sirosis hepatis journal

26
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hepar Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah (Sloane, 2004). Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis (Amirudin, 2009). Gambar 2.1. : Anatomi Hepar Sumber : Netter, 2006

Upload: ranpss

Post on 24-Jan-2016

28 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sirosis hepatis journal

TRANSCRIPT

Page 1: sirosis hepatis journal

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hepar

Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan

atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena

kaya akan persediaan darah (Sloane, 2004). Beratnya 1200-1800 gram,

dengan permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan

bawah terletak bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar

sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas

dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk

cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta

hepatis (Amirudin, 2009).

Gambar 2.1. : Anatomi Hepar

Sumber : Netter, 2006

Page 2: sirosis hepatis journal

Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan

oleh ligamentum falciforme, diinferior oleh fissura yang dinamakan dengan

ligamentum teres dan diposterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum

venosum (Hadi, 2002). Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus

kiri dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus

dan lobus quadrates. Menurut Sloane (2004), diantara kedua lobus terdapat

porta hepatis, jalur masuk dan keluar pembuluh darah, saraf dan duktus.

Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan

dibungkus peritoneum pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya

(Hadi, 2002).

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika

yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrien seperti asam

amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri

hepatika, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh

darah tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta

tersebut vena porta dan arteri hepatika bercabang menjadi dua yakni ke

lobus kiri dan ke lobus kanan (Hadi, 2002). Darah dari cabang-cabang arteri

hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler

yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat diantara barisan

sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua lobulus hati menyatu

untuk membentuk vena hepatika (Sherwood, 2001).

Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang

mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang

membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang

berjalan diantara lembaran sel hati (Amirudin, 2009).

Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis

T7-T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus vagus dexter dan

sinister serta phrenicus dexter (Sherlock, 1995).

Page 3: sirosis hepatis journal

2.2. Fungsi Hepar

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ

ini penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hati

menghasilkan empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui

duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk

duktus hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan

berbagai fungsi lain, mencakup hal-hal berikut :

1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,

protein) setelah penyerapan mereka dari saluran cerna.

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan

senyawa asing lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang

penting untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon

tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah.

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan

ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk

penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah

usang.

Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati

atau hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik diatas,

kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen atau

yang lebih dikenal sebagai sel Kupffer (Sherwood, 2001). Sel Kupffer, yang

meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh,

merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang

berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada

limfosit (Amiruddin, 2009).

Page 4: sirosis hepatis journal

2.3. Sirosis Hepatis

2.3.1. Definisi

Sirosis hepatis merupakan keadaan yang menggambarkan akhir dari

perjalanan histologi pada berbagai macam penyakit hepar kronik. Istilah

sirosis pertama kali diperkenalkan oleh Laennec tahun 1826. Istilah ini

diambil dari bahasa Yunani yaitu scirrhus yang digunakan untuk

mendeskripsikan permukaan hepar yang berwarna oranye jika dilihat pada

saat autopsi. Tapi karena kemudian arti kata sirosis atau scirrhus banyak

yang salah menafsirkannya akhirnya istilah ini berubah artinya menjadi

pengerasan. Berbagai bentuk dari kerusakan sel hepar ditandai dengan

adanya fibrosis. Fibrosis merupakan peningkatan deposisi komponen

matriks ekstraseluler (kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di hepar. Respon

terhadap kerusakan sel hepar ini sering bersifat irreversibel. Secara

histologis sirosis merupakan proses yang difus pada hepar ditandai adanya

fibrotisasi dan konversi dari struktur arsitektur hepar normal menjadi

struktur nodul yang abnormal. Progresi dari kerusakan sel hepar menuju

sirosis dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan bertahun-

tahun. Pasien dengan hepatitis C dapat mengalami hepatitis kronik selama

40 tahun sebelum akhirnya menjadi sirosis (Doubatty, 2009).

2.3.2. Insidens

Menurut Sutadi (2003), penderita sirosis hepatis lebih banyak

dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6:1

dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan

puncaknya sekitar 40-49 tahun.

2.3.3. Klasifikasi

Menurut laporan GALAMBOS (1975) klasifikasi sirosis hepatis

dibagi dalam dua golongan (Hadi, 2002), yaitu :

Page 5: sirosis hepatis journal

1. Klasifikasi menurut morfologi

a. Sirosis mikronoduler

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : ireguler, septal, uniform

monolobuler, nutrisional dan Laennec. Gambaran mikroskopis terlihat

septa yang tipis.

b. Sirosis makronoduler

Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : postnekrotik, ireguler,

postkolaps. Biasanya septa lebar dan tebal.

c. Kombinasi antara mikro dan makronoduler

Sirosis hepatis jenis ini sering ditemukan.

d. Sirosis septal (multilobuler) yang tak lengkap.

Fibrous septa sering prominent dan parenkim mungkin mempunyai

gambaran asini yang normal.

2. Klasifikasi menurut etiologinya

a. Cirrhosis of genetic disorders

b. Chemical cirrhosis

c. Sirosis alkoholik

d. Sirosis infeksius

e. Sirosis biliaris

f. Sirosis kardiak

g. Sirosis metabolik

h. Sirosis kriptogenik

2.3.4. Etiologi

Menurut Hadi (2002), penyebab sirosis hepatis bermacam-macam.

