sertifikasi halal oleh badan penyelenggara jaminan...

131
SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: NURFAIQOH RIDHIYAH NIM: 11140460000047 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2019 M

Upload: others

Post on 01-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN

    PRODUK HALAL PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG

    NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    NURFAIQOH RIDHIYAH

    NIM: 11140460000047

    PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441 H/ 2019 M

  • i

    ABSTRAK

    Nurfaiqoh Ridhiyah. NIM 11140460000047. SERTIFIKASI HALAL OLEH

    BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA

    DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014

    TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. Program Studi Hukum Ekonomi

    Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. VIII + 111 halaman, 8 halaman lampiran.

    Studi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persiapan yang telah

    dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam

    menyelenggarakan jaminan produk halal dan untuk mengetahui apa saja yang

    menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.

    Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif – empiris

    melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan studi kepustakaan

    (library research) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-

    undangan, buku-buku dan beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan

    pembahasan skripsi ini, selain ini penulis juga menggunakan teknik wawancara

    untuk mendapatkan data yang diperlukan.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan yang sudah dilakukan oleh

    Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, yaitu terbitnya Undang-Undang

    Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah

    Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33

    Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH untuk sementara waktu

    melakukan kegiatan operasionalnya di Gedung Kementerian Agama, dan sistem

    layanan untuk pengajuan permohonan sertifikasi halal akan dilakukan secara

    manual. Untuk kendala-kendala yang menghambat proses persiapan

    penyelenggaraan Jaminan Produk halal, yaitu proses penerbitan Undang-Undang

    Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang membutuhkan waktu

    cukup lama dikarenakan terdapat beberapa pihak yang tidak menyetujui penerbitan

    undang-undang tersebut dan terlambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor

    31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun

    2014 Tentang Jaminan Produk Halal dikarenakan BPJPH harus menyinkronisasi

    dan menyinergikan peraturannya dengan peraturan-peraturan kementerian

    dan/lembaga terkait yang bekerja sama dengan BPJPH dalam menyelenggarakan

    Jaminan Produk Halal di Indonesia.

    Kata Kunci: Sertifikasi Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal,

    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

    Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.

    Daftar Pustaka : 1999 s.d 2019

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

    dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw sehingga

    Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SERTIFIKASI HALAL OLEH

    BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA

    DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014

    TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL”. Banyak pihak yang telah membantu

    Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak

    langsung. Maka dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih

    kepada:

    1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku

    Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

    Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    4. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi

    yang senantiasa meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta masukan

    bagi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

    5. Kepada Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku dosen penguji dalam sidang

    skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi.

    6. Kepada Ibu Lady Yulia, S. Si, selaku Kepada Subbidang Pengawasan Lembaga

    Pemeriksa Halal dan Auditor Halal pada Bidang Pengawasan Jaminan Produk

    Halal, Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal pada Badan

    Penyelenggara Jaminan Produk Halal, terima kasih telah meluangkan waktu

    dan bersedia untuk diwawancarai oleh Penulis.

  • iii

    7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta yang senantiasa ikhlas dalam mendidik dan memberikan

    ilmunya kepada Penulis selama masa perkuliahan.

    8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,

    Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan

    Staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum.

    9. Kepada kedua Orang Tua Penulis Bapak Achmad Supandi dan Ibu Nunung

    Nurhayati, terima kasih atas segala pengorbanan tenaga, harta, dan doa yang

    selalu dipanjatkan untuk Penulis, sehingga dapat mengantarkan Penulis hingga

    sampai tahap ini, dan kepada adik-adik Penulis Izzatunnisa Fadhilah dan Farah

    Hafizah terima kasih telah turut serta mendoakan Penulis dan memberikan

    semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

    10. Terima kasih kepada Imam Dwiky Setyawan dan keluarga yang telah

    memberikan bantuan, saran dan doa kepada Penulis selama mengerjakan

    skripsi.

    11. Kepada sahabat Penulis Nia dan Ola, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan

    semangat yang diberikan kepada Penulis selama mengerjakan skripsi ini.

    12. Kepada teman dekat Penulis, di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Cipo, Dira,

    Ismy, Ii, Wienda, Ifah, terima kasih telah menemani dan membantu Penulis

    selama perkuliahan. Serta sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi

    Syariah Tahun 2014 yang telah selalu membantu dan memberikan saran selama

    perkuliahan.

    13. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh

    Penulis, tidak ada yang dapat Penulis berikan kecuali doa dan ucapan terima

    kasih untuk segalanya.

