sikap muslim terhadap lokal nusantara
DESCRIPTION
Sikap Muslim terhadap lokal Nusantara berisi bagaimana cara umat muslim bersikap terhadap tradisi - tradisi lokal yang ada di Indonesia. Pada Karya tulis ini mengambil studi kasus Tradisi Merariq di Lombok Nusa Tenggara Barat.TRANSCRIPT
MAKALAH
PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
SIKAP MUSLIM TERHADAP LOKAL NUSANTARA
Studi Kasus Tradisi Merari’ di Pulau Lombok
Di susun oleh :
Nama : Siti Arni Wulandya
NIM : 11611035
Kelas : Pemikiran & Peradaban Islam B
Jurusan : Statistika 2011
JURUSAN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2012
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II. ISI .......................................................................................................... 3
A. Prosesi Pernikahan Adat Lombok ................................................................ 3
B. Jenis – Jenis Pernikahan ............................................................................... 4
C. Tata Krama (Sistematika) Pernikahan Adat Sasak ...................................... 5
BAB III. PEMBAHASAN .................................................................................. 10
A. Pernikahan dalam Islam ............................................................................... 10
B. Kesesuaian antara Tradisi Lombok dengan Aturan Islam ........................... 14
C. Ketidaksesuaian antara Tradisi Lombok dengan Aturan Islam ................... 15
D. Sikap Warga Sasak Muslim Terhadap Pernikahan adat Sasak .................... 16
BAB IV. PENUTUP ........................................................................................... 18
A. Kesimpulan ................................................................................................. 18
B. Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Islam, perkawinan dikonsepkan sebagai sarana dalam
memperoleh kehidupan berpasang – pasangan, yang tentram dan damai
(mawaddah warahmah) serta sebagai jalan untuk melanjutkan generasi
(keturunan). Menikah akan menjadi pintu pembuka yang menghalalkan
hukum yang tadinya haram menjadi halal juga meningkatkan nilai suatu
ibadah yang tadinya 1 pahala menjadi 70 pahala setelah berkeluarga.
Sedangkan dari sudut pandang sosial, perkawinan bukan hanya
mempersatuka seorang lelaki dan seorang perempuan saja namun secara lebih
luas menjadi pemersatu dua keluarga besar bahkan dua suku yang berbeda
(jika berbeda suku).
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu
masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan
memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok kerabat
atau pun sebagai warga masyarakat. Seperti pada suku – suku lain di
Indonesia, upacara pernikahan dalam suku sasak juga memiliki prosesi –
prosesi yang sangat sakral. Mulai dari merari’ (melai’ang), besejati dan
selabar, nuntut wali, bait janji, utusan/panji, pisuka ian gantiri, aji krama, arta
gegawan, pembayun, nyerompang(sugul), begawe, resepsi adat, mendakin lan
peraja (nyongkolang) hingga bales onos nae (balik tapak).
Sebagian besar prosesi dari pernikahan yang sakral ini sebenarnya
tidak murni dari leluhur masyarakat sasak namun telah mengalami akulturasi
dengan budaya Bali yang notabene beragama hindu. Banyak proses dari
pernikahan adat sasak yang perlu digali orisinalitasnya juga kesesuaiannya
dengan norma agama serta norma susila. Hal itulah yang mendorong penulis
2
untuk melakukan kajian referensi terkait dengan prosesi pernikahan adat
Lombok ini.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah sisi positif dan negatif dari serangkaian prosesi pernikahan adat
Lombok?
b. Apakah ada ketidak sesuaian antara hukum islam dalam mengatur
perkawinan dengan tata cara prosesi pernikahan adat Lombok?
c. Bagaimana seharusnya orang islam menyikapi tradisi pernikahan ini?
C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui sisi positif dan negatif dari serangkaian prosesi
pernikahan adat Lombok.
b. Untuk memahami ketidak sesuaian antara hukum islam dalam mengatur
perkawinan dengan tata cara prosesi pernikahan adat Lombok.
c. Untuk mengerti bagaimana seharusnya umat islam menyikapi setiap detil
dari prosesi pernikahan adat Lombok.
