skripsi hukum

97
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah Makhluk yang dinamis dan tidak bisa berdiam diri dalam waktu lama, mereka selalu bergerak berpindah dan melakukan aktivitas di masa modern aktivitas manusia sangat terbantu dengan adanya teknologi yang menandakan pergerakan tiap individu. Teknologi tersebut berupa kendaraan bermotor yang di temukan sebagai alat transportasi maka manusia, tidak perlu repot kepanasan atau kehujanan ketika bepergian waktu tempuh menjadi singkat dan lebih menyenangkan. Perkembangan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan perkembangan model transportasi di Indonesia baik di udara, darat maupun laut menjadi sangat beragam, khususnya transportasi darat telah mempermudah mobilitas masyarakat dari suatu daerah ke daerah yang lain, namun dari suatu sisi seperti 1

Upload: doni

Post on 06-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah Makhluk yang dinamis dan tidak bisa berdiam diri

dalam waktu lama, mereka selalu bergerak berpindah dan melakukan aktivitas

di masa modern aktivitas manusia sangat terbantu dengan adanya teknologi

yang menandakan pergerakan tiap individu.

Teknologi tersebut berupa kendaraan bermotor yang di temukan sebagai alat

transportasi maka manusia, tidak perlu repot kepanasan atau kehujanan ketika

bepergian waktu tempuh menjadi singkat dan lebih menyenangkan.

Perkembangan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan

perkembangan model transportasi di Indonesia baik di udara, darat maupun

laut menjadi sangat beragam, khususnya transportasi darat telah

mempermudah mobilitas masyarakat dari suatu daerah ke daerah yang lain,

namun dari suatu sisi seperti yang terlihat hampir semua kota besar telah

berdampak pada munculnya berbagai permasalahan lalulintas seperti

pelanggaran, kemacetan dan kecelakaan lalulintas yang dari waktu ke waktu

semakin kompleks.

Meskipun membawa sejumlah keuntungan, kehadiran kendaraan

bermotor juga membawa konsekuensi lain, di antaranya penyedia jalan,

pengaturan pergerakan kendaraan dan masalah kecelakaan lalulintas di Negara

berkembang seperti di Indonesia, Kesadaran tertib di jalan raya masih rendah

1

Page 2: Skripsi Hukum

sehingga di temukan pelanggaran yang di lakukan pengguna jalan terutama

pengendara motor dan mobil.

Masalah sikap berlalulintas sudah merupakan suatu fenomena yang

umum terjadi di kota – kota besar, di Negara-negara yang sedang berkembang,

persoalan ini sering di kaitkan dengan bertambahnya jumlah penduduk kota

yang mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas dan kepadatan di jalan

raya, lalulintas kendaraan yang beraneka ragam dan bertambahnya jumlah

kendaraan yang lebih cepat di bandingkan dengan pertambahan prasarana

jalan yang mengakibatkan berbagai masalah lalulintas seperti kemacetan dan

kecelakaan lalulintas.

Permasalahan lalu lintas yang selalu terjadi sorotan utama adalah

peristiwa kecelakaan lalulintas, adapun pengertian kecelakaan lalulintas yang

terdapat pada pasal 1 ayat 24 undang – undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu

lintas dan angkutan jalan yang selanjutnya di singkat UULLAJ yang

menjelaskan bahwa kecelakaan lalulintas adalah suatu peristiwa di jalan yang

tidak di duga dan tidak di sengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa

pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan / atau kerugian

harta benda.1

Kecelakaan lalulintas masih menjadi masalah kematian di Negara

berkembang dan Negara maju, angka kematian menurut WHO telah mencapai

1.170.694 orang di seluruh dunia, jumlah ini setara dengan 2,2% dari seluruh

1 Pasal 1 Ayat 24 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2

Page 3: Skripsi Hukum

jumlah kematian di dunia dan menempati urutan kesembilan dari sepuluh

penyebab kematian. 2

Pada umumnya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab

kecelakaan lalu lintas diantaranya adalah kelalaian dari manusia itu sendiri,

kondisi jalan yang rusak, kelayakan kendaraan yaitu yang tidak sesuai dengan

Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga menyebabkan ketidak stabilan

ketika kendaraan tersebut untuk di gunakan dan bisa juga karena belum

optimalnya penegakan hukum lalulintas.

Biasanya orang-orang akan dapat leluasa menerobos lampu pengatur

lalulintas karena tidak adanya polisi yang berjaga di pos-pos padahal hal

tersebut akan membahayakan dirinya sendiri dan bisa jadi membahayakan

orang lain. Faktor inilah yang acapkali menjadi penyebab terjadinya

kecelakaan lalulintas, walaupun pada dasarnya kecelakaan lalu lintas

merupakan peristiwa yang tidak di inginkan atau tidak di sengaja baik dari

pihak korban maupun dari pihak tersangka, namun kecelakaan lalu lintas

tersebut tetap harus di selesaikan.

Penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas pada umumnya di selesaikan

sesuai dengan prosedur acara peradilan pidana. Hal tersebut sesuai dengan

proses acara peradilan pidana dalam pasal 230 UULLAJ no. 22 tahun 2009

yang menyebutkan bahwa perkara kecelakaan lalulintas sebagaimana

dimaksid dalam pasal 229 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Di proses dengan

acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

2 http//:wikipedia.org/wiki/kecelakaan lalu-lintas

3

Page 4: Skripsi Hukum

Setelah melakukan pra penelitian di Kepolisian Resort Sigi,

menentukan suatu permasalahan yang menarik untuk di teliti yaitu terkait

penyelesian kasus kecelakaan lalu lintas dalam hal ini penyusun hanya

mengangkat salah satu kasus kecelakaan lalu lintas yaitu dengan berkas

perkara No. Pol : LP/18/II/2015/lantas/Res Sigi. Pada hari sabtu tanggal 14

Februari 2015, sekitar jam 21.30 wita dijalan poros Palu-Bangga di Desa

Kaleke Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi.

Kasus tersebut di atas diselesaikan melalui proses perdamaian atas

dasar kesepakatan kedua belah pihak, sementara dalam hukum positif

Indonesia perkara pidana tidak dapat di selesaikan di luar pengadilan

walaupun dalam hal-hal tertentu di mungkinkan adanya penyelesaian perkara

di luar pengadilan, tetapi pada kenyataan ketika terdapat kasus kecelakaan

lalulintas tidak selamanya kasus tersebut berakhir di pengadilan seperti kasus

tersebut di atas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis merumuskan

identifikasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dalam

Perspektif Restorative Justice terhadap tindak pidana kecelakaan lalu

lintas sebagaimana laporan Polisi Nomor : LP/18/II/2015/lantas/res Sigi ?

4

Page 5: Skripsi Hukum

2. Apakah penyelesaian perkara kecelakaan lalulintas dalam Perspektif

Restorative Justice sesuai dengan UULLAJ No. 22 tahun 2009 tentang

kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan sesuai atau tidak ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas dalam

Perspektif Restorative Justice di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Sigi.

2. Untuk mengetahui landasan Perspektif Restorative Justice tentang

penyelasaian perkara dalam UU No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas jalan

dan angkutan jalan.

D. Kegunaan Penelitian

1. Hasil tulisan ini di harapkan dapat menambah wawasan untuk kemajuan

ilmu hukum khususnya hukum pidana dalam menyelesaikan kasus

kecelakaan lalulintas yang tidak selamanya melalui prosedur formal

melainkan dapat diselesaikan dengan cara perdamaian, apabila para pihak

sepakat untuk berdamai.

2. Hasil tulisan ini di harapkan dapat menambah wawasan bagi penyusun dan

pembaca pada umumnya sarta dapat di berikan gambaran bagi penegak

hukum khususnya aparat kepolisian yang menangani kasus kecelakaan

lalulintas.

5

Page 6: Skripsi Hukum

E. Kerangka Teori

Di dalam praktek penegakan hukum pidana seringkali kita mendengar

istilah Restorative Justice yang terjemahanya dalam bahasa Indonesia di sebut

dengan istilah Restorasi Keadilan. Restorative Justice mengandung pengertian

yaitu “ suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin di

lakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak

pidana tersebut (keluarganya) , upaya perdamaian di luar peradilan dengan

maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya

perbuatan pidana tersebut dapat di selesaikan dengan baik dengan tercapainya

persetujuan dan kesepekatan di antara para pihak.

Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar yang meliputi :

1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana

(keluarga) terhadap korban tindak pidana (keluarga)

2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (Keluarga) untuk

bertangung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian

akibat tindak pidana yang di lakukannya.

3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi di antara pelaku

dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan

kesepakatan di antara para pihak.

Sehingga dapat di artikan bahwa Restorative Justice adalah suatu

rangkaian proses penyelesaian masalah pidana di luar pengadilan yang

bertujuan untuk me-restro (memulihkan kembali) hubungan para pihak dan

kerugian yang di derita oleh korban kejahatan dan di harapkan dapat di

6

Page 7: Skripsi Hukum

jadikan dasar pertimbangan bagi majelis hakim pengadilan pidana dalam

memperingan sanksi apabila menjatuhkan pidana terhadap pelaku pidana

tersebut. Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertugas untuk

memulihkan kembali keadaan seperti semula sebelum terjadi kesalahan karena

efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan (hukum penjara) pelaku tindak

pidana sekarang ini sudah tidak lagi mencapai sasaran sebagaimana yang di

harapkan, perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan sistem pemidanaan di

Indonesia tidak saja melalui hukum penjara tapi juga melalui penerapan

Restorative Justice.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting karena metode

yang baik dan sesuai dapat memungkinkan terciptanya tujuan yang tepat dan

benar. Berikut ini metode yang digunakan dalam penulisan ini :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan kombinasi yaitu penelitian lapangan dan

penelitian kepustakaan.

a. Penelitian Lapangan yaitu suatu penelitian yang dilaksanakan secara

intensif, terperinci dan menelaah terhadap objek tertentu yang

didukung dengan bahan-bahan dari buku mapun tulisan, merupakan

penelitian yang dilakukan dengan turun langsung ke lapangan untuk

memperoleh data primer yang berhubungan dengan masalah yang akan

diteliti yaitu dengan melakukan wawancara observasi agar

mendapatkan data yang cukup akurat.

7

Page 8: Skripsi Hukum

b. Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang menggunakan bahan

sekunder sebagai bahan dasar acuannya dengan cara membaca dan

mempelajari bahan-bahan yang berhubungan dengan permasalahan

yang akan diteliti dengan cara mempelajari buku, perundang-undangan

dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pembahasan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan sifat penelitian

deskriptif analitik, yakni menelaah dan menganalisis KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana), undang-undang Nomor 22 tahun 2009

Tentang lalulintas dan angkutan jalan, serta undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indonesia dan data yang

telah dikumpulkan akan dilakukan analisa, hasil analisa tersebut akan

dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah dan pengambilan

kesimpulan.

3. Pendekatan Penelitian

Untuk mendapatkan bahwa hukum yang diperoleh dan diperlukan

dalam penulisan maka metode yang digunakan adalah mendekatkan

masalah yang dengan ketentuan peraturan-peraturan atau undang-undang

serta metode pendekatan yuridis empiris.

4. Sumber Data

Pengumpulan data yang digunakan menelaah terhadap bahan-bahan

pustaka dan lapangan yang dalam penelitian hukum mencakup data primer

dan data sekunder yaitu :

8

Page 9: Skripsi Hukum

a. Data primer diperoleh dari narasumber yaitu korban kecelakaan dan

petugas unit lakalantas kepolisian Resort Sigi

b. Data Sekunder

Diperoleh dari kajian terhadap berbagai literatur yang membahas

mengenai pokok-pokok materi penulisan.

5. Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-

unit dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri

maupun orang lain, dilakukan untuk menganalisis pokok masalah yaitu

berkaitan dengan penerapan Restorative Justice dalam kecelakaan

lalulintas. Bahan Hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara

kualitatif yang selanjutnya hasil analisis tersebut diharapkan dari hasil

penulisan tersebut dapat memberikan suatu gambaran bagi berbagai

kalangan masyarakat.

9

Page 10: Skripsi Hukum

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE

A. Pengertian, prinsip dan keberlakuannya dalam sistem hukum pidana

Indonesia

Restorative Justice merupakan filsafat, Proses, Ide, Teori dan

Intervensi yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang di sebabkan

atau di ungkapkan oleh pelaku kriminal proses ini sangat kontras dengan cara

standar menangani kejahatan yang di pangang sebagai pelanggaran yang di

lakukan terhadap Negara Restorative Justice menemukan pijakan dalam

filosofi dasar dari sila keempat pancasila yaitu musyawarah Prioritas dalam

pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian dengan mediasi korban

pelanggar adalah untuk “memanusiakan” sistem peradilan, keadilan yang

mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban pelaku dan

masyarakat.

Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas

kerugian yang di sebabkan atau terkait dengan tindakan di mana Restorative

Justice di lakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak

(stake holders) Restorative Justice merupakan alternatif atau cara lain

peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu

sisi dan korban / masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari

solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Restorative

Justice mengandung pengertian yaitu “ suatu pemulihan hubungan dan

penebusan kesalahan yang ingin di lakukan oleh pelaku tindak pidana

10

Page 11: Skripsi Hukum

(keluarga) terhadap korban tindak pidana tersebut (Keluarga) upaya

perdamaian di luar peradilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan

yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat di selesaikan

dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para

pihak.

Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah

(perdamaian dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan

menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan

yang di harapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut

yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana

(Keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang di setujui dan di sepakati

para pihak.

Restorative Justice di katakan sebagai falsafah (pedamaian dasar)

dalam mencapai keadilan yang di lakukan oleh para pihak peradilan karena

merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya)

dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban / kerugian dari perbuatan

pidana tersebut, dengan demikian dapat di katakan bahwa Restorative Justice

mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi :

1. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana

(keluarga) terhadap korban tindak pidana (keluarga)

2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (Keluarga) untuk

bertangung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian

akibat tindak pidana yang di lakukannya.

11

Page 12: Skripsi Hukum

3. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi di antara pelaku

dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan

kesepakatan di antara para pihak.

Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan yang di lakukan oleh

pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya)

nantinya di harapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan

pelaku tindak pidana di pengadilan dalam menjatuhkan sanksi pidananya oleh

hakim / majelis hakim.

Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk

memulihkan kembali keadaan sebelum terjadi kejahatan ketika ada orang yang

melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan menjadi berubah maka di

situlah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban kejahatan di

dalam proses peradilan pidana konvensional di kenal adanya restitusi atau

ganti rugi terhadap korban sedangkan restorasi memiliki makna lebih luas.

Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.

Pemulihan hubungan ini bisa di dasarkan atas kesepakatan bersama antara

korban dan pelaku, pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian

yang di deritanya dan pelakupun diberi kesempatan untuk menebusnya,

melalui mekanisme, ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-

kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting ? Karena proses

pemidanaan konvensional tidak memberikan tuang kepada pihak yang terlibat

dalam pelanggaran hukum pidana tersebut untuk berpartisipasi aktif

12

Page 13: Skripsi Hukum

melakukan mediasi/musyawarah dalam menyelesaikan masalah mereka di luar

pengadilan.

Setiap indikasi tindak pidana tanpa memperhitungkan eskalasi

perbuatanya akan terus di gulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya

menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisispasi aktif dari masyarakat

seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya akan bermuara pada putusan

pemidanaan atau punishment (penjatuhan sanksi pidana) tanpa melihat adanya

Restorative Justice yang telah di lakukan dan di sepakati oleh para pihak.

Sudah saatnya filsafah Restorative Justice menjadi pertimbangan

dalam sistem pelaksanaan hukum pidana dan di masukkan kedalam peraturan

perundang-undangan hukum pidana (KUHP) baru, khususnya untuk delik

pidana aduan (Klacht delict) agar penitik beratan pada kondisi terciptanya

keadilan dan keseimbangan perlakuan hukum terhadap pelaku tindak pidana

dan korban tindak pidana dapat tercapai dengan baik, tanpa harus selalau

menggunakan sanksi pidana (hukuman penjara) dalam penyelesaian akhirnya.