Ada penyebab didapat maupun genetik. Di Amerika Serikat alkoholisme

kronis dan hepatitis C merupakan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis.

Sedangkan di Indonesia penyebab terbanyak adalah karena virus hepatitis

tipe B dan C.

Page 6: sirosis hepatis journal

Berikut ini berbagai macam penyebab sirosis hepatis :

1. Alkohol

2. Hepatitis virus tipe B, ± Delta; non-A non-B

3. Metabolik, misanyal hemokromatosis, penyakit Wilson,

defisiensiα1-antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV,

galaktosemia, tirosinosis kongenital.

4. Kolestasis kronik intra- dan ekstra-hepatik.

Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu

tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita biliary atresia

berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang

bisa diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar

empedu meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk

anak-anak yang menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang

dewasa, saluran empedu dapat mengalami peradangan, tersumbat

dan terluka akibat primary biliary sirosis atau primary sclerosing

cholangitis. Secondary biliary cirrosis dapat terjadi sebagai

komplikasi dari pembedahan saluran empedu.

5. Obstruksi vena hepatika misalnya penyakit veno-oklusif, Sindroma

Budd-Chiari, Perikarditis konstriktif.

6. Gangguan imunitas hepatitis “lupoid”.

7. Toksin dan obat, misalnya metotreksat, amiodaron.

8. Malnutrisi.

9. Kelemahan jantung kronik yang menyebabkan sirosis kardiak.

10. Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya dan digolongkan dalam

kriptogenik.

2.3.5. Gejala Klinis

Beberapa pasien dengan sirosis hepatis tidak menampakkan gejala

klinis pada fase awal penyakit. Gejala-gejala yang nampak dapat disebabkan

oleh dua hal, yaitu kegagalan hati dalam menjalankan fungsi nutrisi serta

Page 7: sirosis hepatis journal

perubahan struktur dan ukuran hepar yang disebabkan oleh proses fibrotisasi

(Doubatty, 2009). Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan

mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,

mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis

mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah

lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila

timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya

rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi.

Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih

berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan

mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai

koma (Nurdjannah, 2009).

Menurut Sutadi (2003), manifestasi klinis dari sirosis hepatis disebabkan

oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut di bawah ini :

1. Kegagalan Prekim hati

2. Hipertensi portal

3. Asites

4. Ensefalophati hepatitis

Menurut Sherlock (1995) secara klinis sirosis hepatis dibagi atas dua tipe,

yaitu :

1. Sirosis kompensata atau sirosis laten

Gejala klinis yang dapat terlihat adalah pireksia ringan, “spider”

vaskular, eritema palmaris atau epistaksis yang tidak dapat dijelaskan,

edema pergelangan kaki. Pembesaran hepar dan limpa merupakan tanda

diagnosis yang bermanfaat pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen

dan salah cerna pagi hari yang samar-samar bisa merupakan gambaran

dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai konfirmasi dapat dilakukan tes

biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati aspirasi.

2. Sirosis dekompensata atau sirosis aktif

Page 8: sirosis hepatis journal

Gejala-gejala sirosis dekompensata lebih menonjol terutama bila timbul

komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta. Biasanya pasien sirosis

dekompensata datang dengan asites atau ikterus. Gejala-gejala yang

nampak adalah kelemahan, atrofi otot dan penurunan berat badan,

hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam ringan kontinu (37,5º-

38ºC), gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,

gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh

pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi

mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai dengan koma.

2.3.6. Patogenesis

Peningkatan atau gangguan sintesis kolagen dan komponen jaringan

ikat atau membran basal lain matriks ekstrasel diperkirakan berperan dalam

terjadinya fibrosis hati dan dengan demikian berperan juga dalam

patogenesis sirosis. Fibrosis hati tampaknya terjadi pada tiga situasi : (1)

sebagai suatu respon imun, (2) sebagai bagian dari proses penyembuhan

luka dan (3) sebagai respon terhadap agen yang memicu fibrogenesis

primer. Virus hepatitis B adalah contoh agen yang menyebabkan fibrosis

dengan dasar imunologis. Agen seperti karbon tetraklorida atau hepatitis A

yang menyerang dan mematikan hepatosit secara langsung adalah contoh

agen yang menyebabkan fibrosis sebagai bagian dari penyembuhan luka.

Agen tertentu seperti etanol dan besi dapat menyebabkan fibrogenesis

primer dengan secara langsung meningkatkan transkripsi gen kolagen

sehingga juga meningkatkan jumlah jaringan ikat yang diekskresikan oleh

sel (Nguyen, 2011).

Penyebab utama dari semua mekanisme peningkatan fibrogenesis ini

mungkin adalah sel penyimpan-lemak di sistem retikuloendotel hati.

Sebagai respons terhadap sitokin, sel-sel ini berdiferensiasi dari sel inaktif

dengan vitamin A yang disimpan ke dalam miofibroblas, yang kehilangan

kemampuannya menyimpan vitamin A dan menjadi aktif menghasilkan

matriks ekstrasel. Fibrosis hati tampaknya berlangsung dalam dua tahap.

