuk
pertumbuhan Salmonella Typhimurium adalah 45oC. Suhu pertumbuhan
optimum Salmonella Typhimurium adalah pada 35-37 oC (D’Aoust, 2000).
16
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi
yang jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang
disebut salmonellosis. Salmonellosis yang paling sering terjadi adalah
gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella Typhimurium. Makanan
yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah telur dan hasil
olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan
hasil olahannya. Keracunan pangan oleh Salmonella disebabkan karena
makanan mengandung jumlah Salmonella dalam jumlah yang signifikan
yaitu 107 sel.
5. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas merupakan bakteri Gram negatif dari famili
Pseudomonadaceae. Pseudomonas secara alami terdapat pada tanah dan air.
Menurut Madigan et. al. (2000), secara ekologi Pseudomonas penting untuk
mendegradasi sisa-sisa komponen dari hewan ataupun tanaman.
Pseudomonas banyak ditemukan pada bahan pangan segar seperti sayuran,
daging, unggas, dan seafood (Jay, 2005) dan sering menimbulkan kebusukan
makanan (Fardiaz, 1992). Bakteri ini bersifat motil dengan flagela polar.
Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37 oC.
Pseudomonas aeruginosa ditemukan pada telur dan memproduksi senyawa-
senyawa yang menimbulkan bau busuk dan pigmen piosianin yang berwarna
biru (Fardiaz, 1992). Pseudomonas spp. menyebabkan perubahan warna
pada keju dan ditemukan juga pada susu.
D. SENYAWA ANTIMIKROBA
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia yang dapat
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Mekanisme kerja senyawa
yang bersifat antimikroba ada beberapa macam, yaitu merusak dinding sel
mikroorganisme hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas membran
sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel,
menyebabkan terjadinya denaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim
di dalam sel, merusak molekul protein dan asam nukleat, bersifat sebagai
antimetabolit, menghambat sintesa asam nukleat (Fardiaz, 1987).
17
Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa
kriteria ideal, antara lain aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan
citarasa dan aroma pada makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas
karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur
resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat
pertumbuhan mikroba serta memiliki spektrum yang luas karena jenis mikroba
dalam pangan umumnya beragam jenis.
Menurut Branen dan Davidson (1993), senyawa kimia yang memiliki
sifat sebagai antimikroba adalah sodium benzoat, asam benzoat, asam sorbat,
sorbat, asam organik, sulfit, sulfur dioksida, nitrit, paraben, komponen fenolik,
asam lemak rantai sedang/medium, ester, dimetil dikarbonat, dietil dikarbonat,
nisin, natamisin, bakteriosin, halogen, senyawa surfaktan dan peroksida.
Selain itu, senyawa fitokimia yang terdapat dalam tumbuhan seperti golongan
fenolik, alkaloid, dan terpenoid juga memiliki aktivitas antimikroba.
Masing-masing senyawa antimikroba memiliki mekanisme yang
berbeda-beda. Sebagian besar mekanisme senyawa fenolik sebagai
antimikroba adalah dengan mempengaruhi membran sel (Branen dan
Davidson, 1993). Hal ini didukung juga oleh pernyataan Sikkema dalam
Lambert (2001) yang menyebutkan bahwa komponen fenol dapat
mempengaruhi membran sel bakteri. Menurut Vas dalam Branen dan
Davidson (1993), komponen fenol dapat merusak membran sitoplasma
mikroba dan menyebabkan kehilangan komponen sitoplasma. Judi dalam
Branen dan Davidson (1993) juga menyebutkan bahwa komponen fenolik
dapat menyebabkan kerusakan fisik pada membran sel ataupun pada penahan
permeabilitas. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang
bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam
amino yang terlibat dalam proses germinasi (Nychas dalam Ardiansyah,
2001). Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim
esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah.
Mekanisme antimikroba golongan aldehid, seperti formaldehid dan
glutaraldehid, adalah ikatan rangkap pada rantai karbon dapat meningkatkan
elektronegativitas yang akan mempengaruhi transfer elektron dan bereaksi
18
dengan komponen nitrogen seperti asam amino dan protein, sehingga dapat
menghambat pertumbuhan sel. Menurut Knobloch et. al. dalam Dorman et. al.
(2000), komponen terpenoid dapat mempengaruhi mekanisme biokimia,
seperti penghambatan transpor elektron, penghambatan translokasi protein,
penghambatan fosforilasi ataupun penghambatan reaksi yang terkait dengan
enzim.
Menurut Helander dalam Lambert (2001), senyawa thymol dan
carvacrol dapat menghancurkan plasma membran sel. Selain itu, senyawa
thymol dan carvacrol dapat memecahkan membran luar Escherichia coli dan
Salmonella Typhimurium pada konsentrasi mendekati nilai MIC. Menurut
Tranter et. al., Gonzalez et. al., Ultee et. al., dan Tassou et. al. dalam Lambert
et. al., (2001), minyak atsiri, komponen fenol, dan bakteriosin dapat
menyebabkan kebocoran sel sehingga akan kehilangan berbagai komponen
seperti ion, ATP, asam nukleat, dan asam amino.
Antibiotik adalah senyawa yang diproduksi oleh mikroba dan
mempunyai kemampuan untuk menghambat atau membunuh bakteri dan
mikroba lainnya, digunakan terutama untuk mengobati penyakit infeksi pada
manusia, hewan dan tanaman. Antibiotik adalah suatu senyawa kimia yang
diturunkan dari atau diproduksi oleh organisme hidup, yang dalam kadar kecil
mampu menghambat proses hidup mikroorganisme. Suatu senyawa dapat
digolongkan sebagai antibiotik jika merupakan produk metabolisme
(walaupun dapat dibuat secara sintetis), suatu produk sintetik dengan struktur
serupa dengan antibiotik yang terdapat di alam, mengantagoniskan
pertumbuhan dan atau kelangsungan hidup satu atau lebih jenis
mikroorganisme, serta efektif dalam kadar rendah. Beberapa mekanisme aksi
antibiotik yang umum dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Mekanisme aksi beberapa antibiotik
Tempat aksi Antibiotik Proses yang diganggu Tipe aktivitas
Dinding sel Basitrasin Sikloserin Penisilin
Sintesis mukopeptida Sintesis peptid dinding sel Ikatan silang dinding sel
Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal
Membran sel Polimiksin Integritas membran Bakterisidal
19
Antibiotik yang mengganggu sistem metabolik mikroorganisme dan
tidak pada sel mamalia merupakan zat antiinfeksi yang paling berhasil,
misalnya zat yang mengganggu sintesis dinding sel bakteri akan berpotensi
tinggi untuk toksisitas selektif. Sifat sidal dan statik penting untuk pengobatan
infeksi yang serius, terutama jika mekanisme pertahanan penderita menjadi
berkurang atau meluap-luap oleh infeksi.
Antibiotik beta-laktam merupakan antibiotik yang mengandung cincin
beta-laktam dalam strukturnya. Antibiotik beta-laktam terbagi menjadi dua
golongan yaitu penisilin dan sefalosforin. Antibiotik beta-laktam memiliki
spektrum antimikroba yang luas, memiliki aksi sidal yang kuat dan cepat
melawan bakteri dalam fase pertumbuhan serta sangat rendah kejadian toksik
dan reaksi buruk lainnya pada inang. Mekanisme aksi letal zat ini adalah
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Hambatan terhadap
biosintesis peptidoglikan, yang dibutuhkan untuk membuat dinding sel bakteri
menjadi tegar, merupakan mekanisme dasar. Dengan tidak terbentuknya
peptidoglikan, ketegaran dinding sel tidak terbentuk penuh dan terjadi lisis
karena naiknya tekanan osmosis internal yang merupakan efek perkembangan
sel bakteri.
E. UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Aktivitas antimikroba adalah kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba, termasuk bakteriostatik maupun fungistatik (Hirasa et.
al., 1998). Metode untuk menganalisis aktivitas antimikroba dipengaruhi oleh
media analisis, senyawa antimikroba, prosedur analisis. Komponen
antimikroba dapat saja berhasil pada kondisi pengujian, tetapi tidak
menunjukkan aktivitas yang cukup baik saat diaplikasikan pada produk
pangan. Sel vegetatif yang sedang tumbuh lebih sensitif daripada spora
terhadap tekanan lingkungan dari senyawa antimikroba.
Metode untuk menganalisis aktivitas antimikroba dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu in vitro dan aplikasi pada produk pangan (Branen dan
Davidson, 1993). Metode in vitro tidak mengaplikasikan senyawa antimikroba
pada produk pangan, hanya menunjukkan adanya potensi antimikroba pada
20
CH3
CH3
bahan. Metode in vitro dapat dibedakan lagi menjadi 3, yaitu metode
pengenceran (dilution methods), metode difusi agar, dan metode turbidimetri.
Masing-masing metode tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan.
Metode difusi agar memiliki kelebihan yaitu sederhana untuk dilakukan,
kekurangannya adalah senyawa antimikroba yang akan diuji harus bersifat
hidrofilik agar dapat berdifusi dengan baik ke dalam agar. Metode
pengenceran memiliki keunggulan, yaitu dapat diketahui terjadinya
kontaminasi, dan dapat dilakukan untuk bahan yang warnanya keruh (Barry
dalam Branen dan Davidson, 1993). Metode turbidimetri memiliki kelebihan,
yaitu cepat, tidak destruktif dan tidak mahal, sedangkan kekurangannya, yaitu
sensitivitasnya rendah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode in vitro, yaitu dengan difusi agar.
Metode difusi agar dilakukan dengan memasukkan komponen
antimikroba ke dalam agar baik dengan kertas saring ataupun dalam sumur.
Komponen akan berdifusi ke dalam agar dan akan menghambat pertumbuhan
mikroba yang terkandung dalam agar. Namun, untuk komponen antimikroba
yang hidrofobik, akan sulit berdifusi ke dalam agar karena agar bersifat polar /
hidrofilik. Oleh karena itu digunakan DMSO yang bersifat seperti emulsifier,
memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik agar senyawa yang bersifat
hidrofobik dapat larut dalam agar. Sruktur DMSO dapat dilihat pada Gambar
6 berikut ini.
Gambar 6. Struktur DMSO [(CH3)2SO]
Hasil analisis menggunakan metode difusi agar bersifat kualitatif.
Menurut Branen dan Davidson (1993), jika diameter penghambatan lebih
besar dari 30 mm, aktivitas antimikroba digolongkan besar. Jika diameter
penghambatan antara 20 mm-30 mm, aktivitas antimikroba digolongkan
sedang dan jika diameter penghambatan kurang dari 20 mm, aktivitas
antimikrobanya digolongkan kecil. Namun, menurut Harris et. al. dan
Lewus&Montville seperti dikutip oleh Branen dan Davidson (1993), uji
21
dengan difusi agar biasanya banyak memberikan kesalahan negatif. Selain
untuk uji bersifat kualitatif, metode difusi agar dapat dilakukan untuk
memperoleh data kuantitatif, misalnya untuk menentukan nilai konsentrasi
minimum dari senyawa antimikroba.
F. SENYAWA FITOKIMIA
Fitokimia merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari struktur
kimia, biosintesis, perubahan dan metabolisme, penyebaran secara ilmiah dan
fungsi dari ragam senyawa organik yang dibentuk oleh tumbuhan.
Berdasarkan biogenesisnya, yaitu sumber bahan baku dan jalur biosintesisnya,
senyawa kimia dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan metabolit
sekunder. Metabolit primer adalah senyawa yang merupakan penyusun utama
makhluk hidup, seperti polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat.
Metabolit sekunder adalah senyawa yang tidak berperan sebagai penyusun
utama makhluk hidup, tetapi memiliki peranan lain misalnya untuk pertahanan
diri. Croteau et. al. (2000) dalam Still (2002) mendefinisikan senyawa
fitokimia sebagai metabolit sekunder dari tumbuhan. Berdasarkan
biosintesisnya, Still (2002) mengelompokkan metabolit sekunder menjadi 3
golongan, yaitu golongan terpen dan terpenoid, golongan alkaloid dan
golongan fenilpropanoid.
1. Fenol
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua
gugus hidroksil (Harborne, 1996). Senyawa fenol cenderung larut dalam air,
banyak yang berikatan dengan gula sebagai glikosida. Senyawa fenolik
sangat luas, mulai dari senyawa fenol dengan struktur yang sederhana
hingga polifenol. Beberapa senyawa fenol juga ada yang bersifat lipofilik.
Kelompok fenolik terdiri dari fenol, asam fenolat, fenilpropanoid, pigmen
flavonoid, antosianin, flavonol dan flavon, flavonoid minor, xanton, dan
stilbena, tanin, serta pigmen kuinon (Harborne, 1996).
22
Senyawa fenol tumbuhan dapat menimbulkan gangguan besar karena
mampu membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen.
Akibatnya kerja enzim dapat terganggu (Harborne, 1996). Jika dikelilingi
oleh oksidator, komponen fenolik umumnya bertindak sebagai ligan untuk
ion logam. Dengan demikian, saat ditambahkan ion feri pada larutan yang
mengandung fenol akan terbentuk kompleks berwarna hijau tua, biru atau
biru kehitaman (Houghton dan Raman, 1998). Komponen fenolik dapat
melignifikasi dinding sel bakteri sehingga keberadaan komponen fenolik
dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid
umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Dalam satu tumbuhan mungkin terdapat dalam beberapa
kombinasi glikosida (Harborne, 1996). Flavonoid terdapat dalam tumbuhan
sebagai campuran. Jarang ditemukan flavonoid tunggal dalam jaringan
tumbuhan.
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam
angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air
(Harborne, 1996). Dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan
enzim sitoplasma tetapi jika jaringan rusak, misalnya dimakan oleh hewan,
terjadi reaksi penyamakan.
2. Terpenoid
Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan. Terpenoid
terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri,
yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap, diterpena yang
lebih sukar menguap serta senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid
dan sterol serta pigmen karotenoid.
Kebanyakan ’terpenoid’ alam memiliki struktur siklik dan mempunyai
satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil, karbonil, dll). Secara kimia,
terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel
tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstrak menggunakan eter minyak bumi,
eter atau kloroform.
