skripsi anggunan

96
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan sekaligus sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik, dan pelayanan nonmedik menggunakan teknologi yang dapat memengaruhi lingkungan sekitarnya (Effendy. 2008) Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang strategis 1

Upload: ken-dfsfs

Post on 12-Jan-2017

96 views

Category:

Marketing


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi anggunan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang

melaksanakan pelayanan kesehatan sekaligus sebagai lembaga pendidikan

tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif dan negatif

terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya

pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan

medik, dan pelayanan nonmedik menggunakan teknologi yang dapat

memengaruhi lingkungan sekitarnya (Effendy. 2008)

Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat

memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan

rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode

etik profesi yang telah ditetapkan. Pelayanan keperawatan mempunyai posisi

yang strategis dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit

karena perawat adalah yang paling banyak beriniteraksi dengan pasien (Effendy.

2008)

Dalam memberikan pelayanan keperawatan, perawat juga dituntut

memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Komunikasi merupakan bagian

integral dari asuhan keperawatan. Bagi seorang perawat keterampilan

berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki, karena komunikasi

merupakan proses yang dinamis yang digunakan untuk mengumpulkan data

1

Page 2: Skripsi anggunan

pengkajian, memberikan pendidikan atau informasi kesehatan, mempengaruhi

klien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring, memberikan

rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai klien.

Komunikasi yang kurang baik dari perawat akan berdampak buruk yang bisa

menimbulkan kesalahpahaman antara perawat dengan pasien maupun

keluarganya dan pasien tidak puas dengan pelayanan pada proses keperawatan

yang diberikan (Rochim 2009).

Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi terapeutik.

Terapeutik berhubungan dengan terapi, yang merupakan suatu usaha untuk

memulihkan kesehatan seseorang yang sedang sakit, perawatan penyakit, dan

pengobatan penyakit. Komunikasi terapeutik merupakan teknik verbal dan

nonverbal yang digunakan petugas kesehatan untuk memfokuskan pada

kebutuhan pasien (Maulana, 2009).

Selain itu menurut Hardjana (2007) keterampilan berkomunikasi

merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk membangun

suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan yang

sederhana melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan non

verbal yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya,

perasaannya dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi seorang

individu dapat bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan

kebahagiaan.

Menurut Caris-Verhallen, de Guijter dan Kerstra (1999, Dalam Liliweri

Alo, 2008) buruknya komunikasi dalam praktek keperawatan merupakan sumber

2

Page 3: Skripsi anggunan

ketidakpuasan pasien. Komunikasi sangat penting untuk membina hubungan

terapeutik perawat-pasien dan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas

pelayanan keperawatan. Berhasil tidaknya komunikasi terapeutik dipengaruhi

oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya pengetahuan dan kemampuan

perawat dalam menerapkan komunikasi terapeutik.

Diindinesia penggunaan komunikasi terapeutik dalam melakukan asuhan

keperawatan sudah banyak diterapkan diberbagai rumah sakit. Namun pada

kesahariannya banyak tenaga kesehatan (perawat) tidak terlalu memperhatikan

penggunaan pada setiap fase hubungan dalam komunikasi terapeutik. Padahal,

jika ditinjau lebih lanjut dalam melakukan tindakan komunikasi sangat lah

penting, khususnya dengan pasien lansia dan ibu hamil yang akan menghadapi

persalinan. Karna dengan pasien ini perawat harus selalu memperhatikan kondisi

psikis nya (Suryani. 2010).

Kehamilan bagi seorang wanita merupakan hal yang membahagiakan

sekaligus menggelisahkan. Dikatakan membahagiakan karena ia akan

memperoleh keturunan sebagai pelengkap dan penyempurna fungsinya sebagai

wanita, namun juga menggelisahkan karena penuh dengan perasaan takut dan

cemas mengenai hal-hal yang buruk yang dapat menimpa dirinya terutama pada

saat proses persalinan. Kecemasan yang dirasakan oleh wanita yang sedang

hamil, akan berdampak pada janin yang dikandungnya. Banyak penelitian yang

membuktikan bahwa pikiran negatif dapat berdampak buruk bagi ibu hamil dan

janin yang dikandungnya (Stanley dan Oberta. Dalam Lestariningsih, 2005),

3

Page 4: Skripsi anggunan

Ibu hamil yang sering kali merasa khawatir bahkan stres memiliki

kecenderungan untuk melahirkan bayi prematur. Hal ini terjadi karena stres dan

kecemasan memicu produksi Cortiotrophin Releasing Hormone (CRH), hormon

ini juga memiliki fungsi sebagai “tanda” bila persalinan akan tiba. Janin dalam

rahim dapat merespon apa yang sedang dirasakan ibunya, seperti detak jantung

ibu. Semakin cepat detak jantung ibu, semakin cepat pula pergerakan janin

dalam rahim. Ibu hamil yang mengalami kecemasan atau stres maka detak

jantung akan meningkat, dan dia akan melahirkan bayi prematur atau lebih kecil

dari bayi normal lainnya bahkan mengalami keguguran (Arief, 2008 ;

Hendersosn. 2006)).

Dukungan perawat sangat diperlukan agar psikis ibu bisa terangkat saat

menjalani proses persalinan. Dengan begitu ibu bisa lebih kuat, nyaman, percaya

diri, dan ringan ketika bersalin. Saat itu, rasa empati perawat pun dapat tumbuh

lebih dalam, sehingga penghargaan terhadap perjuangan ibu bisa tumbuh lebih

sempurna. Walaupun begitu, tidak semua ibu punya mental yang kuat untuk

menghadapi persalinan. Ketika ibu panik dan kesakitan hingga berteriak-teriak,

perawat amat dituntut kesabaran dan ketenangannya untuk tetap menenteramkan

dan mendukung ibu dalam menjalani proses persalinan. Salah satu untuk

mengatasi masalah seperti ini dengan jalan komunikasi terapeutik bidan kepada

ibu yang akan menghadapi proses persalinan (Sundari. 2005).

Selain itu perawat dituntut untuk melakukan komunikasi terapeutik

dalam tindakan kebidanan agar ibu pra persalinan atau keluarganya tahu

tindakan apa yang akan dilakukan pada ibu. Namun pada kenyataannya banyak

4

Page 5: Skripsi anggunan

perawat yang tidak menerapkan komunikasi terapeutik terhadap ibu pra

persalinan. Perawat tersebut tidak lagi memberikan kenyamanan dan motivasi.

Mereka hanya sekedar mengetahui tentang komunikasi terapeutik, pada hal

komunikasi terapeutik memiliki peran yang sangat besar terhadap kenyamanan

ibu sebelum menghadapi persalinan (Tyastuti, 2008).

Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik

tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan ibu, mencegah

terjadi masalah legal, memberikan rasa kepuasan profesional dalam pelayanan

kebidanan dan meningkatkan citra profesi kebidanan,tetap yang paling penting

adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama

manusia (Tyastuti, 2008).

Di Indonesia pada saat ini komunikasi terapeutik tentang pra persalinan

sudah dilaksanakan dengan baik. Berbagai cara telah dilakukan misalnya dengan

penyuluhan, pengobatan gratis guna memaksimalkan komunikasi yang berguna

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ibu sehingga ibu pra persalinan

dapat merasa nyaman untuk menghadapi persalinan (Christina, 2003).