Tahap pertama ditandai oleh perubahan komposisi matriks ekstrasel dari

Page 9: sirosis hepatis journal

kolagen yang tidak berikatan silang dan tidak membentuk fibril menjadi

kolagen yang lebih padat dan mudah membentuk ikatan silang. Pada tahap

ini cedera hati masih reversibel. Tahap kedua melibatkan pembentukan

ikatan-silang kolagen sub-endotel, proliferasi sel mioepitel dan distorsi

arsitektur hati disertai kemunculan nodul-nodul regenerasi (Nguyen, 2011).

Tahap kedua ini bersifat ireversibel. Perubahan komposisi matriks

ekstrasel dapat memprerantarai perubahan fungsi hepatosit dan sel lain.

Karena itu, perubahan pada keseimbangan kolagen mungkin berperan

penting dalam perkembangan cedera hati kronik reversibel menjadi bentuk

ireversibel dengan ikut mempengaruhi fungsi hepatosit (Nguyen, 2011).

Secara histopatologis semua bentuk sirosis ditandai oleh tiga

temuan: (1) distorsi berat arsitektur hati, (2) pembentukan jaringan parut

akibat meningkatnya pengendapan jaringan fibrosa dan kolagen dan (3)

nodul-nodul regeneratif yang dikelilingi oleh jaringan parut (Nguyen, 2011).

Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi

sirosis adalah kematian sel hati, regenerasi dan fibrosis progresif. Dalam

kaitannya dengan fibrosis, hati normal mengandung kolagen interstisium

(tipe I, III dan IV) di saluran porta dan sekitar vena sentralis, dan kadang-

kadang di parenkim. Di ruang antara sel endotel sinusoid dan hepatosit

(ruang Disse) terdapat rangka retikulin halus kolagen tipe IV. Pada sirosis,

kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di

semua bagian lobulus san sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenetrasinya.

Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang

berlubang-lubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit,

menjadi saluran vaskular tekanan tinggi beraliran cepat tanpa pertukaran zat

terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara hepatosit dan plasma

sangat terganggu (Crawford, 2007).

Infeksi virus hepatitis B dan C akan menimbulkan peradangan sel

hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas,

terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen.

Tingkat awal yang terjadi adalah terbentuknya septa yang pasif oleh

jaringan retikulum penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian

Page 10: sirosis hepatis journal

berubah bentuk menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat

menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta dengan

sentral (bridging necrosis). Pada tahap berikut kerusakan parenkim dan

peradangan yang terjadi pada sel duktus, sinusoid dan sel retikulo endotelial

di dalam hati, akan memacu terjadinya fibrogenesis sehingga terbentuk

septa aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga mungkin berperan dengan

mengeluarkan limfokin yang dianggap sebagai mediator dari fibrogenesis

(Crawford, 2007).

Septa aktif ini akan menjalar menuju kedalam parenkim hati dan

berakhir di daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat

menentukan perjalanan progresivitas dari sirosis hepatis. Pada tingkat yang

bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memacu proses regenerasi sel-

sel hati. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pembentukan susunan

jaringan ikat tadi. Keadaan ini yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang

terjadi terus menerus dalam hubungannya peradangan dan perubahan

vaskular intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati, pada akhirnya

menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hepatis.

Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis hati sama atau hampir

sama (Hadi, 2002).

2.3.7. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan

tersebut antara lain:

A. Diagnosa Sirosis hepatis Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium

1. Urine

Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila

penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi

Na dalam urine berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan

kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.

2. Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan

ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak

Page 11: sirosis hepatis journal

terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin

yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau

kehitaman.

3. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,

kadang-kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan

kekurangan asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali.

Jika penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal baru

akan terjadi hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersamaan

dengan adanya trombositopeni.

4. Tes Faal Hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi

penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada

sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang

normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang

dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar

normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan

globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut

elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin :

globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu, kadar asam empedu juga

termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi

kelainan hati secara dini.

B. Sarana Penunjang Diagnostik

1. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah, pemeriksaan

fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic

Porthography (PTP).

2. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi

kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung

pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan

Page 12: sirosis hepatis journal

sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati

tumpul. Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu

tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati

tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.

3. Peritoneoskopi (laparoskopi)

Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis

hepatis akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol

berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran

fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan

pembesaran limpa.

Gambaran klinik dan gambaran laboratorium biasanya cukup untuk

mengetahui adanya kerusakan hepar. Walaupun biopsi jarum percutan pada

hati tidak biasa dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis sirosis hepatis,

tetapi dapat membantu membedakan pasien sirosis hepatis dengan pasien

penyakit hati lain dan menyingkirkan diagnosis bentuk lain dari kerusakan

hati seperti hepatitis virus. Biopsi juga dapat menjadi alat untuk

mengevaluasi pasien sirosis dengan gambaran klinik sirosis alkoholik

namun menyangkal telah mengkonsumsi alkohol. Pada pasien sirosis

dengan kolestasis, USG dapat menyingkirkan diagnosa adanya obstruksi

biliaris (Doubatty, 2009).

2.3.8. Penatalaksanaan

Menurut Doubatty (2009), penatalaksanaan pasien sirosis hepatis

sangat tergantung dengan etiologi maupun keadaan klinis. Terapi ditujukan

untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang

dapat menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.