3
BAB II
ISI
A. PROSESI PERNIKAHAN ADAT LOMBOK
Suku Sasak adalah suku asli yang mendiami pulau Lombok sejak
berabad – abad yang lalu. Keberadaan dan kebudayaan pasti suku ini tidak
bisa diidentifikasi secara pasti, karena telah mengalami banyak pengaruh dari
beberapa peradaban kerajaan maupun keagamaan. Sebut saja Kerajaan
Majapahit dengan patih Gadjah Mada telah juga berhasil menaklukkan pulau
Lombok sebelum abad ke 16. Selain itu pada abad ke 16 hingga awal abad ke
17 pulau Lombok mulai mendapatkan pengetahuan agama islam yang
disebarkan oleh Sunan Giri. Tidak terhitung pula pengaruh yang diadopsi dari
pulau tetangganya yaitu Bali. Sehingga tidak mengherankan jika beberapa
budaya dan peradaban Lombok menjadi begitu mirip dengan Jawa dan Bali,
tetapi tidak juga bisa dipisahkan dengan kebudayaan Islam.
Lombok sebagaimana yang dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid”
adalah pulau dengan penduduk mayoritas muslim. Namun jika
memperhatikan dari bahasa, bahasa sasak memiliki kesamaan dengan bahasa
jawa kromo dan bahasa Bali. Begitu juga dengan beberapa adat dalam
masyarakat yang begitu serupa dengan adat Bali, salah satunya adalah prosesi
pernikahan adat Lombok.
Pernikahan dalam pandangan suku sasak adalah sesuatu yang sangat
sakral. Selain berfungsi untuk menyatukan dua insan berbeda jenis,
pernikahan juga dari sudut pandang sosial menjadi pemersatu dua buah
keluarga besar baik secara internal maupun eksternal. Internal disini
maksudnya adalah internal dari masing – masing keluarga mempelai akan
tersulut solidaritasnya untuk bergotong royong menyelesaikan prosesi adat
pernikahan. Secara eksternal keluarga besar kedua mempelai akan bersatu
menjadi sebuah keluarga yang lebih besar lagi. Dalam bahasa suku sasak
4
pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara terminologis, merari’
adalah sebutan untuk keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat
sasak.
B. JENIS – JENIS PERNIKAHAN
Dalam adat sasak, pernikahan bertujuan untuk mempersatukan atau
mengeratkan hubungan antara keluarga pengantin laki – laki dan keluarga
pengantin wanita tidak hanya dalam lingkup sempit bahkan dalam lingkup
yang lebih luas jika menikah dengan orang dari luar suku sasak. Berdasarkan
tujuan tersebut, maka pernikahan dalam suku sasak dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Perkawinan betempuh pisa’
Perkawinan betempuh pisa’ adalah perkawinan antara seorang laki – laki
dan perempuan yang masih dalam satu kadang waris. Satu kadang waris
disini maksudnya adalah masih memiliki hubungan keluarga yang sangat
dekat misalnya sepupu baik dari darah bapak maupun ibu. Kadang waris
maksudnya orang – orang yang masih memiliki hak waris yang sama jika
diturunkan dari silsilah kakek – nenek.
2. Perkawinan sambung uwat benang
Perkawinan sambung uwat benang adalah perkawinan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang masih memiliki hubungan kadang jari.
Hubungan kadang jari artinya masih memiliki hubungan keluarga meski
itu merupakan keluarga yang cukup jauh silsilahnya. Pernikahan
semacam ini kadang dimaksudkan untuk menguatkan persaudaraan
(hubungan kekeluargaan).
3. Perkawinan pegaluh gumi
Perkawinan pegaluh gumi adalah perkawinan antara pihak laki-laki dan
perempuan yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan. Baik dalm
satu suku sasak, satu wilayah bahkan berbeda suku, etnis dan pulau. Jika
pada masa kerajaan pernikahan semacam ini kadang bertujuan untuk
5
memperluas daerah kekuasaan. Namun dalam pernikahan suku sasak
sekarang ini bertujuan untuk memperluas daerah atau memperlebar
cakupan wilayah persaudaraan.
