eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/57322/1/tesis_hendra_w_manurung,_s.h... · web...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
RINGAN
(STUDI KASUS DI POLRES JEPARA)
TESIS
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum
Oleh
Hendra Wijaya Manurung, SH
11010112410017
Dosen Pembimbing
Dr. EKO SOPONYONO, SH.,MH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
1
HALAMAN PENGESAHAN
KEBIJAKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
RINGAN
(STUDI KASUS DI POLRES JEPARA)
TESIS
Disusun Oleh
Hendra Wijaya Manurung, SH
11010112410017
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Program Magister Ilmu Hukum
Mengetahui,
Pembimbing
Dr. Eko Soponyono, SH., MH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada TUHAN YESUS KRISTUS, karena
atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan lancar. Tesis dengan
judul “ KEBIJAKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2
TAHUN 2012 TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
RINGAN ” ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh penulis guna
menyelesaikan Pendidikan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih
kurang sempurna karena keterbatasan kemampuan dan kurangnya pengetahuan
yang penulis miliki. Untuk itulah saran dan kritik dari para pembaca sangat
penulis harapkan. Penyelesaian Tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak baik itu berupa bimbingan, pengarahan, nasehat maupun dorongan moral.
Karena itu tidaklah berlebihan jika penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Retno Saraswati, SH, M.Hum. Selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum yang turut memberikan masukan dan arahan terhadap proses
penyelesaian Tesis ini.
2. Dr. Eko Soponyono, SH.,MH bertindak selaku pembimbing yang telah
dengan sabar memberikan segala petunjuk dan arahan dalam proses
penyelesaian tesis ini.
3. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH. M.Hum yang telah berkenan
memberikan petunjuk dan koreksi guna lebih sempurnanya tesis ini.
3
4. Dr. Pujiono S.H. M.H selaku penguji yang telah berkenan memberikan
petunjuk dan koreksi terhadap Tesis ini.
5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
yang dengan tulus dan ikhlas membimbing dan memberikan tambahan
pengetahuan bagi penulis selama mengikuti perkuliahan.
6. Istriku tercinta Theresia Caroline Sihombing, SH yang telah dengan setia
mendampingi penulis selama studi dan selalu mendoakan, mendorong
serta memberi semangat, kesabaran dan pengertian.
7. Bapak - Ibuku, kedua mertuaku serta saudara – saudaraku Mei, Anton,
Very dan Jaka yang selalu memberikan dorongan besar bagi penulis baik
mental, spiritual maupun materiel.
8. Bapak AKBP M. Taslim C, SH. MH beserta keluarga yang telah
memberikan izin secara dinas kepada penulis selama mengikuti
perkuliahan.
9. Bapak Samsul Trans Trevel Jepara yang banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
10. Anggota polsek Kalinyamatan dan anggota sat lantas polres Jepara yang
selalu setia menemani penulis sewaktu mengikuti perkuliahan.
11. Temanku Andre Sagala, SH yang selalu menemani dan memberi motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Rekan-rekan mahasiswa mahasiswi MIH kelas akhir pekan angkatan 2012
yang selalu menemani hari-hari kuliah dengan keakraban dan
kekompakan.
4
13. Dan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Semoga bimbingan serta bantuan yang telah diberikan mendapat berkat
dari Tuhan, Amin. Demikian sedikit kata pengantar dari penulis. Akhirnya
harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Juni 2014
Penulis
HENDRA WIJAYA MANURUNG, SH
5
Abstrak
Sebagai lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung diberikan beberapa fungsi antara lain membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dibuat dalam rangka memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan, adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif karena merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antar konsep (variabel) yang sedang diteliti. Tujuannya ialah peneliti mendapatkan makna hubungan konsepsional sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHP terhadap penyelesaian perkara tindak pidana ringan pada Polres Jepara sudah berjalan namun belum efektif dikarenakan persepsi penyidik Polri dan Hakim terhadap PERMA No 2 tahun 2012 tidak sesuai dengan sistem tertib hukum Indonesia dimana kedudukan Peraturan Mahkamah Agung adalah peraturan yang letaknya di bawah Undang-Undang. Selain itu pada kenyataanya penegakan hukum dengan menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 mengalami beberapa hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efktifitas hukum.Kata Kunci : Peraturan Mahkamah Agung, Tindak Pidana Ringan.
6
Abstract
As the highest judicial institution of the Supreme Court given several functions, among others, formed the Supreme Court Rules (PERMA). Supreme Court Rules (PERMA) was made in order to meet the needs of state administration, particularly in the areas of justice, while the methods of analysis used in this study is a qualitative analysis method because it is based on the analysis of the relationship between semantic concepts (variables) that are being studied. The goal of researchers is to get the meaning of conceptual relationships that can be used to answer the problem formulated in the study. Supreme Court Regulation No. Policy. 2 In 2012 On Margin Adjustment Lightweight Crime and the amount of fines in the Criminal Code to the settlement summary cases in Jepara district police is already running but is not effective due to the perception of police investigators and judges to PERMA No. 2 in 2012 was not in accordance with Indonesian law and order system in which the position of Regulation the Supreme Court is located in the regulations under the Act. In addition to the fact law enforcement by using Rule 2 of the Supreme Court in 2012 experienced some obstacles that are influenced by several factors, namely: factor of its own law, law enforcement factor, factor means or facilities to support law enforcement, community factors, and cultural factors. These five factors are related to each other tightly, because the essence of the rule of law, also is a measure of the efktifitaslaw. Keywords: Rules of the Supreme Court, Crime Light.
7
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................10
1.1. Latar Belakang.........................................................................................10
1.2. Perumusan Masalah................................................................................17
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................18
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................18
1.5. Kerangka Teori........................................................................................19
1.6. Metode Penelitian.....................................................................................21
1.7. Sistematika Penulisan..............................................................................25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................27
2.1. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan.....................................................27
2.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana.............................................32
2.3. Tinjauan Tindak Pidana Ringan Menurut KUH Pidana....................38
2.4. Tinjauan Tentang Pidana Denda...........................................................48
2.5. Teori Tentang Pemidanaan.....................................................................51
2.6. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Peraturan Perundang-undangan............................................................56
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................62
3.1. Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Dalam Rangka Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Pada Saat Ini...............62
3.1.1. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana.................................................................................62
3.1.2. Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012..............................................112
3.1.3. Penanganan Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 di Polres Jepara....................117
8
3.2. Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung dalam rangka menanggulangi tindak pidana ringan di masa yang akan datang.. . .132
3.2.1. Kajian Komparatif Pengaturan Tindak Pidana ringan dengan Negara Prancis..............................................................................................133
3.2.2. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ringan dimasa yang akan datang...............................................................................................161
BAB IV PENUTUP...........................................................................................164
4.1. Kesimpulan.............................................................................................164
4.1.1. Kebijakan PERMA No. 2 tahun 2012 dalam rangka penyelesaian perkara Tipiring pada saat ini di Polres Jepara.................................177
4.1.2. Kebijakan PERMA No. 2 tahun 2012 dalam rangka penyelesaian perkara Tipiring di masa yang akan datang......................................178
4.2. Saran.......................................................................................................164
9
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dalam system pemerintahan Indonesia memiliki salah
satu ciri atau persyaratan utama dari sebuah negara hukum yaitu terdapatnya
asas pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan yang biasa terdiri dari
kekuasaan legislatif untuk membentuk Undang-Undang, kekuasaan eksekutif
untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang yang dibuat
oleh lembaga legislatif, dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan lembaga
peradilan apabila terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan undang-
undang.
Pemisahan kekuasaan atau biasa disebut trias politica tersebut
merupakan suatu teori yang dipopulerkan oleh Montesquieu dari Perancis dan
teori pemisahan kekuasaan tersebut telah berlaku dalam berbagai Negara, teori
ini muncul karena kekuatiran seorang Montesquieu agar kekuasaan suatu
Negara tidak tersentralisasi, dan ide pemisahan kekuasaan ini semata-mata
demi memperoleh kepastian bahwa kebebasan politik rakyat tidak terciderai1.
Yang selanjutnya montesque menyampaikan bahwa dengan adanya lembaga
legislate kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik dalam gagaasan
tersebut rakyat diposisikan sebagai pemegang kekuasaan Negara2.
1Bernard L. Tanya dkk, 2013, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing. Hal. 782Ibid., hal. 79
10
Kekuasaan yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
(MA) beserta badan peradilan dibawahnya serta sebuah lembaga Mahkamah
Konstitusi (MK) yang terbentuk pada tahun 2003 sebagai suatu produk politik
dalam pemerintahan Indonesia seiring perkembangan hukum, lembaga MK ini
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka tanpa ada
kekuatan intervensi atau pengaruh dari lembaga lain dalam menjalankan
fungsinya. Sebagai dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi ada dalam Pasal
24 UUD 1945 dalam perubahan ketiga. Mahkamah agung juga sama hal nya
dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan suatu pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang di dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Sebagai lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung diberikan
beberapa fungsi untuk menjalankan perannya yaitu fungsi mengadili ditingkat
kasasi, fungsi menguji setiap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang sesuai pasal 24 Aayat 1 UUD 1945.
Selain itu ada fungsi memberikan nasehat kepada lembaga negara lainnya,
fungsi mengawasi seluruh lembaga peradilan yang berada dibawahnya, fungsi
administratif dan fungsi mengatur. Bentuk dan fungsi yang disebut terakhir
adalah dengan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan
Peraturan Mahkamah Agung (PERATURAN MAHKAMAH AGUNG).
Peraturan Mahkamah Agung (PERATURAN MAHKAMAH AGUNG)
setidaknya ada lima fungsi yang dimainkan PERATURAN MAHKAMAH
11
AGUNG RI dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, khususnya
di bidang peradilan. Yakni PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI
dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum, PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG RI sebagai pelengkap ketentuan Undang-Undang yang kurang jelas
mengatur tentang sesuatu hal berkaitan dengan hukum acara, PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG RI sebagai sarana penemuan hukum, PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG RI sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum
khususnya para hakim dalam menjalankan tugasnya di dalam menyelesaikan
kesulitan-kesulitan teknis penerapan hukum acara yang ternyata tidak relevan
lagi pada keadaan saat sekarang ini3, tetapi di sisi lain kewenangan
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG) oleh lembaga yudikatif tersebut dimana dalam praktiknya dapat
berfungsi sebagai Undang-Undang.
Pada awal tahun 2012 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP sebagai bentuk realisasi fungsi
pengaturan yang dimilikinya. Peraturan Mahkamah Agung ( PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG ) ini berhubungan dengan pasal-pasal tindak pidana
ringan dan uang denda dalam KUHP yang tidak lagi relevan diterapkan pada
masa sekarang ini.
KUHP merupakan induk peraturan positif mengenai tindak pidana yang
keberlakuannya disahkan melalui undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang
3 Ronald S Lumbuun, 2011, Ronald S. lumbun, PERMA RI: wujud kerancuan antara praktik pembagian dan pemisahan kekuasaan, Jakrta: Raja Grafindo Persada, hal. 14
12
peraturan hukum pidana indonesia. KUHP yang berlaku sekarang ini
merupakan hukum pidana pokok yang berlaku, disampingnya masih banyak
terdapat peraturan-peraturan yang mengandung hukum pidana. KUHP yang
berlaku di indonesia sekarang merupakan warisan pemerintah Hindia-Belanda
yang diadopsi dan kemudian diberlakukan secara nasional melalui undang-
undang No. 1 tahun 1946. Indonesia masih mengadoptasi KUHP dari
pemerintah Hindia-Belanda dikarenakan semenjak proklamasi kemerdekaan
hingga sekarang pemerintah belum dapat menyusun KUHP sendiri.
Beberapa ketentuan dalam KUHP tersebut kemudian mengalami
beberapa perubahan dengan dikeluarkannya Perpu No. 16 tahun 1960 tentang
beberapa perubahan dalam KUHP. Ketentuan yang di ubah dalam perpu
tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan yang terkait dengan
tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407
ayat 1, dan 482 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara tindak pidana
ringan dengan dikeluarkannya perpu tersebut diubah menjadi Rp. 250 (dua
ratus lima puluh rupiah) yang hanya sebelumnya hanya bernilai Rp. 25 (dua
puluh lima rupiah). Hal ini didasarkan pada penyesuaian nilai barang yang
mengalami kenaikan. Namun seiring perkembangan zaman, pengenaan nilai
barang pada tindak pidana ringan saat ini dirasa sudah tidak relevan lagi.
Mengingat dewasa ini, kasus-kasus khususnya Tindak Pidana Ringan
(Tipiring) marak terjadi ditengah-tengah masyarakat dan ramai diberitakan
baik di media massa maupun media elektronik. Yang mana dalam penegakan
13
hukum terhadap tindak pidana ringan sering menciderai nilai-nilai dalam
masyarakat.
Perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil yang kini
diadili di pengadilan cukup mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat
umumnya menilai bahwa sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut
diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun sebagaimana di atur dalam
Pasal 362 KUHP oleh karena tidak sebanding dengan nilai barang yang
dicurinya4, seperti yang terjadi pada kasus nenek Minah yang diperlakukan
seperti kasus pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) yang diancam dengan
ancaman hukuman 5 Tahun penjara. Selain itu hanya karena kasus pencurian 2
buah kakao, pencurian sendal jepit, pencurian 6 buah piring, atau kasus
pencurian 2 buah semangka, yang nilainya tentu sudah tidak lagi dibawah Rp
250,- para tersangka dan terdakwa kasus-kasus tersebut dikenakan penahanan
oleh penyidik maupun penuntut umum.
Banyaknya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan juga telah
membebani pengadilan baik dari segi anggaran maupun dari segi persepsi
publik terhadap pengadilan. Umumnya masyarakat tidak memahami
bagaimana proses jalannya perkara pidana sampai bisa masuk ke pengadilan,
pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan dalam setiap tahapan dan
masyarakat umumnya hanya mengetahui ada tidaknya suatu perkara pidana
hanya pada saat perkara tersebut di sidangkan di pengadilan. Dan oleh karena
sudah sampai tahap persidangan di pengadilan sorotan masyarakat kemudian
4 Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
14
hanya tertuju ke pengadilan dan menuntut agar pengadilan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.5
Bahwa banyaknya perkara-perkara pencurian ringan sangatlah tidak
tepat di dakwa dengan menggunakan pasal 362 KUHP yang ancaman
pidananya paling lama 5 (lima ) tahun. Perkara-perkara pencurian ringan
seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan yang mana seharusnya
lebih tepat didakwa dengan pasal 364 KUHP yang ancaman pidananya paling
lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp. 250.000 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah). Jika perkara-perkara tersebut didakwa dengan pasal
364 KUHP tersebut maka tentunya berdasarkan Kitab undang-undang Hukum
Acara Pidana.6
Hakim mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-
ketentuan hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi
mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, dengan mencakupkan
pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan
berbagai aspek kehidupan hukum.7
Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi dan berdasarkan tanggapan
sekaligus tuntutan masyarakat terhadap keadilan, maka Mahkamah Agung
sebagai salah satu lembaga yang berfungsi sebagai penegak hukum, telah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 2 Tahun 2012 tentang
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
5 Ibid.,6 Ibid.,7 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2008, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana. Hal. 9
15
Terkait dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini dapat
berfungsi sebagai fasilitas ataupun menjadi jembatan bagi para Hakim
sehingga mampu lebih cepat memberikan dan mengakomodasi tuntutan rasa
keadilan masyarakat, terutama bagi pemenuhan rasa keadilan atas tindak
pidana yang dilakukan oleh masyarakat kecil dimana nilai barang yang
menjadi objek kejahatan tergolong nilai harganya bersifat relatif kecil
sehingga sesuai dengan bobot tindak pidananya. Peraturan Mahkamah Agung
ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang
berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan
secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja
lebih efektif dan efisien, mengingat prosedur penanganan perkara di
Pengadilan dilakukan dengan mempergunakan mekanisme acara pemeriksaan
cepat yakni mekanisme acara pemeriksaan perkara-perkara pidana yang
tergolong tindak pidana ringan (tipiring).
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah merubah batasan dalam
perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang semula dibatasi minimal Rp 250,-
(dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu
rupiah), disamping itu juga mengatur tentang nominal uang terhadap
pemberlakuan Pidana Denda, yang mana nominal tersebut dilipat gandakan
menjadi 1000 (seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 303 bis ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
16
Sistem hukum pidana diharapkan dapat beradaptasi dengan nilai-nilai
keadilan di dalam masyarakat dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung ini.
Peraturan Mahkamah Agung ini merupakan langkah awal dan suatu terobosan
yang berpotensi positif untuk memperbaharui Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang sudah tidak relevan lagi dimasa sekarang, dan diharapkan
peraturan Mahakamah Agung ini dapat juga nantinya menjadi pedoman
Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal menangani kasus Tindak Pidana Ringan
yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap harta benda.
Berdasarkan alasan tersebut di atas penulis tertarik untuk mengangkat
sebuah judul “KEBIJAKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA
TINDAK PIDANA RINGAN (STUDI KASUS DI POLRES JEPARA)”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan Peraturan Mahkamah Agung yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012
dalam rangka penyelesaian perkara tindak pidana ringan pada saat ini?
2. Bagaimana Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung dalam rangka
menanggulangi tindak pidana ringan di masa yang akan datang?
17
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan
arah dan gambaran yang jelas pada penelitian yang dilakukan sehingga
didapatkan hasil yang baik dan terarah. Berdasarkan uraian latar belakang dan
permasalahan Peraturan Mahkamah Agung di atas maka yang menjadi tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun
2012 dalam rangka menanggulangi tindak pidana ringan pada saat ini.
2. Untuk mengetahui Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung dalam rangka
menanggulangi tindak pidana ringan di masa yang akan datang.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik untuk
kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis
mengenai Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
terhadap Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan. Adapun yang menjadi
kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritik
a. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program
Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro.
b. Guna dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya bagi
pengembangan pengetahuan ilmu hukum.
18
2. Kegunaan praktis
a. Untuk penulis pribadi, guna mengetahui dan menganalisis Kebijakan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kontribusi dalam hal
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan baik
dalam tahap legislatif maupun pemerintah.
c. Memberikan edukasi kepada masyarakat umum serta mengajak dan
membangun sikap kritis masyarakat.
1.5. Kerangka Teori
Istilah tindak pidana yang tergolong ringan ini sebenarnya bukanlah
termasuk dalam terminologi yuridis, karena yang adalah terminologi tindak
pidana ringan (tipiring). Kategori tipiring ini adalah berdasarkan ancaman
hukumannya masksimal penjara atau kurungan maksimal 3 bulan dan denda
maksimal tujuh ribu lima ratus rupiah. Proses tipiring ini adalah melalui acara
pemeriksaan cepat. Dalam acara pemeriksaan cepat penyidik atas kuasa
penuntut umum melakukan penuntutan untuk tipiring.
Namun kenyataannya penanganan kasus yang menurut masyarakat
tergolong ringan seperti kasus pencurian sendal jepit, semangka justru
menimbulkan perasaan ketidakadilan karena ada kesan kasus yang tergolong
ringan tetapi justru penanganannya seperti kasus kejahatan biasa sehingga
menimbulkan ketidakadilan dimasyarakat.
19
Tindak Pidana Ringan juga di sebut sebagai kejahatan ringan (Lichte Mis
drijven) seringkali dianggap oleh Mahkamah Agung sebagai permasalahan
yang krusial dalam kehidupan masyarakat kita, salah satu contoh tindak
pidana ringan yang sering muncul dalam pemberitaan adalah pencurian
ringan. Dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat
beberapa kejahatan mengenai harta benda (vermoegens delicten), apabila
kerugian yang diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah, dinamakan
kejahatan ringan dan hanya di ancam dengan hukuman seberat-beratnya
hukuman penjara selama tiga bulan.
Adapun megenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara
ringan, undang-undang tidak menjelaskan. Akan tetapi undang-undang
menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan
apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan berita acara cepat, bertitik tolak
dari ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman
tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana
ringan, diatur dalam pasal 205 ayat 1 yakni8:
a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara
atau kurungan
b. Atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.
c. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP
8 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta. Hal. 422-423
20
Demikian pengertian tindak pidana ringan secara formal harus diperiksa
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Ukuran yang menjadi
patokan menentukan sesuatu perkara diperiksa dengan acara ringan, secara
umum ditinjau dari ancaman tindak pidana yang didakwakan, paling lama 3
bulan penjara atau kurungan dan atau denda paling banyak Rp. 7.500 tanpa
mengurangi pengecualian terhadap tindak pidana penghinaan ringan yang
dirumuskan dalam pasal 315 KUHP.
1.6. Metode Penelitian
Untuk memenuhi syarat sebagai karya ilmiah, maka suatu penelitian
tidak lepas dari apa yang disebut dengan metode penelitian atau metodologi
penelitian.
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian pada umumnya
bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran
pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk
mengisi kekosongan atau kekurangan, mengembangkan berarti memperluas
dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada, masih atau diragukan
kebenarannya.9
Metode penelitian pada dasarnya adalah merupakan fungsi dari
Peraturan Mahkamah Agung dan tujuan penelitian, oleh karena itu
pembicaraan dalam metode penilitian tidak dapat lepas bahkan selalu
9 Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 5
21
berkaitan erat dengan Peraturan Mahkamah Agung yang disistematiskan
dalam satu format.
1. Pendekatan masalah
Dalam sajian ini pendekatan yang akan diterapkan peneliti dalam rangka
upaya menjawab permasalahan Peraturan Mahkamah Agung dan tujuan
penelitiannya yakni menggunakan pendekatan yuridis normatif.
2. Spesifikasi penelitian
Dalam kajian ini spesifikasi penelitian yang digunakan peneliti adalah
deskriptif analitis, yakni suatu penelitian yang berusaha menggambarkan
masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya atau menganalisisnya.
Dekkriptif analitis yang dimaksud adalah penelitian ini diharapkan akan
memperoleh gambaran secara menyeluruh atau komprehensif dan juga
sistematis mengenai Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2012 terhadap Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan.
3. Jenis data
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan 2 (dua) jenis data yakni :
a. Data primer yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah
yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang
diketahui maupun mengenai gagasan (ide)10.
b. Data sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang
bahan primer.11Dapat berupa bahan-bahan hukum dan dokumen-
10 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo. Hal. 29
11 Iibid.,
22
dokumen hukum termasuk kasus-kasus hukum yang menjadi pijakan
dasar peneliti dalam rangka menjawab Peraturan Mahkamah Agung
dan tujuan penelitian.
4. Metode pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Wawancara
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan
sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden12.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara
jenis terpimpin. Wawancara terpimpin ini adalah wawancara yang
dilakukan dengan mempersiapkan pokok-pokok Peraturan Mahkamah
Agung terlebih dahulu yang kemudian dikembangkan dalam
wawancara, kemudian responden akan menjawab secara bebas sesuai
dengan Peraturan Mahkamah Agung yang diajukan sehingga kebekuan
atau kekakuan proses wawancara dapat terkontrol.13
b. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan yang dimaksud di sini adalah teknik
pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, dokumen,
peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil
penelitian lainnya.
12 H. Afifuddin &Beni Ahmad Saebani, 2012, Metode Penelitian Kualitatif, CV. Pustaka Setia: Bandung. Hal. 131
13Sutrisno Hadi. 2001, Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta.
23
Data yang diperoleh melalui literatur yang di dapat berbagai
buku dan majalah berkaitan dengan Kebijakan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 terhadap Penyelesaian Perkara Tindak
Pidana Ringan.
5. Metode analisis data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar.14
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis kualitatif karena merupakan analisis yang mendasarkan pada
adanya hubungan semantis antar konsep (variabel) yang sedang diteliti.
Tujuannya ialah peneliti mendapatkan makna hubungan konsepsional
sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan
dalam penelitian. Hubungan antar sistematis sangat penting karena dalam
analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan angka-angka seperti pada
analisis kuantitatif.15
Pada prinsip pokok teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan
menganalisis data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur,
terstruktur dan mempunyai makna.
14Op.,cit. Hal. 14515 Ibid., hal. 159
24
1.7. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hukum yang dilaksanakan adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang Latar Belakang,
Perumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka
teori, Metode penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka konsep.
Kerangza teori meliputi tinjauan umum tentang kebijakan, tinjauan umum
tentang tindak pidana, tinjauan umum tentangtindak pidana ringan,
tinjauan umum tentang pidana denda, teori tentang pemidanaan dan teori
tentang tindak pidana ringan.
BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ke tiga ini akan berisi tentang pokok-pokok Peraturan
Mahkamah Agung yang ingin diungkap berdasarkan perumusan masalah
yakni Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
terhadap Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan (Studi Kasus di
Polres Jepara) pada saat ini dan Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung
terhadap Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan yang akan datang.
BAB IV PENUTUP
25
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan
kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan
saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan
Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris "Policy" atau
dalam bahasa Belanda "Politiek" yang secara umum dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti
luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-
bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya
mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)16.
Menurut Hoogerwerf dalam buku yang di tulis oleh Sjahrir pada
hakekatnya pengertian kebijakan adalah:
“Semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk
memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu
dengan tindakan yang terarah ” 17
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh
para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada
hakekatnya istilah policy (kebijakan) mencakup beberapa pertanyaan : what, why,
16Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Balai Penerbitan Undip, Semarang, hal. 23-24
17Sjahrir, 1988, Mencari Bentuk Otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal. 66.
