skrip si
DESCRIPTION
skripsiiiiTRANSCRIPT
MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU
DALAM SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL
PADA PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO’
DI KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA’ UTARA KAB. TANA TORAJA
MAIKE YULITA DATUAN
E41107062
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
SKRIPSI
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL : MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM
SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA
PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO’ DI
KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA’ UTARA
KAB. TANA TORAJA
NAMA : MAIKE YULITA DATUAN
NOMOR POKOK : E411 07 062
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II
untuk diajukan pada tim evaluasi skripsi Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Makassar, 18 Juli 2011
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Hasbi M.Si Drs.SuparmanAbdulla,M.Si Nip: 1963 0827 1991 0310 Nip: 1969 1231 200801 1
Mengetahui/MenyetujuiPimpinan Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS
Drs. Hasbi, M.SiNip:1963 0827 1991 0310
LEMBAR PENERIMAAN TIM EVALUASI
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Evaluasi Skripsi
pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
Oleh :
NAMA : MAIKE YULITA DATUAN
NIM : E 411 07 062
JUDUL : MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM SISTEM
STRATIFIKASI SOSIAL PADA PELAKSANAAN
UPACARA RAMBU SOLO’ DI KEL. LEATUNG KEC.
SANGALLA’ UTARA KAB. TANA TORAJA
Pada :
Hari / Tanggal : Selasa, 12 Juli 2011
Tempat : Ruang Ujian Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS
TIM EVALUASI SKRIPSI
Ketua : Prof. Dr. Maria E, Pandu, MA ( .................................)
Sekretaris : Sultan, S.Sos, M.Si ( .................................)
Anggota : Drs. Hasbi, M.Si ( ................................ )
Drs. Suparman Abdullah, M.Si ( ................................ )
Buchari Mengge, S.Sos, MA ( ................................ )
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat, pertolongan dan pimpinannya, sehingga penulis dapat
merampungkan skripsi ini yang berjudul “Makna Simbolik Tau-tau Dalam Sistem
Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Kelurahan Leatung
Kecamata Sanggala’ Utara Kabupaten Tana Toraja”.
Setelah beberapa tahun bergelut dalam masa studi,di sela-sela berbagai
tirai penghalang yang setia menyertai. Penulis dihadapkan pada keputusan penting
pada apa yang harus ditulis dan dari mana memulainya. Tetapi dengan kerja keras
dari penulis akhirnya skripsi ini dapat selesai juga.
Penulis sangat menyadari bahwa berkat dukungan, motivasi, bimbingan
dan arahan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat dirampungkan. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Petrus Bokko’
Ibunda Rasma Runtung Datuan, BA, atas doa restu, kasih sayang dan
pengorbananya selama ini. Penulis sadar semua itu tidak akan pernah bisa
terbalaskan.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk
meraih gelar sarjana pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin Makassar. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari
begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan
dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati
menyampaikan terimah kasih dan penghargaan kepada:
1. Bapak Prof. Dr, Idrus A. Paturusi, Sp.B.Sp.Bo selaku Rektor Universitas
Hasanuddin
2. Bapak Prof Dr.Hj. Hamka Naping,MA. selaku Dekan Fisip Universitas
Hasannudin.
3. Bapak Drs. Hasbi M,Si selaku ketua jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar dan sekaligus
sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs.Suparman Abdulla,MA selaku Penasehat Akademik dan Dosen
Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Para dosen dan staf Akademik jurusan sosiologi fakultas ilmu sosial dan
ilmu politik Universitas Hasanuddin. (terima kasih atas ilmunya)
6. Yohanis Panggalo selaku Lurah Leatung yang telah memberikan
keterangan serta memberikan ijin kepada sipenulis untuk mengadakan
penelitian Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan di Kelurahan
Leatung.
7. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan banyak waktunya
kepada penulis, untuk memberikan informasi dan data-data sampai pada
penyelesaiaan skripsi ini
8. Rasa hormat penulis haturkan terima kasih terkhusus kepada kedua orang
tuaku yang paling aku cintai dan sayangi karena telah melahirkan dan
membesarkan ananda, dengan tulus dan kasih sayang, mendidik dan
membiayai dan memotivasi ananda sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan sampai di perguruan tinggi.
9. Buat kakakku yang sangat aku sayangi Ronal Datuan, Roni Runtung
Datuan, Very Datuan dan Nely Datuan makasih atas segala nasehatnya,
perhatiannya, motivasinya, kerjasamanya serta dukungannya selama
adinda di bangku kuliah.
10. Semua keluargaku tak terkecuali makasih atas segala batuaannya,
suportnya, dan dukungan doanya selama penulis dalam bangku kuliah.
11. Semua teman-teman ku di jurusan sosiologi angkatan 07 yang telah
banyak membantuku.
12. Teman seperjuanganku Norma, Lina, Icha, dan Marni yang paling setia
menemaniku, membantuku dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih
atas kerja samanya.
13. Teman-teman ku warga PMKO FISIP UNHAS, terima kasih dukungan
dan doanya, selama penyusunan Skripsi ini.
14. Terima kasih juga kepada kakak Febri yang tidak perna bosan
mendengarkan keluh kesahku selama dalam penyelesaian skipsi ini, tanks
atas waktunya serta pengertiannya, saya tidak akan perna melupakan
nasehat-nasehat kakak .
15. Untuk semua yang telah berarti dalam hidupku yang tak sempat disebut
oleh penulis, makasih atas segala dukungan dan kerjasamanya.
Makassar, 2011
Maike Yulita Datuan
ABSTRAK
Maike Yulita Datuan, E411 07 062, Judul Skripsi “Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja ” Di Bimbing oleh Hasbi dan Suparman Abdulla.
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial sebagai salah satu komponen utama dalam Upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec. Sangalla’ Utara Kab. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna tau-tau secara alamiah di Tana Toraja, mengetahui makna simbolik tau-tau sebagai salah satu komponen utama dalam upacara rambu solo’ dan memahami sistim norma yang berkaitan dengan tau-tau di Tana Toraja serta mengapa makna simbolik tau-tau tersebut masih dipertahankan. Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti atau satu tipe penelitian yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada.
Dasar penelitian ini adalah studi kasus yaitu satu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi. Penentuan informan ditentukan secara sengaja, secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti. Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli berdasarkan atas kriteria, adapun kriteria yang dimaksud adalah penduduk yang berada di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabpupaten Tana Toraja Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan pedoman wawancara. Hasil wawancara dan observasi tersebut kemudian digambarkan dalam bab pembahasan seta kajian literature yang berkenaan dengan penelitian ini.
Maka dengan demikiaan diperoleh kesimpulan bahwa simbol tau-tau yang dipergunakan dalam upacara rambu solo’ menurut peraturan adat orang toraja yang dibuatkan Tau-tau adalah orang yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi yang telah berjasa besar bagi masyarakat, kaya kuat, sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat, merupakan pemuka/pemimpin masyarakat dan bagi golongan yang hidupnya berarti bagi masyarakat. Status sosial sangat mempengaruhi keberadaan tau-tau dalam upacara rambu solo’ di Tana Toraja.
DAFTAR ISI
HALAMAM SAMPUL…………………………………………… i
HALAMAN JUDUL………………………………………………. ii
HALAMAN PEGESAHAN ……………………………………… iii
KATA PENGANTAR………………………………………........... iv
ABSTRAK………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI………………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………… 1B. Rumusan Masalah…………………………………………. 6C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………. 7D. Kerangkah konseptual ……………………………………. 8E. Metode penelitian …………………………………………. 17
1. Dasar dan Tipe Penelitian …………………………. 172. Teknik Lokasi Penelitian …………………………. 173. Teknik Pemilihan Informan ………………………. 174. Teknik Pengumpulan Data ……………………….. 185. Teknik Analisis Data ……………………………… 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Ma’tau-tau ……………………………………. 21B. Upacara Keagamaan ……………………………………… 22C. Pengertian Tentang Makna dan Simbol ………………….. 26D. Teori Interaksionisme Simbolik ………………………….. 28E. Pengertian Kepercayaan dan Kebudayaan ………………… 37F. Pengertian Stratifikasi Sosial………………………………. 39G. Kepercayaan Aluk Todolo ……………………………….. 44H. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan …………………… 49I. Sistem Sosial ……………………………………………… 50
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Gambaran Umum Kelurahan Leatung……………………. 59B. Mata pencaharian …………………………………………. 62C. Sistem Pendidikan ………………………………………… 63D. Sarana dan Prasarana ……………………………………... 64
E. Sistem Kepercayaan ………………………………………… 66F. Sistem Kekerabatan………………………………………… 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden …………………………………….. 70B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen
Dalam Upacara Rambu Solo’ ………………………………… 72C. Makna Stratifikasi dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya…82D. Makna Simbolik Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya……… 85E. Norma/Aturan yang Berkaitan dengan Tau-tau…………………… 88F. Makna Religi dari Upacara Tau-tau Masa Kini…………………… 95
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………... 103B. Saran ………………………………………………………. 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan tidak akan
mampu untuk hidup sendiri. Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa hidup
berkawan dimanapun mereka berada. Oleh karena itu manusia yang hidup
berkelompok diwujudkan dalam suatu masyarakat senantiasa berusaha mengejar
suatu hidup yang teratur dan aman. Namun harapan itu tidak akan perna terwujud
jika kelompok masyarakat itu tidak perna saling berinteraksi antara satu dengan
yang lainnya. Dan agar individu-individu harus dapat memainkan perananya
masing-masing dalam kelompok masyarakat itu sebagai suatu sistem.
Memahami sistem kepercayaan suatu kelompok masyarakat merupakan
hal penting baik itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun
pengembangan secara menyeluruh, khususnya pada bidang kebudayaan.
Urgensinya dapat dilihat pada peranan sistem kepercayaan dalam bentuk sikap
individu dalam berperilaku. Dimana orientasi kepercayaan yang bertujuan sebagai
pedoman tingkah laku bagi seluruh masyarakat yang memahami serta menyakini
kepercayaan tersebut dalam suatu wilayah.
Pada umumnya kepercayaan menjadi suatu pegangan dalam menyakini
sesuatu yang gaib atau yang sifatnya supernatural yang berada diluar batas
pemikiran manusia. Diwilayah toraja terdapat satu sistem kepercayaan yang
dikenal sebagai aluk todolo, pada suku toraja, menempatkan kepercayaan terhadap
dunia gaib yang hakiki. Dalam pandangan hidup Aluk Todolo. Hidup di dunia ini
hanya sementara, terdapat suatu dunia dimana kehidupan tersebut menjadi kekal,
yakni di alam puya. Tandilintin(1981:64).
Abu hamid dalam honesto (1996:2) mengemukakan bahwa penganut Aluk
Todolo memandang hidup ini sebagai suatu proses untuk mencapai yang lebih
tinggi dan suci. Kehidupan di dunia harus tetap melalui proses agar nantinya
mendapat kehidupan yang baik di alam puya. Sesuai definisi Alam Puya adalah
suatu perhimpunan para arwah-arwah sebelum menjelma menjadi dewa atau to
membali puang setelah diadakanya rangkaian upacara tertentu yakni dalam
upacara Aluk Rambu Solo’.
Upacara kematian dan pemakaman yang disebut Aluk Rambu Solo’ bagi
masyarakat toraja yang dilandasi oleh aturan dan kepercayaan serta bahkan boleh
dikatakan bahwa hal tersebut dikatergorikan sebagai keyakinan yang mereka anut
secara turun - temurun. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Natsir (2007:52)
bahwa keyakinan “Aluk Todolo” adalah kepercayaan dan pemujaan kepada arwah
leluhur yang lahir dari suatu kepercayaan yang bersumber dari Aluk Pitussa’bu
Pitu Ratu’Pitungpulo Pitu. Sebagian besar masyarakat Toraja menggangap bahwa
aturan tersebut sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
dalam yaitu (1) hubungannya dengan pemujaan kepada arwah leluhur. Karena
pada prinsipnya selain sebagai aturan yang telah menjadi (2)aspek-aspek tentang
kehidupan manusia juga sebagai aturan pemujaan kepada Puang Matua (sang
pencipta) (3) serta aturan tentang bagaimana menyembah atau pemujaan kepada
leluhur sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada keturunannya dalam ajaran
aluk todolo.
Dalam kehidupan keseharian orang Toraja dalam mengaktualisasikan
kepercayaan AlukTodolo. Dengan melakukan upacara keselamatan dan kehidupan
manusia yang disebut Rambu Tuka’. Upacara ini juga dapat bermakna sebagai
upacara syukuran. Dengan demikian, masyarakat Toraja dalam menjalankan sitem
kepercayaan aluk todolo dapat dibagi 2 macam yaitu upacara Rambu Tuka’ untuk
keselamatan dan syukuran dan untuk kematian dan pemakaman disebut upacara
Rambu Solo’.
Masyarakat Tana Toraja sangatlah terkenal dengan upacara kematiannya
jika dibandingkan dengan upacara pernikahan, karena bagi masyarakat Tana
Toraja mereka hidup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan berikutnya. Pada
prosesi pemakaman ada beberapa ritual yang harus dilakukan sampai keritual
puncaknya. Dalam upacara kematian masyarakat Toraja mempunyai beberapa
tingkat – tingkatan upacara yang diatur atau ditentukan oleh adanya kasta-kasta
yang dinamakan Tana’ dalam masyarakat Toraja, serta selain dari hal tersebut
juga karena adanya dasar perbedaan kasta dan kemampuan seseorang dalam
pelaksanaan upacara pemakaman.
Kemampuan seseorang serta kasta yang ada hanya dibatasi oleh
persyaratan yang sifatnya normal saja, karena yang tidak berkemampuan tidak
diatur lagi oleh kedudukan tana’, sementara yang diatur adalah hanya orang yang
memiliki kemampuan dalam meyediakan kurban-kurban upacara pemakaman
yang dalam hal ini utamanya kerbau. Jadi perbedaan tingkatan upacara yang
disebutkan diatas hanya ditentukan oleh kemampuan menurut adat.
Dalam upacara kematian tersebut ada berbagai kegiatan atau tindakan
religius yang dilaksanakan, yang disertai dengan sifat sakral. Tindakan religius
seluruhnya bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipenuhi dengan simbol-
simbol. Maka sistem upacara kematian orang toraja pun sangat spesifik sifatnya
dan sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat
dimana simbol –simbol yang mendukungnya mempunyai fungsi dan peranan
tersendiri baik bagi individu sendiri (pemakai gelar), maupun masyarakat secara
umum yang mendukung kebudayaan tersebut.
Simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari tumbuhan-tumbuhan,
binatang,ataupun benda-benda pusaka yang dimilikinya, dan ada juga yang
dilambangkan dalam gambar, wujud atau rupa. Manusia misalnya dapat
disimbolkan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Orang yang
terpandang dalam masyarakat penguasa atau bangsawan disimbolkan dengan
barana’ (pohon beringin) : Tabe’ lako barana’na tondok, lamba’ layukna padang.
Syair ini biasanya diungkapkan sebagai kalimat “permohonan izin” kepada yang
dituakan dalam suatu upacara Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’. Selain itu juga
disimbolkan dengan binatang kerbau saleko : kenna tedong tu’ saleko (seandainya
kerbau, ia adalah saleko). Penyimbolan semacam ini dilatarbelakangi oleh mitos
penciptaan, bahwah manusia dan segala isi bumi adalah sangserkan (sama-sama
berasal dari golongan yang sama, secarik atau bersaudara).
Tau-tau (patung) yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah salah satu dari
lambang atau simbol yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan orang Toraja. Tau-
tau ini adalah karya seni yang terbuat dari kayu pahatan, yang wujud atau
modelnya serupa (mirip) dengan leluhur yang bersangkutan. Pada umumnya tau-
tau ini dapat kita jumpai pada saat upacara itu dilaksanakan dan dipekuburan-
pekuburan. Tau-tau sebagai simbol lahir dari suatu pengetahuan, kesadaran dan
pemahaman orang Toraja, pada hakekatnya ia mengandung nilai-nilai atau
makna-makna dan fungsi dalam penempatannya. Oleh karena itu, tau-tau tidak
dapat dipakai begitu saja, tetapi harus disesuaikan dengan kedudukan dan
exsistensi sipemiliknya. Akan tetapi dewasa ini, pemahaman orang Toraja sendiri
terhadap nilai-nilai atau makna-makna yang terdapat pada tau-tau umumnya sudah
mulai kabur atau berkurang sehingga pembuatan tau-tau ada yang tidak lagi
berdasarkan makna-makna simbolik melainkan dilihat hanya sebagai foto belaka
atau hanya sebagai gambar yang bernilai estetis.
Sosiologi mempelajari dalam teori interaksionisme simbolik bahwa
kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol memungkinkan manusia bisa
melihat dirinya melalui prespektif orang lain. Proses-prose berfikir, bereaksi, dan
berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam
kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang
sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu. Dalam proses interaksi
sosial, manusia mengkomuikasikan arti-arti kepada orang-orang lain melalui
simbol-simbol. Kemudian orang-orang lain menginterprestasikan simbol-simbol
itu dan mengarahkan tingkah-laku mereka berdasarkan interprestasi mereka.
Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam proses saling
mempengaruhi. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh George Herbert Meed
dalam teori sosiologi modern(2007: 95)
Upacara pemakaman dalam kepercayaan Aluk Todolo, diwarnai oleh
berbagai tindakan religius, salah satu unsur tindakan religius dalam upacara
pemakaman adalah Tau-tau. Rob (www.toraja-treasure.com) mengatakan bahwah
Tau-tau berasal dari kata Tau yang berarti manusia. Pengulangan kata Tau
mengandung makna menyerupai, jadi Tau-tau secara harafiah berarti orang-
orangan. Dalam konteks upacara pemakaman budaya Tana Toraja, Tau-tau
bukanlah sebuh patung yang digunakan untuk mempresentasikan raga si orang
yang telah meninggal tersebut tidak ikut mati. Ini merupakan warisan kepercayaan
asli suku toraja, dimana para komunitas Aluk Todolo yang mempercayai adanya
dunia lain setelah dunia ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pentingnya penelitian ini dilakukan, maka
penulis mencoba merumuskan masalah sebagai acuan pengumpulan data dalam
penelitian nanti. Adapun pokok masalah yang dimaksud adalah “Makna Simbolik
Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu
Solo’ di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja”
hal tersebut diatas dapat dilihat dari dua jenis pertayaan yang antara lain yaitu:
1. Bagaimana makna simbolik Tau-Tau sebagai salah satu komponen utama
dalam upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec. Sangalla’ Utara Kab.
Tana Toraja?
2. Bagaimana makna startifikasi sosial yang berkaitan dengan tau-tau?
3. Mengapa makna simbolik tau-tau masih di pertahankan?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan penelitian
Setiap masalah yang diangkat dalam suatu penelitian tentunya
mempunyai tujuan, begitupun dengan masalah yang akan diangkat dalam
penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau sebagai salah satu
komponen utama dalam Upacara Rambu Solo’ di Kel. Leatung Kec.
Sangalla’ Utara Kab. Tana Toraja.
2. Untuk mengetahui makna staratifikasi sosial yang berkaitan dengan
tau-tau.
