sirosis hepatis

20
1 BAB I LANDASAN TIORI SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI) A. DEFINISI Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004). B. KLASIFIKASI Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi: 1. Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata 2. Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati. Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu: a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler) b. Mikronoduler (reguler, monolobuler) c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler. Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas: a. Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy chirrosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.

Upload: irwan-syah

Post on 12-Jul-2015

656 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sirosis hepatis

1

BAB I

LANDASAN TIORI

SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI)

A. DEFINISI

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui

penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium

terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H,

2002).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus

ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai

dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan

ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan

sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan

nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus,

ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses

peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha

regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).

B. KLASIFIKASI

Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:

1. Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata

2. Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang

jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis

kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya

dapat dibedakan melalui biopsi hati.

Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul,

yaitu:

a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)

b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)

c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:

a. Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis

makronoduler atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy

chirrosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.

Page 2: Sirosis hepatis

2

b. Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler,

chirrosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis

terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.

c. Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akibat setelah

menderita hepatitis.

C. ETIOLOGI

Penyebab Chirrosis Hepatis :

Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua

penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:

1. Hepatitis virus

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab

chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada

tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga

mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi

chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak

mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta

menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A

2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.

Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya

kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan

berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan

berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol.

Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang

bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.

3. Hemokromatosis

Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan

timbulnya hemokromatosis, yaitu:

a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.

b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada

penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,

kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

D. ANATOMI DAN FUNGSI HATI

1. ANATOMI HATI

Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas

rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan

Page 3: Sirosis hepatis

3

orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan

persediaan darah.

Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh

ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum

teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum venosum. .

Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3

bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Hati

dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus

peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya

Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena porta hepatica yang

berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino,

monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri hepatica,

cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

2. FUNGSI HATI

Hati selain salah satu organ di badan kita yang terbesar , juga mempunyai

fungsi yang terbanyak. Fungsi dari hati dapat dilihat sebagai organ

keseluruhannya dan dapat dilihat dari sel-sel dalam hati.

a. Fungsi hati sebagai organ keseluruhannya diantaranya ialah;

1. Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit, karena semua

cairan dan garam akan melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler

lainnya.

2. Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya

pada dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar.

3. Sebagai alat saringan (filter)

4. Semua makanan dan berbagai macam substansia yang telah diserap

oleh intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.

b. Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi

1) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:

a) Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat,

arang, protein, lemak, empedu, Proses metabolisme akan

diuraikan sendiri

b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan bahan makanan hasil

metabolisme. Hati menyimpan makanan tersebut tidak hanya

untuk kepentingannnya sendiri tetapi untuk organ lainya juga.

c) Sebagai alat sekresi untuk keperluan badan kita: diantaranya

akan mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim,

empedu.

Page 4: Sirosis hepatis

4

d) Proses detoksifikasi, dimana berbagai macam toksik baik

eksogen maupun endogen yang masuk ke badan akan mengalami

detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau

konjugasi.

2) Sebagai fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi

stem retikulo endothelial.

a) Sel akan menguraikan Hb menjadi bilirubin

b) Membentuk a-globulin dan immune bodies

c) Sebagai alat fagositosis terhadap bakteri dan elemen puskuler

atau makromolekuler.

E. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi

Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan

ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps

lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa

fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi

sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga

yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah

porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan

berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik

dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian

dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya

terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi

fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi

ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan

parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis

dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada

sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag

menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya

fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif

ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

F. GEJALA DAN TANDA KLINIS

1. GEJALA

Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama

di liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan,

mual-mual, badan lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan

munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas).

Pada

Page 5: Sirosis hepatis

5

chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi

noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus.

2. TANDA KLINIS

Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:

a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan

tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada

kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap

bilirubin.

Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel

hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama

perjalanan penyakit

b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein

albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites).

Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada

kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites

sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.

c. Hati yang membesar

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke

bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek

dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.

a. Hipertensi portal

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal

yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal

adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:

1. Perdarahan

Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya

pada chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat

perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis,

biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna

kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan

asam lambung. Penyebab lain adalah tukak lambung dan tukak duodeni.

2. Koma hepatikum

Page 6: Sirosis hepatis

6

Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat

rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma

hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran

penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma

hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan

fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan

dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma hepatikum

yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh sebab

lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-

obatan dan pengaruh substansia nitrogen.

