skripsi 2013 prevalensi infeksi cacing yang ditularkan
TRANSCRIPT
PREVALENSI INFEKSI CACING YANG DITULARKAN
MELALUI TANAH PADA MURID SD MARADEKAYA I
KOTA MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER 2012
OLEH:
SHARON ANGREANY
C 111 07 089
PEMBIMBING :
DR. SURYANI TAWALI, MPH
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN
KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
SKRIPSI 2013
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
OKTOBER 2012
Sharon Angreany, C 111 07 089
dr. Suryani tawali, MPH
PREVALENSI INFEKSI CACING YANG DITULARKAN MELALUI
TANAH PADA MURID SD MARADEKAYA I MAKASSAR PADA BULAN
OKTOBER 2012
ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi
masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan
memburuknya tingkat malnutrisi dan anemia yang berpotensi memperlambat
pertumbuhan dan anak menjadi rentan terhadap penyakit.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental analitik dengan
tanpa menggunakan kontrol, dimana penelitian eksperimental adalah suatu model
penelitian dengan melakukan intervensi pada subjek penelitian untuk mengetahui
hasil perubahan setelah diperlakukan oleh intervensi tersebut. Penelitian ini bisa
dilakukan dengan atau tanpa kelompok pembanding, tetapi pada penelitian yang
akan dilakukan tidak digunakan kelompok pembanding.
Hasil : Dari 77 (tujuh puluh tujuh) siswa SD Maradekaya I, didapatkan prevalensi
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah sebesar 28,6 % . Hasil ini lebih
rendah dari prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia yaitu 60% - 90%. Infeksi
tunggal Ascaris mendominasi sebesar 22,1%, sedangkan infeksi tunggal Trichuris
tidak ditemukan, tetapi infeksi campuran (Ascaris + trichuris) didapatkan sebesar
6,5%. Dan siswa SD Maradekaya I yang tidak terinfeksi sebesar 71,4%.
Kesimpulan : Infeksi tunggal Ascaris sebesar 22,1%, tidak ditemukannya infeksi
tunggal Trichuris, sedangkan infeksi campuran ((Ascaris +Trichuris) didapatkan
sebesar 6,5%.
Kata kunci : Infeksi cacing, Prevalensi
Daftar Pustaka : 7 (2005)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu syarat dalam penyelesaian tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, dengan judul:
Prevalensi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah pada Siswa SDN
Maradekaya I pada Bulan Oktober 2012
Selama persiapan, pelaksanaan, dan pengolahan sampai penyelesaian
skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan petunjuk dari staf dosen
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin serta bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dosen pembimbing penulis, dr. Suryani Tawali, MPH
2. Kepala Bagian dan seluruh staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
3. Pimpinan dan staf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
khususnya ibu Asni, staf Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, yang telah memberi bantuan tenaga dan
dukungan moril dalam penyelesaian penelitian penulis.
4. Kepala sekolah dan para guru wali kelas SDN Maradekaya I kota
Makassar.
5. Orang tua dan saudara-saudara penulis yang selalu memberi dorongan dan
bimbingan moril serta bantuan materiil dalam penyelesaian skripsi ini
6. Seluruh pihak yang turut membantu selama penyelesaian skripsi ini yang
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan senantiasa penulis
terima.
Akhirnya harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua.
Makassar, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI i
DAFTAR LAMPIRAN Ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 16
2.1 Tinjauan Umum tentang Infeksi Cacing 16
2.2 Infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH) 16
BAB III. KERANGKA KONSEP 20
3.1 Dasar Pemikiran Variabel 20
3.2 Kerangka Konsep 21
BAB IV. METODE PENELITIAN 24
4.1 Jenis Penelitian 24
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 24
4.3 Populasi dan Sampel 24
4.4 Cara Pengumpulan Data 26
4.5 Instrumen Penelitian 26
4.6 Rencana Pengelolaan dan Penyajian Data 27
4.7 Etika Penelitian 27
BAB V. HASIL PENELITIAN 28
5.1 Hasil Penelitian 28
BAB VI. PEMBAHASAN 33
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 36
7.1 Kesimpulan 36
7.2 Saran 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penggolongan Tingkat Infeksi Berdasarkan Jumah Telur 11
Tabel 2 Penggolongan Beratnya Infeksi N. americanus dan A. duodenale 15
Tabel 5.1Prevalensi Siswa SD Maradekaya I kota Makassar yang Terifeksi oleh
Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah 28
Tabel 5.2Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Murid
SD Maradekaya I kota Makassar pada Bulan Oktober 2012
Berdasarkan Cacing yang Menginfeksi 29
Tabel 5.3Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Siswa
SD Maradekaya I kota Makassar Pada Bulan Oktober 2012 Berdasarkan
Jenis Kelamin 30
Tabel 5.4Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Siswa
SD Maradekaya I kota Makassar Pada Bulan Oktober 2012
Berdasarkan Umur 31
Tabel 5.5Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Siswa
SD Maradekaya I kota Makassar Pada Bulan Oktober 2012
Berdasarkan Kelas 32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang paling banyak menyerang
anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing usus ditularkan melalui
tanah yang tercemar telur cacing, tempat tinggal yang tidak saniter dan cara hidup
tidak bersih merupakan masalah kesehatan masyarakat, di pedesaan dan di daerah
kumuh perkotaan di Indonesia. Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan
berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan menjadi
sumber infeksi.1,2
Infeksi cacing merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai
pada anak usia 6-15 tahun yang berdampak terhadap proses pertumbuhan,
perkembangan, dan gizi anak. Di negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, penyakit infeksi dan konsumsi makanan yang kurang memenuhi syarat
gizi, merupakan dua faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap status gizi
anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas manusia adalah tingkat
kesehatan, sedangkan tingkat kesehatan seseorang pada hakekatnya dipengaruhi
oleh status atau keadaan gizi. Menurut penelitian Tonny Sadjimin yang dikutip
oleh Jansen Loudwik Lalandos dan Dyah Gita Rambu Kareri, gangguan gizi dapat
disebabkan oleh infeksi cacing khususnya cacing usus yang ditularkan melalui
tanah.2
Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil
transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp.1,2
Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negara-negara
dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat
dengan kebersihan diri dan sanitasi yang kurang. Cacing usus yang sering
menginfeksi manusia adalah: Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris
trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
(cacing tambang) dan Strongyloides stercoralis.3
Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 %
tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Hadidjaya, 1994). Mengingat
ascarias lumbricoides dan trichuris trichiura sudah menyerang anak pada usia
dini, maka dapat terjadi gangguan pada tumbuh kembang anak. Jika keadaan ini
berlangsung lama pada anak usia sekolah dasar, akan mengurangi kemampuan
belajar dan mengganggu kesehatan anak. Keadaan ini dapat terjadi terutama pada
anak sekolah dan anak balita, sedangkan pada orang dewasa gangguan ini akan
menurunkan produktivitas kerja. Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang
mengalami infeksi di seluruh dunia diantaranya sekitar 300 juta menderita infeksi
kecacingan yang berat dan sekitar 150.000 kematian terjadi setiap tahun akibat
infeksi STH. Prevalensi terjadinya kecacingan pada manusia di dunia adalah:
Ascaris lumbricoides mengenai 1300 x 106 orang, Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus mengenai 400-800 x 106 orang, Trichuris trichiura mengenai
500 x 106 orang dan Strongyloides stercoralis mengenai 80 x 106 orang. Di
Indonesia, spesies cacing yang paling banyak ditemukan secara berurutan adalah
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Necator americanus. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan disepuluh provinsi di Indonesia ditemukan prevalensi
Ascaris lumbricoides 30,4%, Trichuris trichiura 21,2% dan Necator americanus
6,5%.1
Anak usia 6-15 tahun adalah penderita terbanyak infeksi STH. Anak-anak ini
berada pada puncak pertumbuhan, sementara infeksi cacing yang terjadi dapat
memperburuk tingkat malnutrisi dan anemia yang berpotensi memperlambat
pertumbuhan dan anak menjadi rentan terhadap penyakit lain. Akibatnya
pertumbuhan menjadi terhambat (WHO, 2003).3
Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Obat-obatan yang
digunakan sebagai antelmintik ada beberapa macam yang bergantung pada jenis
parasitnya, seperti dietilkarbamazin untuk mikrofilaria W. bancrofti, mebendazole
dan pirantel pamoat untuk cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, T.
trichuris trichiiura, piperazin untuk A. lumbricoidesi, tiabendazole untuk
ascariasis lumbrocoides, larva migran kulit.5,6
Diwaktu-waktu yang lalu dampak infeksi cacing sebagai masalah kesehatan
masyarakat secara konsisten tidak pernah mendapat perhatian serius dan
seringkali diabaikan (underestimated). Sekarang masalah ini mendapat perhatian
cukup besar dan ada kesepakatan umum bahwa penyakit karena infeksi cacing
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, terutama untuk anak-
anak. Sudah diketahui tersedianya pengobatan yang sederhana, aman, murah dan
efektif menyebabkan terjadinya inisiatif secara global. Pada lima tahun terakhir,
Badan Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO), Bank Dunia
(World Bank) dan lembaga - lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (United
Nations) dan masyarakat lainnya secara bersama-sama melaksanakan
pengendalian terhadap infeksi kecacingan melalui program pengobatan
anthelmintik pada murid-murid sekolah.4
Dalam rangka merencanakan pemberantasan penyakit cacing di masyarakat,
sangat diperlukan data tentang kejadian kecacingan yang cukup. Berdasarkan hal
tersebut, maka penelitian ini dilakukan di SD Maradekaya I untuk menentukan
prevalensinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dibuatlah rumusan masalah, yakni sebagai
berikut: “ Bagaimana prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada
murid SD Maredekaya I Makassar.”
1.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah pada murid SD Maradekaya I Makassar.
I.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui
tanah pada murid SD Maradekaya I menurut jenis kelamin, umur, dan kelas.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, ialah :
a) Teori
Bagi akademik, diharapkan dapat menambah sumber informasi dan sebagai
bahan bacaan untuk peneliti berikutnya.
b) Matode
Bagi peneliti bermanfaat untuk menambah pengalaman dalam memperluas
wawasan dan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam bidang
penelitian.
c) Terapan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi
bagi tenaga kesehatan dalam menangani infeksi cacig yang ditularkan melalui
tanah.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi
bagi Kanwil departemen kesehatan Makassar dalam menerapkan berbagai
kebijakan untuk mencapai Indonesia sehat 2015.
3. Bagi peneliti, merupakan pengalaman yang berharga untuk memperluas
wawasan keilmuan dalam hal kualitas, dan pengembangan diri dalam bidang
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Umum tentang Infeksi Cacing
2.1.1 Definisi
Infeksi cacing merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai
pada anak usia 6-15 tahun yang berdampak terhadap proses pertumbuhan,
perkembangan, dan gizi anak. Di negara yang sedang berkembang seperti
Indonesia, penyakit infeksi dan konsumsi makanan yang kurang memenuhi
syarat gizi, merupakan dua faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap
status gizi anak.1,3
Umumnya di negara berkembang termasuk Indonesia pelaku utama
pengasuhan anak adalah ibu. Cara pemeliharaan kebersihan dan kesehatan
pada balita dan anak-anak sekolahdasar masih sangat bergantung pada
bagaimana cara ibu (pola asuhan ibu) mengajarkan dan menerapkan cara-cara
tersebut dalam kehidupan anaknya. Sepuluh pola asuhan ibu ini dapat dilihat
dari tingkat perawatan fisik anak, tingkat penyediaan sarana yang mendukung
kesehatan, tingkat keteladanan ibu dan tingkat komunikasi ibu dan anak.3,6
2.2 Infeksi Soil Transmitted Helmintes (STH)
2.2.1 Definisi
STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam
perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang
termasuk golongan STH yang habitatnya pada usus manusia adalah Ascaris
lumbricoides, Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale),
Strongiloides stercoralis, Trichuris trichiura. Sedangkan yang habitatnya pada
usus hewan adalah Toxocara canis, Toxocara Cati, Ancylostoma braziliense,
Ancylostoma ceylanicum, Ancylostoma caninum. STH yang akan dibahas
dalam bab tinjauan pustaka ini meliputi :Ascaris lumbricoides, Hookworm (N.
