sirosis hepatis
DESCRIPTION
aaTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SIROSIS HEPATIS
Disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi NersStase Keperawatan Medikal Bedah
Oleh:Angga Alif Pradana, S. Kep.
NIM 102311101071
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2015
LAPORAN PENDAHULUANASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN SIROSIS HEPATISOleh : Angga Alif Pradana, S. Kep.
A. Definisi
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak
diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan
Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus,
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan
proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan
usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).
B. Etiologi
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi
ada dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Sirosis hepatis
adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg
pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka
diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati
sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B
lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan
memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah
alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun
peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan
parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari
Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
C. Klasifikasi
Secara klinis Sirosis hati dibagi menjadi:
1. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata
2. Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hati bedasarkan besar
kecilnya nodul, yaitu:
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit Sirosis hati
atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy Sirosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutrisional Sirosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
Sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi
sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3. Sirosis Post hepatic, Sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis.
Shiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara
khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di
sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan
infeksi (kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat
kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk
membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan
jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan
tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.
D. Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan
ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi
kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai
terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya
berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa
dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut.
Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral.
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam
ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal
demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama.
Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules,
sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan
kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa
permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa
ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi
hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis
alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya
fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif.
Septal aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
E. Tanda dan gejala
Gejala
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver
yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual,
badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan
darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi
kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi noduler serta
ploriferasi jaringan ikat yang difus.
Tanda tanda klinis
1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa
ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata
terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat
menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya
pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit
2. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites
adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema
umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
3. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati
membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan
rasa nyeri bila ditekan.
4. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang
memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.
F. Komplikasi
1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada
chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis,
biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar
berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah tukak lambung
dan tukak duodeni.
2. Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma
hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran
penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma
hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan
fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung,
tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap
asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan
disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan
duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain
ialah timbulnya defisiensi makanan
4. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada
bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi
karsinoma yang multiple
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul
pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia,
pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis,
perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita
ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam
urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin
yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada
sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang
normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan
sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar normal
albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin
yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis
protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau
lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes
faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography
(PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada
tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan
tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada
fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan
permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan
sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati
akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul
yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi
biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
H. Penatalaksanaan
1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan
demam.
2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000
kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau
III (1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori
(2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-
tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan
dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi
sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang
melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolisme protein,
dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum.
Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan
yang jelas tidak hepatotoksik.
4. Memperbaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cabang dengan glukosa.
5. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :
1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam
(200-500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat
diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan
cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat
perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan
terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis.
Walupun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan
sempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak
kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila
disertai dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan
asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun
demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis,
pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,
dapat mencetuskan ensefalopati hepatic
Hepatitis Virus Alkoholisme
Nekrosis parenkim hati
Pembentukan jaringan ikat
Kegagalan parenkim hati Hipertensi portal asites Ensefalopaty
Mual muntahPenurunan nafsu makanKelemahan otot
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Hipertensi portal
Varises esofagus
Tekanan meningkat
Pembuluh darah pecah
Hematemesismelena
Kekurangan volume cairan
Penekakan diafragma
Ruang paru menyempit
Sesak nafas
Pola nafas tidak efektif
Penurunan kesadaran
Risiko cedera
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN SIROSIS HEPATIS
Proses Keperawatan
Untuk melaksanakan asuahan keperawatan digunakan suatu pendekatan proses
keperawatan yang terdiri dari langkah - langkah ilmiah yaitu : Pengkajian,
Dampak kebutuhan dasar manusia (KDM), Diagnosa keperawatan, Intervensi,
Implementasi dan evaluasi.
A. Pengkajian
Data yang berhubungan dengan kasus sirosis hepatis perlu dikaji sebagai
berikut:
1) Biodata
(a) Identitas klien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, suku
bangsa.
(b) Identitas penanggung : Nama umur, jenis kelamin, agama, alamat suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, hubungan keluarga.
2) Riwayat kesehatan sekarang
(a) Adanya nyeri epigastrium.
(b) Gejala awal biasanya anoreksia, dispepsia, nausea, muntah, flatulen.