3. Untuk mengetahui makna simbolik tau-tau ini masih dipertahankan.
b. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Bagi mahasiswa adalah sebagai bahan masukan untuk menambah
khasanah pengetahuan sekaligus kontribusi pemikiran tentang
“Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Upacara
Kematian Orang Toraja”.
b. Bagi penelitian selanjutnya agar dijadikan sebagai informasi dan
referensi bagi penelitian yang mengkaji hal yang serupa.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pemerintah setempat untuk bahan informasi bagi
pembangunan sektor parawisata di Toraja.
b. Bagi pribadi penulis dalam memahami bidang sosiologi dan
sebagai bahan perbandingan bagi pihak yang ingin
meneliti/memahami topik yang sama.
D. Kerangkah Konseptual
a. Kepercayaan
Oleh geertz (1992:5) melihat kepercayaan adalah suatu sistem simbol
yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi yang
kuat dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan kosep-
konsep tentang suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-
konsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak nyata.
Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tradisi seperti yang
tercermin pada upacara pemakaman yang merupakan tradisi dan pola
budaya pada sistem kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem religi
sebagai inti dari setiap kebudayaan. Religi sebagai salah satu unsur
kebudayaan, memiliki beberapa komponen yang mempuyai peranan-peranan
sendiri-sendiri namun berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Adapun
komponen itu antara lain emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus
dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat agama (Kontjaraningrat,
(1987:80). Dimana sistem kepercayaan itu tidak terlepas dari dukungan atau
partisipasi masyarakat yang menjadi pelanjut dan pewaris tradisi tersebut.
Dimana sistem kebudayaan berkaitan erat dengan kegiatan upacara.
Upacara pemakaman merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan
masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Tana Toraja. Upacara ini tidak
diperuntukan pada kegiatan keseharianya, tetapi dikaitan dengan
kepercayaan Aluk Todolo. Sebab keyakinan Aluk Todolo merupakan salah
satu keyakinan yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan yang dianut
oleh orang toraja sejak dari nenek moyang mereka yang hingga saat ini
masih tetap berakar hidup di masyarakat Toraja (Tangdilintin,(1975:1).
Kematian dalam Aluk Todolo merupakan proses yang membentuk
seseorang kepada kemuliaanya yaitu menjadi Dewa. Setiap ada orang mati
Sisarak Angin Dipudukna (menghembuskan nafas terakhir belum disebut
mati melainkan pergi atau Male Memboko’ dalam artian orang yang
dimaksud tersebut telah pergi dan apabila mayat masih ada diatas rumah,
orang mati tersebut masih dianggap tidur sekalipun sudah tidak bernafas.
Dikatakan demikian karena motivasi religius dari upacara kematian bagi
orang Toraja adalah bahwa arwah orang mati itu akan menempati
kedudukannya yang baru yakni di alam puya. Oleh Subaga(1987)
dikemukakan bahwa motivasi upacara pemakaman itu dilandasi oleh suatu
keyakinan bahwa dibalik kematian masih ada lanjutan hari hidup di dunia
lain. Dan kelanjutan dari hidup itu ada sangkut pautnya dengan upacara
kematian, yang merupakan suatu penunjang untuk hidup di alam lain. Oleh
sebab itu upacara pemakaman bagi orang Toraja sangatlah penting karena
untuk menunjang arwah orang mati memasuki tempatnya yang tetap.
Pelaksanaan upacara pemakaman tersebut ditunjang pula dengan realitas
kehidupan yang digambarkan sebagai suatu kehidupan yang kekal.
Clifford geertz(dalam Achmad, 2005:288) mengemukakan suatu
defenisi kebudayaan sebagai:(1) suatu sistem keteraturan dari makna dan
simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu
mendefenisikan dunia mereka. Mengekspresikan perasaan-perasaan mereka,
dan membuat penilaian mereka, (2) suatu pola makna-makna yang
ditranmisikan secara historis yang terkadang dalam bentuk-bentuk simbol,
yang melalui bentuk-bentuk simbol tersebut manusia berkomunikasi,
memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap
terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku,
sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi, dan (4) oleh karena
kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus
dipahami, diterjemakan, dan diinterpretasi.
b. Simbol
Dengan digunakannya simbol dalam setiap upacara akan
menumbuhkan rangsangan pemikiran, sementara dari simbol tersebut saling
terkait dengan sismbol-simbol lainya yang turut menumbuhkan rangsangan
pemikiran, sehingga akan mengakibatkan proses pengantian simbol yang di
interprestasikan.
Karena kita ketahui bersama bahwa simbol merupakan akumulasi
dari pada makna yang digambarkan oleh interprestasi pemikiran tadi
kemudian mengakibatkan timbulnya interaksi manusia dan lingkungan alam
dan sosial budayanya yang dipergunakan untuk melihat kehidupan menurut
latar belakang sosial budaya masyarakat berdasarkan pengalaman, dan juga
nilai intelektualisasi yang dimiliki masyarakat Toraja.
Dalam upacara pemakaman diungkapkan dalam bentuk simbol-
simbol, seperti benda-benda upacara, doa-doa dan tari-tari. Selanjutnya
Geerts (1992:6) mengatakan bahwa dalam simbol-simbol tersebut, akan
memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kenyataan-kenyataan
yang terjadi di dalam hidup ini.
Mengetahui budaya suatu komunitas dapat dilakukan dengan
mengkaji ciptaan karyanya. Mengingat kognitifitas seseorang sangat
mempengaruhi setiap ciptaan manusia utamanya karya seni. Karya seni
dibuat dengan simbol dan ikon dan melalui inilah maka makna-makna yang
diletakkan pada sesuatu dapat diketahui. Makna-makna tersebut adalah
kontruksi sosial yang menjadi keyakinan seniman yang dituangkan dalam
gerak, warna maupun kata dalam tulisan.
Tau-tau yang juga merupakan suatu simbol yang dipergunakan
untuk mengungkapakan keyakinan terhadap suatu kenyataan dari hidup total
dialam lain. Oleh sebab itu Tau-tau menjadi salah satu unsur dari kesatuan
rangkaian dari unsur-unsur dalam sistem upacara pemakaman sehingga
menjadi bahagian dalam benda upacara pemakaman tersebut.
c. Status sosial
Konsep status sosial pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963
oleh Rapl Lington, dalam karyanya yang cukup terkenal “ The Study Of
Man” dan sejauh itu konsep tersebut dapat digunakan dalam mengkaji
konsep dalam kehidupan masyarakat.
Tiap diri kita adalah pemegang status yang memegang masing-
masing. Individu adalah sebagai orang yang menempati status atau posisi
dan sebagai pelaksana peran yang digariskan oleh status atau posisi tersebut.
(Margaret M. polama, sosiologi kontemporer, 1987:53).
Kedudukan atau status seseorang atau masyarakat tertentu akan
berbeda-beda, demikian pula halnya seseorang dalam proses memperoleh
kedudukanya dalam masyarakat luas akan berbeda pula. Kedudukan sosial
adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan
orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestisenya, hak-hak, dan
kewajibannya.
Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial
sebagai berikut:
“Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam satu
kelompok pergaulan hidupnya” . (Soedjono Dirdjosisworo, 1981:96).
Menurut Horton dan Hunt 1993,
“Status sosial suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok,
atau posisi kelompok dalam hubunganya dengan kelompok lainnya”.
Untuk mengukur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara
rinci dapat dilihat dari, jabatan, pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan,
kekayaan, politis, keturunan,dan agama. Seseorang dalam masyarakat dapat
memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu
kedudukan yang menonjol itulah yang merupakan kedudukan utama. Dengan
melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan dapat
digolongkan ke dalam strata atau lapisan sosial tertentu dalam masyarakat.
Status sosial seseorang dalam masyarakat sebenarnya dapat dilihat
melalui kehidupan sehari-harinya yang merupakan ciri-ciri tertentu. Dalam
sosiologi hal ini disebut status simbol. Simbol status tersebut tampak dalam
cara berpakaian, pergaulan,memilih tempat tinggal, dan sebagainya.
Demikian halnya dalam masyarakat toraja status sosial sangat
penting.Tinggi Rendahnya status sosial seseorang dapat dilihat pula dari
proses upacara Rambu solo’ dan symbol-simbol yang digunakan dalam
upacara tersebut. Di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla’ yang terkenal
sebagai Tondok Kapuangan (tempat Raja-raja/keturunan Bangsawan) juga
berlaku hal tersebut, di mana semakin banyak simbo-simbol yang di pakai
dalam Upacara Rambu Solo’ maka semakin tinggi pula status sosial keluarga
yang melaksanakan upacara tersebut.
Dalam melaksanakan Upacara Rambu Solo’ masyarakat sangalla’
memilih simbol yang akan digunakan dalam upacara tersebut, tapi sebelum
itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan status sosial masyarakat,
karena dalam aturan adat yang berlaku disana bahwa tidak boleh
sembarangan memilih simbol yang akan dipergunakan seperti TAU-TAU,
mereka yang menggunakan simbol ini dalam upacara mereka adalah dari
keturunan BANGSAWAN saja, sebab itu akan melanggar peraturan adat bila
ada masyarakat toraja yang bukan merupakan keturunan bangsawan
menggunakan simbol ini dalam upacara mereka. Karena harus berdasarkan
strata sosialnya dan harus memperhatikan komposisinya
Kedudukan (status ) seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial.
Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok
sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu
kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang
lebih besar lagi.
Sedangkan status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial
tidaklah semata-mata merupakan kumpula kedudukan-kedudukan seseorang
dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan atau status sosial tersebut
memepengaruhi status orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda.
Untuk mengukur status sosial seseorang menurut Pitirin A. Sorokin (dalam
Narwoko dan Bagong, 2006) secara rinci dapat dilihat dari:
1. Jabatan atau pekerja
2. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan
3. Kekayaan
4. Keturunan
5. Agama
Salah satu cara untuk mengukur status sosial yang dikemukakan diatas
adalah keturunan didalam masyarakat tradisional, keturunan menjadi konsep
utama untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam stratifikasi sosial
masyarakat yang lain sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang sama
sekali bukan keturunan bangsawan.
Anggota masyarakat yang masih memilki garis keturunan dengan kaum
bangsawan (raja), maka anggota masyarakat yang dimaksud secara langsung
mendapatkan bangsawan serta bentuk perlakuan dari masyarakat yang lain sangat
berbeda dibangdingkan dengan masyarakat yang sama sekali bukan keturunan
bangsawan.
Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni yang bersifat
objektif dan subjektif. Jabatan sebagai direktur merupakan posisi status yang
bersifat objektif dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu. Sementara
itu, yang dimaksud status yang menunjukkan dari penelitian orang lain, dimana
sumber status yang berhubungan dengan penelitian orang lain selamanya
konsisten untuk seseorang.
Dalam masyarakat seringkali kedudukan atau status dibedakan menjadi
dua macam, antara lain:
1. Ascribed-status, ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat
didapat sejak lahir.
2. Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-
usaha yang disengaja dilakukan, bukan diperoleh sejak lahir. Kedudukan ini
bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing
orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuan.
Disamping kedua status tersebut diatas, achieved-status, juga berarti suatu
kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada
seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.
Satu hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kedudukan atau
status sosial dalam masyarakat yakni peran (role). Peran merupakan aspek yang
dinamis dari kedudukan. Artinya, seseorang dalam masyrakat telah menjalankan
hak-hak dan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan kedudukannya, maka orang
tersebut tela melaksanakan sesuatu peran.
Suatu peran mencakup dua hal yaitu :
1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat,
2. Peran dapat dikatakan sebagi perilaku individu yang penting bagi struktur dan
perilaku sosial
Peran dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi
peran sendiri adalah sebagai berikut:
1. Memberi arah pada proses sosialisasi,
2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan
pengetahuan,
3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat, dan
4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol. Sehingga dapat
melestarikan kehidupan masyarakat.
E. Metode Penelitian
1. Dasar dan Tipe Penelitian
a. Dasar Penelitian
Dasar penelitian adalah studi kasus, yaitu suatu pendekatan
yang melihat objek penelitian sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi.
b. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe
penelitian deskriptif kualitatif yaitu pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian
yang mencakup Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial
Pada Pelaksanaan Upacara Kematian Orang Toraja.
2. Teknik Lokasi penelitian
penelitian ini berlangsung selama tiga bulan yaitu dari awal bulan
January sampai maret tahun 2011. Lokasi penelitian yaitu di Kelurahan
Leatung Kecamatan Sangalla’ Utara Kabupaten Tana Toraja Sulawesi
Selatan.
3. Teknik Pemilihan informan
pemilihan informan dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja,
secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat
memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti.
Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan
atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli. Informan kunci
adalah mereka yang dapat memberi informan mengenai masalah yang
sedang diteliti, dalam hal ini mengenai Makna Tau-tau, sedangkan
informan ahli, adalah mereka yang memiliki wawasan luas serta
pengetahuan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, seperti
orang yang dituakan, terdiri dari 8 informan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dari informan dalam rangka menjawab
permasalahan penelitian, maka teknik pengumpulan data yang akan
digunakan adalah:
1. Data Primer
Data ini dikumpulkan dengan menggunakan:
a. Observasi
Digunakan untuk mengadakan pengamatan secara langsung
dengan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak
pada objek yang akan di teliti.
b. Wawancara Mendalam
Digunakan untuk mewawancarai orang-orang yang
dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
berkenaan dengan judul yang diangkat untuk diteliti dan dapat
dipercaya kebenarannya. Wawancara di maksudkan untuk
mendapat informasi tentang makna simbolik tau-tau dalam
sistem stratifikasi pada upacara rambu solo’ di toraja.
Wawacara yang dilakukan nantinya adalah wawacara
terbuka (opened / Instruktural). Wawancara terbuka adalah
bagian dari wawancara tak terstruktur dimana model wawacara
luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-katanya dalam
setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara. Dimana tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan informasi yang dianggap
bagian dari keseluruhan, agar datanya bersifat kualitatif dan
represetatif.
2. Data Sekunder
Data ini dikumpulkan melalui penelusuran atau studi
pustaka dari berbagai arsi-arsip penelitian, artikel-artikel,
dokumen-dokumen dan buku tes yang berkaitan dengan kajian
penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder
dianalisis kemudian disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisis deskriptif
secara kualitatif dalam arti bahwa penarikan persyataan yang dilakukan
dengan menghubungkan antara makna dari berbagai bahan keterangan
yang relevan. Dalam menganalisa data digunakan 2 tahap: pertama, untuk
mengetahui lebih jauh budaya lokal masyarakat dalam mengetahui tentang
Tau-tau dalam upacara kematian, kedua untuk mengetahui sejauh mana
fungsi Tau-tau bagi masyarakat Toraja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Ma’ tau-tau
Ma’ tau-tau adalah kata kerja yang artinya membuat tau-tau (tau:orang,
tau-tau:patung, orang-orangan) yang diperuntukkan bagi orang tua atau leluhur.
Menurut kamus bahasa Toraja, tau-tau yang disingkat menjadi kata: tatau
artinya:orang-orangan (patung). Jadi ma’tau-tau adalah pembuatan atau
pengadaan orang-orangan atau patung bagi orang tua atau leluhur yang sudah
meninggal dunia.
Dalam bukunya Marrang (1979:21) memberikan pengertian tentang tau-
tau yaitu tau-tau adalah personifikasi dari si mati. Adapun fungsi tau-tau ialah
perantara si mati dengan keluarga yang masih hidup. Selain pendapat tersebut,
ada juga menurut Nooy Plam (1979:263) tau-tau bukan sekedar hasil karya si
pemahat (to pande), tapi mengandung nilai religius dan nilai sosial budaya yang
tinggi.
Beberapa pengertian mengenai tau-tau, yaitu:
1) Tau-tau adalah indentifikasi personifikasi leluhur yang dibuat untuk penyembahan kepada roh leluhur. Menurut ne’ Mariak ( 75 tahun).
2) Tau-tau adalah patung atau boneka sebagai personifikasi dari seseorang yang meninggal dunia. Menurut Y.S Parante (63 tahun)
3) Tau-tau adalah wakil dari arwah leluhur yang sudah mati sebagai pengganti diri yang melambangkan perjalanan manusia yang sedang menuju kelangit sesuatu perjalan manusia yang sedang dalam peralihan dan ia ada dalam sikap yang mendua, yaitu : antara manusia dan Tuhan . menurut Sipa’ Datuan( 56 tahun)
4) Tau-tau yaitu patung dari orang yang sedang diupacarakan pemakamannya, yang pada waktu mayat diarak kelapangan dari rumah, tau-tau itu turut pula diarak dengan perlengkapan pakaian kebesaran (pakaian adat). Menurut Yohanis Panggalo (53 tahun).
5) Patung atau tau-tau adalah salah satu karya seni yang berupa tiruan manusia atau binatang, yang terbuat dari pahatan atau relief kayu. Menurut Rumengan (69 tahun).
Dalam agama suku Toraja ( Aluk Todolo) diyakini bahwa manusia terdiri
atas tubuh dan jiwa. Jiwa sifatnya kekal, abadi sedangkan tubuh mati dan menjadi
busuk. . setelah manusia mati, tubuhnya menjadi busuk tetapi jiwanya tidak.
Jiwanya inilah yang menjadi dewa atau arwah leluhur setelah melalui upacara
penyembahan. Agar dapat menghadirkan roh leluhur pada upacara penyembahan
dibuatkanlah sesuatu yang dapat mengganti diri leluhur tersebut. Dibuatlah patung
atau tau-taunya sebagai pendeskripsian dari roh leluhur. Aluk todolo percaya
bahwa dalam diri tau-tau tersebut terdapat roh leluhur.
Jadi menurut suku Toraja dalam keyakinan Aluk Todolo, Tau- tau adalah
indentifikasi personifikasi dari roh leluhur yang dibuat dan dihadirkan pada
upacara rambu solo’( upacara pemakaman orang toraja) sebagai ganti diri atau
pribadi dari leluhur yang sedang di upacarakan pemakamannya. Tau-tau
merupakan lambang kehadiran leluhur pada saat upacara tersebut. Oleh karena
tau-tau dianggap sebagai simbol dari leluhur, maka ia harus diperlakukan seperti
manusia yang masih hidup seperti diberi pakaian, disuguhi makan, minuman dan
sirih.
B. Upacara Keagamaan
Upacara adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperingati tanda-tanda
kebesaran, peralatan menurut adat istiadat. Upacara juga dapat bermakna sebagai
rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat dengan aturan adat. Selain itu,
upacara dapat diasumsikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan
peristiwa penting. Koetjaraningrat (1981), menjabarkan upacara-upacara tersebut
dalam beberapa unsur, yakni (a) bersaji; (b) berkorban; (c) berdoa; (d) makan
bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa; (e) menari tarian suci; (f)
berprosesi atau berpawai; (g) memainkan seni drama suci; (h) berpuasa; (i)
intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan memakan obat bius untuk mencapai
kesadaran mabuk; (j) bertapa; (k) bersemedi.