Pada pasien sirosis hepatis kompensata terapi ditujukan untuk mengurangi

progresi kerusakan hati, pasien diminta untuk menghilangkan etiologi

(alkohol dan bahan-bahan lainnya). Sedangkan pada pasien sirosis hepatis

dekompensata terapi definitifnya adalah transplantasi hepar. Namun

sebelum dilakukan transplantasi, resipien harus memepenuhi beberapa

Page 13: sirosis hepatis journal

kriteria terlebih dahulu. Dalam terapi ini dibutuhkan penentuan prognosis

yang akurat sehingga dapat dilakukan pada saat yang tepat.

Pengobatan sirosis hepatis pada prinsipnya berupa :

1. Simtomatis

2. Supportif, yaitu :

a. Istirahat yang cukup

b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;

misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin

c. Pengobatan berdasarkan etiologi

Misalnya pada sirosis hepatis akibat infeksi virus C dapat dicoba

dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi

terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah

mendapatkan pengobatan IFN seperti :

a) kombinasi IFN dengan ribavirin

Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta

unit 3 kali seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari

tergantung berat badan (1000mg untuk berat badan kurang

dari 75kg) yang diberikan untuk jangka waktu 24-48

minggu.

b) terapi induksi IFN

Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan

dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4

minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu

selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan

RIB.

c) terapi dosis IFN tiap hari

Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN

dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-

RNA negatif di serum dan jaringan hati.

Page 14: sirosis hepatis journal

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hepatis akan diberikan jika telah

terjadi komplikasi seperti :

1. Asites

2. Spontaneous bacterial peritonitis

3. Hepatorenal syndrome

4. Ensefalophaty hepatic

2.3.9. Komplikasi

Menurut Hadi (2002), komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi

antara lain:

1. Perdarahan

Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya

pada sorosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus.

Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau

hematemesis, biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah

yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena

sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah tukak

lambung dan tukak duodeni.

2. Koma Hepatikum

Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat

rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali.

Koma hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya

kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu:

Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati

yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolisme

tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum

sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan

hati secara langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena

perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-obatan dan

pengaruh substansia nitrogen.

Page 15: sirosis hepatis journal

3. Ulkus Peptikum

Kemungkinan timbul karena adanya hiperplasia noduler yang akan

berubah menjadi adenoma multipel dan akhirnya menjadi karsinoma

yang multipel.

4. Karsinoma hepatoselular

5. Infeksi

Misalnya : peritonitis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,

glomerulo nephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis,

endokarditis, srisipelas, septikema.

2.3.10. Prognosis

Menurut Doubatty (2009), prognosis sirosis hepatis dipengaruhi

beberapa faktor :

1. Etiologi

Pasien dengan sirosis alkoholik prognosisnya lebih baik daripada

sirosis kriptogenik.

2. Sirosis dekompensata yang mengikuti perdarahan, infeksi atau

alkoholisme lebih baik prognosisnya dibanding sirosis yang muncul

secara spontan, sebab faktor pencetusnya dapat dikoreksi.

3. Respon terhadap terapi

4. Ikterus

Ikterus yang menetap merupakan suatu pertanda yang serius.

5. Komplikasi neurologi

Jika berkembang menahun dan disertai sirkulasi kolateral maka

prognosis akan lebih baik. Ensefalopati hepatikum merupakan

komplikasi neurologi paling sering pada sirosis hepatis. Patogenesis

ensefalopati hepatikum adalah hiperamonemia dan penurunan kadar

neurotransmitter sentral.

6. Ukuran hati

Jika ukuran besar maka prognosisnya akan lebih baik karena

mungkin masih terdapat lebih banyak sel-sel yang berfungsi.

Page 16: sirosis hepatis journal

7. Perdarahan dari varises esofagus

Jika keadaan sel-sel hati baik maka perdarahan bisa ditoleransi.

8. Asites

Penimbunan cairan pada rongga peritoneum yang disebabkan oleh

hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Asites dapat menyebabkan

gangguan pernafasan sekunder karena menurunnya ekspansi paru,

herniasi dinding abdomen dan wound dehiscence. Asites dapat

memperburuk keadaan terutama jika diperlukan dosis diuretik yang

besar untuk mengontrolnya, terdapat sindroma hepatorenal dan

asites dengan peritonitis bakterialis spontan. Dikenal 3 hipotesis

pembentukan asites yaitu teori underfilling yang mengemukakan

bahwa kelainan primer yang menyebabkan terjadinya asites adalah

sekuesterisasi cairan yang berlebihan karena hipertensi portal, teori

overflow yang mengatakan bahwa retensi air dan garam yang

berlebihan tanpa disertai penurunan volume darah elektif, dan yang

terakhir adalah teori vasodilatasi arteri perifer yang menyatukan

kedua teori di atas.

9. Tes biokimia

Jika albumin serum kurang dari 2,5 g, maka prognosis akan buruk.

Hiponatremi yang berat juga mempunyai prognosis buruk. Bila rasio

bilirubin serum total terhadap gamma glutamil transpeptidase

melebihi satu, maka prognosisnya sangat buruk.

10. Hipoprotrombinemia menetap dan hipotensi menetap mempunyai

prognosis buruk.

11. Perubahan histologi hati.

Perlemakan hati mempunyai respon yang baik terhadap terapi.

