sistem klasifikasi sosial masyarakat bali
DESCRIPTION
Sistem Klasifikasi Sosial Masyarakat BaliTRANSCRIPT
SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
(KARYA TULIS UNTUK MATA KULIAH SOSIOLOGI )
Disusun oleh : I Made Ariwangsa W. N.I.M. : D1A111109
FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya
penulis berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Karya tulis ini disusun untuk mengupas tentang sistem sosial yang ada pada
masyarakat Bali dari sudut pandang sejarah, terutama mengenai bagaimana sistem
itu terbentuk sampai bagaimana sistem sosial itu pada masa modernisasi sekarang ini.
Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan pengertian yang lebih baik dan
mendalam tentang sistem sosial yang ada pada masyarakat Bali.
Tujuan dari penulisan makalah ini secara khusus adalah untuk melengkapi syarat
dalam mata kuliah Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu
Hukum Universitas Mataram. Sedangkan tujuan secara umum adalah demi
kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat dijadikan bahan
masukan dalam mempelajari ilmu Sosiologi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya kritik serta saran dan masukan yang
bersifat membangun.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir.
Mataram, 17 November 2011.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
LATAR BELAKANG DAN MASALAH ............................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .............................................................................................. 1
B. MASALAH ........................................................................................................... 2
LANDASAN TEORI......................................................................................................... 2
A. STRATIFIKASI SOSIAL ......................................................................................... 2
B. DIFERENSIASI SOSIAL ......................................................................................... 5
C. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA ............... 6
II. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ... 10
SEJARAH BALI ............................................................................................................. 10
SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI ........................................ 11
A. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................ 11
B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI ................................. 13
SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI ............................................... 16
III. KESIMPULAN .......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 20
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG DAN MASALAH
Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku
dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati
jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan
lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di RT atau RW kita ada
orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.
Pembedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja,
namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras,
suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan,
cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang
lain.
A. LATAR BELAKANG
Pengangkatan tema “sistem pelapisan sosial pada masyarakat Bali” ini sebenarnya
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti mata kuliah
Sosiologi pada kelas Reguler Sore Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas
Mataram.
Akan tetapi tema ini menjadi sangat layak untuk dijadikan bahan penelitian dalam
ilmu sosiologi karena penjelasan mengenai bagaimana sitem sosial itu terbentuk,
kemudian bagaimana dan mengapa sistem itu mengalami perubahan, serta
bagaimana pengaplikasian sistem itu pada masa kini masih tergolong minim. Yang
selama ini tersedia dalam jumlah yang cukup banyak adalah informasi-informasi yang
didapat dari penelitian-penelitian yang tidak mencakup tentang keseluruhan segi dari
sistem tersebut, dari asal mula nilai-nilai itu terbentuk, proses-proses sejarah yang
melatari perubahannya, sampai pada keadaan sistem tersebut pada masyarakat di
masa kini. Potongan-potongan informasi itu menjadi hal yang cukup sulit untuk
dipelajari dan dipahami dengan benar, terutama bagi seorang yang masih baru dalam
bidang ilmu Sosiologi. Apalagi ditambah dengan penyebaran informasi tersebut yang
2
ada dalam buku-buku yang sangat banyak jumlahnya semakin mempersulit seorang
pemula dalam mencapai pemahaman yang tepat dan benar tentang tema ini. Disini
masalah-masalah ini memunculkan suatu gejala missing link dari interelasi fakta-fakta
yang ada di lapangan secara nyata (dapat juga fakta yang terdapat dalam bukti-bukti
sejarah) yang seharusnya dapat diketahui dan dipahami secara jelas dan benar
mengenai bagaimana hubungan-hubungan diantara fakta-fakta tersebut.
Untuk itulah makalah ini disusun sehingga semoga dapat menjadi bahan rujukan yang
cukup dalam perannya dalam rangka penelitian dan pengembangan pengetahuan
terutama ilmu Sosiologi yang bersifat logis, empiris, teoritis, kumulatif, dan non-etis.
B. MASALAH
Masalah yang akan diangkat adalah:
1. Bagaimana pengaruh agama Hindu (kebudayaan Weda) dalam penggolongan
masyarakat pada masyarakat Bali?
2. Bagaimanakah sejarah perubahan dan perkembangan sistem klasifikasi sosial
dalam adat istiadat dan budaya pada masyarakat Bali?
3. Bagaimanakah sistem pelapisan sosial pada adat istiadat dan budaya
masyarakat Bali dalam konteks kekinian pada jaman kehidupan modern ini?
LANDASAN TEORI
Ragam bentuk klasifikasi sosial berdasarkan atas sifatnya dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu:
1. Stratifikasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat vertikal.
2. Diferensiasi sosial, yaitu pembedaan yang bersifat horizontal.
A. STRATIFIKASI SOSIAL
Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis) sebagai ciri
yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
3
Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah sebagai penggolongan orang-orang
yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki
menurut dimensi kekuasaan, previllege (hak-hak istimewa) dan prestise.
