sirosis hepatis
TRANSCRIPT
1
BAB I
LANDASAN TIORI
SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI)
A. DEFINISI
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H,
2002).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus,
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses
peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).
B. KLASIFIKASI
Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:
1. Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
2. Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya
dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul,
yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:
a. Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis
makronoduler atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy
chirrosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.
2
b. Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,
chirrosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis
terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akibat setelah
menderita hepatitis.
C. ETIOLOGI
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua
penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi
chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan
berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.
Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang
bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
D. ANATOMI DAN FUNGSI HATI
1. ANATOMI HATI
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan
3
orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan
persediaan darah.
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum
teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum venosum. .
Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3
bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Hati
dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus
peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya
Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena porta hepatica yang
berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino,
monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri hepatica,
cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
2. FUNGSI HATI
Hati selain salah satu organ di badan kita yang terbesar , juga mempunyai
fungsi yang terbanyak. Fungsi dari hati dapat dilihat sebagai organ
keseluruhannya dan dapat dilihat dari sel-sel dalam hati.
a. Fungsi hati sebagai organ keseluruhannya diantaranya ialah;
1. Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit, karena semua
cairan dan garam akan melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler
lainnya.
2. Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya
pada dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar.
3. Sebagai alat saringan (filter)
4. Semua makanan dan berbagai macam substansia yang telah diserap
oleh intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.
b. Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi
1) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a) Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat,
arang, protein, lemak, empedu, Proses metabolisme akan
diuraikan sendiri
b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil
metabolisme. Hati menyimpan makanan tersebut tidak hanya
untuk kepentingannnya sendiri tetapi untuk organ lainya juga.
c) Sebagai alat sekresi untuk keperluan badan kita: diantaranya
akan mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim,
empedu.
4
d) Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik
eksogen maupun endogen yang masuk ke badan akan mengalami
detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau
konjugasi.
2) Sebagai fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi
stem retikulo endothelial.
a) Sel akan menguraikan Hb menjadi bilirubin
b) Membentuk a-globulin dan immune bodies
c) Sebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler
atau makromolekuler.
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan
ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi
sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga
yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah
porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik
dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi
ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan
parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis
dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya
fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif
ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
F. GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. GEJALA
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama
di liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan,
mual-mual, badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan
munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas).
Pada
5
chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi
noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus.
2. TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan
tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada
kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap
bilirubin.
Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel
hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein
albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites).
Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada
kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites
sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke
bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek
dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
a. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal
yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal
adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya
pada chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis,
biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna
kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan
asam lambung. Penyebab lain adalah tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Koma hepatikum
6
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat
rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma
hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran
penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma
hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan
fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma hepatikum
yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh sebab
lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-
obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar
bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan
disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan
duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain
ialah timbulnya defisiensi makanan
4. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama
pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma
yang multiple
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk
juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul
pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia,
pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis,
perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na
dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita
dengan ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang
tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi
7
sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna
cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang
ringan, kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati,
lebih lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal.
Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada
orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang
dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9
Kadar
normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38
. Jumlah albumin dan
globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut
elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin
adalah 2:1 atau lebih. 39
Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk
salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati
secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,:
pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic
Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis
akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, .
Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak
penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak
membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada
sirosis hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol
8
berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran
limpa.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000
kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III
(1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-
3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma
atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II)
untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan
kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau
meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat
mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein
yang cukup perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang
jelas tidak hepatotoksik.
4. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial
berantai cabang dengan glukosa.
5. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :
1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-
500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi.
Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan
selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan
sampai 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun
merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat
ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali
dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila disertai
dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain
9
albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun demikian untuk
mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah
garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,
dapat mencetuskan ensefalopati hepatik
10
BAB II
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian pada klien dengan chirrosis hepatis dilakukan mulai dari
pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat
keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan chirrosis hepatis :
1. Aktivitas dan istirahat :
kelemahan, kelelahan, terlalu lelah, letargi, penurunan massa
otot/tonus.
