sikap bahasa masyarakat kota surabaya terhadap bahasa jawa

19
Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta Wahyu Zuli Firmanto, Ratnawati Rachmat Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas sikap bahasa masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta. Data yang digunakan merupakan ungkapan-ungkapan mengenai kepercayaan mereka terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta. Data- data tersebut dikumpulkan melalui teknik kuesioner skala sikap, samaran terbanding, wawancara, dan pengamatan. Penelitian ini menggunakan teori sikap Rokeach (1972) yang melihat sikap sebagai tata kepercayaan tentang suatu obyek yang relatif berlangsung lama, dan mempengaruhi seseorang untuk merespon dengancara-cara tertentu. Hasil analisis sikap bahasa menunjukkan duakepercayaan ya ng paling berpengaruh: (1) Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar serta tidak formal, (2) Bahasa Jawa dialek Surabaya merupakan identitas dan bagian dari keragaman budaya bangsa yang harus dibanggakan serta dilestarikan. Kata Kunci : sikap bahasa, Bahasa Jawa dialek Surabaya, Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta, identitas, multibahasa The Attitude of Surabaya Citizens Toward Javanese Dialect of Surabaya and Javanese Dialect of Sala-Yogyakarta Abstract This research discusses about language attitude of Surabaya citizens toward Javanese dialects of Surabaya and of Sala-Yogyakarta. Data that is used is based on their expression of beliefs around Javanese dialect of both places. Moreover, data was collected by using attitudes scale questionnaire, matched guise technique, interview technique, and observation. This research was uses Rokeach’s attitude theory (1972) that sees attitude as a relatively enduring organization of beliefs around an object predisposing someone to respond in some preferential manner. The analysis shows respondents belief that Javanese dialect of Surabaya is impolite and informal language, but also a part of citizens identity and national cultural diversity that must be acknowledge, preserved and be proud of. Keywords : attitude toward language, Javanese dialect of Surabaya, Javanese dialect of Sala-Yogyakarta, identity, multilingualism Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta

Wahyu Zuli Firmanto, Ratnawati Rachmat

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas sikap bahasa masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta. Data yang digunakan merupakan ungkapan-ungkapan mengenai kepercayaan mereka terhadap Bahasa Jawa Dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Dialek Sala-Yogyakarta. Data-data tersebut dikumpulkan melalui teknik kuesioner skala sikap, samaran terbanding, wawancara, dan pengamatan. Penelitian ini menggunakan teori sikap Rokeach (1972) yang melihat sikap sebagai tata kepercayaan tentang suatu obyek yang relatif berlangsung lama, dan mempengaruhi seseorang untuk merespon dengancara-cara tertentu. Hasil analisis sikap bahasa menunjukkan duakepercayaan ya ng paling berpengaruh: (1) Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar serta tidak formal, (2) Bahasa Jawa dialek Surabaya merupakan identitas dan bagian dari keragaman budaya bangsa yang harus dibanggakan serta dilestarikan. Kata Kunci : sikap bahasa, Bahasa Jawa dialek Surabaya, Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta, identitas, multibahasa The Attitude of Surabaya Citizens Toward Javanese Dialect of Surabaya and Javanese

Dialect of Sala-Yogyakarta

Abstract This research discusses about language attitude of Surabaya citizens toward Javanese dialects of Surabaya and of Sala-Yogyakarta. Data that is used is based on their expression of beliefs around Javanese dialect of both places. Moreover, data was collected by using attitudes scale questionnaire, matched guise technique, interview technique, and observation. This research was uses Rokeach’s attitude theory (1972) that sees attitude as a relatively enduring organization of beliefs around an object predisposing someone to respond in some preferential manner. The analysis shows respondents belief that Javanese dialect of Surabaya is impolite and informal language, but also a part of citizens identity and national cultural diversity that must be acknowledge, preserved and be proud of. Keywords : attitude toward language, Javanese dialect of Surabaya, Javanese dialect of Sala-Yogyakarta, identity, multilingualism

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 2: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Pendahuluan

Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota kelompok masyarakat yang senantiasa

digunakan untuk bertukar informasi dalam berbagai kegiatan. Dalam proses komunikasi yang

beragam tersebut, muncul berbagai variasi bahasa. Suhardi dan Sembiring (Dalam

Kushartanti dan Yuwono, 2007: 48-49) mengelompokkan variasi bahasa menjadi tiga jenis,

yaitu variasi yang disebabkan oleh faktor kedaerahan, biasa disebut dialek regional atau

cukup dialek; variasi yang disebabkan oleh strata sosial, biasa disebut dialek sosial atau

sosiolek; dan variasi yang disebabkan oleh keperluan pemakaian.

Sebagaimana bahasa-bahasa lain, Bahasa Jawa pun memiliki berbagai variasi. Salah

satu jenis variasi yang sangat terlihat adalah variasi kedaerahan atau dialek regional

(selanjutnya cukup disebut dialek). Soedjito dkk. (1986: 2) menyebutkan bahwa Bahasa Jawa

memiliki beberapa dialek, seperti Bahasa Jawa dialek Banyumas, Tegal, Sala,1 Surabaya,2

Samin,3 dan Using.4 Meskipun memiliki berbagai dialek, namun sebagian besar masyarakat

penutur Bahasa Jawa, termasuk penutur di Kota Surabaya, memiliki anggapan bahwa satu

dialek yang paling “tinggi” adalah dialek Sala-Yogyakarta.

Menurut Ferguson (Alwasilah, 1990: 141), sebuah dialek dianggap lebih tinggi

statusnya di masyarakat apabila digunakan pada situasi-situasi formal. Situasi-situasi formal

tersebut adalah (1) khotbah di masjid/gereja; (2) pidato di parlemen, pidato politik; (3) kuliah

di universitas; (4) siaran berita; (5) puisi; (6) editorial, berita, dan tulisan (caption).

