skripsi hukum
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah Makhluk yang dinamis dan tidak bisa berdiam diri
dalam waktu lama, mereka selalu bergerak berpindah dan melakukan aktivitas
di masa modern aktivitas manusia sangat terbantu dengan adanya teknologi
yang menandakan pergerakan tiap individu.
Teknologi tersebut berupa kendaraan bermotor yang di temukan sebagai alat
transportasi maka manusia, tidak perlu repot kepanasan atau kehujanan ketika
bepergian waktu tempuh menjadi singkat dan lebih menyenangkan.
Perkembangan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan
perkembangan model transportasi di Indonesia baik di udara, darat maupun
laut menjadi sangat beragam, khususnya transportasi darat telah
mempermudah mobilitas masyarakat dari suatu daerah ke daerah yang lain,
namun dari suatu sisi seperti yang terlihat hampir semua kota besar telah
berdampak pada munculnya berbagai permasalahan lalulintas seperti
pelanggaran, kemacetan dan kecelakaan lalulintas yang dari waktu ke waktu
semakin kompleks.
Meskipun membawa sejumlah keuntungan, kehadiran kendaraan
bermotor juga membawa konsekuensi lain, di antaranya penyedia jalan,
pengaturan pergerakan kendaraan dan masalah kecelakaan lalulintas di Negara
berkembang seperti di Indonesia, Kesadaran tertib di jalan raya masih rendah
1
sehingga di temukan pelanggaran yang di lakukan pengguna jalan terutama
pengendara motor dan mobil.
Masalah sikap berlalulintas sudah merupakan suatu fenomena yang
umum terjadi di kota – kota besar, di Negara-negara yang sedang berkembang,
persoalan ini sering di kaitkan dengan bertambahnya jumlah penduduk kota
yang mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas dan kepadatan di jalan
raya, lalulintas kendaraan yang beraneka ragam dan bertambahnya jumlah
kendaraan yang lebih cepat di bandingkan dengan pertambahan prasarana
jalan yang mengakibatkan berbagai masalah lalulintas seperti kemacetan dan
kecelakaan lalulintas.
Permasalahan lalu lintas yang selalu terjadi sorotan utama adalah
peristiwa kecelakaan lalulintas, adapun pengertian kecelakaan lalulintas yang
terdapat pada pasal 1 ayat 24 undang – undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan yang selanjutnya di singkat UULLAJ yang
menjelaskan bahwa kecelakaan lalulintas adalah suatu peristiwa di jalan yang
tidak di duga dan tidak di sengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan / atau kerugian
harta benda.1
Kecelakaan lalulintas masih menjadi masalah kematian di Negara
berkembang dan Negara maju, angka kematian menurut WHO telah mencapai
1.170.694 orang di seluruh dunia, jumlah ini setara dengan 2,2% dari seluruh
1 Pasal 1 Ayat 24 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2
jumlah kematian di dunia dan menempati urutan kesembilan dari sepuluh
penyebab kematian. 2
Pada umumnya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
kecelakaan lalu lintas diantaranya adalah kelalaian dari manusia itu sendiri,
kondisi jalan yang rusak, kelayakan kendaraan yaitu yang tidak sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga menyebabkan ketidak stabilan
ketika kendaraan tersebut untuk di gunakan dan bisa juga karena belum
optimalnya penegakan hukum lalulintas.
Biasanya orang-orang akan dapat leluasa menerobos lampu pengatur
lalulintas karena tidak adanya polisi yang berjaga di pos-pos padahal hal
tersebut akan membahayakan dirinya sendiri dan bisa jadi membahayakan
orang lain. Faktor inilah yang acapkali menjadi penyebab terjadinya
kecelakaan lalulintas, walaupun pada dasarnya kecelakaan lalu lintas
merupakan peristiwa yang tidak di inginkan atau tidak di sengaja baik dari
pihak korban maupun dari pihak tersangka, namun kecelakaan lalu lintas
tersebut tetap harus di selesaikan.
Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas pada umumnya di selesaikan
sesuai dengan prosedur acara peradilan pidana. Hal tersebut sesuai dengan
proses acara peradilan pidana dalam pasal 230 UULLAJ no. 22 tahun 2009
yang menyebutkan bahwa perkara kecelakaan lalulintas sebagaimana
dimaksid dalam pasal 229 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Di proses dengan
acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2 http//:wikipedia.org/wiki/kecelakaan lalu-lintas
3
Setelah melakukan pra penelitian di Kepolisian Resort Sigi,
menentukan suatu permasalahan yang menarik untuk di teliti yaitu terkait
penyelesian kasus kecelakaan lalu lintas dalam hal ini penyusun hanya
mengangkat salah satu kasus kecelakaan lalu lintas yaitu dengan berkas
perkara No. Pol : LP/18/II/2015/lantas/Res Sigi. Pada hari sabtu tanggal 14
Februari 2015, sekitar jam 21.30 wita dijalan poros Palu-Bangga di Desa
Kaleke Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi.
Kasus tersebut di atas diselesaikan melalui proses perdamaian atas
dasar kesepakatan kedua belah pihak, sementara dalam hukum positif
Indonesia perkara pidana tidak dapat di selesaikan di luar pengadilan
walaupun dalam hal-hal tertentu di mungkinkan adanya penyelesaian perkara
di luar pengadilan, tetapi pada kenyataan ketika terdapat kasus kecelakaan
lalulintas tidak selamanya kasus tersebut berakhir di pengadilan seperti kasus
tersebut di atas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis merumuskan
identifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana upaya penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dalam
Perspektif Restorative Justice terhadap tindak pidana kecelakaan lalu
lintas sebagaimana laporan Polisi Nomor : LP/18/II/2015/lantas/res Sigi ?
4
2. Apakah penyelesaian perkara kecelakaan lalulintas dalam Perspektif
Restorative Justice sesuai dengan UULLAJ No. 22 tahun 2009 tentang
kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan sesuai atau tidak ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dalam
Perspektif Restorative Justice di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Sigi.
2. Untuk mengetahui landasan Perspektif Restorative Justice tentang
penyelasaian perkara dalam UU No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas jalan
dan angkutan jalan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Hasil tulisan ini di harapkan dapat menambah wawasan untuk kemajuan
ilmu hukum khususnya hukum pidana dalam menyelesaikan kasus
kecelakaan lalulintas yang tidak selamanya melalui prosedur formal
melainkan dapat diselesaikan dengan cara perdamaian, apabila para pihak
sepakat untuk berdamai.
2. Hasil tulisan ini di harapkan dapat menambah wawasan bagi penyusun dan
pembaca pada umumnya sarta dapat di berikan gambaran bagi penegak
hukum khususnya aparat kepolisian yang menangani kasus kecelakaan
lalulintas.
5
E. Kerangka Teori
Di dalam praktek penegakan hukum pidana seringkali kita mendengar
istilah Restorative Justice yang terjemahanya dalam bahasa Indonesia di sebut
dengan istilah Restorasi Keadilan. Restorative Justice mengandung pengertian
yaitu “ suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin di
lakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak
pidana tersebut (keluarganya) , upaya perdamaian di luar peradilan dengan
maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya
perbuatan pidana tersebut dapat di selesaikan dengan baik dengan tercapainya
persetujuan dan kesepekatan di antara para pihak.
Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar yang meliputi :
1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarga) terhadap korban tindak pidana (keluarga)
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (Keluarga) untuk
bertangung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian
akibat tindak pidana yang di lakukannya.