3) Riwayat kesehatan sebelumnya
(a) Riwayat alkohol.
(b) Riwayat merokok.
(c) Riwayat DM.
(d) Riwayat toksis dan obat
4) Aspek-aspek lain yang berhubungan misalnya pola istirahat, aspek
psikologis, sosial, dan spiritual.
5) Data-data pengkajian klien.
- Aktifitas/istirahat. Gejala : kelemahan, kelelahan, terlalu lelah. Tanda :
letargi, penurunan massa otot/tonus.
- Sirkulasi Gejala : Riwayat Gjk kronis, perikarditis, penyakit jantung,
reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati). Distrimia,
bunyi jantung ekstra (S3, S4). Dvj, vena abdomen distensi.
- Eliminasi Gejala : Flatus. Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali,
splenomegali, asites). penurunan atau tidak ada bising usus. Faeces warna
tanah liat, melena. Urin gelap, pekat.
- Makanan/cairan Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak
dapat menerima. Mual, muntah. Tanda : Penurunan berat badan atau
peningkatan cairan penggunaan jaringan. Edema umum pada jaringan.
Kulit kering. Turgor buruk. Ikterik, angioma spider. Nafas berbau/fetor
hepatikus, perdarahan gusi.
- Neuresensori Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan
keperibadian, penurunan mental. Tanda : Perubahan mental, bingung
halusinasi, koma bicara lambat/tak jelas.
- Nyeri/kenyamanan Gejala : Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas.
Pruritus Neuritis Perifer. Tanda : Perilaku berhati-hati/distraksi. Fokus
pada diri sendiri.
- Pernapasan Gejala : Dispnea Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal,
bunyi napas tambahan. Ekspansi paru terbatas (asites) Hipoksia -
Keamanan Gejala : Pruritus. Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis
alkoholik) Ikterik, ekimosis, petekia. Angioma spider/teleangiektasis,
eritema palmar.
- Seksualitas Gejala : Gangguan menstruasi/impoten. Tanda : Atrofi testis,
ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis).
- Penyuluhan/pembelajaran Gejala : Riwayat penggunaan alkohol jangka
panjang/ penyalahgunaan, penyakit hati alkoholik. Riwayat penyakit
empedu, hepatitis, terpajan pada toksin, trauma hati, perdarahan GI atas,
episode perdarahan varises esopageal, penggunaan obat yang
mempengaruhi fungsi hati. Pertimbangan : DRG menunjukkan rerata
lama dirawat : 7,2 hari. Rencana pengulangan : Mungkin memerlukan
bantuan dengan tugas perawatan/pengaturan rumah.
B. Diagnose Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat
badan
2. Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi
pada sirosis
3. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
4. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
5. Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan
mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
6. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar
serta nyeri tekan dan asites)
7. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan
edema.
8. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati
dan peningkatan kadar ammonia
9. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi
pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan
dalam rongga toraks
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
NIC Rasional
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
kelelahan dan
penurunan
berat badan
Tujuan:
Peningkatan energi
dan partisipasi
dalam aktivitas
Kriteria Hasil:
a. Melaporkan
peningkatan
a. Tawarkan diet
tinggi kalori,
tinggi protein
(TKTP).
b.Berikan
suplemen
vitamin (A, B
a. Memberikan
kalori bagi
tenaga dan
protein bagi
proses
penyembuhan.
b. Memberikan
kekuatan dan
kesehatan pasien.
b. Merencanakan
aktivitas untuk
memberikan
kesempatan
istirahat yang
cukup.
c. Meningkatkan
aktivitas dan
latihan
bersamaan
dengan
bertambahnya
kekuatan.
d. Memperlihatkan
asupan nutrien
yang adekuat
dan
menghilangkan
alkohol dari diet.
kompleks, C
dan K)
c. Motivasi pasien
untuk
melakukan
latihan yang
diselingi
istirahat
d.Motivasi dan
bantu pasien
untuk
melakukan
latihan dengan
periode waktu
yang
ditingkatkan
secara bertahap
nutrien
tambahan.
c. Menghemat
tenaga pasien
sambil
mendorong
pasien untuk
melakukan
latihan dalam
batas toleransi
pasien.