Dalam upacara keagamaan atau upacara yang dilakukan oleh pemangku
adat, profesi yang dianggap suci menjadi keharusan dan ini memiliki kekuatan
hukum yang sangat keras yang diberlakukan untuk menjaga kelangsungan adat
istiadat yang diyakini oleh masyarakat.
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan mempunyai kekuatan
mengikat yang lebih besar terhadap anggota masyarakatnya sehingga anggota
masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi yang keras.
Konjaranigrat (dalam basrowi, 2005) mengemukakan tujuh aspek
kebudayaan dengan susunan sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralata
Upacara adat merupakan salah satu dari wujud kebudayaan, Kontjaranigrat
(dalam Bosrowi, 2005) mengatakan bahwa suatu yang kompleks dan aktivitas
serta tindakan berpola pada manusia dalam masyarakat atau biasa disebut sistem
sosial.
Upacara adat termasuk dalam unsur-unsur normative yang merupakan
bagian dari kebudayaan. Bosrowi (2005), mengemukakan bahwa salah satu unsur
normatif yang merupakan bagian dari kebudayaan adalah unsur-unsur yang
menyangkut kepercayaan seperti harus mengadakan upacara adat pada kelahiran,
pertunangan, perkawianan dan lain-lain. Dalam konsep perkawinan, upacara adat
yang dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan prasyarat sebelum menikah
menjadi pedoman sendiri bagi mereka yang memulai hidup berumah tangga. Hal
ini dilakukan agar mendapat restu dari seseorang yang sudah mati dan dianggap
keramat.
Upacara adat juga termasuk lembaga sosial karena didalamnya terdapat
peraturan-peraturan dan kebiasaan masyarakat seperti yang dipaparkan oleh Polak
(Bosrowi, 2005) bahwa lembaga sosial adalah suatu yang kompleks atau sistem
peraturan-peraturan dan adat istiadat yang memepertahankan nilai-nilai yang
penting.
Lanjut Leopold von wiese dan Howard Becker ( dalam soekanto, 2002)
melihat lembaga sosial ini dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan
proses-proses antara manusia ada antara kelompok manusia yang berfungsi untuk
memelihara hubungan- hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.
Upacara adat merupakan tata kelakuan atau kebiasaan yang merupakan
prilaku dan juga sekaligus diterima sebagai norma pengatur yang mencerminkan
sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat
pengawas, secara sadar atau tidak sadar, yang dilakukan masyarakat terhadap
anggotanya.
Tata kelakuan tersebut diatas mempunyai ciri-ciri tersendiri, antara lain
sebagai berikut:
1. Memberi batas-batas pada perilaku individu, hal ini karena tata kelakuan yang
dimaksud merupakan suatu alat untuk memaksakan suatu perbuatan dan
sekaligus larangan terhadap suatu perbuatan tertentu.
2. Mengidentifikasi individu dengan kelompok lainnya.
3. Menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.
Upacara adat atau upacara keagaaman dianggap perlu diperhatikan karena
dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan suatu unsur
kebudayaan yang tampak paling lahir. Sehingga itu, bahan etnografi mengenai
upacara keagamaan atau upacara adat diperlukan untuk menyusun teori-teori
tentang asal mula religi.
Sistem religi dalam susatu kebudayaan selalu memiliki ciri-ciri untuk
sedapat mungkin memelihara emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam
suatu religi keagaaman bersama denga tiga unsur lainnya yaitu:
1. Sistem keyakinan; konsep tentang dewa-dewa, roh-roh baik jahat,
konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain.
2. Sistem upacara keagamaan, sistem ini mengandung empat aspek yakni (a)
tempat upacara keagamaan dilakukan seperti candi, pura, kuil, langgar,
gereja, mesjid dan sebagainya; (b) saat-saat upacara keagamaan
dijalankan; (c) benda-benda dan alat upacara seperti Patung-patung yang
melambangkan dewa-dewa.
C. Pengertian Tentang Makna dan Simbol
Secara etimologi kata simbol berasal dari kata yunani “ simbolon” yang
berarti tanda pengenal, lencana atau semboyan. Konsep simbol merupakan sebuah
pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan manusia dan tingkah
laku manusia. Dalam prespektif ini dikenal sosiolog George Herbet Meed inti
pandangan simbol adalah individu, bahwa individu merupakan hal yang paling
dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa
secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lain.
Dalam kaitan dengan penelitian ini, konsep simbolik merujuk pada symbol
tau-tau dalam upacara kematian dan teori interaksionesme simbolik. Konsep ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.
George Herbert Meed memusatkan perhatiaanya pada interaksi antara
individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dan dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Meed mengemukakan bahwa teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang
mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Disini cooley
menyebutnya sebagai looking glass self. ( Teori Sosiologi Modern 2007:98,113).
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang
berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap,
menginterprestasi, bertidak dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat,
namun merupakan seseorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada
dalam proses menjadi dan tak perna selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “diluar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun
juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari
proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain
itu, keseluruhan interaksi tersebut bersifat simbolik , di mana makna-makna
dibentuk oleh akal budi manusia.
Sedangkan makna menurut Ferdinan de saussere mengatakan bahwa tanda
memiliki dua etnis yaitu signifier dan signified atau tanda dan makna’ atau ‘
penanda dan tanda’. keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi
keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika
disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang
mempunyai makna.
Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan objeknya.
Makna sangat berperan dalam suatu tanda mengandung makna dan informasi.
Seperti halnya dalam upacara rambu solo’ berbagai tanda yang digunakan dalam
upacara tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda tetapi saling berhubungan.
D. Teori Interaksionisme Simbolik
Makna-makna itu bagi kita bersama yang lain, defenisi kita mengenai
dunia sosial dan presepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul
dalam proses interaksi. Jadi , interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan
simbol-simbol, oleh interprestasi, atau interprestasi oleh penetapan makna dari
tindakan orang lain . mediasi ini ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi
antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.
Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan
pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pedekatan teoritis lainnya.
Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian kearah
denan bahasa: namun Meed mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan
cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala
tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran
simbol. Ketika berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari
“petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan
mengenai bagaimana menginterprestasikan apa yang dimaksudkan oleh orang
lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar
individu, dan bagaiman hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang
lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
Parah ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya
dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut
berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamya berisi tanda-
tanda, isyarat dan kata-kata. simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan
untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang
disepakati bersama menurut Meet (dalam sosiologi modern 2007:101).
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada “karakter
interaksi khusus yang sedang berlangsung antara manusia.” Aktor tidak semata-
mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan
mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon actor baik secara langsung
maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh
karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol
penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks
itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berfikir, mengelompokkan,
dan mentrasformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi dimana dan kearah
mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya
“proses mental”atau proses berfikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.
Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulus-
proses berfikir-respon. Jadi terdapat variable antara atau variable yang
menjebatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau berfikir,
yang tidak lain adalah interprestasi. Teori interaksionisme simbolik memandang
bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti
dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap
orang tersebut.
Teori interaksinisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan
kegiatan sosial manusia. Bagi prespektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan
kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang
perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada diluar dirinya.
Interaksilah yang dianggap variable penting yang menentukan perilaku manusia,
bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Prespektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka
atas objek-objek sekeliling mereka. Dalam pandangan prespektif ini, sebagaimana
ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang
menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.
Menurut teoritis prespektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia
dengan menggunakan simbol-simbol”, penganut interksionisme simbolik
berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interprestasi mereka atas
dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau
ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori
interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu
terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar
kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melaui
proses belajar. Tindakan sesorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata
merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus. Jadi jelas
ini merupakan hasil proses belajar, dalam artian memahami simbol-simbol, dan
saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma,
nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan
terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya,
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan
yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para
pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is
a ‘minding’ process that intervenes between stimulus and response. It is
thismental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will
react ( Ritzer dalam sutaryo, 2005)
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli dibelakang
prespektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling dalam
konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam prepektif ini dikenal nama sosiologi. Mereka melihat bahwa
individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui
interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam prespektif ini seorang sosiolog George Herbet Meet (1863-1931),
Charles Horton Cooley (1984-1929), yang memusatkan perhatianya pada interaksi
antara individu dan kelompok. Mereka mengemukakan bahwa individu-individu
tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi
tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sosiological
Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan
sebuah prespektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk
penyelidikan sosiologis, teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial,
bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat
dugaan, interasionisme simbolik menfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada
pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri
dianggap sebagai unit analisi, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar
belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih
kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan prespektif-
prespektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari
individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga
menangkap, menginterprestasi, bertindak dan mencipta. Individu bukanlah
sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah,
yang selalu berada dalam proses menjadi dan tidak perna selesai terbentuk.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “diluar sana” yang selalu
mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memilki pikiran (mind), namun
juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari
proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain
itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, dimana makna-makna
dibentuk oleh akal budi manusia.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh
interprestasi, atau oleh penetapan makna dan tindakan orang lain. Mediasi ini
ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi antara stimulus dan respon dalam
kasus perilaku manusia. Pendekatan interkasionisme simbolik memberikan
banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-
pendekatan teoritis lainya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari
sebuah perhatian kearah dengan bahasa; namun Meed mengembangkan hai itu
dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik
menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan
bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada
tiga yang utama dalam teori interaksionisme simbolis ini yakni, manusia bertindak
berdasarkan makna-makna,makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang
lain, makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut
berlangsung. Menurut Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memilki
beberapa gagasan. Diantaranya adalah mengenai konsep diri.
Disini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di
bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dari dalam melainkan dari
organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan
konsep perbuatan dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses
interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan
perbuatan-perbuatan lain yang bukan mahluk manusia. Kemudian konsep objek
dimana manusia diniscayakan hidup ditengah-tengah objek yang ada, yakni
manusia – manusia lainnya.
Selanjutnya konsep interaksi sosial dimana di sini proses pengambilan
peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah konsep Joint Action dimana disini
aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang
disesuaikan satu sama lain. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu,
sehingga tersisih dan tidak dianggap penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah
interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggung jawab pada tingkah laku
manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Posisi teori
interaksionisme simbolik adalah sebaliknya bahwa arti yang dimilki benda-benda
untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolik dengan
teori-teori lainya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang
mengacu pada sumber dari arti tersebut. Teori interaksionisme simbolik
memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah
dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara dimana
orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolik
memandang “arti” sebagai sebagai produk sosial; sebagai kreasi-kreasi yang
terbentuk melalui aktifitas yang terdefenisi dari individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolik pada posisi yang
sangat jelas dengan implikasiyang cukup dalam. Penjelasan Charles Horton
Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley
terdiri atas dua asumsi yang mendalam mengenai hakikat dari kehidupan sosial,
yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi
organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan
progresif. Disini Cooley berusaha mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat,
namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan
penyusun masyarakat. “kehidupan kita adalah salah satu kehidupan manusia
secara keseluruhan”, menurut Cooley , “ dan jika kita ingin memiliki pengetahuan
yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian.
Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri
individu akan gagal.
Evolusi organic adalah interplay yang kreatif baik individu maupun
masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling
bekerja sama. Diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa
yang anda pikirkan, terutama mengenai apa yang anda pikirkan tentang apa yang
saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang anda
pikirkan.
Menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami
sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui presepsi-
presepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi
hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada
aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat
tersebut. “imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta
yang solid dari masyaraka. Masyarakat adalah sebuah relasi diantara ide-ide yang
bersifat personal. Dalam konsep Looking-Glass Self ( diri yang seperti cermin
pantul), Cooley mengemukakan bahwa institusi sosial membentuk fakta-fakta dari
masyarakat yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan
produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut
Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi
dari pikiran yang membentuk simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan
sentiment-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-intitusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental
dari indivudu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari
pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya
dengan diri kita (familiartity). Seperti yang ditegaskan Cooley, ketika intitusi-
institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka
individu bukanlah semata-mata “efek” dari struktur sosial, namun juga merupakan
seseorang creator dan pemelihara struktur sosial tersebut.
E. Pengertian Kepercayaan dan kebudayaan
Manusia sebagai mahkluk budaya, mengandung pengertian bahwa
manusia menciptakan budaya dan kemudian kebudayaan memberikan arah dalam
hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana
tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakat. Seperangkat
nilai yang menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya
bahkan untuk mendasari langkah-langkah kegiatan yang hendak dan harus
dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatan.
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral ,hukum, adat- istiadat
dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Selanjutnya kebudayaan berpengaruh terhadap lingkungan tertentu
sehingga makin lama makin menjauhkan manusia dari kondisi asli lingkungan
alam, hal yang selanjutnya mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga cara
bergaul, dan cara bertindak. Sedangkan kepercayaan mempunyai wujud sebagai
sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus,
neraka, surga, dan lain-lain. Tetapi juga sebagai berbagai bentuk upacara, maupun
benda-benda suci. (Koetjaraningrat 2003:81).
Dengan penekanan kepada suatu sistem keyakinan, menyebabkan
kepercayaan itu menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong atau
penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk
tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
Clifford Gertz (1992:5) mendefisikan kepercayaan itu sebagai berikut: suatu
sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi-
motivasi itu tanpak nyata.
Dengan konsep ini C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian
yang utuh tak terpisahkan dari kebudayaan. Nilai agamalah yang mempengaruhi
semua nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem
nilai dari kebudayaan terwujud sebagai sistem-sistem simbol suci dimana
maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangkah
acuannya. Dalam keadaan demikian maka, secara langsung atau tidak langsung
atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan
berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem
nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan terwujud dalam
kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang diselimuti oleh sistem-
sistem simbol.
Dapat juga dikatakan bahwa penyelengara upacara mengungkapakan
emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini juga
merupakan pernyataan cara berpikir dan cara merasa kelompok masyarakat,
berfungsi untuk mengukuhkan tata susila yang sedang berlaku, disamping
member peringatan dan menanggulangi sosialisasi bagi kehidupan masyarakat.
Konsep atau ide dari pelaksana upacara dalam kehidupan religius manusia
adalah sesuatu yang universal yakni memohon kepada yang kuasa tertinggi bagi
keperluan hidup manusia.
F. Pengertian Stratifikasi Sosial
Sistem berlapis-lapis di masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah
‘’Social Stratification’’. Kata Stratification berasal dari stratum (jamak : strata
yang berarti lapisan). Pitrium A. Sorokin mengatakan bahwa Social Stratification
adalah pembeda penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat.
Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-
kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya tingkatan
masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.
Stratifikasi sosial (Pelapisan sosial) sudah mulai dikenal sejak manusia
menjalin kehidupan bersama. Terbentuknya pelapisan sosial merupakan hasil dari
kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan
tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Pada masyarakat yang taraf
kebudayaannya masih sederhana, maka pelapisan yang terbentuk masih sedikit
dan terbatas, sedangkan masyarakat modern memiliki pelapisan sosial yang
kompleks dan tajam perbedaannya.
Stratifikasi sosial akan membedakan warga masyarakat menurut
kekuasaan dan pemilikan materi. Kriteria ekonomi selalu berkaitan dengan
aktivitas pekerjaan, kepemilikan kekayaan, atau kedua-duanya. Dengan begitu,
pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke
dalam beberapa stratifikasi atau kelas ekonomi.
Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu :
1. Masyarakat yang terdiri dari kelas atas (upper class),
2. Masyarakat yang terdiri kelas menengah (middle class)
3. Masyarakat kelas bawah (lower class).
Orang-orang yang berada pada kelas bawah (lower) biasanya lebih banyak
(mayoritas) daripada di kelas menengah (middle) apalagi pada kelas atas (upper).
Semakin ke atas semakin sedikit jumlah orang yang berada pada posisi kelas atas
(upper class).
Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk
menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
1. Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia
akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat
dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis
bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
2. Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang
mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi
dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
3. Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat
tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya
dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau
orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran
kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
4. Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah
satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pelapisan sosial dapat
mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti adanya perbedaan gaya hidup dan
perlakuan dari masyarakat terhadap orang-orang yang menduduki pelapisan
tertentu. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari
orang-orang yang berada dalam strata sosial tertentu berdasarkan kekuasaan,
privilese dan prestise. Dalam lingkungan masyarakat dapat terlihat perbedaan
antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapat didasarkan pada ukuran
kekayaan yang dimiliki. Yang kaya ditempatkan pada lapisan atas, dan miskin
pada lapisan bawah. Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas
sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial
ini terlihat adanya kesenjangan sosial. Hal ini tentu merupakan masalah sosial
dalam masyarakat.Perbedaan sikap tersebut tercermin dari gaya hidup seseorang
sesuai dengan strata sosialnya. Pola gaya hidup tersebut dapat dilihat dari cara
berpakaian, tempat tinggal, cara berbicara, pemilihan tempat pendidikan, hobi dan
tempat rekreasi.
Cara Berpakaian. Seseorang yang tergolong dalam strata sosial atas dapat
dilihat dari gaya busananya. Biasanya orang-orang kelas atas
menggunakan busana dan aksesoris lain, seperti sepatu, tas, jam tangan
yang bermerek dan dari luar negeri. Sedangkan mereka yang termasuk
strata sosial menengah ke bawah, lebih memilih menggunakan barang-
barang produksi dalam negeri.
Tempat Tinggal. Pada umumya masyarakat kelas atas akan membangun
rumah yang besar dan mewah dengan gaya arsitektur yang indah.
Masyarakat kelas atas lebih menyukai tinggal di kawasan elite dan
apartemen mewah yang dilengkapi dengan fasilitas modern. Sedangkan
masyarakat yang tergolong strata menengah lebih memilih bentuk dan tipe
rumah yang sederhana bahkan ada juga yang tinggal di rumah susun.
Cara Berbicara. Cara berbicara orang-orang yang tergolong strata atas
akan berbeda dengan orang-orang yang berada dalam strata bawah.
Mereka yang termasuk dalam golongan strata atas memiliki gaya berbicara
yang beradaptasi dengan istilah-istilah asing serta penuh dengan
kesopanan. Sedangkan orang-orang yang berada dalam strata bawah
terkadang suka berbicara yang tidak terlalu memperhatikan etika.
Pendidikan. Pendidikan menjadi faktor yang paling penting bagi setiap
masyarakat. Umumnya masyarakat strata atas memilih memasukkan anak-
anak mereka pada sekolah-sekolah ataupun universitas-universitas yang
berkualitas tinggi termasuk sekolah di luar negeri. Sedangkan bagi
masyarakat yang menduduki pelapisan bawah lebih memilih
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dalam negeri.
Hobi dan rekreasi. Menyalurkan hobi serta berekreasi merupakan hal-hal
yang diperhatikan oleh masyarakat yang berada dalam pelapisan atas.
Biasanya orang-orang yang berada dalam strata atas memilih olahraga
yang ekslusif seperti golf, balap mobil, serta menyalurkan hobi, seperti
main piano,main biola, menonton orkestra, mengoleksi lukisan-lukisan
mahal dan sebagainya. Begitu pula berekreasi, mereka lebih memilih
berekreasi ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Sedangkan, bagi
masyarakat yang tergolong strata bawah, lebih memilih hobi dan
berekreasi yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, seperti bermain
sepak bola, dan berekreasi ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal
mereka.