3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi di antara pelaku
dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan
kesepakatan di antara para pihak.
Sehingga dapat di artikan bahwa Restorative Justice adalah suatu
rangkaian proses penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan yang
bertujuan untuk me-restro (memulihkan kembali) hubungan para pihak dan
kerugian yang di derita oleh korban kejahatan dan di harapkan dapat di
6
jadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim pengadilan pidana dalam
memperingan sanksi apabila menjatuhkan pidana terhadap pelaku pidana
tersebut. Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertugas untuk
memulihkan kembali keadaan seperti semula sebelum terjadi kesalahan karena
efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan (hukum penjara) pelaku tindak
pidana sekarang ini sudah tidak lagi mencapai sasaran sebagaimana yang di
harapkan, perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan sistem pemidanaan di
Indonesia tidak saja melalui hukum penjara tapi juga melalui penerapan
Restorative Justice.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting karena metode
yang baik dan sesuai dapat memungkinkan terciptanya tujuan yang tepat dan
benar. Berikut ini metode yang digunakan dalam penulisan ini :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan kombinasi yaitu penelitian lapangan dan
penelitian kepustakaan.
a. Penelitian Lapangan yaitu suatu penelitian yang dilaksanakan secara
intensif, terperinci dan menelaah terhadap objek tertentu yang
didukung dengan bahan-bahan dari buku mapun tulisan, merupakan
penelitian yang dilakukan dengan turun langsung ke lapangan untuk
memperoleh data primer yang berhubungan dengan masalah yang akan
diteliti yaitu dengan melakukan wawancara observasi agar
mendapatkan data yang cukup akurat.
7
b. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang menggunakan bahan
sekunder sebagai bahan dasar acuannya dengan cara membaca dan
mempelajari bahan-bahan yang berhubungan dengan permasalahan
yang akan diteliti dengan cara mempelajari buku, perundang-undangan
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pembahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan sifat penelitian
deskriptif analitik, yakni menelaah dan menganalisis KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana), undang-undang Nomor 22 tahun 2009
Tentang lalulintas dan angkutan jalan, serta undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indonesia dan data yang
telah dikumpulkan akan dilakukan analisa, hasil analisa tersebut akan
dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah dan pengambilan
kesimpulan.
3. Pendekatan Penelitian
Untuk mendapatkan bahwa hukum yang diperoleh dan diperlukan
dalam penulisan maka metode yang digunakan adalah mendekatkan
masalah yang dengan ketentuan peraturan-peraturan atau undang-undang
serta metode pendekatan yuridis empiris.
4. Sumber Data
Pengumpulan data yang digunakan menelaah terhadap bahan-bahan
pustaka dan lapangan yang dalam penelitian hukum mencakup data primer
dan data sekunder yaitu :
8
a. Data primer diperoleh dari narasumber yaitu korban kecelakaan dan
petugas unit lakalantas kepolisian Resort Sigi
b. Data Sekunder
Diperoleh dari kajian terhadap berbagai literatur yang membahas
mengenai pokok-pokok materi penulisan.
5. Analisa Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-
unit dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri
maupun orang lain, dilakukan untuk menganalisis pokok masalah yaitu
berkaitan dengan penerapan Restorative Justice dalam kecelakaan
lalulintas. Bahan Hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif yang selanjutnya hasil analisis tersebut diharapkan dari hasil
penulisan tersebut dapat memberikan suatu gambaran bagi berbagai
kalangan masyarakat.
9
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE
A. Pengertian, prinsip dan keberlakuannya dalam sistem hukum pidana
Indonesia
Restorative Justice merupakan filsafat, Proses, Ide, Teori dan
Intervensi yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang di sebabkan
atau di ungkapkan oleh pelaku kriminal proses ini sangat kontras dengan cara
standar menangani kejahatan yang di pangang sebagai pelanggaran yang di
lakukan terhadap Negara Restorative Justice menemukan pijakan dalam
filosofi dasar dari sila keempat pancasila yaitu musyawarah Prioritas dalam
pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian dengan mediasi korban
pelanggar adalah untuk “memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang
mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban pelaku dan
masyarakat.
Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas
kerugian yang di sebabkan atau terkait dengan tindakan di mana Restorative
Justice di lakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak
(stake holders) Restorative Justice merupakan alternatif atau cara lain
peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu
sisi dan korban / masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari
solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Restorative
Justice mengandung pengertian yaitu “ suatu pemulihan hubungan dan
penebusan kesalahan yang ingin di lakukan oleh pelaku tindak pidana
10
(keluarga) terhadap korban tindak pidana tersebut (Keluarga) upaya
perdamaian di luar peradilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan
yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat di selesaikan
dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para
pihak.
Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah
(perdamaian dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan
menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan
yang di harapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut
yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana
(Keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang di setujui dan di sepakati
para pihak.
Restorative Justice di katakan sebagai falsafah (pedamaian dasar)
dalam mencapai keadilan yang di lakukan oleh para pihak peradilan karena
merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya)
dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban / kerugian dari perbuatan
pidana tersebut, dengan demikian dapat di katakan bahwa Restorative Justice
mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi :
1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarga) terhadap korban tindak pidana (keluarga)
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (Keluarga) untuk
bertangung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian
akibat tindak pidana yang di lakukannya.
11
3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi di antara pelaku
dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan
kesepakatan di antara para pihak.
Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan yang di lakukan oleh
pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya)
nantinya di harapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan
pelaku tindak pidana di pengadilan dalam menjatuhkan sanksi pidananya oleh
hakim / majelis hakim.
Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk
memulihkan kembali keadaan sebelum terjadi kejahatan ketika ada orang yang
melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan menjadi berubah maka di
situlah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban kejahatan di
dalam proses peradilan pidana konvensional di kenal adanya restitusi atau
ganti rugi terhadap korban sedangkan restorasi memiliki makna lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Pemulihan hubungan ini bisa di dasarkan atas kesepakatan bersama antara
korban dan pelaku, pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian
yang di deritanya dan pelakupun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme, ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-
kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting ? Karena proses
pemidanaan konvensional tidak memberikan tuang kepada pihak yang terlibat
dalam pelanggaran hukum pidana tersebut untuk berpartisipasi aktif
12
melakukan mediasi/musyawarah dalam menyelesaikan masalah mereka di luar
pengadilan.
Setiap indikasi tindak pidana tanpa memperhitungkan eskalasi
perbuatanya akan terus di gulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya
menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisispasi aktif dari masyarakat
seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya akan bermuara pada putusan
pemidanaan atau punishment (penjatuhan sanksi pidana) tanpa melihat adanya
Restorative Justice yang telah di lakukan dan di sepakati oleh para pihak.
Sudah saatnya filsafah Restorative Justice menjadi pertimbangan
dalam sistem pelaksanaan hukum pidana dan di masukkan kedalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana (KUHP) baru, khususnya untuk delik
pidana aduan (Klacht delict) agar penitik beratan pada kondisi terciptanya
keadilan dan keseimbangan perlakuan hukum terhadap pelaku tindak pidana
dan korban tindak pidana dapat tercapai dengan baik, tanpa harus selalau
menggunakan sanksi pidana (hukuman penjara) dalam penyelesaian akhirnya.
Karena efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan (hukuman penjara) pelaku
tindak pidana sekarang ini sudah tidak lagi mencapai sasarannya sebagaimana
yang di harapkan. Perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan sistem
pemidanaan di Indonesia, tidak saja melalui hukuman penjara semata, tapi
juga melalui penerapan Restorative Justice.