23
Mudah menguap
Sulit menguap
Tidak menguap
Terpenoid merupakan bagian utama minyak atsiri. Secara kimia,
terpena minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu
monoterpena dan seskuiterpena. Monoterpena dapat dipilah lagi menjadi
tiga golongan yaitu asiklik (misalnya geraniol), monosiklik (misalnya
limonena) dan bisiklik (misalnya alfa pinena dan beta pinena). Monoterpena
sederhana tersebar luas dan cenderung merupakan bagian dari kebanyakan
minyak atsiri. Secara lebih sederhana, penggolongan senyawa terpenoid
dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Penggolongan senyawa terpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon
asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid merupakan senyawa tidak berwarna,
berbentuk kristal, seringkali bertitik didih tinggi dan aktif optik. Triterpenoid
dapat dipilah menjadi empat golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid,
saponin, dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan
triterpena atau steroid yang terdapat sebagai glikosida. Sterol adalah
triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana
penhidrofenantrena. Tiga senyawa yang umum disebut sebagai fitosterol
mungkin terdapat di setiap tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol,
dan kampesterol.
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol, merupakan senyawa
aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah. Pembentukan
busa yang mantap (tahan lama) sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau
Terpenoid Diterpenoid
Monoterpen (C10)
Triterpenoid & steroid
Seskuiterpen (C15)
Minyak atsiri
24
sewaktu memekatkan tumbuhan. Saponin, baik triterpen maupun steroidal,
memiliki sifat antimikroba (Naidu, 2000). Menurut Zablotowicz et. al. dan
Hoagland et. al. seperti dikutip oleh Naidu (2000), efek yang umum dari
aktivitas saponin pada bakteri adalah kebocoran sel sehingga terjadi
kehilangan protein dan enzim dari sel.
3. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan terbesar dari metabolit sekunder
tanaman. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan memiliki banyak
kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harborne, 1996). Semua alkaloid mengandung
setidaknya 1 buah atom nitrogen. Banyak alkaloid yang bersifat terpenoid
(misalnya solanin, alkaloid-steroid kentang) sehingga dari segi biosintesis
sebaiknya ditinjau sebagai terpenoid termodifikasi. Pada kebanyakan kasus,
komponen alkaloid bersifat basa sehingga jika ditambahkan asam akan
membentuk garam. Untuk membuat bahan benar-benar basa, dilakukan
penambahan amonia. Setelah itu, ditambahkan asam. Setelah penambahan
asam, alkaloid akan membentuk garam yang akan mengion dan larut dalam
air.
25
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku berupa biji jintan hitam kering diperoleh dari Pasar Tanah
Abang, Jakarta. Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi meliputi
aquades, heksana teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis 96 %
diperoleh dari CV. Panca Pratama Bogor. Kultur bakteri Staphylococus
aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas
aeruginosa, dan Bacillus cereus diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk uji aktivitas antimikroba dan uji fitokimia meliputi media
Nutrient Broth (NB), media Nutrient Agar (NA), antibiotik amoxycillin, NaCl,
Dimetil Sulfoksida (DMSO), HgCl2, Kalium Iodida, asam sulfat pekat, larutan
FeCl3, kloroform, amoniak, gelatin, aquades, eter, asam asetat glasial. Bahan-
bahan lain yang dibutuhkan adalah parafilm, spiritus, alkohol 70 %, kertas
saring Whatman No 1, aluminium foil, kapas, korek api, kertas label, gas N2,
es batu, tissue, aluminium foil, dan plastik tahan panas (High Density
Polietilen / HDPE).
Peralatan yang digunakan meliputi alat refluks (tabung refluks, penangas
air dan kondensor), alat penyaring vakum, alat rotavapor, oven vakum, oven,
otoklaf, inkubator, refrigerator, hot plate, blender kering, neraca analitik, alat
vorteks, gelas ukur, gelas piala, labu erlenmeyer, labu lemak, cawan petri,
tabung reaksi tanpa tutup, tabung reaksi bertutup, botol berwarna gelap ukuran
150 ml, botol kecil berwarna gelap ukuran 10-25 ml, pipet mikron, pipet
Mohr, pipet tetes, jangka sorong, sudip, sendok, bunsen, bulb, ose, mangkok,
baskom, keranjang, loyang, dan spidol waterproof.
B. TEMPAT DAN WAKTU
Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2006 hingga
bulan Agustus 2006 di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Kimia Pangan,
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
26
C. METODE PENELITIAN
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Tahapan penelitian secara
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1.
1. Penelitian pendahuluan
a. Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam (Metode
Hitungan Cawan)
Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam bertujuan untuk
mengetahui jumlah sel dari satu ose kultur mikroba, setelah ditumbuhkan
selama 24 jam dalam 10 ml Nutrient Broth. Setelah diketahui jumlah sel
mikroba dalam 10 ml Nutrien Broth, dapat ditentukan pengenceran yang
perlu dilakukan untuk memperoleh sekitar 105 sel per ml media agar.
Kultur dari agar miring digores sebanyak satu ose dan dimasukkan
ke dalam 10 ml NB steril, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37 ºC. Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke
dalam 9 ml NB steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC.
Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam 9
ml larutan pengencer steril.
Seri pengenceran dibuat dari 1:101, 1:102, 1:103 hingga 1 : 108. Pada
pengenceran ke-5, pengenceran ke-6, pengenceran ke-7 dan pengenceran
ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril kemudian
dituang agar. Agar digoyang pelan supaya sel mikroba menyebar rata di
dalam agar. Setelah agar membeku, diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 48
jam. Setelah waktu inkubasi tercapai, dilakukan penghitungan jumlah
mikroba. Proses persiapan kultur mikroba secara rinci dapat dilihat pada
Lampiran 2.
b. Ekstraksi komponen antimikroba secara ekstraksi tunggal
Tahap ini bertujuan untuk mengekstrak komponen antimikroba yang
terdapat dalam biji jintan hitam. Ekstrak yang ingin diperoleh dari proses
ekstraksi tunggal adalah ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri.
Ekstrak air dan ekstrak etanol akan diperoleh dari proses ekstraksi
27
menggunakan pelarut dengan metode refluks, sedangkan minyak atsiri
akan diperoleh dari proses distilasi uap. Proses ekstraksi menggunakan
pelarut air dan pelarut etanol dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan,
Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, sedangkan destilasi uap
dilakukan di Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor.
Setelah diperoleh ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri,
masing-masing ekstrak akan diuji aktivitas antimikrobanya dengan metode
difusi agar terhadap bakteri Staphylococus aureus, Escherichia coli,
Salmonella Typhimurium, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus cereus.
Ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, yaitu
memiliki spektrum yang luas dan nilai diameter penghambatan yang besar,
akan diuji lanjut dengan penentuan nilai Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) dan diidentifikasi komponen fitokimianya.
Metode refluks dilakukan dengan mengkontakkan bahan secara
langsung dengan pelarut, yaitu dengan memasukkan bahan dan pelarut ke
dalam tabung refluks. Sebelum tabung refluks yang berisi bahan dan
pelarut dipasang pada alat refluks, alat refluks dipanaskan mendekati suhu
titik didih pelarut. Untuk pelarut air, alat refluks dipanaskan hingga
mendekati suhu 100 oC (98-99 oC), sedangkan untuk pelarut etanol alat
refluks dipanaskan hingga mendekati suhu 70 oC (68-69 oC).
Pada saat suhu yang diinginkan sudah tercapai, tabung refluks yang
berisi bahan dan pelarut dipasang pada alat refluks. Pelarut akan
mengekstrak komponen antimikroba dari bahan. Pada saat titik didih
pelarut tercapai, pelarut akan menguap. Untuk mengurangi kehilangan
pelarut, kondensor dipasang di atas tabung refluks. Dengan demikian, saat
pelarut yang menguap melewati kondensor yang dingin, pelarut tersebut
akan jatuh kembali ke dalam tabung refluks.
Ekstraksi dengan metode refluks ini dilakukan dua kali. Ekstraksi
pertama dilakukan selama 3 jam, sedangkan ekstraksi kedua dilakukan
selama 2 jam. Setelah waktu ekstraksi pertama tercapai (3 jam), tabung
refluks diangkat dan cairan yang diperoleh disaring dengan kertas saring
dan dituang ke dalam botol. Ampas dimasukkan kembali ke dalam tabung
28
refluks untuk diekstrak kedua kalinya. Ampas ditambah pelarut dengan
jumlah yang sama seperti pada ekstraksi pertama. Tabung refluks dipasang
kembali pada alat refluks dan dioperasikan selama 2 jam. Setelah waktu
refluks tercapai, cairan yang diperoleh disaring dan digabungkan dengan
filtrat pertama.
Bahan yang digunakan dalam ekstraksi pertama dalam keadaan
kering, sedangkan bahan yang digunakan pada ekstraksi kedua masih
mengandung sebagian pelarut yang tersisa setelah ekstraksi pertama. Ratio
bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama adalah 1:3. Jumlah pelarut yang
ditambahkan pada ekstraksi kedua sama dengan jumlah pelarut yang
ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga ratio bahan dan pelarut pada
ekstraksi kedua tidak tepat 1:3.
Setelah proses refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang
diperoleh dikurangi jumlah pelarutnya dengan cara diuapkan
menggunakan rotavapor. Untuk filtrat air, penguapan pelarut dilakukan
pada suhu 50 oC, sedangkan untuk filtrat etanol, penguapan pelarut
dilakukan pada suhu 40-45 oC. Setelah di-rotavapor, sebagian pelarut
masih tertinggal dalam ekstrak sehingga dilakukan penghembusan gas N2
untuk menguapkan seluruh pelarut. Penghembusan gas N2 dilakukan
hingga ekstrak mencapai berat stabil, yaitu pengurangan bobot ekstrak
kurang dari 0,001 g. Ekstrak yang diperoleh kemudian disimpan pada suhu
kurang dari 4 oC (suhu refrigerator).
Air sangat sulit diuapkan seluruhnya dari ekstrak. Walaupun telah di-
rotavapor pada suhu 50 oC dan dihembus gas N2, belum semua kandungan
air dalam ekstrak menguap. Setelah dihembus gas N2 selama kurang lebih
3 jam, tidak diperoleh pengurangan bobot ekstrak yang cukup berarti. Oleh
karena itu, khusus untuk ekstrak air, ekstrak yang digunakan tidak benar-
benar pekat. Untuk mengetahui kepekatan ekstrak air secara kuantitatif,
dilakukan pengukuran kadar air. Bagan proses ekstraksi tunggal
menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan bagan
proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol dapat dilihat pada
Gambar 9.
29
Ulangan Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam) (100 ºC, 2 jam)
`
Dipekatkan (50 oC)
Dihembus N2
Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC)
hingga proses analisis
Gambar 8. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air
Ulangan Direfluks dengan etanol (70 oC, 3 jam) (70 ºC, 2 jam)
`
Dipekatkan (40-45 oC)
Dihembus N2
Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC) hingga proses analisis
Gambar 9. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol
Ampas Filtrat
Ekstrak etanol
Bubuk jintan hitam
Ampas Filtrat
Ekstrak air
Bubuk jintan hitam
Ekstrak etanol pekat
30
2. Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan dilakukan dengan mengekstraksi komponen
antimikroba secara ekstraksi bertingkat. Ekstraksi bertingkat dengan pelarut
organik akan memisahkan komponen antimikroba dalam jintan hitam secara
lebih spesifik dan komponen antimikroba akan lebih terkonsentrasi. Dengan
ekstraksi secara bertingkat, diharapkan diperoleh konsentrasi komponen
antimikroba yang lebih tinggi lagi pada masing-masing ekstrak.
Proses ekstraksi bertingkat dilakukan terhadap biji jintan hitam yang
telah dihilangkan/diambil minyak atsirinya. Ampas hasil destilasi uap
minyak atsiri diekstrak bertingkat secara refluks menggunakan tiga pelarut
yang kepolarannya berbeda yaitu heksan, etil asetat dan metanol secara
berurutan sehingga diperoleh ekstrak heksan, ekstrak heksan-etil asetat, dan
ekstrak heksan-etil asetat-metanol. Selanjutnya, ekstrak heksan-etil asetat
akan disebut sebagai ekstrak etil asetat dan ekstrak heksan-etil asetat-
metanol akan disebut ekstrak metanol.
Teknik refluks secara ekstraksi bertingkat pada dasarnya sama dengan
teknik refluks yang dilakukan secara ekstraksi tunggal. Untuk setiap pelarut,
ekstraksi dilakukan dua kali. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam dan
ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Bahan yang digunakan dalam
ekstraksi pertama dalam keadaan kering, sedangkan bahan yang digunakan
pada ekstraksi kedua masih mengandung sebagian pelarut yang tersisa
setelah ekstraksi pertama. Ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama
adalah 1:3. Jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi kedua sama
dengan jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga
ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi kedua tidak tepat 1:3. Setelah proses
refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang diperoleh di-rotavapor untuk
mengurangi jumlah pelarutnya. Setelah di-rotavapor, filtrat dihembus gas
N2 untuk menguapkan seluruh pelarut. Ekstrak disimpan pada suhu 4 oC
(suhu refrigerator) sampai proses analisis. Ekstrak siap diuji aktivitas
antimikrobanya secara difusi agar. Selain itu, beberapa ekstrak terpilih akan
diuji nilai MIC dan diuji secara kualitatif komponen fitokimianya.
31
Ulangan
(60 ºC, 2 jam)
Perbedaan antara proses refluks secara tunggal dan proses refluks
secara bertingkat terletak pada suhu yang digunakan saat refluks, suhu yang
digunakan saat rotavapor dan perlakuan terhadap bahan. Suhu yang
digunakan saat refluks adalah 60 oC dan suhu yang digunakan saat
rotavapor adalah 40 oC. Perbedaan perlakuan pada ekstraksi bertingkat
adalah ampas bahan setelah ekstraksi tidak dibuang melainkan digunakan
kembali untuk ekstraksi menggunakan pelarut yang lain. Setelah ekstraksi
kedua, ampas dikering-anginkan minimal selama satu malam dan di-oven
vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak
kembali menggunakan pelarut yang berbeda. Gambaran lebih sederhana
mengenai proses ekstraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 10.
Ulangan Direfluks dengan pelarut heksan (60 oC, 3 jam) (60 ºC, 2 jam)
`
Ulangan Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam) Dipekatkan (40-45 oC)
(60 ºC, 2 jam)
Direfluks dengan metanol Dipekatkan (40-45 oC) Dihembus gas N2
(60 oC, 3 jam)
Dipekatkan Dihembus gas N2
Dihembus gas N2
Ampas Filtrat
Ekstrak heksan Ampas Filtrat
Ampas Filtrat Ekstrak
etil asetat
Ekstrak metanol
Ampas hasil destilasi uap
Ekstrak etil asetat pekat
Ekstrak heksan pekat
Ekstrak metanol pekat
Gambar 10. Diagram proses ekstraksi bertingkat dengan metode refluks
32
Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan heksan adalah
60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak
tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak
dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan di-
oven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak
kembali menggunakan pelarut etil asetat. Ampas dikering-anginkan untuk
menguapkan heksan dari ampas. Ampas di-oven vakum untuk benar-benar
memastikan bahwa seluruh heksan sudah menguap dari ampas.
Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan etil asetat adalah
60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak
tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak
dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan di-
oven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak
kembali menggunakan pelarut metanol. Tujuan ampas dikering-anginkan
dan dioven vakum adalah untuk menguapkan etil asetat dari ampas. Suhu
yang digunakan pada saat refluks menggunakan metanol adalah 60 oC dan
suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah
40 oC.
D. METODE ANALISIS
1. Analisis kadar air pada ekstrak air jintan hitam (Metode distilasi
azeotropik) (Apriantono et. al., 1989)
Analisis kadar air dilakukan dengan metode azeotropik karena sampel
mengandung senyawa yang mudah menguap. Air akan dikeluarkan dari
sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu menggunakan pelarut
immicible. Air akan terkumpul dalam labu Bidwel-Sterling dan akan selalu
berada pada bagian bawah karena berat jenisnya lebih berat dari berat jenis
pelarut.
Pemanas berjaket, tabung penerima “Bidwel Sterling”, kondensor tipe
“cold finger” dirangkai. Setelah alat selesai dirangkai, sebanyak 2 gram
sampel dimasukkan ke dalam labu didih ataupun erlenmeyer yang sudah
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC. Kemudian ditambahkan pelarut
33
(toluena, silena ataupun pelarut lain). Labu didih ataupun erlenmeyer
dirangkaikan pada alat distilasi azeotropik.
Campuran bahan dan pelarut tersebut dipanaskan dengan pemanas
listrik dan refluks perlahan-lahan dengan suhu rendah selama 45 menit.
Setelah itu, dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi selama 1-1.5 jam.
Setelah waktu distilsi tercapai, baca volume air yang terdistilasi pada Labu
Bidwel-Sterling. Kadar air adalah perbandingan volume air yang diperoleh
dengan jumlah sampel yang diambil, kemudian dikalikan 100.
2. Pengujian aktivitas antimikroba (Garriga et. al., 1993 yang
dimodifikasi)
Sebelum diuji aktivitas antimikrobanya, ekstrak pekat diencerkan
terlebih dahulu menggunakan DMSO hingga konsentrasinya sebesar 28 %
(w/w). Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam
NB selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat
pada persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran
antara media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan
ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang
sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2
sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 2 sumur diisi kontrol positif
(Amoxycillin 0.01% w/v) dan 2 sumur lagi diisi ekstrak rempah, masing-
masing sebanyak 50 µl. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator
selama kurang lebih satu jam untuk memberi kesempatan agar ekstrak
meresap terlebih dahulu ke dalam agar. Setelah itu, diinkubasikan pada suhu
37 oC selama 24 jam. Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan
sebanyak dua kali ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian
ekstrak yang sama diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang
berbeda, sedangkan duplo dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2
lubang yang berisi sampel yang sama.
Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur zona/diameter
penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur. Diameter
penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan diameter
sumur. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada
34
satu lubang yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Tahapan
difusi agar secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada saat
melakukan difusi agar, dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba seperti
pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi untuk
mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam media
agar.
3. Penentuan nilai Minimum Inhibitory Concentration (modifikasi metode
Bloomfield, 1991)
Penentuan nilai MIC dengan metode Bloomfield (1991) dilakukan
seperti uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar. Jumlah mikroba
yang harus berada dalam agar, penghitungan zona bening/zona
penghambatan dan cara pengerjaannya sama dengan ketentuan pada metode
difusi agar. Perbedaannya hanya terletak pada konsentrasi ekstrak yang
dimasukkan ke dalam sumur. Jika hanya ingin mengetahui aktivitas
antimikroba, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari satu
konsentrasi. Jika ingin mengetahui nilai MIC, ekstrak yang dimasukkan ke
dalam sumur terdiri dari beberapa konsentrasi. Pada penelitian ini dibuat
konsentrasi, yaitu 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, dan 50 %. Pengecualian untuk
ekstrak metanol, hanya dibuat 3 konsentrasi yaitu 10 %, 20 % dan 28 %.
Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam NB
selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat pada
persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran antara
media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan
ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang
sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2
sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 4 sumur diisi ekstrak, masing-masing
sebanyak 50 µl. Keempat sumur yang diisi ekstrak, setiap dua sumur diisi
dengan konsentrasi yang sama. Setelah semua sumur terisi, cawan
dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih satu jam untuk
memberi kesempatan agar ekstrak meresap terlebih dahulu ke dalam agar.
Setelah itu, diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam.
35
Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan sebanyak dua kali
ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian ekstrak yang sama
diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang berbeda, sedangkan duplo
dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2 lubang yang berisi sampel yang
sama. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada
sumur yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Pada saat
penentuan nilai MIC, tetap dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba
seperti pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi
untuk mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam
media agar. Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur
zona/diameter penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur.
Diameter penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan
diameter sumur. Setelah diukur diameter penghambatannya, ditentukan nilai
MIC-nya.
Penentuan nilai MIC dilakukan secara regresi linier. Dihitung nilai Ln
dari masing-masing konsentrasi yang digunakan. Nilai Ln dari masing-
masing konsentrasi akan dianggap sebagai nilai pada sumbu X. Besar
diameter penghambatan yang diperoleh, dikuadratkan dan akan dianggap
sebagai nilai pada sumbu Y. Setelah nilai pada sumbu X dan nilai pada
sumbu Y diketahui (sumbu X dari Ln konsentrasi dan sumbu Y dari kuadrat
besar diameter penghambatan), ditentukan persamaan regresinya. Setelah
diketahui persamaan regresinya, dicari nilai X pada saat nilai Y=0. Setelah
diketahui nilai X saat nilai Y=0, dilakukan ekponensial pada nilai X
tersebut. Nilai X yang telah dieksponensialkan akan disebut sebagai nilai
Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x nilai Mt. Untuk lebih jelas, dapat dilihat contoh
perhitungan pada Lampiran 7 hingga Lampiran 10.
4. Identifikasi komponen fitokimia secara kualitatif
a. Uji golongan fenolik (Houghton dan Raman, 1998)
Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan FeCl3 1%. Terbentuknya warna
biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya komponen fenol.
36
b. Uji golongan tanin (Houghton dan Raman, 1998)
Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan gelatin 10%. Jika ekstrak
menggumpal, berarti ekstrak mengandung tanin.
c. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996)
Sebanyak 1 ml ekstrak ditetesi Pb-asetat. Hasil uji positif untuk
flavon bila terbentuk warna jingga atau krem.
d. Uji golongan alkaloid (Houghton and Raman yang dimodifikasi, 1998)
Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa
tetes amoniak, kemudian diasamkan dengan beberapa tetes asam sulfat 2
M. Akan terbentuk 2 fase, fase asam diambil dan dibagi ke dalam 3 buah
tabung reaksi. Ke dalam tabung pertama ditambahkan 3 tetes pereaksi
Dragendorf, ke dalam tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer,
dan ke dalam tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Wagner. Hasil
uji positif untuk uji dengan pereaksi Dragendorf jika terdapat endapan
berwarna jingga. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Mayer jika
terdapat endapan berwarna putih. Hasil uji positif untuk uji dengan
pereaksi Wagner jika terdapat endapan berwarna merah kecoklatan.
e. Uji golongan terpenoid dan steroid (Uji Lie-Bermann-Burchard)
(Harborne, 1996)
Sebanyak 1 ml ekstrak dilarutkan dalam 2 ml kloroform, kemudian
ditambahkan 10 tetes asam asetat glasial dan 3 tetes asam sulfat pekat.
Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Hasil uji positif
untuk terpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Hasil uji positif
untuk steroid bila terbentuk warna merah yang kemudian berubah menjadi
biru atau hijau.
f. Uji golongan saponin (Harborne, 1996)
Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml air panas lalu
didinginkan. Selanjutnya di-vorteks selama 10 detik. Bila ekstrak
mengandung senyawa saponin, akan terbentuk buih yang mantap selama
sekitar 10 menit. Buih dikatakan mantap jika tingginya 1-10 cm dan tidak
hilang bila ditambah HCl 2 N.
37
E. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan percobaan faktorial dua faktor. Faktor yang digunakan adalah jenis
ekstrak dan jenis mikroba. Faktor ekstrak terdiri dari enam taraf, sedangkan
faktor mikroba terdiri dari lima taraf. Dalam percobaan faktorial ini, perlakuan
yang ada merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari taraf.
Dengan rancangan faktorial dapat diketahui respon dari taraf masing-masing
faktor (pengaruh utama) serta interaksi antar dua faktor (pengaruh sederhana).
Jika diplotkan pada diagram, dapat dilihat respon setiap faktor pada
berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pada berbagai
kondisi tertentu ke kondisi yang lain, faktor tersebut dapat dikatakan
berinteraksi. Sedangkan jika tidak ada perubahan pola, dapat dikatakan tidak
ada interaksi. Jika jenis ekstrak dianggap sebagai faktor A dan jenis bakteri
sebagai faktor B, model linier aditif dari rancangan ini secara umum adalah
sebagai berikut.
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Yijk adalah nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan
ulangan ke-k; µ, αi, βj merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh
utama faktor A dan pengaruh utama faktor B; (αβ)ij merupakan komponen
interaksi dari faktor A dan faktor B; εijk merupakan pengaruh acak yang
menyebar normal (0,σ2).
Untuk mengetahui efektivitas setiap ekstrak dan juga untuk mengetahui
ketahanan setiap bakteri uji, dilakukan analisis statistik dengan analisis ragam
(ANOVA). Namun, karena ulangan yang digunakan pada setiap ekstrak tidak
sama maka digunakan menggunakan metode General Linear Model (GLM)
pada taraf nyata 0.05. Metode GLM merupakan suatu prosedur SAS yang
didesain untuk keperluan yang lebih global. Metode GLM dapat digunakan
untuk mengerjakan data yang tidak seimbang atau jumlah ulangan yang tidak
sama (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Jika setelah diolah dengan metode
GLM hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf
kepercayaan 0.05. Analisis statistik dilakukan menggunakan program SAS
(Statistical Analysis System).
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan uji aktivitas antimikroba, dilakukan penghitungan
jumlah sel mikroba pada umur 24 jam agar terdapat jumlah sel mikroba yang
sama pada setiap cawan. Senyawa antimikroba yang terdapat di dalam ekstrak biji
jintan hitam diperoleh dengan cara distilasi uap, ekstraksi tunggal menggunakan
air dan etanol serta ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut organik dengan
tingkat kepolaran berbeda. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi bertingkat
adalah heksan teknis, etil asetat teknis, dan metanol teknis. Bahan yang diekstrak
secara bertingkat menggunakan pelarut organik adalah biji jintan hitam yang telah
dihilangkan minyak atsirinya.
Ekstrak yang diperoleh dari proses distilasi uap adalah minyak atsiri,
sedangkan ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi tunggal menggunakan pelarut
adalah ekstrak air dan ekstrak etanol. Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi
bertingkat menggunakan pelarut adalah ekstrak heksan, ekstrak heksan-etil asetat,
dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol. Ekstrak heksan-etil asetat selanjutnya
disebut sebagai ekstrak etil asetat dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol
selanjutnya disebut sebagai ekstrak metanol. Pada masing-masing ekstrak tersebut
dilakukan uji aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi agar. Ekstrak
yang menunjukkan aktivitas antimikroba dengan spektrum luas, akan diuji nilai
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) terhadap bakteri tertentu dan
diidentifikasi secara kualitatif komponen fitokimia-nya.
A. PENGHITUNGAN JUMLAH MIKROBA PADA UMUR 24 JAM
Penghitungan jumlah mikroba dilakukan terhadap semua kultur mikroba
yang digunakan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah metode
hitungan cawan. Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan
sel mikroba yang masih hidup pada medium agar, sel tersebut akan
berkembang biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dihitung
dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992). Dengan
menggunakan metode hitungan cawan, jumlah sel mikroba yang digunakan
dapat diketahui dengan lebih pasti karena yang dihitung adalah sel yang
39
memang benar-benar masih hidup. Berikut ini adalah hasil penghitungan
jumlah sel bakteri uji pada umur 24 jam.
Tabel 7. Jumlah sel mikroba pada umur 24 jam
Jenis mikroba Jumlah mikroba umur 24 jam
Bacillus cereus 5.3 x 108 Staphylococcus aureus 1.2 x 108 Esherichia coli 4.5 x 108 Salmonella Typhimurium 5.4 x 108 Pseudomonas aeruginosa 1.2 x 108
Dari Tabel 7, dapat diketahui bahwa jumlah sel masing-masing mikroba
pada umur 24 jam adalah sekitar 108 sel/ml NB. Jumlah mikroba yang
diinginkan untuk dimasukkan ke dalam agar (NA) adalah 105 sel/ml agar
sehingga perlu dilakukan pengenceran hingga 1/1000 kali. Cara penentuan
jumlah mikroba yang dimasukkan ke dalam agar (NA) dapat dilihat pada
Lampiran 4.
B. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU
Biji jintan hitam yang digunakan berwarna hitam, berbentuk bulat lonjong,
dengan panjang sekitar 2 mm dan tebal sekitar 1 mm. Biji jintan hitam
memiliki aroma yang khas jintan hitam dan rasanya pahit. Biji jintan hitam
mengandung kadar karbohidrat dan lemak yang tinggi seperti terlihat pada
Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Hasil analisis proksimat biji jintan hitam
Komposisi Persentase (%) Air 5.52 Protein 19.69 Lemak 31.68 Abu 4.28 Karbohidrat 38.83
C. KARAKTERISTIK EKSTRAK JINTAN HITAM
Proses ekstraksi senyawa antimikroba dilakukan dengan metode
ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal untuk
memperoleh senyawa antimikroba dari jintan hitam dilakukan dengan distilasi
40
uap dan ekstraksi menggunakan pelarut air dan etanol. Distilasi uap dilakukan
untuk memperoleh hanya komponen volatil biji jintan hitam, yaitu dalam
bentuk minyak atsiri. Ekstraksi tunggal dengan air dan etanol dimaksudkan
untuk mengekstrak komponen volatil dan komponen non-volatil yang terdapat
dalam biji jintan hitam. Ekstraksi bertingkat dilakukan terhadap biji jintan
hitam yang telah diambil minyak atsirinya, menggunakan heksan, etil asetat,
dan metanol secara berurutan.
