silikosis

29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan. Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempengaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang timbul dari proses industri. 1 Silikosis merupakan penyakit fibrotik paru yang fatal, ireversibel, dimana debu silika dapat terus-menerus terhirup oleh saluran pernafasan. 2 Silikosis termasuk salah satu contoh dari penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artificial atau man mad disease. 1-3 Faktor penyebab penyakit akibat kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara lain: 1. Golongan fisik, seperti: suara (bising), radiasi, suhu (panas atau dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik. 2. Golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan

Upload: widyailmiaty

Post on 26-Dec-2015

169 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

referat silikosis

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.

Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja

sehingga mempengaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan

paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang

timbul dari proses industri.1

Silikosis merupakan penyakit fibrotik paru yang fatal, ireversibel, dimana

debu silika dapat terus-menerus terhirup oleh saluran pernafasan.2 Silikosis

termasuk salah satu contoh dari penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja

adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses

maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan

penyakit yang artificial atau man mad disease.1-3

Faktor penyebab penyakit akibat kerja sangat banyak, tergantung pada

bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja.

Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara

lain:

1. Golongan fisik, seperti: suara (bising), radiasi, suhu (panas atau dingin),

tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.

2. Golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja,

maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap,

gas, larutan, awan atau kabut).

3. Golongan biologis (bakteri, virus, atau jamur).

4. Golongan fisiologis (biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan

cara kerja).

5. Golongan psikososial (lingkungan kerja yang mengakibatkan stres).

Berbagai penyakit paru saat ini merupakan masalah kesehatan

masyarakat. Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun non tuberkulosis, asma dan

penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit paru akibat

kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang punya dampak luas di

masyarakat. Khusus Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih

menyebabkan morbiditas, demikian pula dengan silikosis, asma bronkial dan

penyakit paru obstruktif. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1980

menunjukkan bahwa hampir sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan

oleh penyakit paru. Pada survei berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata

meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan survei kesehatan rumah

tangga nasional terbaru ini menyatakan bahwa satu di antara tiga kematian di

Indonesia disebabkan oleh penyakit paru.

Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi

yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut

International Labor Organization (ILO), setiap hari terjadi 1,1 juta kematian yang

disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan.

Dari data ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan

pekerjaan paling banyak disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat

kecelakaan sebanyak 25 %, penyakit saluran pernapasaan 21%, dan penyakit

kardiovaskuler 15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit

saluran pernapasaan menempati peringkat ketiga.

Sebagai tenaga kesehatan, harus melakukan pengkajian terhadap

pasien dan apakah ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan

pekerjaan mereka. Sehingga dapat ditentukan perencanaan serta intervensi

yang tepat untuk pasien agar hasil yang diperoleh dapat maksimal dan benar-

benar bermanfaat untuk pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi silikosis?

2. Apa penyebab silikosis?

3. Apa patogenesis silikosis?

4. Apa jenis silikosis?

5. Apa manifestasi klinis?

6. Bagaimana cara penegakan diagnosis silikosis?

7. Bagaimana penatalaksanaan silikosis

8. Bagaimana pengobatan silikosis?

9. Bagaimana pencegahan silikosis?

1.3  Tujuan

1. Mengetahui definisi silikosis

2. Mengetahui penyebab silikosis

3. Mengetahui patogenesis silikosis

4. Mengetahui jenis silikosis

5. Mengetahui manifestasi klinis

6. Mengetahui cara penegakan diagnosis silikosis

7. Mengetahui penatalaksanaan silikosis

8. Mengetahui pengobatan silikosis

9. Mengetahui pencegahan silikosis

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Silikosis dikenal juga dengan istilah miner's phthisis, grinder's asthma,