Ironisnya, hampir seluruh tindak kajahatan yang di tangani oleh sistem
peradilan pidana Indonesia selalu berakhir di penjara, padahal penjara bukan
solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan khususnya
13
tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang di timbulkan kepada korban dan
masyarakat masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “Rusak” dapat
di kembalikan ke keadaan semula, sekaligus menghilangkan dampak buruk
penjara dalam menyikapi tindak kejahatan yang di anggap dapat di restorasi
kembali, di kenal suatu paradigma penghukuman yang di sebut sebagai
Restorative Justice, dimana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian
yang telah di timbulkan kepada korban, keluarga juga masyarakat.
Keadilan yang di landasi perdamaian (peace) antara pelaku, korban
dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik Restorative Justice, oleh
karena itu keadilannya di katakan sebagai “Just Peace Principle”. Prinsip ini
mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah bentuk baru penganiayaan /
tekanan dikatakan sebagai Just Peace Principle karena pendekatan terhadap
kejahatan dalam Restorative Justice bertujuan untuk memulihkan kerusakan
alibat kejahatan upaya ini di lakukan dengan mempertemukan korban, pelaku
dan masyarakat.
Memahami Restorative Justice pastinya akan menemukan semangat
lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam hubungan sosial dari
pada mengedepankan penerapan aturan / hukum yang di hadapkan pelaku
dengan aparat pemerintah, adapun semangat yang terkandung di dalamnya
meliputi ; Reconciliation (perdamaian); dan The Rebuilding of relationship
(membangun kembali hubungan)
14
B. Perspektif Restorative Justice Dalam Peradilan Indonesia
Cara yang di tempuh dalam peradilan Restorative Justice jelas kontras
dengan penanganan tindak pidana yang selama ini di lakukan, Restorative
Justice lebih memposisikan para pihak secara bersama-sama dari pada
menempatkan mereka terpisah, lebih menjalin kembali hubungan / harmoni
dari pada memecah belah, lebih berupa menciptakan keutuhan daripada
terpecah belah. Pendekatan pemecahan masalahnya bertujuan untuk
menyatukan dan menggabungkan pandangan dari semua individu atau
kelompok yang memiliki kepentingan dalam tindak pidana itu, apakah ini
merupakan masalah kesejahteraan atau masalah kriminal, kebajikan dan
prinsip panduan yang mengikuti dalam Restorative Justice harus di lihat
secara linear atau hirarkis (yang merupakan cara dari sistem modern)
melainkan sebagai kesatuan dari bagian yang saling berhubungan.
Eksistensi proses Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian
perkara pidana sangat di tentukan oleh kesadaran dan pengetahuan masyarakat
itu sendiri termasuk aparat penegak hukumnya. Pemahaman peradilan yang
hanya mengedepankan penerapan aturan membuktilan kesalahan pelaku dan
lalu menghukumnya tidak akan bisa menerima konsep ini. Baginya peradilan
adalah hak negara untuk menegakkan sanksi kepada warganya yang telah
melanggar aturan penjaraan atau rehabilitasi menjadi faktor yang sangat
populis di dalamnya. Perhatian peradilan di dominasi oleh kepentingan
pelaku, Masyarakat dan Negara.
15
Restorative Justice lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak
dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan perilaku dengan aparat
pemerintah, filsafah Just Peace Principlle di integrasikan dengan in the
process of meeting, discussing and actively participating in the resolution of
the criminal matter. Integrasi pelaku di satu sisi dan korban masyarakat di lain
sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi secara kembali pada pola
hubungan baik dalam masyarakat.
Dunia internasional telah memberi guide – lines on Criminal justice
tentang strategi pendekatan inovasi, komprehensif dan integral dengan
meningkatkan program peradilan restoratif. Evaluasi untuk mendesain
kembali pelaksanaan peradilan yang lebih efektif perlu di lakukan di indonesia
dan kongres PBB cukup menjadi salah satu aspirasi untuk membangun atau
mengupdate / reform kebijakan peradilan kerah model Restorative Justice.
dalam kebijakan nasional ada pancasila yang merupakan core philosopy
bangsa sebagai corephilosopy pancasila dengan begitu merupakan sumber
nilai bagi adanya sistem peradilan hukum di Indonesia. dalam sila ke-4
pancasila “ kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijakansanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan” terkandung fisafah permusyawaratan atau
musyawarah, makna yang terkandung adalah : mengutamakan musyawarah
dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama dan menghormati
setiap keputusan musyawarah, keputusan yang di ambil harus dapat di
pertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
16
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan
keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Sila ke-4 pancasila ini mengajarkan kepada kita untuk menentukan
sebuah pilihan melalui cara musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama, musyawarah mengandung 5 prinsip sebagai berikut :
- conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan
keinginan)
- search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang
di hadapi)
- reconciliation (berdamai dengan tanggung jawab masing masing)
- repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul)
- circles (saling menunjang)
Prinsip-prinsip ini persis seperti yang di butuhkan dan menjadi kata
kunci dalam Restorative Justice, sehingga secara ketatanegaraan Restorative
Justice menemukan dasar pijakannya dalam filsafah sila ke-4 pancasil. Dasar
pijakan itu kalau di implementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana
mengandung prinsip yang di sebut dengan istilah VOC (Victim of fender
conferencing). Target dalam pertemuan VOC adalah mediasi atau VOM
(victim-Offender mediatian) yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling
menyepakati perbaikan, tujuannya adalah untuk menangani kesejahteraan
sebagai konflik yang harus diselesaikan antara orang terkena dampak langsung
bukan sebagai konflik antara negara dan terdakwa. Tujuan penyelesaian
perkara dengan VOM adalah To “Humanize” the justice system. Pendekatan
17
di katakan lebih humanis karena berusaha mengelimir beberapa masalah.
pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses
peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang di
alaminya seolah tidak di perhatikan. Disisi lain masuknya para pihak dalam
menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model
restoratif; kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas
pemulihan kerugian meteril dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan
untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah; ketiga, memberi rasa hormat
terhadap martabat manusia, karena peradilan restorative tidak terpisah dari
model perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka menerima kebaikan
bersama.
Perbedaan mendasar Restorative Justice dengan peradilan menurut
hukum KUHAP antara lain :
Peradilan KUHAP Peradilan Restorative
1. Mendasarkan pada kesejahteraan yang di lakukan
1. Menunjuk pada kekeliruan (eror) yang di sebabkan karena pelanggaran
2. Menempatkan korban dalam kedudukan yang sentral
2. Menempatkan korban pada posisi yang sekunder
3. Tujuannya berpusat pada gagasan bagaimana menghukum yang bersalah dengan adil
3. Dasar tujuannya memberi kepuasan yang di alami para pihak yang terlibat dalam pelanggaran
4. Retributive Justice 4. Restorative Justice5. Result in prison for the accused 5. Dialogue, negotiation and
recolutions6. Ditentukan oleh profesional hukum 6. Di tentukan oleh para pihak dalam
conferencing
18
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL
A. Penerapan Restarative Justice dalam upaya penyelesaian perkara
kecelakaan lalu lintas.
Dibanyak negara di dunia, ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap
hukum pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan
upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut. Permasalahan
seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang
menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta transparansi terhadap
kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.
Dalam setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang
dikenal dengan nama "Congress on Crime Prevention and The Treatment of
Offenders". Kongres ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan
tentang perkembangan kejahatan, penanggulangannya dan penanganan pelaku
kejahatan serta berbagai topik terkait.
