sjafruddin prawiranegara dalam percaturan …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA
TAHUN 1945-1961
SKRIPSI
Disusun oleh :
CESILIA DEA AFIFAH WULANDARI
K4408003
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA
TAHUN 1945-1961
Oleh :
Cesilia Dea Afifah Wulandari
NIM : K4408003
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Surakarta.
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Universitas Sebelas Maret
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi sebagian persyaratan
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA DALAM PERCATURAN POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1945-1961. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2012.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara. (2) Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun 1945-1961.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: 1) Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Sjafruddin menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mendapat pendidikan agama secara informal. Lingkungan dan keluarga muslim mempengaruhi kehidupan Sjafruddin. Sjafruddin bergaul dengan kalangan santri modernis dan sosialis sekuler. Akibatnya Sjafruddin menjadi pribadi yang plural. Adanya kewajiban memilih partai politik pada saat itu membuat Sjafruddin memilih untuk masuk Masyumi meskipun Sjafruddin berlatar belakang pendidikan santri. Kemudian Sjafruddin berpengaruh dan memberikan gambaran ideologi pada Masyumi untuk bersifat plural. 2) Sjafruddin dikenal sebagai tokoh politik sesudah menjadi Menteri Keuangan kabinet Sjahrir III, dengan kebijakan mengeluarkan ORI yang menjadi alat perjuangan dan pembiayaan keperluan negara. Sjafruddin menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik ketika menjadi Menteri Kemakmuran. Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda II, Sjafruddin diberi mandat untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan berhasil menyelamatkan Republik Indonesia serta melanjutkan perjuangan. Sjafruddin terpilih lagi menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta dengan melakukan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting Sjafruddin” yang berhasil menekan inflasi. Sjafruddin menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur de Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sebagai Perdana Menteri PRRI, Sjafruddin memimpin sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah pusat, dan untuk membela kebenaran dan keadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Cesilia Dea Afifah Wulandari. SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA IN POLITICAL CULTURE IN INDONESIA YEARS 1945-1961. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta, Sebelas Maret Universitas, July. 2012.
The purpose of this study is (1) Knowing the background of social and political Sjafruddin Prawiranegara. (2) Knowing the role of politics Sjafruddin Prawiranegara in Indonesia years 1945-1961.
This research uses historical method. Step-by-step historical method is a heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Techniques of data collection is done through literature. Written sources used as data. The data analysis techniques used in this research is historical analysis techniques.
Based on this research can be conclude: 1) Sjafruddin Prawiranegara bornin Banten February 28, 1911. Sjafruddin educated in Dutch schools and receive religious education informally. Environment and families lives of Muslim affect Sjafruddin. Sjafruddin friends with the santri modernis and the socialist secular modernists. As a result Sjafruddin be plural person. The existence of the obligation to choose a political party at that time made him choose Masyumi. Then Sjafruddin influence his ideological and gives an overview on Masjumi to be plural. 2) Sjafruddin known as a political figure after as Minister of Finance in cabinet Sjahrir III, make ORI issued apolicy as a means of struggle and state funding purposes. Sjafruddin make Indonesia a better economy when he became Minister of Prosperity. At the time of the Dutch Military Agression II, Sjafruddin mandated to establish the Emergency Government of the Indonesia Republic and managed to save the Republic of Indonesia as well as continuing the struggle. Sjafruddin elected again as Minister of Finance in Hatta Cabinet and make important policy that is "Sjafruddin Operating Scissors" which succeeded in reducing inflation. Sjafruddin became the first Indonesian who was elected as Governor de Javasche Bank, which later became Bank Indonesia. In 1958, Sjafruddin involved in the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia. As Prime Minister of PRRI, Sjafruddin lead PRRI as a form of correction to the central government, and to defend truth and justice.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Pangkat itu hanya suatu alat untuk menjalankan suatu tugas.
(Sjafruddin Prawiranegara)
Sejarah sebagai pedoman untuk membangun masa depan.
(Sjafruddin Prawiranegara)
Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dashyat tapi akibat tetesan air yang
berulangkali; Begitu pula manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali tapi
karena kerapkali membaca hidup.
(Renaldi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
§ Bapak, Ibu, dan Kakakku Bernadus yang selalu memberikan doa dan
motivasi.
§ Romo Yakobus Priyono sebagai “Donatur Kedua”.
§ Thomas Renaldi Lestianto sebagai teman dalam suka duka yang sudah
membantu dan memotivasi menyelesaikan studi serta setia menemani
mencari sumber penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas
rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi persyaratan
mendapat gelar Sarjana Pendidikan.
Kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi ini
dapat terlewati dengan lancar berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.
Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Kegururan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M. Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, masukan, pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. Leo Agung S, M. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, motivasi, dan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program
Pedidikan Sejarah FKIP UNS.
7. Teman-teman Sejarah angkatan 2008, Spesial Keluarga Abal Abal (Ari Kurnia,
Dwi Ari, Eni Susilowati, Titis Dwi Nur, Suyono, Doni Setiawan, Tri Pujianto,
Arif Nur, Tea Limostin) yang memberi semangat dan menjadi keluarga baruku di
Surakarta.
8. Cahyaningrum Tri Agus Tina, Misbach, dan Bryan Andri Jatmiko sebagai
kunsultan pribadi yang senantiasa membantu dan memberi saran dalam penulisan.
9. Keluarga Mas Sutarto, Mbak Widya, Dik Keisya, dan Paramita yang bersedia
memberikan tumpangan, dukungan, penghidupan selama penulis berada di Jakarta
dalam mencari sumber.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
diharapkan supaya skripsi ini lebih baik.
Surakarta, 31 Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................ iv
HALAMAN ABSTRAK .................................................................... v
HALAMAN MOTTO ....................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... viii
KATA PENGANTAR ....................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Revolusi Fisik ..................................................................... 9
2. Peran Politik ....................................................................... 14
3. Percaturan Politik ............................................................... 19
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian ................................................................ 25
2. Waktu Penelitian ................................................................ 26
B. Metode Penelitian ......................................................................... 26
C. Sumber Data ................................................................................... 28
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 30
F. Prosedur Penelitian ....................................................................... 30
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara .............. 35
B. Peran politik Sjafruddin Prawiranegara masa
Revolusi Indonesia 1945-1961
1. Anggota Badan Pekerja KNIP .............................................. 43
2. Menteri Keuangan ................................................................. 47
3. Menteri Kemakmuran ........................................................... 52
4. Memimpin Pemerintah Darurat Republik
Indonesia ............................................................................... 56
5. Menteri Keuangan .................................................................. 69
6. Gubernur Bank ...................................................................... 75
7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ...................... 80
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................. 93
B. Implikasi ...................................................................................... 94
C. Saran ............................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 97
LAMPIRAN ....................................................................................... 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir .................................................................. 23
2. Prosedur Penelitian ................................................................ 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua PDRI
akan kembali ke Yogyakarta ..................................................... 104
2. Sjafruddin Prawiranegara hadir dalam Konferensi
Inter-Indonesia ........................................................................... 105
3. Sjafruddin Prawiranegara disambut oleh Presiden
di Yogyakarta............................................................................. 106
4. Undang Undang No 19 Th.’46 Tentang Pengeluaran
Oeang Repoeblik Indonesia Dan Penjelasan ............................ 107
5. Laporan Interview W. Bosshard dengan Mr. Sjafruddin........... 112
6. Berisi Garis Garis Besar Politik Perekonomian Pemerintah...... 115
7. Surat Sjafruddin kepada Mr. Maramis Wakil Republik
Indonesia di New Delhi, India Tentang Keadaan
Perjuangan di Indonesia............................................................ 118
8. Surat Sjafruddin kepada wakil kepala PTT Sumatera
tentang kekuasaan PDRI ........................................................... 119
9. Penetapan Peraturan Sementara Daerah Tapanuli Selatan......... 120
10. Pendapat Kasimo mengenai Susunan Baru
Anggota PDRI 21 April 1949 ................................................... 121
11. Tantang pengumuman PDRI..................................................... 125
12. Balasan surat I.J Kasimo oleh Sjafruddin Prawiranegara.......... 126
13. Ketua PDRI membalas Kawat Panglima Besar PDRI.............. 128
14. Kawat Sjafruddin untuk Presiden Soekarno mengenai
kepergiannya ke Sumatera untuk beberapa waktu saat
Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Gubernur
Bank Indonesia ......................................................................... 130
15. Mukadimah Piagam Perjuangan .............................................. 138
16. Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara .......................... 143
17. Mukadimah Pembentukan PRRI Oleh Dewan Perjuangan ...... 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
18. Proklamasi RPI.......................................................................... 150
19. Keterangan tentang Wilayah dan Anggota-Anggota
Republik Persatuan Indonesia................................................... 158
20. Pidato Presiden RPI pada Hari Proklamasi............................... 161
21. Penyerahan Diri Sjafruddin ...................................................... 170
22. Oeang Republik Indonesia ....................................................... 174
23. Surat Perijinan Skripsi .............................................................. 178
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi kemerdekaan merupakan istilah yang digunakan negara dunia
ketiga untuk perang kemerdekaan kepada negara bekas penjajah setelah Perang
Dunia II usai. Revolusi merupakan ungkapan atau pernyataan akhir dari keinginan
otonom dan emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas
keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama.
Secara khusus, aktivitas revolusi dianggap menciptakan suatu tatanan sosial baru
yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).
Revolusi kemerdekaan di Indonesia terjadi tahun 1945-1950, dan
merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara Republik
Indonesia. Revolusi Indonesia dipicu atas kekalahan Jepang dalam Perang Dunia
II. Kekuasan Jepang di Indonesia mulai melemah, terutama sesudah Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan
kekuasaan (Ricklefs, 2008: 443). Kondisi ini digunakan para pemuda untuk
mendesak Soekarno dan Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan (Reid,
1996: 40-41). Proklamasi mampu dicapai dengan kesepakatan antara golongan tua
dan golongan muda pada tanggal 17 Agustus 1945.
Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi negara
yang teratur dan serasi, melainkan adanya pertarungan antar individu dan
kekuatan sosial yang saling bertentangan. Meskipun di balik pertentangan itu ada
keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan. Di dalam perjuangan revolusi
Indonesia, terjadi perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dengan
kekuatan diplomasi, antara generasi tua terhadap generasi muda, antara golongan
kanan dan golongan kiri, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler. Semua
perbedaan itu merupakan gambaran ketika Indonesia mengalami perpecahan yang
bermacam-macam bentuknya (Ricklefs, 2008: 446-447).
Pada periode tersebut penuh kekacauan, pemberontakan dan perang
saudara. Upaya mempertahankan kemerdekaan tetap terus diperjuangkan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
ditandai dengan gerakan perlawanan maupun melalui cara diplomasi. Aksi
dilancarkan sebagai pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam
bentuk kontak senjata pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi
Fisik Indonesia (Kansil&Julianto, 1972: 8).
Selama periode 1945-1950, muncul kekuatan sosial politik yang berasas
sama, yaitu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan memperoleh
pengakuan internasional melalui saluran diplomasi maupun perjuangan fisik.
Munculnya kekuatan sosial politik, tidak lepas dari adanya kebijakan politik etis
yang diprakarsai Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di
Indonesia. Dasar kebijakan politik Etis antara lain: (1) pendidikan; (2) pengairan;
(3) perpindahan penduduk. Ratu Wilhelmina mensahkan politik etis secara resmi
pada tahun 1901 (Ricklefs, 2008: 328).
Salah satu kebijakan politik etis ialah pendidikan. Di dalam bidang
pendidikan, pemerintah kolonial mendirikan sekolah yang memberikan
kesempatan pada penduduk pribumi untuk sekolah. Berdasarkan penelitian komisi
pendidikan Belanda-pribumi, pendidikan barat tidak membantu perkembangan
dan tidak membawa peningkatan kapitalisme pribumi (Kahin, 1996: 38). Hal itu
karena jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk (Ricklefs, 2008: 350).
Politik etis secara tidak langsung membentuk intelektual pribumi.
Individu Indonesia yang memperoleh pendidikan barat mendapatkan tempat yang
dianggap tidak sesuai dengan hasil pendidikan yang pernah diterima dan individu
yang tidak mendapat pendidikan tidak mendapat pekerjaan. Kelompok inilah yang
muncul sebagai kekuatan utama dalam pergerakan kebangsaan dan menghasilkan
banyak pemimpin. Hasil pendidikan barat menyebabkan timbulnya elite Indonesia
baru. Golongan baru ini terdiri dari kaum elite yang merasa kecewa, dan
mempunyai gagasan sosial Modernis Islam serta ide hasil pendidikan Barat.
Dengan kebangkitan elit politik Indonesia, massa Indonesia memperoleh
kepemimpinan politik (Kahin, 1996: 64).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Konflik dalam perjuangan, berhasil menggerakkan rakyat Indonesia
untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan. Keinginan para pemuda, meyakini
proklamasi bukan suatu masalah yang harus dirundingkan, namun harus
dipertahankan. Pihak pemerintah Republik mempunyai komitmen merundingkan
dengan pihak Belanda untuk mendapatkan simpati internasional dalam
perundingan (Reid, 1996: 149). Rakyat berjuang supaya kekuatan asing dalam hal
ini Belanda tidak lagi menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Revolusi
Indonesia bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan
dan kebangkitan nasional Indonesia (Ricklefs, 2008: 447).
Sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
pembentukan sebuah negara dengan segala aparaturnya, dan perlengkapan negara
merdeka segera dibutuhkan. Pada 18 Agustus 1945, Undang Undang Dasar
disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga eksekutif
dipilih. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil
Presiden. Kabinet Presidensial dibentuk sesuai Undang Undang Dasar 1945, dan
kemudian disusul pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 19 Agustus
1945 yang nantinya menjadi Tentara Nasional Indonesia (Ajip Rosidi, 2011: 98).
Upaya mempertahankan stabilitas kemerdekaan terus dilakukan rakyat
Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membentuk Badan Kelengkapan Negara,
serta pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil
Presiden no X tanggal 3 November 1945. Partai-partai politik dibentuk atas dasar
pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Pemikir-pemikir di
dalam partai inilah yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan politik
di Indonesia.
Para tokoh politik menggerakan serta mengembangkan arus politik
sebagai upaya dalam membentuk identitas politik Indonesia. Almon dan Powel
menyatakan unit dasar dari stuktur politik ialah peran individu (Winarno, 2007:
83). Para tokoh politik merupakan seseorang yang menduduki posisi dalam
struktur sosial dan memiliki peranan penting dalam aktivitas politik. Posisi atau
tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis yang menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses.
Peranan dalam gerakan politik individu tentu memberikan sumbangan
bagi perkembangan suatu negara. Peran individu dalam aktivitas politik
memberikan dampak yang begitu besar terhadap perubahan pemikiran suatu
bangsa. Sederet nama penting seperti Soekarno, Hatta, Roem merupakan tokoh di
masa revolusi yang selama ini melahirkan kebijakan untuk membangun bangsa
Indonesia melalui aktivitas politiknya. Riwayat, jasa, serta aktivitas berpolitik
mereka dicatat secara lengkap dalam berbagai buku sejarah terutama yang
membahasa masa revolusi. Ini menandakan pengkajian terhadap tokoh politik di
masa revolusi sangat penting, untuk melestarikan warisan berupa pemikiran dan
jasa terhadap Republik Indonesia. Selain itu, pentingnya penelitian terhadap
biografi tokoh politik diyakini sebagai jalan untuk mengetahui pembentukan
pemikiran serta kontribusi yang diberikan kepada Republik Indonesia di masa
revolusi.
Salah satu tokoh politik yang memainkan peranan penting di Indonesia
adalah Sjafruddin Prawiranegara. Dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 28
Februari 1911. Ayahnya, Raden Arsad Prawiraatmadja merupakan Camat Anyar
Kidul, dan ibunya Noer’aini merupakan anak dari Mas Abidin Mangoendiwirdja
juru tulis asisten residen dan camat di Cening yang termasuk karesidenan Benten
(Ajip Rosidi, 2011: 18-22).
Sjafruddin menempuh pendidkan di ELS (Europeesche Lagere School
yaitu sekolah rendah untuk orang-orang Eropa bagi orang Belanda atau orang
Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat), dilanjutkan MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu pendidikan dasar yang diperluas kira-kira sama
dengan SMP sekarang, lalu AMS (Algemeene Middlebare School yaitu Sekolah
Menengah Umum, setingkat SMA sekarang) di Bandung. Sjafruddin kemudian
masuk ke ke RHS (Rechts Hoge School yaitu sekolah Tinggi Hukum). Ketika
masih menjadi Mahasiswa di RHS, Sjafruddin terlibat dalam organisasi
Mahasiswa yang bernama USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis), sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
tempat perdana bagi Sjafruddin mempelajari organisasi. Sjafruddin melalui
jaringan USI berhasil mengadakan kontak dengan pemuda gerakan bawah tanah
pimpinan Sjahrir (Ajip Rosidi, 2011: 91-92). Di samping itu, Sjafruddin juga
bergabung dalam kelompok organisasi seperti Pagoejoeban Pasoendan, kelompok
Parindra, dan Kelompok Islam.
Peran Sjafruddin Prawiranegara pada Indonesia sudah ditunjukan sejak
Sjafruddin menjabat sebagai Kepala Kantor Pajak Kediri tahun 1942. Sesudah
Indonesia merdeka, Sjafruddin menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet
Sjahrir ke-2, Sjafruddin duduk sebagai Menteri Muda Keuangan (Ajip Rosidi,
2011: 113). Kesediaannya menjadi Menteri Muda Keuangan karena ingin
mewujudkan idenya tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) yang menurut
Sjafruddin sangat penting. Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari
1948, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran.
Pada saat Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta
diserang oleh pasukan Belanda, pemerintah Republik Indonesia memberikan
mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara melalui radiogram untuk membentuk
Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi (Moedjanto, 1988: 42). Pada masa RIS,
Hatta sebagai Perdana Menteri mengumumkan kabinetnya pada tanggal 21
Desember 1949. Dalam kabinet ini, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai
Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan ekonomi yang diterapkan yaitu Gunting
Sjafruddin (Ajip Rosidi, 2011: 243-250).
Sjafruddin Prawiranegara terlibat dalam Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) pada Februari 1958. Ia diposisikan menjadi Perdana
Mentri sekaligus Menteri Keuangan. Sjafruddin sebagai salah satu tokoh sentral
pendirian PRRI dianggap sebagai pemberontakan daerah. PRRI dianggap sebagai
pengkhianat bangsa, meskipun sebenarnya merupakan suatu bentuk protes atas
pemerintahan Republik Indonesia. PRRI dibentuk atas dasar ketidak setujuan atas
pembentukan kabinet Djuanda yang dibuat secara tidak sah dan merupakan wujud
dari desakan kaum komunis (Ajip Rosidi, 2011: 317). Pembentukan pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
revolusioner merupakan upaya perjuangan, bukan dalam konteks perjuangan
berupa perlawanan antara daerah luar Jawa terhadap pemerintah pusat. Melainkan,
menegakkan negara Indonesia yang adil dan Makmur. Cita-cita tersebut
termaktub dalam lima prinsip dasar kebijaksanaan PRRI.
Pada 16 Februari 1958 Presiden Soekarno memberikan perintah untuk
menangkap Sjafruddin Prawiranegara beserta seluruh petinggi PRRI, dimulailah
mobilisasi militer ke Sumatra untuk menggulingkan PRRI. Tersudutnya PRRI dan
dikeluarkannya Keppres no 449/1961 tentang amnesti dan abolisi bagi semua
anggota PRRI maka Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden RPI
mengeluarkan instruksi untuk menghentikan perlawanan dan penyerangan
terhadap tentara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1961 Sjafruddin
Prawiranegara menyerahkan diri. Cadangan emas yang disimpan guna
pembiayaan RPI pun turut diberikan ke pemerintah Republik Indonesia sebagai
kekayaan Negara (Kahin, 2005: 355).
Pada masa Orde Baru Sjafruddin merupakan salah satu orang yang ikut
dalam menandatangani petisi 50 masa Soeharto. A.M. Fatwa dalam Ajip Rosidi
(2011: 9) menyatakan petisi 50 ditandatangani sebagai wujud kritik terhadap
pemerintah Orde Baru yang otoriter dan merupakan upaya penyadaran terhadap
kehidupan berkonstitusi, khususnya penegakan hukum dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan Sjafruddin Prawiranegara
beserta para tokoh lainnya mendapat ‘pembatasan hak sipil’. Sjafruddin justru
merupakan individu yang berhasil mempertahankan keberadaan Republik
Indonesia saat Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta ditangkap
Belanda, Sjafruddin kemudian melanjutkan roda pemerintahan dengan mendirikan
PDRI di pedalaman Sumatera pada 22 Desember 1948.
Sumbangan yang diberikan Sjafruddin di masa revolusi maupun
sesudahnya merupakan jasa yang patut untuk dicatat dalam penelitian. Sjafruddin
Prawiranegara merupakan salah satu tokoh politik yang beperan penting di
Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji “Sjafruddin Prawiranegara
dalam Percaturan Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,
maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara?
2. Bagaimana peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun
1945-1961?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab dari rumusan
masalah diatas, yaitu untuk:
1. Mengetahui latar belakang sosial politik Sjafruddin Prawiranegara.
2. Mengetahui peran politik Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia tahun
1945-1961.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memberikan pengetahuan tentang peranan Sjafruddin Prawiranegara
sebagai tokoh penting Indonesia tahun 1945-1961.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka
pengembangan ilmu sejarah.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan kepada pembaca untuk
digunakan sebagai wacana dan pemahaman dalam bidang sejarah,
khususnya kajian tokoh yang berperan penting di Indonesia.
b. Sebagai hasil penelitian yang melengkapi kajian tentang tokoh Indonesia
lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Revolusi Fisik
Revolusi dipahami sebagai upaya luar biasa, sangat kasar, dan
merupakan gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan sosial apa pun.
Revolusi juga dipahami sebagai ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu
keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap
kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara
seksama. Aktivitas revolusi secara khusus, dianggap dapat menciptakan suatu
tatanan sosial baru yang lebih baik (Eisenstadt, 1986: 3).
Menurut Kartodirdjo (1982: 80) revolusi merupakan proses politik yang
timbul dalam situasi kritis pada waktu golongan konflik mengusahkan perubahan
politik dengan cara radikal. Pada pengertian yang lebih luas revolusi merupakan
perubahan di bidang sosial politik yang serba cepat, mendadak dan disertai
kekerasan. Secara lebih sempit, revolusi sering diartikan sebagai pemberontakan
bersenjata. Revolusi juga diartikan sebagai perkembangan fundamental pada
hampir semua bidang kehidupan supaya masyarakat lebih menikmati kebahagiaan
duniawi. Revolusi bersifat menyeluruh, menjangkau semua bidang kegiatan
manusia.
Revolusi ialah perubahan nilai dan mitos yang dominan dalam suatu
masyarakat terutama lembaga politik, struktur sosial, kegiatan dan kebijaksanaan
pemerintah, yang berlangsung dengan kekerasan, mendasar dan pada waktu yang
cepat (Huntington, 1984:423). Menurut Eugene Kamenka dalam Eisenstadt (1986:
5), revolusi merupakan suatu perubahan yang mendadak dan tajam dalam siklus
kekuasaan sosial. Cirinya tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses
pemerintahan yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi,
serta sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi
demikian diyakini, tak mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya
dilakukan tanpa kekerasan tetap dapat dianggap sebagai revolusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Perubahan secara cepat akan terjadi pada sendi-sendi atau dasar-dasar
pokok dari kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan)
lazimnya dinamakan Revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat
direncanakan terlebih dahulu maupun terjadi tanpa perencanaan. Sebenarnya
ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, sebab
revolusi dapat memakan waktu yang lama. Suatu revolusi dapat berlangsung
dengan didahului pemberontakan dan kemudian menjelma menjadi revolusi.
Supaya revolusi dapat terjadi maka harus dipenuhi syarat-syarat tertentu,
antara lain:
a. Ada keinginan untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada
perasaan tidak puas dengan keadaan ini.
b. Adanya seorang pimpinan atau sekelompok orang yang dianggap mampu
memimpin masyarakat tersebut.
c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk
kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas dari masyarakat
untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat.
d. Pemimpin tersebut harus menunjukkan tujuan baik yang konkret dan dapat
dilihat pada masyarakat maupun tujuan yang abstrak seperti ideologi tertentu.
e. Harus ada momentum untuk revolusi, yaitu saat dimana segala keadaan dan
faktor sosial adalah baik sekali untuk mulai dengan gerakan revolusi. Jika
momentum yang dipilih keliru, maka revolusi dapat gagal (Setiadi & Kolip,
2011: 620-623).
Revolusi terjadi akibat pergeseran sosial atau ketimpangan fundamental
terutama perjuangan antar elite. Perpaduan pergolakan tersebut dengan kekuatan
sosial maupun konflik golongan yang lebih dalam dan menyebar luas seperti
konflik kelas dan dislokasi serta mobilisasi sosial juga organisasi-organisasi
politik dari berbagai kelompok sosial yang lebih besar (Eisenstadt, 1986: 3).
