sitotoksisitas fraksi protein daun mimba - core.ac.uk filekultur sel hela skripsi ... dunia...
TRANSCRIPT
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss) FP30, FP40, FP50, DAN FP60 TERHADAP
KULTUR SEL HeLa
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Lucia Endar Puspitaningrum
NIM: 038114092
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN DAUN MIMBA
(Azadirachta indica A. Juss) FP30, FP40, FP50, DAN FP60 TERHADAP
KULTUR SEL HeLa
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Lucia Endar Puspitaningrum
NIM: 038114092
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
iii
iv
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah percikan api kecil Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah api
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah seutas senar
Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah sebuah harpa
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah sebuah bukit kecil Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah sebuah
gunung
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah setetes air
Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah sumber air
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah sehelai bulu Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah sebuah sayap
Dunia mengatakan bahwa aku hanyalah seorang pengemis
Tetapi Yesus mengajariku yakin bahwa aku adalah seorang raja
Anonim
Kupersembahkan karyaku ini kepada:
Yesus Kristus, Tuhan dan Gembalaku Yang Maha Kasih
Papi Mami,
Adikku yang kusayangi,
Sahabat dan almamaterku yang kubanggakan
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkahNya yang
melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) FP30,
FP40, FP50, dan FP60 terhadap Kultur Sel HeLa” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis tidak
lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan
waktu dan pikirannya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Drs. A. Yuswanto, Ph.D., S.U., Apt. yang telah memberikan bimbingan,
pengarahan, dan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Drs. Mulyono, Apt. yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan
saran sebagai dosen penguji skripsi.
3. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes yang bersedia meluangkan waktu dan
memberikan saran sebagai dosen penguji skripsi.
4. Mr. J, yang telah mengajari bermacam-macam hal dalam hidup dan
membentuk penulis menjadi seperti sekarang ini.
5. Papi, Mami dan Simbrot atas doa, semangat, dan perhatian kepada penulis.
6. Saudara-saudaraku yang tersebar di seluruh penjuru dunia, yang telah
memberi pelajaran berharga tentang kehidupan kepada penulis.
7. Ndari, sebagai teman yang senantiasa rela berbagi kebingungan dan
keceriaan dengan penulis dalam proses penyusunan skripsi.
vi
8. Anak-anak Che-Mistry yang senantiasa menebar kegilaan dan kebahagiaan
di sekitar penulis.
9. Dosen dan karyawan Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan
sumbangan ilmu dan tenaga.
10. Pak Rajiman, Mbak Yuli, Mbak Istini, Heni dan seluruh staf, atas
bimbingan dan masukannya selama penelitian di Laboratorium Ilmu
Hayati UGM.
11. Lucy, Jenny, Melon, Vita, Sari, Ana (kelompok Mimba) dan Agnes, Mila,
Wati, Ratih (kelompok Teki) sebagai teman seperjuangan suka maupun
duka dalam menyelesaikan skripsi.
12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
material yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dalam isi, bahasa maupun
penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis membuka diri terhadap saran dan kritik
dari seluruh pembaca untuk lebih menyempurnakan tulisan ini. Penulis berharap
agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan. Semoga skripsi
ini dapat mendorong mahasiswa angkatan berikutnya untuk berkarya lebih baik
lagi demi majunya dunia kefarmasian di Indonesia, khususnya dalam
perkembangan obat antikanker, agar di masa depan obat antikanker yang murah
bukan lagi impian.
Yogyakarta, Maret 2007
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… iii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… v
KATA PENGANTAR……………………………………………………... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………… viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………….. xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xvi
ARTI SINGKATAN DAN ISTILAH ASING …………………………….. xvii
INTISARI……………………………………………………..…………… xviii
ABSTRACT…………………………………………………..………...…. xix
BAB I PENGANTAR……………………………………………………… 1
A. LATAR BELAKANG ………………………………………………… 1
1. Permasalahan………………………………………………………. 3
2. Keaslian penelitian…………………………………………………. 4
3. Manfaat penelitian…………………………………………………. 4
B. TUJUAN PENELITIAN………………………………………………. 4
1. Tujuan umum………………………………………………………. 4
2. Tujuan khusus……………………………………………………… 5
ix
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………………………………………. 6
A. Azadirachta indica A. Juss…………………………………................... 6
1. Keterangan Botani…..………………………………………………. 6
2. Sinonim……………..………………………………………………. 6
3. Morfologi tanaman…..……………………………………………… 6
4. Kandungan Kimia…….…………...………………………………... 7
5. Penelitian Mengenai Tanaman Mimba…………………………….. 7
B. Kanker………………………………………………………………….. 8
1. Tinjauan umum .................................................................................. 8
2. Proses terjadinya kanker..................................................................... 10
3. Siklus sel .............................................................................................. 11
4. Terapi Kanker...................................................................................... 12
5. Kanker leher rahim .............................................................................. 15
C. Protein…………………………………………………………………... 17
D. Kultur sel .........……………………………………………………......... 20
1. Sel HeLa....... ...................................................................................... 21
2. Sel Vero.. ............................................................................................ 21
E. Uji sitotoksisitas…………………………………………………………. 21
F. Landasan teori............................................................................................. 24
G. Keterangan empiris...…………………………………………………….. 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………. 27
A. Jenis Rancangan Penelitian………………………………………………. 27
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………..…………………... 27
x
1. Variabel penelitian ……………………………………………………. 27
2. Definisi Operasional ………………………………………………… 28
C. Bahan atau Materi Penelitian…………………………………………… 28
D. Alat-alat Penelitian……………………………………………………... 30
E. Tatacara Penelitian……………………………………………………... 30
1. Determinasi Tanaman………………………………………..…….. 30
2. Pengumpulan Daun Mimba………………………………………… 30
3. Sterilisasi Alat dan Bahan.................................................................. 31
4. Pembuatan Fraksi Protein.................................................................. 31
5. Pengukuran Konsentrasi Fraksi Protein ............................................ 35
6. Propagasi dan Panen sel HeLa dan sel Vero....................................... 36
7. Uji Sitotoksitas terhadap Sel HeLa dan sel Vero ................................ 37
F. Analisis Hasil …………………………………………………………... 38
BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………. 39
A. Sterilisasi Alat ………………………………………………………….. 39
B. Preparasi Fraksi Protein Daun Mimba………………………………….. 40
C. Penetapan Konsentrasi Fraksi Protein Daun Mimba …………………… 44
D. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein daun Mimba…………………………... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………… 58
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 58
B. Saran …………………………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 60
LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 64
xi
BIOGRAFI PENULIS …………………………………………………… 111
xii
DAFTAR TABEL Tabel I. Beberapa jenis protein globuler dan kelarutannya…...….... 18
Tabel II. Hasil uji sitotoksik fraksi protein terhadap
sel Hela dengan metode MTT……………………………... 50
Tabel III. Hasil uji sitotoksik fraksi protein terhadap
sel Vero dengan metode MTT.............................................. 52
Tabel IV. Nilai LC50 pada sel Hela dan sel Vero.................................. 54
Tabel V. Volume larutan ektrak gubal protein daun
mimba.................................................................................... 64
Tabel VI. Absorbansi fraksi protein pada panjang gelombang
280 nm dan 260 nm............................................................... 67
Tabel VII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP30
terhadap kultur sel HeLa........................................................ 68
Tabel VIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP40
terhadap kultur sel Hela......................................................... 68
Tabel IX. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP50
terhadap kultur sel Hela......................................................... 69
Tabel X. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP60
terhadap kultur sel HeLa........................................................ 69
Tabel XI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP30
terhadap kultur sel Vero........................................................ 70
Tabel XII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP40
terhadap kultur sel Vero........................................................ 70
xiii
Tabel XIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP50
terhadap kultur sel Vero........................................................ 71
Tabel XIV. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP60
terhadap kultur sel Vero........................................................ 71
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Fase kehidupan sel ............................................................... 11
Gambar 2. Protein yang terlarut dalam air.............................................. 42
Gambar 3. Protein dalam air dengan penambahan ammonium sulfat ..... 42
Gambar 4. Reaksi MTT menjadi formazan oleh enzim dehidrogenase.... 46
Gambar 5. Kristal formazan ..................................................................... 47
Gambar 6. Sel HeLa................... ……………...………………………… 49
Gambar 7. Sel Vero …………...……………………….....................…... 49
Gambar 8. Grafik persen kematian sel HeLa vs kadar fraksi
protein daun mimba..................................................……….… 51
Gambar 9. Grafik persen kematian sel Vero vs kadar fraksi
protein daun mimba..............................................................… 53
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jumlah penambahan amonium sulfat pada derajat
kejenuhan tertentu ................................................................. 64
Lampiran 2. Cara perhitungan kadar protein ..... ...................................... 67
Lampiran 3. Absorbansi sel dengan metode MTT .................................... 68
Lampiran 4. Uji Kolmogorov-Smirnov ……….……………….……....... 72
Lampiran 5. Analisis probit.............................................. .......................... 76
Lampiran 6 Uji t-independent..................................................................... 103
Lampiran 7. Perhitungan nilai korelasi kadar fraksi protein dengan
persen kematian sel Hela dan sel Vero pada taraf
kepercayaan 80% ................................................................... 105
Lampiran 8. Tanaman Azadirachta indica A. Juss ………….……………107
Lampiran 9. Daun Azadirachta indica A. Juss …………….……………..107
Lampiran 10. Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP85H …………………….108
Lampiran 11. Laminar Air Flow Labconco Seri 226356 …………….…….108
Lampiran 12. Spektrofotometer UV CECIL Series 2………………….…...109
Lampiran 13. ELISA reader SLT 340ATC ……………………………….109
Lampiran 14. Surat Determinasi ..................................................................110
xvi
ARTI SINGKATAN DAN ISTILAH ASING
FP30 (PF30) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil
pengendapan dengan amonium sulfat 10% jenuh
FP40(PF40) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil
pengendapan dengan amonium sulfat 20% jenuh
FP50(PF50) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil
pengendapan dengan amonium sulfat 30% jenuh
FP60(PF60) : fraksi protein (protein fraction) daun mimba hasil
pengendapan dengan amonium sulfat 40% jenuh
continous cell lines : sel yang berasal dari sel primer yang ditumbuhkan terus
menerus
FBS : Foetal Bovine Serum
MTT : 3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide)
reagen stopper : reagen yang terdiri dari larutan SDS 10% dalam HCl 0,01N
RPMI : Rosswell Park Memorial Institute
SDS : Sodium Dodesil Sulfat
tissue culture flask : tempat untuk menumbuhkan sel, berbentuk botol dengan
leher bengkok
96 well plate : sumuran mikro yang terdiri dari 96 lubang tempat menanam
sel pada uji sitotoksisitas
xvii
INTISARI
Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan di dunia. Ada banyak penelitian mengenai antikanker. Beberapa diantaranya menyebutkan bahwa tanaman mimba (Azadirachta indica A. Juss) memiliki aktivitas biologis yang potensial sebagai senyawa antikanker. Dalam penelitian kali ini, fraksi protein daun mimba 30%, 40%, 50%, dan 60% dujicobakan terhadap sel HeLa dan sel Vero untuk mengetahui fraksi protein mana yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Uji sitotoksisitas dilakukan secara in vitro terhadap sel HeLa dan sel Vero menggunakan metode MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid). Fraksi protein diperoleh dengan pengendapan menggunakan ammonium sulfat dengan konsentrasi 30%, 40%, 50%, dan 60% jenuh. Hasil uji dinyatakan dalam persentase kematian sel HeLa dan sel Vero, yang selanjutnya diolah dengan analisis statistika analisis probit dan analisis t-test. Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa harga LC50 untuk fraksi protein 30%, 40%, 50%, dan 60% jenuh terhadap sel HeLa berturut-turut adalah 3,72.10-13 µg/ml; 1,8.10-2 µg/ml; 1,5.1023 µg/ml; dan 173,49 µg/ml. Walaupun nilai LC50 untuk FP30 dan FP40 ≤ 20 µg/mL, hasil uji t-test menunjukkan bahwa perbedaan antara sitotoksisitasnya dengan sel Vero tidak bermakna, sehingga tidak ada yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
Kata kunci : daun mimba, sel HeLa, sitotoksisitas, sel Vero, selektif
xviii
ABSTRACT
Cancer is one of the most deadly disease in the world. There are so many researchs on anticancer. Some of them stated that neem tree (Azadirachta indica A. Juss) has a potential biological activity as anticancer. In this research, protein fraction of neem leaves with concentration of 30%, 40%, 50%, and 60% were applied to Hela Cell and Vero Cell Lines to identify which protein fractions to have potency to be developed as anticancer.
This study was pure experimental research with complete random design. The cytotoxicity test was carried out in vitro using HeLa Cell and Vero Cell Lines by MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid) method. In this research, protein of neem leaves were fractionated using ammonium sulfate of 30%, 40%, 50%, and 60% saturated. The data shown as a percentage of cell death, statistically analyzed with probit analyse and t-test. The result indicated that LC50 values of protein fraction of 30%, 40%, 50%, and 60% for HeLa Cell Line were 3,72.10-13 µg/ml; 1,8.10-2 µg/ml; 1,5.1023
µg/ml; dan 173,49 µg/ml, respectively. Although LC50 value of FP30 dan FP40 ≤ 20 µg/mL, none of them were supposed to be potential to be developed as an anticancer due to poor selectivity.
Keywords: neem leaves, Hela Cell Line, cytotoxicity, Vero Cell Line, selective
xix
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti karena banyak
menimbulkan kematian di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, kanker merupakan
penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskuler (Balmer, Valley, dan
Ianucci, 2005). Di Indonesia sendiri diperkirakan ada 100 orang penderita kanker
baru setiap 100.000 orang penduduk tiap tahunnya (Anonim, 2001a). Menurut hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI, jumlah penderita kanker di
Indonesia pada tahun 1981 adalah sekitar 3,4% dan meningkat menjadi 6% pada
tahun 2001. Ada 5 besar kanker di Indonesia, yaitu kanker leher rahim, kanker
payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker nasofaring, dan kanker kulit
(Anonim, 2001a).
Ada 3 standar utama terapi kanker, yaitu pembedahan, radiasi, dan
kemoterapi. Pemilihannya tergantung pada jenis tumor dan tingkat keparahannya
(Rang, Dale, Ritter, Moore, 2003). Selain itu, dikenal juga terapi imun dan terapi
hormon (Anonim, 2004b). Namun selain mahal, terapi kanker juga dikenal memiliki
efek samping merugikan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Karena itu,
banyak orang mulai beralih ke pengobatan tradisional, salah satunya penggunaan
tanaman obat, yang relatif lebih murah dan dipercaya memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan obat-obatan konvensional.
1
2
Selama berabad-abad, bahan-bahan herbal telah menjadi bagian dari pengobatan
tradisional dan diwariskan secara turun temurun. Peranannya dalam pengobatan
modern tidak dapat diremehkan. Lebih dari 92% obat-obatan antikanker yang tersedia
secara komersial di Amerika Serikat antara tahun 1983-1994 dan sudah terbukti
khasiat penggunaannya, sekitar 62%nya berasal dari bahan alam. Obat antikanker
paling dikenal yang berasal dari tanaman sejauh ini adalah vinkristin dan vinblastin,
yang diisolasi dari tanaman asal Madagaskar, Catharanthus roseus (Newman dan
Cragg, 2002). Sampai saat ini, pencarian obat antikanker masih terus dilakukan.
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) yang digunakan dalam penelitian ini
telah lama dikenal dalam dunia pengobatan sebagai tanaman yang berkhasiat
sehingga sangat berpotensi untuk diteliti lebih lanjut. Semua bagian dalam tanaman
mimba memiliki efek farmakologis, antara lain sebagai antiinflamasi, antipiretik,
antibakteri, spermicidal, antifungal, dan antikanker (Biswas, Chattopadhyay,
Banerjee, Bandyopadhyay, 2002).
Telah banyak dilakukan penelitian tehadap tanaman mimba terkait dengan
aktivitasnya sebagai antikanker. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Suwanto pada tahun 2006. dalam penelitiannya, Suwanto menggunakan fraksi protein
daun mimba 30%, 60%, dan 100% jenuh hasil pengendapan dengan menggunakan
ammonium sulfat terhadap kultur sel HeLa. Penelitian tersebut menyatakan bahwa
yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker adalah fraksi
protein 30% dan 60% jenuh. Menurut National Cancer Institute (NCI), suatu
3
senyawa dikatakan bersifat antikanker jika memiliki harga LC50 ≤ 20 µg/ml (Suffness
& Pezzuto, 1991). Namun, penelitian tersebut belum memberikan informasi
mengenai selektivitas fraksi protein daun mimba terhadap sel normal.
Suatu antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya dapat
menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Terapi hanya dapat
dikatakan berhasil dengan baik apabila pada dosis terapi yang digunakan dapat
mematikan sel kanker tanpa terlalu mengganggu sel jaringan normal yang
berproliferasi (Nafrialdi dan Gan, 1995). Terkait dengan hal tersebut, maka dalam
penelitian kali ini digunakan sel Vero (sel normal) sebagai pembanding. Agar dapat
diketahui dengan lebih jelas fraksi protein mana yang paling optimal efek
sitotoksisitasnya, range fraksinasi dipersempit menjadi 30%, 40%, 50%, dan 60%
jenuh.
1. Permasalahan
a. Diantara daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60, manakah yang memiliki
daya sitotoksisitas yang paling besar terhadap sel Hela?
b. Berapa nilai LC50 yang didapatkan dari perlakuan daun mimba FP30, FP40,
FP50, dan FP60 terhadap kultur sel Hela?
c. Apakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 memiliki daya sitotoksisitas
terhadap sel Vero?