Karena efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan (hukuman penjara) pelaku

tindak pidana sekarang ini sudah tidak lagi mencapai sasarannya sebagaimana

yang di harapkan. Perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan sistem

pemidanaan di Indonesia, tidak saja melalui hukuman penjara semata, tapi

juga melalui penerapan Restorative Justice.

Ironisnya, hampir seluruh tindak kajahatan yang di tangani oleh sistem

peradilan pidana Indonesia selalu berakhir di penjara, padahal penjara bukan

solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan khususnya

13

Page 14: Skripsi Hukum

tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang di timbulkan kepada korban dan

masyarakat masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “Rusak” dapat

di kembalikan ke keadaan semula, sekaligus menghilangkan dampak buruk

penjara dalam menyikapi tindak kejahatan yang di anggap dapat di restorasi

kembali, di kenal suatu paradigma penghukuman yang di sebut sebagai

Restorative Justice, dimana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian

yang telah di timbulkan kepada korban, keluarga juga masyarakat.

Keadilan yang di landasi perdamaian (peace) antara pelaku, korban

dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik Restorative Justice, oleh

karena itu keadilannya di katakan sebagai “Just Peace Principle”. Prinsip ini

mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat

dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah bentuk baru penganiayaan /

tekanan dikatakan sebagai Just Peace Principle karena pendekatan terhadap

kejahatan dalam Restorative Justice bertujuan untuk memulihkan kerusakan

alibat kejahatan upaya ini di lakukan dengan mempertemukan korban, pelaku

dan masyarakat.

Memahami Restorative Justice pastinya akan menemukan semangat

lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam hubungan sosial dari

pada mengedepankan penerapan aturan / hukum yang di hadapkan pelaku

dengan aparat pemerintah, adapun semangat yang terkandung di dalamnya

meliputi ; Reconciliation (perdamaian); dan The Rebuilding of relationship

(membangun kembali hubungan)

14

Page 15: Skripsi Hukum

B. Perspektif Restorative Justice Dalam Peradilan Indonesia

Cara yang di tempuh dalam peradilan Restorative Justice jelas kontras

dengan penanganan tindak pidana yang selama ini di lakukan, Restorative

Justice lebih memposisikan para pihak secara bersama-sama dari pada

menempatkan mereka terpisah, lebih menjalin kembali hubungan / harmoni

dari pada memecah belah, lebih berupa menciptakan keutuhan daripada

terpecah belah. Pendekatan pemecahan masalahnya bertujuan untuk

menyatukan dan menggabungkan pandangan dari semua individu atau

kelompok yang memiliki kepentingan dalam tindak pidana itu, apakah ini

merupakan masalah kesejahteraan atau masalah kriminal, kebajikan dan

prinsip panduan yang mengikuti dalam Restorative Justice harus di lihat

secara linear atau hirarkis (yang merupakan cara dari sistem modern)

melainkan sebagai kesatuan dari bagian yang saling berhubungan.

Eksistensi proses Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian

perkara pidana sangat di tentukan oleh kesadaran dan pengetahuan masyarakat

itu sendiri termasuk aparat penegak hukumnya. Pemahaman peradilan yang

hanya mengedepankan penerapan aturan membuktilan kesalahan pelaku dan

lalu menghukumnya tidak akan bisa menerima konsep ini. Baginya peradilan

adalah hak negara untuk menegakkan sanksi kepada warganya yang telah

melanggar aturan penjaraan atau rehabilitasi menjadi faktor yang sangat

populis di dalamnya. Perhatian peradilan di dominasi oleh kepentingan

pelaku, Masyarakat dan Negara.

15

Page 16: Skripsi Hukum

Restorative Justice lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak

dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan perilaku dengan aparat

pemerintah, filsafah Just Peace Principlle di integrasikan dengan in the

process of meeting, discussing and actively participating in the resolution of

the criminal matter. Integrasi pelaku di satu sisi dan korban masyarakat di lain

sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi secara kembali pada pola

hubungan baik dalam masyarakat.

Dunia internasional telah memberi guide – lines on Criminal justice

tentang strategi pendekatan inovasi, komprehensif dan integral dengan

meningkatkan program peradilan restoratif. Evaluasi untuk mendesain

kembali pelaksanaan peradilan yang lebih efektif perlu di lakukan di indonesia

dan kongres PBB cukup menjadi salah satu aspirasi untuk membangun atau

mengupdate / reform kebijakan peradilan kerah model Restorative Justice.

dalam kebijakan nasional ada pancasila yang merupakan core philosopy

bangsa sebagai corephilosopy pancasila dengan begitu merupakan sumber

nilai bagi adanya sistem peradilan hukum di Indonesia. dalam sila ke-4

pancasila “ kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijakansanaan dalam

permusyawaratan / perwakilan” terkandung fisafah permusyawaratan atau

musyawarah, makna yang terkandung adalah : mengutamakan musyawarah

dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama dan menghormati

setiap keputusan musyawarah, keputusan yang di ambil harus dapat di

pertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,

16

Page 17: Skripsi Hukum

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan

keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

Sila ke-4 pancasila ini mengajarkan kepada kita untuk menentukan

sebuah pilihan melalui cara musyawarah dalam mengambil keputusan untuk

kepentingan bersama, musyawarah mengandung 5 prinsip sebagai berikut :

- conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan

keinginan)

- search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang

di hadapi)

- reconciliation (berdamai dengan tanggung jawab masing masing)

- repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul)

- circles (saling menunjang)

Prinsip-prinsip ini persis seperti yang di butuhkan dan menjadi kata

kunci dalam Restorative Justice, sehingga secara ketatanegaraan Restorative

Justice menemukan dasar pijakannya dalam filsafah sila ke-4 pancasil. Dasar

pijakan itu kalau di implementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana

mengandung prinsip yang di sebut dengan istilah VOC (Victim of fender

conferencing). Target dalam pertemuan VOC adalah mediasi atau VOM

(victim-Offender mediatian) yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling

menyepakati perbaikan, tujuannya adalah untuk menangani kesejahteraan

sebagai konflik yang harus diselesaikan antara orang terkena dampak langsung

bukan sebagai konflik antara negara dan terdakwa. Tujuan penyelesaian

perkara dengan VOM adalah To “Humanize” the justice system. Pendekatan

17

Page 18: Skripsi Hukum

di katakan lebih humanis karena berusaha mengelimir beberapa masalah.

pertama, tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses

peradilan ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang di

alaminya seolah tidak di perhatikan. Disisi lain masuknya para pihak dalam

menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas model

restoratif; kedua, secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas

pemulihan kerugian meteril dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan

untuk dialog, negosiasi, dan resolusi masalah; ketiga, memberi rasa hormat

terhadap martabat manusia, karena peradilan restorative tidak terpisah dari

model perlindungan hak asasi manusia bahkan mereka menerima kebaikan

bersama.

Perbedaan mendasar Restorative Justice dengan peradilan menurut

hukum KUHAP antara lain :

Peradilan KUHAP Peradilan Restorative

1. Mendasarkan pada kesejahteraan yang di lakukan

1. Menunjuk pada kekeliruan (eror) yang di sebabkan karena pelanggaran

2. Menempatkan korban dalam kedudukan yang sentral

2. Menempatkan korban pada posisi yang sekunder

3. Tujuannya berpusat pada gagasan bagaimana menghukum yang bersalah dengan adil

3. Dasar tujuannya memberi kepuasan yang di alami para pihak yang terlibat dalam pelanggaran

4. Retributive Justice 4. Restorative Justice5. Result in prison for the accused 5. Dialogue, negotiation and

recolutions6. Ditentukan oleh profesional hukum 6. Di tentukan oleh para pihak dalam

conferencing

18

Page 19: Skripsi Hukum

BAB III

PEMBAHASAN DAN HASIL

A. Penerapan Restarative Justice dalam upaya penyelesaian perkara

kecelakaan lalu lintas.