C. TATA KRAMA (SISTEMATIKA) PERNIKAHAN ADAT SASAK
Dalam pernikahan suku sasak terdapat beberapa prosesi atau tata krama
yang harus di jalani. Pelaksanaan dari prosesi ini dinilai penting karena
menyangkut persetujuan dari hukum adat. Sehingga konsekuensinya jika
meninggalkan akan memperoleh ketersinggungan dengan hukum adat
(dikucilkan). Berikut adalah sistematika atau tata krama prosesi pernikahan
adat Lombok :
1. Merari’ (Melai’ang)
Merari’ secara etimologis berasal dari kata lari, berlari. Merari’
atau melai’ang berarti melarikan. Atau dalam bahasa indonesia disebut
kawin lari merupakan sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di
Lombok. Pelarian ini diklaim merupakan tindakan nyata untuk
membebaskan seorang perempuan dari ikatan tanggung jawab orang tua
dan keluarganya. Berdasarkan uraian di atas, bisa dikatakan bahwa
merari’ ini adalah pintu awal dari sebuah prosesi pernikahan. Pada
umumnya pada beberapa suku di Indonesia dengan cara di lamar dan
aturan Islam dengan di khitbah. Berbeda dengan itu, merari’ adalah cara
mengambil seorang perempuan untuk menjadi istri dengan di culik
(tanpa paksaan) secara diam-diam, baik dengan persetujuan orang tua
maupun tidak.
Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga diri
dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia
berhasil mengambil (melarikan) seorang perempuan pujaan hatinya.
Sementara pada sisi lain, bagi orang tua perempuan yang dilarikan juga
cenderung enggan (jika tidak dikatakan gengsi) untuk memberikan
anaknya begitu saja jika diminta secara baik-baik (dengan cara dilamar),
6
karena mereka beranggapan bahwa anak gadisnya adalah sesuatu yang
berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap seperti meminta
barang yang tidak berharga. Hal ini masih menjadi adat sakral yang tidak
boleh dilanggar di beberapa tempat di pulau Lombok.
2. Nyelabar
Nyelabar adalah proses kedua setelah calon pengantin wanita
diculik oleh suaminya. Proses ini ditandai dengan berkunjungnya salah
satu perwakilan keluarga calon pengantin pria (atau yang diberi kuasa)
untuk memberitahukan pada kepada keluarga calon pengantin wanita
bahwa putrinya telah merari’ (di culik untuk menikah) dan untuk
memperoleh persetujuan dari pihak keluarga calon pengantin wanita
terkait dengan pernikahan tersebut. Proses ini biasanya dilakukan setelah
tiga sampai tujuh hari pasca merari’.
Nyelabar (berkunjung) tidak hanya dilakukan sekali namun bisa
berkali – kali tergantung dari kesepakatan yang diperoleh. Misalnya
tentang kapan perwalian bisa diberikan (mbait wali), kapan akad nikah
bisa dilaksanakan (bekawin) hingga kapan prosesi nyongkolang akan
dilaksanakan. Semua prosesi ini harus dilakukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak keluarga calon mempelai melalui perantara utusan
(yang dikirim). Utusan yang berkunjung akan menyampaikan permintaan
pihak mempelai pria setelah memperoleh jawaban dari pihak mempelai
wanita, kembali lagi untuk menanyakan kesepakatan pihak mempelai
pria. Begitu seterusnya hingga mufakat tercapai. Proses ini bisa memakan
waktu yang lama tergantung dari kesepakatan yang di dapat. Perkenalan
antar kedua keluarga besar terjadi dalam prosesi ini melalui utusan yang
dikirim.
Sementara itu, di rumah keluarga besar mempelai pria sejumlah
persiapan telah dilakukan. Mulai dari mengumpulkan keluarga, membuat
kesepakatan dalam internal keluarga hingga bergotong royong untuk
7
menyelesaikan prosesipernikahan ini (inggasang) baik secara materil
maupun immateril.
3. Mbait Wali
Proses selanjutnya setelah kesepakatan akan pernikahan diperoleh
adalah pemberian perwalian (mbait wali). Seperti arti harfiahnya mbait
wali adalah proses kesepakatan dimana pihak mempelai wanita
memberikan dan menyetujui wali nikah untuk putri mereka. Biasanya
perwalian diperoleh dari ayah kandung, atau dari keluarga terdekat yang
menjadi mahram (bisa juga penghulu) jika ayah kandung telah meninggal
atau telah memberikan kuasa.
Pada proses mbait wali ini juga terdapat kesepakatan tentang
besarnya pisuke (mahar) dan jumlah maskawin yang diinginkan pihak
keluarga mempelai wanita. Besarnya pisuke yang diinginkan
menandakan tingginya derajat keluarga mempelai wanita dan
menandakan tingginya kualitas putri mereka yang akan menikah.
