sistem klasifikasi sosial masyarakat bali

12
SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (KARYA TULIS UNTUK MATA KULIAH SOSIOLOGI ) Disusun oleh : I Made Ariwangsa W. N.I.M. : D1A111109 FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya penulis berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ini disusun untuk mengupas tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali dari sudut pandang sejarah, terutama mengenai bagaimana sistem itu terbentuk sampai bagaimana sistem sosial itu pada masa modernisasi sekarang ini. Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan pengertian yang lebih baik dan mendalam tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali. Tujuan dari penulisan makalah ini secara khusus adalah untuk melengkapi syarat dalam mata kuliah Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Mataram. Sedangkan tujuan secara umum adalah demi kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam mempelajari ilmu Sosiologi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik serta saran dan masukan yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Mataram, 17 November 2011.

Upload: ayamutan

Post on 22-Oct-2015

355 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

TRANSCRIPT

Page 1: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

(KARYA TULIS UNTUK MATA KULIAH SOSIOLOGI )

Disusun oleh : I Made Ariwangsa W. N.I.M. : D1A111109

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya

penulis berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Karya tulis ini disusun untuk mengupas tentang sistem sosial yang ada pada

masyarakat Bali dari sudut pandang sejarah, terutama mengenai bagaimana sistem

itu terbentuk sampai bagaimana sistem sosial itu pada masa modernisasi sekarang ini.

Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan pengertian yang lebih baik dan

mendalam tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali.

Tujuan dari penulisan makalah ini secara khusus adalah untuk melengkapi syarat

dalam mata kuliah Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu

Hukum Universitas Mataram. Sedangkan tujuan secara umum adalah demi

kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat dijadikan bahan

masukan dalam mempelajari ilmu Sosiologi.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik serta saran dan masukan yang

bersifat membangun.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai

akhir.

Mataram, 17 November 2011.

Page 2: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

LATAR BELAKANG DAN MASALAH ............................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG .............................................................................................. 1

B. MASALAH ........................................................................................................... 2

LANDASAN TEORI......................................................................................................... 2

A. STRATIFIKASI SOSIAL ......................................................................................... 2

B. DIFERENSIASI SOSIAL ......................................................................................... 5

C. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA ............... 6

II. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ... 10

SEJARAH BALI ............................................................................................................. 10

SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI ........................................ 11

A. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................ 11

B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................. 13

SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI ............................................... 16

III. KESIMPULAN .......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 20

I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG DAN MASALAH

Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku

dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati

jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan

lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di RT atau RW kita ada

orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.

Pembedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja,

namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras,

suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan,

cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang

lain.

A. LATAR BELAKANG

Pengangkatan tema “sistem pelapisan sosial pada masyarakat Bali” ini sebenarnya

dilatarbelakangi oleh tujuan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti mata kuliah

Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas

Mataram.

Akan tetapi tema ini menjadi sangat layak untuk dijadikan bahan penelitian dalam

ilmu sosiologi karena penjelasan mengenai bagaimana sitem sosial itu terbentuk,

kemudian bagaimana dan mengapa sistem itu mengalami perubahan, serta

bagaimana pengaplikasian sistem itu pada masa kini masih tergolong minim. Yang

selama ini tersedia dalam jumlah yang cukup banyak adalah informasi-informasi yang

didapat dari penelitian-penelitian yang tidak mencakup tentang keseluruhan segi dari

sistem tersebut, dari asal mula nilai-nilai itu terbentuk, proses-proses sejarah yang

melatari perubahannya, sampai pada keadaan sistem tersebut pada masyarakat di

masa kini. Potongan-potongan informasi itu menjadi hal yang cukup sulit untuk

dipelajari dan dipahami dengan benar, terutama bagi seorang yang masih baru dalam

bidang ilmu Sosiologi. Apalagi ditambah dengan penyebaran informasi tersebut yang

Page 3: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

2

ada dalam buku-buku yang sangat banyak jumlahnya semakin mempersulit seorang

pemula dalam mencapai pemahaman yang tepat dan benar tentang tema ini. Disini

masalah-masalah ini memunculkan suatu gejala missing link dari interelasi fakta-fakta

yang ada di lapangan secara nyata (dapat juga fakta yang terdapat dalam bukti-bukti

sejarah) yang seharusnya dapat diketahui dan dipahami secara jelas dan benar

mengenai bagaimana hubungan-hubungan diantara fakta-fakta tersebut.

Untuk itulah makalah ini disusun sehingga semoga dapat menjadi bahan rujukan yang

cukup dalam perannya dalam rangka penelitian dan pengembangan pengetahuan

terutama ilmu Sosiologi yang bersifat logis, empiris, teoritis, kumulatif, dan non-etis.

B. MASALAH

Masalah yang akan diangkat adalah:

1. Bagaimana pengaruh agama Hindu (kebudayaan Weda) dalam penggolongan

masyarakat pada masyarakat Bali?

2. Bagaimanakah sejarah perubahan dan perkembangan sistem klasifikasi sosial

dalam adat istiadat dan budaya pada masyarakat Bali?