Beberapa penelitian tentang komunikasi terapeutik telah dilakukan

sebelumnya. Diantaranya oleh Cahyono (2010) dampak kurangnya komunikasi

terapeutik bidan terhadap ibu untuk menghadapi proses persalinan diperoleh

bahwa tingkat kecemasan pada ibu hamil untuk menghadapi proses persalinan di

dapat tingkat berat sebesar 30%, tingkat sedang sebesar 55%, tingkat ringan

sebesar 15%, pada penelitian ini telah disarankan agar KIE (komunikasi,

informasi dan edukasi) yang baik dan benar dalam masa kehamilan, dapat

5

Page 6: Skripsi anggunan

diterapkan dan diberikan kepada ibu dan mengikut sertakan peranan orang

terdekat dalam menghadapi persalinan. Pada hasil penelitian lain diruang rawat

inap Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta, didapatkan hasil sudah dilaksanakan

dengan baik namun masih perlu adanya peningkatan pengetahuan dan

keterampilan dalam berkomunikasi dengan klien, karena masih adanya keluhan

dan ketidakpuasan klien terhadap pelayanan keperawatan. (Yahya, 2004).

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sandra (2013) menunjukkan bahwa dari

48 responden dengan komunikasi terapeutik tidak dilakukan perawat, 38 orang

pasien menyatakan tidak puas dengan komunikasi terapeutik perawat.

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah

rumah sakit rujukan di provinsi Aceh. Selain tempat pelayanan kesehatan,

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh juga dijadikan

sebagai tempat pendidikan para calon dokter, perawat, bidan, dan mahasiswa

lain dari berbagai universitas yang ingin melakukan penelitian.

Dari survey awal peneliti yang diperoleh dengan metode wawancara dan

observasi diruang Bersalin Sereune III Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel

Abidin dengan 10 orang pasien yang memeriksakan kehamilannya dirumah sakit

tersebut, 8 diantaranya mengatakan tidak puas dengan pelayanan yang diberikan

perawat. Dari hasil observasi awal peneliti juga melihat, sebagian besar perawat

tidak menjelaskan kepada pasien tentang tindakan medis apa yang akan

dilakukan, akibatnya timbul penolakan dari pasien sendiri untuk menerima

asuhan keperawatan dari perawat tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut, banyak hal

yang mengakibatkan hal ini terjadi, salah satunya adalah keterbatasan jumlah

6

Page 7: Skripsi anggunan

perawat yang bertugas diruang rawat inap, akibatnya perawat tidak memiliki

waktu banyak untuk selalu berkomunikasi dengan pasien.

Seharusnya setiap perawat menggunakan setiap fase hubungan dalam

komunikasi terapeutik untuk berkomunikasi dengan pasien. Salah satu tujuan

dari penggunaan komunikasi terapeutik ini untuk menghilangkan paradigma

yang keliru dari pasien. Paradigma sebagian besar pasien, masih menganggap

persalinan itu merupakan pertaruhan hidup dan mati, sehingga wanita yang akan

melahirkan mengalami ketakutan, khususnya takut mati baik bagi dirinya sendiri

ataupun bayi yang akan dilahirkan. Faktor psikis dalam menghadapi persalinan

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi lancar tidaknya proses kelahiran

dimana kecemasan atau ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran juga

berpengaruh.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Mengetahui Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan

Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Persalinan di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

rumusan masalah pokok penelitian ini adalah “Bagaimana Fase Hubungan

Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi

Persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”

7

Page 8: Skripsi anggunan

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui fase hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat

kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui fase hubungan orientasi komunikasi terapeutik dengan

tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di rumah sakit

Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

b. Mengetahui fase hubungan kerja komunikasi terapeutik dengan Tingkat

kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

c. Mengetahui Fase Hubungan Terminasi Komunikasi Terapeutik Dengan

tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit

Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Dapat menambah pengetahuan dan menjadi pertimbangan pihak rumah sakit

untuk meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan dan perawatan yang

diberikan.

2. Bagi Perawat

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam menerapkan

8

Page 9: Skripsi anggunan

komunikasi terapeutik ketika melakukan asuhan keperawatan. dan sebagai

bahan masukan kepada perawat sehingga menumbuhkan kesadaran perawat

tentang pentingnya komunikasi terapeutik dalam setiap proses keperawatan

yang dilakukan.

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan

dan mengembangkan penelitian tentang hubungan keterampilan komunikasi

terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Persalinan

Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan pedoman untuk

penelitian selanjutnya.

9

Page 10: Skripsi anggunan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Komunikasi Terapeutik

1. Konsep Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari

bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio,

atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah

pertama (communis) adalah istilah yang paling sering sebagai asal usul

komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.

Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu

pesan dianut secara sama (Mulyana, 2005).

Komunikasi bermula dari sebuah gagasan yang ada pada diri seseorang

yang diolah menjadi sebuah pesan dan disampaikan atau dikirimkan kepada

orang lain dengan menggunakan media tertentu. Dari pesan yang

disampaikan tersebut kemudian terdapat timbal balik berupa tanggapan atau

jawaban dari orang yang menerima pesan tersebut. Dari proses terjadinya

komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan

sebagai kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media

tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami

sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui

media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya

(Hardjana. 2007).

10

Page 11: Skripsi anggunan

Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu

pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah

sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tal

langsung melalui media (Effendy, 2006).

Gerad E. Miler (Dikutip dari Daryanto. 2011) mengemukakan bahwa

komunikasi sebagai situasi situasi yang memungkinkan suatu sumber

mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari

untuk mempengaruhi perilaku penerima. Proses komunikasi minimal terdiri

dari tiga unsur utama yaitu pengirim pesan, pesan itu sendiri dan target

penerima pesan.

2. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi terapeutik,

dalam hal ini komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat pada saat

melakukan intervensi keperawatan harus mampu memberikan khasiat therapi

bagi proses penyembuhan  pasien. Oleh karenanya seorang perawat harus

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aplikatif komunikasi terapeutik

agar kebutuhan dan kepuasan pasien dapat dipenuhi. Komunikasi terapeutik

sebagai kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien

beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar

bagaimana berhubungan dengan orang lain.

Menurut Arwani (2003) komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang

bisa dikesampingkan namun harus direncanakan, disengaja dan merupakan

tindakan profesional. Komunikasi terapeutik merupakan hubungan

11

Page 12: Skripsi anggunan

interpersonal antara  perawat dan klien, dalam hubungan ini perawat dan

klien memperoleh pengalaman belajar  bersama dalam rangka memperbaiki

pengalaman emosional klien.

Sedangkan Stuart (2006) menyatakan bahwa hubungan terapeutik

adalah hubungan kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan,

pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik.

Komunikasi terapeutik merupakan salah satu standar asuhan

keperawatan yang wajib dilaksanakan oleh semua perawat. Komunikasi

adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu

penyembuhan/pemulihan pasien (Hornby, 1974 dalam Aris 2007).

3. Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik

(Arwani, 2003) yaitu :

a. Genuineness (keikhlasan). Dalam rangka membantu pasien, perawat

harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap

pasien. Tidak selalu mudah melakukan suatu keikhlasan, maka

dibutuhkan pengembangan diri yang dapat dipertimbangkan dilakukan

setiap saat.

b. Empathy (empati). Merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan”

perawat pada apa yang dirasakan oleh pasien, dan juga kemampuan

perawat dalam merasakan ”dunia pribadi pasien”. Empati merupakan

sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat didasarkan atas apa

yang dialami oleh orang lain.

12

Page 13: Skripsi anggunan

c. Warmth (kehangatan). Dengan adanya kehangatan diharapkan perawat

dapat mendorong pasien untuk mengekspresikan apa yang dirasakan

dalam bentuk perbuatan tanpa ada rasa takut disalahkan. Dengan adanya

suasana yang hangat perawat dapat menunjukkan penerimaannya

terhadap keberadaan pasien.

4. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik

Struktur dalam komunikasi terapeutik menurut Stuart (2006) terdiri dari

empat fase, yaitu

a. Fase Praorientasi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan

dengan pasien, tugas perawat pada fase ini yaitu, mengeksplorasi

perasaan, harapan dan kecemasannya. Menganalisa kekuatan dan

kelemahan diri. Dengan analisa diri ia akan terlatih untuk

memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi pasien, jika merasa

tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi dengan teman kelompok.

Mengumpulkan data tentang pasien, sebagai dasar dalam membuat

rencana interaksi. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan

diimplementasikan saat bertemu dengan pasien.

b. Fase Orientasi

Menurut Stuart (2006) sangat penting bagi perawat untuk

melaksanakan tahapan ini dengan baik karena tahapan ini merupakan

dasar bagi hubungan antara perawat dengan pasien. Tujuan pelaksanaan

fase orientasi yaitu agar dapat terbina hubungan interpersonal antara

13

Page 14: Skripsi anggunan

perawat dengan pasien. Melalui komunikasi terapeutik, pasien belajar

bagaimana menerima dan diterima orang lain.

c. Fase Kerja

Menurut Stuart (2006) tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan

proses komunikasi terapeutik, karena di dalamnya perawat dituntut untuk

membantu dan mendukung pasien untuk menyampaikan perasaan dan

pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan yang

disampaikan oleh pasien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan

secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu

pasien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh pasien

dan mencari penyelesaian masalah pasien.

d. Fase Terminasi

Menurut Stuart (2006) tugas perawat dalam tahap ini adalah

melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien

setelah beriknteraksi dengan perawat, melakukan kontrak untuk

pertemuan selanjutnya, dan mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik.

Fase terminasi merupakan tahap akhir komunikasi terapeutik yang

bertujuan untuk meningkatan fungsi dan kemampuan perawat untuk

memuaskan kebutuhan pasien serta mencapai tujuan professional yang

realistis. Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena

hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal.

Perawat dan pasien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi

pada saat perawat mengakhiri pada unit tertentu atau saat pasien akan

14

Page 15: Skripsi anggunan

pulang. Perawat dan pasien bersama-sama menunjau kembali proses

keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan.

5. Sikap Komunikasi Terapeutik

Menurut Egan (dalam Harnawatiaj, 2008) Ada empat sikap yang dapat

memfasilitasi komunikasi terapeutik, yaitu :

a. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti

menghargai pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi

b. Membungkuk kearah pasien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk

mengatakan atau mendengarkan sesuatu

c. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan

menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi

d. Tetap rileks. Tetap rileks dapat mengontrol keseimbangan antara

ketegangan dan relaksasi

6. Tehnik Komunikasi Terapeutik

Dalam menanggapi pesan yang disampaikan pasien, perawat dapat

menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut (Stuart.

2006) :

a. Mendengarkan dengan penuh perhatian

Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah

dengan pandang pasien ketika sedang berbicara, pertahankan kontak mata

yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan, sikap tubuh yang

menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan,

15

Page 16: Skripsi anggunan

anggukkan kepala jika pasien membicarakan hal penting atau

memerlukan umpan balik (Uripni, 2003).

Lebih lanjut Varcarolis (dalam Nurjannah, 2001), dengan

mendengarkan akan menciptakan situasi interpersonal dalam keterlibatan

maksimal yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas.

Pencapaian hasil untuk mendapatkan kondisi nyata dari klien akan lebih

maksimal dan memudahkan perawat dalam menentukan intervensi yang

tepat. Hal ini dikarenakan mendengar secara aktif tidak hanya tekun

mendengarkan orang lain dan menceritakan isi keluhan yang

disampaikan saja, akan tetapi juga perlu dikonfrontasi dengan pesan

nonverbal yang ditampakkan sehingga memungkinkan terjadinya proses

transfer felling antara kode nonverbal klien dengan persepsi perawat.

Nilai-nilai yang ditampilkan menimbulkan kesan bahwa apa yang

disampaikan dan yang ditampilkan itu bermakna dan penting untuk

ditindaklanjuti.

b. Menunjukkan Penerimaan

Menurut Stuart (2006), penerimaan adalah mendukung dan

menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan

dan tidak menilai. Dengan sikap tersebut perawat mampu menempatkan

diri pada situasi klien, perawat mengerti perasaan yang dihadapi klien

dengan cara menunjukkan sikap empati terhadap klien.

Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa

menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Tentu saja sebagai perawat kita

16

Page 17: Skripsi anggunan

tidak harus menerima semua prilaku klien. Perawat sebaiknya

menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan

tidak setuju (Uripni, 2003).

c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

Menurut Stuart (2006), tujuan perawat bertanya adalah untuk

mendapatkan informasi yang spesifik mengenai pasien. Paling baik jika

pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-

kata dalam konteks sosial budaya pasien. Selama pengkajian, ajukan

pertanyaan secara beruntun.

d. Mengulang ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata sendiri

Lebih lanjut  Stuart (2006), mengungkapkan dengan mengulang

kembali ucapan pasien, perawat memberikan umpan balik sehinga pasien

mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi

berlanjut. Namun, harus berhati-hati ketika menggunakan metode ini,

karna pengertian bisa rancu jika pengucapan ulang mempunyai arti yang

berbeda.

e. Klarifikasi

Menurut Uripni (2003), klarifikasi dilakukan apabila pesan yang

disampaikan oleh klien belum jelas bagi perawat dan perawat mencoba

memahami situasi yang digambarkan klien. Namun demikian, agar pesan

dapat sampai dengan benar, perawat perlu memberikan contoh yang

konkret dan mudah dimengerti oleh klien dengan memperhatikan pokok

pembicaraan. Demonstrasi terhadap apa yang telah dijelaskan merupakan

bentuk klarifikasi terhadap apa yang telah di ucapkan.

17

Page 18: Skripsi anggunan

f. Memfokuskan

Menurut Stuart (2006), prinsip continuity dan consistency dalam

proses interaksi mengandung arti bahwa pesan yang disampaikan bersifat

konsisten dan berkesinambungan dan tidak menyimpang dari topic dan

tujuan komunikasi yang telah ditetapkan. Teknik memfokuskan ini

merupakan prinsip utama apabila kita ingin mendapatkan pembicaraan

yang serius dengan tingkat pemaknaan yang kuat.

g. Menyampaikan hasil observasi

Stuart (2006), menganjurkan penyampaian hasil observasi kepada

klien apabila terdapat konflik antara verbal dan nonverbal klien, serta saat

tingkah laku verbal dan nonverbal nyata dan tidak biasa ada pada klien.

Penyampaian hasil pengamatan kepada klien diharapkan dapat mengubah

perilaku yang merusak pada diri klien. Perawat menguraikan kesan yang

ditimbulkan oleh isyarat nonverbal klien. Penyampaian hasil pengamatan

perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus

bertambah memfokuskan atau mengklarifikasikan pesan.

h. Diam

 Tehnik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan

pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan

memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi

pikiran masing-masing. Tehnik ini memberikan waktu pada klien untuk

berfikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat

menyampaikan dukungan, pengertian, dan penerimaannya. Diam juga

18

Page 19: Skripsi anggunan

memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan

berguna pada saat klien harus mengambil keputusan (Stuart. 2006).

i. Refleksi

Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan,

pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk

memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan

menekankan empati, minat, dan penghargaan terhadap klien (Uripni,

2003).

j. Memberi Informasi

Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan

kesehatan klien. Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan

kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan

dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan

pada klien harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang

masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan

alternatif pemecahan masalah (Stuart. 2006).

k. Menyimpulkan

Menyimpulkan (summerizing) adalah tehnik komunikasi yang

membantu klien mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-

klien. Tehnik ini membantu perawat dan klien untuk memiliki pikiran

dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan. Poin utama dari

menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi yang telah

dilakukan (Stuart. 2006),).