Adanya sistem berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan
sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan
sengaja disusun untuk mengejar suatu jutuan bersama. Secara teoritis, semua
manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan
dalam kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian.
Sistem stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusun biasanya berkaitan
dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-
organisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, partai politik, perusahaan,
angkatan bersenjata atau perkumpulan. Akan tetapi apabila masyarakat hidup
dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada padanya harus dibagi-
bagi pula, sehingga jelas bagi setiap orang ditempat-tempat mana letaknya
kekuasaan dan wewenang dalam organisasi, secara vertikal dan horizontal.
Apabila kekuasaan dan wewenang itu tidak dibagi-bagi secara teratur, maka
kemungkinan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan yang dapat
membahayakan keutuhan masyarakat.
Suatu masyarakat yang memiliki kekayaan cukup banyak dapat dikategorikan
termasuk orang yang cukup terpandang oleh sekitarnya. Ukuran kekayaan itu
dapat dilihat dari kekuasaan, kepemilikan tanah, mobil pribadi serta terpadang
dalam masyarakat dan sebagainya.
G. Kepercayaan Aluk Todolo
Orang toraja memiliki suatu kepercayaan asli, yang merupakan warisan dari
nenek moyang mereka yang disebut ‘Aluk Todolo’. Aluk Todolo (aluk berarti
agama, pegangan hidup, to berarti orang, dolo berarti dulu) yang artinya agama
leluhur adalah agama atau kepercayaan yang dianut oleh orang Toraja.
Menurut Abdul (2004:43) tau-tau fungsinya semula bersifat religius dan
berkaitan langsung dengan upacara kematian dari kaum bangsawan Toraja, sesuai
dengan kepercayaan Aluk Todolo. Dalam kehidupan upacara dan tradisi budaya
Toraja Tau-tau tidak hanya sekedar salah satu perlengkapan pada upacara
pemakaman, tetapi menurut kepercayaan Aluk Todolo, dianggap penjelmaan roh
dari orang yang meninggal atau menjadi tempat tinggal bagi roh arwah leluhur
yang tela mati.
Natsir (2005:47) Tau-tau menurut keyakinan Aluk Todolo, adalah
bayangan dari orang mati dengan dasar itu, menurut keyakinan Aluk Todolo,
semua orang harus dibuatkan tau-tau. Namun demikian, karena proses pembuatan
itu sendiri harus diikuti oleh upacara kurban dan sesajen maka tidak semua
penganut Aluk Todolo dapat mengikutinya. Karena itu, si mati yang dibuatkan
patung-patung di Tana Toraja hanyalah orang-orang yang berasal dari keturunan
bangsawan murni ( Tana’ Bulaan).
Secara garis besar, Aluk Todolo terdiri atas dua elemen, yaitu : aluk tallu
oto’na ( tiga falsafah kepercayaan) dan aluk a’pa’ oto’na (empat falsafah adat).
Aluk tallu oto’na meliputi pemujaan terhadap Puang Matua sebagai sang pencipta
yang konon memberikan Sukaran Aluk (sukaran:aturan, susunan) kepada manusia
yang pertama, Datu Laukku’, yang berisi ketentuan bahwa manusia dan isi bumi
harus menyembah Puang Matua. Penganut Aluk Todolo juga menyembah Deata
yang menerima kuasa dari Puang Matua untuk memelihara dan menguasai segala
isi bumi sehingga mereka menyembah sang pencipta. Selain deata, Puang Matua
juga memberikan kuasa kepada to membali puang untuk memperhatikan perilaku
manusia dan keturunannya menurut AMA( 2006:24-26).
Aluk a’pa’ oto’na terdiri atas: aluk ma’ lolo tau (aturan tentang manusia),
aluk patuan (aturan tentang hewan seperti ayam,babi, kerbau dan lain-lain), aluk
tananan (aturan tentang ladang, sawah, dan tanaman), serta aluk bangunan banua
(aturan tentang mendirikan rumah). Aluk ma’lolo tau secara khusus menekankan
tentang aluk dadinna ma’lolo tau (aturan tentang kelahiran), aluk tuona ma’lolo
tau ( aturan tentang bagaimana manusia terhadap Puang Matua, Deata, dan To
Membali Puang), serta aluk matena ma’lolo tau (aturan tentang orang yang
meninggal) yang mengatur pelaksanaan upacara pemakamaan, yang biasa disebut
upacara rambu solo’.
Para penganut Aluk Todolo juga percaya adanya kehidupan setelah
kematian. Mereka percaya bahwa puya merupakan tempat sementara bagi arwah
orang-orang yang telah meninggal. Selanjutya, arwa dapat keluar dari puya
menuju asal nenek moyang manusia, yaitu langit. Penganut Aluk Todolo meyakini
bahwa langit merupakan tempat kediaman Puang Matua dan Deata .
Latar belakang pemujaan kepada roh leluhur yang dideskripsikan dalam
rupa tau wujud tau-tau di Toraja ini dapat dibangdingkan dengan latar belakang
terjadinya pemujaan arwah nenek moyang di tanah Batak, seperti yang
diungkapkan oleh Situmorang (1980:22) dalam edisi berita oikumene terbitan
bulan Oktober yang berdasar pada:
a. Ketakutan kepada roh orang mati.
Titik sentral kepercayaan agama purba di tanah Batak adalah pengutusan
orang mati. Roh orang mati dianggap mempunyai kuasa, dapat melindungi, tetapi
juga dapat berbahaya. Oleh sebab itu, roh leluhur harus senantiasa dibujuk. Orang
dapat sakit jika roh orang itu keluar dari dalam tubuhnya. Untuk
mengembalikannya, maka roh tersebut perlu dibujuk melalui pemujaan.
b. Adanya kesinambungan generasi.
Hal ini tidak boleh putus. Putusnya suatu generasi bukan saja sebab tidak
mempunyai keturunan (anak) tetapi juga sebab tidak memelihara hubungan
dengan nenek moyang.
c. Mengharapkan berkat dan menolak kutuk.
Yang menonjol dalam pemujaan nenek moyang adalah pengharapan akan
berkat. Roh nenek moyang yang dianggap sakit, kaya dan berani dipuja dan
dihormati supaya ia memberikann berkat, keberhasilan dalam hidup dan dalam
pencarian nafkah.
Aluk todolo sebagai suatu agama atau kepercayaan berdasar kelima pokok atau
dasar-dasar seperti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi (1981:52) yakni:
1. Suatu keseluruhan yang sampai derajat tertentu mewujudkan yang sampai
derajat tertentu mewujudkan kesatuan yang integratif terdiri dari kepercayaan-
kepercayaan yang mengenai kesatuan-kesatuan yang dipisahkan dari benda-
benda biasa atau kejadian-kejadian biasa yang mempunyai kegunaan praktis,
diberi sifat suci dan supernatural dan hidup manusia tergantung pada satuan-
satuan yang bersifat supernatural,
2. Suatu sistem dari lambang-lambang, benda-benda, perbuatan-perbuatan orang
yang bersifat empiris bukan empiris yang mempunyai unsur kesucian, dan
dalam hubungan dengan hal-hal ini manusia mewujudkan keadaan emosional
yang bersifat relevan untuk suasana religi,
3. Seperangkat aktivitas-aktivitas yang sedikit banyak bersifat keharusan, yang
dalam rangka religi itu dianggap sebagai kegiatan yang penting dan bersifat
mutlak. Kegiatan-kegiatan itu pada umumnya diharuskan untuk peristiwa –
peristiwa tertentu, dilarang untuk waktu-waktu yang lain, dan mungkin juga
hanya dimaksudkan berlaku untuk lapisa-lapisan sosial tertentu,
4. Adanya komunitas orang kepercayaan, suatu konektivitas yang meliputi
mereka yang memilki bersama ciri-ciri religi di atas,
5. Suatu perasaan bahwa hubungan manusia dengan dunia supernatural, dalam
acara yang tertentu terikat erat dengan nilai-nilai moral yang dia junjung
tinggi, dengan sifat dari tujuan hidupnya yang dia percayai yang dituntut dari
padanya, dengan aturan-aturan mengenai kelakuannya, yang diharapkan akan
diindahkan.
Kebudayaan Toraja mengenai Aluk Todolo, yang dulunya dikenal dengan
ajaran hidup dan kehidupan Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau
Aluk Sanda Pitunna sebagai ajaran yang berasaskan 7 (tujuh) asas hidup dan
kehidupan. Asas ini terdiri dari tujuh asas atau prinsip, yaitu : asas menyembah
dan memuja serta percaya kepada tiga oknum dan tata kehidupan empat asas.
Menurut Tangdilintin (1975:4) Aluk Tallu O to’na, yaitu agama atau
keyakinan yang berdasarkan 3 oknum yang dipuja dan disembah dan dikatakan
sebagai kesatuan oknum yaitu:
1. Percaya dan menyembah kepada Puang Matua sebagai oknum sang pencipta
semesta alam.
2. Percaya dan menyembah kepada deata-deata sang pemelihara ciptaan Puang
Matua.
3. Percaya dan menuja kepada Tomembali Puang atau Todolo sebagai oknum
sang pemelihara dan pengawas serta pemberi berkat kepada manusia
turunannya.
Menurut ajaran Aluk Todolo ketiga oknum tersebut diatas merupakan satu
kesatuan tiga oknum tetapi tidak sama kedudukannya serta tidak sama
tingkatannya, makanya manusia dalam menyembah tingkat yang berbeda-beda,
demikian pula kurban dan sesajian persembahan ada perbedaan serta tempat
mengadakan upacara persembahan dan kurban persembahan, tetapi dalam
keyakinan Aluk Todolo dan asas Aluk Tallu Oto’na, adalah merupakan kesatuan
dalam hubungan yang saling berkaitan dan saling mengisi setelah melalui proses
dan cara yang sudah tertentu dalam upacara pemujaan dari persembahan menurut
kedudukan masing-masing aknum tersebut.
Menurut Tangdilinting (1975:6) Aluk A’pa Oto’na, asas tata kehidupan
yang berdasarkan atas adanya proses dalam kehidupan manusia dengan empat
proses dalam asas Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu karena
manusia dalam menempati alam ini melalui 4 proses dan tingkat dalam
hubunganya dengan sang pencipta dan ketiaga oknum yaitu:
1. Ada’ Dadinna Ma’lolo Tau yaitu adat lahir dari manusia.
2. Ada’ Tuona Ma’lolo Tau, yaitu adat kehidupan dari pada manusia.
3. Ada’ Manombana Ma’lolo Tau yaitu adat memujanya dan percaya dari pada
manusia kepada Tuhannya.
4. Ada’ Matena Ma’lolo Tau yaitu adat mati dari pada manusia.
Keempat asas dalam proses kehidupan manusia menurut ajaran Aluk Todolo
dikenal dengan falsafah kehidupan dalam Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu Pitung Pulo
Pitu dengan nama asas Ada’ Ap’pa 0to’na atau Ada’ Patang Sullapa’.
H. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan.
Max weber berpendapat bahwa tindakan sosial adalah tindakan individu
sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya
sendiri dan diarahkan kepada tindakan orang lain George Ritzer (1985:44).
Tindakan sosial yang akan dimaksud disini adalah Tau-tau. Apabila kita menaruh
perhatian yang lebih pada Tau-tau, kita menemukan beberapa individu, bahkan
kelompok yang berperan didalamnya.
Berkaitan dengan tindakan sosial ini, kutipan Sunyono Usman dari Ann
Swider dalam Ikma (2007:16) tentang kebudayaan sebagai meaning-making
(proses pemaknaan) menyatakan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat
proses pemaknaan sehingga memproduksi tindakan sosial, yaitu codes, contexts
dan institutions.
Codes (kode) terkait dengan pesan dibalik tindakan yang mengandung atau
berkaitan dengan simbol ,nilai, keyakinan, norma, yang dapat dihayati melalui
interprestasi. Pesan itu berupa bagian dari upaya memupuk solidaritas sosial,
dapat pula berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan politik, seperti meraih,
memperluas dan melestarikan kekuasaan. Sejalan dengan pemikiran Malinowski,
reinterpertasi sosial budaya dan terhadap upacara melahirkan perubahan sosial
yang ditujukan untuk memenuhi atau merumuskan kebutuhan-kebutuahan baru.
Contexts (suasana) adalah keadaan yang menciptakan derajat pengaruh
kebudayaan terhadap tindakan sosial. Simbol, nilai, keyakinan, norma, dan
kebiasaan dalam periode dan tempat yang berbeda tidak mampu menggerakkan
tindakan sosial. Telah dikemukakan bahwa simbol tau-tau dalam upacara rambu
solo’ ini tidak lagi dimaknai yang telah dirintis aluk todolo.
I. Sistem Sosial
Memahami sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan
mempertimbangkan eksistensi dan perilaku organisasi dan institusi sosial
kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Peran manusia di sini
lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan,
bukan sebagai individu.
Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita
sedang mencerna realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem
masyarakat tertentu yang sedang bekerja, berusaha tetap langgeng, dan seringkali
berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini mencirikan karakteristik
sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antar
sistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog,
transaksi dan negosiasi sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat
tertentu.
Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai berikut:
sistem sosial terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling
berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek
lingkungan atau fisik, actor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti
mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya
dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam sistem simbol bersama
yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)kunci masalah yang dibahas
pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan, optimalisasi,
kepuasan, dan cultural.Hal yang paling penting pada system social yang
dibahasnya Parsons mengajukan persyaratan fungsional dari system social
diantaranya:
1. sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam
hubungan yang harmonis dengan sisten lain.
2. untuk menjaga kelangsungan hidupnya sistem sosial harus mendapatkan
dukungan dari system lain.
3. sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi
yang signifikan.
4. sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para
anggotanya.
5. sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi
menggangu.
6. bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.
7. sistem sosial memerlukan bahasa.
Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat
skema penting mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan, skema tersebut
dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu
apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan
yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem.
Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi
semua sistem sosial, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal
attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki
oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:
Adaptation : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat beradaptasi
dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk
kebutuhannnya.
Goal attainment ; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa
mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integrastion : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar
hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan
mengelola ketiga fungsi (AGL).
Latency :laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola,
sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu
dan kultural .
Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara
melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment
difungsikan oleh system kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan
memolbilisasi sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh
sistem social, dan laten difungsikan sistem cultural. Bagaimana sistem kultural
bekerja? Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan
nilai yang memotivasi actor untuk bertindak.
Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat
yang paling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang
dibutuhkan untuk tingkat atas. Sredangkan tingkat yang diatasnya berfungsi
mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.
Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme
structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;
1. sistem mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling
tergantung.
2. sistem cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. sistem bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang
teratur.
4. sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya.
5. sistem akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk
memelihara keseimbangan sistem.
7. sistem cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-
baguan dengan keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda
dan mengendalikan kecendrungan untuk merubah system dari dalam.
Unsur-unsur sosial itu sendiri adalah:
1. Kepercayaan/keyakinan (penegetahuan)
Setiap ”sistem sosial” mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakian-
keyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh warganya. Mungkin juga
terdapat anekaragam keyakinan umum yang dipeluk didalam suatu ”sistem
sosial”. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya
kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting
kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup
didalam sistem sosial yang bersangkutan. Kepercayaan adalah faktor yang
mendasar yang mempengaruhi kesatuan sistim sosial. Kepercayaan merupakan
pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu
kebenaran mutlak.
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan antara lain:
a. Penampilan atau penampakan atau keaktraktifan
b. Kompetensi atau kewenangan
c. Penguasaan terhadap materi
d. Popularitas
e. Kepribadian
2. Perasaan (sentimen)
Faktor dasar yang lain dari sistem sosial adalah perasaan. Perasaan adalah
suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik
yang bersifat alamia maupun sosial. Perasaan sangat membantu menjelaskan pola-
pola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Proses elemental yang
secara langsung membentuk perasaan adalah interaksi perasaan. Hasil interaksi itu
lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus
diakui.
3. Tujuan atau Sasaran
Tujuan atau sasaran dari suatu sistem sosial, paling jelas dapat dilihat dari
fungsi-fungsi itu sendiri. Misalnya, kebudayaan mempunyai fungsi sendiri dan
tujuan. Pada dasarnya kebudayaan dilakukan melalui proses perubahan atau
dengan jalan mempertahankan sesuatu.
Tujuan mempunyai beberapa fungsi antara lain:
a. Sebagai pedoman
Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang
ingin dicapai oleh suatu sistem sosial. Sebagai pedoman, suatu tujuan
harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu.
b. Sebagai motivasi
Tujuan organisasi masyarakat harus dapat memotisi selurh anggota
yang terlibat dalam suatu sistem sosial untuk ikut berperan serta atau
berpartisipasi dalam seluruh kegiatan masyarakat.
c. Sebagai alat evaluasi
Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi
sosial. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu sistem sosial.
Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu
berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi.
4. Norma
Norma-norma sosial dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku
yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma
menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain,
norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan didalam menilai
tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di
dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk
bersikap atau berperilaku pantas didalam sistem sosial.
5. Kedudukan –peranan
Status dapat didefenisikan sebagai kedudukan didalam sistem sosial yang
tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan
sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma
sosial.Semua sistem sosial, di dalamnya mesti terdapat berbagai macam
kedudukan atau status.
6. Kekuasaan
Kekuasaan dalam suatu sistem sosial seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis
utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif selalu bersandar pada posisi status,
sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang
lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status.
7. Tingkatan atau Pangkat
Tingkatan atau pangkat sebagai unsur dari sistem sosial dpat dipandang sebagai
kepangkatan sosial(sosial standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi
status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang
yang mempunyai pangkat kemiripan. Akan tetapi tidak ada satu sistem sosial
manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya.
8. Sanksi
Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau
tindakan (rewards) dan hukumm (punishment) yang berlaku pada suatu sistem
sosial. Ganjaran dan hukum tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga
tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
9. Sarana
Secara halus, sarana itu dapat dikatann semua cara atau jalan yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri. Bukan sifat dari sarana itu yang penting
didalam sistem sosial, tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatianya pada
masalah penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat
hubungannya dengan sistem sosial.
10. Tekanan tegangan
Dalam sistem sosial akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu
mengakibatkan perpecahan. Dengan kata lain, tidak ada satupun sistem sosial yang
secara seratus persenn teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Gambaran Umum Kelurahan Leatung
Kelurahan Leatung merupakan salah satu kelurahan dari dua dusun yaitu
dusun Leatung dengan dusun Lebani’.
a. Batas-batas Kelurahan
Kelurahan Leatung adalah salah satu dari 6 Kelurahan di kecamatan
Sangalla’ Utara, terletak disebelah pusat Kecamatan, dengan batas-batas sebagai
berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Buntao’
Sebelah Timur berbatasan dengan Leatung Matallo
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa rantelabi’
Sebelah Barat berbatasan dengan Lembang Salu Allo
b. Penduduk
Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas dari keterlibatan serta
partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari kedua dusun diatas sesuai dengan data jumlah penduduk tahun 2010
yang kami kumpulkan berjumlah sebanyak 1235 jiwa. Terdiri atas laki-laki 634
jiwa dan perempuan sebanyak 601 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 296.