4
d. Apakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 jenuh berpotensi untuk
dikembangkan sebagai suatu senyawa antikanker jika dilihat dari daya
sitotoksisitasnya terhadap sel Vero?
2. Keaslian penelitian
Banyak penelitian mengenai daun mimba terkait dengan aktivitasnya sebagai
antikanker, namun sejauh yang diketahui penulis, belum pernah dilakukan penelitian
mengenai sitotoksisitas daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 terhadap sel HeLa
yang dibandingkan dengan sel Vero.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai khasiat,
penggunaan, dan sitotoksisitas fraksi protein daun terhadap sel Hela dibanding sel
Vero yang berguna dalam penemuan obat antikanker.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan khasiat dan selektivitas daun
mimba sebagai antikanker.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan umum:
mengetahui apakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
5
Tujuan khusus:
a. mengetahui manakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 yang memiliki
sitotoksisitas paling besar terhadap kultur sel Hela.
b. mengetahui seberapa besar nilai LC50 daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60
terhadap kultur sel HeLa.
c. mengetahui apakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 juga memiliki
daya sitotoksisitas terhadap sel Vero.
d. mengetahui apakah daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 berpotensi untuk
dikembangkan sebagai suatu senyawa antikanker jika dilihat dari daya
sitotoksisitasnya terhadap sel Vero.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman mimba (Azadirachta indica A.Juss)
1. Keterangan botani
Tanaman mimba (Azadirachta indica A.Juss) termasuk dalam suku
Meliaceae. Penyebaran mimba di Indonesia yang cukup luas menyebabkan mimba
dikenal dengan berbagai nama daerah. Di wilayah Pasundan (Sunda) mimba lebih
dikenal dengan nama nimba. Sementara di Bali dan Nusa Tenggara, mimba dikenal
dengan nama intaran. Di Madura, nama lain tanaman ini adalah mimba, membha,
atau mempheuh. Nama yang kemudian berkembang di masyarakat adalah mimba.
Namun ada juga yang menyebutnya nimba (Sukrasno dan Tim Lentera, 2003).
2. Sinonim tanaman
Melia azadirachta L. (Hutapea, 1993).
3. Morfologi tanaman
Tanaman mimba berupa pohon dengan tinggi 10-15 meter. Batang tegak,
berkayu, bulat, permukaan kasar, percabangan simpodial, coklat. Daun majemuk,
berhadapan, lonjong, melengkung, tepi bergerigi, ujung lancip, pangkal meruncing,
pertulangan menyirip, panjang 5-7 cm, lebar 3-4 cm, tangkai panjang 8-20 cm, hijau.
Bunga majemuk, berkelamin 2, di ujung cabang, tangkai silindris, panjang 8-15 cm,
kelopak hijau, benang sari silindris, putih kekuningan, putik lonjong, coklat muda,
6
7
mahkota halus, putih. Buah buni, bulat telur, hijau. Biji bulat, diameter kurang lebih 1
cm, putih. Akar tunggang, coklat (Hutapea, 1993).
1. Kandungan kimia
Daun mimba mengandung beberapa zat aktif, antara lain : 3-asetil-7-tigloil-
lakton-vilasinin, 3 desasetil-3-cinnamoil-azadirachtin, 3-desasetil-salanin, 6-
desasetilnimbinen, azadirachtin, azadirachtin-A, beta-sitosterol, hiperoksid,
isoazadirolid, isonimbosinolid, nimbaflavon, nimbandiol, nimbinen, nimbolid,
kuesertin, kuersitrin, rutin, dan vilasanin (Anonim, 2004a).
2. Penelitian terhadap tanaman mimba
Tanaman mimba telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional. Konon,
mimba juga dapat digunakan sebagai antikanker, sehingga banyak dilakukan
penelitian untuk membuktikannya. Fraksi total protein daun mimba pernah diujikan
efek sitotoksisitasnya terhadap 4 jenis sel kanker, yakni sel HeLa (Febriani, 2004),
SiHa (Lusia, 2004), Myeloma (Rahmawati, 2004), dan Raji (Ariyani, 2004).
Semuanya menyimpulkan bahwa fraksi total protein daun mimba memiliki efek
sitotoksik terhadap ketiga sel kanker tersebut meskipun belum memenuhi syarat
untuk dikembangkan menjadi senyawa antikanker karena harga LC50 yang didapatkan
pada masing-masing penelitian tersebut > 20 μg/ml. Penelitian selanjutnya dilakukan
oleh Robbyono (2006), Suwanto (2006), Hariadi (2006), dan Candra (2006) berturut-
turut terhadap sel Raji, HeLa, Myeloma, dan Siha dengan menggunakan fraksi
protein daun mimba 30%, 60%, dan 100% jenuh. Dari penelitian-penelitian tersebut,
8
didapatkan kesimpulan bahwa yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
senyawa antikanker adalah fraksi protein 30% jenuh untuk sel Raji, fraksi protein
30% dan 60% jenuh untuk sel HeLa, fraksi protein 30% dan 60% jenuh untuk sel
Myeloma, dan fraksi protein 30% dan 60% jenuh untuk sel Siha. Sebagai penelitian
lanjutan, dilakukan juga penelitian dengan menggunakan fraksi protein daun mimba
dengan konsentrasi yang dipersempit, yakni FP10, FP20, FP30, FP40, FP50, dan FP60,
terhadap 4 jenis sel kanker dibandingkan dengan sel normal (sel Vero). Penelitian
tersebut dilakukan oleh Lahrita (2006) dan Jenny (2006) terhadap kultur sel Raji,
Purnamasari (2007) dan Ekasaptawati (2007) terhadap kultur sel Myeloma, serta
Harsono (2006) dan Mellina (2007) terhadap kultur sel SiHa. Masing-masing dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni fraksi kecil (FP10, FP20, FP30, dan FP40) dan fraksi besar
(FP30, FP40, FP50, dan FP60). Hasil yang didapatkan dari penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan bahwa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa
antikanker adalah FP20 dan FP60 untuk sel Raji, FP20 dan FP40 untuk sel SiHa, dan
tidak ada FP yang berpotensi untuk sel Myeloma.
B. Kanker
1. Tinjauan umum
Kanker merupakan nama umum untuk lebih dari 100 jenis penyakit yang
bervariasi, ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel yang tidak terkontrol, invasi
jaringan lokal, dan kemampuan untuk menyebar luas (distant metastases) (Balmer et
al, 2005). Sel tumor ganas pada kanker tumbuh menyusup ke jaringan sehat di
9
sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting (cancer) dengan kaki-
kakinya mencengkeram alat tubuh yang terkena (Anonim, 2006a).
Sel-sel normal dapat menjadi sel kanker karena adanya satu atau lebih mutasi
yang terjadi pada DNA sel. Perkembangan penyakit kanker merupakan suatu proses
rumit yang melibatkan tidak hanya satu perubahan genetik namun juga faktor-faktor
epigenetik (misalnya aksi hormonal tubuh, paparan bahan-bahan karsinogen, dan
lain-lain) yang tidak berkembang menjadi kanker itu sendiri namun dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya mutasi pada DNA sel yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kanker (Rang et al, 2003).
Ada 2 macam tumor, yakni benigna dan malignant. Tumor benigna
terlokalisasi dan lambat pertumbuhannya. Tumor ini menyerupai sel-sel dimana
mereka berkembang dan jarang bermetastasis. Tumor benigna juga jarang tumbuh
kembali bila sudah dihilangkan (Balmer et al, 2005).
Tumor malignant bersifat sebaliknya. Jenis tumor ini tidak stabil secara
genetis, bentuknya sudah tidak menyerupai sel atau jaringan tempat mereka berasal.
Sel malignant tidak memiliki kemampuan sel normal, mengalami metastasis, dan
sering tumbuh kembali setelah dihilangkan/ dihancurkan. (Balmer et al, 2005).
Penyebarannya sangat cepat, bersifat merusak, dan penghilangan tumor tidak dapat
memulihkan fungsi sel, jaringan, atau organ yang sudah dirusaknya. Pada umumnya,
yang dimaksud dengan kanker adalah tumor malignant.
10
2. Proses Terjadinya Kanker
Proses terjadinya kanker (karsinogenesis) terdiri dari beberapa tahapan, yakni
inisiasi, promosi, konversi, dan progresi. Inisiasi merupakan tahapan pertama
terjadinya kanker, prosesnya membutuhkan paparan bahan-bahan yang bersifat
karsinogenik terhadap sel normal. Bahan-bahan karsinogenik ini akan menyebabkan
kerusakan genetik pada sel, yang berujung pada mutasi sel yang sifatnya ireversibel.
Tahapan selanjutnya, yang disebut promosi, bersifat reversibel. Karena sifatnya ini,
tahap promosi biasanya menjadi target strategi kemoterapi, disamping perubahan
gaya hidup dan diet. Dalam banyak kasus, sel-sel yang bermutasi berubah menjadi sel
kanker. Proses ini disebut dengan konversi/ transformasi. Pada tahapan terakhir,
progresi, terjadi peningkatan proliferasi sel. Pada fase ini, tumor menyebar ke
jaringan lokal dan terjadi metastasis (Balmer et al, 2005).
Ada 2 gen utama yang terlibat dalam karsinogenesis, yakni onkogen dan gen
penghambat pertumbuhan tumor (tumor-supressor genes). Onkogen merupakan
perkembangan dari sel normal yang disebut protoonkogen. Protoonkogen merupakan
pengatur fungsi seluler normal yang penting, termasuk diantaranya siklus sel.
Beberapa kejadian seperti mutasi sel atau perubahan susunan pada kromosom akibat
paparan bahan-bahan karsinogenik akan mengaktivasi protoonkogen menjadi
onkogen. Akibatnya, terjadi kekacauan pada pengaturan proliferasi dan pertumbuhan
pada sel normal. Proses ini dapat dihambat oleh gen penghambat pertumbuhan tumor
(tumor-supressor genes) yang terdapat pada setiap sel normal. Pada penyakit kanker,
terjadi inaktivasi pada gen jenis ini. Gen lain yang juga berperan dalam
11
karsinogenesis adalah gen yang dapat memperbaiki DNA. Gen ini juga termasuk
dalam kategori gen penghambat pertumbuhan tumor (tumor-supressor genes)
(Balmer et al, 2005).
3. Siklus Kehidupan Sel
Go G 1
M
G2
S
Gambar 1. Fase kehidupan sel
Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan yakni yang sedang membelah (siklus
proliferatif), yang dalam keadaan istirahat (tidak membelah, G0), dan yang secara
permanen tidak membelah. Sel kanker yang sedang membelah terdapat dalam
beberapa fase yaitu fase mitosis (M), pascamitosis (G1), fase sintesis DNA (S), dan
fase pramitosis (G2) (Nafriadi dan Gan, 1995).
Pada akhir fase G1 terjadi peningkatan RNA disusul dengan fase S yang
merupakan saat terjadinya replikasi DNA. Setelah fase S berakhir, sel masuk dalam
fase pramitosis (G2) dengan ciri : sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua
kali lebih banyak daripada sel lain dan masih berlangsungnya sintesis RNA dan
protein. Sewaktu mitosis berlangsung (fase M), sintesis protein dan RNA berkurang
secara tiba-tiba, dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu sel dapat memasuki
12
interfase untuk kembali memasuki fase G1, saat sel berproliferasi, atau memasuki fase
istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut sel
klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang menambah jumlah sel kanker ialah
sel yang dalam siklus proliferasi dan dalam fase G0 (Nafriadi dan Gan, 1995).
4. Terapi kanker
Ada 3 standar terapi kanker, yaitu pembedahan, radiasi, dan kemoterapi (Rang
et al, 2003). Selain itu, dikenal juga terapi imun dan terapi hormon. Keberhasilan
pengobatan kanker sangat dipengaruhi oleh jenis kanker, stadium kanker, keadaan
umum penderita, serta kepekaan terhadap pengobatan (Sumarny, 2004).
a. Pembedahan
Pembedahan dapat menjadi terapi pilihan jika sel kanker yang
terdiagnosa masih berada dalam tahap awal dan belum bermetastasis. Contoh
pembedahan untuk penanganan kanker misalnya mastectomy untuk kanker
payudara dan prostatectomy untuk kanker prostat (Anonim, 2006b).
b. Radiasi
Radiasi adalah penggunaan radiasi ionisasi untuk membunuh sel
kanker dan mengecilkan tumor. Terapi dengan radiasi dapat melukai atau
menghancurkan sel di area yang ditangani (jaringan target) dengan membuat
kerusakan pada materi genetik pada sel-sel tersebut. Tujuan terapi ini adalah
untuk menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin dengan membatasi
kerusakan pada jaringan di sekitarnya (Anonim, 2006b).
c. Kemoterapi
13
Pembedahan dan radiasi merupakan terapi yang bersifat lokal.
Keduanya dapat menyembuhkan pasien yang kankernya masih terlokalisasi,
namun seringkali pasien pengidap kanker sudah sampai pada tahap metastasis
saat diagnosa. Karena itu dibutuhkan suatu terapi yang bersifat sistemik.
Kemoterapi dapat menjangkau sirkulasi sistemik dan secara teori mampu
mengatasi kanker yang sudah bermetastasis (Balmer et al, 2005).
d. Terapi imun
Dalam terapi imun, sistem kekebalan tubuh sendiri digunakan untuk
melawan sel kanker atau melindungi tubuh dari efek samping kemoterapi
(Anonim, 2004b). Jenis terapi ini dikembangkan karena penderita kanker
biasanya memiliki masalah-masalah seperti gangguan daya tahan tubuh, nyeri,
penurunan fungsi utama tubuh, serta stress kejiwaan. Tujuannya adalah untuk
memperkuat tubuh penderita kanker dalam melawan penyakit dan
meningkatkan kualitas hidup (Sumarny, 2004).
e. Terapi hormon
Beberapa jenis kanker, seperti kanker prostat dan kanker payudara,
pertumbuhannya sangat tergantung hormon. Dengan demikian, jenis-jenis
kanker ini dapat dihambat dengan menggunakan antagonis hormon atau
dengan menggunakan suatu zat yang menghambat sintesis hormon yang
bersangkutan (Rang et al, 2003).
14
Pada umumnya, kerja antikanker berdasarkan atas gangguan pada salah satu
proses sel yang esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker
dengan sel normal, maka semua antikanker bersifat mengganggu sel normal, bersifat
sitotoksik, dan bukan kankerosid atau kankerotoksik yang selektif (Nafrialdi dan Gan,
1995).
Ditinjau dari siklus sel, obat kanker dapat dibedakan menjadi 2 golongan.
Yang pertama adalah yang memperlihatkan toksisitas selektif terhadap fase-fase
tertentu dari siklus sel dan disebut zat cell cycle-specific (CCS), misalnya vinkristin
dan vinblastin. Zat CCS ini terbukti untuk kanker yang berproliferasi tinggi, misalnya
kanker sel darah. Golongan kedua adalah zat cell cycle non-specific (CCNS),
misalnya zat alkilator atau antibiotik kanker (Nafrialdi dan Gan, 1995).
Pada penyakit kanker, terjadi inaktivasi pada gen penghambat pertumbuhan
tumor (tumor-supressor genes). Yang paling dikenal adalah p53 dan pRb. Protein
retinoblastoma (pRb) berfungsi untuk membantu mengatur siklus sel. Bentuk aktif
pRb dapat bertindak sebagai penghambat replikasi DNA. Pada 40% kanker yang
terjadi pada manusia, mutasi pada gen pRb akan menyebabkan sel membelah tanpa
henti. Anggota gen penghambat pertumbuhan tumor yang lain, p53, bertugas
melindungi genome, sehingga seringkali disebut juga sebagai guardian. Gen ini
mampu mencegah replikasi DNA yang rusak pada sel normal dan mendorong sel
yang mengandung DNA yang tidak normal untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Kebanyakan kanker yang terjadi pada manusia disebabkan karena adanya cacat pada
gen p53 ini (Sofyan, 2000).
15
Salah satu strategi terapi kanker yang saat ini sedang giat dikembangkan
adalah terapi yang dapat memperbaiki kesalahan fungsi dari gen p53 dan pRb ini.
Secara konseptual, hal yang paling penting adalah mengganti gen yang rusak dengan
yang normal (normal counterpart) (Sofyan, 2000).
Ada dugaan bahwa virus yang lemah dapat membawa gen yang normal dan
meneruskannya hanya pada sel tumor. Namun, sampai saat ini belum ada vektor virus
yang mampu mendahului sistem imun. Artinya, sistem imun tubuh telah lebih dahulu
membunuh virus sebelum virus yang membawa gen p53 tersebut mendapat
kesempatan untuk mencapai sel tumor. Karena adanya rintangan ini, maka para
onkolog juga melakukan pendekatan lain, yakni dengan mengkaji peristiwa
pengaturan produk gen, yakni peristiwa yang menjadi awal kerusakannya secara
genetik, kemudian mengembangkan obat yang menghambat peristiwa tersebut.
Misalnya, pada jaringan normal pRb memblok aktivitas protein lain yang bernama
E2F, yang pada keadaan bebas akan memacu sintesis DNA. Jika tidak ada pRb,
aktivitas E2F menjadi tidak terkontrol dan pada akhirnya menyebabkan pembelahan
sel yang tidak terkendali. Untuk kanker yang disebabkan oleh ianktivasi p53, harapan
utama adalah menemukan terapi yang dapat memulihkan atau mengaktivasi p53
kembali pada fungsi normalnya (Sofyan, 2000).