19

Page 20: Skripsi anggunan

l. Mengubah Cara Pandang

Tehnik mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk

memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak melihat sesuatu atau

masalah dari aspek negatifnya saja. Tehnik ini sangat bermanfaan

terutama ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau

memandang sesuatu dari sisi negatifnya. Reframing akan membuat klien

mampu melihat apa yang dialaminya dari sisi positif sehingga

memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik dalam

mengatasi masalah yang dihadapinya (Stuart. 2006),).

7. Komunikasi Verbal dan Nonverbal

a. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-

kata, baik lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai

dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, seseorang

mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud

mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya,

saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar

(Cangara, 2004). Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara

manusia dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara

lisan atau pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal

menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas

individual kita.

Cangara (2004) menambahkan komunikasi verbal biasanya lebih

akuran dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai

20

Page 21: Skripsi anggunan

untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon

emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga

untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat

seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu

memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.

b. Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan

pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk

melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan

tertulis. Secara teoritis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal

dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis komunikasi

ini saling jalin menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita

lakukan sehari-hari (Rakhmat, 2005)

B. Konsep Kecemasan

1. Pengertian kecemasan

Kecemasan adalah perasaan yang tidak jelas tentang keprihatinan dan

khawatir karena ancaman pada sistem nilai atau pola keamanan seseorang.

Individu mungkin dapat mengidentifikasi situasi (misal, persalinan) tetapi

pada kenyataannya ancaman terhadap diri berkaitan dengan khawatir dan

keprihatinan yang terlibat didalam situasi. Situasi tersebut adalah sumber

dari ancaman, tetapi bukan ancaman itu sendiri. (Carpenito. 2007).

21

Page 22: Skripsi anggunan

Menurut Chaplin (2004) kecemasan merupakan perasaan keprihatinan

dan ketakutan akan sesuatu di masa datang tanpa sebab yang khusus. Senada

dengan Chaplin.

Suliswati (2005) menyatakan bahwa kecemasan merupakan respon

individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, dan dialami oleh

semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan

pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara

langsung, serta merupakan keadaan emosi tanpa objek yang spesifik.

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada suatu yang akan terjadi

dengan penyebab tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak

menentu dan tidak berdaya.

Kecemasan merupakan keadaan suasana perasaan yang ditandai oleh

gejala-gejala seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan.

Kecemasan bisa terjadi berupa perasaaan gelisah yang bersifat subjektif, atau

merespon fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin dalam bentuk

denyut jantung yang meningkat dan otot yang menegang (Barlow, 2006).

Sedangkan menurut Struart (2006), ansietas adalah kekhawatiran yang

tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus

cemas.

Cemas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek

membahayakan, yang bergantung dengan tingkat cemas, lama cemas yang

dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap cemas.

22

Page 23: Skripsi anggunan

Cemas dapat dilihat dalam rentang ringan, sedang, dan berat. Setiap tingkat

menyebabkan perubahan emosional dan fisiologis pada individu (Videbeck,

2008)

2. Jenis-jenis kecemasan

Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002) terdapat tiga macam

kecemasan yaitu:

a. Kecemasan realistis

Kecemasan yang realistis atau rasa takut akan bahaya-bahaya dari

luar. Kedua kecemasan yang lain berasal dari kecemasan realistis ini.

b. Kecemasan neurotis

Kecemasan apabila instink-instink tidak dapat dikendalikan dan

menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum. Kecemasan ini

sebenarnya mempunyai dasar dalam realitas, karena dunia sebagaimana

diwakili oleh orang yang memegang kekuasaan, contoh: Kleptomania.

c. Kecemasan moral

Kecemasan moral merupakan kecemasan kata hati. Orang yang super

egonya berkembang dengan baik cenderung akan merasa apabila dia

melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang

bertentangan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai

dasar dalam realitas, karena di masa yang lampau orang telah

mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melangar

kode moral, dan mungkin akan mendapat hukuman lagi, contoh: aborsi.

23

Page 24: Skripsi anggunan

3. Faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan

Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002) mengemukakan lima faktor

yang memengaruhi kecemasan, yaitu:

a. Frustrasi

Frustrasi merupakan bentuk rintangan atas aktifitas dengan tujuan

tertentu. Hal ini didukung oleh pernyataan Daradjat (2003) bahwa

frustrasi adalah suatu proses yang menyebabkan individu merasa akan

ada suatu hal yang terjadi dan dapat menghambat terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhannya.

b. Konflik

Konflik terjadi akibat adanya dua kebutuhan atau lebih yang

berlawanan dan harus dipenuhi dalam waktu yang bersamaan. konflik

adalah terdapatnya dua dorongan atau lebih yang saling bertentangan dan

tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.

c. Ancaman

Ancaman adalah adanya bahaya yang harus diperhatikan.

Ditambahkan ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan

dan diatasi agar suatu hal buruk tidak terjadi atau dapat diatasi.

d. Harga diri

Harga diri adalah suatu penilaian yang dibuat oleh individu

mengenai dirinya sendiri. Harga diri terbentuk karena pengalaman atau

interaksi individu dengan lingkungan, bukan sesuatu yang diturunkan.

24

Page 25: Skripsi anggunan

e. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kecemasan individu. Lingkungan yang memberikan dukungan terhadap

individu dapat mengurangi tingkat kecemasan individu yang

bersangkutan, dukungan yang dimaksud disebut dengan dukungan sosial

(Effendi, 2005).

Smet (2004) menambahkan faktor lain yang ikut memengaruhi

reaksi individu terhadap tekanan adalah kondisi yang ada dalam diri

individu, diantaranya tingkat pendidikan, usia, serta jenis kelamin.

Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan

bahwa kecemasan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat

pendidikan, usia, jenis kelamin, frustrasi, konflik, ancaman, harga diri,

dan lingkungan

4. Tingkatan Kecemasan

Menurut Stuart (2007) tingkatan kecemasan adalah sebagai berikut :

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lapangan persepsi meningkat dan

individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar

tentang hal-hal yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

b. Kecemasan Sedang

Pada tingkat ini lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun.

Individu lebih menfokuskan pada hal penting saat itu dan

mengesampingkan hal lain.

25

Page 26: Skripsi anggunan

c. Kecemasan Berat

Pada kecemasan berat lapangan persepsi menjadi sangat menurun.

Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal

yang lain. Individu tidak mampu berfikir realistis dan membutuhkan

banyak pengarahan, untuk dapat memusatkan pada area lain.

d. Panik

Pada tingkat ini lapangan persepsi sangat sempit sehingga individu tidak

dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa

walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. Pada keadaan panik terjadi

peningkatan aktivitas. motorik, menurunnya kemampuan berhubungan

dengan orang lain dan kehilangan pemikiran yang rasional.

5. Karakteristik Kecemasan

Menurut Asmadi (2009), tiap tingkatan kecemasan mempunyai

karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain. Manifestasi

kecemasan yang terjadi bergantung pada kematangan pribadi, pemahaman

dalam menghadapi ketegangan, harga diri, dan mekanisme koping yang

digunakannya.

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan dan Karakteristik. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien

Tingkat Kecemasan Karakteristik

Kecemasan Ringan

a. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari, kewaspadaan meningkat, persepsi terhadap lingkungan meningkat, dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas.

b. Respons fisiologis: sesekali napas pendek, nadi

26

Page 27: Skripsi anggunan

dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar.

c. Respons kognitif: mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang untuk melakukan tindakan.

d. Respons perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.

Kecemasan Sedang

a. Respons fisiologis: sering napas pendek, nadi ekstra sistol dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia diare/ konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih.

b. Respons kognitif: memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

c. Respons perilaku dan emosi: gerakan tersentak- sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman.