2. Sirkulasi
Riwayat Gagal jantung koroner kronis, perikarditis, penyakit
jantung, reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati),
Distrimia, bunyi jantung ekstra (S3, S4).
3. Eliminasi
Flatus, Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites),
penurunan atau tidak ada bising usus, Feces warna tanah liat, melena, urin
gelap, pekat.
4. Nutrisi
Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat menerima,
Mual, muntah, Penurunan berat badan atau peningkatan cairan
penggunaan jaringan, Edema umum pada jaringan, Kulit kering,Turgor
buruk, Ikterik, angioma spider, Nafas berbau/fetor hepatikus, perdarahan
gusi.
5. Neurosensori
Orang terdekat dapat melaporkan perubahan keperibadian,
penurunan mental, perubahan mental, bingung halusinasi, koma bicara
lambat/tak jelas.
6. Nyeri
Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas, Pruritus, Neuritis Perifer,
Perilaku berhati-hati/distraksi, Fokus pada diri sendiri.
7. Respirasi
Dispnea Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan,
Ekspansi paru terbatas (asites), Hipoksia
8. Keamanan
11
Pruritus, Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik,
ekimosis, petekia.
Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.
9. Seksualitas
Gangguan menstruasi/impoten, Atrofi testis, ginekomastia,
kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat
badan
2. Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi
pada sirosis
3. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status
imunologi yang terganggu
5. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
6. Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan
mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
7. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar
serta nyeri tekan dan asites)
8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan
edema.
9. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati
dan peningkatan kadar ammonia
10. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi
pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan
dalam rongga toraks
C. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
NOC NIC Rasional
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
kelelahan dan
penurunan
berat badan
Tujuan:
Peningkatan energi
dan partisipasi
dalam aktivitas
Kriteria Hasil:
Melaporkan
peningkatan kekuatan dan
1. Tawarkan diet tinggi
kalori, tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan
yang diselingi istirahat 4. Motivasi dan bantu
1. Memberikan kalori
bagi tenaga dan protein bagi proses
penyembuhan. 2. Memberikan nutrien
tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil
mendorong pasien untuk melakukan
12
kesehatan pasien. Merencanakan
aktivitas untuk memberikan kesempatan
istirahat yang cukup.
Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan
dengan bertambahnya
kekuatan. Memperlihatkan
asupan nutrien
yang adekuat dan menghilangkan
alkohol dari diet.
pasien untuk melakukan latihan
dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap
latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan
percaya diri
Perubahan
suhu tubuh:
hipertermia
berhubungan
dengan proses
inflamasi pada
sirosis
Tujuan:
Pemeliharaan suhu
tubuh yang normal
Kriteria Hasil:
Melaporkan suhu tubuh yang normal
dan tidak terdapatnya gejala
menggigil atau perspirasi.
Memperlihatkan
asupan cairan yang adekuat.
1. Catat suhu tubuh secara teratur.
2. Motivasi asupan cairan
3. Lakukan kompres
dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4. Berikan antibiotik seperti yang
diresepkan. 5. Hindari kontak dengan
infeksi.
6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara
suhu tubuhnya tinggi.
1. Memberikan dasar untuk deteksi hati
dan evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki
kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan
meningkatkan tingkat kenyamanan
pasien. 3. Menurunkan panas
melalui proses
konduksi serta evaporasi, dan
meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi
antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5. Meminimalkan resiko peningkatan
infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6. Mengurangi laju
metabolik.
Gangguan
integritas kulit
yang
berhubungan
dengan
pembentukan
edema.
Tujuan:
Memperbaiki
integritas kulit dan
proteksi jaringan
yang mengalami
edema.
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan
1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat
pada kulit. 3. Balik dan ubah posisi
pasien dengan sering.
4. Timbang berat badan dan catat asupan serta
haluaran cairan setiap hari.
1. Meminimalkan pembentukan
edema. 2. Jaringan dan kulit
yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat
rentan terhadap tekanan serta
trauma. 3. Meminimalkan
13
turgor kulit yang normal pada
ekstremitas dan batang tubun.
Tidak
memperlihatkan luka pada kulit.
Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa
gejala eritema, perubahan warna
atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
Mengubah posisi dengan sering.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan
ekstremitas edematus. 6. Letakkan bantalan
busa yang kecil
dibawah tumit, maleolus dan tonjolan
tulang lainnya.
tekanan yang lama dan meningkatkan
mobilisasi edema. 4. Memungkinkan
perkiraan status
cairan dan pemantauan
terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan
dengan cara yang paling baik.
5. Meningkatkan mobilisasi edema.
6. Melindungi tonjolan
tulang dan meminimalkan
trauma jika dilakukan dengan benar.
Gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan ikterus
dan status
imunologi
yang
terganggu
Tujuan:
Memperbaiki
integritas kulit dan
meminimalkan
iritasi kulit
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan kulit yang utuh
tanpa terlihat luka atau infeksi.
Melaporkan tidak adanya pruritus.
Memperlihatkan
pengurangan gejala ikterus pada kulit
dan sklera. Menggunakan
emolien dan
menghindari pemakaian sabun
dalam menjaga higiene sehari-hari.
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa
menggunakan sabun dan melakukan masase
dengan losion pelembut (emolien).
3. Jaga agar kuku pasien
selalu pendek.
1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan
evaluasi intervensi. 2. Mencegah
kekeringan kulit dan
meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan.
Perubahan
status nutrisi,
kurang dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
anoreksia dan
gangguan
Tujuan: Perbaikan
status nutrisi
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan asupan makanan
yang tinggi kalori, tinggi protein
dengan jumlah memadai.
Mengenali
makanan dan minuman yang
1. Motivasi pasien untuk
makan makanan dan suplemen makanan.
2. Tawarkan makan
makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik
dalam penyajiannya. 4. Pantang alkohol.
5. Pelihara higiene oral sebelum makan.
1. Motivasi sangat
penting bagi penderita anoreksia dan gangguan
gastrointestinal. 2. Makanan dengan
porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita
anoreksia. 3.Meningkatkan selera
makan dan rasa sehat.
14
gastrointestinal
.
bergizi dan diperbolehkan
dalam diet. Bertambah berat
tanpa
memperlihatkan penambahan
edema dan pembentukan asites.
Mengenali dasar pemikiran
mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi
sering. Melaporkan
peningkatan selera makan dan rasa sehat.
Menyisihkan alkohol dari dalam
diet. Turut serta dalam
upaya memelihara
higiene oral sebelum makan
dan menghadapi mual.
Menggunakna obat
kelainan gastrointestinal
seperti yang diresepkan.
Melaporkan fungsi
gastrointestinal yang normal
dengan defekasi yang teratur.
Mengenali gejala
yang dapat dilaporkan:
melena, pendarahan yang nyata.
6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual,
muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien
melaporkan konstipasi. 9. Amati gejala yang
membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.
4. Menghilangkan makanan dengan
“kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh
alkohol. 5. Mengurangi citarasa
yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6. Dapat mengurangi frekuensi mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak
pada perut yang mengurangi selera
makan dan keinginan terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang
normal dan mengurangi rasa tidakenak serta
distensi pada abdomen.
9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang
serius.
Resiko cedera
berhubungan
dengan
hipertensi
portal,
perubahan
mekanisme
pembekuan
dan gangguan
Tujuan:
Pengurangan
resiko cedera
Kriteria Hasil:
Tidak memperlihatkan
adanya perdarahan yang nyata dari traktus
gastrointestinal. Tidak
1. Amati setiap feses
yang dieksresikan untuk memeriksa
warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala
ansietas, rasa penuh pada epigastrium,
kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses
dan muntahan untuk mendeteksi darah yang
1. Memungkinkan
deteksi perdarahan dalam traktus
gastrointestinal. 2. Dapat menunjukkan
tanda-tanda dini
perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan
adanya perdarahan. 4. Menunjukkan
15
dalam proses
detoksifikasi
obat.
memperlihatkan adanya
kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan
indikator lain yang menunjukkan
hemoragi serta syok.
Memperlihatkan
hasil pemeriksaan yang negatif untuk
perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
Bebas dari daerah-daerah yang
mengalami ekimosis atau pembentukan
hematom. Memperlihatkan
tanda-tanda vital yang normal.
Mempertahankan
istirahat dalam keadaan tenang
ketika terjadi perdarahan aktif.