Proses ekstraksi dengan pelarut, baik ekstraksi tunggal maupun ekstraksi
bertingkat dilakukan dengan metode refluks, yaitu dengan mengkontakkan
langsung bahan dan pelarut. Dalam metode refluks, campuran bahan dan
pelarut diberi panas mendekati titik didih pelarut. Proses ekstraksi dilakukan
dua kali agar jumlah yang rendemen diperoleh dapat optimal. Ekstraksi
pertama dilakukan selama 3 jam, sedangkan ekstraksi kedua dilakukan selama
2 jam. Filtrat dari masing-masing proses digabungkan kemudian dipekatkan
dan dihembus gas N2 untuk menghilangkan pelarut yang terbawa dalam filtrat
sehingga diperoleh ekstrak pekat tanpa residu pelarut. Pengecualian untuk
ekstrak air, pelarut air tidak diuapkan seluruhnya.
Proses ekstraksi secara bertingkat dilakukan untuk memisahkan senyawa
antimikroba secara lebih spesifik berdasarkan polaritasnya. Menurut
Adawiyah (1998), ekstrak yang diperoleh dengan ekstraksi secara bertingkat
memberikan aktivitas antimikroba yang lebih baik dibandingkan dengan
ekstraksi tunggal. Ekstrak hasil ekstraksi bertingkat memiliki aktivitas
antimikroba yang lebih baik karena senyawa antimikroba akan terpisah sesuai
dengan polaritas pelarutnya sehingga konsentrasi senyawa antimikroba pada
masing-masing pelarut akan lebih tinggi.
Penyulingan minyak atsiri (distilasi uap) dilakukan dua kali dengan
menggunakan biji jintan hitam yang berbeda dan ulangan yang berbeda juga.
Pada penyulingan pertama dilakukan tanpa penghalusan biji jintan hitam
karena dianggap sudah cukup halus, sedangkan pada penyulingan yang kedua
dilakukan dengan penghalusan biji jintan hitam. Dari penyulingan pertama
diperoleh minyak atsiri dengan rendemen sebesar 0.16 % (v/w), sedangkan
dari penyulingan kedua diperoleh minyak atsiri dengan rendemen sebesar
41
0.34% (v/w). Rendemen yang diperoleh pada penyulingan minyak atsiri bahan
bakunya dihaluskan terlebih dahulu ternyata lebih tinggi daripada rendemen
penyulingan minyak atsiri yang bahan bakunya tidak dihaluskan. Terjadi
perubahan besar rendemen yang cukup besar, yaitu dua kali lipat dari
rendemen yang pertama. Hasil penyulingan minyak atsiri secara lebih rinci
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil penyulingan minyak atsiri biji jintan hitam
Sampel Bobot bahan yang
disuling (kg)*
Kadar air (%)*
Ukuran (mesh)
Rendemen (% v/w)*
1 1.90 12.97 10 0.16
2 0.92 2.50 20 0.34
Keterangan : *) Laporan hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
Peningkatan rendemen pada minyak atsiri jintan hitam yang telah
dihaluskan disebabkan oleh proses penghalusan akan meningkatkan luas
permukaan bahan sehingga minyak atsiri akan lebih mudah terekstrak. Bila
bahan dibiarkan utuh, minyak atsiri hanya dapat diekstraksi jika uap air
berhasil melalui jaringan tanaman dan mendesaknya ke permukaan. Hal ini
terjadi secara difusi. Jika bahan dihaluskan, ukuran ketebalan untuk terjadinya
proses difusi akan berkurang sehingga saat penyulingan, laju penguapan
minyak atsiri dari bahan menjadi lebih cepat (Ketaren, 1987).
Selain disebabkan oleh perbedaan perlakuan, peningkatan rendemen
minyak atsiri dapat juga disebabkan oleh kadar air jintan hitam yang disuling.
Jintan hitam yang dihaluskan terlebih dulu sebelum disuling memiliki kadar
air (2.50 %) lebih rendah daripada kadar air jintan hitam yang disuling tanpa
dilakukan penghalusan (12.97 %). Menurut Ketaren (1987), penyulingan
minyak atsiri tidak sempurna jika bahan mengandung kadar air tinggi. Pada
penelitian ini, minyak atsiri yang diuji aktivitas antimikrobanya adalah minyak
atsiri yang diperoleh dari biji jintan hitam yang dihaluskan terlebih dulu.
Komponen antimikroba yang akan diekstrak dari biji jintan hitam belum
diketahui sifatnya. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi kembali secara
bertingkat pada ampas hasil penyulingan minyak atsiri. Ekstraksi bertingkat
42
dilakukan menggunakan berbagai pelarut organik dengan polaritas yang
berbeda-beda. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bertingkat adalah
heksan, etil asetat, dan metanol. Heksan sebagai pelarut yang bersifat non
polar, etil asetat sebagai pelarut yang bersifat semi polar dan metanol sebagai
pelarut yang bersifat polar. Senyawa antimikroba akan terekstrak sesuai
polaritas pelarutnya sehingga senyawa antimikroba yang terdapat dalam jintan
hitam akan terpisah berdasarkan kepolarannya.
Ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut,
dilakukan dengan metode refluks pada suhu mendekati titik didih pelarutmya
dalam keadaan murni (bukan titik didih pelarut teknis). Titik didih air, etanol
murni, heksan murni, etil asetat murni dan metanol murni pada tekanan 1
atmosfir secara berturut-turut adalah 100 oC, 78 oC, 69 oC, 77-78 oC, dan 65 oC. Penggunaan suhu tinggi dalam ekstraksi akan meningkatkan kelarutan
komponen karena suhu tinggi akan mempermudah penetrasi pelarut ke dalam
struktur selular bahan (Houghton dan Raman, 1998). Komponen yang
terekstrak dengan metode refluks merupakan komponen yang tahan panas. Hal
ini terkait dengan termostabilitas komponen, komponen yang tidak tahan
panas akan hilang selama proses refluks.
Pelarut etanol, heksan, etil asetat dan metanol yang digunakan dalam
ekstraksi merupakan pelarut bersifat teknis. Pemilihan pelarut teknis ini terkait
dengan pertimbangan ekonomis jika akan diaplikasikan dalam industri.
Pelarut yang paling mudah diperoleh dan paling murah adalah air karena air
tersedia melimpah di muka bumi. Selain itu, air merupakan pelarut bagi semua
sistem kehidupan, digunakan oleh manusia dalam memasak dan menyiapkan
makanan sehingga residunya tidak memiliki pengaruh toksik terhadap tubuh
manusia.
Ekstrak air sangat sulit dipekatkan jika dibandingkan dengan ekstrak
etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Pemekatan
ekstrak air dilakukan menggunakan rotavapor pada suhu 50 oC, sedangkan
ekstrak yang lain dipekatkan pada suhu 40-45 oC. Pemekatan ekstrak air tidak
dilakukan pada suhu yang lebih tinggi lagi dengan tujuan untuk menghindari
kerusakan komponen dalam ekstrak. Walaupun dipekatkan pada suhu yang
43
lebih tinggi daripada ekstrak lainnya, pemekatan tetap masih sulit dilakukan.
Hal ini diduga disebabkan oleh ke-vakum-an alat yang digunakan kurang baik.
Semakin rendah tekanan udara alat (semakin vakum) maka titik didih pelarut
akan semakin rendah. Tekanan vakum alat yang digunakan cukup untuk
mencapai titik didih etanol, heksan, etil asetat dan metanol pada suhu 40oC,
tetapi tidak cukup vakum untuk mencapai titik didih air. Ekstrak air berwarna
coklat susu dan masih ada aroma jintan hitam. Rendemen ekstrak air adalah
82.73 %, tetapi tidak berupa ekstrak pekat. Kadar air dari ekstrak air adalah
86.85 %. Karakteristik ekstrak yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik berbagai ekstrak jintan hitam
Ekstrak Rendemen (%)*
Penampakan/ Warna
Aroma
Ekstraksi tunggal : • Minyak atsiri • Ekstrak air
• Ekstrak etanol
0.34
82.73
8.39
Coklat jernih
Coklat susu
Coklat kehitaman
Menyengat, khas
jintan hitam Ada aroma jintan
hitam Ada aroma jintan
hitam
Ekstraksi bertingkat** : • Ekstrak heksan • Ekstrak heksan-
etil asetat • Ekstrak heksan- metanol
25.55
8.60
5. 08
Coklat kehijauan, agak keruh Coklat tua
Coklat tua
Tidak ada aroma
jintan hitam Tidak ada aroma
jintan hitam
Tidak ada aroma jintan hitam
Keterangan : *) Rendemen = (Bobot ekstrak / Bobot bahan awal) x 100; contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8
**) Sampel telah dihilangkan minyak atsirinya dan dalam penghitungan rendemen yang dijadikan bobot bahan awal adalah bobot bahan (ampas) yang digunakan
Heksan bersifat non polar sehingga akan melarutkan senyawa-senyawa
yang bersifat non polar juga. Senyawa yang umumnya terekstrak oleh heksan
adalah lilin, lemak, minyak, dan minyak atsiri. Ekstrak heksan dalam
penelitian ini sudah tidak mengandung minyak atsiri karena sudah dipisahkan
terlebih dulu. Ekstrak heksan memiliki rendemen tertinggi. Tingginya
44
rendemen ekstrak heksan menunjukkan kandungan lemak biji jintan hitam
cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis proksimat yang dilakukan, kadar
lemak biji jintan hitam adalah sebesar 31.68 %.
Etanol dan etil asetat tergolong bersifat semi polar. Berdasarkan asas like
dissolve like, senyawa yang akan larut dalam etanol dan etil asetat adalah
senyawa yang bersifat semi polar juga. Walaupun ekstrak etanol diperoleh
secara ekstraksi tunggal dan ekstrak etil asetat diperoleh secara ekstraksi
bertingkat, rendemen ekstrak etanol (8.39 %) tidak berbeda jauh dengan
rendemen ekstrak etil asetat (8.60 %). Senyawa yang umum larut dalam etanol
adalah glikosida, sedangkan senyawa yang umum larut dalam etil asetat
adalah alkaloid, aglikon, dan glikosida.
Minyak atsiri memiliki aroma yang menyengat, khas jintan hitam.
Ekstrak air dan etanol masih memberikan aroma jintan hitam karena sebelum
proses ekstraksi tidak dilakukan pemisahan komponen volatil (seperti
penyulingan minyak atsiri). Ekstrak heksan, ekstrak etil asetat dan ekstrak
metanol sudah tidak memberikan aroma jintan hitam. Hal tersebut disebabkan
komponen yang memberikan aroma jintan hitam sudah terekstrak pada
minyak atsiri. Menurut Belitz et. al. (1999), komponen aroma dalam rempah-
rempah umumnya terdapat dalam minyak atsiri.
D. AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Uji aktivitas antimikroba dilakukan menggunakan metode difusi agar.
Metode difusi agar dilakukan dengan memasukkan komponen antimikroba ke
dalam lubang pada agar. Komponen akan berdifusi ke dalam agar dan akan
menghambat pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam agar. Namun,
untuk komponen antimikroba yang hidrofobik, akan sulit berdifusi ke dalam
agar karena agar bersifat polar / hidrofilik. Oleh karena itu digunakan DMSO
yang bersifat seperti emulsifier, memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik agar
senyawa yang bersifat hidrofobik dapat larut dalam agar. Untuk
menghilangkan pengaruh DMSO terhadap ekstrak, DMSO digunakan sebagai
kontrol negatif pada saat dilakukan uji difusi agar. Berdasarkan hasil
penelitian ini, DMSO tidak menunjukkan adanya aktivitas antimikroba.
45
Ekstrak yang menjadi hasil ekstraksi tunggal adalah ekstrak air, ekstrak
etanol dan minyak atsiri. Ekstrak yang menjadi hasil ekstraksi bertingkat
adalah ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Untuk
mengetahui pengaruh jenis ekstrak dan jenis mikroba terhadap besar diameter
penghambatan (aktivitas antimikroba), dilakukan pengolahan statistik dengan
analisis ragam dengan rancangan faktorial pada taraf nyata 0.05. Hasil analisis
ragam dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis ragam
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah Nilai F Nilai p
Ekstrak 5 152.720 30.544 75.58 0.0001 Mikroba 4 158.829 39.707 98.25 0.0001 Interaksi 20 105.653 5.283 13.07 0.0001 Galat 53 21.419 0.404 Total 82 459.294
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa baik ekstrak maupun mikroba
memiliki nilai peluang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dalam
penelitian ini (p<0.05). Dengan demikian jenis ekstrak dan jenis mikroba akan
berpengaruh secara nyata terhadap besar diameter penghambatan (aktivitas
antimikroba). Untuk mengetahui jenis ekstrak dan jenis mikroba yang
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap diameter penghambatan,
dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05. Hasil uji lanjut Duncan
dapat dilihat pada Lampiran 11. Nilai peluang terjadinya interaksi antara jenis
ekstrak dan jenis mikroba lebih kecil dari 0.05 sehingga ada interaksi antara
jenis ekstrak dan jenis mikroba dalam mempengaruhi besar diameter
penghambatan.
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05, yang dapat
dilihat pada Lampiran 11, diketahui bahwa ekstrak biji jintan hitam yang
paling baik dalam menghambat semua bakteri uji adalah ekstrak etanol.
Aktivitas antimikroba minyak atsiri lebih rendah jika dibandingkan dengan
aktivitas antimikroba ekstrak etanol, tetapi lebih tinggi jika dibandingkan
dengan ekstrak biji jintan hitam yang lainnya. Ekstrak etil asetat dan ekstrak
metanol memberikan pengaruh yang tidak berbeda dalam menghambat
46
pertumbuhan bakteri uji, sedangkan ekstrak air dan ekstrak heksan adalah
ekstrak biji jintan hitam yang paling tidak efektif dalam menghambat bakteri
uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan memberikan pengaruh yang tidak berbeda
dalam menghambat semua mikroba uji. Hasil uji lanjut Duncan terhadap jenis
bakteri pada taraf nyata 0.05 menunjukkan bahwa setiap bakteri uji
memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besar diameter
penghambatan. Bakteri uji yang paling dihambat oleh semua ekstrak jintan
hitam adalah Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri uji yang paling tahan
(paling tidak dihambat) terhadap semua ekstrak jintan hitam adalah
Escherichia coli.