Untuk lebih jelasx dapat dilihat pada table 4.2
Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pemeritah di Kelurahan Leatung
maka Kelurahan ini dibagi kedalam 2 dusun yaitu dusun Leatung dengan Lebani’.
Tabel III.
Jumlah penduduk Kelurahan Leatung tahun 2010
Nama Dusun Jenis Kelamin Jumlah Jiwa
L P
Leatung 442 425 867
Lebani’ 192 176 368
Jumlah 634 176 1235
Sumber : data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga dusun Leatung lebih
banyak dari dusun Lebani’ yaitu leatung 867 sedangkan lebani’ hanya 368.
c. Luas wilayah Kelurahan Leatung
Luas wilayah Kelurahan Leatung secara keseluruhan adalah 16.6728 km2
luas tersebut meliputi persawahan, perkebunan masayarakat, pekarangan , dan
lain-lain yang dapat diperinci pada table 1.2 sebagai berikut:
Tabel III.2
Luas wilayah Kelurahan Leatung (diperinci berdasarkan
tanah) tahun 2010
Komposisi Tanah Luas (ha)
Sawah 24.420
Perkebunan 63.019
Pekarangan Rumah 55.645
Lain-lain 23.644
Jumlah 166.728
Sumber: data statistic Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011
d. Jumlah penduduk menurut usia
Jumlah penduduk produktif di Kelurahan Leatung adalah sebanyak 854
jiwa yaitu 17 sampai 56 Tahun sedangkan jumlah non produktif adalah sebesar
381 jiwa.
Tabel III.3
Jumlah penduduk Kelurahan Leatung (diperinci menurut Usia)
No Umur L P Jumlah
1 0 - 12 Bulan 10 4 14
2 1 - 5 Tahun 40 35 75
3 6 - 7 Tahun 38 33 71
4 8 - 17 Tahun 144 134 278
5 18 – 56 Tahun 298 278 576
6 >56 Tahun 104 117 221
Jumlah 634 601 1.235 Jiwa
Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung 2011
B. Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan sumber ekonomi atau sumber pendapatan
penduduk yang dapat menentukan tingkat kemakmuran dan taraf hidup mereka.
Semakin bagus mata pencaharian seseorang maka semakin tinggi pula statusnya
dalam masyarakat. Mata pencaharian Penduduk Kelurahan leatung sangat
bervariasi, mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat adalah
petani, disamping itu sebagian bekerja sebagai pedangan ,pegawai, tukang,sopir
dan sebagainya seperti tampak pada table III.4
Tabel III.4
Jumlah penduduk kelurahan leatung menurut mata pencaharian
No Mata pencaharian Jumlah KK
1 Petani 200
2 Pegawai/ABRI 68
3 Pedangang 11
4 Tukang 15
5 Sopir 13
Jumlah 298
Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun2011
Tabel III.4 diatas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di
Kelurahan Leatung adalah Petani, sebanyak 200 orang dari jumlah penduduk, 68
pegawai, pedangang 11, tukang 15, sopir 13. Dalam bidang pertanian dan
perkebunan Kelurahan Leatung terdapat lahan sawah dan kebun yang cukup luas.
Umumnya Padi, Kopi, Cacao dan sebagian kecil sayur mayur.
C. Sistem Pendidikan
Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan tingkat
kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di
suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilaya, begitu pula
sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat
kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak
untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang
tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan
datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel III.5.
Tabel III.5:
Potensi Kelurahan Leatung dalam sektor pendidikan
NO. Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Buta Aksara 181
2 Tamat SD 279
3 Tamat SLTP 235
4 Tamat SLTA 200
5 Tamat D2 37
6 Tamat S1 109
7 Tamat S2 11
Sumber: data statistik Kelurahan Leatung Tahun 2011
Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidkan
yang dominan di Kelurahan Leatung adalah Tamat SD dan tingkat pendidikan
yang paling kecil adalah S2. Dengan mengacu pada program pemerintah
mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas menunjukkan bahwa
sebagian besar penduduk di Kelurahan Leatung memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi.
D. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah salah satu factor yang sangat penting bagi
suatu Kelurahan di suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang
berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat
dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Leatung
adalah sebagai berikut:
1. Sarana Pemerintah
Kelurahan Leatung memiliki sebuah kantor Kelurahan sebagai tempat untuk
menjalankan pemerintahan. Kantor Kelurahan tersebut memiliki 1 buah
komputer , 2 buah mesin ketik, 8 buah meja, 23 kursi.
2. Sarana kesehatan
Terdapat 1 buah puskesmas, 2 buah posyandu.
3. Sarana ibadah
Terdapat 2 buah gereja Kristen Protestan dan 1 buah gereja Katolik.
4. Sarana keamanan
Terdapat 4 buah pos ronda dan pada setiap RT memilki 2 orang Hansip.
5. Sarana Transportasi
Sarana perhubungan Kelurahan Leatung cukup memadai, dimana semua
pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal,pengerasan dan rintisan.
Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas masyarakat Kelurahan
Leatung.
6. Sarana Air Bersih
Kelurahan Leatung merupakan daerah yang kaya akan mata air yang
berjumlah 18 unit sehinggah sebagian besar masyarakat Kelurahan Leatung
mengkomsumsi air dari mata air yang jernih dan ada pula yang menggunakan
sumur gali dan sumur pompa.
7. Sarana Olaraga
Memilki 1buah lapangan sepak bola, 1 buah lapangan volly, dan 4 buah meja
pimpong.
8. Sarana penerangam
Dari segi penerangan semua wilayah Kelurahan Leatung telah terjangkau
penerangan PLN, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek penerangan tidak
menjadi kendala bagi masyarakat leatung.
E. Sistem Kepercayaan
Dari segi realigi masyarakat Kelurahan Leatung terdiri atas 1.110 orang
beragama Kristen , 112 orang beragama Katolik , 12 orang beragama islam dan 1
orang beragama hindu. Masyarakat Kelurahan Leatung tergolong majemuk
dengan 22 orang suku bugis, 3 orang suku luwu, 10 orang suku flores, 4 orang
suku Makassar, 21 orang suku belau, dan suku Toraja sebanyak 1.750 orang.
F. Sistem Kekerabatan
Ada beberapa hal yang penting mendasar yang mencakup dalam aspek-
aspek sosial setiap masyarakat. Untuk itu, dalam penulisan ini, aspek –aspek yang
dieksperikan ialah sistem kekerabatan dan sistem pelapisan sosial masyarakat
(stratifikasi sosial).
Kekerabatan merupakan kesatuan sosial yang terbentuk atas pertalian
darah atau perkawianan. Kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya
sentiment dan keakraban atara satu dengan yang lainnya.
Dalam perkawinan di Tana Toraja tidak akan terlihat adanya kurban
persembahan atau sajian persembahan seperti pada upacara rambu solo’.hal ini
disebabkan karena perkawinan di Tana Toraja merupakan adat dengan adaya
persetujuan dari kedua bela pihak yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Kesepakatan tersebut kemudian disahkan oleh pemerintah serta hukum-hukum
yang berlaku apabila dalam perkawinan tersebut terjadi perceraian.
Perkawinan adat Toraja atau dalam bahasa Toraja disebut Rampanan
Kapa’ sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum-hukum adat dimana
ketentuan-ketentuan tersebut berpangkal pada susunan Tana’ atau Kasta yang
dianut oleh masyarakat Toraja. Secara umum istilah kekerabatan biasanya
diartikan sebagai kinsip group atau suatu kesatuan sosial yang berbentuk dengan
didasari oleh pertalian darah dan perkawinan. Kelompok-kelompok kekerabatan
ditandai dengan adanya kekerabatan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
perkawinan bagi kebanyakan orang Toraja adalah perkawinan antara rumpun
keluarga yang sama sehingga membina dan mempererat hubungan kekeluargaan.
Dalam masyarakat Toraja dikenal dengan istilah kasiuluran atau pa’rapuan
atau keluarga. Dalam keluarga masyarakat Toraja istilah kekerabatan disebut
dengan siulu’ keluarga batih yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah,Ibu, dan Anak-
anak yang belum kawin.
Dalam garis keturunan yang dinyatakan tutu’ diperhitungkan untuk
menentukan kedudukan sepupu tiga kali dalam bahasa Toraja disebut sampu
pentallun dan angkatan sebelumnya atau atasnya dinyatakan dengan istilah
tomatuangku atau orang tua ego diperhitungkan untuk menentukan kedudukan
sampu penna’pa atau sepupu empat kali dan seterusnya. Selain itu dalam garis
keturunan nene’ atau nenek dikenal pola pelapisan kekerabatan adalah sebagai
berikut toma’dadi untuk angkatan yang sederajat dengan Ibu dan Bapak, sile’to
ntuk angakatan yang sederajad dengan ego atau bila ditempatkan pada urutan
ketiga nenek, ana’dadian untuk angkatan yang sederajat ego, ampo untuk
angkatan yang sederajat dengan anak dari ego.
Dalam masyarakat Toraja ada juga kata sapaan seperti Puang, untuk
kalangan bangsawan dan ambe’, atau indo’, dan sebagainya yang dipergunakan
apabila menyapa terhadap yang tua, baik lebih tua maupun kepada yang lebih
muda dalam usia perorangan disapa dengan ana’. Sistem kekerabatan yang dianut
oleh masyarakat Toraja adalah system bilateral yaitu masuk menjadi anggota
kerabat yakni dari garis keturunan Ayah maupun Ibu.
Di dalam kehidupan masyarakat individu menjadi kepala keluarga adalah
Ayah. Ayah mempunyai tanggung jawab secara langsung untuk melidungi
keluarga dan serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk kebutuhan rumah tangga.
Adapun peran ibu dalam rumah tangga dapat membantu peran ayah untuk
mendukung segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga.
Jika dikaitkan rumah tangga dengan anaka-anak, peran kaum ibu dalam rumah
tangga merupakan aspek yang sangat penting dalam keluarga.
Masyarakat memandang kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama.
Namun terdapat hal yang membedakan antara peran dan tanggung jawab suami
dan istri yang berkaitan dengan rumah tangga. Seorang suami memiliki tanggung
jawab terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kesejateraan , keamnan,
kebahagiaan, serta nafkah yang cukup untuk menjamin rukunnya suatu rumah
tangga. Peran dan tanggung jawab seorang istri memperhatikan dan menjaga anak
serta bertanggung jawab atas segala keperluan suami seperti memasak, mencuci
dan sebagainya.
Dalam hal yang berhubungan dengan garis keturunan, masyarakat Toraja
melihat garis keturuna dari kedua bela pihak , baik Ayah maupun pihak, baik ayah
maupun pihak ibu dengan prinsip bilateral. Dalam permasalahan pembagian
warisan bahwa bila seorang anak yang banyak menyumbang korban persembahan
bila seseorang dari orang tua mereka talah tiada, maka dialah yang paling banyak
mendapatkan warisan, baik laki-laki maupun perempuan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Pada bagian ini, semua yang didapatkan selama dua bulan penelitian
akan dibahas.Responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat Kelurahan
Leatung yang terdiri dari dua dusun Leatung dan Lebani’.
1. Indentitas Informan
Indentitas informan merupakan faktor yang sangat penting untuk diketahui
dalam suatu penelitian, dari data informan ini diharapkan dapat memberikan
suatu gambaran awal yang akan membantu masalah selanjutnya yang akan
diuraikan untuk lebih mengenal informan dalam penelitian ini .
2. Usia Informan
Untuk membahas masalah-masalah yang dikemukakan pada bab
pendahuluan, perlu mengklasifikasi identitas responden sebagai pendukung
dalam memberikan analisa terhadap masalah yang diteliti. Salah satu hal yang
sangat penting dalam memberikan gambaran mengenai suatu pemaknaan tau-tau
dalam upacara rambu solo’. Dan dalam penelitian ini tidak menentukan batas
usia Dalam penelitian ini jenis kelamin informan adalah laki-laki dengan
memilih 8 orang masyarakat setempat sebagi informan.
Adapun umur dari masing-masing responden yaitu ne’ Mariak 75 tahun,
ne’ Etos 65 tahun, Yohanis panggalo 53 Tahun, Y.S Parante 63 tahun, Pak
Arma 69 tahun, Sifa’ datuan 56 tahun, S.S Datuan 56 tahun, Simon 48 Tahun.
3. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu faktor yang sangat menentukan bagi seseorang
untuk kelangsungan hidupnya, apabila bagi mereka yang telah berkeluarga atau
berumah tangga. Demikian pula dengan masyarakat Kelurahan leatung, yang
berusaha memperoleh pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Tentunya setiap orang menginginkan pekerjaan yang baik, dalam artian bahwa
pekerjaan tersebut tidak berat dan mempunyai penghasilan yang memuaskan, hal
ini dapat dicapai bila potensi dan latar belakang individu mendukungnya.
Sebagaimana pendidikan, pekerjaan secara sosiologis bisa menandakan status
sosial seseorang.
Jika seseorang mempunyai pendapatan yang rendah, maka orang
tersebut cenderung mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, seperti
mencari lokasi atau tempat yang menguntungkan.
4. Pendidikan
Tingkat pendidikan informan juga merupakan faktor yang sangat penting
untuk diketahui dalam penelitian, karena pendidikan cukup besar pengaruhnya
pada proses pembauran baik terhadap lingkungan tempat tinggal maupun
lingkungan tempat kerja. Hal ini sangat penting untuk menunjang perbaikan
nasib seseorang. Dalam penelitian ini pendidikan masing-masing responden
berlainan.
B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen Dalam Upacara
Rambu Solo’
1. Makna Simbolik dari Tau-Tau Masa Dulu Menurut Aluk Todolo
Penelitian ini mencoba mengungkapkan makna yang lebih mendalam
tentang makna simbolik Tau-tau , peneliti melengkapi keterangan dari informan
dengan beberapa acuan sejarah dan hasil penelitian.
Sebelum agama Kristen masuk wilayah Tanah Toraja, orang toraja pada
umumnya menganut kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Para penganutnya
harus mematuhi aturan-aturan kehidupan berdasarkan Aluk Todolo untuk
menghindari hukuman dari ketiga pribadi yang dipuja, yaitu Puang Matua (sang
pencipta segala isi bumi), Deata ( sang pemelihara semua ciptaan Puang Matua),
dan Tomembali Puang atau Todolo ( sang pengawas yang memperhatikan
perilaku manusia dan pemberi berkat kepada keturunannya di bumi)
Tangdilintin(1981:79). Salah satu aturan yang harus dipatuhi manusia (penganut
Aluk Todolo) adalah kewajiban untuk membuat Tau-tau bagi orang Tua mereka
yang diupacarakan dalam konteks ini adalah kalangan bangsawan. Namun
demikian tidak semua lapisan bangsawan yang membuat symbol tau-tau dapat
membuat tau-tau yang sama(berdasarkan jenis kayu). Bedasarakan jenis kayu,
Tau-tau dibedakan atas dua jenis, yaitu Tau-tau nangka ( tau-tau permanen, dari
kayu nangka) dan Tau-tau lampa ( bambu).
Patung permanen diperuntukkan bagi golongan bangsawan (puang) yang
dirapa’i (upacara kematian yang besar, biasanya mengorbankan 24 ekor kerbau
sebagai syarat upacara tetapi biasanya lebih dari itu sesuai dari kemampuan) pada
upacara penguburannya, bagi golongan bangsawan yang telah berjasa besar bagi
masyarakat kaya, kuat sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat,
merupakan pemuka/ pemimpin masyarakat, dan bagi golongan yang hidupnya
berarti bagi masyarakat. Hal ini dapat dibangdingkan dengan yang terjadi ditanah
Batak, yaitu bahwa yang pantas atau layak dibuatkan patungnya adalah bapa-bapa
leluhur yang dianggap mempunyai kuasa atau pengaruh yang istimewa,
bedasarkan kemulian mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan mereka dan
kedudukan mereka dalam silsilah marga Lothar(1996:168).
Adapun lapisan bangsawan yang tidak mampu atau tidak mampu atau
tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan Aluk Todolo seperti yang telah
disebutkan di atas, bagi mereka hanya dapat dibuatkan tau-tau lampa.
Untuk membuat Tau-tau dibutuhkan seseorang pemahat yang khusus yang
disebut “topande” dan harus melakukan berbagai prosesi ritual. Mulai dari proses
penebang kayu dipahat menjadi tau-tau ,ritual ma’ pesung (pengorbanan hewan
dan pemberian sajian kepada leluhur yang didewakan) sudah mulai dilakukan.
Hal ini terus berlangsung sampai tau-tau itu selesai dibuat. Sebelum dibuatkan
tau-tau salah satu sanak keluarga yang mau dibuatkan tau-tau menceritakan
karakter simati kepada Topande misalnya pada masa hidupnya orangnya keras
maka muka tau-taunya kakuh dan sebaliknya jika masa hidupnya orang sabar,
baik, lembut maka muka tau-tanya kelihatan senyum. Karena dulunya tau-tau
tidak terlalu mirip dengan mukanya tapi sesuai dengan karakternya. Adapun
posisi atau gaya tau-tau yaitu berdiri tegak, telapak tangan kanan berdiri, seperti
meminta sesuatu. Posisi ini disebut dirinding pala’ dikulambu taruno yang
mempunyai makna bahwa roh leluhur akan senantiasa menjaga keselamatan
seluruh anak cucu dan masyarakat dengan memberikan persembahan berupa
kurban pada saat upacara berlangsung. Menurut ne’ mariak (75 tahun)
“selama dalam proses pembuatan tau-tau, Topande harus tidur didekat atau dibawah kolong rumah tempat jenazah disemayamkan. Hal itu dimaksudkan agar ia kemasukan roh dari jelasah dan mendapat ilham dari jenazah tersebut dan dengan demikian rupa atau roman muka dari tau-tau yang dibuatnya itu mirip atau menyerupai roman muka dari orang yang meninggal itu” (wawancara 20 februari 2011).
Menurut Topande dari buntao’ bahwa sebuah tau-tau dapat dibuat
maksimal 23 hari untuk tau-tau Todolo. Pada saat tau-tau itu selesai dibuat, tau-
tau itu dilantik lebih dulu dengan satu upacara disebut, “massa’bu tau-tau” yang
dilengkapi dengan sajian kurban babi, kemudian dipakaikan dengan pakaian adat
dan dihiasi dengan pershiasan pusaka seperti manusia, dengan maksud untuk
memberikan simbol tersebut menggambarkan diri simati bahwa dia dari strata
sosial yang tinggi (bangsawan).
Tau-tau yang telah dilantik tersebut diletakkan didekat jenazah. Ia
diperlakukan sebagaimana orang yang masih hidup seperti: diberi nasi (makanan).