Dibanyak negara di dunia, ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap

hukum pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan

upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut. Permasalahan

seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang

menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat memberikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia serta transparansi terhadap

kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.

Dalam setiap lima tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang

dikenal dengan nama "Congress on Crime Prevention and The Treatment of

Offenders". Kongres ini bertujuan untuk membicarakan dan mendiskusikan

tentang perkembangan kejahatan, penanggulangannya dan penanganan pelaku

kejahatan serta berbagai topik terkait.

Dalam kongres tersebut dibuka kesempatan bagi sejumlah negara

untuk berbagai pengalaman atas sejumlah program yang dikembangkan

termasuk juga berbagai permasalahan yang muncul dalam

penyelenggaraannya. Dalam kesempatan ini, sejumlah negara juga

mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengadakan kerjasama dalam

19

Page 20: Skripsi Hukum

rangka upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan terutama dalam

kejahatan yang dilakukan secara lintas negara.

Pada kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa

lembaga swadaya masyarakat dan beberapa negara mensponsori sejumlah sesi

pertemuan untuk secara khusus berdiskusi tentang restorative justice. Sejak itu

berbagai minat dan program serta kebijakan dengan menggunakan pendekatan

ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi topik yang mengemuka. Pada

Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sesi pertemuan di kongres yang

dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam dan mendalam hal-hal

yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan restorative justice

dalam penanganan perkara pidana. Hingga pada kongres selanjutnya yang

digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The

Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi

sejumlah prinsip-prinsip mendasar dan penggunaan pendekatan restorative

justice.

"Restorative Justice" merupakan suatu model pendekatan yang muncul

dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda

dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,

pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,

korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.Terlepas

dan kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis,

akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak

mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.

20

Page 21: Skripsi Hukum

Pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran paling

mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem

peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada mat ini. PBB

melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan

restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem

peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P.

Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a

rational total of the responses to crime). Pendekatan restorative justice

merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dan strategi 4

penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpnasan atas

bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.

Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Dipihak lain, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang

Baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak

dan pekerja hukum. 3

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna

tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada

umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan

3 http;//en.wikipedia.org/wiki/Restorative_Justice.

21

Page 22: Skripsi Hukum

kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban

utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana

dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan

menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat

terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses

pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana

keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha

perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan

tersebut.

a. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Sebelum mengetahui dan mengidentifikasi sebuah kecelakaan merupakan

sebuah tindak pidana, maka perlu diketahui mengenai tindak pidana dan jenis

pidana secara umum kemudian baru dapat dijelaskan mengenai tindak pidana

kecelakaan lalu lintas tersebut. Tindak pidana atau strafbaarfeit baik dalam

perundangundangan undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum

sebagai terjemahan dari istilah strajbaarfeit antara lain adalah tindak pidana,

pristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Istilah

tindak pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.

Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda

tentang istilah strafbaarfeit atau tindak pidana, Simons berpendapat bahwa tindak

22

Page 23: Skripsi Hukum

pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum. Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah

perbuatan pidana, kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti

yang abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada dua kejadian yang

konkret, yaitu:

1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang

dilarang

2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Menurut Marshall, perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang

oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan

prosedur hukum yang berlaku. Lalu Vos menjelaskan, bahwa peristiwa pidana

(strajbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gerdragring) yang oleh

peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Sedangkan Menurut Hukum

Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan hukuman.

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh

23

Page 24: Skripsi Hukum

seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-

undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan

itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar

ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum

yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.

Dari seluruh pendapat para sarjana hukum diatas, dapat dimengerti

mengenai pengertian tindak pidana serta peristiwa pidana, dapat diketahui pula

unsur-unsur dan syarat-syarat terjadinya suatu tindak pidana.

Perbuatan pidana dapat dibedakan menjadi beberapa macam atau jenis

antara lain:

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah

dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang

dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu perbuatan yang dialarang, yaitu akibat

yang timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena

kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan

24

Page 25: Skripsi Hukum

pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan, belum

merupakan delik.

f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan

kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang dikategorikan dua

jenis peristiwa pidana. Dua jenis peristiwa pidana itu antara lain yaitu Misdrif

(Kejahatan) dan Overtreding (Pelanggaran). Suatu tindak atau peristiwa pidana

dibedakan pula dari sudut pandang teori dan prakteknya, yaitu :

a. Delik Commissionis dan Delik Commissionis.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu

(berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuat

(berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat

atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

b. Delik Dolus dan Delik Culpa

Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya

Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah

dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya

menurut Pasal 359 KUHP dilakukan dengan tidak berbuat.

c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan)

d. Delik menerus dan tidak menerus.

25

Page 26: Skripsi Hukum

Berdasarkan uraian di atas telah diketahui mengenai pengertian dan

definisi tindak pidana secara umum. Setelah mengetahui uraian tersebut barulah

dapat diuraikan mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Menurut

Pasal I angka 23 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan dijelaskan mengenai pengertian kecelakaan lalu lintas, yaitu

kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak diduga dan tidak disengaja

melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang

mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu

lintas dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kelalaian pengguna jalan,

ketidak layakan kendaraan, ketidaklayakan jalan atau infrastruktur, dan

iklim/lingkungan.

Kecelakaan lalu lintas merupakan tindak pidana dikarenakan dalam

Aturan Penutup Pasal 103 KUHP dijelaskan ketentuan-ketentuan dalam Bab I

sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh

ketentuan ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,

kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain

Dalam salah satu asas hukum yang dikenal adalah lex specialis

derogat legi generalis, menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus

mengesampingkan hukum yang bersifat umum, inilah yang menjadi dasar

kecelakaan lalu lintas dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan atau tindak

pidana khusus karena diatur di dalam suatu bentuk hukum perundang-undangan

diluar Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ketentuan

pasal 103 KUHP pula kecelakaan dapat dinyatakan dalam bentuk tindak pidana

26

Page 27: Skripsi Hukum

karena diatur ketentuan pidananya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Di dalam ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa :

1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan

kendaraan bermotor di jalan wajib :

a. Mampu mengernudikan kendaraan dengan wajar;

b. Mengutamakan keselamatan para pejalan kaki;

c. Menunjukan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor,

atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin

mengemudi, dan tanda bukti lulus uji, atau tanda bukti lain yang

sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud

pasal 16;

d. Memetuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu clan

marka jalan, alat pemeberi isyarat lalu lintas, waktu kerja clan

waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan

parkir, persyaratan teknis clan layak jalan kendaraan bermotor,

penggunaan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi clan

sinar, kecepatan maksimum dan/atau minimum, tata cara

mengangkut orang clan barang, tata cara penggandengan dan

penempelan dengan kendaraan lain;

e. Memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan

bermotor roda empat atau lebih, clan menggunakan helm bagi

27

Page 28: Skripsi Hukum

pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi

kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi

dengan rumah-rumah.

2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk

disamping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi

penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor

roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi rumah-rumah wajib

memakai helm.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas

clan Angkutan Jalan mengatur bahwa :

1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu

lintas, wajib :

a. Menghentikan kendaraannya;

b. Menolong orang yang menjadi korban kecelakaan;

c. Melaporan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara

Republik Indonesia terdekat.

2) Apabila apengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf a clan b, kepadanya diwajibkan segera melaporkan diri

kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.

Penggolongan dan penanganan perkara kecelakaan lalu lintas menurut

28

Page 29: Skripsi Hukum

pasal 229 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, yaitu :

1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan

kendaraan dan/atau barang.

3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada (1)

huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan

kerusakan kendaraan dan/atau barang.

4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban

meninggal dunia atau luka berat.

5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklayakan Kendaraan,

serta ketidaklayakan Jalan dan/atau lingkungan.