27
who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang
dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut isi, cara
atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan
dilaksanakan.
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan hukum
pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam
kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain "penal policy”, "criminal law policy"atau
"strafrechtspolitiek”18. Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia
memberikan arti terhadap istilah "politik" dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu :
1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-
dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan
sebagainya), 3) cara bertidak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah)
kebijakan.19
Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat
diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam
menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun
usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi
kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya
melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.
18Aloysius Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,.hlm.10
19Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 27
28
Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapaiapa yang dicita-citakan.20
Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law
policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam
pengertian tersebut mengandung makna "baik" dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan dayaguna.21
Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum
pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan hukum pidana",
namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum
yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan
undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian
pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui perundang-undangan
hukum pidana saja namun juga memperbaharui sektor-sektor lain seperti ilmu
20Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 27 21Aloysius Wisnubroto, Op.cit., hal. 11
29
hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan
pemikiran akademik22.
Bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas
daripada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan
hukum pidana dilaksanakaan melalui tahap-tahap konkretisasi/ operasionalisasi/
fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari :
1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum
pidana.
2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana.
3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana.23
Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan
tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan
formulatif.
Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem
hukum pidana. Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat
yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan
hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu
mekanisme pelaksanaan pidana. Dalam hal ini A.Mulder mengemukakan bahwa
kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan utuk menentukan :
22Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 1123Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 29
30
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau
diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses
penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum
pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum
pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan
hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan
dengan tindakan-tindakan:
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan
hukum pidana;
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat;
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.24
Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik
kriminal, pada dasarnya merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan
24Aloysius Wisnubroto, Op.cit., hal.12
31
mencapai "kesejahteraan sosial" (social welfare) dan "perlindungan sosial" (social
defence). Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu
sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan
sosial.
2.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
Mengenai tindak pidana yang tergolong ringan ini sebenarnya
bukanlah termasuk dalam terminologi yuridis tindak pidana kejahatan, karena
lebih tepat dan mengarah kepada terminologi tindak pidana ringan (tipiring).
Pada dasarnya kategori tipiring ini memiliki sanksi berupa ancaman
hukumannya maksimal penjara atau kurungan selama 3 bulan dan denda
maksimal tujuh ribu lima ratus rupiah. Proses tipiring ini adalah melalui acara
pemeriksaan cepat. Dalam acara pemeriksaan cepat penyidik atas kuasa
penuntut umum melakukan penuntutan untuk tipiring.
Tindak pidana sebagai istilah dalam hukum pidana sebenarnya
merupakan terjemahan dari belanda yaitu “Strafbaarfeit”. “Strafbaarfeit”
dalam bahasa Indonesia bukan merupakan masalah. Asal saja dengan
menggunakan istilah yang bermacam-macam, untuk suatu maksud yang sama
diberikan suatu keterangan yang cukup dengan maksud untuk menghindari
adanya kesalahan dalam menafsirkan. Penulisan dengan menggunakan istilah
tindak pidana dengan pertimbangan pemerintah selalu memakai istilah
“Tindak Pidana“ dan juga pertimbangan-pertimbangan lain yang antara lain :
32
1. Moeljatno
Menurut “Strafbaarfeit” ( perbuatan pidana) pendapat Moeljatno
adalah sebagai berikut :
Perbuatan yang dilanggar oleh suatu aturan hukum larangan mana yang
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
yang melanggar tersebut. Dapat pula diartikan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :
a. Unsur objektif
1) Perbuatan orang.
2) Akibat yang terlihat dari perbuatan tersebut.
3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
b. Unsur subjektif
1) orang yang mampu bertanggungjawab
(a) adanya kesalahan25
2. Simons
Strafbaarfeit adalah kelakuan (hendeling) yang diancam dengan
pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab. Adapun unsur-unsur tindak pidana, yakni sebagai berikut :
25 Moeljatno, 1983, Pembatasan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, PT. Bina Aksara.
33
a. Unsur Obyektif : Perbuatan orang, Akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu.
b. Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggung jawab, Adanya
kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu
dilakukan.26
3. Van Hamel
Feit adalah kelakuan (menselijke gedraging) orang yang dirumuskan
dalam WET yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff
Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Unsur-unsur tindak pidana:
a. Perbuatan Manusia
b. Yang dirumuskan dalam Undang-Undang
c. Dilakukan dengan kesalahan
d. Patut dipidana.27
4. Roeslan saleh
Pidana ialah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.28
Dari beberapa pendapat tersebut di atas tampak pendapat para sarjana
banyak berbeda dalam menggunakan istilah. Namun tidaklah menjadi
26 Ibid.,hal. 5627 Ibid.,hal. 5728 Ibid.,
34
persoalan penting sebab peristilahan tersebut berasal dari sumber yang satu
yakni “Strafbaarfeit” dan maksud sama yaitu menggambarkan pengertian
dari perbuatan yang melanggar hukum, sehingga sebagai kesimpulan
dapatlah dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya itu mampu
bertanggung jawab, mampu untuk menilai dengan pikiran atau
perasaannya bahwa perbuatan itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh
undang-undang dan berbuat sesuatu dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
dipersyaratkan perlunya syarat formil dan syarat materiil. Perlunya syarat
formil sebagai unsur tindak pidana karena dalam penerapan hukum pidana
diberlakukan asas legalitas, sebagaimana diautur dalam katentuan pasal 1
ayat (1) KUHP, yaitu:
“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Sedangkan syarat materiil dimasudkan agar perbuatan yang
bersangkutan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan oleh anggota
masyarakat.
Dengan demikian tindak pidana merupakan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dengan kesalahan, sehingga pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana sebagaimana telah diatur dalam perundang-
undangan. Dalam hal ini diperlukan syarat formil yang berupa perbuatan
tersebut telah dirumuskan dalam undang-undang, maupun syarat materiil
35
yang berupa perbuatan melawan hukum tersebut benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Pada dasarnya seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang
melanggar/bertentangan dengan hukum dan atau peraturan perundang-
undangan hukum pidana yang berlaku dapat dikategorikan sebagai pelaku
tindak pidana. “ bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia
(natuulijke personen)”.29
Rumusan delik dalam kitab undang-undang hukum pidana lazim
menggunakan istilah: “barang siapa” yang tak lain adalah manusia. Dalam
perkembangannya, yang dapat menjadi subjek tindak pidana tidak hanya
manusia (orang), tetapi juga badan hukum, perkumpulan atau korporasi.
Pelaku tindak pidana adalah manusia (orang), badan hukum, perkumpulan
atau korporasi yang telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana
atau dipertanggung jawabkan padanya secara pidana.
Pelaku tindak pidana ini dapat dibagi menjadi 4 yaitu pelaku yang
melakukan, menyuruh lakukan, pelaku yang turut serta melakukan dan
sebagai penganjur. Dalam Pasal 55 KUHP yang menyebutkan sebagai
berikut:
a. Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana
1) Mereka yang melakukan, menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
29Ibid., Hal 53
36
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan
b. Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya30.Sedangkan sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :1) Mereka sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan31.
Untuk pidana bagi pelaku pembantu diatur dalam Pasal 57 KUHP
bahwa :
a. Dalam hal pembantu, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga
b. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun
c. Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatannya sendiri
d. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang disengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya32.
5. Sudarto
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu33.
2.3. Tinjauan Tindak Pidana Ringan Menurut KUH Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) di Indonesia
mengenal dua istilah peristiwa pidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan.
Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi kejahatan biasa dan kejahatan ringan
atau tindak pidana ringan. Hal inilah yang menjadi keistimewaan KUHP
30 Moeljatno, 2007, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan ke 26, Jakarta : PT. Penerbit Bumi Aksara, hal 25
31 Ibid., hal 2632 Ibid., hal 2633 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1992, Hal. 2
37
Indonesia yang merupakan warisan KUHP Hindia Belanda. Sekalipun KUHP
Hindia-Belanda didasari oleh KUHP Belanda namun pembagian bentuk
kejahatan biasa dan ringan berasal dari Hindia-Belanda sendiri yang kemudian
diadopsi ke dalam KUHP Indonesia. Kejahatan dan pelanggaran sendiri
memiliki beberapa perbedaan. Pengaturan mengenai kejahatan dan
pelanggaran diletakkan di tempat yang berbeda dalam KUHP. Kejahatan
diatur dalam buku II KUHP sedangkan pelanggaran diatur dalam buku III
KUHP.
Menurut Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana I” menyatakan bahwa:
“Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas dari pada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana”.34
Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sangat sulit ditemukan
dalam KUHP. Definisi tindak pidana ringan yang cukup dapat dipahami justru
dapat ditemukan dalam KUHAP sebagaimana ketentuan hukum pidana formal
dari KUHP. Pasal 205 ayat 1 KUHAP yang mengatur mengenai ketentuan
pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa :
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara dan kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini”
KUHAP memberikan penjelasan dari bunyi pasal ini ,yaitu:
“tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan disini dengan disebut tersendiri karena sifanya ringan sekalipun ancaman, pidana penjara paling lama 4 bulan”
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi
tindak pidana ringan yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu
lima ratus rupiah. Perkara penghinaan ringan berdasarkan pasal ini sekalipun
diancam dengan hukuman yang lebih berat dari tiga bulan namun dianggap 34 Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I., tk: tp, tt. hal. 82
38
masuk dalam kategori tindak pidana ringan ini karena memandang dari
sifanya yang cukup ringan.
Apabila ditelusuri dan ditelaah lebih dalam, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana setidaknya terdapat Sembilan pasal yang tergolong dalam
bentuk Tindak Pidana Ringan ini, yaitu:
a. Pasal 302 ayat (1)
Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan. Lebih
lengkapnya pasal ini berbunyi sebagai berikut:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:1. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,
dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
2. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. 35
Pasal ini mengatur mengenai delik formal, yaitu dilakukan dengan
perbuatan yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Dengan
demikian delik formal ini menekankan pada bentuk perbuatan si pelaku
yang ditentukan dalam undang-undang. Pada Pasal 302 ayat (1) KUHP ini
ditentukan bahwa bentuk perbuatan yang tergolong dalam penganiayaan
ringan terhadap hewan adalah dengan sengaja menyakiti atau melukai
hewan atau merugikan kesehatannya.
b. Pasal 315.
Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Dalam KUHP Belanda lebih
dikenal dengan istilah penghinaan bersengaja yang pasalnya pun berbunyi
penghinaan bersengaja. Pada awalnya bentuk kejahatan ini tidak masuk
dalam golongan kejahatan ringan. Kontroversi kemudian timbul dan
mempertanyakan mengapa penghinaan harus diadili oleh majelis hakim
35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007), Pasal 302 ayat (1).
39
sedangkan bentuk kejahatan ringan terhadap harta kekayaan yang lebih
berat sifatnya dapat diadili dengan hakim tunggal. Ini menyebabkan pada
tahun 1920 (S. 1920—472) kejahatan penghinaan sederhana ditambah
pada kejahatan-kejahatan ringan. Pasal 315 KUHP ini sendiri berbunyi
sebagai berikut:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”36
Berbeda dengan bentuk kejahatan ringan lainnya yang ancaman
hukumannya paling lama tiga bulan penjara, kejahatan penghinaan ringan
yang diatur dalam Pasal 315 KUHP ini diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Penggolongan penghinaan ringan ini disebutkan secara
tegas dalam undang-undang. Pada penjelasan Pasal 205 KUHAP secara
tegas disebutkan tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan di
sini dengan disebut tersendiri karena sifatnya ringan sekalipun ancaman
pidana penjara paling lama empat bulan. Bentuk penghinaan ringan ini
ditentukan terbatas oleh undang-undang, yaitu dilakukan baik di depan
umum dengan lisan atau tulisan maupun di depan orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya namun
tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.
c. Pasal 352 ayat (1)
Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal ini secara lengkap
berbunyi sebagai berikut:
“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang
36 Indonesia (d), op cit., Pasal 315
40
yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya”.37
Melihat bunyi pasal tersebut maka ukuran yang menjadi patokan
penganiayaan biasa atau ringan adalah ukuran tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan. KUHP
yang berlaku sebelum tahun 1918 juga mengenal bentuk ini. Tetapi pada
waktu itu tidak berlaku ukuran yang lain, yaitu bahwa perbuatan tersebut
tanpa mempergunakan senjata atau alat lain yang berbahaya, tidak atau
hanya menyebabkan luka sementara saja.38 Contoh kasus penerapan pasal
ini yang cukup menjadi sorotan media massa belakangan ini adalah kasus
penganiayaan yang dilakukan Dewi Persik terhadap Julia Perez. Pada
akhir kasus ini Dewi Persik kemudian dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dan
divonis dua bulan penjara. Pasal 352 ayat (1) KUHP ini sendiri
mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
d. Pasal 364
Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal ini
merupakan bentuk ringan dari Pasal 362 mengenai pencurian biasa. Pasal
364 ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan Pasal 363 ayat (1) angka 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat (1) angka 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.39
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pencurian biasa,
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
atau pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau
37 Indonesia (d), , Pasal 352 ayat (1)38 Jonkers, op cit., hal. 4839 Indonesia (d), op cit., Pasal 364
41
untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, asal tidak dilakukan dalam
sebuah rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 25,00 (dua puluh limarupiah)
dihukum sebagai pencurian ringan.
e. Pasal 373
Pasal 373 mengenai penggelapan ringan. Pasal 373 ini merupakan bentuk
ringan dari Pasal 372 KUHP sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik
formal. Pasal 373 KUHP ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.40
Bentuk perbuatan penggelapan itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 372
KUHP, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi
berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Unsur Pasal 373
KUHP selain bentuk perbuatan penggelapan namun juga nilai barang yang
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak.
f. Pasal 379
Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.
Sama halnya dengan Pasal 364 atau Pasal 373 KUHP di mana bentuk
perbuatan pidananya dapat ditemukan dalam pasal pokoknya, bentuk
perbuatan penipuan dalam Pasal 379 pun dapat ditemukan dalam pasal
40 Ibid, Pasal 373.
42
pokoknya yaitu Pasal 378 dan merupakan delik formal. Bentuk perbuatan
penipuan yang diatur dalam pasal tersebut adalah dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan
piutang. Unsur pasal 379 KUHP ini selain daripada bentuk perbuatan
penipuan itu sendiri termasuk juga nilai barang, utang atau piutang yang
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Penjelasan
serupa mengenai ternak juga berlaku di pasal ini. Terhadap penipuan
ringan ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
g. Pasal 384
Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan. Pasal 384 KUHP ini
berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika jumlah keuntungan yang di peroleh tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah”.41
Pasal 384 KUHP ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 383 KUHP.
Dengan demikian unsur Pasal 384 KUHP selain bentuk perbuatan dari
penipuan penjualan namun termasuk juga unsur nilai keuntungan yang
diperoleh tidak melebihi dua ratus lima puluh rupiah. Bentuk perbuatan
penipuan dalam penjualan sendiri dapat dilihat dari Pasal 383 KUHP
sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik formal, yaitu:
1. Dengan sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang ditunjuk
untuk dibeli.
2. Mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan dengan
menggunakan tipu muslihat.41 Ibid, Pasal 384
43
Terhadap penipuan dalam penjualan dengan nilai keuntungan yang
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah ini diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda sembilan ratus rupiah.
Keuntungan yang telah diperoleh, seperti yang dijelaskan selalu dapat
diukur dengan uang karena yang dimaksud ialah perbedaan harga antara
barang yang diserahkan dan barang yang seharusnya diserahkan.
h. Pasal 407 ayat (1)
Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang dan merupakan bentuk
ringan dari Pasal 406 KUHP. Bunyi Pasal 407 ayat (1) ini adalah sebagai
berikut:
“Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.42
Untuk dapat memahami bentuk kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
407 ayat (1) KUHP ini maka sebelumnya harus terlebih dahulu dijelaskan
mengenai Pasal 406 KUHP sebagai pasal pokoknya. Kejahatan yang
dimaksud dalam Pasal 406 KUHP adalah:
1. “Dengan sengaja dan secara melawan hukum menghancurkan, merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
2. Dengan sengaja dan secara melawan hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”. 43
Dengan demikian, unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP ini harus terlebih
dahulu memenuhi unsur pasal 406 KUHP ditambah dengan unsur nilai
kerugian yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Akan tetapi,
apabila kejahatan yang diatur dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP dilakukan
dengan mamasukkan bahan-bahan yang merusak nyawa atau kesehatan
atau bila hewan itu termasuk ternak (Pasal 101 KUHP) maka sekalipun
42 Indonesia (d), op cit., Pasal 407 ayat (1).43 Ibid, Pasal 406
44
nilai kerugiannya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah maka Pasal
407 ayat (1) KUHP ini tidak dapat diberlakukan.
i. Pasal 482
Pasal 482 mengenai penadahan ringan dan
merupakan bentuk ringan dari Pasal 480 KUHP. Pasal 482 KUHP ini
berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379”.44
Dengan demikian, penadahan dapat menjadi bentuk penadahan ringan
apabila benda bersangkutan diperoleh dari hasil bentuk kejahatan ringan
lainnya, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan
ringan), atau Pasal 379 KUHP (penipuan ringan). Bentuk penadahan itu
sendiri dijelaskan dalam Pasal 480 KUHP, yaitu:
(1) Barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau menyembunyikan menyewakan, suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan;(2) Barang siapa menarik keuntungan dari hasil suatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. 45
Sama halnya dengan pasal-pasal sebelumnya, unsur Pasal 482 ini termasuk
juga unsur penadahan yang diatur dalam Pasal 480 ditambah dengan unsur
benda diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
364, 373, atau 379 KUHP. Terhadap pendahan ringan ini diancam dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.
44 Indonesia (d), op cit., Pasal 48245 Ibid., Pasal 480
45
Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan tersebut, 6 bentuk di
antaranya sulit ditemukan kasusnya sekarang ini karena selain harus
memenuhi unsur perbuatannya namun juga harus memenuhi unsur nilai
barang dalam perkara tersebut yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh
rupiah. Penulis telah mencontohkan kasus terhadap Pasal 302, 352 ayat
(1), dan Pasal 315 KUHP yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus
tersebut dimungkinkan dapat terjadi karena memang tidak dibutuhkan
unsur nilai barang di dalamnya. Sedangkan terhadap Pasal 364, 373, 379,
384, 407 ayat (1) atau Pasal 482 KUHP memerlukan unsur nilai barang
dalam perkara untuk dipenuhi.
Tindak Pidana Ringan juga di sebut sebagai kejahatan ringan (Lichte Mis
drijven) seringkali dianggap sebagai Peraturan Mahkamah Agung yang krusial
dalam kehidupan masyarakat kita, salah satu contoh tindak pidana ringan yang
sering muncul dalam pemberitaan adalah pencurian ringan. Dalam Kitab
Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa kejahatan
mengenai harta benda (vermoegens delicten), apabila kerugian yang
diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima rupiah, dinamakan kejahatan ringan
dan hanya di ancam dengan hukuman seberat-beratnya hukuman penjara
selama tiga bulan.
Adapun megenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara
ringan, undang-undang tidak menjelaskan. Akan tetapi undang-undang
menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan
46
apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak dari
ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak
pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan,
diatur dalam pasal 205 ayat 1 yakni46:
a. Tindak pidana yang ancaman pidananya paling lama 3 bulan penjara
atau kurungan
b. Atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500.
c. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam pasal 315 KUHP
Demikian pengertian tindak pidana ringan secara formal harus diperiksa
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Ukuran yang menjadi
patokan menentukan sesuatu perkara diperiksa dengan acara ringan, secara
umum ditinjau dari ancaman tindak pidana yang didakwakan, paling lama 3
bulan penjara atau kurungan dan atau denda paling banyak Rp. 7.500 tanpa
mengurangi pengecualian terhadap tindak pidana penghinaan ringan yang
dirumuskan dalam pasal 315 KUHP.
2.4. Tinjauan Tentang Pidana Denda
Sanksi pidana itu bermacam-macam jenisnya. Buku I bab II pasal 10
KUHP membedakan sanksi pidana menjadi dua klasifikasi yaitu: pidana
pokok dan pidana tambahan. Kedua klasifikasi sanksi pidana tersebut menjadi
pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan jenis pidana kepada terdakwa yang
46 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta. Hal. 422-423
47
terbukti melanggar delik. Adapun jenis sanksi pidana menurut pasal 10 KUHP
yang dimaksud, sebagai berikut:
I. Pidana pokok, meliputi:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Denda
II. Pidana tambahan, meliputi:
a. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
b. Perampasan beberapa barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim.
Pidana denda merupakan jenis pidana yang paling tua, lebih tua daripada
pidana penjara, mungkin setua pidana mati. Pidana denda adalah jenis pidana
yang mewajibkan terpidana untuk membayar sejumlah uang berdasarkan
putusan hakim pengadilan kepada negara. Walaupun hanya membayar
sejumlah uang bukan berarti jenis pidana denda ini tidak berarti hal ini dapat
dijelaskan bahwa apabila pidana denda tidak dapat dipenuhi oleh terpidana,
maka ia diwajibkan menjalani pidana lainnya sebagai alternatif pengganti,
yakni: pidana penjara atau pidana kurungan .
Ketentuan mengenai pidana denda dijabarkan dalam pasal 30 KUHP yang
berbunyi47:
47 Roni wiyanto, 2012, asas-asas hukum pidana indonesia, CV. Mandar Maju: surakarta. Hal. 137
48
1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. 2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan. 3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling
lama enam bulan. 4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan
demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan ataupengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pada umumnya jenis pidana denda diancamkan terhadap hampir semua
delik pelanggaran dalam Buku III KUHP. Pidana denda ini sering menjadi
alternatif pengganti pidana kurungan atau pidana penjara dalam delik-delik
kejahatan ringan. Dalam KUHP sendiri tidak ditemukan batasan umum
mengenai batas minimum atau batas maksimum. Sedangkan batas minimum
pidana denda sebagaimana ketentuan pasal 30 ayat 1 KUHP tersebut di atas
disebutkan sebesar 25 sen.
Delik yang di ancam dengan pidana denda tertinggi adalah pasal 403 Buku
II KUHP yaitu Rp. 150.000 terhadap pengurus perseroan atau perkumpulan
koperasi yang berlawanan dengan anggaran dasarnya dan selengkapnya pasal
tersebut berbunyi:
“seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas maskapai andil indonesia atau perkumpulan koperasi di luar ketentuan pasal 298, turut membantu atau mengizinkan dilakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, dan oleh karena itu mengakibatkan perseroan maskapai atau perkumpulan tak dapat memenuhi kewajiban atau harus dibubarkan diancam dengan pidana denda paling banyak seratus lima puluh ribu rupiah”
49
Pidana kurungan sebagai alternatif pengganti pidana denda sebagaimana
ketentuan pasal 30 ayat 6 KUHP tidak boleh lebih dari 8 bulan. Pidana
kurungan sebagai alternatif pengganti pidana denda disebut pidana kurungan
subsider, yaitu apabila terpidana denda tidak mampu memenuhi membayar
denda yang dibebankan kepadanya atau sengaja tidak mau membayar maka ia
diwajibkan menjalani pidana kurungan. Sebagai pengganti pidana denda
lamanya pidana kurungan menurut pasal 30 ayat 4 KUHP sekurang-kurangnya
1 hari dan setinggi-tingginya 6 bulan.
Akan tetapi pidana kurungan subsider maksimum 6 bulan dapat ditambah
tetapi tidak boleh lebih dari 8 bulan, dalam hal48:
a. Delik gabungan
b. Delik ulangan
c. Melanggar pasal 52 KUHP
Denda yang berupa pembayaran sejumlah uang diserahkan kepada negara
bukan kepada korban. Selain terpidana pembayaran denda tersebut dapat
dibayarkan oleh keluarganya, sahabat dari si penangung.
2.5. Teori Tentang Pemidanaan
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam dua kelompok teori, yaitu :
1. Teori absolute atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings theorieen)
Teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). pidana merupakan 48 Ibid., hal. 138-139
50
akibat multak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan.
2. Teori relative atau teori tujuan (utiliratarian/ doeltheorieen)
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memusatkan tuntutan
absolute dari keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi
hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Sedangkan menurut ted honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus
memuat 3 (tiga) unsur berikut :
1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasnya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain.
2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hokum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku personal suatu lemabaga yang berkuasa. Karena pemidanaan bukan merupkan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hokum yang mengakibatkan penderitaan.
3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secar sengaja melanggar hokum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya49.
Menurut Negel Walker menjelaskan bahwa ada 2 (dua) golongan
penganut sistem teori retribusi:
1. Teori retributive murni yang memandang pidana harus sepadan dengan kesalahan si pelaku.
2. Teori retributive tidak murni yang dipecah lagi menjadi:a. Penganut teori retributive terbatas (the limiting retributivist) yang
berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah, keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hokum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.
49 Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Hal. 70-71
51
b. Penganut teori retributive (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hokum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retributisi pada beratnya sanksi50.
Menurut Romli atmasasmita, sejauh manakah pidana perlu diberikan
kepada pelaku kejahatan teori retributive menjelaskan sebagai berikut:
1. Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributive ini disebut vindicative.
2. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness
3. Padana dimaksudkan untuk menentukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe retributive ini disebut dengan: proportionality. Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada di dalam kehatannya baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya51.