americanus dan A. duodenale), Trichuris Trichiura.10
2.2.2 Jenis Soil Transmitted Helmintes (STH)
Ascaris Lumbricoides
a. Epidemologi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing A. lumbricoides disebut Ascariasis
atau dikenal di Indonesia dengan cacing gelang. Di Indonesia prevalensi
Ascariasis tinggi, frekuensinya antara 60% sampai 90% terutama terjadi pada
anak-anak. A. lumbricoides banyak terjadi pada daerah iklim tropis dan
subtropis khususnya negara-negara berkembang seperti Amerika Selatan,
Afrika dan Asia. Telur cacing gelang akan keluar bersama tinja pada tempat
yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi
infektif.2,3
b. Morfologi
A. lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara Nematoda
lainya.Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang. Ukuran cacing
jantan 10-30 cm dengan diameter 2-4 mm, betina 22-35 cm, kadang-kadang
sampai 39 cm dengan diameter 3-6 mm. A. lumbricoides memiliki 4 macam
telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur fertile (telur yang dibuahi),
unfertile (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah dibuahi
tetapi telah kehilangan lapisan albuminnya) dan telur Infektif (telur yang
mengandung larva).2,3
Gambar 1 : Telur A. lumbricoides Fertile
Gambar 2 : Telur A. lumbricoides unfertile dan fertile
Gambar 3 :Telur A. lumbricoides fertil dan yg paling kanan decorticated
Gambar 4 : Telur A. lumbricoides infertile
c. Siklus Hidup
Gambar 5 : siklus hidup A. lumbricoides
Cacing dewasa didalam usus halus memproduksi telur. Cacing betina
setelah kawin dapat memproduksi telur tiap harinya kurang lebih 200.000
butir, kemudian dikeluarkan bersamaan feses waktu buang air besar. Telur
yang dikeluarkan merupakan telur yang unfertile (tidak infeksius) dan telur
fertile. Pada tanah yang lembab, berlumpur dan teduh memudahkan
pertumbuhan telur fertile menjadi telur infektif, biasanya butuh waktu kurang
lebih 18 hari. Telur yang berisi larva ini infektife. Jika suatu ketika telur
tertelan oleh manusia, akan masuk ke lumen usus kemudian dalam usus telur
menetas menjadi larva dan larva akan menembus mukosa usus melalui vena
porta menuju hepar kemudian melalui arteri hepatika masuk ke sirkulasi
sistemik. Dari sirkulasi sistemik melalui venavena balik menuju jantung kanan
yaitu atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan dan masuk ke paru-paru
melalui arteri pulmonalis masuk ke kapiler, karena ukuran larva lebih besar
dari kapiler maka terjadi perdarahan di kapiler. Migrasi berlangsung selama
10-15 hari sehingga larva dapat migrasi ke alveoli menuju bronkus, trakea,
laring, faring, dan akhirnya ikut tertelan masuk kedalam usus dan tumbuh jadi
bentuk dewasa. Jika cacing dewasa jantan dan betina kawin, betina sudah
dapat menghasilkan telur kurang lebih 2 bulan sejak infeksi pertama.2,3
d. Patogenesis
Patogenesa berkaitan dengan jumlah organisme yang menginvasi,
sensitifitas host, bentuk perkembangan cacing, migrasi larva dan status nutrisi
host. Migrasi larva dapat menyebabkan eosinophilia dan kadang-kadang reaksi
alergi. Bentuk dewasa dapat menyebabkan kerusakan pada organ akibat
invasinya dan mengakibatkan patogenesa yang lebih berat.1,3
e. Manifestasi klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi A. lumbricoides antara lain
rasa tidak enak pada perut (abdominal discomfort), diare, nausea, vomiting,
berat badan turun dan malnutrisi. Bolus yang dihasilkan cacing dapat
menyebabkan obstruksi intestinal, sedangkan larva yang migrasi dapat
menyebabkan pneumonia dan eosinophilia.2
Pada anak-anak yang menderita A. lumbricoides perutnya tampak buncit
(karena jumlah cacing dan kembung perut), biasanya mata pucat dan kotor
seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek.perut sering sakit diare,
nafsu makan berkurang.3
f. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur pada
feses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama feses,
muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan kontras barium.2,3
Tingkat infeksi ascariasis dapat ditentukan dengan memeriksa jumlah
telur pergram tinja atau jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh penderita.