Dari jenis kecelakaan lalu lintas terdapat beberapa situasi yang dapat

menjadi pembeda antara jenis jenis kecelakaan lalu lintas yaitu Kecelakaan Lalu

Lintas ringan yaitu sebagai contoh terjadi kecelakaan lalu lintas namun disini

hanya menimbulkan kerusakan kendaraan dan lain halnya, tapi pada intinya

tidak menimbulkan luka-luka baik si pengendara maupun orang lain yang terlibat

dalam kecelakaan lalu lintas tersebut. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, di mana

29

Page 30: Skripsi Hukum

terjadi kecelakaan lalu lintas menimbulkan suatu kerusakan kendaraan atau barang

lain dan juga menimbulkan korban luka-luka ringan, seperti luka lecet dan luka-

luka lainnya tetapi tidak sampai luka-luka tersebut mengakibatkan seseorang tidak

dapat beraktivitas normal. Dan Kecelakaan Lalu Lintas berat, di mana terjadi

kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya menimbulkkan kerusakan barang ataupun

barang, tetapi menimbulkan korban luka berat, sehingga korban tidak dapat

beraktivitas normal dalam beberapa waktu maupun secara permanen, atau timbul

korban meninggal dunia.

Pada ketentuan Pasal 230 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan

pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan

kepastian hukum tersebut maka para penegak hukum wajib untuk memproses

seluruh perkara tindak pidana lalu-lintas.

Pada ketentuan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dijelaskan bahwa:

1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan

kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu

juta rupiah).

30

Page 31: Skripsi Hukum

2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban

luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban

luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah).

4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Kecelakaan lalu lintas dalam ketentuan pidananya yang terdapat dalam

UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, Berdasarkan Ketentuan Pasal 310, Pengemudi kendaraan bermotor yang

karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalulintas ringan diancam

pidana penjara maksimal 6 bulan, jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas

sedang diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, dan jika mengakibatkan

kecelakaan lalu lintas berat maka ancaman hukuman pidana penjara mencapai

31

Page 32: Skripsi Hukum

maksimal 5 tahun penjara clan jika korbannya mengalami kematian maka

diancam dengan hukuman pidana penjara 6 tahun.

Terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan atas dua faktor yaitu

kesengajaan dan kelalaian. Jika terjadinya kecelakaan lalu lintas disebabkan

oleh faktor kesengajaan maka ancaman pidana yang dapat diberikan menjadi

dua kali lipat dari ketentuan yang telah ada mengenai masing-masing jenis

kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian. Dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jika seseorang yang

mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan Lalu Lintas,

namun dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan

pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada

kepolisian, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.

b. Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Penyelesaian tindak penyelesaian kecelakaan lalu lintas adalah suatu

proses yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan

melalui proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Setiap perkara pada

setiap kecelakaan lalu lintas haruslah diselesaikan dengan proses acara

peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dan setiap pengemudi

yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas wajib

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban dan hal ini sesuai dengan

32

Page 33: Skripsi Hukum

ketentuan Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa:

1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan

Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak

ketiga karena kelalaian Pengemudi.

2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan

jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan

Pengemudi.

Namun dalam Poin (3) Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memiliki ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Walaupun pihak pelaku sudah melakukan tindakan pertanggung jawaban

dan melakukan ganti rugi, tidak lantas menggugurkan perkara pidana yang

dijatuhkan kepadanya. Ini berdasarkan ketenteuan Pasal 235 Pasal 234

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan menjelaskan bahwa:

33

Page 34: Skripsi Hukum

1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,

Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib

memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya

pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan

tuntutan perkara pidana.

2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat

Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229

ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau

Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada

korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan

tuntutan perkara pidana.

Sedangkan mengenai besaran ganti kerugian dijelaskan pada Pasal 236

UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan menjelaskan bahwa:

1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian

yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.

2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi

kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Namun, berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS

34

Page 35: Skripsi Hukum

tanggal 14 Desember 2009, Pihak Kepolisian memiliki kewenangan untuk

mengambil pola penyelesaian permasalahan hukum dengan melalui Alternative

Dispute Resolution (ADR). Perlu diketahui Allernative Dispute Resolution (ADR)

merupakan pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses

hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan

melalui mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan

restoratif.4 Berikut isi dari Surat Kapolri tersebut:

Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14

Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative

Dispute Resolution (ADR)

Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, dengan hormat dijelaskan

kembali bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan

Polmas adalah penerapan konsep Alternative Dispute Resolution

(ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif

selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya

perdamaian. Akhir-akhir ini banyak proses penegakkan hukum terhadap

kasus tindak pidana dengan kerugian sangat kecil menjadi sorotan

media massa dan masyarakat, terkesan aparat CJS terlalu kaku dalam

penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar di ambil

langkah-langkah sbb :

1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian

materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR

4 Surat Kapolri Nopol B/3022//XII/Sdeops tentang Penanganan Perkara Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).

35

Page 36: Skripsi Hukum

2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus

disepakati oleh pihak-pihak yg berperkara namun apabila tidak

terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum

yg berlaku secara profesional dan proporsional.

3. Penyelesaian kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip

pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat

sekitar dengan menyertakan RT RW setempat

4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus

menghormati norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas

keadilan

5. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada

di wilayah masing2 utk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana

yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk

diselesaikan melalui konsep ADR.

6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar

tidak lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif

dengan tujuan Polmas.

Demikian untuk menjadi maklum.

Hal ini diperjelas lagi dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi

Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri

yaitu pada pasal 14 penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) pola

penyelesaian masalah sosia melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya

36

Page 37: Skripsi Hukum

menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi, misalnya

melalui upaya perdamaian sehingga konsep pendekatan keadilan restoratif itu

terdapat pengaturannya walaupun berada di luar dari Undang-Undang No. 22

Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan pihak kepolisian wajib

untuk melaksanakannya.

Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember

2009 yang memuat penyelesaian perkara dengan konsep Alternative Dispute

Resolution (ADR) telah dilaksanakan oleh Kepolisian Unit Kecelakaan Lalu Lintas

Satuan Lalu Lintas Polres Sigi dalam menyelesaikan berbagai perkara kecelakaan

lalu lintas yang terjadi di Polres Sigi berdasarkan data Tabel I Jumlah Laka Lantas

dan Korban Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka

Satlantas Polres Sigi dan Tabel 2 Jumlah Laka Lantas dan Penyelesaian Perkara

Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka Satlantas Polres

Sigi dan Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Unit Kecelakaan Lalu Lintas

Satuan Lalu Lintas Polres Sigi yaitu :

37

Page 38: Skripsi Hukum

DATA LAKA LANTAS POLRES SIGI

BULAN JANUARI 2014 S/D DESEMBER 2014

NO BULANJUMLAH

KEJADIAN

KONDISI

KORBANKERUGIAN

MATERILMD LB LR

1 JANUARI 8 2 5 8 Rp. 16.100.000

2 FEBRUARI 11 1 8 12 Rp. 36.000.000

3 MARET 2 2 - 2 Rp. 4.500.000

4 APRIL 5 2 1 7 Rp. 45.000.000

5 MEI 9 3 1 9 Rp. 10.500.000

6 JUNI 12 4 2 14 Rp. 14.000.000

7 JULI 11 1 6 15 Rp. 31.300.000

8 AGUSTUS 9 2 5 14 Rp. 18.700.000

9 SEPTEMBER 16 3 4 16 Rp. 24.450.000

10 OKTOBER 13 3 7 16 Rp. 54.900.000

11 NOVEMBER 11 1 3 14 Rp. 11.300.000

12 DESEMBER 14 1 5 24 Rp. 16.450.000

JUMLAH 121 25 47 151 Rp. 283.200.000

Sumber : Unit Laka Lantas Polres Sigi Tahun 2014.

38

KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAHRESORT SIGI

Jalan Poros Palu Kulawi Km 12 Dolo

Page 39: Skripsi Hukum

JUMLAH LAKA LANTAS DAN PENYELESAIAN PERKARA LAKA

LANTAS BULAN JANUARI S/D DESEMBER 2014

NO BULANJUMLAH

KEJADIAN

KONDISI KORBAN

P. 21 SP. 3 TILANG ADRKE

POM

1 JANUARI 8 1 1 0 6

2 FEBRUARI 11 - 1 0 10

3 MARET 2 1 1 0 0

4 APRIL 5 - 2 0 3

5 MEI 9 1 2 0 6

6 JUNI 12 1 3 0 8

7 JULI 11 - 1 0 10

8 AGUSTUS 9 1 1 0 7

9 SEPTEMBER 16 1 2 0 13

10 OKTOBER 13 1 2 0 10

11 NOVEMBER 11 1 - 0 11

12 DESEMBER 14 1 - 0 13

JUMLAH 121 9 16 0 85

Sumber : Unit Laka Lantas Polres Sigi Tahun 2014.