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan,
dibawah ini penulis menganggap perlu untuk memaparkan pendapt bebrepa
sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:
1. Satochid kartanegara
Dalam salah satu karya tulisnya, satochid menerangkan bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merpakan siksaan itu terdapat dalam pasal 45 KUHP.52
2. Sudarto
50 Nigel walker, 1971, Sentecing In A Rational Society, Basic Book, inc., publishers, new York, Hal. 8 dalam Sholehuddin, 2004, System Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, Hal. 37-38
51 Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hokum Pidana Dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, Hal. 83-84 dalam Ibid., hal. hal. 37-38
52 Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, t.t., hal. 49 dalam Ibid., Hal. 51
52
Pendapatnya menakankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyrakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.53
3. Andi hamzah
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut andi hamzah agak samar, tapi dia memberikan penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat.
4. Utrecht
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari unsur tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.
Pada Rancangan KUHP Nasional dalam pasal 50 ayat 1 nya telah
menetapkan empat tujuan pemidanaan sebagai berikut54:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna
c. Menyelesaikan konflik yang ditumbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat
53 Sudarto, hukum pidana jilid I A, Badan penyediaan kuliah, FH- UNDIP, Semarang, 1973, hal. 7 dalam Ibid., hal. 52
54 Direktoral jenderal hukum dan ham perundang-undangan, departemen hukum dan perundang-undangan, konsep rancangan KUHP Nasional, edisi 1999-2000, hal. 19. Dalam Ibid.,hal. 127
53
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Menurut Barda nawawi arief, bahwa perumusan tujuan pemidanaan di
dalam konsep (rancangan KUHP Nasional) bertitik tolak dari pokok
pemikiran, antara lain:
1. Pada hakikatnya undang-undang merupakan system hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga dirumuskanlah pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.
2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan system pemidanaan, maka diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.
3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ‘fungsi pengendali/kontrol’ dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah55.
Muladi dalam memberikan pandangannya mengenai tujuan pemidanaan
mempunyai pemikiran tersendiri. Perangkat tujuan pemidanaan yang bersifat
intergratif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan masyarakat2. Memelihara solidaritas masyarakat3. Pencegahan (umum dan khusus)4. Pengembalian/ pengimbangan.56
Dalam konsep rancangan buku I KUHP Nasional yang disusun oleh
LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam pasal 2 sebagai berikut:
(1) Maksud tujuan pemidanaan ialah;
a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan pengayoman
Negara, masyrakat dan penduduk;
b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna.
55 Barda nawawi arief, bunga rampai kebijakan hukum pidana, PT. citra aditya bhakti, bandung, hal. 152-153, dalam Ibid., hal. 127-128
56 Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni, hal.11
54
c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan
pidana.
(2) Pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia.
Dalam konsep rancangan buku I KUHP tahun 1982/1983, tujuan
pemberian pidana dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyrakat.Ke-2 Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk bermasyrakat.
Ke-3 Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Ke-4 Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia57.2.6. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam
Peraturan Perundang-undangan
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut ditegaskan melalui
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, setiap ketentuan
hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi
oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 5 jo. Pasal 20 Undang-undang Dasar
1945 mengenal bentuk produk hukum berupa undang-undang dan peraturan
pemerintah sebagai berikut:
1) “Undang-undang (wet, act, statute)Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945:- Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); dan- DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang
2) Peraturan PemerintahBerdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945:- Yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah adalah Presiden- Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya”.58
57 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 24-25
55
Berkenaan dengan dua bentuk peraturan perundang-undangan di atas maka
konstitusi Indonesia pada dasarnya tidak mengenal bentuk Peraturan Mahkamah
Agung atau PERMA. Penjabaran mengenai kewenangan Mahkamah Agung
menerbitkan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG dapat dilihat dari Pasal 24A
Undang-undang Dasar 1945, yaitu, “Mahkamah Agung berwenang mengadili di
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Dari pasal tersebut wewenang Mahkamah Agung lainnya termasuk
pembuatan peraturan dijabarkan kembali oleh Pasal 20 ayat (2) butir c Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana Mahkamah
Agung diberi wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 79
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah melalui Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui
Undang-undang No. 3 Tahun 2009 memberikan wewenang bagi Mahkamah
Agung untuk membuat peraturan demi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.
Dalam penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undangundang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau pun pembagian beban pembuktian”
58 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 164
56
Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pembentukan peraturan yang
dimiliki Mahkamah Agung diberikan melalui pendelegasian. Senada dengan hal
tersebut, Jimly Asshiddiqie melalui website-nya menuturkan bahwa:
“Semua lembaga negara dapat saja diberi kewenangan untuk mengatur sendiri urusan internalnya dalam rangka kelancaran tugasnya untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Inilah yang disebut prinsip delegasi. Karena itu, asalkan ada pendelegasian kewenangan pengaturan (legislative delegation of rule making power), MA, MK, BI dll, bisa saja membuat peraturan internal, yaitu Peraturan MA (Peraturan Mahkamah Agung), Peraturan MK (PMK), Peraturan BI (PBI), dsb.59
Melihat wewenang yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut maka
menimbulkan pertanyaan lain perihal kedudukan peraturan yang dikeluarkan
Mahkamah Agung yang sejatinya merupakan badan yudikatif sebagaimana
diamanatkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Sehubungan dengan
itu, menurut ajaran positivisme dan kedaulatan legislatif, dalam menjalankan
peraturan perundang-undangan melalui penyelenggaraan peradilan, Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan itu, hanya dapat dibenarkan melakukan
penafsiran untuk mencari dan menemukan makna (to discover and to explore the
meaning) atau memperluas dan mengelastiskan pengertian (to extend and to
enlarge and flexible the meaning), apabila ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak jelas maknanya (unplain meaning),
rumusannya keliru (ill-defined), atau mengandung ambiguitas (ambiguity).60
Melalui kewenangan yang diberikan, Mahkamah Agung dapat menjadi
pembuat atau pencipta hukum yang populer dikenal dengan judge made law
dalam hal penafsiran tersebut. Namun sifat hukum yang diciptanya itu tidak
bersifat peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, tetapi sifatnya
hukum kasus (case law) yang diberlakukan dan diterapkan pada kasus tertentu.
Hal ini yang cukup membedakan bentuk peraturan yang dibuat oleh legislator
dengan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung.
59 Jimly Asshiddiqie, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diunduh pada 13Juni 2012 pukul 21.15 WIB. 60 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, op cit., hal. 165.
57
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung sendiri dalam peraturan
perundang-undangan dapat mengacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1)
undang-undang tersebut mengenal jenis dan hirarki peraturan perundang-
undangan sebagai:
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan tersebut
didasarkan pada hirarkinya dalam arti peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi. Di samping bentuk peraturan perundang-undangan di atas, Undang-undang
No. 12 Tahun 2011 juga mengenal bentuk peraturan perundang-undangan lain. Di
sinilah letak kedudukan Peraturan Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 8 ayat
(1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengenal jenis peraturan perundang-
undangan selain yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan demikian, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG diakui sebagai
bentuk peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, pengakuan PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG ini sebagai bentuk peraturan perundang-undang tidak
diikuti dengan penempatannya dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
58
Kedudukannya menjadi rancu di tengah-tengah bentuk peraturan perundang-
undangan lainnya. Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H, Ilmu Perundang-
undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa:
“Pengaturan mengenai Mahkamah Agung diatur oleh undang-undang mengenai kekuatan dan kewenangannya selain diatur pula dalam Undang-undang Dasar 1945. Turunannya dilakukan oleh undang-undang dan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG itu juga diatur di undang-undang. Maka kita bisa pastikan bahwa perauran-peraturan dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang No. 12 Tahun 2011, walaupun tidak disebutkan hirarkinya, kita bisa berpendapat bahwa kedudukannya pasti di bawah undang-undang. Yang menjadi pertanyaan adalah kedudukannya sederajat atau lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah. Hal itu yang menjadi perdebatan. Ketika tidak ada pertentangan antara Peraturan Pemerintah dan peraturan lembaga-lembaga tersebut mungkin tidak menjadi masalah jika menyebut ia sederajat dengan Peraturan Pemerintah. Tapi baru menjadi masalah jika kemudian ada suatu Peraturan Pemerintah yang kemudian pengaturannya bertentangan dengan peraturan lembaga-lembaga tersebut”. 61
Penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung memberikan
petunjuk bahwa tujuan pembentukan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum. Oleh sebab itu,
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini tetap memiliki kekuatan mengikat.
Akan tetapi, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
menempatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif maka produk hukum
dari Mahkamah Agung secara otomatis mengikat internal lembaga yudikatif yang
bersangkutan. Dengan demikian, Hakim dan Pengadilan harus tunduk dan taat
menjalankan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut. Di sisi lain, pihak
di luar Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya bukan berarti tidak
terikat pada PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini. Ketika Peraturan
Mahkamah Agung sampai pada lembaga peradilan maka mereka ikut terikat pada
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG bersangkutan. Terhadap penyidik, baik
polisi ataupun jaksa, sepanjang perkaranya belum sampai ke Pengadilan maka
mereka tetap terikat pada KUHP dan KUHAP.
61 Wawancara dengan Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H. pada tanggal 2 April 2011
59
Sama halnya dengan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG pada
umumnya, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG No. 2 Tahun 2012 ini
memiliki kedudukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang
No. 12 Tahun 2011 sebagai bentuk peraturan perundang-undangan namun tetap
dibedakan dari bentuk produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan hirarki peraturan perundang-undangan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 namun PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG ini tetap memiliki kekuatan mengikat sebagaimana
peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat internal Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya.
Dari penjelasan diatas setidaknya terdapat lima peran yang dimainkan
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI dalam memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan. Peran yang dimaksud
adalah PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI sebagai pengisi kekosongan
hukum, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur
tentang suatu hal berkaitan dengan hukum acara, sebagai saran penemuan hukum,
sebagai sarana penegakan hukum, dan sebagai sumber hukum bagi masyarakat
hukum. Contoh dari peran PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI yang
pertama, sebagai pengisi kekosongan hukum, adalah PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG No. 1 Tahun 1956.
60
BAB IIIHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana
Kedudukan sebuah PERATURAN MAHKAMAH AGUNG menjadi
penting untuk dibahas karena dapat mempengaruhi penanganan perkara dalam
Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG sebagai produk hukum
Mahkamah Agung pada dasarnya mengikat internal dan lembaga peradilan di
bawahnya. Sedangkan dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu, pihak
yang terlibat sebagai subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut maka dalam suatu Integrated
Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang terikat oleh
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut hanyalah Pengadilan. Sistem
Peradilan Pidana Terpadu dalam peradilan adalah keterpaduan hubungan antar
para penegak hukum.62Aparat penegak hukum sendiri merupakan subjek atau
orang yang menjamin dan penegakan hukum atau memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.
62 Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008, hal. 64.
61
Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau
Integrated Criminal Justice System (ICJS) harus melekat suatu karakteristik.
Pertama, adanya suatu sistem adalah untuk mencapai tujuan tertentu. 63 Kedua, di
dalam ICJS sebagai suatu sistem terdapat subsistem-subsistem yang saling terkait.
Tujuan ICJS juga terkait dengan tujuan hukum pidana dan pemidanaan. Tujuan
dari ICJS adalah untuk menegakkan keadilan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat serta melindungi setiap individu, dengan cara melakukan
penanganan dan pencegahan tindak pidana. Tujuan akhirnya tidak hanya pada
penanganan tindak pidana melainkan juga pada pencegahan terjadinya tindak
pidana yang lain. Sementara Muladi menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan
jangka pendek, yaitu sosialisasi, tujuan jangka menengah yaitu pencegahan
kejahatan, dan tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan sosial. 64 Sebuah SPP
Terpadu memiliki beberapa karakteristik tertentu, yaitu: integration (coordination
and syncronization), clear aims, process (input-througput-output), dan effective
control mechanism.65
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara hukum.
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh paraturan
perundang-undangan. Pedoman utama operasional Sistem Peradilan Pidana di
negara hukum Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
63 Akil Mochtar, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh dari http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 15 September 2013 pukul 20.25 WIB, hal. 264 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: Penerbit UNDIP, 1998), hlm 5.65 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 54.
62
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi
fungsional (fungsi yang berbeda-beda) diantara komponen penegak hukum. 66
“Sistem peradilan pidana mencakup sub sistem dengan ruang lingkup
masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut:
1. Kepolisian dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan
dari publik manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan, dan
penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus yang memenuhi
syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada
kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses
peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus-kasus yang layak
diajukan ke Pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan
penuntutan, dan melaksanakan putusan Pengadilan.
3. Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan,
melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban, dalam proses peradilan pidana,
melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan
putusan yang adil dan berdasarkan hukum.
4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menjalankan putusan
Pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak
narapidana, menjaga agar kondisi Lembaga Pemasyarakatan memadai untuk
penjalanan pidana setiap narapidana”. 67
66 Achmad Ali, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum Indonesia” dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 201067 Hafrida, op cit., hal. 66
63
Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub sistem yang terdapat
dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu sehingga apabila terdapat inkonsistensi
penanganan perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula halnya
dengan kedudukan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini. Dalam Pasal 2
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut secara tegas disebutkan bahwa
Ketua Pengadilan memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek
perkara, menetapkan hakim tunggal, dan tidak menetapkan penahanan atau
perpanjangan penahanan. Dari bunyi pasal tersebut nampak jelas bahwa pihak
yang memiliki kewajiban mengikuti PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
tersebut adalah Ketua Pengadilan kemudian hakim yang ditunjuk.
Berdasarkan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini, nilai Rp. 250,00
(dua ratus lima puluh rupiah) disesuaikan dengan kondisi saat ini menjadi Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu, setiap perkara yang
terkait dengan nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) ditangani sebagai tindak pidana ringan dan diperiksa dengan acara
pemeriksaan cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Akan
tetapi, aparat kepolisian atau kejaksaan tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini dan dalam menjalankan tugasnya
masih tetap berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Tentunya hal ini akan
berpengaruh pada ketidaklancaran sistem yang berjalan. Ketidaklancaran bukan
saja mempengaruhi efisiensi, efektifitas, dan produktifitas peradilan, melainkan
“ancaman kegagalan dalam menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti
terhambatnya proses yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan antara
64
penyidik dan penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena dianggap ada
kekeliruan dalam merumuskan dakwaan, dan lain sebagainya.
3.2. Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Dalam
Rangka Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Pada Saat Ini.
Bebarapa ketentuan dalam KUHP mengalami beberapa perubahan dengan
dikeluarkannya Perpu No. 16 tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam
KUHP. Ketentuan yang diubah dalam perpu tersebut yang perlu mendapat
perhatian adalah ketentuan yang terkait dengan tindak pidana ringan sebagaimana
diatur dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP. Ketentuan nilai
barang dalam perkara tindak pidana ringan dengan dikeluarkanya perpu tersebut
diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah yang sebelumnya hanya bernilai dua
puluh lima rupiah.
Berbeda dengan tindak pidana lainnya, tindak pidana ringan memiliki
proses pemeriksaan tersendiri. Pada dasarnya, undang-undang No. 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana mengatur beberapa bentuk pemeriksaan pidana, yaitu
pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat, pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses
persidangan dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimana yang
ditentukan undang-undang , dihadiri oleh penuntut umum dan terdakwa, dengan
pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum. Pembuktian dan alat bukti yang
dipergunakan berpedoman kepada ketentuan yang berlaku.
65
Kita mengenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana pada sidang di
pengadilan yakni :
a. Acara pemeriksaan biasa diatur di dalam bagian ketiga bab XVI
b. Acara pemeriksaan singkat diatur di dalam bagian kelima bab XVI
c. Acara pemeriksaan cepat diatur di dalam bagian keenam bab XVI yang
terdiri dari dua jenis :
1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan
2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan
Berikut ini Kebijakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana ringan
yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Di Luar
KUHP.
3.2.1. Kebijakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana ringan yakni
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal-pasal yang
mengatur tentang tindak pidana ringan adalah sebagai berikut:
A. Pasal 302 (Penganiayaan Hewan Ringan),
Pasal 302 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan
ringan terhadap hewan:
a. barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas
untuk mencapai tujuan itu dengan sengaja menyakiti atau melukai
66
hewan atau merugikan kesehatannya;
b. barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas
untuk mencapai tujuan itu dengan sengaja tidak memberi makanan
yang diperiukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau
sebagian menjadi kepunyaannya dan berada di bawah
pengawasannya, atau kepada hewan yang harus dipeliharanya.
Dalam pasal tersebut terdapat beberapa Unsur yakni:
1) barang siapa
2) dengan sengaja
3) penganiayaan
4) pidana : penjara dan denda (Rp. 4.500)
5) ancaman hukuman 3 bulan
Menurut R. Soesilo68, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal, untuk dapat disebut sebagai penganiayaan terhadap binatang (sub 1),
harus dibuktikan bahwa:
1. Orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang;
2. Perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas
yang diizinkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa perbuatan seperti memotong ekor dan
kuping anjing supaya kelihatan bagus, mengebiri binatang dengan maksud baik
yang tertentu, mengajar binatang dengan memakai daya upaya sedikit menyakiti
68 R. Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, hal. 190-191
67
pada binatang untuk sirkus, mempergunakan macam-macam binatang untuk
percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie) dsb. Itu pada umumnya diizinkan
(tidak dikenakan pasal ini). Asal saja dilakukan dengan maksud yang patut atau
tidak melewati batas yang diizinkan. Tentang hal ini bagi tiap-tiap perkara harus
ditinjau sendiri-sendiri dan keputusan terletak kepada hakim.
Hal serupa juga dikatakan oleh S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya yang
berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Ada perbuatan-perbuatan
yang tidak dapat dipidana dengan pasal ini. Salah satunya adalah “menyakiti”
kerbau atau sapi dalam rangka upacara adat, setidak-tidaknya di daerah hukum
adat itu, masih dapat dipandang bukan tanpa tujuan yang patut, kendati
diharapkan perubahannya untuk masa mendatang.
Lebih lanjut, S.R. Sianturi69 mengatakan bahwa apakah tindakan tersebut
patut, diperkenankan, atau tidak, pembuktiannya adalah sesuai dengan kenyataan
dan penilaian hakim. Apakah suatu tindakan mempunyai tujuan yang patut atau
tidak atau apakah melampaui batas untuk mencapai tujuan yang diperkenankan,
juga dalam praktek hukum banyak diserahkan pada pertimbangan dan kearifan
hakim.
Oleh karena itu, tindakan pemerkosaan terhadap binatang harus
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 302 ayat (1) sub 1 KUHP untuk dapat
dihukum, dan tindakan tersebut tidak termasuk ke dalam tindakan-tindakan yang
dikecualikan dari pasal ini.
69 Ibid, hal. 273
68
B. PASAL 315 (Penghinaan Ringan)
Pasal 315 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di depan umum dengan lisan atau tulisan, maupun di depan orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah” .
Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu kata
eenvoudige belediging; sebagian pakar menerjemahkan kata eenvoudige
dengan kata “biasa”, sebagian bakar lainnya menerjemahkan dengan kata
“ringan”. Dalam Kamus Bahasa Belanda, kata eenvoudige: sederhana,
bersahaja, ringan. Dengan demikian, tidak tepat jika dipergunakan kata
penghinaan biasa70.
Unsur-unsur Pasal 315 KUHP:
1. Unsur Objektif:
a. Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran (dengan lisan) atau
pencemaran tertulis;
b. Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau
tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri degan lisan atau perbuatan;
c. Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya
2. Unsur Subjektif:
a. Dengan sengaja.
b. Pidana berupa penjara dan denda (Rp. 300 rupiah)
c. Ancaman hukuman 4 bulan
70LedenMarpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya. Jakarta: PT Grafindo Persada, hal. 41
69
Menurut R. Soesilo71 dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan ringan, maka perbuatan itu
dilakukan tidak dengan jalan “menuduh suatu perbuatan”. Penghinaan yang
dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik
penghinaan (lihat pasal 310 KUHP) atau penghinaan dengan tulisan (lihat
pasal 311 KUHP). Penghinaan yang dilakukan dengan jalan selain “menuduh
suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “bajingan” dan
sebagainya, dikategorikan sebagai penghinaan ringan.
Selanjutnya, Soesilo menjelaskan bahwa untuk dapat dihukum,
penghinaan itu baik lisan maupun tulisan maka penghinaan itu harus
dilakukan di tempat umum. Yang dihina sendiri tidak perlu berada di situ.
Pengecualiannya adalah:
1. Apabila orang yang dihina berada di situ melihat dan mendengar sendiri
penghinaan tersebut.
2. Apabila penghinaan dilakukan dengan surat (tulisan), maka surat itu
harus dialamatkan kepada yang dihina.
Kata-kata atau kalimat apakah yang dianggap menghina itu,
bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan, ialah menurut pendapat umum
di tempat itu. Penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan, misalnya dengan
meludahi muka, atau sodokan, pukulan atau dorongan yang tidak seberapa
keras, bisa juga dikategorikan sebagai penghinaan.
71R. Soesilo, Op.,cit, hal. 197-198
70
C. Pasal 352 (Penganiayaan Ringan)
Pasal 352 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
“Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya”.
Menurut R. Soesilo72, tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal
352 KUHP disebut ‘penganiayaan ringan’, dan masuk kategori ‘kejahatan
ringan’. Berdasarkan Pasal 352 KUHP, unsur-unsur yang harus ada dalam
penganiayaan ringan, adalah:
a. penganiayaan yang tidak menjadikan sakit; atau
b. penganiayaan yang tidak sampai membuat korban terhalang untuk
melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Kritik terhadap Pasal 352 KUHP datang dari SR Sianturi73, dalam
bukunya, Sianturi menilai Pasal 352 ‘tidak diperlukan’. Apalagi WvS
(Wetboek van Strafrecht) Belanda juga tak mengatur penganiayaan ringan.
Faktanya, tidak dijelaskan lebih lanjut untuk berapa lama rasa sakit itu
dirasakan korban. Kendati hanya sementara, perbuatan penganiayaan ringan
masih bisa menggunakan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
72 Ibid., hal. 73 SR Sianturi, 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM
71
Namun menurut Leden Marpaung74 kalau korban sampai masuk
rumah sakit, maka unsur-unsur Pasal 352 KUHP tidak terpenuhi. Poin
penting Pasal 352 adalah ‘tidak menjadikan sakit atau halangan melakukan
pekerjaan’. Kalau penganiayaan mengakibatkan korban berhalangan untuk
bekerja, maka Pasal 351 ayat (1) KUHP lebih tepat dipakai.
Ayat (2) dari pasal 352 KUHP mengatur tentang percobaan untuk
melakukan penganiayaan ringan. Menurut ayat ini, pelaku percobaan
penganiayaan ringan tidak dihukum. Contoh kasus ayat ini adalah A
memukul B memakai bantal guling, dan B tidak merasa sakit. A masuk
kategori mencoba melakukan penganiayaan ringan.
Jadi, untuk suatu perbuatan dapat dikatakan penganiayaan ringan
adalah ketika perbuatan tersebut tidak menjadikan korbannya sakit atau
berhalangan untuk melakukan pekerjaan.
D. Pasal 364 (Pencurian Ringan)
Pencurian ringan diatur pada Pasal 364 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut
:
“Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir (4), begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir (5), apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh ribu rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda banyak Sembilan ratus rupiah”75.
74 Leden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya) Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Pembahasan. Jakarta: Sinar Grafika.
75Moeljatno, 2007, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan ke 26, Jakarta : PT. Penerbit Bumi Aksara, Hal. 129
72
Yang berbunyi “perbuatan yang diterangkan pada pasal 362 dan pasal 363
butir ke 5 apabila tidak dilakukan didalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada dirumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari
dua puluh lima rupiah, diancam dengan pencurian ringan dengan pidana
paling lama tiga bulan atau pidana denda dua ratus lima puluh rupiah”
Tentang ’nilai benda yang dicuri’ itu semula ditetapkan ’tidak lebih dua
puluh lima rupiah’, akan tetapi dengan Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang No. 16 tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana telah diubah ’dua ratus lima puluh rupiah’.
Dari rumusan ketentuan pidana di atas dapat diketahui, bahwa yang dimaksud
pencurian ringan itu dapat berupa:
a. tindak pidana pencurian
b. tindak pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama.
c. Tindak pidana pencurian, yang untuk mengusahakan jalan masuk ke
tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya,
orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran, perusakan,
pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu atau serangan palsu.
Dengan syarat:
a. tidak dilakukan di dalam sebuah rumah tempat kediaman.
b. tidak dilakukan di atas sebuah perkarangan tertutup yang di atasnya
terdapat sebuah tempat kediaman.
73
c. nilai dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh
rupiah.
d. Ancaman hukuman selama 3 bulan
e. Pidana: penjara dan atau denda
E. Pasal 373 (Penggelapan Ringan)
Pasal 373 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah,diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Ketentuan tentang penggelapan ringan ini diatur dalam Pasal 373 KUHP
yang unsur-unsur dalam penggelapan ringan adalah:
1. Unsur-unsur penggelapan dalam bentuk yang pokok (Pasal 372 KUHP)
adalah:
a) Unsur obyektif sebagai berikut:
i. Mengaku sebagai milik sendiri (menguasai),
Unsur menguasai merupakan unsur subyektif, tetapi dalam
penggelapan unsur tersebut merupakan unsur obyektif.