1. Aktivitas antimikroba berbagai ekstrak jintan hitam
Berdasarkan hasil penelitian ini, biji jintan hitam mengandung
senyawa antimikroba yang bersifat polar, semi polar dan non polar. Pada
Gambar 11 terlihat bahwa semua jenis ekstrak baik yang bersifat polar, semi
polar dan tidak polar menunjukkan adanya aktivitas antimikroba walaupun
tidak semua ekstrak tersebut dapat menghambat semua bakteri uji. Ekstrak
yang bersifat polar adalah ekstrak air dan ekstrak metanol. Ekstrak yang
bersifat semi polar adalah ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat. Ekstrak yang
bersifat non polar dari ekstrak adalah ekstrak heksan. Keefektifan masing-
masing ekstrak tersebut tergantung pada jenis bakteri yang dihambat.
Gambar 11. Pengaruh berbagai ekstrak jintan hitam terhadap bakteri uji.
47
Ekstrak air tidak begitu efektif dibandingkan dengan ekstrak metanol
dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Hal ini dapat dilihat dari nilai
diameter penghambatan yang kecil, bahkan tidak menunjukkan
penghambatan terhadap Escherichia coli dan Salmonella Typhimurium.
Diameter penghambatan ekstrak air terhadap Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa secara berturut-turut
adalah 1.65±0.150 mm, 3.37±0.190 mm, dan 2.93±0.025 mm. Hasil uji
aktivitas antimikroba ekstrak air terhadap bakteri uji dapat dilihat pada
Gambar 12.
Gambar 12. Pengaruh ekstrak air terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=2.
Ketidakefektifan ekstrak air dalam menghambat pertumbuhan bakteri
uji dapat disebabkan oleh keadaan ekstrak air yang tidak pekat sehingga
konsentrasi ekstrak yang dimasukkan ke dalam agar belum efektif
menghambat pertumbuhan bakteri uji. Kadar air ekstrak air adalah 86.85 %
sehingga sebenarnya konsentrasi ekstrak air hanya sekitar satu per tujuh dari
konsentrasi ekstrak jintan hitam yang lainnya. Jika ekstrak air digunakan
dalam bentuk pekat, mungkin aktivitas antimikrobanya akan lebih baik lagi.
Selain disebabkan oleh keadaan yang tidak pekat, ketidakefektifan
ekstrak air dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji dapat disebabkan
oleh sifat air yang terlalu polar, sedangkan sifat komponen antimikroba yang
48
terdapat dalam biji jintan hitam hanya sedikit yang bersifat polar. Menurut
Ahmad et. al. (1998) dalam Ahmad et. al. (2001), etanol merupakan pelarut
yang lebih baik dibandingkan air dan heksan jika akan mengekstrak
komponen antimikroba. Hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa
aktivitas antimikroba ekstrak etanol lebih baik daripada ekstrak air adalah
hasil penelitian Nair et. al. (2006). Menurut Nair, et. al. (2006), aktivitas
antimikroba ekstrak air yang lebih rendah dibandingkan aktivitas ekstrak
etanol diduga karena konsentrasi komponen aktif yang jenisnya sama, yang
terdapat pada ekstrak air dan ekstrak etanol, terdapat lebih rendah dalam
ekstrak air atau karena komponen aktif bahan lebih larut dalam pelarut
organik sehingga tidak terdapat dalam ekstrak air.
Penelitian yang menggunakan air untuk mengekstrak senyawa
antimikroba adalah penelitian Al-hebshi et. al. (2005) yang menyatakan
bahwa ekstrak air dari khat memiliki aktivitas antimikroba pada bakteri
tertentu. Adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak air khat menunjukkan
bahwa dalam khat terdapat komponen antimikroba yang larut dalam air,
seperti tanin. Leelapornpisid et. al (2006) juga menyatakan bahwa ekstrak
air dari Excoecaria cochinchinensis Lour dan Salvia officinalis Lour
memiliki aktivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus dengan nilai
MIC 1.56 mg/ml untuk Excoecaria cochinchinensis Lour dan 3.13 mg/ml
untuk Salvia officinalis Lour.
Ekstrak metanol tidak menunjukkan penghambatan terhadap
pertumbuhan terhadap Escherichia coli. Diameter penghambatan ekstrak
metanol terhadap Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, dan Salmonella Typhimurium secara berturut-turut
adalah 5.56±0.432 mm, 4.33±0.494 mm, 4.18±0.710 mm, dan 3.08±0.245
mm. Walaupun tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap
pertumbuhan Escherichia coli, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada
taraf nyata 0.05, ekstrak metanol tidak berbeda dengan ekstrak etil asetat
dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji secara keseluruhan. Hasil uji
aktivitas antimikroba ekstrak metanol terhadap bakteri uji dapat dilihat pada
Gambar 13.
49
0123456789
10
B. cereus S.aureus E coli S.Typhimurium P.aeruginosa
Jenis bakteri
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
Gambar 13. Pengaruh ekstrak metanol terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
Metanol tergolong pelarut bersifat polar jika dibandingkan dengan
heksan, etanol, dan etil asetat. Berdasarkan asas like dissolve like, senyawa
yang larut dalam metanol akan cenderung bersifat polar juga. Menurut
Houghton dan Raman (1998), senyawa yang umumnya larut dalam metanol
sama dengan senyawa yang umumnya larut dalam air, yaitu gula, asam
amino, dan glikosida. Biji jintan hitam mengandung saponin melantin
(Achyad et. al., 2000) sehingga kemungkinan aktivitas antimikroba ekstrak
air dan ekstrak metanol jintan hitam disebabkan oleh adanya senyawa
glikosida, yaitu saponin. Saponin memiliki aktivitas antimikroba yang dalam
mekanismenya akan menyebabkan kebocoran protein dan enzim-enzim dari
sel bakteri (Naidu, 1998). Selain glikosida, tanin juga larut dalam air dan
metanol. Mekanisme tanin sebagai antimikroba adalah dengan mengkelat
ion-ion logam yang penting dalam metabolisme, yang terdapat di permukaan
sel bakteri (Scalbert, 1991).
Ekstrak etanol dapat menghambat seluruh bakteri uji sehingga
merupakan ekstrak yang memiliki spektrum yang luas. Diameter
penghambatan ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, dan Pseudomonas
aeruginosa secara berturut-turut adalah 5.32±0.135 mm, 9.34±0.308 mm,
1.67±0.020 mm, 5.20±0.190 mm, dan 7.05±0.217 mm. Hasil uji aktivitas
50
antimikroba ekstrak etanol terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar
14.
0123456789
10
B. cereus S.aureus E coli S.Typhimurium P.aeruginosa
Jenis bakteri
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
Gambar 14. Pengaruh ekstrak etanol terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE Dari kecenderungan data yang diperoleh, seperti terlihat pada Gambar
14, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sensitif dihambat oleh
ekstrak etanol. Hasil penelitian yang dilakukan Ahmad et. al. (2001)
mendukung bahwa Staphylococcus aureus merupakan mikroba yang paling
sensitif dihambat oleh ekstrak etanol jintan hitam. Gambar zona
penghambatan bakteri Staphylococcus aureus oleh ekstrak etanol jintan
hitam dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
Kontrol
Kontrol Ekstrak etanol
51
Gambar 15. Zona penghambatan ekstrak etanol jintan hitam terhadap Staphylococcus aureus
Menurut Houghton dan Raman (1998), komponen yang larut dalam
etanol adalah glikosida. Diduga aktivitas antimikroba ekstrak etanol biji
jintan hitam disebabkan oleh adanya senyawa glikosida, yaitu saponin.
Selain glikosida, tanin juga larut dalam etanol dan memiliki aktivitas
antimikroba.
Etil asetat tergolong sebagai pelarut yang bersifat semi polar. Menurut
Adawiyah (1998), sifat etil asetat yang semi polar menyebabkan ekstrak etil
asetat akan memiliki dua sifat kelarutan, yaitu hidrofilik dan lipofilik. Gugus
lipofilik dan hidrofilik, keduanya diperlukan untuk kerja senyawa
antimikroba. Gugus hidrofilik dibutuhkan agar zat antimikroba dapat larut
dalam air yang menjadi tempat tumbuh mikroba, sedangkan sifat lipofolik
diperlukan agar zat tersebut bereaksi dengan membran dari mikroba (Branen
dan Davidson, 1993).
Ekstrak etil asetat memiliki spektrum luas karena dapat menghambat
semua bakteri uji. Besar diameter penghambatan ekstrak etil asetat terhadap
pertumbuhan Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli,
Salmonella Typhimurium, dan Pseudomonas aeruginosa secara berturut-
turut adalah 3.17±0.215 mm, 3.04±0.703 mm, 2.15±0.189 mm, 5.07±0.477
mm, dan 4.19±0.365 mm. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat
terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 16.
0123456789
10
B. cereus S.aureus E coli S.Typhimurium P.aeruginosa
Jenis bakteri
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
52
Gambar 16. Pengaruh ekstrak etil asetat terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
Senyawa fitokimia yang umum larut dalam etil asetat adalah alkaloid,
aglikon, dan glikosida (Houghton dan Raman, 1998). Aktivitas antimikroba
pada ekstrak etil asetat jintan hitam diduga disebabkan oleh adanya
komponen alkaloid dan glikosida karena menurut Al-Saleh (2006), biji
jintan hitam mengandung alkaloid dan menurut Achyad et. al. (2000), biji
jintan hitam mengandung glikosida yaitu saponin melantin. Alkaloid dan
glikosida merupakan senyawa yang sudah diketahui memiliki aktivitas
antimikroba.
Minyak atsiri biji jintan hitam menunjukkan efektifitas yang cukup
baik dalam menghambat semua bakteri uji. Diameter penghambatan minyak
atsiri terhadap Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Salmonella Typhimurium dan Pseudomonas aeruginosa secara berturut-
turut adalah 6.07±0.175 mm, 7.36±0.334 mm, 3.25±0.225 mm, 4.23±0.406
mm, dan 2.29±0.227 mm. Hasil uji aktivitas antimikroba minyak atsiri
terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 17.
0123456789
10
B. cereus S.aureus E coli S.Typhimurium P.aeruginosa
Jenis bakteri
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
Gambar 17. Pengaruh minyak atsiri terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3.
53
Berdasarkan Gambar 17, bakteri yang paling dihambat
pertumbuhannya oleh minyak atsiri adalah Staphylococcus aureus. Hasil
penelitian lain yang menyebutkan tentang sensitivitas Staphylococcus
aureus terhadap minyak atsiri adalah hasil penelitian Rota et. al. (2004)
yang menyebutkan bahwa Staphylococcus aureus lebih sensitif terhadap
minyak atsiri dibandingkan dengan Escherichia coli dan Salmonella
Typhimurium.
Senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri bersifat volatil, umumnya
dari golongan terpenoid (monoterpen dan seskuiterpen) dan golongan
fenolik (Houhgton dan Raman, 1998). Terpenoid merupakan komponen
yang memiliki aktivitas antimikroba (Dorman, 2000). Salah satu komponen
yang termasuk golongan terpenoid adalah thymol. Thymol merupakan salah
satu komponen dalam minyak atsiri yang sangat efektif dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococus aureus, dan
Pseudomonas aeruginosa (Hirasa, 1998). Menurut Al-Saleh (2006), biji
jintan hitam mengandung thymol. Oleh karena itu, efektivitas minyak atsiri
biji jintan hitam dalam menghambat semua bakteri uji dapat disebabkan oleh
adanya thymol dalam minyak atsiri biji jintan hitam. Menurut Dorman dan
Deans (2000), thymol merupakan senyawa antimikroba berspektrum luas.
Berdasarkan Gambar 17, bakteri yang paling sulit dihambat
pertumbuhannya oleh minyak atsiri jintan hitam adalah Pseudomonas
aeruginosa. Jika dikaitkan dengan keberadaan thymol dalam minyak atsiri,
tidak sensitifnya Pseudomonas aeruginosa terhadap minyak atsiri didukung
oleh hasil penelitian Lambert et. al. (2001) yang menyatakan bahwa
Pseudomonas aeruginosa tidak terlalu sensitif terhadap thymol
dibandingkan dengan Staphylococus aureus.
Besar diameter penghambatan ekstrak heksan terhadap Staphylococcus
aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus cereus secara berturut-turut
adalah 4.02±0.361 mm, 3.72±0.826 mm dan 2.08±0.460 mm. Ekstrak
heksan tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Esherichia
coli dan Salmonella Typhimurium. Hasil serupa diperoleh Thongson et. al.
(2004) yang menunjukkan bahwa ekstrak heksan dari Zingiber officinale
54
Rose (jahe), Boesenbergia pandurata Holtt (fingerroot), dan Curcuma longa
Linn. (kunyit) tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Salmonella
Typhimurium. Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak heksan terhadap
bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 18.
0123456789
10
B. cereus S.aureus E coli S.Typhimurium P.aeruginosa
Jenis bakteri
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
Gambar 18. Pengaruh ekstrak heksan terhadap bakteri uji
Keterangan : Batang dan garis vertikal di atasnya menunjukkan nilai mean ± SE, dengan n=3
Heksan merupakan pelarut yang bersifat paling tidak polar jika
dibandingkan dengan pelarut lain yang digunakan dalam penelitian ini
sehingga ekstrak heksan bersifat non polar. Ketidakefektifan ekstrak heksan
dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji diduga disebabkan oleh sifat
heksan yang sangat tidak polar sehingga hanya sedikit komponen
antimikroba yang dapat larut di dalamnya. Komponen antimikroba dalam
ekstrak bahan alami umumnya adalah golongan fenolik yang bersifat polar.
Komponen yang umumnya larut dalam heksan adalah lilin, lemak,
komponen terpenoid.
Sampel yang diekstrak menggunakan heksan sudah dihilangkan
minyak atsiri-nya (komponen volatil) sehingga senyawa antimikroba yang
larut dalam heksan adalah senyawa antimikroba yang tidak volatil. Diduga
komponen antimikroba yang terdapat dalam ekstrak heksan adalah golongan
terpenoid yang tidak volatil, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya aktivitas
antimikroba pada minyak atsiri dan ekstrak heksan menunjukkan bahwa
55
komponen antimikroba yang terdapat dalam jintan hitam ada yang tergolong
terpenoid mudah menguap dan terpenoid yang tidak menguap.
