skripsi gelar sarjana dalam hukum...
TRANSCRIPT
i
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG
DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
NOPIANA
NIM 21110022
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : NOPIANA
Nim : 21110022
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul : PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN
GETASAN, KABUPATEN SEMARANG.
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian
dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 09 April 2015
Pembimbing
Haryo Aji Nugroho,S, Sos., MA
NIP.19731104 199903 1 002
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722
http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
PENGESAHAN
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK,
KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
OLEH
NOPIANA
NIM :21110022
Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 18 April
2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ______________
Sekretaris Penguji : Haryo Aji Nugroho,S.Sos., MA. ______________
Penguji I : Farkhani, S.HI., MH. ______________
Penguji II : Luthfiana Zahriani, SH., MH. ______________
Salatiga, 18 April 2015
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP. 19670115 199803 2 002
N
I
P
.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertandatangan dibawah ini;
Nama : NOPIANA
Nim : 21110022
Jurusan : Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi :PERKEMBANGAN PERNIKAH ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN
GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah
Salatiga, 18 April 2015
Yang menyatakan
Nopiana
v
MOTO
DALAM KEHIDUPAN ADA DUA PILIHAN,
INGIN JADI ORANG YANG KALAH ATAU INGIN JADI
ORANG YANG MENANG?
KARNA HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN, KItA SENDIRI
YANG MENENTUKAN PILIHAN TERSEBUT.
“Jadilah Seperti Karang di Lautan yang Kuat dihantan
Ombak dan Kejarlah hal yang Bermanfaat Untuk Diri
Sendiri dan Orang Lain, Karena Hidup Hanyalah Sekali.
Ingat Hanya Pada Allah Apapun dan di Manapun Kita
Berada Hanya Dia-lah Tempat Meminta dan Memohon”
vi
PERSEMBAHAN
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada:
1. Kepada Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang
dengan sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini
2. Keluarga besar, terutama ibu Tukiyem dan bapak Yoto
Kasno yang tak henti-hentinya memberikan dukungan
serta Do’anya.
3. Kakakku Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu
mendukung dan mendoakanku
4. Keponakanku Adesya Nauvalin Fikiria Rabani.
5. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno yang selalu memberi
semangat kepadaku untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabatku Khaya Ulin Najah yang menemaniku
menyelesaikan skripsi ini.
7. Temanku Ulya Liala Mubarokah yang selalu menemaniku
melalukan observasi ke lapangan
vii
8. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi
seperti Rita, Ari, Ita, Leni dan Rissa
9. Dan segenap pembaca
viii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah
mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan
tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan
skripsi ini bisa terselesaikan
Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis
menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi
merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan
dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih
yang tiadataranya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd Selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah.
ix
4. Bapak Moh Khusen M.Ag., M.A. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar
penulis menjadi pribadi yang lebih baik.
5. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang meluangkan waktunya
untuk membimbing saya untuk penyelesaian skripsi ini
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian
administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi.
7. Bapak Kasno dan Ibu Tukiyem tercinta, terimakasih atas segala doa dan
yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putrinya.
8. Kakakku tersayag Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu
memberi semangat dan dukungan.
9. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno terimakasih atas Do‟a dan dukunganya.
10. Om Tutur dan Bulek Maryatai yang memberikan do‟a dan dukungannya
11. Lex Tugimin Supriyadi yang selalu menduungku
12. Bpak Sumadi al Bakah dan ibu Harni yang selalu mendukung dan
mendoakanku
13. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Ulya, Rita,
Ari, Ita, Leni terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini.
14. Bapak-ibu narasumber yang telah bersedia memberikan keterangannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Nama-nama yang
dipakai adalah nama samaran sesuai permintaan narasumber.
15. Bapak Sutrimo selaku Kepala Desa Jetak yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk melakukan obsevasi di Desa Jetak.
x
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah
memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi
ini.
Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis
atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang
tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.
Salatiga, 18 April 2015
Penulis
Nopiana
Nim 21110022
xi
ABSTRAK
Nopiana, PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA
JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Skripsi.
Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal AL-Syakhshiyyah. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A
Kata Kunci : Pernikahan adat tumpeng
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan dan
mengetahui pressepsi masyarakat di Desa Jetak dalam pelaksanaan pernikahan
adat tanpa shigot akad ijab qobul dan mahar. Pertanyaan utama yang ingin di
jawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana kondisi sosial keagamaan Desa
Jetak? 2) bagaimana perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa
Jetak? 3) Sejauh mana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak
dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fiqih dan undang-undang?
Untuk menjawab pertanyaaan tersebut maka peneliti menggunakan metode
field research (penelitian lapangan). pengumpulan data melalui obsevasi dan
wawancara terhadap perangkat Desa, Pemangku adat, pemuka Agama dan pelaku
pernikahan adat tumpeng dan beberapa buku untuk mendukung penelitian ini.
Masyarakat yang memangkuat dengan tradisi kejawennya membuat
perkembangan keagamaan di Desa Jetak melambat, kurangnya pemuka agama
atau ustad untuk memberikan pengetahuan agama kepada masyarakat menjadi
salah satu faktor utama, selain itu tingkat pendidikan, faktor ekonomi masyarakat
yang rendah juga berpengaruh terhadap perkembangan pernikahan adat tumpeng
di desa Jetak. Di Desa Jetak ini pernah berkembang tradisi pernikahan tumpeng
dimana pernikahan orang Islam tanpa menggunakan syari‟at ijab qobul dan
mahar, namun seiring berkembangnya jaman dan upaya penyuluhan KUA tradisi
tumpengan sekarang telah berubah. Tradisi tumpengan kini hanya sebagai tradiasi
pelengkap ijab qobul saja. Namun demikian nikah tumpeng sesekali masih
dilakukan masyarakat yang memiliki masalah untuk menikah secara resmi,
memilih menikah adat untuk melegalkan pernikahannya. Dalam pelaksanaan
pernikahan, khususnya yang masih menggunakan pernikahan adat tumpeng masih
menginggalkan salah satu rukun dan syarat pernikahan yaitu tidak dipakainya ijab qobul saat pernikahan sesuai dengan pasal 14 Inpres Tahun 1991 dan pasal 30
KHI tentang kewajiban calon mempelai laki-laki untuk membayar mahar kepada
calon mempelai wanita.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………… ii
PENGESAHAN KELULUSAN.........…………………..…………….... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………… iv
MOTTO ………………………………………………………………… v
PERSEMBAHAN ………………………………………………………. vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………... vii
ABSTRAK ………………………………………………………………. x
DAFTAR ISI …………………………………………………………… xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….... 1
B. Penggasan Istilah ………………………………………………….. 4
C. Rumusan Masalah ……………………………………………….... 5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………………...... 5
E. Metode Penelitian…………………………………………………. 6
F. Sistematika Penulisan …………………………………………..... 10
xiii
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka …………………………………………………. .. 12
B. Kerangka Pemikiran ………………………………………. .. 18
1. Pengertian Perkawinan dan Manfaat perkawinan…………...... .. 18
2. Dasar Hukum Pernikahan…………….……………………........ 22
a. Pernikahan Dalam Hukum Islam………………………….... 22
1). Rukun dan Syarat Pernikahan………………………….... 25
2). Akad dan Syarat Ijab Kabul…………………………....... 28
3). Mahar Menurut Hukum Islam………………………….... 33
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif………………………....... 35
3. Hikmah dan Manfaat Nikah…………………………………...... 39
4. Pengertian dan Pernikahan Adat……………………………....... 42
a. Pengertian Pernikahan Adat………………….................. 42
b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarat…………………….. 46
c. Kelebihan Dan Fungsi Adat…………………………….. 47
d. Kelemahan Hukum Adat………………………………... 48
BAB III: HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang ………………………………………………………... 49
1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah........................................... 49
2. Letak Geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak…….... 51
3. Kondisi Kependudukan atau Demografi…………………….... 52
xiv
a. Populasi Desa Jetak............................................................... 52
b. Tingkat Pendidikan ……………………………………….. 53
c. Pekerjaan Dan Usia Kerja………………………………..... 54
d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat………………....... 55
B. Pofil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng……….............................. 57
C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak…......................………................ 60
D. Faktor Terjadinya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak…….... 70
E. Persepsi Masyarakat Jetak Tentang Pernikahan Adat Tumpeng....... 73
F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng.................................................. 77
G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak........... 78
BAB IV: ANALISIS
A. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak...................................................... 83
B. Pelaksanaan Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Ilmu
Fiqh................................................................................................... 84
C. Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Menurut Undang-Undang No1 Tahun
1974……………………………………………………………… 86
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 90
B. Saran …………………………………………………………….. 92
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu pernikahan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta kasih
dan sayang. Karena dalam pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan
yang dalam sebuah rumah tangga, pernikahan merupakan sebuah ritual
yang sangat sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling
mencintai, dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal antara
satu dengan yang lainnya tanpa ada lagi batasan yang
menghalangi.”Pernikahan adalah satu sunatullah yang umum berlaku
pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan, tumbuhan” (Sabiq,
1990 : 6). Dengan pernikahan manusia dapat membentuk keluarga dan
memgembangkan keturunan yang baik.
Salah satu tujuan syari‟at Islam adalah memelihara kelangsungan
perkawinan yang sah, menurut agama dan diakui oleh undang-undang dan
diterima sebagai budaya masyarakat
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa
pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sedangkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP)
memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
2
seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangg yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Meskipun demikian banyak pihak-pihak yang dengan sengaja
mencoba untuk mengotori dan memanfaatkan sesuatu yang sakral ini
hanya untuk mendapatkan keuntungan baik yang berupa materi maupun
hanya untuk sekedar dapat terpenuhi hasrat biologisnya semata, atau
mungkin dengan alasan-alasan yang lain. Oleh karena itu berbagai
permasalahanpun akhirnya muncul.
Syarat sah pernikahan harus diperhatikan baik menurut agama
maupun hukum Negara. Dalam fiqh sunnahnya, Sabiq, (1990 : 78)
menyebutkan ada dua sarat sahnya pernikahan. Pertama, perempuannya
halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri Kedua, aqad
nikahnya dihadiri para saksi. Dalam Kitab al-Fiqh „Ala al- Al-
Arba‟ah.Imam Safi‟i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima yaitu
calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang
saksi, dan sighat (ijab qabul) (Jaziri,1999 : 12).
Di Indonesia pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukun
dan syarat yang telah ditentukan oleh KHI dan Undang-Undang No 1
tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan yang sah menurut KHI salah
satunya bila memenuhi hukum Islam dan dicatatkan sesuai dengan pasal
dua ayat satu Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan
3
Undang-Undang No 1 tahun 1979 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan
perkawinan. Pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan syarat rukun
nikah dalam Islam, tanpa dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dinamakan pernikahan siri (Nurhaidi, 2003 : 5). Penikahan siri
adalah sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif di
Indonesia. Pernikahan harus dicatatkan Pencatat Nikah (PPN) di KUA
bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang non
muslim, sehingga mempunyai bukti yang otentik. Padahal jika mereka
tahu dan sadar akan hukum pernikahan sirri ini akan banyak menimbulkan
persoalan-persoalan yang kelak mungkin terjadi bukan hanya bagi istri
tetapi akan mungkin berdampak pula dengan anak yang dilahirkannya.
Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan wajib
menyerahkan mahar kepada istrinya. Berdosa bila seseorang suami tidak
menyerahkan mahar kepada istrinya. Meskipun UU perkawinan tidak
mengatur sama sekali tentang mahar dalam perkawinan, namun KHI
mengatur tentang keharusan membayar mahar dalam pasal 30 adapun
pasal 30 menyatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentukdan jenisnya
disepakati oleh kedua belah bihak”(Syarifudin, 2006 : 97).
Namun pada prakteknya yang terjadi di masyarakat Desa Jetak
Kecamatan Getasan biasanya melangsungkan pernikahan dengan cara
adat, yang dilangsungkan secara sederhana dengan mengundang sesepuh
4
yang biasaya berhak untuk menikahkan. Dan pernikahan adat ini tidak
menggunakan ijab dan qhobul dan mahar.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan mendalami
lebih lanjut fenomena yang terjadi di Desa Jetak Kecamatan Getasan
dalam skripsi yang berjudul “PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN,
KABUPATEN SEMARANG”
B. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kekliruan dalam penafsiran judul di atas maka
penulis perlu menjelaskan sebagai berikut:
1. Pernikahan adat tumpeng
Pernikahan adat tumpeng adalah pernikahan adat umat muslim
Desa Jetak dengan pemotongan nasi tumpeng tanpa ijab qobul
dan mahar tanpa sesuai syari‟at Islam
2. Tinjauan normatif dan sosiologis
Tinjuan normatif yang dimaksud di sini adalah norma-
norma islam atau hukum Islam yang mengantur tentrng
pernikahan dan bagaiamana hukum Islam memandang
pernikahan adat tumpeng yang terjadi masyarakat. Sedangkan
tinjauan sosiologisnya adalah pendekatan untuk mengetahui
latar belakang sosiol kultural masyarakat dalam menyikapi
5
pernikahan adat tumpeng yang ada di desa mereka dan
ketentuan hukum Islam
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi kehidupan sosial keagamaan masyarakat
Desa Jetak?
2. Bagaimanakah perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng
di Desa Jetak?
3. Sejauhmana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa
Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fikih
dan undang-undang?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan urian rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah kehidupan sosial agama
masyarakat Desa Jetak,
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi pernikahan
adat tumpeng di Desa Jetak.
6
3. Untuk mengetahui sejauhmana pertentangan pernikahan adat
tumpeng terhadap syariat pernikahan Islam menurut tinjauan
fiqih dan undang-undang,
E. Metode penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah
field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung
kelapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas
yaitu bagaimana tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang
baik untuk melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi
masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif,
karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara
menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan
dari peneliti sebagai instrument kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (Moleong, 2009 : 6).
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana
7
pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu
masyarakat Jawa muslim dengan adat tumpeng dan perkembangannya
Desa Jetak .
Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan
penyelidikan dengan melihat fenomena masyarakat atau peristiwa
sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di
masyarakat (Soekanto, 1986 : 4-5).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dialakukan di wilayah Desa Jetak, kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena di
wilayah Desa jetak ini cukup banyak terjadi praktek pernikahan adat
tumpeng, sebagian besar masyarakat melakukan praktik pernikahan
adat tumpeng.
3. Sumber Data
a. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya
baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam
bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh
penulis. Sumber utama adalah pelaku pernikahan adat
8
tumpeng, pemangku adat, pemuka agama, masyarakat dan
perangkat desa.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek
penelitian, hasil peneliti dalam bentuk laporan, bentuk skripsi
dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009 : 106).