Selain itu, Cuber mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang
ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum”
(tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi
sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas secara bertingkat atau berjenjang.
Berdasarkan cara perolehannya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ascribed Status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis
kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
2. Achieved Status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras
dan usaha yang dilakukannya, misalnya harta kekayaan, tingkat pendidikan,
pekerjaan, dll.
3. Assigned Status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam
lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi didapatkan
karena pemberian. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku,
ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
Berdasarkan sifat atau mobilitasnya, stratifikasi sosial dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Stratifikasi sosial tertutup, adalah stratifikasi dimana tiap-tiap anggota
masyarakat tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi
atau lebih rendah. Contoh: seorang anak yang lahir dari orang tua golongan
rakyat biasa tidak dapat dirubah menjadi golongan bangsawan.
2. Stratifikasi sosial terbuka, adalah sistem stratifikasi dimana setiap anggota
masyarakat dapat berpindah-pindah dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain,
misalnya seseorang yang miskin dan bodoh bisa merubah strata sosialnya
menjadi lebih tinggi dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak
4
keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan dalam kedudukan tingkat
tinggi dengan bayaran/penghasilan yang tinggi.
3. Stratifikasi sosial campuran, merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup
dan terbuka. Misalnya, seorang Bali kelahiran Brahmana mempunyai
kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi
buruh, ia memperoleh kedudukan rendah sehingga ia harus menyesuaikan diri
dengan aturan masyarakat di Jakarta.
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan
stratifikasi sosial adalah sebagai berikut.
1. Kekayaan (materi atau kebendaan) dijadikan ukuran penempatan anggota
masyarakat ke dalam hirarki strata sosial dimana yang memiliki kekayaan
terbanyak maka ia akan masuk dalam lapisan teratas dalam sistem pelapisan
sosial, demikian pula sebaliknya. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain
pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara
berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
2. Kekuasaan dan wewenang, adalah ukuran dimana seseorang yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas
dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
3. Kehormatan sebagai ukuran dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau
kekuasaan. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional
yang sangat menghormati orang-orang yang berjasa kepada masyarakat, para
orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur.
4. Ilmu pengetahuan umumnya dipakai sebagai ukuran oleh anggota-anggota
masyarakat yang lebih menghargai ilmu pengetahuan. Tinggi atau rendahnya
status seseorang diukur dari penguasaannya terhadap pengetahuan.
Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar
akademik (kesarjanaan) atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya
dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti
profesor.
5
B. DIFERENSIASI SOSIAL
Yang dimaksud dengan diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan
yang biasanya sama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau
klasifikasi masyarakat secara horizontal, atau mendatar atau sejajar. Asumsinya
adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada
golongan lainnya.
Pengelompokan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa),
klen dan agama disebut kemajemukan sosial, sedangkan pengelompokan berasarkan
perbedaan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.
Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Ciri fisik adalah diferensiasi yang terjadi karena perbedaan ciri-ciri tubuh
tertentu, misalnya: warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb.
2. Ciri sosial, adalah perbedaan dalam hal peranan, prestise dan kekuasaan.
Diferensiasi sosial ini muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan
cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Contohnya : pola
perilaku seorang perawat akan berbeda dengan seorang karyawan kantor.
3. Ciri budaya, adalah diferensiasi yang berhubungan erat dengan pandangan
hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi
atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos).
Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa,
kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb.
Pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial.
1. Diferensiasi ras, berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisik
bawan tertentu yang sama.
2. Diferensiasi suku bangsa (etnis), merupakan penggologan manusia atas dasar
ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras, budaya, bahasa daerah, dan adat
istiadat. Menurut Hassan Shadily, MA, suku bangsa atau etnis adalah
segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis.
6
3. Diferensiasi klan (clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar.
Klan merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan
(religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi) yang berdasarkan ikatan darah atau
keturunan yang sama yang umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.
Dalam masyarakat Batak klan disebut marga, sedangkan dalam masyarakat
Minahasa, Ambon dan Flores klan disebut fam, dan pada masyarakat Bali klan
disebut soroh atau gotra.
4. Diferensiasi agama, adalah pengelompokan berdasarkan agama/kepercayaan
yang menyangkut keyakinan seseorang yang dianggap benar sebagai suatu
sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal-hal yang suci yang membentuk golongan masyarakat moral
(umat). Umat pemeluk suatu agama bisa dikenali dari cara berpakaian, cara
berperilaku, cara beribadah, dan sebagainya.
5. Diferensiasi profesi (pekerjaan), adalah pengelompokan yang didasarkan pada
jenis pekerjaan atau profesi yang biasanya berkaitan dengan suatu
keterampilan khusus. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok
masyarakat berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, dan lain-lain.
6. Diferensiasi jenis kelamin, merupakan pengkategorian yang didasarkan pada
perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis).
7. Diferensiasai asal daerah, adalah pengelompokan atas dasar asal daerah atau
tempat tinggalnya yang terbagi menjadi 2, yaitu masyarakat desa dan
masyarakat kota.