Semakin tinggi tingkat pendidikan sang putri, maka pisuke yang diminta
akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya. Besarnya jumlah pisuke ini
kadang menjadi kontroversi, karena keluarga mempelai wanita kadang
memintanya dalam jumlah yang tidak wajar (terlalu besar). Seolah – olah
mereka beranggapan dengan pisuke tersebut dapat mengganti seluruh
pengeluaran mereka terhadap kehidupan yang telah di berikan pada
putrinya (terkait dengan mengurus sejak kecil dan pendidikan).
4. Akad Nikah (Bekawin)
Selanjutnya setelah perwalian diperoleh, akan nikah segera bisa
dilaksanakan. Seperti lazimnya akad nikah, bekawin biasanya dilakukan
di rumah calon mempelai pria. Pada prosesi inilah sejumlah maskawin
dan pisuke yang disepaki diberikan kepada mempelai wanita.
Serombongan keluarga calon mempelai wanita (tidak dalam jumlah yang
besar) datang untuk memberikan perwalian, restu dan juga menjadi saksi
8
pernikahan. Bekawin dilakukan sama seperti prosesi akad nikah atau ijab
kabul dalam aturan islam.
Setelah bekawin biasanya dilaksanakan pesta rakyat di rumah
mempelai pria. Pesta rakyat ini biasanya dilaksanakan sehari semalam.
Bisa juga tidak dilaksanakan tergantung kemampuan keluarga.
5. Sorong Serah Aji Krame
Sorong serah aji krame dilakukan setelah akad nikah dan sesaat
sebelum upacara nyongkolan digelar. Prosesi ini ditandai dengan
berkunjungnya beberapa pemuka adat dan pemuda – pemuda yang
berasal dari daerah keluarga mempelai laki – laki dan harus
menggunakan pakaian adat. Pada prosesi ini pihak mempelai pria
memberikan seserahan kepada keluarga mempelai wanita (terutama
kepada ibunya) yang berisi kain batik yang di dalamnya diisi rempah –
rempah, dan sejumlah uang. Seserahan yang berisi kain batik, rempah –
rempah dan sejumlah uang ini menyimbolkan tanda terima kasih
keluarga mempelai pria, karena keluarga besar mempelai wanita
(khususnya ibu) telah merawat putrinya dengan baik hingga diambil
mantu oleh mereka. Nantinya sejumlah uang ini akan di bagikan kepada
seluruh anggota keluarga yang lain, yang juga menyimbolkan tanda
terima kasih.
6. Nyongkolan
Nyongkolan adalah sebuah upacara tradisi sasak, dimana kedua
mempelai di arak dari rumah mempelai laki – laki menuju kerumah
mempelai wanita dengan di ikuti oleh sanak keluarga yang menggunakan
pakaian adat dan diiringi dengan tabuhan gendang beleq, kecimol atau
bisa juga cilokaq. Biasanya dengan berjalan kaki jika jarak antara rumah
keduanya dekat, namun bisa juga menggunakan alat transportasi lain jika
jauh, tetapi harus turun ditempat yang agak jauh dari rumah mempelai
wanita agar tetap dilaksanakan dengan berjalan kaki. Dalam nyongkolan
9
biasanya keluarga mempelai pria membawa seserahan berupa makanan,
buah – buahan dan lain sebagainya untuk keluarga mempelai wanita.
Acara nyongkolan ini biasanya diliputi perasaan haru, karena ini adalah
kali pertama pengantin wanita bertemu kembali dengan kedua orang tua
dan keluarganya setelah sekian lama mulai sejak merari’ hingga resmi
menikah. Nyongkolan dianalogikan sebagai sarana pengumuman bahwa
si pria dan wanita yang diarak ini sudah sah menjadi suami istri.
7. Balik Tapaq Nae
Secara umum Balik Tapaq Nae berarti tapak tilas. Dalam adat
Sasak tapak tilas ini bermakna kembali ke rumah pengantin perempuan
setelah melakukan nyongkolan, biasanya dilakukan pada malam hari.
Acara Balik tapaq nae ini lebih kekeluargaan dan longgar dari adat.
Karena kedua mempelai dengan orang tua dan keluarga besar bisa
bercengkrama dengan lebih santai dan kekeluargaan.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Nikah menurut bahasa artinya bergabung dan berkumpul.