3. Bagaimanakah sistem pelapisan sosial pada adat istiadat dan budaya

masyarakat Bali dalam konteks kekinian pada jaman kehidupan modern ini?

LANDASAN TEORI

Ragam bentuk klasifikasi sosial berdasarkan atas sifatnya dapat digolongkan menjadi

dua, yaitu:

1. Stratifikasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat vertikal.

2. Diferensiasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat horizontal.

A. STRATIFIKASI SOSIAL

Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau

masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis) sebagai ciri

yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.

3

Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah sebagai penggolongan orang-orang

yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki

menurut dimensi kekuasaan, previllege (hak-hak istimewa) dan prestise.

Selain itu, Cuber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang

ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.

Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum”

(tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi

sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-

kelas secara bertingkat atau berjenjang.

Berdasarkan cara perolehannya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Ascribed Status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis

kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.

2. Achieved Status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras

dan usaha yang dilakukannya, misalnya harta kekayaan, tingkat pendidikan,

pekerjaan, dll.

3. Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam

lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi didapatkan

karena pemberian. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku,

ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.

Berdasarkan sifat atau mobilitasnya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu:

1. Stratifikasi sosial tertutup, adalah stratifikasi dimana tiap-tiap anggota

masyarakat tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi

atau lebih rendah. Contoh: seorang anak yang lahir dari orang tua golongan

rakyat biasa tidak dapat dirubah menjadi golongan bangsawan.

2. Stratifikasi sosial terbuka, adalah sistem stratifikasi dimana setiap anggota

masyarakat dapat berpindah-pindah dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain,

misalnya seseorang yang miskin dan bodoh bisa merubah strata sosialnya

menjadi lebih tinggi dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak

Page 4: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

4

keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan dalam kedudukan tingkat

tinggi dengan bayaran/penghasilan yang tinggi.

3. Stratifikasi sosial campuran, merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup

dan terbuka. Misalnya, seorang Bali kelahiran Brahmana mempunyai

kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi

buruh, ia memperoleh kedudukan rendah sehingga ia harus menyesuaikan diri

dengan aturan masyarakat di Jakarta.

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan

stratifikasi sosial adalah sebagai berikut.

1. Kekayaan (materi atau kebendaan) dijadikan ukuran penempatan anggota

masyarakat ke dalam hirarki strata sosial dimana yang memiliki kekayaan

terbanyak maka ia akan masuk dalam lapisan teratas dalam sistem pelapisan

sosial, demikian pula sebaliknya. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain

pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara

berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

2. Kekuasaan dan wewenang, adalah ukuran dimana seseorang yang mempunyai

kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas

dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Kehormatan sebagai ukuran dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau

kekuasaan. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional

yang sangat menghormati orang-orang yang berjasa kepada masyarakat, para

orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.

4. Ilmu pengetahuan umumnya dipakai sebagai ukuran oleh anggota-anggota

masyarakat yang lebih menghargai ilmu pengetahuan. Tinggi atau rendahnya

status seseorang diukur dari penguasaannya terhadap pengetahuan.

Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar

akademik (kesarjanaan) atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya

dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti

profesor.

5

B. DIFERENSIASI SOSIAL

Yang dimaksud dengan diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan

yang biasanya sama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau

klasifikasi masyarakat secara horizontal, atau mendatar atau sejajar. Asumsinya

adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada

golongan lainnya.

Pengelompokan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa),

klen dan agama disebut kemajemukan sosial, sedangkan pengelompokan berasarkan

perbedaan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.

Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Ciri fisik adalah diferensiasi yang terjadi karena perbedaan ciri-ciri tubuh

tertentu, misalnya: warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb.

2. Ciri sosial, adalah perbedaan dalam hal peranan, prestise dan kekuasaan.

Diferensiasi sosial ini muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan

cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Contohnya : pola

perilaku seorang perawat akan berbeda dengan seorang karyawan kantor.

3. Ciri budaya, adalah diferensiasi yang berhubungan erat dengan pandangan

hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi

atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos).

Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa,

kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb.

Pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial.

1. Diferensiasi ras, berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisik

bawan tertentu yang sama.

2. Diferensiasi suku bangsa (etnis), merupakan penggologan manusia atas dasar

ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras, budaya, bahasa daerah, dan adat

istiadat. Menurut Hassan Shadily, MA, suku bangsa atau etnis adalah

segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis.

Page 5: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

6

3. Diferensiasi klan (clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar.

Klan merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan

(religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi) yang berdasarkan ikatan darah atau

keturunan yang sama yang umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.

Dalam masyarakat Batak klan disebut marga, sedangkan dalam masyarakat

Minahasa, Ambon dan Flores klan disebut fam, dan pada masyarakat Bali klan

disebut soroh atau gotra.

4. Diferensiasi agama, adalah pengelompokan berdasarkan agama/kepercayaan

yang menyangkut keyakinan seseorang yang dianggap benar sebagai suatu

sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan

dengan hal-hal yang suci yang membentuk golongan masyarakat moral

(umat). Umat pemeluk suatu agama bisa dikenali dari cara berpakaian, cara

berperilaku, cara beribadah, dan sebagainya.