Revolusi dilakukan karena ada sesuatu yang diharapkan. Kaum revolusioner
selalu bertindak sebagai kelompok yang terorganisasi dan hampir kompak, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
setelah kekuasaan kelihatan mulai tercapai, mereka tidak kompak lagi
(Macridis&Brown, 1992: 602-604).
Pada revolusi-revolusi besar, terdapat perubahan yang berupaya untuk
membenahi kembali tatanan sosial terutama sekali, penghapusan aspek-aspek
hierarkis dan menetapkan persamaan, solidaritas serta kemerdekaan politik dan
sosial. Perubahan berupa kecenderungan ke arah perumusan sejumlah ketentuan
ideologis baru tentang tatanan sosial (Eisenstadt, 1986: 217).
Revolusi merupakan kasus ekstrim ledakan dari partisipasi politik. Tanpa
ledakan, revolusi tidak pecah. Namun, revolusi yang utuh melibatkan tahap kedua
yaitu pembentukan dan pelembagaan peta politik. Tolak ukur untuk mengkaji
seberapa jauh suatu revolusi itu benar-benar revolusioner yaitu kecepatan dan
ruang lingkup perluasan partisipasi politiknya. Sedangkan untuk mengetahui
keberhasilan suatu revolusi ialah wewenang dan stabilitas lembaga yang
melahirkannya. Semua situasi revolusioner dan kontra revolusi selalu didukung
oleh kekuatan asing yang berusaha untuk menghentikan partisipasi politik dan
menata kembali peta dengan sedikit keleluasaan tetapi terpusat secara tegas.
(Huntington, 1984: 416-421).
Ada berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari revolusi.
Pertama, perubahan secara keras terhadap rezim politik yang ada, yang didasari
oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri. Kedua, penggantian elite
politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Ketiga, perubahan secara
mendasar seluruh bidang kelembagaan utama, terutama dalam hubungan kelas
dan sistem ekonomi, yang menyebabkan modernisasi disegenap aspek kehidupan
sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi, serta menumbuhkan sentralisai
dan partisipasi dalam dunia politik. Keempat, pemutusan secara radikal dengan
segala hal yang telah lampau. Kelima, memberikan kekuatan ideologis dan
orientasi kebangkitan mengenai gambaran revolusioner. Revolusi tidak hanya
membawa transformasi kelembagaan dan keorganisasian, melainkan juga
perubahan terhadap sistem pendidikan dan sistem moral, yang akan menciptakan
atau melahirkan manusia baru (Eisenstadt, 1986: 3-4).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Menurut Eisenstadt (1986: 248-249) keadaan yang dapat menimbulkan
revolusi:
a. Terdapat tiga aspek utama yang menerobos peradaban tradisional
keperadaban modern. Aspek-aspek tersebut ialah: 1) Peralihan dari pola
keabsahan kewenangan politik yang tradisional atau tertutup kesuatu pola
terbuka; 2) Peralihan dari sistem stratifikasi (sistem kelas) tradisional ke
sistem stratifikasi terbuka yang terbuka yang berakar atau berhubungan
dengan gerakan ke arah ekonomi pasar umumnya dan ekonomi perindustrian
pada umumnya; 3) Penciptaan dan/atau penyatuan unit-unit kemasyarakatan
ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan politik kebudayaan internasional yang
terus berubah.
b. Pertemuan aspek-aspek tersebut menyebabkan pusat dan kelompok-kelompok
tradisional memperoleh sejumlah masalah yang menghendaki pengertian
kembali seluruh aturan-aturan dasar interaksi sosial utama dan sumber
kelembagaan mendasar, terutama sekali, aturan-aturan dasar dan sumber-
sumbernya yang berhubungan dengan akses ke kekuasaan dan struktur pusat-
pusat politik.
c. Tumbuhnya diferensiasi sosio-ekonomi mengakibatkan terjadinya gerakan
protes, perjuangan politik dan pembaharuan, dengan sejumlah besar
kelompok yang siap untuk mobilisasi sosial.
Revolusi mempunyai andil dalam perubahan integral di suatu lingkup
masyarakat. Perubahan integral itu tentunya menimbulkan dampak perubahan.
Menurut Kristeva (2011: 35) dampak perubahan dalam revolusi setidaknya
terdapat lima hal. a. perubahan dengan cakupan terluas, menyentuh semua tingkat
dan dimensi masyarakat, kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia;
b. perubahan terjadi secara radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan
fungsi sosial; c. perubahan terjadi sangat cepat, tiba-tiba; d. revolusi adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
perubahan paling menonjol; e. waktu kejadiannya luar biasa cepat dan karena itu
sangat mudah diingat.
Menurut Goldstone dalam Kristeva (2011: 40) revolusi akan terjadi bila
ada persaingan yang mampu memobilisasi sumber daya secara besar-besaran yang
diperlukan untuk merebut kekuasaan dari rezim lama. Terdapat dua kekuasaan
besar yang saling bersaing untuk menjaga eksistensi kekuasaan. Pada kasus ini
PDRI; bersaing dengan Belanda untuk mempertahankan eksistensi kekuasan di
Indonesia. Tentunya persaingan itu melibatkan kotak senjata dan mobilisasi
militer. Persaingan yang timbul antara kedua belah pihak merupakan tindakan
revolusioner. Atau merupakan tindakan untuk mengubah dengan tindakan
kekerasan. Tindakan revolusi merupakan situasi persaingan terhadap kedaulatan
ganda. Menurut Tilly dalam Kristeva (2011: 41) ciri dari bentuk revolusioner
yaitu kedaulatan ganda atau dengan kata lain pelipat gandaan pemerintahan yang
sebelumnya di bawah kontrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan
antara dua atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol
atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal.
Terdapat situasi dan kondisi khusus yang menyebabkan meletusnya
revolusi. Pergolakan revolusi mempunyai sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu
tertanam dalam: a. Struktur masyarakat; b. perubahan kependudukan; c. struktur
dan konjuktur ekonomi; d. perkembangan pemikiran dari kelas menengahnya;
e. evolusi politik. Keseluruhan alasan inilah yang selalu menjadi sebab musabab
sebuah revolusi. Revolusi fisik Indonesia merupakan gerakan anti penjajahan dan
perubahan atas rezim lama. Mencakup perubahan pada aspek masyarakat
Republik Indonesia. Para pemimpin Republik Indonesia memprakarsai terjadinya
revolusi fisik dan rakyat mendukung pergerakan itu dengan terlibat secara
langsung. Revolusi Indonesia pada hakikatnya adalah gerakan dari atas yang
diprakarsai dan dipimpin oleh elite politik. Selanjutnya, menyusul segera gerakan
masa di kalangan rakyat yang sangat spontan dan penuh antusiasme . . . mampu
membangkitkan kesadaran anti imperalis dan nasional (Kartodirjo, 1999: 133).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2. Peran Politik
Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka seseorang berarti sudah menjalankan
peranannya. Antara peranan dan kedudukan sama-sama memiliki fungsi yang
saling terkait, bagaikan dua sisi mata uang, artinya tidak ada kedudukan tanpa
peranan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada peranan tanpa kedudukan. Masing-
masing kedudukan dan peranan akan ditentukan oleh norma-norma sosial setelah
seseorang berhubungan dengan orang lain. Peranan dan kedudukan seseorang
akan sangat erat hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, jika
seseorang sudah menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya
maka orang itu telah menjalankan suatu peran sosial (Setiadi & Kolip, 2011: 435-
436).
Setiap orang memiliki berbagai macam peranan yang berasal dari pola
pergaulan hidupnya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh masyarakat
menentukan apa yang diperbuat bagi masyarakat. Peranan sangat penting karena
peranan itu mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang berada
pada batas-batas tertentu. Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Jadi, seseorang dapat menduduki suatu posisi dalam
masyarakat serta melaksanakan suatu peranan. Menurut Levinson dalam Soekanto
(1982: 243-244) peranan mencakup tiga hal:
a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat;
b. Suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi;
c. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Posisi atau tempat seseorang dalam proses politik merupakan unsur statis
yang menunjukkan peran individu dalam gerakan politik. Peranan menunjukkan
pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Sesorang yang menduduki
suatu posisi atau tempat serta menjalankan suatu peranan tentu melaksanakan
tindakan politik. Setiap peranan bertujuan supaya antar individu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
melaksanakan peranan tadi dengan orang-orang disekitarnya yang tersangkut, atau
ada hubungannya dengan peranan tersebut, terdapat hubungan yang diatur oleh
nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati kedua belah pihak.
Menurut Miriam Budiarjo (1977:8) politik adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan
pribadi seseorang. Menurut Hoogerwerf dalam Ng. Philipus & Nurul Aini (2006:
90) politik sebagai pertarungan kekuasaan.
Peran politik adalah fungsi seseorang dalam suatu sistem politik yang
menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem politik.
Proses menentukan dan melaksanakan tujuan menyangkut perilaku penting yang
dilakukan bagi kepentingan orang banyak, konsep pemikiran yang dicetuskan
dalam sebuah sistem, dan selalu terkait dengan perebutan kekuasaan. Setidaknya
melalui ketiga hal itu peran politik dapat terjadi.
Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu
yang berpolitik. Peran menjadi struktur dari bangunan politik itu sendiri. Ini
diungkapkan Almond dan Powell demikian, “Unit dasar struktur politik adalah
peran individu. Peran merupakan pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan
lewat harapan-harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain”
(Winarno, 2007: 83).
Berdasarkan uraian di atas, peran politik menyangkut aktivitas dalam
kegiatan berpolitik. Aktivitas berpolitik merupakan keterlibatan atau partisipasi
individu dalam kegiatan politik. Pembacaan dari partisipasi individu dalam
kegiatan berpolitik akan memperlihatkan perannya pada suatu sistem politik.
Menurut David dalam Arifin Rahman (1998: 128-129) partisipasi adalah
penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi
organisasinya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk
berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam
setiap pertanggungjawaban bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:67-68) partisipasi politik
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh warga negara untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan Menurut Huntington partisipasi
politik hanya sebagai kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah. Ramlan Surbakti mengartikan partisipasi
politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan
pemimpin pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih
pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Menurut Herbert McClosky dalam Miriam Budiarjo
(1981:1) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat yang mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Menurut Verba, Nie dan Kim dalam Afan Gafar (1991: 26) partisipasi
politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dan bertujuan untuk
mempengaruhi pemerintah dalam mengisi jabatan yang ada, serta dalam
mengambil keputusan. Partisipasi politik mengacu pada semua aktivitas yang sah
oleh semua warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk
mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang
mereka ambil.
Istilah partisipasi politik diterapkan pada aktivitas orang dari semua
tingkat sistem politik. Perbandingan pada setiap negara dalam menentukan tingkat
partisipasi politik warganya sangat bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan politik, memberi suara, atau untuk menduduki jabatan
pemerintah telah dibatasi hanya untuk kelompok kecil orang yang berkuasa, kaya,
dan keturunan terpandang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Masoed&Colin MacAndrews
(1993:45-46), terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah
partisipasi dalam proses politik, yaitu:
a. Modernisasi: komersialisasi pertanian, industrialisai, urbanisasi yang
meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan
pembangunan media komunikasi massa.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Begitu terbentuk suatu kelas
pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses
industrialisasi dan modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan komusikasi massa modern.
d. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan.
Bentuk-bentuk partisipasi politik: konvensional (pemberian suara
/voting). Diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam
kelompok kepentingan, komunikasi individual dengan pejabat politik dan
administratif) maupun konvensional (pengajuan petisi, berdemonstrasi,
konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, tindakan
kekerasan politik terhadap manusia, perang gerilya dan revolusi).
Menurut Gabriel A. Almond dalam Mohtar Mas’oed & MacAndrews
Colin (1993: 45-49) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan seseorang dalam
parsipasi politik antara lain: pendidikan tinggi, perbedaan jenis kelamin dan status
sosial ekonomi, dan keanggotaan dalam partai politik. Menurut Surbakti dalam
Sudijono Sastroatmodjo (1995: 74) partisipasi politik dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga
negara mengajukan usul dan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, ikut serta dalam pemilihan pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Sedangkan partisipasi pasif berupa mentaati peraturan, menerima, dan
melaksanakan begitu saja keputusan pemerintah.
Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut
aspek sosial maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktivitas politik tidak hanya
menyangkut apa yang telah dilakukan, tetapi juga menyangkut hal-hal atau motif
apa yang mendorong individu untuk berpartisipasi. Saint dalam Sudijono
Sastroatmodjo (1995: 95) menyebutkan ada lima faktor yang mendorong
partisipasi politik masyarakat Indonesia. a. adanya kebebasan berkompetisi
disegala bidang; b. adanya kenyataan berpolitik secara luas dan terbuka; c. adanya
keleluasaan untuk mengorganisasi diri sehingga organisasi masyarakat dan partai
dapat tumbuh subur; d. adanya penyebaran sumber daya politik di kalangan
masyarakat yang berupa kekayaan dalam masyarkat; e. adanya distribusi
kekuasaan di kalangan masyarakat sehingga tercipta suatu pertimbangan
kekuatan.
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Afan Gafar
(1991: 27) menggolongkan partisipasi politik dalam beberapa bentuk kegiatan
seperti berikut:
a. Electoral Activities, yang mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih,
pencalonan, kampanye, pemberian suara dan juga penghitungan suara.
b. Lobbying, aktivitas individual ataupun kelompok untuk menghubungi pejabat
pemerintah atau pemimpin politik untuk mempengaruhi keputusan mereka
tentang sesuatu hal. Umumnya tindakan ini diharapkan untuk memperoleh
dukungan ataupun untuk menciptakan oposisi.
c. Organizatonal Activities, yang mencakup kegiatan yang berkaitan dengan
dukungan terhadap suatu organisasi baik politik maupun non politik,
termasuk di dalamnya menjadi anggota organisasi untuk mempengaruhi
pemerintah.
d. Contacting, tindakan individu yang menghubungi secara langsung pejabat
pemerintah untuk menyampaikan segala sesuatu persoalannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
e. Violence, tindakan yang berbentuk unujuk rasa dapat juga dimasukkan dalam
kategori partisipasi politik, seperti misalnya demonstrasi, bahkan kekerasan
politik. Biasanya tindakan seperti ini dijalankan kalau saluran untuk
menyampaikan aspirasi politik tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Percaturan Politik
Menurut Hotman M. Siahaan dalam John Pieris (2004: 19-20) percaturan
politik di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik-konflik yang
melibatkan umat beragama, struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga
keulamaan, dan ideologi-ideologi keagamaan. Keempat kategori ini jelas terpisah
satu sama lain, namun terikat sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan. Para
tokoh politik, baik dari kalangan ulama maupun awam, sama-sama berusaha
menggunakan lambang-lambang keagamaan sebagai salah satu alat perjuangan
untuk mendapatkan kekuasaan. Hotman mengingatkan bahwa langkah politik juga
diambil ketika orang mulai menyadari bahwa mereka bagian dari kelompok
politik yang memiliki identitas yang sama.
Menurut Kuntowijoyo (1991: 143-144) terdapat tiga teori kerangka
percaturan politik dalam hubungannya dengan mobilisasi dan partisipasi politik,
yaitu:
a. Kebudayaan politik
Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay, dan
Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi
priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan
kebudayaan pengelompokkan politik.
b. Politik patron-client
W. F. Wertheim mengajukan politik Patron-Client sebagai pola kehidupan
politik Indonesia. Ini berarti bahwa pengelompokkan politik tidak
berdasarkan budaya maupun solidaritas kelas, tetapi berdasarkan hubungan
patron-client, yang merupakan hubungan berantai yang tak putus-putus.
Massa akan mengikuti para pemimpin yang alami. Menurut Leslie Palmer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
bahwa para anggota birokrasi yang memerintah benar-benar memperoleh
penghormatan tertentu dari penduduk, dengan demikian mampu memegang
kekuasaan atas penduduk itu.
c. Ekonomi politik
Menurut Richard Robison, suatu kelas pemilik modal birokratik telah tumbuh
subur karena kebijaksanaan pembangunan. Persekutuan mereka dengan
kapitalisme dunia telah membuat Indonesia hanya jadi satu mata rantai dari
serangkaian bagian kerja dan eksploitasi ekonomi internasional.
Percaturan politik dalam pembahasan ini berkaitan dengan kebudayaan
politik. Pola kebudayaan politik dikemukakan oleh Clifford Geertz, Robert Jay,
dan Donald Emerson bahwa tiga kebudayaan besar yaitu kebudayaan tinggi
priyayi, kebudayaan rakyat abangan, dan kebudayaan santri merupakan
kebudayaan pengelompokkan politik. Ini merupakan pandangan tahun 1950-an
ketika Republik Indonesia menganut politik liberal. Politik liberal ini memberikan
peluang kepada partai-partai politik untuk mengelompok menurut kelompok
solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal ini berarti tiap partai politik
senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu kebudayaan tingkat bawah.
Demikianlah elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum abangan dalam
PKI, dan kaum santri dalam Masyumi (Kuntowijoyo, 1991: 143-144).
Emerson (1976: 24) melihat elite Indonesia dari individu yang berperan
penting dalam kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik di latar
belakangi oleh perbedaan orientasi. Emerson melihat percaturan politik di
Indonesia dari sisi kebudayaan politik. Elite dalam konteks budaya politik itu
menurut Emerson sebagai percaturan politik yang ia sebut Political Culture.
Menurut Emerson (1976: 63-64) Islam memiliki peranan penting dalam
menentukan arah maupun perkembangan budaya politik Indonesia. Hal ini
diamati oleh Emerson berlandaskan apa yang dilakukan oleh Geertz, yang
membagi 3 ciri Islam di Indonesia, yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Secara
khusus Emerson mengamati 2 bentuk kebudayaan yaitu kebudayaan politik santri
dan kebudayaan politik abangan. Dua bentuk kebudayaan tersebut dianalogikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
melalui dua individu yaitu Usman dari kebudayaan politik santri dan Purwoko
dari kebudayaan politik abangan. Budaya politik santri lebih menyebar
dibandingkan dengan kebudayaan politik abangan yang hanya terpusat di Jawa.
Elite politik santri lebih lemah dari elite politik abangan. Golongan santri
memperoleh kekuatan yang kuat namun terasing oleh masyarakat. Pengasingan
dilakukan oleh Belanda. Santri dilarang berbaur dalam masyarakat terutama
masalah politik, apalagi yang dianggap menentang kolonialisme.
Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat yang memiliki
pengaruh dalam struktur dan sistem politik. Almond dan Verba dalam Sudijono
Sastroatmodjo (1995: 36) mengartikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik antara masyarakat
bangsa itu. Tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
Gabriel A. Almond menunjukkan bahwa kebudayaan politik meliputi
sikap-sikap dari warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan politiknya
(Mohtar Masoed & Colin MacAndrews: 1993: 33). Sikap warga negara berupa
tuntutan, respon, dukungan, terhadap sistem politik terdapat pada hubungan antara
kebudayaan politik dan sistem politik. Di dalamnya terdapat maksud individu
untuk melakukan kegiatannya beserta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pergeseran politik dalam sistem politik (Sastroatmodjo, 1995: 37).
Menurut Almon dalam Mohtar Masoed & Colin MacAndrews (1993: 42)
terdapat tiga model kebudayaan politik: model pertama adalah masyarakat
demokratis industriil. Dalam sistem ini terdapat banyak aktivis politik yang
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara,
publik pemberi minat politik yang mendiskusikan secara kritis moral-moral
kemasyarakatan dan pemerintahan.
Model kedua adalah sistem otoriter. Dalam model ini terdapat kelompok
masyarakat yang memiliki sikap politik yang berbeda. Mahasiswa dan kaum
intelektual yang berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan
protes. Kelompok pengusaha, kepala gereja, dan tuan tanah mendiskusikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
masalah pemerintahan dan aktif dalam lobying. Sebagian masyarakat sebagai
subjek pasif, mengakui pemerintahan dan tunduk kepadanya, tetapi tidak
melibatkan diri dalam urusan masyarakat. Model ketiga yaitu sistem demokrasi
praindustri. Negara dengan model seperti ini memiliki sedikit sekali partisipan
terutama dari profesional terpelajar, usahawan, tuan tanah. Sebagian besar warga
negara secara langsung terkena kebijakan pemerintah, memiliki pengetahuan dan
keterlibatan dalam kehidupan politik yang sangat kecil.
Budaya politik suatu masyarakat dengan sendirinya berkembang di
dalam dan dipengaruhi kompleks nilai yang ada dalam masyarakat tersebut.
Budaya politik bertujuan untuk memelihara stabilitas sistem politik yang
demokratis. Berfungsinya budaya politik dengan baik pada prinsipnya ditentukan
oleh tingkat keserasian antar budaya itu dengan struktur politiknya (Sodijono
Sastroatmodjo, 1995: 40-41).
Partisipasi politik dan mobilisasi memiliki hubungan dengan percaturan
politik. Partisipasi berkaitan dengan inisiatif untuk melakukan aktifitas yang
berasal dari diri individu sendiri, yang bertujuan untuk membantu pemerintah
dalam menyeleksi individu tertentu untuk mengisi jabatan politik yang ada dan
untuk membantu pemerintah dalam menentukan pilihan kebijaksanan yang
diperlukan. Mobilisasi merupakan tindakan yang dilakukan individu bukan atas
keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh orang lain, baik secara individu
maupun kelompok (Prospektif, 1991: 28).
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk
partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui
mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik
dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan
kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam
pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai; kelompok
penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan
perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
duduk dalam badan itu; berkampanye, dan menghadiri kelompok diskusi, dan
sebagainya (Miriam Budiarjo, 1977: 161).
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Rakyat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945. Negara yang baru terbentuk ini tidak langsung muncul menjadi
negara yang teratur, negara yang serasi, melainkan adanya pertarungan antara
individu-individu dan kekuatan sosial yang bertentangan. Pada periode ini penuh
dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Aksi dilancarkan sebagai
pertahanan stabilitas kedaulatan Republik Indonesia dalam bentuk kontak senjata
pada tahun 1945-1950 yang dikenal sebagai masa Revolusi Fisik Indonesia.
Selain membentuk Badan Kelengkapan negara, dan juga dilaksankan
kebijakan pendirian berbagai partai politik yang berlandaskan Maklumat Wakil
Presiden no X tanggal 3 November 1945. Parta-partai politik dibentuk atas dasar
pemikiran-pemikiran revolusioner dari para anggotanya. Partai-partai politik ini
mengelompok menurut kelompok solidaritas budaya atau aliran. Aliran dalam hal
ini berarti tiap partai politik senantiasa terkait dengan para pengikut dari suatu
kebudayaan tingkat bawah. Elit birokrasi priyayi bergabung dalam PNI, kaum
Kemerdekaan Republik Indonesia
Peran Politik Sjafruddin
Prawiranegara
Percaturan Politik Indonesia
Revolusi Fisik Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
abangan dalam PKI, dan kaum santri dalam Masyumi. Sjafruddin Prawiranegara
yang hidup di lingkungan muslim yang taat memilih untuk ikut bergabung
menjadi anggota partai Masyumi.
Unsur dasar dari proses politik ditopang dengan adanya peran individu
yang berpolitik. Sjafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh Indonesia
yang memiliki peran politik penting, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Setelah Indonesia merdeka, Ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada bulan Oktober 1945. Pada kabinet
Sjahrir yang ke-2, Sjafruddin Prawiranegara duduk sebagai Menteri Muda
Keuangan.
Pada kabinet Hatta yang diumumkan pada 29 Januari 1948, Sjafruddin
Prawiranegara duduk sebagai Menteri Kemakmuran. Menjadi Ketua Pemerintah
Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat saat terjadinya Agresi Militer
Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Pada masa RIS dalam kabinet Hatta,
Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan. Salah satu kebijakan
ekonomi yang diterapkan yaitu “Gunting Sjafruddin”. Menjadi Gubernur Bank
Indonesia yang pertama tahun 1953. Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958 sebagai Perdana Mentri sekaligus
Menteri Keuangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan
Politik di Indonesia Tahun 1945-1961”, dilakukan menggunakan teknik
pengumpulan data melalui studi pustaka dengan membaca literatur-literatur yang
terdapat di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi. Beberapa lokasi
perpustakaan yang dipergunakan guna melakukan penelitian studi pustaka antara
lain:
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b. Perpustakaan Fakultas dan Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret Surakarta;
c. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta;
d. Perpustakaan Daerah Surakarta;
e. Perpustakaan Monumen Pers (perpustakaan, arsip surat kabar dan
majalah) Surakarta;
f. Perpustakaan Daerah Yogyakarta;
g. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi, Daerah Istimewa
Yogyakarta;
h. Jogja Library Center;
i. Perpustakaan Ignatius Yogyakarta;
j. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;
k. Arsip Nasional Republik Indonesia;
l. Buku koleksi Pribadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai
dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2011 sampai selesainya
penulisan skripsi ini pada bulan Juli 2012.
B. Metode Penelitian
Sejak penelitian dan penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah, maka
penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sejarah. Metode itu sendiri
berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara
efektif dan efisien. Metode bersifat lebih praktis ialah memberikan petunjuk
mengenai cara, prosedur, atau teknik pelaksanaannya secara sistematik.