    Ciputat, 31 Oktober 2019

    Nurfaiqoh Ridhiyah

  • iv

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN

    LEMBAR PERNYATAAN

    ABSTRAK ........................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

    DAFTAR BAGAN ............................................................................................... vii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 5

    1. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5

    2. Pembatasan Masalah .......................................................................... 6

    3. Perumusan Masalah............................................................................ 6

    C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

    D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7

    E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .......................................................... 7

    F. Kerangka Konseptual ................................................................................ 10

    G. Metode Penelitian...................................................................................... 11

    H. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................................ 14

    BAB II KAJIAN TEORI HALAL ..................................................................... 15

    A. Pengertian Halal ........................................................................................ 15

    B. Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk

    Halal .......................................................................................................... 18

    1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH ....................................... 18

    2. Dasar Hukum ...................................................................................... 26

    3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal ...................................................... 29

  • v

    BAB III TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN

    PRODUK HALAL (BPJPH) .............................................................................. 40

    A. Sejarah Berdirinya BPJPH ........................................................................ 40

    B. Struktur Organisasi BPJPH ....................................................................... 41

    C. Tugas dan Wewenang BPJPH ................................................................... 43

    D. Dasar Hukum Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ........................... 44

    1. Undang-Undang .................................................................................. 44

    2. Hukum Islam ....................................................................................... 50

    E. Proses Pembuatan Sertifikasi Halal .......................................................... 53

    1. Pendaftaran Sertifikasi Halal............................................................... 53

    2. Pembuatan Sertifikat Halal ................................................................. 56

    3. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal ....................................................... 59

    F. Bentuk Kerja Sama BPJPH dengan Lembaga Terkait Lainnya ................ 64

    G. Konsep Ideal Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ............................. 66

    BAB IV ANALISIS SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN

    PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA

    DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL

    A. Persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam

    Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal di Indonesia Pasca

    Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan

    Produk Halal ............................................................................................. 69

    1. Peralihan Kewenangan Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama Indonesia

    ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ................................. 69

    2. Persiapan Sarana dan Prasarana dalam Menyelenggarakan Jaminan

    Produk Halal ....................................................................................... 70

    3. Perkembangan Terkini Sertifikasi Halal oleh Badan Penyelenggara

    Jaminan Produk Halal ......................................................................... 93

    B. Kendala-Kendala dalam Mempersiapkan Penyelenggarakan Jaminan

    Produk Halal Pasca Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

    Tentang Jaminan Produk Halal ............................................................... 100

  • vi

    1. Kendala Internal ................................................................................ 100

    2. Kendala Eksternal ............................................................................. 102

    BAB V PENUTUP .............................................................................................105

    A. Simpulan .................................................................................................105

    B. Rekomendasi ...........................................................................................107

    DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................108

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • vii

    DAFTAR BAGAN

    Bagan 1.0 Tata Cara Sertifikasi Halal ............................................................ 57

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Produk halal saat ini sudah menjadi tren dunia, dan mulai merambah ke

    berbagai negara tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang memiliki

    mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan tren halal yang sudah

    mengglobal ini, membuat masyarakat baik Muslim maupun non-muslim

    tertarik dengan hal-hal yang menggunakan istilah halal, seperti makanan halal.

    Dalam data laporan Global Islamic Economy tahun 2016/2017

    menyebutkan bahwa belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa

    dalam sektor ekonomi halal lebih dari 1,9 Triliun dollar Amerika.1 Sedangkan,

    pada data laporan Global Islamic Economy 2017/2018, terdapat peningkatan

    pada belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa dalam sektor

    ekonomi halal lebih dari 2 Triliun dollar Amerika.2 Berdasarkan data tersebut,

    sektor ekonomi halal sedang mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan

    bahwa sektor ekonomi halal sedang menjadi sebuah tren global.

    Sebagai seorang muslim dalam mengonsumsi suatu produk baik produk

    pangan maupun produk pakai penting untuk diketahui kehalalannya.

    Mengingat Allah swt melarang kita untuk mengonsumsi sesuatu yang haram,

    seperti yang telah disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 3 hal-hal yang

    diharamkan oleh Allah swt untuk kita konsumsi. Selain dari dzatnya yang harus

    halal, cara untuk mengolahnya juga harus bisa dipastikan kehalalannya.

    Walaupun kita mengetahui produk tersebut terbuat dari bahan-bahan yang

    halal, namun kita tidak mengetahui secara pasti proses pengolahan produk

    tersebut, apakah tercampur dengan sesuatu yang haram atau tidak.

    1 Tren Halal, Peluang Ekonomi yang Seharusnya Diperhatikan, dari

    http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-seharusnya-diperhatikan, 21 Juli 2018. 2 State Of The Global Islamic Economy 2017/2018,

    https://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-islamic-economy-20172018, 23 Juli

    2018.

    http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-seharusnya-diperhatikanhttps://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-islamic-economy-20172018

  • 2

    Anjuran agama untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal

    dan baik ini bukan tanpa alasan, dengan mengonsumsi sesuatu yang halal dan

    baik bisa menjauhkan kita dari mengonsumsi makanan yang menimbulkan

    penyakit, baik penyakit jasmani maupun penyakit rohani. Dengan

    perkembangan zaman, produk halal tidak hanya kategori makanan dan

    minuman saja, tetapi juga termasuk produk yang dipakai, digunakan dan

    dimanfaatkan, seperti kosmetik, obat-obatan, pakaian, dan jasa.