Sedangkan menurut syara’, nikah ialah akad yang membolehkan seorang
laki – laki bergaul bebas dengan seorang perempuan tertentu yang pada
waktu akad nikah menggunakan lafal nikah atau terjemahannya. Dalam
islam, pernikahan bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dalam
rangka melanjutkan generasi, selain itu agar suami istri dapat menciptakan
kehidupan yang tentram lahir dan bathin atas dasar saling mencintai dalam
satu rumah tangga bahagia dengan memenuhi hak dan kewajiban masing –
masing bersadarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
a. Hukum Nikah
Hukum nikah ditentukan berdasarkan dua hal, yang pertama
kemampuannya dalam melaksanakan kewajiban lahir dan bathin (baik
sebagai suami maupun istri), yang kedua kesanggupannya menjaga diri
dari agar tidak jatuh dalam doza zina. Berdasarkan hal – hal tersebut
maka para ulama mengklasifikasikan lima hukum nikah, yaitu:
1. Wajib. Seseorang dikatakan wajib untuk menikah jika telah
memiliki kemampuan dari segi finansial dan sangat berisiko jatuh
ke dalam perzinahan.
2. Sunnah. Dikatakan sunnah untuk seseorang itu menikah jika ia
telah mampu secara finansia, tetapi tidak terlalu berisiko untuk
jatuh ke dalam perzinahan.
3. Mubah. Seseorang dikatakan mubah pernikahannya, jika ia tidak
mampu dari segi finansial untuk membiayai keluarganya kelak dan
juga tidak terlalu berisiko untuk jatuh ke dalam perzinahan.
11
4. Makruh. Seorang dikatakan makruh membina rumah tangga, jika
ia tidak mampu secara finansial dan kelak rumah tangganya lebih
banyak dibiayai oleh istri.
5. Haram. Hukum pernikahan menjadi haram dalam islam jika
seseorang menikah dalam kondisi tidak mampu secara finansial,
tidak mampu memberikan nafkah bathin kepada istri, menularkan
penyakit yang membahayakan serta tidak terpenuhinya syarata sah
nikah.
b. Kriteria Memilih Pasangan
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Wanita
itu dinikahi karena empat hal : karena agamanya, nasabnya, hartanya
dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat
(HR. Bukhari, Muslim).
Berdasarkan hadist di atas, pernikahan menjadi penyempurna setengah
dari agama jika dan hanya jika menikahi perempuan yang solihah.
Seperti dikutip dari hadist di bawah ini :
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki
oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah
SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan
separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim).
c. Pendahuluan Pernikahan dalam Islam
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum akad nikah
dilangsungkan agar terhindar dar masalah – masalah di kemudian hari.
1. Melihat Calon
Kepada kedua calon yang akan membina rumah tangga di
bolehkan saling melihat juga boleh berbicara seperlunya untuk
mengetahui budi bahasa dan jalan fikiran masing-masing. Harus
dengan cara yang sopan, yaitu disertai oleh salah seorang keluarga
(mahram) atau kerabat mereka. Dengan adanya kesempatan taaruf
ini, kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk berfikir. Hal
12
penting seperti pernikahan tentunya kurang baik untuk dilaksanakan
secara tergesa – gesa.
Proses taaruf ini tentunya brlaku bagi mereka yang belum
saling mengenal. Bagi yang sudah saling mengenal karena
tinggalnya dalam satu kampung, satu pekerjaan atau bergerak dalam
organisasi yang memungkinkan mereka untuk saling berjumpa,
saling berbicara dan musyawarah, tidak diperlukan lagi untuk saling
melihat dan berkenalan.
2. Meminang (Hitbah)
Hitbah adalah meminang seorang gadis langsung kepada
orang tuanya atau walinya. Wanita yang sudah dipinang oleh orang
dan pinangan itu sudah diterima oleh walinya, tidak boleh dipinang
lagi oleh orang lain, karena akan menyakiti hati yang meminangnya
terlebih dahulu. Kalau pinangan yang pertama telah ditolak, maka
wanita itu boleh dipinang oleh orang lain. Diterima tidaknya suatu
pinangan terletak pada keputusan pihak wanita berdasarkan
permohonan laki - laki. Tetapi boleh juga yang mengambil iniasiatif
pihak wanita, seperti yang terjadi pada Umar bin Khattab ra saat
akan menikahkan putinya dengan Ustman bin Affan.