Pada umumnya, metode diketahui sebagai cara atau prosedur untuk
mendapatkan objek. Juga didefinisikan metode adalah cara untuk berbuat atau
mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Jadi, metode
erat hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknis yang sistematis untuk
melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
objek penelitian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 11).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau
metode sejarah. Metode historis digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk
merekonstruksi peristiwa masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-
bukti untuk menegakkan fakta dan untuk memperoleh kesimpulan yang kuat.
Metode sejarah dapat diartikan sebagai metode penelitian dan penulisan sejarah
dengan menggunakan cara, prosedur atau teknik yang sistematik sesuai dengan
asas-asas dan aturan ilmu sejarah.
Pengertian metode historis secara konvensional adalah telaah terhadap
dokumen atau sumber lain yang berisi informasi tentang masa lampau dan
dilaksanakan secara sistematis. Penelitian dengan metode historis menitik-
beratkan pada telaah dokumen yang merupakan hasil rekaman para ahli dari
berbagai bidang (Suharsimi Arikunto, 2003: 332).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Nasir (1985: 55-56) menyatakan metode historis atau metode sejarah
adalah usaha untuk merekonstruksi masa lampu secara objektif dan sistematis
dengan mengumpulkan, mengevaluasi fakta dan menarik kesimpulan secara tepat.
Metode historis juga menjadi suatu prosedur pemecahan masalah dengan
menggunakan data masa lalu atau peninggalan untuk memahami kejadian atau
suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa
sekarang. Serta memahami kejadiaan masa sekarang dalam hubungannya dengan
kejadian masa lampau (Nawawi, 1993: 79).
Gilbert J. Garragan, S. J (1957: 33) dalam bukunya A Guide to Historical
Method mendefinisikan metode sejarah sebagai seperangkat asas dan aturan yang
sistematik yang didesain guna membantu secara efektif untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis hasil-
hasil yang dicapainya, yang pada umumnya dalam bentuk tertulis.
Richard F. Clarice (1927: 462) dalam bukunya Logic (London and New
York, 1927) mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar
untuk mencapai kebenaran sejarah. Louis Gottschalk (1983:18;19;32) memaknai
metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman,
dokumen-dokumen, dan peninggalan masa lampau yang otentik dan dapat
dipercaya, serta membuat interpretasi dan sintesis atas fakta-fakta tersebut
menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Daliman, 2012: 27).
Menurut Nugroho dalam Louis Gottschalk (1987: 18) prosedur penelitian
dan penulisan sejarah bertumpu pada empat kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan objek yang berasal dari suatu jaman dan pengumpulan
bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;
b. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik;
c. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang
otentik;
d. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau
suatu penyajian yang berarti.
e. Prosedur itulah yang disebut metode sejarah Sejarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Metode historis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara: pertama, mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang terkait dengan
Sjafruddin Prawiranegara tahun 1945-1961 di Indonesia. Kedua, sesudah sumber
terkumpul, dilakukan pengujian dan analisis sumber dengan cara membandingkan
antara satu sumber dengan sumber yang lain. Apabila dari sumber yang
dibandingkan mempunyai kesamaan isi, berarti sumber tersebut valid. Maksudnya
apabila sumber satu dengan lainnya menuliskan berita yang sama tentang Peranan
Sjafruddin Prawiranegara dalam Percaturan Politik masa Revolusi di Indonesia,
berarti sumber tersebut dapat dijadikan sebagai data dalam penulisan karya ilmiah
ini. Ketiga, mencari dan mengumpulkan dokumen atau arsip yang terkait dengan
Peran Sjafruddin Prawiranegara Masa Revolusi Indonesia. Selanjutnya dokumen
tersebut dijadikan sebagai alat penguji kebenaran bagi sumber sekunder yang
berhasil dikumpulkan, di samping sebagai sumber primer. Melalui metode
sejarah, usaha merekontruksi secara kritis dilakukan sebagai upaya menghasilkan
historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Helius Sjamsuddin (1994:73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan
kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past
actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) yang
mencakup segala macam avidensi (bukti). Bukti itu menunjukkan segala aktivitas
mereka di masa lalu, baik berupa tulisan atau lisan serta sudah ditinggalkan
manusia.
Sumber data dalam penulisan ini menggunakan sumber tertulis. Sumber
tertulis dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah
kesaksian seorang saksi secara empiris. Dapat juga seperti alat mekanis seperti
dektafon yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Sedangkan sumber sekunder, yakni kesaksian dari siapapun yang bukan saksi dan
tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya (Louis Gottschalk, 1986:35).
Penelitian ini menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
tertulis primer berupa arsip dan koran. Sumber primer arsip seperti Arsip
Sjafruddin Prawiranegara (Arsip no 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 14, dan 15), Arsip
Mohammad Rasjid (Arsip no. 5, 25, 28, 32, 57, dan 80), dan Arsip Kementerian
Penerangan (Arsip no. 1, 23, 139, dan 216). Sumber primer koran seperti:
Kedaulatan Rakjat tahun 1945, tahun 1946, tahun 1949, dan tahun 1950.
Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang relevan. Sumber
sekunder yang digunakan antara lain: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc Turnan Kahin tahun
1995. Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I karya
Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 1986. Ekonomi dan
Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya
Sjafruddin Prawiranegara yang disunting Ajip Rosidi tahun 2011. Revolusi
Nasional Indonesia karya Anthony J. S. Reid tahun 1996. Ekonomi Neo-Klasik
dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin
Prawiranegara karya M. Dawam Rahardjo Tahun 2011. Terminologi Sejarah
1945-1950 & 1950-1959 karya A.B. Lapian, Susanto Zuhdi, Sumardi, dkk
tahun1996. Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada ALLAH SWT karya
Ajip Rosidi tahun 2011. Ekonomi dan Keuangan. Makna Ekonomi Islam.
Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2 karya Sjafruddin Prawiranegara, yang
disunting Ajip Rosidi tahun 2011.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi
pustaka. Studi pustaka merupakan cara untuk mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis berupa arsip dan buku-buku tentang pendapat, teori, dalil,
atau hukum yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Untuk
mempermudah seorang peneliti dalam melakukan studi pustaka, diperlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pengetahuan tentang peraturan dan organisasi perpustakaan sebagai sumber
literatur yang diperlukan. Di samping itu, diperlukan juga pemahaman tentang
sistem bibiliography dan cara mencari materi yang berhubungan dengan masalah
yang diselidiki dari literatur yang tersedia (Nawawi, 1993: 133).
Kegiatan studi pustaka pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut: (1) mengumpulkan sumber primer, sumber sekunder,
ensiklopedi dan buku-buku literatur yang terkait dengan Sjafruddin
Prawiranegara; (2) membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku
literatur karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema
penelitian yaitu tentang Sjafruddin Prawiranegara, berdasarkan periodisasi waktu
atau secara kronologis; (3) mengumpulkan data yang sudah diperoleh dari
perpustakaan untuk digunakan dalam penyusunan karya ilmiah.
E. Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurahman (2007: 73)
interpretasi sejarah sering kali disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis
sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang
menyatukan. Analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama
dalam interpretasi.
Analisis pada penelitian ini dilakukan sesudah kegiatan pengumpulan data.
Tindakan analisis dimulai dari klasifikasi data. Data-data yang diklasifikasikan,
selanjutnya diseleksi dan dibandingkan. Kemudian diinterpretasikan menjadi
keterangan lengkap tentang fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut dirangkai menjadi
satu kesatuan di dalam penulisan.
F. Prosedur Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian historis. Tahap-tahap
prosedur penulisannya melalui langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi,
dan historiografi. Prosedur penulisan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar 2. Prosedur Penelitian Sejarah
Keterangan:
1. Heuristik
Kegiatan pengumpulan data yang relevan dilakukan melalui studi
kepustakaan, yaitu usaha mendapatkan data tertulis dari buku-buku literatur,
majalah, surat kabar, dan sumber tertulis lainnya. Heuristik merupakan
keterampilan dalam menemukan, menangani, dan memerinci, bibilografi, atau
mengklasifikasikan dan merawat catatan-catatan (Abdurahman, 2007). Tak lupa
tindakan membaca buku-buku tersebut satu per satu dan pencatatan apabila
ditemukan bagian yang terkait dengan tema penulisan. Melalui usaha tersebut
data-data yang relevan dapat terkumpul guna kepentingan penulisan.
2. Kritik
Sumber-sumber yang telah berhasil dikumpulkan tidak begitu saja
diterima. Langkah berikutnya yaitu menyaringnya secara kritis. Langkah-langkah
inilah yang disebut kritik sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja
intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan
objektivitas suatu kejadian (Gottschalk&Garraghan dalam Suhartono, 2010: 35).
Tindakan kritik diperlukan guna memperoleh keabsahan sumber.
Heuristik Kritik
Fakta Sejarah Peristiwa Sejarah
Interpretasi Historiografi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Data-data sejarah yang terpercaya yang dapat digunakan dalam pendirian
sejarah sebagai bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah adalah kumpulan fakta-
fakta atau informasi-informasi sejarah yang sudah diuji kebenarannya melalui
proses validasi, yang dalam ilmu sejarah disebut kritik. Melalui kritik sumber
diinginkan supaya setiap data sejarah yang diberikan informan diuji terlebih
dahulu validitas dan reliabilitasnya, sehingga semua data itu sesuai dengan fakta-
fakta sejarah yang sesungguhnya. Kritik meliputi kritik ekstern dan kritik intern.
a. Kritik Ekstern
Kritik ekstern adalah usaha mendapatkan otentisitas sumber dengan
melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik ekstern ini mengarah
pada pengujian terhadap aspek luar dari sumber. Otentisitas mengarah pada materi
sumber yang sejaman. Jenis-jenis fisik dari materi sumber seperti kertas dengan
ukuran, jenis, kualitas dan bahan yang bagaimana, dokumen ditulis atau diketik,
atau diketik komputer, jenis tinta yang bagus atau isi ulang (Suhartono,2010: 36).
Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 104) kritik ekstern adalah cara
melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber
sejarah. Kritik ekstern mencoba menguji otentisitas serta integritas sebuah sumber
sejarah. Jadi, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan integralnya.
Aktivitas lain yang dilakukan dalam kegiatan kritik ekstern ialah mengkaji
satu per satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Pengkajian
meliputi siapa pengarangnya, apakah pengarangnya seorang sejarawan atau tidak?
Umumnya kalau pengarangnya seorang sejarawan maka sumber tersebut dapat
dipercaya. Kalau bukan dapat diragukan kebenaran sumber itu. Selanjutnya usaha
pengkajian bahasa dan tulisannya apakah masih menggunakan ejaan lama atau
ejaan yang telah disempurnakan. Kajian terakhir ialah melihat kapan dan di mana
sumber itu dibuat. Kegiatan kritik ekstern tersebut juga berlaku pada sumber-
sumber yang lain.
b. Kritik Intern
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Kritik intern adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber,
maksudnya apakah isi dokumen itu terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung
bias, dikecohkan, dan sebagainya. Kritik intern ditujukan untuk memahami isi
teks. Pemahaman isi teks diperlukan latar belakang pikiran dan budaya
penulisnya. Isi teks sering bermakna ganda dan dimaksudkan sesuai dengan sudut
pandang penulis. Dalam teks banyak hal yang tersembunyi dan tidak disampaikan
dalam bahasa yang lugas, tetapi dalam bahasa yang tertutup dan berlebihan
(Suhartono, 2010: 37). Kritik intern mencoba melihat dan menguji dari dalam
reliabilitas dan kredibilitas isi dari sumber-sumber sejarah (Helius Sjamsuddin,
1996: 118).
Aktivitas dalam melakukan kegiatan kritik intern ialah membaca satu per
satu sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan. Usaha memahami isi dari
masing-masing sumber tersebut diperlukan untuk menafsirkan semua yang ditulis
dalam sumber itu benar adanya dan dapat dipercaya. Untuk membuktikan
kebenaran tersebut perlu dibandingkan antara satu sumber dengan lainnya.
Perbandingan tersebut merupakan upaya mendapatkan fakta sejarah yang dapat
mendukung karya ilmiah ini.
3. Interpretasi
Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis. Menganalisis
sama dengan menguraikan. Dari data yang berfariasi dapat dianalisis setelah
ditarik sacara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis melakukan
penyatuan. Data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian disimpulkan. Proses
berpikir kedua cara ini memang bisa dibedakan namun hasil yang diharapkan
tidak berbeda (Suhartono, 2010: 56).
Bentuk upaya interpretasi pada penelitian ini dilakukan dengan
meninggalkan unsur subyektivitas. Karena keanekaragaman data yang diperoleh
dari berbagai buku diperlukan usaha membandingkan dengan diperlukan sikap
obyektif. Interpretasi dalam penulisan penelitian ini, dilakukan dengan
menetapkan makna serta hubungan fakta-fakta yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
4. Historiografi
Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil
penelitian sejarah yang telah dilakukan. Historiografi harus dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal (fase perencanaan)
sampai dengan akhir (penarikan kesimpulan). Jadi dapat dilihat mutu dari
penelitian itu sendiri (Dudung Abdurahman, 2007: 76).
Syarat umum yang harus diperhatikan peneliti dalam pemaparan sejarah
adalah peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan dengan bahasa yang
baik; terpenuhinya kesatuan sejarah; menjelaskan apa yang ditemukan peneliti
dengan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan
diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca; pemaparan haruslah argumentatif,
maksudnya saat mengerahkan ide-idenya dalam merekostruksi masa lampau itu
didasarkan atas bukti-bukti yang terseleksi, bukti yang cukup lengkap, dan detail
fakta yang akurat. Alur pemaparan data harus selalu diurutkan kronologisnya,
walaupun yang ditunjukkan dalam pokok setiap pembahasan adalah tema tertentu
(Dudung Abdurahman, 2007: 76-77). Dari langkah-langkah tersebut dapat
tersusun sebuah hasil penelitian berupa skripsi dengan judul “Sjafruddin
Prawiranegara Dalam Percaturan Politik Di Indonesia Tahun 1945-1961”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Kehidupan Sosial Politik Sjafruddin Prawiranegara
Sjafruddin Prawiranegara lahir di Anyar Kidul, Banten 28 Februari 1911.
Sjafruddin Prawiranegara merupakan anak dari Raden Arsjad Prawiraatmadja dan
Noer’aini. Raden Arsjad Prawiraatmadja seorang asisten Wedana (camat) di
Anyar Kidul, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten. Raden Arsjad masih
keturunan Sultan Banten dari perkawinan R. H. Chattab Aria Prawiranegara
dengan istri kedua yaitu Nyi Mas Hajah Salbiah. Noer’aini, merupakan puteri dari
Mas Abidin Mangoendiwirja camat di Cening, Kawedanan Kubangkondang,
kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten. Mas Abidin Mangoendiwirdja putera
Soetan Alam Intan dari Minangkabau yang masih keturunan Pagaruyung (Kahin,
1989: 101).
Sejak kecil Sjaffruddin Prawiranegara dididik untuk menjalankan
Syariat Islam. Setelah dikhitan, diajari mengaji Al-Qur’an, dan berpuasa yang
dimulai dari usia 4 atau 5 tahun. Sjafruddin kemudian masuk ke ELS
(Europeesche Lagere School, atau Sekolah Rendah untuk orang-orang Eropa yaitu
orang Belanda atau Eropa lainnya serta yang dianggap sederajat). Di ELS,
Sjafruddin diwajibkan untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa yang
dipakai di sekolahnya dan juga dibiasakan menggunakan bahasa Belanda dengan
Raden Arsjad saat berada di rumah, walaupun dengan saudara yang lain
menggunakan bahsa Sunda (Rosidi, 2011: 49-50).
Pada tahun 1924, Raden Arsjad dipindahkan tugasnya ke Ngawi di Jawa
Timur (Rosidi, 2011: 36-38). Pemindahan seorang pegawai pamong praja dari
satu tempat ke tempat lain, asalkan satu provinsi adalah hal yang biasa. Namun
pemindahan sampai ke karesidenan lain, bahkan ke provinsi lain dari Serang di
Provinsi Jawa Barat ke Ngawi di Provinsi Jawa Timur, mempunyai arti
pemindahan sebagai hukuman administratif (Prawiranegara, 1986: 251).
Raden Arsjad meninggal pada tanggal 3 Maret 1939 ketika sedang
berpidato dalam suatu rapat untuk pemilihan anggota Dewan Provinsi Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Timur. Pidatonya diselingi kutipan ayat Al-Qur’an untuk memperkuat maksud
uraiannya, dan banyak mendapat perhatian dari rakyat Jawa Timur. Perilaku dan
langkah-langkah ayahnya sebagai priyayi yang tetap berjuang untuk kepentingan
rakyat dengan berpedoman pada Kitab suci Al-Qur’an, banyak dicontoh oleh
Sjafruddin Prawiranegara. Sebagai priyayi Raden Arsjad berjuang untuk
kepentingan rakyat dengan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an, merupakan
watak yang diturunkan kepada Sjafruddin yang selalu memperlihatkan sikap tegas
dan dalam menghadapi suatu dilema (Rosidi, 2011: 41-43).
Kehidupan Raden Arsjad sebagai priyayi tidak menghalanginya untuk
dekat dan memperjuangkan nasib rakyat. Walaupun menjadi anggota Sarekat
Islam, Raden Arsjad memakai pakaian Barat, karena SI tidak mengharamkan
orang Islam berpakaian Barat. Raden Arjad juga menghendaki anak-anaknya
bersekolah secara Barat, tidak seperti masa kecilnya yang dimasukkan ke
pesantren. Tiap sore anak disuruh belajar mengaji dan tetap berpedoman kepada
Al-Qur’an sambil tetap melaksanakan semua kewajiban sebagai seorang muslim
yang taat sesuai dengan aturan-aturan Islam. Raden Arsjad sering ceramah dengan
mengutip ayat-ayat Al-Quran. Kombinasi budaya dan gaya hidup itulah yang
menyebabkan Raden Arsjad dapat diterima kalangan santri dan abangan. Semua
sikap Raden Arsjad dan lingkungan beragama itu menjadi pedoman yang
membuat Sjafruddin dapat bergaul dengan kalangan santri modernis dan kaum
sosialis sekuler (Rahardjo, 2011:69).
Sjafruddin mengikuti ayahnya pindah ke Ngawi. Di Ngawi Sjafruddin
dimasukkan ke ELS juga (Prawiranegara yang disunting oleh Rosidi, 1986:251),
sesudah tamat dari ELS, Sjafruddin melanjutkan sekolah ke MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu Pendidikan Dasar yang diperluas, sama dengan
SMP sekarang) atas saran K. De Bijl yang merupakan kepala guru ELS Ngawi.
Sjafruddin belanjutkan lagi sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School,
Sekolah Menengah Umum, setingkat dengan SMA sekarang) A di Bandung
karena ketertarikannya terhadap kesusasteraan. Sesuadah menamatkan AMS pada
tahun 1931, Sjafruddin melanjutkan ke RHS (Rechts Hoge School, Sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tinggi Hukum) yang didirikan di Jakarta tahun 1924. Awalnya Sjafruddin ingin
melanjutkan ke Perguruan Tinggi Sastra, namun di Indonesia belum ada, dan baru
didirikan tahun 1941. Tidak mungkin juga untuk pergi ke Belanda karena keadaan
keuangan keluarga, maka Sjafruddin memutuskan masuk ke RHS. Pada bulan
September 1939, Sjafruddin lulus sebagai Meester in de Rechten/Sarjana Hukum
(Tim Penulis, 1990: 379).
Sjafruddin melamar pekerjaan di Perserikatan Perkumpulan-perkumpulan
Radio Ketimuran (PPRK) yang diketuai oleh M. Soetardjo Kartodikoesoemo,
setelah menamatkan pendidikannya di RHS. Sjafruddin diterima di PPRK dan
ditempatkan sebagai administratur PPRK merangkap sebagai redaktur Soeara
Timoer yaitu majalah PPRK. Pada tahun 1940 Sjafruddin diterima bekerja di
Departement van Financien (Departemen Keuangan), dan ditempatkan di Kantor
Inspeksi Pajak Kediri, Jawa Timur. Kemantapan kehidupannya dengan jabatan
yang cukup tinggi pada masa itu membut Sjafruddin merasa sudah saatnya
menikah. Pernikahan dilangsungkan di Buahbatu, Bandung pada tanggal 31
Januari 1941. Sjafruddin menikah dengan Tengku Halimah, puteri dari Radja
Sahaboedin seorang Camat di Buahbatu Bandung keturunan dari raja
Minangkabau dari Pangaruyung (Kahin, 1989:101).
Sjafruddin pernah aktif dalam organisasi mahasiswa yang bernama USI
(Unitas Studiosorum Indonesiensis) ketika menjadi mahasiswa RHS.
Perhimpunan mahasiswa ini didirikan pada tahun 1933. Para mahasiswa Indonesia
memilih menjadi anggota USI karena tidak suka berpolitik tetapi juga tidak ingin
masuk Studenten Corps yang anggotanya terutama mahasiswa-mahasiswa
Belanda yang hanya bersenang-senang, dan terlalu mahal bagi mahasiswa
Indonesia. Aktivitas USI terbatas hanya dalam bidang rekreasi dan kegiatan yang
menunjang studi. Organisasi ini tidak ikut campur dalam politik. Kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan antara lain berdiskusi, bermain olahraga,
membaca, dan berdarmawisata (Rosidi, 2011: 79-80). Komunitas USI dibentuk
oleh sejumlah Profesor konservatif Belanda untuk menekan kecenderungan
radikal kelompok pemuda dan mahasiswa yang mengusung nasionalisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Perkumpulan USI ini berorientasi pada budaya dan gaya hidup Eropa (Rahardjo,
2011:62).
Para mahasiswa USI merupakan laki-laki dan perempuan dengan
pendidikan Belanda yang baik. Kebanyakan berasal dari keluarga pribumi berada
dan melakukan kegiatan yang necis. Anggota USI memiliki lagu kebangsaan yang
terdapat dalam Liedboek (Mrazek, 2006: 210-211). Lagu-lagu ini yang dapat
mereka nyanyikan pada pertemuan-pertemuan, pesta-pesta, dan piknik USI. Lagu
pertama yaitu Gaudeamus, Wij Usianen (Kami, para anggota USI), dan USI Lied
(Lagu USI). Lagu-lagu lain dalam Liedboek van USI adalah Mutsenlied (Lagu
Sebuah Topi), Crambambuli, Jingle Bels, Groenenlied (Lagu Kesibukan), Stein
Song (Lagu Tempat Air), dan sebagainya (Nordholt, 2005: 207-209).
Anggota-anggota dari organisasi USI antara lain Sjafruddin
Prawiranegara, Subadio Sastrosatomo, Ali Budiarjo, Poppi Saleh dan saudaranya,
Soedjatmoko, Koesoemo Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, Soedarpo, Mohammad
Kosasih Purwanegara dan lainnya. Sjafruddin tidak tertarik untuk ikut dalam
gerakan kebangsaan. Namun, bukan berarti Sjafruddin tidak menaruh perhatian
pada kegiatan-kegiatan pergerakan nasional. Melalui surat kabar, majalah dan
buku, juga melalui kuliah di RHS, Sjafruddin memahami dan mengamati soal-soal
kemasyarakatan, termasuk kegiatan pergerakan nasional (Rosidi, 2011: 80).
Sjafruddin menginginkan kemerdekaan Indonesia lepas dari jajahan
Belanda. Namun tidak setuju pada tuntutan sebagian besar kaum nasionalis bahwa
Indonesia harus merdeka saat itu. Menurut Sjafruddin, bangsa Indonesia saat itu
belum matang untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Sjafruddin termasuk
golongan kooperatif, yaitu orang-rang yang beranggapan bahwa untuk
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia haruslah melakukan kerjasama
dengan pihak Belanda (Prawiranegara, 1972: 319). Pandangan Sjafruddin ini
banyak dipengaruhi oleh guru besarnya di RHS, seperti Prof. Logemann dan Prof.
Van Asbek. Keduanya termasuk orang Belanda yang menganut pandangan Politik
Etis. Untuk mencapai kemerdekaan itu, bangsa Indonesia haruslah maju dahulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dalam segala bidang. Kemajuan itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan (Tim
Penulis, 1990: 379).
Sjafruddin melihat bahwa pemerintah kolonial tidak bersungguh-sungguh
untuk memajukan Indonesia. Dibandingkan dengan jumlah penduduk dan
kebutuhannya, terlalu sedikit orang Indonesia yang mendapatkan pendidikan,
yang mendapatkan latihan dan mendapat kesempatan bekerja (Tim Penulis, 1990:
379). Kenyataan ini menimbulkan keraguan pada diri Sjafruddin. Keraguan itu
menjadi ketidakpercayaan ketika pada bulan November 1938 pemerintah menolak
Petisi Soetardjo. Isi dari Petisi Soetardjo yaitu mendesak pemerintah agar segera
menyelenggarakan konferensi guna membahas hubungan antara Nederland
dengan Hindia Belanda (Ricklefs, 1991: 288-289).
