sketsa filsafat

100
SKETSA FILSAFAT MUKADIMAH Definisi Filsafat Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujud dilihat dari sisi wujudnya. Subyek Filsafat Subyek filsafat adalah wujud sebagaimana ia wujud. Tujuan Tujuan Mempelajari filsafat adalah mengetahui wujud dan membedakannya dari yang tidak wujud dari yang sebenarnya. Begitu pula untuk mengetahui sebabsebab keberadaan, khususnya sebabnya para sebab, dan mengenal asma-asmaNya yang husna (indah) serta sifat-sifatNya yang tinggi. Yaitu Allah. BAHASAN PERTAMA Dalam bahasan pertama ini akan membahas wujud secara umum. Di dalamnya terdiri dari dua belas pasal: Pasal: 1 Mudahnya Mengenal Wujud. Memahami wujud tergolong ilmu mudah. Yakni tidak memerlukan daya pikir. Oleh karenanya dapat dipahami secara langsung tanpa perantaraan apapun dan tidak bisa didefinisi.

Upload: petani-mandiri

Post on 07-Aug-2015

60 views

Category:

Social Media


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sketsa filsafat

SKETSA FILSAFAT

MUKADIMAH

Definisi Filsafat

Filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujud dilihat dari sisi wujudnya.

Subyek Filsafat

Subyek filsafat adalah wujud sebagaimana ia wujud.

Tujuan

Tujuan Mempelajari filsafat adalah mengetahui wujud dan membedakannya dari yang tidak wujud

dari yang sebenarnya. Begitu pula untuk mengetahui sebabsebab keberadaan, khususnya

sebabnya para sebab, dan mengenal asma-asmaNya yang husna (indah) serta sifat-sifatNya yang

tinggi. Yaitu Allah.

BAHASAN PERTAMA

Dalam bahasan pertama ini akan membahas wujud secara umum. Di dalamnya

terdiri dari dua belas pasal:

Pasal: 1

Mudahnya Mengenal Wujud.

Memahami wujud tergolong ilmu mudah. Yakni tidak memerlukan daya pikir. Oleh

karenanya dapat dipahami secara langsung tanpa perantaraan apapun dan tidak bisa didefinisi.

Pasal: 2

Satunya Makna Wujud.

Wujud memiliki satu makna. Yakni pemahaman •,wujud yang dipakai dalam segala

esensi atau wujud murni ( Tuhan ) adalah sama. Seperti, Tuhan itu ada; Manusia itu ada; gunung

itu ada; langititu ada; dan lain-lain.

Pasal: 3

Wujud Bukari Esensi dan Mensifatinya.

Page 2: Sketsa filsafat

Pahaman wujud berbeda dengan pahaman esensi. Dan karenanya akal dapat

memisahkan wujud dari esensi, maka sebenarnya,wujudlah yang telah mensifati esensi di dalam

akal sehingga dapat dikatakan maujud/ada.

Pasal: 4

Keasalan Wujud dan Keta'biran Esensi,

Wujud adalah asal segala sesuatu. Sedang esensi adalah penta'biran atau penje!

asannya. "Manusia itu ada" dan "Kuda itu ada" adalah dua proposisi yang sama-sama

menerangkan keberadaan sesuatu. Dalam contoh ini keduanya memiliki kesamaan, yaitu ada, dan

memiliki perbedaan, yaitu manusia dan kuda. Karena kesamaan bukan perbedaan maka - dalam

hal ini - wujud bukan esensi dan esensi bukan wujud. Dan karena esensi bisa diterangkan sebagai

sesuatu yang ada/wujud atau tidak wujud/ada sedang tidak demikian halnya dengan wujud/ada -

karena tidak bisa wujud diterangkan sebagai tidak-wujud - maka bagi setiap sesuatu wujud adalah

keasalannya ( ashlun ). Oleh karena itu "ada" karena ada/wujud itu sendiri. Sedang esensi itu

"ada" karena wujud / ada.

Catatan !

1. Setiap penetapan ada/wujud pada suatu esensi, seperti pada perkataan "Manusia itu

ada", maka sebenarnya penetapan itu secara langsung untuk ada / wujud itu sendiri.

Sehingga proposisi itu pada hakikatnya berbunyi " Manusia yang ada itu adalah ada".

2. Wujud sebenarnya tidak bisa disifati dengan sifat-sifat esensi. Seperti sifatsifat Universal,

genus/jenis, Golongan, Pembeda, Substansi, Aksiden, Jumlah, .Kwalitas, dan lain-

laiu. Karena semua itu adalah sifat-sifat yang mensifati esensi dari sisi pembenarannya

karena setiap esensi - seperti pembenaran pemahaman manusia pada Joko atau

Muhammad - atau dicakupnya sesuatu dibawah naungan golongan - seperti Muhammad

di bawah manusia - atau golongan di bawah jenis - seperti manusia di bawah binatang -

atau jenis di bawah jenis yang lebih luas – seperti binatang di bawah benda

berkembang.

3. Wujud tidak bisa menjadi bagian dari yang lainnya. Sebab selain wujud adalah kebatilan /

ketiadaan atau kcberadaan yang tidak asal yang pada hakekat - dirinya adalah kebatilan

( esensi ).

4. Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau beritaberita maka

semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena diluar zat-wujud adalah ketiadaan.

Page 3: Sketsa filsafat

5. Yang wujud itu dibagi menjadi dua. Yang wujud karena dirinya - yakni ada - yang wujud

karena yang lainnya - yakni esensi.

6. Di dalam akal wujud mensifati esensi. Oleh karenanya kita dapat memberikan atau

menarik wujud dari esensi. Sedang di luar akal maka esensilah yang mensifati wujud. Oleh

karenanya kita dapat mengabaikan esensi dan hanya memperhatikan ke-wujudan

sesuatu.

7. Wujud identik dengan sesuatu. Sebab yang tak-ada tak mungkin dikatakan sesuatu.

8. Wujud tidak memiliki sebab untuk ada / wujud kecuali dari wujud itu sendiri. Sebab di luar

wujud adalah ketiadaan / kebatilan. Oleh karenanya wujudlemah hanya memerlukan

kepada wujud-kuat.

Pasal: 5

Wujud Adatah Satu yang Bertingkat.

Wujud adalah satu hakikat namun bertingkat. Yakni apapun yang membedakan antara

satu wujud dengan wujud lain, maka hal itu tidak mungkin disebabkan oleh selain wujud itu sendiri.

Sebab di luar wujud adalah kebatilan / ketiadaan.

Pasal: 6

Kehususan wujud

Wujud memiliki tiga kekhususan:

1. Keberadaan wujud karena dirinya sendiri.

2. Wujud memiliki tingkatan yang ia tidak keluar dari tingkatan tersebut.

3. Wujud mensifati esensi yang berbeda-beda, namun secara tidak Iangsung. Akan tetapi

pensifatan ini berbeda dengan pensifatan-pensifatan yang lain. Sebab yang lainnya akan

tersifati kalau ia telah memiliki keberadaan. Di sini, esensi tidak bisa ada/wujud terlebih

dahulu untuk kemudian disifati dengan wujud. Tapi justru dengan wujud itulah ia ( esensi )

menjadi eksis atau wujud.

Pasal: 7

Hukum-hukum Negatip Wujud

1. Tidak ada keberadaan selain wujud. Karena selain ada/wujud adalah ketiadaan.

2. Tidak ada dualisme ( yang lain ) dalam wujud. Sebab dualisme timbul dari keberlainan.

Dan keberlainan timbul dari dua eksistensi. Sedang selain wujud adalah ketiadaan-mutlak.

3. Wujud bukari substansi dan aksiden. Sebab keduanya itu adalah esensi. Sedang wujud

Page 4: Sketsa filsafat

bukanlah esensi. Tapi bahkan yang mewujudkan esensi.

4. Wujud bukan bagian dari yang lain. Sebab selain wujud adalah ketiadaan.

Pasal: 8

Makna Kenyataan yang Sebenarnya.

Kenyataan yaiig sebeaarnya adalah kebenaran suatu predikat terhadap subyeknya.

Baik kebenaran itu sesuai dengan ukuran keberadaan dalam akal atau luar akal. Seperti

"Pahaman manusia itu adalah universal" atau "Tuhan itu ada ".

Pasal: 9

Sesuatu itu Sama denganWujud

Sesuatu itu sama dengan wujud. Oleh karenanya yang tak wujud bukan dan/atau tidak

dapat dikatakan sebagai sesuatu.

Pasal: 10

Tiada itu tidak Memiliki Perbedaan dan Sebab.

Tiada tidak memiliki perbedaan. Karena perbedaan itu timbul dari keberadaan. Sedang

tiada adalah tiada. Bukan ada.

Pasal: 11

Tiada itu Tidak Memiliki Predikat/berita.

Tiada-mutlak tidak bisa dipredikati dengan predikat apapun. Sebab predikat itu timbul dari

sesuatu yang akan dipredikati tersebut. Oleh karena itu yang bukan sesuatu, tidak akan dapat

dipredikati atau dikabari dengan suatu apapun.

Pasal: 12

Yang Telah Tiada Tidak Bisa Diulang.

Sesuatu yang telah tiada tidak bisa diadakan lagi persis seratus persen seperti semula. Sebab:

1. Kalau sesuatu yang telah tiada itu diadakan lagi secara persis, maka satu keberadaan berada

dalam dua jaman.

2. Kalau pengulangan secara persis itu dibolehkan, maka maad itu sama dengan permulaan.

Dan ini adalah mustahil.

3. Kalau pengulangan itu dibolehkan, maka dari awal bisa diwujudkan wujud lain yang persis. Hal

ini adalah mustahil. Sebab dua wujud persis seratus persen itu adalah mustahil.

Page 5: Sketsa filsafat

BAHASAN KE DUA

Bahasan ke dua ini menyajikan pembagian wujud yang terbagi menjadi wujud luar dan wujud-

dalam_ Ia hanya memiliki satu pasal saja.

Pasal: 1

Telah umum di kalangan filosof bahwa esensi terbagi menjadi dua bagian:

1. Luar-akal. Yaitu esensi yang memiliki efek sebagaimana mestirzya.Seperti manusia

dimana ia memiliki beban materi, ukuran, sifat-sifat, aksi-interaksi dan lain-lain.

2. Dalam-akal. Yaitu esensi yang tidak memiliki efek sebagaimana mestinya. Seperti

pahaman manusia dimana ia tidak memiliki efek apapun dari efek-efek Luar. Ia memang

memiliki efek, namun efek itu berhubungan dengan efek dalam akal saja. Seperti menolak

ketidak tahuan. Tidak seperti esensi luar yang menolak ketiadaan nyata.

Sebagian Pandangan :

1. Pengetahuan kita ( wujud-dalam ) adalah bayangan esensi dari bukan esensi itu sendiri.

Yakni ia hanya sebagai aksiden-kwalitas yang berdiri di atas jiwa yang hanya menjelaskan

obyek pengetahuan Luar dengan bayangannya yang mirip seperti gambar pada kertas.

Pendapat ini jelas akan berakhir pada sophistics. Yakni pengacauan dan penipuan. Dimana

hal tersebut melazimi ditutupnya pintu ilmu pengetahuan. Karena jelas apa yang kita tahu akan

menjadi apa-apa yang tidak kita ketahui. Akhirnya, semua ilmu kita adalah kebodohan dan

ketidak tahuan, bukan ilmu.

2. Keberadaan dalam akal itu, tidak ada. Sedang ilmu itu adalah hubungan yang dihasilkan dari

penghubungan jiwa dan obyek ilmunya di luar akal. Pandangan ini juga mustahil diterima.

Sebab kita juga mengetahui dan memahami ketiadaan. Kalau ilmu itu hasil dari penghubungan

jiwa dan obyek, maka manakah obyek ketiadaan itu?

Dalil Umum Keberadaan Dalam akal

Untuk membuktikan adanya keberadaan dalam akal pada umumnya para filosof berdalil dengan

beberapa dalil di bawah ini:

1. Kita dapat menghukumi atau mempridikati hal-hal yang tiada, dengan hukumhukum positif

Seperti pernyataan dua kontradiksi tidak bisa bertemu; Gunung emas itu adalah gunung yang

terdiri dari tanah dan batu emas; Tiada itu adalah tiada dan lain-lain. Sedang hukum positip

adalah menetapkan sesuatu keatas sesuatu yang lain, dan menetapkan sesuatu ke atas yang

Page 6: Sketsa filsafat

lain adalah cabang dari tetapnya ( adanya ) yang lain tersebut. Yakni yang tak ada, tak

mungkin dipredikati, kecuali predikat negatip. Jadi adanya predikat positip membuktikan

adanya sebuah obyek . Dan kalau obyek tersebut tidak ada di Luar-akal maka sudah pasti,

adanya di dalam akal.

2. Beberapa pahaman tidak memiliki wujud-luar karena memang tidak menceritakan keberadaan

Luar. Seperti uriversal atau partikulir. Kalau pahaman-pahaman tersebut tidak memiliki wujud

luar maka jelas keberadaannya ada di dalam akal.

3. Kita dapat membayangkan keberadaan-murni, seperti manusia gunung, air dan lain-lain tanpa

embel-embel. Keberadaan murni ini jelas tidak mungkin ada di luar-akal. Sebab yang ada di

luar akal pasti mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak akan mungkin dimiliki oleh wujud lain

sekalipun sama dalarn esensinya. Kalau keberadaan murni tersebut tidak ada diluar akal maka

pasti keberadaannya di dalam akal (Pahaman ).

Pertanyaan dan Isykalan

Ada beberapa isykalan terhadap adanya esensi dalam akal ( Wujud-dalam ), Seperti:

1. Adanya esensi seutuhnya dalam akal melazimkan sesuatu menjadi substansi dan aksiden

sekaligus. Sebab substansi yang terpahami dalam akal adalah substansi karena sesuatu

adalah dirinya sendiri - sementara pemahaman itu sendiri adalah aksiden yang berdiri dan

bersubyek kepada jiwa. Dan ketika substansi itu dikatakan aksiden sekaligus, maka jelas hal

ini adalah kemustahilan yang nyata.

2. 1lmu dan/atau esensi dalarn akal, tergolong ke dalarn katagori kwalitas, yakni kwalitas dari

jiwa/ruh. Sementara kalau kita membayangkan substansi atau aksiden lain selain kwalitas,

maka mereka akan menjadi dua esensi sekaligus, yakni esensi kwalitas dan esens) masing-

masing mereka. Maka substansi akan menjadi substansi dan kwalitas; aksi akan menjadi aksi

dan kwalitas; interaksi akan menjadi interaksi dan kwalitas; dll.. Dengan demikian maka setiap

esensi terkatagorikan dalam dalam dua katagori ( esensi ) sekaligus. Dan karena setiap esensi

itu adalah dirinya sendiri dan bukan yang lainnya secara zati, maka hal tersebut telah

menyebabkan bertemunya dua kontradiksi. Sebab ketika substansi dikatakan kwalitas, maka

sama dengan mengatakan bahwa substansi bukanlah substansi. Hal mana yang demikian itu,

yakni bertemunya dua kontradiksi, adalah mustahil adanya.

3. Mempercayai wujud-dalam dan kesesuainnya dengan Wujud-luar, melazimkan seseorang

atau jiwa menjadi panas-dingin, panjang-pendek, bulat-lonjong, pahit-manis, hitam-putih, dll.,

sekaligus. Yakni manakala membayangkan semua itu dalam waktu yang sama.

Page 7: Sketsa filsafat

4. Banyak kemustahilan zati yang tidak bisa terwujud, menjadi terwujud manakala dibayangkan

dalam akal. Hal itu dikarenakan kesamaan antara esensi-dalam dengan esensi-luar tersebut.

Jadi hal-hal yang mustahil ada secara zati, seperti sekutu Tuhan, bertemunya atau

diangkatnya dua kontradiksi, penafian sesuatu atas dirinya, d1l., menjadi wujud/ada manakala

dibayangkan dalam akal. Sementara kita tohu bahwa semua itu tidak mungkin ada.

5. Jiwa dapat membawa benda - benda besar seperti bumi, gunung, langit, dll.. Kalau esensi

mereka dalain akal sama dengan yang di luar akal, maka berarti benda-benda besar itu telah

masuk ke dalam yang jauh lebih kecil.

6. Adanya wujud-dalam melazimkan sesuatu yang universal, menjadi partikulir sekaligus. Hal

seperti ini jelas mustahil.

Jawaban Isykalan

Jawaban terhadap isykalan di atas, dapat disimak di bawah ini:

1. Ada beberapa jawaban untuk isykalan pertama dan ke dua. Tapi semua itu memiliki

kekurangan, kecuali jawaban yang diberikan oleh Mulla Shadra ra.. Inti jawabannya adalah,

kemestian tercakupnya predikat/definisi oleh dirinya sendiri berbeda antara predikasi-pertama

dengan predikasi-kebanyakan. Yakni definisi dengan batasan penuh yang, kesamaan definisi

dengan definednya adalah dalam pahaman, dan definisi dengan batasan-kurang, gambaran

penuh dan kurang, dll., yang memiliki kesamaan dalarii ekstensinya. Artinya, ketika kesamaan

antara definisi dengan definednya ada daiam pahaman saja, maka definisi tersebut tidak mesti

dicakupi oleh dirinya sendiri. Misalnya ketika mendefinisikan manusia sebagai substansi

bertiga dimensi, berkernbang, bergerak dengan kehendak dan rasional, maka definisi ini tidak

mesti dinaungi oleh dirinya sendiri, yakni bahwasannya ia dalam kenyataannya adalah

substansi juga, sementara jelas ia adalah wujud dalam jiwa alias kwalitas jiwa. Sebab

kesamaannya dengan defined hanyalah dalam pahaman. Maka dari itu efek keduanya tidak

berbeda, bahwasannya keduanya hanya meniadakan ketidaktahuan alias keberadaan-dalam,

bukan keberadaan luar. Tapi kalau ukuran kesamaan antara definisi dengan definednya di luar

akal, yakni definisi-kebanyakan, maka sudah semestinya definisi tersebut dicakupi oleh dirinya

sendiri secara tidak langsung. Misalnya mendefinisikan manusia sebagai substansi. Di sini

secara pahaman, keduanya berbeda jauh. Tapi di lihat dari keberadaan luarnya dimana ianya

dijadikan ukuran kesamaan antara keduanya, maka keduanya memiliki kesamaan. Yakni

manusia luar adalah substansi, dan. substansi luar adalah manusia ( sekalipun pada sebagian

estensinya saja ). Oleh karena ukuran definisi ini adalah keberadaan ekstensinya, maka jelas

Page 8: Sketsa filsafat

definisi tersebut juga merupakan substansi, lantaran kesubstansian manusia-luar, yakni

keberadaannya tidak ditopang oleh yang lainnya.

2. Dengan jawaban pertama, isykalan ke dua ini juga bisa dijawab. Yakni apabila ukuran

kesamaan antara definisi dengan definednya di luar-akal eksistensi luar ), maka keduanya

mesti dinaungi oleh definisnya. Artinya kalau definisinya substansi, seperti manusia adalah

substansi, maka defined dan definisinya juga substansi secara aktual dan nyata. Begitu pula

kalau aksiden. Tapi kalau ukuran kesamaannya adalah pahaman, berarti yang dimaui dari

definisi dan definednya adalah pahaman. Di sini, keduanya tidak dituntut memberi efek yang

semestinya, yaitu kesubstansian substansi, keaksian aksi, keinteraksian interaksi dll.. Bahkan

sebaliknya, semuanya adalah aksiden kwalitas, karena mereka semuanya adalah ilru dan ilmu

adalah kwalitas jiwa.

3. Efek dari esensi disebabkan wujudnya, bukan ke-esensiannya. Sedang serlua pahaman, sama

dengan yang dipahami dalam esensinya. Dengan demikian, maka kesamaan ilmu atau esensi-

dalam dengan esensi-luar, tidak melazimkan efek 'senyatanya seperti sebagaimana yang

ditimbulkarn oleh wujud esensi tersebut.

4. Sebagaimana maklum, yang ada dalam akal itu adalah pahamannya saja, yakni predikasi-

pertamanya. Jadi, sekutu Tuhan adalah sekutu Tuhan dan ada dalam pahaman. Begitu pula

dengan tiada dan pertemuan dua kontradiksi. Sedang dilihat dari predikasi-kebanyakannya,

mereka itu adalah ada dan merupakan kwalitas dari jiwa/ruh.