2.3.11. Perangkat Prognostik

Menurut Doubatty (2009), dari faktor-faktor prognosis di atas

terdapat modifikasi berupa beberapa perangkat prognostik untuk sirosis

hepatis, yaitu:

Page 17: sirosis hepatis journal

1. Skor Child- Pugh

Pertama kali diperkenalkan oleh C.G. Child dan J.G. Turcotte pada

tahun 1964. Kriteria asites dan ensefalopati menggambarkan tingkat

beratnya hipertensi portal, sedangkan kriteria lainya yaitu ikterus, albumin,

dan status nutrisi menggambarkan fungsi metabolisme hepar. Kemudian

pada tahun 1973 R.N.H. Pugh mengubah kriteria status nutrisi menjadi

Prothrombin Time (PT) atau International Normalized Ratio (INR),

sehingga menghilangkan kriteria yang paling subjektif.

Skor ini semula dibuat untuk memperkirakan kematian pada

tindakan bedah dan sekarang digunakan juga untuk menentukan prognosis

yang diperlukan untuk transplantasi hepar dan menilai prognosis serta

staging secara klinis pada sirosis hepatis.

Tabel 2.3.11.1. Perhitungan skor Child-Pugh

Skor/parameter 1 2 3

Bilirubin (mg%) < 2.0 2 - < 3 > 3.0

Albumin (gr%) > 3.5 2.8 - < 3.5 < 2.8

INR < 1.70 1.70 – 2.20 > 2.20

Asites 0 minimal – sedang banyak

(+) – (++) (+++)

Hepatic encephalopathy tidak ada std I dan II std III

dan IV

Kelas A = 5-6 Kelas B = 7-9 Kelas C = 10-15

Tabel 2.3.11.2. Interpretasi hasil perhitungan skor Child-Pugh

Poin kelas one yearsurvival two year

survival

5-6 A 100% 85%

7-9 B 81% 57%

10-15 C 45% 35%

Page 18: sirosis hepatis journal

2. Skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD)

Skor MELD ditemukan pada tahun 1999 di klinik Mayo sebagai

prediktor ketahanan hidup 12 minggu yang lebih objektif pada pasien

dengan penyakit hepar kronik. Skor ini digunakan untuk memprediksi

pasien yang akan menjalani terapi Transjugular Intrahepatic Portosystem

(TIPS) dan sebagai alat untuk menentukan prioritas pasien sirosis hepatis

yang menunggu transplantasi hepar. Pada tahun 2001 Kamath PS et al yang

membuat dan melakukan validasi MELD melaporkan bagaimana MELD

dapat diaplikasikan dan mengkaji kelebihan serta kekurangannya. Pada

umumnya skor MELD lebih baik jika dibandingkan dengan skor Child-

Pugh. Sebab sebagai prediktor ketahanan hidup, skor MELD dianggap lebih

objektif daripada skor Child-Pugh. Skor MELD digunakan untuk

menyeleksi pasien yang akan menjalani transplantasi hepar. Namun

pertanyaan apakah skor MELD ini cukup valid atau tidak dalam

memprediksi ketahanan hidup pasien masih belum terjawab. Sampai saat ini

skor Child-Pugh lah yang dianggap sebagai prediktor yang valid dalam

meprediksi ketahanan hidup pada pasien sirosis hepatis.

Rumus :

3,8 x log(e)(total bilirubin, mg/dl) + 11,2 x log(e)(INR) + 9,6 x

log(e)(kreatinin,

mg/dl)

Ketahanan hidup pasien sirosis hepatis dengan skor MELD </= 11 lebih

baik daripada pasien sirosis hepatis dengan skor MELD >11.

2.4. Hubungan hepatitis viral dengan sirosis hepatis

Sheila sherlock (1995) menyatakan suatu spektrum penyakit

peradangan menahun hati yang terbentang dari hepatitis akut ke hepatitis

kronik dan akhirnya ke sirosis. Hepatitis kronik didefinisikan sebagai reaksi

peradangan kronik dalam hati yang berlanjut tanpa perbaikan paling kurang

selama enam bulan. Progresivitas tergantung atas kombinasi berkelanjutan

Page 19: sirosis hepatis journal

replikasi virus didalam hati dan keadaan imunologi pasien. Virus tidak

langsung sitopatik dan lisis hepatosit terinfeksi dengan progresivitas ke

kronik tetapi tergantung atas respon imun hospes. Jika respon imun selular

terhadap virus buruk, maka terjadi sedikit atau tidak ada kerusakan hati dan

virus kontinu berproliferasi dengan adanya fungsi hati yang normal.

Keadaan tersebut akan menjadi carrier yang terlihat sehat. Pasien dengan

respon imun seluler yang sedikit lebih baik memperlihatkan nekrosis sel hati

kontinu, tetapi respon tak cukup untuk membersihkan virus dan timbul

hepatitis kronik.

Virus penyebab hepatitis pertama kali menginfeksi hepatosit. Selama

masa tunas, terjadi replikasi virus yang intens di sel-sel hati yang

menyebabkan munculnya komponen-komponen virus dalam urine, tinja dan

cairan tubuh lain. Kemudian terjadi kematian sel hati dan respons

peradangan terkait, yang diikuti oleh perubahan-perubahan pada uji

laboratorium fungsi hati dan munculnya berbagai gejala dan tanda penyakit

hati (Sherlock, 1995).