d. Memperbaiki
perasaan sehat
secara umum dan
percaya diri
Perubahan
suhu tubuh:
hipertermia
berhubungan
dengan proses
inflamasi pada
sirosis
Tujuan:
Pemeliharaan suhu
tubuh yang normal
Kriteria Hasil:
a. Melaporkan suhu
tubuh yang
normal dan tidak
terdapatnya
gejala menggigil
atau perspirasi.
a. Catat suhu
tubuh secara
teratur.
b. Motivasi asupan
cairan
c. Lakukan
kompres dingin
atau kantong es
untuk
menurunkan
a. Memberikan
dasar untuk
deteksi hati dan
evaluasi
intervensi.
b. Memperbaiki
kehilangan
cairan akibat
perspirasi serta
febris dan
b. Memperlihatkan
asupan cairan
yang adekuat.
kenaikan suhu
tubuh.
d. Berikan
antibiotik
seperti yang
diresepkan.
e. Hindari kontak
dengan infeksi.
f. Jaga agar pasien
dapat
beristirahat
sementara suhu
tubuhnya tinggi.
meningkatkan
tingkat
kenyamanan
pasien.
c. Menurunkan
panas melalui
proses konduksi
serta evaporasi,
dan
meningkatkan
tingkat
kenyaman
pasien.
d. Meningkatkan
konsentrasi
antibiotik serum
yang tepat untuk
mengatasi
infeksi.
e. Meminimalkan
resiko
peningkatan
infeksi, suhu
tubuh serta laju
metabolik.
f. Mengurangi laju
metabolik.
Gangguan
integritas kulit
yang
berhubungan
Tujuan:
Memperbaiki
integritas kulit dan
proteksi jaringan
a. Batasi natrium
seperti yang
diresepkan.
b. Berikan
a. Meminimalkan
pembentukan
edema.
b. Jaringan dan
dengan
pembentukan
edema.
yang mengalami
edema.
Kriteria Hasil:
a. Memperlihatkan
turgor kulit yang
normal pada
ekstremitas dan
batang tubun.
b. Tidak
memperlihatkan
luka pada kulit.
c. Memperlihatkan
jaringan yang
normal tanpa
gejala eritema,
perubahan warna
atau peningkatan
suhu di daerah
tonjolan tulang.
d. Mengubah posisi
dengan sering.
perhatian dan
perawatan yang
cermat pada
kulit.
c. Balik dan ubah
posisi pasien
dengan sering.
d. Timbang berat
badan dan catat
asupan serta
haluaran cairan
setiap hari.
e. Lakukan latihan
gerak secara
pasif, tinggikan
ekstremitas
edematus.
f. Letakkan
bantalan busa
yang kecil
dibawah tumit,
maleolus dan
tonjolan tulang
lainnya.
kulit yang
edematus
mengganggu
suplai nutrien
dan sangat
rentan terhadap
tekanan serta
trauma.
c. Meminimalkan
tekanan yang
lama dan
meningkatkan
mobilisasi
edema.
d. Memungkinka
n perkiraan
status cairan
dan
pemantauan
terhadap
adanya retensi
serta
kehilangan
cairan dengan
cara yang
paling baik.
e. Meningkatkan
mobilisasi
edema.
f. Melindungi
tonjolan tulang
dan
meminimalkan
trauma jika
dilakukan
dengan benar.
Perubahan
status nutrisi,
kurang dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
anoreksia dan
gangguan
gastrointestina
l.
Tujuan: Perbaikan
status nutrisi
Kriteria Hasil:
a. Memperlihatkan
asupan makanan
yang tinggi
kalori, tinggi
protein dengan
jumlah memadai.
b.Mengenali
makanan dan
minuman yang
bergizi dan
diperbolehkan
dalam diet.
c. Bertambah berat
tanpa
memperlihatkan
penambahan
edema dan
pembentukan
asites.
d.Mengenali dasar
pemikiran
mengapa pasien
a. Motivasi pasien
untuk makan
makanan dan
suplemen
makanan.
b. Tawarkan makan
makanan dengan
porsi sedikit tapi
sering.
c. Hidangkan
makanan yang
menimbulkan
selera dan
menarik dalam
penyajiannya.
d. Pantang alkohol.