5. Diferensiasi profesi (pekerjaan), adalah pengelompokan yang didasarkan pada

jenis pekerjaan atau profesi yang biasanya berkaitan dengan suatu

keterampilan khusus. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok

masyarakat berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, dan lain-lain.

6. Diferensiasi jenis kelamin, merupakan pengkategorian yang didasarkan pada

perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis).

7. Diferensiasai asal daerah, adalah pengelompokan atas dasar asal daerah atau

tempat tinggalnya yang terbagi menjadi 2, yaitu masyarakat desa dan

masyarakat kota.

8. Diferensiasi partai, adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya

mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan sosial, seazas,

seideologi dan sealiran.

C. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA

India adalah negeri tempat lahirnya dua spiritualitas besar dunia, yaitu Hindu dan

Budha. Hindu yang pada kitab sucinya disebut sebagai Sanatana Dharma sudah ada

dan terpelihara di India sejak zaman dahulu kala yang penentuan waktunya belum

dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, membicarakan masyarakat Bali yang

7

notabene mayoritas Hindu adalah menjadi tidak lengkap tanpa mengupas terlebih

dahulu kehidupan masyarakat India sebagai negeri asal mula Hindu.

Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan

penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan

berkelompok. Mereka kemudian menamakan tatanan itu sebagai casta.

Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from

the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or

job, yang diartikan sebagai “kasta adalah sebuah kelompok hasil dari pembedaan/

pengelompokan masyarakat berdasarkan pada perbedaan kelas dari kekayaan,

status, hak-hak, profesi atau pekerjaan”.

Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775.

Asal katanya adalah “Casta” yang berasal dari bahasa Portugis yang berarti kelas, ras

keturunan, golongan.

Bangsa Portugis menggunakan casta sebagai alat utama misi misionaris di India yang

dimulai di wilayah Goa, misalnya dengan cara menyeret orang-orang lokal sebagi

tahanan dan kemudian menyumpalkan daging sapi kedalam mulutnya yang

mengakibatkan ia secara otomatis keluar dari salah satu golongan dalam kasta

(masuk dalam golongan outcast) sehingga hanya ada 2 pilihan yang tersedia

untuknya, yaitu mati dalam keadaan tetap memeluk keyakinan yang lama atau hidup

dengan pindah keyakinan. Sedangkan untuk pengaplikasiannya untuk kepentingan

kolonialisme adalah untuk dapat mengendalikan masyarakat jajahan dari semua

golongan dan lapisan.

Secara tradisional, sistem kasta sebagai sistem pelapisan sosial di India adalah salah

satu sistem tertua dan paling penting dari kelas sosial. Ini berbeda dari varnashrama

dharma seperti yang ditemukan dalam Hindu yang memungkinkan orang yang lahir

ke dalam varna tertentu untuk bergerak ke atas atau ke bawah tergantung pada

kualifikasi mereka. Varna ini membagi masyarakat berdasarkan pada keahlian dan

kemampuannya. Secara singkat, Brahmana varna diidealisasikan sebagai kelas para

imam yang dikhususkan sebagai pemimpin keagamaan serta orang yang menguasai

Page 6: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

8

pengetahuan Weda, sementara Kshatriya membela dan mempertahankan mereka

sebagai prajurit militer. Konsep modern dari kelas menengah diwakili oleh Waishya

varna yang meliputi golongan pengrajin, petani, pedagang dan pejabat administrasi.

Varna terakhir adalah Shudra yang meliputi kaum buruh dan pekerja kasar, atau

orang yang hanya memiliki keahlian dan keterampilan fisik. Dalam masyarakat India

terdapat golongan lain yang berada diluar empat golongan tadi, yaitu yang kaum

Candala seperti Paria, Harijan, Dalitan, dan lain-lain. Ini harus diakui sebagai bukan

suatu sistem keagamaan seperti varnashrama dharma, tetapi sebagai suatu sistem

sosial yang berevolusi dari varnashrama dharma.

Dalam pengertian varna terkandung pemaknaan sebagai suatu sistem klasisfikasi

sosial terbuka yang bersifat horizontal. Manusia dalam hal ini dibedakan dan

digolongankan berdasarkan guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan

atau pekerjaan). Selain itu dalam Weda dinyatakan bahwa penggolongan ini

diibaratkan sebagai suatu sistem tubuh manusia yang utuh dan sempurna dimana

antara setiap organnya adalah saling mendukung dan bekerjasama secara harmonis.

Berikut ini adalah contoh perubahan varna seperti dikutip dalam teks-teks Hindu:

� Anak sulung Manu (Priyavrata) diangkat menjadi raja (ksatria). Dari sepuluh

anaknya, tujuh menjadi raja sementara tiga (Mahavira, Kavi dan Savana)

menjadi brahmana.

� Kavash Ailush lahir sebagai sudra dan mencapai Resi, varna dari brahmana. Ia

menjadi mantra-drashta untuk banyak mantra dalam Rig-Veda terutama pada

Mandala 10.