5. ilmu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih jauh, adalah non materibarzakhi, mitsali atau

ide. Dan pemilik ilmu adalah ruh yang juga non materi. Jadi, ilmu itu juga memiliki semua efek

materi kecuali efek yang ditimbulkan oleh bebannya. Maka dari itu yang besar bisa masuk ke

dalam yang kecil. Sebab, pencegahnya, yaitu bebannya, tidak ikut didalamnya dan oleh

karenanya tidak meberikan efek yang berupa kemustahilan itu.

6. Universal dikatakan universal manakala dilihat dari sisi perbandingannya dengan wujud- luar,

yaitu ketika ia memiliki wujud-luar atau ekstensi lebih dari satu. Sedang dikatakan partikulir

manakala ia dilihat dari sisi kwalitas jiwa. Yaitu sifat atau aksiden yang bertopang kepada

substansi jiwa. Di sini, karena ia salah satu diantara sekian aksiden jiwa, maka ia adalah

partikulir. Sebenarnya, ia juga tidak bisa dikatakan pertikulir. Sebab partikulir adalah pahaman

yang memiliki satu ekstensi. Jadi partikulir hanya memiliki hakikat dalam-akal, bukan luar-akal.

Jadi, hakikatnya dia adalah individu. Nah, dengan demikian, maka universal adalah universal

manakala dilihat sebagai wujud-dalam dan dihubungkan dengan ekstensi-ekstensinya, dan

dikatakan individu manakala dilihat sebagai wujud-luar alias sebagai salah satu aksiden jiwa,

Page 9: Sketsa filsafat

yakni kwalitas jiwa

BAHASAN KE TIGA

Pembagian Wujud Menjadi Wujud-Diri dan Wujud-Lain, dan Wujud-Diri Menjadi

Wujud Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya.

Pasal: 1

Sebagian keberadaan, ada yang memiliki jati diri yang jelas, seperti Pintar, Joko, Tinggi, dll.,

tapi ada pula yang tidak memilikinya, seperti Hubungan yang ada pada `Joko itu Pintar'. Kalau

`Joko' dan `Pintar' itu dipisah atau tidak dihubungkan, maka keduanya tidak terkait menjadi satu

rnakna. Tapi ketika dihubungkan, maka jelas sebaliknya. Oengan demikian dapa. dimengerti

bahwa antara keduanya ada yang namanya 'Hubunga' dimana keberadaannya tidak mandiri dan

bahkan bersembunyi dibalik kesubyekkan subyek dan kepredikatan predikat. Oleh karena ituiah

maka yang memiliki jati diri jelas disebut Wujud-Diri, dan yang tidak jelas disebut Wujud-Lain,

yakni kejatian dirinya bersemayam di daazm wujud lain dan bergantung padanya ( subyek-

predikat ). Wujud-Diri itu juga disebut Wujud-Mandiri dan Wujud-Predikasi, sedang wujud-Lain

disebut dengan Wujud-Penghubung atau Hubungan.

Dengan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan lain sebagai berikut:

1. Wujud-Penghubung tidak memiliki esensi. Karena esensi adalah jawaban dari pertanyaan

`Apa dia?' Oleh karenanya jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diambil hanya dari hal-hal

yang memiliki kemandirian dalam pahamannya alias wujud-Predikasi, bukan Wujud-

Penghubung yang bisa dipahami kecuali dengan membayangkan hal-hal yang

dihubugkannya seperti subyek dan predikat.

2. Keberadaan Wujud-Penghubung dalam subyek dan predikat, melazimkan sejenis penyatuan

dengan keduanya karena ketidakbisaannya memisahkan diri.

3. Wujud-Penghubung ini hanya ada dalam jawaban atas pertanyaan `Apa Ganda?', bukan

`Apa Sederhanya'. Yakni yang menanyakan `Apakal: sesuatu tersifati atau terpredikati

dengan sesuatu yang lain?', bukan menanyakan `Apakah ia ada?'. Karena tidaklah

bermakna pernyataan yang menyatakan bahwa Penghubung itu ada diantara `Manusia itu

ada'. Sebab adanya sesuatu dengan dirinya adalah satu. Oleh karenanya Penghubung tidak

diPerlukan.

Page 10: Sketsa filsafat

Pasal: 2

Ada perbedaan pendapat mengenai Wujud-Penghubung, apakah ia berbeda secara

esensi dengan Wujud-Mandirt"? Yakni apakah Wujud-Penghubung hanya memiliki makna yang

tergantung kepada Wujud-Mandiri dimana tidak bisa dipahami secara mandiri, dan menjadi

sesuatu yang dapat dipahami tanpa ketergantungan kepada yang lalnnya? Jawaban yang benar

adalah tidak demikian. Sebab sebagaimana yang akan diterangkan di pembahasan sebab-akibat,

bahwa akibat adalah Wujud-Penghubung bagi sebabnva. Tapi dilain pihak akibat-akibat itu

memiliki keberadaan secara mandiri. Sebab mereka ada yang Substansi dan. ada pula. yang

Aksiden. Sementara Substansi dan Aksiden adalah wujud-wujud Predikasi dan Mandiri, sekalipun

mereka juga dikatakan Sebagai wujud-wuiud Penghubung manakala dilihat dari ketergantungan

mereka kepada sebab-sebab mereka.

Pasal:3

Pembagian Wujud-Diri menjadi Wujud-Untuk-Dirinya dan Wujud-Untuk-Selainnya

Maksud dari Wujud-Untuk-Selainnya adalah bahwa wujud yang tadinya adalah Wujud Diri,

yakni yang artinya adalah dengan esensinya menolak ketiadaannya, dalam pada itu ia juga

menolak ketiadaan lain. Seperti esensi ilmu dan kuasa. Esensi keduanya menolak ketiadaan diri

mereka. Tapi di lain pihak mereka juga menolak kebodohan dan kelemahan ( baca: tak kuasa )

pada substansi-substansi yang memiliki mereka.

Dalil bagi keberadaan wujud-wujud untuk selainnya itu adalah adanya wujud-wujud aksiden

sendiri. Sebab wujud-wujud aksiden, disamping meniadakan ketiadaan dirinya ia juga meniadakan

suatu ketiadaan pada substansi yang memilikinya. Bahkan keberadaan substansi juga

merupakan dalil dari hal ini. Sebab ke-speciesan substansi juga meniadakan kekurang

sempurnaan pada materinya ( bendawiahnya ) Beda halnya dengan Golongan atau Esensi dari

wujud-wujud substansi. Sebab mereka hanya menolak ketiadaan diri mereka sendiri ( tidak

termasuk ketiadaan selainnya ). Seperti manusia, kuda, singa, pohon, dll.. Wujud-wujud ini disebut

dengan Wujud-Untuk-Dirinya.

BAHASAN KE EMPAT

Pembahasan Tiga Mutu: Wajib, Mungkin dan Terlarang

Page 11: Sketsa filsafat

Pasal: 1

Definisi ke-Tiga Mutu

Setiap pahaman kalau dihubungkan dengan Ada/wujud, maka bisa dihasilkan beberapa hal:

Mesti / wajib adanya; Terlarang adanya; atau tidak kedua-duanya. Yang pertama itulah yang

disebut dengan Wajib/mesti. Sedang yang ke dua disebut dengan Terlarang/mustahil, dan yang

ke tiga dengan Mungkin. Dengan bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa kalau keberadaan

sesuatu itu merupakan kedaruratan (tidak bisa tidak ), maka inilah yang disebut Wajib/mesti. Tapi

kalau ketiadaannya yang darurat, maka ialah disebut dengan Mustahil / Terlarang. Sedang

ketidak daruratan kedua-duanya, yakni ia tidak terlarang untuk ada sekalipun tidak pula mesti,

maka ialah yang disebut dengan Mungkin.

Ke-Tiga Mutu di atas tergolong ilmu mudah dan tidak perlu ( bahkan tidak bisa ) didefinisi.

Definisi di atas hanyalah penjelasan kata sebagaimana maklum.

Pasal: 2

Bagian-bagian Tiga Mutu

Secara global, masing-masing dari ke-Tiga Mutu itu memiliki bagian-bagian KarenaDirinya,

Karena-Selainnya, dan Karena Dihubungkan (baca: dihubungkan dengan selainnya ). Maksud

dari Karena-Dirinya adalah Diri-Sesuatu atau Zat-Sesuatu itu cukup untuk dijadikan penetap

( alasan ditetapkannya ) bagi Mutu-mutu di atas tanpa harus memperhatikan selainnya. Maksud

KarenaSelainnya adalah bahwa keter-Mutuan sesuatu dengan Mutu-mutu di atas dikarenakan

wujud lain selain dirinya. Sedang maksud dari Karena Dihubungkan adalah bahwa keter-

Mutuannya dikarenakan penghubungannya dengan wujud lain.

Wajib-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Wajib-Zati, adalah yang kewajiban adanya

dikarenakan dirinya sendiri seperti Sang Wajib-Wujud ( Tuhan ). Karena keWajiban atau ke-

Mestian AdaNya tidak memerlukan kepada wujud lain. Dan WajibKarena-Selainnya adalah

keberadaan wujud-wujud Mungkin dimana keadaannya menjadi mesti/wajib karena sebabnya.

Yakni manakala ada sebabnya, maka Wujud-Mungkin itu menjadi Wajib-adanya. Sedang Wajib-

Dihubungkan, adalah yang keberadaannya menjadi mesti manakala dihubungkan dengan

selainnya, seperti wujudwujud Mutadhaifain. Misalnya, bawah, maka ia menjadi'mesti manakala

atas telah ada, begitu pula sebaliknya.

Mustahil-Karena-Dirinya, yang juga dikenal dengan Mustahil-Zati, adalah yang ketidak

mungkinan adanya karena dirinya sendiri. Artinya, dirinya sendirilah yang menuntut ketiadaannya

dan memustahilkan kebaradaannya. Seperti sekutu Tuhan, bertemunya dua kontradiksi, tiada,

Page 12: Sketsa filsafat

tuhan yang dicipta, masuknya benda besar ke dalam vang lebih kecil, lebihnya akibat dari sebab,

dll.. Dan Mustahil-Karena Selainnya adalah yang ke-Mustahilannya itu disebabkan selain

dirinya. Seperti ke-Mustahilan adanya sesuatu yang tadinya Mungkin, dikarenakan tidak adanya

sebab keberadaannya. Atau ketiadaan sesuatu yang tadinya Mungkin yang dikarenakan adanya

sebab keberadaannya. Jadi, yang tidak ada sebabnya, maka ia Mustahil ada, begitu pula yang

sudah ada sebabnya, maka ia Mustahil tiada. Inilah yang dikatakan Mustahil atau Terlarang-

Karena-Selainnya. Sedang Mustahil-Karena Dihubungkan adalah yang keMustahilannya itu

karena penghubungan dengan selainnya, seperti Mustahilnya adanya salah satu Mutadhaifain

manakala yang lainnya belum ada, begitu pula Mustahilnya tiadanya salah satu mereka manakala

salah satunya sudah ada.

Mungkin-Karena-Dirinya yang dikenal juga dengan Mungkin Zati, adalah yang ke-

Mungkinannya itu karena zat dan esensi dirinya sendiri, seperti esensi-esensi yang

keberadaannya bersifat mungkin. Sebab esensi-esensi itu, secara dirinya atau zati, tidak memiliki

kedua kedaruratan ada dan tiada. Dan Mungkin Karena-Selainnya tidak mungkin ada. Sebab

kalau kita mungkinkaLi adanya sesuatu yang Mungkin-Karena Selainnya, maka dirinya sendiri

adalah Wajib, Mustahil, atau Mungkin itu sendiri, karena Mutu tidak lebih dari tiga hal itu. Kalau

kedua pertama, maka jelas tidak mungkin. Sebab melazimkan perubahan esensi atau zat sesuatu.

Dan kalau yang ke tiga, maka jadi tak berguna dan sia-sia.Artinya penambahan dan penamaan

tersebut tidak memberikan hasil apapun.

Sedang Mungkin-Karena-Dihubungkan adalah yang ke-Mungkinannya disebabkan

penghubungan dengan yang lain. Seperti dua Tuhan atau dua Wajib-Wujud yang diumpamakan.

Ketika dikatakan sebagai Tuhan atau Wajib-Wujud, maka keduanya mestilah berdiri sendiri. Dan

keberdirian sendiri ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau diri nya tidak terbatas. Sebab ketika

sesuatu itu tidak terbatas, maka ia tidak akan memiliki awal dan akhir; dan yang tidak ada awalnya,

maka ia tidak pernah ada permulaannya, yakni tak pernah tiada sehingga bermula di titik awal itu.

Jadi dari sisi keTuhanan atau ke-Wajiban-Wujud, keduanya mestilah -tidak terbatas. Tapi kalau

dilihat dari sisi bahwa keduanya akan saling membatasi ' manakala dikatakan ada, maka keduanya

jadi terbatas dimana pada akhimya akan menjadi berawal. Sementara ketika sesuatu itu berawal,

maka ia tidak lagi Wajib-Ada atau Tuhan. Karena berarti ia pernah tiada. Dan sesuatu yang ada

yang didahului oleh tiadanya, maka zatnya adalah Mungkin, bukan Wajib atau Tuhan. Inilah yang

disebut dengan Mungkin Karena-Dibubungkan.

Pasal: 3

Esensi Wajib-Ada adalah AdaNya

Page 13: Sketsa filsafat

Esensi, sebagaimana maklum, adalah batasan sesuatu. Oleh karennya yang tidak terbatas,

tidak akan memiliki esensi. Sedang Wajib-ada, memiliki arti suatu hakikat yang selalu bersama

ada dan tidak pernah tiada. Kalau demikian, maka Ia tdak memiliki batasan awal ataupun akhir.

Dengan ini maka jelaslah bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi. Artinya Dia adalah wujud-murni

yang tidak memiliki batasan apapun. Sehingga dengan ini para filosof mengatakan bahwa

EsensiNya adalah AdaNya.

Petunjuk lain dari ketiadaan esensi Wajib-Ada adalah, kalau Wajib-Ada memiliki esensi,

berarti AdaNya mensifati atau mengaksideni esensiNya. Dan setiap "aksiden/sifat,

keberadaannya tersebabi. Artinya tak mungkin aksiden ada tanpa adanya sebab yang telah

mewujudkan dan telah menjadikannya sebuah aksiden. Dan bahkan sebabnya itulah yang telah

menjadikan aksiden itu sebuah aksiden. Hal ini dapat diketahui karena aksiden didahului oleh

substansinya, dan yang didahului berarti berawal, serta yang berawal pasti bersebab.

Kalau AdaNya pada esensiNya tersebabi, maka penyebabnya tidak keluar dari dua

kemungkinan; esensiNya, atau selainNya. Kalau esensiNya, maka ia ( esesnsi ) sudah mesti

mendahului AdaNya sebagai akibat, karena setiap sebab mesti mendahuli akibatnya. Dan kalau

esensiNya mendahului AdaNya dalam ada, maka ia mendahuluinya dengan ada yang

bagaimana? Apakah dengan ada yang sekarang ini atau dengan ada yang lain? Kalau dengan

yang ada sekarang ini, berarti ia telah mendahului diriNya sendiri. ini jelas mustahil. Dan kalau

mendahului dengan ada yang lain, maka kita bisa menanyakan ada yang ke dua tersebut dengan

pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang diajukan pada ada yang pertama. Dan jawaban

untuk semua itu adalah, kalau tidak berakhir pada kesebaban esensiNya ( dimana hal ini adalah

mustahil ), maka pertanyaan itu tidak bisa dihentikan sampai tidak terbatas, dimana hal ini juga

mustahil.

Kalau penyebab AdaNya adalah selain esensiNya, maka hal ini bertentangan dengan

dirinya yang Wajib-Ada itu. Sebab kalau disebabi berarti pernah terpisah dari ada, dan ini berarti

bahwa Ia tidak Wajib-Ada.

Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Wajib-Ada tidak memiliki esensi, atau

esensiNya adalah AdaNya. Dan dapat diketahui pula bahwa Wajib-AdaNya itu diketahui dan

dipahami dari jati diriNya sendiri, dan bahwasannya Ia adalah Wujud-Murni yang paling sempurna

dimana tidak memiliki sisi ketiadaan sedikitpun. Karena kalau masih memiliki sisi tiada, maka la

masih memiliki kekurangan dimana hal itu berarti batasan buat ZatNya yang Maha Sempurna itu.

Dan kalau masti memiliki batasan, berarti la masih memiliki awal-akhir. Sedang yang memiliki

awal-akhir, berarti ia pemah tiada, yakni sebelum awalnya itu. Dan yang demikian berarti ia

Page 14: Sketsa filsafat

disebabi, sementara yang disebabi adalah Mungkin-ada, bukan Wajib-Ada.

Pasal: 4

Wajib-Ada Secara Zati Adalah Wajib-Ada dari Semua Sisi

Wajib-Ada tidak boleh memiliki sisi apapun yang bdrbau ketiadaan dan kemungkinan dari

apa-apa yang bersifat Mungkin-Umum atau Kemungkinan-Umum. Sebab, kalau inasih memiliki

ketiadaan dan kemungkinan, berarti masih memiliki keterbatasan dan keterikatan. Dan

keterbatasan adalah awal-akhir, sedang awal-akhir adalah ketiadaan sebelum awal; sementara

ketiadaan yang menjadi ada adalah diadakan; dan yang diadakan adalah wujud-mungkin, bukan

Wajib-Ada.

Pasal 5

Yang Tak Wajib Tak Mungkin Ada

Tiada keraguan bahwa sesuatu yang Mungkin-ada, dimana jaraknya kepada ada dan tiada

adalah sama, memerlukan kepada sebab manakala ingin mencapai salah satu dari keduanva.

Sebab ada, untuk menjadi ada; dan sebab tiada untuk menjadi tiada. Yakni untuk menjadi ada

perlu kepada sebab yang juga ada, tapi untuk menjadi tiada, cukup dengan tiadanya sebab. Jadi

tiada sebab adalah sebab bagi tiadanya Mungkin-ada.

Sekarang, ketika Mungkin-ada akan menjadi ada, maka ia harus dihantar oleh sebabnya

sampai ke titik ada. Dan kalau sudah sampai ke titik ada itu, maka ia pasti menjadi ada. Artinya

keberadaannya menjadi pasti dan tidak bisa tidak. Inilah yang disebut dengan Wajib-ada-karena

selainnya atau Wajib-Karena Selainnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa

sesuatu yang tak wajib, tak mungkin ada. Atau sesuatu yang belum mencapai titik ada ( baca:

mesti/wajib ada ), maka ia tidak akan ada; dan sebabnya, belum bisa dikatakan sebagai sebab

baginya atau sebab bagi adanya.

Penutup

Apa-apa yang telah dijabarkan di atas mengenai Wajib Karena-Selainnya adalah ke-

Wajiban atau ke-Mestian-ada yang datang bagi wujud-mungkin dari arah sebabnya. Tapi ia juga

memiliki ke-wajiban atau ke-mestian yang lain yang biasa disebut dengan Kemestian-Dengan-

syarat-Predikasi. Yakni suatu kemestian terpredikasinya suatu subyek manakala sedang

dipredikasi-i oleh predikat' tersebut. Misalnya `Manusia itu berjalan secara pasti manakala ia

Page 15: Sketsa filsafat

sedang berjalan'.

Di sini, di pembahasan Wajib-Karena-Selainnya ini, suatu wujud yang menjadi mesti/ wajib

untuk ada, ketika dia ada, maka sudah pasti tersifati juga dengan Wajib-DenganSyarat-Predikasi

ini. Karena ketika ia ada, maka pasti ia ada. Artinya, sesuatu yang ada itu Wajib-adanya.

Pasal: 6

Makna Makna Mungkin

Mungkin yang telah dibahas di atas adalah Mungkin yang memiliki makna ketidak daruratan

dua kemestian, yakni kemestian ada dan tiada, Mungkin yang seperti ini di sebut dengan

Mungkin-Khusus.

Ada lagi :Mungkin yang memiliki makna lain, yaitu menegasikan satu darurat yang

merupakan lawannya, apakah darurat ada atau tiada. Misalnva dikatakan "Sesuatu itu mungkin

saja ada", ".Sesuatu itu Mungkin saja terjadi ", "Hal itu bisa saja mustahil ".

Kedua contoh pertama adalah penergasian kedaruratan tiada atau mustahil. sedang contoh

terakhir adalah penegasian darurat ada atau wajib-ada. Mungkin seperti ini yang sering dipakai

masyarakat secara unum. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai Mungkin – Umum

Ada Mungkin yang lebih spcsilik lagi dari Mungkin-Umum di atas. yaitu Mungkinlebih khusus.