Selain disebabkan oleh adanya komponen steroid dan triterpenoid,
adanya aktivitas antimikroba ekstrak heksan terhadap beberapa bakteri uji
dapat juga disebabkan adanya asam-asam lemak. Menurut Hinton et. al.
(2000) dalam Ji et. al. (2002), aktivitas antimikroba asam lemak disebabkan
oleh kemampuan asam lemak untuk menghancurkan membran sel bakteri
dan menyebabkan lisis sel. Menurut Ji et. al. (2002), asam linoleat memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus.
Asam linolenat diduga menyebabkan abnormalitas permukaan sel ataupun
pada bagian intraselular (Ji et. al., 2002). Kemampuan senyawa non polar
untuk menghambat pertumbuhan mikroba diduga karena senyawa non polar
dapat menyebabkan perubahan komposisi membran sel, sehingga membran
sel mengalami kerusakan. Selain itu, komponen non polar juga dapat
bereaksi dengan protein membran yang menyebabkan kebocoran isi sel
(Sikkema dalam Ardiansyah, 2001).
Ekstrak heksan maupun minyak atsiri merupakan ekstrak yang bersifat
non polar. Namun, minyak atsiri memiliki aktivitas antimikroba yang lebih
baik daripada ekstrak heksan. Hal ini terkait dengan jenis asam lemak yang
terkandung dalam masing-masing ekstrak tersebut. Minyak atsiri
mengandung asam lemak-asam lemak rantai pendek, sedangkan ekstrak
heksan cenderung mengandung asam lemak dengan rantai yang lebih
panjang. Dalam menghambat pertumbuhan bakteri, asam lemak rantai
pendek lebih efektif daripada asam lemak rantai panjang karena strukturnya
yang pendek menyebabkan asam lemak rantai pendek lebih mudah masuk
ke dalam sel bakteri.
2. Ketahanan bakteri terhadap berbagai ekstrak jintan hitam
Berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05, setiap bakteri uji
memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besar diameter
penghambatan. Bakteri uji yang paling dihambat oleh semua ekstrak jintan
hitam adalah Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri uji yang paling
tahan (paling tidak dihambat) terhadap semua ekstrak jintan hitam adalah
56
Escherichia coli. Ketahanan Escherichia coli terhadap semua ekstrak jintan
hitam dapat disebabkan Escherichia coli tahan hidup dan berkembang baik
pada kondisi tidak baik dan kekurangan gizi (Pelczar et. al. dalam
Ardiansyah, 2001).
Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif memiliki ketahanan
yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Dapat dilihat pada Gambar 19
bahwa pertumbuhan bakteri Gram positif cenderung lebih dihambat
daripada pertumbuhan bakteri Gram negatif, kecuali pada ekstrak etil asetat.
Pola penghambatan terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif
dari ekstrak-ekstrak jintan hitam ini mirip dengan pola penghambatan
antibiotik penisin G. Menurut Prescott et. al. (2003), penisilin G lebih aktif
menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif daripada bakteri Gram
negatif.
Gambar 19. Pengaruh masing-masing ekstrak terhadap pertumbuhan
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Keterangan : Batang menunjukkan nilai rata-rata dari diameter penghambatan
bakteri uji yang telah dikelompokkan berdasarkan jenis Gram.
Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antimikroba
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif karena struktur dinding sel
bakteri Gram negatif yang berlapis-lapis, yaitu lipopolisakarida,
peptidoglikan dan lipoprotein. Pada lapisan lipopolisakarida tersebut Gram
negatif memiliki sistem seleksi (screening) terhadap zat-zat asing (Branen
dan Davidson, 1993). Bakteri Gram negatif umumnya lebih sensitif terhadap
57
senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram
negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa
antimikroba yang bersifat polar.
Sebaliknya dari bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif lebih
sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non polar. Kesensitifan
bakteri Gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat non polar
disebabkan komponen terbesar penyusun dinding sel bakteri Gram positif
adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino
alanin yang bersifat hidrofobik/non polar. Hal inilah yang menyebabkan
dinding sel bakteri Gram positif menjadi lebih mudah dilewati dan diserang
oleh senyawa antimikroba yang bersifat non polar.
3. Efektivitas senyawa antimikroba ekstrak biji jintan hitam
Ekstrak biji jintan hitam yang menunjukkan spektrum antimikroba
yang luas adalah ekstrak etanol, minyak atsiri dan ekstrak etil asetat karena
dapat menghambat semua bakteri uji. Ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat
mengandung komponen antimikroba yang cenderung bersifat semi polar,
sedangkan minyak atsiri mengandung komponen antimikroba yang
cenderung bersifat non polar. Hal ini menunjukkan bahwa kepolaran tidak
menentukan adanya aktivitas antimikroba. Namun, dalam mengekstrak
senyawa antimikroba penting untuk mengetahui polaritas komponen
antimikroba yang terdapat dalam bahan agar dapat ditentukan metode yang
tepat untuk mengekstraknya.
Jika dilakukan perbandingan antara ekstrak-ekstrak yang memiliki
spektrum luas, ekstrak etanol dapat dianggap sebagai ekstrak terbaik untuk
menghambat semua bakteri uji. Ekstrak etanol mengandung komponen
volatil dan non-volatil dari biji jintan hitam, minyak atsiri hanya
mengandung komponen volatil, dan ekstrak etil asetat hanya mengandung
komponen non-volatil. Efektivitas ekstrak etanol disebabkan ekstrak etanol
mengandung senyawa antimikroba yang bersifat volatil dan non-volatil.
Dengan demikian, jumlah dan jenis senyawa antimikroba yang terkandung
dalam ekstrak etanol akan lebih banyak dan lebih lengkap daripada jumlah
dan jenis senyawa antimikroba yang terdapat pada minyak atsiri (hanya
58
mengandung komponen volatil) ataupun pada ekstrak etil asetat (hanya
mengandung komponen non-volatil).
Menurut Houghton dan Raman (1998), etil asetat memiliki kepolaran
sedang (medium) sehingga senyawa antimikroba yang terdapat dalam
ekstrak etil asetat jintan hitam akan cenderung memiliki kepolaran sedang.
Dengan demikian, senyawa antimikroba dalam jintan hitam yang bersifat
non-volatil dan memiliki spektrum luas adalah senyawa yang bersifat semi
polar.
Berdasarkan efektivitas dalam menghambat bakteri uji dan
kesederhanaan melakukan ekstraksi, ekstraksi tunggal menggunakan pelarut
etanol dapat dianggap sebagai cara terbaik untuk mengekstrak komponen
antimikroba dari biji jintan hitam. Namun, jika ingin dilihat dari segi
ekonomis, distilasi uap yang dilanjutkan dengan ekstraksi bertingkat akan
menjadi cara yang lebih menguntungkan. Distilasi uap akan menghasilkan
minyak atsiri yang bernilai ekonomis tinggi dan ekstraksi bertingkat akan
meningkatkan nilai ekonomis ampas penyulingan minyak atsiri tersebut.
Ampas penyulingan minyak atsiri tersebut masih bisa dimanfaatkan lebih
lanjut, yaitu dengan diekstrak komponen antimikrobanya.
E. IDENTIFIKASI KUALITATIF SENYAWA FITOKIMIA
Komponen fitokimia merupakan senyawa metabolit sekunder yang telah
banyak diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Proses ekstraksi
menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda akan
mengekstrak senyawa yang berbeda juga. Kelarutan komponen aktif dalam
bahan/sampel akan menentukan komposisi ekstrak yang diperoleh (Thongson
et. al., 2004). Penggolongan senyawa kimia yang terekstrak pada beberapa
pelarut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jenis senyawa fitokimia yang terekstrak pada berbagai pelarut
Polaritas Pelarut Senyawa kimia yang terekstrak
Rendah Heksan Lilin, lipid, minyak atsiri Kloroform Alkaloid, aglikon, minyak atsiri
Sedang/medium Etil asetat Alkaloid, aglikon, glikosida Aseton Alkaloid, aglikon, glikosida
59
Etanol Glikosida Metanol Gula, asam amino, glikosida
Tinggi Air Gula, asam amino, glikosida Cairan asam Gula, asam amino, glikosida basa Cairan basa Gula, asam amino, glikosida asam
(Sumber : Houghton dan Raman, 1998)
Uji kualitatif komponen fitokimia hanya dilakukan terhadap ekstrak
yang dianggap memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum luas dan nilai
yang cukup besar. Ekstrak-ekstrak tersebut adalah ekstrak etanol, minyak
atsiri, dan ekstrak etil asetat. Hasil uji kualitatif komponen fitokimia dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil identifikasi kualitatif senyawa fitokimia
Ekstrak Fenol Tanin Flavonoid Terpenoid Steroid
Saponin Alkaloid
Ekstrak etanol + - - - + - -
Minyak atsiri + - - + - - -
Ekstrak etil asetat
+ - + TD* TD* TD* TD*
Keterangan : *)TD artinya tidak diujikan karena keterbatasan jumlah sampel Uji kualitatif komponen fitokimia terhadap ekstrak etanol menunjukkan
pada ekstrak etanol terdeteksi adanya komponen fenol dan steroid. Tanin dan
flavonoid termasuk dalam golongan fenolik. Walaupun uji fitokimia
menunjukkan adanya komponen fenolik dalam ekstrak etanol, uji fitokimia
menunjukkan bahwa tanin dan flavonoid tidak terdeteksi dalam ekstrak etanol,
padahal menurut Leelapornpisid et. al. (2006), tanin dan komponen fenol akan
ditemukan pada ekstrak air dan ekstrak etanol.
Hasil uji yang menunjukkan tidak terdeteksinya senyawa tanin dalam
ekstrak etanol jintan hitam, bertentangan dengan hasil yang diperoleh Ahmad
et. al. (2001), menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC).
Ahmad et. al (2001), menyebutkan bahwa ekstrak etanol jintan hitam
mengandung tanin. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan sampel yang diuji
pada penelitian ini terlalu sedikit sehingga keberadaan tanin tidak terdeteksi.
60
Pada minyak atsiri terdeteksi adanya komponen fenol dan komponen
terpenoid. Komponen fenol dan komponen terpenoid sudah diketahui
memiliki aktivitas antimikroba. Beberapa senyawa terpenoid merupakan
komponen fenol, seperti eugenol dan thymol, sehingga mekanisme aktivitas
antimikroba senyawa terpenoid tersebut diduga mirip dengan mekanisme
antimikroba senyawa fenol. Mekanisme senyawa fenolik sebagai antimikroba
sebagian besar adalah dengan mempengaruhi membran sel (Branen dan
Davidson, 1993). Senyawa fenol tumbuhan dapat menimbulkan gangguan
besar karena mampu membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan
hidrogen. Akibatnya kerja enzim dapat terganggu (Harborne, 1996).
Komponen fenolik dapat melignifikasi dinding sel bakteri sehingga
keberadaan komponen fenolik dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Ekstrak etanol jintan hitam tidak menunjukkan adanya komponen
flavonoid. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Ahmad et. al. (2001). Uji
fitokimia menunjukkan bahwa flavonoid terdeteksi hanya pada ekstrak etil
asetat. Menurut Houghton dan Raman (1998), etanol dan etil asetat sama-sama
bersifat semi polar, tetapi etanol lebih polar dibandingkan etil asetat. Oleh
karena itu, flavonoid yang terdapat dalam biji jintan hitam memiliki sifat
kepolaran yang mirip dengan etil asetat sehingga tidak larut dalam etanol.
Ekstrak etil asetat menunjukkan hasil positif pada uji fenol dan uji flavonoid.
Biji jintan hitam mengandung alkaloid (Al-Saleh, 2006). Menurut Hu, et.
al. (2000) dan Faizi, et. al. (2003) dalam Al-hebshi (2005), senyawa alkaloid
memiliki aktivitas antimikroba. Hasil uji fitokimia menunjukkan alkaloid
tidak terdeteksi pada semua ekstrak yang diuji. Hal ini dapat disebabkan
komponen alkaloid terdapat pada ekstrak lain yang tidak dianalisis komponen
fitokimianya atau dapat juga disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu
sedikit. Uji fitokimia ekstrak etanol jintan hitam menggunakan metode Thin
Layer Chromatography (TLC) menunjukkan tidak adanya alkaloid (Ahmad et.
al., 2001).
F. MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC)
61
Minimum Inhibitory Concentration adalah konsentrasi terendah ekstrak
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Pada penelitian ini, pemilihan
ekstrak dan bakteri yang akan diuji dalam penentuan nilai MIC tidak hanya
didasarkan pada ukuran diameter terbesar melainkan juga berdasarkan
pertimbangan ukuran diameter, jumlah ekstrak dan variasi ekstrak yang akan
diuji. Penentuan nilai MIC dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar
(Bloomfield, 1991). Hasil penentuan nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam
dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14. Nilai MIC beberapa ekstrak jintan hitam
Ekstrak Bakteri Nilai MIC (% w/w)
Nilai MIC (ppm)
Ekstrak etanol Salmonella
Typhimurium 0.084 840
Minyak atsiri Bacillus
cereus 1.72 1720
Ekstrak etil asetat Staphylococcus
aureus 1.88 1880
Ekstrak metanol Pseudomonas
aeruginosa 1.88 1880
Semakin kecil nilai MIC maka semakin baik ekstrak tersebut, terutama
berkaitan dengan ambang batas jumlah komponen antimikroba yang
diperbolehkan masuk ke dalam tubuh dan nilai ekonomisnya jika akan
diaplikasikan dalam industri. Nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam (0.084 %
w/w) terhadap Salmonella Typhimurium dalam penelitian ini lebih kecil
daripada nilai MIC ekstrak teh (94,1 mg/ml) terhadap Salmonella
Typhimurium (Tiwari et. al., 2005). Berdasarkan data tersebut, dapat
diperkirakan secara kasar bahwa ekstrak etanol jintan hitam lebih baik
daripada ekstrak teh dalam menghambat pertumbuhan Salmonella
Typhimurium.
Perbedaan jenis ekstrak serta jenis rempah akan memberikan nilai MIC
yang berbeda. Nilai MIC ekstrak isopropanol Zingiber officinale Rose,
62
Boesenbergia pandurata Holtt, dan Curcuma longa Linn. terhadap Salmonella
Typhimurium berturut-turut adalah 7-8%(v/v), 4-5% (v/v), dan 5-6% (v/v)
(Thongson, et. al., 2004). Nilai MIC ekstrak isopropanol-heksan Zingiber
officinale Rose (jahe), Boesenbergia pandurata Holtt (fingerroot), dan
Curcuma longa Linn. (kunyit) terhadap Salmonella Typhimurium berturut-
turut adalah 8-9 %(v/v), 8 %(v/v), dan 5-8 %(v/v) (Thongson, et. al., 2004).