� Anak dari Jabala (Satyakama) lahir dari ayah yang tidak diketahui dan menjadi

Resi oleh karena kualitasnya.

9

� Prahlada anak raksasa Hiranyakasipu menjadi seorang Brahmana karena

ketaatannya.

Terjadinya perubahan pemaknaan dari varna menjadi sistem kasta ini dapat dipahami

dari sudut pandang pengetahuan sebagai evolusi yang bersifat menurun dari suatu

masyarakat pendukung sistem kebudayaan yang berasal dari sistem kepercayaan

yang telah berusia lebih dari 8.000 tahun. Ia dikatakan menurun karena makna dari

sistem kasta yang bersifat vertikal genealogis tertutup (closed ascribed vertical)

adalah tidak sesuai dengan nilai ideal sebenarnya yang bersifat horizontal prestasi

terbuka (open achieved horizontal). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kasta

adalah suatu penyimpangan sosial dari varna yang pada mulanya terjadi secara

perlahan dengan gejala unsur ketidaksadaran dari masyarakat pendukungnya.

Selama masa-masa awal penjajahan Inggris di India, melalui peraturan-peraturan

yang dikeluarkan oleh British East India Company, perbedaan kasta dan adat istiadat

diterima, jika tidak dapat dikatakan didorong, walaupun pengadilan Inggris tidak

menyetujui diskriminasi terhadap kasta yang rendah. Bagaimanapun juga, kebijakan

Inggris untuk melaksanakan politik memecah belah dan menguasai dalam bentuk

hirarki kategori yang kaku selama sensus penduduk yang dilakukan dalam 10 tahun

telah banyak berkontribusi terhadap pengerasan identitas kasta.

Sebagai tambahan dalam pengertian diatas, kasta dapat juga dinyatakan sebagai

penyimpangan sosial yang dikampanyekan dan dipertahankan karena dibenarkan

secara sengaja oleh pemerintahan negara kolonial dalam rangka memelihara

kepentingan kolonialisme dan penyebaran agama (misionaris) di negara jajahan.

Page 7: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

10

II. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

SEJARAH BALI

Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang dari Asia pada 3000-2500 S.M.

Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik, Singaraja.

Dengan datangnya ajaran Hindu bersama kebudayaannya (termasuk tulisan

Sansekerta) dari India pada sekitar tahun 100 S.M, zaman prasejarah di Bali

dinyatakanan berakhir.

Setelah itu kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kebudayaan India secara

kuat dan prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (Dwipa

= pulau) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang

dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M. dan menyebutkan kata

Walidwipa. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada

masa itu.

Kerajaan Majapahit (tahun 1293–1500 M.) yang beragama Hindu dan berpusat di

pulau Jawa, sejak masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M.)

bersama Gajah Mada yang ditunjuk menjadi Patih pada tahun 1336 M. berhasil

menundukkan Bali sebagai kerajaan bawahan pada sekitar tahun 1343 M. Kemudian

setelah tahta diduduki oleh Hayam Wuruk sebagai raja dan Gajah Mada menjadi

Mahapatih, Majapahit berkembang sampai masa keemasannya dimana wilayahnya

meliputi daerah-daerah yang disebut sebagai Nusantara. Saat itu hampir seluruh

nusantara beragama Hindu, namun seiring dengan datangnya Islam maka berdirilah

kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang menjadi salah satu faktor penyebab

keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu

lainnya akhirnya menyingkir ke daerah pedalaman atau bahkan ke luar pulau, salah

satunya adalah Bali.

11

SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI

A. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI

Sebagai sebuah masyarakat yang mayoritas adalah pemeluk agama Hindu, sistem

sosial masyarakatnya pun akan mengadaptasi budaya Weda sebagai pustaka suci,

yaitu sumber pengetahuan yang merupakan dasar dari sumber nilai dan norma yang

berlaku dalam masyarakat pendukungnya.

Dalam hal diferensiasi sosial, secara tradisional masyarakat Bali menganut sistem klan

yang disebut soroh atau juga sering disebut gotra. Secara tradisional, garis besar

soroh dalam masyarakat Bali dibedakan menjadi 4, yaitu: Ksatria Dalem, Pande,

Pasek, dan Penyarikan. Untuk dapat memahami bagaimana peran dan fungsi masing-

masing soroh ini secara lebih jelas dalam masyarakat, kita dapat melihat terutama

pada pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali yang terbesar yang diadakan di

Pura Besakih. Dalam kaitannya dengan upacara keagamaan keempat soroh ini disebut

sebagai Catur Lawa. Selain itu, pemahaman terhadap konsep Kawitan juga sangat

penting dalam memahami sistem klan ini.

