skrip si

191
MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO’ DI KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA’ UTARA KAB. TANA TORAJA MAIKE YULITA DATUAN E41107062 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN SKRIPSI

Upload: richard-wowiling

Post on 05-Dec-2014

143 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skripsiiii

TRANSCRIPT

Page 1: Skrip Si

MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU

DALAM SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL

PADA PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO’

DI KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA’ UTARA KAB. TANA TORAJA

MAIKE YULITA DATUAN

E41107062

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

SKRIPSI

Page 2: Skrip Si

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM

SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA

PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO’ DI

KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA’ UTARA

KAB. TANA TORAJA

NAMA : MAIKE YULITA DATUAN

NOMOR POKOK : E411 07 062

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II

untuk diajukan pada tim evaluasi skripsi Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Makassar, 18 Juli 2011

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Hasbi M.Si Drs.SuparmanAbdulla,M.Si Nip: 1963 0827 1991 0310 Nip: 1969 1231 200801 1

Mengetahui/MenyetujuiPimpinan Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS

Drs. Hasbi, M.SiNip:1963 0827 1991 0310

Page 3: Skrip Si

LEMBAR PENERIMAAN TIM EVALUASI

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Evaluasi Skripsi

pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin

Oleh :

NAMA : MAIKE YULITA DATUAN

NIM : E 411 07 062

JUDUL : MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM SISTEM

STRATIFIKASI SOSIAL PADA PELAKSANAAN

UPACARA RAMBU SOLO’ DI KEL. LEATUNG KEC.

SANGALLA’ UTARA KAB. TANA TORAJA

Pada :

Hari / Tanggal : Selasa, 12 Juli 2011

Tempat : Ruang Ujian Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS

TIM EVALUASI SKRIPSI

Ketua : Prof. Dr. Maria E, Pandu, MA ( .................................)

Sekretaris : Sultan, S.Sos, M.Si ( .................................)

Anggota : Drs. Hasbi, M.Si ( ................................ )

Drs. Suparman Abdullah, M.Si ( ................................ )

Buchari Mengge, S.Sos, MA ( ................................ )

Page 4: Skrip Si

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat, pertolongan dan pimpinannya, sehingga penulis dapat

merampungkan skripsi ini yang berjudul “Makna Simbolik Tau-tau Dalam Sistem

Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Kelurahan Leatung

Kecamata Sanggala’ Utara Kabupaten Tana Toraja”.

Setelah beberapa tahun bergelut dalam masa studi,di sela-sela berbagai

tirai penghalang yang setia menyertai. Penulis dihadapkan pada keputusan penting

pada apa yang harus ditulis dan dari mana memulainya. Tetapi dengan kerja keras

dari penulis akhirnya skripsi ini dapat selesai juga.

Penulis sangat menyadari bahwa berkat dukungan, motivasi, bimbingan

dan arahan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat dirampungkan. Untuk itu penulis

menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Petrus Bokko’

Ibunda Rasma Runtung Datuan, BA, atas doa restu, kasih sayang dan

pengorbananya selama ini. Penulis sadar semua itu tidak akan pernah bisa

terbalaskan.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk

meraih gelar sarjana pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin Makassar. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari

begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan

dari berbagai pihak.

Page 5: Skrip Si

Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati

menyampaikan terimah kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Prof. Dr, Idrus A. Paturusi, Sp.B.Sp.Bo selaku Rektor Universitas

Hasanuddin

2. Bapak Prof Dr.Hj. Hamka Naping,MA. selaku Dekan Fisip Universitas

Hasannudin.

3. Bapak Drs. Hasbi M,Si selaku ketua jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar dan sekaligus

sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs.Suparman Abdulla,MA selaku Penasehat Akademik dan Dosen

Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Para dosen dan staf Akademik jurusan sosiologi fakultas ilmu sosial dan

ilmu politik Universitas Hasanuddin. (terima kasih atas ilmunya)

6. Yohanis Panggalo selaku Lurah Leatung yang telah memberikan

keterangan serta memberikan ijin kepada sipenulis untuk mengadakan

penelitian Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan di Kelurahan

Leatung.

7. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan banyak waktunya

kepada penulis, untuk memberikan informasi dan data-data sampai pada

penyelesaiaan skripsi ini

Page 6: Skrip Si

8. Rasa hormat penulis haturkan terima kasih terkhusus kepada kedua orang

tuaku yang paling aku cintai dan sayangi karena telah melahirkan dan

membesarkan ananda, dengan tulus dan kasih sayang, mendidik dan

membiayai dan memotivasi ananda sehingga dapat menyelesaikan

pendidikan sampai di perguruan tinggi.

9. Buat kakakku yang sangat aku sayangi Ronal Datuan, Roni Runtung

Datuan, Very Datuan dan Nely Datuan makasih atas segala nasehatnya,

perhatiannya, motivasinya, kerjasamanya serta dukungannya selama

adinda di bangku kuliah.

10. Semua keluargaku tak terkecuali makasih atas segala batuaannya,

suportnya, dan dukungan doanya selama penulis dalam bangku kuliah.

11. Semua teman-teman ku di jurusan sosiologi angkatan 07 yang telah

banyak membantuku.

12. Teman seperjuanganku Norma, Lina, Icha, dan Marni yang paling setia

menemaniku, membantuku dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih

atas kerja samanya.

13. Teman-teman ku warga PMKO FISIP UNHAS, terima kasih dukungan

dan doanya, selama penyusunan Skripsi ini.

14. Terima kasih juga kepada kakak Febri yang tidak perna bosan

mendengarkan keluh kesahku selama dalam penyelesaian skipsi ini, tanks

atas waktunya serta pengertiannya, saya tidak akan perna melupakan

nasehat-nasehat kakak .

Page 7: Skrip Si

15. Untuk semua yang telah berarti dalam hidupku yang tak sempat disebut

oleh penulis, makasih atas segala dukungan dan kerjasamanya.

Makassar, 2011

Maike Yulita Datuan

Page 8: Skrip Si

ABSTRAK

Maike Yulita Datuan, E411 07 062, Judul Skripsi “Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja ” Di Bimbing oleh Hasbi dan Suparman Abdulla.

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial sebagai salah satu komponen utama dalam Upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec. Sangalla’ Utara Kab. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna tau-tau secara alamiah di Tana Toraja, mengetahui makna simbolik tau-tau sebagai salah satu komponen utama dalam upacara rambu solo’ dan memahami sistim norma yang berkaitan dengan tau-tau di Tana Toraja serta mengapa makna simbolik tau-tau tersebut masih dipertahankan. Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti atau satu tipe penelitian yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada.

Dasar penelitian ini adalah studi kasus yaitu satu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi. Penentuan informan ditentukan secara sengaja, secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti. Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli berdasarkan atas kriteria, adapun kriteria yang dimaksud adalah penduduk yang berada di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabpupaten Tana Toraja Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan pedoman wawancara. Hasil wawancara dan observasi tersebut kemudian digambarkan dalam bab pembahasan seta kajian literature yang berkenaan dengan penelitian ini.

Maka dengan demikiaan diperoleh kesimpulan bahwa simbol tau-tau yang dipergunakan dalam upacara rambu solo’ menurut peraturan adat orang toraja yang dibuatkan Tau-tau adalah orang yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi yang telah berjasa besar bagi masyarakat, kaya kuat, sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat, merupakan pemuka/pemimpin masyarakat dan bagi golongan yang hidupnya berarti bagi masyarakat. Status sosial sangat mempengaruhi keberadaan tau-tau dalam upacara rambu solo’ di Tana Toraja.

Page 9: Skrip Si

DAFTAR ISI

HALAMAM SAMPUL…………………………………………… i

HALAMAN JUDUL………………………………………………. ii

HALAMAN PEGESAHAN ……………………………………… iii

KATA PENGANTAR………………………………………........... iv

ABSTRAK………………………………………………………… viii

DAFTAR ISI………………………………………………………. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1B. Rumusan Masalah…………………………………………. 6C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………. 7D. Kerangkah konseptual ……………………………………. 8E. Metode penelitian …………………………………………. 17

1. Dasar dan Tipe Penelitian …………………………. 172. Teknik Lokasi Penelitian …………………………. 173. Teknik Pemilihan Informan ………………………. 174. Teknik Pengumpulan Data ……………………….. 185. Teknik Analisis Data ……………………………… 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ma’tau-tau ……………………………………. 21B. Upacara Keagamaan ……………………………………… 22C. Pengertian Tentang Makna dan Simbol ………………….. 26D. Teori Interaksionisme Simbolik ………………………….. 28E. Pengertian Kepercayaan dan Kebudayaan ………………… 37F. Pengertian Stratifikasi Sosial………………………………. 39G. Kepercayaan Aluk Todolo ……………………………….. 44H. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan …………………… 49I. Sistem Sosial ……………………………………………… 50

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Gambaran Umum Kelurahan Leatung……………………. 59B. Mata pencaharian …………………………………………. 62C. Sistem Pendidikan ………………………………………… 63D. Sarana dan Prasarana ……………………………………... 64

Page 10: Skrip Si

E. Sistem Kepercayaan ………………………………………… 66F. Sistem Kekerabatan………………………………………… 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden …………………………………….. 70B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen

Dalam Upacara Rambu Solo’ ………………………………… 72C. Makna Stratifikasi dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya…82D. Makna Simbolik Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya……… 85E. Norma/Aturan yang Berkaitan dengan Tau-tau…………………… 88F. Makna Religi dari Upacara Tau-tau Masa Kini…………………… 95

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………... 103B. Saran ………………………………………………………. 104

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: Skrip Si

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia adalah mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan tidak akan

mampu untuk hidup sendiri. Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa hidup

berkawan dimanapun mereka berada. Oleh karena itu manusia yang hidup

berkelompok diwujudkan dalam suatu masyarakat senantiasa berusaha mengejar

suatu hidup yang teratur dan aman. Namun harapan itu tidak akan perna terwujud

jika kelompok masyarakat itu tidak perna saling berinteraksi antara satu dengan

yang lainnya. Dan agar individu-individu harus dapat memainkan perananya

masing-masing dalam kelompok masyarakat itu sebagai suatu sistem.

Memahami sistem kepercayaan suatu kelompok masyarakat merupakan

hal penting baik itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun

pengembangan secara menyeluruh, khususnya pada bidang kebudayaan.

Urgensinya dapat dilihat pada peranan sistem kepercayaan dalam bentuk sikap

individu dalam berperilaku. Dimana orientasi kepercayaan yang bertujuan sebagai

pedoman tingkah laku bagi seluruh masyarakat yang memahami serta menyakini

kepercayaan tersebut dalam suatu wilayah.

Pada umumnya kepercayaan menjadi suatu pegangan dalam menyakini

sesuatu yang gaib atau yang sifatnya supernatural yang berada diluar batas

pemikiran manusia. Diwilayah toraja terdapat satu sistem kepercayaan yang

dikenal sebagai aluk todolo, pada suku toraja, menempatkan kepercayaan terhadap

dunia gaib yang hakiki. Dalam pandangan hidup Aluk Todolo. Hidup di dunia ini

Page 12: Skrip Si

hanya sementara, terdapat suatu dunia dimana kehidupan tersebut menjadi kekal,

yakni di alam puya. Tandilintin(1981:64).

Abu hamid dalam honesto (1996:2) mengemukakan bahwa penganut Aluk

Todolo memandang hidup ini sebagai suatu proses untuk mencapai yang lebih

tinggi dan suci. Kehidupan di dunia harus tetap melalui proses agar nantinya

mendapat kehidupan yang baik di alam puya. Sesuai definisi Alam Puya adalah

suatu perhimpunan para arwah-arwah sebelum menjelma menjadi dewa atau to

membali puang setelah diadakanya rangkaian upacara tertentu yakni dalam

upacara Aluk Rambu Solo’.

Upacara kematian dan pemakaman yang disebut Aluk Rambu Solo’ bagi

masyarakat toraja yang dilandasi oleh aturan dan kepercayaan serta bahkan boleh

dikatakan bahwa hal tersebut dikatergorikan sebagai keyakinan yang mereka anut

secara turun - temurun. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Natsir (2007:52)

bahwa keyakinan “Aluk Todolo” adalah kepercayaan dan pemujaan kepada arwah

leluhur yang lahir dari suatu kepercayaan yang bersumber dari Aluk Pitussa’bu

Pitu Ratu’Pitungpulo Pitu. Sebagian besar masyarakat Toraja menggangap bahwa

aturan tersebut sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk

dalam yaitu (1) hubungannya dengan pemujaan kepada arwah leluhur. Karena

pada prinsipnya selain sebagai aturan yang telah menjadi (2)aspek-aspek tentang

kehidupan manusia juga sebagai aturan pemujaan kepada Puang Matua (sang

pencipta) (3) serta aturan tentang bagaimana menyembah atau pemujaan kepada

leluhur sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada keturunannya dalam ajaran

aluk todolo.

Page 13: Skrip Si

Dalam kehidupan keseharian orang Toraja dalam mengaktualisasikan

kepercayaan AlukTodolo. Dengan melakukan upacara keselamatan dan kehidupan

manusia yang disebut Rambu Tuka’. Upacara ini juga dapat bermakna sebagai

upacara syukuran. Dengan demikian, masyarakat Toraja dalam menjalankan sitem

kepercayaan aluk todolo dapat dibagi 2 macam yaitu upacara Rambu Tuka’ untuk

keselamatan dan syukuran dan untuk kematian dan pemakaman disebut upacara

Rambu Solo’.

Masyarakat Tana Toraja sangatlah terkenal dengan upacara kematiannya

jika dibandingkan dengan upacara pernikahan, karena bagi masyarakat Tana

Toraja mereka hidup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan berikutnya. Pada

prosesi pemakaman ada beberapa ritual yang harus dilakukan sampai keritual

puncaknya. Dalam upacara kematian masyarakat Toraja mempunyai beberapa

tingkat – tingkatan upacara yang diatur atau ditentukan oleh adanya kasta-kasta

yang dinamakan Tana’ dalam masyarakat Toraja, serta selain dari hal tersebut

juga karena adanya dasar perbedaan kasta dan kemampuan seseorang dalam

pelaksanaan upacara pemakaman.

Kemampuan seseorang serta kasta yang ada hanya dibatasi oleh

persyaratan yang sifatnya normal saja, karena yang tidak berkemampuan tidak

diatur lagi oleh kedudukan tana’, sementara yang diatur adalah hanya orang yang

memiliki kemampuan dalam meyediakan kurban-kurban upacara pemakaman

yang dalam hal ini utamanya kerbau. Jadi perbedaan tingkatan upacara yang

disebutkan diatas hanya ditentukan oleh kemampuan menurut adat.

Page 14: Skrip Si

Dalam upacara kematian tersebut ada berbagai kegiatan atau tindakan

religius yang dilaksanakan, yang disertai dengan sifat sakral. Tindakan religius

seluruhnya bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipenuhi dengan simbol-

simbol. Maka sistem upacara kematian orang toraja pun sangat spesifik sifatnya

dan sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat

dimana simbol –simbol yang mendukungnya mempunyai fungsi dan peranan

tersendiri baik bagi individu sendiri (pemakai gelar), maupun masyarakat secara

umum yang mendukung kebudayaan tersebut.

Simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari tumbuhan-tumbuhan,

binatang,ataupun benda-benda pusaka yang dimilikinya, dan ada juga yang

dilambangkan dalam gambar, wujud atau rupa. Manusia misalnya dapat

disimbolkan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Orang yang

terpandang dalam masyarakat penguasa atau bangsawan disimbolkan dengan

barana’ (pohon beringin) : Tabe’ lako barana’na tondok, lamba’ layukna padang.

Syair ini biasanya diungkapkan sebagai kalimat “permohonan izin” kepada yang

dituakan dalam suatu upacara Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’. Selain itu juga

disimbolkan dengan binatang kerbau saleko : kenna tedong tu’ saleko (seandainya

kerbau, ia adalah saleko). Penyimbolan semacam ini dilatarbelakangi oleh mitos

penciptaan, bahwah manusia dan segala isi bumi adalah sangserkan (sama-sama

berasal dari golongan yang sama, secarik atau bersaudara).

Tau-tau (patung) yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah salah satu dari

lambang atau simbol yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan orang Toraja. Tau-

tau ini adalah karya seni yang terbuat dari kayu pahatan, yang wujud atau

Page 15: Skrip Si

modelnya serupa (mirip) dengan leluhur yang bersangkutan. Pada umumnya tau-

tau ini dapat kita jumpai pada saat upacara itu dilaksanakan dan dipekuburan-

pekuburan. Tau-tau sebagai simbol lahir dari suatu pengetahuan, kesadaran dan

pemahaman orang Toraja, pada hakekatnya ia mengandung nilai-nilai atau

makna-makna dan fungsi dalam penempatannya. Oleh karena itu, tau-tau tidak

dapat dipakai begitu saja, tetapi harus disesuaikan dengan kedudukan dan

exsistensi sipemiliknya. Akan tetapi dewasa ini, pemahaman orang Toraja sendiri

terhadap nilai-nilai atau makna-makna yang terdapat pada tau-tau umumnya sudah

mulai kabur atau berkurang sehingga pembuatan tau-tau ada yang tidak lagi

berdasarkan makna-makna simbolik melainkan dilihat hanya sebagai foto belaka

atau hanya sebagai gambar yang bernilai estetis.

Sosiologi mempelajari dalam teori interaksionisme simbolik bahwa

kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol memungkinkan manusia bisa

melihat dirinya melalui prespektif orang lain. Proses-prose berfikir, bereaksi, dan

berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam

kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang

sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu. Dalam proses interaksi

sosial, manusia mengkomuikasikan arti-arti kepada orang-orang lain melalui

simbol-simbol. Kemudian orang-orang lain menginterprestasikan simbol-simbol

itu dan mengarahkan tingkah-laku mereka berdasarkan interprestasi mereka.

Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam proses saling

mempengaruhi. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh George Herbert Meed

dalam teori sosiologi modern(2007: 95)

Page 16: Skrip Si

Upacara pemakaman dalam kepercayaan Aluk Todolo, diwarnai oleh

berbagai tindakan religius, salah satu unsur tindakan religius dalam upacara

pemakaman adalah Tau-tau. Rob (www.toraja-treasure.com) mengatakan bahwah

Tau-tau berasal dari kata Tau yang berarti manusia. Pengulangan kata Tau

mengandung makna menyerupai, jadi Tau-tau secara harafiah berarti orang-

orangan. Dalam konteks upacara pemakaman budaya Tana Toraja, Tau-tau

bukanlah sebuh patung yang digunakan untuk mempresentasikan raga si orang

yang telah meninggal tersebut tidak ikut mati. Ini merupakan warisan kepercayaan

asli suku toraja, dimana para komunitas Aluk Todolo yang mempercayai adanya

dunia lain setelah dunia ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pentingnya penelitian ini dilakukan, maka

penulis mencoba merumuskan masalah sebagai acuan pengumpulan data dalam

penelitian nanti. Adapun pokok masalah yang dimaksud adalah “Makna Simbolik

Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu

Solo’ di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja”

hal tersebut diatas dapat dilihat dari dua jenis pertayaan yang antara lain yaitu:

1. Bagaimana makna simbolik Tau-Tau sebagai salah satu komponen utama

dalam upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec. Sangalla’ Utara Kab.

Tana Toraja?

2. Bagaimana makna startifikasi sosial yang berkaitan dengan tau-tau?

3. Mengapa makna simbolik tau-tau masih di pertahankan?

Page 17: Skrip Si

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan penelitian

Setiap masalah yang diangkat dalam suatu penelitian tentunya

mempunyai tujuan, begitupun dengan masalah yang akan diangkat dalam

penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau sebagai salah satu

komponen utama dalam Upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec.

Sangalla’ Utara Kab. Tana Toraja.