Minuman, sirih, dan dikenakan pakaian adat dan berbagai perhiasan pusaka. Para
penganut Aluk Todolo mempunyai kepercayaan bahwa tau-tau yang sudah
dilantik tersebut, roh simati sudah masuk dalam tau-tau tersebut sehingga
diperlakukan demikian. Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan tau-tau ini,
kita dapat mengetahui status sosial dari sipunya tau-tau. Tau-tau yang memilki
simbol yakni penggunaan seppa tallu buku ( celana yang hanya sampai dibagian
lutut) dan dodo ( sarung yang diselempangkan pada tau-tau yang umumya
berwarna putih) adalah seorang bangsawan. Pakaian yang dikenakan tau-tau
menyerupai pakaian masyarakat Toraja pada upacara rambu solo’ berlangsung,
tau-tau laki-laki memakai baju dari pasangan seppa tallu buku, ikat
kepala( pa’tali), dan salempang dari sarung. Sedangkan tau-tau wanita
mengenakan baju pokko’ ( baju yang pada lenganya hanya sampai pada siku dan
sempit), sedangkan bagian bawahnya memakai sarung, memakai tutup kepala dari
sarong ( terbuat dari bambu menyerupai paying, tetapi tidak mempunyai batang),
dan membawa semacam tas tempat sirih yang disebut sepu’. Setelah tiba saatnya
pelaksanaan upacara pemakaman, jenazah bersama ta-taunya diturunkan
kelumbung padi (mengkalao alang).
Setelah mengkalao alang tau-tau diletakkan didepan lumbung. Sesuai
dengan adat pada upacara rambu solo’ yang akan dilaksanakan, maka tau-tau ini
dibuatkan usungan, lalu tau-tau tersebut didirikan atau didudukkan diatas usungan
tersebut. Usungan ini berguna untuk mengangkat tau-tau tersebut pada saat acara
ma’pasonglo’. Menurut ne’ etos (65 tahun):
“Ma’pasonglo’ merupakan acara mengarak tau-tau tersebut bersama dengan orang yang meninggal yang dibuatkan tau-tau mengelilingi kampung dengan diikuti keluarga yang berjalan dibelakang orang yang mengusung peti mati serta tau-tau” (wawancara 28 februari 2011).
Mereka berjalan dibawah bentangan kain merah yang diikat pada usungan
petih jenazah yang dibentangkan diatas kepala mengikuti arakan-arakan para
pembawa usungan peti yang disebut “saringan” ( terbuat dari bambu yang
menyerupai rumah adat toraja tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih ringan
sehingga bisa untuk diangkat), kurban yang akan dipersembahkan dalam upacara
rambu’ solo’ tersebut seperti kerbau turut juga diara-arak yang sudah pula dihiasi
berbagai hiasan (benda Pusaka Aluk Todolo). Setelah acara arak-rakan selesai,
maka orang mati tersebut kembali ketempat semula atau tongkonan tempat
dimana upacara tersebut akan dilaksanakan atau dimulai.
Setelah pesta ini berlangsung selama beberapa hari sesuai adat yang
berlaku dan berbagai prosesi upacara yang dilaksanakan didalamnya, maka orang
yang meninggal tersebut akan diusung ramai-ramai menuju tempat
penguburan( diliang-liang batu) bersama dengan tau-tau yang juga diusung
ketempat penguburan. Setelah orang yang meninggal tersebut diletakkan ditempat
yang telah disediakan seperti liang segi empat yang dipahat pada didnding batu,
kemudian tau-tau tersebut juga diletakkan pada dinding-dinding batu yang dipahat
memanjang membentuk pesegi panjang. Dan yang menarik dari pekuburan batu
adalah semakin tinggi pekuburan batu (liang si mati) menunjukkan kedudukan
atau status seseorang yang dikuburkan dalam liang tersebut sangat tinggi pula
( bangsawan) dalam masyarakat dan juga ada makna lain dari itu bahwa
penempatan tau-tau pada tebing yang tinggi mempunyai makna simbolik yakni
sebagai tanda atau wujud bahwa roh leluhur selalu menjaga dan mengawasi
masyarakat dari segala malapetaka.
Dan pada saat jenazah dimasukkan atau dikuburkan kedalam kuburan batu
(liang), tau-tau diletakkan berdiri didepan atau disamping liang agar mudah dilihat
dari luar. Setiap beberapa tahun pakaian diganti oleh kaum keluarganya dengan
disertai upacara persembahan. Penggatian pakaian tau-tau ini dilakukan sebelum
ada jenasah baru dari rumpun keluarga yang dikuburkan.
Tau-tau merupakan perlengkapan yang sangat penting pada upacara
pemakaman, sesungguhnya diltarbelakangi oleh faktor, kepercayaan, prestise, dan
ekonomi. Fungsi dan makna tau-tau dalam upacara rambu solo’ menurut
kepercayaan aluk todolo bahwa dewa yang mereka sembah dan diratapi oleh
keluarga dan masyarakat. Menurut Yohanis panggalo (53 tahun):
“ dewa dapat tinggal dalam tau-tau itu sehingga tau-tau tersebut menjadi pusat kekuatan, kesaktian dan daya gaib dan tau-tau itu seolah-olah menjadi manifestasi (penjelmaan) dari dewa itu sendiri. Serta mempermudah proses penyembahan bagi leluhur”( wawancara 21 februari 2011).
Karena kepercayaan Aluk Todolo yang menyakini bahwa: mati adalah
suatu proses perubahan status dari manusia yang hidup kepada manusia roh
dialam gaib yang disebut To Membali Puang setelah melalui upacara peresmian
atau pelantikan roh (massa’bu) menjadi dewa dalam upacara pemakaman.
Pembuatan tau-tau ini dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial budaya yang
erat hubungannya dengan penonjolan status sosial atau strata kebangsawanan dari
orang yang terpandang. Selain itu juga karena adanya kepercayaan bahwa Tau-tau
dianggap perwujud bagian dari orang yang sudah meninggal, dengan demikian
orang yang sudah meninggal tersebut tetap ada dan menjaga kita dari atas sana
(alam baka).
Adapun tujuan pembuatan tau-tau yaitu untuk digunakan sebagai tanda
atau simbol dalam upacara rambu solo’ bagi orang lain bahwa yang meninggal
tersebut adalah kalangan bangsawan dan sebagai simbol penting dalam upacara
Rambu Solo’ tinggkat rapasan atau dirapai’i.
2. Makna religius
Makna yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna yang berhubungan
dengan agama ;penyembahan atau pemujaan atau keprcayaan. Menurut ajaran
Aluk Todolo yang sesuai dengan sukaran aluk (sukaran = ketentuan,
susunan,ukuran; aluk = aturan ), manusia harus percaya dan memuja serta
menyembah kepada tiga oknum Tandilintin (1981:79), yaitu:
a. Puang Matua sebagai sang pencipta segala isi bumi ini.
b. Deata-deata yang banyak jumlahnya itu sebagai sang pemelihara seluruh
ciptaan Puang Matua.
c. Tomembali puang/Todolo sebagai sang pengawas memperhatikan garak-
gerik serta member berkat kepada manusia (keturunanya).
Salah satu dari tiga oknum yang dipuja dan disembah dalam Aluk Todolo
ini ialah oknum ketiga yaitu, Tomembali Puang/ Todolo.Latar belakang dari
penyembahan tersebut adalah berdasar pada keyakinan dalam Aluk Todolo,
bahwa antara yang hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan
yang erat. Roh/jiwa dari orang yang meninggal akan berubah menjadi dewa
(Tomembali Puang) setelah melalui upacara penyembahan/pemujaan.
Berdasarkan Aluk Todolo ini, seseorang yang mati harus dirawat atu diperlakukan
betul-betul seperti dan memelihara orang yang masih hidup, yaitu dengan
melengkapkan segala keperluan yang akan digunakan oleh roh di alam gaib yang
disebut Puya (tempat bersemayam roh menurut keyakinan Aluk Todolo).
Adapun tujuan dari pegadaan kurban harta benda (kerbau,babi, kuda, rusa
dan lain-lain) pada pemakaman orang mati menurut Aluk Todolo di Tana Toraja,
tangdilintingg (1981:121):
a. Akan menjadi bekal atau harta benda roh orang mati di alam baka/alam
gaib.
b. Akan menentukan kedudukan arwah yang dinamakan “to membali puang”
(arwah yang telah menjadi dewa) dia alam baka/gaib, karena menurut
keyakinan aluk todolo bahwa arwah yang datang ke puya dengan tidak
membawa bekal dari dunia tidak dapat diterima secara wajar di puya.
c. Sebagai suatu hal yang menentukan martabat dari keturunanya didalam
masyarakat seterusnya, dan dalam pembagian warisan.
Disamping sebagai bekal kealam baka/gaib serta menjadi korba
sosial;adanya kurban harta benda pada upacara pemakaman adalah untuk
memenuhi tuntutan adat hidup dan pergaulan hidup dari orang mati selama
hidupnya. Karena itu, kurban yang ada disesuaikann dengan kedudukan kastanya
serta peranan dalam masyarakat Tangdilintin (1981:122).
Tau-tau sebagai simbol kehadiran dewa/arwah leluhur dalam suatu
upacara raambu solo’ di toraja menurut Aluk Todolo harus mendapat perlakuan
seperti manusia, dan harus dipuja serta disembah. Aluk todolo mengajarkan
bahwa arwa nenek moyang selalu menyertai dan menjaga anak cucunya dan dapat
memberi berkat bagi mereka. Hal ini dideskripsikan melalui posisi kedua tangan
tau-tau yang agak lain jika dibandingkan dengan posisi tangan orang yang masih
hidup. Tangan dari tau-tau berada pada posisi mangrande pala’ (menopang
telapak tangan), ma’ rinding taruno (melindungi jari). Menurut S.S Datuan (43
tahun):
“artinya dari bentuk atau posisi tangan tau-tau ini adalah bahwa leluhur atau nenek moyang mengharapkan atu meminta kurban persembaha berupa harta benda (kerbau atau babi) dari anak cucunya sesuai dengan banyaknya harta atau kemampuan mereka, dan sebagai imbalannya, nenek moyang akan member berkat bagi anak cucunya” (wawacara tanggal 4 maret 2011).Akan tetapi roh leluhur ini dapat pula memberi kutukan bagi
keturunanya jika tidak memenuhi persyaratan dari pemujaan.
Nenek moyang yang sudah menjadi dewa berarti sudah berdiri secara
otonom menguasai keluarganya sendiri, dalam arti bisa mengutuk atau
memberkati (informasi dari J.A Sarira budayawan Toraja). Berkat dan kutuk
sangat tergantung pada sikap keluarga terhadap nenek moyang yang sudah
meninggal. Dengan demikian hubungan atara leluhur dengan keturunannya harus
senantiasa terpelihara dengan baik.
Jadi jelas bahwa pemujaan nenek moyang disebabkan oleh rasa takut,
rasa hormat dan cinta kasih, tetapi juga mengandung unsur paksaan, yaitu
memaksa leluhur memberi berkat bagi keturunannya.
3. Makna Estetika Dari Tau-tau
Makna estetika adalah makna yang mengandung keindahan, sedap dipandang
mata karena bentuknya yang indah, mempunyai nilai seni yang tinggi atau artistik.
Nilai seperti ini dapat juga kita jumpai pada pembuatan tau-tau di toraja. Patung
yang adalah hasil karya pemahat yang bernilai seni yang tinggi dalam kebudayaan
toraja, bersifat sosial budaya dan memaikan peranan penting pada upacara
rambu solo’. Menurut ne’ Mariak (75 tahun):
“membuat tau-tau ini adalah salah satu bentuk dan cara mengungkapakan nilai seni pada upacara rambu solo’ disamping bentuk dan cara lain, seperti mengukir peti mati dan peralatan-peralatan upacara rambu solo’ lain, penggunaan pakaian adat Toraja, hiasan-hiasan, dan lain-lain (wawancara 11 maret 2011)”.
Patung yang dipahat topande akan menghasilakan bentuk dan rupa
patung yang indah, yang sangat mirip dengan rupa orang yang dibuatkan
patungnya. Hal ini akan menimbulkan kekaguman bagi orang yang
melihatnya.Nilai seni yang terdapat atau dikandung oleh tau-tau ini jika
dikembangkang dengan baik akan dapat menunjang pengembangan sector
parawisata. Khusunya dengan terbukanya dan ditetapkannya Tana Toraja sebagai
daerah parawisata menyebabkan penggalian kebudayaan yang lama, termasuk
pengadaan tau-tau.
Dengan gencaranya program diversifikasi seni tradisi Toraja dan
menguatnya posisi agama Kristen, maka tau-tau dianggap sebagai bagian dari
nilai seni toraja yang harus dikembangkan tanpa tekukuh oleh material, gaya,
bentuk dan upacara untuk mengkukuhkan tau-tau bernilai sakral. Karna itu
replika tau-tau dengan berbagai gaya dan ukuran bermunculan yang dibuat oleh
para perajin Toraja yang selama ini pada umumnya membuat cendramata ukir
dan replica tongkonan dan berbagai ukiran motif toraja dalam aneka wadah.
4. Makna Ekonomi Tau-tau
Sebuah tau-tau dapat dinilai dengan 1 ekor kerbau tedong pudu’ dengan
harga sekitar 47 juta menurut Simon (48 tahun) . mungkin kita berfikir bahwa
sebagian orang toraja mungkin tidak menggunakan perhitungan rasio dalam
menilai suatu tau-tau. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pendekatan
ekonomi masa kini untuk memberi harga yang relative pantas untuk tau-tau yang
sebelumnya telah dikontruksikan sedemikian rupa dalam falsafah toraja.
Namum menurut salah seorang informan ne’ Mariak (75 tahun) tau-tau Aluk Todolo ada yang bernilai ratusan juta rupiah kerena dianggap mempunyai kekuatan gaib.Falsafah orang toraja yang mengkonstruksikan value (nilai) dan price (harga) nampaknya masih berlaku hingga saat ini. Kondisi seperti ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat toraja, seperti keterangan dari informan Simon (48 tahun):“pelaksanaan upacar rambu solo’ yang menggunakan tau-tau dalam upacara mereka memperkuat sistem ekonomi masyarakat. Mereka dapat membuka dan menegmbangkan lapangan kerja melaui pengrajin pahat (wawancara 23 februari)”.
Dari aspek ekonomi, tau-tau merupakan sumber pendapatan bagi sebaian warga di
tana toraja. Sejumlah orang toraja bahkan menjadi pengrajin pahat untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Selain berfungsi sebagai salah satu pendapatan bagi
warga, tau-tau cenderung dihargai lebih tinggi menjelang banyaknya pelaksanaan
(musim) beberapa upacara rambu solo’ di Tana Toraja. Dalam hal ini pengrajin
pahat akan kebanjiran pesanan dan akan memperoleh keuntungan yang relative
besar.
C.Makna Stratifikasi Sosial dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial
Struktur dan stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Toraja biasanya
berdasarkan garis keturunan, kekayaan, usia, dan pekerjaan. Sebelumnya,
khususnya pada masa pra-kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat Toraja
yakni, aristokrat (puang atau parengnge), orang biasa/awam (to buda, to sama),
dan budak (kaunan). Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski sebenarnya
seseorang itu sukses secara finansial atau bahkan gagal beberapa orang
diperbolehkan menerobos rintangan sosial ini Ini tentu saja berbeda dengan sistem
dan struktur sosial pada masyarakat modern saat ini.
Tetapi ada umumnya dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat
strata sosial yang disebut Tana’, strata yang dimaksud antara lain :
a. Tana’ Bulawsan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi.
b. Tana’ Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah.
c. Tana’ Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat merdeka.
d. Tana’ Kua-kua, lapisan sosial golongan hamba/budak.
Sementara secara fungsional, klasifikasi kepemimpinan dalam masyarakat Toraja
adalah sebagai berikut:
Toparengnge’. Kelompok ini berfungsi sebagai penasehat dan pemelihara
keyakinan Aluk Todolo. Di setiap desa memiliki 4 sampai 8 orang toparengnge’
Tobara’. Kelompok ini adalah asisten Toparengnge’. Fungsi mereka
adalah memelihara kebiasaan (adat) dan tradisi lama keyakinan Aluk Todolo.
Biasanya mereka terdiri dari 2 orang atau bahkan lebih di setiap desa.
Tominaa. Kelompok ini adalah pemimpin adat dan agama. Mereka
pemimpin setiap upacara-upacara adat dan acara kematian, dan pesta syukuran.
Mereka tidak menerima bayaran atas kewajiban mereka. Mereka juga termasuk
orang yang rendah hati (modest) dan jujur (honest) (periksa juga Veen, 1965).
Ambe’ tondok. Kelas ini adalah pemimpin kampung. Seorang Ambe’
Tondok bisa juga dipilih sebagai kepala kampung. Ambe’ Tondok dipilih oleh para
pemimpin sosial informal. Mereka terdiri dari beberapa orang di suatu kampung.
Tobulodia’pa. Kelas ini merupakan kelas terendah dalam masyarakat
Toraja secara fungsional. Mereka tidak memiliki hak atau kekuasaan, tetapi pada
saat bersamaan mereka diwajibkan melaksanakan praktek ajaran Aluk Todolo dan
menaati perintah keempat kelas di atas.
Hingga kini sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja masih berlaku.
Misalnya, dalam masyarakat Toraja khususnya, sistem perbudakan muncul sebagai
konsekuensi dari pembagian kelas-kelas sosial. Sistem perbudakan ini seringkali
berakar dari, jika bukan dilegalisasi oleh, adat (Customary Law) yang berlaku
dalam masyarakat (Wertheim, 1976:194, Wertheim, 1956:132-52). Meski sistem
perbudakan telah lama dihapuskan, jika bukan dilarang, di negeri ini, beberapa
kaum aristokrat masih menerapkan sistem seperti ini, meski dalam tingkat yang
wajar dan tidak seketat dahulu.
Riset Eric Crystal (1970, 1994), Volkman (1990), dan Nooy-Palm (1986)
menyimpulkan bahwa sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja turut
mempengaruhi tipe kepemimpinan dan otoritas tradisional di daerah ini. Bahkan
sampai kini otoritas tradisonal ini coba dipertahankan dengan berbagai cara.
Misalnya dengan berafiliasi kepada organisasi sosial tertentu, mempertegas
kembali fungsi-fungsi adat, dan bahkan pengembalian fungsi lembang seperti
sebelumnya.
Adanya lapisan atau golongan yang terdapat dalam masyarakat suku
toraja ini sangat berpengaruh pada pengadaan Tau-tau. Lapisan yang paling
rendah (golongan hamba) sama sekali tidak boleh membuat tau-tau atau sama
sekali tidak boleh dibuatkan tau-taunya bila kelak meninggal nanti. Hal ini
disebabkan adanya pemahaman bahwa tidak semua leluhur yang dapat dipuja atau
disembah. Leluhur yang dapat diangkat menjadi leluhur yang dapat dipuja dan
disembah adalah bapa-bapa leluhur yang telah melindungi rakyat (urrinding
tondok) dan membela rakyat, mereka dianggap memiliki suatu kuasa pengaruh
yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka dibumi, berdasarkan harta
kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Jadi tidak semua orang mati
dapat diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja/disembah. Itulah sebabnya
dari empat strata sosial masyarakat yang ada dalam masyarakat suku toraja
tersebut yang layak dibuatkan tau-tau adalah golongan bangsawan.Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa makna tau-tau berdasarkan makna stratifikasi
sosial ini tujuannya adalah untuk menunjukkan identitas keluarga yang dibuatkan
simbol tau-tau sebagai keluarga yang berada atau kaya dan memilki kuasa,
pengaruh serta kedudukan dalam masyarakat. Menurut Simon (48 tahun):
“makna ini ingin menunjukkan identitas kebangsawanan si pemilik patung beserta kaum keluarganya (wawancara tanggal 23 februai 2011)”
D. Makna Simbolik Tau-tau Dalam Kehidupan Sosial budaya
Masyarakat Toraja adalah masyarakat yang senantiasa mempertahankan
tradisi budaya secara turun temurun. Adanya peninggalan-peninggalan budaya,
perilaku dan alamnya sangat mencerminkan sebuah masyarakat tradisional dengan
kesungguhan menjaga dan melestarikan tradisi yang masih terpelihara sampai
sekarang yakni tradisi penggunaan Tau-tau dalam upacara Rambu Solo’ untuk
orang yang sudah meninggal dan merupakan bangsawan.