    Dengan tren halal yang terus meningkat di berbagai negara di dunia,

    menimbulkan suatu kewajiban bagi pemerintah negara tersebut untuk

    menjamin kepastian dan ketersediaan produk halal bagi masyarakatnya.

    Apalagi di Indonesia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, sudah

    seharusnya pemerintah Indonesia menjamin kepastian dan ketersediaan produk

    halal yang beredar.

    Kepastian tersebut dapat diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan

    cara memberikan sertifikat terhadap berbagai macam produk halal, dengan cara

    inilah masyarakat dapat membedakan mana produk halal dan mana produk

    haram dengan pasti. Pemerintah telah membuat peraturan yang mengatur

    tentang kehalalan produk, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri

    Agama Nomor 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985

    tentang “Pencantuman Tulisan “halal” pada Label Makanan”. Didalamnya

    ditegaskan pengertian makanan halal yang mencakup semua jenis makanan

    yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang / haram atau yang

    diolah / diproses menurut hukum agama Islam. Selain itu, Undang-Undang

    Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, menyatakan bahwa pencantuman kata atau

    tanda halal (label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang

    diproduksi dan diproses harus sesuai persyaratan makanan halal. Berdasarkan

    peraturan-peraturan tersebut, jelas bahwa pemerintah wajib menyediakan

    produk halal.

    Namun, ada peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya.

    Hal ini dapat dibuktikan dengan Peraturan Pemerintahnya sendiri mengenai

    pencantuman label halal yang bertentangan dengan UU tentang Pangan, dalam

  • 3

    UU Pangan bersifat wajib, sementara dalam Peraturan Pemerintahnya bersifat

    sukarela. Selain itu, ketidakharmonisan dapat terlihat dari masing-masing

    instansi yang berwenang merasa lebih berhak untuk menangani sertifikasi

    halal.3

    Pemerintah sebagai pihak yang menetapkan kebijakan memiliki peranan

    penting dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di suatu negara.

    Terutama di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu

    memiliki kekhawatiran jika mengonsumsi produk pangan dan produk pakai

    yang tidak terjamin kehalalannya. Dalam hal ini pemerintah sudah

    mengeluarkan beberapa peraturan terkait sertifikat halal untuk menjamin

    kehalalan suatu produk. Peraturan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor

    33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Undang-Undang ini sebagai

    penyempurna dari peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur tentang

    sertifikat halal.

    Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk

    Halal atau bisa disingkat UU JPH, telah mewajibkan untuk semua produk yang

    masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat

    halal yang tercantum dalam Pasal 4 UU JPH. Dan ketentuan akan kewajiban

    bersertifikat halal ini berlaku 5 (lima) tahun sejak diundangkannya UU JPH.

    Dengan begitu kewajiban ini akan berlaku pada bulan Oktober tahun 2019

    nanti. Selain itu UU JPH juga mengamanatkan pembentukan Badan

    Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) guna melaksanakan

    penyelenggaraan jaminan produk halal yang berkedudukan di bawah dan

    bertanggung jawab kepada Menteri.

    Dalam melaksanakan suatu peraturan maka penting adanya ditetapkan

    peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, seperti Peraturan

    Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain. Namun, UU JPH ini sejak

    diundangkannya hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang

    diterbitkan. Padahal pada Pasal 65 UU JPH disebutkan bahwa peraturan

    3 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.

    Pertama), h., 24-28.

  • 4

    pelaksana dari UU JPH ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung

    sejak UU JPH diundangkan. Seharusnya saat ini paling tidak sudah ada

    peraturan pemerintahnya sebagai peraturan pelaksana dari UU JPH ini. Jika

    peraturan pemerintahnya saja belum ditetapkan, maka peraturan-peraturan

    pelaksana di bawahnya pun belum bisa dikeluarkan.

    Selain itu, aturan mengenai pembentukan BPJPH juga paling lambat 3

    (tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Dan tepat 3 (tiga) tahun UU

    JPH diundangkan, BPJPH ini didirikan yaitu pada tahun 2017. Terlambatnya

    peraturan pelaksana ditetapkan, begitu juga dengan pembentukan BPJPH,

    memperlambat rencana yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam

    menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia secara optimal.