3. Melamar
Apabila seorang pemuda telah yakin untuk melaksanakan
pernikahan dengan seorang wanita pilihannya, maka ia harus maju
untuk datang melamar kepada orang tua (wali) wanita yang
bersangkutan.Atas persetujuan calon suami, calon istri dan wali,
terjadialah suatu perjanjian. Untuk memperteguh perjanjian itu,
banyak diantara anggota masyarakat yang saling memberi sesuatu
yang bisa menjadi pengikat dan bahwa lamarannya telah diterima
dengan baik.
4. Pencatatan Perkawinan
Setelah memperoleh persetujuan, langkah selanjutnya adalah
menentuka dua orang saksi. Sebelum akad nikah dilakukan, kedua
13
mempelai harusnya mendaftarkan pernikahan kepada pegawai
Pencatatan Nikah menurutt peraturan yang berlaku di Kantor Urusan
Agama. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat tidak ada
pencatatan perkawinan seperti sekarang ini. Namuntidak ada
salahnya untuk berbuat dmikian demi kesejahteraan bersama.
d. Pelaksanaan Pernikahan
Untuk melaksanakan suatu pernikahan terlebih dahulu haruslah
melengkapi rukun – rukun nikah karena menjadi syarat sahnya suatu
pernikahan. Rukun nikah terdiri dari :
1. Calon suami dan calon istri. Supaya akad nikah yang akan
dilangsungkan itu sah menurut syariat islam, maka calon suami dan
calon istri haruslah memenuhi ketentuan (syarat) yang telah diatur
dalam hukum islam.
2. Wali. Wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk
melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya menurut ketentuan syariat. Dalam hal pernikahan,
dibutuhkan wali dari pihak wanita. Karena wanita tidak sah
melakukan akad nikah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
orang lain.
3. Dua orang saksi. Dasar hukum keharusan adanya dua orang saksi
dalam suatu perkawinan, diantaranya ialah sabda Rasulullah “ Tidak
sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang
adil”.
4. Ijab Kabul. Dasar pernikahan yang asasi aialah adanya persetujuan
dua belah pihak, calon suami dan calon istri untuk rela dan sepakat
mengadakan ikatan lahir batin untuk membina rumah tangga
bahagia. Maka ucapn untuk menggambarkan setuju dan rela dari
pihak wanita di ucapkan walinya disebut Ijab, dan ucapan balasan
dari pihak laki – laki disebut kabul.
14
e. Kufu
Kufu ialah kesamaan derajat, tolok dan tara. Sekufu berarti setara, sama
tinggi derajatnya, martabatnya. Yang dimaksud kufu dalam pernikahan
ialah kesamaan derajat antara suami dengan istri yang dipandang dari
berbagai segi. Apabila kedudukan suami istri setaraf dalam bidang sosial
dan agama, maka hal ini merupakan faktor penting dalam pembinaan
rumah tangga bahagia karena pandangan hidup mereka sudah mulai
tertaut, kematangan berfikir akan tidak jauh berbeda dan berbagai
pengalaman akan lebih mudah dicernakan.
B. KESESUAIAN ANTARA TRADISI LOMBOK DENGAN ATURAN
ISLAM DALAM MENGATUR PERNIKAHAN
1. Pada penentuan kriteria pasangan hidup, adat Lombok juga biasanya
memperhatikan bebet dan bobot calon pasangan hidup. Sesuai dengan
calon pasangan hidup yang disyariatkan islam yaitu lihat agamanya,
keturunannya, hartanya dan kecantikannya.
2. Dalam proses mbait wali pada pernikahan adat Lombok juga
menentukan orang yang berhak menjadi wali sesuai dengan syariat
islam, yaitu Ayah kandung, Kakek (ayah dari ayah), Saudara (kakak /
adik laki-laki se-ayah dan se-ibu), Saudara (kakak / adik laki-laki se-
ayah saja), Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu, Anak
laki-laki dari saudara yang se-ayah saja, Saudara laki-laki ayah, Anak
laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).
3. Pada prose mbait wali juga terdapat penentuan jumlah pisuke (mahar)
dan maskawin yang diinginkan pihak keluarga wanita. Hal ini sesuai
dengan apa yang disyariatkan islam bahwa setiap gadis yang menikah
berhak maskawin sekurang – kurangnya sebuah cincin besi dan mahar
sekurang – kurangnya sebuah ember yang bisa digunakannya untuk
urusan rumah tangganya, sebagaiman pesan yang bisa dipetik dari
pernikahan Ali bin Abi Thalib ra dan Fatimah Azzahra putri Rasulullah.