Sebagai pedoman dapat dipakai dari “Parasitic Diseases Programme, WHO,
Geneva, 1981” dalam “The Tenth Regional Training Course on Soil-
Transmitted Helminthiasis and Integrated Program on Family Planing
Nutrition and parasite control, Thailand, 1986, seperti pada tabel di bawah :
No. Berat Ascariasis Jumlah Telur /gr
tinja
Jumlah Cacing
Betina
1. Ringan < 7.000 5 / <
2. Sedang 7.000-35.000 6-25
3. Berat >35.000 > 25
g. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan
feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah yaitu
dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-
buahan dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan
mengobati penderita.2,3
1. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
a. Epidemologi
Hookworm menyebabkan infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan
mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 7 liter. Cacing ini ditemukan di
daerah tropis dan subtropis. Kondisi yang optimal untuk daya tahan larva
adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 23°-33°C. Prevalensi infeksi
cacing ini terjadi pada anak-anak .A. duodenale terbanyak kedua setelah A.
lumbricoides, sedangkan N.americanus paling banyak dijumpai di Amerika,
Afrika Selatan dan Pusat, Asia Selatan, Indonesia, Australia dan Kepulauan
Pasifik.2,3
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir,
humus) denga suhu optimum 320C-38
0C. Untuk menghindari infeksi dapat
dicegah dengan memakai sandal/ sepatu bila keluar rumah.2
b. Morfologi
Spesies Hookworm yang paling sering menginfeksi manusia adalah
A.duodenale dan N. americanus. Keduanya dibedakan berdasarkan bentuk dan
ukuran cacing dewasa, buccal cavity (rongga mulut), bursa copulatrix pada
jantan. A. duodenale mempunyai ukuran lebih besar dan panjang dari pada
N.americanus. N. americanus jantan mempunyai panjang 8-11 mm dengan
diameter 0,4-0,5 mm, sedangkan cacing betina mempunyai panjang 10-13 mm
dan diameter 0,6 mm. Pada buccal cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang
“cutting plates” yaitu sepasang di ventral dan sepasang di dorsal. Dalam
keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf “S”. A. Duodenale jantan
mempunyai panjang 7-9mm dan diameter 0,3 mm sedang cacing betinanya
mempunyai panjang 9-11 mm dan diameter 0.4 mm. Pada buccal cavity
(rongga mulut) mempunyai 2 pasang gigi di anterior dan di posterior. Dalam
keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf “C”. Telur Hookworm sulit
dibedakan antara spesies. Bentuk oval dengan ukuran 40-60 mikron dengan
dinding tipis transparan dan berisi blastomer.2,3
Gambar a Gambar b
Gambar 6 : a &b gambar telur Hookworm sulit dapat dibedakan antara telur
N.americanus dan A. duodenale.
c. Siklus Hidup
Gambar 7 : Siklus hidup Hook worm (N.americanus)
Telur keluar bersama feses yang merupakan telur tidak infektif, biasanya
berisi blastomer. Pada tanah yang teduh, gembur, berpasir dan hangat
memudahkan untuk pertumbuhan telur biasanya telur menetas dalam 1-2 hari
dalam bentuk rhabditiform larva. Setelah waktu kurang lebih 5-10 hari tubuh
menjadi larva filariform yang merupakan bentuk infektife. Bentuk dari larva
filariform ini dapat dikenal dari buccal cavity yang menutup. Bila selama
periode infektif terjadi kontak dengan kulit manusia, maka filariform larva
akan menembus kulit dan masuk ke jaringan kemudian memasuki peredaran
darah dan pembuluh lympe, dengan mengikuti peredaran darah vena sampai
ke jantung kanan masuk ke paru-paru lewat arteri pulmonalis kemudian masuk
kekapiler, karena ukuran larva lebih besar akhirnya kapiler pecah (lung
migration) kemudian bermigrasi menuju alveoli, bronkus, laring, faring dan
akhirnya ikut tertelan masuk kedalam usus. Setelah di usus halus larva
melepaskan kulitnya lalu melekatkan diri pada mukosa usus, tumbuh sampai
menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan infeksi melalui kulit sampai cacing
dewasa betina menghasilkan telur kurang lebih 5 (lima) minggu. Infeksi juga
bisa melalui mulut apabila manusia tanpa sengaja menelan filariform larva
langsung ke usus dan tumbuh menjadi dewasa tanpa melalui lung migration.1,3
d. Patogenesis
Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erythematus.
Larva di paru-paru menyebabkan perdarahan, eosinophilia dan pneumonia.
Kehilangan banyak darah akibat kerusakan intestinal dapat menyebabkan
anemia.2,3
e. Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi Hookworm antara lain
pneumonia, batuk terus-menerus, dyspnue dan hemoptysis yang dapat
menandai adanya migrasi larva ke paru-paru. Bergantung pada infeksi cacing
dewasa, infeksi pencernaan dapat menyebabkan anorexia, panas, diare, berat
badan turun dan anemia.2,3
Pada anak yang terinfeksi, tampak anak lesu, tidak bergairah, konsentrasi
belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun atau
anemia (anemia hipokrom mikrositik).2
f. Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur/ cacing dewasa
pada feses penderita.2
Sebagai patokan beratnya infeksi cacing tambang
berdasarkan jumlah telur dalam tinja atau jumlah cacing betina dapat dipakai
patokan dari “Parasitic Diseases Programme, WHO, Geneva, 1981” dalam
“The Tenth Regional Training Course on Soil-Transmited Helminthiasis and
Ingreated Program on Family Planning Nutrition and Parasite
control,Thailand, 1986”, seperti pada tabel di bawah ini :
No. Beratnya Infeksi Jumlah Telur /gr Tinja Jumlah Cacing
Betina
N. americanus
1. Ringan < 2.000 50 atau kurang
2. Sedang 2.000 – 7.000 51-200
3. Berat >7.000 > 200
A. duodenales
1. Ringan < 3.000 20 atau kurang
2. Sedang 3.000-10.000 21 – 100
3. Berat >10.000 Lebih
g. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup
cacing dengan cara : terhadap sumber infeksi dengan mengobati penderita,
memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan memakai alas kaki.2,3
2. Trichuris trichiura
a. Epidemologi
Trichuriasis paling sering terjadi pada masyarakat yang miskin dengan
fasilitas sanitasi yang kurang baik. Prevalensi infeksi berhubungan dengan
usia, tertinggi adalah anak-anak usia SD. Transmisi dipercepat dengan sanitasi
yang jelek dan tanah yang hangat. Telur tumbuh dalam tanah liat dalam tanah
liat, lembab dan tanah dengan suhu optimal ±300C. Infeksi cacing cambuk
terjadi bila telur yang inefektif masuk melalui bersama makanan atau
minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor.1,2
b. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk cambuk dengan 2/5 (dua per lima) bagian
posterior tubuhnya tebal dan 3/5 (tiga per lima) bagian anterior lebih kecil.