39

KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAHRESORT SIGI

Jalan Poros Palu Kulawi Km 12 Dolo

Page 40: Skripsi Hukum

Melihat tabel I dapat didefinisikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang

terjadi di Kota Bandar Lampung sejak Januari hingga Desember 2014 termasuk

tinggi yaitu 121 perkara kecelakaan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas

tertinggi terdapat di Bulan september yaitu terjadi 16 perkara kecelakaan lalu

lintas. Akibat dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi di tahun 2014 yaitu 25

orang meninggal dunia, 47orang luka berat, dan 151 orang luka ringan. Selain

itu kerugian materil yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas di Kota

Bandar Lampung tahun 2014 sangatlah besar yaitu Rp. 283.200.000

Berdasarkan tabel 2 jumlah perkara kecelakaan lalu lintas diproses

dengan berbagai cara. Terdapat 9 perkara yang di P-21 dan diselesaiakan

melalui proses hukum acara pidana yang sesuai dengan perundang-undangan.

Selanjutnya 16 perkara dinyatakan SP3 oleh Unit Kecelakaan Kecelakaan

Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polres Sigi dikarenakan kurangnya cukup bukti

atau pelaku meninggal dunia. Terdapat 85 perkara kecelakaan lalu lintas

diterapkan penyelesaian dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR).

Dengan demikian Alternative Dispute Resolution (ADR), salah satu bentuk

penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang merupakan bentuk

pendekatan keadilan restoratif telah diimplementasikan di berbagai perkara

kecelakaan yang terjadi di Kota Sigi

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah satu bentuk

alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau mediasi penal. Metode

ini sebenarnya telah lama digunakan masyarakat di Indonesia dalam rangka

menyelesaikan perkara di antara mereka. Mereka menempuh musyawarah untuk

40

Page 41: Skripsi Hukum

mufakat untuk mencapai perdamaian. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya

musyawarah untuk mufakat adalah cikal bakal dari Alternative Dispute

Resolution (ADR). Alternative Dispute Resolution (ADR) yang berasal dari

kearifan lokal Masyarakat Indonesia dianggap sangat efektif clan merupakan suatu

kesalahan jika permasalahan itu dibuka di tengah masyarakat. Dalam banyak

perkara, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog berupa musyawarah, clan

meminta pihak ketiga yaitu tokoh masyarakat, untuk bertindak sebagai

mediator. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Alternative Dispute

Resolution (ADR) merupakan mediasi penal yaitu suatu bentuk upaya

penyelesaian alternatif nonlitigasi terhadap perkara dalam ranah hukum pidana

melalui mediasi.

Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai konsep mediasi penal

merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sudah berkembang

pada ranah hukum keperdataan. Konsep ini juga dalam perkembangan hukum

keperdataan di Indonesia sudah menjadi perhatian, bahkan sudah dapat

diterapkan dalam penyelesaian sengketa perdata yang diatur secara yuridis.

Alternative Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 Tentang Arbitrase clan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun

dalam ranah hukum pidana belum ada undang-undang yang mengatur mengenai

konsep Alternative Dispute Resolution (ADR). Walaupun pada umumnya,

penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata,

namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan

melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum.

41

Page 42: Skripsi Hukum

Kedudukan Kepolisan Republik Indonesia sebagai penegak hukum

tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa:

1) Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi

dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2 menjelaskan bahwa:

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara

dibidang pemeliharaan keamanan clan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.5

Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal I

butir (1) dan Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa kepolisian dalam kedudukannya

sebagai aparat penegak hukum memiliki fungsi untuk menegakkan hukum di

bidang yudisial, baik tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dengan

adanya kewenangan diskresi di bidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa "Untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas clan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri".

Diskresi kepolisian dapat diartikan sebagai kewenangan pihak

kepolisian untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.

Wewenang diskresi kepolisian dalam penghentian penyidikan, terdapat

wewenang dalam hal atau keadaan tertentu untuk diambil suatu keputusan

mengenai akan diambil suatu tindakan atau tidak apabila terjadi suatu tindak

5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

42

Page 43: Skripsi Hukum

pidana.

Walaupun setiap penyidik kepolisian memiliki kewenangan dikresi dalam

menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas di luar pengadilan, namun tidak

berarti penyidik kepolisian dapat bertindak semena-mena tanpa mengindahkan

norma agama, norma sosial maupun norma-norma yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat.

Kriteria-kriteria penggunaan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan

perkara kecelakaan lalu lintas diluar pengadilan sebagai berikut:

a. Kecelakaan lalu lintas tersebut bukan merupakan tindak pidana

kesengajaan.

Anggota kepolisian lalu lintas sebagai penyidik dalam menangani

perkara kecelakaan lalu lintas terlebih dahulu melihat sebab-sebab

terjadinya kecelakaan lalu lintas dengan memeriksa saksi, memeriksa

tersangka, dan melakukan gelar perkara sehingga dapat tidaknya

perkara tersebut diselesaikan di luar pengadilan atau harus melalui

pengadilan. Penyidik dalam menentukan ada tidaknya unsur

kesengajaan tersebut harus mempunyai dasar keahlian khusus di

bidang lalu lintas karena penyidik dalam menangani perkara

tersebut harus dapat menyelesaikan perkara dengan tepat.

Apabila dapat dibuktikan secara meyakinkan bahwa penyebab

kecelakaan lalu lintas dikarenakan kealpaan pelaku, maka dapat

diselesaikan di luar pengadilan. Namun sebaliknya apabila menurut

penyidik penyebab kecelakaan lalu lintas adalah akibat kesengajaan

43

Page 44: Skripsi Hukum

pelaku dan/ atau pelaku terlebih dahulu melanggar ketentuan

perundang-undangan (pelaku dalam pengaruh alkohol, motor tidak

standar), maka polisi selaku penyidik tidak dapat menyelesaikan

perkara di luar pengadilan dan akan melimpahkan perkara tersebut ke

Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dan selanjutnya harus

diselesaikan melalui pengadilan, walaupun sebelumnya telah ada

itikad baik dari pelaku maupun korban untuk menyelesaikan perkara

di luar pengadilan.

b. Adanya itikad baik dari pelaku dan korban kecelakaan lalu lintas untuk

menyelesaikan perkara di luar pengadilan.

Itikad baik merupakan sikap batin atau perilaku jiwa untuk

sama-sama mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Pihak

korban sesuai hasil penyidikan yang ada memberi maaf kepada

pelaku, meyakini bahwa tidak ada unsur kesengajaan serta

menerima sebagai musibah perkara kecelakaan lalu lintas tersebut

dan pihak pelaku dalam pemeriksaan beritikad baik untuk

menyelesaikan perkara secara damai dan memberikan sejumlah uang

ganti kerugian sebagai uang duka, biaya selamatan maupun

kesepakatan-kesepakatan lain. Kesepakatan antara pelaku dengan

korban merupakan syarat ketika kepolisian menggunakan

kewenangan diskresinya untuk memberikan pertimbangan

menyelesaikan perkara kecelakaan di luar pengadilan. Kesepakatan

antara pelaku dengan korban diwujudkan dengan dibuatnya surat

44

Page 45: Skripsi Hukum

kesepakatan damai yang berisi pernyataan antara kedua belah pihak

bahwa perkara kecelakaan lalu lintas telah selesai secara kekeluargaan

dan tidak akan mempermasalahkan di kemudian hari. Surat

kesepakatan damai tersebut berisikan klausula-klausula yang telah

disepakati masing-masing pihak yang berperkara, kemudian surat

tersebut ditandatangani antara pelaku dengan korban beserta saksi-

saksi diatas materai yang diketahui oleh RT/ RW/ kepala Desa/ Kepala

Kelurahan setempat.