4. Pada acara akad nikah atau bekawin adat Lombok sama dengan rukun
nikah yang diajarkan Rasulullah SAW, yaitu harus calon suami, calon
15
istri, wali, dua orang saksi, dan ijab kabul yang sesuai dengan syariat
islam.
C. KETIDAKSESUAIAN ANTARA TRADISI LOMBOK DENGAN
ATURAN ISLAM DALAM MENGATUR PERNIKAHAN
1. Islam mengajarkan bahwa proses awal dari sebuah pernikahan adalah
dengan saling mengenal satu sama lain (taaruf) sekurang – kurangnya
satu kali dan boleh lebih dari itu namun sang calon wanita harus
dibersamai oleh salah seorang anggota keluarganya atau mahramnya
kemuadian selanjutnya baru di pinang langsung kepada walinya hingga
mendapatkan kesepakatan. Bertolak belakang dengan syariat islam,
pada adat Lombok seorang wanita tidak di pinang secara baik – baik
melainkan diculik (merari’/melai’ang) tanpa dibersamai oleh
mahramnya.
2. Pisuke dalam pernikahan adat Lombok, sejatinya sama dengan mahar
dalam islam yaitu sejumlah hak (materi) untuk istri yang diberikan
suami untuk memulai rumah tangganya, jika istri seorang gadis maka
yang berhak menentukan jumlah maharnya adalah walinya. Namun
dalam penentuan pisuke adat Lombok sarat dengan nuansa bisnis.
Tawar menawar antara kedua belah pihak sering terjadi, karena pihak
gadis cendrung memberikan harga yang tinggi tergantung kapasitas dan
kualitas putri mereka (dalam pandangan mereka), yang kadang tidak
sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga mempelai pria. Hal ini tentu
saja tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah, bahwa mahar
yang diberikan itu harusnya sesuai dengan kondisi ekonomi calon
mempelai pria.
3. Pada proses pernikahan adat Lombok di kenal acara begawe (pesta
rakyat) dipersiapkan sejak berminggu – minggu dengan acara utama
pesta rakyat di siang hari dan pertunjukan gendang beleq atau cilokaq
di malam hari. Acara ini sarat dengan nuansa budaya dan adat Lombok,
namun jika ditilik dari kaca mata islam cendrung menjadi foya – foya
dan hura – hura. Karna dalam islam tidak ada ketentuan khusus untuk
16
melaksanakan pesta megah yang menghambur – hamburkan uang.
Cukup walimah sederhana.
4. Prosessi nyongkolan sejatinya merupakan sarana pengumuman dan
silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw.
Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi penyelewengan oleh oknum
pada acara nyongkolan yang menyebabkan terjadinya perkelaian,
mabuk-mabukan dengan minuman keras dan meninggalkan sholat
(karena acaranya membutuhkan waktu yang lama dan riasan tidak
memungkinkan untuk dibawa salat), maka perilaku inilah yang perlu
dihindari dalam praktek nyongkolan.
D. SIKAP WARGA SASAK MUSLIM TERHADAP ATURAN
PERNIKAHAN DALAM HUKUM ADAT
Keberadaan Islam sebagai sebuah agama dan peradaban tidak
dapat dipisahkan dari kebudayaan. Secara tekstual sejak sejak 14 abad yang
lalu, Al Quran telah menegaskan bahwa islam adalah ajaaran universal yang
misi kebenaran ajarannya melampaui batas – batas suku, etnis, bangsa dan
bahasa. Oleh karena itu, faktor – faktor tersebut perlu untuk dikaji dalam
rangka mengangkat kembali citra dan peran islam bagi umat manusia.
Karena perlu diingat, bukan islam yang harus menyesuaikan zaman tetapi
zaman yang harus kembali kepada aturan islam.Dalam pernikahan adat
Lombok, terdapat beberapa prosesi adat yang sesuai dengan syariat islam,
namun juga terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan syariat.
Secara garis besar sikap warga sasak muslim terhadap aturan pernikahan
dalam hukum adat lombok adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan dan mendukung beberapa aturan adat yang sesuai
dengan syariat islam. Seperti penentuan kriteria pasangan hidup, proses
penentuan wali nikah dan rukun akad nikah. Jika sekiranya dalam
prosesi tersebut terdapat beberapa adat yang tidak melanggar syariat,
sebaiknya diikuti saja dalam rangka melestarikan budaya Lombok.
