skenario 2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter dan perawat. Jenis
yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajad cacat yang relatif tinggi dibanding dengan
cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan dalam penangananpun tinggi. Penyebab luka
bakar selain terbakar api langsung atau tak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari,
listrik, maupun bahan kimia.(Elizabeth,2009)
Statistik menunjukkan bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga,
20% karena kecelakaan kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain, misalnya bus terbakar,
ledakan bom, dan gunung meletus. (Moenajad, 2001)
Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan
perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 – 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 – 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 2008 dilaporkan
sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat dengan angka kematian 37,38%. Dari unit luka
bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2008 didapatkan data bahwa kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan. (Irna Bedah RSUD Dr.
Soetomo, 2001)
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang
berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar. Luka
bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan yang lebih
dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang lebih kecil dan
superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai
perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang disebabkan oleh api
atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia memerlukan pengobatan yang
berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik) atau persikan api. Luka bakar yang
mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang lebih besar daripada di tempat lain dengan
ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi
kerja klien dan memerlukan tehnik pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain.
Pengetahuan umum perawat tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat
diperlukan untuk mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk
mengantisipasi harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai.(Irna
Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)
B. Tujuan
Untuk membahas terminologi, permasalahan yang ada pada skenario dan membahasa luka
bakar secara lengkap.
C. Manfaat
Mahasiswa menjadi tahu dan mengerti tentang luka bakar dan penatalaksaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
SKENARIO
Seorang pria, Tn. R 33 th, dibawa ke UGD karena luka bakar disebabkan oleh kompor yang meledak
2 jam yang lalu. Tn. R sadar namun tampak sangat sesak dan mengeluh kesakitan dengan suara yang
serak dan kalimat yang pendek-pendek. Sebagai dokter magang di UGD, Anda meminta perawat
menggunting pakaian Tn. R dan melihat bahwa terdapat eritema pada wajah, leher, dada, dan hampir
seluruh lengan kiri Tn. R. Pada eritema tersebut terdapat beberapa bula, beberapa bula sudah pecah
dan berair. Alis Tn. R juga tampak terbakar. Pada pemeriksaan fisik TD 130/80 mmHg, N 98 x/menit,
RR 32 x/menit, T 37,7 0C. Dokter jaga senior di UGD mempersilakan Anda untuk menangani pasien
ini. Dia mengarahkan Anda untuk melakukan primary survey dengan memperingatkan Anda untuk
menangani masalah airway dan breathing yang terjadi pada pasien. Anda juga diminta mencari tanda-
tanda trauma inhalasi pada pasien dan menangani luas luka berdasarkan Rule of Nines. Bagaimana
Anda menangani pasien ini?
TERMINOLOGI
1. Luka bakar : Kerusakan jaringan tubuh oleh api baik secara langsung atau tidak langsung,
pajanan sinar matahari, listrik dan bahan kimia.
2. Eritema : Kelaianan kulit yang berupa bercak-bercak kemerahan.
3. Bula : Lesi menonjol melingkar dengan ukuran lebih dari 0,5 cm dan berisi cairan serosa di atas
dermis.
4. Primary survey : Tindakan awal yang dilakukan dalam keadaan gawat darurat.
5. Trauma inhalasi : Trauma luka bakar yang mengenai mukosa saluran nafas.
6. Rule of Nines : Cara penilaian luas luka bakar pada permukaan tubuh pada orang dewasa.
PERMASALAHAN
1. Bagaimana primary survey dan pengelolaannya pada pasien luka bakar ?
Airway : suara serak, bicara dengan kalimat yang pendek pendek, eritema dan bula
di wajah dan alis terbakar. Dan kontrol C spine.
Breathing : sesak napas, RR 32x/menit, eritama dan bula di dada.
Circulation : TD 130/80 mmHg, Nadi 98x/menit, suhu 37,7 0 C.
Disability : penilaian kesadaran
2. Bagaimana cara menentukan luas luka bakar Tn. R berdasarkan Rule of Nines?
Berdasarkan data di atas, luas luka bakar pada pasien adalah ± 22,5 %, yang terdiri dari
wajah, leher, dada, dan hampir seluruh lengan kiri.
3. Bagaimana patofisiologi timbulnya eritema dan bula pada skenario?
Eritema disebabkan oleh adanya vasodilatasi pembuluh darah dan bula disebabkan oleh
pada luka bakar menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat, sehingga
cairan/elektrolit keluar.
4. Bagaimana patofisiologi timbulnya sesak?
Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel jalan nafas oleh panas
dan zatkimia atau akibat intoksikasi sistemik dari hasil pembakaran itu sendiri. Hasil
pembakaran tidak hanya terdiri dari udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara,
partikel padat yang terurai di udara ( melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari
cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan tersebut bekerja
sistemik. Partikel padat yang ukurannya > 10 mikrometer tertahan di hidung dan nasofaring.