potter's rot, merupakan bentuk penyakit paru akibat pekerjaan yang disebabkan

karena menghirup debu silika secara kronik dan ditandai dengan adanya

inflamasi dan pembentukan jaringan parut dari lesi nodular pada lobus paru

bagian atas. Silikosis merupakan salah satu jenis dari pneumokoniosis.1-4

Hipokrates menguraikan kondisi “breathlessness” pada buruh tambang,

dan pada tahun 1690, Lohneiss menyebutkan tentang “the dust and stones fall

upon the lungs, the men have lung disease, breathe with difficulty.” Bernardo

Ramazzini mengistilahkan dengan “miners’ phthisis”. Penyakit paru akibat debu

ini telah dikenali dengan berbagai nama, seperti “miners’ phthisis,” “dust

consumption,” “mason’s disease,” “grinders’ asthma,” “potters’ rot,” dan

“stonecutters’ disease.” Secara keseluruhan diistilahkan dengan silikosis.2

Peacock dan Greenhow melaporkan tentang adanya debu silika pada

paru buruh tambang pada tahun 1860, dan 10 tahun kemudian, Visconti

menggunakan istilah “silikosis” untuk menjelaskan penyakit yang disebabkan

oleh pemaparan inhalasi terhadap silex. Pengenalan masalah pernafasan akibat

debu terjadi pada orang Yunani dan Romawi kuno. Agricola, pada pertengahan

abad ke-16, menuliskan tentang masalah paru dari inhalasi debu pada buruh

tambang. Pada tahun 1713, Bernardino Ramazzini menyebutkan tentang gejala-

gejala asmatik dan adanya substansi seperti pasar pada paru dari pekerja stone

cutters. Seiring dengan era industrialisasi, terjadi peningkatan produksi debu.

Pneumatic hammer drill diperkenalkan pada tahun 1897 sandblasting

diperkenalkan pada tahun 1904, keduanya berperan pada peningkatan

prevalensi silikosis.2

2.2 Komponen Kimiawi

Silikon dioksida (silika, SiO2) merupakan senyawa yang umum ditemui

dalam kehidupan sehari-hari dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri

elektronik. Silikon dioksida kristalin dapat ditemukan dalam berbagai bentuk yaitu

sebagai quartz, tridymite, dan cristobalit.2 Sejak tahun 2000, debu quartz

diketahui bersifat karsinogen bagi manusia yang ditetapkan oleh International

Agency for Research on Cancer (IARC).4 Silika memiliki dua bentuk spesifik dan

jelas: amorphous and crystalline (seperti dijelaskan pada Tabel 2.1 dan Tabel

2.2).2

Tabel 2.1 Sinonim dari Crystalline Silica2

Tabel 2.2 Sinonim dari Amorphous Silica2

Silika merupakan struktur yang tersusun dari silikon dioksida yang

berikatan dengan kation seperti magnesium, aluminum, atau iron. Contoh dari

silika meliputi mica, soapstone, talc tremolite, Portland Cement, dan lainnya.

Opal, diatomaceous earth (tripolite), silica-rich fiberglass, fume silica, mineral

wool, dan silica glass (vitreous silica) merupakan bentuk umum dari amorphous

silica. Bentuk lain dari amorphous silica dijelaskan pada Tabel 2.3. Debu yang

mengandung amorphous silica, dengan pengecualian fiberglass, biasanya tidak

membahayakan manusia. Quartz, cristobalite, dan beberapa bentuk tridymite

bersifat piezoelectric. Piezoelectricity merupakan komponen yang menghasilkan

aliran elektrik yang berkebalikan dari struktur fisik ketika diberikan tekanan

secara langsung pada kristal. Fenomena tersebut terjadi pada crystalline silica

karena struktur kimianya tidak memiliki pusat, yang menggambarkan inversion

symmetry. Sebagai tambahan, sisi yang berlawanan dari kristal ini memiliki

permukaan yang tidak sama dan menghasilkan aliran elektrik yang berlawanan.