Artinya ia menafikan Darurat-Zat ( Pasti-Mutlak ). Darurat -Sifat (Bersyarat-Umum ) dan

Darurat-Waktu ( Berwaktu-Mutlak ). Seperti perkataan Manusia bisa menjadi penulis",

"Manusia adalah penulis secara kemungkinan", Manusia mungkin menjadi penulis". Maksud

dari pernyataan ini adalah bahwa kepenulisan dinafikan dari zat manusia. Begitu pula dinafikan

dari kedaruratan sifat dan Waktu lantaran tidak disyaratinya dengan sifat dan waktu tertentu. Lain

halnya kalau dikatakan "Manusia adalah penulis kalau ia menulis", "manusia adalah penulis dikala

ia menulis". Sebab dalam dua contoh ini, kepenulisan merupakan kedaruratan atau hal yang tidak

bisa tidak bagi manusia sekalipun dalam kondisi atau Waktu tertentu.

Penegasian tiga darurat di atas kalau ditambah dengan penegasian Darurat-Bersyarat-

Predikat. yakni kedaruratannya dicapai manakala sebuah predikat secara aktif tertetapkan pada

sebuah subyek, maka akaii menjadi model lain pula bagi sebuah ke-Mungkinan. Yang terakhir ini

disebut dengan Mungkin-Masa-Datang. Misalnya "Joko besok adalah penulis secara

kemungkinan". Proposisi ini menafikan kedaruratan kepenulisan dari joko, besok hari. Sebab

kalau kepenulisan itu terjadi pada Joko, maka jelas bahwa kepenulisan itu merupakan kedaruratan

dan tidak bisa tidak. Tapi karena kepenulisan itu baru akan terlihat besok, maka sekarang ia tidak

Page 16: Sketsa filsafat

darurat dan mesti. Oleh karenanya masih berupa kemungkinan. Jadi proposisi di atas adalah

penegasian terhadap kedaruratanbersyarat predikat.

Salah satu makna Mungkin yang lain adalah penegasian terhadap darurat tiada atau

kermrstahilan pada sisinya ( baca: bukan sisi !awannya ). Yakni yang pengumpanraan adanva

atau terjadinya, tidak nrelazintkan kemustahilan atau larangan yang mesti/wajib. baik Mustaltil-

Karena-Dirinya ( Zati ) atau Mustahil karena-Selainnya. Mungkin yang seperti ini disebut dengan

Mungkin-Terjadinya. Seperti pernyataan, "Hal itu tidak mustahil terjadi", "Hal itu bisa saja

terjadi".

Ke-Mungkinan model terakhir adalah Mungkin-Potensial. Ketika sesuatu siap untuk

menjadi sesuatu yang lain, maka ia memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain tersebut dan

.juga memiliki hubungan dengan kesiapannya atau ke-potensiannra itu sendiri. Misalnya mani. ia

siap untuk menjadi manusia. Di sini dikatakan bahwa "Mani ini punya potensi untuk menjadi

manusia". Ini dilihat dari hubungannya dengan manusia yang potensi-i. Sedang dilihat dari

hubungannya dengan ke-potensiannya, dapat dikatakan bahwa "Manusia itu ada di mani secara

kemungkinan ". atau "Manusia secara kemungkinan ada di dalam mani".

Beda antara Mungkin-Potensial dengan Mungkin-Zati adalah, kalau Mungkin-Zati, melihat

esensi dari sisi akal ( internal ) dan diambil dari sisi esensi sebagaimana ia atau sebagaimana zat

dirinya secara murnii. Sedang Mungkin-Potensial adalah suatu sifat secara eksternal ( wujud luar

akal atau keberadaan nyata ) bagi sebuah esensi yang eksternal pula. Dengan demikian Mungkin-

Zati Manusia dikatakan pada esensi manusia sebagaimana ia esensi, sedang Mungkin-

Potensial-Manusia dikatakan pada esensi Mani yang sudah menjadi ada dimana ia di dalam

perjalanan menuju manusia.

Dengan uraian di atas dapat dimengerti bahwa Mungkin-Potensial dapat disifati dengan

Kuat dan Lemah. Misalnya MungkinPotensial yang ada pada gumpalam darah dalam perut

seorang ibu, lebih Kuat ketimbang yang ada pada Mani. Begitu pula dipahami bahwa Mungkin-

Potensial ini bisa hilang, yakni manakala ia sudah mencapai yang dipotensialkan itu, atau batal di

tengah jalan, seperti Mani yang jatuh ke tanah dan kering. Sedang Mungkin-Zati akan tetap

Mungkin-Zati sekalipun ia sudah memiliki wujud eksternal.

Sedang beda antara Mungkin-Potensial dan Mungkin-Terjadinya adalah, kalau yang

pertama hanya ada pada keberadaan materi, tapi yang ke dua bisa ada pada keberadaan materi

dan non materi.

Pasal: 7

Page 17: Sketsa filsafat

Mungkin Adalah Kelaziman Esensi dan Pentakbiran Akal

Bukti ketakbiran akal terhadap Mungkin, adalah karena ia mensifati esensi dari sisi dirinya

sendiri secara murni dan akli. yakni tanpa dilihat apakah esensi tersebut ada atau tidak di alam

eksternal ( luar-akal ). Dan sifat bagi hal-hal yang akli, sudah tentu juga merupakan keberadaan

akal.

Tapi, ke-akalan sesuatu dari satu sisi, tidak bertentangan dengan ada-tidaknya, manakala

dilihat dari sisi yang lain. yaitu dari sisi eksternalnya. Sebab ke-akalan bagi esensi itu, disebabkan

tidak mungkinnya memasukkan makna ada atau tiada ke dalamnya secara zati, murni atau asal.

Karena akan membuatnya Wajib-Ada atau Musahil-Ada. Dengan demikian, pandangan akal

kepadanya adalah pandangan secara murni dan zati serta pelepasan dari sisi kaitannya dengan

ada dan tidaknya di keberadaan eksternalnya. Oleh karenanya pandangan _yang seperti ini

terhadap esensi. tidak bertentangan dengan pandangan lain, yaitu manakala akal

memperhatikannya apakah ia memiliki keberadaan atau tidak di alam eksternal. Karena itulah

maka esensi ( sebagaimana esensi ), sunyi dari kemestian dua keberadaan dan ketiadaan

( internal dan eksternal ).

Sedang bukti bahwasannya Mungkin itu merupakan kelaziman esensi adalah tatkala kita

melihat esensi itu dari sisi dirinya dan tanpa memperhatikan selainnv,.. kita dapat melihat bahwa ia

terlepas dari dua kepastian ( ada dan tiada ). Dan tiadalah inakna lain dari Mungkin kecuali

terlepasnya sesuatu dari dua kepastian tersebut. Denjan demikian maka Mungkin adalah

kelaziman esensi secara zati.

Pasal: 8

Perlunya Mungkin Pada Sebab dan Sebab Keperluannya

Mengerti perlunya Mungkin kepada sebab, atau mengerti pernyataan 'Mungkin perlu

kepada sebab untuk Mencapai ada dan tiada', adalah tergolong ilmu-mudah yang pcrtama_

dimana cukup dengan hanya membayangkan Subyek, Predikat dan Hubungan keduanya, dapat

meyakini kebenarannya. Yakni yang membayangkan makna Mungkin bahwasannya ia adalah

berjarak sama antara ada dan tiada, dan membayangkan bahwa ia tidak berdaya mencapai salah

satunya karena yang tak punya tak mungkin memberi, maka dapat dipastikan bahwa orang

tersebut akan meyakini dengan mudah perlunya Mungkin kepada sebab.

Sekarang, apa yang menjadi penyebab perlunya Mungkin kepada Sebab itu? Ada yang

Page 18: Sketsa filsafat

mengatakan Kemungkinannya ( imkan) dan ada yang mengatakan Kejadiannya (huduts ). Tapi

yang benar adalah yang pertama. Dengan dalil sebagai berikut:

1. Esertsi, dilihat dari adanya adalah Wajib-ada ( pasti-ada, darurat-ada ), dan dilihat dari

tiadanva adalah Mustahil-ada. Hal ini dapat diistilahkan sebagai Kemestian-Dengan-Syarat-

Predikasi, yakni ke-Pastian ditetapkannva predikat atas subyek manakala predikatnya

tertetapkan padanya. Sementara Kejadian esensi tidak lain adalah terjadinya salah satu

kepastian itu_ yakni kepastran adanya setelah sebelumnva tidak ada. Dan semua tahu bahwa

ke-Pastian, ke-Daruratan, dan ke-Wajiban-ada. adalah ketidak perluan kepada sebab.

Maksudnya SebabKejadian, hukan Sebab-Kelanggengan. Dengan demikian maka Kejadian

tidak bisa dijadikan sebab bagi perlunya Mungkin kepada sebab. dan tidak ada jalan lain

kecuali mengatakan bahwa Kemungkinan Mungkinlah yang menjadi sebab bagi perlunva

kepada sebab.

2. Esensi., tidak mungkin ada kecuali diadakan oleh sebabnya: dan pengadaan sebab tidak

mungkin terjadi kecuali kalau esensi itu sudah sampai ke tingkat Wajib/mesti: sementara ke-

mestiannya ini tergantung kepada pe-Wajiban sebabnva ( yang tak wajib tidak mungkin ada ):

sedang pe-Wajiban sebab kepadanya tergantung pada kebutuhannya kepada hal tersebut:

dan kebutuhan esensi timbul karena ke-Mungkinannya itu, sebab yang tak mungkin untuk ada

dan tiada, tidak akan pernah perlu kepada sebab. Dengan demikian, maka sebab bagi

perlunya esensi kepada Sebab adalah ke-Mungkinannya itu, bukan Kejadiannya. Karena kalau

Kejadiannya yang menjadi sebab perlunya esensi kepada Sebabnya, maka ia telah

mendahului dirinya sendiri. Yang demikian, ini karena ketika esensi perlu kepada Sebab

untuk ada, berarti ia belum ada, sementara kalau dikatakan bahwa alasan perlunya kepada

,Sebab adalah Kejadiannya, maka berarti ia telah ada. Jadi, ia mendaluului dirinya sendiri.

Dan mendahului diri sendiri adalah mustahil adanya sebagaimana maklum

Pasal: 9

Mungkin Memerlukan Sebab Untuk Ada dan Langgeng

ada bcberapa dalil yang mcnunjukkan bahwa Mungkin memerlukan sebab bukan hanya

pada waktu mcnjadi ada. tapi juga ketika ia ingin tctap ada alau langgeng. Dalildalil yang dimaksud

adalah:

1. Sebab perlunya Mungkin kepada sebab, sebagaimana maklum. adalah ke.Mungkinannya,

dimana ia menjadi kelaziman dari pada esensi. Sementara esensi dilihat dari dirinya sendiri

Page 19: Sketsa filsafat

adalah bukan ada dan bukan pula tiada. Dengan demikian ketika esensi ini ada sekalipun, ia

tetap melaziini Mungkin yang, merupakan sebab bagi perlunya kepada suatu sebab. Dengan

demikian maka Mungkin memerlukan sebab dikala mau ada dan dikala tetap ingin ada.

2. Sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam bab sebab-akibat, dan yang telah diisyaratkan di

Pasal: 2, Bahasan ke Tiga. bahwa keberadaan akibat adalah keberadaan-Penghubung yang

secara zati bergantung kepada sebabnya dan tidak akan pernah bisa mandiri darinya. Dengan

demikian. maka keadaannya tidak berbeda antara sebelum dan setelah ada, bahwa ia selalu

memerlukan sehabnya.

Sebahagian orang mengira bahwa Tukang Batu adalah sebab bagi berdirinya sebuah

bangunan. Oleh karena mereka mengira bahwa akibat tidak perlu lagi kcpada sebabnya manakala

bangunan sudah berdiri.

Jawaban atas isykalan ini adalah dengan menggaris bawahi (tukang Batu bahmasannva ia

bukanlah sebab-hakiki bagi berdirinva bangunan tersebut, ia tidak lain hanyalah sebab pendekat

yang mendekatkan bagian-bagian bangunan dimana bagian-bagian itulah vang sebenarnya

merupakan sebab baginya.

Penutup

Dapat dipahami dari pembahasan terdahulu bahwa Tiga Mutu itu adalah kwalitas/mutu juga

bagi Proposisi. Begitu pula dipahami bahwasannya Wajib dan Mungkin adalah dua hal yang

bersifat ada ( baca: suatu keberadaan ), karena benarnya atau sesuainya proposisi yang

bermutukan keduanya dengan kenyataan eksternalnya. Oleh karenanya mereka berdua itu ada,

tapi dengan keberadaan subyeknya, bukan keberadaan mandiri. Jadi Wajib dan Mungkin,

sebenarnya.. sama dengan Satu, Banyak, Qodim, Baru/huduts, Potensi, De fakto dll., dalam

hal bahwa mereka adalah sifat dari wujud/ada secara mutlak, yakni bahwa mereka mensifati wujud

di eksternal tapi keaksidenan mereka di akal atau internal. Inilah yang disebut dengan Pahaman ke

Dua Filsafat.

Dengan penjelasan lain dapat dikatakan bahwa mereka adalah pahaman yang tidak diambil

dari keberadaan eksternal seperti gunung, warna. bentuk dll.. sebagaimana Pahaman Pertama

Logika. Karena mereka tidak memiliki wujud yang bisa diindra. Tapi dari sisi lain mereka bisa

disifatkan pada keberadaan eksternal secara benar. Tidak seperti Pahaman ke Dua Logika, yang

keberadaan dan pensifatannva di dalam akal atau internal saja. Dengan demikian mereka adalah

keberadaan dalam akal/internal, tapi dapat disifatkan kepada keberadaan eksternal.

Page 20: Sketsa filsafat

Lebih jelasnya, hubungan subyek dengan mereka disebut perrsifatan, sementara hubungan

mereka kepada subyeknya disebut dengan aksiden. jadi, mereka mengaksideni subyek mereka di

dalam akal / internal, tapi subyek mereka tersifati dengan mereka di alam eksternal.

Sebagai contoh, Mungkin itu mengaksideni Manusia di dalarn akal hingga dikatakan bahwa

dalam pernyataan `Manusia adalah Mungkin ada', Mungkin, yang bukan merupakan keberadaan

indrawi ini, telah mengaksideni manusia di dalam akal secara tidak bisa tidak. Yakni sekalipun

Mungkin tersebut bukan keberadaan indrawi. tapi keAksidenannya bagi Manusia adalah pasti dan

tidak bisa diragukan. Sebab, makna Mungkin adalah penegasian dua kepastian dimana hal ini

adalah Keharusan bagi Manusia. karena ia bukan Wajib-ada dan bukan pula Mustahil-ada. Inilah

yang disebut dongan keaksidenan Mungkin di dalam akal.

Sementara di lain pihak, yakni manusia di luar akal, kalau dihubungkan dengan Mungkin itu,

jelas ia tidak bisa melepaskan diri. Padahal yang namanya Mungkin itu bukanlah suatu

keberadaan indrawi yang nyata. Tapi bagaimana pun ia, yang namanya manusia tidak bisa lepas

dari padanya. Hingga dengan ini kalau manusia dihubungkan dengannya, mesti dikatakan bahwa

`Manusia yang ada di luar akal itu adalah Mungkin ada'. lnilah yang disebut bahwa manusia di

eksternal tersifati dengan Mungkin.

Kalau ingin ekstrim, katakanlah bahwa keberadaan mereka di dalam akal, tapi pensifatan

mereka di luar akal.

lni semua dilihat dari sisi bahwasannya yang dijadikan subyek bagi ketiga Mutu itu adalah

esensi sebagai keberadaan dalani akal. Tapi kalau yang kita jadikan subyek adalah keberadaan

nyata, maka makna Wajib adalah Keberadani yang mencapai tingkat tertinggi kekuatan dimana ia

berdiri'sendiri dan tidak terikat dengari apapun secara zati dan mutlak. Sementara Mungkin artinya

adalah Keberadaan yang secara zati bergantung kepada yang lain.

_BAHASAN KE LIMA -

Bahasan tentang Esensi dan Hukum-hukumnya

Pasal: 1

Defiiusi Esenst

Esensi adalah Apa-apa yang dijawabkan atas pertanyaan Apa-dia. Dalam banyak

peristilahan Esensi ini juga disebut dengan Limit Batasan, Hakikat, dll.. Ia disamping

menerangkan hakikat sesuatu -manakala global seperti manusia- atau merincinya - manakala

rinci seperti binatang rasional- juga memberikan batasan pada sesuatu tersebut sehingga

Page 21: Sketsa filsafat

terbedakan dari yang lainnya.

Sementara itu, keaka esensi dapat disifati dengan sifat-sifat yang saiirg bertentangan,

seperti satu dan banyak, ada dan tiada, universal dan partikulir dll., maka berarti ia sendiri

secara zati dan murni, sepi dari semua sifat-sifat tersebut. Dengan demikian, esensi dari sisi

dirinya sendiri, bukan ada dan bukan pula tiada, bukan banyak dan bukan pula satu dll.. Oleh

karenanya sebagian berkata bahwa `Kontradiksi,terangkat dari esensi'. Maksudnya adalah bahwa

kontradiksi-kontradiksi itu tidak ambil bagian dalam esensi, sekalipun dalam alam nyata ia tidak

bisa lepas dari salah satu keduanya. Misalnya, esensi manusia. Secara defaktonya di alam nyata,

ia tidak bisa lepas dari ada atau tiada. Tapi dalam, dirinya sendiri yang namanya ada atau tiada itu

tidak bisa ambil bagian. Sebab kalau ada yang dimasukkan, berarti manusia menjadi Wajib-ada,

dan kalau tiada yang dimasukkan, maka ia menjadi Mustahil-ada. Padahal manusia adalah

Mungkin-ada.

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa esensi akan berbeda makna pada setiap

pemakaiannya. Katakanlah bahwa esensi itu adalah esensi secara murni manakala dipredikati

dengan Predikasi Pertama, dan sebaliknya manakala dengan PredikasiKebanyakan. Dan sudah

jelas bahwa pada masing-masingnya itu memiliki perbedaan makna dan maksud. Berbeda sekali

maksud dari `Manusia adalah bianatang rasional', dengan `Manusia adalah berpendidikan,

memiliki tanggung jawab, merugi, dlL

Pasal: 2

Sisi sist Parufang Terhadap Esensi

Kalau esensi dihubungkan dengan selainnya dapat dikatakan bahwa ia memiliki tiga kondisi:

Dengan-,Syarat-Sesuatu, Dengan-Syarat-Tidak, dan Tanpa-Syarat.

1. Dengan-Syarat-Sesuatu adalah keharusan adanya sesuatu yang lain pada esensi.

Misalnya ketika mengatakan bahwa `Manusia itu merugi'. Di sini jelas bahwa yang

dimaksudkan manusia bukan esensinya secara murni. Tapi esensi yang telah dibubuhi

dengan sesuatu yang lain, misalnya kejadian eksternalnya yang telah banyak melakukan

pemborosan waktu, umur, sehat, akal, tenaga, harta dll., dan bahkan telah

menggunakannya pada selain ketaatan pada Allah. Esensi semacan ini disebut juga

dengan-Esensi Bercampur..

2. Dengan-Syarat-Tidak adalah keharusan dinegasikannya segala sesuatu selain dirinya

sendiri dari sebuah esensi. Ini yang selalu diistilihakan dengan Esensi-Murni, esensi

dari.sisi dirinya sendiri. esensi dengar, pedikasi-pertama, dll., dimana.tidak lain kecuali-

Page 22: Sketsa filsafat

dirinya sendiri. –

3. Tanpa-Syarat adalah dinegasikannya syarat apapun dari esensi. Di sini esensi dipandang

secara mutlak. Oleh karenanya bisa dibubuhi dengan sesuatu dan bisa juga tidak. Yang

penting bahwa ia tidak dimestikan dengan ada dan tiadanya sesuatu. Dalam hal ini ia

disebuat dengan Esensi-Mutlak.

Sementara esensi yang dibagi menjadi tiga bagian itu adalah esensi yang dikenal dengan

Universal-Natural, yakni esensi yang dapat disifati dengan Universal karena bisa diterapkan pada

banyak ( lebih dari satu ) ekstensi atau Wrrjud-Luar/eksternal. Namun jelas, bahwa yang akan

menjadi ekstensinya adalah ekstensi-ekstensi dari dua bagian dari ketiga bagiannya tersebut,

Esensi-Bercampur dan Esensi-Muthak. Sebab Esensi Murni mensyarati uirinya t.ntuk tidak

dicampuri apapun selain dirinya sendiri; dan dirinya sendiri tidak lain adalah dirinya, alias sepi dari

ada dan tiada. Dengan demikian maka esensi-Murni ini tidak akan memiiiki ekstensi atau wujud-

eksternal

Pasal: 3

Zat dan Aksidental (sifat)

Makna-makna yang menjadi bagian tak terhindarkan dari sebuah esensi, maka ia adalah

Zat, dan yang sebaliknya disebut dengan Sifat atau Aksidental. Aksidental di sini bermakna yang

bukan bagian darurat sebuah esensi, yakni cenderung ke dalam artian Sifat dimana dibahas dalam

bahasan Lima Universal, bukan Aksiden yang berhadapan dengan Substansi.