Masyarakat Surabaya menggunakan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta salah satunya pada

media massa cetak berbahasa Jawa. Hal ini terlihat pada majalah Panjebar Semangat dan

Jaya Baya. Meski terbit di Surabaya, sebagian besar rubrik dalam kedua majalah tersebut

tidak menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya, tetapi menggunakan Bahasa Jawa dialek

                                                                                                                         1 Nama Sala (huruf a diucapkan seperti huruf o pada kata rokok) pada tulisan ini digunakan untuk menggantikan nama Solo yang lebih populer di masyarakat namun kurang tepat secara ejaan. Menurut Nurhajarini, Triwahyono, dan Gunawan (1999: 7-8) Sala merupakan nama sebuah desa tempat keraton Surakarta didirikan. Sala pun kemudian juga menjadi ibukota Kerajaan Surakarta. Perlu diketahui bahwa luas Kerajaan Surakarta mencakup Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali (Nurhajarini, Triwahyono, dan Gunawan, 1999: 8) sehingga sejak masa kerajaan tersebut berdiri, daerah yang saat ini secara administrasi disebut Surakarta lebih populer dengan nama Sala. 2 Menurut Soetoko, dkk. (1984), Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah ragam bahasa Jawa yang dituturkan oleh masyarakat di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo. Beebrapa ciri khas dialek ini adalah kosakata arek ‘pemuda’, kosakata embong ‘jalan’, dan akhiran –nayang digunakan untuk kata kerja pasif (misalnya dijupukna ‘diambilkan’). 3 Bahasa Jawa dialek Samin dituturkan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. 4 Perkembangan terbaru menunjukkan Bahasa Jawa dialek Using yang dituturkan oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi telah diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri yang sejajar dengan Bahasa Jawa, terutama setelah disertasi Suparman (1987) dan Sarasehan Bahasa Using yang pertama pada tahun 1990 (Arps dalam Moriyama & Budiman, 2010: 225-248).

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 3: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Sala-Yogyakarta. Adapun pidato di parlemen, perkuliahan di universitas, dan siaran berita di

radio serta televisi hampir dapat dipastikan menggunakan Bahasa Indonesia.5 Keadaan

kebahasaan tersebut berlangsung hingga awal tahun 2000-an.

Saat ini zaman telah berubah. Sejak 1 Januari 2001, sistem pemerintahan yang dulu

terpusat diganti dengan otonomi daerah, sistem yang memungkinkan setiap daerah

mengembangkan potensi dan ciri khas masing-masing. Salah satu dampak perubahan ini

adalah mulai terangkatnya dialek-dialek lokal melalui berbagai media, misalnya berdirinya

JTV yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya. JTV adalah stasiun televisi lokal Jawa

Timur yang berdiri pada November 2001. Stasiun televisi ini mempunyai beberapa program

yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya, seperti program berita Pojok Kampung,

ludruk Kartolo CS, dan film-film asing yang disulih suara dengan Bahasa Jawa dialek

Surabaya. Digunakannya Bahasa Jawa dialek Surabaya pada program berita di televisi

menunjukkan adanya kemungkinan masyarakat Surabaya telah menempatkan Bahasa Jawa

dialek Surabaya sebagai dialek yang patut digunakan pada situasi-situasi resmi.

Selain JTV, terdapat beberapa fenomena lain seperti munculnya toko-toko kaos khas

Kota Surabaya6; akun-akun bertema Surabaya di media sosial Twitter; dan komunitas

mahasiswa Surabaya di Universitas Indonesia, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, serta

Institut Teknologi Bandung yang mengangkat Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai ciri khas

atau identitas mereka. Beberapa fenomena tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya

semakin memiliki kesadaran bahwa daerah mereka berbeda dengan daerah-daerah lain.

Kesadaran kedaerahan ini mirip dengan konsep kesadaran kesukuan yang oleh Asako

Shiohara (Moriyama dan Budiman, 2010: 200) dianggap melatarbelakangi terwujudnya

kesadaran bahasa. Dalam makalahnya mengenai kondisi penutur bahasa-bahasa di Indonesia

Timur, Shiohara menjelaskan bahwa kesadaran kesukuan dapat memunculkan kesadaran

bahasa, dan kesadaran bahasa dapat memunculkan penilaian-penilaian positif anggota suku

terhadap bahasa suku tersebut. Dalam kasus Bahasa Jawa dialek Surabaya, kesadaran

kedaerahan kemungkinan juga dapat memunculkan kesadaran bahasa. Kesadaran berbahasa

ini dapat memunculkan penilaian-penilaian positif masyarakat Kota Surabaya terhadap

Bahasa Jawa dialek Surabaya, serta mengubah penilaian mereka terhadap Bahasa Jawa dialek

                                                                                                                         5 Menurut Quinn (dalam Moriyama dan Budiman, 2010: 2009), TVRI dan RRI yang merupakan media penyiaran pelindung utama Bahasa Jawa bahkan cenderung menyiarkan program berbahasa Jawa pada malam hari atau jam-jam yang relatif sepi penonton atau pendengar. Adapun penggunaan bahasa untuk khotbah keagamaan dan penulisan puisi di Surabaya belum penulis temukan data yang pasti. 6 Salah satu desain kaos khas Kota Surabaya yang dijual toko Cak Cuk, misalnya, berjudul “Jika Dialog Wayang Kulit Menggunakan Bahasa Jawa Surabaya”. Desain kaos ini menampilkan gambar beberapa tokoh wayang kulit yang sedang berbicara dengan Bahasa Jawa dialek Surabaya.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 4: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Sala-Yogyakarta. Akan tetapi, hal ini harus diteliti lebih lanjut. Menurut Agheyisi dan

Fishman (Suhardi, 1996: 37), penelitian mengenai penilaian penutur bahasa terhadap bahasa

serta ragam-ragam dalam bahasanya merupakan bagian dari penelitian sikap bahasa.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian terhadap sikap masyarakat Kota Surabaya

terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta perlu

dilakukan untuk mengetahui sikap bahasa masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa

dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta saat ini.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma campuran. Paradigma campuran merupakan

kombinasi antara paradigma kualitatif dan paradigma kuantitatif. Penggunaan paradigma

campuran bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian yang semaksimal mungkin. Adapun

metode yang digunakan adalah metode survei dan metode deskriptif. Metode survei adalah

metode yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai variabel dari sekelompok

obyek (Noor, 2011: 38). Metode kedua adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah

metode yang bertujuan mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat ini

(Noor, 2011: 34).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekspresi-ekspresi verbal maupun

nonverbal dari para responden yang menunjukkan sikapnya. Ekspresi verbal mencakup

penggunaan bahasa pada kehidupan sehari-hari dan pernyataan lisan mengenai sikap,

sedangkan ekspresi nonverbal meliputi penggunaan bahasa pada tulisan dan pernyataan

tertulis mengenai sikap.