8. Diferensiasi partai, adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya
mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan sosial, seazas,
seideologi dan sealiran.
C. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT INDIA DAN SEJARAHNYA
India adalah negeri tempat lahirnya dua spiritualitas besar dunia, yaitu Hindu dan
Budha. Hindu yang pada kitab sucinya disebut sebagai Sanatana Dharma sudah ada
dan terpelihara di India sejak zaman dahulu kala yang penentuan waktunya belum
dapat dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, membicarakan masyarakat Bali yang
7
notabene mayoritas Hindu adalah menjadi tidak lengkap tanpa mengupas terlebih
dahulu kehidupan masyarakat India sebagai negeri asal mula Hindu.
Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan
penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan
berkelompok. Mereka kemudian menamakan tatanan itu sebagai casta.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from
the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or
job, yang diartikan sebagai “kasta adalah sebuah kelompok hasil dari pembedaan/
pengelompokan masyarakat berdasarkan pada perbedaan kelas dari kekayaan,
status, hak-hak, profesi atau pekerjaan”.
Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775.
Asal katanya adalah “Casta” yang berasal dari bahasa Portugis yang berarti kelas, ras
keturunan, golongan.
Bangsa Portugis menggunakan casta sebagai alat utama misi misionaris di India yang
dimulai di wilayah Goa, misalnya dengan cara menyeret orang-orang lokal sebagi
tahanan dan kemudian menyumpalkan daging sapi kedalam mulutnya yang
mengakibatkan ia secara otomatis keluar dari salah satu golongan dalam kasta
(masuk dalam golongan outcast) sehingga hanya ada 2 pilihan yang tersedia
untuknya, yaitu mati dalam keadaan tetap memeluk keyakinan yang lama atau hidup
dengan pindah keyakinan. Sedangkan untuk pengaplikasiannya untuk kepentingan
kolonialisme adalah untuk dapat mengendalikan masyarakat jajahan dari semua
golongan dan lapisan.
Secara tradisional, sistem kasta sebagai sistem pelapisan sosial di India adalah salah
satu sistem tertua dan paling penting dari kelas sosial. Ini berbeda dari varnashrama
dharma seperti yang ditemukan dalam Hindu yang memungkinkan orang yang lahir
ke dalam varna tertentu untuk bergerak ke atas atau ke bawah tergantung pada
kualifikasi mereka. Varna ini membagi masyarakat berdasarkan pada keahlian dan
kemampuannya. Secara singkat, Brahmana varna diidealisasikan sebagai kelas para
imam yang dikhususkan sebagai pemimpin keagamaan serta orang yang menguasai
8
pengetahuan Weda, sementara Kshatriya membela dan mempertahankan mereka
sebagai prajurit militer. Konsep modern dari kelas menengah diwakili oleh Waishya
varna yang meliputi golongan pengrajin, petani, pedagang dan pejabat administrasi.
Varna terakhir adalah Shudra yang meliputi kaum buruh dan pekerja kasar, atau
orang yang hanya memiliki keahlian dan keterampilan fisik. Dalam masyarakat India
terdapat golongan lain yang berada diluar empat golongan tadi, yaitu yang kaum
Candala seperti Paria, Harijan, Dalitan, dan lain-lain. Ini harus diakui sebagai bukan
suatu sistem keagamaan seperti varnashrama dharma, tetapi sebagai suatu sistem
sosial yang berevolusi dari varnashrama dharma.
Dalam pengertian varna terkandung pemaknaan sebagai suatu sistem klasisfikasi
sosial terbuka yang bersifat horizontal. Manusia dalam hal ini dibedakan dan
digolongankan berdasarkan guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan
atau pekerjaan). Selain itu dalam Weda dinyatakan bahwa penggolongan ini
diibaratkan sebagai suatu sistem tubuh manusia yang utuh dan sempurna dimana
antara setiap organnya adalah saling mendukung dan bekerjasama secara harmonis.
Berikut ini adalah contoh perubahan varna seperti dikutip dalam teks-teks Hindu:
� Anak sulung Manu (Priyavrata) diangkat menjadi raja (ksatria). Dari sepuluh
anaknya, tujuh menjadi raja sementara tiga (Mahavira, Kavi dan Savana)
menjadi brahmana.
� Kavash Ailush lahir sebagai sudra dan mencapai Resi, varna dari brahmana. Ia
menjadi mantra-drashta untuk banyak mantra dalam Rig-Veda terutama pada
Mandala 10.
� Anak dari Jabala (Satyakama) lahir dari ayah yang tidak diketahui dan menjadi
Resi oleh karena kualitasnya.
9
� Prahlada anak raksasa Hiranyakasipu menjadi seorang Brahmana karena
ketaatannya.