Cacing jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4 cm) dari pada betina dengan
ujung posterior yang melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran
4-5 cm dengan ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus
yang khas disebut dengan “Schistosoma oesophagus. Telur berukuran 30–54 x
23 mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong (barrel shape)
dengan dua mukoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan.2,
Gambar 8 : Telur T. Trichura
c. Siklus Hidup
Gambar .9 : siklus hidup T. trichiura.
Telur keluar bersama feses penderita biasanya telur unembryonated. Di
tanah yang teduh dan lembab merupakan kondisi yang paling sesuai untuk
pertumbuhan telur. Pertumbuhan menjadi telur infektif membutuhkan waktu
15-30 hari, ditemukan telur berisi larva stadium III. Manusia terinfeksi apabila
tanpa sengaja menelan telur yang infektif, dan masuk ke dalam usus halus dan
dinding telur akan pecah dan larvanya keluar melalui kripte usus halus
kemudian menuju ke caecum. Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan
tinggal di caecum dan kolon dengan cara menancapkan mulutnya ke dinding
usus, sebagai habitatnya dalam waktu 10-12 minggu tanpa melalui lung
migration. Apabila cacing jantan dan betina kawin, betina akan menghasilkan
telur 3000-20.000 perhari.2,3
d. Patogenesis
Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di caecum tetapi dapat juga
berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi,
infiltrasi eosinophilia, dan kehilangan darah. Pada infeksi yang parah dapat
menyebabkan prolaps rektal dan defisiensi nutrisi.2,3
e. Manifestasi klinik
Dapat menyebabkan diare, anemia, penurunan berat badan, nyeri perut,
nausea, vomiting, eosinophilia, tenesmus, rectal prolapse, pertumbuhan
lambat.2,3
f. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur di dalam feses.3
g. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan
feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah dengan
cara cuci bersih sebelum makan, mencuci dan memasak sayur-sayuran dengan
baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati penderita.2,3
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Dasar Pemikiran Variabel
Dalam sistem kesehatan nasional (SKN) dicantumkan tujuan pembangunan
kesehatan yaitu tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penderita
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah
satu unsur kesejahteraan umum dalam tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular memainkan peranan
penting karena dapat menekan angka kesakitan dan kematian.
Sekarang infeksi kecacingan mendapat perhatian cukup besar dan ada
kesepakatan umum bahwa penyakit karena infeksi cacing merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting, terutama untuk anak-anak. Sudah diketahui
tersedianya pengobatan yang sederhana, aman, murah dan efektif menyebabkan
terjadinya inisiatif secara global. Pada lima tahun terakhir, Badan Kesehatan
Sedunia (World Health Organization/WHO), Bank Dunia (World Bank) dan
lembaga-lembagaPerserikatan Bangsa Bangsa (UnitedNations) dan masyarakat
lainnya secara bersama-sama melaksanakan pengendalian terhadap infeksi
kecacingan melalui program pengobatan anthelmintik pada murid-murid
sekolah.
Dalam rangka merencanakan pemberantasan penyakit cacing dimasyarakat,
sangat diperlukan data tentang kejadian infeksi kecacingan yang cukup.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan di SD Maradekaya untuk
menentukan prevalensinya.
3.2 Kerangka Konsep
= yang diteliti
= yang tidak diteliti
3.2.1 Variabel
3.2.1.1 Infeksi Kecacingan
Definisi :
Infeksi kecacingan merupakan infeksi dimana tanah sebagai media
penularannya yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Infeksi
cacing banyak terdapat pada anak usia sekolah dasar, dimana didalam
usus anak terdapat satu atau beberapa jenis cacing yang merugikan
pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Orang yang terinfeksi cacing usus mengekskresikan telur dalam
tinja mereka, yang kemudian mencemari tanah di daerah dengan
sanitasi yang tidak memadai. Termasuk dalam infeksi kecacingan
apabila dalam pemeriksaan tinja ditemukan telur cacing, larva, atau
cacing dewasa.
Kriteria Objektif :
Infeksi tunggal : Ditemukan satu jenis telur cacing saja (Ascaris
lumbricoides (cacing gelang) atau Trichuris trichiura (cacing cambuk)
atau Ancylostoma duodenale) dalam tinja.
Infeksi campuran : Ditemukan dua atau tiga jenis telur cacing
(Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing
cambuk) dan Ancylostoma duodenale) dalam tinja.
Tidak ada infeksi :Tidak ditemukan telur cacing dalam tinja.
3.3.1.2 Karakteristik Siswa
1. Umur
Definisi :
Merupakan satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan
suatu benda atau makhluk baik yang hidup maupun yang mati
dalam hitungan tahun.
Kriteria objektif :
- 7 tahun
- 8 tahun
- 9 tahun
- ≥ 10tahun
2. JenisKelamin
Definisi ;
Suatu kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies
sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi
seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu.
Kriteria Objektif :
- Perempuan
- Laki-Laki
3. Kelas
Definisi :
Merupakan pengelompokkan didalam tingkatan suatu
pendidikan ditinjau dari umur sebagai tolak ukur perkembangan
pertumbuhan dan kemampuan organ (otak).