2.4.1. Virus Hepatitis B (VHB)

Ada tiga antigen yang dihubungkan dengan virus hepatitis B dua

diantaranya HBcAg dan HbeAg yang berkaitan dengan inti virus, yang

ketigaantigen hepatitis permukaan (HBsAg) merupakan antigen penentu

utama dari permukaan luar mantel virus (Kumar, 1995).

Antigen yang berhubungan dengan virus hepatitis B akan

menimbulkan antibodi yang spesifik : anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe.

Antigen dan antibodi merupakan tanda imunologik yang penting dari infeksi

virus dalam perjalanan penyakitnya (Kumar, 1995).

HBsAg adalah yang pertama-tama dideteksi dalam darah, pada masa

inkubasi. Mengikuti antigen permukaan, partikel virus dan HbeAg terdapat

dalam darah. HbeAg kemudian cepat menghilang pada fase akut dari

penyakit ini 2-3 minggu sebelum HBsAg menghilang. Kadar HBsAg mulai

menurun setelah serangan penyakit dan biasanya tidak terdeteksi setelah 3

bulan masa infeksi. Bila tetap ada selama lebih dari 6 bulan, maka biasanya

Page 20: sirosis hepatis journal

menunjukkan penyakit menahun. Meskipun antigen inti bebas HBcAg tidak

pernah ditemukan dalam serum, antibodinya yaitu anti-HBc merupakan

antibodi antivirus yang pertama-tama dapat dideteksi setelah kontak dengan

virus Hepatitis B. anti-HBc timbul menjelang masa akhir inkubasi dan tetap

ada selama fase akut dari penyakit. Respon awal anti-HBc adalah IgM

diikuti 6-18 bulan kemudian oleh antibodi IgG. Antibodi-antibodi ini tidak

melindungi dan dapat dideteksi pada penyakit menahun. Anti-Hbe timbul

dalam serum saat HBeAg mulai menghilang, pada awal dari fase resolusi

dari hepatitis akut. Anti-HBs dapat dideteksi selama fase penyembuhan dan

ini biasanya tetap bertahan seumur hidup. Interval antara hilangnya HBsAg

dengan timbulnya anti-HBs disebut sebagai ‘periode jendela’ (window

period) (Kumar, 1995).

Menurut Crawford (2007), HBsAg muncul sebelum onset gejala,

memuncak selama gejala penyakit muncul, kemudian menurun sampai tidak

terdeteksi dalam 3 hingga 6 bulan. HbeAg, HBV-DNA dan DNA

polimerase muncul dalam serum segera setelah HbsAg dan semuanya

menandakan replikasi virus aktif. Menetapnya HbeAg merupakan indikator

penting terjadinya replikasi virus yang berkelanjutan, daya tular dan

kemungkinan perkembangan menuju hepatitis kronis. IgM anti-HBc mulai

terdeteksi dalam serum segera sebelum onset gejala, bersamaan dengan

mulai meningkatnya kadar aminotransferase serum (menunjukkan

kerusakan hati). Dalam beberapa bulan, IgM anti-HBc digantikan oleh IgG

anti-HBc. Munculnya antibodi anti-Hbe mengisyaratkan infeksi akut telah

memuncak dan sekarang mulai mereda. IgG anti-HBs belum meningkat

sampai penyakit akut berlalu dan biasanya tidak terdeteksi selama beberapa

minggu hingga beberapa bulan setelah hilangnya HbsAg. Anti-HBs dapat

menetap seumur hidup, memberikan perlindungan; ini merupakan dasar

bagi strategi vaksinasi saat ini.

Infeksi HBV berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif,

HBV-DNA terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion

lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi HBsAg dan HBcAg di

permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas 1 menyebabkan

Page 21: sirosis hepatis journal

pengaktivan limfosit T CD8+ sitotoksik. Kemudian fase integratif, yang

DNA virusnya mungkin menyatu ke dalam genom penjamu. Seiring dengan

berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi antivirus, infektivitas

berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun, risiko terjadinya karsinoma

hepatoselular menetap (Crawford, 2007).

Terdapat beberapa alasan untuk hipotesis bahwa HBV tidak secara

langsung menyebabkan cedera hepatosit. Yang terutama, banyak pembawa

virus kronis memiliki virion didalam hepatosit mereka tanpa

memperlihatkan tanda cedera sel. Kerusakan hepatosit diperkirakan terjadi

akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel T sitotoksik CD8+

(Crawford, 2007).

Untuk proses eradikasi virus hepatitis B (VHB) lebih lanjut

diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T

dan sel limfosit B. aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T

tersebut dengan kompleks VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan

dinding sel hati dan pada permukaan dinding antigen presenting cell (APC)

dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami

kontak dengan VHB-MHC kelas II pada dinding APC. VHB yang

ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran

respon imun adalah HBcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan

mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses

eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan

menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu

dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang

terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan Tissue Necrotic Factor

(TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (Crawford, 2007).

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan

produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-

HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus

ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus

dari sel ke sel (Soemodihardjo, 2009).