Kecemasan Berat a. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain.

b. Respons fisiologis: napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan berkelabut, serta tampak tegang

c. Respons kognitif: tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan / tuntutan, serta lapang persepsi menyempit.

d. Respons perilaku dan emosi: perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat).

Panik a. Respons fisiologis: napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.

b. Respons kognitif: gangguan realitas, tidak dapat berpikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan ketidakmampuan memahami situasi.

c. Respons perilaku dan emosi: agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/kontrol diri (aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan/ atau orang lain.

(Sumber : Asmadi, 2009)

27

Page 28: Skripsi anggunan

a. Rentang Respon Kecemasan

Rentang respon sehat-sakit dapat dipakai untuk menggambarkan respon

adaptif- maladaptif pada kecemasan.

Adaptif <--------------------------------------------------------> Maladaptif

x x x x x

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

b. Skala Kecemasan

Skala menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) terdiri dari 14

item, meliputi :

1) Perasaan cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2) Ketegangan: merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan

lesu.

3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar dll.

4) Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,

tidur tidak pulas dan mimpi buruk.

5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hoby, sedih, perasaan tiak menyenangkan sepanjang hari.

7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, geretakan gigi, suara

tidak stabil, dan kedutan otot.

28

Page 29: Skripsi anggunan

8) Gejala sensori : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat serta merasa lemah.

9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri dada, denyut nadi mengeras

dan detak jantung hilang sekejap.

10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

11) Gejala gastrointestnal: sulit menelan, obstipasi, berat badan

menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah

makan, perasaan panas diperut.

12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah,

bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.

14) Prilaku sewaktu wawancara : gelisah jari-jari gemetar, mengkerutkan

dahi atau kening, muka tegang,

6. Teori Kecemasan

Cemas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan

sesuatu di luar dirinya dan meknisme diri yang digunakan dalam mengatasi

permasalahan. Menurut Stuart (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan

tentang kecemasan, antara lain:

a. Teori Psikoanalisis

Dalam pandangan psikoanalisis, cemas adalah konflik emosional

yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id

29

Page 30: Skripsi anggunan

mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan

superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh

norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi mengetahui tuntutan dari

dalam elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah meningkatkan ego

bahwa ada bahaya.

b. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, cemas merupakan produk frustasi yaitu

segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap cemas sebagai

suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk

menghindari kepedihan. Peka tentang pembelajaran meyakini bahwa

individu yang terbiasa dalam kehidupan dirinya dihadapkan pada

ketakutan yang berlebih sering menunjukan cemas pada kehidupan

selanjutnya.

c. Teori Biologis

Kajian biologis menujukan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepine, reseptor ini mungkin memicu cemas.

Penghambatan asam aminobuitrik-gamma neuroregulator (GABA) juga

memungkinkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan

dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu

telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat

nyata sebagai predisposisi terhadap cemas.

30

Page 31: Skripsi anggunan

d. Teori Eksistensi

Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan cemas merupakan hal

yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Adanya tumpang tindih antara

gangguan cemas dan gangguan depresi.

31

Page 32: Skripsi anggunan

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

A. Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka konsep adalah struktur dari suatu konsep dan atau teori yang

diletakkan secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu

penelitian. Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan

menjadi panduan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka konsep akan

menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel-variabel dalam penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep penelitian ini berbentuk variabel

independen dan variabel dependen. Variabel independen disebut juga dengan

variabel sebab, sedangkan variabel dependen biasa disebut dengan variabel

akibat.

Variabel independen pada penelitian ini adalah komunikasi intrapersonal

(komunikasi terapeutik) yang dikembangkan berdasarkan teori Stuart (2006)

yang mendefinisikan bahwa Fase dalam komunikasi terapeutik terdiri dari Fase

Praorientasi, Fase Orientasi, Fase Kerja Dan Fase Terminasi. Sedangkan yang

menjadi variabel dependen nya adalah tingkat kecemasan yang diukur dengan

menggunakan skala kecemasan menurut Hamilton Anxiety Rating Scale

(HARS).

32

Page 33: Skripsi anggunan

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skema berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Fase Komunikasi Terapeutik

Keterangan :

Area yang diteliti

Area yang tidak diteliti

Skema 3.1 Kerangka Kerja Penelitian

B. Hipotesa Penelitian

1. Hipotesa Mayor

Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan

Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Persalinan Dirumah Sakit

Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

2. Hipotesa Minor

a. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Orientasi Komunikasi

Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi

Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh

Fase Praorientasi

Fase Terminasi

Fase Kerja

Fase OrintasiTingkat Kecemasan :

Ringan Sedang Berat Panik

33

Page 34: Skripsi anggunan

b. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Kerja Komunikasi

Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi

Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh

c. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Terminasi Komunikasi

Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi

Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur Skala Ukur

Hasil Ukur

Variabel independen

Fase Orientasi

Pertemuan pertama perawat dan pasien pada saat akan melakukan kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnya

Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan

Ordinal Baik(x ≥ 6,9)

Kurang (x < 6,9)

Fase Kerja Perawat dan pasien bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan pasien. Interaksi merupakan inti dari fase ini

Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan

Ordinal Baik(x ≥ 6,8)

Kurang (x < 6,8)

34

Page 35: Skripsi anggunan

Fase Terminasi

Merupakan tahap akhir dari hubungan terapeutik dimana pasien mengungkapkan respon dari tindakan yang dilakukan perawat.

Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan

Ordinal Baik(x ≥ 6,4)

Kurang (x < 6,4)

Variabel DependenTingkat Kecemasan

Kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.

Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala Rangking Question yang terdiri dari 14 pernyataan

Ordinal Ringan14-28

Sedang29-42

Berat43-56

35

Page 36: Skripsi anggunan

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelatif yaitu penelitian

atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu atau sekelompok

subjek (Notoadmojo, 2010). Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan

keterampilan komunikasi terapeutik dengan proses penyembuhan pasien diruang

rawat inap rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu suatu penelitian

dimana variabel- variabel diteliti pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo,

2010).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan sekelompok subjek yang menjadi objek atau sasaran

penelitian yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan konsep

penelitian (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

Ibu hamil trimester III yang datang memeriksakan kehamilan di poliklinik

kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

periode Oktober, November, Desember 2014 yaitu sejumlah 270 orang.

36

Page 37: Skripsi anggunan

2. Sampel

Penentuan jumlah sampel pasien menggunakan rumus Lameshow,

Hosmer, Klar, dan Lwanga (1997, p.54). Pemilihan rumus ini didasarkan

pada asumsi populasi yang dinamis dan tidak homogen.

n =

Keterangan:

n : besarnya sampel

N : besarnya populasi

Z21-α/2 : nilai baku pada distribusi normal, yaitu : 1.654

d2 : presisi absolut kedua sisi proporsi (10%)

Sehingga jumlah sampel adalah :

n =

=

=

= 54.79 dibulatkan menjadi 55 orang pasien (Ibu hamil).

Untuk mencegah kekurangan sampel akibat drop out, jumlah sampel

minimal ditambah 10%, sehingga jumlah sampel maksimal menjadi:

n = 55 + (10%)

= 60.5 dibulatkan menjadi 60 orang pasien (Ibu hamil)

37

Page 38: Skripsi anggunan

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

purposive sampling didasarkan pada pertimbangan jumlah sampel yang dibuat

oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah

diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria sampel adalah

sebagai berikut:

a. Ibu hamil trimester III yang bersedia menjadi responden

b. Ibu hamil trimester III yang dapat membaca dan menulis

c. Ibu hamil trimester III yang tanpa komplikasi yang mendapat pelayanan di

poliklinik kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh

d. Ibu hamil trimester III yang dapat mengikuti intruksi dengan baik

C. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Kebidanan Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Pertimbangan kenapa dilakukan

penelitian di tempat tersebut karena : Rumah sakit umum Zainoel Abidin

adalah rumah sakit rujukan tipe A di provinsi Aceh.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 20 – 26 Januari tahun

2016. (Lampiran 1).