Indonesia mempunyai anggapan bahwa kedatangan Jepang akan
memerdekakan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, maka kedatangan
Jepang ke Indonesia disambut dengan gembira oleh rakyat. Sjafruddin segera
melihat dalam waktu dekat bahwa harapan untuk terjadinya perbaikan seperti
yang dipropagandakan Jepang hanyalah kata-kata kosong. Sjafruddin melihat
kesengsaraan rakyat yang diakibatkan oleh Jepang jauh lebih buruk dari
penjajahan Belanda. Kemunduran ekonomi, kelaparan yang semakin meningkat,
sebagai akibat pengurasan kekayaan dan tenaga manusia oleh Jepang. Sjafruddin
merasa heran melihat banyak pemimpin bangsa Indonesia yang mau bekerjasama
dan membantu tentara Jepang. Padahal mereka menolak bekerjasama dengan
pemerintahan Belanda. Jepang lebih kejam dari Belanda dan orang Indonesia
tidak akan berani secara terang-terangan menentangnya. Namun, menurut
Sjafruddin bukan berarti orang Indonesia harus menjilat kepada Jepang dengan
menindas bangsa sendiri. Sjafruddin sebagai pegawai negeri bekerjasama dengan
Jepang, tetapi kerjasama itu dilakukan karena keadaan yang memaksa negara
(Prawiranegara, 1972: 321).
Sikap Belanda yang tidak mau kompromi pada masa akhir pemerintahan,
yang tidak mau memberikan kesempatan pada bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa matang dan merdeka, serta penderitaan rakyat yang luar biasa di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
penjajahan Jepang, membuat Sjafruddin mulai sadar bahwa bangsa Indonesia
harus berjuang untuk merdeka. Sjafruddin mengadakan diskusi dengan kelompok-
kelompok yang sepaham dengannya. Seperti kelompok Pagoejoeban Pasoendan
dengan tokohnya Oto Iskandar Dinata dan Ir. Oekar Bratakoesoemah, kelompok
Parindra dengan tokohnya Gondokusumo dan Dr. Erwin, kelompok Islam dengan
tokohnya Arudji Kartawinata dan M. Natsir. Sjafruddin juga berhubungan dengan
teman-teman semasa mahasiswa di USI dulu seperti Subandio Sastrosatomo,
Koesoema Soetojo, Mr. Ismael Thajeb, dan Ali Budiardjo yang mempunyai sikap
dan pikiran yang sama. Melalui mereka, Sjafruddin mengadakan kontak dengan
gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh sutan Sjahrir di Jakarta (Rosidi, 2011:
91-93).
Pada tanggal 6 April 1945 di Karesidenan Bandung, diadakanlah
pertemuan para pengusaha seluruh Jawa dan Madura itu. Pertemuan ini dihadiri
tokoh-tokoh pengusaha, dan tokoh-tokoh ekonomi non-pengusaha. Pertemuan
besar para pengusaha seluruh Jawa dan Madura melahirkan sebuah badan baru
yang dinamakan Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE). Pusatnya di Jakarta, dengan
cabang-cabang dibeberapa daerah Jawa. Dalam sidang-sidang selanjutnya,
Sjafruddin Prawiranegara sempat memimpin salah satu sidangnya. Suasana pada
umumnya didominasi oleh para pengusaha meskipun banyak juga tokoh-tokoh
non-pengusaha yang hadir. Pada pemilihan pengurus, Sjafruddin Prawiranegara
yang saat itu menjadi pegawai pajak dan pegawai Departemen Keuangan di
Bandung terpilih sebagai ketua. Setelah rapat di Bandung dan rapat-rapat
berikutnya sampai sampai dibubarkannya organisasi ini kelak tahun 1949, di
Yogyakarta, Sjafruddin tidak pernah memimpin atau duduk di kursi ketua di
Kantor Pusat PTE Jakarta (Halilintar, 1986: 140-142).
Pada pertengahan bulan Agustus 1945, Sjafruddin sudah mendengar
tentang kemungkinan Jepang menyerah pada Sekutu. Setelah membicarakan
berita itu dengan teman-temannya, Sjafruddin dan Hasbullah Siregar diberi
kepercayaan untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang kebenaran berita itu di
Jakarta (Prawiranegara, 1972: 320). Sjafruddin dan Hasbullah berangkat ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Jakarta tanggal 15 Agustus dan orang yang pertama kali ditemuinya adalah Oto
Iskandar Dinata. Sewaktu mendengar berita yang disampaikan Sjafruddin dan
Hasbullah, ternyata Oto Iskandar Dinata tidak percaya dan menasehati supaya
berhati-hati berbicara dan dapat celaka jika didengar Jepang. Adanya ketakutan
seperti itu, Sjafruddin dan Hasbullah tidak terus mencoba untuk menghubungai
yang lainnya, dan juga tidak berani pulang ke Bandung (Rosidi, 2011: 93-95).
Sjafruddin dan Hasbullah tinggal di rumah salah seorang teman
Hasbullah di Bilangan Jatinegara selama dua hari. Setelah mendengar berita
penyerahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan, mereka
baru berani keluar. Bagi Sjafruddin, proklamasi kemerdekaan itu merupakan
puncak perjuangan pergerakan nasional sebagai keharusan sejarah dan
kemerdekaan itu merupakan satu-satunya alternatif untuk keselamatan dan
kesejahteraan bangsa Indonesia. Meskipun Sjafruddin merasa bangsa Indonesia
masih belum mempunyai tenaga yang terampil dan ahli dalam berbagai bidang
untuk mengelola sebuah negara yang merdeka, namun menjadi yakin bahwa
segala kekurangan akan segera dapat diatasi dalam perjalanan waktu. Bangsa
Indonesia harus belajar bagaimana menyelenggarakan sebuah pemerintahan dan
mengelola sebuah negara (Prawiranegara, 1972: 320).
Sjafruddin menyatakan revolusi Indonesia bertujuan untuk
menghapuskan sistem penjajahan dan menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
Tujuan dari revolusi Indonesia yakni keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
Sistem yang diperlukan lebih lanjut ialah sistem masyarakat, susunan politik dan
ekonomi yang dapat menjamin terlaksananya keadilan sosial serta kemakmuran
rakyat yang tidak dapat dicapai pada masa lampau karena adanya kolonial-
kapitalisme Belanda. Paham yang cocok untuk kebutuhan revolusi nasional ialah
paham “sosialis religius”. Dasar dari sosialisme sebagai pedoman revolusi
nasional Indonesia itu disandarkan pada kewajiban manusia terhadap Tuhannya.
Bagi sosialisme religius, sosialisasi atau nasionalisasi dari berbagai alat produksi
masyarakat itu, bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya suatu alat atau
cara mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Sosialisasi perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dilaksanakan serta harus dihubungkan dengan kondisi dan situasi (Noer, 2000:
143).
Pandangan “sosialis religius” yang dicetuskan dalam buku Politik dan
Revolusi Kita (1948) menekankan sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan
berdasarkan pandangan hidup Islam. Pengaitan Sjafruddin dengan gagasan
sosialisme lebih terkait dengan kritikannya terhadap komunisme. Komunisme
adalah ideologi atheis yang bertentangan dengan Islam dan semua agama. Islam
tidak mengakui adanya masyarakat tanpa kelas. Walaupun Islam mengakui kelas-
kelas dalam masyarakat, Sjafruddin tidak menyetujui perjuangan kelas. Sjafruddin
memilih cara lain, yakni menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk
membantu orang miskin, supaya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
berkurang (Rahardjo, 2011: 90-96).
Pikiran-pikiran yang disampaikan pada ceramah yang diterbitkan dengan
judul “Tinjauan Singkat tentang Politik dan Revolusi Kita” sangat realistis, terus
terang dan penting. Kahin menganggap tulisan Sjafruddin itu cukup penting.
Disebutnya uraian itu tentang gagasan sosialis religius, pemikiran Sjafruddin
terpengaruh oleh pandangan modern Islam, sedang Sjafruddin disebut sebagai
pemimpin yang sangat berpengaruh sekali dan dikatakan bahwa gagasan-gagasan
itu menyebabkan Partai Masyumi semakin berpengaruh pada waktu itu (Kahin,
1989: 102).
Sjafruddin menjadi anggota Masyumi tahun 1945 setelah
diikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945 tentang
pembentukan partai politik yang mengharuskan setiap anggota KNIP harus
memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Hidup dalam lingkungan muslim
terutama ayahnya yang saleh, maka Sjafruddin memilih masuk Masyumi.
Sjafruddin masuk dalam anggota pimpinan pusat Masyumi. Peran Sjafruddin
dalam partai Masyumi sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan
gambaran ideologi dan kebijakan Masyumi. Seperti pendapatnya mengenai
menjaga persatuan untuk sanggup mengorbankan supaya jangan sampai terjadi
perpecahan di antara rakyat Indonesia. Pendapatnya ini menjadi salah satu asas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Masyumi yang mengajak penganut agama lain untuk bersama-sama berada di
jalan Tuhan. Masyumi menganjurkan untuk tidak membenci partai dan
melenyapkannya (Noer, 2000: 147).
B. Peran Sjafruddin Prawiranegara di Indonesia 1945-1961
1. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
Pasca diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
tatanan mengenai kehidupan kenegaraan dan perlengkapan sebuah negara
merdeka segera dibutuhkan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang Undang
Dasar disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Pancasila
sebagai Dasar Negara, lembaga eksekutif dipilih. Soekarno terpilih sebagai
Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden. Kabinet pun dibentuk
berupa kabinet Presidensial sesuai dengan Undang Undang Dasar. Pada 19
Agustus 1945 ditetapkan bahwa adanya 12 Kementerian Negara dan wilayah
Republik Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan (Raliby,
1953: 14-15).
Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)
yang bermarkas di Jakarta. Mulai tanggal 5 Oktober BKR diubah menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), yang nantinya pada 7 Januari 1946 TKR berubah nama
menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada 25 Januari 1946 Tentara
Keselamatan Rakyat diganti menjadi Tentara Republik Indonesia. Sejak 3 Juni
1947 ditetapkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia yang merupakan gabungan
dari laskar laskar dengan Tentara Republik Indonesia. Panitia Persiapan
Kemerdekaan yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat presiden dibubarkan
dan sebagai gantinya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Presiden dan Wakil Presiden melantik 135 orang. KNIP kemudian mengangkat
salah seorang anggotanya yang berasal dari tiap daerah untuk mendirikan Komite
Nasional Indonesia di daerah, yang bertugas membantu gubernur masing-masing
provinsi (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 145-146).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pembentukan Komite Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan
dilangsungkan pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 1945. Pengurus yang
terbentuk ialah, Niti Sumantri sebagai ketua, Ir. Oekar Bratakoesoemah sebagai
Wakil Ketua, Anwar Sutan Pamuntjak dan Hamdani sebagai anggota. Dibentuk
juga sekretariat yang pimpinannya diserahkan pada Sjafruddin. Dalam pertemuan-
pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Indonesia daerah Priangan
di Bandung, tidak hanya membahas persoalan setempat saja. Para anggota Komite
Nasional Indonesia daerah Karesidenan Priangan sering mendiskusikan masalah
yang bersifat nasional, untuk membantu pemerintah pusat dengan usul dan saran
yang bermanfaat. Salah satu hasil pertemuan itu lahirlah usul agar pemerintah
mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri, menggantikan uang Jepang yang
masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Usul tentang pembuatan uang
Republik Indonesia akan disampaikan kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta
(Rosidi, 2011: 99-102).
Sjafruddin bersama Oekar Bratakoesoemah menemui Mohamad Hatta
dan menyampaikan tentang perlunya membuat uang Republik. Mohamad Hatta
memandang tidak perlu membuat uang sendiri karena kawatir kalau dituduh
memalsukan uang oleh dunia internasional. Menurut Hatta, dilanjutkan saja
pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang waktu dan tenaga untuk
mengeluarkan uang baru. Sebagai contoh pemerintahan Bolsyewik di Rusia
tatkala pemerintahan Tsar yang berhasil digulingkan pada tahun 1917.
Permerintah komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi memakai uang lama.
Sjafruddin berusaha meyakinkan Wakil Presiden dengan memberikan pendapat
bahwa contoh dari Rusia itu tidak berlaku bagi Indonesia. Pemerintah Bolsyewik
tidak mendirikan negara baru, hanya pemerintahannya yang ditukar. Di Indonesia
tidak hanya menukar pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Indonesia,
tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat.
Maka perlu adanya uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan
(Prawiranegara, 1972: 323).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Pada awal bulan Oktober 1945 beberapa anggota KNIP mengemukakan
saran untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi sistem
Parlementer dengan kekuasaan legislatif berada ditangan KNIP. KNIP tidak hanya
sebagai penasihat presiden, melainkan sebagai lembaga legislatif kepada siapa
kabinet harus bertangungjawab. Ditetapkan bahwa KNIP akan membentuk Badan
Pekerja yang akan bertugas sebagai wakil pleno yang sulit bersidang lengkap
karena anggota-anggotanya bertebaran diseluruh tanah air sedangkan
perhubungan saat itu sangat sulit (Rosidi, 2011: 107). Dalam rapat Pleno KNIP
pada tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, dibentuklah Badan Pekerja dengan Sutan
Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifudin sebagai wakil. Seluruh Badan Pekerja
terdiri atas 1 orang teramsuk ketua dan wakil ketua. Adapun kelima belas anggota
Badan Pekerja itu ialah: Sutan Sjahrir(ketua), Amir Sjarifudin (wakil ketua), Mr.
Suwandi, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Wachid Hasjim, Mr. R. Hindromartono,
Mr. R. M. Sunaria Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Tan Ling
Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tadjaludin, dan Dr. Sudarsono
(Koesnadi Prodjo, 1951: 141).
Hasil pertama Badan Pekerja KNIP ialah sebuah rancangan undang-
undang tentang pembentukan KNI di daerah-daerah dan perubahan sistem
pemerintahan dari presidensil ke parlementer dengan banyak partai. Tentang
pembentukan partai-partai dibuat maklumat yang ditandatangani oleh Wakil
Presiden, terkenal sebagai Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal 3
November 1945. Setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden nomor X tanggal
3 November 1945, mengenai anjuran Pemerintah tentang pembentukan Partai
Politik. Pembentukan partai-partai ini untuk memperlihatkan kepada luar negeri
bahwa Indonesia benar-benar menjunjung demokrasi dengan menciptakan sistem
multi partai. Sebab ada kekuatiran dari kalangan kaum intelektual khususnya
Sjahrir dan pengikut-pengikutnya bahwa jika hanya satu partai politik saja, nanti
akan dipandang sebagai negara totaliter buatan Jepang (Prawiranegara, 1986:
256). Pendirian Partai-Partai politik ini pula hendaknya memperkuat perjuangan,
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah
dapat dipimpin kejalan yang teratur. Pemerintah berharap supaya partai-partai
tersusun sebelum pelaksanaan Pemilihan anggaota Badan-Badan Perwakilan
Rakyat pada bulan Januari 1946 (Koesnadi Prodjo, 1951: 76).
Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal 3 November 1945
tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP harus memilih dan
masuk kedalam salah satu partai. Pembentukan partai politik ini menimbulkan
kebingungan dalam diri Sjafruddin, akan memilih partai Sosialis atau Masyumi.
Sutan Sjahrir bersama kelompoknya mencalonkan Sjafruddin sebagai anggota
Badan Pekerja KNIP atas dasar keyakinan yang sepaham, dan setelah
pembentukan partai wajar jika mengharapkan Sjafruddin masuk dalam partai yang
dibentuk Sjahrir, yakni Partai Sosialis. Tetapi Sjafruddin pun sadar sebagai
muslim, akan keluarganya yang taat menjalankan syariat, ayahnya yang rajin
beribadah dan meninggal pada saat sedang berpidato sambil mengutip ayat-ayat
Al-Qur’an. Sepantasnya Sjafruddin masuk Masyumi. Tetapi jika masuk Masyumi,
akan mengecewakan orang-orang yang sudah menaruh simpati dan kepercayaan
padanya. Jika menjadi anggota Partai Sosialis, Sjafruddin merasa mengkhianati
ayahnya (Rosidi, 2011: 110-111). Rasa cinta kepada orang tuanya terutama
kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka pilihannya jatuh pada Masjumi.
Sadar akan kekurangan pengetahuan tentang Islam, Sjafruddin berjanji akan
memperbaiki kelemahan-kelemahan itu dengan mempelajari Bahasa Arab
(Prawiranegara, 1986: 256).
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dibentuk pada tanggal 7
November 1945 (Raliby, 1953: 84) yang meliputi praktis semua organisasi-
organisasi Islam yang berarti kecuali Perti yang organisasi dan pengaruhnya
terutama di Sumatera Barat (Prawiranegara, 1986: 256). Masyumi secara
organisasi adalah sebuah badan federasi, di dalamnya terdapat anggota biasa
(perorangan), dan anggota luar biasa (kolektif), seperti Muhammadiyah dan NU.
Sjafruddin masuk Masyumi melalui perorangan. Dalam Dewan eksekutif yang
umumnya terdiri dari kelompok modernis terdapat dua atau tiga kelompok yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mempunyai orientasi ideologi politik yang sedikit berbeda. Menurut Abu Hanifah
kelompok pemikir terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih
muda seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Kasman, Jusuf
Wibisono dan Abu Hanifah sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk
kedalam sosialis religius (Maarif, 1985: 112-113).
2. Menteri Keuangan
Pada kabinet pertama setelah sistem pemerintahan menjadi Parlementer,
Sjahrir ditunjuk sebagai formatur kabinet pada tanggal 14 November 1945
(Ricklefs, 1991: 327). Sjahrir mencari Mentri Keuangan dan ditawarkan pada
Sjafruddin, namum ditolak. Sjafruddin merasa belum pantas untuk memikul
tanggungjawab sebesar itu, belum cukup pengalaman dalam keuangan, dan tidak
pernah berkecimpung dalam politik (Thee Kian Wie, (ed)., 2005:41). Sjahrir
menyerahkan mandatnya pada Presiden pada bulan Februari 1946 karena tidak
mendapat kepercayaan dari KNIP (Rosidi, 2011: 113). Presiden menerima
penyerahan itu, namun untuk kedua kalinya Sjahrir ditunjuk sebagi formatur.
Dalam kabinet Sjahrir ke-2 yang dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946, Sjafruddin
duduk sebagai Menteri Muda Keuangan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet
Sjahrir III dilantik. Pada Kabinet Sjahrir III ini Sjafruddin duduk sebagai Menteri
Keuangan (Raliby, 1953:419).
Wakil presiden menyetujui gagasan yang dikemukakan delegasi dari
Bandung untuk membuat uang Republik Indonesia yang baru menggantikan uang
Jepang, maka masalah itu secara teknis selanjutnya diserahkan kepada
Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis, pada tanggal 7
November 1945 membentuk suatu panitia yang dinamakan Panitia Penyelenggara
Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh T. R. B.
Sabaruddin, Direktur Bank Rakyat Indonesia. Tugasnya ialah menyelenggarakan
segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Ketika ditawari untuk
menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, Sjafruddin menyatakan
kesediannya. Salah satu faktornya ialah karena Sjafruddin ingin segera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
mempercepat proses pencetakan “Oeang Republik Indonesia” (ORI). Sjafruddin
yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam
mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar
pula artinya untuk membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan
tentara, membeli perlengkapan administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya
ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan tercapai apabila ditempuh
dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan
produksi, bukan dengan mencetak uang (Rosidi, 2011: 127-137).
Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan
rintangan. Pencetakan ORI menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri.
Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak uang dari luar negeri melihat
kondisi saat itu (Sikap, Bagian III no 11-24 Maret1949). Kesukaran memperolah
bahan-bahan baku yang diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk
fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat lainnya seperti mesin
aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan de Unie dan
percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan
de Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan
pertama-pertama mencetak lembaran uang seratus rupiah (Rosidi, 2011: 129).
Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik Indonesia
saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di
Jakarta dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap (Sikap,
24 Maret 1949).
Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana
pemerintah mengeluarkan uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia
Belanda karena mempunyai kurs internasional, dan dapat dipergunakan untuk
membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau pemerintah RI mengeluarkan uang
sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya uang NICA
sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat.
Uang Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan
oleh rakyat. Penolakan terhadap uang Belanda merupakan suatu bukti nyata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat dijadikan alat penukar. Oleh karena
itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang dibutuhkan adalah uang
yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945).
Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh
pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran,
alat pembayaran yang sah, dan alat pengukur harga di seluruh wilayah yang secara
de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik Indonesia, yaitu Jawa,
Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu
menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara
yang sedikit sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya
dengan uang baru, yang mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya
(Sikap, 12 Maret 1949).
Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik
Indonesia melarang orang Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari
daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Priangan ke daerah-
daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari pemerintah daerah
yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke
pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri
Perdagangan dan Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura,
seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat,
perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus disimpan pada bank-bank
yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank
Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To,
1991: 76-77).
Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama
Undang-Undang no. 17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah
akan mengeluarkan uang sendiri yakni Uang Republik Indonesia, sedangkan
tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang berhubungan
dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan
Republik Indonesia. Kedua Undang-Undang no 19/1946 yang diumumkan tanggal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
24 Oktober 1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang
Republik Indonesia, mengatur dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang
pembayaran hutang lama yang belum lunas pada waktu berlakunya ORI, tentang
uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-harga
maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya
diserahkan kepada Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI
sama dengan emas murni seberat 5 gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal
ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50 rupiah uang Jepang sama
dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah uang
Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian
Penerangan no 1).
ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam
30 Oktober 1946 jam 24.00. Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI
menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di daerah Republik di Jawa dan
Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran dalam
lapangan tehnik (kesulitan mengadakan pengangkutan dan menjamin
keamanannya) tidak dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang
masih terus berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, di samping uang
sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi Sumatera) sampai kira kira
pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949).
Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
No. 19/1946 yang memuat tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada
setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap kepala keluarga. Uang itu
dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan
pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa
pada saat itu setiap orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang
Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah diputuskan. Pembagian uang
dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di seluruh Jawa
dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar
masyarakat tidak dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36).
Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara
menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato itu disampaikan pemberitahuan
tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29 Oktober
1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri
Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan
keluarnya ORI tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk
berhemat, bagi perusahaan-perusaan terutama toko-toko, warung-warung jangan
menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-hari dan jangan menutup
toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan untuk
menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi
kelebihan persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke
bank untuk jumlah kecil untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita
kerugian (Prawiranegara, 2011: 32).
ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan
keuangan, pada akhir tahun 1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis
uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi
Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara), URIDJA (Oeang
Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah
Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat
yang dikeluarkan oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah
Banten yang terisolasi, dikeluarkan URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah
Banten) (Beng To, 1991: 71).
Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA
(Belanda) mengeluarkan uang baru sendiri yang dinamakan uang NICA.
Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kesukaran bagi
rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang dikuasai
Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Pada satu pihak penduduk takut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui
memiliki uang NICA oleh pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik
makin populer dikalangan rakyat (Rosidi, 2011: 141).
ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan
sebagai alat yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan
pemerintah Republik yang masih muda itu berjuang mempertahankan dan
menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah berperan sebagai alat
perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam
membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat
revolusi yang mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur
administrasinya, mengorganisasi dan memperkuat tentaranya, memelihara
keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat dalam menentang agresi
Belanda (Beng To, 1991: 69-84).
ORI telah berfungsi tidak hanya sebagai alat pembayaran yang sah, alat
penukaran, alat pengukur harga, alat pembayaran yang mempunyai tenaga
pembeli jauh lebih besar dari uang Jepang yang baru saja dicabut dari peredaran
di daerah Republik Indonesia, melainkan ORI adalah Uang Republik Indonesia.
Negara baru dengan segala cita-cita dan semangat yang terkandung didalamnya.
Belum pernah dalam sejarahnya rakyat Indonesia mengalami uang yang memuat
gambar seorang dari bangsanya sendiri sebagai kepala negara (Sikap, 31 Maret
1949).
3. Sebagai Menteri Kemakmuran
Presiden Soekarno mengangkat Mohammad Hatta sebagai formatur
kabinet setelah Amir Sjarifuddin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri.
Alasan Amir Sjarifuddin mengundurkan diri karena masyarakat sudah tidak
mempercayai lagi kepemimpinan berpolitiknya, baik melalui delegasi partai-partai
yang terdiri dari Masyumi dan PNI, maupun langsung kepada Perdana Menteri
melalui demonstrasi secara tertib ke Istana Negara. Pada kabinet Hatta yang
diumumkan pada 29 Januari 1948, Mohammad Hatta sendiri sebagai Perdana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Dr. Soekiman Wirjosandjojo sebagai
Menteri Dalam Negeri, H. Agoes Salim sebagai Menteri Luar Negeri, M. Natsir
sebagai Menteri Penerangan, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri
Kemakmuran, dan K.H. Masjkur yang menjadi Menteri Agama (Kahin, 292-293).