2. Menolak dan menghindari beberapa aturan adat yang tidak sesuai
dengan syariat. Misalnya pada proses melai’ang, penentuan pisuke yang
17
tinggi, pesta rakyat yang berlebihan, juga acara nyongkolan yang
memakan waktu lama sehingga sering meninggalkan salat. Untuk
menghindari zina dan pengikisan adat, melai’ang dapat disiasati dengan
menjemput calon istri secara baik – baik dan dibersamai dengan anggota
keluarga yang lain, sehingga menghindari untuk berkhalwat. Pada pesta
rakyat sebaiknya tidak dilakukan hingga larut malam dan tuan rumah
tidak menyediakan hal – hal yang menyebabkan mudarat, semisal
biduan yang berpakaian kurang sopan. Selanjutnya upaca nyongkolan
diharapkan tidak memakan waktu yang terlalu lama dan tetap
memperhatikan waktu – waktu salat, sehingga tidak meninggalkan salat.
3. Mendiamkan atau menerima beberapa aturan adat yang tidak ada dalam
syariat tetapi juga tidak bertentangan dengan syariat islam. Misalnya,
acara sorong serah aji krame yang tidak memiliki unsur yang
bertentangan dengan syariat tetapi mengusung simbolisasi adat serta
acara balik tapaq nae yang bisa membuka silaturrahmi antara kedua
keluarga besar.
18
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap hal itu tercipta dengan sisi positif dan negatif sekaligus,
begitu pula dengan sebuah kebudayaan dan adat istiadat. Pernikahan adat
lombok sarat dengan nilai budaya dan nilai adat Lombok yang telah
mengalami asimilasi dengan budaya Bali. Sisi negatif dari pernikahan adat
Lombok adalah proses pernikahannya yang memakan waktu cukup lama,
tenaga yang cukup banyak dan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan sisi
positifnya adalah terdapat makna atau simbol dari setiap proses yang
dilakukan.
Ada beberapa hal dalam proses pernikahan adat Lombok yang
sesuai dengan syariat islam, diantaranya penentuan kriteria calon pasangan
hidup, penentuan wali nikah dan rukun nikah. Selain itu terdapat beberapa hal
yang bertentangan dengan ajaran islam, seperti prosesi merari’ (melai’ang),
penentuan jumlah pisuke yang sangat besar, pesta rakyat yang berlebihan,
juga acara nyongkolan yang memakan waktu lama sehingga sering
meninggalkan salat. Hal – hal yang positif dari adat tersebut sebaiknya
diterima dan didukung, sedangkan hal – hal yang negatif sebaiknya di tolak,
di hindari dan diminimalisir.
B. SARAN
Adat dan kebudayaan pada suatu daerah terkadang merupakan
kejayaan agama – agama sebelumnya yang berkembang di daerah tersebut,
sehingga masyarakat pada lingkungan itu menjadi terbiasa untuk
melakoninya. Begitu pula dengan pernikahan adat Lombok, ada yang sesuai
dengan syariat islam, ada pula yang bertentangan. Jika hal tersebut positif,
sebaiknya di dukung dan dilestariakan, namun jika harus mengorbankan
aturan islam dalam pelaksanaannya sebaiknya ditinggalkan.
iii
DAFTAR PUSTAKA
Daly, Peunoh. 1988. Hukum Perkawinan Islam. Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus Sunnah dan Negara – negara Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Djaja, Tamar. 1982. Tuntunan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam I. Bandung : Al
Ma’arif.
http://lalumuhamadjaelani.wordpress.com/2007/12/13/menelusuri-asal-usul-suku-sasak/ [2
November 2012]
http://lomboktourplus.com/blog/mengenal-adat-istiadat-pernikahan-suku-sasak-lombok/ [2
November 2012]
Munthoha, dkk. 2009. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta : UII Press.
Muslihin. Pergeseran Pemaknaan Pisuke / Gantiran dalam Budaya Merari’ Sasak Lombok. –
Zuhdi, Harfin. http://lombokbaratkab.go.id/tradisi-merari%E2%80%99-akulturasi-islam-dan-
budaya-lokal.html/ [2 November 2012]