Aksidental ini memiliki dua macam bentuk -selain bentuk-bentuk lain yang telah dibahas di

Logika atau yang akan dibahas di sini setelah ini: Predikasi DenganPenambahan, yaitu 'yang

keaksidentalarurya itu memerlukan adanya penambahan sesuatu kepada subyek yang

disifatinya, seperti `Yang putih' yang dinisbahkan kepada benda sebagai subyeknya yang

kemudian menjadi `Benda ini putih ( baca: yang putih )', dimaaa dalam hal ini jelas perlu

penambahan ( baca: adanya ) putih pada benda tersebut; Predikasi DenganLuar Predikat,

yaitu yang tidak perlu adanya penambahan tersebut, seperti atas dan bawah yang dinisbahkan

kepada lantai.

Ada beberapa hal yang membedakan Zat dari Sifat.

1. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan perantaraan. Berbeda dengan

Aksidental. Sebab Zat itu diambil dari diri esensi itu sendiri. Dengan demikian

maka tetapnya Zat terhadap esensinya tidak memerlukan perantara.

Page 23: Sketsa filsafat

2. Tetapnya Zat terhadap esensi tidak memerlukan sebab dengan alasan yang sama

dengan di atas. Jadi, sebab bagi esensi, tidak menjadikannya esensi lalu

memberinya Zat-zat yang dikaadunginya. Tapi dengan -mewujudkannya,

berarti sebabnya telah pula mewujudkan bagian bagian Zat yang dikandunginya

secara darurat dan otomatis. Oleh karena itu sebab bagi adanya Zat, bukan

sebab bagi esensi itu, tapi esensi itu sendirilah sebab bagi mereka.

3. Zat-zat esensi mendahului esensi. secara tertib akal. Karena bagian. mendahului

keseluruhannya secara pasti. Sebab kalau tidak, maka bagian adalah

keseluruhan. Ini jelas tidak mungkin, karena kontradiksi

Pasal 4

Genus, Golongan, Deffrentia dan Kaitannya

Esensi-Sempurna yang memiliki efek khusus secara hakiki dan nyata dilihat dari

kesempurnaannya, disebut dengan Golongan atau Species, seperti manusia, kuda, singa dll

Kemudian, kalau makna-zati-Golongan itu bergabung dengan Golongan lain dalam

makna yang lebih luas, maka yang terakhir ini disebut dengan Jenis atau Genus, seperti

binatang, benda berkembang, dll.

Ketika Golongan golongan itu bergabung dengan lainnya dalam satu Genus, maka

mereka perlu dibedakan secara zati pula. Sesuatu yang dijadikan pembeda yang mengkhususkan

satu Golongan dari yang lainnya secara zati, disebut dengan Pembeda atau Deffrentia.

Masing-masing dari ketiga hal di atas memiliki bagian-bagian. Genus dibagi menjadi Dekat

dan Jauh, menjadi Teratas, Tengah dan Terendah. Golongan dibagi menjadi Teratas,

Tengah dan Terendah. Dan Pembeda menjadi Dekat dan Jauh. Semua bagianbagian ini telah

dirinci dan dijelaskan di ilmu Logika.

Kalau kita mendefinisikan esensi Binatang dimana ia adalah Jenis dan di dala-nnya

terdapat banyak Golongan, sebagai.`Benda berkembang, perasa dan bergerak dengan

kehendak', maka kita bisa juga memandangnya dalam akal sebagai sesuatu yang satu, utuh dan

sempurna, dimana hal-hal lain sebagai sesuatu yana berada di luarnya dan bukan merupakan

bagiannya. Misalnya manusia/rasional dan kuda, mereka bisa dijadikan pendamping bagi

Binatang kalau ia tidak dipandang sebagai suatu yang satu sepenuhnya. Misalnya kalau

Binatang tersebut dipandang dengan pandangan mutlak (Esensi-Mutlak ) atau Dengan-Tampa-

S`yarat, sehingga menjadi `Binatang yang manusia' atau `Binatang yang rasional', atau

`Binatang rasional'. Tapi karena di sini disyarati Dengan-Syarat-Tidak, maka pendamping-

Page 24: Sketsa filsafat

pendamping tersebut menjadi sesuatu yang berada di luar esensi Binatang dalam contoh kita ini.

Di sini, ia -binatang- merupakan esensi yang menjelaskan keseluruhan -binatang rasional-

tapi tidak bisa dijadikan predikat terhadap keseluruhannya itu, misalnya dengan mengatakan

bahwa `Manusia adalah binatang' atau `Binatang rasional. itu adalah binatang'. Begitu pula

ia -binatang- tidak bisa dijadikan predikat untuk bagian lainnya yang dapat dijadikan

pendamping baginya itu, yaitu rasionaL Misalnya dengaa mengatakan. bahwa `Rasional adalah

binatang'. Dalam. keadaaa seperti ini, esensi disebut sebagai Matter atau Bahan, dan

berposisi sebagai Sebab-Bahan bagi keseluruhannya. Yakni, Binatang -dalam contoh di atas-

adalah sebab-Bahan bagi `Binatang rasional'.

Tapi, kita bisa memandang esensi Binatang itu sebagai pendamping bagi Golongan-

golongan yang dicakupinya. Misalnya memandangnya sebagai Binatang yang ada pada

manusia, kuda, harimau dll.. Di sini, esensi Binatang ini, dipandang sebagai esensi yang

belum utuh dan sempurna, kecuali kalau sudah didampingi dengan Pembeda. dari Golongan-

golongannya, misalnya `Binatang rasional' sebagai esensi Manusia. Esensi dalam

pandangan ke dua ini disebut dengan Jenis, dan yang membedakannya disebut dengan

Pembeda. ,

Kedua sisi pandang yang terjadi pada bagian persamaannya -seperti binatang-. di atas, terjadi

pula pada bagian pengkhususnya -seperti manusia/rasional, kuda, dll.. Oleh karena itu sesuai

dengan pandangarr pertama -utuh dan sempuma- pengkhususus ini disebut dengan Bentuk

atau Form. Di sini, ia _ merupakan bagian yang tidak bisa dijadikan predikat pada

keseluruhannya dan juga ' pada bagian lainnya. Misanya Raslonal, ia tidak bisa dijadikan

predikat untuk keseluruhannnya, yaitu Manusia atau `Binatang rasional', dan tidak pula untuk

bagian lainnya, yaitu Binatang dimana kini ia berfungsi sebagai keutuhan atau Matter, sesuai

dengan pandangan. pertama terhadapnya itu. Jadi, kita tidak bisa mengatakan bahwa `Binatang

adalah rasional' atau `Manusla adalah rasional' atau `Binatang rasional adalah rasional'

Tapi kalau kita lihat pengkhusus itu dengan pandangan ke dua, yakni sesuatu yang kurang

dan merupakan pelengkap bagi yang lain, katakanlah Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia disebut

dengan Pembeda yang melengkapi dan merealitaskan Jenis.

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa:

1. Jenis adalah Golongan yang belum jelas dan terealisasi, sedang Pembeda adalah

Golongan yang sudah jelas dan terealisasi.

2. Gabungan Jenis dan Pembeda mempredikati Gologan dengan Predikasi-Pertama. Dan

hubungan antara keduanya adalah bahwa Jenis sebagai Aksidental-umum bagi Pembeda,

Page 25: Sketsa filsafat

dan Pembeda sebagai Aksidental-Khusus baginya. Keduanya saling mempredikati dengan

Predikasi-kebanyakan.

3. Tidak mungkin adanya dua Jenis dan dua Pembeda dalam satu tingkatan untuk satu

Golongan. Sebab kalau tidak, berarti satu Golongan adalah dua Golongan pada waktu, sisi

dan tempat yang sama. Dan yang demikian adalah mustahil karena melazimi kontradiksi.

4. Jenis dan Matter adalah sama persis secara kenyataan dan zat, tapi berbeda dari sisi

pandangnya. Kalau Jenis dipandang Dengan,S`yarat-Tidak, maka ia adalah Matter/bahan,

dan Matter kalau dilihat secara mutlak atau Dengan-Tanpa-Syarat, maka ia dikatakan

Jenis.. Begitu pula dengan Pengkhusus, kalau dilihat Dengan-Syarat-Tidak, maka ia adalah

Bentuk/form, dan kalau dilihat DenganTanpa-Syarat, maka ia dikatakan sebagai

Pembeda. .

5. Matter dan Form, ada dan nyata di eksternal, manakala hanya adalah substansi material

atau bendawiah. Oleh karena itu keduanya diambil dari keberadaan luar akal ( eksternal ).

Setelah itu ketika akal memandangi keduanya sebagai TanpaSyarat, maka mereka disebut

dengan Jenis dan Pembeda.

6. Aksidental eksternal adalah keberadaan yang sederhana dimana tidak memiliki

gabungan Bahnt/matter dan Bentuk/form. Karena itu, perbedaan mereka kembali

kepada persamaannya. Akan tetapi karena akal menemukan pada diri mereka persamaan

dan perbedaan, maka ia menjadikan penemuannya itu sebagai Jenis dan Pembeda. Lalu

setelah itu memandanginya sebagai Dengan-Syarat-Tidak, maka jadilah mereka itu

Matter dan Form secara dalam akal atau internal, bukan eksternal.

Pasal 5

Sebagian Hukum Pembeda

Salah satu pembagian Pembeda adalah dibaginya menjadi dua bagian: PembedaLogika dan

Pembeda Kepunyaan:

1. Pembeda_Logika adalah paling khusus dan dikenalnya Aksidental-Lazim (Universal-Sifat

lazim ) yang diaksidentalikan/disifatkan kepada sebuah Golongan. Ia biasa diletakkan dan

diposisikan sebagai Pembeda hakiki dalam sebuah Golongan dikarenakan susahnya mencari

Pembeda, pada umumnya. Seperti Rasional untuk manusia dan Meringkik untuk kuda. Sebab,

Rasional bisa dikatagorikan sebagai Kwalitas-jiwa, sebgaimana sebagian berpendapat. Baik

diartikan dengan `Berfikir', atau `Kemampuan menyimpulkan- universal'. Dan kalau benar

ianya adalah aksiden, maka bagaimanapun, ia memerlukan kepada Subyek yang memilikinya

Page 26: Sketsa filsafat

atau Obyek/partner yang ditumpanginya. Oleh karenanya ia bukanlah Zat penentu bagi

sebuah substansi. Begitu pula dengan meringkik. Maka dari itu kadangkala lebih dari satu

Pembeda dijadikan satu 4 Pembeda dalam satu Golongan,. seperti `Perasa' dan `Bergeruk

dengan kehendak' yang dijadikan Pembeda untuk Binatang, padahal sudah_dikatakan di atas

bahwa Pembeda itu tidak mungkin lebih dari satu dalam satu tingkkatan untuk sebuah

Golongan. Adanya dua Pembeda yang dijadikan satu itu menunjukkan bahwa mereka atau

salah satunya adalah Aksidental-Lazim, bukan Pembeda yang hakiki yang merupakan Zat

yang tidak bisa tidak harus dipunyai oleh sebuah Golongan atau Substansi.

2. Pembeda 1Kepunyaan adalah Pembeda yang diambil dari Pembeda-logika lalu dibubuhi

dengan kata Yang Punya. Misalnya, `Manusia adalah binatang Yang Punya rasional', `Kuda

adalah binatang Yang Punya ringkikan

Tambahan

1. Hakikat sebuah Golongan adalah Pembedanya. Hal itu dikarenakan bahwa Pembeda yang

paling akhir ( Manusia adalah benda berkembang, perasa, bergerak dengan kehendak dan

rasional ), tidak lain dan tidak bukan, adalah Penentu identitas dan Perealita bagi sebuah

Golongan yang memilikinya, sedang Jenis jenis dan Pembeda pembeda yang lainnya

hanyalah sebagai pemberi identitas globalnya. Oleh karena itu selain Pembeda akhir

tersebut dimiliki olehnya atau terkandung di dalarnnya secara global dan realita Jadi

Rasional, mengandungi kebendaan, keberkembangan, ke-pe-rasa-an dan . kebergerakan

dengan kehendak. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa keGolongannya

Golongan, sebenarnya, hanya disebabkan olehnya (Pembeda-akhir ), dan begitu pula

bertahannya sebuah Golongan: Maka dari itn tidak heran kalau sebuah Golongan itu tetap

bertahan manakala Pembedanya tetap ada, sekalipun sebagian Jenisnya, atau sekalipun

Bentuknya, yakni Pembeda Dengan-Syarat-Tidak, sudah berpisah dari Bahannya, yakni

Jenis Dengan-Syarat- tidak. Seperti manusia yang sudah mati dimana sudah

meninggalkan badannya, dimana berarti sudah tidak lagi bisa dikatakan sebagai benda,

berkembang, perasa dan bergerak, dengan kehendak. Namun demikian, karena

kerasionalannya tetap ada, maka ia tetap sebagai manusia.

2. Pembeda - tidak dibawah naungan Jenisnya. Artmya Jenis iiu tidak bisa diambil - untuk

dijadikan •bagian Zat dari Pembedanya. Sebab kalau tidak, berarti ia perlu lagi kepada

Pembeda, dimana-Pembeda ini juga perlu kepada Pembeda yang lain, dan begitu

seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil. Misalnya rasional. Kalau rasional ini

dibawahi oleh Binatang berarti ia -rasional- perlu kepada Pembeda supaya bisa dibedakan

Page 27: Sketsa filsafat

dari yang lainnya. Kemudian Pembeda ke dua ini -Pembeda bagi rasional- perlu kepada

Pembeda lagi karena ia dibawahi oleh Binatang sebagaimana sebelumnya. Begitu seterusnya

sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, karena akan berakhir pada ketidak terbatasannya

yang terbatas. Sebab ketika kita melihat Pembeda pertama, maka ia adalah ujungnya. Dan

sesuatu yang berujung, pasti terbatas, karena tidak mungkin tidak ada pangkalnya. Sementara

kalau silsilah Pembeda itu dikatakan tidak terbatas, berarti ia tidak berujung dan berbatas.

Pasal: 6

Golongan dan Sebagian Hukumnya

Bagian-bagian dari Esensi Golongan terealisasi di alam eksternal dengan Satu keberadaan

atau wujud. Hal itu karena pemeredikatan antar mereka dan ke atas Golongannya 1ebih utama

sementara Golongan ada di alam eksternal dengan satu keberadaan. Akan tetapi di dalam akal,

mereka saling berbeda. Ada yang identitas global, ada pula yang identitas-penentu.. Oleh karena

itu satu sama lain •saling meng-Aksidental-i; sebagaimana maklum.

Dan itulah sangat dikenal pernyataan yang menyatakan bahwa dalam keberadaan yang

memiliki GabunganHakiki, yakni Golongan golongan material atau benda yang terdiri dari

Bahan/Matter dan Bentuk/Form, gabungan-gabungan itu, satu sama lain, harus memiliki

kebutuhan dan ketergantungan hingga menyatu dan menjadi satu secara hakiki.

Gabungan Hakiki dapat dibedakan dari yang bukan hakiki dari hasil penggabungannya.

Kalau Hakiki, akan melahirkan esensi-natural yang satu • secara hakiki ( bukan gabungan )

dimana bagian-bagian itu lebur dan menjadi keberadaan yang lain, serta memiliki efek yang lain

pula. Gabungan H2 O, dimana melahirkan keberadaan dan esensi serta efek lain dari masing-

masing unsurnya itu, yakni air, akan berbeda dengan gabungan unsur-unsur rumah yang menjadi

rumah. Dari sinilah dapat diketahui bahwa gabungan Bahan dan Bentuk adalah gabungan pen-

satuan, bukan penggabungan atan penambahan.

Kemudian, salah satu dari ciri Esensi Golongan ini, adalah sebagiannya memiliki Banyak

ekstensi dan . sebagian lainnya Satu ekstensi saja. Yang pertama adalah Golongan-golongan

yang memiliki hubungan dengan Materi., seperti manusia, pohon, harimau, dll., dan yang ke dua

keberadaan Non-materi, seperti Akah-satu sampai AkalTerakhir ( tidak berbeban dan tidak

bersifat dengan sifat materi ), dan makhluk makhluk Barzakh (tidak berbeban tapi memiliki

sifat-sifat materi ).

HaI itu karena sebab bagi banyaknya ekstensi-ekstensi itu tidak keluar dari dua hal:

Pertama, hal-hal yang berhubungan dengan Zat, apakah sebagiannya -seperti Binatang bagi

Page 28: Sketsa filsafat

manusia- atau keseluruhannya -seperti Binatang rasional- atau setidaknya yang berhubungan

dengan ke-Lazimannya _( Aksidental-Lazim, seperti ganjil bagi tiga ). Ke dua, hal-hal yang

berhubungan dengan Aksidental--Tidak I,azim.

Kalau yang Pertama, berarti tidak akan pernah terjadi Satu: Sebab setiap ditemukan

Golongun tersebut, maka ia Banyak. Hal tersebut karena,Banyak merupakan Zat atau Kelaziman

darinya. Sementara kaiau tidak terjadi Satu, maka tidak mungkin terjadi Banyak. Karena Banyak

terjadi dan terdiri dari Satu satu.

Kalau yang Ke Dua, maka Golangan yang mau disifati dengan Banyak itu harus memiliki

kemungkinan adanya Penambahan dan/atau ke Aksidentalan kepadanya. Dan kemungkinan

tersebut hanya ada -pada materi. Sebab, Non-materi adalah wujud de fakto secara keseluruhan,

sehingga apa-apa yang dimilikinya merupakan Zat baginya. Oleh karena itu Banyak hanya ada di

keberadaan atau Golongan materi, tidak pada non materi.

Pasal: 7

Universal, Partikulir dan Keberadaan Ke-duanya

Mungkin sebagian orang mengira bahwa Univeral-Partikulir itu terjadi di dalam pengetahuan

saja. Yakni, Partikulir terjadi pada Pengetahuan-indra dan Universal pada Pengetahuan-akal. Hal

itu karena terangnya pengetahuan-indra membuat yang diketahuinya itil berbeda satu dengan

yang lainnya, inilah Pariikulir. Sedang pengetahuan-akal tidak seterang pengetahuan-indra. Oleh

karenanya ia samar dan kabur, dan karena itulah bisa diterapkan pada lebih dari satu ekstensi,

inilah yang disebut Universal.

Kalau ke-Universalan sesuatu itu karena kesamarannya, maka dia secara hakiki bukan

Universal. Padahal kita memiliki pahaman Universal itu secara nyata dan hakiki, seperti pahaman

Manusia. Begitu pula proposisi yang bersifat Universal, seperti `Semua enrpat itu genap', `Setiap

yang terbatas itu bersebab', `Semua manusia itu rasional', dll., tidak memiliki kebenaran

kecuali pada satu ekstensinya saja. Ini jelas mustahil

Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa Universal-Pariikulir adalah suatu keberadaan

yang menyertai Esensi di dalam akal.

Pasal: 8

Perbedaan Esensi dan Individuasinya

Perbedaan Esensi dari esensi yang lain di dapat dari bagian pengkhusus atau pembeda

Page 29: Sketsa filsafat

dari dirinya sendiri, seperti Rasional pada esensi Manusia. Sementara Individuasinya didapat dari

keindividuanny yang tidak dapat diterapkan pada individu yang lain. Yakni manakala esensi tidak

lagi bisa diterapkan pada ekstensi yang lainnya, seperti Jeko.

Dengan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Perbedaan adalah sifat tambahan bagi esensi, tidak pada Individuasi yang merupakan

hakikat dirinya.

2. Perbedaan tidak menolak Universal. Sebab penambahan Universal ke atas Universal

yang lain, tidak menyebabkan Indivtduasi. Itu kalau dalam Perbedaan yang disertai

penambahan. Misalnya penambahan Rasionai keatas Binatang, atau penambahan

Tinggi-rendah ke atas Manusia. Semua ini tidak melahirkan keIndividuan bagi esensi. Ada

lagi. perbedaan esensi yang tidak memerlukan penambahan, seperti Jenis-Tinggi. Di sana

juga tidak menolak ke-Universalan, karena dia berada di puncak klasemen pahaman.

Berbeda dengan Individuasi yang sudah pasti menolak ke-Universalan. Karena ia

adalah satu eksternal yang tidak bisa diterapkan kepada keberadaan lain sekalipun dalam

satu esensi.