Dalam pembuatan tau-tau tidak terlepas dari makna yang mendasari serta
kedudukan dalam sistem sosial budaya Toraja. Menurut wawancara yang
dilakukan penulis kepada beberapa tokoh masyarakat bahwa pembuatan tau-tau
berdasarkan bahannya menjadi dua yaitu tau-tau nangka dan tau-tau lampa.Tau-
tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
sedangkan tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menengah
(tana’ bassi) nama upacaranyapun dibedakan yakni upacara pemakaman yang
menggunakan tau-tau nangka disebut upacara pemakaman tingkat Rapasan
sedangkan upacara yang menggunakan tau-tau lampa disebut Doya tedong atau
tingkat dibatang.
Seperti masyarakat lainnya setiap tingkahlaku dan material budaya
masyarakat Toraja selalu sarat akan pemakaman. Demikian pula dengan
menggunakan kayu nangka
Sebagai bahan utama pembuatann tau-tau karena mempunyai getah
berwarna putih yang diartikan sebagai darah dewa. Masyrakat toraja mempunyai
kepercayaan bahwa darah dewa berwarna putih, karena kaum bangsawan tinggi
adalah titisan dewa maka tau-tau perwujudannya harus dibuat dari bahan kayu
nangka.
Sesuai observasi ciri-ciri fisik seperti tau-tau yang ada di tana toraja
khususnya disanggala’ tepatnya di pekuburan saudara salah satu informan peneliti
yaitu ne’ Mariak dan juga ditempat salah satu objek parawisata di Suaya. Salah
satu pekuburan yang di tempati almarhum Puang Sangalla’ disemayamkam, yaitu
ada posisinya berdiri dan ada posisinya duduk. Tau-tau laki-laki memilki ciri-ciri
seperti : a. dagu yang agak lebar, b. pakaian tau-tau menyerupai pakaian
masyarakat toraja pada umunnya (saat upacara rambu solo’), c. memakai baju
menyerupai jas, d. ikat kepala yang disebut pa’ tali, e. celana yang hanya sampai
bagian lutut disebut seppa tallu buku, f. selempang berupa sarung dan umunya
berwarna putih (simbol darah dewa).
Untuk tau-tau wanita memiliki ciri-ciri seperti : a. dagu yang agak lonjong,
b. tutup kepala dari sarong atau passarong yang terbuat dari ayaman bambu,
berbentuk seperti payung, c. pakaian yang diapakai adalah baju pokko yang pada
umumnya hanya lenganya hanya sampai pada siku dan sempit, d. bagian bawah
atau celana memakai sarung khusus yang hanya dijumpai ditoraja tenunan asli
toraja (seppa tallu buku, baju pokko dan dodo), dan biasanya bagi Tau- tau
perempuan dilengkapi asesoris yang disebut Kandaure yang terbuat dari ayaman
manik-manik berwarna- warni yang hanya ad ditoraja tetapi juga di suku dayak
(Kalimantan) dapat kita jumpai anyaman manik-manik yang bahannya sama tetapi
tidak disebut Kandaure dan tidak berbentuk seperti Kandaure.
Selain perbedaan ciri-ciri tersebut terdapat persamaan atara Tau-tau laki-laki
dengan Tau-tau wanita. Persamaan tersebut berupa mata yang terbuat dari tulang
dan berwarna putih, alis mata diberi warna hitam, sama-sama membawa Sepu’
(semacam tas tempat sirih) sikap tangan yang sama yaitu tangan jiri terbuka dan
tangan kanan terjulur seakan-akan memberi salam atau sebaliknya, sikap badan
tegak berdiri, bentuk muka yang kaku dan mata yang melotot. Menurut S.S
Datuan ( 43 tahun):
Bahwa mata yang melotot pada Tau-tau mempunyai makna bahwa orang yang dibuatkan tau-tau tersebut semasa hidupnya selalu siap dan tegar
menghadapi segala permasalahan hidup Tau-tau dengan posisi berdiri dan memengang tongkat mempunyai makna bahwa beliau merupakan pemengang kekuasaan dalam memimpin masyarakat dalam segi adat – istiadat. Adapun tau-tau dengan posisi duduk yang kebanyakan adalah kaum wanita yang mempunyai makna bahwa kaum wanita bertanggung jawab dalam mengatur urusan rumah tangga” (wawancara 2 maret 2011).Tau-tau merupakan salah satu simbol dari upacara Rambu Solo’ di Tana
Toraja tentunya mengandung nilai-nilai atau makna tersendiri, menurut ne’
Mariak ( 75 tahun ) :
“ pemaknaan dalam penempatan dan sikap Tau-tau mempunyai suatu nilai atau makna” (wawancara 11 maret 2011).
Penempatan Tau-tau pada tebing yang terpahat dan menghadap
ketimur yang dibawahnya terhampar area persawahan yang dimaksudkan sebagai
permintaan akan kesejateraan hidup masyarakat. Dengan begitu sawah-sawah
akan menghasilakan padi yang melimpah dan arwah leluhur akan memberikan
kesuburan.
E. Norma / Aturan-aturan Yang Berkaitan Dengan Tau-tau
Masyarakat tana toraja didalam melaksanakan kegiataan yang
berhubungan Ma’ tau-tau senantiasa didasarkan pada aluk-ada’. Aluk adalah
norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat dan merupakan peraturan
yang tidak tertulis yang diwariskan dari generasi kegenerasi secara turun temurun
tanpa ada perubahan berati.
Aluk adalah keseluruhan aturan-aturan keagamaan dan kemasyarakatan.
Karena seluruh kehidupan itu selalu dikaitan dengan aluk, maka aluk dilaksanakan
dalam seluruh kehidupan itu dan alam sekitarnya menurut Kobong dkk (1992:6),
misalnya:
a. Alukna mello tau
b. Aluk parpe
c. Aluk bagunan banua
d. Aluk padang
e. Aluk rambu tuka’
f. Aluk rambu’ solo’
g. Aluk Tanana pasa’
h. Aluk bua’
Orang toraja percaya bahwa Aluk sama dengan agama bahakan mengandung
arti yang sangat dalam dan luas, jadi Aluk Todolo bagi orang Toraja merupakan
keyakinan agama, kepercayaan, upacara agama, upacara adat, yang mengandung
larangan (pemali) dan pedoman berinteraksi dan bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat. Yang melanggar tuntutan dan pemali aluk akann akan
mendapat pembalasan dari dewa (nenek moyang) semacam karma. Itulah
sebabnya aluk – aluk tersebut terkadang disebut aluk nenek karena ada kesan
pelaksanaanya berhubungan lansung dan pemeliharaan oleh leluhur nenek
moyang. Menurut Sipa’ Datuan ( 56 tahun) :
“bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai inti , norma-norma aturan yang berlaku dalam aluk siapapun yang mengubah aluk (lale-lale aluk) akan mendapat teguran dari dewa (deata) leluhurnya” ( wawancara 25 februari 2011).
Masyarakat Toraja percaya bahwa Aluk yang sudah turun temurun dari leluhur
tidak boleh di ubah secara semena-mena oleh orang yang tidak mengerti tentang
Aluk, jika aluk di ubah atau dipermaikan tidak sesuai dengan nilai dan norma
yang terdapat dalam aluk akan mendatangkan mala petaka bagi yang mengubah
aluk dan akan terus kegenerasi mereka ‘ke generasi ketiga, ketuju dan akan terus
kegenerasi berikutnya jika dia tidak meminta maaf kepada dewa melalui ritual
yang ditentukan dalam aluk’ (osso’ ma’ pentallun ma’pempitu sae lako ketae’ na
pemaseroi male ma’pesung lako deata). Menurut Y.S Parante (63 tahun):
“Bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, antara lain nilai inti yang terkandung dalam adalah siri’ rapu, siri’ siluang’ siri’ tongkonan dan siri’ tondok” wawancara 15 maret 2011).Kebanyakan pola kehidupan orang toraja diatur dengan aluk sola pemali
didalam hidup seseorang justru menyebabkan pala hidup orang itu cukup teratur.
Oleh sebab itu, pola kehidupan yang diatur dengan aluk sola pemali melahirkan
kebiasaan-kebiasaan yang diusung menjadi adat-istiadat dalam masyarakat.
Setiap masyarakat pada dasarnya memilki aturan atau norma yang berlaku
dalam lingkungan masyarakatnya serta adat istidat yang harus ditaati oleh setiap
warganya. Hal ini berlaku dalam lingkungan masyarakat toraja, khususnya dalam
melaksanakan ma’tau-tau terlebih dulu memahami akan adanya aluk yang berlaku
dan berkaitan dengan simbol tersebut. Aluk dapat diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui Aluk Tallu Lolona ( tiga pucuk) yaitu:
a. Aluk Mello Tau, yang diperuntukkan bagi dunia mahluk manusia
b. Aluk Patuoan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan
c. Aluk Tananan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan
Hubungan sosial dikalangan warga masyarakat toraja dengan sendirinya
diatur oleh norma yang telah disepakati dalam masyarakat. Secara individu
manusia itu pada dasarnya ingin menang sendiri serta ingin mengutamakan
kepentingan pribadinya dengan mengabaikan kepentingan orang lain, untuk
menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut, maka dibuatlah norma atau
aturan yang dapat mengatur hubungan-hubungan tersebut dalam masyarakat.
Menurut Rumengan (69 tahun):
“ segala pekerjaan yang ada dibumi ini, kesemuanya itu didasari dengan norma atu aturan, adat serta larangan. Demikian halnya dalam kehidupan masyarakat toraja, segala sesuatu yang dilakukan, baik itu upacara rambu’ solo’ maupun rambu’ tuka’ akan selalu didasari dengan aturan adat serta larangan yang ad dalam masyarakat”.
Meskipun demikian masih ada masyakat yang melanggar peraturan yang
ada misalnya pada pembuatan tau-tau ada orang yang membuatkan tau-tau dalam
keluarganya yang tidak sesuai dengan norma yang ada yaitu membuatan patung
tau-tau nangka buat leluhurnya karena mereka mau dinggap sebagai bangsawan
tinggi dan mereka juga tidak mematuhi aturan dan makna yang terkandung
didalamnya, tidak sesuai dengan Aluk yang ada. Menurut peraturan adat orang
Toraja yang boleh dibuatkan Tau-tau nangka adalah bangsawan tinggi yang telah
berjasa besar bagi masyarakat, kaya, kuat sehingga menjadi pelindung dan
pembela bagi rakyat,merupakan pemuka/pemimpin masyarakat, tetapi banyak
masyarakat tidak paham dengan aturan yang berlaku. Karena mereka menggangap
dirinya adalah bangsawan dan berjasa bagi masyarakat tetapi kenyataan yang ada
bila kita telusuri mereka hanya boleh dibuatkan tau-tau lampa. Dan ada pula
masyarakat yang bukan dari kalangan bangsawan tetapi membuatkan tau-tau buat
orang tua mereka karena mereka menggangap dirinya sudah mampu menurut
ekonomi. Menurut Y.S Parante (63 tahun):
“orang yang tidak mentaati aluk akan mendapat sanksi sesuai aturan yang beralaku dalam masyarakat serta orang yang membuat tau-tau yang bukan dari kalangan bangsawan akan cemohkan dan dipermalukan di masyarakat”(wawancara 27 februari).
Dalam pembuatan tau-tau pada saat masyarakat Tana toraja masih
menganut kepercayaan Aluk todolo sebelum masyarakat tana toraja mengenal
Agama Kristen dan didalam pembuatan tau-tau terdapat norma yang harus ditaati
yaitu sebagai berikut:
a. Pegolahan bahan
Pada tahap pengolahan bahan ini, didahului dengan penebangan pohon
yangdalam bahasa toraja disebut Manglelleng. Pohon yang akan ditebang ini
adalah pohon nangka yang tela tua umurnya. Menurut Y.S Parante (63 tahun):
“sebelum penebangan itu berlangsung, terlebih dahulu diadakan upacara ritual dibawah pohon nangka tersebut. Pada acara ini diadakan pemotongan seekor ayam jantan yang disebut manuk sella’ (ayam jantan yang berwarna merah sedangkan kakinya berwarna putih)” (wawancara 27 februari 2011).
Selain itu, pada acara manglelleng diadakan juga acara Ma’piong dibawah
pohon yang akan ditebang (ma’ piong yaitu memasak nasi dalam bambu atau
biasa disebut lemang), beras yang dimasak bukan sembarang beras pada acara
Ma’piong ini adalah beras Ba’tan yakni semacam beras yang ukurannya kecil-
kecil, kemudian beras kedua ialah beras Kasalle yaitu beras yang sekamnya
mempunyai bulu pada ujungnya.
Apabila semua upacara (memohon kepada Dewa agar pohon yang
ditebang bagus hasilnya nanti bila dipakai) tersebut telah dilaksanakan, maka kayu
nangka tesebut dapat ditebang, baik menggunakan kapak maupun dengan
menggunakan gergaji tau mesin dan dipotong sesuai kebutuhan.
b. Proses pembuatan
Pada tahap ini bahan yang sudah ada diolah kemudian dibentuk dengan
cara dikurangi sedikit demi sedikit memakai parang atau menggunakan pahat.
Seperti pada upacara menglelleng, dalam proses pembuatan ini diadakan upacara
ritual terlebih dahulu. Dalam upacara ritual ini dikorbankan seekor babi.
Kemudian beras masih tetap dimasak seperti upacara Manglelleng namun pada
upacara ini beras tersebut tidak lagi dipiong tetapi dimasa’ yang disebut Sokko’.
Tahap-tahap pembuatan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
Manglassak adalah merupakan pembuatan badan tau-tau beserta kakinya.
Pada bagian ini dikorbankan satu ekor babi sebelum pembuatan tersebut
dilaksanakan kemudian beras di sokko’ (beras ketan di masak dengan santai
sampai kering). Pada tahap ini telahdisiapkan untuk dipahat. Manglassak ini
bahwa bahan yang telah disiapkan dipahat demi sedikit dengan mengikuti bentuk
dasar yang telah dibuat sebelumnya. Pada umumnya bagian ini tidak terlalu
mendapat perhatian yang serius dalam penggarapannya karena pematung
beranggapan bahwa ini akan ditutup oleh baju sehingga tidak terlalu
mendapatkan penggarapan yang final.
Ma’kollong merupakan pembuatan bagian pundak tau-tau atau penyatuan
antara bagian pundak tau-tau dengan kepala dan leher tau-tau menjadi satu
kesatuan. Pada bagian Ma’kollong ini bagian pundak belakang dari tau-tau itu
dibuatkan lobang sebagai tempat untuk menanamkan kepala atau Tau-tau. Pada
tahap ini juga dapat dibuatkan bagian-bagian badan yang lain seperti tangan, jari
tangan dan bagian lengan dari tau-tau tersebut. Pada pembuatan ini bagian lengan,
tangan dan jari tangan dibuat menyambung. Seperti pada acara sebelumnya
bahwa pada acara ma’kollong ini juga dikurbankan seekor babi sebagai korban.
Massa’bu merupakan kegiatan yang paling akhir dilaksanakan pada
kegiatan membuat tau-tau. Pada bagian ini tidak lagi dikorbankan baik ayam
jantan maupun babi. Menurut Ne’ Mariak (75 tahun):
“massa’bu merupakan acara mendirikan atau membangunkan tau-tau tersebut dari posisi tidur ke posisi berdiri, setelah pemahatan selesai maka tidak berarti bahwa tau-tau yang dibuat telah selesai, karena tau-tau ini masih harus diberi asesoris sesuai dengan jenis kelaminnya” (wawancara tanggal 20 februari)”.
Pada saat tau-tau tersebut sudah didirikan dimana semua bagian badannya
telah disatukan secara utuh , maka pada saat itu pula tau-tau tersebut diberi
pakaian dan aksesoris sebagai pelengkap untuk tau-tau wanita biasanya dilengkapi
dengan aksesoris berupa sarong (tebuat dari bambu seperti topi petani tetapi
dengan ukuran yang berbeda agak melebar seperti payung), ponto lokki’ (gelang
erbuat dari emas), serta pemberian rambut yang biasanya diambil dari serat ponda
daa (daunnya sejenis nanas tapi berbuah), lalu rambut disanggul tegak (dilokkon
te’dek). Untuk tau-tau laki-laki biasanya diberi aksesoris berupa Pa’ tali (ikat
kepala dari kain tenun), sarung yang disalempangkan kebadannya yang umumnya
berwarna putih (kembali meningatkan bahwa warna putih adalah warna darah
deata menurut kepercayaan aluk todolo) bahwa tidak semua orang dapat memakai
sarung putih hanya dari kalangan strata sosial tinggi (bangsawan), celana orang
dulu (seppa tallu buku)semacam celana puntung, memakai jas, kadang juga
menngunakan manik (kalung) tanda kebangsawanan, serta memakai tongkat.
Namun tongkat hanya dipengang oleh Tau-tau apabila yang dibuatkan tau-tau
tersebut telah berumur tua. Apabila tau-tau tersebut diberi pakaian maka biasanya
dikorbankan lagi satu ekor babi yang diberi nama bai ballong (seekor babi yang
sempurna tanpa cacat).
Kesemua tata upacara pembuatan tau-tau yang telah disebut diatas
dilaksanakan apabila orang meninggal tersebut dari strata sosial yang tinggi yang
masih menganut agama nenek moyang (aluk todolo). Akan tetapi apabila yang
meninggal tersebut memeluk agama Kristen tidak lagi melakukan upacara
tersebut.
F. Makna Religi Dari Upacara Tau-Tau Masa Kini
a. Tau-Tau Kristen Menurut Ajaran Kristen Protestan (Gereja Toraja)
Munculnya berbagai bentuk dan rupa Tau-tau masa kini bentuk
sinkretisme yang merupakan penyesuaian , perpaduan antara nilai-nilai tradisi
lama (aluk todolo) dengan tradisi baru, tidak terlepas dari adanya upaya
pengukuhan dan penguatan status sosial yang ingin ditunjukkan oleh kaum
bangsawan tinggi Toraja masa kini. Hal ini terutama dilakukan oleh kaum
bangsawan tinggi yang tidak ingin “kehilangan” identitas stratifikasi sosial
sebagai simbol paling terhormat/bermartabat dalam masyarakat Toraja hingga saat
ini. Karena itu simbol-simbol yang mengarah pada kebangsawanan seperti
kepemilkikan harta benda, misalnya banua sura’ tongkonan berukir, alang sura’
lumbung berukir dan Tau-tau tetap mereka pertahankan sebagai milik
kelompoknya yang secara kasat mata membedakannya dengan kelompok
masyarakat biasa lainnya.