Dalam kongres tersebut dibuka kesempatan bagi sejumlah negara
untuk berbagai pengalaman atas sejumlah program yang dikembangkan
termasuk juga berbagai permasalahan yang muncul dalam
penyelenggaraannya. Dalam kesempatan ini, sejumlah negara juga
mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengadakan kerjasama dalam
19
rangka upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan terutama dalam
kejahatan yang dilakukan secara lintas negara.
Pada kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa
lembaga swadaya masyarakat dan beberapa negara mensponsori sejumlah sesi
pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang restorative justice. Sejak itu
berbagai minat dan program serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan
ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi topik yang mengemuka. Pada
Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sesi pertemuan di kongres yang
dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam dan mendalam hal-hal
yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan restorative justice
dalam penanganan perkara pidana. Hingga pada kongres selanjutnya yang
digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The
Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi
sejumlah prinsip-prinsip mendasar dan penggunaan pendekatan restorative
justice.
"Restorative Justice" merupakan suatu model pendekatan yang muncul
dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda
dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,
pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,
korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.Terlepas
dan kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis,
akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak
mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.
20
Pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling
mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada mat ini. PBB
melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan
restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem
peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P.
Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a
rational total of the responses to crime). Pendekatan restorative justice
merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dan strategi 4
penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpnasan atas
bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Dipihak lain, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang
Baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
dan pekerja hukum. 3
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna
tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada
umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
3 http;//en.wikipedia.org/wiki/Restorative_Justice.
21
kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban
utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan
menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat
terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses
pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana
keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan
tersebut.
a. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Sebelum mengetahui dan mengidentifikasi sebuah kecelakaan merupakan
sebuah tindak pidana, maka perlu diketahui mengenai tindak pidana dan jenis
pidana secara umum kemudian baru dapat dijelaskan mengenai tindak pidana
kecelakaan lalu lintas tersebut. Tindak pidana atau strafbaarfeit baik dalam
perundangundangan undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum
sebagai terjemahan dari istilah strajbaarfeit antara lain adalah tindak pidana,
pristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,
perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Istilah
tindak pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.
Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda
tentang istilah strafbaarfeit atau tindak pidana, Simons berpendapat bahwa tindak
22
pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum. Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah
perbuatan pidana, kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti
yang abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada dua kejadian yang
konkret, yaitu:
1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang
dilarang
2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Marshall, perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang
oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan
prosedur hukum yang berlaku. Lalu Vos menjelaskan, bahwa peristiwa pidana
(strajbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gerdragring) yang oleh
peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Sedangkan Menurut Hukum
Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan hukuman.
Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
23
seseorang atau sekelompok orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-
undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan
itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan hukum.
d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum
yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.
Dari seluruh pendapat para sarjana hukum diatas, dapat dimengerti
mengenai pengertian tindak pidana serta peristiwa pidana, dapat diketahui pula
unsur-unsur dan syarat-syarat terjadinya suatu tindak pidana.
Perbuatan pidana dapat dibedakan menjadi beberapa macam atau jenis
antara lain:
a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah
dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang
dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
b. Delik material adalah suatu perbuatan yang dialarang, yaitu akibat
yang timbul dari perbuatan itu.
c. Delik dolus adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena
kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.
e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan
24
pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan, belum
merupakan delik.
f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan
kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang dikategorikan dua
jenis peristiwa pidana. Dua jenis peristiwa pidana itu antara lain yaitu Misdrif
(Kejahatan) dan Overtreding (Pelanggaran). Suatu tindak atau peristiwa pidana
dibedakan pula dari sudut pandang teori dan prakteknya, yaitu :
a. Delik Commissionis dan Delik Commissionis.
Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu
(berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuat
(berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat
atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.
b. Delik Dolus dan Delik Culpa
Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya
Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah
dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya
menurut Pasal 359 KUHP dilakukan dengan tidak berbuat.
c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan)
d. Delik menerus dan tidak menerus.
25
Berdasarkan uraian di atas telah diketahui mengenai pengertian dan
definisi tindak pidana secara umum. Setelah mengetahui uraian tersebut barulah
dapat diuraikan mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Menurut
Pasal I angka 23 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan dijelaskan mengenai pengertian kecelakaan lalu lintas, yaitu
kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak diduga dan tidak disengaja
melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu
lintas dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kelalaian pengguna jalan,
ketidak layakan kendaraan, ketidaklayakan jalan atau infrastruktur, dan
iklim/lingkungan.
Kecelakaan lalu lintas merupakan tindak pidana dikarenakan dalam
Aturan Penutup Pasal 103 KUHP dijelaskan ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain
Dalam salah satu asas hukum yang dikenal adalah lex specialis
derogat legi generalis, menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum, inilah yang menjadi dasar
kecelakaan lalu lintas dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan atau tindak
pidana khusus karena diatur di dalam suatu bentuk hukum perundang-undangan
diluar Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ketentuan
pasal 103 KUHP pula kecelakaan dapat dinyatakan dalam bentuk tindak pidana
26
karena diatur ketentuan pidananya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa :
1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan
kendaraan bermotor di jalan wajib :
a. Mampu mengernudikan kendaraan dengan wajar;
b. Mengutamakan keselamatan para pejalan kaki;
c. Menunjukan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor,
atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin
mengemudi, dan tanda bukti lulus uji, atau tanda bukti lain yang
sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pasal 16;
d. Memetuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu clan
marka jalan, alat pemeberi isyarat lalu lintas, waktu kerja clan
waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan
parkir, persyaratan teknis clan layak jalan kendaraan bermotor,
penggunaan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi clan
sinar, kecepatan maksimum dan/atau minimum, tata cara
mengangkut orang clan barang, tata cara penggandengan dan
penempelan dengan kendaraan lain;
e. Memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan
bermotor roda empat atau lebih, clan menggunakan helm bagi
27
pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi
kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi
dengan rumah-rumah.
2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk
disamping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi
penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor
roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi rumah-rumah wajib
memakai helm.
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
clan Angkutan Jalan mengatur bahwa :
1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu
lintas, wajib :
a. Menghentikan kendaraannya;
b. Menolong orang yang menjadi korban kecelakaan;
c. Melaporan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara
Republik Indonesia terdekat.
2) Apabila apengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a clan b, kepadanya diwajibkan segera melaporkan diri
kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.
Penggolongan dan penanganan perkara kecelakaan lalu lintas menurut
28
pasal 229 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, yaitu :
1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada (1)
huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan
kerusakan kendaraan dan/atau barang.
4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat.
5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklayakan Kendaraan,
serta ketidaklayakan Jalan dan/atau lingkungan.
Dari jenis kecelakaan lalu lintas terdapat beberapa situasi yang dapat
menjadi pembeda antara jenis jenis kecelakaan lalu lintas yaitu Kecelakaan Lalu
Lintas ringan yaitu sebagai contoh terjadi kecelakaan lalu lintas namun disini
hanya menimbulkan kerusakan kendaraan dan lain halnya, tapi pada intinya
tidak menimbulkan luka-luka baik si pengendara maupun orang lain yang terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas tersebut. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, di mana
29
terjadi kecelakaan lalu lintas menimbulkan suatu kerusakan kendaraan atau barang
lain dan juga menimbulkan korban luka-luka ringan, seperti luka lecet dan luka-
luka lainnya tetapi tidak sampai luka-luka tersebut mengakibatkan seseorang tidak
dapat beraktivitas normal. Dan Kecelakaan Lalu Lintas berat, di mana terjadi
kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya menimbulkkan kerusakan barang ataupun
barang, tetapi menimbulkan korban luka berat, sehingga korban tidak dapat
beraktivitas normal dalam beberapa waktu maupun secara permanen, atau timbul
korban meninggal dunia.