Populasi penelitian ini adalah masyarakat Kota Surabaya, baik yang pada saat

penelitian tinggal di Kota Surabaya maupun yang sedang merantau. Dimasukkannya anggota

masyarakat Kota Surabaya yang sedang merantau ke dalam populasi penelitian bertujuan

untuk mengetahui pengaruh interaksi responden dengan penutur bahasa atau dialek lain

terhadap sikap responden.

Populasi masyarakat Kota Surabaya yang sedang merantau diwakili oleh anggota

paguyuban mahasiswa Universitas Indonesia asal Surabaya, Arek Suroboyo UI (ASUI).

Berdasarkan data tahun 2013 diketahui anggota paguyuban ini berjumlah 94 orang. Anggota

paguyuban ini tidak hanya mahasiswa yang tinggal di Kota Surabaya, tetapi juga mahasiswa

yang tinggal di luar Kota Surabaya namun menempuh pendidikan SMA di Kota Surabaya.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 5: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik pusposive sampling.

Teknik pusposive sampling adalah teknik pemilihan sampel dengan pertimbangan khusus

sehingga seseorang menjadi layak untuk dijadikan sampel (Noor, 2011: 155). Sampel

penelitian harus dapat menunjukkan tujuan penelitian tetapi tidak harus mewakili keseluruhan

populasi. Berdasarkan teknik pemilihan sampel tersebut, maka tidak semua anggota ASUI

akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak

13 orang yang cukup lama tinggal di wilayah pakai Bahasa Jawa dialek Surabaya.7 Selain itu,

para responden tersebut dipilih karena tinggal di area yang sama dan sering bepergian

bersama sehingga memudahkan proses pengumpulan data. Para responden yang merupakan

anggota ASUI pada penelitian ini disebut menggunakan nomor 1 sampai 13.

Berdasarkan teknik pusposive sampling tersebut pula dipilih 17 responden yang pada

saat penelitian tinggal di Kota Surabaya. Responden yang tinggal di Kota Surabaya

dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok responden berusia di bawah 25 tahun dan

kelompok responden berusia di atas 25 tahun. Kedua kelompok ini masing-masing dibagi lagi

menjadi dua kelompok berbeda, yaitu (1) kelompok responden yang memiliki pengaruh

dalam menentukan keadaan kebahasaan di Kota Surabaya dan (2) kelompok yang tidak

memiliki pengaruh dalam menentukan keadaan kebahasaan di Kota Surabaya. Kelompok

pertama adalah para responden yang pada saat penelitian dan di masa depan diasumsikan

berprofesi sebagai guru Bahasa Jawa, pejabat publik, pembicara di depan publik, serta

penentu kebijakan di media massa. Adapun kelompok kedua merupakan responden yang pada

saat penelitian dan di masa depan diasumsikan berprofesi selain profesi-profesi kelompok

pertama.

Pembagian responden ke dalam kelompok-kelompok tersebut bertujuan untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa responden. Pembagian responden

berdasarkan tempat tinggal bertujuan untuk melihat pengaruh interaksi dengan masyarakat

daerah lain. Pembagian responden berdasarkan usia bertujuan untuk melihat pengaruh

perubahan sosial-politik setelah masa reformasi. Adapun pembagian responden berdasarkan

profesi bertujuan untuk melihat kelompok manakah yang sikapnya paling berpengaruh bagi

keadaan kebahasaan di Kota Surabaya saat ini.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan empat teknik berikut ini.

                                                                                                                         7 Menurut Soetoko, dkk. (1984), wilayah pemakaian Bahasa Jawa dialek Surabaya, selain Kota Surabaya, adalah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 6: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

a) Samaran Terbanding

Teknik ini dilakukan dengan meminta seseorang untuk menilai ciri-ciri

seorang pembicara yang telah direkam suaranya. Dalam rekaman tersebut, pembicara

yang merupakan seorang yang mampu berbicara dalam Bahasa Jawa dialek Surabaya

dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta membacakan sebuah teks dalam kedua

dialek tersebut. Penilai (responden) diberi kesan seolah-olah terdapat dua pembicara

dalam rekaman tersebut. Berdasarkan bahasa dari pembicara dalam rekaman tersebut

penilai diminta menilai ciri kepribadian pembicara dengan lima kategori penilaian,

yaitu Formal, Ilmiah, Wibawa, Humor, dan Akrab. Penilaian terhadap ciri

kepribadain pembicara tersebut dilakukan melalui skala empat kolom seperti di

bawah ini.

Formal Tidak Formal

Angka empat menunjukkan sikap “sangat ....”, sebaliknya angka satu

menunjukkan sikap “sangat tidak ....”. Dapat pula dipahami sisi sebelah kiri

menunjukkan sikap positif terhadap kategori dan semakin ke kanan menunjukkan

sikap yang semakin negatif terhadap kategori. Penilai diminta memberikan tanda

silang pada salah satu angka tersebut.

Teks untuk teknik samaran terbanding sengaja disusun oleh penulis sendiri

agar dapat leluasa memasukkan leksikon-leksikon yang merupakan pembeda Bahasa

Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa Sala-Yogyakarta. Penggunaan leksikon-

leksikon pembeda tersebut diharapkan dapat menunjukkan perbedaan antara Bahasa

Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dengan maksimal.