Kedua kriteria yang diterapkan oleh Polres Sigi bersifat saling

melengkapi. Dalam hal ini apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi,

maka kepolisian Polres Sigi tidak dapat menyelesaiakan perkara

kecelakaan lalu lintas di luar pengadilan sebagai wujud dari diskresi

kepolisian.

Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 Tentang Tata Cara

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dijelaskan pada Pasa136 diterangkan

bahwa:

2) Penanganan Kecelakan Lalu Lintas ringan yang terdapat cukup

bukti atau terpenuhinya unsur tindak pidana, dilakukan dengan

proses pemeriksaan singkat.

3) Proses pemeriksaan singkat pada Kecelakaan Lalu Lintas ringan,

apabila terjadi kesepakatan damai diantara pihak yang terlibat dapat

diselesaikan di luar pengadilan.

Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas juga diatur dalam Peraturan

45

Page 46: Skripsi Hukum

Kapolri No. 15 Tahun 2013 yaitu dengan cara pemberian ganti rugi yaitu pada

Pasal 61 diterangkan:

4) Penentuan dan pembayaran ganti Kerugian Materiil yang

diakibatkan kecelakaan Lalu Lintas dapat diselesaikan melalui proses

di luar pengadilan.

5) Penyelesaian penentuan dan pembayaran ganti Kerugian Materiil

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara musyawarah

langsung di antara pihak-pihak yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas.

6) Proses penyelesaian ganti kerugian materiil dilarang melibatkan

penyidik/penyidik pembantu.

Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 yaitu dengan cara pemberian

ganti rugi yaitu pada Pasal 62 dijelaskan bahwa:

1) Para pihak dapat meminta bantuan pihak ketiga selaku mediator

apabila penyelesaian secara musyawarah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 57 ayat (2) tidak tercapai kesepakatan.

2) Dalam hal telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang terlibat,

dituangkan dalam surat pernyataan dan diserahkan kepada penyidik/

penyidik pembantu.

3) Penyidik setelah menerima surat pernyataan dilampirkan dalam

berkas perkara sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil

keputusan.

Pasal 63 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa:

1) Kewajiban mengganti kerugian terjadi kesepakatan damai antara para

46

Page 47: Skripsi Hukum

pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, untuk menyelesaikan

perkaranya dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.

2) Kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat kecelakaan lalu

lintas dituangkan dalam surat pernyataan kesepakatan damai.

3) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dapat dilaksanakan selama belum dibuatnya laporan

polisi.

4) Dalam perkara kecelakaan lalu lintas ringan, apabila unsur-unsur tindak

pidana terpenuhi dan tidak terjadi kesepakatan damai antara para

pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas, maka penyelesaian

perkaranya diselesaikan dengan acara singkat.

5) Penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) wajib diregister dan surat pernyataan kesepakatan damai

diarsipkan.

Pasal 64 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa:

Dalam' perkara kecelakaan lalu lintas sedang, apabila unsur-unsur tindak

pidana terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara singkat.

Serta Pasal 65 Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 menjelaskan bahwa

Dalam perkara kecelakaan lalu lintas berat, apabila unsur-unsur tindak pidana

terpenuhi, penyelesaian perkaranya diselesaikan dengan acara biasa.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat didefinisikan bahwa penyelesaian

kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan di luar pengadilan melihat Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

47

Page 48: Skripsi Hukum

mengatur mengenai diskresi kepolisian, Surat Kapolri No Pol:

B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 mengenai Alternative

Dispute Resolution (ADR), dan Peraturan Kapolri No. I S Tahun 2013 Tentang

Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas. Meskipun dalam Pasal 230

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

setiap jenis kecelakaan lalu lintas harus diproses dengan acara peradilan

pidana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah bentuk

pendekatan keadilan restoratif. Konsep ini merupakan pola penyelesaian

masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi

antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan melalui mediasi yang

merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Alternatif

Dispute Resolution (ADR) memiliki tujuan yaitu:

1. Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan

para pihak;

2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu

yang biasa terjadi; dan

3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke

pengadilan.

B. Prospek Restorative Justice di Indonesia

48

Page 49: Skripsi Hukum

Restorative justice telah diterjemahkan dalam berbagai variasi

rumusan dengan berbagai variasi nilai atau dasar filosofis, syarat,

strategi,mekanisme, program, dan bahkan jenis maupun tindak pidana dan

terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat didalamnya. Didalam beberapa

regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara rinci. Namun yang

menarik dari berbagai regulasi tersebut adalah bahwa :

a. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana,

Bulgaria, atau Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep

mediasi dimana dibuka peluang penyelesaian perkara pidana diluar sistem

peradilan sementara, atau

b. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika

Selatan, yang memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem

pemidanaan.

Dari kedua hal ini maka secara penulis menilai bahwa restorative

justice, dalam pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah

diterjemahkan sebagai mekanisme penanganan perkara pidana diluar sistem

peradilan pidana maupun sebagai filosofis pemidanaan baru yang melahirkan

bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari jenis pidana

konvensional yang dikenal selama Gambaran diatas adalah sedikit contoh dari

banyak negara lain yang mencoba menerapkan paradigm restorative justice

dalam penanganan perkara pidana. Menarik melihat perkembangan penerapan

pendekatan restorative justice yang marak akhir-akhir ini karena muncul

anggapan paradigma ini membawa banyak keuntungan perubahan yang positif

49

Page 50: Skripsi Hukum

terhadap masyarakat dan negara. Sejumlah keuntungan yang dapat dicatat

disini adalah :

(a) Bahwa masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri

permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas

sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan

dalam hukum adat dalam penanganan perkara-perkara keperdataan dapat

juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya

hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan

perdata.

(b) Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya:

1) Beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat

diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk

memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih

berbahaya seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia atau

pelanggaran HAM berat.

2) Secara administratif, jumlah perkara yang masuk kedalam sistem

peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan

sebagaimana diungkapkan diatas menjadi berkurang.

(c) Beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan

pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan

dimana fokus penyelesaian perkara pidana kebanyakan berakhir pada

penjatuhan pidana kurungan atau penjara menjadikan munculnya banyak

50

Page 51: Skripsi Hukum

permasalahan didalam lembaga pemasyarakatan ini. Dapat diharapkan

lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih baik dan berdayaguna

(sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam rancangan KUHP

Indonesia saat ini).

Catatan atas keuntungan ini barangkali hanya merupakan catatan

keuntungan yang perlu dipertimbangkan terhadap keberlakuan pendekatan

restorative justice dalam hukum pidana dan melembagakannya.

1. Lembaga Musyawarah

Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia mengenai

fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang

dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang

diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan

institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat

memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan

yang muncul. Penyelesaian masalah termasuk didalamnya adalah tindak

pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam

keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas. Karenanya tanpa

mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal,

mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam

masyarakat. Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice,

proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian

terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan

51

Page 52: Skripsi Hukum

korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya,

mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan

dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku

diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya

dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang

dilakukan dengan penuh kesadaran dan proses dialog ini pula masyarakat

dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan

memantau pelaksanaannya.

Oleh banyak penulis kajian tentang restoratif, lembaga musyawarah ini

dikenal sebagai mediasi yang sangat melembaga dalam sistem peradilan

perdata. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media

komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi.

Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model

penyelenggaraan restorative justice seperti

(a) Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban)

yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan

korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator

dalam pertemuan tersebut.

(b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam

bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya

melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga

korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan

dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan

52

Page 53: Skripsi Hukum

pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena

dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang

terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan

akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam

mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya

(c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya

paling leas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum

yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga

anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.

Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restorative

justice tersebut pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi

dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan

mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari

niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang

kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi

perundang-undangan yang jelas.