3. Ulkus Peptikum

Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar

bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan

disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan

duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain

ialah timbulnya defisiensi makanan

4. Karsinoma Hepatoselular

Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama

pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan

berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma

yang multiple

5. Infeksi

Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk

juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul

pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia,

pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis,

perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Urine

Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila

penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na

dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan

kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.

b. Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita

dengan ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang

tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi

Page 7: Sirosis hepatis

7

sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna

cokelat atau kehitaman.

c. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang

ringan, kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan

kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.

Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal

maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni

bersamaan dengan adanya trombositopeni.

d. Tes Faal Hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati,

lebih lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal.

Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada

orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang

dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9

Kadar

normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38

. Jumlah albumin dan

globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut

elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin

adalah 2:1 atau lebih. 39

Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk

salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati

secara dini.

2. Sarana Penunjang Diagnostik

a. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,:

pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic

Porthography (PTP)

b. Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi

kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung

pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis

akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, .

Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak

penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak

membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.

c. Peritoneoskopi (laparoskopi)

Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada

sirosis hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol

Page 8: Sirosis hepatis

8

berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran

fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran

limpa.

I. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.

2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000

kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III

(1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-

3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma

atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II)

untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan

kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau

meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat

mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein

yang cukup perlu diperhatikan.

3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang

jelas tidak hepatotoksik.

4. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial

berantai cabang dengan glukosa.

5. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang

mengandung alkohol.

Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :

1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-

500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi.

Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan

selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.

2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan

diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan

sampai 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.

3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi

medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun

merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat

ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali

dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila disertai

dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain

Page 9: Sirosis hepatis

9

albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun demikian untuk

mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah

garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.

4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1

kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,

dapat mencetuskan ensefalopati hepatik

Page 10: Sirosis hepatis

10

BAB II

KONSEP DASAR

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengkajian pada klien dengan chirrosis hepatis dilakukan mulai dari

pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat

keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.

Hal yang perlu dikaji pada klien degan chirrosis hepatis :

1. Aktivitas dan istirahat :

kelemahan, kelelahan, terlalu lelah, letargi, penurunan massa

otot/tonus.

2. Sirkulasi

Riwayat Gagal jantung koroner kronis, perikarditis, penyakit

jantung, reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati),

Distrimia, bunyi jantung ekstra (S3, S4).

3. Eliminasi

Flatus, Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites),

penurunan atau tidak ada bising usus, Feces warna tanah liat, melena, urin

gelap, pekat.

4. Nutrisi

Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat menerima,

Mual, muntah, Penurunan berat badan atau peningkatan cairan

penggunaan jaringan, Edema umum pada jaringan, Kulit kering,Turgor

buruk, Ikterik, angioma spider, Nafas berbau/fetor hepatikus, perdarahan

gusi.

5. Neurosensori

Orang terdekat dapat melaporkan perubahan keperibadian,

penurunan mental, perubahan mental, bingung halusinasi, koma bicara

lambat/tak jelas.

6. Nyeri

Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas, Pruritus, Neuritis Perifer,

Perilaku berhati-hati/distraksi, Fokus pada diri sendiri.

7. Respirasi

Dispnea Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan,

Ekspansi paru terbatas (asites), Hipoksia

8. Keamanan

Page 11: Sirosis hepatis

11

Pruritus, Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik,

ekimosis, petekia.

Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.

9. Seksualitas

Gangguan menstruasi/impoten, Atrofi testis, ginekomastia,

kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat

badan

2. Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi

pada sirosis

3. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.

4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status

imunologi yang terganggu

5. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

6. Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan

mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.

7. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar

serta nyeri tekan dan asites)

8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan

edema.

9. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati

dan peningkatan kadar ammonia

10. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi

pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan

dalam rongga toraks

C. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa

Keperawatan

Rencana Keperawatan

NOC NIC Rasional

Intoleransi

aktivitas

berhubungan

dengan

kelelahan dan

penurunan

berat badan

Tujuan:

Peningkatan energi

dan partisipasi

dalam aktivitas

Kriteria Hasil:

Melaporkan

peningkatan kekuatan dan

1. Tawarkan diet tinggi

kalori, tinggi protein (TKTP).