Kriteria Objektif :
- Kelas 2
- Kelas 3
- Kelas 4
- Kelas 5
- Kelas 6
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian ekperimental analitik
dengan tanpa menggunakan kontrol, dimana penelitian ekperimental adalah suatu
model penelitian dengan melakukan intervensi (perlakukan) pada subjek
penelitian untuk mengetahui hasil perubahannya (perubahan pada veriabel atau
objek penelitian) setelah diperlakukan oleh intervensi tersebut. Penelitian ini bisa
dilakukan dengan atau tanpa kelompok pembanding, tetapi pada penelitian yang
akan dilakukan tidak digunakan kelompok pembanding.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Sekolah Dasar Maradekaya I kota
Makassar.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal Oktober 2012.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Penelitian
a. Populasi Target
Populasi target (sasaran) yaitu populasi yang menjadi sasaran
pengamatan atau populasi dari mana suatu keterangan akan diperoleh.
populasi yang dimbil adalah seluruh siswa/ siswi Sekolah Dasar
Maradekaya I.
b. Populasi Terjangkau
Populasi Terjangkau adalah bagian dari populasi target yang dapat
dijangkau oleh peneliti terbatas oleh waktu dan tempat. Populasi
terjangkau penelitian ini adalah anak sekolah dasar Maradekaya I kelas 2-5
yang dianggap dapat mewakili sekolah dasar masing-masing.
4.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas II-V dari
sekolah yang sudah dipilih. Alasan peneliti tidak mengambil siswa kelas I
karena siswa tersebut dianggap belum cukup koperatif dan untuk kelas VI
karena siswa sedang dalam persiapan ujian.
Penentuan individu sampel dengan menggunakan teknik pengambilan
sampel secara acak sistematis (Systematic sampling). Dimana caranya
adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah
sampel yang diinginkan. Hasilnya adalah interval sampel.Sampel diambil
dengan membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1
sampai N.
4.3.3 Kriteria Seleksi
a. Kriteria Inklusi
1. Siswa sekolah dasar kelas II sampai V
2. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian
3. Siswa yang hadir pada saat dilakukan penelitian.
b. Kriteria Ekslusi
1. Siswa sekolah dasar kelas I dan VI
2. Tidak bersedia menjadi responden
4.4 Cara Pengumpulan Data
4.4.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung
dari hasil peneltian yang didapatkan berupa data hasil laboratorium
kejadian infeksi cacing yang diperoleh melalui tanah pada anak sekolah
dasar.
4.4.2 Data Sekunder
Data yang dipakai sebagai pendukung untuk melengkapi penulisan
skripsi ini yang didapat dari instansi terkait/ bagian administratif sekolah.
4.5 Instrumen Penelitian
4.5.1 Alat dan Instrumen
Alat pengumpul data dan instrument penelitian yang dipergunakan dlam
penelitian ini terdiri dari lembar yang berisi identitas siswa, lembar yang
berisi tabel-tabel tertentu untuk merekam atau mencatat data yang
didapatkan dari hasil penelitian. Adapaun alat yang dipergunakan dalam
pemeriksaan sampel feses siswa sekolah dasar tersebut berupa sarung
tangan, pulpen marker, label, objek gelas, kayu aplikator, larutan eosin
2%, gelas penutup, kertas tissue, pot tinja, formalin 10%, selotip, dan
mikroskop.
4.6 Rencana Pengelolaan dan Penyajian Data
4.6.1 Pengelolaan Data
Pengelolaan dilakukan dengan memasukkan data yang diperoleh ke
dalam computer. Analisis data dilakukan dengan program computer SPSS
16.0 atau excel 2007 untuk memperoleh hasil statistik yang diharapkan.
4.6.2 Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk table dan diagram
untuk menggambarkan distribusi frekuensi disertai dengan penjelasan
yang sesuai.
4.7 Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Menyertakan surat izin penelitian dari Dinas Pendidikan kota Makassar.
2. Meminta izin kepada Kepala sekolah dasar sekolah yang akan diteliti.
3. Meminta izin kepada wali kelas masing-masing sebelum melakukan
penelitian terhadap anak murid kelas II – V.
4. Melakukan Pengukuran status gizi dengan tidak menggangu proses belajar
mengajar dikelas.
5. Melakukan pengukuran terhadap siswa-siswa SD jika siswa tersebut bersedia
untuk ikut serta dalam penelitian ini.
BAB V
HASIL PENELITIAN
V.1 Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan sampel tinja sebanyak 77 sediaan yang
terdiri dari 37 sampel tinja dari siswa laki-laki dan 41 sampel tinja dari siswa
perempuan dengan umur antara 7 sampai 12 tahun.
Tabel 5.1 Prevalensi Siswa SD Maradekaya I Kota Makassar Yang
Terinfeksi Oleh Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah
Status Infeksi N %
Terinfeksi
Tidak Terinfeksi
22
55
28,6
71,4
Total 77 100
Sumber: Data Primer
Pada Tabel 5.1 tampak bahwa dari total 77 siswa, 22 siswa (28,6%)
terinfeksi, sedangkan 55 siswa lainnya (71,4%) tidak terinfeksi.
Tabel 5.2 Distribusi Infeksi Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah
pada Murid Sd Maradekaya I Kota Makassar pada Bulan Oktober
2012 Berdasarkan Jenis Cacing Yang Menginfeksi
Jenis Cacing N %
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Campuran (Ascaris+Trihuris)
Tidak Terinfeksi
17
0
5
55
22,1
0
6,5
71,4
Total 77 100
Sumber: Data Primer
Pada Tabel 5.2 didapatkan dari total 77 siswa, yang terinfeksi
Ascaris17 siswa (22,1%). Yang terinfeksi Trichuris tidak didapatkan.
Yang terinkesi campuran ( Ascaris + Trichuris) terdapat 5 siswa (6,5%).
Sedangkan yang tidak terinfeksi 55 siswa (71,4%).