3. Indivuasi dalam keberadaan Non-materi adalah merupakan kelaziman Golongannya.

Karena Golongan yang ada pada keberadaan Non-materi hanya memiliki satu individu

saja dan tidak mungkinnya terdapat Banyak di sana, sebagaimana maklum. Sedang

Individuasi pada keberadaan Materi, • maka sebagian orang mengatakan bahwa hanya

terjadi karena penambahan Aksidental kepadanya. Seperti Tempat, waktu, Posisi dll. yang

ditambahkan kepada Manusia, misalanya, hingga menjadi Manusia di Tempat fulan,

Waktu fulan, Posisi fulan. Akan tetapi hal ini sebenarnya, bukanlah individuasi. Sebab

penambahan Universal, seperti waktu tertentu, tempat tertentu, tinggi tertentu, d1l.,

kepada Manusia yang juga Universal, tidak akan pernah menghasilkan Individu. Yang

benar adalah bahwa Peug-Individuan Golongan materi adalah dengan keberadaan

eksternalnya.

BAHASAN KE ENAM

Bahasan tentang Sepuluh Kategori ( Genus-Tertinggi,tumpuan akhir semua Golongan )

Pasal: 1

Definisi Substansi dan Aksiden

Page 30: Sketsa filsafat

Esensi dibagi dengan pembagian pertama menjadi Substansi dan Aksiden. Karena Esensi

terkadang dijumpai dalam Subyek, dan terkadang sebaliknya. Dengan demikian Esensi-

Substansi adalah suatu esensi yang kalau dijumpai dalam eksternal tidak dalam subyek

tertentu yang memerlukannya. Baik subyek tersebut sama sekali tidak ada, seperti pada

keberadaan esensi Non-materi yang tidak memerlukan subyek, atau ada tapi subyek tersebut

juga memerlukannya, seperti Bentuk/Form dari keberadaan Natural - materi- yang harus berada

dalam Bahan/Matter yang juga memerlukannya karena tanpa form ia tidak akan terealisasi,

sebgaimana maklum.

Sedang Esensi Aksiden adalah suatu esensi yang kalau dijumpai di eksternal dijumpai

dalam subyek yang tidak memerlukannya. Seperti esensi Jauh dan Dekat yang ada

pada/antara benda-benda; Berdiri dan Duduk, Membelakangi dan Menghadap yang ada pada

manusia, dll..

Esensi-Aksiden ini terdiri dari semblian macam. Mereka adalah Kategori dan Jenis-

tertinggi. Pahaman Aksiden bagi mereka adalah Aksidental-Umum, karena tidak ada Iagi Jenis

yang lebih tinggi dari mereka. Begitu pula pahaman Esensi bagi SepuluhKategori. Ia adalah

Aksidental-Umum dan bukan Jenis.

Sembilan Kategori Aksiden itu adalah Kwantitns, Kwalitas, Di Mana, Kapan, Posisi,

Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi. Sebagian menganggap bahwa Aksiden itu hanya Tiga

macam, karena tujuh Aksiden terakhir itu dijadikan satu Aksiden saja, yaitu Aksiden-

Hubungan, karena semua itu hasil dari penghubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain,

misalnya penghubungan benda dengan waktu disebut dengan Kapan, dengan tempat jadi Di

Mana, dst.. Dan Syekh Isyrooq menambahkan Gerak, sehingga Kategori menjadi Lima:

Substansi, Kwalitas, Kwantitas, Hubungan dan Gerak. Pembahasan rinci terhadap perbedaan

pandangan itu ditunda pada pembahasan filsafat yang lebih rinci.

Pasal:2

Pembagian Substansi

Substansi dibagi dengan pembagian awal menjadi Lifna: Bahan/mutter, Bentuklform,

Benda, Jiwa/ruh, dan Akal. Akal adalah `Substansi yang non materi secara Zat dan

Aktifitas'. Jiwa adalah `Substansi y arg non materi secara Zat, tapi tidak dalam aktifitanya'.

Bahan adalah `Substansi vang mengemban potensi'. Bentuk adalah `Substansi yang men-

de faktokan Bahan. Dan Benda adalah `Substansi yang memiliki tiga dimensi ( panjang,

lebar dan tebal, alias volume )'.

Masuknya Bentuk pada pembagian di atas adalah secara aksidentai atau berikutan.

Page 31: Sketsa filsafat

Karena Bentuk adalah Pembeda yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak, sementara

Pembeda bagi Substansi tidak dinaungi oleh Substansi itu, sebagaimana maklum. Yakni,

Pembeda bagi Jenis, tidak di Jenisi oleh Jenis tersebut, karena akan memerlukan kcpada

Pembeda yang lain hingga tidak terhingga, hal mana yang demikian ini adalah mustahil. Begitu

pula dengan Jiwa, dengan alasan yang,sama. Yaitu bahwa Jiwa/ruh, adalah Bentuk bagi

Substansi Golongan yang memilikinya Dan Bentuk, sebagaimana maklum, adalah pe,mbeda

yang dipandang Dengan-Syarat-Tidak.

Pasal: 3Benda

Tidak diragukan, bahwa di sekitar kita terdapat banyak Benda yang beraneka ragam, apa

memiliki kesamaan dari sisi ke Benda-annya yang merupakan bentangan panjang, lebar dan tebal.

O1eh karena itu dapat dikatakan bahwa Benda adalah Sustansi yang memiliki tiga dimensi atau

volume.

Benda. secara indrawi adalah sesuatu yang kelihatan utuh dan satu. Lalu, apakah pada

Hakikatnya Benda itu demikian, atau tidak? Kalau yang pertama, apakah bagian-bagiannya yang

masih potensial itu, bisa dibagi hingga tidak terbatas, atau tidak? Dan kalau yang ke dua, apakah

bagian-bagiannya yang defakto itu, yaitu bagian yang tidak ierbagi, tidak bisa dibagi secara

eksternal dan hanya internal saja, atau tidak? Dalam hal ini ada lima pandangan:

1. Benda itu adalah satu keutuhan secara hakiki sebagaimana terlihat oleh indra, dan ia memiliki

bagian-bagian secara potensial dan bagian-bagian itu memiliki akhir. Pendapat ini dinisbahkan

kepada Syahristani.

2. Benda itu adalah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata, ia bisa dibagi secara tidak

terbatas atau tidak terhenti secara eksternal. Dan kalau sudah sampai pada bagian terkecil

yang tidak bisa dibagi karena tidak adanya alat, maka ia bisa dibagi secara bayangan/khayal.

Kalau bagian bayangan ini sudah sampai ke batas kemampuan bayangan atau khayalan

hingga tidak lagi bisa dibayangkan, maka akal bisa membaginya terus dengan kaidah akalnya,

yaitu bahwa setiap yang memiliki volume, bisa dibagi hingga tidak terhingga, karena bagian

volume tetap merupakan volume, sekalipun kecil dan tidak tidak terlihat dengan mata dan

khayal. Pandangan ini dinisbahkan pada Filosof.

3. Benda adalah kumpulan dari bagian-bagian terkecil yang tidak bisa dibagi secara eksternal,

bukan internal -khayal dan akal. Pandangan ini milik Democrites.

4. Benda adalah gabungan dari bagian-bagian kecil tak terbagi, baik secara eksternal, khayal

Page 32: Sketsa filsafat

dan akal. Bagian-bagian terkecil itu hanya bisa diisyarahi secara indra dan antara satu sama

lainnya memiliki jarak/jedah yang bisa dilewati alat pemotong. Pandangan ini milik mayoritas

Ulama Kalam ( teolog ).

5. Benda itu gabungan dari bagian-bagian yang tidak bisa dibagi, tapi pembagiarnya itu bisa

sanipai tidak terbatas.

Membatalkan pandangan Empat dan Lima bisa dengan mengatakan bahwa apakah

bagian-bagian yang tidak bisa dibagi itu memiliki volume atau tidak? Kalau tidak memiliki, maka

penggabungannya tidak mungkin melahirkan volume, secara pasti. Kalau sebaliknya, maka sudah

pasti bisa dibagi secara khayal dan akal, sekalipun di eksternal tidak bisa dibagi karena kecilnya

dan tidak ada alat untuk memotongnya. Lagi pula, kalau bisa dibagi secara tidak berhenti atau

tidak terhingga, maka benda tersebut akan menjadi bcsar secara tidak terhingga pula. Karena

kumpulan tidak terhingga adalah tidak terhingga pula. Dan ini jelas mustahil, sebab volume

mestilah terhingga.

Untuk membatalkan pandangan ke Dua, kita dapat dengan mudah mengambil kenyataan

fisika yang tidak bisa ditolak bahwasannya benda itu merupakan gabungan dari atom-atom yang

terdiri dari Proton dan Neutron yang satu sama lain memiliki jarak. Jarak ini dapat dijadikan bukti

bahwa benda itu bukanlah satu keutuhan sebagaimana terlihat mata.

Dan untuk membantah pandangan Pertama, kita dapat membantahnya dengan bantahan

untuk pandangan ke Dua, Empat dan Lima. Karena ia merupakan pandangan yang bisa

dikatakan bahwa ia merupakan gabungan dari pandangan-pandangan itu.

Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Benda yang didefinisikan dengan

Substansi yang memllfki tiga dimensi dan utuh adalah benar dan ada. Tapi ekstensinya Adalah

benda terkecil yang merupakan bagian-bagian pemula bagi Benda-Golongan, bukan Benda-

Golongan itu sendiri. Ini adalah pandangan Democrites

Pasal: 4

Pembuktiun Bahan-Pertama dan Bentuk-Benda

Benda sebagaimana Benda, yakni Yang memiliki Tiga dimensi, adalah kenyataan defakto

yang tidak bisa diingkari. Tapi di lain pihak ia selalu siap untuk menerima BentukGolongan dan

berikutan-berikutannya, segerti Golongan-natural atau species, aksiden, dll.. Dari sisi ke dua ini

ia dikatakan Potensi. Sementara kita tahu bahwa de fakto berbeda dengan potensi. Karena de

Page 33: Sketsa filsafat

fakto adalah keberadaan dan potensi adalah ketiadaan. Dengan demikian dapat diambil

kesimpulan bahwa Benda memiliki Potensi uniuk Benda-Pertama dimana ia tidak memiliki ke de

faktoan apapun kecuali ke de faktoan Potensinya. Sementara yang membuatnya -Benda-

Pertama- de fakto dan menjadi realita adalah Bentuk-Bendanya.

Ketika Benda-Pertama memiliki dua dimensi, de fakto dan Potensi, dan kita tahu bahwa

Potensi adalah suatu sifat atau aksidental, maka ia harus berada dalam zat yang memilikinya. Zat

dan substansi itulah yang disebut dengan BahanPertama. Dengan demikian, maka terbutilah

bahwa Bahan Pertama Benda itu memang ada. Dan dengan ini pula telah menjadi terbukti

bahwa Bentuk--Benda juga ada, karena ialah yang telah mejadikan Bentuk-Pertama itu eksis

dan ada.

Kesimpulannya adalah:

1. Bahan atau Matter yang ada di dalam Benda, katakanlah Benda terkecil, disebut dengan

Bahan atau Matter-Pertama.

2. Bahan Perlama ini bersama dengan Bentuk-Benda, selalu siap untuk menjadi Bahan

bagi Bentuk Golongan yang akan mendatanginya dimana ruereka dengan itu dikenal

dengan Bahan Ke dua.

Sangkatan

Sebagian filosof mengingkari keberadaan BahanPertama itu,Dan kami mengikuti mereka

mengingat bahwa argumen mereka lebih kuat dari yang menerima keberadaannya. Misalnya,

ketika Benda-Pertama harus memiliki Potensi pada tahapan sebelumnya yang disebut dengan

Bahan Pertama, maka Bahan-Pertama ini juga harus memiliki Potensi itu seperti keberadaan

Benda Pertama. Jadi Bahan-Pertama harus memiIiki Potensi pada tahapan sebelumnya. Dan

sudah tentu bahwa Potensi ini juga harus, memiliki Potensi sebelumnya sebagaimana yang

pertama. Begitu seterusnya sampai tidak terbatas. Ini jelas mustahil, lantaran Potensi pertama itu

adalah ujung dari arah de faktonya, sementara yang berujung tidak mungkin tidak berpangkal.

Jadi secara pasti. tidak mungkin silsilah Potensi itu berentet sampai tidak terbatas.

Dalil penolakan lainnya adalah, kalau Potensl untuk menjadi Benda Pertama itu ada, berarli

ia telah ada tanpa ke-de-jaktoan apapun. Para penerima keberadaan BahanPertama inipun

mengatakan bahwa ke-de-faktoan Bahan Pertama sebagai Potensi untuk menjadi Benda

Pertama, adalah bahwasaannya ia adalah Potensi. Yakni bahwa ke-de faktoan Potensi, adalah

Potensinya itu. Ini jelas, sulit diterima, karena Potensi dan De Fakto adalah dua hal yang

kontradiksl. Yang ke dua, bahwa perkataan ke-defaktoan Notensi adalah ke-Potensian

Potensinya, adalah perkataan yang menyalahi makna dari Potensi itu sendiri. Sebab, ketika

Page 34: Sketsa filsafat

dikatakan Potensi, berarti ia belum ada dan belum de fakto. lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa

ia adalah de fakto?

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa Bahan Pertama atau Potensi untuk menjadi

Benda-Pertama itu, tidak ada. Dan yang ada hanyalah Benda-Pertama, dimana ke-de

faktoannya adalah dengan tiga dimensinya, yang kemudian dikenal dengan Bahan- Ke dua itu.

Kemudian, karena ia adalah Bahan-Ke dua, maka dari sisi inilah ia tersebut dengan Potensl, yaitu

bagi Bentuk-bentuk yang akan datang. Jadi, penyebab bagi keberadaan Benda Pertama telah

mewujudkannya dengan tanpa adanya Potensi terlebih dahulu. Karena sebelum itu, tidak ada

keberadaan apapun hingga dapat mengembannya.

Pasal: 5

Pembuktian Bentuk-Golongan

Kita dapat melihat di alam eksternal adanya Benda-benda yang berniacam-macam dilihat

dari sisi Aksi dan Interaksi. Dan sudah pasti bahwa perbedaan-perbedaan itu memiliki sumber

atau sebab substansial. Karena kalaupun sebabnya adalah hal-hal yang bersifat Aksidental,

maka ia memerlukan Partner atau Obyek yang ditumpanginya dimana harus merupakan

substansi juga.

Ketika sebabnya adalah substansi, di sini ada dua pilihan: Bahan-Pertama ( bagi yang

mengakui keberadaannya ), Benda-Pertama ( bagi yang tidak mengakui keberadaan Bahan

Pertama ), atau Bentuk-Golongan. Kalau yang kita pilih adalah Bahan Pertama, maka ia tidak

lain kecuali ke-Potensian. Dan Potensi adalah bukan keberadaan hingga dapat memberikan

Aksi dan Interaksi pada suatu Benda. Begitu pula kalau yang kita pilih adalah Benda Pertama,

maka dari sisi Ke Bahan Pertamaannya ini, semua Benda adaiah sama persis. Karena

definisinya adalah `Sesuatu yang memiliki tiga dtmensi'. Dilihat dari sisi ini, maka semua

Benda adalah sama, sementara yang kita mau cari adalah sebab dari perbedaan Aksi dan

Interaksl semua Benda.

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa sebab yang membedakan Aksi dan Interaksi

semua Benda itu adalah Bentuk-Golongannya.

Tambahan

1. Pertama sekali yang terjadi dari/setelah Benda-Pertama dimana ia merupakan titik kesamaan

antara semua Benda, adalah Benda dengan Bentuk-Golongannya yang berupa Unsur-

Page 35: Sketsa filsafat

unsur natural. Di dalam ilmu ftsika-tradisional, Unsur-unsur itu ada empat macam saja:

Tanah, Air, Udara dar. Api. Tapi sekarang sudah ditemukan jauh lebih banyak dari itu, yakni

lebih dari seratus Unsur dasar. Lalu, Benda yang telah berbentuk dengan Bentuk-Unsur itu

menjadi Potensi dan Bahan, bagi Bentuk bentuk lain yang akan mendatanginya, seperti

Manusia, Kuda, Ular, dll..

2. Dengan uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa setiap Benda, apapun Bentuknya, ia selalu

memiliki dua hal: Ke-De faktoan dan Ke-Potensian. Yakni Ke De faktoan dirinya yang

sekarang, apakah ia adalah Benda-Pertama, GolonganUnsur, atau Golongan golongan

berikutnya; dan Ke-Polensian bagi Bendtkbentuk lain yang akan mendatanginya, apakah

Golongan-Unsur bagi BendaPertama, Golongan-Manusia bagi Golongan-Unsur, dan

seterusnya.

Pasal: 6

Bahan/Matter yang ada pada Benda-Pertama, yakni Substansi yang mengemban

Potensi untuk menjadi Benda atau Golongan lain, saling terkait dengan Bentuk-Benda-

pertamanya tersebut. HaI itu karena Bahan adalah Potensi, dan Potensi adalah ketiadaan alias

belum berupa kenyataan bagi apa-apa yang di-Potensikan itu. Oleh karena itu, keberadaannya

mestilah diemban oleh ke-de faktoan substansi lain yang inenyatu dengannya dan yang telah

memberikan rupa dan Bentuk kepadanya. Karena setiap apapun, tidak akan eksis dan nyata

tanpa ke-de faktoan. Dengan ini menjadi nyata hahwa Bentuk-Benda itu merupakan ke-yaknian

yang tidak bisa tidak.

Di lain pihak, kita melihat bahwa Benda yang telah di-de faktokan oleh Substansi-

Berrtuk Benda itu memiliki kekuatan atau kemampuan untuk berubah menjadi substansi lain,

yakni dengan menerima Bentuk - Bentuk berikutnya, seperti Unsur dan Golongan. .jadi,

disamping ke-de faktoan, ia memiliki Potensi. Dengan demikian maka jelas sekali bahwa Bentuk-

Benda tidak mungkin ada tanpa ditemani oleh Potensinya. Dan Potensi ini adalah suatu sifat yang

harus diemban oleh sebuah Substansi. Substansi pengemban Potensi itulah yang disebut

dengan Bahan. Jadi, Bentuk yang merupakan ke-De faktoan dan ke-Kinian bagi sebuah

Substansi, akan selalu bersama dengan Bahan yang mengemban ke-Po!ensiannya untuk

menerima Bentuk lain di masa datang.

Pasal: 7

Bahan dan Bentuk Saling Memerlukan

Page 36: Sketsa filsafat

Penjelasan globalnya dari saling perlunya Bahan dan Bentuk adalah bahwa gabungan

antara keduanya adalah gabungan hakiki dan naturali dimana melahirkan satu esensi secara

hakiki dan naturali juga. Tidak seperti kesatuan pruduksi yang sebaliknya, misalnya kesatuan

rumah, mobil, dll..

Kerinciannya adalah bahwa Bentuk ( baca: selain Bentuk Pertama ), akan selalu ada

mankala didahului oleh Potensi yang diemban oleh keberadaan sebelumnya. Seperti Bentuk

Mani yang didahului oleh Daging, misalnya, sebagai pengemban Potensinya. jadi daging, yang

merupakan gabungan dari Bahan dan Bentuk-Daging, merupakan bahan bagi Bentuk Mani yang

akan mendatanginya. Dengan demikian maka setiap bentuk selalu memerlukan kepada Bahan

yang mengemban Potensinya sebelum ia terjadil

Perlunya Bentuk kepada Bahan juga bisa dilihat dari sisi ke-individuannya, alias ke-

ekstensiannya secara khusus. Sebab ketika Bentuk itu ingin eksis di alam eksternal, ia melazlmi

Aksiden-aksiden khusus yang membedakannya dari yang lain dilihat dari aksiden-aksiden itu.

Misalnya, Di mana, Posisi, Kapan, dll.. Dan Aksiden-aksiden khusus semacam ini tidak mungkin

bisa eksis tanpa adanya Bahart/Matter/Material.

Sementara itu, Bahan sangat tergantung kepada Bentuk yang telah mengaktualkannya.

Dan bahkan ia Bahan- memerlukan Bentuknya itu bukan hanya dikala mau eksis saja, tapi disaat

ingin tetap eksis, juga tetap memerlukannya. Sebab, Bentuk adalah ke-De faktoannya. Namun

demikian, bukanlah Bentuk itu merupakan Sebab-Lengkap atau Sebab Pemberl baginya, karena

ia juga memerlukan Bahan dalam ke-Golongannya dan ke-Individuannya. Ia hanya merupakan

Sebab-Bagian, dan Syarat bagi ke-De faktoan dari keberadaan Bahan. Dan Sebab Pemberinya

adalah Wujud non rrrateri dimana ia yang telah mewujudkannya dilengkapi dan dijaga dengan

Bentuk-bentuk yang saling berganti.