Kedudukan Ksatria Dalem dalam sistem pelapisan sosial masyarakat Bali adalah

dianggap sebagai yang paling penting dan utama karena fungsi kedudukan penguasa

ini tidak hanya bersifat duniawi namun juga spiritual. Disamping itu tugas utama

Ksatria Dalem adalah untuk menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan

bagi seluruh rakyat sehingga Dalem yang bersikap lalim dan mementingkan diri

sendiri dapat diturunkan dari tahtanya. Raja yang diakui sebagai Dalem dalam hal ini

hanyalah raja yang berkedudukan di Klungkung karena sejak zaman sebelum

kedatangan Majapahit Klungkung telah berperan besar dalam bidang sosio kultural

masyarakat yang bersifat religius. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pura sebagi

peninggalan dari masa-masa sebelum kedatangan Majapahit di wilayah ini. Setelah

kedatangan Majapahit, seorang Dalem adalah sebagai pewaris tunggal yang sah dari

kekuasaan Majapahit yang merupakan tetua dari seluruh raja di Bali, sedangkan yang

berkedudukan di daerah lain hanyalah raja biasa yang kekuasaannya atas pemberian

Dalem di Klungkung.

Page 8: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

12

Soroh Pande meliputi salah satu silsilah kekerabatan tertua yang ada di Bali. Dalam

silsilah keluarga Pande dapat ditelusuri bahkan sampai masa kerajaan-kerajaan di

Jawa sebelum Kerajaan Singasari. Pada masa yang lampau soroh ini adalah golongan

Brahmana yang tugas terpentingnya adalah sebagai pemimpin keagamaan. Dalam

kaitannya dengan Dalem, tugasnya adalah sebagai penasehat spiritual dan teknokrat.

Dalam masyarakat Bali secara umum, fungsi teknokrat yang terpenting dari soroh ini

selain bidang keagamaan adalah dalam hal pembuatan senjata dan pengembangan

teknologi terutama di bidang pertanian.

Soroh Pasek sebenarnya adalah juga golongan brahmana, tetapi ciri khususnya adalah

di bidang politik pemerintahan sehingga keturunan warga Pasek banyak ditempatkan

dalam politik administrasi negara dan di pemerintahan desa sebagai klian (kepala

desa) sebagai perpanjangan tangan serta mata dan telinga seorang raja.

Sedangkan soroh Penyarikan adalah golongan orang yang menyediakan kebutuhan

pokok bagi masyarakat sehingga tugas pokoknya adalah untuk menjaga air (termasuk

sistem pengairan). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kaum petani.

Dalam prakteknya sebagai suatu sistem yang bersifat diferensiasi sosial, mobilitas

sosial dalam soroh sebagai contoh nyata dapat ditemukan dalam lontar Babad Pande

Bratan yang menceritakan tentang silsilah klan Pande yang tinggal menetap di Bratan,

Singaraja. Berikut adalah potongan gambar silsilah yang berasal dari lontar tersebut.

Berdasarkan lontar tersebut diketahui bahwa Mpu Brahma Rare Sakti yang adalah

seorang Brahmana mempunyai 2 orang cucu yang bukan Brahmana dan 2 orang cicit

yang salah satunya adalah Brahmana, meskipun anaknya (Mpu Brahmana Duala)

adalah juga seorang Brahmana.

13

Dalam perkembangan masyarakat Bali kemudian, soroh ini jadi kian berkembang

dengan munculnya sub-sub bagian dari masing-masing soroh. Contoh yang cukup

lengkap dapat dilihat dalam Siddhimantra Tattwa (Babad Danghyang Bang Manik

Angkeran) seperti penggambaran di bawah ini.

Putra Danghyang Angsoka (Ida Wang Bang Banyak Wide) menurunkan soroh yang

disebut Arya Wang Bang Pinatih. Putra Mpu Dangka yang bernama Danghyang

Angsoka menurunkan soroh Brahmana Buddha, sedangkan putranya yang bernama

Danghyang Nirartha menurunkan soroh Brahmana Siwa. Mpu Danghyang Soma

Kepakisan mempunyai cucu yang kemudian setelah diangkat tahta sebagai raja Bali

oleh Tribhuwana Tunggadewi sebagai raja Majapahit, lalu disebut Dalem Sri Kresna

Kepakisan dan menurunkan soroh Dalem Sri Kresna Kepakisan.

Kedudukan seseorang dalam soroh ini diatur berdasarkan guna (sifat, bakat,

kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang. Dalam masyarakat

Bali tradisional, penyematan kedudukan sosial seseorang harus disahkan oleh

seorang raja sesuai dengan tempat dimana ia tinggal dan kemudian dikukuhkan

kembali oleh Dalem sebagai penguasa dan pelindung tertinggi.

B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI

Dalam kehidupan masyarakat Bali, sistem stratifikasi sosialnya juga disebut sebagai

kasta. Dengan ciri-ciri penggolongan yang hampir sama seperti yang ada di India,

sistem pelapisan sosial berupa kasta di Bali juga menempatkan golongan Brahmana

sebagai kelas yang paling tinggi dan berturut-turut setelahnya adalah kelas Ksatria,

Weisya dan Sudra.