Pada ketentuan Pasal 230 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan
pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan
kepastian hukum tersebut maka para penegak hukum wajib untuk memproses
seluruh perkara tindak pidana lalu-lintas.
Pada ketentuan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dijelaskan bahwa:
1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
30
2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Kecelakaan lalu lintas dalam ketentuan pidananya yang terdapat dalam
UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Berdasarkan Ketentuan Pasal 310, Pengemudi kendaraan bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalulintas ringan diancam
pidana penjara maksimal 6 bulan, jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
sedang diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, dan jika mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas berat maka ancaman hukuman pidana penjara mencapai
31
maksimal 5 tahun penjara clan jika korbannya mengalami kematian maka
diancam dengan hukuman pidana penjara 6 tahun.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan atas dua faktor yaitu
kesengajaan dan kelalaian. Jika terjadinya kecelakaan lalu lintas disebabkan
oleh faktor kesengajaan maka ancaman pidana yang dapat diberikan menjadi
dua kali lipat dari ketentuan yang telah ada mengenai masing-masing jenis
kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian. Dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jika seseorang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan Lalu Lintas,
namun dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan
pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada
kepolisian, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.
b. Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas
Penyelesaian tindak penyelesaian kecelakaan lalu lintas adalah suatu
proses yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan
melalui proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Setiap perkara pada
setiap kecelakaan lalu lintas haruslah diselesaikan dengan proses acara
peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dan setiap pengemudi
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban dan hal ini sesuai dengan
32
ketentuan Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa:
1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan
Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak
ketiga karena kelalaian Pengemudi.
2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan
jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan
Pengemudi.
Namun dalam Poin (3) Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memiliki ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.
Walaupun pihak pelaku sudah melakukan tindakan pertanggung jawaban
dan melakukan ganti rugi, tidak lantas menggugurkan perkara pidana yang
dijatuhkan kepadanya. Ini berdasarkan ketenteuan Pasal 235 Pasal 234
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan menjelaskan bahwa:
33
1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib
memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya
pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana.
2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat
Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada
korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan
tuntutan perkara pidana.
Sedangkan mengenai besaran ganti kerugian dijelaskan pada Pasal 236
UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan menjelaskan bahwa:
1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian
yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi
kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.
Namun, berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS
34
tanggal 14 Desember 2009, Pihak Kepolisian memiliki kewenangan untuk
mengambil pola penyelesaian permasalahan hukum dengan melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR). Perlu diketahui Allernative Dispute Resolution (ADR)
merupakan pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses
hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan
melalui mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan
restoratif.4 Berikut isi dari Surat Kapolri tersebut:
Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR)
Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, dengan hormat dijelaskan
kembali bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan
Polmas adalah penerapan konsep Alternative Dispute Resolution
(ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif
selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya
perdamaian. Akhir-akhir ini banyak proses penegakkan hukum terhadap
kasus tindak pidana dengan kerugian sangat kecil menjadi sorotan
media massa dan masyarakat, terkesan aparat CJS terlalu kaku dalam
penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar di ambil
langkah-langkah sbb :
1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian
materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR
4 Surat Kapolri Nopol B/3022//XII/Sdeops tentang Penanganan Perkara Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
35
2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
disepakati oleh pihak-pihak yg berperkara namun apabila tidak
terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum
yg berlaku secara profesional dan proporsional.
3. Penyelesaian kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip
pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat
sekitar dengan menyertakan RT RW setempat
4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
menghormati norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas
keadilan
5. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada
di wilayah masing2 utk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana
yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk
diselesaikan melalui konsep ADR.
6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar
tidak lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif
dengan tujuan Polmas.
Demikian untuk menjadi maklum.
Hal ini diperjelas lagi dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi
Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri
yaitu pada pasal 14 penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) pola
penyelesaian masalah sosia melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya
36
menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi, misalnya
melalui upaya perdamaian sehingga konsep pendekatan keadilan restoratif itu
terdapat pengaturannya walaupun berada di luar dari Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan pihak kepolisian wajib
untuk melaksanakannya.
Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember
2009 yang memuat penyelesaian perkara dengan konsep Alternative Dispute
Resolution (ADR) telah dilaksanakan oleh Kepolisian Unit Kecelakaan Lalu Lintas
Satuan Lalu Lintas Polres Sigi dalam menyelesaikan berbagai perkara kecelakaan
lalu lintas yang terjadi di Polres Sigi berdasarkan data Tabel I Jumlah Laka Lantas
dan Korban Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka
Satlantas Polres Sigi dan Tabel 2 Jumlah Laka Lantas dan Penyelesaian Perkara
Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka Satlantas Polres
Sigi dan Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Unit Kecelakaan Lalu Lintas
Satuan Lalu Lintas Polres Sigi yaitu :
37
DATA LAKA LANTAS POLRES SIGI
BULAN JANUARI 2014 S/D DESEMBER 2014
NO BULANJUMLAH
KEJADIAN
KONDISI
KORBANKERUGIAN
MATERILMD LB LR
1 JANUARI 8 2 5 8 Rp. 16.100.000
2 FEBRUARI 11 1 8 12 Rp. 36.000.000
3 MARET 2 2 - 2 Rp. 4.500.000
4 APRIL 5 2 1 7 Rp. 45.000.000
5 MEI 9 3 1 9 Rp. 10.500.000
6 JUNI 12 4 2 14 Rp. 14.000.000
7 JULI 11 1 6 15 Rp. 31.300.000
8 AGUSTUS 9 2 5 14 Rp. 18.700.000
9 SEPTEMBER 16 3 4 16 Rp. 24.450.000
10 OKTOBER 13 3 7 16 Rp. 54.900.000
11 NOVEMBER 11 1 3 14 Rp. 11.300.000
12 DESEMBER 14 1 5 24 Rp. 16.450.000
JUMLAH 121 25 47 151 Rp. 283.200.000
Sumber : Unit Laka Lantas Polres Sigi Tahun 2014.
38
KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAHRESORT SIGI
Jalan Poros Palu Kulawi Km 12 Dolo
JUMLAH LAKA LANTAS DAN PENYELESAIAN PERKARA LAKA
LANTAS BULAN JANUARI S/D DESEMBER 2014
NO BULANJUMLAH
KEJADIAN
KONDISI KORBAN
P. 21 SP. 3 TILANG ADRKE
POM
1 JANUARI 8 1 1 0 6
2 FEBRUARI 11 - 1 0 10
3 MARET 2 1 1 0 0
4 APRIL 5 - 2 0 3
5 MEI 9 1 2 0 6
6 JUNI 12 1 3 0 8
7 JULI 11 - 1 0 10
8 AGUSTUS 9 1 1 0 7
9 SEPTEMBER 16 1 2 0 13
10 OKTOBER 13 1 2 0 10
11 NOVEMBER 11 1 - 0 11
12 DESEMBER 14 1 - 0 13
JUMLAH 121 9 16 0 85
Sumber : Unit Laka Lantas Polres Sigi Tahun 2014.