2. Untuk mengetahui makna staratifikasi sosial yang berkaitan dengan

tau-tau.

3. Untuk mengetahui makna simbolik tau-tau ini masih dipertahankan.

b. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Bagi mahasiswa adalah sebagai bahan masukan untuk menambah

khasanah pengetahuan sekaligus kontribusi pemikiran tentang

“Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Upacara

Kematian Orang Toraja”.

b. Bagi penelitian selanjutnya agar dijadikan sebagai informasi dan

referensi bagi penelitian yang mengkaji hal yang serupa.

2. Manfaat praktis

a. Bagi pemerintah setempat untuk bahan informasi bagi

pembangunan sektor parawisata di Toraja.

Page 18: Skrip Si

b. Bagi pribadi penulis dalam memahami bidang sosiologi dan

sebagai bahan perbandingan bagi pihak yang ingin

meneliti/memahami topik yang sama.

D. Kerangkah Konseptual

a. Kepercayaan

Oleh geertz (1992:5) melihat kepercayaan adalah suatu sistem simbol

yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi yang

kuat dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan kosep-

konsep tentang suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-

konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan

motivasi-motivasi itu tampak nyata.

Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tradisi seperti yang

tercermin pada upacara pemakaman yang merupakan tradisi dan pola

budaya pada sistem kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem religi

sebagai inti dari setiap kebudayaan. Religi sebagai salah satu unsur

kebudayaan, memiliki beberapa komponen yang mempuyai peranan-peranan

sendiri-sendiri namun berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Adapun

komponen itu antara lain emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus

dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat agama (Kontjaraningrat,

(1987:80). Dimana sistem kepercayaan itu tidak terlepas dari dukungan atau

partisipasi masyarakat yang menjadi pelanjut dan pewaris tradisi tersebut.

Dimana sistem kebudayaan berkaitan erat dengan kegiatan upacara.

Page 19: Skrip Si

Upacara pemakaman merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan

masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Tana Toraja. Upacara ini tidak

diperuntukan pada kegiatan keseharianya, tetapi dikaitan dengan

kepercayaan Aluk Todolo. Sebab keyakinan Aluk Todolo merupakan salah

satu keyakinan yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan yang dianut

oleh orang toraja sejak dari nenek moyang mereka yang hingga saat ini

masih tetap berakar hidup di masyarakat Toraja (Tangdilintin,(1975:1).

Kematian dalam Aluk Todolo merupakan proses yang membentuk

seseorang kepada kemuliaanya yaitu menjadi Dewa. Setiap ada orang mati

Sisarak Angin Dipudukna (menghembuskan nafas terakhir belum disebut

mati melainkan pergi atau Male Memboko’ dalam artian orang yang

dimaksud tersebut telah pergi dan apabila mayat masih ada diatas rumah,

orang mati tersebut masih dianggap tidur sekalipun sudah tidak bernafas.

Dikatakan demikian karena motivasi religius dari upacara kematian bagi

orang Toraja adalah bahwa arwah orang mati itu akan menempati

kedudukannya yang baru yakni di alam puya. Oleh Subaga(1987)

dikemukakan bahwa motivasi upacara pemakaman itu dilandasi oleh suatu

keyakinan bahwa dibalik kematian masih ada lanjutan hari hidup di dunia

lain. Dan kelanjutan dari hidup itu ada sangkut pautnya dengan upacara

kematian, yang merupakan suatu penunjang untuk hidup di alam lain. Oleh

sebab itu upacara pemakaman bagi orang Toraja sangatlah penting karena

untuk menunjang arwah orang mati memasuki tempatnya yang tetap.

Page 20: Skrip Si

Pelaksanaan upacara pemakaman tersebut ditunjang pula dengan realitas

kehidupan yang digambarkan sebagai suatu kehidupan yang kekal.

Clifford geertz(dalam Achmad, 2005:288) mengemukakan suatu

defenisi kebudayaan sebagai:(1) suatu sistem keteraturan dari makna dan

simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu

mendefenisikan dunia mereka. Mengekspresikan perasaan-perasaan mereka,

dan membuat penilaian mereka, (2) suatu pola makna-makna yang

ditranmisikan secara historis yang terkadang dalam bentuk-bentuk simbol,

yang melalui bentuk-bentuk simbol tersebut manusia berkomunikasi,

memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap

terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku,

sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi, dan (4) oleh karena

kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus

dipahami, diterjemakan, dan diinterpretasi.

b. Simbol

Dengan digunakannya simbol dalam setiap upacara akan

menumbuhkan rangsangan pemikiran, sementara dari simbol tersebut saling

terkait dengan sismbol-simbol lainya yang turut menumbuhkan rangsangan

pemikiran, sehingga akan mengakibatkan proses pengantian simbol yang di

interprestasikan.

Karena kita ketahui bersama bahwa simbol merupakan akumulasi

dari pada makna yang digambarkan oleh interprestasi pemikiran tadi

kemudian mengakibatkan timbulnya interaksi manusia dan lingkungan alam

Page 21: Skrip Si

dan sosial budayanya yang dipergunakan untuk melihat kehidupan menurut

latar belakang sosial budaya masyarakat berdasarkan pengalaman, dan juga

nilai intelektualisasi yang dimiliki masyarakat Toraja.

Dalam upacara pemakaman diungkapkan dalam bentuk simbol-

simbol, seperti benda-benda upacara, doa-doa dan tari-tari. Selanjutnya

Geerts (1992:6) mengatakan bahwa dalam simbol-simbol tersebut, akan

memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kenyataan-kenyataan

yang terjadi di dalam hidup ini.

Mengetahui budaya suatu komunitas dapat dilakukan dengan

mengkaji ciptaan karyanya. Mengingat kognitifitas seseorang sangat

mempengaruhi setiap ciptaan manusia utamanya karya seni. Karya seni

dibuat dengan simbol dan ikon dan melalui inilah maka makna-makna yang

diletakkan pada sesuatu dapat diketahui. Makna-makna tersebut adalah

kontruksi sosial yang menjadi keyakinan seniman yang dituangkan dalam

gerak, warna maupun kata dalam tulisan.

Tau-tau yang juga merupakan suatu simbol yang dipergunakan

untuk mengungkapakan keyakinan terhadap suatu kenyataan dari hidup total

dialam lain. Oleh sebab itu Tau-tau menjadi salah satu unsur dari kesatuan

rangkaian dari unsur-unsur dalam sistem upacara pemakaman sehingga

menjadi bahagian dalam benda upacara pemakaman tersebut.

c. Status sosial

Konsep status sosial pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963

oleh Rapl Lington, dalam karyanya yang cukup terkenal “ The Study Of

Page 22: Skrip Si

Man” dan sejauh itu konsep tersebut dapat digunakan dalam mengkaji

konsep dalam kehidupan masyarakat.

Tiap diri kita adalah pemegang status yang memegang masing-

masing. Individu adalah sebagai orang yang menempati status atau posisi

dan sebagai pelaksana peran yang digariskan oleh status atau posisi tersebut.

(Margaret M. polama, sosiologi kontemporer, 1987:53).

Kedudukan atau status seseorang atau masyarakat tertentu akan

berbeda-beda, demikian pula halnya seseorang dalam proses memperoleh

kedudukanya dalam masyarakat luas akan berbeda pula. Kedudukan sosial

adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan

orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestisenya, hak-hak, dan

kewajibannya.

Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial

sebagai berikut:

“Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam satu

kelompok pergaulan hidupnya” . (Soedjono Dirdjosisworo, 1981:96).

Menurut Horton dan Hunt 1993,

“Status sosial suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok,

atau posisi kelompok dalam hubunganya dengan kelompok lainnya”.

Untuk mengukur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara

rinci dapat dilihat dari, jabatan, pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan,

kekayaan, politis, keturunan,dan agama. Seseorang dalam masyarakat dapat

memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu

Page 23: Skrip Si

kedudukan yang menonjol itulah yang merupakan kedudukan utama. Dengan

melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan dapat

digolongkan ke dalam strata atau lapisan sosial tertentu dalam masyarakat.

Status sosial seseorang dalam masyarakat sebenarnya dapat dilihat

melalui kehidupan sehari-harinya yang merupakan ciri-ciri tertentu. Dalam

sosiologi hal ini disebut status simbol. Simbol status tersebut tampak dalam

cara berpakaian, pergaulan,memilih tempat tinggal, dan sebagainya.

Demikian halnya dalam masyarakat toraja status sosial sangat

penting.Tinggi Rendahnya status sosial seseorang dapat dilihat pula dari

proses upacara Rambu solo’ dan symbol-simbol yang digunakan dalam

upacara tersebut. Di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ yang terkenal

sebagai Tondok Kapuangan (tempat Raja-raja/keturunan Bangsawan) juga

berlaku hal tersebut, di mana semakin banyak simbo-simbol yang di pakai

dalam Upacara Rambu Solo’ maka semakin tinggi pula status sosial keluarga

yang melaksanakan upacara tersebut.

Dalam melaksanakan Upacara Rambu Solo’ masyarakat sangalla’

memilih simbol yang akan digunakan dalam upacara tersebut, tapi sebelum

itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan status sosial masyarakat,

karena dalam aturan adat yang berlaku disana bahwa tidak boleh

sembarangan memilih simbol yang akan dipergunakan seperti TAU-TAU,

mereka yang menggunakan simbol ini dalam upacara mereka adalah dari

keturunan BANGSAWAN saja, sebab itu akan melanggar peraturan adat bila

ada masyarakat toraja yang bukan merupakan keturunan bangsawan

Page 24: Skrip Si

menggunakan simbol ini dalam upacara mereka. Karena harus berdasarkan

strata sosialnya dan harus memperhatikan komposisinya

Kedudukan (status ) seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial.

Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok

sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu

kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang

lebih besar lagi.

Sedangkan status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam

masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,

prestisenya, hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial

tidaklah semata-mata merupakan kumpula kedudukan-kedudukan seseorang

dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan atau status sosial tersebut

memepengaruhi status orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda.

Untuk mengukur status sosial seseorang menurut Pitirin A. Sorokin (dalam

Narwoko dan Bagong, 2006) secara rinci dapat dilihat dari:

1. Jabatan atau pekerja

2. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan

3. Kekayaan

4. Keturunan

5. Agama

Salah satu cara untuk mengukur status sosial yang dikemukakan diatas

adalah keturunan didalam masyarakat tradisional, keturunan menjadi konsep

utama untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam stratifikasi sosial

Page 25: Skrip Si

masyarakat yang lain sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang sama

sekali bukan keturunan bangsawan.

Anggota masyarakat yang masih memilki garis keturunan dengan kaum

bangsawan (raja), maka anggota masyarakat yang dimaksud secara langsung

mendapatkan bangsawan serta bentuk perlakuan dari masyarakat yang lain sangat

berbeda dibangdingkan dengan masyarakat yang sama sekali bukan keturunan

bangsawan.

Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni yang bersifat

objektif dan subjektif. Jabatan sebagai direktur merupakan posisi status yang

bersifat objektif dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu. Sementara

itu, yang dimaksud status yang menunjukkan dari penelitian orang lain, dimana

sumber status yang berhubungan dengan penelitian orang lain selamanya

konsisten untuk seseorang.

Dalam masyarakat seringkali kedudukan atau status dibedakan menjadi

dua macam, antara lain:

1. Ascribed-status, ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat

didapat sejak lahir.

2. Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-

usaha yang disengaja dilakukan, bukan diperoleh sejak lahir. Kedudukan ini

bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing

orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuan.

Page 26: Skrip Si

Disamping kedua status tersebut diatas, achieved-status, juga berarti suatu

kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada

seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.

Satu hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kedudukan atau

status sosial dalam masyarakat yakni peran (role). Peran merupakan aspek yang

dinamis dari kedudukan. Artinya, seseorang dalam masyrakat telah menjalankan

hak-hak dan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan kedudukannya, maka orang

tersebut tela melaksanakan sesuatu peran.

Suatu peran mencakup dua hal yaitu :

1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat,

2. Peran dapat dikatakan sebagi perilaku individu yang penting bagi struktur dan

perilaku sosial

Peran dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi

peran sendiri adalah sebagai berikut:

1. Memberi arah pada proses sosialisasi,

2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan

pengetahuan,

3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat, dan

4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol. Sehingga dapat

melestarikan kehidupan masyarakat.

Page 27: Skrip Si

E. Metode Penelitian

1. Dasar dan Tipe Penelitian

a. Dasar Penelitian

Dasar penelitian adalah studi kasus, yaitu suatu pendekatan

yang melihat objek penelitian sebagai suatu keseluruhan yang

terintegrasi.

b. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe

penelitian deskriptif kualitatif yaitu pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian

yang mencakup Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial

Pada Pelaksanaan Upacara Kematian Orang Toraja.

2. Teknik Lokasi penelitian

penelitian ini berlangsung selama tiga bulan yaitu dari awal bulan

January sampai maret tahun 2011. Lokasi penelitian yaitu di Kelurahan

Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja Sulawesi

Selatan.

3. Teknik Pemilihan informan

pemilihan informan dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja,

secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat

memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti.

Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan

atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli. Informan kunci

Page 28: Skrip Si

adalah mereka yang dapat memberi informan mengenai masalah yang

sedang diteliti, dalam hal ini mengenai Makna Tau-tau, sedangkan

informan ahli, adalah mereka yang memiliki wawasan luas serta

pengetahuan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, seperti

orang yang dituakan, terdiri dari 8 informan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dari informan dalam rangka menjawab

permasalahan penelitian, maka teknik pengumpulan data yang akan

digunakan adalah:

1. Data Primer

Data ini dikumpulkan dengan menggunakan:

a. Observasi

Digunakan untuk mengadakan pengamatan secara langsung

dengan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak

pada objek yang akan di teliti.

b. Wawancara Mendalam

Digunakan untuk mewawancarai orang-orang yang

dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan

berkenaan dengan judul yang diangkat untuk diteliti dan dapat

dipercaya kebenarannya. Wawancara di maksudkan untuk

mendapat informasi tentang makna simbolik tau-tau dalam

sistem stratifikasi pada upacara rambu solo’ di toraja.

Page 29: Skrip Si

Wawacara yang dilakukan nantinya adalah wawacara

terbuka (opened / Instruktural). Wawancara terbuka adalah

bagian dari wawancara tak terstruktur dimana model wawacara

luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-katanya dalam

setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara. Dimana tujuan

utamanya adalah untuk mendapatkan informasi yang dianggap

bagian dari keseluruhan, agar datanya bersifat kualitatif dan

represetatif.

2. Data Sekunder

Data ini dikumpulkan melalui penelusuran atau studi

pustaka dari berbagai arsi-arsip penelitian, artikel-artikel,

dokumen-dokumen dan buku tes yang berkaitan dengan kajian

penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder

dianalisis kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu

menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisis deskriptif

secara kualitatif dalam arti bahwa penarikan persyataan yang dilakukan

dengan menghubungkan antara makna dari berbagai bahan keterangan

yang relevan. Dalam menganalisa data digunakan 2 tahap: pertama, untuk

mengetahui lebih jauh budaya lokal masyarakat dalam mengetahui tentang

Page 30: Skrip Si

Tau-tau dalam upacara kematian, kedua untuk mengetahui sejauh mana

fungsi Tau-tau bagi masyarakat Toraja.

Page 31: Skrip Si

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ma’ tau-tau

Ma’ tau-tau adalah kata kerja yang artinya membuat tau-tau (tau:orang,

tau-tau:patung, orang-orangan) yang diperuntukkan bagi orang tua atau leluhur.

Menurut kamus bahasa Toraja, tau-tau yang disingkat menjadi kata: tatau

artinya:orang-orangan (patung). Jadi ma’tau-tau adalah pembuatan atau

pengadaan orang-orangan atau patung bagi orang tua atau leluhur yang sudah

meninggal dunia.

Dalam bukunya Marrang (1979:21) memberikan pengertian tentang tau-

tau yaitu tau-tau adalah personifikasi dari si mati. Adapun fungsi tau-tau ialah

perantara si mati dengan keluarga yang masih hidup. Selain pendapat tersebut,

ada juga menurut Nooy Plam (1979:263) tau-tau bukan sekedar hasil karya si

pemahat (to pande), tapi mengandung nilai religius dan nilai sosial budaya yang

tinggi.

Beberapa pengertian mengenai tau-tau, yaitu:

1) Tau-tau adalah indentifikasi personifikasi leluhur yang dibuat untuk penyembahan kepada roh leluhur. Menurut ne’ Mariak ( 75 tahun).

2) Tau-tau adalah patung atau boneka sebagai personifikasi dari seseorang yang meninggal dunia. Menurut Y.S Parante (63 tahun)

3) Tau-tau adalah wakil dari arwah leluhur yang sudah mati sebagai pengganti diri yang melambangkan perjalanan manusia yang sedang menuju kelangit sesuatu perjalan manusia yang sedang dalam peralihan dan ia ada dalam sikap yang mendua, yaitu : antara manusia dan Tuhan . menurut Sipa’ Datuan( 56 tahun)

4) Tau-tau yaitu patung dari orang yang sedang diupacarakan pemakamannya, yang pada waktu mayat diarak kelapangan dari rumah, tau-tau itu turut pula diarak dengan perlengkapan pakaian kebesaran (pakaian adat). Menurut Yohanis Panggalo (53 tahun).

Page 32: Skrip Si

5) Patung atau tau-tau adalah salah satu karya seni yang berupa tiruan manusia atau binatang, yang terbuat dari pahatan atau relief kayu. Menurut Rumengan (69 tahun).

Dalam agama suku Toraja ( Aluk Todolo) diyakini bahwa manusia terdiri

atas tubuh dan jiwa. Jiwa sifatnya kekal, abadi sedangkan tubuh mati dan menjadi

busuk. . setelah manusia mati, tubuhnya menjadi busuk tetapi jiwanya tidak.

Jiwanya inilah yang menjadi dewa atau arwah leluhur setelah melalui upacara

penyembahan. Agar dapat menghadirkan roh leluhur pada upacara penyembahan

dibuatkanlah sesuatu yang dapat mengganti diri leluhur tersebut. Dibuatlah patung

atau tau-taunya sebagai pendeskripsian dari roh leluhur. Aluk todolo percaya

bahwa dalam diri tau-tau tersebut terdapat roh leluhur.

Jadi menurut suku Toraja dalam keyakinan Aluk Todolo, Tau- tau adalah

indentifikasi personifikasi dari roh leluhur yang dibuat dan dihadirkan pada

upacara rambu solo’( upacara pemakaman orang toraja) sebagai ganti diri atau

pribadi dari leluhur yang sedang di upacarakan pemakamannya. Tau-tau

merupakan lambang kehadiran leluhur pada saat upacara tersebut. Oleh karena

tau-tau dianggap sebagai simbol dari leluhur, maka ia harus diperlakukan seperti

manusia yang masih hidup seperti diberi pakaian, disuguhi makan, minuman dan

sirih.

B. Upacara Keagamaan

Upacara adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperingati tanda-tanda

kebesaran, peralatan menurut adat istiadat. Upacara juga dapat bermakna sebagai

rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat dengan aturan adat. Selain itu,

upacara dapat diasumsikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan

Page 33: Skrip Si

peristiwa penting. Koetjaraningrat (1981), menjabarkan upacara-upacara tersebut

dalam beberapa unsur, yakni (a) bersaji; (b) berkorban; (c) berdoa; (d) makan

bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa; (e) menari tarian suci; (f)

berprosesi atau berpawai; (g) memainkan seni drama suci; (h) berpuasa; (i)

intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan memakan obat bius untuk mencapai

kesadaran mabuk; (j) bertapa; (k) bersemedi.

Dalam upacara keagamaan atau upacara yang dilakukan oleh pemangku

adat, profesi yang dianggap suci menjadi keharusan dan ini memiliki kekuatan

hukum yang sangat keras yang diberlakukan untuk menjaga kelangsungan adat

istiadat yang diyakini oleh masyarakat.

Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan mempunyai kekuatan

mengikat yang lebih besar terhadap anggota masyarakatnya sehingga anggota

masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi yang keras.

Konjaranigrat (dalam basrowi, 2005) mengemukakan tujuh aspek

kebudayaan dengan susunan sebagai berikut:

1. Sistem religi dan upacara

2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan

3. Sistem pengetahuan

4. Bahasa

5. Kesenian

6. Sistem mata pencaharian hidup

7. Sistem teknologi dan peralata

Page 34: Skrip Si

Upacara adat merupakan salah satu dari wujud kebudayaan, Kontjaranigrat

(dalam Bosrowi, 2005) mengatakan bahwa suatu yang kompleks dan aktivitas

serta tindakan berpola pada manusia dalam masyarakat atau biasa disebut sistem

sosial.

Upacara adat termasuk dalam unsur-unsur normative yang merupakan

bagian dari kebudayaan. Bosrowi (2005), mengemukakan bahwa salah satu unsur

normatif yang merupakan bagian dari kebudayaan adalah unsur-unsur yang

menyangkut kepercayaan seperti harus mengadakan upacara adat pada kelahiran,

pertunangan, perkawianan dan lain-lain. Dalam konsep perkawinan, upacara adat

yang dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan prasyarat sebelum menikah

menjadi pedoman sendiri bagi mereka yang memulai hidup berumah tangga. Hal

ini dilakukan agar mendapat restu dari seseorang yang sudah mati dan dianggap

keramat.

Upacara adat juga termasuk lembaga sosial karena didalamnya terdapat

peraturan-peraturan dan kebiasaan masyarakat seperti yang dipaparkan oleh Polak

(Bosrowi, 2005) bahwa lembaga sosial adalah suatu yang kompleks atau sistem

peraturan-peraturan dan adat istiadat yang memepertahankan nilai-nilai yang

penting.

Lanjut Leopold von wiese dan Howard Becker ( dalam soekanto, 2002)

melihat lembaga sosial ini dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan

proses-proses antara manusia ada antara kelompok manusia yang berfungsi untuk

memelihara hubungan- hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan

kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.

Page 35: Skrip Si

Upacara adat merupakan tata kelakuan atau kebiasaan yang merupakan

prilaku dan juga sekaligus diterima sebagai norma pengatur yang mencerminkan

sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat

pengawas, secara sadar atau tidak sadar, yang dilakukan masyarakat terhadap

anggotanya.

Tata kelakuan tersebut diatas mempunyai ciri-ciri tersendiri, antara lain

sebagai berikut:

1. Memberi batas-batas pada perilaku individu, hal ini karena tata kelakuan yang

dimaksud merupakan suatu alat untuk memaksakan suatu perbuatan dan

sekaligus larangan terhadap suatu perbuatan tertentu.

2. Mengidentifikasi individu dengan kelompok lainnya.

3. Menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.

Upacara adat atau upacara keagaaman dianggap perlu diperhatikan karena

dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan suatu unsur

kebudayaan yang tampak paling lahir. Sehingga itu, bahan etnografi mengenai

upacara keagamaan atau upacara adat diperlukan untuk menyusun teori-teori

tentang asal mula religi.

Sistem religi dalam susatu kebudayaan selalu memiliki ciri-ciri untuk

sedapat mungkin memelihara emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam

suatu religi keagaaman bersama denga tiga unsur lainnya yaitu:

1. Sistem keyakinan; konsep tentang dewa-dewa, roh-roh baik jahat,

konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain.

Page 36: Skrip Si

2. Sistem upacara keagamaan, sistem ini mengandung empat aspek yakni (a)

tempat upacara keagamaan dilakukan seperti candi, pura, kuil, langgar,

gereja, mesjid dan sebagainya; (b) saat-saat upacara keagamaan

dijalankan; (c) benda-benda dan alat upacara seperti Patung-patung yang

melambangkan dewa-dewa.

C. Pengertian Tentang Makna dan Simbol

Secara etimologi kata simbol berasal dari kata yunani “ simbolon” yang

berarti tanda pengenal, lencana atau semboyan. Konsep simbol merupakan sebuah

pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan manusia dan tingkah

laku manusia. Dalam prespektif ini dikenal sosiolog George Herbet Meed inti

pandangan simbol adalah individu, bahwa individu merupakan hal yang paling

dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa

secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lain.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, konsep simbolik merujuk pada symbol

tau-tau dalam upacara kematian dan teori interaksionesme simbolik. Konsep ini

dapat dijelaskan sebagai berikut.

George Herbert Meed memusatkan perhatiaanya pada interaksi antara

individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut

berinteraksi dan dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi

tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Meed mengemukakan bahwa teori

interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang

mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Disini cooley

menyebutnya sebagai looking glass self. ( Teori Sosiologi Modern 2007:98,113).

Page 37: Skrip Si

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih

kompleks, lebih tak di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang

berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap,

menginterprestasi, bertidak dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat,

namun merupakan seseorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada

dalam proses menjadi dan tak perna selesai terbentuk sepenuhnya.

Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “diluar sana” yang selalu

mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan

sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun

juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari

proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain

itu, keseluruhan interaksi tersebut bersifat simbolik , di mana makna-makna

dibentuk oleh akal budi manusia.

Sedangkan makna menurut Ferdinan de saussere mengatakan bahwa tanda

memiliki dua etnis yaitu signifier dan signified atau tanda dan makna’ atau ‘

penanda dan tanda’. keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi

keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika

disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang

mempunyai makna.

Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan objeknya.

Makna sangat berperan dalam suatu tanda mengandung makna dan informasi.

Seperti halnya dalam upacara rambu solo’ berbagai tanda yang digunakan dalam

upacara tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda tetapi saling berhubungan.

Page 38: Skrip Si

D. Teori Interaksionisme Simbolik

Makna-makna itu bagi kita bersama yang lain, defenisi kita mengenai

dunia sosial dan presepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul

dalam proses interaksi. Jadi , interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan

simbol-simbol, oleh interprestasi, atau interprestasi oleh penetapan makna dari

tindakan orang lain . mediasi ini ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi

antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.

Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan

pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pedekatan teoritis lainnya.

Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian kearah

denan bahasa: namun Meed mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan

cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala

tersebut adalah virtual.

Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran

simbol. Ketika berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari

“petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan

mengenai bagaimana menginterprestasikan apa yang dimaksudkan oleh orang

lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar

individu, dan bagaiman hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang

lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.

Parah ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa individu

adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya

dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut

Page 39: Skrip Si

berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamya berisi tanda-

tanda, isyarat dan kata-kata. simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan

untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.

Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang

disepakati bersama menurut Meet (dalam sosiologi modern 2007:101).

Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada “karakter

interaksi khusus yang sedang berlangsung antara manusia.” Aktor tidak semata-

mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan

mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon actor baik secara langsung

maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh

karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol

penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks

itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berfikir, mengelompokkan,

dan mentrasformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi dimana dan kearah

mana tindakannya.

Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya

“proses mental”atau proses berfikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.

Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulus-

proses berfikir-respon. Jadi terdapat variable antara atau variable yang

menjebatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau berfikir,

yang tidak lain adalah interprestasi. Teori interaksionisme simbolik memandang

bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti

Page 40: Skrip Si

dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap

orang tersebut.

Teori interaksinisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan

kegiatan sosial manusia. Bagi prespektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan

kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang

perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada diluar dirinya.

Interaksilah yang dianggap variable penting yang menentukan perilaku manusia,

bukan struktur masyarakat.

Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan

ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

Prespektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang

subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai

proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka

dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi

mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka

atas objek-objek sekeliling mereka. Dalam pandangan prespektif ini, sebagaimana

ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang

menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.

Menurut teoritis prespektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia

dengan menggunakan simbol-simbol”, penganut interksionisme simbolik

berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interprestasi mereka atas

Page 41: Skrip Si

dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau

ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.

Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori

interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu

terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar

kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melaui

proses belajar. Tindakan sesorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata

merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus. Jadi jelas

ini merupakan hasil proses belajar, dalam artian memahami simbol-simbol, dan

saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma,

nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan

terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya,

manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan

yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para

pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is

a ‘minding’ process that intervenes between stimulus and response. It is

thismental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will

react ( Ritzer dalam sutaryo, 2005)

Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli dibelakang

prespektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling dalam

konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara

langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Page 42: Skrip Si

Dalam prepektif ini dikenal nama sosiologi. Mereka melihat bahwa

individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui

interaksinya dengan individu yang lain.

Dalam prespektif ini seorang sosiolog George Herbet Meet (1863-1931),

Charles Horton Cooley (1984-1929), yang memusatkan perhatianya pada interaksi

antara individu dan kelompok. Mereka mengemukakan bahwa individu-individu

tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi

tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.

Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sosiological

Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan

sebuah prespektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk

penyelidikan sosiologis, teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial,

bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat

dugaan, interasionisme simbolik menfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada

pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri

dianggap sebagai unit analisi, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar

belakang.

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih

kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan prespektif-

prespektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari

individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga

menangkap, menginterprestasi, bertindak dan mencipta. Individu bukanlah

Page 43: Skrip Si

sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah,

yang selalu berada dalam proses menjadi dan tidak perna selesai terbentuk.

Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “diluar sana” yang selalu

mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan

sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memilki pikiran (mind), namun

juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari

proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain

itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, dimana makna-makna

dibentuk oleh akal budi manusia.

Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh

interprestasi, atau oleh penetapan makna dan tindakan orang lain. Mediasi ini

ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi antara stimulus dan respon dalam

kasus perilaku manusia. Pendekatan interkasionisme simbolik memberikan

banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-

pendekatan teoritis lainya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari

sebuah perhatian kearah dengan bahasa; namun Meed mengembangkan hai itu

dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik

menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.

Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan

bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada

tiga yang utama dalam teori interaksionisme simbolis ini yakni, manusia bertindak

berdasarkan makna-makna,makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang

lain, makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut

Page 44: Skrip Si

berlangsung. Menurut Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memilki

beberapa gagasan. Diantaranya adalah mengenai konsep diri.

Disini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di

bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dari dalam melainkan dari

organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan

konsep perbuatan dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses

interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan

perbuatan-perbuatan lain yang bukan mahluk manusia. Kemudian konsep objek

dimana manusia diniscayakan hidup ditengah-tengah objek yang ada, yakni

manusia – manusia lainnya.

Selanjutnya konsep interaksi sosial dimana di sini proses pengambilan

peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah konsep Joint Action dimana disini

aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang

disesuaikan satu sama lain. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu,

sehingga tersisih dan tidak dianggap penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah

interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggung jawab pada tingkah laku

manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Posisi teori

interaksionisme simbolik adalah sebaliknya bahwa arti yang dimilki benda-benda

untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.

Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolik dengan

teori-teori lainya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang

mengacu pada sumber dari arti tersebut. Teori interaksionisme simbolik

memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah

Page 45: Skrip Si

dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara dimana

orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolik

memandang “arti” sebagai sebagai produk sosial; sebagai kreasi-kreasi yang

terbentuk melalui aktifitas yang terdefenisi dari individu saat mereka berinteraksi.

Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolik pada posisi yang

sangat jelas dengan implikasiyang cukup dalam. Penjelasan Charles Horton

Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley

terdiri atas dua asumsi yang mendalam mengenai hakikat dari kehidupan sosial,

yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi

organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan

progresif. Disini Cooley berusaha mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam

mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,

namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan

penyusun masyarakat. “kehidupan kita adalah salah satu kehidupan manusia

secara keseluruhan”, menurut Cooley , “ dan jika kita ingin memiliki pengetahuan

yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian.

Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri

individu akan gagal.

Evolusi organic adalah interplay yang kreatif baik individu maupun

masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling

bekerja sama. Diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa

yang anda pikirkan, terutama mengenai apa yang anda pikirkan tentang apa yang

Page 46: Skrip Si

saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang anda

pikirkan.

Menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami

sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui presepsi-

presepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi

hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada

aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat

tersebut. “imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta

yang solid dari masyaraka. Masyarakat adalah sebuah relasi diantara ide-ide yang

bersifat personal. Dalam konsep Looking-Glass Self ( diri yang seperti cermin

pantul), Cooley mengemukakan bahwa institusi sosial membentuk fakta-fakta dari

masyarakat yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan

produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut

Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi

dari pikiran yang membentuk simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan

sentiment-sentimen perasaan yang tahan lama.

Oleh karena itu, institusi-intitusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental

dari indivudu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari

pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya

dengan diri kita (familiartity). Seperti yang ditegaskan Cooley, ketika intitusi-

institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka

individu bukanlah semata-mata “efek” dari struktur sosial, namun juga merupakan

seseorang creator dan pemelihara struktur sosial tersebut.

Page 47: Skrip Si

E. Pengertian Kepercayaan dan kebudayaan

Manusia sebagai mahkluk budaya, mengandung pengertian bahwa

manusia menciptakan budaya dan kemudian kebudayaan memberikan arah dalam

hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana

tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakat. Seperangkat

nilai yang menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya

bahkan untuk mendasari langkah-langkah kegiatan yang hendak dan harus

dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatan.

Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya

terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral ,hukum, adat- istiadat

dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai

anggota masyarakat.

Selanjutnya kebudayaan berpengaruh terhadap lingkungan tertentu

sehingga makin lama makin menjauhkan manusia dari kondisi asli lingkungan

alam, hal yang selanjutnya mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga cara

bergaul, dan cara bertindak. Sedangkan kepercayaan mempunyai wujud sebagai

sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus,

neraka, surga, dan lain-lain. Tetapi juga sebagai berbagai bentuk upacara, maupun

benda-benda suci. (Koetjaraningrat 2003:81).

Dengan penekanan kepada suatu sistem keyakinan, menyebabkan

kepercayaan itu menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam

kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong atau

penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk

Page 48: Skrip Si

tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.

Clifford Gertz (1992:5) mendefisikan kepercayaan itu sebagai berikut: suatu

sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi-

motivasi itu tanpak nyata.

Dengan konsep ini C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian

yang utuh tak terpisahkan dari kebudayaan. Nilai agamalah yang mempengaruhi

semua nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem

nilai dari kebudayaan terwujud sebagai sistem-sistem simbol suci dimana

maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangkah

acuannya. Dalam keadaan demikian maka, secara langsung atau tidak langsung

atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan

berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem

nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan terwujud dalam

kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang diselimuti oleh sistem-

sistem simbol.

Dapat juga dikatakan bahwa penyelengara upacara mengungkapakan

emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini juga

merupakan pernyataan cara berpikir dan cara merasa kelompok masyarakat,

berfungsi untuk mengukuhkan tata susila yang sedang berlaku, disamping

member peringatan dan menanggulangi sosialisasi bagi kehidupan masyarakat.

Konsep atau ide dari pelaksana upacara dalam kehidupan religius manusia

adalah sesuatu yang universal yakni memohon kepada yang kuasa tertinggi bagi

keperluan hidup manusia.

Page 49: Skrip Si

F. Pengertian Stratifikasi Sosial

Sistem berlapis-lapis di masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah

‘’Social Stratification’’. Kata Stratification berasal dari stratum (jamak : strata

yang berarti lapisan). Pitrium A. Sorokin mengatakan bahwa Social Stratification

adalah pembeda penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat.

Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.

Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya

keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-

kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara

anggota-anggota masyarakat.

Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas

secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya tingkatan

masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Stratifikasi sosial (Pelapisan sosial) sudah mulai dikenal sejak manusia

menjalin kehidupan bersama. Terbentuknya pelapisan sosial merupakan hasil dari

kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan

tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Pada masyarakat yang taraf

kebudayaannya masih sederhana, maka pelapisan yang terbentuk masih sedikit

dan terbatas, sedangkan masyarakat modern memiliki pelapisan sosial yang

kompleks dan tajam perbedaannya.

Stratifikasi sosial akan membedakan warga masyarakat menurut

kekuasaan dan pemilikan materi. Kriteria ekonomi selalu berkaitan dengan

aktivitas pekerjaan, kepemilikan kekayaan, atau kedua-duanya. Dengan begitu,

Page 50: Skrip Si

pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke

dalam beberapa stratifikasi atau kelas ekonomi.

Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu :

1. Masyarakat yang terdiri dari kelas atas (upper class),

2. Masyarakat yang terdiri kelas menengah (middle class)

3. Masyarakat kelas bawah (lower class).

Orang-orang yang berada pada kelas bawah (lower) biasanya lebih banyak

(mayoritas) daripada di kelas menengah (middle) apalagi pada kelas atas (upper).

Semakin ke atas semakin sedikit jumlah orang yang berada pada posisi kelas atas

(upper class).

Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk

menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :

1. Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia

akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat

dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis

bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.

2. Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang

mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi

dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.

3. Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat

tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya

Page 51: Skrip Si

dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau

orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran

kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah

satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat

yang menghargai ilmu pengetahuan.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pelapisan sosial dapat

mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti adanya perbedaan gaya hidup dan

perlakuan dari masyarakat terhadap orang-orang yang menduduki pelapisan

tertentu. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari

orang-orang yang berada dalam strata sosial tertentu berdasarkan kekuasaan,

privilese dan prestise. Dalam lingkungan masyarakat dapat terlihat perbedaan

antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapat didasarkan pada ukuran

kekayaan yang dimiliki. Yang kaya ditempatkan pada lapisan atas, dan miskin

pada lapisan bawah. Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas

sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial

ini terlihat adanya kesenjangan sosial. Hal ini tentu merupakan masalah sosial

dalam masyarakat.Perbedaan sikap tersebut tercermin dari gaya hidup seseorang

sesuai dengan strata sosialnya. Pola gaya hidup tersebut dapat dilihat dari cara

berpakaian, tempat tinggal, cara berbicara, pemilihan tempat pendidikan, hobi dan

tempat rekreasi.

Cara Berpakaian. Seseorang yang tergolong dalam strata sosial atas dapat

dilihat dari gaya busananya. Biasanya orang-orang kelas atas

Page 52: Skrip Si

menggunakan busana dan aksesoris lain, seperti sepatu, tas, jam tangan

yang bermerek dan dari luar negeri. Sedangkan mereka yang termasuk

strata sosial menengah ke bawah, lebih memilih menggunakan barang-

barang produksi dalam negeri.

Tempat Tinggal. Pada umumya masyarakat kelas atas akan membangun

rumah yang besar dan mewah dengan gaya arsitektur yang indah.

Masyarakat kelas atas lebih menyukai tinggal di kawasan elite dan

apartemen mewah yang dilengkapi dengan fasilitas modern. Sedangkan

masyarakat yang tergolong strata menengah lebih memilih bentuk dan tipe

rumah yang sederhana bahkan ada juga yang tinggal di rumah susun.

Cara Berbicara. Cara berbicara orang-orang yang tergolong strata atas

akan berbeda dengan orang-orang yang berada dalam strata bawah.

Mereka yang termasuk dalam golongan strata atas memiliki gaya berbicara

yang beradaptasi dengan istilah-istilah asing serta penuh dengan

kesopanan. Sedangkan orang-orang yang berada dalam strata bawah

terkadang suka berbicara yang tidak terlalu memperhatikan etika.

Pendidikan. Pendidikan menjadi faktor yang paling penting bagi setiap

masyarakat. Umumnya masyarakat strata atas memilih memasukkan anak-

anak mereka pada sekolah-sekolah ataupun universitas-universitas yang

berkualitas tinggi termasuk sekolah di luar negeri. Sedangkan bagi

masyarakat yang menduduki pelapisan bawah lebih memilih

menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dalam negeri.