Penggelapan unsur menguasai merupakan perbuatan yang
dilarang, maka tidak ada penggelapan apabila perbuatan
menguasai tersebut belum selesai atau perbuatan menguasai itu
harus sudah terlaksana atau selesai, misalnya barang tersebut
telah dijual, dipakai sendiri ataupun ditukar76.
76 Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Hal. 59.
74
ii. Sesuatu barang,
Sama halnya dengan penjelasan dalam pencurian.
iii. Yang seluruh atau sebagian milik orang lain,
Sama halnya dengan penjelasan dalam pencurian.
iv. Yang ada dalam kekuasaannnya bukan karena kejahatan,
Unsur tersebut merupakan ciri pokok atau unsur pembeda dengan
pencurian. Pencurian, penguasaan barang oleh pelaku itu
dilakukan dengan cara melawan hukum, sedangkan pada
penggelapan, penguasaan barang oleh pelaku justru bukan karena
suatu tindak pidana.
v. Secara melawan hukum.
Sama halnya dengan penjelasan dalam pencurian.
b) Unsur subyektif sebagai berikut:
i. Dengan sengaja
Unsur kesengajaan dalam suatu rumusan tindak pidana
dirumuskan dengan istilah dengan sengaja maka unsur
kesengajaan tersebut menjiwai semua unsur lain yang terletak di
belakang unsur kesengajaan tersebut, atau dengan kata lain
menurut MvT unsur yang dirumuskan dibelakang unsur
kesengajaan diliputi oleh kesengajaan77.
ii. Bahwa yang digelapkan itu bukanlah hewan ternak.
77 Lamintang dan Djisman Samosir, 1981,Delik-Delik Khusus Kejahatan yang ditujukanTerhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,Tarsito, Bandung.hal. 67
75
Dalam unsur ini ternak dianggap sebagai harta kekayaan yang
sangat berharga bagi masyarakat.
iii. Harga dari barang yang digelapkan tidak lebih dari Rp 250
(Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 16 tahun
1960)
iv. Ancaman hukuman 3 bulan
F. Pasal 379 (Penipuan Ringan)
Pasal 379 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 378, bila barang yang diserahkan itu bukan ternak dan nilai barang, utang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Penipuan ringan diatur dalam ketentuan Pasal 379 KUHP, yang berdasarkan
rumusan Pasal 379 KUHP tersebut, maka unsur-unsur penipuan ringan
adalah:
1) Unsur-unsur dari penipuan dalam bentuk yang pokok (Pasal 378 KUHP)
yang lazim disebut Oplichting adalah:
a. Unsur Obyektif, sebagai berikut:
i. Menggerakkan orang lain
Pengertian menggerakkan orang lain dalam Pasal 378 KUHP
adalah dengan menggunakan tindakan-tindakan, baik berupa
perbuatan-perbuatan maupun perkataan-perkataan yang bersifat
menipu.
ii. Untuk menyerahkan suatu barang/benda
76
Menyerahkan suatu benda tidaklah harus dilakukan sendiri secara
langsung oleh orang yang tertipu kepada orang yang menipu.
Penyerahan juga dapat dilakukan oleh orang yang tertipu itu
kepada orang suruhan dari orang yang menipu.
iii. Untuk memberi hutang
Pengertian memberi hutang dalam rumusan Pasal 378 KUHP
adalah si penipu membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian
yang menyebabkan orang yang ditipu harus membayar sejumlah
uang tertentu.
iv. Untuk menghapus piutang
Menghapus piutang yang dimaksud adalah menghapus atau
meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang ditipu
kepada penipu atau orang tertentu yang dikehendaki oleh penipu.
v. Dengan menggunakan daya upaya seperti:
a) Memakai nama palsu
Pemakaian nama palsu ini terjadi apabila seseorang
menyebutkan sebagai nama suatu nama yang bukan namanya,
dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan
kepada orang yang namanya disebutkan tadi.
b) Martabat palsu
Martabat palsu yang dimaksud adalah menyebutkan dirinya
dalam suatu keadaan yang tidak benar dan yang mengakibatkan
si korban percaya kepadanya, dan berdasarkan kepercayaan itu
77
ia menyerahkan sesuatu barang atau memberi hutang atau
menghapus hutang.
c) Dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan
Menggunakan tipu muslihat yang dimaksud adalah rangkaian
kata-kata, melainkan dari suatu perbuatan yang sedemikian
rupa, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kepercayaan
terhadap orang lain (yang ditipu).
b. Unsur subyektif, sebagai berikut:
1. Dengan maksud
Sama halnya dengan penjelasan dalam pencurian.
2. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
Yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain
dari kekayaan semula.
3. Secara melawan hukum
Sama halnya dengan penjelasan dalam pencurian.
2) Barang yang diserahkan (obyek penipuan) haruslah bukan ternak dan
nilainya tidak lebih dari Rp 250 (Peraturan Pemerintah pengganti
Undang-Undang No. 16 tahun 1960)
G. Pasal 407 (Pengerusakan Ringan)
Pasal 407 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
“Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 406, jika harga kerugian yang disebabkan tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
78
Pengerusakan ringan diatur dalam ketentuan Pasal 407 KUHP dengan
pengecualian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 407 ayat (2) KUHP.
Yang berdasarkan ketentuan Pasal 407 ayat (1) KUHP, maka perbuatan
pengerusakan barang sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 406
KUHP itu dianggap sebagai tindak pidana pengerusakan ringan apabila nilai
kerugian yang ditimbulkan karena adanya kerusakan itu tidak lebih dari Rp
250 (Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 16 tahun 1960)
Penjelasan Pasal 407 KUHP, maka unsur-unsur dalam pengerusakan ringan
adalah:
1. Unsur-unsur pengerusakan dalam bentuk pokok (Pasal 406 KUHP)
sebagai berikut:
a) Unsur obyektif terdiri dari:
a. Membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat
dipakai atau menghilangkan,
b. Suatu barang,
c. yang seluruh atau sebagian milik orang lain.
b) Unsur subyektif terdiri dari:
a. Dengan sengaja,
b. Secara melawan hukum.
2. Harga kerugian yang disebabkan membinasakan, merusakkan, membuat
sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan suatu barang yang
seluruh atau sebagian milik orang lain tidak lebih dari Rp 250.
79
3. Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 406 bukanlah hewan ternak
yang dimaksud dalam Pasal 101 KUHP dikatakan Pengerusakan ringan.
H. Pasal 482 (Penadahan Ringan)
Pasal 482 KUH Pidana isinya adalah sebagai berikut:
“Perbuatan diterangkan dalam pasal 480 diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah, jika kejahatan dari mana benda diperoleh adalah salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, 379”.
Penadahan ringan diatur dalam Pasal 482 KUHP yang berdasarkan ketentuan
Pasal 482 KUHP tersebut bahwa penadahan yang diatur dalam Pasal 480
KUHP akan menjadi penadahan ringan apabila perbuatan yang diatur dalam
Pasal 480 KUHP dilakukan terhadap barang-barang hasil dari pencurian
ringan, penggelapan ringan dan penipuan ringan.
Penjelasan Pasal 482 KUHP, maka unsur-unsur dalam penadahan ringan
adalah:
A. Unsur-unsur dalam penadahan (Pasal 480 KUHP) sebagai berikut:
1. Unsur dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP meliputi:
a) Unsur obyektif terdiri dari:
1) Membeli, menyewa, menukar, menerima sebagai gadai,
menerima sebagai hadiah
2) Karena ingin mendapatkan keuntungan menjual,
menyewakan, menukarkan, memberikan sebagai gadai,
mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan,
3) Suatu benda,
80
4) Yang diperoleh karena kejahatan.
b) Unsur subyektif terdiri dari:
2) Yang diketahuinya,
3) Yang ia patut dapat menduga
2. Apabila perbuatan yang diatur dalam Pasal 480 KUHP dilakukan
terhadap barang-barang hasil dari pencurian ringan, penggelapan
ringan dan penipuan ringan dikatakan penadahan ringan.
3.1.1. Analisis :
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kriteria perkara yang termasuk
dalam tindak pidana ringan adalah perkara yang ancaman pidananya tidak lebih
dari 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
tidak terkecuali tindak pidana pengihinaan ringan yang ancaman hukumanya 4
bulan. Beberapa pasal tersebut di atas yang memuat ancaman hukuman maksimal
3 bulan penjara terkadang mengikuti syarat lainnya, yaitu nilai barang yang
menjadi objek perkara berdasarkan undang-undang No. 1 tahun 1946 sebesar
tidak lebih dari dua puluh lima rupiah sebagaimana telah dirubah dengan perpu
No. 16 tahun 1960 menjadi dua ratus lima puluh rupiah. Dari beberapa pasal
dalam KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana ringan ancaman pidana
pokok berupa hukuman penjara dan atau denda.
Berdasarkan pasal 205-210 KUHAP, acara pemeriksaan cepat dapat
dilakukan terhadap kasus tindak pidana ringan. Ketentuan tersebut sudah jarang
digunakan karena pasal-pasal tindak pidana ringan hanya mengatur perkara pidana
81
yang nilai objeknya dua ratus lima puluh rupiah yang kemudian dapat diancam
dengan ancaman hukuman tiga bulan penjara dan kurungan dan denda Rp. 7.500
(tujuh ribu lima ratus rupiah). Oleh sebab itu sangat kurang adil apabila tindak
pidana dengan objek perkara bernilai di atas dua ratus dua puluh lima rupiah
namun tidak begitu besar nilai nominalnya harus diancam dengan hukuman
selama lima tahun penjara.
Untuk mengatasi hal tersebut, mahkamah agung kemudian mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 Tentang penyesuain batasan tindak
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Beberapa hal yang menjadi
sorotan dalam peraturan tersebut adalah pasal 1 PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG No. 2 tahun 2012 tersebut yang mengatur nilai barang tindak pidana
ringan menjadi Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus rupiah) dari yang semula Rp.
250 (dua ratus lima puluh rupiah). Dengan demikian maka ancaman hukuman
tindak pidana yang memenuhi pasal-pasal tersebut di atas menjadi maksimal 3
bulan penjara sehingga tidak perlu lagi ditahan sebagaimana diatur di dalam pasal
21 KUHAP.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 mengatur beberapa
ketentuan yang merupakan penyesuan kententuan dalam KUHP. Di samping
mengatur mengenai penyesuaian nilai barang dalam KUHP, PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG tersebut juga mengatur mengenai masalah penahanan
terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana ringan. Dalam pasal 2 ayat 3
disebutkan apabila terdakwa sebelumnya dekenakan penahanan. Disamping itu
dengan dinaikkannya nilai barang dalam KUHP maka pelaku yang melakukan
82
tindak pidana ringan tidak dapat lagi ditahan karena ancaman hukumannya
menjadi maksimal 3 bulan penjara sehingga tidak memenuhi syarat penahanan
sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 baik huruf (a) maupun (b).
3.1.2. PERATURAN DI LUAR KUHPidana
Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Larangan Minuman Beralkohol
Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2013
disebutkan bahwa:
(1) Barang siapa yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 diancam dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Unsur yang terdapat dalam pasal 6 tersebut yakni :
a. Barang siapa
Yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum yang dengan
sengaja menjual minuman beralkohol
b. Pidana: kurungan dan denda
c. Ancaman selama 3 bulan
d. Denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
Berdasarkan pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun
2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 4
Tahun 2001 Tentang Larangan Minuman Beralkohol, tindak pidana tersebut dapat
83
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan karena ancaman hukumannya hanya 3
bulan.
Terhadap beberapa kasus tindak pidana ringan yang telah di proses
kepolisian Resor Jepara, penulis mengangkat diantaranya yang akan menjadi
kajian dalam tesis ini. Berikut akan dijabarkan beberapa kasus yang menjadi
bahan kajian sebagaimana dapat digambarkan pada tabel di bawah ini :
84
Tabel 3.2Data perkara Tindak Pidana Ringan tahun 2012 di Kepolisian Resor Jepara.
Bulan Jumlah dan jenis kasus Peraturan yang diterapkan
Januari 2 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Februari 18 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Maret 3 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
April 1 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Mei 8 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Juni 10 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Juli 31 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Agustus 6 kasus Miras dan 4
kasus Pencabulan
Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Pasal 506 KUHP
September 3 kasus Miras dan 1
kasus Pengemis
Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Pasal 504 KUHP
Oktober 11 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
85
Tabel 3.3
Data perkara Tindak Pidana Ringan Bulan Juli tahun 2013 di Polres Jepara.
Bulan Jumlah dan jenis kasus Peraturan yang diterapkan
Juli 20 kasus Miras Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001
Data dalam tabel 3.2 dan tabel 3.3 diatas, merupakan data penanganan
proses perkara yang termasuk dalam tindak pidana ringan, karena perkara-perkara
tersebut terkait dengan larangan minuman beralkohol pada bulan Juli tahun 2013
di Kepolisian Resor Jepara. Terhadap perkara tersebut diterapkan dalam
ketentuan Perda Jepara Nomor 4 Tahun 2001 tentang Larangan Minuman
Beralkohol. Sehubungan dengan kasus-kasus sebagaimana dalam tabel 1 dan tabel
1.2 diatas, Kepolisian Resor Jepara menggunakan Perda Nomor 4 Tahun 2001
dengan memberikan sanksi kepada para tersangka hanya bersifat pidana denda
saja, karena pada dasarnya Pidana denda lebih terlihat dalam Peraturan-peraturan
Daerah, karena memang sifat dari Peraturan Daerah untuk memberikan
perlindungan terhadap terjadinya pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai tidak
pidana yang ringan sifatnya78.
Dengan melihat pada sistematika KUHPidana, tampak bahwa pembentuk
KUHPidana sendiri telah mengadakan pembedaan jenis-jenis delik, yaitu antara
tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Selain
pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran ini, terdapat pula satu kelompok
tindak pidana (delik) yang ditempatkan pengaturannya dalam Buku II
KUHPidana, tetapi memiliki ciri khusus, yaitu bersifat ringan. Kejahatan-
78http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25567/3/Chapter%20II.pdf
86
kejahatan ini dinamakan kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven). Selain itu
dalam doktrin atau pendapat ahli hukum dikenal pula aneka pembedaan yang lain.
Tindak Pidana Ringan tidak hanya pelanggaran tapi juga mencakup
kejahatan-kejahatan ringan yang terletak dalam Buku II KUHPidana yang terdiri
dari, penganiayaan hewan ringan, penghinaan ringan, penganiayaan ringan,
pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan,
penadahan ringan. Dalam KUHP, ketentuan tentang minuman keras/beralkohol
yang dapat mengakibatkan orang mabuk, secara umum diatur dalam Pasal 536,
537, 538, 539 KUHP. Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang
terdapat dalam KUHP maka setidaknya terdapat 9 yang tergolong dalam bentuk
Tindak Pidana Ringan, yaitu Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan
terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364
mengenai Pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379
mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam dalam penjualam,
Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan
ringan, dan Pasal 315 mengenai penghinaan ringan.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 mengatur tentang
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
Penyesuaian dilakukan terkait dengan jumlah nominal denda dan menyesuaikan
terkait Pasal 363, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP yang apabila harga barang yang
menjadi tindak pidana tidak melebihi Rp. 2.500.000,- agar memeriksa, mengadili
dan memutus perkara-perkara sebagaimana pada pasal diatas agar dilakukan
dengan pemeriksaan acara cepat. Yang dilakukan penyesuaian di dalam
87
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini hanya dalam beberapa Pasal dalam
KUHP seperti disebutkan diatas.
Terhadap kasus-kasus tersebut diatas pada dasarnya merupakan tindak
pidana ringan, karena mengenai tindak pidana ringan, dalam Pasal 205 ayat (1)
KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak
pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- dan
penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 bagian ini. Dikaitkan
dengan kasus-kasus pada tabel 1 dan tabel 1.2 diatas, kesemuanya merupakan
tindak pidana ringan, karena sanksi terhadapnya dalam KUHP hanya bersifat
denda dan kurungan yang tidak lebih dari 3 bulan sehingga termasuk tindak
pidana ringan. 79
Tabel 3.4
No Tersangka/Terdakwa Kepolisian Resor Jepara
Lap. Polisi Pasal yang disangkakan
Taksiran kerugian
1Muhammad Fatori Bin Sukari (Alm), Umur: 24 Tahun,Pekerjaan : Swasta, Alamat
:Ds. Pulodarat, RT 04 / RW 01, Kecamatan Pecangan, kabupaten Jepara
Polsek Tahunan LP/84/XI/2013/Jtg/Res Jpr/Sek Thn, Tanggal 03 November 2013
Pasal 364 KUHP
Rp.800.000,-
2 Muhammad Aris Bin Sudar (alm), Umur : 47,
Polsek Kalinyamatan
LP/B/32/X/2012/Jateng/Res Jpr/Sek
Pasal 407 ayat (1) KUHP jo
Rp.1000.000
79http://nasional.news.viva.co.id/news/read/447976-mahfud-setuju-tindak-pidana-ringan-tak-perlu-dipenjara
88
Pekerjaan : wiraswastaAlamat : Ds. Purwogondo, Rt 08/02, Kec. Kalinyamantan, Kabupaten Jepara.
Klyt, tanggal 16 oktober 2012
Pasal 55 ayat (1) sub ke 1e KUHP
3 Ujik Syaifulloh Bin Suwito, Umur : 23 Tahun, Pekerjaan : Pemulung, Alamat : Ds. Purwogondo, Rt 02/01, Kec. Kalinya Silanyemen, Kab. Jepara.
Polsek Welahan No. Pol : LP/37/VI/2013/Jtg/Res Jpr/Sek Wlh, tanggal 15 Juni 2013.
Pasal 362 KUHP
Rp.110.000,-
Keterangan :
1. Terdakwa disangkakan melakukan tindak pidana ringan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 364 KUHP terhadap barang milik korban Suyanti Bin
Suyanto.
Kronologis : Tersangka berpura-pura membeli handphone di counter milik
korban, kemudian tersangka meminta kepada korban untuk memberikan
handphone merk Blackberry Gemini 8520 dengan alasan ingin membeli,
setelah beberapa saat setelah tersangka memperhatikan situasi tempat sepi,
tersangka kemudian membawa handphone tersebut.
Keterangan : terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan oleh Kepolisian
Sektor Tahunan dan proses hukumnya telah dilimpahkan ke pengadilan
Negeri Jepara.
2. Terdakwa disangkakan melakukan tindak pidana ringan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) sub ke 1e
KUHP.
89
Kronologis : Tersangka melakukan tindak pidana ringan sebagaimana
dimaksud pada Pasal disebutkan diatas terhadap korban Kasminem Binti
Karjo Rus atas pembagian hak waris antara tersangka dengan korban, pada
saat dilakukan musyawarah terjadi perdebatan, tersangka kemudian
melakukan pengrusakan terhadap barang milik korban yakni merusak kaca
rumah dan meja milik korban sehingga menimbulkan kerusakan, tersangka
sambil mengucapkan kata-kata ancaman terhadap korban.
Keterangan : terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan saksi yang
telah dihadirkan untuk diminta keterangannya sebanyak 9 orang.
3. Terdakwa disangkakan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 362 KUHP
Kronologis : tersangka masuk ke dapur rumah milik korban Sudimah Binti
Sadiman dengan mengambil tabung gas elpiji 3 kg dengan cara memasukkan
tabung tersebut ke dalam kantong plastic yang telah disediakannya kemudian
membawanya.
Keterangan : mulai ditahan 15 Juni 2013, kerugian yang ditaksir
Rp.110.000,- dan saksi yang telah diperiksa sebanyak 4 orang.
Tersangka ditangkap dengan Surat Penangkapan Nomor :
SP.Kap/06/VI/2013/Reskrim, tanggal 15 Juni 2013. Dan ditahan berdasarkan
Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/06/VI/2013/Reskrim, tanggal 15
Juni 2013.
Berdasarkan data perkara pada tabel diatas dalam perkara nomor 1 diatas, jika
dikaitkan dengan implementasi PERATURAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 2
90
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut telah efektif atau telah
diterapkan oleh penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Sektor Tahunan, karena
telah melakukan proses hukum dengan tanpa menahan tersangka dan Pasal yang
disangkakan kepada tersangka adalah Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan,
karena nilai barang tindak pidana ditafsirkan seharga Rp.800.000,- sebab
berdasarkan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut dalam Pasal 1
menyebutkan bahwa“Kata-kata"dua ratus lima puluh rupiah"dalam pasal 354,
373, 379, 384, 4O7 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah)”;sehingga berdasarkan bunyi Pasal tersebut jika
dikaitkan dengan harga barang yang ditafsir dalam perkara tersebut telah sesuai.
Jika dilihat dari kasus nomor 2 pada tabel tersebut diatas, dalam perkara
tersebut diterapkan Pasal 407 KUHP terkait dengan pengrusakan barang, sehingga
yang disangkakan merupakan ketentuan yang termasuk tindak pindana ringan,
maka jika dikaitkan dengan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 2
Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda Dalam KUHP, Kepolisian Sektor Kalinyamatan telah menerapkan atau
mengimplementasikan ketentuan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
tersebut, sebab berdasarkan harga yang ditafsir terhadap barang hasil tindak
pidana adalah sebesar Rp. 1.000.000,- yang artinya di bawah nominal Rp.
2.500.000,- sebagaimana disebutkan dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 1
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 2 Tahun 2012.
91
Berbeda dengan kasus nomor 1 dan 2 pada tabel diatas, dalam kasus nomor 3
dalam tabel 2 tersebut, Kepolisian Sektor Welahan menggunakan Pasal 362
KUHP tentang pencurian. Pasal tersebut merupakan termasuk tindak pidana biasa
dengan kata lain bukan termasuk tindak pidana ringan. Padahal jika dilihat dari
kerugian yang dialami oleh korban atau nilai barang hasil tindak pidana ditafsir
hanya sebesar Rp. 110.000,-, maka berdasarkan Pasal 1 PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, Kepolisian Sektor
Welahan tidak menerapkan ketentuan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
tersebut, sehingga implementasinya tidak efektif, karena jika dilihat dari nilai
harga barang hasil tindak pidana sebesar Rp. 110.000,- atau jumlah yang
nominalnya dibawah Rp. 2.500.000,- sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 2 Tahun 2012.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam Implementasi Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Polres jepara:
Dari penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, maka penulis akan
menyampaikan kendala-kendala yang ditemukan terkait dengan implementasi
Peraturan Mahkamah Agung tersebut terhadap penangan perkara-perkara tindak
pidana ringan yang terjadi di wilayah Kepolisian Resort Jepara. Tetapi sebelum
membahas mengenai kendala-kendala yang akan disampaikan, maka penulis
92
kiranya perlu untuk menyampaikan beberapa penjelasan terkait dengan Peraturan
Mahkamah Agung tersebut.
Sebagai lembaga tertinggi, mahkamah agung diberikan beberapa fungsi untuk
menjalankan perannya, yaitu fungsi mengadili di tingkat kasasi, fungsi menguji
setiap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sesuai pasal 24 A
ayat (1) undang-undang dasar Republik Indonesia tahun 1945. Selain itu, ada
fungsi memberikan nasehat kepada lembaga Negara lainnya, fungsi mengawasi
seluruh lembaga peradilan yang berada di bawahnya, fungsi administrative dan
fungsi mengatur.80 Bentuk dari fungsi yang disebut terakhir ini adalah dengan
pembentukan surat edaran mahkamah agung (sema) dan Peraturan Mahkamah
Agung (Peraturan Mahkamah Agung). Sistematika fungsi-fungsi mahkamah
agung tersebut dibuat dalam 3 bidang sebagai berikut:
1. Fungsi pokok mahkamah agung bersifat peradilan fungsi mengadili atau
menyelenggarakan peradilan (rechtsprekende functie) yang dalam empat
bidang yaitu:
a. fungsi peradilan kasasi
b. fungsi peradilan untuk sengketa;
1) kewenangan mengadili
2) perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI
3) fungsi peradilan untuk permohonan peninjauan kembali
4) fungsi peradilan di bidang hak uji materil
2. fungsi khusus bersifat administrative
80Ronal s lumbun, loc.cit.
93
a) fungsi pengawasan (toeziende functie)
b) fungsi mengatur (regelende functie)
c) fungsi administrative (administrative functie)
3. fungsi tambahan bersifat ketatanegaraan
a) fungsi penasihat (adviserendefuntie)
b) fungsi pengawasan PARPOL (uu no. 2 tahun 1999)
c) fungsi pengawasan PEMILU (uu no. 3 tahun 1999)
d) fungsi penyelesaian persilisihan antar daerah (uu no. 22 tahun
1999)81.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, mahkamah agung memiliki fungsi
pengaturan atau regelende functie atau rule making power. Fungsi ini diberikan
berdasarkan pasal 79 undang-undang mahkamah agung yang berbunyi,
“mahkamah agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang ini. Memori penjelasan pasal 79 undang-undang
mahkamah agung ini mengatakan apabila dalam jalannya peradilan terdapat
kekuarangan atau kekosangan hukum satu hal, mahkamah agung berwenang
membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan tadi82.