    Sejak awal diundangkan hingga saat ini, UU JPH belum dapat terlaksana

    dengan baik. Mengingat peraturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah,

    belum dikeluarkan hingga saat ini. Tanpa peraturan pelaksana suatu Undang-

    Undang tidak akan bisa dijalankan, sehingga dapat menghambat tujuan dari

    Undang-Undang itu dibuat. Ditambah lembaga yang berwenang untuk

    pengurusan sertifikasi halal, yaitu BPJPH, terlambat untuk didirikan. Hal ini

    menyebabkan persiapan dari BPJPH belum matang untuk mengurus proses

    sertifikasi halal. Padahal seharusnya badan ini sudah berjalan dengan efektif

    pada tahun 2019.

    Di Malaysia pelaksanaan dari sertifikasi halal sudah berkembang pesat,

    mulai dari segi peraturan-peraturan, infrastruktur, hingga sistem pendaftaran

    sertifikat halal yang berbasis internet. Pencapaian tersebut tidak serta merta

    didapatkan dengan mudah, perlu adanya sinergi antara lembaga-lembaga

    terkait dan dukungan penuh oleh pemerintah. Sehingga mewujudkan

    pelaksanaan sertifikasi halal yang optimal.

    Sedangkan di Indonesia peraturan pelaksana dari UU JPH sendiri baru

    diterbitkan 3 Mei 2019. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pelaksanakan

    sertifikasi halal oleh BPJPH. Oleh karenanya dapat disimpulkan perhatian dari

    pemerintah Indonesia mengenai sertifikasi halal masih kurang. Padahal

    sertifikasi halal ini sangat penting untuk melindungi hak-hak konsumen

  • 5

    muslim dalam mengonsumsi produk-produk yang beredar di Indonesia. Selain

    itu sertifikat halal juga bisa menjadi nilai tambah bagi pelaku usaha dalam

    memperdagangkan produknya.

    Beberapa permasalah tersebut merupakan hal yang menjadi penghambat

    bagi pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia. Padahal sertifikasi halal sendiri

    sangat penting bagi kenyamanan dan keamanan masyarakat untuk

    mengonsumsi suatu produk. Agar dapat memberikan kepastian produk halal

    kepada masyarakat, maka diperlukan juga aturan yang jelas dan dapat

    dilaksanakan. Jika peraturan pelaksananya saja belum pasti, maka Undang-

    Undang tidak akan berjalan dengan optimal.

    Untuk mewujudkan pelaksanaan sertifikasi halal yang menyeluruh

    diperlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, para pelaku

    usaha juga harus memiliki kesadaran untuk melaksanakan kewajiban sertifikasi

    halal. Serta masyarakat juga harus berperan aktif dalam penyelenggaraan

    sertifikasi halal ini. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk membahas tentang

    “PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN

    PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA

    DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK

    HALAL”

    B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat

    beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan sertifikasi

    halal pasca diundangkannya Undang-Undang jaminan produk halal,

    sebagai berikut:

    a. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi halal?

    b. Apa saja peraturan yang mengatur tentang sertifikasi halal?

    c. Apa saja lembaga yang terkait dengan BPJPH dalam menjamin

    produk halal di Indonesia?

    d. Bagaimana proses pembuatan sertifikat halal?

  • 6

    e. Bagaimana kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha?

    f. Bagaimana pelaksanaan sertifikasi halal pasca diundangkannya

    Undang-Undang Jaminan Produk Halal?

    g. Bagaimana peranan pemerintah dalam menyelenggarakan jaminan

    produk halal di Indonesia?

    h. Bagaimana kesiapan lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses

    sertifikasi halal pasca diundangkannya Undang-Undang Jaminan

    Produk Halal?

    2. Pembatasan Masalah

    Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

    Penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas agar lebih fokus pada

    masalah yang akan diteliti oleh Penulis. Dari segi waktu, Penulis akan

    membatasi pasca diterbitkanya Undang-Undang Jaminan Produk Halal

    yaitu pada tahun 2014. Dari segi materi, Penulis hanya akan membahas

    mengenai pelaksanaan sertifikasi halal, lebih tepatnya mengenai kesiapan

    BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal serta kendala-

    kendala yang menghambat penyelenggaraan jaminan produk halal di

    Indonesia.

    3. Perumusan Masalah

    Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah

    dibahas sebelumnya, berikut adalah rumusan masalah yang akan diteliti

    oleh Penulis:

    a. Bagaimana kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan

    produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk

    Halal?

    b. Apa yang menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan

    jaminan produk halal?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

    penelitian ini adalah:

  • 7

    1. Untuk menganalisis kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan

    produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal.

    2. Untuk menganalisis kendala-kendala yang menghambat dalam

    menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.

    D. Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

    berbagai hal baik yang bersifat praktis maupun teoritis, antara lain yaitu:

    1. Manfaat Teoritis

    Pembahasan yang ada dalam skripsi ini, diharapkan bisa menambah

    pemahaman dan pengetahuan kepada semua pihak, yang bergerak di

    bidang hukum maupun bidang lainnya yang sesuai dengan tema bahasan

    penelitian, seperti pemerintah dan lembaga instansi terkait.