Hal ini yang menjadi teori bahwa karakteristik piezoelectric memegang peranan

penting pada patofisiologi penyakit yang berhubungan dengan silika akibat

pembentukan radikal bebas oksigen yang dihasilkan dari permukaan molekul

silika dan menyebabkan kerusakan makrofag alveolar akibat silika.2

Kelompok Silanol (SiOH) pada permukaan partikel silika dapat

membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok oksigen dan nitrogen yang

ditemukan pada membran sel biologis, yang dapat menyebabkan hilangnya

struktur membran, kebocoran lisosomal, dan kerusakan jaringan. Proses ini

berperan pada pembentukan jaringan parut paru. Data eksperimental

menyebutkan bahwa materi-materi yang memiliki potensi fibrogenik yang jelas:

tridymite > cristobalite > quartz.2

2.3 Penyebab

Silikosis biasanya disebabkan oleh pemaparan partikel debu yang

berukuran kurang dari 10 mikrometer. Silika merupakan mineral yang menyusun

kerak bumi. Silika dapat ditemukan pada pasir, batu, dan bijih besi mineral.4

Inhlasai debu yang mengandung crystalline silica dapat sangat berbahaya bagi

kesehatan manusia dan sering menyebabkan kematian jika tindakan

pencegahan tidak dilakukan. Pemaparan partikel silika dapat terjadi pada bidang

kerja penambangan, pengeboran, dan peledakan pasir, seperti yang dijelaskan

pada Tabel 2.3.2

Tabel 2.3 Bidang Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pemaparan Silika2

Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi

pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas

sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul

dalam waktu kurang dari 10 tahun.2

Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru-paru dan sel pembersih

(misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel

pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru.

Pada awalnya, daerah parut ini hanya merupakan bungkahan bulat yang

tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya, mereka bergabung menjadi massa

yang besar (silikosis konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan

oksigen ke dalam darah secara normal. Paru-paru menjadi kurang lentur dan

penderita mengalami gangguan pernafasan.4

2.4 Riwayat Penyakit

2.4.1 Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Debu adalah aerosol yang tersusun dari partikel-partikel padat yang

bukan termasuk benda hidup. Respons jaringan tubuh seseorang terhadap debu

yang terinhalasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat fisik, kimia dan

faktor pejamu. Efek debu terhadap paru dipengaruhi oleh tingkat pajanan debu.

Tingkat pajanan debu ditentukan oleh kadar debu rata-rata di udara dan waktu

pajanan terhadap debu tersebut.1

1. Sifat fisik

Beberapa sifat fisik agen atau bahan yang terinhalasi sangat

mempengaruhi respons jaringan paru. Keadaan fisik seperti bentuk partikel

uap atau gas, ukuran dan densitas partikel, bentuk dan kemampuan

penetrasi mempengaruhi sifat migrasi dan reaksi tubuh. Sifat kelarutan

partikel juga berpengaruh, contohnya partikel tidak larut seperti asbestos dan

silika menyebabkan reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti mangan

dan berrylium mempunyai efek sistemik. Gas dan uap yang relatif tidak larut

seperti nitrogen oksida terinhalasi sampai saluran napas kecil sedangkan

yang larut seperti amonia dan sulfur dioksida seringkali mengendap di

hidung dan nasofaring. Sifat higroskopis partikel meningkatkan ukurannya

bila melalui saluran napas bawah. Sifat elektriksitas partikel juga

menentukan letak deposisi di saluran napas.1

2. Sifat Kimia

Beberapa sifat kimia yang penting adalah sifat asam atau basa,

interaksi atau ikatan dengan substansi lain, sifat fibrogenisitas dan sifat

antigenisitas. Sifat asam atau basa suatu bahan berhubungan dengan efek

toksik pada silia, sel-sel dan enzim. Beberapa bahan mempunyai

kecenderungan berinteraksi dengan substansi dalam paru dan jaringan.

Karbonmonoksida dan asam sianida mempunyai efek sistemik sedangkan

komponen fluorin mungkin mempunyai efek lokal dan sistemik. Sifat

fibrogenisitas merupakan sifat suatu bahan menimbulkan fibrosis jaringan.