e. Pelihara higiene
oral sebelum
makan.
f. Pasang ice collar
untuk mengatasi
mual.
g. Berikan obat
yang diresepkan
untuk mengatasi
a. Motivasi sangat
penting bagi
penderita
anoreksia dan
gangguan
gastrointestinal.
b. Makanan dengan
porsi kecil dan
sering lebih
ditolerir oleh
penderita
anoreksia.
c. Meningkatkan
selera makan
dan rasa sehat.
d. Menghilangkan
makanan dengan
“kalori kosong”
dan menghindari
iritasi lambung
oleh alkohol.
e. Mengurangi
citarasa yang
tidak enak dan
merangsang
harus makan
sedikit-sedikit
tapi sering.
e. Melaporkan
peningkatan
selera makan dan
rasa sehat.
f. Menyisihkan
alkohol dari
dalam diet.
g.Turut serta dalam
upaya
memelihara
higiene oral
sebelum makan
dan menghadapi
mual.
h.Menggunakna
obat kelainan
gastrointestinal
seperti yang
diresepkan.
i.Melaporkan
fungsi
gastrointestinal
yang normal
dengan defekasi
yang teratur.
j.Mengenali gejala
yang dapat
dilaporkan:
mual, muntah,
diare atau
konstipasi.
h. Motivasi
peningkatan
asupan cairan
dan latihan jika
pasien
melaporkan
konstipasi.
i. Amati gejala
yang
membuktikan
adanya
perdarahan
gastrointestinal
selera makan.
f. Dapat
mengurangi
frekuensi mual.
g. Mengurangi
gejala
gastrointestinal
dan perasaan
tidak enak pada
perut yang
mengurangi
selera makan
dan keinginan
terhadap
makanan.
h. Meningkatkan
pola defekasi
yang normal dan
mengurangi rasa
tidakenak serta
distensi pada
abdomen.
i. Mendeteksi
komplikasi
gastrointestinal
yang serius.
melena,
pendarahan yang
nyata.
Resiko cedera
berhubungan
dengan
hipertensi
portal,
perubahan
mekanisme
pembekuan
dan gangguan
dalam proses
detoksifikasi
obat.
Tujuan:
Pengurangan resiko
cedera
Kriteria Hasil:
a. Tidak
memperlihatkan
adanya
perdarahan yang
nyata dari
traktus
gastrointestinal.
b. Tidak
memperlihatkan
adanya
kegelisahan,
rasa penuh pada
epigastrium dan
indikator lain
yang
menunjukkan
hemoragi serta
syok.
c. Memperlihatkan
hasil
pemeriksaan
yang negatif
untuk
perdarahan
a. Amati setiap
feses yang
dieksresikan
untuk
memeriksa
warna,
konsistensi dan
jumlahnya.
b. Waspadai gejala
ansietas, rasa
penuh pada
epigastrium,
kelemahan dan
kegelisahan.
c. Periksa setiap
feses dan
muntahan untuk
mendeteksi
darah yang
tersembunyi.
d. Amati
manifestasi
hemoragi:
ekimosis,
epitaksis,
petekie dan
perdarahan gusi.
e. Catat tanda-
a. Memungkinkan
deteksi
perdarahan
dalam traktus
gastrointestinal.
b. Dapat
menunjukkan
tanda-tanda dini
perdarahan dan
syok.
c. Mendeteksi
tanda dini yang
membuktikan
adanya
perdarahan.
d. Menunjukkan
perubahan pada
mekanisme
pembekuan
darah.
e. Memberikan
dasar dan bukti
adanya
hipovolemia dan
syok.
f. Meminimalkan
resiko
perdarahan dan
tersembunyi
gastrointestinal.
d. Bebas dari
daerah-daerah
yang mengalami
ekimosis atau
pembentukan
hematom.
e. Memperlihatkan
tanda-tanda
vital yang
normal.
f. Mempertahanka
n istirahat dalam
keadaan tenang
ketika terjadi
perdarahan
aktif.
g. Mengenali
rasional untuk
melakukan
transfusi darah
dan tindakan
guna mengatasi
perdarahan.
h. Melakukan
tindakan untuk
mencegah
trauma
(misalnya,
menggunakan
tanda vital
dengan interval
waktu tertentu.