    2. Manfaat Praktis

    a. Bagi Regulator dan Praktisi

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang

    bermanfaat dan referensi untuk meninjau dan mengalalisis

    pelaksanaan sertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan

    Produk Halal.

    b. Bagi Akademisi

    Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan untuk penelitian

    lebih lanjut yang berkaitan dengan tema penelitian. Sehingga

    pembahasan mengenai jaminan produk halal ini bisa lebih

    berkembang nantinya.

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Untuk menghindari kesamaan pada penelitian ini dengan penelitian

    lainnya, maka Penulis melakukan penelusuran dengan meninjau kajian-kajian

    terdahulu yang memiliki tema pembahasan serumpun dengan yang dibahas

    oleh Penulis. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:

  • 8

    Pertama, skripsi oleh M. Ade Septiawan, mahasiswa dari UIN Jakarta

    tahun 2013, dengan judul Kewenangan LPPOM-MUI dalam Penentuan

    Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

    Tentang Jaminan Produk Halal. Skripsi ini membahas tentang kewenangan

    dari LPPOM-MUI pasca berlakunya UU JPH, serta perkembangan kedepannya

    mengenai sertifikasi halal di Indonesia. Pada skripsi ini terdapat persamaan

    dengan yang akan dibahas Penulis yaitu mengenai kewenangan atas suatu

    lembaga dalam hal pelaksanaan sertifikasi halal, serta meninjau berdasarkan

    UU JPH. Namun terdapat perbedaan juga dengan bahasan Penulis, yaitu dalam

    hal lembaga yang dibahas LPPOM-MUI, serta perkembangan dari pelaksanaan

    sertifikasi halal sendiri di Indonesia kedepannya seperti akan apa. Sedangkan

    yang akan dibahas Penulis adalah pelaksanaan dari sertifikasi halal saat ini.

    Kedua, skripsi oleh Syamsudin Syamsudin, mahasiswa dari Universitas

    Islam Negeri Gunung Djati Bandung tahun 2017, dengan judul Pelaksanaan

    Sertifikasi Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang

    Jaminan Produk Halal Ditinjau dari Siyasah Dusturiyah. Skripsi ini

    membahas tentang pelaksanaan Undang-Undang jaminan produk halal ditinjau

    dari siyasah dusturiyah, prosedur pengajuan sertifikasi halal dan kewenangnan

    MUI dalam pembuatan sertifikat halal sebelum dan sesudah diterbitkannya

    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

    Ketiga, skripsi oleh Panca Basuki Rahmat, mahasiswa dari Universitas

    Brawijaya Malang tahun 2018, dengan judul Pelaksanaan Pasal 4 Undang-

    Undang Nomor 33 Tahu 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Terkait Depot

    Air Minum Isi Ulang yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal (Studi Empiris di

    Dinas Kesehatan, MUI, dan Depot Air Minum Isi Ulang di Kota Malang).

    Skripsi ini membahas tentang hambatan-hambatan bagi pelaku usaha DAM isi

    ulang untuk memiliki sertifikat halal, serta hambatan dan upaya yang dilakukan

    MUI Kota Malang dalam pelaksanaan pasal 4 Undang-Undang JPH terkait

    DAM isi ulang yang tidak memiliki sertifikat halal.

    Keempat, jurnal oleh Syafrida, dari Universitas Tama Jagakarsa, dengan

    judul Sertifikat Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi

  • 9

    Perlindungan dan Kepastian Hukum Hak-hak Konsumen Muslim. Jurnal ini

    membahas tentang proses pemberian sertifikat halal atau prosedur dari

    sertifikasi halal, serta manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat

    khususnya konsumen muslim melalui sertifikat halal yang ditetapkan pada

    produk-produk. Persamaan dengan Penulis, dalam jurnal ini menjelaskan

    tentang pelaksanaan sertifikasi halal dalam hal prosedur sertifikasi halal.

    Sedangkan perbedaannya adalah pada jurnal ini tidak membahas mengenai

    kendala yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam

    mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.

    Kelima, jurnal oleh Nidya Waras Sayekti pada tahun 2014, dari P3DI

    Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, dengan judul Jaminan Produk Halal

    Dalam Persprektif Kelembagaan. Jurnal ini membahas tentang sistem

    Jaminan Produk halal yang telah berjalan selama ini di Indonesia, kelembagaan

    dalam pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesuai dengan Undang-

    Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta potensi permasalahan dalam

    implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Dalam hal ini,

    persamaan dengan Penulis, yaitu membahas pelaksanaan Jaminan Produk

    Halal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

    Perbedaannya adalah jurnal ini tidak membahas mengenai kendala dalam

    persiapan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal oleh Badan Jaminan Produk

    Halal.