5. Kanker Leher Rahim
Kanker leher rahim merupakan salah satu tumor malignan pada saluran
genital penyebab kematian terbesar akibat kanker terutama pada wanita-wanita di
negara berkembang. Penyakit ini paling umum ditemukan diantara tumor ganas
16
ginekologik dan umumnya paling banyak ditemukan pada wanita berusia 31-60 tahun
(Lee dan Seo, 2002). Di Indonesia, kanker leher rahim menempati urutan pertama
dalam 5 besar kanker (Anonim, 2001a).
Human Papiloma Virus (HPV) yang ditemukan pada tahun 1990, khususnya
tipe 16 dan 18 diduga sebagai etiologi kanker leher rahim. Wanita yang terinfeksi
HPV beresiko mengalami kanker leher rahim 50-100 kali lebih besar dibandingkan
yang tidak terinfeksi (Anonim, 2006d).
Virus HPV merupakan virus DNA yang sangat kecil, namun bersifat sangat
infektif dan dapat menimbulkan lesi pada kulit maupun pada epitel sel pipih. Infeksi
HPV merupakan jenis penyakit yang menular secara seksual. Faktor seluler dalam
HPV yang bertanggungjawab atas munculnya kanker leher rahim adalah bagian
onkoprotein dari HPV, yakni viral E6 dan E7 yang mampu menyebabkan kekacauan
pada siklus dan proliferasi sel akibat inaktivasi pada gen penekan pertumbuhan tumor
(tumor-supressor genes) p53 dan pRb pada sel normal. Pada kanker leher rahim,
DNA E6 akan mengikat kuat p53 sedangkan pRb akan diikat kuat oleh DNA E7
(King, 2000).
Kanker leher rahim selalu diawali dengan keadaan yang disebut Cervical
Intra-epithelial Neoplasia (CIN), namun tidak semua wanita yang mengalaminya
akan berakhir dengan kanker leher rahim (Cervical Intra epithelial Carcinoma).
Pendeteksian CIN sejak dini dapat mencegah munculnya kanker leher rahim
pada wanita (Anonim, 2003). Cara ini sangat membantu untuk mengurangi angka
kematian akibat kanker leher rahim (Lee dan Seo, 2002).
17
C. Protein
Protein adalah suatu polipeptida yang memiliki bobot molekul yang sangat
bervariasi, mulai dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Di samping berat molekul
yang berbeda-beda, protein juga memiliki sifat yang berbeda-beda. Ada protein yang
mudah larut dalam air, tetapi ada juga yang sukar larut dalam air (Poedjiadi, 1994).
Ditinjau dari strukturnya, protein dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
golongan protein sederhana dan protein gabungan. Yang dimaksud dengan protein
sederhana adalah protein yang hanya terdiri dari molekul-molekul asam amino,
sedangkan protein gabungan adalah protein yang terdiri dari protein dan gugus bukan
protein. Gugus ini disebut gugus prostetik dan terdiri atas karbohidrat, lipid, atau
asam nukleat (Poedjiadi, 1994).
Protein sederhana dapat dibagi menjadi 2 bagian menurut bentuk molekulnya,
yaitu protein fiber dan protein globuler. Protein fiber memiliki bentuk molekul
panjang seperti serat atau serabut, sedangkan protein globuler pada umumnya
berbentuk bulat atau elips. Protein globuler pada umumnya memiliki sifat larut dalam
air, dalam basa atau dalam etanol. Beberapa jenis protein globuler yaitu albumin,
globulin, histon, dan protamin (Poedjiadi, 1994).
18
Tabel I. Beberapa jenis protein globuler dan kelarutannya
Albumin Merupakan protein yang dapat larut dalam air. Larutan albumin
dalam air dapat diendapkan dengan penambahan ammonium sulfat
hingga jenuh. Albumin antara lain terdapat dalam serum darah serta
bagian putih telur.
Globulin Merupakan protein yang sukar larut dalam air murni, tetapi dapat
larut dalam larutan garam netral, misalnya dalam larutan NaCl
encer. Globulin antara lain terdapat dalam serum darah, pada otot,
dan pada jaringan lain.
Protamin Merupakan suatu protein yang bersifat basa seperti histon, tidak
mengandung tirosin atau triptofan, tetapi mengandung banyak
arginin sehingga memiliki kadar nitrogen 25-30%. Protamin
berikatan dengan asam nukleat dan terdapat dalam sel sperma ikan.
Larut dalam etanol 70-80% tetapi tidak larut dalam air dan dalam
etanol absolut.
Histon Merupakan protein yang bersifat basa dan dapat larut dalam air.
Pada proses hidrolisis histon menghasilkan banyak histidin dan
lisin. Histon terdapat dalam inti sel dalam bentuk berikatan dengan
asam nukleat.
(Poedjiadi, 1994)
Beberapa protein mempunyai pengaruh fisiologi terhadap hewan. Daya
racunnya disebabkan oleh antaraksi dengan sub unit ribosom 60s mamalia,
19
mengakibatkan terjadinya hidrolisis beberapa ikatan glikosida-N dengan akibat
penghambatan sintesis protein. Beberapa protein beracun ini mempunyai peran dalam
melindungi tumbuhan dari serangan mikroba. Protein ini memberi banyak harapan
pada pengobatan kanker dan penyakit yang disebabkan oleh virus (Robinson, 1991).
Protein-protein tersebut antara lain :
1. alergen, disebut juga proteon.
Protein ini tersebar luas dalam biji (terutama dalam biji yang banyak
mengandung lemak) dan memiliki pengaruh sensitisasi pada orang-orang
tertentu yang peka. Contohnya proteon yang terdapat pada biji jarak.
2. inhibitor enzim
Inhibitor enzim dari tumbuhan yang paling dikenal adalah inhibitor protease
yang berasal dari biji kacang polong. Beberapa bersifat alergen.
3. protein beracun
Beberapa biji mengandung protein yang mempunyai pengaruh fisiologi yang
kuat terhadap hewan. Contohnya adalah risin yang berasal dari biji jarak.
Contoh lainnya adalah protein yang menunjukkan daya racunnya sebagai
inhibitor ribosom (Robinson, 1991).
Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan campuran protein ke dalam suatu seri
fraksi protein (Scopes, 1994). Ada dua macam cara yang biasa digunakan dalam
proses fraksinasi yakni, dengan jalan pengendapan dan kromatografi. Fraksinasi
protein dengan jalan pengendapan dapat dilakukan dengan menggunakan amonium
20
sulfat dalam konsentrasi tertentu (Poedjiadi, 1994). Hasil pengendapan kemudian
didialisis untuk menghilangkan amonium sulfat yang sebelumnya digunakan untuk
mengendapkan protein. Dasar dari metode dialisis ini adalah adanya gradien
konsentrasi antara dua permukaan membran dialisis. Molekul kecil, dalam hal ini
adalah amonium sulfat, akan keluar dari kantong dialisis dan protein yang
mempunyai bobot molekul besar akan tetap tertinggal di dalam kantong dialisis. Hal
ini juga dapat terjadi karena membran dialisis bersifat semi permeabel (Kerese,
1984).
D. Kultur Sel
Kultur sel primer adalah sel yang disolasi dari suatu jaringan dan kemudian
ditumbuhkan secara in vitro, sedangkan subkultur dapat diartikan sebagai
pemindahan sel ke flask baru dengan medium yang baru. Hal ini memungkinkan
terjadinya perluasan kultur yang dikenal dengan cell line.
Setiap kultur sel akan memasuki periode laten (lag phase), diikuti dengan
pertumbuhan secara eksponensial (log phase), dan pada akhirnya akan mencapai
plateau phase. Medium yang berubah warna menjadi kuning menandakan nutrisi
dalam medium telah habis, sehingga perlu dilakukan penggantian medium atau
subkultur (Mahardika, 2003).
Sel yang dipilih dalam uji sitotoksisitas tergantung pada tujuan yang ingin
dicapai. Umumnya, sel yang dipilih adalah sel yang cepat pertumbuhannya dan
21
mudah penanganannya, misalnya Chinese Hamster Ovary Cell (CHO), HeLa, Baby
Hamster Kidney cell (BHK), atau L929.(Widiyani, 2005).
1. Sel HeLa
HeLa Cell line merupakan cell line cervix intraepitel (Cervical Intraepithelial
Carcinoma) akibat infeksi HPV 18. Sel ini diisolasi dari seorang wanita penderita
kanker yang berusia 31 tahun bernama Henrietta Lacks di Baltimore, USA. HeLa
Cell line ini cukup aman dan umum digunakan untuk kepentingan kultur sel
(Widiyani, 2005).
Hela Cell line dapat digunakan untuk uji antitumor, uji sitotoksisitas, biologi
sel, dan kemampuan invasi bakteri. Sel ini diketahui dapat hidup dan berkembang
biak dengan sangat baik dalam kultur buatan di laboratorium sehingga banyak
digunakan dalam penelitian-penelitian di seluruh dunia. (Widiyani, 2005). Sel HeLa
dapat dikultur dengan menggunakan medium RPMI 1640 (Freshney, 1986).
2. Sel Vero
Epithelial sel Vero ditemukan pada tahun 1962 oleh Y. Yasumura dan Y.
Kawakita dari Universitas Chiba, Jepang. Sel tersebut didapatkan dari ginjal monyet
hijau Afrika dewasa yang sehat. Selain kegunaannya sebagai sel substrat bagi vaksin,
sel Vero juga sering digunakan untuk studi replikasi virus (Anonim, 2002).
E. Uji Sitotoksisitas
Program pengembangan obat untuk identifikasi agen kemoterapeutik kanker
yang baru melibatkan evaluasi preklinik yang luas dan sejumlah besar senyawa
22
kimia. Uji tersebut biasanya dilakukan pada hewan percobaan yang memiliki
persamaan sifat dengan manusia. Penelitian menggunakan hewan uji memegang
peranan penting, namun ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan
kecenderungan untuk menggunakan kultur sel. Pertimbangan tersebut antara lain, tes
invitro lebih murah dibanding in vivo, ada perbedaan proses fisiologis antar hewan
percobaan dan manusia, dan adanya pertimbangan moral di dalam penggunaan hewan
untuk penelitian (Freshney, 1986).
Penggunaan kultur sel memungkinkan mekanisme toksisitas dapat dikerjakan
lebih efektif karena kondisi sel lebih mudah dikontrol maupun dimodifikasi. Di
bawah ini merupakan beberapa metode yang dapat digunakan untuk uji sitotoksik:
a. Metode Haemocytometer Counting
Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, paling langsung dan
paling murah untuk menghitung jumlah sel yang tersuspensi. Penentuan jumlah sel
yang hidup dengan dye exclusion melibatkan pencampuran suspensi sel dengan
sejumlah tertentu buffer atau larutan saline yang mengandung pewarna larut air
(erythrocin B atau trypan blue). Penunjuk sitotoksisitas berdasarkan pada kerusakan
membran. Sel yang tidak berwarna merupakan sel yang hidup sedangkan sel yang
berwarna merupakan sel yang mati (Sadarum, 2006). Sebagai contoh dengan
menggunakan trypan blue, dimana sel yang mati akan tercat biru gelap sedangkan sel
yang hidup akan berwarna terang dan transparan. Jumlah sel yang mati dihitung
dengan bantuan haemocytometer (Prabaningdyah, 2002).
23
b. Menggunakan senyawa radioaktif
Biasanya digunakan timidin yang dilabel dengan tritium. [3H]-thymidin akan
berinkorporasi dengan DNA seluler. Metode ini akurat, tetapi membutuhkan waktu
yang lama dan melibatkan penanganan senyawa radioaktif. Selain itu dapat
digunakan isotop 51Cr dimana pelepasannya dari sel yang mengalami lisis dapat
dikuantifikasi (ATCC, 2001).
c. Efisiensi pembentukan koloni
Metode ini benar-benar mengukur viabilitas sel, dimana suatu sel tunggal
ditumbuhkan dalam waktu yang cukup untuk membelah diri sampai membentuk
koloni yang dapat dilihat mata dan dapat dihitung. Permasalahan dari metode ini
adalah pengenceran yang dilakukan untuk mengisolasi suatu sel tunggal dapat
menyebabkan stress pada sel, selain itu metode ini membutuhkan waktu yang lama
(Sadarum, 2006).
d. Metode MTT
Pada uji MTT, garam tetrazolium, (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-
dipheniltetrazolium bromid), secara aktif diabsorbsi ke dalam sel hidup dan direduksi
dalam mitokondrial membentuk suatu produk formazan berwarna ungu. Produk
tersebut terakumulasi di dalam sel karena tidak dapat keluar menembus membran sel
(Barile, 1997). Setelah diinkubasi selama 2-4 jam, dengan penambahan suatu deterjen
kristal tersebut akan terlarut. Warna yang terbentuk dapat ditentukan secara
kuantitatif dengan ELISA plate reader pada panjang gelombang 550 nm. Intensitas
24
warna yang terbentuk berbanding lurus dengan jumlah sel yang hidup (ATCC,
2001).
F. Landasan teori
Kanker merupakan nama umum untuk lebih dari 100 jenis penyakit yang
bervariasi, ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel yang tidak terkontrol, invasi
jaringan lokal, dan kemampuan untuk menyebar luas (distant metastases) (Balmer et
al, 2005). Perkembangan penyakit kanker merupakan suatu proses rumit yang
melibatkan tidak hanya satu perubahan genetik namun juga faktor-faktor epigenetik
(misalnya aksi hormonal tubuh, paparan bahan-bahan karsinogen, dan lain-lain) yang
tidak berkembang menjadi kanker itu sendiri namun dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya mutasi pada DNA sel yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya kanker (Rang et al, 2003).
Pada umumnya, kerja antikanker berdasarkan atas gangguan pada salah satu
proses sel yang esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker
dengan sel normal, maka semua antikanker bersifat mengganggu sel normal, bersifat
sitotoksik, dan bukan kankerosid atau kankerotoksik yang selektif (Nafrialdi dan Gan,
1995). Karena hal itulah maka pencarian obat antikanker masih terus dilakukan
sampai sekarang.
Menurut National Cancer Institute (NCI), suatu senyawa dikatakan bersifat
antikanker apabila memiliki harga LC50 ≤ 20 µg/ml (Suffness dan Pezzuto, 1991).
Suatu antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya dapat
25
menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Terapi hanya dapat
dikatakan berhasil dengan baik bila dosis yang digunakan dapat mematikan sel
kanker tanpa terlalu mengganggu sel normal yang berproliferasi (Nafrialdi dan Gan,
1995).
Mimba telah lama dikenal dalam dunia kesehatan sebagai tanaman yang
memiliki banyak khasiat. Setiap bagiannya memiliki aksi farmakologis sehingga
dapat digunakan sebagai obat. Salah satu khasiat mimba yang banyak menarik minat
khalayak saat ini adalah aktivitasnya sebagai antikanker. Fakta bahwa mimba telah
digunakan untuk mengobati kanker sejak lama dalam pengobatan tradisional
membuat penelitiannya sebagai antikanker menjadi semakin menarik untuk
dilakukan.
Penelitian terhadap daun mimba terkait dengan aktivitasnya sebagai
antikanker telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Febriani pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa fraksi total protein daun
mimba memiliki daya sitotoksik terhadap sel HeLa, namun tidak berpotensi untuk
dikembangkan menjadi senyawa antikanker karena harga LC50 yang didapatkan
masih terlalu besar. Dari hal ini, muncul dugaan bahwa protein yang berperan sebagai
antikanker masih terlalu kecil jumlahnya dibandingkan dengan jumlah total protein
yang ada, sehingga aktifitas farmakologisnya tidak seperti yang diharapkan.
Berdasarkan dugaan tersebut, fraksi total protein daun mimba kemudian difraksinasi
menjadi 30%, 60%, dan 100% dengan harapan akan didapatkan titik terang menuju
ditemukannya senyawa antikanker baru.
26
Dalam penelitian tersebut (Suwanto, 2006), diketahui bahwa ternyata yang
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker adalah fraksi
protein 30% dan 60%. Agar dapat diketahui fraksi protein berapakah yang memiliki
daya sitotoksik optimal, fraksinasi dipersempit lagi menjadi 30%, 40%, 50%, dan
60%.
Fraksi protein daun mimba sudah dipastikan memiliki daya sitotoksisitas
terhadap sel HeLa, maka langkah selanjutnya adalah ujicoba terhadap sel normal
(Vero Cell Line). Diharapkan fraksi protein daun mimba bersifat sitotoksik dan
selektif terhadap sel HeLa, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai senyawa
antikanker.