Page 53: Skrip Si

Hobi dan rekreasi. Menyalurkan hobi serta berekreasi merupakan hal-hal

yang diperhatikan oleh masyarakat yang berada dalam pelapisan atas.

Biasanya orang-orang yang berada dalam strata atas memilih olahraga

yang ekslusif seperti golf, balap mobil, serta menyalurkan hobi, seperti

main piano,main biola, menonton orkestra, mengoleksi lukisan-lukisan

mahal dan sebagainya. Begitu pula berekreasi, mereka lebih memilih

berekreasi ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Sedangkan, bagi

masyarakat yang tergolong strata bawah, lebih memilih hobi dan

berekreasi yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, seperti bermain

sepak bola, dan berekreasi ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal

mereka.

Adanya sistem berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan

sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan

sengaja disusun untuk mengejar suatu jutuan bersama. Secara teoritis, semua

manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan

dalam kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian.

Sistem stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusun biasanya berkaitan

dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-

organisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, partai politik, perusahaan,

angkatan bersenjata atau perkumpulan. Akan tetapi apabila masyarakat hidup

dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada padanya harus dibagi-

bagi pula, sehingga jelas bagi setiap orang ditempat-tempat mana letaknya

kekuasaan dan wewenang dalam organisasi, secara vertikal dan horizontal.

Page 54: Skrip Si

Apabila kekuasaan dan wewenang itu tidak dibagi-bagi secara teratur, maka

kemungkinan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat

membahayakan keutuhan masyarakat.

Suatu masyarakat yang memiliki kekayaan cukup banyak dapat dikategorikan

termasuk orang yang cukup terpandang oleh sekitarnya. Ukuran kekayaan itu

dapat dilihat dari kekuasaan, kepemilikan tanah, mobil pribadi serta terpadang

dalam masyarakat dan sebagainya.

G. Kepercayaan Aluk Todolo

Orang toraja memiliki suatu kepercayaan asli, yang merupakan warisan dari

nenek moyang mereka yang disebut ‘Aluk Todolo’. Aluk Todolo (aluk berarti

agama, pegangan hidup, to berarti orang, dolo berarti dulu) yang artinya agama

leluhur adalah agama atau kepercayaan yang dianut oleh orang Toraja.

Menurut Abdul (2004:43) tau-tau fungsinya semula bersifat religius dan

berkaitan langsung dengan upacara kematian dari kaum bangsawan Toraja, sesuai

dengan kepercayaan Aluk Todolo. Dalam kehidupan upacara dan tradisi budaya

Toraja Tau-tau tidak hanya sekedar salah satu perlengkapan pada upacara

pemakaman, tetapi menurut kepercayaan Aluk Todolo, dianggap penjelmaan roh

dari orang yang meninggal atau menjadi tempat tinggal bagi roh arwah leluhur

yang tela mati.

Natsir (2005:47) Tau-tau menurut keyakinan Aluk Todolo, adalah

bayangan dari orang mati dengan dasar itu, menurut keyakinan Aluk Todolo,

semua orang harus dibuatkan tau-tau. Namun demikian, karena proses pembuatan

itu sendiri harus diikuti oleh upacara kurban dan sesajen maka tidak semua

Page 55: Skrip Si

penganut Aluk Todolo dapat mengikutinya. Karena itu, si mati yang dibuatkan

patung-patung di Tana Toraja hanyalah orang-orang yang berasal dari keturunan

bangsawan murni ( Tana’ Bulaan).

Secara garis besar, Aluk Todolo terdiri atas dua elemen, yaitu : aluk tallu

oto’na ( tiga falsafah kepercayaan) dan aluk a’pa’ oto’na (empat falsafah adat).

Aluk tallu oto’na meliputi pemujaan terhadap Puang Matua sebagai sang pencipta

yang konon memberikan Sukaran Aluk (sukaran:aturan, susunan) kepada manusia

yang pertama, Datu Laukku’, yang berisi ketentuan bahwa manusia dan isi bumi

harus menyembah Puang Matua. Penganut Aluk Todolo juga menyembah Deata

yang menerima kuasa dari Puang Matua untuk memelihara dan menguasai segala

isi bumi sehingga mereka menyembah sang pencipta. Selain deata, Puang Matua

juga memberikan kuasa kepada to membali puang untuk memperhatikan perilaku

manusia dan keturunannya menurut AMA( 2006:24-26).

Aluk a’pa’ oto’na terdiri atas: aluk ma’ lolo tau (aturan tentang manusia),

aluk patuan (aturan tentang hewan seperti ayam,babi, kerbau dan lain-lain), aluk

tananan (aturan tentang ladang, sawah, dan tanaman), serta aluk bangunan banua

(aturan tentang mendirikan rumah). Aluk ma’lolo tau secara khusus menekankan

tentang aluk dadinna ma’lolo tau (aturan tentang kelahiran), aluk tuona ma’lolo

tau ( aturan tentang bagaimana manusia terhadap Puang Matua, Deata, dan To

Membali Puang), serta aluk matena ma’lolo tau (aturan tentang orang yang

meninggal) yang mengatur pelaksanaan upacara pemakamaan, yang biasa disebut

upacara rambu solo’.

Page 56: Skrip Si

Para penganut Aluk Todolo juga percaya adanya kehidupan setelah

kematian. Mereka percaya bahwa puya merupakan tempat sementara bagi arwah

orang-orang yang telah meninggal. Selanjutya, arwa dapat keluar dari puya

menuju asal nenek moyang manusia, yaitu langit. Penganut Aluk Todolo meyakini

bahwa langit merupakan tempat kediaman Puang Matua dan Deata .

Latar belakang pemujaan kepada roh leluhur yang dideskripsikan dalam

rupa tau wujud tau-tau di Toraja ini dapat dibangdingkan dengan latar belakang

terjadinya pemujaan arwah nenek moyang di tanah Batak, seperti yang

diungkapkan oleh Situmorang (1980:22) dalam edisi berita oikumene terbitan

bulan Oktober yang berdasar pada:

a. Ketakutan kepada roh orang mati.

Titik sentral kepercayaan agama purba di tanah Batak adalah pengutusan

orang mati. Roh orang mati dianggap mempunyai kuasa, dapat melindungi, tetapi

juga dapat berbahaya. Oleh sebab itu, roh leluhur harus senantiasa dibujuk. Orang

dapat sakit jika roh orang itu keluar dari dalam tubuhnya. Untuk

mengembalikannya, maka roh tersebut perlu dibujuk melalui pemujaan.

b. Adanya kesinambungan generasi.

Hal ini tidak boleh putus. Putusnya suatu generasi bukan saja sebab tidak

mempunyai keturunan (anak) tetapi juga sebab tidak memelihara hubungan

dengan nenek moyang.

c. Mengharapkan berkat dan menolak kutuk.

Yang menonjol dalam pemujaan nenek moyang adalah pengharapan akan

berkat. Roh nenek moyang yang dianggap sakit, kaya dan berani dipuja dan

Page 57: Skrip Si

dihormati supaya ia memberikann berkat, keberhasilan dalam hidup dan dalam

pencarian nafkah.

Aluk todolo sebagai suatu agama atau kepercayaan berdasar kelima pokok atau

dasar-dasar seperti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi (1981:52) yakni:

1. Suatu keseluruhan yang sampai derajat tertentu mewujudkan yang sampai

derajat tertentu mewujudkan kesatuan yang integratif terdiri dari kepercayaan-

kepercayaan yang mengenai kesatuan-kesatuan yang dipisahkan dari benda-

benda biasa atau kejadian-kejadian biasa yang mempunyai kegunaan praktis,

diberi sifat suci dan supernatural dan hidup manusia tergantung pada satuan-

satuan yang bersifat supernatural,

2. Suatu sistem dari lambang-lambang, benda-benda, perbuatan-perbuatan orang

yang bersifat empiris bukan empiris yang mempunyai unsur kesucian, dan

dalam hubungan dengan hal-hal ini manusia mewujudkan keadaan emosional

yang bersifat relevan untuk suasana religi,

3. Seperangkat aktivitas-aktivitas yang sedikit banyak bersifat keharusan, yang

dalam rangka religi itu dianggap sebagai kegiatan yang penting dan bersifat

mutlak. Kegiatan-kegiatan itu pada umumnya diharuskan untuk peristiwa –

peristiwa tertentu, dilarang untuk waktu-waktu yang lain, dan mungkin juga

hanya dimaksudkan berlaku untuk lapisa-lapisan sosial tertentu,

4. Adanya komunitas orang kepercayaan, suatu konektivitas yang meliputi

mereka yang memilki bersama ciri-ciri religi di atas,

5. Suatu perasaan bahwa hubungan manusia dengan dunia supernatural, dalam

acara yang tertentu terikat erat dengan nilai-nilai moral yang dia junjung

Page 58: Skrip Si

tinggi, dengan sifat dari tujuan hidupnya yang dia percayai yang dituntut dari

padanya, dengan aturan-aturan mengenai kelakuannya, yang diharapkan akan

diindahkan.

Kebudayaan Toraja mengenai Aluk Todolo, yang dulunya dikenal dengan

ajaran hidup dan kehidupan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau

Aluk Sanda Pitunna sebagai ajaran yang berasaskan 7 (tujuh) asas hidup dan

kehidupan. Asas ini terdiri dari tujuh asas atau prinsip, yaitu : asas menyembah

dan memuja serta percaya kepada tiga oknum dan tata kehidupan empat asas.

Menurut Tangdilintin (1975:4) Aluk Tallu O to’na, yaitu agama atau

keyakinan yang berdasarkan 3 oknum yang dipuja dan disembah dan dikatakan

sebagai kesatuan oknum yaitu:

1. Percaya dan menyembah kepada Puang Matua sebagai oknum sang pencipta

semesta alam.

2. Percaya dan menyembah kepada deata-deata sang pemelihara ciptaan Puang

Matua.

3. Percaya dan menuja kepada Tomembali Puang atau Todolo sebagai oknum

sang pemelihara dan pengawas serta pemberi berkat kepada manusia

turunannya.

Menurut ajaran Aluk Todolo ketiga oknum tersebut diatas merupakan satu

kesatuan tiga oknum tetapi tidak sama kedudukannya serta tidak sama

tingkatannya, makanya manusia dalam menyembah tingkat yang berbeda-beda,

demikian pula kurban dan sesajian persembahan ada perbedaan serta tempat

mengadakan upacara persembahan dan kurban persembahan, tetapi dalam

Page 59: Skrip Si

keyakinan Aluk Todolo dan asas Aluk Tallu Oto’na, adalah merupakan kesatuan

dalam hubungan yang saling berkaitan dan saling mengisi setelah melalui proses

dan cara yang sudah tertentu dalam upacara pemujaan dari persembahan menurut

kedudukan masing-masing aknum tersebut.

Menurut Tangdilinting (1975:6) Aluk A’pa Oto’na, asas tata kehidupan

yang berdasarkan atas adanya proses dalam kehidupan manusia dengan empat

proses dalam asas Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu karena

manusia dalam menempati alam ini melalui 4 proses dan tingkat dalam

hubunganya dengan sang pencipta dan ketiaga oknum yaitu:

1. Ada’ Dadinna Ma’lolo Tau yaitu adat lahir dari manusia.

2. Ada’ Tuona Ma’lolo Tau, yaitu adat kehidupan dari pada manusia.

3. Ada’ Manombana Ma’lolo Tau yaitu adat memujanya dan percaya dari pada

manusia kepada Tuhannya.

4. Ada’ Matena Ma’lolo Tau yaitu adat mati dari pada manusia.

Keempat asas dalam proses kehidupan manusia menurut ajaran Aluk Todolo

dikenal dengan falsafah kehidupan dalam Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu Pitung Pulo

Pitu dengan nama asas Ada’ Ap’pa 0to’na atau Ada’ Patang Sullapa’.

H. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan.

Max weber berpendapat bahwa tindakan sosial adalah tindakan individu

sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya

sendiri dan diarahkan kepada tindakan orang lain George Ritzer (1985:44).

Tindakan sosial yang akan dimaksud disini adalah Tau-tau. Apabila kita menaruh

Page 60: Skrip Si

perhatian yang lebih pada Tau-tau, kita menemukan beberapa individu, bahkan

kelompok yang berperan didalamnya.

Berkaitan dengan tindakan sosial ini, kutipan Sunyono Usman dari Ann

Swider dalam Ikma (2007:16) tentang kebudayaan sebagai meaning-making

(proses pemaknaan) menyatakan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat

proses pemaknaan sehingga memproduksi tindakan sosial, yaitu codes, contexts

dan institutions.

Codes (kode) terkait dengan pesan dibalik tindakan yang mengandung atau

berkaitan dengan simbol ,nilai, keyakinan, norma, yang dapat dihayati melalui

interprestasi. Pesan itu berupa bagian dari upaya memupuk solidaritas sosial,

dapat pula berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan politik, seperti meraih,

memperluas dan melestarikan kekuasaan. Sejalan dengan pemikiran Malinowski,

reinterpertasi sosial budaya dan terhadap upacara melahirkan perubahan sosial

yang ditujukan untuk memenuhi atau merumuskan kebutuhan-kebutuahan baru.

Contexts (suasana) adalah keadaan yang menciptakan derajat pengaruh

kebudayaan terhadap tindakan sosial. Simbol, nilai, keyakinan, norma, dan

kebiasaan dalam periode dan tempat yang berbeda tidak mampu menggerakkan

tindakan sosial. Telah dikemukakan bahwa simbol tau-tau dalam upacara rambu

solo’ ini tidak lagi dimaknai yang telah dirintis aluk todolo.

I. Sistem Sosial

Memahami sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan

mempertimbangkan eksistensi dan perilaku organisasi dan institusi sosial

kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Peran manusia di sini

Page 61: Skrip Si

lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan,

bukan sebagai individu.

Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita

sedang mencerna realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem

masyarakat tertentu yang sedang bekerja, berusaha tetap langgeng, dan seringkali

berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini mencirikan karakteristik

sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antar

sistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog,

transaksi dan negosiasi sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat

tertentu.

Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai berikut:

sistem sosial terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling

berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek

lingkungan atau fisik, actor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti

mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya

dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam sistem simbol bersama

yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)kunci masalah yang dibahas

pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan, optimalisasi,

kepuasan, dan cultural.Hal yang paling penting pada system social yang

dibahasnya Parsons mengajukan persyaratan fungsional dari system social

diantaranya:

1. sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam

hubungan yang harmonis dengan sisten lain.

Page 62: Skrip Si

2. untuk menjaga kelangsungan hidupnya sistem sosial harus mendapatkan

dukungan dari system lain.

3. sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi

yang signifikan.

4. sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para

anggotanya.

5. sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi

menggangu.

6. bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.

7. sistem sosial memerlukan bahasa.

Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat

skema penting mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan, skema tersebut

dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu

apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan

yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem.

Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi

semua sistem sosial, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal

attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki

oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:

Adaptation : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat beradaptasi

dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa

menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk

kebutuhannnya.

Page 63: Skrip Si

Goal attainment ; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa

mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

Integrastion : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar

hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan

mengelola ketiga fungsi (AGL).

Latency :laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola,

sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu

dan kultural .

Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara

melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah

lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment

difungsikan oleh system kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan

memolbilisasi sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh

sistem social, dan laten difungsikan sistem cultural. Bagaimana sistem kultural

bekerja? Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan

nilai yang memotivasi actor untuk bertindak.

Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat

yang paling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang

dibutuhkan untuk tingkat atas. Sredangkan tingkat yang diatasnya berfungsi

mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.

Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme

structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;

Page 64: Skrip Si

1. sistem mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling

tergantung.

2. sistem cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan.

3. sistem bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang

teratur.

4. sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya.

5. sistem akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.

6. alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk

memelihara keseimbangan sistem.

7. sistem cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang

meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-

baguan dengan keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda

dan mengendalikan kecendrungan untuk merubah system dari dalam.

Unsur-unsur sosial itu sendiri adalah:

1. Kepercayaan/keyakinan (penegetahuan)

Setiap ”sistem sosial” mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakian-

keyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh warganya. Mungkin juga

terdapat anekaragam keyakinan umum yang dipeluk didalam suatu ”sistem

sosial”. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya

kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting

kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup

didalam sistem sosial yang bersangkutan. Kepercayaan adalah faktor yang

Page 65: Skrip Si

mendasar yang mempengaruhi kesatuan sistim sosial. Kepercayaan merupakan

pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu

kebenaran mutlak.

Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan antara lain:

a. Penampilan atau penampakan atau keaktraktifan

b. Kompetensi atau kewenangan

c. Penguasaan terhadap materi

d. Popularitas

e. Kepribadian

2. Perasaan (sentimen)

Faktor dasar yang lain dari sistem sosial adalah perasaan. Perasaan adalah

suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik

yang bersifat alamia maupun sosial. Perasaan sangat membantu menjelaskan pola-

pola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Proses elemental yang

secara langsung membentuk perasaan adalah interaksi perasaan. Hasil interaksi itu

lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus

diakui.

3. Tujuan atau Sasaran

Tujuan atau sasaran dari suatu sistem sosial, paling jelas dapat dilihat dari

fungsi-fungsi itu sendiri. Misalnya, kebudayaan mempunyai fungsi sendiri dan

tujuan. Pada dasarnya kebudayaan dilakukan melalui proses perubahan atau

dengan jalan mempertahankan sesuatu.

Page 66: Skrip Si

Tujuan mempunyai beberapa fungsi antara lain:

a. Sebagai pedoman

Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang

ingin dicapai oleh suatu sistem sosial. Sebagai pedoman, suatu tujuan

harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu.

b. Sebagai motivasi

Tujuan organisasi masyarakat harus dapat memotisi selurh anggota

yang terlibat dalam suatu sistem sosial untuk ikut berperan serta atau

berpartisipasi dalam seluruh kegiatan masyarakat.

c. Sebagai alat evaluasi

Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi

sosial. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu sistem sosial.

Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu

berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi.

4. Norma

Norma-norma sosial dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku

yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma

menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain,

norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan didalam menilai

tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di

dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk

bersikap atau berperilaku pantas didalam sistem sosial.

Page 67: Skrip Si

5. Kedudukan –peranan

Status dapat didefenisikan sebagai kedudukan didalam sistem sosial yang

tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan

sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma

sosial.Semua sistem sosial, di dalamnya mesti terdapat berbagai macam

kedudukan atau status.

6. Kekuasaan

Kekuasaan dalam suatu sistem sosial seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis

utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif selalu bersandar pada posisi status,

sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang

lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status.

7. Tingkatan atau Pangkat

Tingkatan atau pangkat sebagai unsur dari sistem sosial dpat dipandang sebagai

kepangkatan sosial(sosial standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi

status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang

yang mempunyai pangkat kemiripan. Akan tetapi tidak ada satu sistem sosial

manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya.

8. Sanksi

Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau

tindakan (rewards) dan hukumm (punishment) yang berlaku pada suatu sistem

sosial. Ganjaran dan hukum tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga

tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

9. Sarana

Page 68: Skrip Si

Secara halus, sarana itu dapat dikatann semua cara atau jalan yang dapat digunakan

untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri. Bukan sifat dari sarana itu yang penting

didalam sistem sosial, tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatianya pada

masalah penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat

hubungannya dengan sistem sosial.

10. Tekanan tegangan

Dalam sistem sosial akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu

mengakibatkan perpecahan. Dengan kata lain, tidak ada satupun sistem sosial yang

secara seratus persenn teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.