Partukel yang berukuran 3-10 mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan
partikel berkuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.
Gas yang larut air bereaksi secara kimai pada saluran nafas , sedangkan gas yang
kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapau gas yang sangat kurang larut air masuk
Kepala dan leher : 9 %
Lengan kanan : 9 %
Lengan kiri : 9 %
Badan depan : 18 %
Punggung : 18 %
Tungkai kanan : 18 %
Tungkai kiri : 18 %
Perineum : 1 %
melewat barier kapiler dari alveolus dan menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemk.
Kerusakan langsung dari sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus
mukosilier dimana akan merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang melepaskan
makrofagg serta aktifitas netrofil pada daerah tersebut. Selanjutnya 10 akan di bebaskan
oksigen radikal, protease jaringan, sitokin, dan konstriktor otot polos (tromboksan A2,C3A,
C5A). Kejadian ni mrnyebabkan peninfkatan iskemia pada saluran nafas yang rusak,
selanjutnay terjadi edema dari dinding saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan
meningkatkan resistensi didding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplains paru akan
turun akibat terjadinya edema paru interstitiil sehingga terjadi edema pada saluran nafas
bagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik,
mukus dan se- sel darah.
5. Apa saja tanda-tanda trauma inhalasi?
Luka bakar pada wajah
Alis mata dan bulu hidung hangus
Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring
Sputum yang mengandung arang atau karbon
Wheezing, sesak dan suara serak
Adanya riwayat terkurun dalam kepungan api
Ledakan yang menyebakan trauma bakar pada kepala dan badan
Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin > 10 % setelah berada dalam lingkungan
api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakit kepala, mual,
pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma.
6. Apa saja penyebab dari luka bakar?
Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan
panas atau objek-objek panas lainnya.
Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau
basa kuat.
Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electrik (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang
dihantarkan melalui tubuh.
Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif.
7. Berapa derajat luka bakar pada skenario ini?
Dilihat dari tanda luka bakar pada pasien pada skenario, termasuk dalam luka bakar
derajar dua dengan adanya eritema, bula, dan beberapa bulanya sudah pecah
8. Bagaimana tatalaksana terhadap pasien dalam skenario?
a. Fase Akut
Hentikan dan hindarkan kontak langsung dengan penyebab luka bakar
Nilai keadaan umum penderita:
- Obstruksi jalan nafas (airway): bebaskan jalan nafas dengan melakukan intubasi atau
trakeostomi
- Syok: segera lakukan pemasangan infus, tanpa memperhitungkan luas luka bakar dan
kebutuhan cairan (Ringer Laktat)
- Tidak syok: segera lakukan pemasangan infus sesuai dengan perhitungan kebutuhan
cairan
Perawatan luka:
- Dimandikan/ cuci dengan menggunakan air steril yang dicampur antiseptik
- Jika bula berukuran kecil (± 2-3 cm), biarkan saja
- Jika bula berukuran besar (> 3 cm), lakukan bulektomi (dipecah)
- Berikan obat-obat lokal (topikal) untuk luka, yaitu Silver sulfadiazine (SSD) seperti
Silvaden, Burnazine, Dermazine, dan lain-lain
- Pemberian anibiotik bersifat profilaksis jenis spektrum luas, namun tidak perlu
diberikan jika penderita datang < 6 jam dari kejadian
- Pemberian analgetik
- Pemberian ATS/ toxoid
- Pasang kateter untuk memantau produksi urin
- Pemasangan NGT (Nasogastric Tube), namun tidak dilakukan jika terdapat ileus
paralitik
Pedoman Pemberian Cairan
a. Per oral: penderita dengan luka bakar tak luas (kurang dari 15 % derajat II)
b. Infus (IVFD): pada luka bakar yang lebih dari 15 %
Rumus pemberian cairan elektrolit, Baxter/ Parkland (1968):
RL = 4cc x berat badan (kg) x % luka bakar
- ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama post trauma, dan ½ jumlah cairan
diberikan dalam 16 jam berikutnya
- Untuk luka bakar yang lebih dari 50 % diperhitungkan sama dengan luka bakar 50 %
Dewasa:
- Hari I: RL = 4cc x berat badan (kg) x % luka bakar
Setelah 18 jam: dextran 500-1000 cc
Bila pasase usus baik (bising usus positif), mulai pemberian cairan oral
- Hari II: sesuai kebutuhan dan keadaan klinis penderita
- Anak-anak:
- Resusitasi: = 2cc x berat badan (kg) x % luka bakar ...(a)
- Kebutuhan faali: kurang dari 1 tahun BB x 100 cc, 1-3 tahun BB x 75 cc, 3-5 tahun BB
x 50 cc ...(b)
- Kebutuhan total = Resusitasi + Faali ... (a) + (b) Diberikan dalam keadaan tercampur
RL : dextran = 17 : 3 8 jam pertama = ½ (a+b) cc 16 jaam kedua = ½ (a+b) cc
PEMBAHASAN TENTANG LUKA BAKAR
DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan
suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus
sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak langsung,
misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan
suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar.