Demikian pula dengan pelaksanaan upcara pemakaman masih
dipertahankan sebagai bagian dari identitas kebangsawanan, meskipun hal ini
bertentangan dengan keyakinan yang mayoritas kaum bangsawan anut saat
sekarang ini yaitu agama Kristen, sebab ada tertulis dalam kitab suci agama
Kristen KELUARAN 20: kesepuluh hukum taurat, hukum ke 2 “Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di atas langit,
atau ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya, sebab aku, TUHAN, ALLAHmu,
adalah ALLAH yang cemburu, yang membalaskan kesalahan Bapa kepada
anak-anaknya, kepada keturunan ketiga dan keempat dari orang-orang yang
membenci AKU”.
Bahwa masyarakat Toraja mengetahui bahwa pembuatan tau-tau itu
bertentangan dengan keyakinan yang mereka anut karena tau-tau berasal dari
kepercayaan Aluk Todolo, tetapi disini peneliti mencoba melihat bahwa budaya
mempengaruhi kepercayaan yang dianut masyarakat toraja sekarang ini meskipun
C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian yang utuh tak terpisahkan dari
kebudayaan, nilai agamalah yang mempengaruhi semua nilai-nilai yang ada dalam
kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem nilai dari kebudayaan terwujud
sebagai sistem-sistem simbol suci dimana maknanya bersumber pada ajaran-
ajaran agama yang menjadi kerangkah acuannya. Dalam keadaan demikian maka,
secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi
dan kegiatan berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh
berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan
terwujud dalam kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang
diselimuti oleh sistem-sistem simbol. Tetapi itu pada keyakinan yang lama.
Meskipun demikian peneliti juga melihat bahwa sudah banyak perubahan
yang terjadi pada pembuatan Tau-tau tidak lagi melakukan penyembahan, dan
tidak bernilai pada Aluk todolo yang melakukan pemujaan dan sesajen, sekarang
ini masyrakat Kristen memaknai tau-tau sebagai patung atau gambaran dari orang
yang dibuatkan patung dan akan selalu dikenang.
b. Tau-tau masa kini
Beragamnya bentuk tau-tau yang ada saat ini di Tana Toraja tidak terlepas
dari bebasnya kaum bangsawan memaknai Tau-tau sebagai patung yang
menggambarkan seseorang,. Karena itu pihak keluarga memesan Tau-tau sebagai
potret diri anggota keluarganya dari seniman patung, baik, seniman lokal maupun
seniman luar Tana Toraja. Dalam memaknai tau-tau sebagai patung yang tidak
bermakna Aluk todolo, terdapat berbagai tingkatan tentang tau-tau dan patung
potret dianut oleh kaum bangsawan Toraja. Menurut ne’ Mariak (75 tahun):
“Pedapat yang masih sederhana bahwa bila pembuatan tau-tau tersebut tidak lagi dibuat oleh Pande tau-tau dengan berbagai ritualnya, maka hal ini sudah dapat diterima dan tidak bertentangan dengan iman Kristen (wawancara tanggal 11 maret 2011)”.
Pendapat yang lebih tingkat pemahamannya menurut S.S Datuan (43 tahun):
“Bahwa mengenai simbol Tau-tau yang dipakai dalam suatu upacara Rambu solo’ bagi lapisan masyarakat yang menyadang gelar sebagai bangsawan tinggi (Tana’ bulaan). Mengenai rupa dan bentuk Tau-tau adalah selain tidak dibuat oleh pande dengan berbagai upacara pemujaan, juga patung yang dibuat harus menyerupai wajah dan proposisi dari orang yang dibuatkan Tau-tau dan tetap bahannya dari Kayu nangka”( wawancara 2 maret 2011).
Dalam banyak peristiwa (kasus) terjadi penolakan terhadap Tau-tau yang
dibuat pengrajin dipesan oleh seorang keluarga buat orang tuanya, dengan alasan
ketidak miripan patung dengan wajah dari orang yang dibuatkan patung serta
bahannya bukan dari kayu nangka dalam artian masyarakat tidak memaknai
bahwa nangka yaitu deata dan getahnya adalah darah deata namun masyarakat
sekarang ini memaknai kayu nangka sangat kuat dan tahan lama. Jika Tau-tau
dibuat dari kayu yang tidak sekuat nangka maka akan mungkin tidak kuat dan
tahan lama mungkin cuma tahan beberapa tahun dan akan lapuk sehingga
keluarga yang akan bersiarah ke kuburan tidak menemukant Tau-tau dari keluarga
mereka yang akan mereka kenang seumur hidup.
Salah satu contohnya Tau-tau yang sangat realis (menyerupai orang yang
dipatungkan), bahkan sangat proposional dengan perbandingan ukuran 1:1 dengan
orang yang dipatungkan (sebagai syarat utama diterimahya Tau-tau ini oleh
keluarganya) adalah patung kakak ne’ Mariak salah satu informan peneliti.
Hadirnya bentuk tau-tau dengan corak yang realis yang meskipun sudah
tidak dibuat berdasarkan kepercayaan tahap-tahap Aluk Todolo ternyata tidak
membuat masyarakat toraja khususnya warga sanggala’ utara menganggap bahwa
patung ini bukan benda Aluk Todolo. Hal ini karena disebabkan karena Tau-tau
masih dikaitan dengan bahan bakunya terbuat dari kayu nangka meskipun mereka
sudah memakna berbeda denga Aluk Todolo dan dipajang ditempat pemakaman
meskipun gaya tangan mereka tidak seperti pada Tau-tau Aluk todolo, tetapi yang
sangat menarik bahwa mimik muka dari Patung harus masih sesuai dengan
karakter yang dibuatkan patung dan masyrakat Sanggala’ utara meyakini bahwa
benda aluk todolo ini sangat berarti bagi mereka bahwa sipapun (Tana’ bulaan)
yang membuatkan patung bagi lehurnya akan mendapt berkat, jika mereka yang
tidak membuatkan patung bagi leluhurnya akan mendapa kutuk dari leluhurnya
serta juga mereka masih mengganggap bahwa Tau-tau itu mempunyai sejarah dari
nenek moayang mereka dan akan tetap dijaga kelestariannya.
Meskipun demikian Tau-tau tidak dinilai lagi secara Gaib dan tidak
diperlakukan seperti pada Aluk Todolo (melakukan pemujaan) ini adalah salah
satu aspresiasi dalam memaknai tau-tau masyarakat tana toraja sekarang ini,
meskipun tidak lagi melakukan pemujaan tetapi masih banyak nilai-nilai yang
diadopsi dari Aluk Todolo dan itu tidak akan perna hilang dari masyarakat Toraja
kerena sudah mendara daging dalam kehidupan mereka seperti Makna simbol
Tau-tau dalam upacara rambu solo’sangatlah penting untuk tetap terjaga secara
turun temurun dan tidak akan perna pudar dan itu adalah benda pusaka (warisan)
dari leluhur mereka, meskipun Penganut Aluk Todolo tidak ada lagi.
Tidak dapat disangkal bahwa, bahwa upaya kaum bangsawan Toraja untuk
memberikan pemahaman kepada orang Toraja mengenai perbedaan nama tau-tau
(benda Aluk To dolo-Sakral) dan bahan dari patung yang dipesan dari luar toraja,
menurut informan R.M seperti yang terjadi di salah satu wilayah Tana toraja ada
seseorang bangsawan yang membuatkan Tau-tau bagi Ayahnya yang bernama
T.S, yang berbahan dari semen sedikit lebih “ekstrim” dan mengurangi pemakaian
simbol-simbol Tau-tau bila dibangdingkan dengan Tau-tau milik kakak ne’
Mariak ( Puang kapala ne’Dampang) pada patung ayah T.S tidak menggunakan
pakaian, (baju, celana, ikat kepala sebagaimana Tau-tau puang kapala ne’
Dampang dan semua Tau-tau pada umumnya).
Tetapi wujud dari pakaian yang dikenakan patung ayah T.S adalah gelar
yang didapat sejak bekerja sebagai anggota Polisi. Patung itupun disimpan
ditempat pemakaman buatan yang dibangun menyerupai rumah yang dibuat
menyerupai rumah yang disebut patane. Namun mengingatkan kita pada tradisi
tau-tau aluk tododlo adalah pemakaian benda-benda asli kegemaran dari orang
yang meninggal ( patung ayah T.S) seperti pakaian polisi, kacamata, pin dan tanda
pangkat turut dikenakan pada patung semen tersebut. Menurut R.M (67 tahun):
“ayah dari T.S bukan bangsawan tinggi ( tana’ bulaan) tetapi dari bangsawan menengah (tana’ bassi) jadi saya setuju saja jika mereka memaknai Tau-tau ayah mereka dengan demikian, tetapi masyarakat punya pendapat lain dari pembuatan Tau-tau dari semen tersebut bahwa keluarga T.S membuat tradisi baru yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku, setelah upacara pemakaman selesai , Tau-tau dari semen itu menjadi buah bibir bagi masyarkat setempat bahwa keluarga T.S melanggar adat, serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarkat Toraja, dan mereka percaya Keluarga T.S lambat laun akan menerima teguran dari nenek moyang (kutuk)” wawancara ( 8 maret 2011).
Didalam lingkungan masyarakat toraja telah berlaku norma atau aturan
yang telah dibuat masyarakat. Dalam hal ini, hasil dari putusan musyawarah yang
merupakan suatu keputusan yang tertinggi dan dinggap sakral. Apa yang telah
disepakati dalam hasi musyawarah tidak dapat lagi dirubah dan diakhiri dengan
pemotongan kurban. Hasil keputusan bersama itu tersebut dalam istilah
masyarakat setempat “kada misa” (kata sepakat). Kada misa ini menjadi prinsip
yang teguh dan dipengang setiap melaksanakan aktifitas dalam masyarakat. Jika
terjadi pelanggaran akan berakibat besar. Disebutkan dalam pepatah atau
semboyan orang toraja. “misa’ kada di potuo pantan kada dipomate”. Artinya:
“satu kata akan membawa kehidupan tetapi masing-masing kata dapat membawa
kematian atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ini menandakan bahwa
interaksi di antara masyarakat toraja menuju satu kesepakatan yang mutlak sangat
dijunjung tinggi.
Didalam kesatuan adat seluruh wilayah tana toraja diikat oleh satu atauran
yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yang
secara harafiahnya berarti “negri yang bulat seperti matahari”.Nama ini
mempunyai latar belakang yang bermakana, persekutuan negri sebagi satu
kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak
perna diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri
dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada
sekitar 32 pemangku adat ditoraja. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok
adat tersebut, maka diberilah nama peserikatan bundar atau bulat yang terikat
dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikata seluruh daerah dan
kelompok adat.
Ketika Kristen/Protestan makin banyak dianut sebahagian besar penduduk
sejak tahun 1930-an melaui pendeta-pendeta dari Belanda, muncul dua garis besar
sikap: menolak seluruh unsurelama atau melestarikan apa yang tak bertentangan
dengan norma atau aturan baru. Pada kenyataanya banyak pemeluk Kristen Toraja
beranggapan bahwa tidak semua Aluk bertentangan dengan pemahaman terhadap
ajaran agama baru yang mereka anut, tetapi ada yang bersikap radikal dan
menolak seluruh Aluk meski dalam relasi sosial mereka tidak dapat terhindarkan
dari Aluk, misalnya Upacara Rambu Solo’. Namun ada juga yang bersikap liberal
Yang masi menjalankan Aluk tetapi mengurangi Aluk yang bertentangan dengan
agama. Demikianlah maka saat ini, hampir semua Tau-tau dibuat tidak
berdasarkan aluk dalam artian tidak lagi ada pemujaan dan ritual-ritual, dan tidak
lagi diannggap penjelmaan roh siwafat jadi tidak lagi diberi sesajen.
Masyarakat sangalla’masih mempertahankan adat istidat yang secara turun
temurun kerena mereka menganggap itu warisan dari nenek moyang yang harus
dijaga kelestariannya serta merupakan penghormatan bagi para leluhurnya juga
mereka masih memahami bahwa tau-tau tersebut perwujudan dari si mati yang
mempunyai existensi tersendiri dalam masyarakat.
BAB V
PENUTUP
Sebagai bab penutup dan saran skripsi ini, maka penulis mencoba
membuat beberapa kesimpulan berdasarkan deskripsi yang disajikan dimuka.
A. Kesimpulan
Bertolak dari pembahasan terhadap masalah penelitian, maka ditetapkan
kesimpulan sebagai berikut:
a. Makna simbolik tau-tau yakni sebagai simbol penyembahan atau pemujaan
pada Aluk Todolo, bahwa simbol tau-tau ini tidak dapat dipisahkan dari
kepercayaan Aluk Todolo meskipun sudah ada kepercayaan yang mutlak. Serta
antara hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan yang erat
serta seluruh yang melindungi rakyat dan membela rakyat, mereka ,dianggap
memiliki suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka
dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat
atau sebagai simbol patung yang melambangkan sebgai golongan bangsawan.
b. Makna Simbolik tau-tau dalam kehidupan sosial budaya pada umumnya
pembuatan Tau-tau berdasarkan status sosial dan bahanya dapat dibagi dua
yaitu tau-tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi sedangkan
tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menegah. Namun
makna sekarang ini berbeda dengan terdahulu semua yang menganggap dirinya
bangsawan, bangsawan tinggi maupun menengah semuanya memakai Tau-tau
nangka.
c. Simbol Tau-tau mengadung sistem norma yakni di mana setiap orang
menggunakan simbol dalam upacara rambu solo’ atau membuatkan patung
bagi leluhurnya haruslah dari golongan bangsawan serta berjasa besar bagi
masarakat, dan pemimpin masyarakat jika terjadi pelanggaran maka akan
dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan norma (aturan) adat-istiadat
yang berlaku dalam masyarakat.
d. Simbol tau-tau ditentukan oleh stratifikasi sosial atau kelas-kelas sosial dalam
masyarakat toraja, kekuasaan dan kekayaan identik dengan kelas sosial yang
ada di masyarakat toraja yang mempengaruhi pengadaan simbol tau-tau dalam
upacara rambu solo’.
B. Saran
Bertolak dari pembahasan penelitian di atas, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
a. Agar pemerintah daerah Tana Toraja meningkatkan usaha-usaha untuk
melestarikan budaya daerah serta menjaga peninggalan-peninggalan budaya
toraja seperti Tau-tau. Dan perlu dibuat suatu konsep pelestarian budaya
toraja secara total dan terpadu dengan implementasi yang tidak hanya
berupa bentuk visual saja, namun ditekankan pula pada konsepsi tatanan
kehidupan kelompok masyarakat yang dapat mendukung keberadaan
budaya asli tersebut. Hal ini dimungkinkan dapat terlaksana dengan
melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait, terutama bidang ilmu-ilmu
sosial.
b. Pengetahuan dan pengertian mengenal budaya tersebut haruslah disertai
dengan informasi yang luas dan akurat tentang kepercayaaan nenek
moyang yang pada dasarnya memujah roh,dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya pertentangan dengan agama yang dianut oleh
masyarakat pada umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat bermanfaat
ganda bagi masyarakat setempat, yaitu tidak kehilangan eksistensi dan
kebanggan terhadap budayanya, selain itu tetap dapat memajukan parawista
daerah dan pelestarian budaya local, sehingga nantinya diharapkanterjadi
asimilasi yang positif pada budaya asli toraja secara bertahap namun tetap
dapat dikenal budaya tersebut secara utuh meskipun kelak tidak lagi
didukung oleh Aluk Todolo.
DAFTAR PUSTAKA
Aliansi Masyarakat Ada (AMA) Toraja. 2006. Sejarah Tana Toraja Tondok
Lepongan Bulan Tana Matari Allo (belum dipublikasikan). Laporan AMA
Toraja. Bogor
Bonar H. Situmorang. 1980. Pemujaan Arwah Nenek Moyang. Majallah Berita
Oikumene.
BPS, 2010, Kelurahan Leatung Dalam Angka 2010, BPS Kel, Leatung.
Basrowi, (2005), Pengantar Sosiologi, Ghallia Indonesia Anggota IKAPI, Bogor.
C. Salambe’. 1972. Orang Toraja Dengan Ritusnya: in memorial Laso’
Rinding Puang Sangalla’. Ujung Pandang.
Dwi Narwoko,J, (2006) Sosiologi Teks Pengantar dan Teerapan, Kencana Media
Group, Jakarta.
Geertz, Cilfforg. 1992. Kebudayaan Dan Agama. Kanisius: Yogyakarta
_____________ 1992. Tafsir Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Koentjaningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1. Universitas Indonesia. Jakarta.
Koejaranigrat, (1999). Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Marrang. Paranoan. 1979. Upacara Kematian Orang Toraja. Lembaga Penelitian
UNHAS. Ujung Pandang.
Maleong, Lexi, L. 1998 Metode Penelitian Kualitatif IV. Remaja Karya.
Bandung.
Mohammad, Natsir, Sitonda. 2007. Toraja Warisan Dunia. Pustaka. Refleksi.
Makassar.
Narwoko , Baggo, (2006), Struktur Sosial Masyarakat, Prenata Media Group,
Jakarta.
Raho, Bernart, SVD (2007). Teori Sosiologi Moderen. Prestasi Pustakaraya.
Jakarta Indonesia.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Said, Abdul Azis.2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Dan
Perubahan Aplikasinya Pada Desain Moderen. Ombak.
Soekanto,Soejono.1982.Sosiologi Suatu pengantar.PT Raja Grafindo
Persada,: Jakarta.
Sunarto, Kamanto.2004. pengantar sosiologi, edisi revisi, Jakarta: LP.Fevi
Subagya, R. 1997. Agama Asli Indonesia. Sinar Harapan dan Yayasan Cipta
Loka Cakara: Jakarta.
Schreiner Lothar. 1996. Adat dan Injil (perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen
Di Tana Batak. BPK-GM. Jakarta .
Suparlan,Parsudi, (2010), Manusia Kebudayaan Dan Lingkungan Prespektif
Antropologi Budaya, Erlangga, Jakarta.
Tangdilintin, L.T. 1975. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Yayasan
Lepongan Bulan: Tana Toraja.
………………1981. Toraja dan Kebudayaanya, Yayasan Lepongan Bulan. Tana
Toraja
Wiranata, I Gede.A.B.SH.M.H. 2002. Antropologi Budaya. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
.Rob. 2008. Tau-Tau, Ritual Toraja dalam Suvenir. WWW.toraja-treasures.com
Lampiran 1. Gambar Tau-tau Tau-tau Kuno, teknologi zaman dulu, “asal” bermata, berhidung dan punya mulut.
Lampiran 2. Gambar Tau-tau Di pekuburan di Gua Batu Suaya Sangalla’
Tau-tau puang sangalla’
Lampiran 3. Gambar Tau-tau Di pekuburan Marante