f. Jaga agar pasien
tenang dan
membatasi
aktivitasnya.
g. Bantu dokter
dalam
memasang
kateter untuk
tamponade
balon esofagus.
h. Lakukan
observasi
selama transfusi
darah
dilaksanakan.
i. Ukur dan catat
sifat, waktu
serta jumlah
muntahan.
j. Pertahankan
pasien dalam
keadaan puasa
jika diperlukan.
k. Berikan vitamin
K seperti yang
diresepkan.
l. Dampingi
pasien secara
mengejan.
g. Memudahkan
insersi kateter
kontraumatik
untuk mengatasi
perdarahan
dengan segera
pada pasien
yang cemas dan
melawan.
h. Memungkinkan
deteksi reaksi
transfusi (resiko
ini akan
meningkat
dengan
pelaksanaan
lebih dari satu
kali transfusi
yang diperlukan
untuk mengatasi
perdarahan aktif
dari varises
esofagus)
i. Membantu
mengevaluasi
taraf perdarahan
dan kehilangan
darah.
j. Mengurangi
resiko aspirasi
sikat gigi yang
lunak,
membuang
ingus secara
perlahan-lahan,
menghindari
terbentur serta
terjatuh,
menghindari
mengejan pada
saat defekasi).
i. Tidak
mengalami efek
samping
pemberian obat.
j. Menggunakan
semua obat
seperti yang
diresepkan.
k. Mengenali
rasional untuk
melakukan
tindakan
penjagaan
dengan
menggunakan
semua obat.
terus menerus
selama episode
perdarahan.
m. Tawarkan
minuman dingin
lewat mulut
ketika
perdarahan
teratasi (bila
diinstruksikan).
n. Lakukan
tindakan untuk
mencegah
trauma :
b. Mempertahanka
n lingkungan
yang aman.
c. Mendorong
pasien untuk
membuang
ingus secara
perlahan-lahan.
d. Menyediakan
sikat gigi yang
lunak dan
menghindari
penggunaan
tusuk gigi.
e. Mendorong
konsumsi
makanan
isi lambung dan
meminimalkan
resiko trauma
lebih lanjut pada
esofagus dan
lambung.
k. Meningkatkan
pembekuan
dengan
memberikan
vitamin larut
lemak yang
diperlukan untuk
mekanisme
pembekuan
darah.
l. Menenangkan
pasien yang
merasa cemas
dan
memungkinkan
pemantauan
serta deteksi
terhadap
kebutuhan
pasien
selanjutnya.
m. Mengurangi
resiko
perdarahan lebih
lanjut dengan
dengan
kandungan
vitamin C yang
tinggi.
f. Melakukan
kompres dingin
jika diperlukan.
g. Mencatat lokasi
tempat
perdarahan.
h. Menggunakan
jarum kecil
ketika
melakukan
penyuntikan.
a. Berikan obat
dengan hati-
hati; pantau
efek samping
pemberian obat.
meningkatkan
vasokontriksi
pembuluh darah
esofagus dan
lambung.
n. Meningkatkan
keamanan
pasien.
b. Mengurangi
resiko trauma
dan perdarahan
dengan
menghindari
cedera, terjatuh,
terpotong, dll.
c. Mengurangi
resiko epistaksis
sekunder akibat
trauma dan
penurunan
pembekuan
darah.
d. Mencegah
trauma pada
mukosa oral
sementara
higiene oral
yang baik
ditingkatkan.
e. Meningkatkan
proses
penyembuhan
f. Mengurangi
perdarahan ke
dalam jaringan
dengan
meningkatkan
vasokontriksi
lokal.
g. Memungkinkan
deteksi tempat
perdarahan yang
baru dan
pemantauan
tempat
perdarahan
sebelumnya.
h. Meminimalkan
perambesan dan
kehilangan
darah akibat
penyuntikan
yang berkali-
kali.
b. 15. Mengurangi
resiko efek
samping yang
terjadi sekunder
karena
ketidakmampua
n hati yang
rusak untuk
melakukan
detoksifikasi
(memetabolisasi
) obat secara
normal.
Daftar Pustaka
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions
Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2001-2002, NANDA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2.
(Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.