Debu fibrogenik adalah debu yang dapat menimbulkan reaksi jaringan paru

(fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan asbes. Contoh debu

nonfibrogenik adalah debu besi, kapur, karbon dan timah. Sifat antigenisitas

merupakan sifat bahan untuk dapat merangsang antibodi, contohnya spora

jamur bila terinhalasi dapat merangsang respons imunologi.1

3. Faktor Pejamu (host)

Faktor pejamu (host) berperan penting pada respons jaringan

terhadap agen atau bahan terinhalasi. Gangguan sistem pertahanan paru

alami seperti kelainan genetik akan mengganggu kerja silia, kecepatan

bersihan dan fungsi makrofag. Kecepatan dan rerata bersihan adalah

karakteristik bawaan. Gangguan sistem pertahanan paru didapat contohnya

karena obat-obatan, asap rokok, temperatur dan alkohol mempengaruhi

fungsi silia dan fungsi makrofag. Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas

dan paru mempengaruhi pola pernapasan yang pada akhirnya

mempengaruhi deposisi agen atau bahan terinhalasi. Keadaan imunologi

contohnya alergi atau atopi mempengaruhi respons terhadap suatu agen.1

2.4.2 Mekanisme Deposisi Partikel di Saluran Napas

Tingkat deposisi partikel seperti debu di saluran napas dan paru

dipengaruhi oleh konsentrasi debu, ukuran debu, waktu pajanan, rerata

pernapasan dan volume tidal. Konsentrasi debu yang berhubungan dengan

silikosis diperkirakan >5000o/cc udara. Debu yang mudah dihirup berukuran 0,1

sampai 10 mikron. Deposisi partikel debu di saluran napas dan paru terjadi

melalui mekanisme impaksi, sedimentasi dan difusi atau gerak Brown.1

1. Impaksi

Mekanisme impaksi adalah kecenderungan partikel tidak dapat

berubah arah pada percabangan saluran napas. Akibat hal tersebut banyak

partikel tertahan di mukosa hidung, faring ataupun percabangan saluran

napas besar. Sebagian besar partikel berukuran lebih besar dari 5 mm

tertahan di nasofaring. Mekanisme impaksi juga terjadi bila partikel tertahan

di percabangan bronkus karena tidak bisa berubah arah.1

2. Sedimentasi

Sedimentasi adalah deposisi partikel secara bertahap sesuai

dengan berat partikel terutama berlaku untuk partikel berukuran sedang (1-5

mm). Umumnya partikel tertahan di saluran napas kecil seperti bronkiolus

terminal dan bronkiolus respiratorius. Debu ukuran 3-5 mikron akan

menempel pada mukosa bronkioli sedangkan ukuran 1-3 mikron (debu

respirabel) akan langsung ke permukaan alveoli paru. Mekanisme terjadi

karena kecepatan aliran udara sangat berkurang pada saluran napas

tengah. Sekitar 90% dari konsentrasi 1000 partikel per cc akan dikeluarkan

dari alveoli, 10% sisanya diretensi dan secara lambat dapat menyebabkan

silikosis.1

3. Difusi

Difusi adalah gerakan acak partikel akibat kecepatan aliran udara.

Terjadi hanya pada partikel dengan ukuran kecil. Debu dengan ukuran 0,1

mm sampai 0,5 mm keluar masuk alveoli, membentur alveoli sehingga akan

tertimbun di dinding alveoli (gerak Brown).1

2.4.3 Mekanisme Pertahanan Paru terhadap Partikel Terinhalasi

Sebagian besar debu yang terinhalasi akan difiltrasi oleh saluran napas

atas atau dibersihkan oleh silia di saluran napas besar. Pada prinsipnya sistem

pertahanan tubuh terhadap partikel atau debu yang terinhalasi terdiri atas tiga

sistem pertahanan yang saling berkaitan dan bekerja sama yaitu2:

Garis pertahanan pertama adalah filtrasi mekanik udara inspirasi di saluran

napas atas dan bawah. Filter saluran napas atas terdiri atas rambut-rambut

dan lipatan mukosa (konka) yang menimbulkan turbulensi udara sehingga

partikel tertahan di saluran napas atas. Efektivitas filtrasi tersebut

menentukan deposit partikel pada saluran napas. Reseptor saluran napas

berperan dalam menimbulkan konstriksi otot polos bronkus terhadap iritasi

kimia dan fisik, menurunkan penetrasi partikel dan gas berbahaya serta

mencetuskan bersin dan batuk.2

Garis pertahanan ke-2 yaitu cairan yang melapisi saluran napas dan alveoli

serta mekanisme bersihan silia (bersihan mukosiliar). Cairan tersebut

berfungsi sebagai pertahanan fisik dan kimia berisi bahan yang mempunyai

sifat bakterisidal dan detoksifikasi. Mekanisme bersihan mukosiliar (mukus

disekresi oleh sel goblet dan kelenjar submukosa) membuat partikel

dikeluarkan kembali ke laring dan akhirnya ditelan.2

Garis pertahanan ke-3 adalah pertahanan spesifik paru yang terbagi atas 2

sistem utama yaitu imunitas humoral (produksi antibodi) dan imunitas seluler

(limfosit T). Makrofag merupakan sistem pertahanan seluler yang

membersihkan semua partikel kecil. Makrofag alveolar membersihkan

partikel yang terdeposit dengan mekanisme fagositosis.2

2.5 Patogenesis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis silikosis adalah partikel

debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu

tersebut. Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat

atau mudah tidaknya terjadi silikosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap

makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis

pneumokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit

larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan

kandungan besi juga merupakan hal yang terpenting pada patogenesis silikosis.1

Patogenesis silikosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap

debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag

dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu.

Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika

pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal.

Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.1

Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat

menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak

diketahui.1-3 Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan

menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang

minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh

makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi

oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke

jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada

debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan

menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.

Menurut Lipscomb, partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk

mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan

memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling

banyak berperan pada patogenesis silikosis adalah Tumor Necrosis Factor

(TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming

growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk

proses fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab

terhadap kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan

fibroblast adalah1:

Radikal oksigen atau spesies oksigen reaktif dan protease.

Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit.

Sitokin IL-1, TNF-α, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang berperan dalam

fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis silikosis. Pappas

merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons

partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada

jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α,

PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6,

MIP1a. Di samping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih

penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah

difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses

pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.

Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag

alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila

partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh

makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah

bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada

interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1

menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis.1

Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada

silikosis. Debu silika mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim

dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis. Gambaran fibrotik

campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu campuran. Empat

gambaran respons patologi terlihat pada silikosis yaitu fibrosis interstisial, fibrosis

nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema fokal dan pembentukan

makula.1

2.6 Jenis

Terdapat tiga jenis silikosis, yaitu2,4:

1. Silikosis kronis

Silikosis kronis merupakan bentuk silikosis yang paling umum

terjadi. Silikosis kronis terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika

dalam jangka panjang (lebih dari 10 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis

dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah

bening dada.2,4

2. Silikosis akselerata

Silikosis akselerata terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika

yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (5-15 tahun).

Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih

cepat. Silikosis akselerata berhubungan dengan berbagai macam gangguan

autoimun.4

3. Silikosis akut

Silikosis akut jarang terjadi tetapi bersifat sangat fatal yang terjadi

akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu

yang lebih pendek terutama partikel debu yang mengandung konsisteni

tinggi quartz. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga

timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.2,4

            Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif.

Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan

kerusakan pada struktur paru yang normal.2,4

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dapat terjadi pada silikosis akut meliputi dispnea,

mudah lelah, penurunan berat badan, demam, dan nyeri pleuritik. Perubahan

patologik pada silikosis akut meliputi pengisian rongga alveolar dengan materi

eosinofilik-granular, seperti yang terjadi pada silikosis akselerata. Manifestasi

klinis yang terjadi berupa progresifitas gagal nafas yang cepat sebagai akibat

kehilangan fungsi paru yang normal dan gangguan pertukaran gas.2 Gejala

tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut, antara lain4:

1. Demam.

2. Batuk.

3. Penurunan berat badan.

4. Gangguan pernafasan yang berat.

Pada pasien yang asimptomatik membutuhkan pemeriksaan radiografik

untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan

penyakit lain yang berhubungan, meliputi emfisema dan/atau cor pulmonale. Lesi

noduler sebagian besar terdapat pada lobus atas yang tampak pada radiografi

dinding dada. Tabel 2.3 menjelaskan tentang gangguan sekunder yang dapat

terjadi akibat silikosis.2

Tabel 2.3 Gangguan Sekunder yang Terjadi Akibat Silikosis2

Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernafasan,

tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernafasannya

mengalami iritasi (bronkitis). Silikosis akselerata bisa menyebabkan batuk

berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak nafas hanya terjadi pada saat

melakukan aktivitas, tetapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat.

Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita

berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan

menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh

organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), penderita

silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberculosis.2

Silikosis kronik biasanya tidak berhubungan dengan infeksi

mikobakterial dan cenderung bersifat ringan. Silikosis kronik dapat berkembang

menjadi progressive massive fibrosis (PMF), dimana merupakan keadaan yang

serius dan membahayakan. Silikosis kronik dapat dibedakan secara radiografik

dari penyakit akut melalui gambaran opasitas lobus bagian atas yang besar yang

bersamaan dengan lesi nodular difus, kecil. Perubahan emfisematus besar dapat

terlihat jelas pada pemeriksaan foto rontgen toraks. Pasien dengan PMF dapat

mengalami hipoksik saat istirahat dan memiliki kecenderangan mengalami infeksi

mikobakterial dan pneumotoraks spontan yang akhirnya dapat menyebabkan

gagal nafas.2

2.8 Diagnosis

Diagnosis silikosis ditegakkan adanya riwayat pemaparan silika yang

banyak, biasanya terjadi pada lingkungan kerja. Bersamaan dengan riwayat

pemaparan silika, pemeriksaan radiografi toraks dapat mengkonfirmasi adanya

opasitas nodular. Hal tersebut penting karena diagnosis banding silikosis yang

luas dan adanya penyakit dengan profil penyakit yang serupa, seperti infeksi

fungal, tuberkulosis milier, sarkoidosis, dan fibrosis idiopatik pulmonal.2

Pada silikosis kronik dan akselerata, pemeriksaan radiogafi toraks

biasanya menggambarkan opasitas nodular pada lapangan paru bagian atas.

Kalsifikasi nodus limfatikus torakalis membentuk pola yang khas, sering

diistilahkan dengan kalsifikasi “eggshell”. Pola eggshel dari kalsifikasi nodus

limfatikus tidak spesifik dan biasanya terlihat pada sarcoidosis, radiation-treated

Hodgkin’s disease, blastomycosis, scleroderma, amyloidosis, dan

histoplasmosis. PMF dikarakteristikkan dengan masa fibrotik yang besar, yang

terjadi bersamaan dengan perubahan arsitektur paru yang ditandai dengan

pergeseran struktur mediastinal dan hilar ke atas sebagai akibat hilangnya

volume. Daerah paru bagian bawah dapat memberikan gambaran hiperventilasi

dan emfisematous, dan bersamaan dengan bullae multipel.2

Silikosis akut dapat dibedakan dengan silikosis kronik dari pemeriksaan

rontgen toraks melalui fenomena pengisian alveolar akut, yang menyebabkan

gambaran ground-glass pada lapang paru. Adanya opasitas linier pada lobus

bagian bawah dapat memperkirakan adanya fibrosis dan pelebaran nodus hilus

dapat menetap.2

Temuan patologis dan radiografi toraks tidak selalu berhubungan.

Pemeriksaan rontgen toraks hanya terjadi perubahan minimal bahkan pada

keadaan fibrosis yang luas. Computed tomography resolusi tinggi dari dinding

dada merupakan pilihan studi pencitraan untuk mengevaluasi nodu, yang juga

baik untuk mendeteksi adanya perubahan emfisematous pulmonal. Computed

tomography resolusi tinggi dapat membantu membedakan lesi confluent dari

silikosis simpel. Modalitas pencitraan pulmonal lainnya seperti magnetic

resonance imaging dan digitized radiography dapat berguna sebagai tambahan

diagnosis dan monitor silikosis.2

Tes fungsi paru dapat normal pada awal dari silikosis simpel. Pola

restriktif dan/atau obstruktif dapat terjadi pada perkembangan penyakit yang

progresif. Pengurangan volume dari udara yang diekshalasi lebih dari 1 detik,

menggambarkan pengurangan kapasitas forced vital, penurunan kapasitas difusi,

kapasitas total paru, dan lung compliance, yang terjadi pada kasus berat.