Mengenali rasional
untuk melakukan transfusi darah dan
tindakan guna mengatasi perdarahan.
Melakukan tindakan untuk
mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat
gigi yang lunak, membuang ingus
secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta
terjatuh, menghindari
mengejan pada saat defekasi).
Tidak mengalami
efek samping pemberian obat.
Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
Mengenali rasional untuk melakukan
tindakan penjagaan
tersembunyi. 4. Amati manifestasi
hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu
tertentu. 6. Jaga agar pasien
tenang dan membatasi
aktivitasnya. 7. Bantu dokter dalam
memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah
dilaksanakan. 9. Ukur dan catat sifat,
waktu serta jumlah
muntahan. 10. Pertahankan pasien
dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K
seperti yang diresepkan.
12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode
perdarahan. 13. Tawarkan minuman
dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila
diinstruksikan). 14. Lakukan tindakan
untuk mencegah trauma :
a. Mempertahankan
lingkungan yang aman.
b. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-
lahan. c. Menyediakan sikat
gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
d. Mendorong konsumsi makanan dengan
kandungan vitamin C yang tinggi.
e. Melakukan kompres
dingin jika diperlukan. f. Mencatat lokasi
tempat perdarahan.
perubahan pada mekanisme
pembekuan darah. 5. Memberikan dasar
dan bukti adanya
hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik
untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien
yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini
akan meningkat dengan pelaksanaan
lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk
mengatasi perdarahan aktif dari
varises esofagus) 9. Membantu
mengevaluasi taraf
perdarahan dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan
resiko trauma lebih lanjut pada esofagus
dan lambung. 11. Meningkatkan
pembekuan dengan
memberikan vitamin larut lemak yang
diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas
dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap
kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan
meningkatkan vasokontriksi
pembuluh darah
16
dengan menggunakan
semua obat.
g. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan
penyuntikan. 15. Berikan obat dengan
hati-hati; pantau efek
samping pemberian obat.
esofagus dan lambung.
14. Meningkatkan keamanan pasien.
a. Mengurangi resiko
trauma dan perdarahan dengan
menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.
b. Mengurangi resiko epistaksis sekunder
akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
c. Mencegah trauma pada mukosa oral
sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
d. Meningkatkan proses penyembuhan
e. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan
meningkatkan vasokontriksi lokal.
f. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang
baru dan pemantauan tempat
perdarahan sebelumnya.
g. Meminimalkan
perambesan dan kehilangan darah
akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15. Mengurangi resiko
efek samping yang terjadi sekunder
karena ketidakmampuan hati yang rusak
untuk melakukan detoksifikasi
(memetabolisasi) obat secara normal.
Nyeri kronis
berhubungan
dengan agen
injuri biologi
(hati yang
membesar
Tujuan:
Peningkatan rasa
kenyamanan
Kriteria Hasil:
Mempertahankan
tirah baring dan mengurangi
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien
mengalami gangguan rasa nyaman pada
abdomen. 2. Berikan antipasmodik
dan sedatif seperti
yang diresepkan. 3. Kurangi asupan
1. Mengurangi kebutuhan metabolik
dan melindungi hati. 2. Mengurangi
iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan
rasa nyaman pada abdomen.
17
serta nyeri
tekan dan
asites)
aktivitas ketika nyeri terasa.
Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai
indikasi dan resep yang diberikan.
Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan
gangguan rasa nyaman pada
abdomen. Melaporkan rasa
nyeri dan
gangguan rasa nyaman jika terasa.
Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai
kebutuhan hingga tingkat yang
diinstruksikan untuk mengatasi asites.
Merasakan pengurangan rasa
nyeri. Memperlihatkan
pengurangan rasa
nyeri. Memperlihatkan
pengurangan lingkar perut dan perubahan berat
badan yang sesuai.
natrium dan cairan jika diinstruksikan.
3. Memberikan dasar untuk mendeteksi
lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan
untuk mengevaluasi intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.
Kelebihan
volume cairan
berhubungan
dengan asites
dan
pembentukan
edema.
Tujuan: Pemulihan
kepada volume
cairan yang normal
Kriteria Hasil:
Mengikuti diet
rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang
diinstruksikan. Menggunakan
diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi
tanpa mengalami efek samping.
Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
Memperlihatkan pengecilan lingkar
1. Batasi asupan natrium dan cairan jika
diinstruksikan. 2. Berikan diuretik,
suplemen kalium dan
protein seperti yang dipreskripsikan.
3. Catat asupan dan haluaran cairan.
4. Ukur dan catat lingkar
perut setiap hari. 5. Jelaskan rasional
pembatasan natrium dan cairan.
1. Meminimalkan pembentukan asites
dan edema. 2. Meningkatkan
ekskresi cairan lewat
ginjal dan mempertahankan
keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan
kecukupan asupan cairan.
4. Memantau
perubahan pada pembentukan asites
dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan
pemahaman dan kerjasama pasien
18
perut. Mengidentifikasi
rasional pembatasan natrium dan cairan.
dalam menjalani dan melaksanakan
pembatasan cairan.
Perubahan
proses berpikir
berhubungan
dengan
kemunduran
fungsi hati dan
peningkatan
kadar amonia.
Tujuan: Perbaikan
status mental
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan
perbaikan status mental.
Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-
batas yang normal. Memiliki orientasi
terhadap waktu, tempat dan orang.
Melaporkan pola
tidur yang normal. Menunjukkan
perhatian terhadap
kejadian dan aktivitas di
lingkungannya. Memperlihatkan
rentang perhatian
yang normal. Mengikuti dan
turut serta dalam percakapan secara tepat.
Melaporkan kontinensia fekal
dan urin. Tidak mengalami
kejang.
1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat
dalam porsi kecil tapi sering.
3. Berikan perlindungan
terhadap infeksi. 4. Pertahankan
lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di samping
tempat tidur. 6. Batasi pengunjung. 7. Lakukan pengawasan
keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan
pasien. 8. Hindari pemakaian
preparat opiat dan barbiturat.
9. Bangunkan dengan
interval.
1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
2. Meningkatkan asupan karbohidrat
yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi
dan “mempertahankan”
protein terhadap proses pemecahannya
untuk menghasilkan tenaga.
3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan
kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan
gejala menggigil karena akan
meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada
pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan
kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan
pemantauan ketat terhadap gejala yang
baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien
yang mengalami gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan
mencegah overdosis obat yang terjadi
sekunder akibat penurunan kemampuan hati
yang rusak untuk memetabolisme
19
preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan
kesempatan untuk mengamati tingkat
kesadaran pasien.
Pola napas
yang tidak
efektif
berhubungan
dengan asites
dan restriksi
pengembangan
toraks akibat
aistes, distensi
abdomen serta
adanya cairan
dalam rongga
toraks
Tujuan: Perbaikan
status pernapasan
KriteriaHasil:
Mengalami perbaikan status pernapasan.
Melaporkan pengurangan gejala
sesak napas. Melaporkan
peningkatan tenaga
dan rasa sehat. Memperlihatkan
frekuensi respirasi
yang normal (12-18/menit) tanpa
terdengarnya suara pernapasan tambahan.
Memperlihatkan pengembangan
toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan
dangkal. Memperlihatkan
gas darah yang normal.
Tidak mengalami
gejala konfusi atau sianosis.
1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2. Hemat tenaga pasien. 3. Ubah posisi dengan
interval.
4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis
atau torakosentesis. a. Berikan dukungan dan
pertahankan posisi
selama menjalani prosedur.
b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
c. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk,
peningkatan dispnu atau frekuensi denyut
nadi.
1. Mengurangi tekanan abdominal pada
diafragma dan memungkinkan pengembangan
toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi
(pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk
mengeluarkan cairan dari rongga toraks)
merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu
pasien agar bekerja sama dalam
menjalani prosedur ini dengan meminimalkan
resiko dan gangguan rasa nyaman.
a. Menghasilkan catatan tentang cairan yang
dikeluarkan dan indikasi keterbatasan
pengembangan paru oleh cairan.
b. Menunjukkan iritasi
rongga pleura dan bukti adanya
gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau
hemotoraks (penumpukan udara
atau darah dalam rongga pleura).
20
DAFTAR PUSTAKA
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification (NIC),
Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC,
Jakarta
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St.
Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002,
NANDA Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.