Terjadinya perubahan pemaknaan dari varna menjadi sistem kasta ini dapat dipahami
dari sudut pandang pengetahuan sebagai evolusi yang bersifat menurun dari suatu
masyarakat pendukung sistem kebudayaan yang berasal dari sistem kepercayaan
yang telah berusia lebih dari 8.000 tahun. Ia dikatakan menurun karena makna dari
sistem kasta yang bersifat vertikal genealogis tertutup (closed ascribed vertical)
adalah tidak sesuai dengan nilai ideal sebenarnya yang bersifat horizontal prestasi
terbuka (open achieved horizontal). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kasta
adalah suatu penyimpangan sosial dari varna yang pada mulanya terjadi secara
perlahan dengan gejala unsur ketidaksadaran dari masyarakat pendukungnya.
Selama masa-masa awal penjajahan Inggris di India, melalui peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh British East India Company, perbedaan kasta dan adat istiadat
diterima, jika tidak dapat dikatakan didorong, walaupun pengadilan Inggris tidak
menyetujui diskriminasi terhadap kasta yang rendah. Bagaimanapun juga, kebijakan
Inggris untuk melaksanakan politik memecah belah dan menguasai dalam bentuk
hirarki kategori yang kaku selama sensus penduduk yang dilakukan dalam 10 tahun
telah banyak berkontribusi terhadap pengerasan identitas kasta.
Sebagai tambahan dalam pengertian diatas, kasta dapat juga dinyatakan sebagai
penyimpangan sosial yang dikampanyekan dan dipertahankan karena dibenarkan
secara sengaja oleh pemerintahan negara kolonial dalam rangka memelihara
kepentingan kolonialisme dan penyebaran agama (misionaris) di negara jajahan.
10
II. SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
SEJARAH BALI
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang dari Asia pada 3000-2500 S.M.
Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik, Singaraja.
Dengan datangnya ajaran Hindu bersama kebudayaannya (termasuk tulisan
Sansekerta) dari India pada sekitar tahun 100 S.M, zaman prasejarah di Bali
dinyatakanan berakhir.
Setelah itu kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kebudayaan India secara
kuat dan prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (Dwipa
= pulau) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang
dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M. dan menyebutkan kata
Walidwipa. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada
masa itu.
Kerajaan Majapahit (tahun 1293–1500 M.) yang beragama Hindu dan berpusat di
pulau Jawa, sejak masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M.)
bersama Gajah Mada yang ditunjuk menjadi Patih pada tahun 1336 M. berhasil
menundukkan Bali sebagai kerajaan bawahan pada sekitar tahun 1343 M. Kemudian
setelah tahta diduduki oleh Hayam Wuruk sebagai raja dan Gajah Mada menjadi
Mahapatih, Majapahit berkembang sampai masa keemasannya dimana wilayahnya
meliputi daerah-daerah yang disebut sebagai Nusantara. Saat itu hampir seluruh
nusantara beragama Hindu, namun seiring dengan datangnya Islam maka berdirilah
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang menjadi salah satu faktor penyebab
keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu
lainnya akhirnya menyingkir ke daerah pedalaman atau bahkan ke luar pulau, salah
satunya adalah Bali.
11
SEJARAH SISTEM KLASIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BALI
A. SISTEM DIFERENSIASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI
Sebagai sebuah masyarakat yang mayoritas adalah pemeluk agama Hindu, sistem
sosial masyarakatnya pun akan mengadaptasi budaya Weda sebagai pustaka suci,
yaitu sumber pengetahuan yang merupakan dasar dari sumber nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat pendukungnya.
Dalam hal diferensiasi sosial, secara tradisional masyarakat Bali menganut sistem klan
yang disebut soroh atau juga sering disebut gotra. Secara tradisional, garis besar
soroh dalam masyarakat Bali dibedakan menjadi 4, yaitu: Ksatria Dalem, Pande,
Pasek, dan Penyarikan. Untuk dapat memahami bagaimana peran dan fungsi masing-
masing soroh ini secara lebih jelas dalam masyarakat, kita dapat melihat terutama
pada pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali yang terbesar yang diadakan di
Pura Besakih. Dalam kaitannya dengan upacara keagamaan keempat soroh ini disebut
sebagai Catur Lawa. Selain itu, pemahaman terhadap konsep Kawitan juga sangat
penting dalam memahami sistem klan ini.
Kedudukan Ksatria Dalem dalam sistem pelapisan sosial masyarakat Bali adalah
dianggap sebagai yang paling penting dan utama karena fungsi kedudukan penguasa
ini tidak hanya bersifat duniawi namun juga spiritual. Disamping itu tugas utama
Ksatria Dalem adalah untuk menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan
bagi seluruh rakyat sehingga Dalem yang bersikap lalim dan mementingkan diri
sendiri dapat diturunkan dari tahtanya. Raja yang diakui sebagai Dalem dalam hal ini
hanyalah raja yang berkedudukan di Klungkung karena sejak zaman sebelum
kedatangan Majapahit Klungkung telah berperan besar dalam bidang sosio kultural
masyarakat yang bersifat religius. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pura sebagi
peninggalan dari masa-masa sebelum kedatangan Majapahit di wilayah ini. Setelah
kedatangan Majapahit, seorang Dalem adalah sebagai pewaris tunggal yang sah dari
kekuasaan Majapahit yang merupakan tetua dari seluruh raja di Bali, sedangkan yang
berkedudukan di daerah lain hanyalah raja biasa yang kekuasaannya atas pemberian
Dalem di Klungkung.