Page 9: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

14

Ketika Majapahit berhasil menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13, para

“penjajah Majapahit” melakukan manipulasi terhadap konsep varna dengan

mengenalkan konsep Tri Wangsa untuk memimpin kerajaan bentukan Majapahit,

yaitu Kerajaan Samprangan. Kaum elit itu terdiri dari golongan Brahmana, Ksatria dan

Wesya. Wesya dalam konsep ini tidak sama seperti dalam konsep varna, melainkan

golongan pengabdi yang terdiri dari pejabat dan fungsionaris kerajaan, serta pelayan

yang mengabdi kepada kelas dominan, sedangkan semua penduduk yang berprofesi

sebagai petani dan buruh, serta terutama penduduk asli Bali (Bali Aga) yang dijajah

dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.

Pemberlakuan sistem ini dimulai pada masa pemerintahan Dalem Sri Kresna

Kepakisan karena kewalahan mengatasi banyaknya pemberontakan terhadap

kekuasaan Majapahit yang dilakukan oleh rakyat Bali. Tujuan politik dari hal ini adalah

agar kaum Bali Aga tidak bisa eksis di masyarakat dan senantiasa bersikap

menundukkan diri terhadap orang-orang yang berasal dari Majapahit sehingga

kelanggengan pemerintahan Kerajaan Samprangan yang baru dibentuk dapat

dipertahankan. Sejak masa itulah sistem pengelompokan berdasarkan “Warna” di Bali

berubah menjadi stratifikasi berdasarkan “Wangsa” yang bersifat genealogis tertutup

(closed ascribed status) karena prestise dan previlege (hak-hak istimewa) dari orang

tua diturunkan secara turun menurun kepada generasi-generasi selanjutnya.

Pada masa ini Tri Wangsa disusun secara hirarkis dengan menempatkan ksatria

wangsa sebagai kedudukan yang tertinggi karena Dalem yang baru saja diangkat oleh

Majapahit adalah termasuk dalam kelas ksatria. Tujuan utama dari sistem ini adalah

untuk memperkuat kedudukan politis raja Bali sebagai wakil dari Majapahit yang sah

dalam pemerintahan Rakyat Bali. Dengan demikian segala segi kehidupan masyarakat

dikuasai oleh Dalem dimana tidak ada sesuatu hal dapat terselenggara tanpa

perkenan Dalem, termasuk dalam hal keagamaan.

Untuk dapat memperjelas peran dan kedudukan dalam sistem sosial pada masa ini,

misalnya dapat dilihat pada Pura Kentel Gumi dan Pura Dasar Bhuwana yang dipugar

oleh Dalem Sri Kresna Kepakisan dimana ia menambahkan tiga bangunan pada

15

bangunan-bangunan yang telah ada. Kekuasaan seorang Dalem disimbolkan sebagai

Dewa Wisnu dengan bangunan berbentuk meru tumpang 11, sedangkan Pande

diwujudkan dalam bangunan meru tumpang 7 sebagai Dewa Brahma. Setelah itu

bangunan meru tumpang 7 adalah simbol dari soroh Pasek sebagai wujud dari Dewa

Siwa.

Dengan ini akhirnya kedudukan Tri Wangsa menjadi semakin kuat dan soroh menjadi

semakin lemah bahkan menyebabkan identitas Penyarikan menjadi kabur walaupun

masih tetap digunakan dalam kegiatan keagamaan di Pura Besakih. Secara perlahan

dan pasti sistem pengklasifikasian ini melenyapkan keberadaan soroh atau gotra

dalam keseharian hidup masyarakat Bali.

Perubahan strata sosial ini mengundang protes dari masyarakat kelas bawah. Protes

ini lebih berwujud pada perlawanan budaya yang bersifat tidak langsung, yakni

melalui karya sastra berupa dongeng, mitos, dan lain-lain, misalnya karya sastra

dongeng berjudul “Nang Poleng” yang temanya menyangkut persoalan wangsa, yaitu

bahwa ukuran penghargaan terhadap seseorang bukanlah dari kelahiran, tetapi

adalah perbuatannya.

Dengan masuknya penjajahan Belanda yang menerapkan strategi devide et impera di

Bali, sistem pelapisan wangsa ini kemudian diplintir lagi menjadi seperti sistem kasta

sebagaimana yang dilakukan Portugis dan Inggris di India. Dalam masa kolonialisme

Belanda, yang diakui sebagai wangsa Brahmana hanyalah golongan Brahmana dalam

klan Ida Bagus dari silsilah Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dalam wangsa Ksatria yang

diakui adalah klan-klan keturunan raja (Ksatria Dalem) serta klan Para Dewa dan

Gusti. Sedangkan yang digolongkan sebagai Wesya adalah para pekerja pedagang dan

pegawai pemerintahan di desa, dan sisanya digolongkan sebagai Sudra. Dengan itu

sistem ini menimbulkan banyak goncangan di masyarakat Bali karena terjadi

penurunan kelas bagi beberapa klan penting, misalnya Pande yang mulanya adalah

Brahmana, menjadi turun golongan sebagai Weisya, dan bahkan sebagai Sudra di

beberapa daerah.