Leksikon-leksikon pembeda yang digunakan untuk menyusun teks diambil dari data-

data hasil penelitian terdahulu, terutama hasil penelitian Soedjito dkk. (1981) dan

Mayani dkk. (2004), serta berdasarkan pengetahuan peneliti mengenai kedua dialek.

Agar kedua versi teks di atas setara dalam hal tingkat tutur, peneliti juga sengaja

menggunakan tingkat tutur ngoko (kasar) untuk kedua versi teks. Berikut adalah

kedua versi teks yang digunakan pada teknik ini.

Teks versi Bahasa Jawa dialek Surabaya:

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutha Jakarta esuk maeng nganakna razia

wong ngemis. Akeh wong ngemis sing kecekel pas lagi njaluk-njaluk dhuwik nang

embong. Sing dicekel ogak mek wong-wong tuwek, nanging uga arek-arek cilik sing

4 3 2 1

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 7: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

ngamen nang prapatan. Arek-arek ngamen karo wong-wong ngemis maeng langsung

diunggahna menyang dhukur mobil Satpol PP. Satpol PP olehe ngunggahna rada

kasar nganti onok wong ngemis sing dhuwike logur. Mbarek wis munggah kabeh,

komendhan Satpol PP ngijir wong-wong sing dirazia maeng. Sawise kuwi, Pak

Komendhan ngomong lek mene bakal nganakna razia maneh amarga ijik akeh wong

ngemis sing durung kecekel. Lek razia kaya maeng dianakna terus, dhiluk engkas

Jakarta bakal saya resik.

Teks versi Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta:

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutha Jakarta mau esuk nganakake razia

wong ngemis. Akeh wong ngemis sing kecekel pas lagi njaluk-njaluk dhuwit ing

dalan. Sing dicekel ora mung wong-wong tuwa, nanging uga bocah-bocah cilik sing

ngamen ing prapatan. Bocah-bocah ngamen karo wong-wong ngemis mau langsung

diunggahake menyang dhuwur mobil Satpol PP. Satpol PP olehe ngunggahake rada

kasar nganti ana wong ngemis sing dhuwite tiba. Sawise munggah kabeh,

komendhan Satpol PP ngitung wong-wong sing dirazia mau. Sawise kuwi, Pak

Komendhan ngomong yen sesuk bakal nganakake razia maneh amarga isih akeh

wong ngemis sing durung kecekel. Yen razia kaya mau dianakake terus, sedhela

maneh Jakarta bakal saya resik.

b) Kuesioner

Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu

(1) data diri responden dan (2) sikap bahasa responden. Seperti yang telah disebutkan

pada bagian sebelumnya, responden dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu responden

yang tinggal di Kota Surabaya dan responden yang sedang merantau. Oleh karena

itu, kuesioner untuk kedua kelompok responden ini pun berbeda. Bagian pertama

kuesioner untuk responden yang tinggal di Kota Surabaya berisi pertanyaan tentang

nama, usia, pekerjaan, dan masa tinggal di Surabaya. Adapun bagian pertama

kuesioner untuk responden yang sedang merantau berisi pertanyaan jenis kelamin,

usia, tahun masuk Universitas Indonesia, dan kota kelahiran. Kuesioner untuk

responden yang sedang merantau (yang merupakan Mahasiswa Universitas

Indonesia) tidak menanyakan nama dengan pertimbangan agar responden dapat lebih

terbuka dalam mengisi kuesioner.

Pada bagian yang kedua, responden tidak diminta untuk menjawab

pertanyaan, tetapi diminta untuk menilai pernyataan-pernyataan. Pernyataan-

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 8: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

pernyataan dalam kuesioner ini disusun untuk melihat sikap bahasa sesuai dengan

teori yang diperkenalkan oleh Rokeach (1972). Teori tersebut memandang sikap

sebagai sebuah tata kepercayaan, dan setiap kepercayaan dalam tata kepercayaan

tersebut mengandung tiga komponen, yakni 1) komponen kognitif karena

mencerminkan pengetahuan seseorang, 2) komponen afektif karena dapat

memberikan respons positif atau negatif terhadap suatu obyek berdasarkan afeksi

(perasaan), dan 3) komponen perilaku karena dapat menjadi potensi kecenderungan

bertindak (Rokeach, 1972: 113).

Berdasarkan teori tersebut, maka bagian pernyataan sikap disusun menjadi

tiga kelompok pernyataan, yaitu mengenai aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek

perilaku responden. Masing-masing kelompok pernyataan tersebut terdiri dari 6

pernyataan, sehingga secara keseluruhan terdapat 18 pernyataan. Pernyataan tersebut

dinilai dengan menggunakan skala seperti yang dicontohkan oleh Likert (1932 dalam

Summers, 1977: 149-158), yang berupa pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), tidak

setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pilihan ragu-ragu atau tidak berpendapat

sengaja tidak diberikan untuk memperoleh gambaran sikap yang akurat. Hal ini

sesuai dengan saran Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1957 dalam Summers, 1977:

229) yang menyebutkan bahwa pilihan jawaban netral adalah sesuatu yang sebaiknya

dihindari pada penelitian sikap.

Pernyataan-pernyataan pada bagian skala sikap juga disusun sesuai dengan

teknik yang digunakan oleh Suhardi (1996) dan Rokhman (1996), yakni terdiri dari

pernyataan yang bersifat positif terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan

pernyataan yang bersifat negatif terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya. Pernyataan-

pernyataan dalam kuesioner juga disusun dengan membandingkan kedua dialek

tersebut karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap responden terhadap

Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.Selain

berdasarkan teknik-teknik para ahli di atas, pernyataan sikap juga disusun

berdasarkan saran Wang (1932), Thurstone dan Cave (1929), Likert (1932), Bird

(1940) serta Edward dan Kilpatrick (1948) yang dirangkum oleh Edwards (1957:

13).