12
Soroh Pande meliputi salah satu silsilah kekerabatan tertua yang ada di Bali. Dalam
silsilah keluarga Pande dapat ditelusuri bahkan sampai masa kerajaan-kerajaan di
Jawa sebelum Kerajaan Singasari. Pada masa yang lampau soroh ini adalah golongan
Brahmana yang tugas terpentingnya adalah sebagai pemimpin keagamaan. Dalam
kaitannya dengan Dalem, tugasnya adalah sebagai penasehat spiritual dan teknokrat.
Dalam masyarakat Bali secara umum, fungsi teknokrat yang terpenting dari soroh ini
selain bidang keagamaan adalah dalam hal pembuatan senjata dan pengembangan
teknologi terutama di bidang pertanian.
Soroh Pasek sebenarnya adalah juga golongan brahmana, tetapi ciri khususnya adalah
di bidang politik pemerintahan sehingga keturunan warga Pasek banyak ditempatkan
dalam politik administrasi negara dan di pemerintahan desa sebagai klian (kepala
desa) sebagai perpanjangan tangan serta mata dan telinga seorang raja.
Sedangkan soroh Penyarikan adalah golongan orang yang menyediakan kebutuhan
pokok bagi masyarakat sehingga tugas pokoknya adalah untuk menjaga air (termasuk
sistem pengairan). Yang termasuk dalam golongan ini adalah kaum petani.
Dalam prakteknya sebagai suatu sistem yang bersifat diferensiasi sosial, mobilitas
sosial dalam soroh sebagai contoh nyata dapat ditemukan dalam lontar Babad Pande
Bratan yang menceritakan tentang silsilah klan Pande yang tinggal menetap di Bratan,
Singaraja. Berikut adalah potongan gambar silsilah yang berasal dari lontar tersebut.
Berdasarkan lontar tersebut diketahui bahwa Mpu Brahma Rare Sakti yang adalah
seorang Brahmana mempunyai 2 orang cucu yang bukan Brahmana dan 2 orang cicit
yang salah satunya adalah Brahmana, meskipun anaknya (Mpu Brahmana Duala)
adalah juga seorang Brahmana.
13
Dalam perkembangan masyarakat Bali kemudian, soroh ini jadi kian berkembang
dengan munculnya sub-sub bagian dari masing-masing soroh. Contoh yang cukup
lengkap dapat dilihat dalam Siddhimantra Tattwa (Babad Danghyang Bang Manik
Angkeran) seperti penggambaran di bawah ini.
Putra Danghyang Angsoka (Ida Wang Bang Banyak Wide) menurunkan soroh yang
disebut Arya Wang Bang Pinatih. Putra Mpu Dangka yang bernama Danghyang
Angsoka menurunkan soroh Brahmana Buddha, sedangkan putranya yang bernama
Danghyang Nirartha menurunkan soroh Brahmana Siwa. Mpu Danghyang Soma
Kepakisan mempunyai cucu yang kemudian setelah diangkat tahta sebagai raja Bali
oleh Tribhuwana Tunggadewi sebagai raja Majapahit, lalu disebut Dalem Sri Kresna
Kepakisan dan menurunkan soroh Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Kedudukan seseorang dalam soroh ini diatur berdasarkan guna (sifat, bakat,
kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang. Dalam masyarakat
Bali tradisional, penyematan kedudukan sosial seseorang harus disahkan oleh
seorang raja sesuai dengan tempat dimana ia tinggal dan kemudian dikukuhkan
kembali oleh Dalem sebagai penguasa dan pelindung tertinggi.
B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI
Dalam kehidupan masyarakat Bali, sistem stratifikasi sosialnya juga disebut sebagai
kasta. Dengan ciri-ciri penggolongan yang hampir sama seperti yang ada di India,
sistem pelapisan sosial berupa kasta di Bali juga menempatkan golongan Brahmana
sebagai kelas yang paling tinggi dan berturut-turut setelahnya adalah kelas Ksatria,
Weisya dan Sudra.
14
Ketika Majapahit berhasil menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13, para
“penjajah Majapahit” melakukan manipulasi terhadap konsep varna dengan
mengenalkan konsep Tri Wangsa untuk memimpin kerajaan bentukan Majapahit,
yaitu Kerajaan Samprangan. Kaum elit itu terdiri dari golongan Brahmana, Ksatria dan
Wesya. Wesya dalam konsep ini tidak sama seperti dalam konsep varna, melainkan
golongan pengabdi yang terdiri dari pejabat dan fungsionaris kerajaan, serta pelayan
yang mengabdi kepada kelas dominan, sedangkan semua penduduk yang berprofesi
sebagai petani dan buruh, serta terutama penduduk asli Bali (Bali Aga) yang dijajah
dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.