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan
cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu
baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan
serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan
berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya
antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas
dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas
akibat edema.
Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar
mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian
dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Zat kimia (asam atau basa)
Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
Luka bakar karena trauma dingin (frosbite)
KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut
terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu
domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh
suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II,
atau III:
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat
melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat
sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital
yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal,
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih
“sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa
gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak
ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih
dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel
spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan
kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
Derajat IV (gosong dan tampak hitam)
BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi
berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya kerusakan
akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi
jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga
meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan
mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya
cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju
metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat, dan
penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas
seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien
dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki
kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.
Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan
bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk
anak.
Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak
tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan
‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan
persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area
affected by burns in children.
PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10
%
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan
luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum
PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang
terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak
sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan
bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan
yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran
cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas,
seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi
urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan
hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna
gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat hemoglobin
dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah
lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari
60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini
membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya
karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit
sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif,
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur
keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah
yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan
di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula
derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di
jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi
kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi
penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok
sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital,
misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar
derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara
estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila
terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus menurun
atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena
kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak
peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi
negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan
berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh
pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian, korban luka bakar
menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat,
terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban
kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas yaitu
gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma
multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok
hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan
Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan
atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari
kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah yang
dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain
yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat
dan berlangsung lama.
Pembagian zona kerusakan jaringan:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat pengaruh
cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah
kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga
terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan
respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga
dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia,
perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan
kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya, atau
adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau
luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau
pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan
nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat
dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan
kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan
kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi
juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada
tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan
trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya
area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan
ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.
Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan
morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space,
memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat
berbicara jika dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang
menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat
menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator
dan modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan
mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya
menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu.
Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan
produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih
kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
b. Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di
seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap
organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas
yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik
dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang
tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara untuk
menghitung kebutuhan cairan ini:
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan
pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60%
karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan
pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
Perawatan luka bakar
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4
jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan
pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik
yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan
pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang
dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari
tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan
nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera
dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini
akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan
semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi luka
bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic”
(lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang
terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi
mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang
melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui infus.
Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III.
Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness
skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang
luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior. Eksisi dini
terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi lapis
sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka
bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat
memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan
kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh.
Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah
dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah
didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik
adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia.
Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat
luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel,
mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang
lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf
superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien.
Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh
manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split
thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah
lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor
(seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin.
Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang
akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit
donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin ‘dermatome’
ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan
donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka
bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat
diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor
dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini
dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan
luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang
terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain
gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.
KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS),dan Sepsis
Pendahuluan
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi)
yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ
Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi
penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan
pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti
hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine
tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2 < 32 mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai >
10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila
ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti
bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa
tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma
berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin;
yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan
mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon
inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1, IL6),
interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah
sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi
sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal
bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan
kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui
luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara
fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.
Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui
penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan
mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming
Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal
yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap
sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi
sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-
mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai
organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan
vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular,
aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ.
Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat
dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS,
MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa
saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan
mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan
suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain
kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa),
sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi
mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS.
Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral
yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi
ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal
ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan
dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan
sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama
gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal
dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di
atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak
ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah
cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya
sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap
suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan
suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan
SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama pasca
cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak
mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status
hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus
segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-
keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila
memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai
masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan
gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang
mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur
waktu dan memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak
bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian
serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan leukotrien
(LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme
asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6
memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan
yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.
Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS
adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal
ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation (DIC)
DAFTAR USTAKA
Guyton, C. Arthur dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Edisi ke-11, Cetakan ke-1).
Jakarta: EGC.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (Edisi ke-6, Cetakan ke-1). Jakarta:
EGC.
Adhi Juanda. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
R.S. Siregar. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC
Price Sylvia, Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis Proses-proses Penyakit Volume 1 (Edisi ke-6,
Cetakan ke-1). Jakarta: EGC.
American Collage Surgeon. Penilaian awal dan pengelolaannya dalam Advanced Trauma Life Support
for Doctora. Edisi ke-delapan. Jakarta: IKABI. 2008.
Sjamsuhidajat R. Luka, trauma, syok dan bencana. Dalam : Sjamsuhidajat R, Jong W, ed. Buku Ajar ilmu
Bedah. Edisi 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997.
Rule Of Nines diaksestanggal 5 Desember 2012. Diunduh dari http://medical-dictionary.
thefreedictionary.com/rule+of+nines