4. Prosedur Pengumpulan Data
a. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998 : 115). Peneliti melakukan wawancara terhadap
pelaku nikah adat tumpeng dan anggota keluarga yang tinggal satu
rumah dengan mereka untuk mendapatkan data sebanyak-
banyaknya sesuai dengan fokus penelitian. Wawancara juga
dilakukan dengan pelaku, tokoh masyarakat dan tokoh agama guna
mengetahui pandangan mereka tentang nikah adat tumpeng. Semua
itu dilakukan untuk mengetahui keadaan sosial keagamaan
masyarakat dan prosesi tradisi pernikahan adat tumpeng.
b. Dokumentasi
9
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan dan buku. Metode ini sumber
datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode
dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tapi benda mati
(Arikunto, 1998 : 236).
Hal tersebut dilakukan peneliti untuk mencari data
mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari
kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang. Metode tersebut digunakan sebagai pelengkap dalam
memperoleh data. Dokumen yang dimaksud seperti data monografi
dari kelurahan dan buku-buku mengenai pernikahan dan
pernikahan adat yang menunjang penelitian ini.
5. Analisis Data dan keabsahan data
Selama pengumpulan data dilapangan data sudah mulai
dianalisis dengan mengklasifikasikan data sesuai fokus penelitian
sehingga dapat diketahui kekurangan agar segera dapat
melengkapi. Semua data terkumpul dan terklasifikasi secara rinci
digunakan untuk memeparkan pola atau struktur dari masalah yang
dikaji dengan penginterpretasikan data untuk menjawab masalah
penelitian
Data yang berhasil diperoleh akan dicek keabsahannya
dengan metode triangulasi, metode triangulasi adalah teknik
10
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
(Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan
karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekliruan yang
terlewati oleh penulis. Pengecekan dilakukan dengan cara
membandingkan (croos cek) hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan
satu dengan informan yang lain, maupun membandingkan hasil
wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
F. Sistematika Penulisan
BAB 1: Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Tinjuan umum dan kerangka pemikiran tentang pernikahan adat
tumpeng, dalam bab ini memaparkan tentang pernikahan
tumpeng perpektif UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan adat
prespektif KHI dan perkawinan adat menurut hukum Islam.
BAB III: Pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak memaparkan seluruh
hasil yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan
kondisi lingkungan Desa Jetak, sejarah Desa Jetak, struktur
sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Desa
Jetak.
11
BAB IV: Tinjauan hukum Islam dan undang-undang di Indonesia terhadap
pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak. Bab ini menganalisis
praktek pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak, faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya pernikahan adat tumpeng,
mengulas penyebab yang melatar belakangi pasangan suami istri
melakukan pernikahan adat tumpeng, serta prespektif
masyarakat setempat tentang pernikahan adat tumpeng.
BAB V: Penutup; Bab ini berisi kesimpulan dan saran sebagaimana hasil
penelitian.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
Studi tentang pernikahan adat telah banyak dilakukan. Beberapa
studi tentang pernikahan adat diantaranya karya Isroi (2012), Wicaksono
(2012), Syarif (2010), Eka (2013), Mochammad (2013). Penelitian Isro‟i
(2012) dengan judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram dengan
Adat Jawa Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok
Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Pada studi ini
menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini memungkinkan penulis
mengetahui asal mula adanya larangan menikah di bulan Muharram. Jenis
penelitian adalah penelitian kualitatif dimana sumber data menggunakan
sumber hasil observasai, wawancara.Penelitian ini membahas tentang
faktor-faktor yang mendorong masyrakat tidak melakukan pernikahan
pada bulan Muharram dan pandangan hukum Islam terhadap pernikahan
yang dilakukan pada bulan Muharram. Sehingga penelitian ini hanya
membahas tentang dasar larangan menikah pada bulan Muharram saja.
Adapun hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menurut hukum Islam
tentang lrangan menikah pada bulan Muharram itu tidak benar, karena
menikah merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh agama Islam.
Waktu pelaksanaan pernikahan tersebut di dalam hukum Islam tidak ada
dalil yang menyebutkan waktu tertentu. Selain itu dalam hukum Islam
tidak pernah membeda-bedakan hari, karena hari dan bulan dianggap baik.
13
Studi kedua dilakukan oleh Wicaksono (2012) dengan judul “
Fenomena Pertukaran Istri dan Berbagai Dampaknya( Studi Kasus di
Dukuh Gumul, Desa Ngasinan, Kecamatan Susukan Kab Semarang)”.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research),
sumber data yang diperoleh data primer dan data sekunder, teknik
pengumpulan data adalah dengan wawancara dan obsevasi. Penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa: pertama pertukaran istri di Dukuh Gumul
adalah keadaan dimana satu kelompok penduduk di Dukuh tersebut yang
sudah beristri dan saling menukarkan istri masing-masing. Pertukaran istri
ini bermotif mencari keturunan, faktor ekonomi lemah, untuk ritual dan
fungsi rekreatif. Yang kedua dampak yang ditimbulkan dari pertukaran
istri yang terjadi di Dukuh Gumul adalah status keturunan anak yang
dilahirkan menjadi rancu dan tidak jelas. Ketiga tentang reaksi pasif warga
terhadap perilaku pasangan yang melakukan pertukaran istri tersebut.
Masyarakat tidak mengambil tindakan menasehati atau memberi larangan
terhadap apa yang mereka lakukan. Reaksi masyarakat sekitar terhadap
pasangan yang melakukan pertukaran istri cenderung hanya bersifat
preventif baiak lewat pertemuan-pertemuan rutin warga.
Peneliti tentang pernikahan adat ketiga oleh Syarif (2010) dengan
judul Larangan Melangkai Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing
(Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat Mandaling Natal).
Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Syarif melakukan
penelitian langsung melalui metode wawancara, observasi dan
14
pengumpulan dokumen arsip Dalam penelitian ini terdapat 3 poin penting,
yaitu: pertama adalah setatus hukum perkawinan melangkahi kakak, dalam
fikih maupun Kompilasi Hukum Islam tidak ada larangan melangkahi
kakak dalam perkawinan, karena dalam undang-undang tidak
melarangnya, pernikahannya tetap sah, karena ini hanya ada dalam
peraturan adat disuatu desa saja. Yang kedua tanggapan masyarakat dan
para pemuka agama di Desa Sirambas, masyarakat masih mempertahankan
kebiasaan adat yang berlaku di desanya, walapun larangan pernikahan
melangkahi kakak sudah dianggap hal yang tidak tabu lagi, tetapi ada
beberapa orang tua yang masih melarang anaknya dengan alasan tersebut.
Pernikahan melangkahi kakak boleh dilakukan, tetapi mempelai harus
memberikan sesuatu untuk diberikan kepada kakaknya, walau tidak
ditentukan besarannya, dengan suka rela dan tidak memberatkan pihak
laki-laki. yang ketiga pandangan menurut fikih dan KHI, dalam fikih tidak
melarang pernikahan melangkahi kakak, hanya saja seseorang yang sudah
saatnya untuk menikah harus menyegerakannya, bahkan untuk menolak
lamaran yang sudah sekufu pun tidak dibenarkan, oleh karena itu melarang
seorang yang akan menikah adalah perbuatan yang diharamkan. Karena
ajuran untuk menikah sangat jelas dalam Al-qur‟an dan Hadis. Menurut
KHI, dalam KHI tidak ada larangan melangkahi kakak maupun adik,
sedangkan tentang uang pelangkahan ada 2 kategori yang diatur, pertama
apabila uang pelangkahan tersebut dianggap sebagai persyaratan maka itu
tidak dibenarkan. Yang ke dua, apabila uang pelangkahan itu hanya
15
sekedar pemberian yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada
kakaknya, tanpa pemberian patokan, sehingga tidak memberatkan keluarga
laki-laki maka ini sesuai kaidah fikih tidaklah bertentangan dengan hukum
Islam.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Eka (2013) yang berjudul
Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat Di Desa Ketapang
Kecamatan SungkaiSelatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung
Dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode
kualitataif, dengan melakukan penelitian langsung ke lokasi penelitian,
sumber data yang didapatkan dengan data primer dan data sekunder,
pengumpulan data dengan metode observasai, wawancara, analisis data
yang dibagi menjadi dua yaitu: deduktif dan kualitatif. Faktor-faktor yang
melatarbelakangi tradisi kawin lari ini adalah tidak direstuinya orang tua,
syarat-syarat pembayaran dan pembiayaan yang terlalu tinggi, laki-laki
dan perempuan telah melakukan zina, faktor budaya atau tradisi adat.
Tradisi kawin lari ini dianggap jalan yang paling baik, karena pasangan
telah melakukan keputusan sepihak tanpa merundingkan dengan orang tua
mereka. Jika dilihat dengan perspektif hukum Islam adalah: pertama,
hukum Islam memerintahkan bagi kaum perempuan untuk keluar rumah
tanpa disertai dengan muhrimnya. Kedua, bertentangan dengan perintah
untuk berbakti kepada orang tua karena dengan adanya kawin lari orang
tua merasa kecewa dan sakit hati terhadap apa yang telah diperbuat oleh
anak mereka. Ketiga, hukum Islam melarang pria dan wanita yang bukan
16
muhrimnya untuk tinggal bersama karena dikhawatirkan akan terjadi hal-
hal yang mendekati zina. Keempat, tuntunan agama Islam uang mahar
pemberian calon suami kepada calon istri disesuaikan dengan kemampuan
calon suami dan tidak boleh memberatkannya
Penelitian terakhir yang berkaitan dengan adat dilakukan oleh
Mochammad (2013) dengan berjudul Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan
Dengan Sistem Pitungan Jawa (Studi Kasus Di Desa Jetak, Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang). Penelitian ini mengunakan metode filed
research kualitatif untuk melakukan penelitian seputar tata cara seseorang
menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab qabul dan
mengetahui persepsi masyarakat. Hasil temuan penelitian ini adalah
mengenai:
1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh
waktu, yaitu:
a. Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi
turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu.
b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan
ijab qabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar
dari semua ancaman marabahaya.
c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu
pelaksanaan ijab qabul pernikahan, mereka harus
menggunakannya. Selain dalam hajat pernikahan pun mereka
17
juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya
waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan
marabahaya.
2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang
pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan
waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan supaya
mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan
nenek moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang
tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem
perhitungan waktu karena mereka beralasan dalam syari‟at Islam
tidak ada.
3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan
masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah
ilmu yang bersumber dari nash Al Qur‟an dan Hadist, sedangkan
tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih
dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di
tanah Jawa yang di bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari
tradisi-tradisi Jawa. Para wali memasukkan ajaran Islam ke Jawa
dengan muatan-muatan budaya Jawa. Jadi dengan adanya budaya-
budaya Jawa tidak bisa ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih
yang bersumber dari syari‟at Islam. Tradisi tersebut termasuk
dalam „urfal-fasid karena dalam pelaksanaannya masih
menggunakan unsur-unsur mistik.
18
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti mengenai pernikahan adat. Ada perbedaan dengan penelitian yang
saya teliti. Jika penelitian yang telah dilakukan berkutat dengan larangan
menikah di bulan Muharram dan pernikahan yang terikat dengan pitungan,
maka penelitian saya ini menyangkut pernikahan tanpa ijab qobul dan
mahar, dengan judul Perkembangan Pernikahan Adat Tumpeng Desa
Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
B. Kerangka Pikiran
1. Pengertian Pernikahan
Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk
mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Al Qur‟an menjuluki pernikahan dengan mitsaqanghalizhan, janji
yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan
perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai
perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus
dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu
19
dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW.
menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah
sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang,
disamping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia
sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan
oleh para ulama (fuqaha) (Amin, 2005: 50).
Meneruskan keturunan adalah sunatullah yang berlaku pada semua
makhluk untuk melangsungkan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang
menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia,
“perkawinaan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan,
hewan dan manusia. Berbeda dengan menikah hanya digunakan pada
manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat
istiadat dan terutama menurut agama. Menurut Islam nikah adalah akad
atau ikatan karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab
(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qobul (pernyatan
penerimaan dari pihak laki-laki). Adapun menurut syarak, nikah adalah
akad serah terima antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan
untuk saling memuaskan satu samama lainnya dan untuk membentuk
sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera (Tihami&Sahrani, 2009 : 6-8).
20
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadist
Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur‟an dengan arti kawin,
(Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa‟ ayat 3:
ٱنغاء يثى ى فٱكحا يا طاب نكى ي خفتى ألا تقغطا ف ٱنت إ
ح خفتى ألا تعذنا ف ع فئ سب ث ثه ألا نك أدى كى ر يا يهكت أ ذة أ
) ٣(تعنا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 115).
Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur‟an dalam arti
kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:
ٱتاق ٱللا جك ك ص أيغك عه ت عه ع أ عه عى ٱللا إر تقل نهازي أ تخف ف فغ ا ا فه أحق أ تخشى ٱللا تخشى ٱنااط يبذ ك يا ٱللا
حشج ف ؤي عهى ٱن ل ك كا نك ج ا طشا ص ا ذ ي قضى ص
أ كا طشا ا ا ي ى إرا قض ج أدعائ يفعل أص ٣٣ يش ٱللا
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-
anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 673).
Nikah, menurut bahasa: al jam‟u dan al dhamu yang artinya
kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang
artinya akad nikah.Juga bisa diartikan (wath‟ual-zaujah) bermakna
21
menyetubuhi istri atu suami. Definisi yang hampir sama dengan di atas
juga di kemukakan oleh rahmat hakim bahwa kata nikah berasal dari
bahasa arab “nikahun”, yang merupakan masdar atau asal kata dari kata
kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian di terjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga
dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Sehingga pernikahan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang
luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan
timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban
untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya (Afandi,
1997 : 93).
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dengan seorang
perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia
dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur oleh syari‟ah.Adapun tujuan pernikahan dibagi menjadi lima hal
yaitu:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta memberkembangkan suku-suku bangsa manusia.
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
22
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis yang
pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memeperbesar rasa tangguang jawab (Ramulyo,
1996 : 227).
2. Dasar Hukum Pernikahan
a. Pernikahan Menurut Hukum Islam
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban
yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan
Sohari, 2010 : 8) di dalam Al Qur‟an ada beberapa dasar hukum
perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur‟an surat An-Nuur32:
إيائكى إ كا عبادكى ي هح ٱنصا ى يكى أكحا ٱل ى عع عهى فقشاء غ ٱللا ۦ ي فضه ٣٣ ٱللا
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui (Departemen Agama Republik
Indonesia, 1989 : 549).