Teknik samaran terbanding dan kuesioner diterapkan kepada seluruh

responden kecuali Bayu dan Wiyoto. Pengecualian ini dilakukan karena jadwal Bayu

dan Wiyoto terlalu padat. Selain itu, pertimbangan mengenai kesopanan juga

membuat peneliti memutuskan untuk tidak menerapkan teknik samaran terbanding

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 9: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

dan kuesioner terhadap kedua responden ini. Sebagai gantinya, wawancara terhadap

kedua responden ini dilakukan dengan lebih mendalam dibandingkan dengan

responden lain.

c) Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk menggali data yang lebih rinci dari

responden. Wawancara yang dilakukan bersifat terstruktur dan tidak terstruktur.

Wawancara terstruktur dilakukan setelah responden mengisi kuesioner dan lembar

penilaian samaran terbanding. Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara terstruktur ini

sebelumnya telah dirancang macam dan urutannya, dan tidak dapat diubah-ubah.

Jadwal wawancara pun telah ditentukan sehingga dapat dilakukan perekaman suara

atau pencatatan pada saat wawancara. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang

ditanyakan pada wawancara terstruktur.

a. Setahu Anda, Bahasa Jawa dialek Surabaya itu seperti apa?

b. Apakah Anda bangga dengan Bahasa Jawa dialek Surabaya?

c. Apakah Anda setuju jika Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan pada

situasi situasi resmi seperti khotbah Jumat, berita di televisi, berita di koran,

dan diajarkan di sekolah-sekolah di Surabaya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan kepada responden yang merupakan

warga asli Surabaya atau daerah pemakaian Bahasa Jawa dialek Surabaya yang lain

(Gresik dan Sidoarjo). Adapun untuk responden yang bukan warga asli Surabaya,

pertanyaan (b) diganti dengan “Bagaimana kesan Anda saat mendengar orang

berbicara menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya?” Pertanyaan (a) pada

wawancara terstruktur digunakan untuk mengungkap aspek kognitif, pertanyaan (b)

digunakan untuk mengungkap aspek afektif, dan pertanyaan (c) digunakan untuk

mengungkap aspek perilaku responden. Pertanyaan (b) yang ditanyakan untuk

responden yang merupakan warga asli Surabaya disusun dengan menyinggung aspek

kebanggaan daerah karena aspek ini menurut Alwasilah (1990: 118) terkait erat

dengan identitas sosial dan identitas sosial terkait erat dengan sikap bahasa.

Pertanyaan (c) disusun dengan menanyakan penggunaan bahasa pada situasi-situasi

resmi karena menurut Ferguson (Alwasilah, 1990: 141) penggunaan bahasa pada

situasi resmi dapat menunjukkan bahasa yang lebih diunggulkan oleh para

responden.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 10: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Selain wawancara terstruktur, penulis juga melakukan wawancara tidak

terstruktur. Wawancara ini dilakukan saat perbincangan informal dengan para

responden. Karena bersifat informal, maka macam dan urutan pertanyaan yang

diajukan pun menyesuaikan keadaan. Pada wawancara jenis ini peneliti berusaha

semaksimal mungkin untuk membuat responden merasa nyaman mengutarakan

pendapatnya. Wawancara tak terstruktur ini diperlukan untuk menggali informasi

lebih dalam yang mungkin tidak terungkapkan saat wawancara terstruktur.

Wawancara terstruktur pada penelitian ini sebenarnya dirancang untuk tidak

diubah-ubah selama penelitian berlangsung. Akan tetapi, dalam proses penelitian

ternyata diperlukan beberapa penyesuaian untuk mendapatkan data yang lebih

mendalam. Dengan demikian, akhirnya perbedaan antara wawancara terstruktur dan

tak terstruktur pada penelitian ini hanya pada aspek dokumentasi dan jadwal. Seluruh

proses wawancara terstruktur telah didokumentasikan melalui alat perekam suara

atau pencatatan, sedangkan hasil wawancara tak terstruktur tidak semua

terdokumentasikan. Pada wawancara tidak terstruktur peneliti hanya mengingat

bagian-bagian penting percakapan. Hal ini karena sifatnya yang tidak terjadwal

sehingga tidak mungkin mempersiapkan catatan atau alat perekam suara.

d) Pengamatan

Teknik pengamatan akan dilakukan untuk melengkapi data-data hasil samaran

terbanding, kuesioner, dan wawancara. Sesuai dengan teori Rokeach (1972), hasil

pengamatan perilaku kebahasaan tidak dapat menjadi data utama penelitian karena

teori tersebut memandang sikap bahasa sebagai sesuatu yang ada dibalik perilaku

kebahasaan, bukan perilaku tersebut. Rokeach (1972: 119) juga menyebutkan bahwa

sering terlihat ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku. Pengamatan dilakukan tidak

hanya terhadap responden penelitian, namun juga terhadap aktifitas-aktifitas

kebahasaan masyarakat Kota Surabaya yang lain. Pengamatan terutama dilakukan di

tempat-tempat berikut ini:

• indekos Mahasiswa Universitas Indonesia asal Surabaya di Kelurahan

Kukusan, Beji, Depok;

• Dukuh Wonokitri Gang VIII, Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan

Wonokromo, Kota Surabaya;

• daerah perumahan di samping Ciputra World, Jl. Mayjend Sungkono, Kota

Surabaya;

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 11: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

• lapangan upacara Komando Daerah Militer (Kodam) V/Brawijaya, Kota

Surabaya;

• kantor Jawa Pos Media Televisi, Kompleks Graha Pena, Jl. Ahmad Yani,

Kota Surabaya.

Kajian Pustaka

a. Penelitian Terdahulu Sikap terhadap bahasa telah menjadi perhatian para linguis Indonesia sejak lama.