Sekalipun sekilas mahkamah agung diberikan wewenang membentuk peraturan
atau kekuasaan legislative, namun kewenangan tersebut berbeda dengan
kewenangan membentuk peraturan oleh lembaga legislative. Mahkamah agung
81 Henry P. panggabean, fungsi mahkamah agung dalam praktik sehari-hari: upaya penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan mahkamah agung, jakarata: pustaka sinar harapan, 2001, hal. 78
82 Henry P. panggabean, ibid.,hal.143
94
tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga
Negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan alat pembuktian
serta penilaian ataupun pembagian beban pembuktian83. Ketentuan pasal 79
undang-undang mahkamah agung itu memberi kekuasaan legislative kepada
mahkamah agung khususnya untuk membuat peraturan terbatas bersifat pelengkap
menyangkut cara penyelesaian suatu permasalahan yang belum diatur dalam
hukum acara demi kelancaran peradilan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa terdapat dua bentuk dari
fungsi pengaturan ini, yaitu surat edaran mahkamah agung (SEMA) dan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA). Kedua bentuk produk hukum ini tentunya memiliki
perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya, yaitu:
1. Surat edaran mahkamah agung (sema) yaitu suatu bentuk edaran dari
pimpinan mahkamah agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya
merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih
bersifat administrasi.
2. Peraturan Mahkamah Agung (Peraturan Mahkamah Agung) yaitu suatu
bentuk peraturan dari prinsip mahkamah agung ke seluruh jajaran
peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum acara.
Disamping hukum acara, peraturan tentang tindak pidana masih
mengadaptasi peraturan Hindia Belanda. Oleh karena itu, tidak jarang peraturan-
peraturan tersebut dianggap kurang lengkap dan kurang mengikuti perkembangan
masyarakat yang terjadi. Maka dirasa perlu untuk memberi kewenangan kepada
83 Ibid.,hal.144
95
lembaga peradilan tertinggi untuk mengisi kekosongan hukum yang ada melalui
kewenangan fungsi mengatur yang dimiliki mahkamah agung.
Ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku di Indonesia dituangkan
dalam undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dan dianggap
sebagai sebuah karya agung. Akan tetapi, pengaturan yang terdapat dalam
ketentuan tersebut belum seluruhnya disesuaikan dengan peraturan tentang tindak
pidananya yang diatur secara terpisah dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP).
Di satu sisi Peraturan Mahkamah Agung dibutuhkan untuk mengisi
kekosongan hukum, akan tetapi di sisi lain kewenangan menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung yang dalam praktiknya berfungsi sebagai undang-undang
bertentangan dengan fungsi DPR sebagai lembaga legislative. Peraturan
Mahkamah Agung inilah yang kemudian pada gilirannya akan menghambat
peranan dan efektifitas Mahkamah Agung yang membantu penyelenggaraan
pemerintahan di bidang peradilan.
Setidaknya terdapat lima peran yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah
Agung RI, yaitu Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai pengisi kekosongan
hukum, Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai pelengkap ketentuan undang-
undang yang kurang jelas mengatur tentang sesuatu hal, berkaitan dengan hukum
acara, Peraturan Mahkamah Agung RI sebagai sarana penemuan hukum,
Peraturan Mahkamah Agung sebagai sarana penegakan hukum, dan Peraturan
Mahkamah Agung sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum, khususnya
96
para hakim di dalam menyelesaikan kesulitan-kesilitan teknis penerapan hukum
acara yang ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini.
Mewujudkan penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian hukum,
keadilan, dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan hukum
dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa proses
yang tidak boleh di pisahkan antara lain: penyidikan, tuntutan jaksa, vonis hakim
dan pembuatan peraturan perundang-undangan. Namun pada kenyataanya
penegakan hukum penerapan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012
mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor-faktor. Dengan demikian terdapat masalah dalam penegakan hukum,
menurut Soerjono Soekamto, antara lain :
1. faktor hukumnya sendiri.
2. faktor penegak hukum.
3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. faktor masyarakat.
5. faktor kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efktfitas hukum.84 Beberapa faktor di atas dabat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri/Substansi hukum yang akan ditegakkan.
Setiap masyarakat memiliki hukum sebagai penata normative dalam
hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan
84 Soerjono Soekanto. 2005, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal 8-9.
97
masyarakat berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Hukum
bersifat mengatur dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan
terhadap para pelanggar hukum antara lain berupa hukuman pidana. Hukum
pidana sendiri adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melarang larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagai mana yang diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.85
Hukum yang dimaksud di atas, khususnya hukum pidana yang terdapat
dalamperaturan-peraturan yang berlaku di indonesia, dapat menjadi
penghambat dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti asas
undang-undang tidak berlaku surut yang membuka kemungkinan untuk
tidak diikuti apabila kita melihat dalam pasal 284 ayat 1 KUHAP yang
menyatakan bahwa “ Terhadap perkara yang ada sebelum undang-
undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan
undang-undang ini”.85 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.hal1
98
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang yang bersangkutan.
c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.86
Selain hal-hal diatas, masih ada satu hal lainnya yang menjadi hambatan
sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun
2012 secara formal yuridis Ketentuan di dalamnya hanya mengatur mengenai
sanksi denda saja, dan berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 Peraturan
Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2012 adanya suatu pemaknaan bahwa
pencurian di bawah Rp 2.500.000 yang masuk dalam katagori pencurian
dengan hakim tunggal membuka peluang bagi para pelaku tindak pidana
untuk melakukan tindak pidana dikarenakan sanksinya hanya berupa denda
saja tanpa adanya suatu pemberian sengsara berupa perampasan
kemerdekaan, sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera atas perbuatan
pidana yang terjadi. Sedangkan disisi lain, kekhawatiran yang muncul di
dalam masyarakat akibat maraknya Tindak Pidana Ringan yang
bermunculan sebagai dampak dari diterbitkannya Peraturan Mahkamah
Agung tersebut sehubungan dengan ringannya remidium yang diatur. Alih-
alih memperhatikan hak tersangka/terdakwa, namun yang muncul adalah
berkembangnya tindakan yang masuk dalam kategori tindak pidana ringan.
86 Soerjono Soekanto. 2005, Op.cit, hal 17-18.
99
Disamping itu mengingat dalam penanganan proses tipiring dalam hal
Penyidikan, hanya dilakukan menggunakan berita acara cepat maka terhadap
pelaku tidak dilakukan penahanan, hal inilah justru nantinya akan membuat
masyarakat bingung, dikarenakan pelaku tidak ditahan justru malah bebas
berkeliaran, dan kekhawatiran masyarakat, dimana Pelaku mengulangi tindak
pidana semakin besar, sehingga yang seharusnya fungsi dari Hukum Pidana
adalah untuk menghilangkan kekawatiran itu, malah semakin nyata.
Disisi lain, mekanisme pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung nomor
2 tahun 2012 berlaku setelah perkara-perkara pencurian, penggelapan,
penipuan, sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan, dalam menerima
pelimpahan perkara tersebut dari penuntut umum, ketua pengadilan wajib
memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara tersebut.
Apabila nilai barang atau uang tersebut nilainya tidak lebih dari Rp 2.500.000
(Dua juta lima ratus ribu rupiah), maka perkara tersebut diputus dengan
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan,. Ketua Pengadilan menetapkan
hakim tunggal untuk memeriksa perkara tersebut, jika sebelumnya telah
dilakukan penahanan, ketua pengadilan tidak melakukan penahanan.
Ketentuan mengenai pidana denda yaitu dengan menyesuaikan nilai denda
yang ada dalam KUHP dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali, kecuali
terhadap Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 303 bis ayat1 dan ayat 2 KUHP.
Melihat ketentuan tersebut perlu adanya penyesuaian dengan hukum
formilnya, bukan hanya hal yang menyangkut materiil, karena secara
subtantive ketentuan ini hanya mengikat pada proses di pengadilan saja,
100
bukan pada tingkat kepolisian ataupun tingkat kejaksaan. padahal pada
dasarnya di dalam hukum pidana terdapat keterkaitan antara Polisi, Jaksa,
dan juga hakim dalam proses peradilan pidana, agar tujuan menurut kegunaan
hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan, menjadi nyata.
2. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah
aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan
kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum
menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti
sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan
petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan
kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi
kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
penbuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan
kembali.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum oleh penegak hukum di atas
menurut Soerjono Soekanto dijumpai beberapa halangan yang disebabkan
oleh penegak hukum itu sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain :
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak
lain dengan siapa dia berinteraksi.
101
b. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi. Kegairahan yang sangat
terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat suatu proyeksi.
c. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan materil.
d. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.87
Sedangkan menurut teori Franz Magnis Suseno, halangan dalam
pelaksanaan penegakan hukum yang disebabkan oleh para penegak hukum
itu sendiri adalah dilema moral, yaitu:
a. Masalah moral yang dihadapi oleh berbagai bidang seringkali sangat
kompleks.
b. Seringkali menghadapi masalah dengan tidak rasional dan obyektif,
dimana dalam menghadapi masalah seringkali dengan emosional dan
hanya melihat dari segi kepentingan pribadi.
c. Tidak adanya keinginan untuk bertindak dengan baik, adil, dan jujur.88
Faktor ini pula yang kemudian muncul sebagai hambatan dalam
penerapan dari Peraturan Mahkamah Agung no 2 tahun 2012 di Polres
Jepara. Selain faktor penegak hukum tersebut, ada hambatan lain di dalam
proses pelaksanaan tugas kepolisian seperti dalam hal penyelidikan dan
penyidikan.
87 Ibid., hal.34-35.88 Sadjijono, 2008, Suatu Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi dalam
Pelaksanaan Tugas Profesi Polisi. Yogyakarta : Laksbang Mediatama. hal. 3-4
102
Dalam ketentuan pasal 1 butir 5 KUHAP mencantumkan bahwa
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”. Dari ketentuan tersebut perlu digaris
bawahi kalimat “mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain “mencari dan menemukan”
berarti penyelidik atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana, namun pada kenyataan dalam melaksanakan
tugasnya, penyelidik menunggu adanya laporan dan pengaduan dari pihak
yang dirugikan, sedangkan tujuan dari pelaksanaan tugas penyelidik adalah
untuk menentukan dapat didakwa suatu peristiwa dilakukan penyidikan atau
suatu peristiwa diduga sebagai tindak pidana89. Dengan adanya perilaku yang
secara ius practicio tidak memaknai perintah sebagaimana dimaksud di
dalam hukum Pidana Formil tersebut, maka proses penegakan hukum tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk memangkas suatu perilaku yang
menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan tergolong sebagai suatu Tindak
Pidana. Dikotomi antara Teori dan praktek inilah yang kemudian menjadi
donatur terbesar meningkatnya kejahatan Tindak Pidana Ringan, karena
sekalipun alam hukum pidana dikenal adanya asas fictie Hukum, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa masyarakat yang terbeban dengan hak dan tanggung
89 Dr. Leden Marpaung,S.H., 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana Jakarta:Sinar Grafika hal. 6-10
103
jawab untuk membuat dan melaporkan berdasarkan undang-undang
mengetahui yang termasuk tindak pidana.
Selain itu dalam hal penyidikan, bila dilihat berdasarkan ketentuan dalam
pasal 1 Butir 2 menyebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Ketentuan itu menyiratkan bahwa tugas utama dari penyidik adalah mencari
dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti itu membuat terang suatu
tindak pidana yang terjadi , dan juga untuk menemukan tersangkanya.
Penyidik dalam melaksanakan tugasnya tersebut memiliki kewenangan untuk
menghentikan demi hukum penyidikan apabila penyidik menilai dengan
cermat dan berpendapat bahwa peristiwa yang dilakukan tersebut bukanlah
merupakan suatu tindak pidana90. Dalam ketentuan tersebut tidak diatur
secara tegas batasan-batasan untuk penghentian penyidikan itu dapat
dihentikan, sehingga apabila bukti kurang/ tidak cukup, maka tentu saja,
dapat dilakukan suatu penghentian penyidikan sekalipun, memang tindak
pidana tersebut telah terjadi dan menimbulkan kekawatiran bagi masyarakat,
dimana hal ini juga dapat mengurangi fungsi dari pidana itu sendiri, dan alat
untuk mengembalikan ketentraman dan menghilangkan kekawatiran
masyarakat hanya sekedar blueprint belaka. Maka disini perlu dilakukan
adanya suatu pembenahan hukum acara yang secara integral harus memiliki
penyesuaian dengan pembaharuan hukum materiil melalui Peraturan 90Ibid.,Hal. 11-15
104
Mahkamah Agung, agar jelas mengenai Kepolisian sehubungan dengan
Integrated criminal justice system untuk melaksanakan tugasnya
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang
berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya. Jika fasilitas
pendukung tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai
tujuannya. Kepastian dan kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada
fasilitas pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan
pemberantasan kejahatan.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan hukum
akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang
memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu
tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Kita bisa bayangkan bagaimana penegakan peraturan akan berjalan
sementara aparat penegaknya memiliki pendidikan yang tidak memadai,
memiliki tata kelola organisasi yang buruk, di tambah dengan keuangan yang
minim.91 Demikian pula yang terjadi sehubungan dengan penerapan
Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2012 ini, dimana apabila 91 Soerjono soekanto. 2005, Op.cit, hal 39-44
105
dikaitkan dengan kasus penanganan yang terjadi di Polres Jepara terkait
dengan penanganan tipiring ini, muncul suatu hambatan dari dalam
organisasi Kepolisian tersebut, yaitu minimnya personil kepolisian di Polres
Jepara, sehingga penanganan atas Tindak Pidana Ringan Menjadi terhambat.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat
tertentu mengenai hukum, antara lain :
a. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
b. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang
kenyataan;
c. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku
pantas yang diharapkan;
d. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis)
e. Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
f. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
g. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
h. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
i. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
j. Hukum diartikan sebagai seni.92
Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam
hal ini adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi), petugas dalam hal ini 92 Ibid., hal. 45-46
106
khususnya polisi, karena polisi merupakan satu kesatuan atau unit penegak
hukum, maka tingkah laku seorang anggota polisi yang negatif akan
membawa dampak negatif bagi seluruh kesatuannya.93 Dalam hal
sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat mengartikan hukum
dengan petugas, maka setiap tindakan dari petugas dianggap sebagai hukum.
Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu sendiri yang merupakan
pendapatnya sebagai cerminan dari hukum sebagai struktur dan proses.94
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mematuhi hukum yang
berlaku. Masyarakat sebagai sasaran utama dari penegakan hukum yang
menjadi subyek hukum, salah satu contohnya adalah terhadap kesadaran
tertib berlalu lintas dimana masyarakat mengambil peranan penting dari
terciptanya pelaksanaan dalam meningkatkan keamanan dan keselamatan
lalu lintas bagi para pengguna jalan. Masyarakat terkadang tidak peduli
dengan peraturan yang ada, dengan dilakukannya beberapa pelanggaran yang
seperti dijelaskan oleh penulis sebelumnya, padahal hal ini dapat
membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain dalam hal berlalu lintas,
karena dapat mengakibatkan kecelakaan. Kesadaran akan pentingnya
mengikuti dan mematuhi peraturan lalu lintas inilah yang merupakan salah
satu hambatan harus segera diatasi baik dengan upaya pencegahan ataupun
penanganan.
93 Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : PT.Refika Aditama, Hal. 123.
94 Soerjono soekanto. 2005, Op.cit, hal. 46
107
Kesadaran dalam masyarakat menyebabkan terjadinya kepatuhan hukum.
Dalam hal kepatuhan seseorang untuk berkendara dengan tertib sebagai
pengguna jalan, hal ini akan menimbulkan sebuah konflik dimana masyarakat
dalam secara pribadi adalah merupakan manusia yang bebas, akan tetapi di
lain pihak kebebasan tersebut dibatasi oleh hak dari individu lain sebagai
suatu komponen masyarakat yang bebas pula. Dalam kepatuhan inilah yang
memang belum dapat dilakukan masyarakat sebagai subyek hukum secara
individu dengan sadar akan hak dan kewajibannya di dalam peran sertanya
untuk menciptakan ketentraman dan sehubungan dengan minimalisir
kekhawatiran di dalam masyarakat.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernrnya bersatu padu dengan faktor masyarakat
namun sengaja dibedakan karena didalam pembahasannya diketengahkan
masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau
non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M. Friedman yang
dikutip Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem
dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi
dan kebudayaan.
Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem tersebut yang,
umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hukum
antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan
seterusnya. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
108
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti)
dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang
berperan dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto adalah Nilai ketertiban
dan nilai ketenteraman, Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai
rohaniah/keakhlakan, serta Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai
kebaruan/inovatisme.95
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal Penerapan aturan hukum ini
tentu saja juga harus memperhatikan kebudayaan tempat sekitar, dimana di
beberapa daerah tertentu meminum minuman keras adalah merupakan suatu hal
sebagai wujud perayaan dan penghormatan terhadap si pemilik hajat, tidak
kemudian serta merta menjadi suatu hal yang dapat dikategorikan sebagai suatu
Tindak Pidana Ringan. Apabila dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung
hanya menyebutkan mengenai hal sanksi tanpa spesifikasi tertentu, maka hal ini
dapat menjadi pemicu kriminalisasi terhadap nilai-nilai sosial yang merupakan
unsur di dalam kebudayaan itu sendiri, mengingat setiap daerah memiliki
kebudayaan yang berbeda.Pengaturan secarta nasional bukan pula berarti
pemaksaan terhadap suatu nilai.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan data perkara
yang menjadi bahan untuk kajian dalam tesis ini, didapat kendala dalam hal
sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 di daerah Jepara,
karena masyarakat akan kebingungan terhadap system hukum yang baru terkait
implementasi Peraturan Mahkamah Agung tersebut. Terkait dengan persepsi
masyarakat bahwa seorang yang sedang diproses perkaranya di kepolisian, maka 95 Ibid.,hal 59-60.
109
orang tersebut akan ditahan, namun setelah berlakunya Peraturan Mahkamah
Agung RI tersebut, maka si pelaku tindak pidana tidak akan ditahan apabila
ketentuan hukum yang disangkakan terhadapnya termasuk tindak pidana ringan.
Kesadaran aparat hukum dalam hal ini Kepolisian Resor Jepara belum
memiliki kemauan tinggi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
tidak memiliki kesadaran akan kewajiban seorang penegak hukum pada dasarnya,
masih lebih mementingkan kepentingan diri sendiri dan lebih bersifat pragmatis.
Kurangnya koordinasi antara para penegak hukum, dalam hal ini antara
kepolisian, jaksa dan hakim terkait penahanan tersangka. Dilihat dari ketentuan
yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2
Tahun 2012 tersebut, menyebutkan bahwa “apabila terhadap terdakwa dilakukan
penahanan, ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun
perpanjangan penahanan”, maka sebelum berkas tersangka belum dilimpahkan
ke pengadilan, penahanan terhadap tersangka baik di kepolisian dan di penuntut
umum, tetap akan dilakukan penahanan, hal ini disebabkan sifat dari ketentuan
Peraturan Mahkamah Agung RI tersebut lebih kepada hakim.
Sidang perkara tindak pidana ringan di Jepara dilakukan hanya setiap hari
Rabu saja. Hal tersebut membuat PERMA No 2 tahun 2012 apabila ada pelaku
tindak pidana yang melakukan tindak pidana pada hari yang lain selain hari rabu,
jika terhadapnya dilakukan penahanan oleh kepolisian, maka akan menunggu
beberapa hari untuk dilakukan proses persidangan terhadap pelaku, hal ini tentu
tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut
110
apabila tindak pidana yang dilakukan termasuk tindak pidana ringan, karena
terhadapnya telah dilakukan penahanan.
3.2.2. Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012
Tindak Pidana Ringan juga di sebut sebagai kejahatan ringan (Lichte Mis
drijven) seringkali dianggap sebagai permasalahan yang krusial dalam kehidupan
masyarakat kita, salah satu contoh tindak pidana ringan yang sering muncul dalam
pemberitaan adalah pencurian ringan. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (KUHP) terdapat beberapa kejahatan mengenai harta benda (vermoegens
delicten), “apabila kerugian yang diakibatkan tidak melebihi dua puluh lima
rupiah, dinamakan kejahatan ringan dan hanya di ancam dengan hukuman seberat-
beratnya hukuman penjara selama tiga bulan. “96 Sebagai contoh, maraknya kasus
pencurian barang dengan nilai ekonomis rendah (pencurian ringan), seringkali
menjadi sorotan publik. Penanganan kasus pencurian dengan nilai ekonomis
rendah seringkali menjadi dilema bagi aparat penegak hukum, untuk
menentukan mana yang harus diutamakan, antara keadilan atau kepastian
hukumnya. Keadilan adalah suatu hal yang bersifat relatif, sedangkan kepastian
hukum merupakan hal yang diperlukan demi ketertiban.
Dalam menjalankan profesinya sebagai aparat penegak hukum, seorang
Juris wajib memperlakukan orang yang berperkara (justitiabel) :
1. Sebagai manusia,
2. Dengan keadilan
96 Prodjodikoro,Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama hal. 35
111
3. Dengan kepatutan
4. Dengan kejujuran.97
Maka, demi menjamin kepastian hukum, aparat penegak hukum memproses
setiap pelaku secara litigasi. Hal ini menimbulkan respons negatif dari
masyarakat. Melihat jumlah kerugian akibat perbuatan pidana yang dilakukan
oleh terpidananya, seharusnya kasus tersebut tidak perlu diproses melalui jalur
persidangan. Sebaiknya kasus tersebut cukup diselesaikan melalui jalan damai,
secara kekeluargaan saja.
27 Februari 2012 merupakan hari istimewa bagi masyarakat kecil, tidak
mampu dan para pencari keadilan, hal ini disebabkan karena Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Substansi PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini menjawab keluhan
(kritik) masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang kerap tidak
memenuhi rasa keadilan, sebagaimana kerap kita temukan proses peradilan dan
putusan hakim menyamaratakan antara pelaku tindak pidana dengan tingkat
kerugian yang sangat besar dan berdampak buruk bagi masyarakat luar, dengan
pelaku tindak pidana dengan tingkat kerugian yang sangat kecil dan tidak
berdampak luas bagi banyak orang, yang terkadang perbuatan tersebut hanya
dipicu (didasari) kebutuhan untuk bertahan hidup.
Terbitnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini, melahirkan
konsekuensi bagi ketua pengadilan dalam menerima pelimpahan perkara 97 Notohamidjojo, Oeripan. 2011. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga: Griya Media hal. 43
112
Pencurian, Penipuan, Penggelapan, Penadah, pengrusakan dari Penuntut Umum,
untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai uang atau barang yang menjadi objek
perkara, apabila nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,-- (dua juta lima ratus
ribu rupiah) maka sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Agung No 2 tahun 2012, maka ketua pengadilan segera menetapkan hakim
tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan acara cepat
sebagaimana diatur dalam pasal 205-210 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, dan apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan maka Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan (pasal
2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2012).
Diharapkan kasus-kasus ”sepele” tidak lagi diproses melalui hukum acara
biasa dengan rangkaian persidangan yang panjang bahkan terkadang dengan biaya
yang jauh lebih besar dari perbuatan kejahatan yang dilakukan, melainkan
pemeriksaan perkara dilakukan dengan hukum acara cepat yang dapat diputus
dalam satu hari, bahkan terhadap pelaku yang dalam proses pemeriksaan di
kepolisian dan kejaksaan telah ditahan maka dalam pemeriksaan perkara di
pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3) PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG ini ketua Pengadilan di minta untuk tidak menetapkan
Penahanan ataupun Perpanjangan Penahanan.
Keberadaan PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini tidak bermaksud
mendelegitimasi sistem peradilan dalam memberikan efek jera bagi pelaku
kejahatan, bukan juga melegitimasi tindakan kejahatan pencurian, penggelapan,
penipuan dan penadahan yang ada dimasyarakat. Bukan juga sebagai bentuk
113
kompromi, terhadap rendahnya putusan pengadilan pelaku tindak pidana korupsi,
dan maksimalnya hukuman bagi tindakan kejahatan masyarakat meskipun nilai
kerugian yang ditimbulkan sangat rendah. Melainkan sebagai respon kebutuhan
publik terhadap sistem peradilan yang memberikan keadilan
Jika merujuk pada pendekatan teoritik, dalam hukum pidana kita mengenal
apa yang disebut dengan restorative justice suatu pendekatan yang lebih menitik-
beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang
berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi,
apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional
dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi
memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara
pihak korban dan pelaku.
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini menyesuaikan nilai barang
dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang
memenuhi unsur pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak
lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan
prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 205-
210 KUHAP.
114
Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan
acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara
dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pasal 2
ayat (1) PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut mengatur bahwa Ketua
Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek
perkara tersebut. Pada Pasal 2 ayat (2) dalam PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG tersebut diatur bahwa perkara dengan nilai barang atau uang yang
menjadi obyek perkara tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat. Di samping itu, Ketua
Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan apabila
terdakwa telah dikenakan penahanan sebelumnya.
Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap sistem
peradilan pidana terpadu karena penyesuaian nilai barang dalam Pasal 364, 373,
379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP diatur melalui sebuah Peraturan Mahkamah
Agung yang memiliki kedudukan dan kekuatan mengikat tersendiri sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
3.2.3. Penanganan Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 di Polres Jepara
Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum. Salah satu ciri dan persyaratan utama dari sebuah negara
hukum adalah terdapatnya asas pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan
yang biasanya terdiri dari kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang;
115
kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-
undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut; dan kekuasaan yudikatif
yang menjalankan lembaga peradilan apabila terdapat penyimpangan di dalam
pelaksanaan undang-undang; serta kekuasaan administratif. Kekuasaan yudikatif
di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan
di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan
kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua
Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasanya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Sebagai lembaga peradilan
tertinggi, Mahkamah Agung diberikan beberapa fungsi untuk menjalankan
perannya, yaitu fungsi mengadili di tingkat kasasi, fungsi menguji setiap peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal
24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu,
ada fungsi memberikan nasehat kepada lembaga negara lainnya, fungsi
mengawasi seluruh lembaga peradilan yang berada di bawahnya, fungsi
administratif dan fungsi mengatur. Bentuk dari fungsi yang disebut terakhir ini
adalah dengan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Fungsi ini diberikan berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah
Agung yang berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
116
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-
hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang.
Ketentuan Pasal 131 Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan,
Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menjadi dasar
hukum yang pertama bagi Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi
pengaturan yang berbunyi, “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak
diatur dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri
secara bagaimana permasalahan itu harus diselesaikan”
Dalam praktik beracara pidana dikenal istilah: Tipiring. Istilah ini
merupakan singkatan dari istilah yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, BAB XVI Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan, Bagian
Keenam Acara Pemeriksaan Cepat, Paragraf I Acara Pemeriksaan Tindak
Pidana Ringan. Masyarakat umum mengenal istilah Tipiring sebagai tindak
pidana yang dari namanya yang menggunakan kata ”ringan” sudah langsung
diketahui merupakan tindak pidana yang bersifat ringan.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2012 isinya adalah
menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379,384, 407 ayat (1) dan 482
KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu
perkara yang memenuhi unsur pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang
yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani
dengan prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam
Pasal 205-210 KUHAP.
117
Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan
acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara
dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pasal 2
ayat (1) PERATURAN MAHKAMAH AGUNG tersebut mengatur bahwa Ketua
Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek
perkara tersebut. Pada Pasal 2 ayat (2) dalam PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG tersebut diatur bahwa perkara dengan nilai barang atau uang yang
menjadi obyek perkara tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat yang prosedurnya telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Di samping itu, Ketua Pengadilan tidak
menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan apabila terdakwa telah
dikenakan penahanan sebelumnya.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut pada Kepolisian, ternyata pada
Polres Jepara, peneliti belum menemukan adanya Tipiring yang di maksud
dalam pasal 1 PERATURAN MAHKAMAH AGUNG No.2 Tahun 2012 yang di
tangani oleh bagian penanganan Tipiring/ Staf Ur Bin Ops Polres Jepara. Menurut
keterangan yang diberikan oleh seorang narasumber penelitian yaitu Kaur Bin
Ops Sat Reskrim Polres Jepara kepada peneliti, yaitu Bapak IPTU Sulis, SH, pada
tanggal 12 Februari 2014, Sat reskrim Res Jepara sejak kurun waktu 2012-2013,
ada beberapa kasus yang tentang tipiring yang sesuai dengan implementasi
PERMA no 2 tahun 2012, namun Perma tersebut belum bisa di laksanakan secara
meksimal karena masih banyak kendala yang di hadapi penyidik, antara lain
terhadap tersangka pencurian Burung yang ditangkap oleh masyarakat dan di
118
serahkan ke polisi, dengan harapan tersangka tersebut dapat dihukum, namun
kalau penyidik mengikuti PERMA NO 2 TAHUN 2012 maka terhadap tersangka
tidak dilakukan penahan karena kasus tersebut tipiring dan bagaimana perasaan
korban dan masyarakat yang menyerahkan tersangka ke polisi tersebut. ‘’ Bisa-
bisa kantor polisi diamuk masyarakat’’ demikian penyampaian pak Sulis kepada
peneliti. Selain itu masih banyak kendala yang dihadapi Polisi dalam penerapan
PERMA tersebut.
Berikut ini adalah tabel perkara Tindak Pidana Pencurian, Penadahan,
Penipuan, Penggelapan dengan nilai kerugian kurang dari Rp 2,5 juta yang
ditangani oleh Polres Jepara Mulai Oktober 2012 sampai dengan bulan Juli 2013.
119
Tabel 3.1 Perkara Tindak Pidana Ringan dengan nilai kerugian kurang dari Rp 2,5 juta yang ditangani oleh Polres Jepara dan Pengadilan
Negeri Jepara Mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Juli 2013
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 81 31
Oktober 2012
Pada hari Rabu tgl 11 April 2012 jam 16.45 Wib di Café Melati pungkruk Ds. Mororejo Mlonggo Jepara telah terjadi tindak pidana penggelapan HP
Mahfud Junaidi als junet, 30 th, swasta, Ds Plajan Rt 26/04 Kec. Pakis Aji Jepara
Rp. 1.500.000,- LP/060/IV/2012/Jateng/Res Jpr 12 April 2012
372 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
2 15 Januari 2013
pada hari selasa tgl 15 Januari 2013 jam 02.00 Wib di Rumah Tatik Supriyanti, Ds Robayan Rt 07/02 Kalinyamatan Jepara telah terjadi tindak pidana dan atau penipuan ( meminjam laptop )
Afian erviyanto bin Arifin, 26 th, swasta, Ds. Margoyoso Rt 02/03 Kalinyamatan Jepara
Rp 2.300.000,- LP/A101/I/2013/Jateng/Res Jepara/Sek Kalinyamatan 15 Januari 2013
372 KUHP jo 378 KUHP
Kekeluargaan / dengan membuat pernyataan damai
3 21 Januari 2013
pada hari Kamis tgl 07 januari 2013 jam 04.30 di Saripan Rt 01/06 jepara telah terjadi tindak
Sukadi Bin Kasmin (Alm), 47 th, Tani, Ds. Singorojo Rt 03/01
Rp 1.700.000,- LP/107/VI/2012/Jateng/Res Jpr 07 Januari 2013
363 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
120
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8pidana pencurian ( Sepeda Ontel merk Polygon)
Mayong Jepara
4 18 Februari 2013
Pada hari Kamis 27 Desember 2012 jam 18:05 Wib di Ds. Sinanggul Rt 18/03 Kec. Mlonggo Jepara telah terjadi tindak pidana penggelapan (penggelapan HP)
Leni astutuik binti Juwardi, 33 th, Swasta, Ds. Slagi Rt 18/10 Kec. Pakis Aji Jepara
Rp. 1.000.000,- LP/12/I/2013/Jateng/Res Jpr 09 Januari 2013
372 KUHP Kekeluargaan / dengan membuat pernyataan damai
5 14 Maret 2013
Pada hari Sabtu 16 Pebruari 2013 jam 21.00 Wib di Potroyudan 03/01 Jepara telah terjadi tindak pidana penipuan dan penggelapan ( Tanam modal uang di bawa kabur )
Andi Saputra Bin Azis ( Alm), 31 th, Ds. Kriyan Rt 05/01 Kalinyamatan Jepara
Rp. 2.000.000,- LP 62/II/2013/Jateng/Res Jepara 28 Pebruari 2013
372 dan 378 KUHP
Berita Acara Biasa (P-21 )
6 14 Juni 2013
Pada hari Kamis tgl 20 Juni 2013 jam 21.00 Wib di Konter Mutiara Cell turut Ds. Mambak Pakis
Ahmad Tasan als Tasan Bin Mualimin, 19 th, Swasta, Ds.
Rp. 2.450.000,- LP/ 182/VI/2013/ Jateng/ Res Jepara 25 Juni 2013
363 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
121
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8Aji Jepara telah terjadi tindak Pidana Pencurian (pencurian HP)
Sukorejo 2/5 Kendal
7 14 Juni 2013
Pada hari lupa tgl 08 Desember 2011 jam 10.00 Wib di Ds. Mulyoharjo Jepara telah terjadi tindak pidana penipuan dan penggelapan ( Cek kosong untuk membayar mebel )
Sujono als Kepling bin rabini, 42 th, swasta, Dk. Juwetan turut Ds. Kecpai Rt 39/07 Tahunan Jepara
Rp.2.500.000,- LP/047/III/2013/ Jateng/ Res Jpr 19 Maret 2012
378 jo 372 KUHP
Berita Acara Biasa (P-21 )
8 29 Juni 2013
Pada hari Kamis 12 Juli 2013 jam 09.30 Wib di Penggergajian Kayu Ds. Petekeyan Tahunan Jepara telah terjadi tindak pidana penggelapan
Nur Baidi als badak bin H. sukur (alm), 37 th, swasta, Ds. Petekeyan 06/02 Tahunan Jepara
Rp. 2.300.000,- LP/ 41/II/2013/Jateng/ Res Jpr 14 Pebruari 2013
372 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
9 11 Agustus 2013
Pada hari Sabtu 15 Juni 2013 jam 08.00 Wib di Dk Sukorejo Ds Pancur Rt 045/09 mayong
Dedi Sutrisno als manto bin sukahar (alm), 64 th, swasta, Ds.
Rp. 1.500.000,- LP/ 191/VII/2013/ Jateng/ Res Jpr 01 Juli 2013
378 jo 372 KUHP
Kekeluargaan / dengan membuat pernyataan
122
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8Jepara telah terjadi tindak pidana penipuan dan atau penggelapan ( pinjam HP gak dikembalikan )
Sukerejo Mayong Jepara
damai
10 08 Septembr 2013
Pada hari Sabtu tanggal 17 Agustus 2012 jam 20.00 Wib telah terjadi Tindak Pidana Penadahan burung di rumah tersangka ( membeli burung hasil curian ).
Ruskan bin Ruslan, 36 th, swasta, Dk Ngemplak Ds Sengon Bugel Rt 01/02 Mayong Jepara.
Rp. 400.000,- LP/A/42/IX/2013/Jateng/Res Jpr/ Sek Kota. 08 September 2013
480 KUHP huruf 1 e
Berita Acara Biasa (P-21 )
11 18 Septembr 2013
Pada hari Rabu tgl 18 Sep 2013 telah terjadi tindak pidana membeli atau menerima dari hasil pencurian
Ahmad Khamim bin abdul rojak,44 th, swasta, Ds Tunahan Keling Jepara
Rp. 2.000.000,- LP/199/VII/2013/Jateng/Res Jpr 09 Juli 2013
480 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
12 11 Oktober 2013
Pada hari dan tgl lupa bulan Mei 2013 jam 19.00 Wib di Perumahan
Ahmad Mubin bin H. Rusmanto, 30 th, swasta,
Rp. 1.700.000,- LP/250/VIII/2013 /Jateng/Res Jpr 19 September 2013
362 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
123
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8Jepara Regency blok C no 83 Ds Pekalongan Rt 07/02 Batealit Jepara tindak pidana pencurian barang elektronik TV
Perumahan jepara Regency Ds Pekalongan Batealit
13 16 Oktober 2013
Pada hari Selasa jam 20.30 wib di Kediaman Hj. Kasminem Ds Robayan Kalinyamatan Jepara telah terjadi tindak pidana pengrusakan ( kaca meja dan kaca jendela rumah )
Muhammad arif bin Sukar (Alm), 46 th, Swasta, Ds. Purwogondo Rt 08/02 Kalinyamatan Jepara.
Rp. 1.000.000,- LP/32/X/2013/ Jateng/ Res Jpr/ Sek Kalinyamatan 16 Oktober 2013
407 (1) KUHP jo Sub 1e
Berita Acara Cepat / Peraturan MA
14 01 Nopembr 2013
Pada hari Jumat tgl 01 Nopember 2013 jam 06.15 Wib di Kantor Lembaga Pemasyarakatan Jepara telah terjadi tindak pidana penggelapan ( Sepeda Ontel)
Esa ali bin Jumtono, 24 th, swasta, Ds suwawal Pakis aji
Rp. 1.500.000,- LP/08/IV/2013/Jateng/Res Jpr/ sek Pakis Aji 03 April 2013
372 KUHP Berita Acara Biasa (P-21 )
15 03 Nopember
Pada hari Minggu tgl 03 Nopember 2013 di
M. Fatoni Bin Sukari (alm), 24
Rp. 1.000.000,- LP/84/XI/2013/Jateng/Res Jpr/ Sek Tahunan
364 KUHP Berita Acara Cepat /
124
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 82013 Counter FAFA Cell Rt
01/02 Tahunan Jepara telah terjadi tindak pidana pencurian HP ( merk Bleckberry curve )
th, swasta, Ds Pulo darat Rt 04/01 Pecangaan Jepara
03 Nopember 2013 Peraturan MA
16 25 Nopember 2013
Pada hari Selasa tgl 19 Maret 2013 jam 20.00 Wib di Dk. Sekuping Tubanan Kembang jepara telah terjadi tindak pidana peniupuan dan atau penggelapan HP
Hendra Saputra bin sunawi(alm), 37 th, Swasta, Ds Karangaji Rt 17/12 Kedung Jepara
Rp. 1.200.000,- LP/372/XI/ 2013/ Jateng/ Res Jpr 14 Nopember 2013
378 jo 372 KUHP
Berita Acara Biasa (P-21 )
17 25 Nopember 2013
Pada hari Selasa tgl 19 Maret 2013 jam 20.00 Wib di Dk. Sekuping Tubanan Kembang jepara telah terjadi tindak pidana penipuan dan atau penggelapan Jam Tangan
Sukur mawati binti warkhan, 29th, swasta, Ds Karangaji Rt 17/12 Kedung Jepara
Rp.2.000.000,- LP/372/XI/ 2013/ Jateng/ Res Jpr 14 Nopember 2013
378 jo 372 KUHP
Kekeluargaan / dengan membuat pernyataan damai
18 02 Juli 2013
Pada hari Selasa dirumah Tersangka di sita miras
Bekan Bin Nur Mustofa, Jpr 24
Psl 6 perda Jepara no 4
Denda Rp 250.000,-
125
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8jenis Bir anker 1 btl, Bir hitam 6 btl
thn, Islam, Swasta Ds Kecapi Rt 33 / 6 Kec Tahunan Kab Jepara
tahun 2001 subsider 3 Minggu
19 02 Juli 2013
Pada hari Selasa dirumah Tersangka telah di sita miras jenisa Ciu 176 Btl, AK 283 Btl
Nur Abiat, Jpr 40 Tahun, Islam Swasta Ds Srobyong Rt 04 / 07 Kec Mlonggo Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 800.000,- subsider 3 Minggu
20 02 Juli 2013
pada hari selasa di rumah tersangka telah di sita miras jenis Ginseng 237 botol
Ali ahmadi, Jpr 45 thn, Islam, Swasta Ds mambak Rt 03 / 4 Kec Pakis Aji Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 800.000,- subsider 3 Minggu
21 01 Juli 2013
pada hari senin di rumah tersangka telah di sita miras jenis Ciu 231 Btl
Sugeng Suroso, Jpr 46 Thn Kristen, Swasta Ds Krasak Rt 04 / 07 Kec Bangsri Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 800.000,- subsider 3 Minggu
22 04 Juli 2013
pada hari kamis di rumah tersangka telah disita
Edi Sutrisno Bin H Gino, Jpr 19 01
Psl 6 perda Jepara no 4
Denda Rp 300.000,-
126
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 8miras jenis Ginseng 44 btl
1974 Islam Swasta Ds Bangsri Rt 05 / 17 Kec Bangsri Kab Jepara
tahun 2001 subsider 3 Minggu
23 06 Juli 2013
Pada hari Sabtu di rumah tersangka telah disita miras jenis Ginseng 5 ltr
hadi Saputro Bin Munasri, Jpr 28 Okt 1986, Islam Swasta Ds Kendengsidialit Rt 08 / 02 Kec Welahan Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 300.000,- subsider 3 Minggu
24 06 Juli 2013
Pada hari Sabtu di rumah tersangka telah disita miras jenis Ciu 278 btl
Sri Endah Lestari Jpr 01 mei 1971 Islam, Swasta Ds Cepogo rt 03 / 01 Kec Kembang Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 800.000,- subsider 3 Minggu
25 09 Juli 2013
Pada hari Rabu di rumah tersangka di sita miras jenis AK 30 btl
Soim, Semarang 08 agst 1978 Islam, Swasta Ds Krapyak Rt 06 / 09 Kec Tahunan Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 300.000,- subsider 3 hari
127
NoHari
/Tanggal Kejadian
Uraian singkat Kejadian / BB Tersangka Kerugian
Materii No. Reg Laporan Polisi Pasal disangkakan Saikara
1 2 3 4 5 6 7 826 11 Juli
2013Pada hari Jumat di rumah tersangka di sita mirasGinseng 12 btl
Sulkan Als Sujud Jpr 09 07 1972, Islam Swasta Ds mambak Rt 04 / 04 Kec Pakis Aji Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 500.000,- subsider 3 ha
27 18 Juli 2013
Pada hari Jumat di rumah tersangka di sita miras jenis Bir 45 btl
Purwanto Bin Dasir Jpr 01 Sept 1956 Islam, Swasta Ds Menganti Rt 07 / 02 kec Kedung Kab Jepara
Psl 6 perda Jepara no 4 tahun 2001
Denda Rp 300.000,- subsider 3 hari
128
Pada periode Oktober 2012 sampai dengan bulan Juli 2013, dari tabel di
atas Pihak penyidik (Polisi) dalam memproses tindak pidana ringan belum
sepenuhnya menerapkan Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2012, begitu
pula dengan yang dilakukan pihak Pengadilan dalam hal ini adalah Hakim juga
belum sepenuhnya memproses tindak pidana ringan sesuai dengan peraturan
mahkamah agung tersebut.
Dari perkara yang di tangani oleh Polres Jepara terhadap tindak pidana
ringan sebagian besar diproses dan limpahkan ke pengadilan antara lain terhadap
tindak pidana pencurian yang melanggar pasal 364 KUHPidana akan tetapi untuk
tindak pidana penipuan dan penggelapan diupayakan dengan perdamaian antara
tersangka dengan pihak korban.
Selain tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana dan Peraturan
Mahkamah Agung di kabupaten Jepara juga telah terbit peraturan daerah yang
mengenai minuman keras yang diatur dalam peraturan daerah kabupaten Jepara
nomor 4 tahun 2001 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2013 tentang Larangan Minuman Beralkohol yang isinya lebih
memberatkan sanksi hukuman bagi pelanggaran peraturan daerah tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan pada Hakim Pengadilan Negeri
Jepara pada tanggal 25 Februari 2014, yakni bapak Bungaran Papahan, SH. Dan
Bapak Rifandi, SH. MH selaku informan utama bagi penelitian ini terhadap
tindak pidana ringan yang telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jepara,
menjelaskan pendapatnya bahwa meskipun Peraturan Mahkamah Agung
berwujud suatu peraturan, ia tetap tidak dapat menyesuaikan maupun merubah
129
KUHPidana. Peraturan Mahkamah Agung kedudukannya di bawah KUHPidana.
Karena KUH Pidana yang wujudnya adalah Undang-Undang, kedudukan KUHP
dalam hierarkhi peraturan Perundang-undangan adalah lebih tinggi daripada
Peraturan Mahkamah Agung. Sehingga, Peraturan Mahkamah Agung tidak
dapat diimplementasikan secara maksimal di Pengadilan Negeri Jepara , karena
secara akademis, dianggap bertentangan dengan sistem tertib hukum yang ada.
Alasan ke-2 Hakim Pengadilan Negeri Jepara tidak menerapkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 karena, untuk merubah ataupun
menyesuaikan KUHP dengan masa kini, harus ada Undang-Undang yang
disusun dan disahkan oleh Legislatif sebagai KUHPidana baru. Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 memiliki kelemahan, tidak akan mungkin
dapat diterapkan pada residiv. Misalkan ada Residiv kasus Narkoba yang mencuri
uang Rp 1 juta karena ia membutuhkan uang untuk membeli Narkoba, dan ia
diproses secara hukum, maka sangat tidak adil jika Peraturan Mahkamah Agung
ini diterapkan baginya. Orang yang jahat (residiv tersebut), tidak mungkin
dihukum ringan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2012 tersebut. Terkait sanksi, aparat penegak hukum tetap
menggunakan pasal 362 KUHPidana untuk menjerat pelaku tindak pidana
pencurian yang nilai kerugiannya kurang dari Rp 2,5 juta disebabkan bahwa
pasal 364 KUHPidana seperti yang ditentukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2012 tidak tepat bila diterapkan bagi residiv, dan akan lebih efektif jika
pelaku dijerat pasal 362 KUH Pidana yang ancaman hukumannya lebih berat.
Tetapi, dalam memutus suatu perkara, Hakim juga mempertimbangkan
130
hukuman yang akan dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pencurian dengan
nilai kerugian kurang dari Rp 2,5 juta dengan pelaku yang bukan residiv.
Analisis yang dapat dikemukakan oleh peneliti, KUHP yang merupakan
warisan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda memiliki banyak kekurangan
apabila tetap diterapkan sebagai aturan hukum Pidana di Indonesia. Selain ada
substansinya yang sudah kuno, nilai mata uang di dalamnya pun sudah tidak
sesuai lagi dengan mata uang sekarang.
3.3. Kebijakan Peraturan Mahkamah Agung dalam rangka menanggulangi
tindak pidana ringan di masa yang akan datang
Fokus perhatian dalam suatu proses peradilan pidana adalah orang yang
melanggar hukum yaitu tersangka atau terdakwa. Tersangka atau terdakwa
sebagai pelaku tindak pidana atau orang yang dianggap telah melanggar nilai-nilai
yang disepakati bersama harus berhadapan dengan aparat Negara yang bertugas
menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai wakil negara yang telah menerima mandat dari warga
masyarakatnya, aparat penegak hukum memiliki posisi yang lebih kuat daripada si
pelaku tindak pidana. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kekawatiran akan
adanya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menjalankan
kewenangan yang dimilikinya. Hal yang menimbulkan kekawatiran ini kemudian
terbukti dengan masih adanya berita tentang praktik-praktik penyiksaan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka memperoleh pengakuan dari
131
tersangka/ terdakwa. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar bila kemudian
muncul simpati pada pihak yang lemah ini. Bentuk simpati ini antara lain dengan
diberikannya seperangkat hak pada tersangka / terdakwa untuk membela dirinya
melalui proses hukum yang adil.
Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum
acara pidana. Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka / terdakwa
mengakibatkan diabaikannya pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan
pidana, yaitu korban (sebagai saksi utama yang mengalami atau menjadi obyek
tindak pidana).
3.3.1. Kajian Komparatif Pengaturan Tindak Pidana ringan dengan Negara Prancis
A. Pembagian Bentuk Kejahatan Perancis
Penal Code Perancis terbagi dalam 5 buku. Pembagian ini berbeda dengan
pembagian dalam KUHP Indonesia yang terbagi dalam 3 buku, yaitu aturan
umum, kejahatan, dan pelanggaran. Perancis membagi Penal Code nya menjadi 5
buku yang terdiri dari General Provisions, Feloniesand Misdemeanors against
Person, Felonies and Misdemeanors against Property, Felonies and
Misdemeanor against The Nation, The State and The Public Peace, dan Other
Felonies and Misdemeanors. Indonesia mengenal dua bentuk kejahatan, yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk,
yaitu kejahatan biasa dan kejahatan ringan.
Perancis mengenal tiga bentuk kejahatan, yaitu felony, misdemeanor¸ dan
petty offence. Pembagian tersebut didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan itu
132
sendiri. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Article 111-1 Penal Code Perancis
yang berbunyi, “Les infractions pénales sont classées, suivant leur gravité, en
crimes, délits et contraventions”. 98 Dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan
menjadi, “Criminal offences are categorized as according to their seriousness as
felonies, misdemeanors, and petty offences”.99 Di samping tingkat keseriusan,
Perancis membagi kejahatan berdasarkan pengaturannya. Di Indonesia,
pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diatur dalam buku yang terpisah
namun masih dalam satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sedangkan Perancis mengatur felony dan misdemeanor serta petty offence dalam
dua bentuk pengaturan. Felonies dan misdemeanor diatur dalam undang-undang
(Statute) sedangkan petty offences diatur dalam peraturan biasa (regulations) di
luar Penal Code-nya. Definisi mengenai felony, misdemeanor, dan petty offences
sulit ditemukan dalam Penal Code Perancis. Definisi yang cukup menggambarkan
maksud felony, misdemeanor, dan petty offences justru dapat ditemukan dalam
peraturan formilnya, yaitu French Penal Procedure Code.
Article 381 paragraf 2 Penal Procedur Code Perancis menjelaskan bahwa,
“Sont des délits les infractions que la loi punit d'une peine d'emprisonnement ou
d'une peine d'amende supérieure ou égale à 3 750 euros”. Dalam bahasa Inggris
dapat diterjemahkan menjadi “Misdemeanours are the offences the law punishes
by ordinary imprisonment or by a fine in excess of € 3,750”. Pertanyaan yang
muncul kemudian apakah definisi ini cukup menggambarkan maksud dari
98 Legifrance, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010, pasal 111-199 John Rason Spencer, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 16.20 WIB
133
misdemeanor itu sendiri. Dalam pasal tersebut disebutkan “ordinary
imprisonment”. Pidana penjara yang bagaimana yang dimaksud dalam tersebut
menjadi pertanyaan berikutnya. Untuk menjawab hal ini, tentunya peraturan
mengenai pidana penjara bagi misdemeanor harus dilihat kembali dalam Penal
Code Perancis yang mengaturnya. Dalam Article 131-4 diatur bahwa terhadap
misdemeanors dapat dipidana penjara dengan maksimum 10 tahun, 7 tahun, 5
tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1 tahun, 6 bulan, dan 2 bulan.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa misdemeanors adalah perkara
yang diancam dengan denda yang melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal
2 bulan dan maksimum 10 tahun. Sedangkan definisi petty offences dapat dilihat
dari Article 521 paragraf 2 yang berbunyi, “Petty offences are offences which the
law punishes with a fine of up to € 3000”. Dengan demikian, petty offences adalah
perkara yang oleh hukum dapat dipidana dengan denda paling banyak € 3000.