Dalam Al Qur‟an surat an Nisaa‟ ayat 1 yang berbunyi:
23
ا خهق ي حذة أا ٱنااط ٱتاقا سباكى ٱنازي خهقكى ي افظ
جا بۦ ص ٱنازي تغاءن ٱتاقا ٱللا غاء ا سجال كثشا بثا ي كى سقبا عه كا ا ٱللا ٱلسحاو إ ١
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-
mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu (Departemen Agama
Republik Indonesia, 1989 : 114).
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan
akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan
sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan
bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh
agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu,
maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah
(Syarifuddin, 2006 : 43).
Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu,
perkawinan yang asalnya mubah, dapat berubah menurut ahkamal-
24
khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan,(Tihami
dan Sohari, 2010 : 10). yaitu:
Nikah wajib.
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan
haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.
Nikah haram.
Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,
dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
Nikah sunnah.
Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
Nikah mubah,
25
yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini,
yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan
para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya
melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi
melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang
selamanya) (Amin, 2005 : 93).
1). Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-
laki atau perempuan dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan atau (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat
saah sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/
perempuan harus beragama Islam. Sah yitu pekerjaan atau ibadah
yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang di dalamnya
terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya
26
persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad
(Tihami&Sahrani, 2009 : 12).
Syarat syah pernikahan memiliki beberapa rukun-rukun
yang harus dilakukan yaitu: Pertama, untuk melangsungkan
pernikahan harus ada mempelai yang dinikahkan. Mempelai harus
laki-laki dan perempuan. Adapun syarat mempelai laki-laki adalah:
seorang laki-laki, bukan berasal dari mahram calon istri, tidak
terpaksa atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang
ihram. Sedangkan Syarat istri adalah: Perempuan, Tidak ada
halangan syarak yaitu tidak bersuami bukan mahram dan tidak
sedang iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya dan
Tidak sedang berihram.
Kedua adalah mempelai harus ada yang menikahkan. Orang
yang menikahkan disebut wali. Syarat wali dalah: Baligh, berakal,
merdeka, laki-laki Islam, adil dan tidak sedang ihram atau
umrah.Wali nikah ada tiga jenis yaitu wali mujbir, wali nasab dan
wali hakim. Wali mujbir adalah mereka yang mempunyi garis
keturunnan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka
yang termasuk wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas
menurut garis pariental.Sedangkan wali nasab adalah saudara laki-
laki sekandung, sebapak, paman beserta garis keturunannya
menurut garis pariental (laki-laki). Dan yang terakhir wali hakim
27
adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan dua belah pihak
(calon suami istri). Walinikah termasuk syarat dan rukun nikah.
Ketiga, dalam pernikahan harus hadir dua orang saksi yang
menyaksikan pernikahan tersebut. Saksi harus memenuhi ketentuan
persyaratan sesuai dalam agama Islam. Adapun syarat menjadi
saksi nikah adalah: Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, Islam,
Adil, Mendengar dan melihat (tidak bisu), Mengerti maksud ijab
qobul, Kuat ingatannya, Berakhlak baik, Tidak sedang menjadi
wali. Adanya dua orang saksi dan syarat-syarat menjadi saksi
termasuk salah satu dari rukun dan syarat pernikahan. Keempat
adalah harus adanya shigot ijab qobul.
Dari empat rukun nikah di atas yang paling penting adalah
ijab qobul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud syarat pernikahan adalah syarat yang
berhubungan dengan rukun-rukun pernikahan yaitu syarat-syarat
bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul. Akad nikah atau
pernikahan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukun nikah
menjadikan pernikahan tidak sah menurut hukum
(Tihami&sahrani, 2009 : 12).
2). Akad dan Syarat Ijab Qobul
28
Rukun yang pokok dalam perkawinan ridhonya laki-laki
dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup
berkeluarga karena perasaan ridho dan setuju bersifat kewajiban
yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena itu harus ada
perlambangan yang tegas untuk menunjukan kemauan mengadakan
perikatan bersuami istri, perlambangan itu di utarakan dengan kata-
kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad (Sabiq, 1980 :
53).
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan
qobul, ijab adalah perjanjian penyerahan dari pihak pertama
sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak ke dua
(Sayarifuddin, 2006 : 61). Ijab qobul merupakan senyawa yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,
bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus diucapkan
secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang dan diselang
dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses
ijab qobul (Amin, 2005 : 54).
Menurut Sabiq (1980: 53) akad yang mempunyai akibat-
akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
29
Pertama, Calon mempelai laki-laki dan wali calon
pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan
akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa atau
berakal sehat. Itulah sebabnya kenapa orang gila dan anak kecil
yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan
salah, serta perbuatan yang manfaat dan madhorot, akad nikah
tidak dianggap sah. Dalam rangka syarat mumayyiz inilah fiqih
munakahad dan Undang-ungang perkawinan harus selalu saja
mencantumkan batas-batas minimal usia kawin (nikah).
Kedua, Ijab qabul dalam satu majelis maksudnya, akad
nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian
harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam
kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas
atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan
kelangsungan akad nikah itu sendiri.
Ketiga, Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan
ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang
menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
Keempat, Para pihak yang melakukan akad nikah
(mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan
atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan
memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan
30
masing-masing pihak.Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak
memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,
akad nikah dianggap tidak sah.
a) Kata-kata dalam Ijab Qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan
kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang
melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samar atau kabur (Sabiq, 1980 :
55).
b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan
dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang
berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab.
Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak
paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya
dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi
orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab
qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.
Demikianlah salah satu dari pendapat Imam Syafi‟i. Menurut
Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-
31
kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana
juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak
menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia
mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai
bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena
bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya
menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.
Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang
maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam
ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab
tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini.
Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa
Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi
orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya
dengan mengucapkan takbir shalat (Sabiq, 1980 : 57).
c) Ijab Qabul Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana
dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual
belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu
mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah
satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah,
sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab
32
qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak
lainnya (Sabiq, 1980 : 59).
d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak bias
hadir tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka
wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada
pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain
ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan
para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau
menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan
kepada mereka didalam majelisnya bahwa akad nikahnya telah
diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih
dalam satu majlis (Sabiq, 1980 : 59).
3). Mahar Menurut Hukum Islam
Secara istilah mahar diartikan sebagai “ harta yang
menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah
atau dukhul”
Allah ta‟ala berfirman dalam QS.Al-Ahzab:50
ا ت أجض س اجك اناهت ءات ا اا ا حهها أس ا ا ا ا ناب
Artinya
33
“hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan
bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan
maskawinnya,”(QS. Al-ahzab:50).
Mahar tidak memeiliki batas tertinggi atau terendah.
Rasululllah saw bersabda: “mahar yang paling baik adalah
mahar yang paling mudah” Rasulullah saw bersabda:
“perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan
yang paling ringan maharnya”.hal ini karena mahar bukanlah
harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki, namun
pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan
balasan. Allah berfirman:
فغا ء ي نكى ع ش فئ طبا حهت ت ءاتا ٱنغاء صذق
ش فكه ٤ ا ا يا
“berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan,,,,,” (QS. An-nisa‟:4).
Mahar ada dua jenis macam yaitu: musamma dan
mahar mistil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati
oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam
akad.
Mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan
kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan
perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya,
agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama
ketika akad nikah dilangsungkan (Sabiq, 1981 : 69).
34
Tidak adanya pernikahan syighar dalam Islam
dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi
عهاى:ل شغا س ف ال عال و قال س عل للا صم للا عه
Arinya: “ Rasulullah saw berkata tidak ada syighar
dalam Islam”
Dalam ketentuan pasal 14 KHI tersebut tidak
disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat (1)
menentukan bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam
perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan merupakan
rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI menentukan bahwa calon
mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon
mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai
perempuan dan calon mempelai laki-laki. Ketentuan pasal 30
dan 34 KHI sesuai dengan mahar yang ditentukan dalam surat
An- nisaa ayat 4 dan ayat 20, dan surat Al-baqorah ayat 236
(Djubaidah, 2010 : 130).
Hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib.
Karena itu Islam mengharamkan pernikahan syighar.
Rasullullah saw melarang pernikahan syighar yang
digambarkan sebagai berikut:
“ada seorang laki-laki yang menikahkan laki-laki lain
dengan anak perempuannya, dengan syarat si laki-laki lain
tersebut harus menikahkan anak perempuannya dengan laki-
35
laki yang pertama, tanpa ada mahar di antara mereka
berdua.”(Washfi,2005 : 315).
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa.
Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah
undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prrinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini mennnnjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut Undang-undang,
perkawinan itu ialah ikatan antara seseorang pria dan seorang
wanita (Hadikusuma, 2007: 6).
Dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai
negara berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama adalah
ketuhana Yang Maha Esa, maka pernikahan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peran
yang penting (Sudarsono, 2005 : 9).
36
Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan
merupakan suatu perbuatan hukum di samping perbuatan
keagamaan sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu
menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau
kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan
keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan
kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan
bagaimana perkawinan itu harus dilakukan. Kemudian dalam
pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bagi umat Islam
pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan Islam. Begitu pula bagi penganut agama yang lain
yang diakui di Indonesia (Syahuri, 2013 : 23).
Undang-undang ini juga menentukan bahwa pernikahan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal
6 ayat 1). Hal ini dikarenakan pernikahan mempunyai maksud
agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia, dan sesuai pula dengan hak asai manusia, maka suatu
pernikhan harus memdapat persetujuan dari kedua calon suami
istri tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Undang-undang
37
No, 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam
pernikahan yaitu:
Pertama, Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling
membantu, melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan material dan sepiritual.
Kedua, Pernikahan yang sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pencatan tiap-
tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-
surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
Ketiga,Undang-undang ini menganut asas monogami.
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang dengan syarat
yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan diputuskan oleh
pengadilan.
38
Keempat, calon suami istri harus matang secara jiwa dan
raganya untuk melangsungkan pernikahan, agar dapat
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. untuk
itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami yang
masih di bawah umur. Di samping itu, pernikahan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan yaitu batas umur
yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah
mengakibatan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Oleh sebab
itu undang-undang ini menentukan batas umur seseorang untuk
melangsungkan perkawinan, untuk wanita yaitu 16 tahun dan
untuk laki-laki yaitu 19 tahun.
Kelima, Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga yang kekal dan sejahtera. Maka Undang-undang ini
mengandung prinsip mempersukar terjadinya perceraian untuk
dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
Keenam, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
39
dan diputuskan bersama oleh suami istri
(Sosroatmojo&Aulawi, 1978 : 35).
Untuk menjamin kepastian hukum maka pernikahan
berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak
mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada
(Sudarsono, 2005 : 9).
3. Hikmah Pernikahan
Islam menganjurkan dan menyegerakan kawin sebagaimana
tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya
sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia (Sabiq, 1980 : 18).
Adapun hikmah nikah adalah:
Pertama, Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling
kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar.
Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah
manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan
yang jahat. Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik
dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.
Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari
40
melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang
halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.Ar-Ruum: 21
ج أفغكى أص خهق نكى ي ۦ أ ت ءا ي كى جعم ب ا ا إن ا نتغك
و تفكاش ت نق نك ل ا ف ر إت سح ة دا ٣١ يا
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 644).
Kedua, Menikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi
mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
Ketiga, Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh
pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayangyang merupakan sifat-
sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
Keempat, Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam
memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.Ia akan cekatan bekerja,
karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya,
sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
41
Kelima, Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan
mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam
menangani tugas-tugasnya.
Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam
direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling
menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat
lagi bahagia.
4. Adat dan Pernikahan Adat
a. Pengertian Pernikahan Adat
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg
(dilakukan terus menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Jika
kebiasaan itu telah bertahan selama bertahun-tahun dan telah berurat
akar di dalam hati nurani anggota masyarakatnya, ia menjadi
kebudayaan (Rato, 2011 : 1).
Hukum adat berasal dari kata „Hukum‟ dan „adat‟ kata „Hukum‟
berasal kata bahasa arab huk‟m dan kata „adat‟ berasal dari kata adah.
Hukum adalah bentuk tunggal dari kata jamak „ahkam‟ yang berarti
42
suruhan, perintah, atau ketentuan. Misalnya al-ahkam al-khomsah=
hukum yang lima yaitu fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau
sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan jaiz mubah atau halal
(dibolehkan) (Reto, 2011 : 4).
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan
pedoman bagi sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan
dalam pergaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di Desa. Hukum
Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara
hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Hukum adat
adalah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.
Perkawinan adat adalah suatu pernikahan yang memakai syistem
atau aturan huku adat disuatu daerah, pernikahan ini ada 3 jenis yaitu:
Pertama, pernikahan patrinial (Batak, Ambon) ialah suatu
pernikahan diaman yang berkuasa hak mewaris dalam keluarga adalah
seorang laki-laki (mewaris kedudukan, harta).
Kedua, pernikahan Matrinial (Mninangkabau) ialah suatau
pernikahan dimana yang berhak mewarisi atau yang berkuasa adalah
perempuan.
Ketiga, pernikahan Parental (Jawa) ialah suatu pernikahan dimana
yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki dan anak perempuan.
43
Menurut hukum adat, perkawinan bukan hanya mengenai orang-
orang yang bersangkutan (sebagai suami istri) melainkan juga
merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat
adatpun ikut berkepentingan dalam hal perkawinan itu. Bagi hukum
adat perkawinan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya bersifat
keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan (Syahuri,
2013 : 64). Sehingga dapat disimpulkan, perkawinan adalah
kepentingan keluarga dan masyarakat baik masyarakat sedesa maupun
masyarakat adat (Ngani, 2012 : 36).
Tujuan pekawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah
mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan
masyarakat adatnya. Namun karena system kekerabatan dan
kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan maka penekanan
dari tujuan perkawinanpun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya,
misalnya pada masyarakat adat patrinial perkawinan mempunyai tujuan
untuk mempertahankan garis keturunan bapak sedangkan pada
masyarakat matrilineal perkawinan bertujuan untuk mempertahankan
garis keturunan ibu. Mengenai batas umur perkawinan, hukum adat
tidak mengaturnya. Oleh karena itu, diperbolehkan perkawinan anak-
anak yang masih di bawah umur meskipun dalam hal ini keduanya baru
bisa hidup bersama sebagai suami istri setelah menjadi baligh atau
dewasa.