39
KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAHRESORT SIGI
Jalan Poros Palu Kulawi Km 12 Dolo
Melihat tabel I dapat didefinisikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang
terjadi di Kota Bandar Lampung sejak Januari hingga Desember 2014 termasuk
tinggi yaitu 121 perkara kecelakaan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas
tertinggi terdapat di Bulan september yaitu terjadi 16 perkara kecelakaan lalu
lintas. Akibat dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi di tahun 2014 yaitu 25
orang meninggal dunia, 47orang luka berat, dan 151 orang luka ringan. Selain
itu kerugian materil yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas di Kota
Bandar Lampung tahun 2014 sangatlah besar yaitu Rp. 283.200.000
Berdasarkan tabel 2 jumlah perkara kecelakaan lalu lintas diproses
dengan berbagai cara. Terdapat 9 perkara yang di P-21 dan diselesaiakan
melalui proses hukum acara pidana yang sesuai dengan perundang-undangan.
Selanjutnya 16 perkara dinyatakan SP3 oleh Unit Kecelakaan Kecelakaan
Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polres Sigi dikarenakan kurangnya cukup bukti
atau pelaku meninggal dunia. Terdapat 85 perkara kecelakaan lalu lintas
diterapkan penyelesaian dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR).
Dengan demikian Alternative Dispute Resolution (ADR), salah satu bentuk
penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang merupakan bentuk
pendekatan keadilan restoratif telah diimplementasikan di berbagai perkara
kecelakaan yang terjadi di Kota Sigi
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah satu bentuk
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau mediasi penal. Metode
ini sebenarnya telah lama digunakan masyarakat di Indonesia dalam rangka
menyelesaikan perkara di antara mereka. Mereka menempuh musyawarah untuk
40
mufakat untuk mencapai perdamaian. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya
musyawarah untuk mufakat adalah cikal bakal dari Alternative Dispute
Resolution (ADR). Alternative Dispute Resolution (ADR) yang berasal dari
kearifan lokal Masyarakat Indonesia dianggap sangat efektif clan merupakan suatu
kesalahan jika permasalahan itu dibuka di tengah masyarakat. Dalam banyak
perkara, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog berupa musyawarah, clan
meminta pihak ketiga yaitu tokoh masyarakat, untuk bertindak sebagai
mediator. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Alternative Dispute
Resolution (ADR) merupakan mediasi penal yaitu suatu bentuk upaya
penyelesaian alternatif nonlitigasi terhadap perkara dalam ranah hukum pidana
melalui mediasi.
Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai konsep mediasi penal
merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sudah berkembang
pada ranah hukum keperdataan. Konsep ini juga dalam perkembangan hukum
keperdataan di Indonesia sudah menjadi perhatian, bahkan sudah dapat
diterapkan dalam penyelesaian sengketa perdata yang diatur secara yuridis.
Alternative Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase clan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun
dalam ranah hukum pidana belum ada undang-undang yang mengatur mengenai
konsep Alternative Dispute Resolution (ADR). Walaupun pada umumnya,
penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata,
namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan
melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum.
41
Kedudukan Kepolisan Republik Indonesia sebagai penegak hukum
tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa:
1) Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi
dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 2 menjelaskan bahwa:
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan clan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.5
Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal I
butir (1) dan Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa kepolisian dalam kedudukannya
sebagai aparat penegak hukum memiliki fungsi untuk menegakkan hukum di
bidang yudisial, baik tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dengan
adanya kewenangan diskresi di bidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa "Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas clan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri".
Diskresi kepolisian dapat diartikan sebagai kewenangan pihak
kepolisian untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
Wewenang diskresi kepolisian dalam penghentian penyidikan, terdapat
wewenang dalam hal atau keadaan tertentu untuk diambil suatu keputusan
mengenai akan diambil suatu tindakan atau tidak apabila terjadi suatu tindak
5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
42
pidana.
Walaupun setiap penyidik kepolisian memiliki kewenangan dikresi dalam
menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas di luar pengadilan, namun tidak
berarti penyidik kepolisian dapat bertindak semena-mena tanpa mengindahkan
norma agama, norma sosial maupun norma-norma yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat.
Kriteria-kriteria penggunaan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan
perkara kecelakaan lalu lintas diluar pengadilan sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas tersebut bukan merupakan tindak pidana
kesengajaan.
Anggota kepolisian lalu lintas sebagai penyidik dalam menangani
perkara kecelakaan lalu lintas terlebih dahulu melihat sebab-sebab
terjadinya kecelakaan lalu lintas dengan memeriksa saksi, memeriksa
tersangka, dan melakukan gelar perkara sehingga dapat tidaknya
perkara tersebut diselesaikan di luar pengadilan atau harus melalui
pengadilan. Penyidik dalam menentukan ada tidaknya unsur
kesengajaan tersebut harus mempunyai dasar keahlian khusus di
bidang lalu lintas karena penyidik dalam menangani perkara
tersebut harus dapat menyelesaikan perkara dengan tepat.
Apabila dapat dibuktikan secara meyakinkan bahwa penyebab
kecelakaan lalu lintas dikarenakan kealpaan pelaku, maka dapat
diselesaikan di luar pengadilan. Namun sebaliknya apabila menurut
penyidik penyebab kecelakaan lalu lintas adalah akibat kesengajaan
43
pelaku dan/ atau pelaku terlebih dahulu melanggar ketentuan
perundang-undangan (pelaku dalam pengaruh alkohol, motor tidak
standar), maka polisi selaku penyidik tidak dapat menyelesaikan
perkara di luar pengadilan dan akan melimpahkan perkara tersebut ke
Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dan selanjutnya harus
diselesaikan melalui pengadilan, walaupun sebelumnya telah ada
itikad baik dari pelaku maupun korban untuk menyelesaikan perkara
di luar pengadilan.
b. Adanya itikad baik dari pelaku dan korban kecelakaan lalu lintas untuk
menyelesaikan perkara di luar pengadilan.
Itikad baik merupakan sikap batin atau perilaku jiwa untuk
sama-sama mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pihak
korban sesuai hasil penyidikan yang ada memberi maaf kepada
pelaku, meyakini bahwa tidak ada unsur kesengajaan serta
menerima sebagai musibah perkara kecelakaan lalu lintas tersebut
dan pihak pelaku dalam pemeriksaan beritikad baik untuk
menyelesaikan perkara secara damai dan memberikan sejumlah uang
ganti kerugian sebagai uang duka, biaya selamatan maupun
kesepakatan-kesepakatan lain. Kesepakatan antara pelaku dengan
korban merupakan syarat ketika kepolisian menggunakan
kewenangan diskresinya untuk memberikan pertimbangan
menyelesaikan perkara kecelakaan di luar pengadilan. Kesepakatan
antara pelaku dengan korban diwujudkan dengan dibuatnya surat
44
kesepakatan damai yang berisi pernyataan antara kedua belah pihak
bahwa perkara kecelakaan lalu lintas telah selesai secara kekeluargaan
dan tidak akan mempermasalahkan di kemudian hari. Surat
kesepakatan damai tersebut berisikan klausula-klausula yang telah
disepakati masing-masing pihak yang berperkara, kemudian surat
tersebut ditandatangani antara pelaku dengan korban beserta saksi-
saksi diatas materai yang diketahui oleh RT/ RW/ kepala Desa/ Kepala
Kelurahan setempat.