Page 22: sirosis hepatis journal

2.4.2. Virus Hepatitis C (VHC)

Masa inkubasi hepatitis C berkisar dari 2 hingga 26 minggu. RNA

HCV dapat dideteksi dalam darah selama 1 hingga 3 minggu dan disertai

oleh peningkatan kadar aminotransferase serum. Perjalanan klinis hepatitis

C akut biasanya lebih ringan daripada hepatitis B dan asimptomatik pada

75% orang. Meskipun antibodi netralisasi anti-HCV terbentuk dalam

beberapa minggu hingga beberapa bulan, RNA-HCV tetap berada dalam

darah pada banyak pasien. Oleh karena itu, gambaran khas infeksi HCV

adalah peningkatan episodik kadar aminotransferase serum walaupun tidak

ada gejala klinis dan ini mungkin mencerminkan serangan berulang nekrosis

hepatoselular. Sirosis terjadi pada 20% orang yang mengalami infeksi

persisten. Selain itu, pasien mungkin terbukti mengidap infeksi HCV kronis

selama berpuluh tahun tanpa berkembang menjadi sirosis (Crawford, 2007).

Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk

terjadinya eliminasi menyeluruh Virus Hepatitis C (VHC) pada infeksi akut.

Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak

sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa

menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga

kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut

dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC.

Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada

reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi inflamasi yang

dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-alfa, TGF-beta1

akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan

aktivasi sel-sel stelata di ruang Disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya

dalam keadaan ‘tenang’ kemudian berproliferasi dan menjadi aktif, menjadi

sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga

terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-

inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi

inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama

semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat

menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati (Gani, 2009).

Page 23: sirosis hepatis journal

2.4.3. Hepatitis Virus Akut

Apapun penyebabnya, penyakit kurang lebih sama dan dapat dibagi

menjadi empat fase : (1) masa inkubasi, (2) fase praikterus simtomatik, (3)

fase ikterus simtomatik dan (4) pemulihan (Crawford, 2007).

Masa inkubasi merupakan puncak daya tular yang berkaitan dengan

keberadaan partikel virus infeksiosa dalam darah. Fase praikterus berkaitan

dengan hepatitis yang diisyaratkan oleh menigkatnya kadar

aminotransferase serum. Pemeriksaan fisik hanya memperlihatkan hati yang

sedikit membesar dan nyeri tekan. Fase ikterus simtomatik terutama

disebabkan oleh hiperbilirubinemia. Dengan rusaknya hepatosit terjadi

defek dalam konjugasi bilirubin, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi juga

dapat terjadi. Fase ikterus sering terjadi pada orang dewasa dengan hepatitis

A, tetapi tidak terjadi pada sekitar separuh kasus hepatitis B dan tidak

ditemukan pada sebagian besar kasus hepatitis C. dalam beberapa minggu

hingga mungkin beberapa bulan, ikterus dan sebagian besar gejala sistemik

lain menghilang seiring dengan dimulainya fase pemulihan (Crawford,

2007).

2.4.4. Hepatitis Virus Kronis

Perjalanan penyakit sangat bervariasi. Pasien mungkin mengalami

remisi spontan atau mengalami penyakit indolen tanpa perkembangan

selama bertahun-tahun. Sebaliknya, sebagian pasien mengalami penyakit

yang progresif cepat dan menderita sirosis dalam beberapa tahun. Pasien

dengan infeksi virus hepatitis B kronis atau virus hepatitis C berisiko cukup

besar mengalami karsinoma hepatoselular (Crawford, 2007).

2.5. Hubungan alkohol dengan sirosis hepatis

Alkohol tak dapat disimpan dan mutlak harus terjadi oksidasi,

terutama didalam hati. Individu sehat tidak dapat memetabolisme lebih dari

160-180 g alkohol perhari. Alkohol menginduksi enzim yang digunakan

Page 24: sirosis hepatis journal

dalam katabolismenya dan pecandu alkohol mampu memetabolisme lebih

banyak (Sherlock, 1995).

Etanol setelah dikonsumsi, diserap tanpa diubah dalam lambung dan

usus halus. Zat ini kemudian tersebar ke semua jaringan dan cairan tubuh

sesuai kadar di dalam darah. Kurang dari 10 % alkohol diekskresikan tanpa

diubah melalui urine, keringat dan napas (Sherlock, 1995).

Sebagian besar alkohol di dalam darah mengalami biotransformasi

menjadi asetaldehida oleh alkohol dehidrogenase dalam sitosol sel hati dan

mukosa lambung. Dalam reaksi tersebut, nikotinamida adenin dinukleotida

(NAD) mengalami reduksi menjadi NADH. Asetaldehida kemudian diubah

menjadi asam asetat. Biotransformasi ini menimbulkan sejumlah

konsekuensi metabolik antara lain (1) etanol adalah sumber energi yang

substansial (kalori kosong) dan hal ini menyebabkan malnutrisi dan

defisiensi, terutama vitamin B. (2) Kelebihan NADH berperan

menyebabkan asidosis, penurunan ekskresi asam urat, menghambat

glukoneogenesis dan menghambat oksidasi asam lemak sehingga terjadi

efek sekunder di hati. (3) Asetaldehida memiliki banyak efek samping dan

mungkin merupakan penyebab kerusakan dalam banyak organ (terutama

hati dan otak) pada alkoholisme kronik (Sherlock, 1995).

Efek samping etanol dibagi menjadi efek akut dan konsekuensi

alkoholisme kronik (Kumar dkk, 2007).