44
Pada umumnya suatu perkawinan adat didahului dengan
pertunangan. Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan
antara orang tua pihak laki–laki dengan orang tua pihak perempuan
untuk maksud mengingat tali perkawinan anak–anak mereka dengan
jalan peminangan (Syuhuri, 2013 : 64).
Hukum adat di Indonesia itu sendiri pada umumnya menjelaskan
bahwa perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi
juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan
kekerabatan dan ketetanggan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan
bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan,
seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak,
hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat
istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga
menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik
dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun
hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah) dalam
pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat.
Perkawinan dalam arti “perkawinan adat” ialah perkawinan yang
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat bersangkutan. Seelah terjadi ikatan perkawinan maka
timbul hak-hak dan kewajiban-keajiban orang tua (termasuk anggota
keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat yaitu dalam
45
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina
dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan
anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan,
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk
dan bersistem perkawinan jujur diman lamaran dilakukan pihak pria
kepada pihak wanita dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat
kedudukan dan kediaman suami. Kemudian perkawinan semenda
diaman pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan
setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman
istri. Perkawinan bebas yaitu dimana pelamar dilakukan oleh pihak pria
dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat
kedudukan dan kediaman mereka dan menurut kehendak mereka.
Dari berbagai penjelasan di atas telah ditarik suatu kesimpulan
bahwa bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh mereka
yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistem
perkawinan yang berlaku dalam masyarakat, karena UU No 1 tahun
1974 tidak mengaturnya.
b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarakat
Hukm adat secara historis empiris hukum adat selalu dipatuhi
oleh warga masyarakat karena adanya sistem kepercan yang amat
berakar dalam hati warganya, sehingga mampu mengendalikan perilaku
46
dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Disamping itu
juga karena secara material dan formal, hukum adat berasal dari
masyarakat itu sendiri, atau merupakan kehendak kelompok.1
Pada dasarnya hukum adat dipatuhi karena: pertama, hukum adat
berasal dari masyarakat itu sendiri, dan konsekwensinya masyarakat
harus mematuhi aturan tersebut. Yang kedua, sesuai dengan jiwa dan
rasa keadilan yang dimiliki oleh masyarakat. Yang ketiga, memiliki
akibat hukum yang apabila tidak ditaati akan menimbulkan sanksi bagi
para pelakunya.2
c. Kelebihan dan Fungsi Hukum Adat
Walaupun hukum adat mempunyai kelemahan, hukum adat juga
mempunyai kelebihan yaitu: Responsiv, Tidak kaku, Sesuai rasa
keadilan. Sedangkan fungsi hukum adat adalah: Pertama, Sebagai alat
pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Kedua, Sebagai suatu sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.Ketiga Sebagai
sarana penggerak pembangunan. Keempat, Sebagai fungsi kritis
(Soeroso, 2002 : 36).
Manfaat hukum adat adalah untuk mengarahkan manusia
menunggal dengan alam, kerabat, dan sesama manusia lain. Hukum
adat tradisional mengarahkan manusia untuk menuju kepada yang
1 Heru kuswanto(http://herukuswanto.blogspot.com)
2 Fatahilla (http://fatahilla.blogspot.com)
47
tunggal yaitu alam. Alam yang dimaksud adalah kosmos baik makro
kosmos maupun mikro kosmos. Makro kosmos adalah alam semesta
dan mikro kosmos adalah diri sendiri. Kemanunggalan alam adalah
kemanunggalan manusia dengan alam atau antara alam termasuk
masyarakat dengan diri sendiri (Rato, 2011 : 73).
d. Kelemahan Hukum Adat
Hukum adat mempunyai beberapa kekurangan diantaranya karena
hukum adat, berawal dari kebutuhan dan menjadi kebiasaan yang terus
menerus dilakukan dan hal itu menjadi adat kebiasaan yang wajib bagi
suatu masyarakat tersebut. Hukum adat mempunyai tiga kelemahan
yaitu: Kurangnya kepastian hukum, terus berubah-ubah, tidak ada
pencatatan mengenai peristiwa peristiwa penting.3
3 Fatahilla(http://fatahilla.blogspot.com).
48
BAB III
Gambaran Umum Desa Jetak, Kecamatan Getasan,
Kabupaten Semarang
A. Gambaran Umum Penduduk di Desa Jetak
1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah
Desa Getasan merupakan sebuah Desa yang tidak berdiri begitu saja,
akan tetapi ada certita turun menurun yang dimulai dari sebuah perjalanan
panjang seorang pasangan pengembara, yang konon merupakan salah seorang
pemdiri dan pemberi nama-nama desa di Desa Getasan.Pengembara ini
bernama KI Ageng Serang dan NYI Ageng Serang.
Perang gagatan Serang Salatiga ini menjadi awal mula perjuangan KI
Ageng Serang dan NYI Ageng Serang untuk melawan para penjajah belanda.
KI dan Nyi Ageng serang lari kearah selatan untuk beristirahat dan berfikir
untuk melawan penjajah. Ki Ageng Serang berkata jika nanti ada rejane
jaman Dusun ini dinamakan “Pos Tingkir”. Kemudian KI dan NYI Ageng
Serang berlarinlagikearah selatan ada sebuah tempat yang banyak bunga
Wora-wari disini beliau berkata lagi jika nanti ada rejane jaman Dusun ini Di
namakan “Kembang Sari”
Ki Ageng Serang dan Nyi Ageng Serang melanjutkan perjalanannya
berlari ke arah Barat untuk beristirahat sebentar dan mengadakan pertemuan
49
untuk mengatur siasat perang, beliau berkata jika nanti ada rejane jaman
Dusun ini di namakan “PATEMON”. Setelah pertemuan selesai beliau
melanjutkan perjalanan ke arah Barat di sinilah lapak Kuda beliau jatuh dan
beliau berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini dunamakan “WATU
LAPUK”.
Kemudian Ki Ageng Serang melanjutkan perjalannannya ke arah
Barat sampai di tempak yang bernama Dusun Weru, melanjutkan lagi
perjalanannya ke arah Utara dan disinilah beliau mengeluh bahwa beliau
merasa Keloro-loro. Dan beliau berkata jika nanti ada rejane jaman Dusun ini
dinamakan “TOSORO”. Beliau meneruskan kembali perjalannanya ke arah
Utara sampai di Gumuk Preng di tempat inilah KI Ageng Serang jatuh karena
terkena ranting pohon bambu (preng) yang menancap diperutnya. Disinilah
Ki Ageng Serang meninggal dunia, nama beliaupun diganti dengan “KI
Carang Pati”. Di tempat Ki Ageng Serang meninggal inilah dinamakan Dusun
“Kemiri” dan makam KI Ageng Serang bernama “NGLALIS”.
Setelah KI Ageng Serang meninggal Nyi Ageng Serang melanjutkan
perjalannannya ke arah Timur disini kereta kudanya melawti jalan yang
berlubang beliau berkata jika nanti ada rejanr jaman dusun ini dinamakan
“Legok” . kemudian beliau melanjutjan perjalannya lahi ke arah Timur dan
kendali kudanya putus dan beliau terjatuh, beliau berkata jika nanti ada rejane
jaman dusun ini dinamakan “Kendal” yang berasal dari kata kendali. Sampai
akirnya beliau menetap di Dusun ini sampi ajal menjemputnya, kemudian
50
beliau dimakamkan di samping suaminya Ki Ageng Serang di pemakaman
“NGLALIS”. Desa Jetak awalnya bernama desa Kendal namun karena
bersamaan dengan kelurahan Kendal itu tidak baik. Maka pak lurah desa
Jetak datang ke Gungung menemui seorang juru kunci untuk meminta
pendapat. Dikarenakan ada pohon bulu yang rungkat atau Tumbang dan
dilihat kelurahan Kendal tidak baik maka diganti dengan Kelurahan Kendal
Jetak karena disamping jalan kanan, kiri, banyak jeglongan atau lobang kok
ngantak-antak maka di sebut Kelurahan Kendal Jetak berasal dari kata
Ngantak-anatak. (Wawancara dengan mbh Sabar tanggal 24 April 2015)
2. Letak geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak
Desa Jetak terletak di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Propinsi Jawa Tengah. Desa Jetak adalah sebuah desa yang cukup ramai
terletak di lereng kaki Gunung Merbabu dengan jalannya naik turun dan
udaranya sejuk. Walaupun Desa Jetak ini jauh dari pusat pemerintahan,
namun akses menuju Desa Jetak ini cukup mudah. Desa ini dapat ditempuh
dengan dua jalan alternatif, dapat ditempuh melalui jalan Argomulyo Salatiga
sekitar 15 km dari kota Salatiga. Dapat pula ditempuh melalui Kembangsari
Tengaran sekitar 10 km dari pasar Kembangsari. Terdapat dua jenis angkutan
umun menuju desa ini, yaitu: angkot (mini bus) kuning no 1 jurusan
Kembangsari Kendal dan angkot (mini bus) warna biru angkota no 16 jurusan
Taman Sari-Randuacir sehingga mempermudah perjalanan penulis dalam
melakukan penelitian.
51
Luas wilayah Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
mencapai 294 Ha, yang terdiri dari hutan, ladang dan pemukiman. Wilayah
Desa Jetak berseberangan dengan Desa Samirono Kecamatan Getasan /
Kelurahan Kumpul Rejo Kecamatan Argomulyo. Di sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Patemon Kecamatan Tengaran / Desa Jlarem
Kecamatan Ampel sementara di sebelah barat berbatasan dengan Desa Tajuk
Kecamatan Getasan. Dan Sebelah timur berseberangan dengan Desa
Randuacir Kecamatan Argomulyo. Jarak orbitasi Desa jetak dari pusat
pemerintahan kecamatan adalah 5 km. Kemudian jarak Desa ini dari Ibukota
Kabupaten adalah 33 km. Sedangkan jarak Desa Jetak dari Ibukota Provinsi
adalah 54 km.
Desa Jetak terbagi atas dua belas dusun terdiri dari 13 RW dan 33 RT.
Beberapa dusun di Desa Jetak diantaranya: Setugur, Gajian, Jayan, Dukuh,
Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok dan Kendal.
3. Kondisi Kependudukan atau Demografi
a. Populasi Desa Jetak
Desa Jetak kecamatan Getasan Kabupaten Semarang mempunyai
penduduk yang berjumlah 3820 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
1154 KK. Data monografi Bulan Oktober tahun 2013 menyebutkan bahwa
total jumlah penduduk laki-laki berjumlah 1.946 jiwa sedangkan perempuan
1.874 jiwa. Sedangkan jumlah perangkat desa/ kelurahan terdiri dari KASI,
52
KAUR 5 orang, Kadus 12 Orang, BPD 5 Orang, Pembina RT/RW terdiri dari
33RT dan 13 RW. Sedangkan jumlah kelembagaan Desa terdiri atas LKMD 8
Orang, PKK 67 Orang, dan Karang Taruna 27 Orang.
Untuk memperlancar kegiatan administrasi pemerintah, di Desa Jetak
terdapat perangkat Desa, mulai dari kepala Desa hingga ketua RT (Rukun
Tetangga). Desa Jetak tebagi dalam dua belas dusun yaitu Setugur, Gajian,
Jayan, Dukuh, Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok,
Kendal yang masing-masing dusun mempunyai satu ketua RW dan beberapa
RT.
b. Tingkat Pendidikan
Kondisi pendidikan masyarakat Jetak sangat memprihatinkan karena
masih banyak masyarakat yang tidak mengenyam bangku sekolah. Kondisi
ekonomi yang serba pas-pasan bahkan kurang layak menjadikan masyarakat
tidak mengenyam pendidikan kecuali sebagian masyarakat yang mampu yang
bisa memperoleh pendidikan yang tinggi. Hal tersebut tampak dari data di
bawah ini. Sumber Data: Monografi Bulan Oktober 2013.
Tabel 3.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak
No. Keterangan Jumlah
1. Taman Kanak-Kanak 144 Orang
2. Sekolah Dasar 1167 Orang
3. SMP 334 Orang
4. SMU/SMA 289 Orang
5. Akademi/ D1-D3 62 Orang
6. Sarjana. Yang menempuh pendidikan 43 Orang
53
di Yogyakarta dan Semarang
7. Pondok Pesantren 30 Orang
8. Tidak sekolah/ tidak sekolah 1.046 Orang
Angka ini menunjukkan betapa jelas banyak masyarakat yang tidak
mengenyam bangku pendidikan secara layak. Masyarakat setempat
berkesimpulan bahwa lemahnya tingkat pendidikan adalah karena masalah
biaya namun peneliti melihat ini dipengaruhi karena mereka tidak memiliki
kultur bersekolah.
c. Pekerjaan dan Usia Kerja
Kebanyakan masyarakat Desa Jetak menggantungkan hidup mereka
dengan bercocok tanam dan jasa serabutan. Mata pencaharian yang mereka
jalani setiap hari, yang dilaksanakan oleh remaja yang masih muda sekitar
usia 20 tahun hingga penduduk yang berusia 45 tahun masih meneruskan
bercocok tanam. Beberapa masyarakat ada juga yang mempunyai usaha
interpreneur yaitu selepan kayu yaitu Pak Abadi dan ternak sapi lemon atau
sapi daging dan sapi perah hampir semua masyarakat memelihara sapi. Ada
juga yang mempunyai pabrik susu yang bernama ANDINI. Mereka yang
tidak mampu memanfaatkan potensi lokal harus bekerja luar daerah sebagai
buruh.
Wanita lajang dan ibu-ibu usia 20 hingga 40 tahun ada yang berangkat
keluar negeri sebagai TKI yang berjumlah 15 Orang yang sebagian besar
54
bertujuan ke Malaysia dan Arab Saudi. Umumnya mereka bekerja sebagai
pembantu rumah tangga.
d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat
Di Desa Jetak mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun ada
juga yang beragama Kristen dan Budha. Tetapi dalam kehidupan mereka
saling menghormati terhadap pemeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya
yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas tidak ada diskriminasi atau
pengucilan terhadap warga minoritas, mereka hidup rukun berdampingan.
Tabel 3.2 Jumlah Sarana Ibadah
No. Keterangan Jumlah
1. Masjid 14 Buah
2. Mushola 4 Buah
3. Gereja 3 Buah
4. Wihara 1 Buah
Data Monografi Bulan Oktober Tahun 2013
Meskipun banyak rumah peribadatan yang ada di Desa Jetak, tetapi
belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para penduduk. Contohnya masjid
dan mushola yang banyak, belum banyak masyarakat yang menjalankan
sholat di Masjid. Dari sekian banyak masjid yang ada, salah satu yang sudah
aktif adalah Masjid yang ada di Dusun Kendal.