Kedua kriteria yang diterapkan oleh Polres Sigi bersifat saling
melengkapi. Dalam hal ini apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi,
maka kepolisian Polres Sigi tidak dapat menyelesaiakan perkara
kecelakaan lalu lintas di luar pengadilan sebagai wujud dari diskresi
kepolisian.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dijelaskan pada Pasa136 diterangkan
bahwa:
2) Penanganan Kecelakan Lalu Lintas ringan yang terdapat cukup
bukti atau terpenuhinya unsur tindak pidana, dilakukan dengan
proses pemeriksaan singkat.
3) Proses pemeriksaan singkat pada Kecelakaan Lalu Lintas ringan,
apabila terjadi kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat dapat
diselesaikan di luar pengadilan.
Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas juga diatur dalam Peraturan
45
Kapolri No. 15 Tahun 2013 yaitu dengan cara pemberian ganti rugi yaitu pada
Pasal 61 diterangkan:
4) Penentuan dan pembayaran ganti Kerugian Materiil yang
diakibatkan kecelakaan Lalu Lintas dapat diselesaikan melalui proses
di luar pengadilan.
5) Penyelesaian penentuan dan pembayaran ganti Kerugian Materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara musyawarah
langsung di antara pihak-pihak yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas.
6) Proses penyelesaian ganti kerugian materiil dilarang melibatkan
penyidik/penyidik pembantu.
Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 yaitu dengan cara pemberian
ganti rugi yaitu pada Pasal 62 dijelaskan bahwa:
1) Para pihak dapat meminta bantuan pihak ketiga selaku mediator
apabila penyelesaian secara musyawarah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) tidak tercapai kesepakatan.
2) Dalam hal telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang terlibat,
dituangkan dalam surat pernyataan dan diserahkan kepada penyidik/
penyidik pembantu.
3) Penyidik setelah menerima surat pernyataan dilampirkan dalam
berkas perkara sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil
keputusan.
Pasal 63 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa:
1) Kewajiban mengganti kerugian terjadi kesepakatan damai antara para
46
pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, untuk menyelesaikan
perkaranya dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.
2) Kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat kecelakaan lalu
lintas dituangkan dalam surat pernyataan kesepakatan damai.
3) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan selama belum dibuatnya laporan
polisi.
4) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas ringan, apabila unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi dan tidak terjadi kesepakatan damai antara para
pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, maka penyelesaian
perkaranya diselesaikan dengan acara singkat.
5) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diregister dan surat pernyataan kesepakatan damai
diarsipkan.
Pasal 64 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa:
Dalam' perkara kecelakaan lalu lintas sedang, apabila unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara singkat.
Serta Pasal 65 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa
Dalam perkara kecelakaan lalu lintas berat, apabila unsur-unsur tindak pidana
terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara biasa.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat didefinisikan bahwa penyelesaian
kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan di luar pengadilan melihat Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
47
mengatur mengenai diskresi kepolisian, Surat Kapolri No Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 mengenai Alternative
Dispute Resolution (ADR), dan Peraturan Kapolri No. I S Tahun 2013 Tentang
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas. Meskipun dalam Pasal 230
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
setiap jenis kecelakaan lalu lintas harus diproses dengan acara peradilan
pidana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah bentuk
pendekatan keadilan restoratif. Konsep ini merupakan pola penyelesaian
masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi
antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan melalui mediasi yang
merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Alternatif
Dispute Resolution (ADR) memiliki tujuan yaitu:
1. Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan
para pihak;
2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu
yang biasa terjadi; dan
3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan.
B. Prospek Restorative Justice di Indonesia
48
Restorative justice telah diterjemahkan dalam berbagai variasi
rumusan dengan berbagai variasi nilai atau dasar filosofis, syarat,
strategi,mekanisme, program, dan bahkan jenis maupun tindak pidana dan
terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat didalamnya. Didalam beberapa
regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara rinci. Namun yang
menarik dari berbagai regulasi tersebut adalah bahwa :
a. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana,
Bulgaria, atau Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep
mediasi dimana dibuka peluang penyelesaian perkara pidana diluar sistem
peradilan sementara, atau
b. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika
Selatan, yang memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem
pemidanaan.
Dari kedua hal ini maka secara penulis menilai bahwa restorative
justice, dalam pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah
diterjemahkan sebagai mekanisme penanganan perkara pidana diluar sistem
peradilan pidana maupun sebagai filosofis pemidanaan baru yang melahirkan
bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari jenis pidana
konvensional yang dikenal selama Gambaran diatas adalah sedikit contoh dari
banyak negara lain yang mencoba menerapkan paradigm restorative justice
dalam penanganan perkara pidana. Menarik melihat perkembangan penerapan
pendekatan restorative justice yang marak akhir-akhir ini karena muncul
anggapan paradigma ini membawa banyak keuntungan perubahan yang positif
49
terhadap masyarakat dan negara. Sejumlah keuntungan yang dapat dicatat
disini adalah :
(a) Bahwa masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri
permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas
sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan
dalam hukum adat dalam penanganan perkara-perkara keperdataan dapat
juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya
hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan
perdata.
(b) Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya:
1) Beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat
diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk
memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih
berbahaya seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia atau
pelanggaran HAM berat.
2) Secara administratif, jumlah perkara yang masuk kedalam sistem
peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan
sebagaimana diungkapkan diatas menjadi berkurang.
(c) Beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan
pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan
dimana fokus penyelesaian perkara pidana kebanyakan berakhir pada
penjatuhan pidana kurungan atau penjara menjadikan munculnya banyak
50
permasalahan didalam lembaga pemasyarakatan ini. Dapat diharapkan
lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih baik dan berdayaguna
(sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam rancangan KUHP
Indonesia saat ini).
Catatan atas keuntungan ini barangkali hanya merupakan catatan
keuntungan yang perlu dipertimbangkan terhadap keberlakuan pendekatan
restorative justice dalam hukum pidana dan melembagakannya.
1. Lembaga Musyawarah
Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia mengenai
fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang
dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang
diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan
institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat
memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan
yang muncul. Penyelesaian masalah termasuk didalamnya adalah tindak
pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam
keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas. Karenanya tanpa
mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal,
mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam
masyarakat. Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice,
proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian
terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan
51
korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya,
mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan
dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku
diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya
dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan proses dialog ini pula masyarakat
dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan
memantau pelaksanaannya.
Oleh banyak penulis kajian tentang restoratif, lembaga musyawarah ini
dikenal sebagai mediasi yang sangat melembaga dalam sistem peradilan
perdata. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media
komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi.
Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model
penyelenggaraan restorative justice seperti
(a) Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban)
yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan
korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator
dalam pertemuan tersebut.
(b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam
bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya
melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga
korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan
dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan
52
pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena
dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang
terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan
akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam
mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya
(c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya
paling leas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum
yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga
anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.
Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restorative
justice tersebut pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi
dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan
mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari
niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang
kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi
perundang-undangan yang jelas.
2. Peran Lembaga Penegak Hukum
Kendala tersebut dalam kenyataannya telah diupayakan untuk diterobos
oleh para penegak hukum dilapangan. Polisi melalui diskresi yang
dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim melalui
kebebasannya. Beberapa gambaran dari temuan dilapangan misalnya :
53
a) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah
Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2
(dua) orang korban. Seminggu kemudian perkara ini diselesaikan dengan
cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban dengan sejumlah
uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini
semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang
ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik
pelaku maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan
bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih
menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa
keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut
ditempuh.
b) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar
perbulan dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya
oleh Polda Metro Jaya. Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan 3.904 Di tahun 2006,
seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung di
mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus
dengan pidana denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat
memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam
penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi
birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian
langsung melalui polisi menjadi pilihan utama.