Program kabinet Hatta ialah melaksanakan Persetujuan Renville yang
dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan Komisi Tiga Negara (KTN),
mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat, melakukan reorganisasi dan
rasionalisasi dalam tubuh ketentaraan dan sedapat mungkin menyelenggarakan
pembangunan ekonomi. Sebagai Menteri Kemakmuran, Sjafruddin mendapat
tugas untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk
perekonomian (Poespaonagoro & Notosusanto, 1993: 151).
Pada awal tahun 1948 keadaan perekonomian rakyat di daerah Republik
Indonesia sangat buruk sekali. Agresi Militer Belanda mengakibatkan berbagai
daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti daerah perkebunan, kawasan
industri dan pelabuhan jatuh ketangan Belanda. Blokade ekonomi atas daerah
perairan yang dikuasai Republik Indonesia mengakibatkan lumpuhnya kegiatan
perdagangan dan sulitnya pemasukan uang ke kas negara (Ricklefs, 1991:338-
339). Sementara itu pihak Belanda pun mengacaukan nilai uang Republik
Indonesia dengan jalan mencetak dan mengedarkan ORI palsu sehingga ORI
mengalami inflasi yang hebat. ORI itu tidak memenuhi syarat penting yang harus
ada pada tiap macam uang yaitu harus sukar sekali dipalsu orang. Kekurangan ini
tidak dapat dibebankan kepada pengusaha-pengusaha yang mencetak uang
tersebut, karena mencegahnya itu di luar kemampuan pencentaknya. Demikian
maka mudah sekali Belanda mencetak uang palsu di dalam peredaran (Sikap, 24
Maret 1949).
Menghadapi situasi yang demikian, Sjafruddin Prawiranegara sebagai
Menteri Kemakmuran melakukan usaha-usaha seperti mengeluarkan Peraturan
Pemerintah nomor 5 tahun 1948 tertanggal 22 Maret 1948 tentang pengumpulan
bahan makanan rakyat oleh pemerintah. Peraturan ini dimaksudkan untuk
menjaga persediaan bahan makanan yang cenderung semakin menipis dan terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pula pemindahan makanan ke daerah pendudukan Belanda. Pada tanggal 9 Juli
1948 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 15 untuk menghitung ternak berupa
kuda, kerbau, kambing, domba dan sapi. Peraturan ini dikeluarkan dengan
pertimbangan bahwa untuk memajukan perekonomian perlulah diketahui jumlah
ternak yang sebenarnya yang ada di seluruh daerah Republik. Data statistik
tersebut dapat dijadikan dasar rencana pekerjaan dalam pembangunan, baik dalam
lapangan peternakan, lapangan pertanian maupun lapangan perekonomian rakyat
pada umunya. Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1948 tentang pemberantasan
penimbunan barang-barang penting seperti beras, gabah, padi, menir, tepung
beras, gula, minyak tanah, jagung, gaplek, tapioka, garam, kopi dan teh. Peraturan
ini ditetapkan untuk memberantas penimbunan bahan makanan penting supaya
peredaran barang-barang tersebut berjalan lancar (Rosidi, 2011: 163).
Program lain Kementerian Kemakmuran yang lain adalah memberikan
kepada rakyat kesempatan yang sepenuh-penuhnya untuk berusaha sendiri.
Caranya ialah dengan melakukan propaganda dan mencetak berbagai buku
tentang pembuatan bermacam-macam barang keperluan hidup sehari-hari, seperti
cara membuat sabun, gelas, sikat gigi dan sebagainya. Mengadakan transmigrasi
besar-besaran ke Sumatera. Kalau bisa akan dilakukan dalam sepuluh tahun
sepuluh juta pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera. Di berbagai daerah
telah dilaksanakan dengan menggali waduk-waduk dan memperbaiki usaha irigasi
yang sudah ada. Berusaha sekeras-kerasnya untuk memperbesar produksi.
Pendapat Sjafruddin tentang program yang dibuat, sebagian besar penduduk
Indonesia adalah tani dan tani ini hampir semua tergabung dalam persatuan tani.
Oleh karena kebanyakan rakyat Indonesia beragama Islam, dengan demikian
Sjafruddin yakin bahwa selama mentri kemakmuran dari Masjumi tentu program
ini dapat dijalankan dengan pertolongan penuh dari pihak rakyat (Arsip
Kementerian Penerangan No 216).
Pandangan mengenai kapital asing menurut Sjafruddin sama sekali tidak
keberatan bahwa kapital asing masuk di Indonesia, syaratnya rakyat Indonesia
jangan menderita. Untuk membangun negara yang masih muda ini dibutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
sekali kapital asing misalnya untuk usaha membangun yang sangat membutuhkan
banyak mesin-mesin dari luar (Arsip Kementerian Penerangan No 216).
Kesulitan yang dihadapi Menteri Kemakmuran dalam usahanya
menyehatkan dan meningkatkan perekonomian rakyat dan negara adalah dengan
rasionalisasi yaitu penyesuaian antara beban kerja dengan jumlah karyawan.
Namun program rasionalisasi sukar dilaksanakan karena terpaksa mengurangi
karyawan. Tindakan ini akan menimbulkan gejolak hebat dari kaum buruh yaitu
peristiwa pabrik karung Delanggu, Klaten yang terjadi pada tanggal 26 Februari
1948 yang dipimpin OBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan
SARBUPRI (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Sikap terbuka dan
kesediaan pemerintah menyelesaikan kasus Delanggu itu ternyata tidak mendapat
sambutan baik dari pihak penuntut (buruh). Pihak penuntut melontarkan tuduhan
yang bukan-bukan terhadap pemerintah dan orang-orang dari kalangan
pemerintah (BTN). Jelaslah bahwa kasus Delanggu bukan hanya masalah buruh,
melainkan telah berkembang menjadi masalah politik yang berkaitan dengan
sikap oposisi dengan golongan kiri yang bergabung dibawah naungan FDR (Front
Demokrasi Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948, terhadap
Kabinet Hatta (Rosidi, 2011: 164-167).
Selama beberapa bulan pihak FDR telah menghasut dan menyiarkan
berita-berita bohong terhadap dan tentang pemerintah. Untuk itu, menurut
Sjafruddin penting dikemukakan tentang politik perekonomian pemerintah
Republik Indonesia yang prinsipnya berbeda dengan politik kolonial Belanda.
Belanda kolonial mengutamakan kepentingan negeri Belanda dan warganya
dengan menjalankan politik perekonomian yang bersifat export bahan-bahan
mentah untuk pasar dunia. Politik ini dijalankan dengan konsekuen dan
berpedoman mendapat keuntungan sebesar-besarnya untuk kaum modal barat
(Belanda): upah pekerja dan sewa tanah untuk perusahaan-perusahaan
dipertahankan serendah-rendahnya; pengangkutan bahan dari Indonesia sedapat
mungkin dikerjakan oleh maskapai-maskapai Belanda; penjualan bahan ke pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dunia sebanyak mungkin dijalankan lewat negeri Belanda, sehingga keuntungan
menjadi berlipat ganda (Arsip Kementerian Penerangan no 139).
Sebaliknya pemerintah Republik Indonesia sebagai suatu pemerintah
nasional, suatu dari, oleh, dan untuk rakyat, dalam segala tidakan-tindakannya
terutama berpedoman pada kepentingan rakyat banyak. Begitupun politik
ekonominya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia,
sehingga perekonomian yang berdasar export, sedang keperluan barang-barang
penting guna hidup rakyat sehari-hari digantungkan pada import, ditinggalkan
sama sekali. Export masih perlu, yaitu untuk membiayai import barang-barang
yang memang tidak/belum mungkin dibuatnya dinegeri kita sendiri dan untuk
membiayai keperluan-keperluan kota di luar negeri. Akan tetapi yang didahulukan
ialah membangun industri. Disamping membangun industri, maka transmigrasi
secara besara-besaran dari Jawa ke Sumatera dan pulau-pulau lain, akan memberi
perluasan tanah kepada petani di Jawa dan akan membuka tanah-tanah baru yang
amat subur (Arsip Kementerian Penerangan no 139).
Menasionalisir seluruh perusahaan bangsa asing tidak mungkin dan tidak
perlu karena sempitnya keuangan negara; Perusahaan yang dinasionalisir pada
masa sekarang tidak selalu memberi jaminan memberi faedah yang sebesar-
besarnya. Sering lebih efisien dalam tangan partikelir tetapi dibawah pengawasan
negara; Banyak perusahaan-perusahaan asing berdasar atas export ekonomi lama
yang tidak cocok dengan politik ekonomi pemerintah sekarang. Modal asing
dibutuhkan oleh Indonesia, perlu pada modal tersebut diberikan kemungkinan
mendapat keuntungan yang cukup besar untuk menarik modal asing (baru) ke
Indonesia. Supaya modal asing itu tidak akan merajalela disini, dengan
menetapkan syarat-syarat mengenai jaminan buruh, sewa tanah dan sebagainya
(Undang-Undang Sosial). Pemerintah tidak menghalang-halangi gerakan buruh
dan tani, bahkan sebaliknya: pemerintah menghendaki gerakan buruh dan tani
yang kuat (Arsip Kementerian Penerangan no 139).
4. Memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Pemerintah Republik Indonesia dengan segenap bangsa Indonesia
sebenarnya tidak dapat menerima Persetujuan Renville. Oleh karena itu
Pemerintah Republik Indonesia dengan Kabinet Hatta ketika telah mengadakan
persiapan-persiapan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan datangnya
serangan-serangan dan aksi militer dari pihak Belanda dengan tiba-tiba.
Sehubungan dengan itulah maka dalam bulan November 1948 Wakil
Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta beserta Menteri Kemakmuran Mr.
Sjafruddin Prawiranegara telah mengadakan perjalanan ke Bukittinggi di
Sumatera Tengah (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14). Mr. Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia berada di
Bukittinggi untuk meninjau keadaan kemakmuran di Sumatera (Rasjid, 1982: 10)
dan untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat di
Sumatera seandainya ibukota Republik jatuh ke tangan Belanda (Kahin, 2005:
211). Selain Sjafruddin, ada pula Mr. Lukman Hakim (Komisaris Negara Urursan
Keuangan), dan Ir. Mananti Sitompul (Pegawai Tinggi Jawatan Pekerjaan Umum)
(Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 60).
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan mendadak
di lapangan terbang Maguwo dengan mengkhianati Persetujuan Renville. Gerakan
ke Yogya dimulai pukul 12.00 pada waktu pertempuran di Maguwo masih
berlangsung, Belanda menembaki beberapa bangunan penting dalam kota Yogya.
Yang menjadi sasaran utama ialah Markas Besar Komando Djawa (MBKD),
Markas Besar AURI, dan gedung-gedung disekitar Istana Presiden (Imran,
Djamhari, dan Chaniago, 2003: 43). Belanda yakin dengan ditangkapnya Bung
Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-pemimpin yang lainnya
yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia tidak ada
lagi (Prawiranegara, 1986: 241). Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian
Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18 Desember 1948, jadi hanya beberapa
jam sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja sengaja melakukan hal
itu supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara Indonesia
sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkan (Rosidi, 2011: 174-175).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dalam suasana pertempuran pada tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet
RI masih sempat mengadakan sidang kilat istimewa di Istana Negara Yogyakarta
(Moehadi, 1981:17). Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pemerintah akan
tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu memberikan
mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu
sudah ada di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera
jika dalam keadaan mendesak pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya
lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A.
Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk pemerintahan di
luar negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (Rasjid, 1982: 19-21). Menurut Mohammad Hatta kemudian,
dipilihnya Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat
adalah dengan pertimbangan bahwa Sjafruddin yang dipandang oleh Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta anggota kabinet yang paling cakap
dan paling cepat bergerak (Rosidi, 2011: 177). Keputusan untuk memberikan
mandat kepada Sjafruddin, dr. Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis tersebut
diambil berdasarkan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat Republik Indonesia
yang berada di Yogyakarta tidak mungkin lagi meneruskan tugas-tugasnya
memimpin bangsa dan negara Indonesia, disebabkan serdadu-serdadu Kolonial
Belanda sudah memasuki kota Yogyakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No
14).
Pemboman serentak oleh Belanda atas Yogyakarta dan Bukittinggi pada
hari minggu pagi tanggal 19 Desember 1948 tidak diduga. Setelah Bukittinggi di
bom oleh serdadu-serdadu kolonial Belanda pada hari minggu tanggal 19
Desember 1948 itu juga, maka pada sorenya Menteri Kemakmuran Sjafruddin
Prawiranegara dan Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel R. Hidajat,
mengunjungi ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr. T.M. Hasan
untuk mengadakan perundingan Yogjakarta (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No
14). Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengusulkan bahwa karena belum diketahui
nasib pemimpin-pemimpin pemerintahan di Yogyakarta, apakah tidak lebih baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
didirikan Pemerintahan Darurat yang diketahui oleh Sjafruddin sendiri karena saat
itu Sjafruddin merupakan salah satu anggota Kabinet Hatta. Menjadi wakilnya
adalah T.M Hasan. Keputusan ini belum dapat diambil, karena teman-teman
sejawat yang lain perlu diminta pendapat (Rasjid, 1982: 11).
Sjafruddin hampir tidak percaya berita tentang jatuhnya Ibukota
Yogyakarta dan tertangkapnya Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana
Menteri Mohammad Hatta dan sejumlah pembesar tinggi lainnya. Sjafruddin
menduga berita radio tersebut hanya propaganda Belanda. Karena kurang pasti
dengan legalitas kekuasaannya, Sjafruddin menunda pembentukan Pemerintah
Darurat (Kahin, 2005: 212). Gagasan untuk membentuk PDRI diambil didasarkan
rasa tanggungjawab terhadap kelanjutan perjuangan kemerdekaan yang telah
membawa korban begitu banyak. Perjuangan itu tidak boleh dihentikan begitu
saja dengan ditawannya Presiden, Wakil Presiden dan anggota kabinet RI lainnya.
Menghentikan perjuangan berarti pengkhianatan pada cita-cita semula dan
terhadap korban yang telah mati, cacat seumur hidup di medan juang. Sambil
menunggu konfirmasi lebih lanjut dari Yogyakarta, Sjafruddin mengambil
inisiatif untuk bergerak (Rosidi, 2011: 179).
Pemerintah Daerah Sumatera Barat di Bukittinggi di bawah pimpinan
komisaris negara/residen telah mengadakan pula musyawarah dengan segenap
lapisan masyarakat, pimpinan-pimpinan jawatan dan angkatan perang RI. Setelah
memberi petunjuk kepada segenap aparat pemerintahan maupun kepada rakyat di
Bukittinggi akan tetap tinggal di dalam kota, maka dilancarkan bumi hangus dan
kemudian kota Bukittinggi dinyatakan sebagai kota terbuka (Arsip Sjafruddin
Prawiranegara No 14).
Tokoh-tokoh di Bukittinggi sepakat untuk meninggalkan kota. Dengan
demikian mereka terhindar dari penangkapan Belanda dan selanjutnya
mempunyai kesempatan untuk melanjutkan perjuangan. Pengungsian para pejabat
pun diatur. Gubernur Sumatera Tengah M. Nasrun dan Ketua DPRST Ilyas
Yacoub disertai beberapa pejabat lain dengan kawalan pasukan Brimob
mengungsi ke Lubuk Sikaping. PTTS Kolonel Hidayat bergerak ke Utara dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
selanjutnya menetap di Aceh. Sjafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lain
termasuk T. M. Hasan mengungsi ke Halaban (Imran, Djamhari, dan Chaniago,
2003: 81).
Di dusun Halaban pada tanggal 22 Desember 1948 jam 03.00 rombongan
Mr. Sutan Mohamad Rasjid bertemu dengan rombongan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara. Ada pula Ketua Kompempus untuk Sumatera Mr. T. M. Hasan,
Komisaris Negara Urusan Keuangan Mr. Lukman Hakim dan stafnya,
Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Ir. Indratjaja, Kepala Djawatan PU
Sumatera Ir. Mananti Sitompul, Kolonel Laut M. Hazir, Kolonel Laut Adam,
Kolonel Udara H. Soejono, M. Danu Broto, Direktur BNI, Mr. A. Karim, Kepala
Djawatan Kooperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementerian Kemakmuran
untuk Sumatera Mr. Latif, semuanya masing-masing dengan stafnya (Arsip
Sjafruddin Prawiranegara No 14).
Setelah rombongan berkumpul, rapat segera dimulai. Waktu
menunjukkan pukul 04.30 tanggal 22 Desember 1948. Kesepakatan yang
kemudian disetujui bersama untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 82). Lahirnya PDRI semata-
mata menjamin kelangsungan hidup Republik Indonesia dan memenuhi tuntutan
hukum internasional. Seperti diketahui bahwa menurut hukum internasional, satu
negara terdiri atas 3 unsur pokok yaitu, satu wilayah, sejumlah penduduk, dan
pemerintahan. Serangan Belanda tanggal 19 Desember 1948 hendak
menghancurkan pemerintahan Indonesia untuk menghilangkan salah satu syarat
hukum internasional, sehingga Republik Indonesia tidak lagi menjadi suatu
negara. Itulah salah satu peranan penting PDRI (Rasjid, 1982: 13-14). Lahirnya
PDRI atas kehendak dan inisiatif dari pemuka-pemuka Pemerintahan di Sumatera,
didorong oleh rasa tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup Republik
Indonesia dan untuk melanjutkan Perjuangan (Prawiranegara, 1986: 242).
Adapun susunan dari PDRI sebagai berikut:
a. Ketua, merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
b. Wakil ketua, merangkap menteri kehakiman, Mr. Soesanto Tirtoprodjo.
Setelah terdengar kabar bahwa sdr. Supeno gugur karena dibunuh Belanda,
maka Beliau merangkap juga Menteri Pembangunan dan Pemuda.
c. Menteri Luar Negeri, Mr. A. A. Maramis.
d. Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan, dr. Soekiman.
e. Menteri Keuangan, Mr. Loekman Hakim.
f. Menteri Kemakmuran (termasuk pmr), I. Kasimo.
g. Menteri Agama, Masjkoer.
h. Menteri Pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan, Mr. TM. Hasan.
i. Menteri Perhubungan, Ir. Indratjaja.
j. Menteri Pekerjaan Umum Ir. Sitompoel.
k. Menteri Perburuhan dan Sosial, Mr. ST. Mohd. Rasjid.
Menteri-menteri yang ada di Jawa melakukan pekerjaan komisariat
pemerintah pusat yang dapat memutuskan segala urusan yang khusus mengenai
Jawa (Arsip M. Rasjid no 57).
Setelah diadakan perundingan, dilanjutkan untuk penyempurnaan
pemerintahan yang selaras dengan keadaan saat ini, susunan PDRI dirubah dan
diperlengkap dengan memasukkan menteri-menteri yang sekarang di Jawa masih
dapat melakukan kewajibannya sebagai para anggota juga. Kabinet itu dapat
disusun sebagai berikut: Mr. Sjafruddin prawiranegara sebagai ketua, Menteri
Pertahanan dan Penerangan; Mr. AA. Maramis sebagai Menteri Luar Negeri; dr.
Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan; Mr. Lukman Hakim
sebagai Menteri Keuangan; I. Kasimo sebagai Menteri Kemakmuran termasuk
PMR; Mr. Susanto Tirtoprodjo sebagai Menteri Kehakiman; Maskur sebagai
Menteri Agama; Mr. Teuku Mohamad Hasan sebagai Menteri Pengajaran
Pendidikan dan Kebudayaan; Ir. Indradjaja sebagai Menteri Perhubungan; Ir.
Sitompul sebagai Menteri Pekerdjaan Umum; Mr. St. Moh Rasjid sebagai Menteri
Perburuhan dan Sosial; Supeno sebagai Menteri Pembangunan dan Pemuda.
Kementerian PMR dihapuskan dan urusan PMR dimasukkan dalam kementerian
kemakmuran (Arsip M. Rasjid no.44).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Menanggapi surat dari PDRI, Kasimo setuju dengan susunan baru dari
PDRI dan dengan nama darurat. Ketika anggota-anggota kabinet yang ada di Jawa
belum berkumpul disatu tempat, hendaknya tiap-tiap menteri di Jawa dalam
keadaan mendesak diberi hak mengatur soal yang masuk kekuasaan menteri lain
yang bertindak atas nama menteri lain (misalnya, saya sendiri sampai kini sering
bertindak pada lapangan kementerian penerangan (Arsip M. Rasjid No 80).
Dalam sidang pada tangal 16 Mei 1949 telah diputuskan oleh PDRI bahwa
segala urusan yang mengenai Sumatera diselesaikan oleh para anggota yang
berada di Sumatera, yang disamping kewajibannya masing-masing diserahi pula
urusan-urusan yang termasuk kewajibannya salah seorang anggota PDRI di luar
sumatera, yakni sebagai berikut:
a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara
(Ketua, Menteri Pertahanan dan Penerangan mewakili Menteri Luar Negeri)
b. Mr. Teuku Mohamad Hasan
(Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mewakili Menteri Dalam
Negeri dan Agama)
c. Mr. St. Mohamad Rasjid
(Menteri Perburuhan dan Sosial mewakili Menteri Pembangunan dan Pemuda
serta mengurus soal-soal keamanan)
d. Mr. Likman Hakim
(Menteri Keuangan mewakili menteri Kehakiman)
e. Ir. Sitompul
(Menteri Pekerdjaan Umum mewakili Menteri Kesehatan)
f. Ir. Indradjaja
(Menteri Perhubungan mewakili Menteri Kemakmuran) (Arsip M. Rasjid No
80).
Menyambung pengumuman pada tg 19 Bulan Mei no 457/pem/pdri
mengenai pembagian pekerjaan antara anggota-anggota PDRI di Sumatera maka
perlu kiranya ditegaskan, bahwa segala urusan yang khusus mengenai Jawa
diselesaikan oleh para menteri yang berada di Jawa, yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
a. Mr. Soesanti Tirtiprodjo - Menteri Kehakiman
b. I. Kasimo - Menteri Kemakmuran
c. Hadji Maskoer - Menteri Agama
Urusan Dalam Negeri sementara dipegang oleh R. P Soeroso. Putusan-
putusan yang mengenai politik umum diambil bersama-sama oleh menteri-menteri
di Sumatera dan Jawa seperti umum mengetahui Menteri Luar Negeri Mr. A.
Maramis masih berada di Luar Negeri (Arsip M. Rasjid No 80).
Selain mengangkat para menteri tersebut diangkat pula beberapa pejabat
lain. Marjono Danubroto ditetapkan sebagai Sekretaris PDRI. Jenderal Soedirman
diangkat sebagai Panglima Besar Angkat Perang RI, sedangkan Kolonel Hidayat
ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS). Kolonel
Laut M. Nazir sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Muda Hubertus
Soejono sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, dan Komisaris Besar Umar Said
sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara. Jabatan Menteri Luar Negeri
kemudian di serahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Maramis diberi wewenang
untuk mewakili PDRI dalam persoalan luar negeri. Maramis juga diminta agar
selalu mengadakan hubungan dengan PDRI untuk menyampaikan masalah-
masalah penting (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 81-86).
Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua
PDRI menyampaikan pidato radio yang ditujukan kepada semua stasiun radio.
Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap
oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi pidato itu antara lain: mengemukakan
serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah berhasil menawan Presiden dan Wakil
Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Belanda mengira bahwa
dengan ditawannya pemimpin-pemimin yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain
akan putus asa. Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-
Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita.
Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau selama-lamanya, rakyat
Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru, hilang pemerintahan ini
akan timbul yang baru lagi. Pemerintahan PDRI dibentuk karena ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kemungkinan besar bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan
tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh angkatan perang Republik Indonesia kami
serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja dan dengan apa saja
mereka dapat dibasmi (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 86-87).
Sjafruddin mengirim surat kepada Maramis yang membicarakan tentang
keadaan militer di Indonesia jauh lebih baik dari pada segala dugaan semula. Di
Jawa, kedudukan Belanda merupakan kantong-kantong dibandingkan dengan
daerah-daerah yang dikuasai oleh pejuang Indonesia. Di Bukittinggi telah timbul
pemberontakan di kalangan tentara Belanda, 213 serdadunya ditembak mati dan
Spoor datang sendiri untuk mencoba untuk menyelesaikan. Keadaan sekarang
terbalik, bukan bangsa Indonesia yang bertahan tetapi Belanda bersusah payah
menahan serangan-serangan yang dilakukan di semua tempat di mana tentara
Belanda berada. Kelau keadaan terus menerus begini dan gelora semangat
perjuangan rakyat tak dapat ditahan lagi oleh kekuatan apa dan siapa pun juga,
maka dalam masa yang singkat pertahanan Belanda akan ambruk. Tentang
kekuatan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk terus berjuang kendaknya
jangan ada ragu-ragu dikalangan wakil Indonesia di luar negeri serta pemimpin
dan rakyat yang berada didaerah-daerah yang sementara dikuasai Belanda (Arsip
M. Rasjid No 25).
Langkah selanjutnya yang dilakukan ialah memaklumkan eksistensinya
kedunia luar, baik didalam wilayah Republik Indonesia maupun diluar negeri.
Siaran disampaikan menggunakan zender trasnsmitter. Transmitter buatan
Amerika ini milik AURI, ditangani oleh Kapten D. Tamimi (Rosidi, 2011: 194).