Di Desa Jetak juga terdapat TPA dan BTQ yang masih berlangsung
sampai saat ini, biasanya kegiatan TPA dan BTQ dilakukan setiap harinya di
55
kediaman Bapak Jono dan di kediaman Bapak Sualim. Masyarakat desa Jetak
sebenarnya mempunyai banyak tokoh Agama yang berjumlah 8 orang yang
disegani oleh masyarakat, salah satu contohnya adalah Bapak Jono yang
selalu diberi tugas untuk mengajar TPA dan Pak Amin Ahmadi yang
dipercaya masyarakat untuk memimpin do‟a yang dilafalkan dengan bahasa
Arab dan Jawa jika ada acara tertentu yang dilakukan, sedangkan pak Amin
Tasho yang memimpin Tahlil. Dan para pemuka agama yang lain biasanya
melakukan kegiatan dengan mengisi pengajian rutin ibu-ibu yang hanya anak
remaja putri dan ibu-ibu yang mendatanginya karena pengajian ini memang
dikhususkan untuk wanita dalam pengajian tersebut dan mengajar TPA dan
melakukan kegiatan keagamaan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Jetak tampak tidak
menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka hidup
rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap
gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di Desa, misalnya kerja bakti,
hajatan perkawinan dan kematian. Selain itu di Desa Jetak ini juga ada tradisi
nyadran berupa ziarah kubur yang dilaksanakan pada bulan Sya‟ban dan ada
juga tradisi saparan yang dilaksanakan di bulan Safar. Tradisi ini tetap
mereka jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat
Desa Jetak sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang
mereka.
56
Masih adanya tradisi-tradisi seperti itu mempercayai hari-hari baik
dalam pernikahan berdasarkan dengan syarat pernikahan Islam. Masyarakat
tampak masih sangat menghargai warisan para leluhur dan nenek moyang
berupa kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa. Kondisi multikultur
membentuk sikap toleran di masyarakat Jetak. Membentuk sikap terkesan
lebih toleran dan bisa selaras antara syari‟at dan budaya, kondisi sosial
keagamaan demikian membuat tradisi-tradisi lama masih bertahan. Salah
satunya adalah tradisi unik pelaksanaan ijab qabul tradisional yang bernama
pernikahan adat tumpeng.
B. Profil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng
Banyak keterangan tentang pernikahan adat tumpeng ini yang
diperoleh dari narasumber atau pelaku pernikahan adat tumpeng itu sederi,
ada 3 pasangan pelaku pernikahan tumpeng itu sendiri. Yang pertama adalah
bapak Paimin dan ibu Jumini pasangan ini menjelaskan mengapa beliau
menikah menggunakan adat tumpeng. Beliau menikah dengan pernikahan
adat ini sudah 10 tahun yang lalu tepatnya tahun 2005. Pada dasarnya mereka
tau tatacara pencatatan pernikahan yang sebenarnya, namun ada alasan yang
melatarbelakangi mereka untuk melangsungkan pernikahan adat ini, pihak
laki-laki melakukukan pernikahan ini karena awalnya sudah mendapatkan
desakan dari keluarga pihak perempuan, karena anak perempuannya sudah
mengandung, dan dapat tekanan dari lingkungan untuk segera melangsungkan
pernikahan, dan pernikahan yang dilangsungkan dengan cara pernikahan adat
57
tumpeng yang hanya sah secara lingkungan saja. Akan tetapi pernikahan adat
tumpeng ini tidak berlangsung lama adat tumpeng itu, karena pasangan ini
sepakat untuk mencatatkan pernikahan mereka karena, atas dasar saling
mencintai dan telah mempunyai anak sehingga mereka mantap untuk
mencatatkan pernikahannya. Dengan kata lain pasangan ini melakukan
pembaharuaan nikah dengan alasan untuk mempermudah anaknya agar dapat
mendapatkan haknya.
Pasangan yang kedua bapak Maryono dan ibu Pariyah berbeda
masalahnya dengan pelaku pernikahan adat yang pertama, Maryono menikahi
Pariyah sebagai istri ke dua karena Maryono telah menikah dan mempunyai
anak. Pasangan ini melakukan poligami dengan cara melakukan pernikahan
dengan pernikahan adat tumpeng. Pasangan ini menggunakan adat tumpeng
karena lebih aman tidak diketahui istri pertama. Nikah tumpeng juga
dianggap praktis bagi mempelai laki-laki. Pihak laki-laki tidak direpotkan
dengan tatacara pegajuan poligami di pengadilan karena rumit. Sedangkan
jika melakukan pernikahan dengan pernikahan tumpeng ini tidak ada aturan
yang menyangkut persyaratan untuk menikah, sehingga laki-laki ini memilih
pernikahan dengan cara adat saja. Namun pernikahan ini tidak berlangsung
lama karena pernikahan adat yang dilakukanya diketahui oleh istri
pertamanya sehingga pasangan Maryono dan Pariyah bercerai dengan cara
mereka tanpa ada tatacara perceraian melainkan hanya sekedar ucapan “kita
sudah tidak ada hubungan lagi” dan kesepakatan antara pasangan poligami
58
ini. Akibat perceraian ini anak tidak dapat mendapatkan haknya baik
pengakuan sebagai anak sampai nafkah untuk anak tersebut.
Pasangan yang ketiga bapak Budi dan ibu Erna kasus Budi dan Erna
ini banyak terjadi dalam masyarakat, yaitu pasangan menikah usia di bawah
umur. Saat menikah Budi dan Erna keduanya masih berumur 16 tahun
sementara Erna telah mengandung dan Orang tua keduabelah pihak
memutuskan untuk menikahkan menggunakan adat tumpeng terlebih dahulu
karena umur anaknya yang masih di bawah umur, pernikahan ini dilakukan
untuk memperoleh sisi praktis karena pernikahan di bawah umur tidak
diperbolehkan negara dan mereka menganggap pernikahan ini sah karena
mereka menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan siri yang telah banyak
dilakukan. Pasangan ini tidak berpisah tetapi memilih untuk melakukan
pembaharuan nikah. Dan beberapa pasangan yang lain, yang mempunyai
masalah yang sama dengan pasangan Budi dan Erna banyak yang
memutuskan untuk mengakiri pernikahan adat yang mereka jalani.
Walupun pernikahan ini tidak dilakukan atau dirayakan secara besar-
besaran, orang tua tetap mencarikan waktu yang baik untuk melakukan
pernikahan tumpeng ini karena itu sudah menjadi adat kebiasaan untuk
mencarikan waktu yang baik untuk melangsungkan pemotongan nasi
tumpeng yang menjadikan sahnya hubungan mereka.
C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak
59
Sebagaimana adat pernikahan pada umumnya dalam masyarakat Jetak
juga berrlaku pertunangan atau lamaran sebelum mereka resmi menikah.
Pertunangan adalah subuah fase sebelum berlangsungnya pernikahan, dimana
pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga
perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara keduabelah pihak untuk
mengadakan pernikahan. Pihak laki-laki akan memberitahukan terlebih
dahulu tentang kedatangan kerumah pihak perempuan untuk lamarannya.
Lamaran ini bisa dilakukan oleh orang tua pihak laki-laki bisa juga mengirim
utusan.
Pertunangan baru mengikat apabila pihak laki-laki telah memberikan
kepada pihak perempuan tanda pengikat yang kelihatan (peningset atau
panjer) biasanya berupa cincin. Pertunangan ini bisa diartikan sebagai
persetujuan pihak laki-laki dengan pihak perempuan sebelum
dilangsungkannya suatu pernikahan. Walaupun belum ada ijab qobul namun
lamaran ini membawa dampak yang baik. Karena pihak perempuan yang
telah dipinang oleh laki-laki tidak beleh menerima pinangan laki-laki lain.
Setelah pinangan atau lamaran telah dilakukan kemudian mereka
mengadakan kesepakatan untuk melakukan hajatan atau mantu. Dalam
menentukan hari baik untuk mengadakan mantu ditanyakan kepada salah
seorang yang tahu tentang hari baik (pitungan jawa). Karena sangat penting
untuk masyarakat Jetak percaya dengan pitungan tersebut. (wawancara
dengan Mbh Sabar tanggal 08 Febuari 2015).
60
Dalam melaksanakan pernikahan di Desa Jetak ini bisa dikategorikan
menjadi empat yakni tradisi mantu, ngunduh mantu, slametan dan tumpengan
(pernikahan adat) yang dilakukan dengan sederhana hampir sama dengan
slametan.
Mantu
Dalam tradisi atau budaya Jawa, pesta pernikahan bisa disebut dengan
mantu. Kata mantu berasal dari kata seng di eman-eman metu. Atau anak
perempuan atau laki-laki yang selama ini di eman-eman harus dilepaskan
untuk menjadi milik Orang lain. Untuk melangsungkan mantu atau acara
pernikahan biasanya masyarkat Jetak mencari hari baik dengan mendatangi
Mbah Sabar selaku pemangku adat sebelum dilangsungkan resepsi.
Sebelum pernikhan dilangsungkan ada beberapa prosesi yang harus
dilakukan baik oleh pihak laki-laki ataupun pihak perempuan antara lain
Pertama, kangkroh yaitu mengumpulkan sanak saudara juga tetangga
untuk musyawarah tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan-
pekerjaan mantu. Siapa yang bertugas menyebarkan undangan-undangan,
among tamu, sinoman, adang (masak), pemasangan tratak dan lain-lain.
Dalam tahap ini biasanya keluarga membentuk panita guna melaksanakan
kegiatan sebelum, bertepatan dan sesudah hajatan.
Mantu, tahap ini bertujuan untuk menciptakan nuansa bahwa hajatan
mantu telah tiba dan ada beberapa acara dalam tahap ini yaitu:
61
Pasang tratag dan tarub. Pemasangan tratag atau deklet yang
dilanjutkan dengan pemasangan tarub digunakan sebagai tanda resmi bahwa
akan ada hajatan mantu di rumah yang bersangkutan. Tarub dibuat menjelang
acara inti. Ciri kahs tarub adalah dominasi hiasan daun kelapa muda (janur),
hiasan warna-warni dan kadang disertai uborampe nasi gurih, nasi asahan,
nasi glondong, kolak ketan dan apem.
Kembar mayang berasal dari kata “kembar” artinya sama dan “
mayang” arinya bunga pohon jambe atau sering disebut Sekar Kalpataru
Dewandaru, yaitu lambang kesehatan dan keslametan jika pawiwahan telah
selesai, kembar mayang dibuang diperempatan jalan dengan maksud agar
pengantin selalu ingat asal muasal hidup ini yaitu bapak dan ibu. Barang-
barang kembar mayang adalah:
a. Batang pisang 2-3 pohon, untuk hiasan.
b. Bambu aur untuk penusuk (sujen) secukupnya
c. Janur kuning
d. Daun-daunan: daun kemuning, beringin, beserta ranting-rantinganya,
daun apa-apa daun girang dan daun andong.
e. Nanas dua buah yang sudah masak
f. Bunga melati, kantil,dan mawar merah dan putih.
g. Kelapa muda dua buah.
Tahapan tahapan lain seperti pasang tuwuhan (pasren) Tuwuhan
dipasang di pintu masuk menuju tempat duduk pengantin. Tuwuhan biasanya
berupa tambahan-tambahan yang masing-masing mempunyai makna. Janur
62
harapanya agar pengantin memperoleh nur atau cahanya yang terang dari
Maha Kuasa. Tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat Jetak dan masih
dilaksanakan sampai sekarang. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
a. Malam midodareni adalah malah sebelum adat nikah, yaitu malam
melepas masa lajang bagi kedua calon pengangtin. Acara ini dilakukan di
rumah calon mempelai perempuan. Dalam acara ini ada cara nyantrik
untuk memastikan calon mempelai laki-laki hadir dalam akad nikah dan
sebagai bukti bahwa keluarga calon pengantin perempuan benar-benar siap
melakukan prosesi pernikahan di hari berikutnya. Midodareni berasal dari
kata “widodaren” (bidadari), lalu menjadi midodareni yang berarti
membuat keadaan calon pengantin seperti bidadari. Dalam pewayangan
kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan sebagai Dewi
Kumarantih dan Dewa Kuma Jaya.
b. Puncak acara mantu. Peristiwa penting dalam hajatan mantu adalah ijab
qobul dimana sepasang calon pengantin bersumpah dihadapan naib yang
disaksikan wali, pinisepuh dan orang tua kedua belah pihak serta beberapa
tamu undangan.
c. Selanjutnya upacara puncak yang terdiri dari berbagai tahapan. Salah
satunya setelah melalui tahap panggih, pengangtin diantara duduk di
sasana ringga, di sana dilakukan tatacara upacara adat Jawa.
d. Timbangan. Bapak pengantin putri duduk diantara pasangan pengantin,
kaki kanan diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki pengantin putri,
63
dialog singkat antara antara bapak dan ibu pengantin putri berisi
pernyataan bahwa masing-masing pengantin sudah seimbang.
e. Kecar-kecur pengantin putra mengucurkan penghasilan kepada pengantin
putri berupa uang receh beserta kelengkapannya. Mengandung arti
pengantin pria akan bertanggung jawab memberi nafkah kepada
keluarganya,
f. Dulang. Antara pengantin pria dan pengantin wanita saling menyuapi. Hal
ini mengandung kiasan kalu memadu kasih diantara keduanya (simbol
seksual).
g. Sungkeman, sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta
memohon doa restu. Caranya berjongkok dengan sikap seperti orang
menyembah, menyentuh lutut orang tua pengantin perempuan, mulai dari
pengantin putri diikuti pengantin putra, baru kemudian kepada bapak dan
ibu pengntin putra.
Selatin tradisi upacara tersebut di atas, tradisi lain setelah acara itu
selesai biasanya dilakukan sehari setelah acara puncak acara yaitu makan
jenang sumsum bersama, makan jenang sumsum ini bertujuan untuk
menghilangkan rasa capek setelah berhari-hari berkerja untuk persiapan
puncak acara. Ada juga tradisi ater-ataer. Memberi nasi dan lauk pauk kepada
para tetangga terutama yang terlibat terhadap acara walimahan tersebut.
Ngunduh mantu
64
Kata ngunduh menitik yang dilakukan khusus oleh orang tua dari
mempelai laki-laki, yang berarti mendatangkan mempelai berdua dirumah
orang tua mempelai laki-laki, biasanya setelah lima hari anak laki-laki itu
berada di rumah mertuanya sejak hari dilangsungkan pernikahanya. Ada juga
yang melakukan ngunduh mantu dalam waktu sehari hal ini biasanya
dikarenakan jarak rumah mereka berdekatan. Ngunduh mantu sepenuhnya
menjadi tanggung jawab dari keluarga mempeklai laki-laki, ngunduh mantu
dalam tradisi masyarakat desa Jetak jika dilihat dari jenis kegotong-
royongannya dibedakan menjadi dua macam yaitu menerima sumbangan atau
nompo-nompo dan yang tidak menerima sumbangan atau ora nomp. Ngunduh
mantu biasanya dilakukan lebih sederhana karanea tidak banyak upacara yang
dipakai hanya tradisi dari upacara serah terima dari wakil pengantin pihak
perempuan kepada keluarga pihak laki-laki.