G. Keterangan empiris
Fraksi protein daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) bersifat sitotoksik
dan selektif terhadap kultur sel HeLa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian
acak lengkap pola searah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas
Konsentrasi FP30, FP40, FP50, dan FP60 jenuh. Ada 11 konsentrasi yang
digunakan, yaitu 0,2 µg/mL, 0,4 µg/mL, 0,8 µg/mL, 1,6 µg/mL, 3,13 µg/mL,
6,25 µg/mL, 12,5 µg/mL, 25 µg/mL, 50 µg/mL,. 100 µg/mL, dan 200 µg/mL.
b. Variabel tergantung
Persentase kematian sel HeLa dan sel Vero pada kultur sel.
c. Variabel pengacau terkendali
Suhu, pH, waktu pemanenan daun mimba, dan media yang digunakan untuk
menumbuhkan sel. Suhu pembuatan dan penyimpanan fraksi protein dikendalikan
pada suhu 4oC, pH dikendalikan dengan penggunaan larutan dapar natrium fosfat
5mM pH 7,2 yang mengandung dan tidak mengandung 0,14 M NaCl, waktu
pemanenan daun mimba dikendalikan dengan memanen daun pada tempat dan
waktu yang sama, sedangkan media tumbuh sel dikendalikan dengan medium
27
28
RPMI untuk sel HeLa dan M199 untuk sel Vero. Masing-masing mengandung
Foetal Bovine Serum (FBS) 10%.
a. Variabel pengacau tak terkendali
Kematian sel HeLa dan sel Vero secara alami
2. Definisi operasional
a. Sitotoksisitas ialah sifat toksik atau beracun dari fraksi protein daun mimba
terhadap sel HeLa dan sel normal.
b. Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel.
c. FP30, FP40, FP50, dan FP60 adalah fraksi protein daun mimba yang diperoleh
dari hasil pengendapan dengan garam amonium sulfat pada konsentrasi 30%,
40%, 50% dan 60%, dinyatakan dalam µg/ml.
d. Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi HPV tipe 18.
e. Sel Vero adalah derivat sel epitel dari ginjal kera hijau Afrika (Cercopithecus
aethiops) yang sehat.
f. LC50 ialah konsentrasi fraksi protein daun mimba yang mampu membunuh
atau menyebabkan kematian sejumlah 50% sel HeLa atau 50% sel Vero dan
dinyatakan dalam µg/ml.
B. Bahan atau Materi Penelitian
1. Daun segar tanaman mimba yang tumbuh di halaman LPPT unit III UGM, yang
terletak di Jalan Kaliurang, Sleman, pada bulan Juni 2006.
29
2. Kultur sel HeLa dari stok Laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
3. Kultur sel Vero yang diambil dari stok Laboratorium Ilmu Hayati Universitas
Gadjah Mada.
4. Pereaksi yang digunakan untuk isolasi dan penetapan konsentrasi protein daun
mimba dengan bahan grade pro analys (Merck):
a. Larutan dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2
b. Larutan dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl
c. Ammonium Sulfat
5. Pereaksi untuk uji toksisitas pada sel HeLa:
a. Media pencuci : RPMI 1640 (Sigma), Natrium bikarbonat, Hepes (Sigma).
b. Media penumbuh sel HeLa : RPMI 1640 (Sigma), Foetal Bovine Serum
(FBS) 10% (Gibco), Penisilin-Streptomisin 1% (Gibco), dan Fungison
0,5% (Gibco).
c. Media penumbuh sel Vero : M199, Foetal Bovine Serum (FBS) 10%
(Gibco), Penisilin-Streptomisin 1% (Gibco), dan Fungison 0,5% (Gibco).
d. Reagen Stopper : natrium dodeksil sulfat 10% dalam HCl 0,01 N.
e. MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide)
(Sigma).
f. Bahan untuk isolasi sel Vero : tripsin 0,25 %.
30
C. Alat-alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas,
stamper, mortir, timbangan analitik (AND ER-400 H), alumunium foil, magnetic
stirrer dan pH meter (TOA electronic HM-5S), tabung conical, mesin vortex
(Thermolyne Maximi), autoklaf, Hi-Mac Sentrifuge (HITACHI SCP85H), tissue
culture flask, inkubator (Nuaire), mikropipet (Finnpipet campus), membran dialisis
(Sigma), lemari pendingin, 96-well plate (Nunc), spektrofotometer UV (Cecil CE-
292), ELISA reader (SLT 340 ATC), laminar air flow (Nuaire), mikroskop
(Olympus IMT-2), haemocytometer (Nebauer), kain monel, tissue, glove, dan masker.
D. Tatacara Penelitian
1. Determinasi tanaman
Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian yaitu daun mimba,
telah dideterminasi terlebih dahulu di laboratorium Farmakognosi Fitokimia,
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan dipastikan juga
kebenarannya dengan menggunakan acuan baku (Backer dan Backuizen van den
Brink, 1965).
2. Pengumpulan daun mimba
Daun mimba yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari pohon
mimba yang tumbuh di halaman LPPT unit III UGM, yang terletak di Jalan
Kaliurang, Sleman, pada bulan Juni 2006.
31
3. Sterilisasi alat dan bahan
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh organisme, maka alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat
tersebut dicuci bersih dengan sabun dan dikeringkan, setelah itu dibungkus
dengan alumunium foil dan disterilkan dalam autoklaf selama 20 menit pada
suhu 121°C.
4. Pembuatan fraksi protein
Daun segar tanaman mimba dikumpulkan, diseleksi, kemudian dicuci
bersih dengan air mengalir. Setelah dipotong kecil-kecil, 400 gram daun tanaman
mimba dibungkus dengan kantong plastik bersih dan disimpan di dalam freezer
selama semalam bersama dengan mortir, stamper, dan reagen-reagen yang akan
digunakan untuk proses selanjutnya, dimana bahan-bahan tersebut sudah
disterilkan sebelumnya dengan menggunakan autoklaf.
Daun ditumbuk halus dengan ditambahkan sesedikit mungkin larutan
dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl dalam mortir
yang ditempatkan dalam baskom berisi air es. Hasil tumbukan kemudian diperas
dengan menggunakan kain monel, cairan hasil perasan ditampung dalam tabung
conical yang bersih dan steril.
Cairan tersebut kemudian disentrifus pada 8000 rpm selama 20 menit.
Supernatan yang diperoleh, disebut ekstrak gubal, dikumpulkan dalam labu ukur
yang bersih dan steril dan diukur volumenya. Protein dalam supernatan
kemudian diendapkan dengan menggunakan ammonium sulfat sebanyak 27,45 g
32
gram perlahan-lahan sambil terus diaduk dengan magnetic strirrer selama
semalam dalam lemari es, dilanjutkan dengan sentrifugasi 8000 rpm selama 20
menit. Hasilnya berupa supernatan (1) dan pellet. Pellet yang diperoleh
dilarutkan dengan sesedikit mungkin larutan dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2
hingga volumenya mencapai 3 ml, kemudian didialisis selama semalam dalam
larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2. Hasil dialisis disentrifus 8000 rpm
selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan yang didapatkan dari proses ini
merupakan sampel fraksi protein dengan konsentrasi 10% jenuh.
Supernatan (1) kemudian ditambah dengan amonium sulfat sebanyak
27,47 gram, di-stirrer semalam, kemudian disentrifus lagi dengan kecepatan
8000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan (2) ditampung dan pelet
yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat
5 mM pH 7,2 hingga volumenya mencapai 3ml, kemudian didialisis selama
semalam dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2. Hasil dialisis
disentrifus 8000 rpm selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan yang
didapatkan dari proses ini merupakan sampel fraksi protein dengan konsentrasi
20% jenuh.
Supernatan (2) kemudian ditambah dengan amonium sulfat sebanyak
28,35 gram, di-stirrer semalam, kemudian disentrifus lagi dengan kecepatan
8000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan (3) ditampung dan pelet
yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat
5 mM pH 7,2 hingga volumenya mencapai 3ml, kemudian didialisis selama
33
semalam dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2. Hasil dialisis
disentrifus 8000 rpm selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan yang
didapatkan dari proses ini merupakan sampel fraksi protein dengan konsentrasi
30% jenuh.
Supernatan (3) kemudian ditambah dengan amonium sulfat sebanyak
29,3 gram, di-stirrer semalam, kemudian disentrifus lagi dengan kecepatan 8000
rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan (3) ditampung dan pelet yang
diperoleh dilarutkan dalam sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat 5 mM
pH 7,2 hingga volumenya mencapai 3ml, kemudian didialisis selama semalam
dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2. Hasil dialisis disentrifus 8000
rpm selama 20 menit pada suhu 4°C. Supernatan yang didapatkan dari proses ini
merupakan sampel fraksi protein dengan konsentrasi 40% jenuh.
Langkah yang sama dilakukan untuk mendapatkan fraksi protein 50%
dan 60% jenuh. Fraksi protein 50% jenuh didapatkan dengan menambahkan
ammonium sulfat sebanyak 30,3 gram, sedangkan fraksi protein 60% jenuh
didapatkan dengan menambahkan ammonium sulfat sebanyak 31,35 gram. Bila
diringkas dalam bentuk bagan, maka proses pembuatan fraksi protein dapat
dituliskan sebagai berikut:
daun dipanen kemudian dicuci dengan air mengalir
↓ daun dipotong kecil-kecil, kemudian ditaruh dalam freezer -20º C
sedangkan alat-alat dan reagen yang akan digunakan ditaruh dalam refrigerator
pada suhu 4º C
34
↓ daun ditumbuk dengan mortir dan stamper pada suhu rendah (sekitar 4º C)
↓ diperas dengan kain monel
↓ cairan yang didapatkan disentrifus 8000 rpm selama 20 menit
pellet dibuang, supernatan yang diambil berupa ekstrak gubal
↓ ekstrak gubal ditambah dengan ammonium sulfat 27,45 gram, distirrer semalam
dalam refrigerator
↓ disentrifus 8000 rpm selama 20 menit
Pellet (1) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, kemudian
disentrifus 8000 rpm selama 20 menit, supernatan diambil → FP10
↓ Supernatan (1) + ammonium sulfat 27,47 gram, kemudian distirrer semalam
dalam refrigerator
Pellet (2) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, disentrifus
8000 rpm selama 20 menit, kemudian diambil supernatannya → FP20
↓ Supernatan (2) + ammonium sulfat 28,35 gram, distirrer semalam dalam
refrigerator
Pellet (3) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, disentrifus
8000 rpm selama 20 menit, kemudian diambil supernatannya → FP30
↓
35
Supernatan (3) + ammonium sulfat 29,3 gram, distirrer semalam dalam
refrigerator
↓ Pellet (4) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, disentrifus
8000 rpm 20 menit, kemudian diambil supernatannya → FP40
↓ Supernatan (4) + ammonium sulfat 30,3 gram, distirrer semalam dalam
refrigerator
↓ Pellet (5) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, disentrifus
8000 rpm 20 menit, kemudian diambil supernatannya → FP50
↓ Supernatan (5) + ammonium sulfat 31,35 gram, distirrer semalam dalam
refrigerator
↓ Pellet (6) + larutan dapar Na Phospat, didialisis selama semalam, disentrifus
8000 rpm 20 menit, kemudian diambil supernatannya → FP60
5. Pengukuran konsentrasi fraksi protein
Fraksi protein yang diendapkan dengan amonium sulfat (FP30, FP40, FP50,
dan FP60), masing-masing sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam kuvet 1 ml lalu
ditambah 990 µl larutan dapat natrium fosfat 5mM pH 7,2. Diukur serapannya
dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm.
Sebagai kontrol digunakan larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2.
36
Menurut Layne, konsentrasi protein yang diperoleh dapat dihitung dengan
rumus:
Concentration = [1.55E(280)] – [0.76E(260)] mg ml-1
(Layne cit Richterich dan Colombo, 1981).
6. Propagasi dan panen sel HeLa dan sel Vero
a. Propagasi sel HeLa dan sel Vero
Sel diambil dari tangki nitrogen cair, lalu dengan segera dicairkan
diatas penangas air 37°C. Ampul disemprot dengan etanol 70% kemudian
dibuka. Sel dipindahkan lagi ke dalam tabung conical steril yang berisi
medium. Untuk sel HeLa, medium berisi RPMI 1640, sedangkan untuk
sel Vero, mediumnya berisi M199. Suspensi sel disentrifus lagi selama 5
menit. Supernatan dibuang, sedangkan pellet ditambah dengan 1 ml
medium penumbuh yang mengandung 20% FBS. Disuspensikan perlahan
hingga homogen, kemudian sel ditumbuhkan dalam 3-4 buah tissue
culture flask kecil, diinkubasi dalam incubator 37°C dengan aliran 5%
CO2. Setelah 24 jam, medium diganti dan sel ditumbuhkan hingga
konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian (Freshney, 1986).
b. Panen sel HeLa dan sel Vero
Setelah jumlah sel cukup untuk penelitian, medium diganti
dengan yang baru sebanyak 5 ml. Sel dilepaskan dari dinding flask
dengan cara disuspensikan dengan menggunakan pipet Pasteur. Sel
37
kemudian dipindahkan ke dalam tabung conical steril, medium ditambah
sampai volume 10 ml kemudian disentrifus 3000 rpm selama 5 menit.
Supernatan yang didapat dibuang sedangkan pellet disuspensikan
kembali secara perlahan dengan 1 ml media. Jumlah sel dihitung dengan
menggunakan haemocytometer. Suspensi sel kemudian ditambahkan
dengan sejumlah medium sehingga diperoleh konsentrasi sebesar 5 x 104
sel/ 200 μl yang akan digunakan untuk penelitian (Freshney, 1986).
7. Uji sitotoksisitas terhadap sel HeLa dan sel Vero
Seratus μl suspensi sel HeLa dengan konsentrasi 104 sel/ 200 μl
dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran pada 96-well plate dan diinkubasi
bersama dengan fraksi protein satu seri kadar selama 24 jam. Replikasi dilakukan
selama 5 kali dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap 11 baris
sumuran. Sebagai kontrol, 100 μl suspensi sel ditambahkan ke dalam sumuran
yang berisi medium dan larutan dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2. Sedangkan
untuk faktor koreksi, 100 μl sampel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi
medium dan larutan dapar Natrium Fosfat 5mM pH 7,2. Selanjutnya, sel
diinkubasikan dengan aliran 5% CO2 pada suhu 37°C. pada akhir inkubasi,
masing-masing sumuran ditambahkan dengan 10 μl MTT 2,5 μl/ml, dan
diinkubasi lagi selama semalam pada 37° C. Sel yang hidup akan bereaksi
dengan MTT membentuk kristal formazan yang berwarna ungu. Reaksi MTT
dihentikan dengan penambahan reagen stopper, kemudian diinkubasikan lagi
38
selama semalam pada suhu kamar. Kemudian, serapan dibaca dengan ELISA
Reader pada panjang gelombang 550 nm.
E. Analisis hasil
Pada metode MTT ini, serapan yang terbaca menunjukkan jumlah sel
yang hidup. Hasil akhir uji sitotoksisitas yaitu persentase kematian sel yang
dihitung menggunakan modifikasi rumus Abbot, dengan persamaan berikut:
% Kematian sel = 100% x A
C)(BA −−
Keterangan :
A = Rata-rata absorbansi kontrol
B = Rata-rata absorbansi perlakuan
C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel (Meyer, 1982)
Perhitungan LC50 dilakukan secara statistik menggunakan analisis probit.
Untuk mengetahui jenis distribusi data, dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov.
Setelah itu, sitotoksisitas sel Hela dan sel Vero dibandingkan dengan uji T-test.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sterilisasi Alat
Istilah sterilisasi yang digunakan pada sediaan-sediaan farmasi berarti
penghancuran secara lengkap semua mikroba hidup dan spora-sporanya atau
penghancuran secara lengkap mikroba dari sediaan. Dalam penelitian ini, alat-alat
yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan metode
sterilisasi uap (panas lembab). Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklav dan
menggunakan uap air dengan tekanan. Cara diakui sebagai cara yang terpilih pada
hampir semua keadaan. Metode ini biasa digunakan pada bahan-bahan yang dapat
tahan terhadap penembusan uap air dan temperatur yang digunakan (Ansel, 1989).
Sterilisasi perlu dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme agar tidak
mengganggu penelitian.
Prinsip dari metode panas lembab adalah terjadinya koagulasi dan denaturasi
pada protein esensial mikroorganisme akibat penetrasi uap panas ke dalam membran
sel mikroorganisme. Metode panas lembab membunuh mikroorganisme lebih cepat
dan efisien dibandingkan dengan metode lain, karena uap air panas lebih mudah
melakukan penetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme. Metode ini juga mampu
membunuh mikroorganisme pada suhu yang relatif rendah dan hanya membutuhkan
waktu yang singkat tergantung pada tekanan yang digunakan (Ansel, 1989).
39
40
B. Preparasi Fraksi Protein Daun Mimba
Setiap tempat memiliki karakteristik yang berbeda sehingga spesies tanaman
yang sama dapat memiliki kualitas kandungan kimia yang berbeda bila ditanam di
tempat yang berbeda. Untuk menghindari hal ini, daun mimba yang digunakan
diambil dari 1 pohon dalam sekali panen. Daun yang dipilih tidak terlalu tua atau
terlalu muda sehingga diharapkan memiliki kandungan senyawa aktif yang optimal.
Untuk preparasi fraksi protein, daun mimba segar yang telah dipetik dicuci
terlebih dahulu dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran yang melekat.
Setelah dipotong kecil-kecil, 400 gram daun mimba digerus dalam mortir dengan
penambahan sesedikit mungkin larutan dapar Na fosfat 5mM pH 7,2. Larutan dapar
berfungsi untuk menjaga stabilitas, dengan menciptakan kondisi yang isotonis dengan
cairan dalam tanaman. NaCl yang terkandung dalam larutan dapar berfungsi untuk
mempermudah kelarutan protein dan menjaga stabilitas, sedangkan pemotongan daun
mimba menjadi bagian-bagian kecil bertujuan untuk mempermudah proses
penggerusan. Mortir dan stamper didinginkan terlebih dahulu di dalam refrigerator.
Saat penggerusan dilakukan suhunya harus dijaga agar tetap rendah (sekitar 4˚C) agar
kandungan protein dalam daun mimba tidak mengalami kerusakan sehingga tidak
kehilangan aksi biologisnya. Penggerusan dilakukan di dalam mortir yang ditaruh
dalam baskom berisi es batu. Setelah digerus, bahan diperas dengan kain monel
kemudian ditampung dalam tabung conical yang bersih dan steril. Dari 400 gram
daun mimba, didapatkan 515 ml ekstrak gubal.