Di India para pemuda Indonesia yang berkumpul di bawah organisasi PPI
(Persatuan Pemuda Indonesia) mengorganisasi unjuk rasa secara besar-besaran.
Tujuan aksi demonstrasi ialah menarik perhatian dunia, dengan cara melakukan
aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang menggunakan jasa pelabuhan
udara dan laut India. Hal yang sama diikuti pula oleh Pakistan dan Sri Lanka
tanggal 22 Desember 1948, pemerintah Sri Lanka mengumumkan bahwa fasilitas
pelabuhan laut dan udara di negerinya tertutup untuk kapal-kapal dan pesawat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
terbang Belanda. Filipina juga menyatakan perasaan simpatinya sambil
menyerukan agar negeri Asia bangkit melawan setiap usaha Den Haag
melancarkan tindakan militernya (Zed, 1997: 220). Liga Arab di Kairo juga
mengajukan imbauan keapada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera
menghentikan agresi militernya dan menarik mundur pasukannya dari daerah
Republik Indonesia. Amerika Serikat pun menghentikan bantuan ekonominya
kepada Hindia Belanda mulai tangal 22 Desember 1948 (Rosidi, 2011: 195-196).
Pemerintah Darurat Republik Indonesia bersifat mobil, selalu berpindah-
pindah. Perpindahan tempat dilakukan untuk mempertahankan keaman dan
keselamatan para pemimpin PDRI. tempat yang dijadikan markas oleh PDRI
antara lain Halaban, Bangkinang, Tratak Buluh, Sungai Pagar, Teluk Kuantan,
Kota Baru, dan Muara Lembu, Kiliranjao, Sungai Daerah, Bidar. Di daerah Bidar
Alam, masyarakat menyiapkan beberapa rumah dan sebuah surau tua untuk
tempat tinggal rombongan PDRI. Rumah-rumah itu adalah:
a. Rumah Djamilah, ditempati oleh Sjafruddin Prawiranegara dan dr. Sambijono
beserta istri.
b. Rumah Biah, ditempati oleh Teuku Mohamad Hasan.
c. Rumah Sitjah, ditempati oleh Lukman Hakim, Indratjaja dan Mardjono
Danubroto.
d. Rumah Lamisah, ditempati oleh dua puluh orang pegawai sipil dan militer.
e. Rumah Sakidah, ditempati oleh sepuluh orang kurir dan pasukan pengawal.
f. Rumah Sawida, ditempati oleh dua orang anggota staf keuangan, yakni
Nasrul dan Hamid.
Pada waktu kemudian Sjafruddin beserta dr. Sambijono dan Istri pindah
ke rumah Siti Rapat. Letak rumah-rumah itu cukup berdekatan, umumnya di
pinggir pasar, kecuali rumah Siti Rapat (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003:
89-106).
Sjafruddin dan rombongan meninggalkan Bidar Alam pada tanggal 23
April 1949. Pada saat Sjafruddin meninggalkan Bidar Alam, sedang berlangsung
perundingan antara RI dan Belanda (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 259).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Perundingan dibawah pengawasan UNCI ini bertujuan untuk mengadakan
pertemuan pendahuluan di Jakarta. Adanya perundingan pendahuluan ini berawal
dari Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia, Timur Tengah,
Australia dan Selandia Baru (Zed, 1997: 224). Perundingan antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda mencetuskan apa yang dikenal dengan
Pernyataan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 (Rasjid, 1982: 41).
Diadakanlah Pertemuan di Sumpur Kudus dimulai pada tanggal 14 Mei
1949. Dalam musyawarah itu PDRI membicarakan sikap yang harus diambil
sehubungan dengan prakarsa pihak Bangka mengadakan perundingan tanpa
terlebih dahulu membicarakannya dengan PDRI. Sjafruddin menyatakan
kekecewaannya dan dengan tegas menolak perundingan. Sjafruddin mengatakan
sudah dua kali RI mengadakan perundingan dengan pihak Belanda yang
menghasilkan Perjanjian Linggajati dan Persetujuan Renville, dan dikhianati
Belanda, lebih-lebih perundingan diadakan dengan pemimpin yang masih berada
dalam status tawanan. Sjafruddin menganggap pihak Bangka dengan sengaja telah
melecehkan PDRI, termasuk Dirinya. Padahal Sjafruddin telah diberi mandat
untuk mendirikan pemerintahan darurat dan memimpin perjuangan (Imran,
Djamhari, dan Chaniago, 2003: 261-262).
Sebagai konsekuensi dari sikap PDRI, Sjafruddin mendesak keras untuk
secepatnya mengembalikan mandat pada Soekarno-Hatta. Alasannya yaitu,
pertama, pada kenyataannya Sjafruddin merasa tidak lagi memiliki wewenang
untuk memimpin Republik, sesuai dengan posisi yang diserahkan kepadanya
sebagai ketua PDRI. Kedua, lebih terhormat kiranya bagi Sjafurddin untuk
mengembalikan mandat lebih dahulu dari pada mandat itu dicabut oleh Soekarno-
Hatta (Zed, 1997: 273-274).
Dalam musyawarah di Sumpur Kudus pada umumnya mengecam
kebijaksanaan Bangka. Akan tetapi Sjafruddin menambahkan, bahwa dunia luar
mengakui Soekarno dan Hatta (Zed, 1997: 275). Kalau yang hadir dalam
musyawarah di Sumpur Kudus hendak berpegang teguh pada pendirian masing-
masing, maka akan terlihat dua golongan yaitu golongan Soekarno dan golongan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
yang mendukung PDRI. Sjafruddin memperingatkan adanya perbedaan paham
akan sangat tidak menguntungkan perjuangan dan membahayakan keutuhan
bangsa dan negara. Untuk mencegah perpecahan, Sjafruddin mengatakan bersedia
mundur dan menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta (Imran,
Djamhari, dan Chaniago, 2003: 263).
Protes-protes PDRI dan pimpinan angkatan perang terhadap Pernyataan
Roem-Royen tentu saja terdengar oleh para pemimpin yang ada di Bangka. Hatta
menanggapinya dengan usaha menemui Sjafruddin utnuk memberikan penjelasan
mengenai latar belakang kabijakan yang diambil pihak Bangka. Hatta ditemani
oleh Ali Sastroamidjojo dan Moh. Natsir. (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003:
264). Pada 5 Juni 1949, Hatta bersama anggota rombongannya berangkat
berangkat ke Aceh. Hattalah yang paling merasa berkepentingan utuk mencari
Sjafruddin ke sumatera, guna menunjukkan bahwa para pemimpin di Bangka
sama sekali tidak mengabaikan PDRI. Akan tetapi Hatta tidak bertemu dengan
Sjafruddin di Kotaraja. Hatta bertemu dengan Kol. Hidayat, Panglima Sumatera
(Zed, 1997: 279).
Dalam pertemuan dengan rombongan Hatta, kolonel Hidayat
menyampaikan isi radiogram dari Sjafruddin tanggal 2 Juni yang ditujukan
kepada Hatta. Isinya antara lain:
a. PDRI merasa menyesal bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah menyetujui
terhadap persetujuan yang tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan PDRI.
Kalau KTN didesak, kami yakin bahwa Belanda pasti mengijinkan
pemimpin-pemimpin di Bangka berhubungan dulu dengan pihak PDRI. PDRI
kurang digunakan oleh para pemimpin di Bangka dalam perundingan.
b. Persetujuan itu memberi kesan:
1) Tidak ada jaminan yang nyata bahwa Belanda akan menyerahkan
kedaulatan sepenuhnya dan tidak bersyarat.
2) PDRI tidak akan menghalang-halangi penyerahan kembali kekuasaan
kepada pemerintah Soekarno Hatta, tetapi apabila persetujuan dipandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
tidak memuaskan, mungkin beberapa anggota akan meletakkan
jabatannya.
3) Untuk penyerahan kekuasaan di Yogya, harap kami dijemput dari
Piobang (Payakumbuh). Untuk penyiapan lapangan terbang dibutuhkan
sekitar 2 hari. Kami menunggu ditempat Zender (Imran, Djamhari, dan
Chaniago, 2003: 265-267).
Sebelum Hatta meninggalkan Aceh apda 10 Juni 1949, Sjafruddin
mengirimkan lagi radiogram tertanggal 8 Juni 1949. Isinya antara lain
mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan ucapan terima kasih dari PDRI
atas ikhtiar Wakil Presiden mencari hubungan dengan PDRI. Hatta menyambut
radiogram Sjafruddin dengan penuh perhatian. Hal ini terbukti, Hatta
mengirimkan orang-orangnya untuk menemui Sjafruddin (Zed, 1997: 279).
Setelah tiba di Bangka, Hatta membentuk tim yang akan ditugasi
menemui PDRI. Tujuan utusan Hatta adalah meyakinkan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara bahwa inisiatif yang diambil kelompok Bangka merupakan hasil
maksimal yang dapat dilakukan pemerintah pada waktu itu. Diharapkan
Sjafruddin dapat menerima keputusan itu apa adanya, dan dengan demikian
bersedia ikut kembali Yogyakarta (Zed, 1997: 284). Tim ini diketuai oleh dr.
Leimena, Natsir dan dr. A. Halim sebagai anggota dan Agus Jamal sebagai
sekretaris. Pada tangal 5 Juli 1949 tim Leimena tiba di Suliki. Dan pada 6 Juli
1949 bertemulah utusan Hatta dan utusan PDRI (Imran, Djamhari, dan Chaniago,
2003: 270).
Sjafruddin bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. TNI harus tinggal tetap pada posisinya yang diduduki pada waktu itu.
b. Tentara Belanda harus berangsur-angsur ditarik kembali dari kedudukannja.
c. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta, setelah daerah Yogyakarta
dikosongkan harus mutlak dilaksanakan oleh Belanda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
d. Belanda harus mengakui kedaulatan RI atas daerah Jawa , Sumatera, Madura,
dan kepulauan-kepulauan disekitarnya sesuai dengan Persetujuan Linggajati
(Arsip Sjafruddin Prawiranegara No 14).
Sjafruddin bersedia untuk memenuhi permintaan utusan Hatta, dan
Leimena beserta anggota memberikan jaminan bahwa tuntutan PDRI seperti yang
diajukan Sjafruddin akan disampaikan dalam sidang BP KNIP (Imran, Djamhari,
dan Chaniago, 2003: 271-272). Sebelum meninggalkan Nagari Padang Japang,
pada tanggal 8 Juli 1949 Sjafruddin mengadakan pertemuan dengan para pemuka
mayarakat. Sjafruddin mengatakan adalah lebih baik menerima Pernyataan Roem-
Royen walaupun kurang menguntungkan dari pada mengorbankan persatuan. Dan
juga disampaikannya bahwa Sjafruddin berjanji akan memimpin perjuangan kalau
persetujuan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan perjuangan Indonesia.
Sjafruddin juga masih menghormati pentingnya kedudukan Soekarno-Hatta bagi
persatuan Republik Indonesia di mata dunia luar, dan ingin memelihara kesatuan
kepemimpinan Republik Indonesia secara keseluruhan (Zed, 1997: 287).
Pada tangal 10 Juli 1949, Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin
disambut oleh Soekarno setibanya di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa
PDRI tidak berada di belakang Roem-Royen, tapi berada di belakang rakyat,
berjuang dengan rakyat dan untuk rakyat (Kedaulatan Rakyat, 11 Juli 1949). Pada
tanggal 13 Juli 1949, kabinet Hatta bersidang. Hatta melakukan perombakan
kabinet. Kabinet yang baru terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet
ini, Sjafruddin diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Noer, 2000: 207).
Pada sidang kabinet Hatta ini juga, Sjafruddin menegaskan bahwa
mandat yang dikirimkan kepadanya oleh Soekarno dan Hatta tidak pernah
diterima. Sjafruddin dan tokoh-tokoh lain di Sumatera membentuk PDRI semata-
mata beradasarkan ilham untuk mengisi kevakuman pemerintahan. Dalam sidang
itu pula, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Hatta. Pengembalian mandat oleh Sjafruddin kepada Soekarno yang
pada tanggal 1 Juli 1949 diartikan sebagai bersatunya dua komponen kedalam
Republik Indonesia. Tinggal dua kelompok yang ada yakni kelompok Republik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Indonesia dan BFO. Kedua kelompok ini akan menghadapi Belanda dalam
Konferensi Meja Bundak (KMB) di Den Haag, Belanda. Untuk menyatukan
pandangan dalam menghadapi Belanda, RI dan BFO mengadakan dua kali
Konferensi. Konferensi Inter-Indonesia pertama dilaksanakan pada tanggal 19-22
Juli 1949 di Yogyakarta, dan Sjafruddin hadir dalam Konferensi pertama ini. Pada
tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Konferensi Inter-Indonesia
yang kedua. Konferensi berhasil mencapai persetujuan untuk membentuk Panitia
Persiapan Nasional yang siap mengadakan suasana tertip sebelum dan sesudah
KMB (Imran, Djamhari, dan Chaniago, 2003: 272-289).
5. Menteri Keuangan
Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diselenggarakan di Den Hag dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949
dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. Pokok-pokok yang penting
dari hasil Konferensi Meja Bundar ialah bahwa pemerintah Belanda akan
mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk oleh negara
Republik Indonesia dengan negara-negara bagian yang sudah ada. Dalam bidang
ekonomi-keuangan ada beban yang harus dipikul oleh pemerintah Republik
Indonesia Serikat yang akan dibentuk, yaitu pembayaran utang-utang pemerintah
Hindia Belanda sampai tahun 1949. Termasuk di dalamnya biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan militer yang memerangi Republik Indonesia (Kahin,
1995: 549-557).
Pada tanggal 16 Desember 1949 dilakukan pemilihan presiden RIS yang
pertama oleh wakil-wakil negara bagian dan wakil Republik Indonesia. Ir.
Soekarno terpilih secara bulat sebagai presdien Republik Indonesia Serikat yang
pertama. Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai Perdana
Menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi
Republik Indonesia Serikat (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 205).
Di dalam kabinet Republik Indonesia Serikat, Sjafruddin Prawiranegara
duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 569). Tugas Menteri Keuangan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
termasuk dalam program kabinet RIS yang pertama itu nomor 4, yaitu: berusaha
memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan,
perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan
penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang
upah minimum; pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar kegiatan
terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya (Rosidi, 2011: 244).
Banyak kesulitan dalam bidang keuangan yang dihadapi oleh pemerintah
yang baru itu, yang harus segera diselesaikan. Mata uang yang beredar dalam
masyarakat bermacam-macam; ada uang NICA atau secara populer disebut “uang
merah” ada ORI (di daerah) dan bermacam uang Republik lain yang berlaku di
wilayahnya sendiri-sendiri. Uang itu semuanya harus diganti dengan uang baru
yang berlaku di seluruh Indonesia. Tetapi masalahnya bukan semata-mata
mengganti uang, karena segala macam uang itu mengalami inflasi yang
tingkatnya tinggi. Penukaran dengan uang baru menimbulkan masalah praktis
pula seperti penentuan kurs dari macam-macam uang itu terhadap uang baru, yang
menyangkut pula utang-piutang dan lain-lain. Neraca perdagangan dari tahun
ketahun yang memperlihatkan defisit yang kian membengkak. Ini menyebabkan
cadangan devisa dan emas di bank kian menyusut. Disamping itu pemerintah
Republik Indonesia Serikat menerima beban utang pemerintah Hindia Belanda,
baik utang dalam maupun luar negeri (Beng To, 1991:116).
Semua masalah yang bertimbun itu merupakan tantangan buat Sjafruddin
sebagai Menteri Keuangan. Suatu tindakan drastis harus dilakukan. Masalah
pokok ekonomi yang dihadapi ialah karena produksi yang rendah, karena
banyaknya mesin yang rusak, perkebunan yang tidak terpelihara, jalan yang tidak
dapat dilalui, transportasi yang buruk, pegawai yang terlalu banyak ditambah pula
oleh adanya masalah kepegawaian kembar, penyelundupan, dan lain-lain. Bagi
Menteri Keuangan RIS tidak dibatasinya kebebasan dalam langkah-langkah
persetujuan KMB dalam bidang keuangan telah mengikat langkah-langkahnya.
Seperti penentuan langkah-langkah kebijaksanaan devisa, bahkan pengangkatan
Presiden dan para direktur Bank Sirkulasi itu pun hanya dapat dilakukan setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
mengadakan perundingan dengan Belanda. Begitu pula lalu lintas pembayaran
antara Indonesia dengan negara-negara luar hampir seluruhnya harus disalurkan
melalui negeri Belanda (Parera,ed., 2005: 27).
Pada tanggal 11 Maret 1950 dikeluarkanlah peraturan oleh Lembaga
Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (yang mulai berlaku tanggal 13 Maret 1950)
untuk memperbaiki perkembangan neraca pembayaran dengan memakai sistem
Sertifikat Devisa. Tanpa melakukan perubahan kurs resmi rupiah terhadap mata
uang asing, peraturan itu menetapkan kurs efektif bagi pembelian dan penjualan
devisa yang berbeda. Orang-orang yang mengekspor barang dari Indonesia, selain
memperolah uang sebanyak harga barang-barangnya dalam rupiah Indonesia, juga
memperoleh Sertivikat Devisa sebesar 50% dari harga barang yang diekspornya
itu (Beng To, 1991:200-201).
Setiap orang yang hendak mengimpor barang, selain harus mempunyai
ijin untuk memperoleh devisa, juga harus mempunyai Sertifikat Devisa yang
besarnya sama denagn harga barang yang hendak diimpornya. Maksud peraturan
ini adalah hendak menggiatkan ekspor dan menekan impor. Timbul reaksi yang
bermacam-macam terhadap peraturan baru. Di samping yang menggerutu
(kebanyakan importir pendatang baru yang tidak mempunyai modal yang cukup
kuat), banyak menyambut dengan antusias, karena menganggap peraturan baru ini
akan mendorong ekspor dan memberikan perangsang kepada penghasil bahan
ekspor yang kebanyakan petani kecil (Rosidi, 2011: 248-249).
Akibat dari peraturan Devisa yang baru ini antara lain, apabila ekspor
meningkat maka akan terjadi lebih banyak lagi alat-alat pembayaran asing guna
pembelian di luar negeri; Kurs rupiah Indonesia sesudah beberapa lama akan tetap
pada tingkat yang semestinya; adanya sistem baru ini, perdagangan gelap akan
kurang menarik; dan dengan penyehatan peredaran uang ini, maka luar negeri
akan menunujukkan kesediaan yang lebih besar untuk menanamkan modal di
Indonesia berupa perbungaan oleh kaum partikelir asing dan berupa pinjaman-
pinjaman pemerintah (Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 1950).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Peraturan Sertifikat Devisa kemudian disusul dengan Putusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Maret 1950 tentang “Operasi
Gunting Sjafruddin” karena sebagi Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara
mengambil keputusan untuk memotong dua dengan gunting uang merah dengan
uang de Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas. Pecahan Rp 2,50 dan yang
lebih kecil tidak mengalami pengguntingan. Uang ORI juga tidak digunting.
Keputusan ini menembak beberapa sasaran: pengganti uang yang bermacam-
macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk
menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang, mengisi kas
pemerintah dengan pinjaman wajib (Beng To, 1991: 209). Pengguntingan uang
pada tanggal 19 Maret 1950 dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No.PU/1 tanggal 19 Maret 1950 terhadap uang kertas De Javasche
Bank dan uang pendudukan Belanda (Parera,ed., 2005: 96).
Sejak pukul 8 malam tanggal 19 Maret 1950, uang kertas pecahan Rp 5
keatas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagi alat pembayaran
yang sah dengan nilai setengah dari nominalnya, tetapi sejak tanggal 22 Maret
1950 bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-
tempat lain yang ditentukan. Batas terakhir penukaran itu sampai dengan tangal
16 April 1950. Sesuah itu, kalau belum ditukarkan juga, bagian kiri itu tidak laku.
Sedangkan bagian kanan dari uang itu dinyatakan tidak laku, tetapi dapat ditukar
dengan surat obligasi pemerintah sebesar setengah dari nilai nominalnya. Obligasi
yang dikeluarkan oleh pemerintah itu dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950.
Bunganya ditetapkan sebesar 3% setahun (Rosidi, 2011: 250-251).
Pemaroan dilakukan juga terhadap simpanan-simpanan pada bank dan
surat-surat perbendaharaan. Yang dimaksud dengan simpanan pada bank ialah
simpanan pihak ketiga yang dapat ditagih sewaktu-waktu maupun yang
penagihannya tergantung pada suatu masa, serta segala simpanan yang dipandang
oleh atau atas nama Menteri Keuangan sebagai simpanan di bank. Bank
diwajibkan memindahkan setengah dari simpanan-simpanan itu kepada sebuah
rekening khusus yang dinamakan “Pendaftaran Pinjaman Negara 3% 1950” yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
hanya dapat digunakan untuk membeli obligasi negara. Langkah pembersihan
uang pada bulan Maret 1950 berhasil mengurangi jumlah uang kartal sekitar 1,6
milyar, sehingga posisi uang yang beredar dapat ditekan menjadi sebesar 4,3
milyar pada akhir tahun 1950 (Parera,ed., 2005: 96-97).
Manurut Sjafruddin, uang boleh menjadi sampah, cita-cita boleh terbang
dan hancur binasa, tetapi manusia yang hidup dan mengerti akan kewajibannya
tak boleh jemu-jemu berjuang dan bekerja, berikhtiarlah mencara jalan baru untuk
mencapai kebahagiaan, yang menjadi sumber bagi segala cita-cita. Untuk
menyelamatkan negara, pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan yang
cepat dan radikal. Dan satu-satunya jalan yang menurut pendapat pemerintah
dapat membawa ketujuan yang kita maksud, ialah mengadakan pinjaman negara
dan mengurangi peredaran uang (Prawiranegara, 2011: 36-40).
Ditinjau dari sudut kemakmuran, maka peraturan devisa baru akan
memberikan keuntungan kepada kaum eksportir jauh lebih besar daripada di masa
lampau. Oleh karena itu maka ekspor akan bertambah, dan oleh sebab itu, maka
impor pun dapat diharapkan akan bertambah pula. Peraturan itu memang
memberatkan para importir bangsa yang baru saja timbul, yang sangat kekurangan
modal, tetapi kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar dari pada
barang-barang ekspor tidak boleh dikurbankan (Rosidi, 2011: 253-254).
Mengenai obligasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintah RIS
dinyatakan, bahwa sebelum keluar obligasi itu bagian-bagian kanan dari mata
uang yang sudah dipotong sekarang ini boleh diperdagangkan, sebab diketahui
paling sedikit harga obligasi itu adalah dari seratus rupiah. Dianjurkan kepada
rakyat dalam memperdagangkan itu jangan sampai terlalu rendah dari harga yang
semestinya. Mengenai usaha untuk menaikkan harga sesudah dikeluarkann
peraturan baru itu akan diadakan tindakan-tindakan keras oleh pemerintah.
Berhubung dengan adanya tindakan-tindakan oleh berbagai perusahaan-
perusahaan perkapalan dan lain-lain dari pihak asing yang menaikkan harga
hingga 200%, maka pemerintah membentuk panitia untuk mengadakan
perundingan dengan perusahaan-perusahaan asing. Menurut pendapat pemerintah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
tidak pada tempatnya perusahaan-perusahaan itu menaikkan tarifnya hingga
200%, karena perusahaan-perusahaan tersebut banyak sekali mendapat jasa-
jasanya di Indonesia (misalnya pembayaran upah buruh) yang dalam mata uang
Indonesia tidak naik. Demikian pula pemerintah tidak menaikkan ongkos-ongkos
yang harus dibayar perusahaan. Kalau perusahaan-perusahaan asing itu tetap pada
tindakan yang sudah diambilnya, maka pemerintah akan juga mengadakan
tindakan-tindakan pembalasan, misalnya menaikkan ongkos-ongkos pelabuhan
hingga beberapa persen (Kedaulatan Rakyat, 22 Maret 1950).
Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan juga mengatur penukaran uang
ORI dan jenis-jenis uang lain. Tanggal 1 Januari 1950 Menteri Keuangan sudah
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa ORI dan mata uang sejenisnya
sebagai alat pembayaran yang sah akan ditarik mulai tanggal 1 Mei 1950, tetapi
karena keputusan Menteri Keuangan 19 Maret 1950 itu, maka soal penukaran ORI
dan uang-uang lain sejenisnya dipercepat. Uang-uang itu sudah dapat ditukarkan
sejak tanggal 27 Maret 1950 sekalian dengan penukaran bagian kiri uang federal.
Tetapi berlainan dengan bagian kiri uang federal yang harus ditukarkan paling
lambat tanggal 17 April 1950, maka penukaran ORI dan uang-uang lain
sejenisnya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 1 Juni 1950 yang kemudian
diperpanjang lagi sampai tanggal 21 Juni 1950 (Rosidi, 2011: 259).
Sebagai upaya untuk mencegah salah paham ditegaskan bahwa Kurs
yang ditetapkan merupakan kurs yang akan digunakan saat penukaran ORI
dengan uang RIS sementara mulai 30 Maret 1950, di rumah-rumah pegadaian.