Pemberlakuan sistem ini dimulai pada masa pemerintahan Dalem Sri Kresna
Kepakisan karena kewalahan mengatasi banyaknya pemberontakan terhadap
kekuasaan Majapahit yang dilakukan oleh rakyat Bali. Tujuan politik dari hal ini adalah
agar kaum Bali Aga tidak bisa eksis di masyarakat dan senantiasa bersikap
menundukkan diri terhadap orang-orang yang berasal dari Majapahit sehingga
kelanggengan pemerintahan Kerajaan Samprangan yang baru dibentuk dapat
dipertahankan. Sejak masa itulah sistem pengelompokan berdasarkan “Warna” di Bali
berubah menjadi stratifikasi berdasarkan “Wangsa” yang bersifat genealogis tertutup
(closed ascribed status) karena prestise dan previlege (hak-hak istimewa) dari orang
tua diturunkan secara turun menurun kepada generasi-generasi selanjutnya.
Pada masa ini Tri Wangsa disusun secara hirarkis dengan menempatkan ksatria
wangsa sebagai kedudukan yang tertinggi karena Dalem yang baru saja diangkat oleh
Majapahit adalah termasuk dalam kelas ksatria. Tujuan utama dari sistem ini adalah
untuk memperkuat kedudukan politis raja Bali sebagai wakil dari Majapahit yang sah
dalam pemerintahan Rakyat Bali. Dengan demikian segala segi kehidupan masyarakat
dikuasai oleh Dalem dimana tidak ada sesuatu hal dapat terselenggara tanpa
perkenan Dalem, termasuk dalam hal keagamaan.
Untuk dapat memperjelas peran dan kedudukan dalam sistem sosial pada masa ini,
misalnya dapat dilihat pada Pura Kentel Gumi dan Pura Dasar Bhuwana yang dipugar
oleh Dalem Sri Kresna Kepakisan dimana ia menambahkan tiga bangunan pada
15
bangunan-bangunan yang telah ada. Kekuasaan seorang Dalem disimbolkan sebagai
Dewa Wisnu dengan bangunan berbentuk meru tumpang 11, sedangkan Pande
diwujudkan dalam bangunan meru tumpang 7 sebagai Dewa Brahma. Setelah itu
bangunan meru tumpang 7 adalah simbol dari soroh Pasek sebagai wujud dari Dewa
Siwa.
Dengan ini akhirnya kedudukan Tri Wangsa menjadi semakin kuat dan soroh menjadi
semakin lemah bahkan menyebabkan identitas Penyarikan menjadi kabur walaupun
masih tetap digunakan dalam kegiatan keagamaan di Pura Besakih. Secara perlahan
dan pasti sistem pengklasifikasian ini melenyapkan keberadaan soroh atau gotra
dalam keseharian hidup masyarakat Bali.
Perubahan strata sosial ini mengundang protes dari masyarakat kelas bawah. Protes
ini lebih berwujud pada perlawanan budaya yang bersifat tidak langsung, yakni
melalui karya sastra berupa dongeng, mitos, dan lain-lain, misalnya karya sastra
dongeng berjudul “Nang Poleng” yang temanya menyangkut persoalan wangsa, yaitu
bahwa ukuran penghargaan terhadap seseorang bukanlah dari kelahiran, tetapi
adalah perbuatannya.
Dengan masuknya penjajahan Belanda yang menerapkan strategi devide et impera di
Bali, sistem pelapisan wangsa ini kemudian diplintir lagi menjadi seperti sistem kasta
sebagaimana yang dilakukan Portugis dan Inggris di India. Dalam masa kolonialisme
Belanda, yang diakui sebagai wangsa Brahmana hanyalah golongan Brahmana dalam
klan Ida Bagus dari silsilah Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dalam wangsa Ksatria yang
diakui adalah klan-klan keturunan raja (Ksatria Dalem) serta klan Para Dewa dan
Gusti. Sedangkan yang digolongkan sebagai Wesya adalah para pekerja pedagang dan
pegawai pemerintahan di desa, dan sisanya digolongkan sebagai Sudra. Dengan itu
sistem ini menimbulkan banyak goncangan di masyarakat Bali karena terjadi
penurunan kelas bagi beberapa klan penting, misalnya Pande yang mulanya adalah
Brahmana, menjadi turun golongan sebagai Weisya, dan bahkan sebagai Sudra di
beberapa daerah.
16
Dalam masa ini muncullah protes sosial terhadap sistem kasta yang diawali dengan
protes terhadap kepincangan dan sistem adat istiadat yang kemudian pertama kali
diadakan secara terbuka pada tahun 1921 dengan lahirnya perkumpulan “Suita Gama
Tirta” di Singaraja. Perkumpulan ini dipimpin oleh I Gusti Putu Jelantik yang adalah
anggota Raad van Kerta di Singaraja dan didirikan bersama dengan beberapa orang
lain yang adalah kaum Tri Wangsa. Akhirnya perkumpulan ini pun pecah dengan
dibentuknya perkumpulan Shanti pada tahun 1923 di kota yang sama. Tujuan utama
dari perkumpulan ini adalah untuk mengadakan pembaharuan untuk keperluan
agama Hindu. Untuk itu kelompok ini kemudian mendirikan sekolah-sekolah,
memberikan penerangan agama, serta membuat risalah-risalah keagamanan,
diantaranya dengan menerbitkan surat berkala yang bernama “Shanti Adnyana”.