2. Peran Lembaga Penegak Hukum

Kendala tersebut dalam kenyataannya telah diupayakan untuk diterobos

oleh para penegak hukum dilapangan. Polisi melalui diskresi yang

dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim melalui

kebebasannya. Beberapa gambaran dari temuan dilapangan misalnya :

53

Page 54: Skripsi Hukum

a) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah

Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2

(dua) orang korban. Seminggu kemudian perkara ini diselesaikan dengan

cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban dengan sejumlah

uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini

semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang

ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik

pelaku maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan

bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih

menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa

keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut

ditempuh.

b) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar

perbulan dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya

oleh Polda Metro Jaya. Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan 3.904 Di tahun 2006,

seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung di

mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus

dengan pidana denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat

memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam

penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi

birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian

langsung melalui polisi menjadi pilihan utama.

54

Page 55: Skripsi Hukum

Meskipun dalam hal ini penulis dapat menyatakan bahwa praktek-

praktek tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai yang terkandung dalam

keadilan restoratif, namun hal tersebut diatas adalah kenyataan yang perlu

dicarikan mekanime hukum sebagai landasannya.

Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari

penyelesaian perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum

formal yang berlaku, restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam

masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari

peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak

dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis

tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif atau

pun negatif). Meskipun dalam beberapa hal tersebut diatas, keberadaan

lembaga ini dalam masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan akhir

yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem

peradilan pidana, seperti

a. memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban,

pelaku maupun masyarakat umurn.

Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang

yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang duka dalam hal

korban meninggal dunia, menjadi realita.

b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative

justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas.

55

Page 56: Skripsi Hukum

Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan

restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta

laku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih

luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan

sebagai bagian dan penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini.

Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya

memantau upaya rehabilitasi korban sebagaimana contoh yang ada

diberbagai negara. Memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku,

yang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak,

pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.

c. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice dapat

dilakukan secara cepat dan tepat.

Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses

penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga

pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian

oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan

dengan singkat.

Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara

pidana tertentu. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal

beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan

biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa mekanisme itu belum

menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas.

56

Page 57: Skripsi Hukum

Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan

menggunakan prinsip yang ada dalam restorative justice sebagai ukuran

dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama yang

menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun

dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pcmahaman suatu pendekatan

restorative justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan

korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses

penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada

tujuan dan restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku,

korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka.

Dalam melihat kemungkinan penerapan keadilan restoratif, penulis

melihat bahwa Basic Principle The Use Of Restorative Justice

mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai sistem

hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan

ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana,

maka sistem peradilan pidana yang ada hams disesuaikan hingga bisa

menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui

pendekatan ini.

57

Page 58: Skripsi Hukum

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh penyusun melalaui penelitian ini

Wilayah Polres Sigi tentang penerapan Restorative Justice terhadap perkara

kecelakaan lalulintas No.Pol:LP/18/II/2015/Lantas, maka diperoleh

kesimpulan mengenai beberapa hal, yaitu sebagai berikut :

1. Penerapan Restorative Justice terhadap perkara kecelakaan lalulintas No.

Pol : LP/18/II/2015/Lantas, dilakukan karena kebijakan Restorative Justice

melalui kewenangan diskresi kepolisian, penggunaan kebijakan lalulintas

yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan dengan cara diadakan

pertemuan di antara kedua belah pihak (pihak tersangka dan korban) untuk

melakukan musyawarah guna menemukan solusi terbaik yang menjadikan

kedua belah pihak tersebut sama-sama merasakan keadilan, ketika dalam

musyawarah tersebut terjadi kesepakatan, maka kesepakatan tersebut

dibuat dalam bentuk surat kesepakatan damai. Dengan cara seperti itu

dirasakan dapat memenuhi tiga unsur penegakan hukum yaitu, unsur

kepastian hukum, unsur keadilan serta unsur kemanfaatan, dibandingkan

dengan diselesaikan melalui jalur formal.

2. Penerapan Restorative Justice terhadap perkara kecelakaan lalulintas No.

Pol : LP/18/II/2015/Lantas tersebut pada dasarnya tidak sesuai dengan

empat komponen yang harus terpenuhi dalam melaksanakan kewenangan

diskresi dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

58

Page 59: Skripsi Hukum

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun dalam kasus ini apabila

tidak diselesaikan di luar pengadilan maka dalam kasus ini apabila tidak

diselesaikan di luar pengadilan maka untuk pihak tersangka yang sudah

mengalami luka berat dan juga mengalami kerugian materi yang sangat

banyak tidak ada manfaat yang akan didapat tapi justru kemudharatan.

Sesuai dengan tujuan kebijakan sosial yang menginginkan tercapainya

social defence (perlindungan terhadap masyarakat) dan social welfare

(kesejahteraan masyarakat). Bagaimana bisa masyarakat merasa sejahtera

apabila masyarakat merasa perlindungan yang diberikan oleh negara

belum terpenuhi. Untuk apa menggunakan hukum pidana dalam

menyelesaikan perkara apabila dengan menggunakan kebijakan

Restorative Justice untuk mencapai keadilan restorative saja kedua belah

pihak sudah dapat merasakan keadilan.

B. Saran

1. Hendaknya untuk pelaksanaan penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas

yang menggunakan sarana Restorative Justice dibuatkan sebuah peraturan

baik berupa Peraturan Kapolri maupun Surat Keputusan Kapolri agar

digunakan sebagai landasan penyelesaian kasus kecelakaan tersebut.

2. Hendaknya dalam melaksanakan tugas sebagai aparat penegak hukum

tidak hanya mengacu pada unsur kepastian hukumnya saja, namun juga

kedua unsur tujuan hukum lainnya yaitu unsur keadilan dan manfaatpun

perlu dipertimbangkan.

59

Page 60: Skripsi Hukum

3. Hendaknya kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum dapat

bersikap progresif dalam berfikir dan bersikap.

4. Hendaknya selalu mengutamakan hati nurani dan rasa kemanusiaan

daripada hanya mengikuti asas legal-positivis.

5. Hendaknya dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang melalui

proses perdamaian, pada saat pertemuan antara pihak-pihak yang terkait

dalam rangka membahasa kesepakatan damai sesua dengan pendekatan

Restorative Justice polisi dapat menjadi mediator tentunya polisi harus

berada di kubu yang netral, agar dalam musyawarah tersebut membuat

kedua belah pihak dapat merasakan keadilan.

6. Hendaknya setiap masyarakat memprioritaskan keselamatan dengan cara

tertib berlalu lintas dimanapun dan kapanpun serta dalam kondisi apapun.

60

Page 61: Skripsi Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Aertsen, Lvo e.al. Restorative Justive end The Active Victim: Exploring The Concept Of Empowermwnt. Jurnal TEMIDA. March 2011.

Arief, Barda Nawawi. 2001.Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

________, dan Muladi. 1992.Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung. Alumni.

________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), cet. Ke-2 Jakarta: Kencana, 2011.

Arif, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembagan Hukum Pidana, cet. Ke-2. Bandung: Cipta Aditya Bakti, 1998.

D, Bolover. Brancher, L. Navarro, I. Vega,, M. 2010. Restorative justive in Latin Ame-rica: Reflection from three countries. Paper presented at Expert Seminar ‘Conferencing: A Way Forwerd for Restorative Justice in Europe’. Leuven: European Forum for Restorative Justice.

Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhallindo, 2001.

Feel, M, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.

Muhammad, Rusli, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011.

Prayitno, Kuat Puji. Pancasila Sebagai Bintang Pemandu (leitstern) dalam Pembinaan Lembaga dan Pranata Hukum. Yogyakarta: FH Universitas Muhammadiyah. 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hak.htm, diakses pada tanggal 12 juni 2013.

http:// Restitusi kepada korban mati atau luka berat sebagai syarat pidana bersyarat pada tindak pidana lalu lintas jalan.html diakses pada tanggal 5 Juni 2013.

http://umbangs.blogspot.com/2012/06/pengertian-lalu-lintas.html, diaksespada tanggal 4 Juli 2013.

http://www.kajianpustaka.com/2012/10/lalu-lintas-dan-angkutan.html,diakses pada tanggal 4 Juli 2013.

61

Page 62: Skripsi Hukum

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia

Kitab Undang-udang Hukum Acara Indonesia

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Surat Kapolri Nopol B/3022//XII/Sdeops tentang Penanganan Perkara Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).

Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas

62