38

Page 39: Skripsi anggunan

D. Alat Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diinginkan sesuai dengan tujuan

penelitian, penulis menggunakan dua format kuesioner yang mengacu pada

tinjauan kepustakaan dan kerangka konsep yang dikembangkan sendiri oleh

peneliti yaitu :

a. Bagian A merupakan data demografi responden, meliputi:, no responden,

umur, pendidikan.dan pekerjaan,

b. Bagian B merupakan pernyataan yang diajukan untuk variabel independen

yaitu fase hubungan komunikasi terapeutik dengan kriteria penilaian yang

digunakan adalah untuk pernyataan positif, skor yang diberikan yaitu dua

(2) untuk jawaban ya dan satu (1) untuk jawaban tidak.

c. Bagian C merupakan pernyataan yang diajukan untuk variabel dependen

yaitu tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan yang terdiri dari

14 item pertanyaan. Yang dikembangkan oleh HARS. Dengan kriteria

penilaian masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka skore

antara 0-4, yang artinya adalah sebagai berikut :

0 = Tidak ada gejala

1 = Gejala ringan (1 dari gejala yang ada)

2 = Gejala sedang (Separuh dari gejala yang ada)

3 = Gejala berat (lebih dari separuh gejala yang ada)

4 = Gejala berat (semua gejala ada)

39

Page 40: Skripsi anggunan

Masing-masing nilai (skor) dari ke 14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

kecemasan seseorang, yaitu :

< 14 : Tidak ada kecemasan

14 – 28 : Kecemasang ringan

29 – 42 : Kecemasan sedang

43 – 56 : Kecemasan berat

E. Uji Coba Instrumen

Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan uji coba instrument

yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas daftar kuesioner yang

telah disusun

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang

disusun tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu diuji

dengan uji korelasi antara skors (nilai) tiap item-item (pertanyaan) dengan

skors total kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi

yang bermakna (contruct validity). Apabila kuesioner tersebut telah memiliki

validitas konstruk, berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam

kuesioner tersebut mengukur konsep yang diukur (Notoatmodjo, 2010).

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan

40

Page 41: Skripsi anggunan

sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran

dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur

yang sama (Notoadmodjo, 2010). Dengan menggunakan program computer

(SPSS), maka nilai reliabilitas dapat langsung dihitung dan hasilnya

menunjukkan bahwa kuesioner tersebut reliabel. Uji reliabilitas ini dilakukan

pada pasien di rumah sakit yang tidak diambil sebagai sampel.

F. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

penyebaran lembaran kuesioner, adapun prosedur pengumpulan data sebagai

berikut:

1. Tahap Persiapan Pengumpulan Data

Tahap persiapan pengumpulan data dilakukan dengan mendapatkan izin

dari Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala, kemudian

mendapatkan izin dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh.

2. Tahap Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan izin dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh. Penelitian dilakukan dengan tahap seperti berikut :

a. Peneliti mendatangi calon responden, lalu memperkenalkan diri serta

menjelaskan tentang tujuan dan proses pengisian kuesioner. Peneliti juga

menjelaskan bahwa penelitian ini tidak berisiko bagi responden dan

kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan benar dan

41

Page 42: Skripsi anggunan

data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan

penelitian.

b. Kemudian peneliti memeriksa kelengkapan kuesioner yang akan

diberikan kepada responden dan mengisi kode pada No.Responden dan

tanggal pada lembar kuesioner.

c. Meminta persetujuan responden dan apabila responden setuju maka

responden menandatangani pada lembar persetujuan

d. Peneliti menjelaskan kepada rseponden tentang petunjuk pengisian

kuisioner.

e. Setelah selesai, peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan

dari pengisian jawaban kuisioner.

f. Peneliti juga akan meminta bantua dua orang enumerator untuk

melakukan wawancara terpimpin kepada responden yang akan mengisi

kuisionernya, setelah sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu

kepada enumerator tentang prosedur pengisian kuisioner dalam penelitian

ini.

g. Setelah data terkumpul, penulis melaporkan kembali kepada pimpinan

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin untuk mendapatkan surat

keterangan selesai melakukan penelitian.

G. Pengolahan Data

Setelah data diperoleh, maka selanjutnya data tersebut diolah melalui

beberapa tahap sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :

42

Page 43: Skripsi anggunan

1. Editing

Setelah pengumpulan data, hasil kuisioner harus dilakukan

penyuntingan terlebih dahulu. Secara umum, editing adalah kegiatan untuk

pengecekan dan perbaikan isian kuisioner kembali. yang meliputi

kelengkapan identitas responden dan memastikan semua item pernyataan

kuesioner sudah diisi secara lengkap.

2. Coding

Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, kemudian dilakukan

pengkodean atau coding. Kode ini sangat berguna dalam entry data.

3. Processing

Semua data (jawaban responden) yang telah diberi kode, dimasukkan ke

dalam software computer. Software yang paling sering digunakan adalah

SPSS for windows

4. Cleaning

Setelah data di entry, maka perlu dilakukan pengecekan kembali, untuk

melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan

dan kemudian dikoreksi.

H. Analisa Data

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa univariat dan

bivariat. Berikut penjelasannya.

1. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan

presentase dari tiap variabel dan subvariabel yang diteliti. Data yang

43

Page 44: Skripsi anggunan

dikumpulkan akan diolah secara komputerisasi dengan kategori jenjang

ordinal maka akan ditentukan rata-rata atau mean dari variabel penelitian

melalui rumus yang dikemukakan oleh (Budiarto, 2001)

=

Keterangan:

= nilai rata-rata

= Jumlah keseluruhan nilai responden

n = Jumlah sampel

Kemudian ditentukan persentasi perolehan untuk tiap-tiap kategori

dengan menggunakan rumus berikut:

P = x 100%

Keterangan:

P = Persentase

fi = Frekwensi teramati

n= Jumlah responden (sampel)

2. Analisa Bivariat

Setelah dilakukan analisis univariat, hasilnya akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis

bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010, p.183).

Perhitungan statistic untuk analisa variabel penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan program komputer yaitu dengan menggunakan

program Statistik Service Solution (SPSS) yang di interprestasikan dalam

44

Page 45: Skripsi anggunan

nilai non probabilitas (p value) maka akan dilakukan analisa silang. Analisa

bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan uji chi square.

Menurut Hastono (2007, p.125) terdapat beberapa aturan yang

berlaku pada uji Chi- square, yaitu:

a. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai Expected (harapan) kurang dari 5,

maka angka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”.

b. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai E < 5, maka angka yang digunakan

adalah “Continuity Correction”.

c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 3x2, 3x3 dan sebagainya, maka

angka yang digunakan “Pearson Chi-square”.

d. Bila Chi-square digunakan untuk keperluan yang lebih spesifik,

misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk

mengetahui hubungan linier dua variabel kategorik, maka digunakan

“Likelihood Ratio” dan “Linear-by-Linear Assciation”.