Karya tulis pertama yang membahas topik ini adalah buku Harimurti Kridalaksana yang

berjudul Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (1974). Setelah karya tersebut hingga saat ini telah

banyak karya tulis tentang sikap bahasa. Akan tetapi, hanya beberapa yang membahas sikap

terhadap bahasa daerah atau khususnya terhadap Bahasa Jawa. Lebih lanjut, belum terdapat

penelitian yang membahas sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek

Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.

b. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori Rokeach (1972) yang melihat sikap sebagai “Tata

kepercayaan yang secara relatif berlangsung lama mengenai suatu obyek atau situasi yang

mendorong seseorang untuk merespons dengan cara-cara tertentu.” Berdasarkan definisi

tersebut dapat dipahami bahwa sikap adalah tatanan beberapa kepercayaan terhadap suatu

obyek yang saling berhubungan satu sama lain. Tata kepercayaan ini bertahan dalam benak

manusia dalam waktu yang lama dan mempengaruhi cara-cara bertindak atau merespons. Jika

tata kepercayaan tersebut tidak bertahan lama, maka tidak dapat disebut sikap. Batas waktu

“bertahan lama” dan “tidak bertahan lama” sebenarnya mustahil untuk dijelaskan lebih rinci,

tetapi dapat diukur dengan melihat konsistensi kecenderungannya melalui pengujian yang

berulang-ulang (Rokeach, 1972: 112).

Rokeach (1972: 116) kemudian juga menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud

dengan tata kepercayaan dalam definisi sikap yang ia ajukan. Seperti yang telah disebutkan di

atas, frase tata kepercayaan menunjukkan makna terdapat beberapa kepercayaan yang saling

berhubungan dengan pola tertentu. Pola hubungan antarkepercayaan satu dengan kepercayaan

lain dalam membentuk sebuah tata kepercayaan yang utuh dapat dijelaskan melalui lima

perspektif, yaitu diferensiasi, sentralitas, waktu, kekhususan atau keumuman, dan keluasan

atau kesempitan.

Selain teori Rokeach, penelitian ini juga menggunakan teori mengenai fungsi bahasa

sebagai pelengkap. Menurut Hoed (2011: 2), selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 12: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

memiliki empat fungsi lain, yaitu:

1. Fungsi vernakular. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam satu

kelompok masyarakat.

2. Fungsi vehikular, Bahasa berfungsi sebagai wahana komunikasi di bidang

administrasi, hukum, dan/atau politik, atau komunikasi antar kelompok yang

berbeda bahasa.

3. Fungsi referensial kultural. Bahasa berfungsi sebagai referensi pada kebudayaan

suatu kelompok masyarakat atau kelompok etnis (misalnya sebagai bahasa dalam

kehidupan sosial atau bahasa upacara tradisional).

4. Fungsi mitis atau religius, sebagai bahasa yang digunakan dalam ranah agama

atau kepercayaan (misalnya dalam upacara religius, mitologi, atau penyebaran

agama).

Empat fungsi bahasa di atas dapat digunakan untuk melihat fungsi-fungsi Bahasa Jawa

dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta menurut masyarakat Kota

Surabaya. Semakin banyak fungsi sebuah bahasa/dialek, semakin positif sikap masyarakat

terhadap bahasa/dialek tersebut, sehingga semakin bahasa/dialek tersebut dapat terus hidup

(bervitalitas tinggi).

Hasil Penelitian

Setelah melalui tahap pengumpulan data dan analisis berdasarkan variabel

differensiasi, diketahui bahwa sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek

Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tersusun atas 14 kepercayaan berikut ini.

1. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah bahasa formal sedangkan Bahasa

Jawa dialek Surabaya nonformal.

2. Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih mengandung kesan akrab dibandingkan

Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.

3. Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa

dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan.

4. Bahasa Indonesia lebih halus dan sopan dibandingkan Bahasa Jawa Dialek

Surabaya.

5. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan.

6. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tidak mengandung rasa humor sedangkan

Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung rasa humor.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 13: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

7. Bahasa Jawa dialek Surabaya tidak berwibawa sedangkan Bahasa Jawa dialek

Sala-Yogyakarta berwibawa.

8. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang seru, asyik, keren, gaul, dan

identik dengan anak muda.

9. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta lebih mengandung kesan ilmiah

dibandingkan Bahasa Jawa dialek Surabaya.

10. Bahasa Indonesia lebih mengandung kesan ilmiah dibandingkan Bahasa Jawa.

11. Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung kesan tidak rumit, tidak kaku, blak-

blakan, jujur, terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-

Yogyakarta.

12. Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling

lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.

13. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bagian keragaman budaya bangsa yang harus

dilestarikan.

14. Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang egaliter.

Di antara keempat belas kepercayaan di atas, ditinjau dari variabel sentralitas, terdapat

empat kepercayaan yang paling sentral, yaitu (berturut-turut) kepercayaan ketiga, pertama,

ketiga belas dan kelima. Empat kepercayaan tersebut telah teruji lebih berpengaruh terhadap

kepercayan-kepercayaan yang lain, lebih tahan lama, dan lebih tahan terhadap perubahan.

Apabila salah satu dari empat kepercayaan tersebut berubah, dampaknya terhadap

kepercayan-kepercayaan yang lain akan sangat besar.

Berdasarkan variabel perspektif waktu diketahui bahwa kepercayaan yang

berperspektif waktu luas adalah kepercayaan keempat dan kesepuluh. Kedua kepercayaan

tersebut dapat disebut luas karena mengacu pada keadaan di masa lalu, masa kini, dan

kemungkinan di masa depan. Adapun kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan

tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan merupakan

kepercayaan yang sempit karena hanya mengacu pada keadaan di masa lalu. Hal ini juga

berlaku untuk kepercayaan pertama, kedua, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan,

kesebelas, kedua belas, ketiga belas, dan keempat belas. Demikian pula kepercayaan Bahasa

Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan dan Bahasa Jawa dialek

Surabaya adalah bagian keragaman budaya bangsa yang harus dilestarikan merupakan

kepercayaan yang belum dapat disebut luas karena hanya mengacu pada keadaan di masa kini

dan kemungkinan keadaan di masa depan.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 14: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Ditinjau dari variabel kekhususan atau keumuman (specifity or generality), dapat

diketahui bahwa kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan

sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan dapat digunakan untuk

memprediksi adanya sembilan kepercayaan lain, yaitu:

• Bahasa Jawa dialek Surabaya tidak ilmiah sedangkan Bahasa Jawa dialek Sala-

Yogyakarta ilmiah

• Kepercayaan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah bahasa formal

sedangkan Bahasa Jawa dialek Surabaya nonformal.

• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta tidak mengandung rasa humor sedangkan

Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung rasa humor.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang seru, asyik, keren, gaul, dan

identik dengan anak muda.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bahasa yang egaliter

• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling

lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih mengandung kesan akrab dibandingkan

Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya mengandung kesan tidak rumit, tidak kaku, blak-

blakan, jujur, terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-

Yogyakarta.

• Bahasa Indonesia lebih halus dan sopan dibandingkan Bahasa Jawa Dialek

Surabaya.

Selain dapat digunakan untuk memprediksi adanya ekspresi verbal atas sembilan

kepercayaan di atas, kepercayaan ini juga dapat digunakan untuk memprediksi adanya

ekspresi-ekspresi verbal dan nonverbal berikut ini.

• Campur kode yang dilakukan oleh masyarakat Kota Surabaya dengan

menggunakan unsur-unsur dari Bahasa Indonesia saat interaksi antara penutur

dan mitra tutur kurang akrab, atau akrab tetapi dalam hubungan berpacaran.

• Penggunaan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dalam buku ajar Bahasa Jawa

yang disusun oleh penerbit asal Surabaya yang diedarkan pada sekolah-sekolah

di Kota Surabaya.

• Penggunaan Bahasa Jawa dialek Surabaya pada spanduk layanan masyarakat

yang dikeluarkan oleh Polresta Surabaya. Penggunaan Bahasa Jawa dialek

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 15: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Surabaya ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa Bahasa Jawa dialek

Surabaya mengandung kesan akrab, tidak rumit, tidak kaku, blak-blakan, jujur,

terbuka, dan lebih berani dibandingkan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta.

Adapun kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah bagian keragaman

budaya bangsa yang harus dilestarikan dapat digunakan untuk memprediksi adanya

kepercayaan-kepercayaan berikut ini.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang harus dibanggakan.

• Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta adalah dialek yang paling benar dan paling

lengkap dibandingkan dialek-dialek yang lain.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya kasar dan tidak sopan sedangkan Bahasa Jawa

dialek Sala-Yogyakarta halus dan sopan.

Ekspresi verbal kepercayaan Bahasa Jawa dialek Surabaya adalah identitas yang

harus dibanggakan juga merupakan kepercayaan yang dapat digunakan untuk memprediksi

ekspresi-ekspresi nonverbal berikut ini.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh akun-akun media sosial sebagai

bahan posting.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh para mahasiswa Universitas

Indonesia asal Surabaya sebagai nama paguyuban mereka.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya digunakan oleh toko-toko kaos khas Surabaya

sebagai bahan desain.

• Bahasa Jawa dialek Surabaya diperkenalkan di situs resmi pariwisata Kota

Surabaya.

Berdasarkan variabel keluasan atau kesempitan, sikap masyarakat Kota Surabaya.

terhadap Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dapat disebut

luas karena mencakup berbagai segi penggunaan bahasa berikut ini.

• Bahasa untuk situasi resmi atau formal.

• Bahasa untuk situasi nonformal.

• Bahasa untuk pendidikan dan konteks ilmiah.

• Bahasa untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang belum akrab.

• Bahasa untuk berkomunikasi dengan lawan bicara yang telah akrab.

• Bahasa untuk konteks komedi.

• Bahasa untuk identitas daerah.

• Bahasa sebagai bagian dari keragaman budaya.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 16: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Berdasarkan teori Hoed mengenai fungsi bahasa, diketahui bahwa menurut para

responden, Bahasa Jawa dialek Surabaya memiliki fungsi yang lebih vital sebagai bahasa

vernakular dan referensi kultural. Fungsi Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai bahasa

vernakular (bahasa untuk berkomunikasi dalam satu komunitas) terlihat dari adanya

kepercayaan mengenai fungsi dialek ini sebagai sarana interaksi dengan lawan bicara yang

telah akrab. Selain itu, fungsi ini juga terlihat dari adanya kepercayaan bahwa Bahasa Jawa

dialek Surabaya kurang cocok digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat dari daerah

lain.

Fungsi referensi kultural Bahasa Jawa dialek Surabaya terlihat dari digunakannya

dialek ini sebagai identitas daerah oleh masyarakat Kota Surabaya. Fungsi ini terlihat dalam

berbagai ranah, yaitu ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Fungsi referensi kultural pada

ranah sosial terlihat dari komunitas mahasiswa asal Surabaya di Universitas Indonesia,

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan Institut Teknologi Bandung yang menggunakan

Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai ciri khas mereka. Fungsi referensi kultural pada ranah

ekonomi terlihat dari digunakannya Bahasa Jawa dialek Surabaya sebagai bahan desain kaos

khas Kota Surabaya dan diperkenalkannya dialek ini pada situs resmi pariwisata Kota

Surabaya. Pada ranah pendidikan, fungsi referensi kultural terlihat dari adanya inisiatif dari

para seniman dan pemerhati budaya Kota Surabaya untuk membuat kurikulum pendidikan

Bahasa Jawa yang memuat Bahasa Jawa dialek Surabaya. Selain itu, inisiatif mahasiswa

Universitas Negeri Surabaya untuk membantu JTV menyusun kamus Bahasa Jawa dialek

Surabaya juga menunjukkan fungsi referensi kultural dialek ini pada ranah pendidikan.