Tradisi Jawa dahulu sangat kental, sekarang sudah mulai ada
perubahan. Saat ini upacara-upacara walimah lebih bersifat sederhana dan
hanya mengambil yang inti. Dalam ngunduh mantu biasanya hanya terdiri
dari acara sebagai berikut:
a. Pembukaan
b. Pembacaan ayat-ayat suci Al qur‟an
c. Serah terima dari pihak pengantin perempuan kepada pihak keluarga
menpelai laki-laki.
d. Mauidlah hasanah dari kyai atau tokoh agama.
e. Penutup.
65
Perubahan ini dipengaruhi oleh keadaan ekonomi masing-masing
keluarga, kepercayaan, dan juga tingkat pengetahuan keagamaan masyarakat.
Prosesi Pernikahan Adat Tumpeng
Pernikahan adat tumpeng ini lazimnya sama dengan pernikahan
lainya, proses sebelum terjadinya pernikahan juga sama. Yaitu dengan
kedatangan pihak keluarga mempelai laki-laki ke rumah pihak perempuan
untuk melamar calon mempelai perempuan. Dalam proses lamaran ini tidak
ada tanda pengikat pertunangan. Dalam kesempatan ini biasanya kedua belah
pihak telah membuat kesepakatan antara kedua belah pihak untuk
melangsungkan pernikahan secara adat. Setelah kesepakatan tercapai pihak
keluarga mempelai perempuan biasanya mencarai hari baik untuk
melangsungkan pernikahan adat ini dengan datang ke pemangku adat untuk
mencari pitungan atau hari baik menurut adat Jawa.
Prosesi atau tatacara pernikahan tumpeng dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana. Orang tua mempelai perempuan mengumpulkan tetangga di
sekitar rumah untuk menyaksikan kegiatan pernikahan tersebut, pernikahan
ini berlangsung dengan tanda pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh
orang yang paling tua atau yang disegani dalam masyarakat, pernikhan yang
dilangsungkan tidak menggunakan shigot ijab qobul sesuai dengan syari‟at
Islam melainkan dengan kata-kata atau ucapan bahasa Jawa yang sangat
66
sederhana “seksenono wong loro iki wes sah dadi bojone di tengeri soko
nugel tumpeng iki”.
Pernikahan adat tumpeng ini sebuah pernikahan yang dilangsungkan
secara adat yaitu pernikahan yang dilakukan secara sederhana dengan
menyiapkan nasi tumpeng dan mengundang (tonggo teparo) atau tetangga
rumah untuk menyaksikan berlangsungnya pernikahan dan moden Jawa
untuk mendoakan nasi tumpeng tersebut sebelum berlangsungnya
pemotongan tumpeng sebagi tanda bahwa pasangan tersebut telah menjadi
suami-istri.
Selain ikrar ijab yang menggunakan bahasa Jawa pernikahan ini juga
tidak menggunakan maskawin atau mahar yang diberikan untuk mempelai
perempuan dari mempelai laki-laki. Sebelum terlaksana pernikahan juga
harus melewati beberapa ritual adat yaitu dengan penetapan hari baik untuk
melangsungkan pernikahan, pemasangan kembar mayang di pelaminan,
malam midodareni, pelepasan ayam di sungai ketika melewati sungai besar,
sampai membuat sesajen yang diletakkan di perempatan jalan atau di sungai
dan diletakkan di sebuah ruangan sepi di tempat yang melangsungkan
pernikahan.
Dalam pernikahan adat tumpeng ini syarat dan rukun nikah tidak
terpenuhi yaitu tidak dipakainya Shigot ijab qobul dan tidak ada pemberian
mahar saat pelaksanaan pernikahan, namun ada shigot yang dipakai untuk
mengganti shigot ijab qobul sebuah pernikahan.
67
Dalam perhitungan tahun ini pergantiannya setiap 8 tahun sekali atau
sewindu. Sedangkan untuk perhitungan waktu pelaksanaannya ijab qabul
pernikahan Mbah Sabar sudah menentukannya waktu-waktu yang tepat untuk
melangsungkannya yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.3 Daftar Waktu-Waktu Yang dianggap Tepat Untuk
menikah
Sumber Data: hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 08 Febuari
2015
Penggunaan waktu dan hari baik ini bukan hanya dilakukan untuk
hajatan pernikahan saja tetapi dalam mendirikan rumah atau bangunan
No. Hari Jam/Waktu
1. Senin 11.00
2. Selasa 14.00
3. Rabu 10.00 dan 22.00
4. Kamis 07.00 dan 08.00
5. Jum‟at 10.00
6. Sabtu 11.00
7. Minggu 07.00 dan 08.00
68
masyarakat juga menggunakan hari dan waktu yang baik pula. Sedangkan
pada bulan Suro atau Muharram tidak digunakan untuk menyelenggarakan
hajatan pernikahan, mendirikan rumah, ataupun bangunan karena mereka
takut mendapat malapetaka dan marabahaya. Hal tersebut sudah mereka taati
sejak dari nenek moyang dulu tidak ada yang melangsungkan kegiatan atau
hajatan pada bulan Suro atau Muharram. (hasil wawancara dengan Mbah
Sabar tanggal 08 febuari 2015).
Pernikahan adat tumpeng ini ada yang sangat menarik, karena
pernikahan yang dilakukan sangat sederhana dan tidak dicatatkan baik oleh
pemangku adat maupun kepala Desa. Sehingga jika terjadi perceraian dalam
pernikahan ini tidak ada aturan atau proses untuk perceraian. Hanya dengan
kesepakatan suami-istri untuk berpisah maka pernikahan yang telah dijalani
terputus ketika kedua pasangan ini telah sepakat untuk berpisah. Karena hal
inilah berimbas pada pembagian harta waris untuk anak-anak yang lahir dari
pernikahan adat tumpeng ini.
D. Fakror Terjadinya Pernikahan Adat Tumeng di Desa Jetak
Pernikahan adat tumpeng ini ada beberapa faktor yang melatar
belakangi terjadinya pernikahan adat tumpeng yaitu:
Pertama, faktor pendidkan. Masyarakat Desa Jetak rata-rata hanya
mengenyam pendidukan SD dan banyak yang tidak mengenyam pendidkan,
hal ini terjadi karena biaya yang cukup mahal dan juga kurangnya motivasi
69
dari orang tua jika ada satu atu dua orang yang mengenyam pendidikan yang
cukup tinggi juga tidak bisa melakukan perubahan yang banyak untuk
merubah tradisi yang sudah lama berlangsung di Desa Jetak.
Kedua, faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
pernikahan ini berlangsung lama. Masyarakat yang mayoritas yang memiliki
mata pencaharian sebagai bertani. Dalam mengerjakan pertanian dibagi
menjadi dua yaitu petani murni yang mengerjakan lahan pertanianya sendiri
dan juga buruh tani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pola pernikahan
yang ada di Desa Jetak karena kurangnya pengalaman atau pergaulan yang
terbatas membuat pernikahan ini berlangsung lama dan terus-menerus
dilakukan.
Ketiga, faktor agama menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Karena
masyrakat yang kurang memahami agama Islam dan banyak juga masyarakat
yang menggunakan Islam kejawen, dan kurangnya tokoh agam yang mampu
memberikan pengetahuan agama yang lebih terhadap masyarakat, Membuat
pernikahan adat ini menjadi tradisi yang berlangsung sangat lama.
Secara umum nikah tumpeng tidak lagi dilakukan masyarakat muslim
kecuali sebatas sebagai perlengkapan upacara. Namun kasus-kasus yang
dialami warga membuat mereka harus kembali melakukan pernikahan
tumpeng walau kemudian ada yang tetap mengulangnya sesuai syari‟at dan
hukum.
70
Dari hasil wawancara di Desa Jetak dapat diambil beberapa alasan
mengapa mereka memilih melangsungkan pernikahan menggunakan
pernikahan adat tumpeng. Adapun alasan-alasan yang banyak dikemukakan
oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat menggunakan pernikahan adat tumpeng karena pernikahan
ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi sejak dahulu untuk melegalkan
sebuah hubungan pernikahan.
b. Beberapa pasangan atau calon pasutri telah tertangkap tangan melakukan
hubugan suami-istri dan telah hamil Sehingga masyarakat memutuskan
untuk menikahkan pasangan tersebut dengan pernikahan adat tumpeng.
c. Untuk mempelai pasutri yang masih di bawah umur biasanya lebih
memilih menggunakan pernikahan adat ini, karena untuk melangsugkan
pernikahan yang sah dan dicatatkan di KUA, harus mengajukan
dispensasi. Mereka tidak mau untuk menunggu umur mereka cukup,
untuk menikah.
d. Pernikahan tumpeng dipilih untuk wanita atau pria yang sudah menikah,
Dan ketahuan ada hubungan dengan orang lain. Mereka menggunakan
pernikahan ini agar hubungan mereka sah. Dan tidak menjadi cibiran
dimasyarakat
e. Biasanya pasangan menggunakan pernikahan adat ini sebelum
melangsungkan pernikahan secara resmi di KUA. Karena menurut
mereka. Pernikahan tumpeng adalah pernikahan siri.
71
f. Bagi mereka yang tidak mau menggunakan pernikahan adat. Mereka
menganggap pernikahan ini tidak sah karena tidak memenuhi rukun dan
syarat pernikahan (hasil wawancara pak jono tanggal 27 Januari 2015).
Dari berbagai alasan kenapa masyarakat menikah menggunakan
pernikahan adat tumpeng dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan adat
tumpeng ada 5 macam yaitu pernikahan yang memang melangsungkan
budaya adat, pernikahan karena masih di bawah umur, pernikahan karena
telah berbadan dua, pernikahan yang ingin mempunyai istri lebih dari satu
dan pernikahan yang memeng menggunakan tumpeng dulu baru dicatatkan ke
KUA.
E. Persepsi Masyarakat Jetak Tenang Pernikahan Adat Tumpeng
Menurut bapak Mujiono, bapak Abadi, bapak Hardiono Kemin, bapak
Sukimin, bapak Sarwono, dan ibu Agus Tina, ibu Sri Kustinawati, ibu Sri
Lestari, Merka berlatar pendidikan yang lumayan tinggi dan diantaranya ada
pemuka Agama : tidak setuju karena pernikahan yang sebenarnya menurut
syariat Islam menggunakan ijab qobul.
Menurut Pak Amin Ahmadi yang berusia 66 Tahun selaku mantan
modin. Beliau juga sebagai salah satau tokoh agama di Desa Jetak. Beliau
tidak setuju dengan pernikahan tumpeng karena pernikahkan tumpeng ini
tidak sesuai dengan syari‟at Islam karena tidak terpenuhinya rukun dan syarat
pernikahan. Pak Amin Ahmadi mengatakan pernikahan itu biasa disebut
dengan pernikahan haram karena sama saja pasangan suami istri yang
72
menikah tumpeng belum syah secara Agama, maka hubungan pasutri yang
dilakukan sama saja dengan zina. Menurutnya pada zaman Rasuullullah tidak
ada pernikahan yang semacam itu.
Sedangkan Pak Sualim yang berusi 40 Tahun beliau adalah pemuka
Agama, pak Sualim menjelaskan tentang pernikaan adat ini sedikit berbeda
karena beliau tidak setuju dengan pernikahan itu. Pergeseran pernikahan
tumpeng terjadi sejak bertambahnya pemuka Agama Desa Jetak dan selalu
dilakukan sosialosasi ke masyarakat tentnag pencatatan pernikahan dan
pernikahan yang sah menurut syari‟at Islam sosialisi yang dilakukan oleh
KUA berbuah manis karena pernikahan adat dengan cara yang dahulu sudah
jarang dilakukan karna pernikahan itu tidak sah karena tidak sesuai syari‟at
Islam.
Menurut Pak Jono yang berusia 39 Tahun selaku pemuka Agama dan
juga tokoh adat Desa Jetak beliau jelas mengatakan pernikahan itu tidak sah
dan haram. Karena tidak adanya ikrar ijab qabul di antara kedua belah pihak.
Namun pak Jono tidak berani mengambil tindakan lebih jauh karena
pernikahan itu sudah sering berlangsung dan terkadang tidak dilakukan di
Desa Jetak.
Menurut Pak Abadi berusia 40 Tahun selaku lurah PJ sementara. Pak
Abadi berpendapat pernikahan adat tumpeng ini memang telah berlangsung
sangat lama. Beliau berpendapat pernikahan adat tumpeng ini tidak sah
karena tidak terpenuhinya syarat dan ijab qabul saat pernikahan. Namun ada
beberapa masyarakat juga berpendapat setuju tentang pernikahan adat
73
tumpeng tersebut walaupun sudah berbeda dengan pernikahan adat yang
terdahulu. Yang penting unsur adat yang terdapat dalam pernikahan adat itu
masih dijalankan dan untuk melestaraikan kebiasaan yang sudah menjadi
tradisi di Desa Jetak. Sehingga pernikhan adat tumpeng sekarang ini hanya
pemotongan tumpeng saja saat malam midodareni dan ijab qobul
pernikahannya sudah sesuai dengan syari‟at dan sudah terpenuhinya mahar
untuk mempelai perempuan. Akan tetapi tradisi-tradisi lainnya masih
dipercayai dan dijalankan sampai sekarang salah satunya peletakan bunga-
bunga atau kebar mayang yang diletakkan di perempatan jalan, pelepasan
ayam ketika melewati sungai, sampai penghitungan waktu yang baik untuk
menyelenggarakan ijab qabul dan resepsi pernikahan.
Sedangkan beberapa masyarakat yang setuju dengan akad nikah yang
dipakai di Desa Jetak adalah Bapak Jarwono, bapak Suwarno bapak Parji,
bapak Tukimin, bapak Suparno, bapak Wagimin, bapak Marto bolot, bapak
Sumarto Pupon. Dan ibu Sulastri, ibu Sumiyati, ibu Sutini. Mengatakan
bahwa setuju karena ini warisan nenek moyang yang harus dilanjutkan karena
pernikahan ini sama dengan pernikahan siri.
Menurut pak Parji pernikahan adat ini telah berlangsung sangat lama.