41
Protein dalam ekstrak gubal daun mimba dipisahkan dengan penambahan
amonium sulfat dalam jumlah tertentu sehingga didapatkan konsentrasi fraksi protein
yang diinginkan. Amonium sulfat dipilih karena beberapa alasan :
1. kelarutannya yang tinggi pada suhu rendah.
2. harganya murah.
3. ammonium sulfat dapat mengendapkan hampir semua jenis protein dan
merupakan jenis garam yang paling sering digunakan untuk pengendapan
protein.
4. ammonium sulfat dapat menjaga protein dari denaturasi.
5. amonium sulfat dapat mencegah aktivitas enzim proteolitik dan bersifat
antibakteri.
6. ammonium sulfat bersifat inert, tidak bereaksi dengan protein yang
diendapkan.
Penambahan garam dengan konsentrasi tertentu pada larutan dapat
menyebabkan protein mengendap tanpa terdenaturasi. Mekanismenya adalah
kompetisi antara ion anorganik dalam ammonium sulfat dengan molekul protein
untuk berikatan dengan air.
42
Gambar 2. Protein yang terlarut dalam air
Komponen-komponen ionik di permukaan protein berikatan kuat dengan
molekul air, membuat protein terselubungi air. Ammonium sulfat yang ditambahkan
pada larutan tersebut akan melucuti muatan listrik dan menghilangkan selubung air
dari protein. Hal ini dapat terjadi karena ion garam memiliki kerapatan muatan yang
lebih besar daripada protein, sehingga air lebih tertarik untuk berikatan dengan
protein. Akibatnya, molekul-molekul protein akan saling berinteraksi membentuk
agregat, kemudian mengendap. Metode ini disebut salting out. (Anonim, 2006c)
gambar 3. protein dalam air dengan penambahan ammonium sulfat
Untuk mendapatkan fraksi protein 30%, ditambahkan ammonium sulfat
sebesar 28,35 gram. Sedangkan untuk mendapatkan fraksi protein 40%, 50%, dan
60% jenuh ditambahkan berturut-turut 29,29 gram; 30,3 gram; dan 31,35 gram
amonium sulfat. Penambahan amonium sulfat dilakukan secara bertahap agar
didapatkan protein dalam fraksi-fraksi yang diinginkan. Masing-masing hasil
43
pengendapan tersebut kemudian disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm selama 20
menit pada suhu 4oC agar endapan dan larutannya benar-benar terpisah.
Selanjutnya, dilakukan proses dialisis untuk menghilangkan sisa ammonium
sulfat. Keempat fraksi protein yang didapatkan dimasukkan ke dalam sebuah kantong
yang disebut tubing dialysis. Tubing dialysis ini kemudian direndam dengan larutan
dapar Na fosfat 5mM pH 7,2 dalam sebuah beaker glass yang sudah dipasangi stirrer
magnetic. Pengadukan dengan stirrer magnetic dilakukan untuk mencegah terjadinya
kejenuhan yang tidak merata pada larutan dapar Na fosfat 5mM pH 7,2 di luar tubing
dialysis agar proses dialisis berjalan dengan sempurna.
Prinsip dari metode dialisis adalah terjadinya mekanisme difusi pasif akibat
adanya perbedaan gradien konsentrasi yang besar di dalam dan di luar tubing dialysis.
Bahan yang digunakan untuk tubing dialysis hanya dapat melewatkan partikel-
partikel berukuran tertentu, yaitu di bawah 15.000-20.000 Dalton, sesuai dengan
ukuran pori-pori yang dimilikinya. Partikel ammonium sulfat yang berukuran lebih
kecil daripada protein akan keluar dari tubing dialysis, sedangkan protein yang
berukuran lebih besar dan merupakan makromolekul akan tetap tinggal di dalam.
Selain itu membran dialisis yang memiliki sifat semipermeabel juga mempermudah
terjadinya proses ini. Karena didasarkan pada perbedaan gradien konsentrasi, larutan
dapar harus selalu diganti setiap beberapa jam agar tetap ada perbedaan gradien
konsentrasi. Dialisis akan meningkatkan volume protein di dalam tubing dialysis
44
akibat adanya efek osmotik ammonium sulfat. Karena itu, diberi sedikit sisa tempat
di bagian atas tubing dialysis untuk mencegah kebocoran.
Dialisis dilakukan selama semalam, tujuannya agar pengendapan dapat
berlangsung optimal. Setelah itu, larutan disentrifus untuk memisahkan protein dan
kontaminan. Supernatan yang dihasilkan dari proses sentrifus inilah yang akan diukur
konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer UV.
C. Penetapan Konsentrasi Fraksi Protein Daun Mimba
Penetapan konsentrasi masing-masing fraksi protein dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada 2 panjang gelombang, yaitu 260 dan
280 nm. Absorbansi protein dapat diukur menggunakan spektrofotometer UV karena
asam amino aromatik pada protein, yakni tirosin, triptofan, dan fenilalanin, dapat
menyerap sinar UV karena memiliki gugus kromofor dan auksokrom. Masing-masing
dapat mengabsorbsi secara maksimal pada panjang gelombang 280 nm. Namun,
pengukuran tersebut dapat terganggu karena adanya asam nukleat dan komponennya,
serta senyawa yang mengandung cincin purin dan pirimidin yang juga memiliki
serapan maksimum pada panjang gelombang 280 nm. Oleh karena itu, dilakukan
koreksi senyawa-senyawa tersebut dengan melakukan pengukuran absorbansi protein
pada panjang gelombang 260 nm. Pada penelitian ini, konsentrasi protein yang
didapatkan untuk daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60, berturut-turut adalah
16,4%; 16,15%; 15,94%; 9,25%; 15,2%; dan 35,3%.
45
D. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba
Uji sitotoksisitas fraksi protein daun mimba dilakukan pada kultur sel HeLa
yang dibiakkan di Laboratorium Hayati Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Metode yang digunakan adalah metode MTT pada kultur sel HeLa dengan
konsentrasi 5x104 sel /200µl media dengan berbagai seri kadar. Yang terkecil adalah
0,2 µg/ml, dan yang terbesar adalah 200µg/ml.
Sel HeLa menggunakan medium RPMI 1640 sedangkan sel Vero
menggunakan M199. Suatu medium yang digunakan sebagai tempat tumbuh sel
harus mengandung banyak komponen yang menunjang fungsi pertumbuhannya. Sel
Hela yang akan digunakan dinkubasikan dalam inkubator dengan dialiri gas CO2,
dimana gas CO2 ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan pH medium. Untuk
menghindari hal ini, maka digunakan suatu sistem buffer. Bahan pembuffer yang
digunakan berupa natrium bicarbonat dan Hepes. Pemakaian buffer tunggal seperti
natrium bicarbonat dapat menyebabkan kondisi medium menjadi basa dengan cepat
di luar inkubator. Karena itu, digunakan Hepes yang akan mengatur pH tetap optimal
dan terkontrol. Foetal Bovine Serum (FBS) berfungsi sebagai suplemen pertumbuhan
bagi sel.
Medium penumbuh memiliki kecenderungan untuk ditumbuhi bakteri, karena
itu biasanya digunakan juga suatu antibiotik. Dalam percobaan ini, antibiotik yang
ditambahkan pada medium berupa penisilin-streptomisin dan fungison. Penisilin-
streptomisin merupakan antibiotik berspektrum luas yang mampu membunuh gram
46
positif dan gram negatif, sedangkan fungison berfungsi sebagai antijamur. Untuk
lebih meminimalisir kemungkinan terjadinya pencemaran oleh mikroorganisme, alat-
alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu dan seluruh proses yang
melibatkan sel Hela dan sel Vero dilakukan dalam kondisi aseptis.
Prinsip metode MTT ini adalah adanya pemecahan garam tetrazolium MTT
(3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid) oleh sistem enzim
reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat dalam mitokondria sel sehingga
terbentuk kristal formazan berwarna ungu yang tidak larut. Dengan penambahan
reagen stopper, kristal tersebut dapat terlarut sehingga dapat dibaca intensitas
warnanya dengan menggunakan ELISA Reader. Kristal formazan ungu ini hanya
terbentuk pada sel HeLa yang hidup, sehingga semakin banyak sel yang masih hidup
maka akan semakin banyak intensitas warna ungu yang dihasilkan. Hal ini akan
berbanding lurus dengan nilai absorbansi yang terbaca pada ELISA Reader.
Gambar 4. Reaksi MTT menjadi formazan oleh enzim dehidrogenase
47
Gambar 5. kristal formazan
Metode MTT termasuk metode yang aman, sederhana, dan cepat. Aman
karena tidak menggunakan bahan-bahan radioaktif yang membahayakan, sederhana
karena perlakuan yang harus diberikan pada sampel sebelum diuji relatif cukup
mudah, dan cepat karena waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Metode ini juga
terbukti cukup akurat, karena absorbansi yang terbaca sebanding dengan jumlah sel
hidup yang masih aktif melakukan metabolisme. Walaupun demikian, metode ini
juga memiliki kelemahan, yakni tidak dapat digunakan untuk sampel yang berwarna
karena dapat mempengaruhi absorbansi yang terbaca oleh ELISA Reader.
Walaupun sampel yang digunakan pada penelitian berwarna hijau kecoklatan,
metode MTT ini tetap dilakukan karena dari penelitian yang dilakukan sebelumnya
(Febriani, 2004), diketahui bahwa metode ini terbukti cukup efektif, bahkan lebih
baik dari metode Trypan Blue.
Pada metode Trypan Blue, sel HeLa yang mati akan berbentuk bulat-bulat
kecil dan berwarna biru karena menyerap zat warna Trypan Blue, sedangkan sel
HeLa yang masih hidup akan berbentuk bulat panjang dan berwarna bening.
Perhitungan jumlah sel yang mati dilakukan sendiri oleh peneliti dengan
menggunakan haemocytometer, sehingga hasilnya akan sangat tergantung pada
48
ketelitian dan objektivitas peneliti. Pada metode MTT, perhitungan dilakukan dengan
alat yang dinamakan ELISA reader, sehingga hasilnya lebih akurat.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran absorbansi dari perlakuan,
perlakuan tanpa sel HeLa, dan kontrol pada masing-masing fraksi protein. Perlakuan
adalah sel HeLa yang diberi fraksi protein daun mimba, sedangkan kontrol adalah sel
HeLa tanpa fraksi protein daun mimba. Perlakuan tanpa sel HeLa digunakan sebagai
faktor koreksi agar absorbansi yang terbaca murni berasal dari intensitas warna yang
dihasilkan oleh sejumlah sel yang tetap hidup setelah pemberian senyawa uji tanpa
adanya pengaruh dari warna senyawa uji yang digunakan. Kontrol digunakan untuk
melihat apakah perlakuan yang diberikan benar-benar memberikan efek terhadap sel
uji. Kontrol negatif yang digunakan berisi sel, medium, dan larutan dapar natrium
fosfat 5 mM pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Febriani pada tahun 2002, diketahui bahwa larutan buffer tidak memberikan
pengaruh yang berarti terhadap kematian sel HeLa. Karena itu, tidak perlu dilakukan
uji tersendiri untuk melihat apakah buffer yang digunakan dapat menginduksi
terjadinya kematian pada sel HeLa secara berarti atau tidak.
Di bawah mikroskop, terlihat jelas perbedaan antara sel kontrol dan sel yang
sudah diberi perlakuan. Pada sel Hela dan sel Vero yang sudah diberi perlakuan,
terlihat ada banyak sel yang mati. Sel-sel HeLa yang masih hidup berbentuk seperti
daun memanjang dan melekat pada dasar sumuran (i), sedangkan sel-sel HeLa yang
sudah mati berbentuk bulat dan mengapung (ii).
49
Gambar 6. Sel HeLa
(i). kontrol (ii) sel HeLa dengan perlakuan
Gambar 7. Sel Vero
(i). Kontrol (ii). Sel Vero dengan perlakuan
Sel Vero yang hidup terlihat berbentuk seperti benang-benang halus yang
memanjang (i) sedangkan sel Vero yang mati terlihat berbentuk membulat (ii).
Pengukuran dengan menggunakan ELISA Reader dilakukan pada panjang
gelombang 550 nm. Serapan yang terbaca menunjukkan jumlah sel yang hidup. Hasil
yang didapatkan dari percobaan menunjukkan bahwa kontrol memiliki intensitas
warna yang lebih intensif daripada perlakuan.
50
Hasil akhir uji sitotoksisitas, yaitu persentase kematian sel, dapat diketahui
dengan modifikasi rumus Abbot, dengan persamaan berikut:
% Kematian sel = 100% x A
C)(BA −−
Keterangan :
A = Rata-rata absorbansi kontrol
B = Rata-rata absorbansi perlakuan
C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel
(Meyer, 1982)
Tabel II. Hasil uji sitotoksik fraksi protein terhadap sel HeLa dengan metode MTT
Rerata % kematian sel HeLa Konsentrasi fraksi protein (µg/ml)
FP30 FP40 FP50 FP60
1 0,2 85,50 57,60 81,4 84,9 2 0,4 86,70 58,92 83,33 78,46 3 0, 8 85,54 68,23 80,62 77,81 4 1,6 94,09 78,89 74,42 73,03 5 3,1 97,10 94,91 70,65 55,38 6 6,25 90,35 87,47 73,36 70,26 7 12,5 84,60 79,25 88,57 78,07 8 25 97,55 88,38 107,67 102,66 9 50 105,16 73,32 112,67 108,93 10 100 110,16 90,56 147,08 135,26 11 200 89,48 12,76 145,44 142,87
Dari tabel dapat dilihat bahwa pemberian fraksi protein daun mimba mampu
menginduksi kematian sel HeLa pada angka yang cukup tinggi. Bahkan pada
konsentrasi terendah, persentase kematian sel HeLa sudah lebih dari 50%, atau lebih
51
dari separuh jumlah populasinya. Hal ini membuktikan bahwa fraksi protein daun
mimba memang memiliki sifat sitotoksik terhadap sel HeLa.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
0 2 4 6 8 10 1
konsentrasi
resp
on k
emat
ian
(%)
2
Rerata % kematian sel HeLa FP30 Rerata % kematian sel HeLa FP40
Rerata % kematian sel HeLa FP50 Rerata % kematian sel HeLa FP60
Gambar 8. Grafik persen kematian sel HeLa vs kadar fraksi protein daun mimba
Dari grafik terlihat bahwa respon kematian sel Hela pada konsentrasi
3,1µg/ml meningkat pada FP30 dan FP40. Pada konsentrasi-konsentrasi berikutnya
respon kematian yang ditimbulkan cukup berfluktuatif, menunjukkan peningkatan
konsentrasi fraksi protein daun mimba tidak selalu diiringi dengan peningkatan
respon kematian sel. Hal sebaliknya terjadi pada FP50 dan FP60 yang menurun pada
konsentrasi tersebut, tetapi menunjukkan kecenderungan untuk meningkat pada
konsentrasi-konsentrasi berikutnya.
52
Tabel III. Hasil uji sitotoksik fraksi protein terhadap sel Vero dengan metode MTT
Rerata % kematian sel Vero Konsentrasi fraksi protein (µg/ml)
FP30 FP40 FP50 FP60
1 0,2 64,9 82,9 58,91 59,73 2 0,4 68,93 79,64 56,41 65,3 3 0, 8 67,71 85,06 51,56 58,44 4 1,6 69,16 75,84 67,87 59,4 5 3,1 76,81 76,79 73,3 68,72 6 6,25 82,06 70,07 75,08 70,3 7 12,5 76,18 66,81 75,37 70,51 8 25 85,49 79,22 72,89 75 9 50 90,6 85,14 73,42 75,29 10 100 79,88 75,42 73,57 84,38 11 200 89,50 74,41 69,35 84,22
Fraksi protein daun mimba ternyata menunjukkan efek sitotoksisitasnya
terhadap sel Vero. Sama seperti pada sel Hela, konsentrasi terkecil yang digunakan
sudah mampu menginduksi kematian pada lebih dari separuh populasi sel Vero.
53
grafik plot respon kematian sel Vero
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 1
konsentrasi
resp
on k
emat
ian
(%)
2
Rerata % kematian sel Vero FP30 Rerata % kematian sel Vero FP40
Rerata % kematian sel Vero FP50 Rerata % kematian sel Vero FP60
Gambar 9. Grafik persen kematian sel Vero vs kadar fraksi protein daun mamba
Pada grafik terlihat bahwa pemberian daun mimba FP30 an FP60 berbanding
lurus dengan respon kematian yang ditimbulkan pada sel Vero. Pada FP50, respon
kematian yang ditimbulkan cenderung stabil mulai konsentrasi 1,6µg/ml. Hal ini
mungkin disebabkan karena protein daun mimba yang mampu membunuh sel Vero
mengalami kejenuhan sehingga dengan peningkatan konsentrasi, respon yang
ditimbulkan tetap atau hampir sama. Sedangkan pada FP40 grafik terlihat fluktuatif.
Untuk menghitung nilai LC50 digunakan metode grafik probit Miller-Tainter
dari program SPSS 13. Analisis probit merupakan salah satu analisis regresi yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi dan respon yang berupa
persen kematian sel. Karena FP30, FP40, FP50, dan FP60 pada sel HeLa dan sel Vero
54
memberikan respon kematian lebih dari 50%, maka nilai LC50 ditentukan secara
ekstrapolasi. Hasil ekstrapolasi ini hanya merupakan prediksi karena nilai LC50 yang
diperoleh tidak berada dalam kurva probit.