2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)

3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan

yang diselingi istirahat 4. Motivasi dan bantu

1. Memberikan kalori

bagi tenaga dan protein bagi proses

penyembuhan. 2. Memberikan nutrien

tambahan.

3. Menghemat tenaga pasien sambil

mendorong pasien untuk melakukan

Page 12: Sirosis hepatis

12

kesehatan pasien. Merencanakan

aktivitas untuk memberikan kesempatan

istirahat yang cukup.

Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan

dengan bertambahnya

kekuatan. Memperlihatkan

asupan nutrien

yang adekuat dan menghilangkan

alkohol dari diet.

pasien untuk melakukan latihan

dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap

latihan dalam batas toleransi pasien.

4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan

percaya diri

Perubahan

suhu tubuh:

hipertermia

berhubungan

dengan proses

inflamasi pada

sirosis

Tujuan:

Pemeliharaan suhu

tubuh yang normal

Kriteria Hasil:

Melaporkan suhu tubuh yang normal

dan tidak terdapatnya gejala

menggigil atau perspirasi.

Memperlihatkan

asupan cairan yang adekuat.

1. Catat suhu tubuh secara teratur.

2. Motivasi asupan cairan

3. Lakukan kompres

dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.

4. Berikan antibiotik seperti yang

diresepkan. 5. Hindari kontak dengan

infeksi.

6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara

suhu tubuhnya tinggi.

1. Memberikan dasar untuk deteksi hati

dan evaluasi intervensi.

2. Memperbaiki

kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan

meningkatkan tingkat kenyamanan

pasien. 3. Menurunkan panas

melalui proses

konduksi serta evaporasi, dan

meningkatkan tingkat kenyaman pasien.

4. Meningkatkan konsentrasi

antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.

5. Meminimalkan resiko peningkatan

infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.

6. Mengurangi laju

metabolik.

Gangguan

integritas kulit

yang

berhubungan

dengan

pembentukan

edema.

Tujuan:

Memperbaiki

integritas kulit dan

proteksi jaringan

yang mengalami

edema.

Kriteria Hasil:

Memperlihatkan

1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.

2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat

pada kulit. 3. Balik dan ubah posisi

pasien dengan sering.

4. Timbang berat badan dan catat asupan serta

haluaran cairan setiap hari.

1. Meminimalkan pembentukan

edema. 2. Jaringan dan kulit

yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat

rentan terhadap tekanan serta

trauma. 3. Meminimalkan

Page 13: Sirosis hepatis

13

turgor kulit yang normal pada

ekstremitas dan batang tubun.

Tidak

memperlihatkan luka pada kulit.

Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa

gejala eritema, perubahan warna

atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.

Mengubah posisi dengan sering.

5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan

ekstremitas edematus. 6. Letakkan bantalan

busa yang kecil

dibawah tumit, maleolus dan tonjolan

tulang lainnya.

tekanan yang lama dan meningkatkan

mobilisasi edema. 4. Memungkinkan

perkiraan status

cairan dan pemantauan

terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan

dengan cara yang paling baik.

5. Meningkatkan mobilisasi edema.

6. Melindungi tonjolan

tulang dan meminimalkan

trauma jika dilakukan dengan benar.

Gangguan

integritas kulit

berhubungan

dengan ikterus

dan status

imunologi

yang

terganggu

Tujuan:

Memperbaiki

integritas kulit dan

meminimalkan

iritasi kulit

Kriteria Hasil:

Memperlihatkan kulit yang utuh

tanpa terlihat luka atau infeksi.

Melaporkan tidak adanya pruritus.

Memperlihatkan

pengurangan gejala ikterus pada kulit

dan sklera. Menggunakan

emolien dan

menghindari pemakaian sabun

dalam menjaga higiene sehari-hari.

1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.

2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa

menggunakan sabun dan melakukan masase

dengan losion pelembut (emolien).

3. Jaga agar kuku pasien

selalu pendek.

1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan

evaluasi intervensi. 2. Mencegah

kekeringan kulit dan

meminimalkan pruritus.

3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan.

Perubahan

status nutrisi,

kurang dari

kebutuhan

tubuh

berhubungan

dengan

anoreksia dan

gangguan

Tujuan: Perbaikan

status nutrisi

Kriteria Hasil:

Memperlihatkan asupan makanan

yang tinggi kalori, tinggi protein

dengan jumlah memadai.