Beliau berpendapat bahwa beliau setuju dengan pernikahan adat tumpeng ini
karna dulu beliau dan keluarganya juga melangsungkan pernikahan dengan
pernikahan adat.
Sedangkan menurut pak Marto Bolot pernikahan adat tumpeng harus
tetap dilakukan karna ini warisan dan sudah menjadi adat istiadat tumpengan
74
saat pernikahan berlangsung. Hal yang sama juga dikatakan oleh bapak
Suparno, bapak Wagimin, ibu Sulastri, ibu sutini, ibu sumiyati dan bapak
Sumarto Pupon
Dari wawancra dengan masyarakat Desa Jetak ada beberapa yang
setuju dengan pernikahan ini diantaranya : Bapak Jarwono, bapak Suwarno,
bapak Parji, bapak Tukimin bapak Suparno, bapak Wagimin, bapak Marto
Bolot dan lainnya yang setuju menggunakan ijab dengan cara mereka. Namun
dengan seiringnya waktu dengan perkembangan zaman telah terjadi
perubahan besar dalam pelaksanaan pernikahan di Desa mereka. Dengan
menggati shigot jawa yang berbunyi “Seksenono nak bocah loro iki wes dadi
bojone saiki ditengeri soko nugel tupeng iki”. dengan shigot ijab qobul sesuai
dengan syariat Islam.
Dari hasil wawancara kepada masyarakat Desa Jetak kebanyakan
penduduk sangat berpegang teguh kepada tradisi-tradisi Jawa. Apa lagi dalam
hal pernikahan mereka sangat berhati-hati dalam persiapan pelaksanaan
sampai pada acara pernikahannya. Namun ada beberapa pendapat
masyarakat, dengan latar belakang pendidikan yang berbeda maka terdapat
juga perbedaan tentang penafsiran pernikahan adat ini. Pernikahan yang tidak
memenuhi rukun dan syarat nikah ini telah menjadi kebiasaan yang pernah
berlangsung lama di Desa Jetak. Meskipun masyarakat mayoritas beragama
Islam tapi tidak semua mengerti tentang syari‟at Agama Islam khususnya
tetang pernikahan, hal ini dibuktikan dengan adanya pernikahan tumpeng
yang hanya dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja.
75
Menurut Mbah Sabar pernikahan adat tumpeng memang sudah
menjadi adat kebiasaan di Desa Jetak sejak dahulu, pernikahan adat ini hanya
dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam saja. Semua pernikahan
adalah sama artinya yaitu untuk melangsungkan hidup untuk memperoleh
keturunan. Mbah Sabar lebih menekankan pitungan waktu yang baik untuk
melangsungkan pernikahan, dalam pernikahan adat tumpeng juga sama
dengan pernikahan lainnya yaitu harus menghitung waktu baik untuk
melangsungkan pernikahan. Mbah sabar yang berusia sekitar 65 Tahun
beliau sebagai sesepuh atau dukun sangat mendukung dengan perubahan yang
terjadi di Desa mereka terutama tentang pelaksanaan ijab qobul pernikahan
sesuai dengan syari‟at Islam dan pemberian mahar untuk mempelai
perempuan. Karena menurut Mbah Sabar adat Jawa yang lainnya masih
berjalan dengan baik dengan masih dilakukannya pitungan menentukan hari
baik untuk menikah, malam widodarenan, dan pemotongan tumpeng saat
malam widodaren, sampai kebiasaan nyadran. Mbah Sabar sangat setuju
dengan pernikahan yang sesuai dengan syari‟at, karena menurutnya ia sendiri
adalah seorang muslim.
F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng Terhaap Istri dan Anak
Dalam pernikahan adat tumpeng ini cara pembagian harta waris tidak
ada aturannya. Sehingga pembagian waris bergantung kepada orang tua
masing-masing. Biasanya pembagian harta waris tidak dibedakan antara anak
perempuan atau anak laki-laki, karena keduanya dianggap sama. Namun ada
76
beberapa anak tidak dapat memperoleh warisan dari orang tuanya kerena
memang orang tua sengaja tidak memberikan, dan anakpun tidak dapat
menuntut untuk meminta wariasan dari orang tuanya karena tidak mempunyai
bukti yang otentik.
Pada dasarnya masyarakat jetak dan Kendal sangat memahami
tatacara pencatatan sebuah ikatan pernikahan. Namun masyarakat
kebanyakan memcatatkan pernikahanya setelah ikatan pernikahan adat itu
telah berlangsung untuk beberapa saat. Kemudian baru mencatatkan
pernikahannya ke KUA (Kantor Urusan Agama). Mereka berpendapat bahwa
sama antara pernikahan adat dengan pernikahan siri yang sah secara agama,
merka menganggap pernikahan adat itu juga sah. Karena pernikahan adat
tumpeng memang sah secara linggungan. Hal inilah dampak kerugian yang
ditimbulkan dari pernikahan adat tumpeng ini, tidak hanya dampak terhadap
wanita atau istri dampak terhadap anak biasanya yang paling besar. Karena
anak kesuitan untuk melakukan kegiatan administrasi di desa.
G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak
Perubahan kebudayaan pada suataub masyarakat keniscayaan dan
tidak dapat dielakkan. Masyarakat yang tidak pernah statis selalu dinamis
berubah dari suatu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan berbagai
faktor. Perubahan ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia
terhadap tanggapan lingkungannya.
77
Jika ditinjau dari teori perubahan kebudayaan, perubahan pernikahan
adat tumpeng menjadi pernikahan yang sesuai syari‟at ini menggambarkan
bahwa perubahan kebudayaan di Desa Jetak terjadi secara perlahan-lahan
Pernikahan dan bertahap. Setiap masyarakat mengalami evolisi yang berbeda-
beda. Oleh karena itu masyarakat menunjukkan kebudayaan yang berbeda-
beda. Salah satu anggota masyarakat dikenal telah maju, sedangkan
masyarakat yang lain masih dianggap atau tergolong sebagai masyarakat yang
belum maju. Hanya saja masyarakat maju di Desa Jetak ini belum mencapai
standar masyarakat maju sebagaimana yang terjadi di kota. Walau masyarakat
Desa Jetak ini sudah berubah namun pola kehidupan desa masih sangat kental
dipraktikkan oleh masyarakat. Perubahan kebudayaan itu terjadi hanya pada
model pernikahan adat menjadi pernikahan resmi secara agama dan Negara.
Sedangkan budaya atau tradisi yang lainnya tidak berubah.
Karena pernikahan adat tumpeng yang dilakukan saat ini berbeda
dengan pernikahan adat tumpeng yang dahulu. Pernikahan adat tumpeng
sekarang dilakukan hanya untuk sebagai pelengkap ritual saja, karena
pernikahan yang berlangsung di Desa Jetak sekarang pernikahan yang lazim
dilakukan oleh masyarakat muslim yang lainnya dengan memakai ijab qobul
dan mahar dengan ketentuan syarat dan rukun nikahnya terpenuhi. Namun
nasi tumpeng tetap digunakan dalam pernikahan ini, hanya saja berdeda
fungsinya dengan yang dulu, nasi tumpeng dipakai saat malam midodareni
dan dipotong tepat pukul 12 malam sebagi pelengkap ritual malam
midodareni. Pemberian mahar dilakukan pada saat ijab qobul. Dan
78
pelaksanaan ikrar ijab qobul dilakukan sesuai waktu yang telah ditetapkan
dengan pitungan Jawa. Kemudian baru dilakukan resepsi pernikahan dengan
tatacara atau adat Jawa yang biasanya dilakukan.
Sosialisasi yang gencar dilakukan oleh Kementrian Agama dan KUA
dan peran pemuka agama untuk memperkenalkan pernikahan yang sah secara
Agama dan Negara. Perubahan dalam proses pernikahannya yaitu pernikahan
yang biasa tidak menggunakan shigot ijab qobul, sekarang menggunakan ijab
qobul dan pemberian mahar untuk calon mempelai perempuan. Nasi tumpeng
yang dahulunya menjadi kebiasaan masyarakat Jetak, masih dilakukan namun
hanya sebatas perlengkapan acara pernikahan. Akan tetapi berbeda dengan
cara dan penggunaannya dengan pernikahan adat tumpeng yang dahulu. Jika
dulu nasi tumpeng dipotong untuk menandai pernikahan itu sudah sah,
sedangkan nasi tumpeng saat ini dibuat pada saat malam midodareni dan
hanya di tempat mempelai petempuan saja yang menyiapkan nasi tumpeng
tersebut dalam adat jawa yatu “ngandapaken widodari sakeng kayangan
engkang ngayomi temantan temnten”. Dalam nasi tumpeng terdapat macam-
macam pernak pernik yang di pakai adalah bawang putih, bawang merah,
cabe merah, cabe hijau, daun sirih, rokok kretek, uang kertas berbagai
macam pernak pernik ini di tusuk diletakkan di atas nasi tumpeng bersamaan
dengan ingkung ayam. Yang dipakai hanya kepala, sayap dan kaki ayam.
Yang menandakan seribu kurang satu itu bagian bidadari “ngramboko” di
dalam tumpeng yang akan menunggu temanten sekalian. Dan yang
memotong tumpengannya adalah pengantennya itu sendiri, pemotongan
79
tumpeng dilakukan tepat pukul 12 malam yang disebut malam midodaran.
Dan pagi harinya baru menyelenggarakan ijab qobul pernikahan dan syukuran
atas pernikahan tersebut. Selain sosialisasi yang gencar dilakukan ada
beberapa faktor yang mendorog terjadinya perubahan tradisi pernikahan adat
tumpeng yaitu:
a. Pertama, faktor pendidikan, masyarakat desa Jetak yang awalnya
tidak berpendidikan yang cukup, sehingga tidak mempunyai ilmu
yang memadai. Saat ini banyak geberasi muda yang menempuh
pendidikan sampai dengan SMA, Pesantren bahkan di bangku
kuliah sehingga sudah banyak masyarakat yang memiliki
pengalaman dan pengetahuan, sehingga mereka lebih memiliki
pandangan yang luas dalam hal menentukan pernikahan.
b. Kedua, faktor agama. Menjadi faktor yang sangat penting dalam
perubahan perkembangan tradisi pernikahan adat ini, karena hanya
yang beragama Islam saja yang melakukan pernikahan adat
tumpeng ini. Dengan berkembangnya jaman masyarakat desa
Jetak sudah banyak yang mengenyam pendidikan yang semakin
tinggi dan pengetahuan masyarakat tentang agam Islampun mulai
bertambah, bertambahnya para ulama atau pemuka agama di desa
ini juga menjadi salah satu faktor perkembangan pernikahan di
Desa Jetak.
c. Ketiga, faktor ekonomi. Ini memiliki hubungan erat dengan
tingkat pendidikan . banyak pemuda atau pemudi di desa Jetak ini
80
sekarang tidak lagi mengandalkan bertani seperti orang tuanya,
banyak pemuda-pemudi yang memiliki ijazah dan bekal yang
memedai maka mereka bisa bekerja di pabrik-pabrik dengan gaji
mingguan atau bulan, hal ini membuat perekonomiannya lebih
baik dari sebelumnya. Banyak juga masyarakat yang bekerja di
luar kota atau luar Negri, hal ini memicu terjadinya perubahan
pernikahan adat tumpeng dengan pengalaman tau mendapatkan
istri dari tempat mereka berkerja.
d. Keempat, faktor pengalaman. Dengan ijazah yang mereka miliki.
Kemudian mereka mencari pekerjaan diluar wilayah Desa Jetak.
Masyarakat yang awalnya hanya petani menjadi buruh pabrik,
berdagang di pasar dan lain-lainnya, dengan inilah masyarakat
dapat berkomunikasi dengan masyarakat lain di luar Desa Jetak.
Di sinilah mereka mencoba merubah cara pandang mereka
mengenai pernikahan adat yang awalnya mengikuti tradisi nenek
moyong yang melakukan pernikahan adat tumpeng, sekarang
banyak masyarakat yang tidak bercita-cita menikahkan anak
mereka dengan pernikahan adat tumpeng. Perubahan pernikahan
adat ini tampak sangat besar tetapi tidak mempengaruhi budaya
kejawen lainnya hanya saja perubahan terdapat pada cara
pernikahannya saja.
81
BAB IV
Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Fikih dan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974
A. TRADISI PERNIKAHAN ADAT DI DESA JETAK
Pernikahan adat tumpeng adalah sebuah pernikahan yang
dilakukan secara adat, pernikahan yang dilakukan secara sederhana dengan
pemotongan nasi tumpeng sebagai tanda bahwa pernikahan ini telah resmi
tanpa dipakianya shigot ijab qobul dan mahar. Namun seiring
berkembangnya jaman pernikahan adat yang telah menjadi tradisi di Desa
Jetak ini berangsur-angsur mengalami perubahan terutama dalam hal
pernikahan. Jika pernikahan tumpeng dulu hanya ditandai dengan
pemotongan nasi saja dan disaksikan lingkungan, pernikahan adat yang
berlaku sekarang adalah pernikahan tumpeng sebagai pelengkap ritual saja
karena pernikahan yang berlangsung sekrang menggunakan shigot ijab
qobul dan pemberian mahar, namun masih ada ritual-ritual jawa yang
masih dilakukan karena ini telah menjadi tradisi di Desa Jetak.
B. PELAKSANAAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DALAM
TINJAUAN ILMU FIQH
82
Dalam masalah pernikahan adat ini sangat jelas hukumnya bahwa
pernikahan adat tumpeng tidak sah. Karena tidak terpenuhinya rukun dan
syarat pernikahan. Bahkan jelas dikatakan bahwa segala syarat yang ada
dalam Al qur‟an harus terpenuhi, hal ini dibuktikan dengan sabda
Rasulullah;
كل شر ط ليس في كاتا ب للا فهى با طل وان كان مائة شر ط
“tiiap-tiap syarat yang tidak ada dalam di dalam kitab Allah
adalah batal, sekalipun ada seratus syarat”(Sabiq, 1980 : 80).
Syarat yang dimaksut adalah syarat syarat tersebut tidak
mengandung kemaslahatan dalam perkawian dan tidak pula termasuk
dalam rangkaiannya. Dalam ketentuan membayar mahar saat
perkawinanpun wajib dilakukan karena sudah menjadi tanggung jawab
suami untuk memberikan mahar kepada istrinya dan ketentuan mahar
sebenarnya sudah diatur namun ada hadis yang meringankan ketentuan
mahar itu untuk laki-laki yang benar-benar tidak mampu, sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW yang bahwa:
التمس ولى خا تما مه حد يد
“carilah walupun cincin dari besi.(HR. Muslim)”. Hadis ini
menunjukan keharusan membayar mahar walaupun dengan sesuatu yang
sedikit. Adapun ijma‟ telah terjadi konsensus sejak masa kerasullan beliau
83
sampai sekarang atas disyaratkannya mahar dan wajib hukumnya (Azzam
& Hawwas, 2009 : 177).