    Keenam, jurnal oleh Meta Suryani, dari Universitas Samudra, tahun

    2019, dengan judul Pergeseran Kewenangan MUI dalam Memberikan

    Jaminan Produk Halal Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun

    2014. Jurnal ini membahas tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum

    lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta pergeseran kewenangan

    MUI dalam memberikan Jaminan Produk Halal pasca lahirnya Undang-

    Undang Nomor 33 Tahun 2014. Persamaan dengan Penulis, yaitu penulis juga

    membahas mengenai pergeseran kewenangan MUI dalam hal sertifikasi halal.

    Sedangkan, perbedaaannya adalah dalam jurnal ini tidak membahas mengenai

    pelaksanaan Jaminan Produk Halal saat ini atau setelah Undang-Undang

  • 10

    Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan, serta kendala yang harus dihadapi BPJPH

    dalam mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.

    Persamaan antara skripsi-skripsi sebelumnya dengan penelitian yang

    sedang diteliti Penulis adalah pembahasan mengenai pelaksanaan sertifikasi

    halal menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal.

    Perbedaannya adalah pada penelitian ini lebih membahas secara khusus

    tentang kesiapan dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses pembuatan

    sertifikat halal serta secara umum pelaksanaan sertifikasi halal pasca

    diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan kendala-kendala

    yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.

    F. Kerangka Konseptual

  • 11

    G. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

    undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan ini

    dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang

    bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari

    telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang

    dihadapi.4

    Dalam penelitian ini isu hukum yang akan diteliti adalah

    pelaksanaan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH),

    khususnya pada sertifikasi halal. Dengan begitu, Penulis akan menelaah

    Undang-Undang yang berkaitan dengan sertifikasi halal.

    2. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif-

    Empiris. Normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti

    bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum

    normatif atau penelitian hukum kepustakaan.5

    Menurut Ronny Hanitijo yang dikutip dalam buku dualisme

    penelitian hukum normatif dan empiris, penelitian hukum normatif yaitu

    penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang

    diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Dan penelitian empiris yaitu

    penelitian yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang

    diperoleh langsung dari masyarakat.6

    Oleh karena itu, dalam penelitian ini data yang akan diperoleh oleh

    Penulis berdasarkan bahan pustaka dan hasil wawancara dengan lembaga

    yang terkait dengan proses sertifikasi halal.

    4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet.

    Keempat), h., 93. 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta:

    PT RajaGrafindo Persada, 2011, Cet. Ketigabelas), h., 14. 6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Ketiga), h., 154.

  • 12

    3. Bahan Hukum

    Berdasarkan jenis penelitian normatif-empiris ini, maka data atau

    bahan-bahan hukum yang diperlukan berupa data primer dan data

    sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil

    penelitian kepada masyarakat atau data yang bisa diperoleh langsung dari

    sumber utamanya. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh

    dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai

    literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

    penelitian.7

    Dalam hal ini data primer yang akan digunakan Penulis yaitu berupa

    hasil wawancara dengan lembaga terkait yang menyelenggarakan jaminan

    produk halal. Sedangkan, data sekunder yang akan digunakan Penulis

    yaitu:

    a. Bahan Hukum Primer (Bahan-bahan hukum yang mengikat) antara

    lain, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

    Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

    Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014

    Tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69

    Tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun

    2015 Tentang Kementerian Agama.

    b. Bahan Hukum Sekunder (Memberikan penjelasan dari bahan hukum

    primer) berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok

    masalah dalam Penulisan skripsi ini, baik berupa buku, makalah,

    jurnal penelitian, artikel, berita internet, surat kabar ataupun pendapat

    para ahli.

    c. Bahan Hukum Tersier (Bahan yang memberikan petunjuk maupun

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti

    kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

    7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 156.

  • 13

    4. Prosedur Pengumpulan Data

    Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

    adalah dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan

    hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan

    atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut

    dilakukan dalam membaca, melihat, mendengarkan, maupun dengan

    melalui media internet.8

    Selain itu, Penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk

    memperoleh data. Wawancara yang dimaksud melakukan tanya jawab

    secara langsung antara Penulis dengan responden atau narasumber atau

    informan untuk mendapatkan informasi.9 Dalam hal ini, Penulis

    melakukan wawancara dengan lembaga yang terkait dengan

    penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia yaitu Badan

    Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

    5. Analisis Data

    Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode analisis data

    yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sifat

    analisis deskriptif maksudnya adalah, bahwa Penulis dalam menganalisis

    berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek

    dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.10

    Sedangkan, kualitatif adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang

    mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun

    tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha

    menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah

    diperoleh.11 Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil

    penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang

    8 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 160. 9 Ibid, h., 161. 10 Ibid, h., 183. 11 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif

    dalam Berbagai Disiplin Ilmu), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, Cet. Ketiga), h., 13.