Page 69: Skrip Si

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Gambaran Umum Kelurahan Leatung

Kelurahan Leatung merupakan salah satu kelurahan dari dua dusun yaitu

dusun Leatung dengan dusun Lebani’.

a. Batas-batas Kelurahan

Kelurahan Leatung adalah salah satu dari 6 Kelurahan di kecamatan

Sangalla’ Utara, terletak disebelah pusat Kecamatan, dengan batas-batas sebagai

berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Buntao’

Sebelah Timur berbatasan dengan Leatung Matallo

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa rantelabi’

Sebelah Barat berbatasan dengan Lembang Salu Allo

b. Penduduk

Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan

suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas dari keterlibatan serta

partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari kedua dusun diatas sesuai dengan data jumlah penduduk tahun 2010

yang kami kumpulkan berjumlah sebanyak 1235 jiwa. Terdiri atas laki-laki 634

jiwa dan perempuan sebanyak 601 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 296.

Untuk lebih jelasx dapat dilihat pada table 4.2

Page 70: Skrip Si

Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pemeritah di Kelurahan Leatung

maka Kelurahan ini dibagi kedalam 2 dusun yaitu dusun Leatung dengan Lebani’.

Tabel III.

Jumlah penduduk Kelurahan Leatung tahun 2010

Nama Dusun Jenis Kelamin Jumlah Jiwa

L P

Leatung 442 425 867

Lebani’ 192 176 368

Jumlah 634 176 1235

Sumber : data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga dusun Leatung lebih

banyak dari dusun Lebani’ yaitu leatung 867 sedangkan lebani’ hanya 368.

c. Luas wilayah Kelurahan Leatung

Luas wilayah Kelurahan Leatung secara keseluruhan adalah 16.6728 km2

luas tersebut meliputi persawahan, perkebunan masayarakat, pekarangan , dan

lain-lain yang dapat diperinci pada table 1.2 sebagai berikut:

Page 71: Skrip Si

Tabel III.2

Luas wilayah Kelurahan Leatung (diperinci berdasarkan

tanah) tahun 2010

Komposisi Tanah Luas (ha)

Sawah 24.420

Perkebunan 63.019

Pekarangan Rumah 55.645

Lain-lain 23.644

Jumlah 166.728

Sumber: data statistic Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011

d. Jumlah penduduk menurut usia

Jumlah penduduk produktif di Kelurahan Leatung adalah sebanyak 854

jiwa yaitu 17 sampai 56 Tahun sedangkan jumlah non produktif adalah sebesar

381 jiwa.

Page 72: Skrip Si

Tabel III.3

Jumlah penduduk Kelurahan Leatung (diperinci menurut Usia)

No Umur L P Jumlah

1 0 - 12 Bulan 10 4 14

2 1 - 5 Tahun 40 35 75

3 6 - 7 Tahun 38 33 71

4 8 - 17 Tahun 144 134 278

5 18 – 56 Tahun 298 278 576

6 >56 Tahun 104 117 221

Jumlah 634 601 1.235 Jiwa

Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung 2011

B. Mata Pencaharian

Mata pencaharian merupakan sumber ekonomi atau sumber pendapatan

penduduk yang dapat menentukan tingkat kemakmuran dan taraf hidup mereka.

Semakin bagus mata pencaharian seseorang maka semakin tinggi pula statusnya

dalam masyarakat. Mata pencaharian Penduduk Kelurahan leatung sangat

bervariasi, mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat adalah

petani, disamping itu sebagian bekerja sebagai pedangan ,pegawai, tukang,sopir

dan sebagainya seperti tampak pada table III.4

Page 73: Skrip Si

Tabel III.4

Jumlah penduduk kelurahan leatung menurut mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah KK

1 Petani 200

2 Pegawai/ABRI 68

3 Pedangang 11

4 Tukang 15

5 Sopir 13

Jumlah 298

Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun2011

Tabel III.4 diatas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di

Kelurahan Leatung adalah Petani, sebanyak 200 orang dari jumlah penduduk, 68

pegawai, pedangang 11, tukang 15, sopir 13. Dalam bidang pertanian dan

perkebunan Kelurahan Leatung terdapat lahan sawah dan kebun yang cukup luas.

Umumnya Padi, Kopi, Cacao dan sebagian kecil sayur mayur.

C. Sistem Pendidikan

Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan tingkat

kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di

suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilaya, begitu pula

sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat

kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak

Page 74: Skrip Si

untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang

tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan

datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel III.5.

Tabel III.5:

Potensi Kelurahan Leatung dalam sektor pendidikan

NO. Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Buta Aksara 181

2 Tamat SD 279

3 Tamat SLTP 235

4 Tamat SLTA 200

5 Tamat D2 37

6 Tamat S1 109

7 Tamat S2 11

Sumber: data statistik Kelurahan Leatung Tahun 2011

Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidkan

yang dominan di Kelurahan Leatung adalah Tamat SD dan tingkat pendidikan

yang paling kecil adalah S2. Dengan mengacu pada program pemerintah

mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas menunjukkan bahwa

sebagian besar penduduk di Kelurahan Leatung memiliki tingkat pendidikan yang

tinggi.

D. Sarana dan Prasarana

Page 75: Skrip Si

Sarana dan prasarana adalah salah satu factor yang sangat penting bagi

suatu Kelurahan di suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang

berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat

dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Leatung

adalah sebagai berikut:

1. Sarana Pemerintah

Kelurahan Leatung memiliki sebuah kantor Kelurahan sebagai tempat untuk

menjalankan pemerintahan. Kantor Kelurahan tersebut memiliki 1 buah

komputer , 2 buah mesin ketik, 8 buah meja, 23 kursi.

2. Sarana kesehatan

Terdapat 1 buah puskesmas, 2 buah posyandu.

3. Sarana ibadah

Terdapat 2 buah gereja Kristen Protestan dan 1 buah gereja Katolik.

4. Sarana keamanan

Terdapat 4 buah pos ronda dan pada setiap RT memilki 2 orang Hansip.

5. Sarana Transportasi

Sarana perhubungan Kelurahan Leatung cukup memadai, dimana semua

pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal,pengerasan dan rintisan.

Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas masyarakat Kelurahan

Leatung.

6. Sarana Air Bersih

Kelurahan Leatung merupakan daerah yang kaya akan mata air yang

berjumlah 18 unit sehinggah sebagian besar masyarakat Kelurahan Leatung

Page 76: Skrip Si

mengkomsumsi air dari mata air yang jernih dan ada pula yang menggunakan

sumur gali dan sumur pompa.

7. Sarana Olaraga

Memilki 1buah lapangan sepak bola, 1 buah lapangan volly, dan 4 buah meja

pimpong.

8. Sarana penerangam

Dari segi penerangan semua wilayah Kelurahan Leatung telah terjangkau

penerangan PLN, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek penerangan tidak

menjadi kendala bagi masyarakat leatung.

E. Sistem Kepercayaan

Dari segi realigi masyarakat Kelurahan Leatung terdiri atas 1.110 orang

beragama Kristen , 112 orang beragama Katolik , 12 orang beragama islam dan 1

orang beragama hindu. Masyarakat Kelurahan Leatung tergolong majemuk

dengan 22 orang suku bugis, 3 orang suku luwu, 10 orang suku flores, 4 orang

suku Makassar, 21 orang suku belau, dan suku Toraja sebanyak 1.750 orang.

F. Sistem Kekerabatan

Ada beberapa hal yang penting mendasar yang mencakup dalam aspek-

aspek sosial setiap masyarakat. Untuk itu, dalam penulisan ini, aspek –aspek yang

dieksperikan ialah sistem kekerabatan dan sistem pelapisan sosial masyarakat

(stratifikasi sosial).

Page 77: Skrip Si

Kekerabatan merupakan kesatuan sosial yang terbentuk atas pertalian

darah atau perkawianan. Kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya

sentiment dan keakraban atara satu dengan yang lainnya.

Dalam perkawinan di Tana Toraja tidak akan terlihat adanya kurban

persembahan atau sajian persembahan seperti pada upacara rambu solo’.hal ini

disebabkan karena perkawinan di Tana Toraja merupakan adat dengan adaya

persetujuan dari kedua bela pihak yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan.

Kesepakatan tersebut kemudian disahkan oleh pemerintah serta hukum-hukum

yang berlaku apabila dalam perkawinan tersebut terjadi perceraian.

Perkawinan adat Toraja atau dalam bahasa Toraja disebut Rampanan

Kapa’ sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum-hukum adat dimana

ketentuan-ketentuan tersebut berpangkal pada susunan Tana’ atau Kasta yang

dianut oleh masyarakat Toraja. Secara umum istilah kekerabatan biasanya

diartikan sebagai kinsip group atau suatu kesatuan sosial yang berbentuk dengan

didasari oleh pertalian darah dan perkawinan. Kelompok-kelompok kekerabatan

ditandai dengan adanya kekerabatan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga

perkawinan bagi kebanyakan orang Toraja adalah perkawinan antara rumpun

keluarga yang sama sehingga membina dan mempererat hubungan kekeluargaan.

Dalam masyarakat Toraja dikenal dengan istilah kasiuluran atau pa’rapuan

atau keluarga. Dalam keluarga masyarakat Toraja istilah kekerabatan disebut

dengan siulu’ keluarga batih yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah,Ibu, dan Anak-

anak yang belum kawin.

Page 78: Skrip Si

Dalam garis keturunan yang dinyatakan tutu’ diperhitungkan untuk

menentukan kedudukan sepupu tiga kali dalam bahasa Toraja disebut sampu

pentallun dan angkatan sebelumnya atau atasnya dinyatakan dengan istilah

tomatuangku atau orang tua ego diperhitungkan untuk menentukan kedudukan

sampu penna’pa atau sepupu empat kali dan seterusnya. Selain itu dalam garis

keturunan nene’ atau nenek dikenal pola pelapisan kekerabatan adalah sebagai

berikut toma’dadi untuk angkatan yang sederajat dengan Ibu dan Bapak, sile’to

ntuk angakatan yang sederajad dengan ego atau bila ditempatkan pada urutan

ketiga nenek, ana’dadian untuk angkatan yang sederajat ego, ampo untuk

angkatan yang sederajat dengan anak dari ego.

Dalam masyarakat Toraja ada juga kata sapaan seperti Puang, untuk

kalangan bangsawan dan ambe’, atau indo’, dan sebagainya yang dipergunakan

apabila menyapa terhadap yang tua, baik lebih tua maupun kepada yang lebih

muda dalam usia perorangan disapa dengan ana’. Sistem kekerabatan yang dianut

oleh masyarakat Toraja adalah system bilateral yaitu masuk menjadi anggota

kerabat yakni dari garis keturunan Ayah maupun Ibu.

Di dalam kehidupan masyarakat individu menjadi kepala keluarga adalah

Ayah. Ayah mempunyai tanggung jawab secara langsung untuk melidungi

keluarga dan serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk kebutuhan rumah tangga.

Adapun peran ibu dalam rumah tangga dapat membantu peran ayah untuk

mendukung segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga.

Jika dikaitkan rumah tangga dengan anaka-anak, peran kaum ibu dalam rumah

tangga merupakan aspek yang sangat penting dalam keluarga.

Page 79: Skrip Si

Masyarakat memandang kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama.

Namun terdapat hal yang membedakan antara peran dan tanggung jawab suami

dan istri yang berkaitan dengan rumah tangga. Seorang suami memiliki tanggung

jawab terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kesejateraan , keamnan,

kebahagiaan, serta nafkah yang cukup untuk menjamin rukunnya suatu rumah

tangga. Peran dan tanggung jawab seorang istri memperhatikan dan menjaga anak

serta bertanggung jawab atas segala keperluan suami seperti memasak, mencuci

dan sebagainya.

Dalam hal yang berhubungan dengan garis keturunan, masyarakat Toraja

melihat garis keturuna dari kedua bela pihak , baik Ayah maupun pihak, baik ayah

maupun pihak ibu dengan prinsip bilateral. Dalam permasalahan pembagian

warisan bahwa bila seorang anak yang banyak menyumbang korban persembahan

bila seseorang dari orang tua mereka talah tiada, maka dialah yang paling banyak

mendapatkan warisan, baik laki-laki maupun perempuan.

Page 80: Skrip Si

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Pada bagian ini, semua yang didapatkan selama dua bulan penelitian

akan dibahas.Responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat Kelurahan

Leatung yang terdiri dari dua dusun Leatung dan Lebani’.

1. Indentitas Informan

Indentitas informan merupakan faktor yang sangat penting untuk diketahui

dalam suatu penelitian, dari data informan ini diharapkan dapat memberikan

suatu gambaran awal yang akan membantu masalah selanjutnya yang akan

diuraikan untuk lebih mengenal informan dalam penelitian ini .

2. Usia Informan

Untuk membahas masalah-masalah yang dikemukakan pada bab

pendahuluan, perlu mengklasifikasi identitas responden sebagai pendukung

dalam memberikan analisa terhadap masalah yang diteliti. Salah satu hal yang

sangat penting dalam memberikan gambaran mengenai suatu pemaknaan tau-tau

dalam upacara rambu solo’. Dan dalam penelitian ini tidak menentukan batas

usia Dalam penelitian ini jenis kelamin informan adalah laki-laki dengan

memilih 8 orang masyarakat setempat sebagi informan.

Adapun umur dari masing-masing responden yaitu ne’ Mariak 75 tahun,

ne’ Etos 65 tahun, Yohanis panggalo 53 Tahun, Y.S Parante 63 tahun, Pak

Arma 69 tahun, Sifa’ datuan 56 tahun, S.S Datuan 56 tahun, Simon 48 Tahun.

Page 81: Skrip Si

3. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu faktor yang sangat menentukan bagi seseorang

untuk kelangsungan hidupnya, apabila bagi mereka yang telah berkeluarga atau

berumah tangga. Demikian pula dengan masyarakat Kelurahan leatung, yang

berusaha memperoleh pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Tentunya setiap orang menginginkan pekerjaan yang baik, dalam artian bahwa

pekerjaan tersebut tidak berat dan mempunyai penghasilan yang memuaskan, hal

ini dapat dicapai bila potensi dan latar belakang individu mendukungnya.

Sebagaimana pendidikan, pekerjaan secara sosiologis bisa menandakan status

sosial seseorang.

Jika seseorang mempunyai pendapatan yang rendah, maka orang

tersebut cenderung mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, seperti

mencari lokasi atau tempat yang menguntungkan.

4. Pendidikan

Tingkat pendidikan informan juga merupakan faktor yang sangat penting

untuk diketahui dalam penelitian, karena pendidikan cukup besar pengaruhnya

pada proses pembauran baik terhadap lingkungan tempat tinggal maupun

lingkungan tempat kerja. Hal ini sangat penting untuk menunjang perbaikan

nasib seseorang. Dalam penelitian ini pendidikan masing-masing responden

berlainan.

Page 82: Skrip Si

B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen Dalam Upacara

Rambu Solo’

1. Makna Simbolik dari Tau-Tau Masa Dulu Menurut Aluk Todolo

Penelitian ini mencoba mengungkapkan makna yang lebih mendalam

tentang makna simbolik Tau-tau , peneliti melengkapi keterangan dari informan

dengan beberapa acuan sejarah dan hasil penelitian.

Sebelum agama Kristen masuk wilayah Tanah Toraja, orang toraja pada

umumnya menganut kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Para penganutnya

harus mematuhi aturan-aturan kehidupan berdasarkan Aluk Todolo untuk

menghindari hukuman dari ketiga pribadi yang dipuja, yaitu Puang Matua (sang

pencipta segala isi bumi), Deata ( sang pemelihara semua ciptaan Puang Matua),

dan Tomembali Puang atau Todolo ( sang pengawas yang memperhatikan

perilaku manusia dan pemberi berkat kepada keturunannya di bumi)

Tangdilintin(1981:79). Salah satu aturan yang harus dipatuhi manusia (penganut

Aluk Todolo) adalah kewajiban untuk membuat Tau-tau bagi orang Tua mereka

yang diupacarakan dalam konteks ini adalah kalangan bangsawan. Namun

demikian tidak semua lapisan bangsawan yang membuat symbol tau-tau dapat

membuat tau-tau yang sama(berdasarkan jenis kayu). Bedasarakan jenis kayu,

Tau-tau dibedakan atas dua jenis, yaitu Tau-tau nangka ( tau-tau permanen, dari

kayu nangka) dan Tau-tau lampa ( bambu).

Patung permanen diperuntukkan bagi golongan bangsawan (puang) yang

dirapa’i (upacara kematian yang besar, biasanya mengorbankan 24 ekor kerbau

sebagai syarat upacara tetapi biasanya lebih dari itu sesuai dari kemampuan) pada

Page 83: Skrip Si

upacara penguburannya, bagi golongan bangsawan yang telah berjasa besar bagi

masyarakat kaya, kuat sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat,

merupakan pemuka/ pemimpin masyarakat, dan bagi golongan yang hidupnya

berarti bagi masyarakat. Hal ini dapat dibangdingkan dengan yang terjadi ditanah

Batak, yaitu bahwa yang pantas atau layak dibuatkan patungnya adalah bapa-bapa

leluhur yang dianggap mempunyai kuasa atau pengaruh yang istimewa,

bedasarkan kemulian mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan mereka dan

kedudukan mereka dalam silsilah marga Lothar(1996:168).

Adapun lapisan bangsawan yang tidak mampu atau tidak mampu atau

tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan Aluk Todolo seperti yang telah

disebutkan di atas, bagi mereka hanya dapat dibuatkan tau-tau lampa.

Untuk membuat Tau-tau dibutuhkan seseorang pemahat yang khusus yang

disebut “topande” dan harus melakukan berbagai prosesi ritual. Mulai dari proses

penebang kayu dipahat menjadi tau-tau ,ritual ma’ pesung (pengorbanan hewan

dan pemberian sajian kepada leluhur yang didewakan) sudah mulai dilakukan.

Hal ini terus berlangsung sampai tau-tau itu selesai dibuat. Sebelum dibuatkan

tau-tau salah satu sanak keluarga yang mau dibuatkan tau-tau menceritakan

karakter simati kepada Topande misalnya pada masa hidupnya orangnya keras

maka muka tau-taunya kakuh dan sebaliknya jika masa hidupnya orang sabar,

baik, lembut maka muka tau-tanya kelihatan senyum. Karena dulunya tau-tau

tidak terlalu mirip dengan mukanya tapi sesuai dengan karakternya. Adapun

posisi atau gaya tau-tau yaitu berdiri tegak, telapak tangan kanan berdiri, seperti

meminta sesuatu. Posisi ini disebut dirinding pala’ dikulambu taruno yang

Page 84: Skrip Si

mempunyai makna bahwa roh leluhur akan senantiasa menjaga keselamatan

seluruh anak cucu dan masyarakat dengan memberikan persembahan berupa

kurban pada saat upacara berlangsung. Menurut ne’ mariak (75 tahun)

“selama dalam proses pembuatan tau-tau, Topande harus tidur didekat atau dibawah kolong rumah tempat jenazah disemayamkan. Hal itu dimaksudkan agar ia kemasukan roh dari jelasah dan mendapat ilham dari jenazah tersebut dan dengan demikian rupa atau roman muka dari tau-tau yang dibuatnya itu mirip atau menyerupai roman muka dari orang yang meninggal itu” (wawancara 20 februari 2011).

Menurut Topande dari buntao’ bahwa sebuah tau-tau dapat dibuat

maksimal 23 hari untuk tau-tau Todolo. Pada saat tau-tau itu selesai dibuat, tau-

tau itu dilantik lebih dulu dengan satu upacara disebut, “massa’bu tau-tau” yang

dilengkapi dengan sajian kurban babi, kemudian dipakaikan dengan pakaian adat

dan dihiasi dengan pershiasan pusaka seperti manusia, dengan maksud untuk

memberikan simbol tersebut menggambarkan diri simati bahwa dia dari strata

sosial yang tinggi (bangsawan).