Tabel IV. Nilai LC50 pada sel Hela dan sel Vero
Sel HeLa Sel Vero FP Daun Mimba LC50
(µg/ml) t
hitung t
tabel LC50
(µg/ml) t
hitung t
tabel FP30 3,72.10-13 0,841 1,415 9,84.10-3 5,552 1,383 FP40 1,8.10-2 2,339 1,383 46,37.1011 1,020 1,383 FP50 1,5.1023 0,056 1,440 9,51.10-3 3,017 1,383 FP60 173,49 1,011 1,467 4,54.10-2 7,338 1,383
Menurut National Cancer Institute (NCI), suatu senyawa dikatakan bersifat
antikanker apabila memiliki harga LC50 ≤ 20 µg/ml (Suffness & Pezzuto, 1991).
Suatu antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya mampu
menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Nafrialdi & Gan,
1995).
LC50 adalah konsentrasi obat (fraksi protein daun mimba) yang dibutuhkan
untuk menimbulkan kematian pada 50% populasi. Semakin kecil nilai LC50 maka
toksisitasnya semakin besar. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa urutan fraksi
protein mulai dari yang paling toksik adalah FP30, FP40, FP60, dan FP50. Daun mimba
FP30 dan FP40 kemungkinan dapat dikembangkan sebagai senyawa antikanker karena
masing-masing memiliki nilai LC50 ≤ 20 µg/ml. Hal ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya (Suwanto, 2006) yang menyatakan bahwa yang berpotensi sebagai
antikanker adalah FP30 dan FP60. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, fraksi-
55
fraksi protein yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dengan cara fraksinasi
bertingkat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suwanto, fraksinasi dimulai dari
FP30, sedangkan fraksinasi dalam penelitian ini dimulai dari FP10. Tentu saja
keduanya memiliki kandungan yang berbeda. Kemungkinan ada protein-protein
tertentu yang ikut terendapkan pada FP10, FP20, FP30, FP40, atau FP50, sehingga tidak
muncul dalam FP60 dalam penelitian ini tetapi muncul dalam FP60 penelitian tersebut.
Sel-sel HeLa yang digunakan dalam penelitian ini merupakan subjek uji biologis
yang relatif sulit dikendalikan, sehingga mungkin menghasilkan respon yang berbeda.
Agar FP30 dan FP40 bisa dinyatakan dapat dikembangkan sebagai senyawa antikanker,
selektivitasnya terhadap sel normal harus dipastikan.
Dari perhitungan, diketahui bahwa FP30, FP50, dan FP60 tidak memiliki
korelasi yang linier dengan respon kematian pada sel HeLa pada taraf kepercayaan
80%. Hal ini berarti, peningkatan konsentrasi fraksi protein yang diberikan tidak
meningkatkan jumlah kematian pada sel HeLa. Hanya FP40 saja yang memiliki
korelasi linier dengan jumlah kematian sel HeLa. Pada sel Vero, hanya FP40 yang
tidak memiliki korelasi linier dengan respon kematian sel.
Hasil uji Kolmogorov Smirnov menyatakan bahwa distribusi data semua
fraksi adalah normal. Untuk melihat selektivitas fraksi protein daun mimba terhadap
sel Vero dan sel HeLa, dilakukan uji T-test.
56
Lewat uji T-test diketahui bahwa ternyata pengaruh perlakuan terhadap sel
Hela dibandingkan sel Vero adalah berbeda tidak bermakna, sehingga tidak ada
satupun dari keempat fraksi tersebut yang bersifat selektif.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan penelitian ini, sebenarnya telah
dilakukan juga penelitian yang sama dengan menggunakan fraksi protein yang sama,
yakni FP10, FP20, FP30, FP40, FP50, dan FP60. Perbedaannya adalah pada jenis sel
kanker yang digunakan. Ada 4 jenis sel kanker yang digunakan, yakni sel HeLa, sel
SiHa, sel Myeloma, dan sel Raji. Penelitian-penelitian tersebut dibagi menjadi 2
kelompok, yakni fraksi kecil (FP10, FP20, FP30, dan FP40) dan fraksi besar (FP30, FP40,
FP50, dan FP60). Penelitian dengan fraksi kecil dilakukan oleh Lahrita (2006),
Purnamasari (2007), serta Harsono (2006), sedangkan penelitian dengan fraksi besar
dilakukan oleh Jenny (2006), Ekasaptawati (2007), dan Mellina (2007), berturut-turut
terhadap kultur sel Raji, Myeloma, dan SiHa.
Hasil yang didapatkan dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa
yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker adalah FP20 dan
FP60 untuk sel Raji, FP20 dan FP40 untuk sel SiHa, dan tidak ada FP yang berpotensi
untuk sel Myeloma.
Menurut Nafrialdi dan Gan (1995), suatu antikanker diharapkan memiliki
toksisitas selektif, artinya mampu menghancurkan sel-sel kanker tanpa merusak sel-
sel pada jaringan normal. Dengan demikian, tidak ada satupun dari keempat fraksi
yang digunakan dalam penelitian ini berpotensi dikembangkan sebagai senyawa
57
antikanker. Namun perlu diingat, penyakit kanker sendiri banyak macamnya.
Masing-masing memiliki jenis sel kanker yang berbeda dan dengan demikian
kemungkinan memiliki sifat dan mekanisme pertahanan yang berbeda pula. Hal ini
dapat dibuktikan dari penelitian-penelitian di atas. Walaupun fraksi protein yang
digunakan sama, metode, serta keseluruhan prosesnya dilakukan bersamaan dengan
penelitian ini, hasil yang didapatkan berbeda. Percobaan ini hanya dilakukan terhadap
sel kanker leher rahim, sehingga dapat dikatakan bahwa fraksi protein daun mimba
tidak dapat digunakan untuk mengobati kanker leher rahim, namun belum tentu tidak
dapat digunakan untuk mengobati jenis kanker lainnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. nilai LC50 dari daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 terhadap sel HeLa berturut-
turut adalah 3,72.10-13 µg/ml; 1,8.10-2 µg/ml; 1,5.1023 µg/ml; dan 173,49 µg/ml.
2. nilai LC50 dari daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 terhadap sel Vero berturut-
turut adalah 9,84.10-3 µg/ml; 46,37.1011 µg/ml; 9,51.10-3 µg/ml; dan 4,54.10-2
µg/ml.
3. daun mimba FP30 dan FP40 memiliki nilai LC50 ≤ 20 µg/ml, namun tidak ada
satupun yang bersifat selektif.
4. tidak ada satupun fraksi protein daun mimba FP30, FP40, FP50, dan FP60 yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dikemukakan untuk penelitian
selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. perlu dilakukan uji sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap jenis sel
kanker lain yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
2. perlu dilakukan uji sitotoksisitas fraksi protein daun mimba dengan waktu
inkubasi lebih dari 24 jam.
58
59
3. perlu dilakukan pemurnian fraksi protein daun mimba lebih lanjut agar dapat
diketahui secara lebih spesifik kandungan protein apa yang benar-benar bersifat
sitotoksik.
60
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001a, Simposium Kanker Nasional, http://www.gramedia-majalahcom.
Diakses pada tanggal 23 September 2006. Anonim, 2002, Vero Cells, http://en.wikipedia.org/wiki/Vero_cells. Diakses pada
tanggal 16 Oktober 2006. Anonim, 2003, HeLa Cell Genes Coding,
http://www.cancerbacup.org.uk/Cancertype/Cervix/General/Thecervix Anonim, 2004a, Hela Cell Culture, Nikon MicroscopyU : Phase Contrast and
DIC Comparison Image Gallery. Anonim, 2004b, Kanker Pandangan Umum, http://www.detok.com/news/05-23-
2004-kanker.htm. Diakses 3 Juni 2006.
Anonim, 2006a, Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang Kanker, http://www.mastel.or.id.htm.
Anonim, 2006b, Cancer, http://en.wikipedia.org/wiki/Protein. Diakses pada 23
September 2006.
Anonim,2006c, Ammonium Sulfate Fraction of Protein Mixtures, http://www.bio.mtu.edu.htm. Diakses pada 23 September 2006.
Anonim, 2006d, Hubungan HPV dan Kanker Serviks, Ethical Digest, 31, 12,17,18,
Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi IV, 411-413, UI
Press, Jakarta. Ariyani, 2004, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A.
Juss) terhadap Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
ATCC, 2001, MTT Cell Proliferation Assay,
http://www.atcc.org/common/products/MttCell.ctm. Diakses 16 Oktober 2006.
61
Backer, C. A., dan Backuizen van den Brink, R. C.,1965, Flora of Java, Volume II, 116-117,120, N. V. Noordhoff, Graningen.
Barile, F.A., 1997, in Vitro Methods in Pharmaceutical Research, 2-3, 34-43,
Academic Press, Valencia, Spanyol. Biswas, K., Chattopadhyay, I., Banerjee, R.K., Bandyopadhyay, U., 2002,
Biological activities and Medical Properties of Neem (Azadirachta indica), Current Sciences, 82, 1336-1345.
Balmer, C.M., Valley, A.W., dan Ianucci, A., 2005, Cancer Treatment and
Chemotherapy. Pharmacoteraphy, a Patophysiologic Approach, 6th Ed, in DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M (Eds), 2279-2287, McGraw Hill Co.,USA
Candra, 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A.
Juss) Hasil Pengendapan Dengan Amonium Sulfat 30%, 60%, 100% Jenuh Terhadap Sel SiHa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
De Muth, J.E., Basic Statistical and Pharmaceutical Statistical Applications, 574,
Marcel Dekker, Inc., New York. Febriani, A.C., 2004, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta
indica A. Juss) terhadap Kultur Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Freshney, R.I., 1986, Animal Cell Culture A Practical Approach, Ed. I, 71-73,
IRL Press, Washington DC. Gan, S., dan Nafrialdi, 1995, Antikanker, dalam Ganiswara, S., (Ed),
Farmakologi dan Terapi, 687, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hariadi, A., 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica
A. Juss) Hasil Pengendapan Dengan Amonium Sulfat 30%, 60%, 100% Jenuh Terhadap Sel Myeloma, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Hutapea, J., 1993, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 67-68, Badan Litbang
Kesehatan, Departemen Kesehatan Indonesia.
62
Kerese, I., 1984, Methods of Protein Analysis, 71-72, Ellis Horwood Limited, Chichester.
King, R.J.B., 2000, Cancer Biology, 2nd Ed, 71-89, School of Biological
Sciences, University of Surrey, England. Lee, H.P., Seo, S.S., 2002, The Application of Human Papillomavirus Testing to
Cervical Cancer Screening, http://www.eyjm.org. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2006.
Lusia, S.W.K., 2004, Sitotoksisitas Fraksi Total Daun Mimba (Azadirachta
indica A. Juss) terhadap Kultur Sel Siha, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mahardika, A.W., 2004, Kursus singkat Kultur Sel, Laboratorium Ilmu Hayati
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nochols, D.E., Mc
Laughlin, J.L., 1982, Brine shrimp : a convinient general bioassay for active plant convinient, vol 45, Planta Medica.
Murray, R.K., et al, 1995, Biokimia Harper, diterjemahkan oleh Andry Hartono,
Edisi ke-22, 47-50, Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Newman, D.J., dan Cragg, G.M., 2002, Drug from Nature: Past Achievements,
Future Prospects dalam Iwu, M. M., Wotton, J.C. (Eds), Advanced in Phytomedicine vol.1, Ethnomedicine and Drug Discovery, Elsevier, Amsterdam.
Poedjiadi, A., 1994, Dasar-dasar Biokimia, 82-124, Universitas Indonesia,
Jakarta. Prabaningdyah, N.K., 2002, Efek Fraksi Protein Sejenis Ribosome Inactivating
Protein (RIPs) dari Biji Mirabilis jalapa L. pada Proses Kematian Kultur Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., dan Moore, P.K., 2003, Pharmacology,
fifth (5th) Ed, 693-709, Elsevier Science, London, UK. Richterich, R., Colombo, J.P., 1981, Clinical Chemistry Theory, Practice, and
Interpretation, 408, John Wiley & Sons, Ltd, New York, USA.
63
Robbyono, 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Hasil Pengendapan Dengan Amonium Sulfat 30%, 60%, 100% Jenuh Terhadap Sel Raji, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Robinson, T., 1991, The Organic Constituents of Higher Plants, 6th edition,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dalam Sutomo, T. (Ed), 246-248, Penerbit ITB, Bandung.
Sadarum, M.T., 2006, Uji Efek Sitotoksik dari Daun Mirabilis jalapa L. Hasil
Pemisahan Menggunakan Kolom Ioenaustsuscher typ II terhadap Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Scopes, R.K., 1994, Protein Purification, Principles and Practice, 2nd Edition,
Jeringer Verleg, New York. Sofyan, R., 2000, Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler,
http://www.kalbefarma.com. Diakses pada tanggal 29 Mei 2007. Suffness, M., dan Pezzuto, J.M., 1991, “Assay Related to Cancer Drug
Discovery”, Methods in Plant Biochemistry: Assay for Bioactivity Vol. 6, Academic Press, London.
Sukrasno dan Tim Lentera, 2003, Mimba, Tanaman Obat Multifungsi, 3, 4,
Agromedia Pustaka, Jakarta. Sumarny, R., 2004, Paradigma Pengobatan Kanker,
http://rudyct.tripod.com/sem2_012/ros_sumarny.htm. Suwanto, N.B., 2006, Sitotoksisitas Fraksi Protein Daun Mimba (Azadirachta
indica A. Juss) Hasil Pengendapan Dengan Amonium Sulfat 30%, 60%, 100% Jenuh Terhadap Sel HeLa, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Widiyani, L.R., 2005, Uji Sitotoksisitas Senyawa (2E)-3 (4’-Hidroksi-
3’metoksifenil)-(4’’-metoksifenil)prop-2-en-1-on dan calkon terhadap sel HeLa dan sel Vero, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
64
Lampiran 1. Jumlah Penambahan Amonium Sulfat pada Derajat Kejenuhan Tertentu
Tabel V. Volume larutan ektrak gubal protein daun mimba
Fraksi Protein FP10 FP20 FP30 FP40 FP50 FP60
Volume Ekstrak
515 ml 500 ml 500 ml 500 ml 500 ml 500 ml
Penambahan ammonium sulfat dihitung dengan rumus:
)1.3,0(100)12(533
SSSG
−−
=
dimana
S1 = % kejenuhan pada larutan awal
S2 = % kejenuhan pada larutan akhir
G = jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan per 1 liter larutan (gram)
(Anonim, 2006c)
a. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
10%
=G )0.3,0(100
)010(533−
− = 53,3 gram/L
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 515 ml larutan = 27,45 g.
65
b. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
20%
=G )10.3,0(100)1020(533
−− = 54,95 gram/L
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 500 ml larutan = 27,47 g.
c. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
30%
=G )20.3,0(100)2030(533
−− = 56,7 gram/L
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 500 ml larutan = 28,35 g.
d. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
40%
)30.3,0(100)3040(533
−−
=G = 58,6 gram
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 500 ml larutan = 29,3 g.
e. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
50%
)40.3,0(100)4050(533
−−
=G = 60,6 gram/L
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 500 ml larutan = 30,3 g.
66
f. Jumlah ammonium sulfat yang ditambahkan untuk mencapai kejenuhan
60%
)50.3,0(100)5060(533
−−
=G = 62,7 gram
Jadi, amonium sulfat yang ditambahkan untuk 500 ml larutan = 31,35 g.
67
Lampiran 2. Cara Perhitungan Kadar Protein
Perhitungan menurut Layne:
Concentration = [1.55E(280)] – [0.76E(260)] mg ml-1
(Richterich and Colombo, 1981)
Tabel VI. Absorbansi fraksi protein pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm
Fraksi protein daun mimba (%)
Absorbansi pada λ 280 nm
Absorbansi pada λ 260 nm
Rasio serapan R 280/260
10 0.197 0.186 1.059 20 0.191 0.177 1.079 30 0.223 0.245 0.910 40 0.195 0.276 0.707 50 0.203 0.214 0.949 60 0.542 0.641 0.846
Faktor pengenceran = 100 kali
a. Konsentrasi FP30 = (1,55 x 0,223) - (0,76 x 0,245)
= 0,15945 mg/ml x 100
= 15,95 mg/ml.
b.Konsentrasi FP40 = (1,55 x 0,195) - (0,76 x 0,276)
= 0,09249 mg/ml x 100
= 9,25 mg/ml.
c. Konsentrasi FP50 = (1,55 x 0,203) - (0,76 x 0,214)
= 0,15201mg/ml x 100
= 15,20 mg/ml.
d. Konsentrasi FP60 = (1,55 x 0,542) - (0,76 x 0,641)
= 0,35294 mg/ml x 100
= 35,29 mg/ml.