Segala uang yang ada akan ditukar semuanya, dan untuk penukaran itu akan
diberi kesempatan seluas-luasnya sehingga siapa pun juga layak menukarkan ORI
yang ada padanya. Selama penukaran itu boleh dipakai sebagai alat pembayaran
yang sah sampai 1 Mei 1950. Untuk dapat menukarkan ORI orang harus
mempunyai surat keterangan dari lurah atau pamong praja yang sederajat. Untuk
anggota Angkatan Perang sebagai pengganti lurah dapat diterima surat keterangan
dari Komandan yang bersangkutan. Di kantor-kantor penukaran diadakan panitia
Pemeriksaan uang palsu, anggotanya akan diangkat dari pamong praja dan Polisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Setiap orang selama masa penukaran hanya dibolehkan menukarkan satu kali
(Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 1950).
Karena daya beli ORI berbeda-beda dengan jenis uang lainnya, maka
kurs yang ditetapkan untuk penukaran pun tidaklah sama. ORI misalnya
ditetapkan kursnya 125 buat tiap f 1; sedangkan URIBA yang beredar di Aceh,
175 buat setiap f 1; untuk ORIPS yang beredar di Sumatera Tengah 125 buat
setiap f 1; untuk URITA yang beredar di Tapanuli, 350 buat setiap f 1; URISU
yang beredar di Sumatera Utara, 450 buat setiap f 1, dan sebagainya. Tetapi setiap
orang paling banyak hanya boleh menukarkan sampai senilai f 50 saja, tidak boleh
lebih (Beng To, 1991: 144).
Ada beberapa faedah yang dapat dicapai dengan peraturan yang
dikeluarkan Sjafruddin, ialah: a. Merupakan cambuk bagi masyarakat untuk
bekerja lebih keras. Dengan dikuranginya peredaran uang, bisa diharapkan bahwa
harga-harga barang tentu akan turun, sedangkan upah-upah akan tetap
sebagaimana biasa; b. Kekacauan dalam soal uang, yang juga merupakan salah
satu sebab kurang lancarnya perekonomian, akan lenyap. Juga ORI baik di Jawa
maupun Sumatera akan bersam-sama ditarik dari peredaran. Uang federal yang
lama akan lenyap pada tanggal 17 April, uang ORI pada tanggal 1 Mei 1950;
c. Kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia dalam masalah-masalah keuangan
dan perekonomian akan bertambah besar, sehingga kemungkinan untuk
mendapatkan kredit atas dasar-dasar yang sehat akan menjadi lebih besar lagi.
Dunia luar akan melihat, bahwa Indonesia dengan kekuatan sendiri, dengan tidak
menggantungkan nasibnya pada belas kasihan dari negara-negara asing, benar-
benar sanggup menyelesaikan soal-soalnya sendiri. Dengan sendirinya kedudukan
politik Indonesia akan kuat (Prawiranegara, 2011: 40-41).
6. Gubernur Bank
Pemerintahan RIS yang baru berjalan tujuh bulan, sudah timbul suara-
suara yang menginginkan negara kesatuan. Mayoritas bangsa Indonesia tidak puas
dengan sistem federasi. Negara-negara bagian berusaha untuk meleburkan diri ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
dalam Republik Indonesia, sehingga jumlahnya menyusut. Mulailah diadakan
perundingan antara negara Republik Indonesia dengan Pemerintah RIS yang pada
tanggal 19 Mei 1950 bersepakat untuk membentuk Negara Kesatuan. Langkah
selanjutnya ialah menyusun Undang-Undang Dasar RIS. Penyusunan rencana
Undang-Undang Dasar itu selesai pada tanggal 20 Juli 1950 dan Presiden
Soekarno menandatanganinya pada tanggal 15 Agustus 1950. Undang-Undang
Dasar itu kemudian terkenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Sementara
(Poesponegoro&Notosusanto, 1993: 209-210).
Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara RIS dibubarkan dan dilanjutkan
oleh negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Ir. Soekarno
terpilih kembali sebagai presiden, dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Wakil
Presiden. Karena Undang-Undang Dasar Sementara menganut sistem
parlementer, maka pemerintah akan diselenggarakan oleh kabinet yang mendapat
kepercayaan dari parlemen. Sebagai formatur kabinet yang pertama berhasil
membentuk pemerintahan ialah M. Natsir yang pada bulan September menyusun
sebuah kabinet yang kuat karena banyak tokoh yang ahli dan cakap duduk di
dalamnya. Dalam kabinet ini intinya adalah Partai Masyumi, dan Sjafruddin
duduk sebagai Menteri Keuangan (Kahin, 1995: 594).
Banyaknya pemogokan dan karena produksi belum berjalan, maka
Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan mempunyai tanggungjawab untuk
mengatasi masalah tersebut. Salah satu sumber pemasukan uang negara yang
dilihatnya masih belun berjalan denagn baik ialah pemungutan pajak. Untuk itu
Sjafruddin mengajukan sebuah rencana Undang-undang ke parlemen tentang
Pajak Peredaran. Setelah Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu
diundangkan, timbul reaksi yang keras dalam parlemen. Resuna Said dan kawan-
kawannya sesama anggota parlemen mengajukan sebuah mosi yang menghendaki
agar Undang-undang Darurat tentang Pajak Peredaran itu dicabut kembali. Namun
ternyata sebelum parlemen membahas mosi Rasuna Said itu, pada Maret 1951
kabinet Natsir sudah terlebih dahulu jatuh karena Kabinet mengambil alih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat mengenai otonomi daerah yang
menyebabkan beberapa anggota Parlemen mengajukan mosi (Ricklefs, 1991:364).
Kabinet berikutnya yaitu kabinet Soekiman dan sampai pembentukan
PRRI, Sjafruddin tidak duduk dalam kabinet. Meskipun tidak duduk dalam
kebinet, Sjafruddin masih menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah.
Sjafruddin Prawiranegara mengkritik perlunya selalu berkepala dingin dalam
menghadapi persoalan-persoalan negara. Misalnya mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank. Sjafruddin menganjurkan agar persoalan De Javasche Bank harus
dipikirkan baik-baik. Bukan karena tidak setuju dengan nasionalisasi, tetapi
Sjafruddin sadar bahwa tenaga Indonesia belum cukup mampu untuk
menanganinya. Juga dalam menggunakan tenaga-tenaga ahli Belanda. Sjafruddin
mengkritik orang-orang yang tidak menggunakan sebagaimana mestinya tenaga-
tenaga ahli itu, padahal sudah dibayar dan tenaga mereka memang bermanfaat.
Kalau tidak dipakai dengan sebaik-baiknya, mereka mungkin tidak mau
memperpanjang kontraknya, lalu mereka melamar ke badan-badan internasional
yang tidak mustahil mengirimkannya kembali ke Indonesia karena kita memang
memerlukannya. Kalau begitu, Indonesia harus membayar mereka lagi, bahkan
dengan harga yang lebih mahal (Rosidi, 2011: 266-267).
Ketika Mr. Jusuf Wibisono yang menjadi Menteri Keuangan dalam
kabinet Soekiman, Ia mengambil langkah-langkah ke arah nasionalisasi De
Javasche Bank. Pada tanggal 28 Mei 1951, Perdana Menteri Dr. Soekiman
menyampaikan maksud itu kepada parlemen yang juga menyetujui gagasan
tersebut. Pada tanggal 19 Juni 1951 dibentuklah suatu panitia oleh pemerintah
yang bertugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisai De Javasche
Bank (Prawiranegara, 2011: 106).
Setelah Presiden De Javasche Bank Dr. A. Houwik mengajukan
permohonan berhenti karena Houwik merasa tidak dipercayai lagi dengan tidak
diberitahu oleh pemerintah mengenai nasionalisasi (Thee Kian Wie,ed., 2005: 34),
maka salah satu Direksi Bank Paul Spies mencalonkan Sjafruddin Prawiranegara
sebagi penggantinya Presiden De Javasche Bank. Sjafruddin menerima tawaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
pemerintah, tetapi dengan syarat bahwa peraturan gaji para petugas bank, juga
setelah dinasionalisasikan nanti tidak akan diubah dan dinasionalisasikan. Dengan
perkataan lain, tingkat pengupahan para karyawan bank tidak akan diturunkan
pada tingkat pegawai negeri Indonesia. Syarat itu diterima oleh Dr. Soekiman dan
kabinet. Sjafruddin kawatir kalau pimpinan De Javasche Bank yang baru tidak
memelihara kelanjutan usaha Indonesianisasi, akan timbul kekacauan dalam
kehidupan perbankan. Sebaliknya dengan menerima tawaran itu, maka dia akan
dapat melanjutkan proses Indonesianisasi. Sjafruddin Prawiranegara diangkat
sebagai Presiden De Javasche Bank pada tanggal 12 Juli 1951 (Rachbini,ed.,
2000: 2).
Pada tanggal 15 Desember 1951 keluarlah Undang-undang tentang
Nasionalisasi De Javasche Bank NV (Prawiranegara, 2011: 106). Dalam pasal 2
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa saham-saham De Javasche Bank yang
belum dimiliki oleh Republik Indonesia segera dicabut haknya oleh Republik dan
pindah menjadi milik penuh dan bebas dari negara (Beng To, 1991: 248-249).
Sebagai Presiden De Javasche Bank yang saham-saham sudah
dinasionalisasikan, Sjafruddin harus melakukan langkah-langkah Indonesianisasi
dan nasionalisasi lebih lanjut. Sudah sejak ketika Sjafruddin menjadi Menteri
Keuangan, De Javasche Bank melakukan pendidikan tanaga-tanaga ahli bank bagi
orang-orang Indonesia yang muda-muda. Setelah berlangsung dua tahun baru ada
26 tenaga muda yang menjadi tenaga staf (Rosidi, 2011: 278-279).
Setelah dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank tahun 1951,
Pemerintah menyampaikan rencana Undang-undang pokok Bank Indonesia yang
merupakan Undang-undang bagi Bank Sentral kepada parlemen. Sjafruddin
mengemukakan pendapatnya mengenai hubungan antara Bank Sentral dengan
Pemerintah. Menurut Sjafruddin jika Bank Sentral didudukkan di bawah
pemerintah akan berbahaya karena menurut sejarah semakin lama pemerintah
akan ikut campur dalam urusan uang dengan berbagai alasan. Antara lain untuk
mencegah pemalsuan uang atau untuk menguasai uang itu agar memperoleh
keuntungan. Jika Bank Sentral diberikan otonomi terhadap pemerintah, maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
selain sebagai alat dan kasir pemerintah, Bank Sentral dapat pula menjadi
penyedia keuangan bagi pemerintah dan bila perlu dapat menolak permintaan
kredit dari pemerintah berdasarkan tanggungjawab Bank Sentral terhadap
pemeliharaan nilai mata uang. Dalam hal ini pemerintah hanya menjadi pengawas.
Untuk maksud tersebut, pemerintah dapat menempatkan seorang atau beberapa
komisaris pada Bank Sentral sebagai wakil pengawasan (Parera,ed., 2005: 32-34).
Pada tanggal 2 Juni 1953, diundangkanlah Undang-Undang Pokok Bank
Indonesia (UUPBI) tahun 1953 no.11 yang sudah disahkan tanggal 19 Mei 1953
sebelumnya. Dan pada tanggal 1 Juli 1953, didirikanlah Bank Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, kedudukan Bank Indonesia adalah
menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai Bank Sentral Indonesia
(Parera, ed., 2005:38). Di Indonesia, octrooi atau hak untuk mengeluarkan uang
kartal hanya diberikan kepada satu bank sirkulasi saja yaitu Bank Indonesia.
monopoli untuk mengeluarkan uang itu terdapat dalam pasal 8 UUPBI 1953 yang
berbunyi antara lain bank berhak mengeluarkan uang kertas bank, dan uang kertas
itu bersifat alat pembayaran yang sah sampai setiap jumlah (Prawiranegara,
2011:184).
Sebagai Presiden De Javasche Bank yang akan menjadi Gubernur Bank
Indonesia kalau sudah berdiri, maka Sjafruddin sejak awal aktif membantu
penyusunan rencana Undang-undang Pokok tentang Bank Indonesia. Banyak
gagasannya yang diterima dan masuk dalam undang-undang, misalnya tentang
adanya suatu Dewan Moneter yang unik dan bersifat khas Indonesia. Karena tidak
terdapat di dalam susunan perbankan yang lain ataupun di negeri lain. Dewan
Moneter itu merupakan pimpinan tertinggi Bank Indonesia, tetapi juga merupakan
Dewan Pemerintah yang didalamnya turut duduk Gubernur Bank Indonesia
(Rosidi, 2011: 281).
Tugas Dewan Moneter itu menurut pasal 22 UUPBI tahun 1953 ialah:
menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari bank, memberi petunjuk kepada
Direksi tentang kebijaksanaan bank dalam urusan-urusan yang lain, sekedar
kepentingan umum memerlukannya dan melakukan pekerjaan-pekerjaan bank
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
seperti mengatur nilai satuan uang Indonesia supaya tetap stabil, memajukan
perkembangan urusan kredit dan urusan bank dan mengawasinya, mengurus dan
menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri dan
lain-lain. Dewan Moneter terdiri dari tiga orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai
Ketua, Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian
Dewan Moneter itu merupakan kuasa sehari-hari pemerintah dalam soal politik
moneter dan Direksi Bank Indonesia dengan aparatnya merupakan badan
pelaksanaan dari politik moneter itu. Dalam UUPBI tahun 1953 dengan tegas
dicantumkan bahwa tanggungjawab terakhir atas kebijaksanaan moneter berada
ditangan pemerintah (pasal 22 ayat 2) (Parera,ed., 2005: 43-44).
7. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Menjelang Musyawarah Nasional pada tanggal 7 dan 8 September 1957,
di Palembang diadakan sebuah pertemuan rahasia yang dihadiri diantaranya
Letnan Kolonel Ahmad Husein dari Sumatera Tengah, letnan Kolonel Ventje
Samual dari Sulawesi Utara, dengan Letnan Kolonel Barlian sebagai tuan rumah,
Kolonel M. Simbolon, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sebagai hasil pertemuan itu,
mereka berhasil menelurkan persetujuan formal yang disebut juga sebagai Piagam
Palembang. Isinya antaralain:
a. Mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.
b. Menggantikan kepemimpinan militer pusat yaitu Mayor Jenderal A.H.
Nasution.
c. Melaksanakan kebijaksanaan desentralisasi dengan memberikan otonomi
yang lebih luas ke daerah-daerah.
d. Pembentukan Senat untuk membela kepentingan daerah dalam pemerintahan.
e. Melarang komunis (Kahin, 2005: 307).
Sejak Januari 1958, daerah-daerah yang bergolak menunjukkan
penentangan pada pemerinta Pusat. Sesuai dengan ultimatum yang disampaikan
dalam Piagam Palembang bahwa jika dalam waktu 5x24 jam pemerintah pusat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
tidak memperdulikan seruan daerah, maka akan dilakukan pemutusan hubungan
daerah dengan pemerintah pusat (Nuryanti, 2011:75).
Ketika berangkat ke Palembang, Sjafruddin disertai dengan harapan
bahwa gerakan-gerakan daerah di Sumatera akan memberikan alternatif bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia. Sjafruddin menganggap bahwa situasi
yang makin memburuk disebabkan juga oleh sikap Soekarno yang ingin
menumpuk kekuasaan ditangannya sendiri dengan bantuan orang-orang komunis.
Meskipun Sjafruddin tidak menyukai gaya kepemimpinan Presiden Soekarno,
tetapi Sjafruddin juga sadar bahwa peranan Soekarno dalam kehidupan politik
Indonesia tidak mudah diganti oleh orang lain (Rosidi, 2011: 317).
Suatu pertemuan di Sungai Daerah yang diadakan pada tanggal 9-13
Januari 1958 dihadiri oleh sipil dan militer. Pertemuan ini diadakan karena
muncul suatu dugaan bahwa pemerintah pusat akan melekukan kekerasan dalam
menangani daerah bergolak. Maka mulai disiapkan tentara untuk menghadapi
pusat. Yang hadir dalam pertemuan antara lain Kolonel Simbolon, Letkol. Ahmad
Husein, Letkol. Vintje Sumual, Kolonel Dahlan Djambek, M. Natsir, Sjafruddin
Prawiranegara, Soemitro Djojohadikusumo, dan Burhanudin Harahap (Nuryanti,
2011: 75). Walaupun tidak mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Sungai
Daerah ini, menimbulkan desas desus bahwa para kolonel memutuskan untuk
membentuk sebuah negara Sumatera. Husein menolak tuduhan pembentukan
negara Sumatera, melalui Radio Bukittinggi Husein mengemukakan bahwa
pertemuan di Sungai daerah ialah untuk melindungi negara kesatuan dan
mendorong pemerintah mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang sedang
dihadapi (Kahin, 2005: 320-326).
Setelah pertemuan di Sungai Daerah, terjadi perdebatan antara sipil dan
militer. Sjafruddin mulai mempertanyakan hasil keputusan dalam sidang terlalu
radikal dan mengundang kekerasan bahkan perang. Sjafruddin mengingatkan
Ahmad Husein agar mempertimbangkan kembali untuk mengultimatum Jakarta,
meskipun gertakan kepada pusat dapat mempersatukan daerah-daerah yang
bergolak. Yang menjadi pertimbangan yaitu Barlian di Sumatera Selatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
daerahnya kaya akan minyak membelot ke pusat. Jika Barlian membelot, rencana
menggertak pemerintah akan gagal. Tanpa cadangan minyak dari Sumatera
Selatan, kekuatan daerah bergolah akan mudah hancur. Namun Ahmad Husein
tidak mau mendengarkan saran dari Sjafruddin dan justru mengatakan bahwa
Dewan Banteng harus berjalan sendiri, dan akan terus melanjutkan perjuangan
(Nuryanti, 2011: 77).
Sjafruddin menulis surat kepada Presiden Republik Indonesia sehari
sebelum cutinya habis yaitu pada tanggal 15 Januari 1958. Isinya menyatakan
setelah mempelajari dan merenungkan sedalam-dalamnya keadaan negara dan
rakyat Indonesia yang tidak lagi ada dasar berpijak dan ruang bergerak,
memutuskan untuk sementara sampai keadaan berubah, meninggalkan Jakarta dan
menetap di salah satu daerah yang penguasa-penguasanya masih menghargai
demokrasi. Suatu daerah yang masih tetap melindungi kemerdekaan berpendapat,
berbicara dan bekerja. Presiden hendaknya kembali kepada jabatannya yang
konstitusional, dan pemerintah yang hendaknya dipimpin oleh dan terdiri dari
tokoh-tokoh nasional yang disegani bukan karena menaiki mobil menteri,
melainkan karena kejujuran, integritas kepandaian dan keberanian untuk bekerja
dan berjuang guna kepentingan negara (Arsip Sjafruddin No 2).
Menteri Keuangan Mr. Sutikno Slamet mengirimkan panggilan pada
tanggal 20 Januari 1958, agar Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur
Bank kembali ke post. Sjafruddin menjawab bahwa akan kembali ke Jakarta kalau
sudah berdiri pemerintah nasional yang kuat. Maka dalam rapat Kabinet tanggal
30 Januari 1958, atas usul Dewan Moneter, diambil keputusan untuk memecat
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank, dan Mr. Loekman Hakim selah
seorang anggota Direksi Bank Indonesia diangkat sebagai Gubernur yang baru.
Sjafruddin sebenarnya ragu karena perhitungan rasionya tidak memperlihatkan
janji kemenangan. Dengan hati yang berat, Sjafruddin dengan kawan-kawan
politiknya terus berjuang. Selain perasaan malu, ada pula solidaritas (Rosidi,
2011: 328-330).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Pada tanggal 10 Februari 1958 Dewan Perjuangan mengumumkan
mukadimah piagam perjuangan untuk bangkit berjuang menyelamatkan Republik
Indonesia dari malapetaka (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.3) dan
mengajukan tuntutan supaya dalam waktu 5x24 Kabinet Djaunda mengembalikan
mandatnya kepada Presiden/Pejabat Presiden. Presiden/Pejabat Presiden
mengambil kembali mandat kabinet Djuanda. Segera setelah tuntutan tersebut
dilaksanakan, supaya Hatta dan Hamengku Buwono ditunjuk untuk membentuk
satu zaken kabinet. Apabila tuntutan tersebut tidak dilaksanakan dan tidak
dipenuhi, maka dengan ini Dewan Perjuangan menyatakan bahwa sejak saat itu
menganggap terbebas dari pada wajib taat kepada Dr. Ir. Suakrno sebagai Kepala
Negara. Maka segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan diatas itu,
menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden
Soekarno (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.4).
Sjafruddin menyampaikan kecemasan, kalau-kalau terjadi perang
saudara, karena Letnan Kolonel Barlian, teman yang penting yang menguasai
ladang-ladang minyak di Sumatera Selatan, di perkirakan akan membelot.
Sjafruddin pun menyarankan agar kalau sampai menimbulkan perang saudara,
maka sebaiknya pembentukan kabinet yang direncanakan itu ditunda atau
dibatalkan. Namun saran ini tidak dihiraukan. Bagi Kolonel Ahmad Husein dan
kawan-kawan militernya tidak ada jalan lain kecuali terus tanpa menghiraukan
perubahan-perubahan dan perkembangan dalam situasi faktual yang tidak
mustahil membawa perubahan-perubahan dalam perbandingan kekuatan diantara
dua pihak yang berhadapan (Rosidi, 2011: 333).
Tidak adanya respon dari pemerintah, maka pada tanggal 15 Februari
1958, Dewan Perjuangan memutuskan membentuk Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia. Yang berdaulat penuh kedalam dan keluar dan yang
berkedudukan di Bukittinggi. Adapun tugas PRRI yaitu:
a. Menghentikan Kabinet Djuanda dan menghapuskan konsepsi Sukarno, yang
menjadi penghalang bagi pelaksanaan cita-cita Piagam Perjuangan, dengan
pengertian, bahwa nanti sebagaimana termaksud dalam Piagam Perjuangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
pasal 7 yakni bahwa kami akan menganggap diri kami terbebas dari wajib
taat kepada Dr. Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara, akan berjalan jika dalam
waktu yang layak, dari sikap, pernyataan dan atau fakta-fakta lain, sudah jelas
bahwa Dr. Ir. Sukarno tidak bersedia kembali kepada kedudukannya yang
konstitusionil dan tidak bersedia menunjuk Hatta-Hamengku Buwono sebagai
formatur/pimpinan satu Zaken Kabinet Nasional.
b. Menjalankan pemerintahan berdasarkan Piagam Perjuangan dan
menyerahkan pimpinan Pemerintahan kepada Hatta-Hamengku Buwono,
pada setiap saat bila mereka sanggup dan bersedia mengambil pimpinan itu
dan/ atau membentuk satu kebinet baru dan apabila jaminan-jaminan yang
cukup, bahwa cita-cita yang kami perjuangkan, dapat terlaksana.
Dengan susunan kabinet PRRI sementara sebagai berikut:
a. Perdana Menteri - Mr. Sjafruddin Prawiranegara
b. Menteri Keuangan - Mr. Sjafruddin Prawiranegara
c. Menteri Luar Negeri - Kol. M. Simbolon
d. Menteri Dalam Negeri - Kol. Moh. Dahlan Djambek
e. Menteri Pertahanan - Mr. Boerhanoedin Harahap
f. Menteri Kehakiman a. i. - Mr. Beorhanoedin Harahap
g. Menteri Perdagangan - Dr. Soemitro Djojohadikusumo
h. Menteri Perhubungan/Pel a. i. - Dr. Soemitro Djojohadikusumo
i. Menteri PPK - Mohd. Sjafei
j. Menteri Kesehatan - Mohd. Sjafei
k. Menteri Pembangunan - Kol. J. Warow
l. Menteri Pertanian - Saladin Sarumpait
m. Menteri Perburuhan a. i. - Saladin Sarumpait
n. Menteri Penerangan - Let. Kol. Saleh Lahadu
o. Menteri Agama - Muchtar Lintang
p. Menteri Sosial - Abd. Gani Usman (ajah Gani)
Sebagai susunan ini dalam waktu yang singkat akan diperlengkap dan
disempurnakan (Arsip Sjafruddin Prawiranegara No.5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Keputusan Dewan Perjuangan tentang pembentukan Dewan PRRI itu
hanya ditandatangani oleh Ketua Dewan Perjuangan yaitu Letnan Kolonel Ahmad
Husein. Kepada Sjafruddin tadinya diminta pula untuk tanda tangan di atas
dokumen itu, karena mengenai pengangkatan dirinya sebagai Perdana Menteri dan
sebagai tanda, Sjafruddin pun turut bertanggungjawab atas pembentukan PRRI.
Tetapi Sjafruddin menolak, justru supaya orang tahu bahwa penanggung jawab
atas pembentukan PRRI itu adalah Ketua Dewan Perjuangan/Ketua Dewan
Banteng: Kolonel Ahmad Husein. Walaupun demikian, Sjafruddin berjanji akan
memimpin PRRI dan menjalankan tugas sebaik-baiknya (Rosidi, 2011: 335).