Tau-tau yang telah dilantik tersebut diletakkan didekat jenazah. Ia

diperlakukan sebagaimana orang yang masih hidup seperti: diberi nasi (makanan).

Minuman, sirih, dan dikenakan pakaian adat dan berbagai perhiasan pusaka. Para

penganut Aluk Todolo mempunyai kepercayaan bahwa tau-tau yang sudah

dilantik tersebut, roh simati sudah masuk dalam tau-tau tersebut sehingga

diperlakukan demikian. Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan tau-tau ini,

kita dapat mengetahui status sosial dari sipunya tau-tau. Tau-tau yang memilki

simbol yakni penggunaan seppa tallu buku ( celana yang hanya sampai dibagian

lutut) dan dodo ( sarung yang diselempangkan pada tau-tau yang umumya

Page 85: Skrip Si

berwarna putih) adalah seorang bangsawan. Pakaian yang dikenakan tau-tau

menyerupai pakaian masyarakat Toraja pada upacara rambu solo’ berlangsung,

tau-tau laki-laki memakai baju dari pasangan seppa tallu buku, ikat

kepala( pa’tali), dan salempang dari sarung. Sedangkan tau-tau wanita

mengenakan baju pokko’ ( baju yang pada lenganya hanya sampai pada siku dan

sempit), sedangkan bagian bawahnya memakai sarung, memakai tutup kepala dari

sarong ( terbuat dari bambu menyerupai paying, tetapi tidak mempunyai batang),

dan membawa semacam tas tempat sirih yang disebut sepu’. Setelah tiba saatnya

pelaksanaan upacara pemakaman, jenazah bersama ta-taunya diturunkan

kelumbung padi (mengkalao alang).

Setelah mengkalao alang tau-tau diletakkan didepan lumbung. Sesuai

dengan adat pada upacara rambu solo’ yang akan dilaksanakan, maka tau-tau ini

dibuatkan usungan, lalu tau-tau tersebut didirikan atau didudukkan diatas usungan

tersebut. Usungan ini berguna untuk mengangkat tau-tau tersebut pada saat acara

ma’pasonglo’. Menurut ne’ etos (65 tahun):

“Ma’pasonglo’ merupakan acara mengarak tau-tau tersebut bersama dengan orang yang meninggal yang dibuatkan tau-tau mengelilingi kampung dengan diikuti keluarga yang berjalan dibelakang orang yang mengusung peti mati serta tau-tau” (wawancara 28 februari 2011).

Mereka berjalan dibawah bentangan kain merah yang diikat pada usungan

petih jenazah yang dibentangkan diatas kepala mengikuti arakan-arakan para

pembawa usungan peti yang disebut “saringan” ( terbuat dari bambu yang

menyerupai rumah adat toraja tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih ringan

sehingga bisa untuk diangkat), kurban yang akan dipersembahkan dalam upacara

rambu’ solo’ tersebut seperti kerbau turut juga diara-arak yang sudah pula dihiasi

Page 86: Skrip Si

berbagai hiasan (benda Pusaka Aluk Todolo). Setelah acara arak-rakan selesai,

maka orang mati tersebut kembali ketempat semula atau tongkonan tempat

dimana upacara tersebut akan dilaksanakan atau dimulai.

Setelah pesta ini berlangsung selama beberapa hari sesuai adat yang

berlaku dan berbagai prosesi upacara yang dilaksanakan didalamnya, maka orang

yang meninggal tersebut akan diusung ramai-ramai menuju tempat

penguburan( diliang-liang batu) bersama dengan tau-tau yang juga diusung

ketempat penguburan. Setelah orang yang meninggal tersebut diletakkan ditempat

yang telah disediakan seperti liang segi empat yang dipahat pada didnding batu,

kemudian tau-tau tersebut juga diletakkan pada dinding-dinding batu yang dipahat

memanjang membentuk pesegi panjang. Dan yang menarik dari pekuburan batu

adalah semakin tinggi pekuburan batu (liang si mati) menunjukkan kedudukan

atau status seseorang yang dikuburkan dalam liang tersebut sangat tinggi pula

( bangsawan) dalam masyarakat dan juga ada makna lain dari itu bahwa

penempatan tau-tau pada tebing yang tinggi mempunyai makna simbolik yakni

sebagai tanda atau wujud bahwa roh leluhur selalu menjaga dan mengawasi

masyarakat dari segala malapetaka.

Dan pada saat jenazah dimasukkan atau dikuburkan kedalam kuburan batu

(liang), tau-tau diletakkan berdiri didepan atau disamping liang agar mudah dilihat

dari luar. Setiap beberapa tahun pakaian diganti oleh kaum keluarganya dengan

disertai upacara persembahan. Penggatian pakaian tau-tau ini dilakukan sebelum

ada jenasah baru dari rumpun keluarga yang dikuburkan.

Page 87: Skrip Si

Tau-tau merupakan perlengkapan yang sangat penting pada upacara

pemakaman, sesungguhnya diltarbelakangi oleh faktor, kepercayaan, prestise, dan

ekonomi. Fungsi dan makna tau-tau dalam upacara rambu solo’ menurut

kepercayaan aluk todolo bahwa dewa yang mereka sembah dan diratapi oleh

keluarga dan masyarakat. Menurut Yohanis panggalo (53 tahun):

“ dewa dapat tinggal dalam tau-tau itu sehingga tau-tau tersebut menjadi pusat kekuatan, kesaktian dan daya gaib dan tau-tau itu seolah-olah menjadi manifestasi (penjelmaan) dari dewa itu sendiri. Serta mempermudah proses penyembahan bagi leluhur”( wawancara 21 februari 2011).

Karena kepercayaan Aluk Todolo yang menyakini bahwa: mati adalah

suatu proses perubahan status dari manusia yang hidup kepada manusia roh

dialam gaib yang disebut To Membali Puang setelah melalui upacara peresmian

atau pelantikan roh (massa’bu) menjadi dewa dalam upacara pemakaman.

Pembuatan tau-tau ini dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial budaya yang

erat hubungannya dengan penonjolan status sosial atau strata kebangsawanan dari

orang yang terpandang. Selain itu juga karena adanya kepercayaan bahwa Tau-tau

dianggap perwujud bagian dari orang yang sudah meninggal, dengan demikian

orang yang sudah meninggal tersebut tetap ada dan menjaga kita dari atas sana

(alam baka).

Adapun tujuan pembuatan tau-tau yaitu untuk digunakan sebagai tanda

atau simbol dalam upacara rambu solo’ bagi orang lain bahwa yang meninggal

tersebut adalah kalangan bangsawan dan sebagai simbol penting dalam upacara

Rambu Solo’ tinggkat rapasan atau dirapai’i.

Page 88: Skrip Si

2. Makna religius

Makna yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna yang berhubungan

dengan agama ;penyembahan atau pemujaan atau keprcayaan. Menurut ajaran

Aluk Todolo yang sesuai dengan sukaran aluk (sukaran = ketentuan,

susunan,ukuran; aluk = aturan ), manusia harus percaya dan memuja serta

menyembah kepada tiga oknum Tandilintin (1981:79), yaitu:

a. Puang Matua sebagai sang pencipta segala isi bumi ini.

b. Deata-deata yang banyak jumlahnya itu sebagai sang pemelihara seluruh

ciptaan Puang Matua.

c. Tomembali puang/Todolo sebagai sang pengawas memperhatikan garak-

gerik serta member berkat kepada manusia (keturunanya).

Salah satu dari tiga oknum yang dipuja dan disembah dalam Aluk Todolo

ini ialah oknum ketiga yaitu, Tomembali Puang/ Todolo.Latar belakang dari

penyembahan tersebut adalah berdasar pada keyakinan dalam Aluk Todolo,

bahwa antara yang hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan

yang erat. Roh/jiwa dari orang yang meninggal akan berubah menjadi dewa

(Tomembali Puang) setelah melalui upacara penyembahan/pemujaan.

Berdasarkan Aluk Todolo ini, seseorang yang mati harus dirawat atu diperlakukan

betul-betul seperti dan memelihara orang yang masih hidup, yaitu dengan

melengkapkan segala keperluan yang akan digunakan oleh roh di alam gaib yang

disebut Puya (tempat bersemayam roh menurut keyakinan Aluk Todolo).

Page 89: Skrip Si

Adapun tujuan dari pegadaan kurban harta benda (kerbau,babi, kuda, rusa

dan lain-lain) pada pemakaman orang mati menurut Aluk Todolo di Tana Toraja,

tangdilintingg (1981:121):

a. Akan menjadi bekal atau harta benda roh orang mati di alam baka/alam

gaib.

b. Akan menentukan kedudukan arwah yang dinamakan “to membali puang”

(arwah yang telah menjadi dewa) dia alam baka/gaib, karena menurut

keyakinan aluk todolo bahwa arwah yang datang ke puya dengan tidak

membawa bekal dari dunia tidak dapat diterima secara wajar di puya.

c. Sebagai suatu hal yang menentukan martabat dari keturunanya didalam

masyarakat seterusnya, dan dalam pembagian warisan.

Disamping sebagai bekal kealam baka/gaib serta menjadi korba

sosial;adanya kurban harta benda pada upacara pemakaman adalah untuk

memenuhi tuntutan adat hidup dan pergaulan hidup dari orang mati selama

hidupnya. Karena itu, kurban yang ada disesuaikann dengan kedudukan kastanya

serta peranan dalam masyarakat Tangdilintin (1981:122).

Tau-tau sebagai simbol kehadiran dewa/arwah leluhur dalam suatu

upacara raambu solo’ di toraja menurut Aluk Todolo harus mendapat perlakuan

seperti manusia, dan harus dipuja serta disembah. Aluk todolo mengajarkan

bahwa arwa nenek moyang selalu menyertai dan menjaga anak cucunya dan dapat

memberi berkat bagi mereka. Hal ini dideskripsikan melalui posisi kedua tangan

tau-tau yang agak lain jika dibandingkan dengan posisi tangan orang yang masih

hidup. Tangan dari tau-tau berada pada posisi mangrande pala’ (menopang

Page 90: Skrip Si

telapak tangan), ma’ rinding taruno (melindungi jari). Menurut S.S Datuan (43

tahun):

“artinya dari bentuk atau posisi tangan tau-tau ini adalah bahwa leluhur atau nenek moyang mengharapkan atu meminta kurban persembaha berupa harta benda (kerbau atau babi) dari anak cucunya sesuai dengan banyaknya harta atau kemampuan mereka, dan sebagai imbalannya, nenek moyang akan member berkat bagi anak cucunya” (wawacara tanggal 4 maret 2011).Akan tetapi roh leluhur ini dapat pula memberi kutukan bagi

keturunanya jika tidak memenuhi persyaratan dari pemujaan.

Nenek moyang yang sudah menjadi dewa berarti sudah berdiri secara

otonom menguasai keluarganya sendiri, dalam arti bisa mengutuk atau

memberkati (informasi dari J.A Sarira budayawan Toraja). Berkat dan kutuk

sangat tergantung pada sikap keluarga terhadap nenek moyang yang sudah

meninggal. Dengan demikian hubungan atara leluhur dengan keturunannya harus

senantiasa terpelihara dengan baik.

Jadi jelas bahwa pemujaan nenek moyang disebabkan oleh rasa takut,

rasa hormat dan cinta kasih, tetapi juga mengandung unsur paksaan, yaitu

memaksa leluhur memberi berkat bagi keturunannya.

3. Makna Estetika Dari Tau-tau

Makna estetika adalah makna yang mengandung keindahan, sedap dipandang

mata karena bentuknya yang indah, mempunyai nilai seni yang tinggi atau artistik.

Nilai seperti ini dapat juga kita jumpai pada pembuatan tau-tau di toraja. Patung

yang adalah hasil karya pemahat yang bernilai seni yang tinggi dalam kebudayaan

toraja, bersifat sosial budaya dan memaikan peranan penting pada upacara

rambu solo’. Menurut ne’ Mariak (75 tahun):

Page 91: Skrip Si

“membuat tau-tau ini adalah salah satu bentuk dan cara mengungkapakan nilai seni pada upacara rambu solo’ disamping bentuk dan cara lain, seperti mengukir peti mati dan peralatan-peralatan upacara rambu solo’ lain, penggunaan pakaian adat Toraja, hiasan-hiasan, dan lain-lain (wawancara 11 maret 2011)”.

Patung yang dipahat topande akan menghasilakan bentuk dan rupa

patung yang indah, yang sangat mirip dengan rupa orang yang dibuatkan

patungnya. Hal ini akan menimbulkan kekaguman bagi orang yang

melihatnya.Nilai seni yang terdapat atau dikandung oleh tau-tau ini jika

dikembangkang dengan baik akan dapat menunjang pengembangan sector

parawisata. Khusunya dengan terbukanya dan ditetapkannya Tana Toraja sebagai

daerah parawisata menyebabkan penggalian kebudayaan yang lama, termasuk

pengadaan tau-tau.

Dengan gencaranya program diversifikasi seni tradisi Toraja dan

menguatnya posisi agama Kristen, maka tau-tau dianggap sebagai bagian dari

nilai seni toraja yang harus dikembangkan tanpa tekukuh oleh material, gaya,

bentuk dan upacara untuk mengkukuhkan tau-tau bernilai sakral. Karna itu

replika tau-tau dengan berbagai gaya dan ukuran bermunculan yang dibuat oleh

para perajin Toraja yang selama ini pada umumnya membuat cendramata ukir

dan replica tongkonan dan berbagai ukiran motif toraja dalam aneka wadah.

4. Makna Ekonomi Tau-tau

Sebuah tau-tau dapat dinilai dengan 1 ekor kerbau tedong pudu’ dengan

harga sekitar 47 juta menurut Simon (48 tahun) . mungkin kita berfikir bahwa

sebagian orang toraja mungkin tidak menggunakan perhitungan rasio dalam

menilai suatu tau-tau. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pendekatan

Page 92: Skrip Si

ekonomi masa kini untuk memberi harga yang relative pantas untuk tau-tau yang

sebelumnya telah dikontruksikan sedemikian rupa dalam falsafah toraja.

Namum menurut salah seorang informan ne’ Mariak (75 tahun) tau-tau Aluk Todolo ada yang bernilai ratusan juta rupiah kerena dianggap mempunyai kekuatan gaib.Falsafah orang toraja yang mengkonstruksikan value (nilai) dan price (harga) nampaknya masih berlaku hingga saat ini. Kondisi seperti ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat toraja, seperti keterangan dari informan Simon (48 tahun):“pelaksanaan upacar rambu solo’ yang menggunakan tau-tau dalam upacara mereka memperkuat sistem ekonomi masyarakat. Mereka dapat membuka dan menegmbangkan lapangan kerja melaui pengrajin pahat (wawancara 23 februari)”.

Dari aspek ekonomi, tau-tau merupakan sumber pendapatan bagi sebaian warga di

tana toraja. Sejumlah orang toraja bahkan menjadi pengrajin pahat untuk

mencukupi kebutuhan hidup. Selain berfungsi sebagai salah satu pendapatan bagi

warga, tau-tau cenderung dihargai lebih tinggi menjelang banyaknya pelaksanaan

(musim) beberapa upacara rambu solo’ di Tana Toraja. Dalam hal ini pengrajin

pahat akan kebanjiran pesanan dan akan memperoleh keuntungan yang relative

besar.

C.Makna Stratifikasi Sosial dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial

Struktur dan stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Toraja biasanya

berdasarkan garis keturunan, kekayaan, usia, dan pekerjaan. Sebelumnya,

khususnya pada masa pra-kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat Toraja

yakni, aristokrat (puang atau parengnge), orang biasa/awam (to buda, to sama),

dan budak (kaunan). Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski sebenarnya

seseorang itu sukses secara finansial atau bahkan gagal beberapa orang

Page 93: Skrip Si

diperbolehkan menerobos rintangan sosial ini Ini tentu saja berbeda dengan sistem

dan struktur sosial pada masyarakat modern saat ini.

Tetapi ada umumnya dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat

strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain :

a. Tana’ Bulawsan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi.

b. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah.

c. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat merdeka.

d. Tana’ Kua-kua, lapisan sosial golongan hamba/budak.

Sementara secara fungsional, klasifikasi kepemimpinan dalam masyarakat Toraja

adalah sebagai berikut:

Toparengnge’. Kelompok ini berfungsi sebagai penasehat dan pemelihara

keyakinan Aluk Todolo. Di setiap desa memiliki 4 sampai 8 orang toparengnge’

Tobara’. Kelompok ini adalah asisten Toparengnge’. Fungsi mereka

adalah memelihara kebiasaan (adat) dan tradisi lama keyakinan Aluk Todolo.

Biasanya mereka terdiri dari 2 orang atau bahkan lebih di setiap desa.

Tominaa. Kelompok ini adalah pemimpin adat dan agama. Mereka

pemimpin setiap upacara-upacara adat dan acara kematian, dan pesta syukuran.

Mereka tidak menerima bayaran atas kewajiban mereka. Mereka juga termasuk

orang yang rendah hati (modest) dan jujur (honest) (periksa juga Veen, 1965).

Ambe’ tondok. Kelas ini adalah pemimpin kampung. Seorang Ambe’

Tondok bisa juga dipilih sebagai kepala kampung. Ambe’ Tondok dipilih oleh para

pemimpin sosial informal. Mereka terdiri dari beberapa orang di suatu kampung.

Page 94: Skrip Si

Tobulodia’pa. Kelas ini merupakan kelas terendah dalam masyarakat

Toraja secara fungsional. Mereka tidak memiliki hak atau kekuasaan, tetapi pada

saat bersamaan mereka diwajibkan melaksanakan praktek ajaran Aluk Todolo dan

menaati perintah keempat kelas di atas.

Hingga kini sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja masih berlaku.

Misalnya, dalam masyarakat Toraja khususnya, sistem perbudakan muncul sebagai

konsekuensi dari pembagian kelas-kelas sosial. Sistem perbudakan ini seringkali

berakar dari, jika bukan dilegalisasi oleh, adat (Customary Law) yang berlaku

dalam masyarakat (Wertheim, 1976:194, Wertheim, 1956:132-52). Meski sistem

perbudakan telah lama dihapuskan, jika bukan dilarang, di negeri ini, beberapa

kaum aristokrat masih menerapkan sistem seperti ini, meski dalam tingkat yang

wajar dan tidak seketat dahulu.

Riset Eric Crystal (1970, 1994), Volkman (1990), dan Nooy-Palm (1986)

menyimpulkan bahwa sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja turut

mempengaruhi tipe kepemimpinan dan otoritas tradisional di daerah ini. Bahkan

sampai kini otoritas tradisonal ini coba dipertahankan dengan berbagai cara.

Misalnya dengan berafiliasi kepada organisasi sosial tertentu, mempertegas

kembali fungsi-fungsi adat, dan bahkan pengembalian fungsi lembang seperti

sebelumnya.