Selain dipengaruhi jenis ekstrak dan jenis rempah, nilai MIC
dipengaruhi juga oleh jenis mikroba. Nilai MIC dari minyak atsiri tanaman
Lavandin ‘Grosso’ terhadap Salmonella Typhimurium adalah 1 µl/ml
sedangkan terhadap Staphylococcus aureus adalah 2 µl/ml (Rota et. al., 2004).
Nilai MIC minyak atsiri tanaman Rosmarinus officinalis terhadap Salmonella
Typhimurium adalah 1.5 µl/ml sedangkan terhadap Staphylococcus aureus
adalah 3-5 µl/ml (Rota et. al., 2004). Namun, tetap tidak menutup
kemungkinan bahwa ekstrak yang sama memiliki nilai MIC yang sama
terhadap bakteri yang berbeda. Hal ini diperoleh Rota et. al. (2004) yang
menunjukkan nilai MIC minyak atsiri tanaman Thymus vulgaris (L) terhadap
Salmonella Typhimurium dan Staphylococcus aureus adalah 2 µl/ml.
Nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam (0.084 % w/w) lebih kecil
daripada nilai MIC minyak atsiri tanaman Lavandin ‘Grosso’ terhadap
Salmonella Typhimurium (1 µl/ml) (Rota et. al., 2004). Nilai MIC terhadap
Staphylococcus aureus dari ekstrak etil asetat jintan hitam (1.88 % w/w) lebih
kecil daripada nilai MIC ekstrak metanol kulit kayu Alstonia macrophylla
(>2000 µg/ml) (Chattopadhyay, et. al., 2001). Nilai MIC terhadap
Pseudomonas aeruginosa dari ekstrak metanol jintan hitam (1.88 % w/w)
lebih kecil daripada nilai MIC minyak atsiri Oreganum scabrum (1.27 mg/ml)
(Aligiannis, et. al., 2001). Nilai MIC ekstrak-ekstrak dari biji jintan hitam,
tergolong lebih kecil jika dibandingkan dengan ekstrak rempah-rempah
lainnya sehingga ekstrak jintan hitam memiliki peluang yang baik untuk
diteliti lebih lanjut aktivitas antimikrobanya dan diaplikasikan dalam bahan
pangan baik sebagai pengawet maupun sebagai pangan fungsional.
63
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Biji jintan hitam mengandung senyawa antimikroba yang bersifat volatil
dan non-volatil dengan berbagai kepolaran. Senyawa antimikroba biji jintan
hitam memiliki kelarutan tinggi pada pelarut semi polar, yaitu etanol dan etil
asetat, sedikit larut dalam pelarut polar dan pelarut non-polar. Keefektifan
masing-masing senyawa antimikroba tergantung pada jenis bakteri yang
dihambat.
Ekstrak biji jintan hitam menunjukkan aktivitas antimikroba dengan
spektrum yang luas terutama pada ekstrak etanol, minyak atsiri dan ekstrak
etil asetat karena dapat menghambat semua bakteri uji. Diameter
penghambatan terbesar ekstrak etanol dan minyak adalah dalam menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus, sedangkan diameter penghambatan
terbesar ekstrak etil asetat adalah dalam menghambat pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak air dan ekstrak heksan kurang efektif
dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Ekstrak air dan ekstrak heksan
tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan
Salmonella Typhimurium. Ekstrak metanol tidak dapat menghambat
pertumbuhan Escherichia coli.
Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak etanol terhadap
Salmonella Typhimurium adalah 0.084 % (w/w). Nilai Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) minyak atsiri terhadap Bacillus cereus adalah 1.72%
(w/w). Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak etil asetat
terhadap Staphylococcus aureus adalah 1.88 % (w/w). Nilai Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak metanol terhadap Pseudomonas
aeruginosa adalah 1.88 % (w/w). Pada minyak atsiri terdeteksi adanya
komponen fenol dan terpenoid. Uji fitokimia pada ekstrak etanol
menunjukkan adanya komponen fenol dan steroid. Pada ekstrak etil asetat
terdeteksi adanya fenol dan flavonoid.
64
B. SARAN
Penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini masih banyak
kekurangan dan perlu diteliti lebih lanjut antara lain :
• Untuk mengetahui komponen penyusun dari masing-masing ekstrak yang
menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, perlu dilakukan identifikasi
fitokimia dengan metode High Performance Layer Chromatoraphy
(HPLC).
• Optimalisasi proses ekstraksi untuk memperoleh rendemen minyak atsiri
dan ekstrak jintan hitam yang tinggi, yaitu dengan mencoba metode
ekstraksi yang lain atau melakukan beberapa perubahan pada parameter
ekstraksi, seperti suhu dan jenis pelarut.
• Penentuan nilai MIC dengan metode pengenceran untuk memperoleh nilai
MIC yang lebih tepat.
• Aplikasi ekstrak biji jintan hitam pada model sistem pangan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Achyad, D. E. dan R. Rasyidah. 2000. Jintan Hitam (Nigella sativa L.). www.asiamaya.com. [20 Januari 2006].
Adawiyah, D. R. 1998. Kajian pengembangan metode ekstraksi komponen
antimikroba biji buah atung (Parinarium glaberium Hassk.). Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ahmad, I. dan A. Z. Beg. 2001. Antimicrobial and phytochemical studies on 45
Indian medicinal plants against multi-drug resistant human pathogens. Journal of Ethnopharmacology. 74:113-123.
Ahmad, I., Z. Mehmood, dan F. Mohammad. 1998. Screening of some Indian
medicinal plants for their antimicrobial properties. Journal of Ethnopharmacology. 62:183-193.
Al-hebshi, N., M. Al-haroni, dan N. Skaug. 2005. In vitro antimicrobial and
resistance-modifying activities of aqueous crude khat extracts against oral microorganisms. Archives of Oral Biology. www.bora.uib.no/bitstream. [12 Agustus 2006].
Aligiannis, N., E. Kalpoutzakis, S. Mitaku, dan I. B. Chinou. 2001. Composition
and antimicrobial activity of the essential oils of two Origanum spesies. Journal of Agricultural Food Chemistry. 49:4168-4170.
Al-Jabre, S., O. M. Al-Akloby, A. R. Al-Qurashi, N. Akhtar, A. Al-Dossary, dan
M. A. Randhawa. 2003. Thymoquinone, an active principle of Nigella sativa, inhibited Aspergillus niger. Pakistan Journal Medical Research, 42 (3). www.pmrc.org.pk. [15 Agustus 2006].
Al-Saleh, I. A., G. Billedo, dan I. I. El-Doush. 2006. Levels of selenium, DL-α-
tocopherol, DL-γ-tocopherol, all-trans-retinol, thymoquinone and thymol in different brands of Nigella sativa seeds. Journal of Food Composition and Analysis. 19:167-175.
Anonim. 2006a. Nigella sativa. www.en.wikipedia.com. [13 Maret 2006]. Anonim. 2006b. Chemical analysis of Black seed Oil. www.blackseed.com. [20
Maret 2006]. Anonim. 2006c. Essential Oil. www.wikipedia.com. [9 November 2006]. Apriantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, S. Yasni dan S. Budiyanto. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor, IPB Press.
66
Ardiansyah. 2001. Teknik ekstraksi komponen antimikroba andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Babayan, V. K., D. Koottungal dan G. A. Halaby. 1978. Proximate analysis, fatty
acid and amino acid composition of Nigella sativa L. seeds. Journal of Food Science. 43:1314-1315.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Badan POM RI). 2005. Foodwatch
Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Sekretariat Jenderal Jejaring Intelijen Pangan, Jakarta.
Baird-Parker, T. C. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam : Lund, B. M., Baird-
Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland.
Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin. Bloomfield, S. F. 1991. Methods for assesing antimicrobial activity. Di dalam
Denyer S. P. dan W. B. Hugo. (eds.). Mechanism of Action of Chemical Biocides their Study and Exploitation. Blackwell Scientific Publication, London.
Branen A. L. dan P. J. Davidson. 1993. Antimicrobials in Foods. Marcel Dekker,
New York. Cahattopadhyay, D., K. Maiti, A. P. Kundu, M. S. Chakraborty, R. Bhadra, S. C.
Mandal, dan A. B. Mandal. 2001. Antimicrobial activity of Alstonia macrophylla : a folklore of bay islands. Journal of Ethnopharmacology. 77:49-55.
Coconut Coast Handmade Soap Co. 2006. Steam Distillation.
www.ccnphawaii.com.htm. [20 September 2006]. D’Aoust J. Y. 2000. Samonella. Di dalam : Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan
G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland.
Donmez, A. A. dan B. Mutlu. 2004. A new species of Nigella (Ranunculaceae)
from Turkey. Botanical Journal of the Linnean Society. 146 : 251-255. Dorman H. J. D. dan S. G. Deans. 2000. Antimicrobial agents from plants :
antibacterial activity of plant volatile oils. Journal of Applied Microbiology. 88 : 308-316.
Faizi S, R. A. Khan, S. Azher, S. A. Khan, S. Tauseef, dan A. Ahmad. 2003. New
antimicrobial alkaloids from the roots of Polyalthia longifolia var. pendula. Planta Medical. 69:350—5.
67
Fardiaz, S., Suliantari, dan R. Dewanti. 1987. Bahan Pengajaran Senyawa Antimikroba. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. -------------. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Garigga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic
Activity of Lactobacilli from Fermentation Sausages. Journal of Applied Microbiology. 7:142-148.
Granum, P. E. dan T. C. Baird-Parker. 2000. Bacillus species. Di dalam : Lund, B.
M., Baird-Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland.
Harbone, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan. K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB, Bandung.
Hart, H. 1983. Kimia Organik : Suatu kuliah singkat. Terjemahan. S. Achmadi.
Penerbit Erlangga, Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Yayasan Sarana Wana
Jaya, Jakarta. Hinton, A. dan K. D. Ingram. 2000. Use of oleic acid to reduce the population of
the bacterial flora of poultry skin. Journal Food Protection. 9:1282-1286. Hirasa, K. dan M. Takemasa. 1998. Spice Science and Technology. Marcell
Dekker, Inc., New York. Houghton P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation
of Natural Extracts. Chapman and Hall, London. Hu J. P. , N. Takahashi, dan T. Yamada. 2000. Coptidis rhizoma inhibits growth
and proteases of oral bacteria. Oral Dis. 6:297—302. Hutapea, J. R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Javidnia, K., R. Miri, R. B. Najafi, dan N. K. Jahromi. 2003. A preliminary study
on the biological activity of Daphne mucronata Royle. DARU, 11 (1). www.diglib.tums.ac.ir. [28 Juli 2006].
Ji, Y. L. , S. K. Yong dan H. S. Dong. 2002. Antimicrobial synergistic effect of
linolenic acid and monoglyceride against Bacillus cereus and Staphylococcus aureus. Journal Agricultural and Food Chemistry. 50 (7).
68
Ketaren, S. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. UI Press, Jakarta. Koster, S. K. 2001. Distillation. www.ulwax.edu.htm. [20 September 2006]. Lambert, R. J. W., P. N. Skandamis, P. J. Coote, dan G. J. E. Nychas. 2001. A
study of the minimum inhibitory concentration of action oregano essential oil, thymol and carvacrol. Journal of Applied Microbiology. 91:453-462.
Leelapornpisid, P., S. Chansakao, T. Ittiwittayawat, S. Pruksakorn. 2006.
Antimicrobial activity of herbal extracts on Staphylococus aureus and Propionibacterium acnes. www. actahort.com.
Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbiological
Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland. Mattjik, A. A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor. Mashhadian, N. V. dan H. Rakhshandeh. 2005. Antibacterial and antifungal
effects of Nigella sativa extracts against S. aureus, P.aeroginosa, and C. albicans. Pakistan Journal Medical Science. 21 (1):47-52. www.pjms.com. [28 Juli 2006].
Meral, G. dan N. U. Karabay. 2002. In vitro antibacterial activities of three
hypericum species from west anatolia. Turkish Electronic Journal of Biotechnology. http://www.biyotekder.hacettepe.edu.tr/dergi.html. [28 Juli 2006].
Moyler, D. A. 1994. Spices Recent Advances. Di dalam Charalambous (Ed.).
Spices, Herbs and Edible Fungi. Elsevier, Amsterdam. Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press, New York. Nair, R. dan S. Chanda. 2006. Activity of some medicinal plants against certain
pathogenic bacterial strains. Indian Journal of Pharmacology. www.findarticles.com. [28 Juli 2006].
Nikaido, H. dan M. Vaara. 1985. Molecular basis of bacterial outer membran
permeability. Microbiology Review. 49:1-32.
Prescott, L. M., J. P. Harley, dan D. A. Klein. 2003. Microbiology. Mc Graw-Hill,
Singapore.
Pelczar, M. J. and R. D. Reid. 1979. Microbiology. Mc. Graw Hill Book Co., New
York.
Roller, S. 2003. Natural Antimicrobials for Minimal Processing of Foods. CRC Press, New York.
69
Rota, C., J.J. Carraminana, J. Burillo, A. Herrera. 2004. In vitro antimicrobial activity of essential oils from aromatic plants against selected foodborne pathogens. Journal of Food protection. 67:1252-1256.
Scalbert, A. 1991. Antimicrobial properties of tannins. Phytochemistry Review.
30 (12): 3875-3883. Singh, G., P. Marimuthu, H. S. Murali, dan A. S. Bawa. 2005. Antioxidative and
antibacterial potentials of essential oils and extracts isolated from various spice materials. Journal of Food Safety. 25:130-145.
Still, D. W. 2002. Bioengineering and Breeding Approaches. Dalam :
Phytochemicals in Nutrition and Health. Meskin, M. S, W. R Bidlack, A. J. Davies, S. T. Omeya (Eds.). CRC Press, USA, pp. 122-127.
Syamani, F. A. 2001. Kajian ekstraksi oleoresin jinten hitam (Nigella sativa L.).
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Thongson, C., P. M. Davidson, W. Mahakarnchanakul dan J. Weiss. 2004.
Antimicrobial activity of ultrasound-assisted solvent-extracted spices. Letters in Applied Microbiology. 39:401-406.
Tiwari, R. P., S. K. Bharti, H. D. Kaur, R. P. Dikshit & G. S. Hoondal. 2005.
Synergistic antimicrobial activity of tea & antibiotics. Indian Journal Medical Research. 122:80-84.