54
Meskipun dalam hal ini penulis dapat menyatakan bahwa praktek-
praktek tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai yang terkandung dalam
keadilan restoratif, namun hal tersebut diatas adalah kenyataan yang perlu
dicarikan mekanime hukum sebagai landasannya.
Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari
penyelesaian perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum
formal yang berlaku, restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam
masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari
peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak
dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis
tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif atau
pun negatif). Meskipun dalam beberapa hal tersebut diatas, keberadaan
lembaga ini dalam masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan akhir
yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem
peradilan pidana, seperti
a. memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban,
pelaku maupun masyarakat umurn.
Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang
yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang duka dalam hal
korban meninggal dunia, menjadi realita.
b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative
justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas.
55
Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan
restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta
laku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih
luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan
sebagai bagian dan penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini.
Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya
memantau upaya rehabilitasi korban sebagaimana contoh yang ada
diberbagai negara. Memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku,
yang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak,
pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.
c. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice dapat
dilakukan secara cepat dan tepat.
Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses
penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga
pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian
oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan
dengan singkat.
Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara
pidana tertentu. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal
beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan
biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa mekanisme itu belum
menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas.
56
Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan
menggunakan prinsip yang ada dalam restorative justice sebagai ukuran
dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama yang
menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun
dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pcmahaman suatu pendekatan
restorative justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan
korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses
penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada
tujuan dan restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku,
korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka.
Dalam melihat kemungkinan penerapan keadilan restoratif, penulis
melihat bahwa Basic Principle The Use Of Restorative Justice
mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai sistem
hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan
ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana,
maka sistem peradilan pidana yang ada hams disesuaikan hingga bisa
menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui
pendekatan ini.
57
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh penyusun melalaui penelitian ini
Wilayah Polres Sigi tentang penerapan Restorative Justice terhadap perkara
kecelakaan lalulintas No.Pol:LP/18/II/2015/Lantas, maka diperoleh
kesimpulan mengenai beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
1. Penerapan Restorative Justice terhadap perkara kecelakaan lalulintas No.
Pol : LP/18/II/2015/Lantas, dilakukan karena kebijakan Restorative Justice
melalui kewenangan diskresi kepolisian, penggunaan kebijakan lalulintas
yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan dengan cara diadakan
pertemuan di antara kedua belah pihak (pihak tersangka dan korban) untuk
melakukan musyawarah guna menemukan solusi terbaik yang menjadikan
kedua belah pihak tersebut sama-sama merasakan keadilan, ketika dalam
musyawarah tersebut terjadi kesepakatan, maka kesepakatan tersebut
dibuat dalam bentuk surat kesepakatan damai. Dengan cara seperti itu
dirasakan dapat memenuhi tiga unsur penegakan hukum yaitu, unsur
kepastian hukum, unsur keadilan serta unsur kemanfaatan, dibandingkan
dengan diselesaikan melalui jalur formal.
2. Penerapan Restorative Justice terhadap perkara kecelakaan lalulintas No.
Pol : LP/18/II/2015/Lantas tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan
empat komponen yang harus terpenuhi dalam melaksanakan kewenangan
diskresi dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009
58
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun dalam kasus ini apabila
tidak diselesaikan di luar pengadilan maka dalam kasus ini apabila tidak
diselesaikan di luar pengadilan maka untuk pihak tersangka yang sudah
mengalami luka berat dan juga mengalami kerugian materi yang sangat
banyak tidak ada manfaat yang akan didapat tapi justru kemudharatan.
Sesuai dengan tujuan kebijakan sosial yang menginginkan tercapainya
social defence (perlindungan terhadap masyarakat) dan social welfare
(kesejahteraan masyarakat). Bagaimana bisa masyarakat merasa sejahtera
apabila masyarakat merasa perlindungan yang diberikan oleh negara
belum terpenuhi. Untuk apa menggunakan hukum pidana dalam
menyelesaikan perkara apabila dengan menggunakan kebijakan
Restorative Justice untuk mencapai keadilan restorative saja kedua belah
pihak sudah dapat merasakan keadilan.
B. Saran
1. Hendaknya untuk pelaksanaan penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas
yang menggunakan sarana Restorative Justice dibuatkan sebuah peraturan
baik berupa Peraturan Kapolri maupun Surat Keputusan Kapolri agar
digunakan sebagai landasan penyelesaian kasus kecelakaan tersebut.
2. Hendaknya dalam melaksanakan tugas sebagai aparat penegak hukum
tidak hanya mengacu pada unsur kepastian hukumnya saja, namun juga
kedua unsur tujuan hukum lainnya yaitu unsur keadilan dan manfaatpun
perlu dipertimbangkan.
59
3. Hendaknya kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum dapat
bersikap progresif dalam berfikir dan bersikap.
4. Hendaknya selalu mengutamakan hati nurani dan rasa kemanusiaan
daripada hanya mengikuti asas legal-positivis.
5. Hendaknya dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang melalui
proses perdamaian, pada saat pertemuan antara pihak-pihak yang terkait
dalam rangka membahasa kesepakatan damai sesua dengan pendekatan
Restorative Justice polisi dapat menjadi mediator tentunya polisi harus
berada di kubu yang netral, agar dalam musyawarah tersebut membuat
kedua belah pihak dapat merasakan keadilan.
6. Hendaknya setiap masyarakat memprioritaskan keselamatan dengan cara
tertib berlalu lintas dimanapun dan kapanpun serta dalam kondisi apapun.
60
DAFTAR PUSTAKA
Aertsen, Lvo e.al. Restorative Justive end The Active Victim: Exploring The Concept Of Empowermwnt. Jurnal TEMIDA. March 2011.
Arief, Barda Nawawi. 2001.Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
________, dan Muladi. 1992.Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung. Alumni.
________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), cet. Ke-2 Jakarta: Kencana, 2011.
Arif, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembagan Hukum Pidana, cet. Ke-2. Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1998.
D, Bolover. Brancher, L. Navarro, I. Vega,, M. 2010. Restorative justive in Latin Ame-rica: Reflection from three countries. Paper presented at Expert Seminar ‘Conferencing: A Way Forwerd for Restorative Justice in Europe’. Leuven: European Forum for Restorative Justice.
Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhallindo, 2001.
Feel, M, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
Muhammad, Rusli, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011.
Prayitno, Kuat Puji. Pancasila Sebagai Bintang Pemandu (leitstern) dalam Pembinaan Lembaga dan Pranata Hukum. Yogyakarta: FH Universitas Muhammadiyah. 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak.htm, diakses pada tanggal 12 juni 2013.
http:// Restitusi kepada korban mati atau luka berat sebagai syarat pidana bersyarat pada tindak pidana lalu lintas jalan.html diakses pada tanggal 5 Juni 2013.
http://umbangs.blogspot.com/2012/06/pengertian-lalu-lintas.html, diaksespada tanggal 4 Juli 2013.
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/lalu-lintas-dan-angkutan.html,diakses pada tanggal 4 Juli 2013.
61
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
Kitab Undang-udang Hukum Acara Indonesia
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Surat Kapolri Nopol B/3022//XII/Sdeops tentang Penanganan Perkara Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
62