Adanya lapisan atau golongan yang terdapat dalam masyarakat suku

toraja ini sangat berpengaruh pada pengadaan Tau-tau. Lapisan yang paling

rendah (golongan hamba) sama sekali tidak boleh membuat tau-tau atau sama

sekali tidak boleh dibuatkan tau-taunya bila kelak meninggal nanti. Hal ini

Page 95: Skrip Si

disebabkan adanya pemahaman bahwa tidak semua leluhur yang dapat dipuja atau

disembah. Leluhur yang dapat diangkat menjadi leluhur yang dapat dipuja dan

disembah adalah bapa-bapa leluhur yang telah melindungi rakyat (urrinding

tondok) dan membela rakyat, mereka dianggap memiliki suatu kuasa pengaruh

yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka dibumi, berdasarkan harta

kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Jadi tidak semua orang mati

dapat diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja/disembah. Itulah sebabnya

dari empat strata sosial masyarakat yang ada dalam masyarakat suku toraja

tersebut yang layak dibuatkan tau-tau adalah golongan bangsawan.Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa makna tau-tau berdasarkan makna stratifikasi

sosial ini tujuannya adalah untuk menunjukkan identitas keluarga yang dibuatkan

simbol tau-tau sebagai keluarga yang berada atau kaya dan memilki kuasa,

pengaruh serta kedudukan dalam masyarakat. Menurut Simon (48 tahun):

“makna ini ingin menunjukkan identitas kebangsawanan si pemilik patung beserta kaum keluarganya (wawancara tanggal 23 februai 2011)”

D. Makna Simbolik Tau-tau Dalam Kehidupan Sosial budaya

Masyarakat Toraja adalah masyarakat yang senantiasa mempertahankan

tradisi budaya secara turun temurun. Adanya peninggalan-peninggalan budaya,

perilaku dan alamnya sangat mencerminkan sebuah masyarakat tradisional dengan

kesungguhan menjaga dan melestarikan tradisi yang masih terpelihara sampai

sekarang yakni tradisi penggunaan Tau-tau dalam upacara Rambu Solo’ untuk

orang yang sudah meninggal dan merupakan bangsawan.

Page 96: Skrip Si

Dalam pembuatan tau-tau tidak terlepas dari makna yang mendasari serta

kedudukan dalam sistem sosial budaya Toraja. Menurut wawancara yang

dilakukan penulis kepada beberapa tokoh masyarakat bahwa pembuatan tau-tau

berdasarkan bahannya menjadi dua yaitu tau-tau nangka dan tau-tau lampa.Tau-

tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan)

sedangkan tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menengah

(tana’ bassi) nama upacaranyapun dibedakan yakni upacara pemakaman yang

menggunakan tau-tau nangka disebut upacara pemakaman tingkat Rapasan

sedangkan upacara yang menggunakan tau-tau lampa disebut Doya tedong atau

tingkat dibatang.

Seperti masyarakat lainnya setiap tingkahlaku dan material budaya

masyarakat Toraja selalu sarat akan pemakaman. Demikian pula dengan

menggunakan kayu nangka

Sebagai bahan utama pembuatann tau-tau karena mempunyai getah

berwarna putih yang diartikan sebagai darah dewa. Masyrakat toraja mempunyai

kepercayaan bahwa darah dewa berwarna putih, karena kaum bangsawan tinggi

adalah titisan dewa maka tau-tau perwujudannya harus dibuat dari bahan kayu

nangka.

Sesuai observasi ciri-ciri fisik seperti tau-tau yang ada di tana toraja

khususnya disanggala’ tepatnya di pekuburan saudara salah satu informan peneliti

yaitu ne’ Mariak dan juga ditempat salah satu objek parawisata di Suaya. Salah

satu pekuburan yang di tempati almarhum Puang Sangalla’ disemayamkam, yaitu

ada posisinya berdiri dan ada posisinya duduk. Tau-tau laki-laki memilki ciri-ciri

Page 97: Skrip Si

seperti : a. dagu yang agak lebar, b. pakaian tau-tau menyerupai pakaian

masyarakat toraja pada umunnya (saat upacara rambu solo’), c. memakai baju

menyerupai jas, d. ikat kepala yang disebut pa’ tali, e. celana yang hanya sampai

bagian lutut disebut seppa tallu buku, f. selempang berupa sarung dan umunya

berwarna putih (simbol darah dewa).

Untuk tau-tau wanita memiliki ciri-ciri seperti : a. dagu yang agak lonjong,

b. tutup kepala dari sarong atau passarong yang terbuat dari ayaman bambu,

berbentuk seperti payung, c. pakaian yang diapakai adalah baju pokko yang pada

umumnya hanya lenganya hanya sampai pada siku dan sempit, d. bagian bawah

atau celana memakai sarung khusus yang hanya dijumpai ditoraja tenunan asli

toraja (seppa tallu buku, baju pokko dan dodo), dan biasanya bagi Tau- tau

perempuan dilengkapi asesoris yang disebut Kandaure yang terbuat dari ayaman

manik-manik berwarna- warni yang hanya ad ditoraja tetapi juga di suku dayak

(Kalimantan) dapat kita jumpai anyaman manik-manik yang bahannya sama tetapi

tidak disebut Kandaure dan tidak berbentuk seperti Kandaure.

Selain perbedaan ciri-ciri tersebut terdapat persamaan atara Tau-tau laki-laki

dengan Tau-tau wanita. Persamaan tersebut berupa mata yang terbuat dari tulang

dan berwarna putih, alis mata diberi warna hitam, sama-sama membawa Sepu’

(semacam tas tempat sirih) sikap tangan yang sama yaitu tangan jiri terbuka dan

tangan kanan terjulur seakan-akan memberi salam atau sebaliknya, sikap badan

tegak berdiri, bentuk muka yang kaku dan mata yang melotot. Menurut S.S

Datuan ( 43 tahun):

Bahwa mata yang melotot pada Tau-tau mempunyai makna bahwa orang yang dibuatkan tau-tau tersebut semasa hidupnya selalu siap dan tegar

Page 98: Skrip Si

menghadapi segala permasalahan hidup Tau-tau dengan posisi berdiri dan memengang tongkat mempunyai makna bahwa beliau merupakan pemengang kekuasaan dalam memimpin masyarakat dalam segi adat – istiadat. Adapun tau-tau dengan posisi duduk yang kebanyakan adalah kaum wanita yang mempunyai makna bahwa kaum wanita bertanggung jawab dalam mengatur urusan rumah tangga” (wawancara 2 maret 2011).Tau-tau merupakan salah satu simbol dari upacara Rambu Solo’ di Tana

Toraja tentunya mengandung nilai-nilai atau makna tersendiri, menurut ne’

Mariak ( 75 tahun ) :

“ pemaknaan dalam penempatan dan sikap Tau-tau mempunyai suatu nilai atau makna” (wawancara 11 maret 2011).

Penempatan Tau-tau pada tebing yang terpahat dan menghadap

ketimur yang dibawahnya terhampar area persawahan yang dimaksudkan sebagai

permintaan akan kesejateraan hidup masyarakat. Dengan begitu sawah-sawah

akan menghasilakan padi yang melimpah dan arwah leluhur akan memberikan

kesuburan.

E. Norma / Aturan-aturan Yang Berkaitan Dengan Tau-tau

Masyarakat tana toraja didalam melaksanakan kegiataan yang

berhubungan Ma’ tau-tau senantiasa didasarkan pada aluk-ada’. Aluk adalah

norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat dan merupakan peraturan

yang tidak tertulis yang diwariskan dari generasi kegenerasi secara turun temurun

tanpa ada perubahan berati.

Aluk adalah keseluruhan aturan-aturan keagamaan dan kemasyarakatan.

Karena seluruh kehidupan itu selalu dikaitan dengan aluk, maka aluk dilaksanakan

dalam seluruh kehidupan itu dan alam sekitarnya menurut Kobong dkk (1992:6),

misalnya:

Page 99: Skrip Si

a. Alukna mello tau

b. Aluk parpe

c. Aluk bagunan banua

d. Aluk padang

e. Aluk rambu tuka’

f. Aluk rambu’ solo’

g. Aluk Tanana pasa’

h. Aluk bua’

Orang toraja percaya bahwa Aluk sama dengan agama bahakan mengandung

arti yang sangat dalam dan luas, jadi Aluk Todolo bagi orang Toraja merupakan

keyakinan agama, kepercayaan, upacara agama, upacara adat, yang mengandung

larangan (pemali) dan pedoman berinteraksi dan bertingkah laku dalam

kehidupan bermasyarakat. Yang melanggar tuntutan dan pemali aluk akann akan

mendapat pembalasan dari dewa (nenek moyang) semacam karma. Itulah

sebabnya aluk – aluk tersebut terkadang disebut aluk nenek karena ada kesan

pelaksanaanya berhubungan lansung dan pemeliharaan oleh leluhur nenek

moyang. Menurut Sipa’ Datuan ( 56 tahun) :

“bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai inti , norma-norma aturan yang berlaku dalam aluk siapapun yang mengubah aluk (lale-lale aluk) akan mendapat teguran dari dewa (deata) leluhurnya” ( wawancara 25 februari 2011).

Masyarakat Toraja percaya bahwa Aluk yang sudah turun temurun dari leluhur

tidak boleh di ubah secara semena-mena oleh orang yang tidak mengerti tentang

Aluk, jika aluk di ubah atau dipermaikan tidak sesuai dengan nilai dan norma

yang terdapat dalam aluk akan mendatangkan mala petaka bagi yang mengubah

Page 100: Skrip Si

aluk dan akan terus kegenerasi mereka ‘ke generasi ketiga, ketuju dan akan terus

kegenerasi berikutnya jika dia tidak meminta maaf kepada dewa melalui ritual

yang ditentukan dalam aluk’ (osso’ ma’ pentallun ma’pempitu sae lako ketae’ na

pemaseroi male ma’pesung lako deata). Menurut Y.S Parante (63 tahun):

“Bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, antara lain nilai inti yang terkandung dalam adalah siri’ rapu, siri’ siluang’ siri’ tongkonan dan siri’ tondok” wawancara 15 maret 2011).Kebanyakan pola kehidupan orang toraja diatur dengan aluk sola pemali

didalam hidup seseorang justru menyebabkan pala hidup orang itu cukup teratur.

Oleh sebab itu, pola kehidupan yang diatur dengan aluk sola pemali melahirkan

kebiasaan-kebiasaan yang diusung menjadi adat-istiadat dalam masyarakat.

Setiap masyarakat pada dasarnya memilki aturan atau norma yang berlaku

dalam lingkungan masyarakatnya serta adat istidat yang harus ditaati oleh setiap

warganya. Hal ini berlaku dalam lingkungan masyarakat toraja, khususnya dalam

melaksanakan ma’tau-tau terlebih dulu memahami akan adanya aluk yang berlaku

dan berkaitan dengan simbol tersebut. Aluk dapat diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari melalui Aluk Tallu Lolona ( tiga pucuk) yaitu:

a. Aluk Mello Tau, yang diperuntukkan bagi dunia mahluk manusia

b. Aluk Patuoan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan

c. Aluk Tananan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan

Hubungan sosial dikalangan warga masyarakat toraja dengan sendirinya

diatur oleh norma yang telah disepakati dalam masyarakat. Secara individu

manusia itu pada dasarnya ingin menang sendiri serta ingin mengutamakan

kepentingan pribadinya dengan mengabaikan kepentingan orang lain, untuk

Page 101: Skrip Si

menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut, maka dibuatlah norma atau

aturan yang dapat mengatur hubungan-hubungan tersebut dalam masyarakat.

Menurut Rumengan (69 tahun):

“ segala pekerjaan yang ada dibumi ini, kesemuanya itu didasari dengan norma atu aturan, adat serta larangan. Demikian halnya dalam kehidupan masyarakat toraja, segala sesuatu yang dilakukan, baik itu upacara rambu’ solo’ maupun rambu’ tuka’ akan selalu didasari dengan aturan adat serta larangan yang ad dalam masyarakat”.

Meskipun demikian masih ada masyakat yang melanggar peraturan yang

ada misalnya pada pembuatan tau-tau ada orang yang membuatkan tau-tau dalam

keluarganya yang tidak sesuai dengan norma yang ada yaitu membuatan patung

tau-tau nangka buat leluhurnya karena mereka mau dinggap sebagai bangsawan

tinggi dan mereka juga tidak mematuhi aturan dan makna yang terkandung

didalamnya, tidak sesuai dengan Aluk yang ada. Menurut peraturan adat orang

Toraja yang boleh dibuatkan Tau-tau nangka adalah bangsawan tinggi yang telah

berjasa besar bagi masyarakat, kaya, kuat sehingga menjadi pelindung dan

pembela bagi rakyat,merupakan pemuka/pemimpin masyarakat, tetapi banyak

masyarakat tidak paham dengan aturan yang berlaku. Karena mereka menggangap

dirinya adalah bangsawan dan berjasa bagi masyarakat tetapi kenyataan yang ada

bila kita telusuri mereka hanya boleh dibuatkan tau-tau lampa. Dan ada pula

masyarakat yang bukan dari kalangan bangsawan tetapi membuatkan tau-tau buat

orang tua mereka karena mereka menggangap dirinya sudah mampu menurut

ekonomi. Menurut Y.S Parante (63 tahun):

“orang yang tidak mentaati aluk akan mendapat sanksi sesuai aturan yang beralaku dalam masyarakat serta orang yang membuat tau-tau yang bukan dari kalangan bangsawan akan cemohkan dan dipermalukan di masyarakat”(wawancara 27 februari).

Page 102: Skrip Si

Dalam pembuatan tau-tau pada saat masyarakat Tana toraja masih

menganut kepercayaan Aluk todolo sebelum masyarakat tana toraja mengenal

Agama Kristen dan didalam pembuatan tau-tau terdapat norma yang harus ditaati

yaitu sebagai berikut:

a. Pegolahan bahan

Pada tahap pengolahan bahan ini, didahului dengan penebangan pohon

yangdalam bahasa toraja disebut Manglelleng. Pohon yang akan ditebang ini

adalah pohon nangka yang tela tua umurnya. Menurut Y.S Parante (63 tahun):

“sebelum penebangan itu berlangsung, terlebih dahulu diadakan upacara ritual dibawah pohon nangka tersebut. Pada acara ini diadakan pemotongan seekor ayam jantan yang disebut manuk sella’ (ayam jantan yang berwarna merah sedangkan kakinya berwarna putih)” (wawancara 27 februari 2011).

Selain itu, pada acara manglelleng diadakan juga acara Ma’piong dibawah

pohon yang akan ditebang (ma’ piong yaitu memasak nasi dalam bambu atau

biasa disebut lemang), beras yang dimasak bukan sembarang beras pada acara

Ma’piong ini adalah beras Ba’tan yakni semacam beras yang ukurannya kecil-

kecil, kemudian beras kedua ialah beras Kasalle yaitu beras yang sekamnya

mempunyai bulu pada ujungnya.

Apabila semua upacara (memohon kepada Dewa agar pohon yang

ditebang bagus hasilnya nanti bila dipakai) tersebut telah dilaksanakan, maka kayu

nangka tesebut dapat ditebang, baik menggunakan kapak maupun dengan

menggunakan gergaji tau mesin dan dipotong sesuai kebutuhan.

Page 103: Skrip Si

b. Proses pembuatan

Pada tahap ini bahan yang sudah ada diolah kemudian dibentuk dengan

cara dikurangi sedikit demi sedikit memakai parang atau menggunakan pahat.

Seperti pada upacara menglelleng, dalam proses pembuatan ini diadakan upacara

ritual terlebih dahulu. Dalam upacara ritual ini dikorbankan seekor babi.

Kemudian beras masih tetap dimasak seperti upacara Manglelleng namun pada

upacara ini beras tersebut tidak lagi dipiong tetapi dimasa’ yang disebut Sokko’.

Tahap-tahap pembuatan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut:

Manglassak adalah merupakan pembuatan badan tau-tau beserta kakinya.

Pada bagian ini dikorbankan satu ekor babi sebelum pembuatan tersebut

dilaksanakan kemudian beras di sokko’ (beras ketan di masak dengan santai

sampai kering). Pada tahap ini telahdisiapkan untuk dipahat. Manglassak ini

bahwa bahan yang telah disiapkan dipahat demi sedikit dengan mengikuti bentuk

dasar yang telah dibuat sebelumnya. Pada umumnya bagian ini tidak terlalu

mendapat perhatian yang serius dalam penggarapannya karena pematung

beranggapan bahwa ini akan ditutup oleh baju sehingga tidak terlalu

mendapatkan penggarapan yang final.

Ma’kollong merupakan pembuatan bagian pundak tau-tau atau penyatuan

antara bagian pundak tau-tau dengan kepala dan leher tau-tau menjadi satu

kesatuan. Pada bagian Ma’kollong ini bagian pundak belakang dari tau-tau itu

dibuatkan lobang sebagai tempat untuk menanamkan kepala atau Tau-tau. Pada

tahap ini juga dapat dibuatkan bagian-bagian badan yang lain seperti tangan, jari

tangan dan bagian lengan dari tau-tau tersebut. Pada pembuatan ini bagian lengan,

Page 104: Skrip Si

tangan dan jari tangan dibuat menyambung. Seperti pada acara sebelumnya

bahwa pada acara ma’kollong ini juga dikurbankan seekor babi sebagai korban.

Massa’bu merupakan kegiatan yang paling akhir dilaksanakan pada

kegiatan membuat tau-tau. Pada bagian ini tidak lagi dikorbankan baik ayam

jantan maupun babi. Menurut Ne’ Mariak (75 tahun):

“massa’bu merupakan acara mendirikan atau membangunkan tau-tau tersebut dari posisi tidur ke posisi berdiri, setelah pemahatan selesai maka tidak berarti bahwa tau-tau yang dibuat telah selesai, karena tau-tau ini masih harus diberi asesoris sesuai dengan jenis kelaminnya” (wawancara tanggal 20 februari)”.

Pada saat tau-tau tersebut sudah didirikan dimana semua bagian badannya

telah disatukan secara utuh , maka pada saat itu pula tau-tau tersebut diberi

pakaian dan aksesoris sebagai pelengkap untuk tau-tau wanita biasanya dilengkapi

dengan aksesoris berupa sarong (tebuat dari bambu seperti topi petani tetapi

dengan ukuran yang berbeda agak melebar seperti payung), ponto lokki’ (gelang

erbuat dari emas), serta pemberian rambut yang biasanya diambil dari serat ponda

daa (daunnya sejenis nanas tapi berbuah), lalu rambut disanggul tegak (dilokkon

te’dek). Untuk tau-tau laki-laki biasanya diberi aksesoris berupa Pa’ tali (ikat

kepala dari kain tenun), sarung yang disalempangkan kebadannya yang umumnya

berwarna putih (kembali meningatkan bahwa warna putih adalah warna darah

deata menurut kepercayaan aluk todolo) bahwa tidak semua orang dapat memakai

sarung putih hanya dari kalangan strata sosial tinggi (bangsawan), celana orang

dulu (seppa tallu buku)semacam celana puntung, memakai jas, kadang juga

menngunakan manik (kalung) tanda kebangsawanan, serta memakai tongkat.

Namun tongkat hanya dipengang oleh Tau-tau apabila yang dibuatkan tau-tau

Page 105: Skrip Si

tersebut telah berumur tua. Apabila tau-tau tersebut diberi pakaian maka biasanya

dikorbankan lagi satu ekor babi yang diberi nama bai ballong (seekor babi yang

sempurna tanpa cacat).

Kesemua tata upacara pembuatan tau-tau yang telah disebut diatas

dilaksanakan apabila orang meninggal tersebut dari strata sosial yang tinggi yang

masih menganut agama nenek moyang (aluk todolo). Akan tetapi apabila yang

meninggal tersebut memeluk agama Kristen tidak lagi melakukan upacara

tersebut.

F. Makna Religi Dari Upacara Tau-Tau Masa Kini

a. Tau-Tau Kristen Menurut Ajaran Kristen Protestan (Gereja Toraja)

Munculnya berbagai bentuk dan rupa Tau-tau masa kini bentuk

sinkretisme yang merupakan penyesuaian , perpaduan antara nilai-nilai tradisi

lama (aluk todolo) dengan tradisi baru, tidak terlepas dari adanya upaya

pengukuhan dan penguatan status sosial yang ingin ditunjukkan oleh kaum

bangsawan tinggi Toraja masa kini. Hal ini terutama dilakukan oleh kaum

bangsawan tinggi yang tidak ingin “kehilangan” identitas stratifikasi sosial

sebagai simbol paling terhormat/bermartabat dalam masyarakat Toraja hingga saat

ini. Karena itu simbol-simbol yang mengarah pada kebangsawanan seperti

kepemilkikan harta benda, misalnya banua sura’ tongkonan berukir, alang sura’

lumbung berukir dan Tau-tau tetap mereka pertahankan sebagai milik

kelompoknya yang secara kasat mata membedakannya dengan kelompok

masyarakat biasa lainnya.