Tabel 5.3 Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Pada Siswa SD Maradekaya I Kota Makassar Pada Bulan Oktober
2012 Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Infeksi Jenis Kelamin
Laki – Laki
Perempuan
N % N %
Terinfeksi
Tidak Terinfeksi
13
25
34,2
65,8
9
30
23,1
76,9
Total 38 100 39 100
Sumber: Data Primer
Pada Tabel 5.3 didapatkan dari total 38 jumah siswa (laki-laki) di SD
Maradekaya I, 13 siswa (34,2%) terinfeksi, sedangkan 25 siswa (65,8%)
tidak terinfeksi. Pada siswi SD Maradekaya I dari total 39 jumlah siswi
(perempuan) 9 siswi (23,1%) terinfeksi, sedangkan 55 siswi (71,4%) tidak
terinfeksi.
Tabel 5.4 Distribusi Infeksi Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah
Pada Siswa SD Maradekaya I Kota Makassar Pada Bulan Oktober
2012 Berdasarkan Umur
Jenis
Kelamin
Umur (Tahun) Total
7 8 9 10 11 12
N % N % N % N % N % N % N %
Terinfeksi 8 36,4 1 4,5 1 4,5 8 36,4 0 0 4 18,2 22 100
Tidak
Terinfeksi
5 9,1 6 10,9 8 14,5 21 38,2 11 20,0 4 7,4 55 100
Total 13 16,9 7 9,1 9 11,7 29 37,7 11 14,3 8 10,4 77 100
Sumber: Data Primer
Pada tabel 5.4 didapatkan dari total 13 siswa berumur 7 tahun, 8 siswa
(36,4%) terinfeksi dan 5 siswa (9,1%) tidak terinfeksi. Dari total 7 siswa
yang berumur 8 tahun, 1 siswa (4,5%) ternfeksi dan 6 siswa (10,9%) tidak
terinfeksi. Dari total 9 siswa berumur 9 tahun, 1 siswa (4,5%) terinfeksi dan
8 siswa (14,5%) tidak terinfeksi. Dari total 29 siswa yang berumur 10 tahun,
8 siswa (36,4%) terinfeksi dan 21 siswa (38,2%) tidak terinfeksi. Dari total
11 siswa, semuanya didapatkan tidak terinfeksi (20,0%). Dari total 8 siswa
yang berumur 12 tahun, 4 siswa (18,2%) terinfeksi dan 4 siswa (7,3%) tidak
terinfeksi.
Tabel 5.5 Distribusi Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Pada Siswa SD Maradekaya I Kota Makassar Pada Bulan November
2012 Berdasarkan Kelas
Status Infeksi Kelas Total
II III IV V VI
N % N % N % N % N % N %
Terinfeksi
Tidak
Terinfeksi
8
5
61,5
38,5
1
5
16,7
385
3
14
17,6
82,4
6
19
24,0
76,0
4
12
25,0
75,0
22
55
28,6
71,4
Total 13 100 6 100 17 100 25 100 16 100 77 100
Sumber: Data Primer
Pada Tabel 5.5 didapatkan dari total 13 siswa yang duduk pada
bangku kelas 2, 8 siswa (61,5%) terinfeksi, sedangkan 5 siswa (38,5%)
tidak terinfeksi. Pada siswa kelas 3 dari total 6 siswa, terdapat 1 siswa
(16,7%) terinfeksi, sedangkan 5 siswa (83,3%) tidak terinfeksi. Pada siswa
kelas 4 dari total 17 siswa, 3 siswa (17,6%) terinfeksi, sedangkan 14 siswa
(82,4%) tidak terinfeksi. pada siswa kelas 5 dari total 25 siswa, 6 siswa
(24,0%) terinfeksi, sedangkan 19 siswa (76,0%) tidak terinfeksi. Dan pada
siswa kelas 6 dari 16 siswa, 4 siswa (25,0%) terinfeksi, sedangkan 12
siswa (75,0%) tidak terinfeksi.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini sediaan tinja yang berhasil dikumpulkan dan diperiksa
adalah 77 sediaan tinja. Dari hasil pemeriksaan sampel tinja didapatkan gambaran
prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada murid SD
Maradekaya I kota Makassar yaitu sebanyak 28,6%. Hal ini tidak sesuai dengan
prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah di Indonesia dan di dunia,
dimana secara epidemiologi puncak terjadinya infestasi cacing adalah pada usia 5-
14 tahun. Penderita penyakit kecacingan sebagian besar menyerang anak sekolah
dasar dengan prevalensi 60-80%.1 Hal ini mungkin dikarenakan telah
diadakannya penyuluhan sebelumnya tentang penyakit kecacingan dan perilaku
hidup bersih dan sehat di SD Maradekaya I kota Makassar .
Adapun prevalensi infeksi terbanyak yaitu jenis cacing Ascaris Lumbricoides
(22, 1%), Trichuris Trichiura yaitu sebanyak 0% dan ditemukan infeksi campuran
(Ascaris + Trichuris) 14,10%. Hasil ini sesuai dengan prevalensi kecacingan di
seluruh dunia dan di sepuluh provinsi di Indonesia, dimana menurut penelitian di
seluruh dunia dan sepuluh provinsi di Indonesia ditemukan bahwa Ascaris
Lumbricoides menempati urutan pertama dan disusul berturut-turut oleh Trichuris
Trichiura dan Necator Americanus / Anchylostoma Duodenale. Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian di 3 (tiga) provinsi di Indonesia dan penelitian di SD
GMIM Lahai Roy Malalayang, Sulawesi Utara.1
1. Prevalensi Infeksi Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah pada Murid
SD Maradekaya I Kota Makassar pada Bulan Oktober 2012 Menurut
Jenis Kelamin.