45

Page 46: Skripsi anggunan

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Demografi Responden

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20-26 Januari 2016 di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak

60 orang responden dari 270 jumlah total ibu hamil trimester III yang datang

memeriksakan kehamilan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun

2016. Untuk lebih jelasnya, data demografi tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 5.1Distribusi Sampel Berdasarkan Data Demografi Responden di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

No Variabel Frekuensi Persentase1. Umur

- 20 – 30 tahun- 31 – 40 tahun- 41 – 50 tahun

20364

33,360,006,7

Jumlah 60 1003. Pendidikan Terakhir

- SMP- SMA- D-III- S-1/S-2

635127

10,058,320,011,7

Jumlah 60 1003. Pekerjaan

- IRT- PNS- Pegawai Swasta- Wiraswasta

2415165

40,025,026,708,3

Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016

46

Page 47: Skripsi anggunan

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, dapat diketahui bahwa dari 60 orang

responden, sebagian besar berumur diantara rentang 31-40, yaitu sebanyak 36

orang (60%). Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh para responden

sebagian besarnya adalah SMA, yaitu sebanyak 35 orang (58,3%). Sedangkan

sebagian besar pekerjaan responden adalah IRT, yaitu sebanyak 24 orang (40%).

B. Hasil Penelitian

1. Analisa Univariat

1) Fase Orientasi

Tabel 5.2Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Orientasi di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Orientasi n %BaikKurang baik

4119

68,331,7

Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016

Berdasarkan Tabel 5.2 di atas dapat dilihat sebagian besar fase

orientasi berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 41 orang (68,3%).

2) Fase Kerja

Tabel 5.3Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Kerja di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Kerja n %Baik Kurang baik

4020

66,733,3

Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016

47

Page 48: Skripsi anggunan

Berdasarkan Tabel 5.3 di atas dapat dilihat sebagian besar fase

kerja berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 40 orang responden

(66,7%).

3) Fase Terminasi

Tabel 5.4Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Terminasi di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Terminasi n %

BaikKurang baik

2832

46,753,3

Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016

Berdasarkan Tabel 5.4 di atas dapat dilihat bahwa fase terminasi

berada pada kategori kurang baik, yaitu sebanyak 32 orang (53.3%).

4) Tingkat Kecemasan

Tabel 5.5Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecemasan di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Tingkat Kecemasan n %

RinganSedangBerat

32199

53,331,715,0

Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016

Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar

tingkat kecemasan responden berada pada kategori ringan, yaitu

sebanyak, yaitu 32 orang (53,3%).

48

Page 49: Skripsi anggunan

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan

Tabulasi silang hubungan antara fase orientasi dengan tingkat

kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,

dapat dilihat di bawah ini:

Tabel 5.6Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Orientasi

Tingkat Kecemasan

n % PRingan Sedang Berat

n % n % n %

Baik 23 56,1 17 41,5 1 2,4 41 100

0,000Kurang baik 9 47,4 2 10,5 8 42,1 19 100

Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100

Dari data Tabel 5.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 41 orang

responden yang menyatakan fase orientasinya baik, terdapat 23 orang

(56,1%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan

hanya 1 orang (2,4%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari 19

orang responden yang menyatakan fase orientasinya kurang baik, terdapat

9 orang (47,4%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan,

dan 8 orang (42,1%) berada pada kategori berat. Selanjutnya berdasarkan

nilai signifikan p-value diperoleh nilai sebesar 0,000 yang berarti lebih

kecil dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

49

Page 50: Skripsi anggunan

b. Hubungan Fase Kerja dengan Tingkat Kecemasan

Tabulasi silang hubungan antara fase kerja dengan tingkat

kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,

dapat dilihat di bawah ini:

Tabel 5.7Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Kerja

Tingkat Kecemasan

n % PRingan Sedang Berat

n % n % n %

Baik 26 65,0 11 27,5 3 7,5 40 100

0,016Kurang baik 6 30,0 8 40,0 6 30,0 20 100

Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100

Dari data Tabel 5.7 di atas dapat dilihat bahwa dari 40 orang

responden yang menyatakan fase kerjanya baik, terdapat 26 orang

(65,1%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan

hanya 3 orang (7,5%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari 20

orang responden yang menyatakan fase kerjanya kurang baik, terdapat 6

orang (30%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan

6 orang (30%) berada pada kategori berat. Selanjutnya berdasarkan nilai

signifikan p-value diperoleh nilai sebesar 0,016 yang berarti lebih kecil

dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

50

Page 51: Skripsi anggunan

c. Hubungan Fase Terminasi dengan Tingkat Kecemasan

Tabulasi silang hubungan antara fase terminasi dengan tingkat

kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,

dapat dilihat di bawah ini:

Tabel 5.8Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016

Fase Terminasi

Tingkat Kecemasan

N % PRingan Sedang Berat

n % n % n %

Baik 20 71,4 5 17,9 3 10,7 28 100

0,000Kurang baik 12 37,5 14 43,8 6 18,8 32 100

Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100

Dari data Tabel 5.8 di atas dapat dilihat bahwa dari 28 orang

responden yang menyatakan fase terminasinya baik, terdapat 20 orang

(71,4%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan

hanya 3 orang (10,7%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari

32 orang responden yang menyatakan fase terminasinya kurang baik,

terdapat 12 orang (37,5%) yang tingkat kecemasannya berada pada

kategori ringan, dan 6 orang (18,8%) berada pada kategori berat.

Selanjutnya berdasarkan nilai signifikan p-value diperoleh nilai sebesar

0,030 yang berarti lebih kecil dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara fase terminasi dengan tingkat

kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

51

Page 52: Skripsi anggunan

C. Pembahasan

1. Hubungan Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada

hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga

dapat dilihat pada Tabel 5.6 dimana dari 41 orang responden yang

menyatakan fase orientasinya baik terdapat 23 orang (56,1%) yang tingkat

kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 1 orang (2,4%) saja

yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.

Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan

fase orientasinya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga

meningkat, dari 19 orang responden terdapat 8 orang (42,1%) atau hampir

setengahnya yang tingkat kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini

juga diperkuat dengan hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value

(0,000) yang berarti lebih kecil dari a-value (0,05).

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Purwandita

Anggarini dan Lutfi Nurdian Asnindari (2012), dengan judul ”Hubungan

Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan

Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Flamboyan RSUD Muntilan

Yogyakarta, yang mana pada variabel fase orientasi memiliki hubungan yang

signifikan dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,000).

Fase orientasi ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan

klien. Pada saat pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan

perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam

membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini

52

Page 53: Skripsi anggunan

adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan

penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan

pikirannya.

Menurut Stuart (2006), fase orientasi atau perkenalan merupakan fase

yang dilakukan perawat pada saat pertama kali bertemu atau kontak dengan

klien. Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien

dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan

rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta

mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu.

Pada fase ini salah satu tugas perawat membina hubungan saling

percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka. Untuk

membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur,

ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien.

Dalam hal ini, peneliti berasumsi bahwa fase orientasi ini merupakan

fase paling penting dalam komunikasi terapeutik, karena fase ini awal dari

membentuk kesan pada diri pasien, awal dari kesan pasien yang baik akan

menetukan sikap pasien pada tahap selanjutnya. Pasien yang sudah menaruh

rasa kepercayaan kepada perawat akan merasa nyaman dalam menghadapi

tindakan pengobatan dan perawatan selanjutnya.

2. Hubungan Fase Kerja dengan Tingkat Kecemasan

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada

hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga

dapat dilihat pada Tabel 5.7 dimana dari 40 orang responden yang

53

Page 54: Skripsi anggunan

menyatakan fase kerjanya baik terdapat 26 orang (65%) yang tingkat

kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 3 orang (7,5%) saja

yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.

Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan

fase kerjanya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga

meningkat, dari 20 orang responden terdapat 6 orang (30%) yang tingkat

kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini juga diperkuat dengan

hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value (0,000) yang berarti lebih

kecil dari a-value (0,05).