Page 106: Skrip Si

Demikian pula dengan pelaksanaan upcara pemakaman masih

dipertahankan sebagai bagian dari identitas kebangsawanan, meskipun hal ini

bertentangan dengan keyakinan yang mayoritas kaum bangsawan anut saat

sekarang ini yaitu agama Kristen, sebab ada tertulis dalam kitab suci agama

Kristen KELUARAN 20: kesepuluh hukum taurat, hukum ke 2 “Jangan

membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di atas langit,

atau ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

Jangan sujud menyembah kepadanya, sebab aku, TUHAN, ALLAHmu,

adalah ALLAH yang cemburu, yang membalaskan kesalahan Bapa kepada

anak-anaknya, kepada keturunan ketiga dan keempat dari orang-orang yang

membenci AKU”.

Bahwa masyarakat Toraja mengetahui bahwa pembuatan tau-tau itu

bertentangan dengan keyakinan yang mereka anut karena tau-tau berasal dari

kepercayaan Aluk Todolo, tetapi disini peneliti mencoba melihat bahwa budaya

mempengaruhi kepercayaan yang dianut masyarakat toraja sekarang ini meskipun

C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian yang utuh tak terpisahkan dari

kebudayaan, nilai agamalah yang mempengaruhi semua nilai-nilai yang ada dalam

kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem nilai dari kebudayaan terwujud

sebagai sistem-sistem simbol suci dimana maknanya bersumber pada ajaran-

ajaran agama yang menjadi kerangkah acuannya. Dalam keadaan demikian maka,

secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi

dan kegiatan berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh

berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan

Page 107: Skrip Si

terwujud dalam kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang

diselimuti oleh sistem-sistem simbol. Tetapi itu pada keyakinan yang lama.

Meskipun demikian peneliti juga melihat bahwa sudah banyak perubahan

yang terjadi pada pembuatan Tau-tau tidak lagi melakukan penyembahan, dan

tidak bernilai pada Aluk todolo yang melakukan pemujaan dan sesajen, sekarang

ini masyrakat Kristen memaknai tau-tau sebagai patung atau gambaran dari orang

yang dibuatkan patung dan akan selalu dikenang.

b. Tau-tau masa kini

Beragamnya bentuk tau-tau yang ada saat ini di Tana Toraja tidak terlepas

dari bebasnya kaum bangsawan memaknai Tau-tau sebagai patung yang

menggambarkan seseorang,. Karena itu pihak keluarga memesan Tau-tau sebagai

potret diri anggota keluarganya dari seniman patung, baik, seniman lokal maupun

seniman luar Tana Toraja. Dalam memaknai tau-tau sebagai patung yang tidak

bermakna Aluk todolo, terdapat berbagai tingkatan tentang tau-tau dan patung

potret dianut oleh kaum bangsawan Toraja. Menurut ne’ Mariak (75 tahun):

“Pedapat yang masih sederhana bahwa bila pembuatan tau-tau tersebut tidak lagi dibuat oleh Pande tau-tau dengan berbagai ritualnya, maka hal ini sudah dapat diterima dan tidak bertentangan dengan iman Kristen (wawancara tanggal 11 maret 2011)”.

Pendapat yang lebih tingkat pemahamannya menurut S.S Datuan (43 tahun):

“Bahwa mengenai simbol Tau-tau yang dipakai dalam suatu upacara Rambu solo’ bagi lapisan masyarakat yang menyadang gelar sebagai bangsawan tinggi (Tana’ bulaan). Mengenai rupa dan bentuk Tau-tau adalah selain tidak dibuat oleh pande dengan berbagai upacara pemujaan, juga patung yang dibuat harus menyerupai wajah dan proposisi dari orang yang dibuatkan Tau-tau dan tetap bahannya dari Kayu nangka”( wawancara 2 maret 2011).

Page 108: Skrip Si

Dalam banyak peristiwa (kasus) terjadi penolakan terhadap Tau-tau yang

dibuat pengrajin dipesan oleh seorang keluarga buat orang tuanya, dengan alasan

ketidak miripan patung dengan wajah dari orang yang dibuatkan patung serta

bahannya bukan dari kayu nangka dalam artian masyarakat tidak memaknai

bahwa nangka yaitu deata dan getahnya adalah darah deata namun masyarakat

sekarang ini memaknai kayu nangka sangat kuat dan tahan lama. Jika Tau-tau

dibuat dari kayu yang tidak sekuat nangka maka akan mungkin tidak kuat dan

tahan lama mungkin cuma tahan beberapa tahun dan akan lapuk sehingga

keluarga yang akan bersiarah ke kuburan tidak menemukant Tau-tau dari keluarga

mereka yang akan mereka kenang seumur hidup.

Salah satu contohnya Tau-tau yang sangat realis (menyerupai orang yang

dipatungkan), bahkan sangat proposional dengan perbandingan ukuran 1:1 dengan

orang yang dipatungkan (sebagai syarat utama diterimahya Tau-tau ini oleh

keluarganya) adalah patung kakak ne’ Mariak salah satu informan peneliti.

Hadirnya bentuk tau-tau dengan corak yang realis yang meskipun sudah

tidak dibuat berdasarkan kepercayaan tahap-tahap Aluk Todolo ternyata tidak

membuat masyarakat toraja khususnya warga sanggala’ utara menganggap bahwa

patung ini bukan benda Aluk Todolo. Hal ini karena disebabkan karena Tau-tau

masih dikaitan dengan bahan bakunya terbuat dari kayu nangka meskipun mereka

sudah memakna berbeda denga Aluk Todolo dan dipajang ditempat pemakaman

meskipun gaya tangan mereka tidak seperti pada Tau-tau Aluk todolo, tetapi yang

sangat menarik bahwa mimik muka dari Patung harus masih sesuai dengan

karakter yang dibuatkan patung dan masyrakat Sanggala’ utara meyakini bahwa

Page 109: Skrip Si

benda aluk todolo ini sangat berarti bagi mereka bahwa sipapun (Tana’ bulaan)

yang membuatkan patung bagi lehurnya akan mendapt berkat, jika mereka yang

tidak membuatkan patung bagi leluhurnya akan mendapa kutuk dari leluhurnya

serta juga mereka masih mengganggap bahwa Tau-tau itu mempunyai sejarah dari

nenek moayang mereka dan akan tetap dijaga kelestariannya.

Meskipun demikian Tau-tau tidak dinilai lagi secara Gaib dan tidak

diperlakukan seperti pada Aluk Todolo (melakukan pemujaan) ini adalah salah

satu aspresiasi dalam memaknai tau-tau masyarakat tana toraja sekarang ini,

meskipun tidak lagi melakukan pemujaan tetapi masih banyak nilai-nilai yang

diadopsi dari Aluk Todolo dan itu tidak akan perna hilang dari masyarakat Toraja

kerena sudah mendara daging dalam kehidupan mereka seperti Makna simbol

Tau-tau dalam upacara rambu solo’sangatlah penting untuk tetap terjaga secara

turun temurun dan tidak akan perna pudar dan itu adalah benda pusaka (warisan)

dari leluhur mereka, meskipun Penganut Aluk Todolo tidak ada lagi.

Tidak dapat disangkal bahwa, bahwa upaya kaum bangsawan Toraja untuk

memberikan pemahaman kepada orang Toraja mengenai perbedaan nama tau-tau

(benda Aluk To dolo-Sakral) dan bahan dari patung yang dipesan dari luar toraja,

menurut informan R.M seperti yang terjadi di salah satu wilayah Tana toraja ada

seseorang bangsawan yang membuatkan Tau-tau bagi Ayahnya yang bernama

T.S, yang berbahan dari semen sedikit lebih “ekstrim” dan mengurangi pemakaian

simbol-simbol Tau-tau bila dibangdingkan dengan Tau-tau milik kakak ne’

Mariak ( Puang kapala ne’Dampang) pada patung ayah T.S tidak menggunakan

Page 110: Skrip Si

pakaian, (baju, celana, ikat kepala sebagaimana Tau-tau puang kapala ne’

Dampang dan semua Tau-tau pada umumnya).

Tetapi wujud dari pakaian yang dikenakan patung ayah T.S adalah gelar

yang didapat sejak bekerja sebagai anggota Polisi. Patung itupun disimpan

ditempat pemakaman buatan yang dibangun menyerupai rumah yang dibuat

menyerupai rumah yang disebut patane. Namun mengingatkan kita pada tradisi

tau-tau aluk tododlo adalah pemakaian benda-benda asli kegemaran dari orang

yang meninggal ( patung ayah T.S) seperti pakaian polisi, kacamata, pin dan tanda

pangkat turut dikenakan pada patung semen tersebut. Menurut R.M (67 tahun):

“ayah dari T.S bukan bangsawan tinggi ( tana’ bulaan) tetapi dari bangsawan menengah (tana’ bassi) jadi saya setuju saja jika mereka memaknai Tau-tau ayah mereka dengan demikian, tetapi masyarakat punya pendapat lain dari pembuatan Tau-tau dari semen tersebut bahwa keluarga T.S membuat tradisi baru yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku, setelah upacara pemakaman selesai , Tau-tau dari semen itu menjadi buah bibir bagi masyarkat setempat bahwa keluarga T.S melanggar adat, serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarkat Toraja, dan mereka percaya Keluarga T.S lambat laun akan menerima teguran dari nenek moyang (kutuk)” wawancara ( 8 maret 2011).

Didalam lingkungan masyarakat toraja telah berlaku norma atau aturan

yang telah dibuat masyarakat. Dalam hal ini, hasil dari putusan musyawarah yang

merupakan suatu keputusan yang tertinggi dan dinggap sakral. Apa yang telah

disepakati dalam hasi musyawarah tidak dapat lagi dirubah dan diakhiri dengan

pemotongan kurban. Hasil keputusan bersama itu tersebut dalam istilah

masyarakat setempat “kada misa” (kata sepakat). Kada misa ini menjadi prinsip

yang teguh dan dipengang setiap melaksanakan aktifitas dalam masyarakat. Jika

terjadi pelanggaran akan berakibat besar. Disebutkan dalam pepatah atau

semboyan orang toraja. “misa’ kada di potuo pantan kada dipomate”. Artinya:

Page 111: Skrip Si

“satu kata akan membawa kehidupan tetapi masing-masing kata dapat membawa

kematian atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ini menandakan bahwa

interaksi di antara masyarakat toraja menuju satu kesepakatan yang mutlak sangat

dijunjung tinggi.

Didalam kesatuan adat seluruh wilayah tana toraja diikat oleh satu atauran

yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yang

secara harafiahnya berarti “negri yang bulat seperti matahari”.Nama ini

mempunyai latar belakang yang bermakana, persekutuan negri sebagi satu

kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak

perna diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri

dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada

sekitar 32 pemangku adat ditoraja. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok

adat tersebut, maka diberilah nama peserikatan bundar atau bulat yang terikat

dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikata seluruh daerah dan

kelompok adat.

Ketika Kristen/Protestan makin banyak dianut sebahagian besar penduduk

sejak tahun 1930-an melaui pendeta-pendeta dari Belanda, muncul dua garis besar

sikap: menolak seluruh unsurelama atau melestarikan apa yang tak bertentangan

dengan norma atau aturan baru. Pada kenyataanya banyak pemeluk Kristen Toraja

beranggapan bahwa tidak semua Aluk bertentangan dengan pemahaman terhadap

ajaran agama baru yang mereka anut, tetapi ada yang bersikap radikal dan

menolak seluruh Aluk meski dalam relasi sosial mereka tidak dapat terhindarkan

dari Aluk, misalnya Upacara Rambu Solo’. Namun ada juga yang bersikap liberal

Page 112: Skrip Si

Yang masi menjalankan Aluk tetapi mengurangi Aluk yang bertentangan dengan

agama. Demikianlah maka saat ini, hampir semua Tau-tau dibuat tidak

berdasarkan aluk dalam artian tidak lagi ada pemujaan dan ritual-ritual, dan tidak

lagi diannggap penjelmaan roh siwafat jadi tidak lagi diberi sesajen.

Masyarakat sangalla’masih mempertahankan adat istidat yang secara turun

temurun kerena mereka menganggap itu warisan dari nenek moyang yang harus

dijaga kelestariannya serta merupakan penghormatan bagi para leluhurnya juga

mereka masih memahami bahwa tau-tau tersebut perwujudan dari si mati yang

mempunyai existensi tersendiri dalam masyarakat.

Page 113: Skrip Si

BAB V

PENUTUP

Sebagai bab penutup dan saran skripsi ini, maka penulis mencoba

membuat beberapa kesimpulan berdasarkan deskripsi yang disajikan dimuka.

A. Kesimpulan

Bertolak dari pembahasan terhadap masalah penelitian, maka ditetapkan

kesimpulan sebagai berikut:

a. Makna simbolik tau-tau yakni sebagai simbol penyembahan atau pemujaan

pada Aluk Todolo, bahwa simbol tau-tau ini tidak dapat dipisahkan dari

kepercayaan Aluk Todolo meskipun sudah ada kepercayaan yang mutlak. Serta

antara hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan yang erat

serta seluruh yang melindungi rakyat dan membela rakyat, mereka ,dianggap

memiliki suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka

dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat

atau sebagai simbol patung yang melambangkan sebgai golongan bangsawan.

b. Makna Simbolik tau-tau dalam kehidupan sosial budaya pada umumnya

pembuatan Tau-tau berdasarkan status sosial dan bahanya dapat dibagi dua

yaitu tau-tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi sedangkan

tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menegah. Namun

makna sekarang ini berbeda dengan terdahulu semua yang menganggap dirinya

bangsawan, bangsawan tinggi maupun menengah semuanya memakai Tau-tau

nangka.

Page 114: Skrip Si

c. Simbol Tau-tau mengadung sistem norma yakni di mana setiap orang

menggunakan simbol dalam upacara rambu solo’ atau membuatkan patung

bagi leluhurnya haruslah dari golongan bangsawan serta berjasa besar bagi

masarakat, dan pemimpin masyarakat jika terjadi pelanggaran maka akan

dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan norma (aturan) adat-istiadat

yang berlaku dalam masyarakat.

d. Simbol tau-tau ditentukan oleh stratifikasi sosial atau kelas-kelas sosial dalam

masyarakat toraja, kekuasaan dan kekayaan identik dengan kelas sosial yang

ada di masyarakat toraja yang mempengaruhi pengadaan simbol tau-tau dalam

upacara rambu solo’.

B. Saran

Bertolak dari pembahasan penelitian di atas, maka penulis memberikan saran

sebagai berikut:

a. Agar pemerintah daerah Tana Toraja meningkatkan usaha-usaha untuk

melestarikan budaya daerah serta menjaga peninggalan-peninggalan budaya

toraja seperti Tau-tau. Dan perlu dibuat suatu konsep pelestarian budaya

toraja secara total dan terpadu dengan implementasi yang tidak hanya

berupa bentuk visual saja, namun ditekankan pula pada konsepsi tatanan

kehidupan kelompok masyarakat yang dapat mendukung keberadaan

budaya asli tersebut. Hal ini dimungkinkan dapat terlaksana dengan

melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait, terutama bidang ilmu-ilmu

sosial.

Page 115: Skrip Si

b. Pengetahuan dan pengertian mengenal budaya tersebut haruslah disertai

dengan informasi yang luas dan akurat tentang kepercayaaan nenek

moyang yang pada dasarnya memujah roh,dengan tujuan untuk

menghindari terjadinya pertentangan dengan agama yang dianut oleh

masyarakat pada umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat bermanfaat

ganda bagi masyarakat setempat, yaitu tidak kehilangan eksistensi dan

kebanggan terhadap budayanya, selain itu tetap dapat memajukan parawista

daerah dan pelestarian budaya local, sehingga nantinya diharapkanterjadi

asimilasi yang positif pada budaya asli toraja secara bertahap namun tetap

dapat dikenal budaya tersebut secara utuh meskipun kelak tidak lagi

didukung oleh Aluk Todolo.

Page 116: Skrip Si
Page 117: Skrip Si

DAFTAR PUSTAKA

Aliansi Masyarakat Ada (AMA) Toraja. 2006. Sejarah Tana Toraja Tondok

Lepongan Bulan Tana Matari Allo (belum dipublikasikan). Laporan AMA

Toraja. Bogor

Bonar H. Situmorang. 1980. Pemujaan Arwah Nenek Moyang. Majallah Berita

Oikumene.

BPS, 2010, Kelurahan Leatung Dalam Angka 2010, BPS Kel, Leatung.

Basrowi, (2005), Pengantar Sosiologi, Ghallia Indonesia Anggota IKAPI, Bogor.

C. Salambe’. 1972. Orang Toraja Dengan Ritusnya: in memorial Laso’

Rinding Puang Sangalla’. Ujung Pandang.

Dwi Narwoko,J, (2006) Sosiologi Teks Pengantar dan Teerapan, Kencana Media

Group, Jakarta.

Geertz, Cilfforg. 1992. Kebudayaan Dan Agama. Kanisius: Yogyakarta

_____________ 1992. Tafsir Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.

Koentjaningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1. Universitas Indonesia. Jakarta.

Koejaranigrat, (1999). Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Marrang. Paranoan. 1979. Upacara Kematian Orang Toraja. Lembaga Penelitian

UNHAS. Ujung Pandang.

Maleong, Lexi, L. 1998 Metode Penelitian Kualitatif IV. Remaja Karya.

Bandung.

Mohammad, Natsir, Sitonda. 2007. Toraja Warisan Dunia. Pustaka. Refleksi.

Makassar.

Narwoko , Baggo, (2006), Struktur Sosial Masyarakat, Prenata Media Group,

Page 118: Skrip Si

Jakarta.

Raho, Bernart, SVD (2007). Teori Sosiologi Moderen. Prestasi Pustakaraya.

Jakarta Indonesia.

Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Said, Abdul Azis.2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Dan

Perubahan Aplikasinya Pada Desain Moderen. Ombak.

Soekanto,Soejono.1982.Sosiologi Suatu pengantar.PT Raja Grafindo

Persada,: Jakarta.

Sunarto, Kamanto.2004. pengantar sosiologi, edisi revisi, Jakarta: LP.Fevi

Subagya, R. 1997. Agama Asli Indonesia. Sinar Harapan dan Yayasan Cipta

Loka Cakara: Jakarta.

Schreiner Lothar. 1996. Adat dan Injil (perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen

Di Tana Batak. BPK-GM. Jakarta .

Suparlan,Parsudi, (2010), Manusia Kebudayaan Dan Lingkungan Prespektif

Antropologi Budaya, Erlangga, Jakarta.

Tangdilintin, L.T. 1975. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Yayasan

Lepongan Bulan: Tana Toraja.

………………1981. Toraja dan Kebudayaanya, Yayasan Lepongan Bulan. Tana

Toraja

Wiranata, I Gede.A.B.SH.M.H. 2002. Antropologi Budaya. PT. Citra Aditya

Page 119: Skrip Si

Bakti. Bandung.

.Rob. 2008. Tau-Tau, Ritual Toraja dalam Suvenir. WWW.toraja-treasures.com

Page 120: Skrip Si

Lampiran 1. Gambar Tau-tau Tau-tau Kuno, teknologi zaman dulu, “asal” bermata, berhidung dan punya mulut.

Lampiran 2. Gambar Tau-tau Di pekuburan di Gua Batu Suaya Sangalla’

Page 121: Skrip Si
Page 122: Skrip Si
Page 123: Skrip Si

Tau-tau puang sangalla’

Page 124: Skrip Si
Page 125: Skrip Si

Lampiran 3. Gambar Tau-tau Di pekuburan Marante

Page 126: Skrip Si