Mengenali

makanan dan minuman yang

1. Motivasi pasien untuk

makan makanan dan suplemen makanan.

2. Tawarkan makan

makanan dengan porsi sedikit tapi sering.

3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik

dalam penyajiannya. 4. Pantang alkohol.

5. Pelihara higiene oral sebelum makan.

1. Motivasi sangat

penting bagi penderita anoreksia dan gangguan

gastrointestinal. 2. Makanan dengan

porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita

anoreksia. 3.Meningkatkan selera

makan dan rasa sehat.

Page 14: Sirosis hepatis

14

gastrointestinal

.

bergizi dan diperbolehkan

dalam diet. Bertambah berat

tanpa

memperlihatkan penambahan

edema dan pembentukan asites.

Mengenali dasar pemikiran

mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi

sering. Melaporkan

peningkatan selera makan dan rasa sehat.

Menyisihkan alkohol dari dalam

diet. Turut serta dalam

upaya memelihara

higiene oral sebelum makan

dan menghadapi mual.

Menggunakna obat

kelainan gastrointestinal

seperti yang diresepkan.

Melaporkan fungsi

gastrointestinal yang normal

dengan defekasi yang teratur.

Mengenali gejala

yang dapat dilaporkan:

melena, pendarahan yang nyata.

6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.

7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual,

muntah, diare atau konstipasi.

8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien

melaporkan konstipasi. 9. Amati gejala yang

membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.

4. Menghilangkan makanan dengan

“kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh

alkohol. 5. Mengurangi citarasa

yang tidak enak dan merangsang selera makan.

6. Dapat mengurangi frekuensi mual.

7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak

pada perut yang mengurangi selera

makan dan keinginan terhadap makanan.

8. Meningkatkan pola defekasi yang

normal dan mengurangi rasa tidakenak serta

distensi pada abdomen.

9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang

serius.

Resiko cedera

berhubungan

dengan

hipertensi

portal,

perubahan

mekanisme

pembekuan

dan gangguan

Tujuan:

Pengurangan

resiko cedera

Kriteria Hasil:

Tidak memperlihatkan

adanya perdarahan yang nyata dari traktus

gastrointestinal. Tidak

1. Amati setiap feses

yang dieksresikan untuk memeriksa

warna, konsistensi dan jumlahnya.

2. Waspadai gejala

ansietas, rasa penuh pada epigastrium,

kelemahan dan kegelisahan.

3. Periksa setiap feses

dan muntahan untuk mendeteksi darah yang

1. Memungkinkan

deteksi perdarahan dalam traktus

gastrointestinal. 2. Dapat menunjukkan

tanda-tanda dini

perdarahan dan syok.

3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan

adanya perdarahan. 4. Menunjukkan

Page 15: Sirosis hepatis

15

dalam proses

detoksifikasi

obat.

memperlihatkan adanya

kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan

indikator lain yang menunjukkan

hemoragi serta syok.

Memperlihatkan

hasil pemeriksaan yang negatif untuk

perdarahan tersembunyi gastrointestinal.

Bebas dari daerah-daerah yang

mengalami ekimosis atau pembentukan

hematom. Memperlihatkan

tanda-tanda vital yang normal.

Mempertahankan

istirahat dalam keadaan tenang

ketika terjadi perdarahan aktif.

Mengenali rasional

untuk melakukan transfusi darah dan

tindakan guna mengatasi perdarahan.

Melakukan tindakan untuk

mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat

gigi yang lunak, membuang ingus

secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta

terjatuh, menghindari

mengejan pada saat defekasi).

Tidak mengalami

efek samping pemberian obat.

Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.

Mengenali rasional untuk melakukan

tindakan penjagaan

tersembunyi. 4. Amati manifestasi

hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.

5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu

tertentu. 6. Jaga agar pasien

tenang dan membatasi

aktivitasnya. 7. Bantu dokter dalam

memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.

8. Lakukan observasi selama transfusi darah

dilaksanakan. 9. Ukur dan catat sifat,

waktu serta jumlah

muntahan. 10. Pertahankan pasien

dalam keadaan puasa jika diperlukan.

11. Berikan vitamin K

seperti yang diresepkan.