Page 10: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

16

Dalam masa ini muncullah protes sosial terhadap sistem kasta yang diawali dengan

protes terhadap kepincangan dan sistem adat istiadat yang kemudian pertama kali

diadakan secara terbuka pada tahun 1921 dengan lahirnya perkumpulan “Suita Gama

Tirta” di Singaraja. Perkumpulan ini dipimpin oleh I Gusti Putu Jelantik yang adalah

anggota Raad van Kerta di Singaraja dan didirikan bersama dengan beberapa orang

lain yang adalah kaum Tri Wangsa. Akhirnya perkumpulan ini pun pecah dengan

dibentuknya perkumpulan Shanti pada tahun 1923 di kota yang sama. Tujuan utama

dari perkumpulan ini adalah untuk mengadakan pembaharuan untuk keperluan

agama Hindu. Untuk itu kelompok ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah,

memberikan penerangan agama, serta membuat risalah-risalah keagamanan,

diantaranya dengan menerbitkan surat berkala yang bernama “Shanti Adnyana”.

Kemudian perkumpulan ini pun pecah. Pada tahun 1924 nama buletin itu diubah

menjadi “Bali Adnyana” yang benyak memuat pandangan golongan Tri Wangsa dalam

usaha mempertahankan status sosialnya di masyarakat. Akibatnya, golongan Sudra

membuat buletin tandingan “Surya Kanta” pada tahun 1925. Dengan ini munculllah

pertentangan terbuka yang bercorak modern yang menyangkut pertentangan kultural

untuk menghapus hegemoni budaya Tri Wangsa. Dengan tegas buletin itu

mencantumkan tujuan untuk “mengadakan pembaharuan dalam masyarakat sesuai

dengan kemajuan jaman”. Ide utama mereka adalah untuk mendapatkan persamaan

hak dalam perlakuan sosial, kultural dan hukum.

Kemunculan buletin ini menandakan sebuah upaya sadar masyarakat dalam suatu

pergeseran budaya untuk kembali kepada sistem ideal varna seperti yang tercantum

dalam Weda sebagai ideal sumber nilai dan norma masyarakat Hindu. Cara yang

digunakannya adalah dengan jalan penyebarluasan pengetahuan terutama pada

bidang kultural sosio-religius.

SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI

Mobilitas status sosial dengan ciri terbuka dewasa ini menjadi sangat tinggi. Pada

masa sekarang ini kepemilikan seseorang terhadap benda-benda yang bersifat

material (kekayaan) dianggap sebagai tolak ukur paling besar dalam menentukan

17

kedudukan seseorang dalam tingkat-tingkat strata sosial masyarakat. Setelah itu baru

muncul kekuasaan dan kewewenangan sebagai faktor penentu yang kedua.

Seseorang yang memiliki kekayaan melimpah dapat memiliki kekuasaan, wewenang

dan penghormatan masyarakat dengan harta yang dimilikinya, sementara seseorang

yang berkuasa belum tentu dapat memiliki harta dan penghormatan dari masyarakat.

Dengan ini ukuran kekayaan adalah ukuran yang tertinggi dalam status sosial.

Masa-masa pemerintahan Orde baru telah memberikan peluang-peluang ekonomi

bagi kelas menengah profesional untuk semakin di-borjuasi-kan dan membangun

suatu basis ekonomi yang kokoh sehingga semakin memiliki makna sosial.

Ditambah lagi dengan semakin marak dan berkembangnya gejala kapitalisme yang

menganggap kapital (modal) sebagai faktor penentu utama kemajuan masyarakat

menyebabkan ukuran status sosial juga mengalami pergeseran. Bila dulu status sosial

ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan keagamaan dan prestasi kerja yang

ditunjukkan dalam masyarakat, maka pada saat ini tinggi rendahnya status sosial

seseorang cenderung diukur dari jumlah harta yang dimiliki serta kekuasaan

kewenangan dalam hirarki pemerintahan.

Bila misalnya I Dewa Kuat yang seorang keturunan Ksatria bekerja sebagai sopir di

sebuah perusahaan milik Komang Apel yang adalah seorang Sudra, maka kedudukan

Komang Apel menjadi jauh lebih tinggi daripada I Dewa Kuat. Kemudian I Dewa Kuat

berteman dengan Anak Agung Gede yang merupakan keturunan raja yang

mempunyai mata pencaharian sebagai buruh bangunan, maka kedudukan keduanya

adalah setara karena keduanya sama-sama berprofesi sebagai buruh atau dalam kelas

pekerja yang paling rendah.

Dalam menyikapi sistem klasifikasi sosial dalam keadaan kekinian ini, muncul dua

kelompok dalam masyarakat Bali, yaitu kelompok pendukung Tri Wangsa dan

kelompok pendukung soroh. Kelompok pendukung Tri Wangsa kebanyakan adalah

golongan tua dan segelintir kaum muda dari kasta Brahmana dan Ksatria, yaitu

terutama klan Ida Bagus, serta Para Dewa dan Gusti yang sebenarnya menginginkan

kembalinya keagungan prestise dan previlege mereka pada masa lampau, yaitu pada

Page 11: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

18

masa penguasaan Majapahit atas Bali. Sedangkan pendukung sistem soroh adalah

terutama generasi muda dari klan-klan lain walaupun banyak juga dari kasta tinggi.