WHO. 2005. Food safety and foodborne illness. www.who.int.com. [27 Maret
2006]. Willshaw, G. A., T. Cheasty, dan H. R. Smith. 2000. Escherichia coli. Di dalam :
Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan G. W. Gould (eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume II. Aspen Publisher Inc., Maryland.
WordNet. 2006. Extraction. www.answers.com/extraction. [20 November 2006]. .
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian
Digiling
Didistilasi uap Ulangan Direfluks dengan pelarut air Ulangan Direfluks dengan pelarut etanol (100 ºC, 2 jam) (100 ºC, 3 jam) (80 ºC, 2 jam) (80 ºC, 3 jam) Disaring Disaring Direfluks dengan pelarut organik (heksana, etil asetat, metanol) (60 ºC, 3 jam dan 2 jam) dikeringkan dikeringkan (oven vakum) (oven vakum) Dihembus gas N2 Ditimbang
Jintan hitam
Bubuk jintan hitam
Minyak atsiri (Komponen volatil)
Ampas (Komponen non-volatil)
Ekstrak Ampas Ampas Ekstrak • Dianalisa aktivitas
antimikroba • Dianalisa kualitatif
komponen alkaloid, flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin
Ekstrak heksan, ekstrak metanol, ekstrak etil asetat
Ekstrak pekat Ekstrak pekat
• Dianalisa aktivitas antimikroba • Dianalisa kualitatif komponen alkaloid,
flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin • Dianalisa aktivitas antimikroba • Dianalisa kualitatif komponen alkaloid,
flavonoid, terpenoid&steroid, saponin, tanin
71
Lampiran 2. Diagram alir persiapan kultur bakteri dan uji konfirmasi jumlah mikroba
Diambil satu ose
Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril
Diinkubasi 24 jam, suhu 37 ºC
Diambil 1 ml
Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril
Diinkubasi 24 jam, suhu 37 ºC
Diamati kekeruhannya
Keruh Agak bening
Dipipetl 1 ml Dipipet 1 ml
Dimasukkan ke dalam Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril 9 ml pengencer steril
Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dilakukan pengenceran dari 100-105
Dipipet masing-masing 1ml Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 105-108 dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril ke dalam cawan petri steril
Dituang agar
Didiamkan hingga agar membeku
Diinkubasi 48 jam, 37 ºC
Diamati dan dihitung jumlah koloni
Ditentukan jumlah µl NB yang akan dimasukkan
ke dalam 25 ml NA cair ( A )
Kultur bakteri
72
Lampiran 3. Diagram alir uji difusi sumur
Dipipet sejumlah A
(sesuai hasil pada persiapan kultur)
Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril
Dituang ke dalam cawan petri steril
Dibiarkan beku
Dibuat 4 lubang/sumur
Ditetesi 50 µl Ditetesi 50 µl Ditetesi 50 µl Ditetesi 50 µl DMSO lar antibiotik sampel sampel
Diinkubasi 37 ºC, 24 jam
Diamati dan diukur area penghambatan tiap sumur
Ditentukan ekstrak yang akan diuji nilai MIC
Kultur mikroba yang telah disegarkan
Lubang A Lubang B Lubang D Lubang C
73
Lampiran 4. Contoh perhitungan penentuan jumlah mikroba
Jumlah mikroba umur 24 jam = 108 sel/ml NB.
Jumlah sel yang diinginkan dalam agar (NA) = 105 sel/ml agar
Jumlah agar dalam 1 cawan = 25 ml
Jumlah NB (yang mengandung 108 sel) yang dimasukkan = 105 sel / ml NA x 25 ml NA 108 sel / ml NB
= 25 x 10-3 ml NB
= 25 µl NB
74
Lampiran 5. Hasil uji konfirmasi metode hitungan cawan
Jenis bakteri Jumlah sel bakteri yang
digunakan saat pengujian
Bacillus cereus 2.1 x 108
Escherichia coli 3.9 x 108
Salmonella Typhimurium 6.2 x 108
Pseudomonas aeroginosa 4.1 x 108
Staphylococcus aureus 4.2 x 108
75
Lampiran 6. Hasil analisis minyak atsiri jintan hitam tanpa penghalusan bahan
77
Lampiran 8. Contoh perhitungan rendemen • Rendemen ekstrak etanol
Bobot jintan hitam halus = 34.58 gr Bobot ekstrak etanol pekat = 2.9005 gr Rendemen ekstrak etanol = Bobot ekstrak etanol pekat x 100
Bobot jintan hitam halus = (2.9005/34.58) x 100 = 8.39 %
• Rendemen ekstrak etil asetat
Bobot ampas ekstrak heksan = 18.60 gr Bobot ekstrak etil asetat pekat = 0.9454 gr Rendemen ekstrak etil asetat = Bobot ekstrak etil asetat pekat x 100
Bobot ampas ekstrak heksan = (0.9454/18.60) x 100 = 5.08 %
• Rendemen ekstrak metanol
Bobot ampas ekstrak etil asetat = 21.92 gr Bobot ekstrak metanol pekat = 1.8855 gr Rendemen ekstrak metanol = Bobot ekstrak metanol pekat x 100
Bobot ampas ekstrak etil asetat = (1.8855/21.92) x 100 = 8.60 %
78
Lampiran 9. Hasil penghitungan standar eror (SE)
Mikroba Simbol Bacillus cereus 1 Escherichia coli 2 Salmonella Typhimurium 3 Pseudomonas aeroginosa 4 Staphylococcus aureus 5
Ekstrak air 14:10 Tuesday, December 10, 1996 1 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 2 1.6500000 0.1500000 MIKROBA2 2 0 0 MIKROBA3 2 0 0 MIKROBA4 2 2.9250000 0.0250000 MIKROBA5 2 3.3700000 0.1900000 --------------------------------------- Ekstrak etanol 14:10 Tuesday, December 10, 1996 2 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 2 5.3150000 0.1350000 MIKROBA2 2 1.6700000 0.0200000 --------------------------------------- Ekstrak etanol 14:10 Tuesday, December 10, 1996 3 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA3 3 5.2000000 0.1903506 MIKROBA4 3 7.0533333 0.2167436 MIKROBA5 3 9.3366667 0.3075350 --------------------------------------- minyak_atsiri 14:10 Tuesday, December 10, 1996 4 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 3 6.0666667 0.1748650 MIKROBA2 3 3.2500000 0.2250185 MIKROBA3 3 4.2300000 0.4063250 MIKROBA4 3 2.2866667 0.2265931 MIKROBA5 3 7.3600000 0.3340659 --------------------------------------- Ekstrak heksan 14:10 Tuesday, December 10, 1996 5 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 3 2.0800000 0.4600000 MIKROBA2 3 0 0 MIKROBA3 3 0 0 MIKROBA4 3 3.7166667 0.8264449 MIKROBA5 3 4.0233333 0.3608478 --------------------------------------- Ekstrak etil_asetat 14:10 Tuesday, December 10, 1996 6 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 3 3.0366667 0.7033570 MIKROBA2 3 2.1466667 0.1894143 MIKROBA3 3 4.1900000 0.3652853 MIKROBA4 3 5.0700000 0.4772141 MIKROBA5 3 3.1700000 0.2151743 --------------------------------------- Ekstrak metanol 14:10 Tuesday, December 10, 1996 7 Variable N Mean Std Error --------------------------------------- MIKROBA1 3 4.1766667 0.7096556 MIKROBA2 3 0 0 MIKROBA3 3 3.0800000 0.2454248 MIKROBA4 3 5.5633333 0.4318307 MIKROBA5 3 4.3333333 0.4935698 ---------------------------------------
79
Lampiran 10. Hasil analisis ragam Rancangan Faktorial Acak Lengkap 1 08:45 Friday, December 20, 1996 General Linear Models Procedure Class Level Information Class Levels Values EKSTRAK 6 1 2 3 4 5 6 MIKROBA 5 1 2 3 4 5 Number of observations in data set = 83 Rancangan Faktorial Acak Lengkap 2 08:45 Friday, December 20, 1996 General Linear Models Procedure Dependent Variable: DIAMETER Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 29 437.87556667 15.09915747 37.36 0.0001 Error 53 21.41883333 0.40412893 Corrected Total 82 459.29440000 R-Square C.V. Root MSE DIAMETER Mean 0.953366 17.70784 0.63571136 3.59000000 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F EKSTRAK 5 175.75671308 35.15134262 86.98 0.0001 MIKROBA 4 156.46550143 39.11637536 96.79 0.0001 EKSTRAK*MIKROBA 20 105.65335216 5.28266761 13.07 0.0001 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F EKSTRAK 5 152.72013515 30.54402703 75.58 0.0001 MIKROBA 4 158.82907781 39.70726945 98.25 0.0001 EKSTRAK*MIKROBA 20 105.65335216 5.28266761 13.07 0.0001
80
Lampiran 11. Hasil uji lanjut Duncan
Ekstrak Simbol Ekstrak air 1 Ekstrak etanol 2 Minyak atsiri 3 Ekstrak heksan 4 Ekstrak etil asetat 5 Ekstrak metanol 6
Mikroba Simbol Bacillus cereus 1 Escherichia coli 2 Salmonella Typhimurium 3 Pseudomonas aeroginosa 4 Staphylococcus aureus 5
Rancangan Faktorial Acak Lengkap 3 08:45 Friday, December 20, 1996 General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: DIAMETER NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 53 MSE= 0.404129 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 13.52601 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .4903 .5157 .5325 .5446 .5539 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N EKSTRAK A 6.0569 13 2 B 4.6387 15 3 C 3.5227 15 5 C 3.4307 15 6 D 1.9640 15 4 D 1.5890 10 1 Rancangan Faktorial Acak Lengkap 4 08:45 Friday, December 20, 1996 General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: DIAMETER NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 53 MSE= 0.404129 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 16.58537 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .4428 .4657 .4808 .4918 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N MIKROBA A 5.3771 17 5 B 4.5247 17 4 C 3.7506 16 1 D 2.9471 17 3 E 1.2206 16 2
82
Lampiran 13. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri Salmonella Typhimurium
Konsentrasi (% w/w)
Diameter penghambatan (mm)
Rata-rata diameter
penghambatan (mm)
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan
(mm2) Ulangan 1 Ulangan 2
10 5.87 5.8 6.48 7.23 6.35 2.30 40.3225 20 8.97 8.82 8.87 8.98 8.91 3.00 79.3881 30 8.8 8.62 8.67 8.5 8.65 3.40 74.8225 40 8.55 8.58 7.43 7.6 8.04 3.69 64.6416 50 8.55 8.13 9.07 7.73 8.37 3.91 70.0569
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
y = 15.118x + 16.537
0102030405060708090
0 1 2 3 4 5
ln konsentrasi
kuad
rat z
ona
ham
bat (
mm
)
Kurva (i) Penentuan nilai MIC ekstrak etanol jintan hitam terhadap bakteri Salmonella
Typhimurium Y = 15.118X + 16.537 Jika Y=0; X= -1.09386 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 0.3349 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*0.3349 MIC = 0.0837 = 0.084 % (w/w)
83
Lampiran 14. Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri Bacillus cereus
Konsentrasi (% w/w)
Diameter penghambatan (mm)
Rata-rata diameter
penghambatan(mm)
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan
(mm2) Ulangan 1 Ulangan 2
10 4.83 5.3 4.13 4.43 4.68 2.30 21.8556 20 8.8 9.77 7.9 8.2 8.67 3.00 75.1111 30 8.33 8.52 9.17 8.77 8.69 3.40 75.6175 40 11.15 11.93 10.32 10.22 10.90 3.69 118.9009 50 12.37 11.63 10.03 10.2 11.06 3.91 122.2867
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
y = 62.27x - 120.25R2 = 0.9367
0
20
40
60
80
100
120
140
0 1 2 3 4 5
ln konsentrasi
kuad
rat z
ona
ham
bat (
mm
)
Kurva (ii) Penentuan nilai MIC minyak atsiri jintan hitam terhadap bakteri Bacillus cereus Y = 62.27X – 120.25 Jika Y=0; X= 1.931106 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 6.897138 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*6.897138 MIC = 1.724284 = 1.72% (w/w)
84
Lampiran 15. Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap bakteri Staphylococcus aureus
Konsentrasi (% w/w)
Diameter penghambatan (mm)
Rata-rata diameter
penghambatan (mm)
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan
(mm2) Ulangan 1 Ulangan 2
10 3.67 3.72 4.33 3.40 3.78 2.30 14.2884 20 4.82 4.57 5.67 4.5 4.89 3.00 23.9121 30 4.63 5.15 4.45 5.63 4.96 3.40 24.6016 40 7.3 6.82 6.27 6.9 6.82 3.69 46.5124 50 9.23 7.3 7.7 7.73 7.99 3.91 63.8401
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
y = 27.903x - 56.322
0
10
20
30
40
50
60
70
0 1 2 3 4 5
l n konsent r asi
Kurva (iii). Penentuan nilai MIC ekstrak etil asetat jintan hitam terhadap bakteri
Staphylococcus aureus Y = 27.903X – 56.322 Jika Y=0; X= 2.0185 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 7.5269 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*7.5269 MIC = 1.8817= 1.88 % (w/w)
85
Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak metanol jintan hitam terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa
Konsentrasi (% w/w)
Diameter penghambatan (mm)
Rata-rata diameter
penghambatan(mm)
Ln konsentrasi
Kuadrat zona penghambatan
(mm2) Ulangan 1 Ulangan 2
10 3.23 - 4.12 - 3.68 2.30 13.5056 20 6.4 6.52 6.37 6.27 6.32 3.00 39.9424 28 8.83 7.55 7.37 - 7.78 3.33 60.5284
Keterangan : Nilai yang ditampilkan merupakan hasil pembulatan. Y = a + bX ; Y = Kuadrat zona penghambatan (mm2) dan X = Ln konsentrasi
y = 44.719x - 90.375
R2 = 0.9891
0
10
20
30
40
50
60
70
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
l n k onse nt r a si
Kurva (iv). Penentuan nilai MIC ekstrak methanol jintan hitam terhadap bakteri Pseudomonas
aeruginosa Y = 44.719X - 90.375 Jika Y=0; X= 2.0209 X = Ln konsentrasi, jadi konsentrasi = 7.5455 (Mt) MIC = 0.25*Mt MIC = 0.25*7.5455 MIC = 1.8864 = 1.88 % (w/w)
86
76
Lampiran 7.Hasil analisis minyak atsiri jintan hitam dengan penghalusan bahan