  • 14

    dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang

    nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.12

    H. Rancangan Sistematika Penulisan

    Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

    Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017

    dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing Bab terdiri

    atas beberapa sub Bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang ditulis

    dalam skripsi ini. Adapun perinciannya, yaitu:

    BAB I Pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang masalah,

    identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

    tinjauan (review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode

    penelitian, sistematika penulisan.

    BAB II Pada bab ini menjelaskan mengenai pelaksanaan sertifikasi halal,

    yang di dalamnya berisi tentang penjelasan sertifikasi halal, proses pembuatan

    sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, peran masing-masing lembaga yang

    berwenang dalam proses pembuatan sertifikat halal, aturan-aturan yang

    mengatur sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, kesiapan dari masing-

    masing lembaga yang terlibat dalam pembuatan sertifikasi halal.

    BAB III Pada Bab ini menjelaskan mengenai lembaga Badan

    Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Yang di dalamnya berisi

    sejarah berdirinya BPJPH, tujuan dan manfaat berdirinya BPJPH, prosedur

    memperoleh sertifikat halal, tugas dan wewenang dari BPJPH.

    BAB IV Pada Bab ini menjelaskan tentang analisis kesiapan dari BPJPH

    dalam menyelenggarakan jaminan produk halal dan analisis kendala-kendala

    yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal

    di Indonesia.

    BAB V Pada Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan

    rekomendasi.

    12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 192.

  • 15

    BAB II

    KAJIAN TEORI HALAL

    A. Pengertian Halal

    Makanan yang bersertifikat halal dapat menjadi penting di negara mana

    pun, khususnya di negara yang bermayoritas muslim. Masyarakat muslim akan

    tertolong karena dengan mudah ia dapat memilih makanan-makanan yang baik

    yang seharusnya ia konsumsi sesuai syariat Islam.

    Melihat pentingnya makanan bersertifikat halal bagi seorang muslim itu

    menunjukkan adanya sebuah kepedulian yang besar. Masyarakat muslim

    memiliki hak yang sama untuk mendapatkan makanan yang halal sebagaimana

    ia memiliki hak untuk hidup.1 Dan ini merupakan kewajiban dari pemerintah

    untuk menyediakan makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya bagi

    masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan cara memberikan

    sertifikat halal bagi produk-produk yang memang terjamin kehalalannya, mulai

    dari bahan-bahannya, proses pengolahan, hingga alat-alat dan cara yang

    digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.

    Pemerintah sendiri saat ini sudah memulai untuk menyelenggarakan

    jaminan produk halal di Indonesia, untuk memahami penjelasan selanjutnya

    perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sertifikat halal.

    Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu sertifikasi dan halal. kata

    “sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “Certificate” yang mempunyai tiga arti

    yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah. Kata “certificate” kemudian

    diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sertifikat” yang merupakan kata

    benda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa

    sertifikat itu berarti tanda atau surat keterangan atau pernyataan tertulis atau

    tercetak yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan

    sebagai bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau

    proses menjadikan sertifikat.

    1 Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at), (Jakarta: Departemen Agama RI,

    2007), h., 198.

  • 16

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Halal” adalah diizinkan atau

    tidak dilarang oleh syarak.2 Dalam hal ini halal berarti segala sesuatu yang

    diperbolehkan oleh agama.

    Sedangkan, “haram” adalah terlarang (oleh agama Islam); tidak halal;

    terlarang oleh Undang-Undang; tidak sah.3 Dengan kata lain “haram” adalah

    larangan atau hal yang tidak diizinkan untuk kita melakukan atau

    mengonsumsinya yang ditentukan oleh Allah swt agar menghindarkan kita dari

    kesengsaraan. Tidak hanya dalam agama Islam istilah “haram” ini juga

    ditujukan untuk segala hal yang dilarang oleh aturan-aturan yang ditetapkan

    pemerintah.

    Menurut KH. Ma’ruf Amin dalam bukunya yang berjudul Fatwa Dalam

    Sistem Hukum Islam, “halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak

    mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan “haram” adalah sesuatu

    yang oleh Allah swt dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang-

    orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat.4

    Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum

    halal dan haram. Menurut Ibn Manzhur, halal itu berasal dari kata “al-hillu”

    yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang

    kafir yang boleh diperangi karena tidak terikat perjanjian damai dengan kita.

    Lafazh halal merupakan lawan dari kata “haram”. Sedangkan lafazh “haram”

    itu pada asalnya berarti mencegah atau merintangi. Oleh karena itu, setiap yang

    diharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang.

    Selanjutnya. Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala

    sesuatu yang diharamkan Allah swt. Atas dasar itu, al-Munawi memberikan

    definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”. Maka di dalamnya

    terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang tidak dimakruhkan atau

    diperbolehkan. Definisi ini masih kabur karena belum memberikan batasan

    yang jelas dan spesifik.