Hasil penelitian sejenis yang peneliti temukan adalah penelitian yang

dilakukan Atmawati (2010) yang berjudul ”Hubungan Komunikasi

Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD

Setjonegoro Kabupaten Wonosobo”, dimana terdapat hubungan yang

signifikan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,001).

Stuart (2006) mengatakan bahwa fase kerja merupakan inti dari

keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Fase kerja merupakan inti dari

hubungan perawat dan klien yang terkait erat dengan pelaksanaan rencana

tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang

dicapai. Pada fase kerja ini perawat perlu meningkatkan interaksi dan

mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang

dilakukan. Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap

penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, atau dengan

menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan

dalam mengembangkan hubungan kerja sama.

54

Page 55: Skripsi anggunan

Pada fase ini perawat juga bertugas mengembangkan atau

meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik dengan melanjutkan

pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasi klien

dan mengurangi ketergantungan klien pada perawat, dan mempertahankan

tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah

yang ada.

Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa fase ini merupakan lanjutan

dari fase sebelumnya. Jika fase seblumnya baik, maka pada fase ini semuanya

juga akan berjalan dengan baik. Hubungan saling percaya yang tecipta pada

fase sebelumnya akan membuat kerjasama pada fase ini akan berjalan dengan

baik pula. Selanjutnya kerjasama yang baik ini akan membuat pasien merasa

nyaman. Karena perawat behasil mengeksplorasi stressor yang terjadi pada

pasien dengan tepat.

3. Hubungan Fase Terminasi dengan Tingkat kecemasan

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada

hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga

dapat dilihat pada Tabel 5.8 dimana dari 28 orang responden yang

menyatakan fase terminasinya baik terdapat 20 orang (71,4%) yang tingkat

kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 3 orang (10,7%) saja

yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.

Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan

fase terminasinya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga

meningkat, dari 32 orang responden terdapat 6 orang (18,8%) yang tingkat

55

Page 56: Skripsi anggunan

kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini juga diperkuat dengan

hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value (0,030) yang berarti lebih

kecil dari a-value (0,05).

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Purwandita

Anggarini dan Lutfi Nurdian Asnindari (2012), dengan judul ”Hubungan

Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan

Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Flamboyan RSUD Muntilan

Yogyakarta, yang mana pada variabel fase terminasi memiliki hubungan yang

signifikan dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,000).

Fase terminasi ini merupakan fase yang terakhir dari pertemuan

perawat dan pasie, namun fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat

penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada

tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi

dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat

klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses

keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini

dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep

kehilangan.

Fase terminasi ini merupakan fase yang terakhir dari pertemuan

perawat dan pasie, namun fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat

penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada

tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi

dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat

klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses

56

Page 57: Skripsi anggunan

keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini

dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep

kehilangan.

Stuart (2006) mengatakan bahwa terminasi merupakan akhir dari

pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi

sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari tiap

pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien

masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak

waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan

oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.

Salah satu tugas perawat pada fase ini adalah kesepakatan tindak

lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang disepakati

harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi

yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap

orientasi pada pertemuan berikutnya.

Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa meskipun pada fase terminasi

ini merupakan fase terakhir dari pertemuan antara perawat dan pasien, namun

fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat penting, karena hubungan

saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan

klien keduanya merasa kehilangan. Fase ini juga penting untuk kesepakatan

tindak lanjut, sehingga pada pertemuan lanjutan, pasien tidak merasa takut

atau cemas lagi.

57

Page 58: Skripsi anggunan

D. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini hanya meneliti fase demi fase dari komunikas terapeutik saja,

serta hubungannya dengan tingkat kecemasan pasien. Fase-fase tersebut juga

didapat hanya dari satu pihak, yaitu persepsi responden tanpa melihat

tindakan nyata di lapangan. Oleh karena itu untuk mengotimalkan hasil

penelitian, variabel tambahan seperti perbandingan observasi dan persepsi

responden juga dapat digunakan.

2. Penelitian melibatkan subyek penelitian dalam jumlah terbatas, yakni

sebanyak 60 orang, sehingga hasilnya belum dapat digeneralisasikan pada

kelompok subyek dengan jumlah yang besar.

58

Page 59: Skripsi anggunan

1

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan di

Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

2. Ada hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan di Poliklinik

Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

3. Ada hubungan antara fase terminasi dengan tingkat kecemasan di

Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan

beberapa hal seperti di bawah ini :

1. Bagi responden yang memiliki persepsi yang baik dan tingkat kecemasan

ringan untuk tetap dipertahankan, sedangkan untuk responden yang

memiliki persepsi yang kurang baik disarankan untuk lebih banyak berdo’a

dan lebih berfikir positif agar memiliki persepsi yang baik dan tingkat

kecemasan yang ringan sehingga tindakan operasi bisa berjalan dengan

lancar sampai fase pemulihan.

2. Diharapkan pada petugas kesehatan khususnya perawat yang memberikan

perawatan agar lebih memperhatikan komunikasinya terhadap pasien agar

pasien mempunyai persepsi yang baik tentang pelaksanaan komunikasi

59

Page 60: Skripsi anggunan

2

terapeutik perawat, sehingga dapat menurunkan kecemasan pasien yang

akan menjalani operasi.

3. Bagi peneliti lain diharapkan untuk dapat melakukan penelitian yang lebih

spesifik, dengan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan tingkat

kecemasan perawat seperti faktor traumatik, pengalaman, dan faktor-faktor

lain yang dianggap sesuai.

60

Page 61: Skripsi anggunan

3

DAFTAR PUSTAKA

Arief, N. (2008). Kehamilan dan Kelahiran Sehat. Yogyakarta: DianlokaAris. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

Arwani. (2003). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC

Asmadi, (2009). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi KebutuhanDasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Barlow, D. H. 2006. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa: Linggawati Haryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Cangara, H. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Carpenito. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Chaplin, J.P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendy. N (2008). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC

Effendy. (2006). Hubungan Komunikasi Masyarakat. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Efendy, (2005). Kiat Sukses Menghadapi Operasi. Yogyakarta: Sahabat Setia.

Hardjana, M. (2007). Komunikasi Intrapersonal Dan Interpersonal yogyakarta : Kanisius

Harnawatiaj. (2008). Konsep Diri. Jakarta : Rineka Cipta

Henderson, C. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta : EGC

Lestariningsih, S. (2005). Berpikir Positif Sejalan. Ayahbunda. Jakarta: PT. Aspirasi Pemuda.

Liliweri, A. (2008). Dasar Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Maulana. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC

61

Page 62: Skripsi anggunan

4

Mulyana, (2005). Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nurjannah, (2001). Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien.Yogyakarta: CV. Media Pressindo.

Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Rakhmat. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Rochim, S. (2009). Teori Komunikasi, Ragam Dan Aplikasi. Bandung : Rineka Cipta

Sandra. (2013). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kepuasan Pasien Di Ruang Instalasi Rawat Inap Non Bedah (Penyakit Dalam Pria Dan Wanita) Rsup Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Skripsi Tidak dipublikasikan

Smet, B. (2004). Psikologi Kesehatan. Jakarta: GramediaStuart, Gail, (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC,

Stuard G. W. ( 2006). Buku saku keperawaran jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC.

Suliswati, (2005), Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta

Suryabrata, S. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo PersadaTyastuti. Siti. (2008). Komunikasi & Konseling dalam Pelayanan Kebidanan.

Jakarta: Fitrimaya

Uripni, (2003). Komunikasi Kebidanan. Jakarta : EGC

Yahya, I.F. (2004). Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi terapeutik perawat pelaksana di ruang rawat inap RS. Sumber Waras Jakarta. Skripsi

Videbeck, (2008). Buku Ajar Keperawatanj Jiwa. Jakarta : EGC

62

Page 63: Skripsi anggunan

5