Debatan/sanggahan:

1. Ketika anda mengatakan bahwa Sebab-Pemberi telah mewujudkan Bahan yang dijagakan

kepada Bentuk Bentuk, berarti Bahan di sini adalah Satu secara matematis dan pasti alias

tertentukan, dan Bentuk-Bentuk itu adalah SatuGlobal. Di sisi lain, anda mengatakan bahwa

Bentuk Bentuk itu adalah SebabBagian dari keberadaan Bahan. Padahal yang namanya

Sebab, sudah pasti lebih kuat dari Akibatnya. Sementara kita semua tahu bahwa Satu-

matematis lebih kuat dari Satu-global. Lalu bagaimana mungkin Bentuk Bentuk itu menjadi

SebabBagian bagi keberadaan Bahan?

Page 37: Sketsa filsafat

2. Kalaulah hal di atas itu kita abaikan, tapi jelas telah terjadi banyak perubahan Bentuk pada

Bahan. Dan perubahan itu berarti hilangnya satu Bentuk dan datangnya Bentuk lain. kalau

Bentuk itu bagian dari Sebab-Lengkap, maka hilangnya Bentuk berarti hilangnya Sebab

Lengkap, karena hilangnya Bagian adalah hilangnya Keseluruhan. Dengan demikian, maka

mengambil Bentuk sebagai Sebab-Bagian bagi Bahan, sama dengan menolak keberadaan

Bahan itu sendiri.

Jawaban:

Akan dibuktikan nanti di pembahasan Potensi dan De fakto, bahwa perubahan Bentuk yang

terjadi pada Bahan, bukan merupakan pergantian Bentuk dengan Bentuk lain, atau hancurnya

satu Bentuk kemudian munculnya Bentuk lain yang menggantikannya. Tapi semua itu terjadi

dalam Satu gerakanfperubahan yang berkeselaluan, atau terjadi dalam Satu aliran pe, ubahan,

dimana Substansi-Materi bergerak seirama dengan aliran itu, hingga tercipta di dalamnya

bafasan-batasan atau stasiun stasiun Bentuk. Jadi, Bentuk-Bentuk itu ada dalam Satu

keberadaan hakiki `dan matematis, tapi memanjang. Oleh karenanya dalam Satunya yang

jelas dan matematis itu, terdapat Banyak dan keglobalan / samar, sesuai dengan ke Bahanan

Bahan dimana artinya adalah kesiapan menerima ke-De faktoan atau Bentuk. Dengan demikian,

maka perkataan kita yang mengatakan Bentuk-Bentuk itu adalah satu-global dan merupakan

Sebab-Bagian bagi Bahan dilihat dari sisi hinggapnya satu Bentuk secara global ( Bentuk yang

.liunrlramakan ) pada Satu-memanjang dengan pembagian. Yakni membagi Satu memanjang itu

ke dalam stasiun stasiun Bentuk yang akan dilewati.

Pasal: 8

Pembuktian Jiwa/Ruh dan Akal

Telah didefinisikan di atas bahwa Jiwa/ruh adalah `Substansi non materi secara Zat, rapi

tidak dalam aktifitasnya'. Bukti keberadaan unsur non materi pada manusia adalah ilmunya.

Sebab ilmu adalah keberadaan non materi sebagaimana akan dibuktikan nanti di Bahasan

Subyek dan Obyek Ilmu.

Sebagai isyarah dapat dikatakan bahwa ilmu adalah informasi manusia tentang apa saja

yang menyangkut keberadaan atau ketiadaan ( seperti tahu makna tiada ). Sementara

keberadaan memiliki dua macam, materi dan non materi. Ketika salah satu ilmu adalah non

materi, berarti tidak mungkin ilmu mengenainya adalah materi. Dengan terbuktinya ke-non

materian ilmu -walaupun sebagian saja- dapat dipastikan bahwa manusia memiliki unsur non

Page 38: Sketsa filsafat

materi dibalik materi atau badannya ini. Unsur non materl manusia itulah yang kita katakan

sebagai Jiwa atau Ruh.

Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa semua ilmu itu non materi. Misalnya dengan

bukti bahwa ilmu tentang materipun tidak mungkin dikatakan materi lantaran tidak memilikinya

efek materi yang diketahui. Ilmu tentang Api yang ada di dalam manusia, tidak berefek panas

sebagaimana Api di keberadaan materinya. Jadi, Api eksternal adalah materi, sedang Api internal

adalah non materi.

Atau dengan bukti bahwa dalam data atau ilmu manusia tentang keberadaan materi ini,

terdapat data-data yang ukurannya jauh melebihi volume manusia. Misalnya ilmu/data manusia

tentang Gunung, Langit, Bumi, Pohon, dll.. Kita tidak bisa mengatakan bahwa data-data itu

terkumpul dalam materi otak setelah mata menerima gambar mereka yang telah diskala duiu

olehnya dalam bentuk yang sangat kecil, lalu setelah itu dikirim ke otak melalui syaraf-syaraf.

Sebab kalau mata melihat semua yang lebih besar itu dalam bentuk skala, dan gambar yang

sudah diskala ini yang dikirim ke otak, berarti manusia -dengan mata dan otaknya- tidak pernah

tahu dan mengerti ukuran sebenarnya mereka. Kalau begitu dari mana ia tahu ukuran sebenariya

itu? Dengan terbuktinya sesuatu yang lebih besar telah masuk ke dalam manusia, maka sudah

tentu manusia memiliki unsur non materi, karena hukum materi mengatakan bahwa `Yang besar

tidak masuk ke dalam yang kecil'. Hal itu karena materi dibatasi dengan ruang, semenatara non

materi tidak demikian.

Dengan isyarah di atas dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki unsur non materi

disamping materi badaninya ini. Dan unsur non materinya itulah yang dikatakan Jiwa atau Ruh

Di depan juga sudah didefinisikan bahwa Akal adalah `Substansi non materi secara Zat

dan Aktifitas'. Bukti keberadaannya adalah juga pengetahuan dan ilmu manusia. Sebab ketika

manusia belum mengetahui, dimana pada tingkatan ini disebut AkalPotensi atau Akal-Bahan, ia

belum mengetahui apa-apa yang diketahuinya sekarang. Artinya pada waktu itu ia masih tidak

memiliki, karenanya dikatakan Potensi. Sementara ada kaidah yang mengatakan `Yang tak

punya tak mungkin memberi'. Dengan kaidah kehendak bisa dikatakan bahwa manusia memberi

dirinya sendiri pengetahuan itu.

Lalu dari rnana pengetahuan manusia itu datang? Kalau dikatakan dari materi, jelas tidak

mungkin juga. Sebab, materi adalah hakikat ketercerai beraian, sementara ilmu adalah

kehadiran, yakni kehadiran yang ditahu pada yang tahu. Kalau materi tidak mengerti dirinya

karena ketercerai beraiannya itu, bagaimana ia bisa mengetahui selain tanya dan inemberitahu

yang lainnya? Lagi pula, kedudukan materi lebih rendah ketimbang non materi. Sedang Ruh dan

Page 39: Sketsa filsafat

Ilmu adalah keberadaan non materi yang tak mungkin diefeki materi. Oleh karena itu Mulla

Shadra ra. telah mengurai keefekan ,materi pada Ruh yang non materi -seperti panas, manis, harum,

dll., dari ilmu-llmu Panca Indra- dengan uraian dimana berakhir pada apa yang diistilahkan

dengan Khuduri' ( cinptaan ruh ).

Kalau ilmu-ilmu Ruh/Jiwa itu tidak datang dari dirinya sendiri atau materi, lalu dari mana

lagi kalau bukan dari substansi yang lebih kuat dari dirinya sendiri, yakni substansi rrotr materi

yang tidak memiliki sisi ke Potensian sedikitpun. Dan karena Potensi itu milik materi

sebagaimana maklum, make substansi yang memberikan ilmu kepada manusia ini adalah non

materi yang tidak berhubungan dengan materi, baik secara Zat atu AktifItas. Inilah yang

dinamakan dengan Akal.

Lagi pula sudah dikatakan di depan bahwa Sebah-Pemberi bagi Benda adalah substansi

non materi yang telah memberi keberadaan Bahan dengan Bentuknya dan menjaganya dengan

Bentuk-Bentuk itu.

Tambahan

Salah satu ciri Substansi adalah tidak adanya Kontra atau Dhiddaan di dalamnya. Karena

Kontra atau Dhiddaan adalah dua sifat yang saling bertentangan. Oleh karenanya mereka

memerlukan obyek/subyeklpartner untuk dijadikan tempat ajangnya ( dikatakan obyek karena

ialah yang disifati; dikatakan subyek, karena ialah yang memiliki sifatsifatnya itu; dan dikatakan

partner, karena ia adalah partner bagi mereka ). Sementara Substansi adalah suatu keberadaan

yang tidak memerlukan kepada Partner atau Subyek/obyek/partner.

Pasal: 9

Kwantitas, Kekhussusan dan. Bagian bagiannya

Kwantitas adalah `Aksiden yang bisa nterierima pembagiart secara zati di dalam akal /

khayal'. Ia memiliki dua hagian:

1. Menyambung, yakni `Kwantitas yang dimungkinkan uniuk terbagi pada bagian-bagian

yang diantara mereka memiliki kesamaan batas, dirnana kalau batas itu dijadikan mik

mula bagi yang satu, ta juga menjadi litik mula bagi yang lainnya, dan kalau dijadikan

titik akhir, maka ia juga titik akhir bagi yang lainnya'. Seperti Titik ( akhir garis yang hanya

bisa diisyarati/ditunjuki saja, karena ia bukan bagian garis, sebab bagian terkecil garis itu

tetap merupakan garis antara dua bagian Garis; Garis antara dua bagian Bidang; atau

Page 40: Sketsa filsafat

Bidang antara bagian Benda; begitu pula Aan/moment/saadjenaklinstant of time, yang

berada antara dua bagian Waktu. Ia memiliki dua bagian:

a. Diam, yaitu `Kwantitas Menyamtiung yang bagian bagian yang diumpamakannya berada

dalam satu keberadaan dan wujud'. Seperti Garis, Bidang, atau Benda. Ia memiliki tiga

bagian:

Benda, alias sesuatu yang berakhir pada Bidang atau memiliki tiga dimenasi.

Bidang, alias sesuatu yang berakhir pada Garis, atau akhir dari Benda yang bisa dibagi

dari dua sisi: Panjang dan lebar.

Garis, alias sesuatu yang berakhir pada titik, atau akhir dari pada Bidang yang bisa dibagi

hanya dari satu sisi -panjang.

b. Bergerak, yaitu `Kwantitas-Menyambung yang setiap saat baglan-bagian yang dimilikinya

meninggalkan yang lainnya'. Ia adalah Jaman/Waktu.

2. Terpisah, yakni 'Kwantitas yang tidak mungkin memiliki titik batas yang bisa dipakai oleh

bagian-bagiannya secara bersamaan'. Seperti angka Lima. Kepada berapapun ia dibagi,

maka tidak akan bisa ditemui batasan yang bisa dijadikan titik mula atau titik akhir bagi

bagian-bagiannya secara bersamaan. KwantitasTerpisah ini terwujud karena pengulangan

Satu, sekalipun Satu bukanlah Kwantitas karena tidak sesuainya dengan definisi. Dan setiap

Kwantitas yang bertamhah karena Satu, dianggap sebagai Golongan tersendiri, karena

memiliki efek yang berbeda satu sama lain.

Tambahan

Orang yang mengatakan bahwa Kosong itu ada, yaitu adanya tempat yang tidak ditempati

oleh siapa dan apapun, sama dengan mengatakan bahwa ada volume tanpa Benda yang

memilikinya. Ini jelas mustahil, sebab Tempat itu adalah volume Benda.

Pelengkap

Kwantitas ini memiliki bcberapa hukum yang khusus:

1. Dia tidak memiliki Kontraltadhaad di dalam Golongan golongannya. Sebab mereka tidak

mungkin ada dalam satu Subyek/Obyek/Partner. Sementara keberadaan di dalamnya adalah

syarat bagi Kontra/Dhlddaan.

2. Dapat menerima pembagian secara de fakto dalam akal / pahaman.

3. `Sama' dan Tidak Sama' adalah sifat khusus bagi Kwantitas, dan disifatkan kepada selainnya

rnelaluinya. Yakni setelah selainnya itu disifati dengan Kwantitas, baru setelah itu bisa disifati

Page 41: Sketsa filsafat

dengan keduanya, misalnya Tongkat ini sama dengan Tongkat itu, atau lebih panjang

darinya.

4. `Berakhir' dan `Tidak Berakhirnya' sesuatupun milik Kwantitas secara khusus, dan disifatkan

kepada selainnya dengan berkatnya -sama dengan penjelasan di atas.

Pasal: 10

Kwalitas

Kwalitas adalah `Aksiden yang secara Zati tidak bisa dibagi dan dihubungkan kepada

selainnya'. la dibagi menjadi empatt bagian:

1. Kwalitas; Jiwa, seperti Cinta-bencl, Berani-takut, Pandai-bodoh, Harap-putus asa, dli..

2. Kwalitas Kwantitas, yakni yang khusus mensifati Kwantitas,seperti Lurusbengkok, Bulat-

segi tiga, dll., dari Kwantitas-Menyambung; dan seperti Genapganjil dalam angka yang

merupakan kekhususan Kwantitos-Terpisah.

3. Kwalitas-Potensial yang juga dikenal dengan istilah Potensi-Non Potensi. Misalnya

Potensi-Besar ( kuat ) untuk ter-Interaksi -misalnya air- atau PotensiBesar untuk tidak ter-

interaksi -misalnya batu. Potensi potensi lain yang tidak besarpun adalah bagian dari

Kwalitas Potensial ini. Begitu pula PotensiSubstansial yang dikenal dengan Bahan, atau

Potensi yang ada pada BendatiaturaJ untuk dijadikan Bendn Pendidikan ( yang tertentukan

panjang, lebar dan tebalnya ).

4. Kwalitas-Indrawi, yakni 'Kwalitas-kwalitas yang bisa diindra dengan Panca lndra'. Kalau

cepat hilangnya, seperti Merahnya wajalr orang malu atau marah, disebut dengan Interaksi-

Sementara, dan kalau abadi, seperti Kuningnya emas, disebut dengan Interaksi-Tetap.

Pasal: 11

Kategori-Hubungan

Kategori-Hubungan adalah `Esensi-esensi Aksiden yang timbul karena penghubungan

sesuatu dengan sesuatu yang lain'. Mereka ada tujuh macam, yaitu Di mana, Kapan, Posisi,

Milik, Hubungan, Aksi dan Interaksi:

1. Di Mana adalah `Aksiden yang timbul dari penghubungan sesuatu dengan tempat, hal

mana ia bisa ditempati atau ditinggalkan, bisa dikatakan di sini dan di sana, bisa

memiliki posisi dengan diri dan lingkungannya ( seperti tegakterbalik, lurus-bengkok, atas-

Page 42: Sketsa filsafat

bawah, depan-belakang, kanan-kiri, d11. ), berukuran dan bisa dlbagi, dan bisa menolak

benda lain manakala suatu benda telah menempatlnya'. Para filosof berbeda pendapat

mengenai hakikat Di Mana ini. Mereka sampai memiliki enam macam pandangan. Hemat

kami, Dt Mana adalah `Hubungan yang terjadi antara Volume Benda dengan Ruang yarrg

ditempatinya', atau `Hubungan yang terjndi antara tempat Benda dengan ruang yang

didudukinya'. Di Mana ini dalam istilah Ingrisnya disebut dengan Place. Jadi mesti

diperhatikan kapan Place itu diartikan Tempat dan kapan diartikan Di Mana.

2. Kapan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan sesuatu dengan waktu'.

Substansi yang ada di dalam Kapan, lebih luas cakupannya dari pada berada di dalam

WRktu itu sendiri. Sebab Kapan adalah hubungan sesuatu dengan Waktu. Jadi bisa di

dalamnya, seperti Gerak-Substansi atau Gerak Aksiden, tapi bisa pula di Ujung-Waktu

(Aanun, Jenak, Saat, Ivioment, Insiant of time, adalah akhir setiap potongan jaman yang

diinginkan, yarrg hanya bisa diisyarati saja, oleh karenanya ia bukan jaman, karena kalau

bagian akhir jaman,maka ia adalah jaman itu sendiri ), seperti Perpisahan dan Pertemuun dua

be„da. 13egitu pula, Kapan, bisa diterapkan kepada Gerak Irisan ( melihat Gerak dengan

membagi-baginya kepada bagian-bagian ) atau Gerak Antara ( melihat Gerak antara titik mula

dan akhir secara sederhana tanpa pembagiar. ).

3. Posisi adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan bagian sesuatu dengan

bagian yang lain, dan seluruhnya dengan lingkungannya'. Seperti Berdiri yang timbul

karena penghubungan katakanlah, kepala di atas dan kaki di bawah.

4. Milik adalah `Aksiden yang timbul karena peliputan sesuatu atus sesuatu yang lain,

hingga yang meliputi berpindah menakala yang diliputi berpindah'. Seperti peliputan kulit

pada manusia ( hal ini disebut Peliputanr Sempurna dan Peliputan-Natural ) dan peliputan

baju, cincin, sepatu pada manusia ( hal ini disebut dengan Peliputan-Kurang dan

Peliputan-Bukan-Natural ). Hubungan adalah `Aksiden yang timbul karena penghubungan

imbal-balik antara sesuatu dengan yang lainnya'. Seperti penghubungan Ayah Anak, Kakak-

Adik, Saudara Saudara atau Persaudaraan, dll.. Karena ke Ayalsan ayah disebabkan juga

oleh ke Anukan anak. Seorang Ayah tidak bisa dikatakan Ayah kecuali kalau si Anak juga

dihubungkan ke dirinya dan dikatakan Anak-nya. Tapi kalau hubungan Rumah dan

pemiliknya, adalah hubungan satu arah dan bukan imbal-balik. Oleh karenanya ke Rumahan

rumah bukan karena dimiliki oleh pemiliknya, begitu pula sebaliknya. Contoh pertama dan ke

dua di atas disebut dengan Hubungan-Tidak Sederajat, dan contoh ke tiganya disebut dengan

Hubungan-Sederajat.

Page 43: Sketsa filsafat

5. Aksi adalah `Aksiden yang timbul karena peng-efekan pengefek kepada yang berefek -

penerima efek- secara proses/perlahanfwaktu dan selama pengefekan berjalan'. Seperti

pemendidihan api terhadap air, penrenruaian api terhadap besi, dll., selama hal itu

berlangsung. Dikatakan `secara proses' dalam uraian di atas, supaya tidak melibatkan wujud-

wujud non materi dimana pemberi efeknya adalah secara `Kun fa yakuni' alias di luar

prose dan waktu.

6. Interaksi adalah `Aksiden yang timbul karena keberefekan yang berefek dari pengefek

secara perlahan dan selama hal tersebut berlangsung'. Seperti keberefekan air atau besi

dari api. Dikatakan `secara perlahan' yakni dalam janran, karena supaya tidak melibatkan

wujud-wujud non materi yang keberefekan mereka secara `sekali jadi', alias di luar waktu.

BAHASAN KE TUJUH

Bahasan tentang Sebab dan Akibat

Pasal : l

Pembuktian Sebab-Akibut dan Bahwasannva keduanya dalum Ada/wujud

Telah dikatakan dipelajaran terdahulu bahwa Esensi tidak memiliki Ada dan Tiada; dan

bahwasannya untuk memiiiki salah satu dari keduanya memerlukan kepada yang lainnva, serta

keperluannva kepada yang lain dalam Tiadanya adaiah sesuatu yang tidak rnemiliki makna yang

sesungguhnya, karena untuk, menjadi Tiada cukup dengan. Tiadanya wujud lain itu. ('

Sebenarnya, Esensi aknl memerluk-an yang lain manakala ia ingin rnenjadi .Ada/wujud- bukan

Tlada.

Dengan Ini dapat dipastikan bahwa Esensi hanya tergantuntung kepada sesuatu yang` .ada.

Karena ke-Tiadaan.. adalah Tiada. Dan Tiada tidak bisa ditergantungi. wujud lain yang dijadikan

ketergantungan inilah yang dikenai dengan Sebab, sementara Esensi yang tergantung itu dlkenal

dengan nama Akibat.