Proklamasi PRRI yang diumumkan pada tanggal 15 Februari 1958
mendapat sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang
diselenggarakan di beberapa tempat di daerah tersebut KDMSUT (Komando
Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah) Kolonel D.J. Somba mengeluarkan
pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 wilayah Sulawesi Utara dan
Tengah menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah Pusat serta
mendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Harvey, 1989: 129-
130).
Sebagai Perdana Menteri yang baru dilantik, Sjafruddin menyampaikan
sebuah pidato radio yang menjelaskan sebab-sebab dan tujuan pembentukan
PRRI, yaitu untuk membela kebenaran dan keadilan. Sambil mengenangkan
kembali pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) hampir
sepuluh tahun sebelumnya, Sjafruddin pun mengemukakan perbedaan-perbedaan
antara kedua macam pemerintah itu. Yang terpenting ialah karena waktu
memimpin PDRI Sjafruddin berhadapan dengan penjajah asing yang hendak
menjajah Indonesia kembali, sedangkan sekarang harus berhadapan dengan
pemerintah Bangsa sendiri (Moedjanto, 1988: 106). PRRI merupakan suatu
pergerakan sebagai bentuk protes atas pemerintahan Republik Indonesia, bukan
bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno pada waktu itu. Meskipun
demikian pada prakteknya PRRI tetap dianggap sebagai pergerakan yang dapat
mengancam stabilitas dan kedaulatan Republik Indonesia (Gusman, 2007: 33-35).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Pada tanggal 16 Februari 1958, Presiden Soekarno mengeluarkan
perintah penangkapan dan penahanan terhadap Mr. Sjafruddin Prawiranegara,
Mr. Boerhanoeddin Harahap, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo dan Mohammad
Sjafe’i. Sedangkan kepada Kolonel J.F. Warouw, Letnan Kolonel Saleh Lahade,
Mochtar Lintang, Saludin Sarupaet dan Abdul Gani Usman diberi waktu 3x24 jam
untuk menyatakan sikap yang tegas, apakah akan menerima penunjukkan kabinet
dalam PRRI ataukah tidak (Nuryanti, 2011: 81-82).
Berbagai pihak di Jakarta mencoba mencari penyelesaian. Partai Politik
mulai dari Masyumi, NU, PNI, PSII sampai PRI (Partai Rakyat Indonesia) di DPR
pernah mencoba menyelesaikannya sebelum tenggang waktu sampai 15 Februari
1958 habis dan bahkan sempat mengirimkan telegram kepada pihak Dewan
Perjuangan di Bukittinggi supaya jangan melakukan suatu tindakan dahulu karena
sedang diusahakan penyelesaian secara politis. Orang-orang di Jakarta kecuali
orang-orang kiri, percaya bahwa pihak Dewan Perjuangan akan bersedia
berunding jika Jakarta memberikan kemungkinan penyelesaian. Bung Hatta
sebagai tokoh yang disegani Dewan Perjuangan, hendak mencoba pula
mencarikan jalan keluar secara politisi dengan Presiden Soekarno. Tetapi sebelum
pertemuan itu berlangsung, pada tanggal 21 Februari 1958, pesawat AURI sudan
menjatuhkan bom di Painan, seperti Padang, Bukittinggi, Manado, dan lain-lain.
Setelah pemboman itu Bung Hatta tidak bersedia lagi berunding dengan presiden
Soekarno (Rosidi, 2011: 338).
Untuk menghadapi PRRI pemerintah dan KSAD memutuskan untuk
melancarkan operasi militer. Operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara di Sumatera Tengah disebut Operasi 17 Agustus. Selain untuk
menghancurkan separatis, operasi juga berusaha mencegah turut campurnya
kekuatan asing yang dikhawatirkan akan mengadakan intervensi dengan dalih
melindungi modal asing dan warga negaranya. Gerakan APRI ditujukan kepada
Pekan Baru untuk mengamankan sumber minyak. Pada 14 Mei 1958 Bukittinggi
dapat direbut (Tim Penulis, 1990:338). Pasukan RPKAD mengamankan daerah
Riau (Syamdani, 2009:81).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Sjafruddin beserta beberapa anggota yang semula hendak menghindarkan
diri kearah Selatan, ke Bidar Alam, tempat dahulu memimpin PDRI, terpaksa
menuju kearah sebaliknya, karena jalan ke arah Selatan sudah tertutup. Tatkala
masih bergerak di Minangkabau Utara dan keadaan relatif bebas maka untuk
menghidupkan semangat rakyat, Dewan Perjuangan memutuskan untuk
mentransformasikan Indonesia sebagai Republik Persatuan Indonesia (RPI).
Ketika Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan pada 8 Februari 1960,
Sjafruddin terpilih sebagai presiden yang pertama (Arsip Sjafruddin
Prawiranegara no. 10).
Pada tanggal 8 Februari 1960, dibacakan mukadimah sebelum
proklamasi disampaikan. Melihat kenyataan bahwa jalan musyawarah yang telah
diusahakan baik dalam ataupun di luar parlemen sudah gagal sama sekali, maka
Dewan Perjuangan, pada tanggal 10 Februari 1958 menyatakan tuntutannya dan
seruannya atas nama seluruh rakyat Indonesia kepada Kepala Negara, Parlemen,
serta tokoh Nasional Hatta dan Hamengku Buwono, agar kembali kepada
Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku, memulihkan Republik Indonesia
kepada dasar hukum dan demokrasi dan keTuhanan Yang Maha Esa. Tidak
adanya respon dari pemerintah pusat maka Dewan Perjuangan, selain dari pada
membentuk PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, menyerukan pada pemerintahan
yang akan diserahkan kepada satu kabinet yang mempunyai kewibawaan di
bawah pimpinan Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Namun Ir. Sukarno
menghadapinya dengan tindakan-tindakan pembalasan dengan mengerahkan alat-
alat kekuasaan negara, Angkatan Darat, Laut, Udara untuk menindas rakyat yang
mempertahankan Undang Undang dan hak-hak asasi (Arsip Sjafruddin
Prawiranegara no. 7).
Daerah-daerah yang dikuasai, Soekarno melumpuhkan partai-partai
politik, menyerukan agar masyarakat menerima Demokrasi Terpimpin dan
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Puncaknya yaitu dikeluarkannya
dekrit 5 Juli 1959. Perkembangan ini merupakan bukti bagaimana sistem
ketatanegaraaan berbentuk kesatuan dan pemerintah yang sentralistik merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
tempat munculnya kekuasaan ditangan satu orang atau satu golongan yang mudah
bertindak sewenag-wenang (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no. 7).
Dewan Perjuangan/PRRI memproklamirkan Bahwa Republik Indonesia
mulai hari senin 8 Februari 1960 berbentuk federasi, dengan nama Republik
Persatuan Indonesia; Bahwa Republik Persatuan Indonesia adalah negara hukum
dan kebangsaan, berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan;
Bahwa Undang Undang Dasar sementara Republik Indonesia 17 Agustus 1950
tidak berlaku lagi bagi Republik Persatuan Indonesia. Meminta dan mendesak
kepada PBB dan kepada anggota-anggotanya untuk memberi pengakuan kepada
Republik Persatuan Indonesia sebagai suatu subyek hukum baru di dunia
internasional yang mempunjai Undang-Undang Dasar dan Pemerintahan sendiri
serta derah kekuasaan yang nyata, agar supaya mereka membantu pemerintah
Republik Persatuan Indonesia dalam usahanya membebaskan daerah-daerah dan
suku-suku bangsa Indonesia yang sekarang meringkuk di bawah penindasan
diktatur Sukarno, hingga mereka ini masing-masing dapat menyatakan
keinginannya secara bebas dan demokratis, berdasarkan hak menentukan nasib
sendiri (Arsip Sjafruddin Prawiranegara no.9).
Wilayah dan negara-negara bagian yang menjadi anggota pertama dari
Republik Persatuan Indonesia, dari pihak proklamator diterangkan sebagai
berikut:
a. Pasal 2 Republik Persatuan Indonesia terdiri dari negara-negara Bagian dan
Daerah-daerah Swatantra.
b. Pasal 3 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia berbunyi
Wilayah Republik Presatuan Indonesia meliputi seluruh wilayah Republik
Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada saat Republik Persatuan Indonesia diproklamirkan, belum semua
wilayah Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, yakni seluruh wilayah
Hindia Belanda dulu, de facto dikuasai oleh Pemerintah Republik Persatuan
Indonesia, namun de jure RPI berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia. Tugas
pertama dan utama dari pemerintah Republik Persatuan Indonesia, ialah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
membebaskan daerah-daerah Indonesia dari kekejaman dan kekuasaan sewenang-
wenang dari rezim Sukarno dan memberi kesempatan kepada daerah-daerah dan
suku-suku bangsa Indonesia setelah dibebaskan dari cengkeraman regime Sukarno
itu untuk menyusun dirinya dalam Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara
Bagian atau Daerah Swatantra menurut hak menentukan nasibnya sendiri bagi
masing-masing daerah dan suku bangsa itu. Tugas selanjutnya membebaskan Irian
Barat dari penjajahan Belanda dengan cara damai. Daerah-daerah Indonesia yang
pada permulaan menjadi anggota Republik Persatuan Indonesia sebagai Negara
Bagian adalah sebagai yang disebut dalam pasal 179 ajat 1, dan meliputi seluruh
Suamtera dan kepulauan disekitarnya serta Indonesia bagian Timur. Kedudukan
hukum dari daerah-daerah Indonesia selebihnya akan ditentukan berangsur-angsur
sejalan dengan pembebasan daerah-daerah itu, dari cengkeraman regime Sukarno.
c. Pasal 179 ajat 1 Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia
berbunyi sebagai berikut:
Negara-Negara Bagian yang menjadi anggota pertama dari Republik
Persatuan Indonesia adalah sbb:
a. Negara Bagian Republik Islam Aceh.
b. Negara Bagian Tapanuli/Sumatera timur(Sum. Utara).
c. Negara Bagian Sumatera Barat.
d. Negara Bagian Riau.
e. Negara Bagian Djambi.
f. Negara Bagian Suamatera Selatan.
g. Negara Bagian Sulawesi Utara.
h. Negara Bagian Republik Islam Sulawesi Selatan.
i. Negara Bagian Maluku Utara.
j. Negara Bagian Maluku Selatan.
Berhubungan dengan sukarnya perhubungan yang mempersulit
mengadakannya musyawarah sebagai akibat agresi Sukarno yang menghalang-
halangi kemungkinan bagi rakyat untuk menyatakan pendapatnya secara bebas-
demokratis, maka jumlah dan batas negara-negara bagian yang pertama ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
tidaklah mutlak. Pada prinsipnya berdirinya sesuatu daerah sebagai negara bagian
harus memenuhi syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam pasal 47 Undang-
Undang Dasar ini. Yang terpenting diantaranya ialah, syarat sanggup memenuhi
kewajiban keuangan, dan keinginan rakyat yang dinyatakan secara demokratis
(Arsip Sjafruddin Prawiranegara No. 10).
Dalam pidato ulang tahun RPI Sjafruddin sebagai Presiden RPI
menyampaikan 5 Azas Pokok UUD RPI. Kalau dirumuskan asas-asas pokok dari
UUD RPI yang disepakati dengan bulat dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tali pengikat yang mempersatukan suku bangsa baik secara kolektif maupun
secara individual, dari seluruh daerah daerah dan pulau-pulau di Indonesia,
hingga mereka menjadi satu bangsa dan satu negara adalah keimanan kepada
Tuhan Jang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa.
b. Pengakuan yang menjadi dasar kewajiban dari penguasa, baik penguasa
federasi, maupun penguasa negara bagian untuk menghormati dan
melindungi hak-hak asasi manusia.
c. Semua manusia adalah sama harganya atau nilainya di sisi Tuhan. Tetapi
justru karena persamaan itu, maka adalah kewajiban bagi yang kuat untuk
melindungi yang lemah, bagi yang kaya untuk membantu yang miskin, bagi
yang pandai untuk menolong sesamanya yang kurang cerdas.
d. Pemerintahan diatur dan diselenggarakan dengan cara musyawarah atau
demokrasi.
e. Hak atau kebebasan menetukan nasibnya sendiri. Usaha untuk memperbaiki
nasib sendiri, baik dari individu maupun dari sesuatu golongan atau kaum,
tidak boleh dihalang-halangi oleh orang atau golongan lain.
f. Perasaan solidaritas dengan seluruh bangsa-bangsa di dunia (Arsip Sjafruddin
Prawiranegara No 12).
Pada kesempatan memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno menetapkan dan mengundangkan
Keppres no. 449/1961 memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada
orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan Daud Bereueh di Aceh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
pemberontakan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” dan “Perjuangan
Semesta” di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, yang
selambat-lambatnya pada tanggal 5 Oktober 1961 telah melaporkan dan
menyediakan membaktikan diri kepada Republik Indonesia (Arsip Sjafruddin
Prawiranegara No.6).
Sjafruddin sudah mengetahui lebih dahulu tentang isi Keppres tersebut,
maka berdasarkan hasil perundingan dengan kawan-kawannya, pada hari itu juga
17 Agustus 1961, Sjafruddin sebagai presiden RPI dia mengeluarkan instruksi
demi cinta terhadap Nusa dan Bangsa, marilah menghentikan segala permusuhan
dan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indoensia, sambil memohon
ampun dan berserah diri kepada Tuhan, serta menjadikan tenaga dan kepandaian
yang dimiliki guna rehabilitasi bangsa dan tanah air Indonesia bila diminta dan
diperlukan serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sejak dikeluarkan
putusan ini, hendaknya semua petugas dan pejuang Republik Persatuan Indonesia
yang masih aktif memberi perlawanan terhadap Pemeritnah Republik Indonesia
dan Angkatan Perangnya, menghentikan segala tindakan yang dapat dipandang
sebagai tindakan perlawanan dan permusuhan, sambil menunggu instruksi kami
selanjutnya tentang melaksanakan maksud dari putusan (Arsip Sjafruddin
Prewiranegara No.6).
Keluarnya instruksi dari Sjafruddin Prawiranegara disusul dengan
penyerahan diri para tokoh dalam RPI. Dimulai dengan Ahmad Husein menyerah
pada 23 Juni 1961 dan keterangannya kepada Pers di Solok, seluruh pasukannya
yang akan turun berjumlah 13.500 orang. Simbolon beserta Divisi Pusukbuhit
menyerah pada tanggal 27 Juli 1961. Kolonel Zulkifli Lubis beserta 19 orang
anakbuahnya menyerah pada 18 Agustus 1961. Sjafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap, Amalz, Buaya Malik, Haji Djaramel Damanik
menyerahkan diri pada 28 Agustus 1961 (Anwar, 1981: 71-91).
Kolonel Abdurachman Prawirakusumah diutus Jenderal Nasution untuk
melihat keadaan bekas pemimpin-pemimpin RPI dan kemudian melaporkannya
kepada KSAD. Kepada Kolonel Abdurachman Prawirakusumah yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
adiknya, Sjafruddin melaporkan bahwa RPI masih punya sejumlah emas yang
dipendam, berupa batangan dan uang emas yang ditinggalkan di sekitar Koto
Tinggi. Sjafruddin ingin supaya emas itu selekas mungkin digali untuk diserahkan
kepada Pemerintah Republik Indonesia. Emas itu berasal dari Bank Indonesia
Padang, yang merupakan cadangan untuk membiayai perjuangan PRRI/RPI. Dari
jumlah beberapa puluh kilogram, hanya sebagian kecil saja yang sudah
dikeluarkan, dipakai untuk membiayai perjuangan. Setelah masalah emas
diberitakan kepada Jenderal Nasution, maka tidak lama kemudian, di bawah
pimpinan Kolonel Abdurachman dan atas petunjuk orang kepercayaan Sjafruddin
yang mengetahui tempat emas itu dipendam, dilakukan penggalian dan emasnya
pun diambil, jumlah semuanya ada 29 kilogram. Emas itu secara resmi kemudian
diserahkan oleh Sjafruddin kepada Pejabat Presiden Djuanda pada bulan Maret
1962, dan kemudian meneruskannya kepada Menteri/Gubernur Bank Indonesia
sebagai kekayaan negara (Kahin, 2005: 355).
Sjafruddin dan teman-teman tidak lama tinggal di Padang Sidempuan
Medan. Mereka dimasukkan ke “karantina politik”. Dari keterangan M. Yunan
Nasution dalam bukunya Kenang-kenangan di Belakang Trali Besi di Zaman
Orde Lama, dasar hukum yang dipergunakan rezim Soekarno untuk
mengkarantina Sjafruddin dan teman-temannya sama dengan peraturan hukum
yang dipakai sebagai landasan hukum untuk menahan M. Yunan, Mr. Mohammad
Roem, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, dan lain-lain. Peraturan tersebut
ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Keadaan Bahaya
(PPUKB) no. 23 tahun 1959, yang menggantikan ordonansi Belanda. Jadi,
meskipun bekas pimpinan PRRI/RPI sudah diberi amnesti dan abolisi, tetapi
berdasarkan keadaan bahaya yang telah dinyatakan dalam PPUKB itu, dapat
ditahan buat waktu yang tidak ditentukan lamanya. Pada permulaan tahun 1962,
Sjafruddin dan teman-temannya dibawa dari Padang Sidempuan ke Jakarta,
selanjutnya dibawa ke Cipayung, Bogor. Disana disediakan beberapa buah rumah
untuk menampung Sjafruddin dan kawan-kawannya. Walaupun di Cipayung
bebas bergerak, tetapi Sjafruddin dan teman-temannya tidak boleh meninggalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
kota kecil itu tanpa izin dari perwira yang bertugas mengawasi mereka (Rosidi,
2011: 227-345).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten 28 Februari 1911. Ayahnya, seorang
birokrat dan agamis, sementara ibunya berdarah Minang. Sjafruddin dididik
dalam lingkungan sekolah Belanda dan hanya mendapatkan pendidikan agama
secara informal dari lingkungan keluarga dan kampungnya. Sjafruddin menempuh
pendidkan di ELS, MULO, dan AMS di Bandung. Sjafruddin kemudian masuk ke
RHS dan terlibat dalam organisasi Mahasiswa yang bernama USI (Unitas
Studiosorum Indoneesiensis). Kehidupan Ayahnya sebagai priyayi yang taat pada
ajaran agama Islam, dekat dengan dan memperjuangkan nasib rakyat, namun cara
berpakaian secara Barat, menjadi pedoman yang membuat Sjafruddin bisa bergaul
dengan kalangan santri modernis dan kaum sosialis sekuler, selalu berlandaskan
pada ajaran agama Islam saat mengambil keputusan, dan berani melawan arus
dalam memutuskan kebijakan. Dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden tanggal
3 November 1945 tentang pembentukan partai politik, maka setiap anggota KNIP
harus memilih dan masuk kedalam salah satu partai. Rasa cinta kepada orang
tuanya terutama kepada ayahnya sebagai muslim yang saleh, maka Sjafruddin
memilih menjadi anggota Masyumi. Peran Sjafruddin dalam partai Masyumi
sangat besar, pemikiran Sjafruddin banyak memberikan gambaran ideologi dan
kebijakan Masyumi.
2. Peran Politik Sjafruddin bagi Indonesia tahun 1945-1961 yaitu diawali dengan
dipilihnya Sjafruddin menjadi salah satu anggota Badan Pekerja KNIP pada
tanggal 16 dan 17 Oktober 1945. Peran penting Sjafruddin selanjutnya yaitu
menjadi Menteri Keuangan Kabinet Sjahrir III dengan kebijakan mengeluarkan
Oeang Republik Indonesia (ORI). Peristiwa dikeluarkannya ORI merupakan
tonggak sejarah dalam perkembangan ekonomi Indonesia yang baru saja
memproklamasikan kemerdekaan dan sedang membebaskan diri dari kolonialisme
ekonomi, sebagai alat perjuangan kemerdekaan dalam membiayai berbagai
macam keperluan negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran memperbaiki
ekonomi Indonesia. Sjafruddin ditunjuk untuk membentuk PDRI pada tahun 1948
guna menyelamatkan Republik dengan menjamin kelangsungan hidup negara
Republik Indonesia, memenuhi tuntutan hukum internasional, dan untuk
melanjutkan Perjuangan. Sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta tahun
1949, Sjafruddin mengeluarkan kebijakan penting yaitu “Operasi Gunting
Sjafruddin” yang berhasil menembak beberapa sasaran yaitu pengganti uang yang
bermacam-macam itu dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang
beredar untuk menekan inflasi dengan demikian menurunkan harga barang,
mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib. Pada tahun 1951 Sjafruddin
Prawiranegara terpilih menjadi Gubernur De Javasche Bank, dan pada 1953
Sjafruddin menjadi Gubernur Pertama Bank Indonesia. Ketika menjadi Gubernur
Bank Indonesia, Sjafruddin berhasil mengelola manajemen keuangan yang bagus
dan juga meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih
menjadi pedoman sampai sekarang. Pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan
Perjuangan memutuskan Sjafruddin menjadi Perdana Menteri. Sjafruddin
memimpin PRRI sebagai bentuk koreksi atas pemerintahan Republik pusat, dan
untuk membela kebenaran dan keadilan.
B. IMPLIKASI
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan muncul implikasi yang dapat
dipandang dari berbagai segi sebagai berikut :
1. Teori
Sjafruddin Prawiranegara memberikan kontribusi besar bagi Indonesia.
Peran yang dilakukan Sjafruddin adalah upaya untuk berpartisipasi secara aktif
dalam proses politik yang berlangsung di Indonesia. Partisipasi tidak dilakukan
karena keinginan Sjafruddin, namun atas desakan dari berbagai pihak serta
kondisi dan kemampuan yang dimiliki Sjafruddin. Kemampuan dan kompetensi
yang dimiliki Sjafruddin membuatnya menjadi elite politik yang berperan penting
dalam perkembangan politik Indonesia. Sebagai contoh Sjafruddin bergabung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
dengan Masyumi. Dalam percaturan politik Indonesia, sistem koalisi dan oposisi
yang terjadi pada masa demokrasi liberal yang menempatkan Sjafruddin sewaktu-
waktu sebagai koalisi dan oposisi, telah mengakar pada sistem politik Indonesia
saat ini, terlihat dalam pola oposisi terselubung.
Partai politik dihuni oleh para elite politik yang berperan penting dalam
kebudayaan politik. Elite politik melakukan suatu aktivitas politik yang
menyebabkan terjadinya pergeseran dalam sistem politik. Sjafruddin
Prawiranegara merupakan salah satu elite politik yang berperan aktif dalam
kebudayaan politik Indonesia. Sebagai seorang elite Sjafruddin Prawiranegara
merealisasikan pemikirannya menjadi kebijakan yang bersifat umum. Seperti
kebijakan mengeluarkan ORI, kebijakan “Operasi Gunting Sjafruddin”, dan
meletakkan dasar-dasar kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih menjadi
pedoman sampai sekarang. Perannya berfungsi sebagai pemeliharaan atas
stabilitas politik di Indonesia pada tahun 1945-1961.
2. Praktis
Implikasi praktis dari penelitian ini terhadap pendidikan adalah sebagai
wacana baru tentang peran seorang tokoh besar dengan kepribadian yang patut
dicontoh generasi muda. Prinsip hidup Sjafruddin yakni seluruh kegiatan manusia
sebagai ibadah dan bagian dari agama, membuat setiap keputusan dan kebijakan
yang diambil selalu berlandaskan ajaran agama Islam. Sikap Sjafruddin yang
jujur, berpikir kritis, berpedoman dan taat pada ajaran agama dapat diterapkan
pada pelajar dan mahasiswa.
C. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat penulis ungkapkan
ialah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
Bagi para peneliti yang tertarik untuk memperdalam kajian tentang
Sjafruddin Prawiranegara, diharapkan dapat meneliti lebih mendalam dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
kebijakan Sjafruddin agar dapat mengangkat peran Sjafruddin di Indonesia.
Seperti kebijakan ekonomi yang berdasarkan pada ekonomi Islam. Mengingat
kajian yang membahas ekonomi Islam yang di kembangkan Sjafruddin masih
sangat sedikit, dan juga pandangan monetaris Sjafruddin merupakan salah satu
kebijakan pembangunan yang digunakan pemerintah Orde Baru. Selain itu,
diharapkan muncul penelitian yang mengkaji mengenai tokoh-tokoh lain yang
berperan penting dalam sejarah Indonesia.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Keteladanan Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin dan memiliki
kepribadian dengan sifat jujur, integritas dan intelektual yang tinggi, berhati-hati
dalam mengambil keputusan, keyakinan yang tinggi dan berani memutuskan
kebijakan yang terkadang melawan arus, sikap realistis, selalu mendasarkan
kebijakan dan pemikirannya pada ajaran Islam, sikap kritis, berpedoman dan taat
pada agama, merupakan panutan yang harus dicontoh institusi pendidikan untuk
mengambil kebijakan dan keputusan. Untuk meningkatkan jiwa nasionalisme para
pelajar, maka kajian mengenai tokoh-tokoh yang berperan penting bagi Indonesia
perlu diangkat sebagai sumber pembelajaran, terutama generasi penerus bangsa.