12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode

perdarahan. 13. Tawarkan minuman

dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila

diinstruksikan). 14. Lakukan tindakan

untuk mencegah trauma :

a. Mempertahankan

lingkungan yang aman.

b. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-

lahan. c. Menyediakan sikat

gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.

d. Mendorong konsumsi makanan dengan

kandungan vitamin C yang tinggi.

e. Melakukan kompres

dingin jika diperlukan. f. Mencatat lokasi

tempat perdarahan.

perubahan pada mekanisme

pembekuan darah. 5. Memberikan dasar

dan bukti adanya

hipovolemia dan syok.

6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.

7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik

untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien

yang cemas dan melawan.

8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini

akan meningkat dengan pelaksanaan

lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk

mengatasi perdarahan aktif dari

varises esofagus) 9. Membantu

mengevaluasi taraf

perdarahan dan kehilangan darah.

10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan

resiko trauma lebih lanjut pada esofagus

dan lambung. 11. Meningkatkan

pembekuan dengan

memberikan vitamin larut lemak yang

diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.

12. Menenangkan pasien yang merasa cemas

dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap

kebutuhan pasien selanjutnya.

13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan

meningkatkan vasokontriksi

pembuluh darah

Page 16: Sirosis hepatis

16

dengan menggunakan

semua obat.

g. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan

penyuntikan. 15. Berikan obat dengan

hati-hati; pantau efek

samping pemberian obat.

esofagus dan lambung.

14. Meningkatkan keamanan pasien.

a. Mengurangi resiko

trauma dan perdarahan dengan

menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.

b. Mengurangi resiko epistaksis sekunder

akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.

c. Mencegah trauma pada mukosa oral

sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.

d. Meningkatkan proses penyembuhan

e. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan

meningkatkan vasokontriksi lokal.

f. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang

baru dan pemantauan tempat

perdarahan sebelumnya.

g. Meminimalkan

perambesan dan kehilangan darah

akibat penyuntikan yang berkali-kali.

15. Mengurangi resiko

efek samping yang terjadi sekunder

karena ketidakmampuan hati yang rusak

untuk melakukan detoksifikasi

(memetabolisasi) obat secara normal.

Nyeri kronis

berhubungan

dengan agen

injuri biologi

(hati yang

membesar

Tujuan:

Peningkatan rasa

kenyamanan

Kriteria Hasil:

Mempertahankan

tirah baring dan mengurangi

1. Pertahankan tirah baring ketika pasien

mengalami gangguan rasa nyaman pada

abdomen. 2. Berikan antipasmodik

dan sedatif seperti

yang diresepkan. 3. Kurangi asupan

1. Mengurangi kebutuhan metabolik

dan melindungi hati. 2. Mengurangi

iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan

rasa nyaman pada abdomen.

Page 17: Sirosis hepatis

17

serta nyeri

tekan dan

asites)

aktivitas ketika nyeri terasa.

Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai

indikasi dan resep yang diberikan.

Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan

gangguan rasa nyaman pada

abdomen. Melaporkan rasa

nyeri dan

gangguan rasa nyaman jika terasa.

Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai

kebutuhan hingga tingkat yang

diinstruksikan untuk mengatasi asites.

Merasakan pengurangan rasa

nyeri. Memperlihatkan

pengurangan rasa

nyeri. Memperlihatkan

pengurangan lingkar perut dan perubahan berat

badan yang sesuai.

natrium dan cairan jika diinstruksikan.

3. Memberikan dasar untuk mendeteksi

lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan

untuk mengevaluasi intervensi.

4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.

Kelebihan

volume cairan

berhubungan

dengan asites

dan

pembentukan

edema.

Tujuan: Pemulihan

kepada volume

cairan yang normal

Kriteria Hasil:

Mengikuti diet

rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang

diinstruksikan. Menggunakan

diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi

tanpa mengalami efek samping.

Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.

Memperlihatkan pengecilan lingkar

1. Batasi asupan natrium dan cairan jika

diinstruksikan. 2. Berikan diuretik,

suplemen kalium dan

protein seperti yang dipreskripsikan.

3. Catat asupan dan haluaran cairan.

4. Ukur dan catat lingkar

perut setiap hari. 5. Jelaskan rasional

pembatasan natrium dan cairan.

1. Meminimalkan pembentukan asites

dan edema. 2. Meningkatkan

ekskresi cairan lewat

ginjal dan mempertahankan

keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.

3. Menilai efektivitas terapi dan

kecukupan asupan cairan.