68
Lampiran 3. Absorbansi sel dengan metode MTT
A. Sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel HeLa
Tabel VII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP30 terhadap kultur sel HeLa Absorbansi
Perlakuan Perlakuan tanpa sel Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 0,776 0,743 0,782 0,773 0,729 0,761 0,558 0,603 0,741 0,634 0,729 0,4 0,755 0,745 0,731 0,728 0,69 0,73 0,568 0,598 0,675 0,614 0,773 0,8 0,822 0,774 0,731 0,711 0,705 0,749 0,552 0,616 0,699 0,622 0,782 1,6 0,776 0,775 0,796 0,746 0,755 0,797 0,512 0,645 0,997 0,718 0,743 3,1 0,772 0,797 0,766 0,764 0,731 0,766 0,637 0,67 0,915 0,741 0,825
6,25 0,755 0,83 0,743 0,76 0,73 0,764 0,569 0,697 0,772 0,679 12,5 0,743 0,82 0,903 0,731 0,72 0,783 0,639 0,538 0,77 0,649 25 0,75 0,826 0,886 0,723 0,707 0,778 0,952 0,594 0,725 0,757 50 0,805 0,796 0,907 0,702 0,693 0,781 1,146 0,711 0,62 0,826 100 0,747 0,71 0,686 0,733 0,694 0,714 1,183 0,647 0,586 0,805 200 0,657 0,684 0,978 1,813 0,667 0,96 0,957 1,689 0,558 1,068
Rata-rata 0,7704
Tabel VIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP40 terhadap kultur sel HeLa Absorbansi
Perlakuan Perlakuan tanpa sel Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 1,116 0,855 0,882 0,947 1,029 0,966 0,57 0,552 0,652 0,591 0,854 0,4 0,988 0,873 0,804 1,044 1,075 0,957 0,56 0,573 0,649 0,594 0,892 0,8 1,073 0,832 0,831 0,823 0,761 0,864 0,579 0,557 0,615 0,584 0,914 1,6 1,021 0,848 0,767 0,719 0,782 0,827 0,699 0,583 0,641 0,641 0,878 3,1 0,824 0,817 0,905 0,553 0,834 0,787 0,788 0,564 0,873 0,742 0,878
6,25 0,827 0,821 0,774 0,642 0,921 0,797 0,875 0,502 0,682 0,686 12,5 0,792 0,794 1,003 0,859 0,845 0,859 0,577 0,519 0,93 0,675 25 0,813 0,797 0,921 0,745 0,787 0,813 0,778 0,531 0,821 0,71 50 0,733 0,691 0,751 0,803 0,707 0,737 0,464 0,521 0,519 0,501 100 0,662 0,596 0,592 0,736 0,639 0,645 0,566 0,497 0,622 0,562 200 0,529 0,392 0,352 0,419 0,352 0,409 0,522 0,648 0,633 0,601
Rata-rata 0,8832
69
Tabel IX. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP50 terhadap kultur sel HeLa Absorbansi
Perlakuan Perlakuan tanpa sel Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 0,743 0,738 0,756 0,704 0,713 0,731 0,573 0,567 0,608 0,583 0,775 0,4 0,698 0,719 0,71 0,721 0,709 0,711 0,542 0,55 0,644 0,579 0,791 0,8 0,643 0,729 0,724 0,727 0,712 0,707 0,532 0,552 0,574 0,553 0,773 1,6 0,891 0,691 0,704 0,714 0,75 0,75 0,487 0,576 0,576 0,546 0,795 3,1 0,889 0,792 0,707 0,735 0,592 0,743 0,455 0,612 0,461 0,509 0,847
6,25 0,824 0,66 0,661 0,674 0,56 0,676 0,474 0,437 0,48 0,464 12,5 0,645 0,584 0,622 0,712 0,561 0,625 0,634 0,451 0,517 0,534 25 0,64 0,507 0,558 0,716 0,573 0,599 0,609 0,484 0,886 0,66 50 0,457 0,447 0,439 0,809 0,61 0,552 0,544 0,526 0,906 0,659 100 0,267 0,246 0,372 0,354 0,305 0,309 0,492 0,667 0,892 0,684 200 0,23 0,237 0,262 0,372 0,22 0,264 0,53 0,611 0,737 0,626
Rata-rata 0,7962
Tabel X. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP60 terhadap kultur sel HeLa Absorbansi
Perlakuan Perlakuan tanpa sel Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 0,758 0,743 0,724 0,704 0,737 0,733 0,588 0,617 0,647 0,617 0,766 0,4 0,731 0,752 0,893 0,73 0,722 0,766 0,555 0,583 0,663 0,6 0,775 0,8 0,73 0,741 0,786 0,7 0,711 0,734 0,525 0,554 0,611 0,563 0,732 1,6 0,812 0,712 0,709 0,677 0,698 0,722 0,485 0,519 0,54 0,515 0,794 3,1 0,737 0,72 0,699 0,779 1,085 0,804 0,446 0,471 0,468 0,462 0,769
6,25 0,673 0,681 0,802 0,668 0,67 0,699 0,455 0,461 0,496 0,471 12,5 0,613 0,592 0,825 0,596 0,607 0,647 0,474 0,475 0,486 0,478 25 0,536 0,448 0,436 0,526 0,432 0,476 0,476 0,498 0,514 0,496 50 0,433 0,469 0,439 0,468 0,44 0,45 0,485 0,524 0,546 0,518 100 0,272 0,228 0,229 0,286 0,254 0,254 0,505 0,526 0,542 0,524 200 0,228 0,221 0,214 0,223 0,211 0,219 0,539 0,541 0,565 0,548
Rata-rata 0,7672
70
B. Sitotoksisitas fraksi protein daun mimba terhadap sel Vero Tabel XI. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP30 terhadap kultur sel Vero
Absorbansi Perlakuan Perlakuan tanpa sel
Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 1,02 0,88 0,811 1,098 0,732 0,91 0,589 0,586 0,593 0,59 1,02 0,4 0,886 0,796 0,857 1,167 0,798 0,9 0,596 0,648 0,612 0,62 0,88 0,8 1,097 0,957 0,838 0,772 0,794 0,89 0,558 0,593 0,644 0,6 0,811 1,6 1,153 0,821 0,851 0,833 0,766 0,88 0,56 0,641 0,613 0,6 1,098 3,1 1,034 0,798 0,818 0,927 0,796 0,87 0,598 0,604 0,79 0,66 0,732
6,25 0,824 0,814 0,807 0,746 0,782 0,8 0,557 0,68 0,658 0,63 12,5 0,776 0,83 0,784 0,793 0,912 0,82 0,566 0,603 0,639 0,6 25 0,749 0,739 0,802 0,773 0,766 0,77 0,699 0,586 0,617 0,63 50 0,753 0,785 0,837 0,793 0,779 0,79 0,578 0,811 0,723 0,704 100 0,783 0,708 0,835 0,724 0,752 0,76 0,577 0,593 0,563 0,57 200 0,847 0,751 0,72 0,7 0,707 0,75 0,601 0,793 0,555 0,65
Rata-rata 0,9082 Tabel XII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP40 terhadap kultur sel Vero
Absorbansi Perlakuan Perlakuan tanpa sel
Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 0,799 0,788 0,768 0,766 0,788 0,782 0,489 0,831 0,598 0,639 0,843 0,4 0,813 0,762 0,759 0,815 0,77 0,784 0,552 0,56 0,728 0,613 0,834 0,8 0,815 0,783 0,856 0,753 0,767 0,795 0,679 0,561 0,769 0,669 0,866 1,6 0,822 0,753 0,721 0,757 0,742 0,759 0,524 0,568 0,578 0,557 0,833 3,1 0,796 0,741 0,764 0,755 0,744 0,76 0,548 0,582 0,567 0,566 0,811
6,25 0,762 0,79 1,027 0,764 0,73 0,815 0,541 0,554 0,597 0,564 12,5 0,791 0,78 1,091 0,768 0,713 0,829 0,522 0,549 0,581 0,551 25 0,759 0,727 0,905 0,599 0,695 0,737 0,552 0,562 0,575 0,563 50 0,696 0,671 0,818 0,691 0,693 0,7138 0,64 0,549 0,579 0,589 100 0,754 0,753 0,782 0,746 0,709 0,7488 0,515 0,553 0,561 0,543 200 0,804 0,763 0,737 0,758 0,781 0,7686 0,562 0,55 0,551 0,554
Rata-rata 0,8374
71
Tabel XIII. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP50 terhadap kultur sel Vero
Absorbansi Perlakuan Perlakuan tanpa sel
Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 0,859 0,849 0,824 1,132 0,828 0,898 0,57 0,505 0,486 0,52 1,058 0,4 0,81 0,89 0,871 1,177 0,847 0,919 0,502 0,572 0,48 0,518 0,911 0,8 1,114 0,834 0,87 1,134 0,786 0,948 0,529 0,486 0,491 0,502 0,901 1,6 0,956 0,851 0,832 0,707 0,822 0,834 0,54 0,481 0,593 0,538 0,849 3,1 1,02 0,833 0,81 0,866 0,796 0,865 0,544 0,665 0,649 0,619 0,881
6,25 0,878 0,794 0,803 0,886 0,792 0,831 0,594 0,5 0,71 0,601 12,5 0,779 0,764 0,757 0,724 0,744 0,754 0,548 0,515 0,518 0,527 25 0,747 0,771 0,787 0,726 0,736 0,753 0,486 0,519 0,507 0,504 50 0,788 0,746 0,736 0,763 0,743 0,755 0,504 0,518 0,51 0,511 100 0,742 0,751 0,767 0,772 0,847 0,776 0,522 0,55 0,526 0,533 200 0,845 0,766 0,75 0,744 0,79 0,779 0,497 0,496 0,498 0,497
Rata-rata 0,92 Tabel XIV. Hasil uji sitotoksik fraksi protein daun mimba FP60 terhadap kultur sel Vero
Absorbansi Perlakuan Perlakuan tanpa sel
Kadar Fraksi Protein (µg/ml) I II III IV V
Rata-rata I II III
Rata-rata Kontrol
0,2 1,086 0,864 0,886 0,948 0,788 0,914 0,49 0,51 0,584 0,528 1,16 0,4 1,119 0,87 0,818 0,855 0,856 0,904 0,54 0,563 0,609 0,571 0,94 0,8 1,109 0,87 0,915 0,987 0,813 0,939 0,491 0,525 0,604 0,54 0,938 1,6 0,862 0,834 0,881 1,218 0,745 0,908 0,472 0,504 0,579 0,518 0,9 3,1 0,83 0,869 0,806 0,949 0,697 0,83 0,483 0,503 0,604 0,53 0,86
6,25 0,799 0,745 0,786 0,846 0,721 0,779 0,463 0,458 0,562 0,494 12,5 0,8 0,798 0,865 0,683 0,704 0,77 0,447 0,466 0,548 0,487 25 0,77 0,739 0,713 0,717 0,702 0,728 0,458 0,478 0,529 0,488 50 0,763 0,742 0,746 0,75 0,683 0,737 0,454 0,514 0,531 0,5 100 0,778 0,769 0,767 0,751 0,751 0,763 0,435 0,707 0,698 0,613 200 0,714 0,76 0,743 0,719 0,718 0,731 0,465 0,551 0,722 0,579
Rata-rata 0,9596 Persen kematian sel dihitung dengan
rumus :
% Kematian = 100% x A
C)(BA −−
Keterangan : A = Rata-rata absorbansi kontrol
B = Rata-rata absorbansi perlakuan
C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa
sel (Meyer, 1982)
72
Lampiran 4. Uji Kolmogorov-Smirnov
Test Kolmogorov-Smirnov Sel HeLa
NPar Tests Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum perlakuan30 11 93.3208 8.55547 84.60 110.46
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
perlakuan30 N 11
Mean 93.3208 Normal Parameters(a,b) Std. Deviation 8.55547
Absolute .181 Positive .181
Most Extreme Differences
Negative -.154 Kolmogorov-Smirnov Z .602 Asymp. Sig. (2-tailed) .862
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum perlakuan40 11 81.7578 18.16701 57.60 121.76
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
perlakuan40 N 11
Mean 81.7578 Normal Parameters(a,b) Std. Deviation 18.16701
Absolute .144 Positive .144
Most Extreme Differences
Negative -.092 Kolmogorov-Smirnov Z .476 Asymp. Sig. (2-tailed) .977
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
73
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum perlakuan50 11 96.8365 27.83120 70.65 147.08
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
perlakuan50 N 11
Mean 96.8365 Normal Parameters(a,b) Std. Deviation 27.83120
Absolute .253 Positive .253
Most Extreme Differences
Negative -.173 Kolmogorov-Smirnov Z .838 Asymp. Sig. (2-tailed) .483
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum perlakuan60 11 89.8490 30.58366 36.61 142.87
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
perlakuan60 N 11
Mean 89.8490 Normal Parameters(a,b) Std. Deviation 30.58366
Absolute .201 Positive .201
Most Extreme Differences
Negative -.170 Kolmogorov-Smirnov Z .666 Asymp. Sig. (2-tailed) .768
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
74
Test Kolmogorov-Smirnov Sel Vero
NPar Tests Descriptive Statistics
11 77.3836 8.97542 64.90 90.60perlakuan30N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
1177.38368.97542
.184
.184-.093.610.851
NMeanStd. Deviation
Normal Parametersa,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
perlakuan30
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Descriptive Statistics
11 77.3909 5.81984 66.81 85.14perlakuan40N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
1177.39095.81984
.122
.092-.122.406.997
NMeanStd. Deviation
Normal Parametersa,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
perlakuan40
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
75
Descriptive Statistics
11 67.9755 8.40184 51.56 75.37perlakuan50N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
1167.97558.40184
.266
.189-.266.883.417
NMeanStd. Deviation
Normal Parametersa,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
perlakuan50
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Descriptive Statistics
11 70.1173 9.15080 58.44 84.38perlakuan60N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
1170.11739.15080
.145
.145-.120.479.976
NMeanStd. Deviation
Normal Parametersa,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
perlakuan60
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
76
Lampiran 5. Analisis Probit FP30 terhadap sel HeLa * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 9 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 2 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 14 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr .09948 .06437 1.54553 Intercept Standard Error Intercept/S.E. 1.23647 .06516 18.97602 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 21.265 DF = 7 P = .003 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits.
77
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.71 100.0 85.5 87.817 -2.319 .87817 -.41 100.0 86.7 88.412 -1.715 .88412 -.11 100.0 85.5 88.986 -3.450 .88986 .19 100.0 94.1 89.540 4.550 .89540 .49 100.0 97.1 90.073 7.026 .90073 .80 100.0 90.3 90.585 -.238 .90585 1.10 100.0 84.6 91.078 -6.473 .91078 1.40 100.0 97.5 91.552 5.997 .91552 2.30 100.0 89.5 92.859 -3.375 .92859 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 1.53360E-036 . . .02 8.43223E-034 . . .03 4.61882E-032 . . .04 9.38432E-031 . .
78
.05 1.08707E-029 . . .06 8.74505E-029 . . .07 5.44144E-028 . . .08 2.79643E-027 . . .09 1.23916E-026 . . .10 4.87816E-026 . . .15 1.41985E-023 . . .20 1.28986E-021 . . .25 6.17430E-020 . . .30 1.99215E-018 . . .35 4.98181E-017 . . .40 1.05685E-015 . . .45 2.03022E-014 . . .50 3.72153E-013 . . .55 6.82181E-012 . . .60 1.31047E-010 . . .65 2.78007E-009 . . .70 .00000 . . .75 .00000 . . .80 .00011 . . .85 .00975 . . .90 2.83914 . . .91 11.17671 . . .92 49.52668 . . .93 254.52378 . . .94 1583.72643 . . .95 12740.49665 . . .96 147584.10760 . . .97 2998554.24722 . . .98 164248076.599 . . .99 90308944932.0 . . Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
79
210-1
Log of konsentrasi
2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.092
FP40 terhadap sel HeLa * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 10 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 1 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C
80
* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 10 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr .33439 .05236 6.38605 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .57906 .05224 11.08494 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 47.202 DF = 8 P = .000 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.71 100.0 57.6 63.378 -5.777 .63378 -.41 100.0 58.9 67.095 -8.173 .67095 -.11 100.0 68.3 70.651 -2.391 .70651 .19 100.0 78.9 74.017 4.878 .74017
81
.49 100.0 94.9 77.172 17.740 .77172 .80 100.0 87.5 80.100 7.370 .80100 1.10 100.0 79.2 82.789 -3.539 .82789 1.40 100.0 88.4 85.234 3.149 .85234 1.70 100.0 73.3 87.435 -14.118 .87435 2.00 100.0 90.6 89.396 1.169 .89396 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 2.04853E-009 4.25516E-075 .00004 .02 .00000 1.81961E-068 .00012 .03 .00000 2.92961E-064 .00023 .04 .00000 4.27773E-061 .00037 .05 .00000 1.60340E-058 .00055 .06 .00000 2.48677E-056 .00077 .07 .00000 2.07129E-054 .00103 .08 .00000 1.08595E-052 .00134 .09 .00000 3.97737E-051 .00170 .10 .00000 1.09390E-049 .00212 .15 .00001 9.93913E-044 .00530 .20 .00006 5.38615E-039 .01101 .25 .00018 6.17972E-035 .02070 .30 .00050 2.72229E-031 .03664 .35 .00131 6.44961E-028 .06250 .40 .00324 1.02114E-024 .10436 .45 .00781 1.26235E-021 .17277 .50 .01855 1.37786E-018 .28706 .55 .04407 1.47667E-015 .48575 .60 .10616 1.71460E-012 .85615 .65 .26341 2.35942E-009 1.64477 .70 .68637 .00000 3.92201 .75 1.92928 .00578 21.15718 .80 6.09817 .66135 3988.48019 .85 23.32288 4.06749 73043884.1969 .90 126.12584 14.34524 4.70281E+013
82
.91 189.60554 18.64032 1.24113E+015 .92 295.24906 24.55781 4.38401E+016 .93 480.47844 32.99289 2.22570E+018 .94 827.69426 45.54924 1.80095E+020 .95 1539.05012 65.34581 2.72037E+022 .96 3189.64912 99.16792 9.94981E+024 .97 7813.17070 164.39945 1.41939E+028 .98 25706.75379 319.13864 2.23318E+032 .99 167977.01396 896.36092 9.31496E+038 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
2.01.51.00.50.0-0.5-1.0
Log of konsentrasi
1.5
1.0
0.5
0.0
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.378
83
FP50 terhadap sel HeLa * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 7 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 4 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 10 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr -.03496 .08974 -.38957 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .81024 .05636 14.37624 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 14.136 DF = 5 P = .015 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
84
C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.71 100.0 81.4 79.815 1.580 .79815 -.41 100.0 83.3 79.518 3.812 .79518 -.11 100.0 80.6 79.217 1.399 .79217 .19 100.0 74.4 78.915 -4.494 .78915 .49 100.0 70.7 78.609 -7.957 .78609 .80 100.0 73.4 78.301 -4.945 .78301 1.10 100.0 88.6 77.991 10.605 .77991 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 5.24939E+089 . . .02 8.36725E+081 . . .03 9.44719E+076 . . .04 1.79332E+073 . . .05 1.68417E+070 . . .06 4.46376E+067 . . .07 2.45727E+065 . . .08 2.33113E+063 . . .09 3.37157E+061 . . .10 6.82893E+059 . . .15 6.65117E+052 . .