Kemudian, Penjadiant atau Efek yang diberikan oleh .Sebab kepada Akibat itu, bisa

dipredisikan dengan tiga keadaan: Pada Esensinya; pada Perubahannya untuk menjadi Ada. atau

pada Adanya. Kalau yang pertama. tidak mungkin. karena .Esensi adalah sesuatu yang tidak .Asal

dan hanya merupakan Pentabiran/penjelasan Ada. Lagi pula. yang dibincangkan di sini adalah

ketergantungan Esensi dalam Adanya, sementara Esensi Sepi dari Ada dan Tiada, sebagaimana

maklum.

Page 44: Sketsa filsafat

Kalau yang kita pilih adalah Perubahannya lnl juga tidak mungkin. karena Pe'rubahan itu

adalah :antara. yakni antara ,ula dan titik tuju. Senneriiiara keberadaan adalah kenyataan yang

tidak bisa berdiri antara dua titik keta’biran dan / atau pahaman.

Dengan demikian pemberian efek yang dilakukan. Sebab kepada Akibat itu adalah dalam

Ada dan Keberadaaan. Akibat, bukan yang lainnya.

Pasal: 2

Pembagian Sebab

Salah satu pembagian Sebab adalah:

1. Lenglap, yaitu 'Sebab yang memiliki semua unsur vang diperlukan oleh Adanya Akibat'.

Dengan adanya kelengkapan semua unsur Sebab itu, keberadaan Akibat tidak dapat

tertunda lagi. Dengan ini Sebab-Lengkap dikenal dengan 'Adanyu Sebab (Lengkap ) ber

arti adanya Akibat dan, tiadanva adalah tiadanya Akibat'

2. Kurang, yaitu 'Sebab yang memiliki sebagian unsur dari semua unsur yang

diperlukan oleh Adanya Akibat'. Dengan ini, maka `Adanya Sebab, tidak melazimkan

adanya Akibat, tapi ke-tiadaannya.melazimi ketiadaan Akibat'.

Dalam pembagian lain Sebab dibagi menjadi :

1. Satu, Yaitu Sebab yang tidak memiliki kesamaan efek dengan Sebab yang lain.

Seperti Mani dan Ovum tertentu yang menyebabkan keberadaan bayi tertentu pula

2. Banyak, yaitu `Sebab yang memiliki kesamaan efek dengan Sebab yang lain,. Seperti

Mani-Ovum secara umum bagi keberadaan manusia yang secara umum juga.

Pembagian Sebab lainnya adalah

1. Sederhana, yaitu sebab yang tidak memiliki rangkapan', Dan Sebab-Sederhana ini ada

beberapa bagian"

a. sederahan Eksternal, yakni yang tidak memiliki rangkapan secara eksternal, tapi

memilikinya secara internal, seperti Akal, Barzakh dan Aksiden.

b. Sederahana Internal, yakni yang tidak memiliki rangkapan apapun sekalipun

dalam akal, baik berupa Genus dan Pembeda(seperti Ada dan Golongan Non

Materi yang tidak di bawah naungan Genus atau baik berupa rangkapan Ada dan

Esensi (seperti Tuhan)

Page 45: Sketsa filsafat

2. Rangkap, yaitui Sebab yang memiliki Rangkapan di dalamnya '. Sebab-Rangkap ini juga

memiliki bagian seperti Sederhana

a. Rangkapan Eksternal. vakni yang memiliki Rangkapan secara Eksternal. Seperti

Benda yang tertangkap dari bahan dan Bentuk

b. Rangkapan-Internal, yakni yang memiliki Rangkapan secara Internal, sekalipun

tidak memilikinya di Eksternal. Sepcrii .Aksiden dan Substansi Non materi, .

Sebab sekalipun mereka tidak memiliki Bahan dan Bentuk tapi mereka masih

memiliki Jenis dan Pembeda

Pembagian lain dari Sebab adalah

1. Langsung. yakni `Sebab yang ttdak memiliki jarak dengan Aktbatnya'. Seperti daging ke

Protein. Protein ke mani,mani kc Pembuahan, Peinbuahan ke janin, dll..

2. Tidak langsung, yakni `Sebab yang memiliki jarak dengan akibatnya'. Sepeirti Daging ke

Mani, Protein ke Pembuahan, Mani ke Janin. dll..

Bcgitu pula Sebab dibagi menjadi:

1. Dalarn. yakni 'Sebab yang terdirl dari Bahan, dan BentuK:. Bahan ini merupakan Sebab

bagi adanva Akibat yang terdiri dari keduanya. karena Keseluruhan merupakan aklbat bagi

unsur-unsurnya. Mereka juga dikenal dengan sebab-unsur atau sebab, komposisi.

2. Luar, yakni `Sebab yang memberikan keberadaan kepada Akibat dan/atau merupakan

tujuan dari Akibat. Pemberi keberadaan itu juga dikenal dengan Sebab-Pemberi atau

Sebab-Pelaku, dan Tujuannya dikenal dengan SebabTujuan atau Sebab-the end. Dan

keduannya dikenal, dengan Sebab ada atau Sebab-Keberadaan.

Sebab,juga dibagi menjadi.

1. Hakiki, yaitu 'Sebab yang memberikan keberadaan icepada akibat'. Hingga dapat

dikatakan bahwa tiadanya Sebab adalah sama dengan tiadanya akibat.

2. Penyiap, yaitu 'Sebab yang menyiapkan .Akibat untuk menerima dari Sebab-

Hakikinya'. Penamaan Sebab-Penyiap sebagai Sebab,_ sebenarnya,. " tidaklah hakiki.

Oleh karenanya ia dtsebut .sebab-Pelengkap.alias menyiapkan akibat.: untuk menerima

keberadaan dari Sebab-Hakikinya. Seperti waktu yang semakin mendekatkan Akibat pada

ke-Akibatannya, misalnya mendekatkan terjadinya pembuahan Mani - ovum, bertunasnya

Page 46: Sketsa filsafat

biji-bijian.dll. Bahkan Semua Sebab-Pelaku.yang Materi, sebernarnya, adalah Sebab-

Penyiap, bukan Pemberi dan Pelaku. Oleh karenanya Sebab-Pelaku dan Pemberi itu

hanyalah keberadaan Non Materi.

Pasal : 3

Kemestian Adanya Akibat Manakala Sebabnya Ada dan Lengkap dan Sebaliknya

Ketika Sebab – Lengkap (sempurna) sudah ada, maka secara pasti akibatnya juga ada.

Sebab kalau tidak, maka berarti ke-Tiadaan Akibat terjadi tanpa Sebab, yakni Tiadanya Sebab.

Begitu Pula, ketika Akibat ada, maka berarti Sebab-Lengkapnya juga pasti ada. Sebab, kalu

tidak, maka berarti ada Akibat tanpa adanya Sebab-Lengkap. Padahal sudah dibuktikan di atas

bahwa “Tiadanya Sebab-Lengkap atau Sebab_kurang melazimi tiadanya Akibat”.

Dengan penjelasan diatas dapat dipastikan bahwa keberadaan Akibat tidak pernah terpisah

dari Sebab-Lengkapnya dan begitu pula sebaliknya.

Seandainya Akibat itu keberaddan yang terikat dengan waktu, maka Sebab-Lengkapnya

juga mesti ada pada waktu itu. Karena ketergantungan Akibat pada Sebabnya terjadi pada masa

dan waktu tersebut. Oleh karenanya pemberian Sebab-Lengkap juga dilakukan pada masa yang

sama. Sebab kalau tidak. berarti Sebab-L.engkapnya tidak ada pada waktu Akibat ada. ini berarti

bahwa Aklbat ada tanpa adanya Sebab-Lengkap. Yang demikian ini jelas mustahil, Karena

bagaimana mungkin yang tidak ada ( Sebab ) bisa memberikan keberadaan kepada vang lain (

Aktbat ).

Argumen Lain

Keperluan dan hajat Esensi kepada Sebab, tidak lain hanyalah dalam Wujudnya. Dan

Hajat itu tidak keluar dari Wujud itu sendiri. Sebab di sana tidak ada yang namanya Hajat dan

Wujud secara berlainan. Karena jelas bahwa dalam keberadaan Esensi, yang ada hanya dua hal,

yaitu Esensi dan wujudnya. Oleh karenanya Hajat Esensi itu terletak di dalam zat wujud yang

diperlukannya itu. Dengan demikian berarti Wujudnya adalah hakikat Hajat dan

Ketergantungannya kepada Sebabnya.

Kalau demikian halnya, maka Akibat adalah hakikat ketergantungan dari Hajat kepada

Sebabnya. Karena di atas sudah dikatakan bahwa Pengefekan Sebab kepada Akibat hanya dalam

Wujud, sernentara di sini dikatakan bahwa Hajat Esensi kepada Sebabnya adalah Wujud itu

sendiri .jadi. Akibat, tidak pernah mandiri dari Sebabnya, dan Sebabnya adalah Penegak-wujud

Page 47: Sketsa filsafat

dan Pewujud bagi Akibatnya.

Kalau demikian halnya, maka tidak mungkin kita dapatkan Akibat tanpa Sebab yang telah

menegakkan wujudnya dan menjaga kesinambungan adanya. Dengan demikian maka terbuktilah

bahwa ‘Setiap ada akibat sudah pasti ada sebabnya, dan begitu pula Sebaliknya.

Pasal : 4

Satu Hanya mengkibatkan Satu

Suatu Sebab tidak mungkin mengakibatkan lebih dari satu Akibat. Hal ini dikarenakan

keharusan adanya Keserupaan dan kemiripan serta kejenisan antara sebab dan akibatnya. Dan

tidak ada yang menyerupai satu keberadaan kecuali satu juga. Oleh karenanya ‘satu keberadaan

bisa mewujudkan apa saja, dan satu keberadaan terwujud dari apa saja. Ini jelas tidak mungkin.

Begitu pula, kalau sebab yang Satu sebagaimana ia satu (bukan satu yang memiliki banyak

rangkapan), mewujudkan Akibat yang Banyak sebagaimana ia banya. Artinya tidak bisa

dikembalikan kepada Satu dengan cara apapun, misalnya satu kesatuan (rangkapan) atau sisi

pandang, maka berarti teradapat pengulangan pada Sebab yang Satu itu, karena ketika Sebab

yang Satu itu dijadikan sumber rujukan dari Akibat yang Banyak, maka masing-masing satuan dari

banyaknya Akibat itu, merujuk kepada rujukannya tersendiri yang sesuai dengan dirinya, kepada

Sebab yang Satu sebagaimana ia Satu. Ini jelas mustahil, karena melahirkan kontradiksi yakni

Sebab yang tadinya Satu kini juga menjadi Banyak sekaligus.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap Sebab hanya melahirkan Akibat yang

senyawa dengannya sesuai dengan kekhususannya. Begitu pula dapat di ketahui melahirkan Satu

manusia, sebenarnya Satu manusia ini, bukanlah Satu yang Satu, tapi Satu yang Rangkapan.

Jadi, masing-masing unsur dari Sebab tersebut melahirkan atau mewujudkan bagian-bagian

tertentu dari Akibatnya, sesuai dengan kekhususan masing-masing anggota dari Sebab tersebut.

Begitu pula, dapat diketahui bahwa Lahirnya Akibat Rangkapan. Misalnya Satu Korek Api yang

dapat menghidupkan banyak lilin. Sebenarnya, sebab dari masing –masing Akibat itu tidak sama.

Jadi, Api-Korek yang menghidupkan Lilin-Pertama, sudah pasti bukan Api-Korek yang

menghidupkan Lilin-Ke Dua dan begitu seterusnya.

Pasal : 5

Mustahil Berputar (circle, cycle) dan Rangkaian Tak Terhingga (Succession Sequence) dalam

Sebab

Page 48: Sketsa filsafat

Berputar dalam Sebab atau Sebab-Berputar adalah “Ketergantungan adanya sesuatu

kepada sesuatu yang lain yang dalam keberadannya tergantung pada yang pertama”. Berputar ini

ada yang jelas dan tanpa perantaraan, seperti B tergantung kepada A yang tergantung pada B dan

ada yang Tersembunyi alias dengan perantaraan, seperti C tergantung pada B yang tergantung

pada A dimana A tergantung pada C.

Berputar ini tidak dapat diterima, karena melazimkan Ketergantungan Sesuatu pada

dlrinya, dimana hal ini jelas tidak mungkin karena menyebabkan sesuatu itu mendahului; dirinya

sendiri. Ketika B tergantung pada A, berarti keberadaan B disebabkan oleh A. Tapi ketika

dikatakan bahwa A tergantung pada B. Maka jelas bahwa keberadaan A tergantung pada B yang

tcrgantung padanya. dengan demikian, berarti A tcrgantung pada A. Karena tanpa A. maka B

yang digantungi A, tidak akan pernah ada. nah, kalau A tergantung pada A, berarti A sebagai

yang digantungi mendahului A yang bergantung. Dan karena A adalah satu, berarti ia telah

mendahului dirinya sendiri. ini jelas mustahil, karena dirinya adalah dirinya, lalu bagaimana

mungkin bisa mendahului dirinya sendiri.

Sedang makna Rangkaian Tak Terhingga dalam Sebab adalah ‘ Ketergantungan sesuatu

kepada sesuatu yang tergantung pada yang lainnya, dimana yang lainnya ini juga tergantung

pada selain dirinya, begitu seterusnya secara tidak terbatas dan tidak terhingga’.

Rangkaian Tak Terhingga/ Terbatas ini juga tidak bisa diterima keberadaaannya. Karena

kalau kita ambil beberapa rangkaiannya, misalnya Akibat ke seribu sampai ke seribu sepeluh

maka kia akan lihat bahwa disana ada yang namanya Sebab-Tengah. Yakni Sebab ke seribu

Satu sampai dengan Sebab ke Seribu Sembilan. Arti Sebab setelahnya dan Akibat dari

sebelumnya. Sebab ke Seribu Satu adalah Sebab bagi Sebab ke Seribu dan Akibat dari Sebab

ke Seribu Dua. Begitu yang lainnya sampai dengan Sebab ke Seribu Sembilan.

Nah, kalau kita katakan bahwa silsilah Sebab-Sebab itu tidak terhingga, berarti kita telah

mengatakan bahwa ada Tengah tanpa Ujung dan Pangkal. Ini jelas mustahil. Begitu pula Akibat

yang paling akhir. Bagaimanapun dia, dia adalah ujung dari silsilah keberadaan itu. Lalu, kalau

dia adalah ujung, bagaimana mungkin tanpa Pangkal?kalau tanpa Pangkal, lalu dia ujung dari

Apa?

Dalil lainnya adalah di depan telah dikatakan bahwa akibat tidak lain adalah Hakikat

Ketergantungan dan Hajat kepada Sebabnya. Lalu, kalau kita katakan bahwa silsilah Sebab-

sebab itu tidak terhingga, berarti semua Sebab-Sebab itu pada hakikatnya kepada sesuatu yang

juga tergantung kepada sesuatu yang lain sampai tidak terhingga. Dengan demikian, berarti tidak

Page 49: Sketsa filsafat

ada sesuatu yang Digantungi secara mandiri. Kalau demikian halnyua lalu, Sebab-Sebab itu

tergantung pada apa hingga dikatakan Tergantung? Bisakah tanpa Gantungan. Sesuatu itu

dikatakan Tergantung?.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Rangkaian Tak Terbatas dari Sebab-

Sebab itu adlaah mustahil adanya, jadi. Silsilah itu mesti berhenti pada Keberadaan yang tidak

Tergantung pada apapun.

Pasal : 6

Sebab Pelaku / Pemberi dan Pembagiannya

Sebab Pelaku adalah sebab yang mewujudkan Akibat. Ia memiliki beberapa bagian.

Karena, Sebab ini bisa jadi memiliki ilmu akan perbuatannya itu atau tidak.

Yang punya ilmu bisa jadi menghendaki perbuatannya dan bisa juga tidak menghendaki

(perbuatan-dengan-paksaan/jabr). Yang menghendaki bisa jadi ilmunya itu pada tingkat

perbuataanny dan bahkan hakikat perbuatannya. Yang ilmunya sebelum perbuatannya itu bisa

jadi di barengi dengan alasan lain bisa jadi ilmunya sebelum hakikat zatnya (Pelaku-Dengan-

Tajalli/manifestasi) dan bisa juga bukan hakikat zatnya (pelaku-dnegan-inayah) yakni merupakan

sifat baginya.

Sedang yang tidak memiliki ilmu akan perbuatannya itu, bisa jadi sesuai dengan

alamiahnya (pelaku-dengan-alamiah/natural) dan bisa juga tidak sesuai (pelaku-dengan-

tekanan).

Sementara kalau Pelaku-Pelaku itu dilihat dari sisi bahwa ia dan perbuatannya itu

merupakan perbuatan bagi Pelaku yang lain, maka ia disebut dengan Pelaku-Dengan-Dikontrol.

Dengan demikian maka Sebab memiliki delapan Macam:

1. Sebab-Pelaku-Natural, yaitu sebab yang tidak memiliki ilmu akan perbuatannya, tapi sesuai

dengan tabiat dan alamiahnya, seperti Jiwa/Ruh yang melakukan pekerjaan-pekerjaan

badaniahnya seperti memompa Jantung,menumbuhkan Rambut, kuku, mengganti sel-sel

mati dengan yang baru, dll.

2. Sebab-Pelaku-Dengan-Tekanan, yaitu sebab yang tidak memiliki ilmu akan perbuatannya

dan perbuatannya tidak sesuai dengan tabiatnya. Seperti Jiwa/ruh yang melaukukan

sebagaian pekerjaan badaniahnya tidak sesuai keadaan normal alamiahnya.

3. Sebab-Pelaku-Dengan-Paksaan, yaitu sebab yang memiliki pengetahuan atas pekerjaannya,

tapi ia tidak menghendakinya, seperti manusia yang melakukan secara terpaksa sebagian

Page 50: Sketsa filsafat

pekerjaannya.

4. Sebab-Pelaku-Dengan-Ridha, yaitu Sebab yang memiliki ilmu dan kehendak atas

perbuatannya, dimana kerincian ilmunya merupakan hakekat perbuatannya dan ilmunya

sebelum itu tidak lain adalah ilmu global yang muncul dalam dirinya berkenaan dengan

perbuatannya alias perbuatannya’, seperti manusia kerika mengkhayalkan sesuatu, maka

disini ilmu rinci terhapdap khayalannya itu adalah hakikat perbuatannya, dimana sebelum itu

ia hanya mengetahuinya secara global yakni bahwasannya ia mampu melakukannya.

5. Sebab-Pelaku-Dengan_Kehendak, yaitu sebab yang memiliki ilmu dan kehendak atas

perbuatannya, dimana ilmunya itu sebelum perbuatannya dan disertai atau dibarengi dengan

alasan lain, seperti perbuatan manusia secara umum.

6. Sebab-Pelaku-Dengan Inayah, yaitu sebab yang memiliki ilmu dan kehendak atas

perbuatannya, dimana ilmunya itu bukan merupakan zatnya sekalipun terjadi sebelum

perbuatannya, dan ilmunya itu tidak disertai alasan lain, seperti manusia yang

mengkhayalkan rasa masam diaman langsung menyebabkan keluarnya air liur atau orang

yang mengkhayalkan jatu dari tempatnya berpijak yaitu dijembatan kecil yang tinggi

manakala ia melihat kebawah, dimana khayalannya ini bisa menyebabkan jatuh dari tempat

tersebut.

7. Sebab-Pelaku-Dengan-Tajalli / manifestasi, yaitu 'Sebab yang memiliki llmu rinci atas

perbuatannva, dimana ilmu-rincinva ini adalah hakikat ilmu globalnya terhadap dirinya

sendiri. oleh• karenanya merupakan zatnya dari( terjadi sebelum perbuatannya. dan ilmunva

ini tdak disertai dengan alasan lain'. Seperti Jiwa/ruh manusia yang non rnateri itu. ia

merupakan wadah dan sumber lagi seluruh perbuatannya (sepertl melihat, mendengar,

berjalan, dll) dimana kesempuranaan perbuatannya itu terkandung dan tersimpan di dalam

ilmu-khudhurinya terhadap dirinya itu sekaligus merupakan ilmu –rinci terhadap semua

kesempurnaan yang dimillikinya sekalipun pada tingkatan global itu tidak terbedakan satu

ilmu dengan yang lainnya. Begitu oula seperti Tuhan sebagaimana akan dibuktikan nanti

bahwa ia melakukan perbuatan-perbuatanNya itu dengan Tajalli

8. Sebab-Pelaku-Dengan-Dikontrol, yaitu sebab yang diri dan perbuatannya bersandar kepada

Sebab-Pelaku lain, seperti Data Tambang. Daya Tumbuhan dan Daya Hewan/Rasa dari

empat daya Ruh manusia, dimana semua daya itu dikontrol oleh Daya-Manusianya manusia,

alias Daya-Rasional sebagai Daya ke empat atau seperti Sebab-Pelaku yang ada pada

ketiga tingkatan makhluq(Akal,Barzakh,Materi) manakalah dihubungkan dengan Tuhan yang

menjadi sandaran semua Sebab-Pelaku selainNya dimana dengan itu ia menjadi pengontrol

Page 51: Sketsa filsafat

bagi mereka.