Bahasa vehikular adalah bahasa yang digunakan sebagai wahana komunikasi di

bidang administrasi, hukum, dan/atau politik, atau komunikasi antar kelompok yang berbeda

bahasa (Hoed, 2011: 2). Para responden sebenarnya ingin menempatkan Bahasa Jawa dialek

Sala-Yogyakarta sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dari daerah

lain, namun terhalang oleh ketidakmampuan mereka menggunakan dialek ini. Oleh karena itu,

fungsi bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dari daerah lain akhirnya

ditempati oleh Bahasa Indonesia. Demikian pula Bahasa Indonesia digunakan untuk

berkomunikasi dengan masyarakat dari etnis selain Jawa. Pada bidang administrasi, hukum,

dan politik pun Bahasa Indonesia sangat vital fungsinya karena telah diatur dalam Undang-

Undang Republik Indonesia.

Adapun fungsi mitis bahasa pada masyarakat Kota Surabaya diisi oleh Bahasa Jawa

dialek Surabaya dan Bahasa Indonesia. Menurut penuturan responden 6, khotbah Jumat di

daerahnya menggunakan Bahasa Jawa dialek Surabaya. Hal ini menunjukkan Bahasa Jawa

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 17: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

dialek Surabaya memiliki fungsi mitis pada masyarakat Kota Surabaya. Pengamatan peneliti

terhadap khotbah Jumat pada sebuah masjid di daerah Lidah Wetan, Kota Surabaya

menunjukkan fungsi mitis ini juga dimiliki oleh Bahasa Indonesia.

Selain diketahui sikap masyarakat Kota Surabaya terhadap Bahasa Jawa dialek

Surabaya dan Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta, berdasarkan penelitian ini juga diketahui

bahwa faktor kesadaran daerah dan kesadaran bahasa memiliki pengaruh yang lebih besar

terhadap sikap responden dibandingkan faktor pendidikan dan usia. Semakin responden

memiliki kesadaran kedaerahan dan kebahasaan, semakin positif sikapnya terhadap “bahasa”

daerahnya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dengan teori Rokeach (1972), diketahui bahwa posisi

Bahasa Jawa dialek Sala-Yogyakarta dan Bahasa Jawa dialek Surabaya pada sistem tata

kepercayaan para responden cukup seimbang. Kedua dialek tersebut dipandang memiliki

fungsi yang berbeda oleh para responden. Selanjutnya, hasil analisis dengan teori Hoed

(2011) mengenai fungsi bahasa menunjukkan bahwa pada masyarakat Kota Surabaya, fungsi

Bahasa Jawa dialek Surabaya lebih vital dibandingkan fungsi Bahasa Jawa dialek Sala-

Yogyakarta. Hal ini menunjukkan daya hidup Bahasa Jawa dialek Surabaya dan Bahasa

Indonesia di Kota Surabaya lebih tinggi dibandingkan daya hidup Bahasa Jawa dialek Sala-

Yogyakarta.  

 

 

Daftar Referensi

Buku

Alwasilah, A. Chaedar. 1990 . Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

________. 2006 . Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian

Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Arps, Bernard. 2010. “Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media

Elektrik di Dalamnya”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat Bahasa Selaras

Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru (Hlm. 225-248).

Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo

University of Foreign Studies.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 18: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Edwards, Allen L. 1957. Techniques of Attitude Scale Construction. New York: Appleton-

Century-Crofts, INC.

Kridalaksana, Harimurti. 1974. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa Indah.

Kushartanti & Untung Yuwono. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Likert, Rensis. 1932. “A Technique for The Measurement of Attitudes”. Dalam Gene F.

Summers (Ed.). Attitude Measurement (Hlm. 149-158). London: Kershaw Publishing

Company Ltd.

Moriyama, Mikihiro dan Manneke Budiman (Ed.). 2010. Geliat Bahasa Selaras Zaman:

Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru. Tokyo: Research Institute

for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah.

Jakarta: Kencana.

Nurhajarini, Dwi Ratna, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan. 1999. Sejarah Kerajaan

Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Osgood, Charles E., George J. Suci, dan Percy H. Tannenbaum. “Attitude Measurement”.

Dalam Gene F. Summers (Ed.). Attitude Measurement (Hlm. 227-234). London:

Kershaw Publishing Company Ltd.

Quinn, George. 2010. “Kesempatan dalam Kesempitan? Bahasa dan Sastra Jawa Sepuluh

Tahun Pasca Ambruknya Orde Baru”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat

Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru

(Hlm. 207-224). Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and

Africa, Tokyo University of Foreign Studies.

Rokeach, Milton. 1972. Beliefs, Attitudes and Values: A Theory of Organization and Change.

San Fransisco: Jossey-Bass Inc. Publishers.

Shiohara, Asako. 2010. “Penutur Bahasa Minoritas di Indonesia Timur: Mempertanyakan

Keuniversalan Konsep Multibahasa”. Dalam Moriyama & Budiman (Ed.). Geliat

Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca Orde Baru

(Hlm. 168-206). Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and

Africa, Tokyo University of Foreign Studies.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014

Page 19: Sikap Bahasa Masyarakat Kota Surabaya Terhadap Bahasa Jawa

Soetoko, dkk. 1984. Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Surabaya. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia.

Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedhatama Widya Sastra.

Summers, Gene F. (Ed.). 1977. Attitude Measurement. London: Kershaw Publishing

Company Ltd.

Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Telaah Eksploratif atas Sekelompok Mahasiswa di

Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Laporan Penelitian

Hoed, Benny H. 2011. “Ekologi Bahasa, Revitalisasi Bahasa, Identitas dan Tantangan Global

dalam Masyarakat Indonesia yang Multikultur”. Kertas kerja yang disampaikan pada

Seminar Pengembangan dan Perlindungan Bahasa-Kebudayaan Etnik Minoritas untuk

Penguatan Bangsa, PMB-LIPI, Jakarta, 15 Desember 2011.

Sikap bahasa masyarakat kota..., Wahyu Zuli Firmanto, FIB UI, 2014