85
.20 1.77998E+047 . . .25 2.94933E+042 . . .30 1.50146E+038 . . .35 1.57839E+034 . . .40 2.64970E+030 . . .45 5.89962E+026 . . .50 1.50092E+023 . . .55 3.81850E+019 . . .60 8.50199E+015 . . .65 1427261826940 . . .70 150039109.136 . . .75 7638.25515 . . .80 .12656 . . .85 .00000 . . .90 3.29886E-014 . . .91 6.68168E-016 . . .92 9.66387E-018 . . .93 9.16778E-020 . . .94 5.04680E-022 . . .95 1.33762E-024 . . .96 1.25620E-027 . . .97 2.38459E-031 . . .98 2.69237E-036 . . .99 4.29150E-044 . . Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
86
1.00.50.0-0.5
Log of konsentrasi
1.2
1.0
0.8
0.6
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 5.407E-4
FP60 terhadap sel HeLa * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 7 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 4 cases rejected because no. responses is greater than no. subjects. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C
87
* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 9 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr -.27797 .08533 -3.25743 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .62245 .05448 11.42605 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 61.599 DF = 5 P = .000 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.71 100.0 84.9 79.378 5.520 .79378 -.41 100.0 77.9 76.911 1.026 .76911 -.11 100.0 77.8 74.288 3.519 .74288 .19 100.0 73.0 71.518 1.510 .71518
88
.49 100.0 36.6 68.612 -32.003 .68612 .80 100.0 70.3 65.587 4.677 .65587 1.10 100.0 78.1 62.458 15.609 .62458 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 40595636029.6 . . .02 4244108359.22 . . .03 1012903960.42 . . .04 344744827.589 . . .05 143469144.108 . . .06 68028297.8902 . . .07 35362631.3260 . . .08 19684599.7201 . . .09 11554299.1960 . . .10 7075468.44234 . . .15 928808.69121 . . .20 184959.47901 . . .25 46324.41838 . . .30 13361.46164 . . .35 4221.86420 . . .40 1414.88556 . . .45 491.31873 . . .50 173.49552 . . .55 61.26511 . . .60 21.27430 . . .65 7.12972 . . .70 2.25280 . . .75 .64978 . . .80 .16274 . . .85 .03241 . . .90 .00425 . . .91 .00261 . . .92 .00153 . . .93 .00085 . . .94 .00044 . . .95 .00021 . . .96 .00009 . .
89
.97 .00003 . . .98 .00001 . . .99 .00000 . . Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
1.00.50.0-0.5
Log of konsentrasi
1.0
0.5
0.0
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.17
FP30 terhadap sel Vero * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information
90
ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 9 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr .27697 .04568 6.06283 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .55594 .05211 10.66771 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 10.625 DF = 9 P = .302 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.70 100.0 64.9 64.145 .755 .64145
91
-.40 100.0 68.9 67.210 1.720 .67210 -.10 100.0 67.7 70.163 -2.453 .70163 .20 100.0 69.2 72.989 -3.829 .72989 .50 100.0 76.8 75.590 1.220 .75590 .80 100.0 82.1 78.123 3.937 .78123 1.10 100.0 76.2 80.504 -4.324 .80504 1.40 100.0 85.5 82.719 2.771 .82719 1.70 100.0 90.6 84.767 5.833 .84767 2.00 100.0 79.9 86.647 -6.767 .86647 2.30 100.0 89.5 88.361 1.139 .88361 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 3.92163E-011 1.97300E-016 .00000 .02 3.78172E-010 5.60144E-015 .00000 .03 1.59275E-009 4.67907E-014 .00000 .04 4.69789E-009 2.30970E-013 .00000 .05 .00000 8.46288E-013 .00000 .06 .00000 2.55558E-012 .00000 .07 .00000 6.73423E-012 .00000 .08 .00000 1.60334E-011 .00001 .09 .00000 3.52874E-011 .00001 .10 .00000 7.29369E-011 .00001 .15 .00000 1.47268E-009 .00007 .20 .00001 .00000 .00024 .25 .00004 .00000 .00068 .30 .00013 .00000 .00175 .35 .00040 .00000 .00423 .40 .00120 .00002 .00980 .45 .00346 .00010 .02214 .50 .00984 .00047 .04957
92
.55 .02796 .00213 .11166 .60 .08082 .00990 .25751 .65 .24210 .04742 .62325 .70 .76938 .23605 1.65633 .75 2.67944 1.18087 5.37332 .80 10.75164 5.36165 26.35487 .85 54.30596 22.80371 230.71644 .90 416.72638 118.10257 4220.91009 .91 681.72021 173.77474 8611.58508 .92 1163.64934 263.67917 18733.92956 .93 2094.86490 416.06143 44138.15446 .94 4039.46618 690.88470 115203.28439 .95 8541.99927 1229.26919 344833.84527 .96 20590.62111 2413.68652 1253102.51122 .97 60733.03943 5519.29672 6136822.31986 .98 255789.78850 16524.53122 50859647.3481 .99 2466644.68146 92655.19768 1431572810.38 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
210-1
Log of konsentrasi
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.772
93
FP40 terhadap sel Vero C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 10 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr -.06347 .04459 -1.42349 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .80392 .05603 14.34798 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 17.269 DF = 9 P = .045 Since Goodness-of-Fit Chi square is significant, a heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C
94
* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.70 100.0 82.9 80.186 2.714 .80186 -.40 100.0 79.6 79.650 -.010 .79650 -.10 100.0 85.1 79.105 5.955 .79105 .20 100.0 75.8 78.552 -2.712 .78552 .50 100.0 76.8 78.008 -1.218 .78008 .80 100.0 70.1 77.440 -7.370 .77440 1.10 100.0 66.8 76.862 -10.052 .76862 1.40 100.0 79.2 76.275 2.945 .76275 1.70 100.0 85.1 75.681 9.459 .75681 2.00 100.0 75.4 75.079 .341 .75079 2.30 100.0 74.4 74.469 -.059 .74469 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 2.08614E+049 . . .02 1.05773E+045 . . .03 1.99229E+042 . .
95
.04 1.77593E+040 . . .05 3.81915E+038 . . .06 1.45445E+037 . . .07 8.28472E+035 . . .08 6.36865E+034 . . .09 6.17589E+033 . . .10 7.20960E+032 . . .15 9.90645E+028 . . .20 8.44361E+025 . . .25 1.96456E+023 . . .30 8.48230E+020 . . .35 5.46033E+018 . . .40 4.54877E+016 . . .45 4.42714E+014 . . .50 4637127710447 . . .55 48570703186.2 . . .60 472719876.536 . . .65 3938033.01952 . . .70 25350.38266 . . .75 109.45431 . . .80 .25467 . . .85 .00022 . . .90 .00000 . . .91 3.48176E-009 . . .92 3.37637E-010 . . .93 2.59549E-011 . . .94 1.47843E-012 . . .95 5.63029E-014 . . .96 1.21080E-015 . . .97 1.07931E-017 . . .98 2.03294E-020 . . .99 1.03075E-024 . . Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
96
210-1
Log of konsentrasi
1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.104
FP50 terhadap sel Vero C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *
97
Parameter estimates converged after 7 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr .16752 .04163 4.02397 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .33869 .05039 6.72150 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 15.371 DF = 9 P = .081 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob -.70 100.0 58.9 58.769 .141 .58769 -.40 100.0 56.4 60.720 -4.310 .60720 -.10 100.0 51.6 62.645 -11.085 .62645 .20 100.0 67.9 64.538 3.332 .64538 .50 100.0 73.3 66.338 6.962 .66338 .80 100.0 75.1 68.154 6.926 .68154
98
1.10 100.0 75.4 69.932 5.438 .69932 1.40 100.0 72.9 71.663 1.227 .71663 1.70 100.0 73.4 73.346 .074 .73346 2.00 100.0 73.6 74.976 -1.406 .74976 2.30 100.0 69.4 76.551 -7.201 .76551 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 1.23262E-016 1.80646E-032 3.63798E-011 .02 5.22554E-015 2.67938E-029 4.53498E-010 .03 5.63120E-014 2.75354E-027 2.24876E-009 .04 3.36735E-013 8.97890E-026 7.50154E-009 .05 1.44232E-012 1.52798E-024 .00000 .06 4.97511E-012 1.70504E-023 .00000 .07 1.47331E-011 1.41329E-022 .00000 .08 3.89458E-011 9.38821E-022 .00000 .09 9.42763E-011 5.25327E-021 .00000 .10 2.12727E-010 2.56318E-020 .00000 .15 6.18122E-009 1.81198E-017 .00001 .20 .00000 3.32536E-015 .00003 .25 .00000 2.90335E-013 .00016 .30 .00001 1.60276E-011 .00066 .35 .00005 6.56994E-010 .00241 .40 .00029 .00000 .00832 .45 .00169 .00000 .02776 .50 .00951 .00002 .09200 .55 .05349 .00050 .31267 .60 .30940 .01365 1.15315 .65 1.89820 .33261 5.50546 .70 12.84078 4.39746 62.59099 .75 101.05568 27.20661 2261.24090 .80 1005.22880 148.06088 171651.16585 .85 14628.87767 962.72766 29575205.5113 .90 425072.23203 9686.46499 20185388869.3 .91 959140.81753 16857.98139 97970063595.4 .92 2321799.99259 30747.55960 545529464312
99
.93 6137479.94205 59482.86866 3607367940810 .94 18175340.9229 124179.71896 2.97732E+013 .95 62693457.1128 287212.41096 3.30881E+014 .96 268532652.387 768394.74203 5.60866E+015 .97 1605772473.57 2573234.20439 1.82181E+017 .98 17304295981.5 12810892.7521 1.86478E+019 .99 733591561818 160413775.785 2.75351E+022 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
210-1
Log of konsentrasi
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.503
FP60 terhadap sel Vero * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * DATA Information 11 unweighted cases accepted. 0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group. 0 cases rejected because LOG-transform can't be done.
100
MODEL Information ONLY Normal Sigmoid is requested. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Parameter estimates converged after 8 iterations. Optimal solution found. Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E. konsentr .25367 .04311 5.88447 Intercept Standard Error Intercept/S.E. .34056 .05046 6.74925 Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 6.250 DF = 9 P = .715 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Observed and Expected Frequencies Number of Observed Expected konsentr Subjects Responses Responses Residual Prob
101
-.70 100.0 59.7 56.484 3.246 .56484 -.40 100.0 65.3 59.468 5.832 .59468 -.10 100.0 58.4 62.399 -3.959 .62399 .20 100.0 59.4 65.259 -5.859 .65259 .50 100.0 68.7 67.949 .771 .67949 .80 100.0 70.3 70.624 -.324 .70624 1.10 100.0 70.5 73.198 -2.688 .73198 1.40 100.0 75.0 75.652 -.652 .75652 1.70 100.0 75.3 77.980 -2.690 .77980 2.00 100.0 84.4 80.175 4.205 .80175 2.30 100.0 84.2 82.232 1.988 .82232 C * * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * * Confidence Limits for Effective konsentr 95% Confidence Limits Prob konsentr Lower Upper .01 3.06605E-011 7.41437E-017 .00000 .02 3.64094E-010 3.02031E-015 .00000 .03 1.74999E-009 3.17228E-014 .00000 .04 5.70089E-009 1.86024E-013 .00000 .05 .00000 7.84081E-013 .00000 .06 .00000 2.66744E-012 .00000 .07 .00000 7.80310E-012 .00001 .08 .00000 2.03996E-011 .00001 .09 .00000 4.88814E-011 .00002 .10 .00000 1.09258E-010 .00003 .15 .00000 3.04916E-009 .00013 .20 .00002 .00000 .00051 .25 .00010 .00000 .00160 .30 .00039 .00000 .00450 .35 .00138 .00002 .01175 .40 .00456 .00012 .02930
102
.45 .01452 .00069 .07132 .50 .04544 .00368 .17268 .55 .14218 .01950 .42454 .60 .45311 .10275 1.09265 .65 1.50130 .53145 3.12736 .70 5.30575 2.49625 11.39587 .75 20.72173 9.80461 62.17696 .80 94.46887 35.90511 515.30361 .85 553.69890 146.62801 6739.70086 .90 5123.58614 816.47649 180583.09555 .91 8769.29884 1231.14008 401183.44014 .92 15722.16333 1921.32720 955922.28972 .93 29874.54469 3130.95929 2486008.85950 .94 61187.81178 5396.03413 7236700.51730 .95 138604.32308 10028.06056 24504642.0381 .96 362232.57252 20745.42037 102822706.816 .97 1180035.43740 50637.34589 600293013.990 .98 5671739.50539 165549.61437 6276429299.64 .99 67352065.3767 1068139.21680 254379424682 Abbreviated Extended Name Name konsentr konsentrasi
210-1
Log of konsentrasi
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
Prob
it
Probit Transformed Responses
R Sq Linear = 0.857
103
Lampiran 6. Uji t-independent
T-Test
Group Statistics
5 .0692 .11403 .050995 2E+085 3.8284E+085 2E+085
selvero30hela30
LC50N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
7.111 .029 -1.000 8 .347 1.71E+085 1.71E+085 -6E+085 2E+085
-1.000 4.000 .374 1.71E+085 1.71E+085 -6E+085 3E+085
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
LC50F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Group Statistics
5 5E+040 1.0144E+041 5E+0405 .0791 .13658 .06108
selvero40hela40
LC50N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
7.111 .029 1.000 8 .347 4.54E+040 4.54E+040 -6E+040 1E+041
1.000 4.000 .374 4.54E+040 4.54E+040 -8E+040 2E+041
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
LC50F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Group Statistics
5 .1858 .39625 .177215 35.6808 79.78431 35.68063
selvero50hela50
LC50N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
104
Independent Samples Test
7.041 .029 -.995 8 .349 -35.49495 35.68107 -117.776 46.78574
-.995 4.000 .376 -35.49495 35.68107 -134.560 63.56965
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
LC50F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Group Statistics
5 .1346 .29182 .130505 2E+008 347338936.2 2E+008
selvero60hela60
LC50N Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
7.111 .029 -1.000 8 .347 1.55E+008 2E+008 -5E+008 2E+008
-1.000 4.000 .374 1.55E+008 2E+008 -6E+008 3E+008
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
LC50F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
105
Lampiran 7. Perhitungan nilai korelasi kadar fraksi protein dengan persen kematian sel HeLa dan sel Vero pada taraf kepercayaan 80%
Nilai korelasi (r) dihitung linieritasnya menggunakan nilai t yang dapat diperoleh
dengan rumus:
t = 21
)2(
r
nr
−
−
(De Muth, 1999)
• Nilai korelasi FP pada sel HeLa
* FP30 → r2= 0,092 r = 0,303
t = 841,0092,01
29303,0=
−− [ t(80% , 7) = 1,415]
----- t hitung < t tabel, sehingga korelasinya tidak linier -----
* FP40 → r2= 0,378 r = 0,615
t = 339,2378,01
211615,0=
−− [ t(80% , 9) =1,383 ]
----- t hitung > t tabel, sehingga korelasinya linier -----
* FP50 → r2= 5,407.104 r = 0,023
t = 056,010.407,5128023,0
4=
−
− [ t(80% , 6) = 1,440]
----- t hitung < t tabel, sehingga korelasinya tidak linier -----
* FP60 → r2= 0,17 r = 0,412
t = 011,117,01
27412,0=
−− [ t(80% , 5) = 1,467]
----- t hitung < t tabel, sehingga korelasinya tidak linier -----
106
• Nilai korelasi FP pada sel Vero
* FP30 → r2= 0,772 r = 0,879
t = 522,5772,01
211879,0=
−− [ t(80% , 9) = 1,383]
----- t hitung > t tabel, sehingga korelasinya linier -----
* FP40 → r2= 0,104 r =0,322
t = 020,1104,01
211322,0=
−− [ t(80% , 9) = 1,383]
----- t hitung < t tabel, sehingga korelasinya tidak linier -----
* FP50 → r2= 0,503 r = 0,709
t = 017,3503,01
211709,0=
−− [ t(80% ,9) = 1,383]
----- t hitung > t tabel, sehingga korelasinya linier -----
* FP60 → r2= 0,857 r = 0,925
t = 338,7857,01
211925,0=
−− [ t(80% , 9) = 1,383]
----- t hitung > t tabel, sehingga korelasinya linier -----
107
Lampiran 8. Foto tanaman Azadirachta indica A. Juss
Lampiran 9. Foto daun Azadirachta indica A. Juss
108
Lampiran 10. Foto Hi-Mac Sentrifuge HITACHI SCP85H
Lampiran 11. Foto Laminar Air Flow Labconco Seri 226356
109
Lampiran 12. Foto Spektrofotometer UV CECIL Series CE 292
Lampiran 13. Foto ELISA reader SLT 340ATC
110