Pasal : 7

Sebab – Tujuan

Sebab tujuan adalah ‘ kesempuranaan paling akhir yang merupakan tujuan dari perbuatan

Pelaku’, ia memiliki dua macam bentuk.

1. Diinginkan Pelaku, yaitu ‘Sebab-Tujuan yang diketahui oleh Pelaku dimana ilmunya ini

ikut andil dalam perbuatannya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa perbuatan

pelaku itu diadakan olehnya, sebenarnya untuk mencapai Tujuan tersebut, bahkan hal

lain. Dan karena itu pula dapat dikatakan bahwa Tujuan itu, secara Internal mendahului

perbuatannya, sekalipun secara Eksternal atau Wuud-luar adalah Sebaliknya.

2. Akhir Perbuatan, yaitu Sebab-Tujuan yang tidak diketahui oleh pelaku dimana ilmu

terhadapanya ittu memang tidak ikut andil dalam perbuatannya. Oleh karena itu tujuan

dari perbuatan atau gerak Pelaku hanya berupa akhir dari perbuatan atau gerakannya.

Keberadaan Sebab-Tujuan ini tidak lain karena setiap sesuatu itu pasti memiliki

kesempurnaan tertentu yang merupakan kelaziman dari keberadaan Tanah ini merupakan

kesempurnaan pertama yang harus dimilikinya. Lalu bagaimana dengan kesempurnaan-

kesempurnaan berikutnya? Ada empat kemungkinan; dicegah selalu; dicegah kebanyakan;

dicegah kadang kala; tidak dicegah.

Kedua kemungkinan pertama adalahtidak mungkin terjadi. Hal ini karena tidak sesuai

dengan Hikmah Ilahiah yang melazimkan untuk menyampaikan apapun kepada

kesempurnaannya yang memungkinkan. Dan bagian ke tiga, bisa saja terjadi dan tidak

bertentangan atau lebih banyak. Dan bahkan meninggalkannya, berlawanan dengan Hikmah

teresebut. Sebab menghindar dari keburukan sedikit tapi meninggalkan kebaikan yang jauh lebih

banyak, merupakan keburukan lebih banyak. Dan hal ini sama dengan keburukan itu sendiri.

Sedang bagian ke empat adalah sangat sesuai dengan Hikmah Ilahiah dan oleh karenanya mesti

terjadi.

Dengan Sebab-tujuan dari keberadaannya bahwa setiap sesuatu mestilah memiliki Tujuan

atau Sebab-Tujuan dari keberadaannya sesuai dengan potensi yang telah diberikan Tuhan

kepadanya. Katakanlah bahwa Tujuan itu Hikmah dari keberadaan dan penciptaannya.

PASAL : 8

Page 52: Sketsa filsafat

Sebab – Tujuan dari permainan, salah dan Gerak Natural

Mungkin sebagian orang mengira bahwa Gerak-Natural (baca:bukan iktiari, seperti gerak

pepohonan yang membesar ) tidak memiliki Tujuan dan mengira bahwa Tujuan mestilah

diketahui oleh Pelakunya. Padahal tidak demikian. Sebab, tujuan itu lebih umum dari sekedar

diketahui. Oleh karenanya Tujuan Gerak-Natural adalah akhir dari Gerakannya itu sebagaimana

maklum.

Begitu pula mungkin sebagian orang mengira bahwa sebagian perbuatan iktiari pada

manusia tidak memiliki Tujuan. Seperti bermainnya anak-anak, orang dewasa yang bermain-

main dengan jenggotnya atau jarinya, bernafas, perpindahan posisi orang sakit dari kanan ke kiri,

dimana semua itu dilakukan dengan penuh ikhtiar, tapi tidak dengan Tujuan tertentu yang ingin

dicapainya.

Padahal semua itu memiliki Tujuan, karena masing-masing dari perbuatan-perbuatan

tersebut memiliki Sebab-Dekat dan Sebab-Sedang serta Sebab-Jauh. Misalnya setiap gerakan

mereka itu memiliki Sebab-Dekat yang disebut tenaga atau energi. Kemudian bayangan atau

ilmu terhadap perbuatannya atau keterkaitannya. Dan sebab jauhnya adalah dengan keyakinan

bahwa perbuatannya itu secara indifidu dimana bisa saja diiringi dengan keyakinan bahwa

perbuatan yang akan dilakukannya itu memiliki manfaat untuk dirinya dan bisa juga tidak disertai

keyakinan tersebut.

Kalau Penyebab-Pertamanya itu berupa Khayalan/ide tanpa Pikir, maka Tujuannya pun

demikian. Seperti anak kecil yang menggerakkan anggora badannya. Ia membayangkan hal

tersebut, lalu tertarik dan kemudian melakukannya. Perbuatan seperti ini di sebut dengan

Perbuatan-Kira.

Seandainya Penyebab-Pertamanya itu berupa Bayangan /khayalan yang disertai

kebiasaan, seperti yang biasa bermain-main dengan anggota badannya, seperti jenggotnya,

jarinya, kakinya dll. Maka perbuatannya itu disebut dengan Kebiasaan. Dan kalau disertai

dengan hal-hal yang bersifat Alamiah (natural) seperti bernafas atau rangkaian susunan badan,

seperti gerak anti biotik badan kala menghadapi serangan maka perbuatan-perbuatan itu disebut

dengan kedaruratan.

Ketiga penyebab di atas semuanya memiliki Tujuan yaitu Akhir – Gerakannya. Tapi bagi

Penyebab-Pertama yang berupa Ide dan/ atau Pikitan, maka Tujuannya itu bisa tercapai dan bisa

juga tidak. Misalnya kalau ada penghalang sebelum sampai ke Tujuan. Seperti adanya racun di

makanan yang membuatnya bukan saja tidak bisa mencapai citanya, yakni sehat tapi malah

Page 53: Sketsa filsafat

membuatnya jatuh sakit atau bahkan mau mencapai citanya, yakni sehat tapi malah

membuatnyaa jatuh sakit atau bahkan mati, namun, apapun keadaannya semua memiliki Sebab-

Tujuan tercapai atau tidak. Karena memiliki Tujuan yang tidak tercapai, tidak sama dengan tidak

memiliki Tujuan.

PASAL : 9

Batalnya Kebetulan

Kebetulan adalah Tidak adanya hubungan antara Sebab-Tujuan dengan Sebab-Pelaku,

misalnya orang yang ingin pergi ke pasar, lalu bertemu teman di jalan kemudian tidak jadi pergi ke

pasar.

Sebagian orang mengira bahwa kebetulan ini ada dan terjadi. Seperti contoh di atas. Atau

seperti orang menggali sumur ingin mencapai/mendapat air, tapi tiba-tiba mendapatkan harta

karun (disebut dengan Kebetulan-Menguntungkan/Mujur) atau orang yang berteduh di bawah

pohon ingin mendinginkan badannya tapi pohonnya roboh dan menimpanya hingga mati

(Kebutulan/Merugikan/Apes). Semua ini dikatakan kebetulan lantaran tidak adanya Niatan/Tujuan

sebelumnya untuk mecapai semua itu.

Oleh karena itu orang-orang Materialis (anti Tuhan) membangun keingkarannya kepada

Tuhan-Pencipta itu di atas Kebetulan ini. Yakni ketika Kebetulan itu ada, maka mengapa kita tidak

mengatakan bahwa Alam ini terjadi karena Kebetulan? Misalnya dengan mengatakan bahwa Alam

ini terjadi karena adanya benda-benda, atau atom-atom kecil yang tidak terhingga banyaknya yang

saling bertabrakan, dimana dengan saling bertemu dan bertabrakan itu simbol dua kemungkinan,

hancur atau bersenyawa. Bagi yang bersenyawa ini berproses terus hingga terjadilah apa-apa

yang kita lihat sekarang ini, yaitu Alam semesta agung dan sempurna ini.

Sebenarnya. Kebetulan itu tidak ada dan tidak akan pernah terjadi. Hal ini karena setiap h

al memiliki Empat kemungkinan: Selalu-Terjadi, Sering-Terjadi, sama-terjadi, dan Jarang-terjadi.

Sering-Terjadi adalah kejadian yang sering dan kebanyakan. Seperti Jari-lima pada

tangan dan kaki manusia. Dikatakan sering, karena kadang-kadang datang hal-hal yang bersifat

Aksidental menghalangi terjadi kejadian, dan Sering itu, manakala datang Aksidental itu, maka

Kejadian Sering itu bisa tidak terjadi, dan sebagai gantinya adalah Kejadian-jarang, yakni yang

jarang terjadi dan hanya bersifat Kadangkala, seperti Jari-enam.

Namun demikian, sebenarnya, Kejadian-Sering itu memiliki sebab-sebab dan syarat-

syarat khusus. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa penyebab Jari-Lima adalah Karena jemari itu milik

Page 54: Sketsa filsafat

manusia secara umum. Tapi berkenaan dengan kondisi khusus pada mani-ovumnya dan

keadaaan rahimnya, jadi kalau kondisi dan syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka kejadian yang

akan timbul tidak akan sama dengan yang biasa terjadi. Inilah yang dikatakan: Kejadian-Sering.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kejadian-Sering ini, sebenarnya adalah Kejadian-

Selalu yakni manakala dihubungkan dengan Sebabnya yang hakiki.

Dengan uraian di atas dapat diketahui pula bahwa Kejadian-Jarang itu juga pasti

merupakan Kejadian-Selalu, manakala dihubungkan dengan Sebabnya yang hakiki Enam-Jari,

terjadilah karena Sebab yang telah mengkhususkannya. Oleh karenanya kalau Sebab itu ada,

maka sudah pasti jari yang akan timbul pada seorang bayi, adalah Enam-Jari.

Kalau kejadian-jarang saja adlaah Kejadian-Selalu, maka sudah pasti Kejadian –Sama,

yakni yang terjadi dan tidaknya fifty-fifty, juga merupakan Kejadian-Selalu artinya kejadian-kejadian

yang pasti terjadi dan tidak pernah menyimpang dari sebabnya.

Ketika terbukti bahwa ternyata semua Kejadian itu adalah Kejadian-Selalu yang tidak

pernah menyimpang dari aturan keberadaan dan sebabnya, dimana selalu berakhir pada akhir-

perbuatan yang tadinya kira-kira Sering Sama dan Jarang itu, maka akal dapat memastikan bahwa

antara Pelaku dan Akhir Perbuatannya, terdapat suatu hubungan yang telah menhempatani

keduanya dimana Pelaku telah menyengaja kepada Akhir perbuatannya itu Akhir dari

perbuatannya itulah yang dikatakan sebagai Sebab-Tujuan, yakni Tujuan dari perbuatan Pelaku.

Seandainya kita boleh meragukan adanya hubungan antara Tujuan dan Pelaku padahal

kejadiannya adalah Kejadian-Selalu, maka kita juga boleh meragukan adanya hubungan antara

Pelaku itu sendiri dengan perbuatannya, yakni dengan mengingkari Pelaku Perbuatan itu sama

sekali. Karena keyakinan terhadap adanya Pelaku itu , tidak lain disebabkan oleh Kelaziman-

Selalu antara keduanya. Artinya bahwasanya Pelaku tertentu selalu menghasilkan Perbuatan

tertentu pula. Seperti Tunas-Padi yang selalu muncul dari buah-Padi. Keselaluan itu bertentangan

dengan Kebetulan ( baca tidak disengaja/teratur) Oleh karenanya dalam kejadian itu ada

Kesengajaan. Sementara Kesengajaan menunjukkan adanya Ilmu, artinya Diketahui dulu baru

bisa Disengaja Kehadiran tidak bisa terwujud dalam Materi, karena Materi adalah hakikat

Keterceraiberaian, artinya bagian-bagiannya tidak saling hadir. Kalau bagian-bagiannya saja tidak

saling mengetahui, maka bagaimana mungkin mereka mengetahui yang lainnya kemudian men-

Sengaja-nya atau men-tuju-nya.

Memang para materialis mengingkari Sebab-Pelaku ini seperti halnya mereka mengingkari

akan adanya Sebab-Tujuan dari segala kejadian di alam Materi ini. Mereka mengingkari apapun

yang berhubungan dengan di luar Materi. Jadi, bagi mereka, sebab-akibat itu hanya ada di dalam

Page 55: Sketsa filsafat

materialis yakni pembatasan sebab-akibat pada materi saja.

Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa semua Kejadian-Selalu dan terdapat di

dalamnya Tujuan-Selalu lalu mengapa ada penyimpangan keinginan dan tujuan dari Pelaku dalam

Perbuatannya itu ?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah bahwa telah terjadi kesalahan penisbahan di

dalamnya Kita yang mestinya menisbahkan Pelaku dengan Akibat yang sebenarnya, sperti

bertemu teman mencapai harta karun dan mati di atas itu, tapi bahkanmenisbahkan dan

menghubungkannya kepada Akibat lain yang bukan Akibatnya, seperti pergi kepasar, mencpai air

dan berteduh . jadi kebetulan itu sebenanya tidak lain hanyalah Ketidaktahuan kepada Akibatnya,

bukan tanpa tujuan. Sebab sudah pasti perbuatan yang dilakukannya akan berakhir kepada Akibat

hakikinya itu. Jadi sudah pasti men-Tuju kesana.

Dengan penjelasan lain dapat dikatakan bahwa, seseorang yang melakukan pekerjaan itu,

memiliki dua Tujuan diinginkan secara Global dan diinginkan secara Individu. Orang yang pergi

kepasar atau berteduh di bawah pohon. Tujuan yang diinginkan secara individunya adalah sampai

ke pasar (belanja). Dan mendinginkan badannya. Tapi Tujuan-Globalnya adalah bertemu teman

dan kerobohan pohon hingga mati. Karena sebenarnya ketika ia pergi kepasar dan / atau berteduh

di bawah pohon, ia. Memungkinkan juga segala macam kemungkinan yang bisa terjadi, sekalipun

mungkin tidak dibayangkan sebelumnya. Tapi kalau ditanya apakah ia akan meneruskan

pekerjaannya ia akan menjawab ‘Ya’ Makanya, kalau apa-apa yang akan dijumpainya ini yakni

yang tidak dibayangkan secara rinci itu menguntungkan ia akan katakan sebagai Keberuntungan

Mujur dan Nasib –Baik dan kalau merugikan ia akan katakan sebagai Resiko.

Dengan semua uraian itu dapat diyakini bahwa semua pekerjaan itu memiliki Tujuan,

diketahui atau ridak, diinginkan secara indifidu dan global.

PASAL 10

Sebab-bentuk dan Sebab Bahan

Setiap gologan atau Esensi Materi, memiliki dua unsur darurat Bahan dan Bentuk Dua

bagian ini adalah bagian zat dari keberadaan tersebut, dimana tanpa keduanya keberadaan itu

tidak akan pernah ada.

Di depan telah dikatakan bahwa bahan adalah ‘Substansi yang membawa Potensi’ dan

Bentuk adalah ‘ Substansi yang mendefaktokan Bahan’. Dan juga dikatakan bahwa keduanya

saling membutuhkan dan tidak terpisahkan. Dengan demikian maka masing-masing dari

Page 56: Sketsa filsafat

keduanya adalah Sebab bagi keseluruhannya. Inilah yang dimaksudkan dengan ke-Sebab-an

keduanya, dimana untuk bahan dikatakan sebagai Sebab-Bahan dan bagi Bentuk sebagai

Sebab-Bentuk.

Sedang hubungan antar keduanya juga telah dikatakan bahwa Bahan adalah Substansi

yang siap menerima Bentuk dan menjadi Akibatnya, sementara Bentuk adalah bagian-sebab

bahi bahan. Yakni disamping mendefaktokan Bahan. Ia juga membantu Sebab-Pemberi (non

materi) untuk memberikan Bentuk-Bentuk kepada Bahan dengan cara mendefaktokan Bahan

dimana dengan kedefaktoannya itu berarti sang Bahan siap untuk menerima Bentuk-Bentuk lain

yang akan diberikan oleh Sebab-Pemberinya tersebut.

Orang-orang meterialis menolak adanaya Sebab-Pemberi itu sebagaimana maklum dan

membatasi ke Sebab-an itu pada Materi/Material/Bahan, baik Bahan-Pertama atau ke dua

(Unsur) atau ke Tiga (Zgolongan) dan penjelasan terdahulu itu menolak pertanyaan mereka.

Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Material tidak lain hanyalah pengembang Potensi

dimana maknanya adalah Ketiadaan. Lalu, bagaimana mungkin Ketiadaan melahirkan

Keberadaan Potensi melahirkan Defakto.

Begitu pula telah dikatakan bahwa ‘ Yang tidak wajib/mesti/darurat, tidak akan ada’. Jadi,

bagaimana mungkin bahan yang hanya mengemban Potensi dari kesiapan menerima Bentuk,

dijadikan Sebab yang me-Wajibkan atau me-Mestikan suatu keberadaan yang bersifat De fakto?

Bukankah ada kaidah yang mengatakan bahwa ‘Yang tak punya tak mungkin memberi?’

Dengan demikian maka sudah dapat dipastikan bahwa di balik Material itu ada

keberadaan lain yang telah mendefaktokan Bahan dengan Bentuk-Bentuk yang silih berganti.

Dan sudah tentu bukan Bentuk itu sendiri, karena ia juga memerlukan Bahan, sementara Sebab

tidak mungkin memerlukan Akibatnya.

Kesimpulannya adalah, bahwa Bahan dan Bentuk, merupakan Sebab bagi rangkapan

keduanya, tapi bukan Sebab-Pemberi sebagaimana maklum. Mereka tidak lain hanyalah sebagai

Sebab-Unsur atau Sebab-Bagian dari Esensi-Naturalinya.

PASAL 11

Sebab – Materi

Kerincian terdahulu dapat memberikan pengertian kepada kita bahwa ke-Sebab-an

Materi tidak lain hanyalah sebagai Sebab-Penyiap bagi datangnya Bentuk-Bentukk yang akan

Page 57: Sketsa filsafat

diberikan oleh Sebab-Pemberi. Di sini akan dibahas tentang ke-Penyiapannya itu.

Salah satu yang akan dibahas adalah bahwa ke-Pengefekan atau ke-Sebaban Materi itu

adalah terbatas. Hal ini karena bagian manapun yang akan dijadikan contoh pembuktiannya ia

diapit oleh dua ketiadaan. Misalnya kita lihat Gerak-Substansi yang terjadi pada Tanah ke

Rumput. Rumput ke Kambing, Kambing ke Mani-Manusia. Potongan manapun kita ambil,

misalnya Tanah ke Rumput, maka ia diapit oleh dua ketiadaan. Ketiadaan pertama adalah

Sebelum titik Awal geraknya dan ketiadaan ke dua adalah Setelah Titik Akhir adalah Sebelum

Titik Awal adalah Ketiadaan Tanah dan Setelah Titik Akhir adalah Ketiadaan Tanah, karena ia

telah menjadi Rumput. Dan kumpulan keterbatasan juga akan menghasilkan keterbatasan pula.

Dengan demikian, maka Zat dan ke-Pengefekan atau ke-Sebaban Materi adalah

terbatas. Sering juga dikatakan bahwa Zat dan Efek Materi itu terbatas.

Hal lain yang akan dibahas adalah bahwa ke-Pengefekan itu memerlukan Materi dan

Posisi yang khusus. Perlunya kepada Materi, karena ia dalam keberadaannya memerlukan

Materi/Material/Bahan. Sementara keberadaannya lebih kuat dari kePengefekannya karena

Dirinya adalah Sebab bagi ke-Pengefekannya. Jadi dalam kePengefekannya ini. Materi suadah

pasti memerlukan Materi.

Sedan perlunya Materi kepada Posisi yang khusus manakala akan memberikan efek.

Karena Materi itu dibatasi oleh Ruang dan Waktu. Ketika ia dibatasi oleh Ruang dan Waktu,

maka sudah pasti tanpa Posisi Khusus, ia tidak akan pernah memberikan efeknya. Misalnya

kalau antara ia dan Akibatnya terdapat jarak-tempat atau terdapat dinding pemisah, amaka jelas

ia tidak akan memberikan efek kepada Akibatnya. Katakan Mani yang tidak bertemu Ovum. Api

yang tidak bertemu Kertas, maka jelas tidak akan ada pembuahan dan kebakaran.