Alkoholisme akut berefek terutama di sistem saraf pusat, juga dapat

menyebabkan kelainan hati dan lambung yang reversibel apabila konsumsi

alkohol dihentikan. Di sistem saraf pusat, alkohol bersifat depresan,

pertama-tama mempengaruhi struktur subkorteks yang memodulasi aktivitas

korteks serebrum. Akibatnya terjadi stimulasi dan kekacauan perilaku

korteks, motorik dan intelektual (Kumar dkk, 2007).

Alkoholisme kronik merupakan penyebab perubahan morfologik di

hampir semua organ dan jaringan tubuh, terutama hati dan lambung.

Asetaldehida, metabolit utama etanol, merupakan senyawa yang sangat

reaktif dan diperkirakan berfungsi sebagai mediator kerusakan organ dan

jaringan. Walaupun katabolisme asetaldehida lebih cepat daripada

Page 25: sirosis hepatis journal

katabolisme alkohol, konsumsi etanol kronis mengurangi kapasitas oksidatif

hati sehingga kadar asetaldehida darah meningkat; peningkatan ini

diperparah oleh meningkatnya laju metabolisme etanol pada para peminum.

Mekanisme lain yang diperkirakan menyebabkan cedera adalah peningkatan

aktivitas radikal bebas dan reaksi imun terhadap neoantigen hati yang

terbentuk oleh asetaldehida atau perubahan protein yang dipicu oleh radikal

bebas (Kumar dkk, 2007).

Konsumsi alkohol kronis menimbulkan berbagai efek samping.

Namun, yang dampaknya besar adalah tiga bentuk penyakit hati yang

tersendiri, walaupun juga bertumpang tindih : (1) steatosis hati (perlemakan

hati), (2) hepatitis alkoholik dan (3) sirosis yang secara bersama-sama

disebut sebagai penyakit hati alkoholik. Paling sedikit 80% dari para

peminum berat mengalami perlemakan hati (steatosis), 10% hingga 35%

mengalami hepatitis alkoholik dan sekitar 10% terjangkit sirosis (Crawford,

2007).

Steatosis hati mungkin bermanifestasi sebagai hepatomegali disertai

peningkatan ringan kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum. Akan tetapi

mungkin juga tidak timbul bukti klinis atau biokimiawi adanya penyakit

hati. Jarang terjadi gangguan hati yang parah. Penghentian alkohol dan

pemberian diet yang adekuat sudah memadai sebagai terapi (Crawford,

2007).

Untuk timbulnya hepatitis alkoholik diperkirakan diperlukan waktu

15 hingga 20 tahun minum alkohol dalam jumlah berlebihan. Namun, pada

keadaan ini gambaran hepatitis alkoholik relatif akut, biasanya setelah

minum dalam jumlah besar. Terdapat gejala nonspesifik berupa malaise,

anoreksia, penurunan berat badan, rasa tidak enak di perut bagian atas,

hepatomegali dengan nyeri tekan dan demam serta temuan laboratorium

berupa hiperbilirubinemia, peningkatan fosfatase alkali dan sering

leukositosis neutrofilik. Kadar alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat

aminotransferase (AST) meningkat tetapi biasanya tetap dibawah 500 u/mL.

Dengan nutrisi yang sesuai dan penghentian total konsumsi alkohol,

hepatitis alkoholik dapat mereda secara perlahan. Namun pada sebagian

Page 26: sirosis hepatis journal

pasien, hepatitis menetap walaupun alkohol sudah dihentikan dan

berkembang menjadi sirosis (Crawford, 2007).

Pada sirosis alkoholik umumnya tanda pertama berkaitan dengan

hipertensi porta. Selain itu pasien dapat juga datang pertama kali dengan

perdarahan varises yang membahayakan nyawa. Pada kasus yang lain secara

perlahan timbul malaise, tubuh lemah, penurunan berat badan dan hilangnya

nafsu makan yang mendahului munculnya ikterus, asites dan edema perifer.

Temuan laboratorium menunjukkan terjadinya gangguan hati dengan

peningkatan kadar aminotransferase serum, hiperbilirubinemia, peningkatan

bervariasi fosfatase alkali, hipoproteinemia (globulin, albumin dan faktor

pembekuan) dan anemia. Yang terakhir, sirosis mungkin tidak menimbulkan

gejala klinis, ditemukan hanya saat autopsi atau jika timbul stress seperti

infeksi atau trauma yang menggoyahkan keseimbangan kearah insufisiensi

hati (Crawford, 2007).

Reaksi imunologik lebih berperan dalam memulai atau menguatkan

terjadinya fibrosis yang menandai fase lanjut dari penyakit hati akibat

alkohol. Selain itu etanol sendiri atau metabolitnya dapat langsung memicu

kerusakan sel-sel hati dengan kemampuan fibrogenik (Sherlock, 1995).

Secara klasik sirosis alkoholik dari jenis mikronodular. Dengan

nekrosis dan fibrosis yang berkelanjutan, maka sirosis bisa berlanjut dari

pola mikro- ke makronodular (Sherlock, 1995).

Alkohol bisa meningkatkan kerusakan hati yang disebabkan oleh

hepatitis B. Selain itu kadang-kadang kanker sel hati berkembang dalam

sirosis alkoholik, biasanya setelah masa berhenti alkohol, sewaktu sirosis

makronodular telah berkembang. Ada hubungan erat antara hepatitis B dan

kanker yang berkembang dalam pecandu alkohol (Sherlock, 1995).