Pada umumnya pendukung sistem soroh ini adalah golongan terpelajar yang memiliki

pengetahuan dan memahami Weda serta sejarah kebudayaan Bali secara lebih

mendalam.

Hanya saja perbedaan antara sistem soroh pada masyarakat Bali hari ini adalah

dengan suatu ciri khusus yang memandang guna (sifat, bakat, kemampuan) dan

karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang sebagai tolak ukur status sosial

seseorang dalam masyarakat dengan tetap mempertahankan gelar-gelar kehormatan

yang sudah ada pada masa lampau. Hal ini terjadi karena fungsi, kedudukan dan

peran Dalem sebagai pemimpin masyarakat adat sudah tidak berjalan seperti dulu

lagi karena penjajah Belanda telah menghapuskan Dalem dalam struktur

pemerintahan tradisional Bali. Dengan begitu tidak dapat memunculkan suatu soroh

baru yang sah secara adat dan budaya Bali sebagai akibat dari mobilitas sosial

seseorang.

19

III. KESIMPULAN

1. Varna merupakan sebuah sistem penggolongan manusia yang berdasarkan

Weda. Dalam kebudayaan masyarakat Hindu di Bali penggolongan yang

serupa dengan varna disebut sebagai soroh atau gotra dimana kedudukan

seseorang di dalam penggolongan sosial masyarakatnya dinilai berdasarkan

atas guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan).

2. Sistem stratifikasi sosial pada masyarakat Bali yang disebut dengan kasta

maupun Wangsa digolongkan ke dalam bentuk penyimpangan sosial karena

tradisi ini tidak dapat ditemukan referensinya dalam Weda sebagai kitab suci

Hindu yang merupakan sumber nilai dan norma dalam masyarakatnya. Selain

itu kenyataan bahwa keduanya merupakan suatu alat bagi kepentingan

penjajahan menyebabkan keduanya secara langsung bersikap bertentangan

dari sumber nilai dan norma itu sendiri.

3. Kemajuan pendidikan mempunyai aspek besar dalam perubahan sosial. Akses

yang terbuka lebar bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pendidikan

dan ilmu pengetahuan menyebabkan masyarakat, terutama dalam hal ini

masyarakat Bali, semakin mampu dan berani dalam mengekspresikan diri

serta dapat memahami perubahan dalam sistem klasifikasi sosialnya dan

kemudian berupaya untuk mengembalikan sistem itu pada sistemnya yang

ideal.

4. Pengetahuan adalah cahaya terang. Pengetahuan yang benar adalah satu-

satunya senjata dalam memberantas kebodohan, kebingungan dan juga

kemiskinan. Pengetahuan yang benar akam melahirkan pemahaman yang

benar pula. Oleh karena itu pemerintah, terutama melalui institusi-institusi

pendidikan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, harus mendukung

secara penuh upaya untuk memajukan dan menyebarluaskan pengetahuan,

baik secara formal maupun non formal, sehingga hambatan-hambatan untuk

mencapai kemajuan bangsa yang ada dan hidup dalam masyarakat dapat

diatasi secara baik dengan segera.

Page 12: Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat Bali

20

DAFTAR PUSTAKA

Dwipayana, AAGN. Ari. 2001. Kelas dan Kasta Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation.

Herdiyanto C, Drs. Arief. 2005. Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial, Bahan Ajar Sosiologi Nomor Sos.II.03. -

http://catatan.legawa.com/2010/09/kasta-dulu-dan-kini-di-bali/

http://dictionary.reference.com/

http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_caste_system

http://en.wikipedia.org/wiki/Portuguese_Inquisition

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_class

http://githa90.wordpress.com/2010/01/21/pemahaman-yang-salah-tentang-kasta-di-bali/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bali

http://id.wikipedia.org/wiki/Diferensiasi_Sosial

http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali

http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial

http://id.wikipedia.org/wiki/Warna_%28Hindu%29

http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/03/30/stratifikasi-sosial-sebuah-catatan-awal/

http://okayana.blogspot.com/2010/06/diferensiasi-sosial-dan-stratifikasi.html

http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi

http://pusakka.blogdetik.com/2010/08/08/sri-dalem-kresna-kepakisan/

http://rahajus.wordpress.com/2009/02/10/babad-ida-bang-manik-angkeran-arya-wang-bang-pinatih/

http://stitidharma.org/riwayat-kasta-di-bali/

http://stitidharma.org/soroh/

http://wargapande.org/prasasti_pande/babad-pande-bratan/

http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-stratifikasi-sosial.html

Putra, S.H, Ngakan Putu ; Drs. I Made Sujana, M.Pd; I Gede Jaman, S.Ag, M.Si; I Kade Sanjana Duaja, S.Ag, M.Si. 2010 . Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.

21

Setia, Putu. 1992. Cendekiawan Hindu Bicara (Cetakan Ketiga). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha.

Suja, I Wayan. 1999. Tafsir Keliru Terhadap Hindu, Tanggapan untuk Dr. A.G. Honig, Jr. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Suryanto, M.Pd. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.