Jika ada seseorang menikah tanpa menetapkan jumlah maharnya
terlebih dahulu bahkan mensyaraktan tanpa mahar sama sekali, maka
perkawinan itu tidak sah. Demikian pendapat golongan Malik dan Ibnu
Hazam. Jika ada syarat tanpa mahar sama sekali, maka pernikahannya
batal. Sabda Rosulullah:
لقىل رسى ل للا صلى ا هلل و سلم كل شر ط ليس في كتا ب للا
و جل فهى با طل عز
“karena sebagai sabda Rosulullah sebagi berikut: setiap syarat di
luar ketentuan hukum Allah adalah batal”(Sabiq, 1980 : 68)
Pernikahan adat tumpeng ini tidak sesuai dengan Agama Islam
karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Dan sudah dipertegas
dengan hadis di atas bahwasanya nikah tanpa mahar adalah batal
hukumnya. Pernikahan adat tumpeng yang lama dari sudut pandang Islam
tidak sah hukumnya. Tradisi ini hanya sah menurut adat setempat saja
tidak memiliki kekuatan hukum syari”at.
Perkawinan yang disembunyikan atau tidak terpenuhinya rukun
dan syarat pernikahan berdasarkan hukum Islam adalah pernikahan yang
tidak sah jika mereka tetap melanjutkan hubungan pernikahannya, menurut
Ummar bin Khottob mereka termasuk melakukan zina, maka layak
mendapatkan hukuman jilid (dera atau cambuk) (Djubaidah, 2010 : 154).
84
C. ANALISIS PERNIKAHAN ADAT TUMPENG MENURUT
UNDANG NO 1 TAHUN 1974
Dalam undang undang No 1 Tahun 1974 dan KHI telah diatur
segala sesuatu tentang pernikahan. Dalam pasal 2 (1) undang-undang No 1
Tahun 1974 pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan pasal 2 (2) tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini tidak dilaksanakan dalam pernikahan adat tumpeng
karena tidak adanya pencatatan pernikahan yang dilakukan baik oleh
pasangan yang menikah maupun oleh pemerintah Desa. Dan pasal 14
Inpres No1 Tahun 1991 tentang KHI tentang rukun nikah jelas dikatakan
harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki, Wali nikah,
Dua orag saksi, ijab dan qabul. Beberapa hal dalam pernikahan adat yang
tidak sesuai dengan ketentuan di atas adalah tidak adanya shigot ijab qobul
dan dan fungsi wali dalam pernikahan ini. Jika pernikahan ini dilakukan
secara diam-diam maka tidak ada saksi yang hadir untuk dimintai
pertanggungjawaban. Dalam pasal 40 Undang-undang No 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan. Sedangkan dalam pernikahan adat tumpeng tidak mengajukan
permohonan ke Pengadilan karenan memang dalam pernikahan ini
memang tidak ada pencatatan. Dan Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal
7 ayat 1 adalah perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai
85
umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
umur 16(enam belas) tahun dan dalam peraturan Mentri Agama No 11
tahun 2007 tentang pencatatan nikah Bab IV pasal 8 apabila seorang calon
suami belum berusia 19 tahun dan seorang calon istri belum berusia 16
tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Dalam kasus pernikahan
adat ini paling banyak praktik pernikahan adat dikarenakan faktor usia
yang masih di bawah umur dan ketidakmauan untuk mengajukan
dispensasi di Pengadilan. Dan pasal 30 KHI menentukan bahwa calon
mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai
perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak, yaitu calon mempelali laki-laki dan perempuan. Namun dalam
pernikahan adat tumpeng ini tidak menggunakan mahar.
Dalam pasa 5l sampai 59 KHI mengtur tentang poligami dan
syarat poligami dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorng apabila: a)
istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b) istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c) istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Dalam pernikahan adat ini pelaku pernikahan
adat tumpeng ada beberapa yang berpologami dengan cara pernikahan adat
ini karena pihak laki-laki tidak mengajukan permohonan ke Pengadilan
untuk mendapatkan izin beristri lebih dari Seorang atau poligami.
86
Sedangkan pernikahan adat tumpeng ini dilakukan dengan
sederhana dan tidak dicatatkan karena dengan pemotongan nasi tumpeng
sudah sah pernikahan mereka tanpa adanya ijab qobul dan mahar untuk
mempelai perempuan namun pernikahan ini berbeda dengan pernikahan
siri, jika pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan namun
titak atau belum dicatatkan Kantor Urusan Agama (KUA). Tetapi dalam
kasus pernikahan adat ini jelas pernikahan adat ini tidak memenuhi rukun
dan syarat pernikahan. Pernikahan semacam ini hampir sama denga samen
laven (kumpul kebo).
Sebenarnya rancangan undang-undang mengenai samen leven
yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia baru merupakan wacana ,
karena baru dirumuskan dalam rancangan undang-undang Republik
Indonesia tentang Kitap Undang-undang Pidana Tahun 2008 RUU-
KUHAP 2008 akan tetapi masih sebagai ius constituendum. Bahwa setiap
orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar
pernikahan yang sah, dipidana dengan pidana penjara 5 tahun. Hukum
yang bersifat komulatif yaitu hukuman denda dan penjara dan hukuman
denda sebesar Rp 75.000.000,00 menurut pasal 8 RUU-KUHP 2008.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini sebenarnya dapat
dijadikan patokan untuk mencegah adanya praktik pernikahan yang seperti
nikah tumpeng ini, karena memang berlawanan dengan syari‟at Agama
(Djubaidah, 2010 : 156).
87
Aturan pernikahan menurut Agama Islam dan Undang-undang
pernikahan bahwa pernikahan yang syah harus tercapaianya syarat dan
rukun nikah dan pernikahan itu dilakukan dengan cara yang benar yaitu
dengan terjadinya ijab dan qabul diantara kedua belah pihak dan
pemberian mahar. Pernikahan semacam ini sama saja dengan pelegalan
sex saja. Karena tidak adanya kekuatan hukum yang menaungi pernikahan
tersebut dan tidak adanya kepastian setatus yang jelas. Karena pernikahan
ini haya diakui dan dianggap sah oleh lingkungan saja, dan banyak
kerugian yang muncul setelah pernikahan adat tumpeng ini. Karena
biasanya nasab anak yang lahir dari pernikahan adat ini jatuhnya ke ibunya
dan diakui anak setelah ibunya menikah resmi dengan pasangan hidup
yang baru. Bahkan berakibat pada saat pembagian waris karena anak tidak
dapat meminta dan menuntut haknya kepada ayahnya karena tidak adanya
kekuatan hukum yang dimiliki oleh anak.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah.
Kesimpulan tersebut antara lain:
1. Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Desa Jetak salah satu yang
melatar belakangi pernikahan adat tumpeng adalah pengetahuan
keagamaan yang masih sangat minim, kurangnya pemuka agama yang
berkompeten, tingkat pendidikan yang masih rendah dikarenakan
masih banyak masyarakat yang tidak bersekolah atau yang bersekolah
hanya sampai tingkat SD, dan faktor ekonomi juga mejadi salah satu
alasan yang melatar belakangi pernikahan adat tumpeng karena
masyarakat Desa Jetak mayoritas bertani sehinga masyarakat lebih
memilih menikahkan anaknya dengan pernikahan adat tumpeng
karena tidak adanya biaya,
2. Di desa ini pernah berlaku pernikahan adat tumpeng. Pernikahan
tersebut sekarang tidak mendominasi lagi. Tumpeng yang dulu
digunakan sebagai bukti sahnya pernikahan pasangan mempelai saat
ini hanya digunakan sebagai pelengkap prosesi adat. Pernikahan adat
tumpeng yang masih digunakan di desa Jetak adalah pernikahan yang
dilaksanakan oleh pasangan yang mempunyai masalah atau kendala
89
ketika hendak menikah secara resmi dan untuk dianggap sah oleh
negara maupun oleh agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat
yaitu Islam.
3. Pertentangan pernikahan adat tumpeng dengan syariat dan ditinjau
dari fiqih dan Undang-undang. Dalam pernikahan yang masih
menggunakan pernikahan adat tumpeng ini melanggar ketentuan-
ketentuan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal pasal 2 tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pasal 14 Inpres No 1 tahun 1991 tentang rukun nikah jelas
dikatakan harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki,
wali nikah, dua orang saksi dan ijab qobul. Pasal 30 KHI bahwa calon
mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai
perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak yaitu calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
wanita. Pasal 40 undang-undang No 1 Tahun 1974 apabila seorang
laki-laki bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dan KHI
pasal 55-59 terutama pasal 57 tentang Peradilan Agama hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabula: istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagi
istri, istri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan
Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 adalah pernikahan
90
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun dan peraturan
Mentri Agama No 11 tahun 2007 pasal 8 apabila calon suami belum
berusia 19 tahun dan seorang istri belum berusia 16 tahun harus
mendapat dispensasi dari pengadilan.
B. Saran
1. Pemuka agama lebih intensif memperkenalkan dan mengajarkan
aturan-aturan atau ketentuan yang ada dalam agama Islam. Hal ini
dilakukan agar masyarakat lebih mengetahui bagaimana hukum-
hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an. Ajaran yang disampaikan tidak
sertamerta menyalahkan atau menghilangkan adat yang telah ada
terlebih dahulu agar tidak muncul berbagai konflik dalam masyarakat.
2. Kepada KUA sebagai lembaga negara yang mengurusi pernikahan
masyarakat serta penyuluh keagamaan Islam yang bekerja sama
dengan para pemuka agama lebih gencar melakukan usaha
pendalaman ilmu agama dan pendampingan pada saat pelaksanan
kegiatan keagamaan. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah
mengadakan pelayanan pembaharuan pernikahan bagi pasangan yang
melakukan pernikahan adat tumpeng yang menginginkan pernikahan
mereka resmi dan diakui oleh agama dan negara.
3. Kepada pemerintah Desa agar lebih mendukung dan berperan serta
dalam kegiatan KUA dan pemuka agama dalam pelaksanaan kegiatan
91
penyuluhan keagamaan. Dukungan yang diberikan seharusnya bisa
mengawal berjalannya hukum pernikahan positif serta adat yang ada
agar dapat berjalan beriringan dan seimbang. Pemerintah desa juga
dapat mencegah adanya konflik dalam masyarakat yang muncul akibat
perubahan yang terjadi dalam hukum adat mereka.
4. Kepada masyarakat desa Jetak, dengan adanya pemeluk agama yang
beragam dan adanya tradisi adat, diharapkan masyarakat dapat terus
rukun dan dapat menjalankan kewajiban sebagai umat beragama dan
sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat di
lingkungannya.
5. Perguruan Tinggi Islam, termasuk di dalamnya adalah IAIN Salatiga
merupakan lembaga yang sangat besar peranannya untuk memajukan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan Islam. Untuk itu
hendaknya IAIN Salatiga memiliki kompetensi di bidangnya. Dimulai
dari sarana dan prasarana, administrasi, serta pelayanan akademik agar
mencetak lulusan-lulusan yang kompeten di bidang ilmu pengetahuan
Islam pula.
6. Penulis berharap agar jurusan syariah khususnya program studi ahwal
al-syakhshiyyah membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada
mahasiswa untuk melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan
kajian sosiologis kemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk membuka
wawasan mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat yang
sangat beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin. 1999. Fikih Munakahat. Bandung: CV. Pustaka
Setia
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:
PT Rineka Cipta
Al Zajiri, Abdurahman. 1999. Kitap Fikih „Ala al Madzahib Al Arba‟ah juz IV.
Lebanon : Darl Fikr
Ali, Zainudin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Arikunto, Suharsini.1998. Prosedur Penelitian. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Azzam, Abdul Aziz Muhamad &Hawwas, Abdul Wahhab Sayyed. 2009. Fikih
Munakahat Khitap Nikah dan Talak. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Departemen Agama Republik INDONESIA. 1989. Al Qur‟an Dan Terjemahan.
Bandung: Gema Risalah Press.
Djubaidah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Dicatat.
Jakarta: Sinar Grafika
Dominikus, Rato. 2011. Hukum Adat(suatu pengantar singkat memahami hukum
adat di Indonesia). Yogyakarta: LaksBang PREESindo.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mundur
Maju
Isro‟i, Muhammad. 2012. Larangan Menikah Pada Bulam Muharram Dengan
Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok
Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga
Moloeng, Lexy. 2004. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Muhammad, Khusen Ali. 2014. Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan
system Pitungan Jawa (Studi Kasus di Desa Jetak kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang). Skripsi Tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan
Syariah STAIN Salatiga
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakertagama. Yogyakarta: LKiS.
Nurhaedi, Deni. 2003. Perkawinan dan Azhari Akmal Taringan 2006. Hukum
Pewrdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam
dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana
Nico, Ngani. 2012. Perkembangan Hukum Adat di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Yusistia
Novi, Susanti, Diah Eka. 2013. Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat di
Desa Ketapang Kecamatan Sungkai Selatan Kbupaten Lampung
Utara Propinsi Lampung Dalam Prespektif Hukum Islam. Sekripsi
Tidak di Terbitkan Salatiga: Jurusan Syariah STAIN Salatiga
Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara fikih
dan undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandunga : Al Ma‟arif.
Sastroatmojo dan Wasit, Alulawi, 1978. Hukum Perkawinan Di Indonesia.
Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarsono, 1991. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Renika Cipta.
Summa, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana
Syarif, Muhammad. 2013. Larangan Melangkahi Kakak Dalam Perkawianan
Adat Manndailing (Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat
Mandailing Natal). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Jurusan Syariah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ter Haar. 1994. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
Tihami, Dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Washfi, Muhammad.2005. Mencapai keluarga Barokah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka
Wicaksono, Galih. 2012. Fenomena Pertukaran Istri Dan Berbagai Dampaknya
(Studi Kasus di Dukuh Gumul, Desa Ngasinan Kecamatan Susukan
Kab Semarang). Sekripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syariah
STAIN Saltiga
Zuhri, Saifudin. 2009. Ushul Fiqh Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heru khusuwanto. Dosen, Narotama.co.id/files/2011/modul-modul-Perkawinan-1-
Hkukum Perkawinan.pdf
http://fatahila.bogspot.com/2008/06/hukum-adat-sebagai-hukum-yang-tidak.html
http://ixe-11.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-definisi-
adat.html#ixzz3NS0Enzvz