Kemudian perkumpulan ini pun pecah. Pada tahun 1924 nama buletin itu diubah
menjadi “Bali Adnyana” yang benyak memuat pandangan golongan Tri Wangsa dalam
usaha mempertahankan status sosialnya di masyarakat. Akibatnya, golongan Sudra
membuat buletin tandingan “Surya Kanta” pada tahun 1925. Dengan ini munculllah
pertentangan terbuka yang bercorak modern yang menyangkut pertentangan kultural
untuk menghapus hegemoni budaya Tri Wangsa. Dengan tegas buletin itu
mencantumkan tujuan untuk “mengadakan pembaharuan dalam masyarakat sesuai
dengan kemajuan jaman”. Ide utama mereka adalah untuk mendapatkan persamaan
hak dalam perlakuan sosial, kultural dan hukum.
Kemunculan buletin ini menandakan sebuah upaya sadar masyarakat dalam suatu
pergeseran budaya untuk kembali kepada sistem ideal varna seperti yang tercantum
dalam Weda sebagai ideal sumber nilai dan norma masyarakat Hindu. Cara yang
digunakannya adalah dengan jalan penyebarluasan pengetahuan terutama pada
bidang kultural sosio-religius.
SISTEM SOSIAL MASYARAKAT BALI PADA MASA KINI
Mobilitas status sosial dengan ciri terbuka dewasa ini menjadi sangat tinggi. Pada
masa sekarang ini kepemilikan seseorang terhadap benda-benda yang bersifat
material (kekayaan) dianggap sebagai tolak ukur paling besar dalam menentukan
17
kedudukan seseorang dalam tingkat-tingkat strata sosial masyarakat. Setelah itu baru
muncul kekuasaan dan kewewenangan sebagai faktor penentu yang kedua.
Seseorang yang memiliki kekayaan melimpah dapat memiliki kekuasaan, wewenang
dan penghormatan masyarakat dengan harta yang dimilikinya, sementara seseorang
yang berkuasa belum tentu dapat memiliki harta dan penghormatan dari masyarakat.
Dengan ini ukuran kekayaan adalah ukuran yang tertinggi dalam status sosial.
Masa-masa pemerintahan Orde baru telah memberikan peluang-peluang ekonomi
bagi kelas menengah profesional untuk semakin di-borjuasi-kan dan membangun
suatu basis ekonomi yang kokoh sehingga semakin memiliki makna sosial.
Ditambah lagi dengan semakin marak dan berkembangnya gejala kapitalisme yang
menganggap kapital (modal) sebagai faktor penentu utama kemajuan masyarakat
menyebabkan ukuran status sosial juga mengalami pergeseran. Bila dulu status sosial
ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan keagamaan dan prestasi kerja yang
ditunjukkan dalam masyarakat, maka pada saat ini tinggi rendahnya status sosial
seseorang cenderung diukur dari jumlah harta yang dimiliki serta kekuasaan
kewenangan dalam hirarki pemerintahan.
Bila misalnya I Dewa Kuat yang seorang keturunan Ksatria bekerja sebagai sopir di
sebuah perusahaan milik Komang Apel yang adalah seorang Sudra, maka kedudukan
Komang Apel menjadi jauh lebih tinggi daripada I Dewa Kuat. Kemudian I Dewa Kuat
berteman dengan Anak Agung Gede yang merupakan keturunan raja yang
mempunyai mata pencaharian sebagai buruh bangunan, maka kedudukan keduanya
adalah setara karena keduanya sama-sama berprofesi sebagai buruh atau dalam kelas
pekerja yang paling rendah.
Dalam menyikapi sistem klasifikasi sosial dalam keadaan kekinian ini, muncul dua
kelompok dalam masyarakat Bali, yaitu kelompok pendukung Tri Wangsa dan
kelompok pendukung soroh. Kelompok pendukung Tri Wangsa kebanyakan adalah
golongan tua dan segelintir kaum muda dari kasta Brahmana dan Ksatria, yaitu
terutama klan Ida Bagus, serta Para Dewa dan Gusti yang sebenarnya menginginkan
kembalinya keagungan prestise dan previlege mereka pada masa lampau, yaitu pada
18
masa penguasaan Majapahit atas Bali. Sedangkan pendukung sistem soroh adalah
terutama generasi muda dari klan-klan lain walaupun banyak juga dari kasta tinggi.
Pada umumnya pendukung sistem soroh ini adalah golongan terpelajar yang memiliki
pengetahuan dan memahami Weda serta sejarah kebudayaan Bali secara lebih
mendalam.