Dari hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa anak
laki-laki lebih banyak terinfeksi yaitu sebesar 13 siswa (34,2%)
dibandingkan dengan anak perempuan sebesar 9 siwa (23,1%). Hal ini
disebabkan karena anak laki-laki mempunyai aktivitas bermain yang
khususnya berhubungan dengan tanah lebih tinggi dibandingkan dengan
anak perempuan sehingga anak laki-laki lebih beresiko terinfeksi cacing
yang ditularkan melalui tanah dibandingkan dengan anak perempuan.1
2. Prevalensi Infeksi Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah pada Murid
SD Maradekaya I Kota Makassar pada Bulan Oktober 2012 Menurut
Umur.
Berdasarkan epidemiologi, anak usia 7-12 tahun adalah penderita
terbanyak infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah dimana
puncaknya terjadi pada kelompok usia 7-10 tahun.1,3
Dari hasil
penelitian berdasarkan umur tampak bahwa jumlah tertinggi infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah ditemukan pada kelompok usia 7
dan 10 tahun sebesar 36,4% dan prevalensi terendah terdapat pada umur
11 tahun sebesar 0%. Hal ini dikarenakan pada anak kelompok usia
tersebut sudah mulai memperhatikan higienitas atau kebersihan diri,
sehingga tidak mudah terinfeksi oleh cacing yang ditularkan melalui
tanah.
3. Prevalensi Infeksi Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Murid SD
Maradekaya I Kota Makassar pada Bulan Oktober 2012 Menurut Kelas
dihubungkan dengan Jenis Infeksi Cacing
Dari hasil penelitian berdasarkan kelas tampak bahwa jumlah tertinggi
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah ditemukan prevalensi terbesar
terdapat kelas II yaitu 61,5% dan yang paling sedikit terdapat pada kelas
III yaitu sebesar 16,7%. Hal ini dikarenakan hal yang sama seperti pada
penelitian berdasarkan kelompok umur bahwa pada kelompok kelas
tersebut sudah mulai memperhatikan higienitas atau kebersihan diri,
sehingga tidak mudah terinfeksi oleh cacing yang ditularkan melalui tanah.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VI. 1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai prevalensi infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah pada murid SD Maradekaya I Kota Makassar kelas
II sampai kelas VI sebanyak 78 orang siswa, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah di SD
Maradekaya I kota Makassar adalah 28,6%.
2. Adapun jenis cacing terbanyak yang menginfeksi siswa SD
Maradekaya I Kota Makassar adalah jenis cacing Ascaris
Lumbricoides.
3. Prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah lebih tinggi
pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan.
4. Dari penelitian yang dilakukan puncak prevalensi infeksi cacing
yang ditularkan melalui tanah adalah umur 7 tahun.
5. Menurut tingkatan kelas, kelas II memiliki prevalensi terbesar infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah.
VI. 2 Saran
1. Mengingat prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada
SD Maradekaya I kota Makassar cukup tinggi maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang menyebabkan
tingginya angka kejadian infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah
pada anak di SD Maradekaya I kota Makassar.
2. Memberi pengobatan secara dini dan adekuat pada anak yang telah
terinfeksi oleh cacing untuk menghilangkan parasit dari dalam tubuh dan
mencegah timbulnya gejala.
3. Perlunya penyuluhan tentang kebersihan diri pada murid sekolah dasar
untuk lebih meningkatkan kebersihan diri dari murid SD Maradekaya I
dan mencegah terjadinya infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar.
4. Perlunya ditingkatkan kesadaran akan budaya bersih dan sehat melalui
pembinaan dokter kecil yang ada di SD Maradekaya I.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalandos JL, Kareri DGR. Prevalensi Infeksi Cacing yang Ditularkan
Melalui tanah pada Siswa SD GMIM Lahai Roy Malalayang. 2008.
[cited 21 November 2012] Available at
:http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32088691_0852-6974.pdf
2. Suriptiastuti. Infeksi Soil-Transmitted Helminth :Ascariasis,
Trichiuriasis dan Cacing Tambang. 2006. [cited 21 November 2012]
Available at :http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2012/04/Tutik.pdf
3. WHO. Soil Transmitted Helminths. 2006. [cited 21 November 2012]
Available at :http://www.who.int/intestinal_worms/en/
4. Mangerangi Y, Mahyuddin. Hygiene dan Investasi Cacing pada Murid
SD Athirah dan SD Inpres Perumnas. 2003. hal : 4-16.
5. Prianto J,dkk. Nematoda Usus. dalam Atlas Parasitologi Kedokteran. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2006. hal : 1-23.
6. Widoyono. Infeksi Parasit – Penyakit Cacing. dalam Penyakit Tropis :
Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. EMS.
Jakarta. 2008. hal : 127-36.
7. Zaman V, Ng MM. Atlas of Medical Parasitology Fourth Edition.
Elsevier. Singapore. 2008. pg : 125-40.
BIODATA PENULIS
Nama : Sharon Angreany
Tempat/Tanggal Lahir : Muaro Bungo/ 19 September 1988
Alamat : Perum NTI, Blok G/Lr. I/No.3, Tamalanrea
Makassar
Riwayat Pendidikan
Taman Kanak-Kanak : TK Xaverius II kota Jambi
Sekolah Dasar : SD Xaverius II kota Jambi
Sekolah Menengah Pertama : SMP Xaverius II kota Jambi
Sekolah Menengah Umum : SMA Negeri 5 kota Jambi
Perguruan Tinggi : Fakultas Kedokteran UNHAS
Riwayat Orang Tua
Ayah
Nama : Benyamin Panannangan
Alamat : Jl. A.Chatib, No.24 Telanaipura Jambi
Pekerjaan : PNS
Pendidikan Terakhir : S1
Ibu
Nama : Agustina Tipa
Alamat : Jl. A.Chatib, No.24 Telanaipura Jambi
Pekerjaan : -
Pendidikan terakhir : SMA