4. Memantau

perubahan pada pembentukan asites

dan penumpukan cairan.

5. Meningkatkan

pemahaman dan kerjasama pasien

Page 18: Sirosis hepatis

18

perut. Mengidentifikasi

rasional pembatasan natrium dan cairan.

dalam menjalani dan melaksanakan

pembatasan cairan.

Perubahan

proses berpikir

berhubungan

dengan

kemunduran

fungsi hati dan

peningkatan

kadar amonia.

Tujuan: Perbaikan

status mental

Kriteria Hasil:

Memperlihatkan

perbaikan status mental.

Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-

batas yang normal. Memiliki orientasi

terhadap waktu, tempat dan orang.

Melaporkan pola

tidur yang normal. Menunjukkan

perhatian terhadap

kejadian dan aktivitas di

lingkungannya. Memperlihatkan

rentang perhatian

yang normal. Mengikuti dan

turut serta dalam percakapan secara tepat.

Melaporkan kontinensia fekal

dan urin. Tidak mengalami

kejang.

1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.

2. Berikan makanan sumber karbohidrat

dalam porsi kecil tapi sering.

3. Berikan perlindungan

terhadap infeksi. 4. Pertahankan

lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.

5. Pasang bantalan pada penghalang di samping

tempat tidur. 6. Batasi pengunjung. 7. Lakukan pengawasan

keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan

pasien. 8. Hindari pemakaian

preparat opiat dan barbiturat.

9. Bangunkan dengan

interval.

1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).

2. Meningkatkan asupan karbohidrat

yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi

dan “mempertahankan”

protein terhadap proses pemecahannya

untuk menghasilkan tenaga.

3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan

kebutuhan metabolik lebih lanjut.

4. Meminimalkan

gejala menggigil karena akan

meningkatkan kebutuhan metabolik.

5. Memberikan perlindungan kepada

pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.

6. Meminimalkan aktivitas pasien dan

kebutuhan metaboliknya.

7. Melakukan

pemantauan ketat terhadap gejala yang

baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien

yang mengalami gejala konfusi.

8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan

mencegah overdosis obat yang terjadi

sekunder akibat penurunan kemampuan hati

yang rusak untuk memetabolisme

Page 19: Sirosis hepatis

19

preparat narkotik dan barbiturat.

9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan

kesempatan untuk mengamati tingkat

kesadaran pasien.

Pola napas

yang tidak

efektif

berhubungan

dengan asites

dan restriksi

pengembangan

toraks akibat

aistes, distensi

abdomen serta

adanya cairan

dalam rongga

toraks

Tujuan: Perbaikan

status pernapasan

KriteriaHasil:

Mengalami perbaikan status pernapasan.

Melaporkan pengurangan gejala

sesak napas. Melaporkan

peningkatan tenaga

dan rasa sehat. Memperlihatkan

frekuensi respirasi

yang normal (12-18/menit) tanpa

terdengarnya suara pernapasan tambahan.

Memperlihatkan pengembangan

toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan

dangkal. Memperlihatkan

gas darah yang normal.

Tidak mengalami

gejala konfusi atau sianosis.

1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.

2. Hemat tenaga pasien. 3. Ubah posisi dengan

interval.

4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis

atau torakosentesis. a. Berikan dukungan dan

pertahankan posisi

selama menjalani prosedur.

b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.

c. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk,

peningkatan dispnu atau frekuensi denyut

nadi.

1. Mengurangi tekanan abdominal pada

diafragma dan memungkinkan pengembangan

toraks dan ekspansi paru yang maksimal.

2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.

3. Meningkatkan ekspansi

(pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).

4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk

mengeluarkan cairan dari rongga toraks)

merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu

pasien agar bekerja sama dalam

menjalani prosedur ini dengan meminimalkan

resiko dan gangguan rasa nyaman.

a. Menghasilkan catatan tentang cairan yang

dikeluarkan dan indikasi keterbatasan

pengembangan paru oleh cairan.

b. Menunjukkan iritasi

rongga pleura dan bukti adanya

gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau

hemotoraks (penumpukan udara

atau darah dalam rongga pleura).

Page 20: Sirosis hepatis

20

DAFTAR PUSTAKA

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification (NIC),

Mosby Year-Book, St. Louis

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC,

Jakarta

Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St.

Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002,

NANDA Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.