Hanya saja perbedaan antara sistem soroh pada masyarakat Bali hari ini adalah
dengan suatu ciri khusus yang memandang guna (sifat, bakat, kemampuan) dan
karma (perbuatan atau pekerjaan) seseorang sebagai tolak ukur status sosial
seseorang dalam masyarakat dengan tetap mempertahankan gelar-gelar kehormatan
yang sudah ada pada masa lampau. Hal ini terjadi karena fungsi, kedudukan dan
peran Dalem sebagai pemimpin masyarakat adat sudah tidak berjalan seperti dulu
lagi karena penjajah Belanda telah menghapuskan Dalem dalam struktur
pemerintahan tradisional Bali. Dengan begitu tidak dapat memunculkan suatu soroh
baru yang sah secara adat dan budaya Bali sebagai akibat dari mobilitas sosial
seseorang.
19
III. KESIMPULAN
1. Varna merupakan sebuah sistem penggolongan manusia yang berdasarkan
Weda. Dalam kebudayaan masyarakat Hindu di Bali penggolongan yang
serupa dengan varna disebut sebagai soroh atau gotra dimana kedudukan
seseorang di dalam penggolongan sosial masyarakatnya dinilai berdasarkan
atas guna (sifat, bakat, kemampuan) dan karma (perbuatan atau pekerjaan).
2. Sistem stratifikasi sosial pada masyarakat Bali yang disebut dengan kasta
maupun Wangsa digolongkan ke dalam bentuk penyimpangan sosial karena
tradisi ini tidak dapat ditemukan referensinya dalam Weda sebagai kitab suci
Hindu yang merupakan sumber nilai dan norma dalam masyarakatnya. Selain
itu kenyataan bahwa keduanya merupakan suatu alat bagi kepentingan
penjajahan menyebabkan keduanya secara langsung bersikap bertentangan
dari sumber nilai dan norma itu sendiri.
3. Kemajuan pendidikan mempunyai aspek besar dalam perubahan sosial. Akses
yang terbuka lebar bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pendidikan
dan ilmu pengetahuan menyebabkan masyarakat, terutama dalam hal ini
masyarakat Bali, semakin mampu dan berani dalam mengekspresikan diri
serta dapat memahami perubahan dalam sistem klasifikasi sosialnya dan
kemudian berupaya untuk mengembalikan sistem itu pada sistemnya yang
ideal.
4. Pengetahuan adalah cahaya terang. Pengetahuan yang benar adalah satu-
satunya senjata dalam memberantas kebodohan, kebingungan dan juga
kemiskinan. Pengetahuan yang benar akam melahirkan pemahaman yang
benar pula. Oleh karena itu pemerintah, terutama melalui institusi-institusi
pendidikan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, harus mendukung
secara penuh upaya untuk memajukan dan menyebarluaskan pengetahuan,
baik secara formal maupun non formal, sehingga hambatan-hambatan untuk
mencapai kemajuan bangsa yang ada dan hidup dalam masyarakat dapat
diatasi secara baik dengan segera.
20
DAFTAR PUSTAKA
Dwipayana, AAGN. Ari. 2001. Kelas dan Kasta Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation.
Herdiyanto C, Drs. Arief. 2005. Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial, Bahan Ajar Sosiologi Nomor Sos.II.03. -
http://catatan.legawa.com/2010/09/kasta-dulu-dan-kini-di-bali/
http://dictionary.reference.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_caste_system
http://en.wikipedia.org/wiki/Portuguese_Inquisition
http://en.wikipedia.org/wiki/Social_class
http://githa90.wordpress.com/2010/01/21/pemahaman-yang-salah-tentang-kasta-di-bali/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bali
http://id.wikipedia.org/wiki/Diferensiasi_Sosial
http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali
http://id.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial
http://id.wikipedia.org/wiki/Warna_%28Hindu%29
http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/03/30/stratifikasi-sosial-sebuah-catatan-awal/
http://okayana.blogspot.com/2010/06/diferensiasi-sosial-dan-stratifikasi.html
http://organisasi.org/jenis-jenis-macam-macam-status-sosial-stratifikasi-sosial-dalam-masyarakat-sosiologi
http://pusakka.blogdetik.com/2010/08/08/sri-dalem-kresna-kepakisan/
http://rahajus.wordpress.com/2009/02/10/babad-ida-bang-manik-angkeran-arya-wang-bang-pinatih/
http://stitidharma.org/riwayat-kasta-di-bali/
http://stitidharma.org/soroh/
http://wargapande.org/prasasti_pande/babad-pande-bratan/
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-stratifikasi-sosial.html
Putra, S.H, Ngakan Putu ; Drs. I Made Sujana, M.Pd; I Gede Jaman, S.Ag, M.Si; I Kade Sanjana Duaja, S.Ag, M.Si. 2010 . Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
21
Setia, Putu. 1992. Cendekiawan Hindu Bicara (Cetakan Ketiga). Jakarta: Yayasan Dharma Naradha.
Suja, I Wayan. 1999. Tafsir Keliru Terhadap Hindu, Tanggapan untuk Dr. A.G. Honig, Jr. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Suryanto, M.Pd. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka. Yogyakarta: Narayana Smrti Press.