Parameter aliran dapat berubah karena adanya obstruksi jalan nafas sebagai

akibat fibrosis dan kelainan lebih lanjut dari arsitektur paru yang mendasarinya.

Hal tersebut penting untuk mengetahui adanya faktor-faktor yang telah ada

sebelumnya (contohnya, rokok tembakau dan infeksi paru) ketika mengevaluasi

tes fungsi paru. Hal tersebut pentung untuk diingat bahwa bronchoalveolar

lavage biasanya tidak membantu diagnosis silikosis pada pasien yang terpapar

silika dapat memiliki silika dan peningkatan kadar protein pada lung washing,

tanpa memandang derajat kegawatan penyakit atau keadaan penyakit khusus.2

2.9 Pemeriksaan

Biasanya akan ditanyakan secara terperinci mengenai jenis pekerjaan,

hobi dan aktivitas lainnya yang kemungkinan besar merupakan sumber

pemaparan silika. Pemeriksaan yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut).

Foto toraks berguna dalam mendeteksi dan memantau respon paru

untuk debu mineral, logam tertentu, dan debu organik mampu mendorong

pneumonitis hipersensitivitas. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)

International Klasifikasi Radiografi dari Pneumoconioses mengklasifikasikan

radiografi dada sesuai dengan sifat dan ukuran dan kekeruhan melihat

sejauh mana keterlibatan parenkim tersebut. Secara umum, kekeruhan linier

terlihat di asbestosis.

2. Tes fungsi paru.

Banyak debu mineral menghasilkan perubahan karakteristik dalam

mekanisme pernapasan dan volume paru-paru yang secara jelas

menunjukkan pola restriktif. Demikian pula, pemaparan debu organik atau

bahan kimia dapat menyebabkan asma kerja atau PPOK. Pengukuran

perubahan volume ekspirasi paksa (FEV1) sebelum dan setelah shift kerja

dapat digunakan untuk mendeteksi respon bronchoconstrictive atau

peradangan akut.

3. Tes PPD (untuk TBC).

2.9.1 Silikosis Akut

1. Pemeriksaan Faal Paru

Kelainan faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan hipoksemi

disertai penurunan kapasitas difusi.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto toraks tampak fibrosis interstisial difus, fibrosis kemudian

berlanjut dan terdapat pada lobus tengah dan bawah membentuk diffuse

ground glass appearance mirip edema paru.

2.9.2 Silikosis Kronik

1. Pemeriksaan Radiologis

Pada silikosis kronik yang sederhana, foto toraks menunjukkan

nodul terutama di lobus atas dan mungkin disertai klasifikasi. Pada bentuk

lanjut terthpat masa yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angel’s

wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus

biasanya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcification.

2. Pemeriksaan Faal Paru

Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru berkurang dan

bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan gangguan restriksi,

obstruksi atau campuran. Kapasitasdifusi dan komplians menurun. Timbul

gejala sesak napas, biasa disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada

awalnya terjadi pada saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat dan

akhirya timbul gagal kardiorespirasi.

2.9.3 Silikosis Kronik

Pemeriksaan Silikosis Terakselerasi hampir sama dengan Silikosis

Kronik

2.10 Pengobatan

Silikosis merupakan penyakit yang tidak dapat diobati tetapi dapat

dicegah. 2,4 Penyakit biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjut. Pada

silikosis bila diagnosis telah ditegakkan penyakit dapat terus berlanjut menjadi

fibrosis masif meskipun paparan dihilangkan. Bila faal paru telah menunjukkan

kelainan obstruksi pada bronkitis industri, berarti kelainan telah menjadi

ireversibel. Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala.

Obat lain yang diberikan bersifat suportif. Untuk mencegah semakin

memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber

pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan

oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu

dipertimbangkan adalah:

1. Membatasi pemaparan terhadap silika

2. Berhenti merokok.

3. Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.

Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC),

sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika

diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC.

Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.

2.11 Strategi Pengendalian Penyakit

Dalam strategi pengendalian penyakit, pengawasan terhadap di

lingkungan kerja dapat membantu mencegah terjadinya silikosis. Jika debu tidak

dapat dikontrol (seperti halnya dalam industri peledakan), maka pekerja harus

memakai peralatan yang memberikan udara bersih atau sungkup.

Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto rontgen dada secara

rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan untuk pekerja lainnya setiap

2-5 tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini. Jika foto rontgen

menunjukkan silikosis, dianjurkan untuk menghindari pemaparan terhadap silika.

Jika seorang pekerja memiliki alergi terhadap debu, gunakanlah masker

agar terhindar dari kontak langsung dengan debu dan bawalah selalu obat alergi

debu, dan upayakan, kita selalu hidup bersih dan sehat.

2.12 Pencegahan

Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada

penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri. Berbagai tindakan

pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau

mengurangi laju penyakit. Perlu diketahui apakah pada suatu industri atau

tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru.

Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan

memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk

mengurangi debu yang berterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja

diharuskan memakai alat pelindung. Pengawasan terhadap di lingkungan kerja

dapat membantu mencegah terjadinya silikosis.

Jika debu tidak dapat dikontrol (seperti halnya dalam industri

peledakan), maka pekerja harus memakai peralatan yang memberikan udara

bersih atau sungkup. Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto rontgen

dada secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan untuk pekerja

lainnya setiap 2-5 tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini. Jika

foto rontgen menunjukkan silikosis, dianjurkan untuk menghindari pemaparan

terhadap silika.

2.13 Peran Keluarga Dalam Upaya Pencegahan Penyakit

Dalam usaha pencegahan penyakit akibat kerja atau silikosis ini, suatu

keluarga harus berupaya untuk selalu berperilaku hidup bersih dan sehat, seperti

: merawat rumah dan menjaga lingkungan sekitar supaya bersih dari kotoran

maupun debu.

Untuk penderita yang alergi terhadap debu dan penderita sedang

menjalani terapi pengobatan, peran keluarga disini adalah sebagai pengawas

obat-obatan dari si penderita. Keluarga juga berperan dalam upaya peningkatan

asupan gizi si paenderita, dengan memberikan makanan yang bergizi dan sehat.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Silikosis merupakan penyakit fibrotik paru yang fatal, ireversibel, dimana

debu silika dapat terus-menerus terhirup oleh saluran pernafasan. Silikosis

termasuk salah satu contoh dari penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja

adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses

maupun lingkungan kerja.

Penyakit silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas,

berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian

mengendap. Silika adalah unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya

terjadi pada buruh tambang logam, pekerja pemotong batu dan granit, pekerja

pengecoran logam, pembuat tembikar. Penderita silikosis noduler simpel

mengalami iritasi (bronkitis). Penyakit ini memiliki periode latensi yang panjang

dan secara klinis dapat bermanifestasi sebagai penyakit akut, akselerasi, atau

kronik.

Pemeriksaan yang dilakukan dengan rontgen dada (terlihat gambaran

pola nodul dan jaringan parut), tes fungsi paru, dan tes PPD (untuk TBC).

Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala. Terapi

suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi

infeksi, bisa diberikan antibiotik. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan

cara kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan

memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk

mengurangi debu yang berterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja

diharuskan memakai alat pelindung. Pengawasan terhadap di lingkungan kerja

dapat membantu mencegah terjadinya silikosis.

3.4 Saran

Agar kita terhindar dari penyakit silikosis ini, kita hendaknya selalu

menjaga kebersihan badan dan lingkungan disekitar kita, baik rumah maupun

tempat kerja. Untuk orang yang alergi terhadap debu sebaiknya selalu membawa

obat antiseptik dan menggunakan masker bila perlu.

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Susanto, A. D. Pneumokoniosis. J Indon Med Assoc. 2011;61:503-510

2. Greenberg, M. I. Javier W., John C. Silicosis: A Review. Dis Mon

2007;53:394-416

3. Rosenman, K. D., et al. Silicosis among Foundry Workers. Am J Epidemiol

Vol. 144, No. 9, 1996

4. Thomas, C. R., Timothy R. K. A Brief Review of Silicosis in the United

States. Environmental Health Insights 2010:4 21–26

5. Djojodibroto, Darmanto. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1999