Dalam Penal Procedur Perancis ini sulit untuk menemukan definisi felony.
Akan tetapi pengertian dari felony itu dapat disimpulkan dari bentuk pidana yang
dijatuhkan terhadapnya. Ketentuan pidana ini dapat ditemukan dalam Pasal 131-1
Penal Code Perancis. Dalam pasal ini ditentukan bahwa terhadap felonies dapat
dipidana dengan penjara seumur hidup, maksimal 30 tahun, maksimal 20 tahun,
maksimal 15 tahun, dan minimal 10 tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa felonies adalah perkara yang
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal 10 tahun.
Bentuk kejahatan felonies dan misdemeanor yag diatur dalam Penal Code
Perancis tidak ditentukan secara eksplisit melainkan penentuannya harus dengan
134
memperhatikan ancaman pidana yang diberikan. Contoh bentuk felonies yang
diatur dalam Penal Code Perancis, antara lain Article 211-1 tentang genosida,
Article 221-1 tentang pembunuhan, Article 222-23 tentang perkosaan, dan lain-
lain. Contoh bentuk misdemeanors yang diatur dalam Penal Code Perancis, di
antaranya Article 222-33 tentang perbuatan pelecehan seksual, Article 223-3
tentang menelantarkan orang perlu ditolong, Article 311-3 tentang pencurian, dan
lain-lain. Sedangkan bentuk kejahatan petty offences diatur terpisah.
Dari definsi dan contoh-contoh kasus tersebut di atas dapat dilihat bahwa
pembagian bentuk kejahatan di Perancis dan di Indonesia sedikit berbeda. Di
Indonesia, kejahatan terbagi dalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan biasa dan
tindak pidana ringan. Terhadap tindak pidana ringan ini mengandung unsur lain
selain unsur perbuatan yang dilakukan pelaku, yaitu nilai barang yang menjadi
objek perkara. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan
yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 apabila nilai barang
yang menjadi objek perkara tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah). Melalui PERMA No, 2 Tahun 2012 nominal ini mengalami penyesuaian
menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian,
suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan apabila
memenuhi unsur perbuatan dalam pasal dan unsur nilai barang yang mnejadi
objek perkara. Lain halnya dengan misdemeanor di Perancis di mana tidak
membutuhkan unsur nilai barang agar dapat dikategorikan misdemeanor.
135
Penentuan ini cukup dengan memenuhi unsur perbuatan yang diatur dalam pasal
dan pidana penjaranya maksimal 10 tahun atau denda lebih dari € 3,750.
Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dan
Misdemeanor di Perancis
Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai sejarah singkat
pengaturan tindak pidana di Indonesia beserta hukum acaranya yang mendapat
pengaruh dari hukum pidana Belanda. Hukum pidana Belanda sendiri pun
mendapat pengaruh dari negara lain, yaitu Perancis. Baru dua tahun Belanda
berhasil memberlakukan kodifikasi hukum pidana nasional, Perancis manjajah
Belanda, yaitu pada tahun 1811. Pada saat itu, sama halnya dengan pada saat
Belanda menjajah Indonesia, Perancis yang pada waktu itu menjajah Belanda juga
memberlakukan kodifikasi hukum pidananya (Code Penal) di Belanda yang
dibuat pada tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis.
Pada tahun tahun 1813, Perancis meninggalkan Belanda. Namun demikian negara
Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. 100 Dengan
demikian, hukum pidana Belanda sendiri mendapat pengaruh dari hukum pidana
Perancis dan hukum pidana Indonesia mendapat pengaruh dari Belanda.
Secara tidak langsung hukum pidana Indonesia pun mendapat sedikit
banyak pengaruh dari Perancis. Negara Perancis menganut asas Pemisahan
Kekuasaan atau Separation of Powers. Pemisahan kekuasaan yang dimaksud
terdiri dari kekuasaan legislatif (legislative power of Parliament), kekuasaan
100 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal 42.
136
eksekutif (executive power of government), dan kekuasaan yudikatif (the power of
judiciary). Sistem peradilan di Perancis merupakan double pyramid structure yang
terdiri dari dua bentuk yang terpisah, yaitu administrative court dan judicial
court.
“The Administrative Court settle disputes between users and public authorities.
- Conseil d’ etat hears cases in first and last instance. It is both adviser to the government and the supreme administrative court.
- The court with general competence are the administrativecourts, administrative appeal court, and the Consel d’ etat (asjurisdiction).
- Administratove courts special competence are the financialcourts (Court of Auditor, Regional Court of Auditor, Court of Budget, and Financial Discipline) and various other tribunal like the disciplinary of professional orders”. 101
Pengadilan Administratif ini menyelesaikan perkara antara individu
dengan individu, negara, pejabat publik atau daerah, dll. Pengadilan ini terdiri dari
dua kompetensi, yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus. Pengadilan ini
terdiri dari hierarkhi yang membentuknya seperti piramid. Mereka yang tidak
menerima putusan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan pemeriksaan
perkara di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
“The judicial courts settle disputes between persons and sanction offences against persons, property and society. There are three categories of judicial court:
- The court of first instance:1. The civil court: district courts, regional courts, commercialcourts,
emplyment tribunals, agricultural land tribunal, social security tribunal;
2. The criminal court:a) Ordinary court: police courts, regional criminal courts,assize
courts;b) Specialised courts: juvenille courts, military courts political
courts, and the maritime criminal court.
101 Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice System, 2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni 2012 pukul 11.25 WIB.
137
3. Local court, created by Act 2002-1138 of 9 September 2002 to meet the need to make justice more accessible, swifter and capable to dealing more appropriately with small claims andminor offences. Local court have lay judges;
- The courts of second instance: the appeal court;- The supreme court: the Court of Cassation, responsible for ensuring
compliance with the rues of law applied by lower courts. It judges the form and not the merits, unlike the courts o first ad second instance, which judge the facts”
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Pengadilan di Perancis tersusun atas
hirarkhi pengadilan yang terdiri dari pengadilan tingkat pertama,pengadilan
tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pada tingkat pertama terdapat tiga
bentuk badan peradilan, yaitu civil court yang
menangani perkara perdata, criminal court yang menangani perkara pidana, dan
local court yang menangani perkara seperti small claim. Penjelasan pada bab ini
akan lebih terfokus pada bentuk yang kedua ini, yaitu criminal court.
Criminal Court atau Pengadilan Pidana tingkat pertama di Perancis terbagi lagi
dalam beberapa bentuk yang kewenangannya tergantung pada perkara tertentu
yang ditangani. Sebagaimana telah dijelaskan di atas tindak pidana di Perancis
terbagi dalam tiga bentuk, yaitu Crimes, Delits, dan Contraventions.
“Contraventions - (cf. petty offences) - which would include parking and speeding tickets for example are dealt with, if they were to come before a French Court, by the Tribunal de Police.
Délits - (cf. misdemeanours) - more serious offences, which might include for example theft, actual bodily harm etc, are dealt with by the Tribunal Correctionnel.
Crimes - (cf. felonies) - the most serious types of offence such as murder, rape etc. are heard by the Cour d'Assises”.102
102 Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada tanggal 15 Juni pukul 12.35 WIB
138
Perancis tidak mengenal istilah tindak pidana ringan seperti di Indonesia. Istilah
yang digunakan terhadap kejahatan dikenal dengan crimes atau terkadang juga
dikenal dengan istilah felonies. Bentuk kejahatan yang lebih sederhana dikenal
dengan istilah delit atau biasa dikenal pula dengan istilah misdemeanour.
Sedangkan contraventions terkadang dikenal pula dengan istilah petty offences.
Ketiga bentuk tindak pidana ini memiliki penanganan dan bentuk pengadilan
tersendiri.
- Contraventions : kira-kira sama dengan pelanggaran - pelanggaran.- Delits : kira-kira sama dengan perkara-perkara sumier, misalnya
pencurian, penggelapan, penipuan, dan sebagainya.- Crimes : kira-kira adalah perkara-perkara pembunuhan, perampokan
dengan kekerasan, dan segala kejahatankejahatan yang dianggap paling beratberat.103
Sekalipun terdapat kesamaan antara hierarkhi pengadilan di Indonesia dan di
Perancis namun pengadilan tingkat pertama di antara kedua negara ini memiliki
perbedaan yang cukup signifikan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia hanya
mengenal bentuk Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama,
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Perancis juga
mengenal pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan kasasi. Akan tetapi,
pada pengadilan tingkat pertama terdapat beberapa bentuk pengadilan lainnya
yang memiliki kewenangan berbeda.
Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty offences,
berdasarkan article 178 Penal Procedure Code Perancis, ditangani oleh Police
Court/Tribunal de Police. Pasal tersebut lengkapnya berbunyi, Si le juge estime
103 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 43.
139
que les faits constituent une contravention, il prononce, par ordonnance, le renvoi
de l'affaire devant le tribunal de police ou devant la juridiction de proximité”.
Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the judge considers the
facts amount to a petty offence, he makes an order referring the case to the police
court”. Misdemeanors atau Delits, berdasarkan article 179 Penal Procedur Code
Perancis, ditangani oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut, “Si le juge estime que les faits constituent un délit, il
prononce, par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal
correctionnel”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the
judge considers the facts amount to a misdemeanour, he makes an order referring
the case to the correctional court”. Tindak pidana paling berat atau
Crimes/Felonies, berdasarkan article 181 Penal Procedure Code Perancis,
ditangani oleh courts assizes/Cour d'Assises. Pasal tersebut berbunyi, “Si le juge
d'instruction estime que les faits retenus à la charge des personnes mises en
examen constituent une infraction qualifiée crime par la loi, il ordonne leur mise
en accusation devant la cour d'assises”.
Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “If the investigating judge
considers that the charges accepted against person under judicial examination
constitute an offence qualified as a felony by the law, he orders their indictment
before the assize court”. Damon C. Woods dalam tulisannya “The French
Correctional Court” mengatakan, “Offences over which the correctional court
140
exercise jurisdiction are known as delits, as distinguished from ontraventions,
tried in the police courts, and crimes, which go before the courts assizes”.104
Sama halnya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana di Indonesia,
permulaan proses awal dari pemeriksaan perkara di Perancis adalah penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau police judiciarre. Hal ini diawali oleh
pengintaian polisi terhadap perkara atau melalui pengaduan dari seseorang.
Mereka melakukan penyeleidikan dan mengambil tindakan sementara seperti
penahanan. Keseluruhan hasil pekerjaan dari polisi-polisi khusus ini dituangkan
dalam bentuk proses verbal yang disebut Enquette preliminaire dan Flagrant delit
dalam hal tertangkap basah.
Setelah proses tadi, polisi tersebut harus melaporkan hal itu kepada jaksa
dan menunggu tindakan selanjutnya. Pada fase ini,polisi tersebut tunduk pada di
bawah perintah dan petunjuk jaksa. Jaksa tersebut kemudian mempertimbangkan
apakah perkara tersebut tergolong ringan sehingga pemeriksaan pendahuluan
cukup dilakukan oleh polisi atau perkara yang cukup berat sehingga
membutuhkan pemeriksaan pendahuluan oleh Juge d’ Instruction. Apabila perkara
tersebut tergolong cukup berat, maka ia segera membuat requisitoire introductive
supaya hakim tersebut dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan. Penuntutan ini
disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang kemudian akan menunjuk hakim
yang bertugas untuk pemeriksaan pendahuluan melalui ordonance du President du
Tribunal. Permintaan tersebut dapat juga dilakukan oleh saksi korban.
104 Damon C. Woods, The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern Law, hal. 20.
141
Pada saat pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim ini, polisi
tadi tunduk di bawah perintah dan petunjuk-petunjuknya. Pada fase pemeriksaan
ini, Hakim bertugas menyelidiki dan mencari kebenaran materil dari kasus
tersebut. Hakim tersebut memproses tetuduh, saksi dan memeriksa alat bukti yang
kemudian dituangkan dalam proces verbal d’ interogatoire. Hakim tersebut juga
dapat mengadakan pemeriksaan setempat, penggeledahan, penyitaan atau
penahanan. Apabila pemeriksaan dianggap sudah rampung maka ia menutup
pemeriksaan dengan ordonance de cloture dan meminta jaksa untuk membuat
penuntutan yang definititf (requisitoire definitive). Kemudian dengan sebuah
ordonance derenvoi ia akan mengirimkan berkas tersebut ke penadilan untuk
disidangkan. Apabila menurut Hakim tertuduh tidak cukup alasan untuk dituntut
maka ia menyatakan hal tersebut dalam sebuah ordonance de non lieu dan
membebaskan tertuduh tadi.
Pemeriksaan perkara di Tribunal de Police biasanya hanya dipimpin oleh
seorang hakim. Pertanyaan-pertanyaan hakim kepada tertuduh dan saksi-saksi
adalah singkat sekali, hanya terdiri dari beberapa kata-kata saja yang merupakan
intinya.
Kalau tertuduh sudah mengaku sejak dari pemeriksaan pendahuluan,
maka saksi-saksi tidak perlu lagi didatangkan di sidang pengadilan. Pengacara dan
jaksa tetap diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
namun pada pemeriksaan ini hampir tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan di
persidangan. Setelah pemeriksaan tersebut, Hakim memberi kesempatan kepada
pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan tertuduh untuk mengajukan
142
gugatan ganti rugi. Gugatan perdata tersebut kemudian diputus bersamaan dengan
putusan pidananya. Hakim juga dapat memberikan kesempatan kepada Securitie
Social, pihak Administration, atau pihak Duane. Setelah itu, Hakim memberikan
kesempatan pada jaksa untuk mengajukan tuntutannya terhadap tertuduh dan
biasanya hanya berlangsung secara lisan dan singkat sekali. Kemudian pengacara
tertuduh dapat menucapkan pembelaannya.
Pada akhirnya kemudian Hakim memberikan putusan yang kadang-kadang dapat
diucapkan dalam sidang itu juga atau diundur untuk dipertimbangkan terlebih
dahulu. Semua hal-hal tersebut di atas, baik tuntutan jaksa, plaidoirie daripada
pengacara tertuduh, advocat dari pihak-pihak lain, maupun putusan Hakim adalah
berlangsung secara lisan (oral). Correctional Court sendiri juga dikenal dengan
istilah Regional Court. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua dan
didampingi oleh dua orang hakim anggota. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam
article 385 paragraf 1 yang berbunyi, “The correctional court is composed of a
presiding judge and of two other judges”. Penanganan perkara tindak pidana
ringan di Indonesia dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan dipimpin
hanya dengan hakim tunggal. Dengan demikian penanganan Antara tindak pidana
ringan dan misdemeanor di antara kedua negara ini berbeda.
Akan tetapi, Penal Procedure Code Perancis juga mengenal pemeriksaan dengan
hakim tunggal berdasarkan article 398 paragraf 3, yaitu “However, for the trial of
the misdemeanours enumerated under article 398-1, except where the maximum
sentence applicable exceeds five years, taking into account the defendant's
143
record, it is composed of a single judge who exercises the powers conferred upon
the presiding judge”. Perkara yang dimaksud dalam article 398-1 tersebut adalah
1° “misdemeanours set out in articles 66 and 69 of the legislative decree of 30 October 1935 unifying the law concerning cheques and debit cards;
2° misdemeanours set out in the Traffic Code and also, where committed in the course of driving a vehicle, the misdemeanours set out in articles 222-19-1, 222-20-1, 223-1 and 434-10 of the Criminal Code;
3° misdemeanours concerning the regulation of transport by land; 4° misdemeanours set out in point 2° of article 32 of the legislative decree of 18
April 1939 fixing the rules governing weaponry and munitions;5° misdemeanours set out in articles 222-11, 222-12 (1° to 10°), 222-13 (1° to
10°), 222-16, 222-17, 222-18, 222-32, 227-3 to 227-11, 311-3, 311-4 (1° to 8°), 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1 to 322-4, 322-12, 322-13, 322-14, 433-3, first paragraph, 433-5, 433-6 to 433-8, first paragraph, 433-10, first paragraph and 521-1 of the Criminal Code and L. 628 of the Public Health Code;
6° misdemeanours provided for by the Rural Code concerning hunting, fishing and of the protection of flora and fauna, and the misdemeanours set out by the legislative decree of 9 January 1852 concerning sea fishing;
7° misdemeanours provided for in the Forestry Code and the Town Planning Code for the protection of woods and forests;
8° misdemeanours which do not incur a prison sentence, with the exception of press misdemeanours”.
Dengan demikian, sepanjang perkara yang diatur dalam pasal tersebut tidak
dipidana lebih dari 5 tahun, diperiksa dengan hakim tunggal. Pemeriksaan perkara
di Indonesia yang menggunakan hakim tunggal adalah pemeriksaan pada perkara
tindak pidana ringan yang dilakukan dengan acara cepat dan sebagaimana telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, penyidik atas kuasa penuntut umum
melimpahkan berkas perkara langsung ke pengadilan sekaligus berwenang
menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke
sidang pengadilan. Fungsi penuntutan dalam kasus misdemeanor di Perancis tetap
berada di tangan jaksa penuntut. Berdasarkan article 398-3, “The duties of the
public prosecutor attached to the correctional court are carried out by the district
144
prosecutor or one of his deputies; those of the clerk by a clerk of the district
court”. Dengan demikian fungsi penuntutan tetap berada pada jaksa penuntut
yang dilimpahkan kepada district prosecutor. Hal ini dipertegas kembali melalui
article 458 yang berbunyi “The district prosecutor makes, in the name of the law,
such written and oral submissions as he considers appropriate to the ends of
justice”. Terhadap misdemeanor tetap dimungkinkan untuk dilakukan penahanan.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syarat penahanan yang diatur dalam
KUHAP Indonesia. Tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya paling lama
3 bulan penjara otomatis tidak memenuhi syarat penahanan yang diatur dalam
Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu perkara yang diancam dengan 5 tahun penjara.
Ketentuan Penal Procedure Code Perancis mengatur hal lain. Terhadap
misdemeanor tetap dapat dilakukan penahanan.
Hal ini tersirat dari bunyi Pasal 409 yang berbunyi, “On the day fixed for his
appearance at the hearing, the detained defendant is brought there by the law
enforcement authorities”. Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa terhadap
misdemeanor masih dimungkinkan untuk dilakukan penahanan.
Pemeriksaan perkara di Tribunal de Correctionnel hampir sama dengan
pemeriksaan perkara di Tribunl de Police. Pemeriksaan di Tribunal de
Correctionnel lebih serius dan detail karena sifat perkaranya yang memang lebih
berat. Pembelaan yang diajukan pengacara tertuduh pun biasanya dilakukan
dengan lebih serius dan lama. Pemeriksaan di sini dapat dilakukan tanpa hadirnya
tertuduh dan diwakili oleh pengacaranya saja sehingga perkara diputus dengan
putusan verstek. Akan tetapi, Hakim tetap menyarankan agar tertuduh hadir
145
sendiri. Setelah Majelis Hakim selesai memeriksa perkara biasanya mereka akan
merundingkan isi putusan di ruangan tersendiri. Perundingan-perundingan ini
disebut dengan Deliberation.
Hal lain yang membedakan proses pemeriksaan di sidang pengadilan antara tindak
pidana ringan dan misdemeanor di Perancis adalah kesempatan perkara untuk
diajukan di sidang kasasi. Tindak pidana ringan di Indonesia tidak dapat diajukan
upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45 A Undang-undang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2009 karena ancaman
hukumannya di bawah satu tahun penjara. Hal ini berbeda dengan Misdemeanor
di Perancis.
Berdasarkan Pasal article paragraf 1 yang berbunyi, “Judgments made by the
investigating chamber and judgments rendered by courts of final instance in
felony, misdemeanour or petty offence matters may be quashed in the event of a
violation of the law upon a cassation application filed by the public prosecutor or
by the party adversely affected, pursuant to the following distinctions”, maka
terhadap putusan misdemeanor dapat dimintakan upaya hukum kasasi.
Pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung bukanlah peradilan tingkat ketiga atau
terakhir. Mahkamah Agung di Perancis hanya memeriksa penerapan hukumnya.
Bentuk pengadilan terakhir yang berada pada tingkat pertama adalah Cour d’
Assizes yang memeriksan perkara crimes atau felonies. Bentuk pengadilan ini
tidak permanen. Waktu pelaksanaan sidang ini sudah ditentukan dan biasanya
diadakan setiap tiga bulan selama dua minggu.
146
Perkara yang dimasuk dikumpulkan terlebih dahulu dan disidangkan pada waktu
yang telah ditentukan hingga selesai. Apabila Tribunal de Police diperiksa dengan
hakim tunggal dan Tribual d’ Correctionnel diperiksa dengan tiga hakim atau
pada perkara tertentu dengan hakim tunggal, beda halnya dengan pemeriksaan di
Cour d’ Assizes. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri
dari tiga orang dibantu dengan sembilan juri. Ada beberapa kasus yang tetap
diperiksa dengan tiga orang hakim tanpa juri, yaitu aksi teroris dan perkara obat-
obatan. Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan sangat serius dan detail hingga
pada pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti. Pada pemeriksaan ini, surat tuntutan
(extrait de minute d’ accusation) dibacakan oleh panitera dan bukan oleh jaksa.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem di Indonesia. Setelah pemeriksaan
selesai dilakukan, majelis hakim melakukan perundingan untuk memutus perkara
bersama dengan para juri.
B. Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Ringan dan Misdemeanor
di Perancis
KUHP Indonesia mengenal 2 bentuk pidana yang dapat dijatuhkan pada
pelaku kejahatan. Pasal 10 KUHP Indonesia mengatur pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Denda
5. Pidana Tutupan
147
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim105
Di samping itu, sistem hukum Indonesia juga memungkinkan penahanan
sementara atas tersangka atau terdakwa oleh polisi, atau jaksa, atau bahkan hakim.
Perancis juga mengenal bentuk penahanan pada fase sebelum persidangan. Syarat
penahanan di Indonesia diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan berlaku
umum baik semua bentuk kejahatan. Sedangkan di Perancis syarat penahanan
tergantung pada bentuk kejahatannya. Pada perkara crimes penahanan terhadap
tertuduh dapat dilakukan keharusan menyebutkan alasannya. Penahanan tersebut
dapat dilakukan hingga 10 tahun dan dilakukan oleh Juge d’ Instruction dengan
mengeluarkan perintah penahanan. Sangat berbeda dengan penahanan di
Indonesia yang dilakukan oleh polisi, jaksa, atau hakim. Pada perkara delits,
penahanan dilakukan oleh Juge d’ Instruction akan tetapi perlu memenuhi syarat-
syarat tertentu, misalnya:
a. Bahwa tertuduh harus didampingi oleh seorang Pengacara adalah
merupakan suatu keharusan, kecuali kalau tertuduh menolak
(Presence d’ unavocat).
b. Bahwa alasan-alasan penahanan sementara tersebut harus
dicantumkan dalam surat penetapan (ordonance), misalnya alasan-
alasan untuk kepentingan Pemeriksaan (Necessatie de information),
105 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007), Pasal 10 KUHP, hal. 5
148
untuk keamanan (Necessatie de surete), untuk perlindungan dari
serangan-serangan khalayak ramai (protection de public), dan
sebagainya.
c. Bahwa penahanan sementara tersebut harus dengan suatu batas waktu
(limitation dans le temps), misalnya terhadap kejahatan-kejahatan
yang diancam dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara maka
batas waktunya adalah empat bulan ditambah dengan perpanjangan
maksimal dua bulan, kalau pemeriksaan belum selesai.
Kalau dalam batas waktu tersebut pemeriksaan pendahuluan juga belum
selesai maka tertuduh harus segera dibebaskan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan
sekalipun tertuduh berada di luar tahanan. Akan tetapi, biasanya kalau sampai
terjadi hal yang demikian, si tertuduh tersebut langsung menghilang melarikan
diri. Inilah salah satu cara untuk memaksa para petugas pemeriksaan pendahuluan
tersebut untuk menyelesaikan pekerjaannya, sebelum waktu enam bulan tersebut
berakhir.
Perancis juga mengenal bentuk penahanan lainnya selain bentuk penahanan
sementara di atas, yaitu La Garde a Vue yang dilakukan misalnya terhadap
perkara flagrant delits atau tertangkap basah dan dilakukan oleh polisi. Masa
penahanan tersebut hanya berlangsung selama 24 jam dan dapat diperpanjang dua
kali atau maksimum 48 jam. Apabila belum ada cukup bukti tentang kejahatan
yang dilakukan dan masa penahanan tersebut habis maka tertuduh harus segera
dibebaskan. Apabila terdapat cukup bukti maka jaksa tadi akan memerintahkan
untuk melanjutkan pemeriksaan hingga ke persidangan. Atau dia dapat juga
149
menyampaikannya kepada Juge d’ Instruction untuk dilakukan pemeriksaan
pendahuluan. Dalam hal ini akan dipertimbangkan apakah penahanan tersebut
perlu ditingkatkan menjadi detention provisoire atau tidak. Pidana yang diatur
dalam KUHP ini tidak menjadi pembeda antara bentuk kejahatan termasuk
kejahatan ataupun pelanggaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, menurut Memorie van Toelichting, pembagian delik dalam
“kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut
“delik hukum” (rechtsdelict) dan apa yang disebut “delik undang-undang”
(wetsdelict).
Pembeda lainnya Antara delik hukum atau delik undang-undang karena
peraturan-peraturan pidana dengan secara tegas menerangkan bahwa delik
bersangkutan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Pembagian bentuk
kejahatan di Indonesia ini berbeda dengan pemabagian kejahatan di Perancis.
Kejahatan di Perancis dikenal dengan tiga bentuk, yaitu Crimes/Felonies
(kejahatan), Delits/Misdemeanors (kejahatan ringan), dan Contraventions/Petty
Offences (pelanggaran). Pidana yang dijatuhkan menjadi salah satu pembeda
bentuk kejahatan ini. Misalnya, bentuk kejahatan Felony atau Misdemeanor dapat
dipidana dengan pidana penjara atau denda, sedangkan definisi petty offences
adalah kejahatan yang hanya dapat dihukum dengan denda. Akan tetapi, terdapat
kesamaan Antara pembagian bentuk kejahatan biasa dan kejahatan ringan di
Indonesia dengan bentuk felonies dan misdemeanors di Perancis, yaitu dilihat dari
lamanya pidana penjara yang diancamkan. Indonesia mengenal bentuk kejahatan
ringan sebagai perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
150
lama tiga bulan atau denda paling banyal Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah) termasuk bentuk tindak pidana penghinaan ringan.
Dengan demikian, bentuk kejahatan biasa adalah perkara yang ancaman
hukumannya di atas 3 bulan atau denda di atas Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah). Pembagian bentuk kejahatan di Perancis dapat dilihat dari hukuman
pidana yang dijatuhkan. Hal serupa juga disampaikan Utrecht dalam bukunya
Hukum Pidana I, “Perbedaan antara tiga macam delik ini dirasa dalam beratnya
sanksi (hukuman) yang dijatuhkan”.
“One must bear in mind that in France criminal cases are heard by different courts, depending on the nature of the offence. Our 1810 Penal Code and our new 1994 Code classify offences into three groups:
- “contraventions”: very petty offences punished only by fines (minor road offences, breach of bylaws, minor assaults, noise offences etc.).
- “délits”: offences of greater importance subjected to a sentence of a maximum of 10 years. Délits include theft, manslaughter, indecent assault, drug offences, fraud and deception, drunken driving, serious unintentional bodily damages etc.
- “crimes”: offences subjected to custodial sentences from 10 years to a life term (murder, rape, robbery, abduction)”.106
Definisi tersebut sulit ditemukan baik dalam Penal Code Perancis maupun
Penal Procedur Code Perancis. Hal tersebut justru dapat disimpulkan dari pidana
yang dikenakan bagi masing-masing bentuk kejahatan. Article 131-1 Penal Code
Perancis mengatur mengenai hukuman yang dapat dijatuhkan bagi felonies. Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut:
1° La réclusion criminelle ou la détention criminelle à perpétuité ;2° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de trente ans au plus3° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de vingt ans au plus
106 Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, (Finlandia,2001), hal. 13.
151
4° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de quinze ans au plus. La durée de la réclusion criminelle ou de la détention criminelle à temps est de dix ans au moins.
Terjemahan bebas pasal tersebut dalam Bahasa Inggris adalah sebagai
berikut:
“The Penalties incurred by natural persons for the commission offelonies are:1° criminal imprisonment for life or life criminal detention;2° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of thirty
years;3° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of twenty
years;4° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of fifteen
years. The minimum period for a fixed term of criminal imprisonment or criminal detention is ten years”.
Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pidana yang mungkin
dijatuhkan pada felonies adalah pidana penjara atau kurungan minimum 10
tahun dan paling lama seumur hidup. Untuk bentuk kejahatan paling berat,
Perancis hanya mengatur maksimal penjara 10 tahun dan tidak mengenal
pidana mati seperti di Indonesia. Akan tetapi, terhadap felonies tetap
dimungkinkan untuk dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
article 131-10. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap misdemeanors diatur
dalam article 131-3 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
The Penalties incurred by natural persons for the commission of misdemeanours are:1° imprisonment;2° a fine;3° a day-fine;4° a citizenship course;5° community service;
152
6° Penalties entailing a forfeiture or restriction of rights, set out under article 131-6;
7° the additional Penalties set out under article 131-10.
Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa terhadap
misdemeanor tidak hanya dapat dipidana dengan penjara, namun juga dapat
dihukum dengan denda, denda harian, pendidikan kewarganegaan, pelayanan
masyarakat, kehilangan atau pembatasan hak tertentu, dan pidana tambahan
sebagaimana diatur dalam article 131-10. Kedua bentuk felonies dan
misdemeanor dapat dihukum dengan penjara namun terdapat perbedaan
lamanya pidana penjara yang dikenakan terhadap dua bentuk kejahatan ini
yang sekaligus menjadi pembeda di antara keduanya.
“(Act no. 2003-239 of 18 March 2003 Art. 48 Official Journal of 19 March 2003) The scale of custodial sentences is as follows:1° A maximum of ten years;2° A maximum of seven years;3° A maximum of five years;4° A maximum of three years;5° A maximum of two years;6° A maximum of one year;7° A maximum of six months;8° A maximum of two months”
Apabila terhadap felonies dapat dihukum dengan pidana penjara
minimal 10 tahun dan paling lama seumur hidup, misdemeanors justru dapat
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan minimal 2 bulan. Sebagaimana
diatur dalam article 131-3, terhadap misdemeanor dapat juga dikenakan
bentuk pidana lain. Apabila misdemeanors dapat dipidana dengan penjara,
Pengadilan dapat memutus pidana denda harian yang mana nominalnya
ditentukan oleh hakim yang dihitung dari dari biaya yang dikeluarkan dan
153
tidak melebihi €1000 dikalikan sejumlah hari tertentu dan tidak melebihi 360.
Hal ini diatur dalam article 131-5. Pengadilan juga dapat memutus terdakwa
dengan citizenship course atau kursus kewarganegaraan disbanding memutus
dengan pidana penjara. Metode, lamanya, dan materinya ditentukan oleh
conseil d’ etat dan bertujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai
kebangsaan, rasa hormat terhadap martabat manusia yang menjadi dasar
hubungan sosial. Pengadilan menentukan biaya kursus ini yang tidak
melebihi denda bagi petty offences kategori ketiga dan dikeluarkan dari
ongkos perkara narapidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 131-5-1 Penal
Code Perancis.
Selain dua bentuk pidana tersebut, Perancis juga mengenal bentuk pidana
community service atau pelayanan masyarakat yang diatur dalam article 131-
8 Penal Code Perancis. Pengadilan dapat memilih alternative pidana selain
penjara, yaitu melalui pelayanan masyarakat. Pengadilan dapat memutus
terdakwa untuk melakukan pelayanan masyarakat tanpa digaji selama 40
hingga 210 jam di tempat-tempat badan hukum atau asosiasi terakreditasi
perihal pelayanan masyarakat ini. Akan tetapi, pelayanan masyarakat ini
tidak dapat dilakukan apabila terdakwa menolak atau tidak hadir dalam
pemeriksaan pengadilan. Ketiga bentuk pidana ini dapat dijadikan alternatif
bagi hakim dalam memutus perkara selain pidana penjara. Tentunya hal ini
kemudian dapat mengurangi jumlah narapidana di penjara. Sayangnya,
Indonesia belum mengenal bentuk-bentuk alternative pidana ini sedangkan
perampasan atau pembatasan hak terpidana sudah dikenal di Indonesia
154
melalui Pasal 35 KUHP. Yang membedakan bentuk pidana ini di Indonesia
dan di Perancis adalah bahwa di Indonesia bentuk pidana ini merupakan
bentuk pidana tambahan sedangkan di Perancis bentuk pidana ini ada yang
berada sebagai pidana pokok dan ada yang berada di bentuk pidana
tambahan. Sebagai bentuk pidana pokok, perampsan dan pembatasan hak-hak
tertentu diatur dalam article 131-6, yaitu:
“(Act no. 92-1336 of 16 December 1992 Article 341 and 373 OfficialJournal of 23 December 1992 in force on 1 March 1994) (Inserted by Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 6 III Official Journal of 13 June 2003) (Act no.2004-204 of 9 March 2004 Article 44 V Official Journal of 10 March 2004 in force 1 October 2004) Where a misdemeanour is punishable by a prison sentence, the court may impose one or more of the following Penalties entailing forfeiture or restriction of rights instead of the prison term:
1° The suspension of a driving licence for a maximum period of five years. This suspension may be restricted to the driving of a vehicle outside professional activities, pursuant to conditions to be determined by a decree of the Conseil d'Etat; this limitation is, however, not possible in misdemeanour cases for which the suspension of the driving licence,incurred as an additional Penalty, may not be limited to driving outside professional activities.
2° Prohibition to drive certain vehicles for a period not exceeding five years;
3° The cancellation of the driving licence together with the prohibition to apply for a new licence for a period not exceeding five years;
4° Confiscation of one or more vehicles belonging to the convicted person;5° immobilisation of one or more vehicles belonging to the convicted
person pursuant to conditions determined by a decree of the Conseil d'Etat for a maximum period of one year;
6° Prohibition to hold or carry a weapon for which a permit is needed; such a prohibition may not be imposed for more than five years;
7° Confiscation of one or more weapons belonging to the convicted person or which are freely available to him;
8° Withdrawal of a hunting licence, together with a prohibition to apply for a new licence; such a prohibition may not be imposed for more than five years;
155
9° Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and prohibition to use payment cards, for a maximum duration of five years;
10° Confiscation of the thing which was used in or was intended for the commission of the offence, or of the thing which is the product of it. However, this confiscation may not be imposed for a press misdemeanour;
11° Prohibition, for a maximum period of five years, to exercise any professional or social activity where the facilities afforded by such activity have knowingly been used to prepare or commit the offence. Such a prohibition is not applicable to the holding of an electoral mandate or union steward ship, nor may it be imposed for a press misdemeanour;
12° Prohibition, for a maximum period of three years, to frequent any places or categories of place determined by the court, and in which the offence was committed;
13° Prohibition, for a maximum period of three years, to associate with certain convicted persons designated by the court, in particular the perpetrators of the offence or any accomplices;
14° Prohibition , for a maximum period of three years, to enter into contact with certain persons specially named by the court, notably the victim of the offence”.
Pidana tambahan di Perancis diatur dalam article 131-10, yaitu
“Where the law so provides, a felony or a misdemeanour may be punished by one or more additional Penalties sanctioning natural persons which entail prohibition, forfeiture, incapacity or withdrawal of a right, an obligation to seek treatment or a duty to act, the impounding or confiscation of a thing, the compulsory closure of an establishment, the posting a public notice of the decision or the dissemination the decision in the press, or its communication to the public by any means of electronic communication”.
Sedangkan di Indonesia, pencabutan hak-hak melalui putusan hakim dapat
ditemukan pengaturannya dalam Pasal 35 ayat (1), yaitu:
156
“Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal
yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum
lainnya ialah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas,
atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu”.
Di samping felonies dan misdemeanors, Perancis juga mengenal bentuk
petty offences. Bentuk kejahatan ini dapat diartikan sebagai bentuk kejahatan
yang hanya dapat dihukum dengan pidana denda. Bentuk yang hampir serupa
dengan di Indonesia adalah pelanggaran. Perancis mengatur sanksi pidana bagi
petty offences melalui article 131-12, yaitu denda atau hukuman perampasan atau
pembatasan hak-hak sebagaimana diatur dalam article 131-14. Akan tetapi bentuk
pidana ini tidak mengurangi kewenangan hakim untuk memutus satu atau lebih
pidana tambahan. Petty Offences di Perancis memiliki tingkatannya masing-
masing. Hal ini yang membedakan dengan bentuk pelanggaran di Indonesia.
tingkatan tersebut diatur dalam article 131-13, yaitu:
157
“(Ordinance no. 2000-916 of 19 September 2000 Article 3 Official Journal of 22 September 2000 in force on 1 January 2002) (Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 4 I Official Journal of 13 June 2003)Petty offences are offences which by law are punished with a fine not in excess of €3,000. The amount of a fine is as follows:
1° a maximum of €38 for petty offences of the first class;2° a maximum of €150 for petty offences of the second class;3° a maximum of €450 for petty offences of the third class;4° a maximum of €750 for petty offences of the fourth class;5° a maximum of €1,500 for petty offences of the fifth class; an amount
which may be increased to €3,000 in the case of a persistent offender where the regulation so provides, except where the law provides that repetition of a petty offence constitutes a misdemeanour”
Berbicara mengenai pidana denda, Indonesia juga mengenal bentuk pidana
ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada Pasal 10 KUHP.
Permberlakuan pidana ini pada bentuk kejahatan di Indonesia berbeda dengan di
Perancis. Di Perancis, pidana denda hanya dapat dikenakan pada misdemeanors
dan petty offences. Di Indonesia, pidana denda ini justru dapat dikenakan baik
pada bentuk kejahatan, kejahatan ringan maupun pelanggaran di mana pasalnya
memang memungkinkan bagi pelaku untuk dijatuhi pidana denda. Di Perancis,
pidana denda ini merupakan bagian dari pidana pokok baik bagi misdemeanors
maupun petty offences dan dapat dijadikan alternatif pilihan hakim untuk
memutus hukuman pidana bagi pelaku. Di Indonesia, bentuk pidana denda ini
juga termasuk dalam bentuk pidana pokok. Akan tetapi, hakim lebih cenderung
untuk memutus terdakwa dengan pidana penjara dibandingkan dengan pidana
denda. Hal ini dipengaruhi oleh nilai denda yang tidak relevan lagi untuk
diterapkan. Misalnya pada Pasal 362 mengenai pencurian yang mengatur
hukuman penjara paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp.
158
900,00 (sembilan ratus rupiah). Apabila seseorang mencuri Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus rupiah) dan pidana denda pada pasal tersebut diberlakukan maka
akan terasa sangat tidak adil bagi korban yang kehilangan uang sebesar Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus rupiah) sementara pelaku hanya dijatuhi pidana
denda sebesar Rp. 900,00 (sembilan ratus rupiah). Oleh sebab itu, pidana denda
ini menjadi tidak efektif lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pidana denda dalam KUHP belum pernah diperbaharui lagi sejak
perubahannya yang terakhir, yaitu melalui Perpu No. 18 Tahun 1960.
Berdasarkan Perpu tersebut, semua jumlah pidana denda dalam KUHP dikalikan
15 kali. Hingga awal tahun 2012 belum ada perubahan lagi mengenai pidana
denda ini. Di Indonesia, pidana denda masih berada pada kedudukan yang
sekunder, jika dibandingan dengan pidana hilang kemerdekaan.107 hal ini
dikaitkan pada posisi pidana denda yang selalu diletakkan pada posisi kedua
setelah penjara. Terkait hal ini, Mahkamah Agung melalui PERMA No. 2 Tahun
2012 berusaha untuk mengefektifkan kembali pidana denda sehingga hakim dapat
memiliki alternatif lain selain pidana penjara. Pada Pasal 3 PERMA tersebut
diatur bahwa, “Tiap-tiap maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam
KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2) 303 bis ayat (1) dan (2), dilipatgandakan
menjadi 1.000 (seribu) kali”.
Pada Pasal 4 ditegaskan kembali bahwa, “Dalam menangani perkara
tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan
pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 tersebut”. Mahkamah Agung
107 Suhariyono AR., Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2007), hal. 168.
159
memiliki harapan bahwa dengan diefektifkannya kembali pidana denda ini dapat
mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak
ditemukan kapasitas yang melampaui batas.
3.3.2. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ringan dimasa yang akan datang.
Dalam praktik beracara pidana dikenal istilah: Tipiring. Istilah ini
merupakan singkatan dari istilah yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, BAB XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Bagian
Keenam Acara Pemeriksaan Cepat, Paragraf I Acara Pemeriksaan Tindak
Pidana Ringan.
Masyarakat umum mengenal istilah Tipiring sebagai tindak pidana
yang dari namanya yang menggunakan kata ”ringan” sudah langsung
diketahui merupakan tindak pidana yang bersifat ringan. Adakalanya
diperdengarkan ungkapan seperti : ”Ia hanya kena tipiring saja”. Adakalanya
terdengar pula nada bersifat negatif, bahwa pelaksanaan hukum pidana dapat
dikonstruksi sedemikian rupa, sehingga yang didakwakan hanya Tipiring saja.
Padahal seharusnya yang bersangkutan didakwakan dengan tindak pidana
yang lebih berat yang mempunyai ancaman pidana yang lebih berat pula.
Dengan Tipiring, orang mengharapkan bahwa hukuman yang akan
dijatuhkan oleh Hakim juga bersifat ringan, yaitu apabila dinyatakan bersalah
yang akan dikenakan hanyalah pidana bersyarat saja, yang dikenal sebagai
putusan hukuman tapi tidak dilaksanakan. Sifat ”ringan” dari tindak pidana ini
dan tuduhan adanya penyalahgunaan dari klasifikasi Tipiring.
160
Hakikat Tindak Pidana Ringan adalah tindak-tindak pidana yang
bersifat ringan atau tidak berbahaya. Sedangkan hakikat pengaduan Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan agar perkara dapat diperiksa dengan
prosedur yang lebih sederhana.
Hal yang menarik dari Tindak Pidana Ringan adalah bahwa tercakup di
dalamnya tindak pidana penghinaan ringan yang letaknya dalam Buku II
KUHPidana tentang kejahatan. Penghinaan ringan ini dalam doktrin
merupakan salah satu dari kelompok tindak pidana yang dinamakan
kejahatan-kejahatan ringan (lichte misdrijven) terdapat dalam Buku II
KUHPidana.
Mengenai latar belakang keberdaan kejahatan-kejahatan ringan (lichte
misdrijven) diberikan komentar oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa, Kejahatan
ringan ini dalam zaman penjajahan Belanda ada artinya, oleh karena semua
orang, tanpa diskriminasi, yang melakukan kejahatan ringan ini, diadili oleh
”Landrechter” seperti semua orang yang melakukan ”pelanggaran”, sedang
seorang Indonesia atau Timur Asing (Cina, Arab dan India-Pakistan) pembuat
kejahatan bisa, diadili oleh ”Landraad” (sekarang pengadilan negeri) dan
seorang Eropa sebagai pembuat kejahatan biasa diadili oleh Raad van
Justitie (sekarang Pengadilan Tinggi).108
Kejahatan-kejahatan ringan ini tidak ada dalam KUHPidana Belanda.
Kejahatan ringan hanya ada dalam KUHPidana Indonesia (Hindia Belanda waktu
itu). Dengan demikian, diadakannya kejahatan-kejahatan ringan dalam
108 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, JakartaBandung, cet. ke-3, 1981
161
KUHPidana Indonesia adalah dengan pertimbangan keadaan khusus di Hindia
Belanda. Keadaan khusus ini adalah berupa terbatasnya jumlah pengadilan di
Hindia Belanda. Raad van Justitie hanya ada di beberapa kota besar saja di
Hindia Belanda. Sebagai contoh, untuk pulau Sulawesi hanya ada di Makassar.
Karenanya oleh Wirjono Prodjodikoro dikatakan bahwa klasifikasi
kejahatan ringan di zaman penjajahan Belanda ada artinya. Sekarang ini
semua orang dengan tidak melihat golongan penduduk, tunduk pada
pengadilan yang sama, yaitu Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri ini telah
didirikan di banyak tempat sehingga mudah dicapai. Dengan demikian,
kejahatan-kejahatan ringan sebenarnya telah kehilangan latar belakang
pertimbangan pembentukannya.
162
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari peneletian Tesis diatas maka Penulis
menyimpulkan menjadi 2 bagian kesimpulan antara lain :
4.1.1. Kebijakan PERMA No. 2 tahun 2012 dalam rangka penyelesaian
perkara Tipiring pada saat ini di Polres Jepara
Kebijakan PERMA No 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP terhadap penyelesaian
perkara tindak pidana ringan pada Polres Jepara sudah berjalan namun
belum dilaksanakan sepenuhnya. Dimana persepsi pihak penyidik yaitu
Polisi dan pihak yang menangani perkara yaitu Hakim mengenai
Peraturan Mahkamah Agung sebagai pedoman dalam pelaksanaan
proses penyelesaian Tipiring dengan nilai kerugian maksimal Rp 2,5
juta secara akademis, namun tidak sesuai dengan sistem tertib hukum
yang ada di Indonesia, karena kedudukan PERMA adalah peraturan
yang letaknya di bawah Undang-Undang. Selain itu pada kenyataanya
penerapan PERMA No 2 Tahun 2012 mengalami beberapa faktor kendala
atau hambatan, yaitu: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum,
faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor
masyarakat, faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan
163
dan merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
dari pada efektifitas hukum.
4.1.2. Kebijakan PERMA No. 2 tahun 2012 dalam rangka penyelesaian
perkara Tipiring di masa yang akan datang.
Kebijakan PERMA dalam menanggulangi Tipiring di masa yang
akan datang haruslah lebih fokus kepada orang yang melanggar hukum
yaitu tersangka atau terdakwa. Tersangka atau terdakwa sebagai pelaku
tindak pidana atau orang yang dianggap telah melanggar hukum haruslah
berhadapan dengan aparat Negara yang bertugas menegakkan hukum dan
keadilan. PERMA juga harus didukung oleh segenap pihak terutama pihak
legislatif yang sesegera mungkin mengesahkan KUHP yang baru dimana
dapat mendukung terhadap kelancaran pelaksaaan PERMA tersebut,
sehingga dengan demikian seluruh aparat penegak hukum dapat
menyatukan persepsi terhadap penanganan kasus Tipiring.
4.2. Saran
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, untuk mengubah nilai nominal
kerugian yang tercantum dalam KUHP, yang terkait dengan pencurian ringan,
penggelapan ringan, penipuan ringan, pengerusakan ringan, penadahan ringan.
Maka pihak Legislatif selaku pembuat Undang-Undang harus segera mengambil
langkah konkrit untuk mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang
sebagai KUHP baru. Sehingga upaya pembaharuan hukum Pidana di Indonesia
lebih efektif. Selain itu, langkah Mahkamah Agung membuat PERATURAN
164
MAHKAMAH AGUNG No. 2 Tahun 2012 ini memang bertujuan baik alangkah
baiknya apabila sosialisasi PERATURAN MAHKAMAH AGUNG ini lebih
gencar, tidak hanya bersifat himbauan, tetapi harus bersifat mengatur sebagai
pedoman para Hakim untuk memproses perkara Tipiring selama KUHP baru
belum disahkan, di samping KUHAP.
165
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana Dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995
__________, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : PT.Refika Aditama, 2007
Direktoral jenderal hukum dan ham perundang-undangan, departemen hukum dan perundang-undangan, konsep rancangan KUHP Nasional, edisi 1999-2000.
H. Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012
Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982
Harahap M. Yahya, Pembahasan Peraturan Mahkamah Agung Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008
__________, Pembahasan Peraturan Mahkamah Agung Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan Dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Kertanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, 1983
L. Tanya, Bernard dkk, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013
Lumbun, Ronald S, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI: wujud kerancuan antara praktik pembagian dan pemisahan kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2011
Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2008
__________, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cetakan ke 26, Jakarta : PT. Penerbit Bumi Aksara, 2007
166
__________, Pembatasan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara. 1983
Muladi. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992
Nawawi Arief, Barda, bunga rampai kebijakan hukum pidana, PT. citra aditya bhakti, bandung. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni, 1992
__________, kapita Selekta Hukum Pidana, cetakan ke 3,Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013
Panggabean Henry P., fungsi mahkamah agung dalam praktik sehari-hari: upaya penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan mahkamah agung, jakarta: pustaka sinar harapan, 2001
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, cet. ke-3, 1981
Sadjijono, Suatu Telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi dalam Pelaksanaan Tugas Profesi Polisi. Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2004
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Soesilo, KUHP Serta Komentar-nya Lengkap Pasal Demi Pasal Politeia, Sukabumi, 1988
Sudarto, Hukum pidana jilid I A, Badan penyediaan kuliah, Semarang: FH- UNDIP, 1973
Walker, Nigel, 1971, Sentecing In A Rational Society, Basic Book, inc., publishers, new York, Hal. 8 dalam Sholehuddin, System Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004
Wiyanto, Roni, Asas-asas hukum pidana indonesia, Surakarta: CV. Mandar Maju, 2012
Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
167
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP
Penjelasan Umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP
Peraturan Daerah Kabupaten Jepara nomor 4 tahun 2001 tentang Minuman
Beralkohol.
Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2013 tentang Larangan
Minuman Beralkohol.
Internet online:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/447976-mahfud-setuju-tindak-pidana-
ringan-tak-perlu-dipenjara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25567/3/Chapter%20II.pdf
168