    2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. 3 Ibid. 4 KH. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008, Cet. Pertama), h., 319.

  • 17

    Al-Jurnani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika

    digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Definisi ini mulai mencoba

    menghubungkan substansi yang terdapat cakupan halal dengan efek atau

    pengaruh dalam perbuatan mukallaf. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah

    “tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Pengaruh tersebut sebenarnya dapat

    timbul dari dua kategori perbuatan yaitu makruh dan mubah. Oleh karena itu,

    definisi ini juga masih kabur.Menurut Qal’aji dan Qunaibi, lafazh halal itu

    berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh

    karena itu, pengertian halal identik dengan “mubah” yang terdapat dalam

    ahkam al-khamsah. Atas dasar itu, maka wajar apabila al-Qardhawi secara

    eksplisit mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang

    diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar’i untuk

    dikerjakan”.

    Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardhawi tersebut terdapat

    dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat atau ‘ain.

    Dengan demikian secara substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah.

    Kedua, “yang diizinkan oleh Syar’i untuk dikerjakan” berkaitan dengan

    perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan. Oleh karena itu, cakupan

    “mengerjakan” ini sangat luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan

    dalam upaya memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.5

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat keterangan halal

    (fatwa halal) atas suatu produk baik pangan maupun pakai yang dibuat secara

    tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.

    Maka sebagai hasilnya adalah sertifikat halal yang dapat dijadikan bukti

    bagi perusahaan untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada

    kemasan produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini

    yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).6

    5 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h., 13. 6 Ibid, h., 14.

  • 18

    Menurut LPPOM MUI, Sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis

    Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai

    dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk

    mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi

    pemerintah yang berwenang.

    Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan

    produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan,

    sehingga dapat meneteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya.

    Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara

    menerapkan Sistem Jaminan Halal.7

    B. Pelaksanaan Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang

    Jaminan Produk Halal

    1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH

    Sebelum terbentuknya BPJPH lembaga yang berwenang untuk

    menyelenggarakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

    Kewenangan MUI untuk melakukan sertifikasi halal dapat dilihat dari

    ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut diberikan

    sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap kiprah MUI dalam

    melakukan kegiatan sertifikasi halal selama ini. Dalam Peraturan

    Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

    disebutkan bahwa pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh

    Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga

    keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Dalam

    penjelasannya disebutkan bahwa lembaga keagamaan dimaksud adalah

    Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, MUI diakui sebagai

    lembaga keagamaan yang berkompeten dalam memutuskan kehalalan

    7 Sertifikasi Halal MUI,

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1, 1 April 2019.

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1

  • 19

    pangan. Maka, fatwanya yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu Fatwa

    Halal diakui oleh pemerintah.

    Pemberian kewenangan tersebut sebenarnya sudah lama diberikan

    oleh pemerintah. Hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI

    Nomor 924/MenKes/SK/VIII/1996 tentang “Perubahan atas Keputusan

    Menteri Kesehatan RI Nomor 82/MenKes/SK/I/1996 tentang

    “Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan”. Dalam pasal 10

    ditegaskan pengakuan terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan

    sekaligus pemberian wewenang kepada MUI untuk melakukan sertifikasi

    halal. Di dalamnya disebutkan bahwa hasil pemeriksaan dan hasil

    pengujian laboratorium dievaluasi lebih lanjut oleh Tim Ahli MUI

    (Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan Kosmetika-MUI). Selanjutnya,

    hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama

    Indonesia untuk memperoleh fatwa dalam bentuk Sertifikat Halal bagi

    yang memenuhi syarat.

    Selanjutnya, dalam pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa labelisasi

    halal itu hanya dapat dilakukan berdasarkan pada Sertifikasi Halal yang

    dikeluarkan oleh MUI. Di dalamnya disebutkan bahwa labelisasi halal

    diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

    Berdasarkan fatwa tersebut Direktur Jenderal memberikan persetujuan

    labelisasi halal bagi yang memperoleh Sertifikat Halal dan penolakan bagi

    yang tidak memperoleh Sertifikat Halal.

    Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut

    jelaslah bahwa MUI diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan

    sertifikasi halal di negara Indonesia. Dengan perkataan lain, MUI berfungsi

    juga sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.

    Sementara itu, secara doktriner, MUI sebagai organisasi

    perkumpulan ulama juga berwenang melakukan sertifikasi halal. Sebab,

    menurut ajaran Islam, ulama menjadi tumpuan bertanya umat tentang

    berbagai persoalan keagamaan karena mereka dinilai sebagai pihak yang

    paling berkompeten dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan. Atas

  • 20

    dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka lahirlah produk baru dalam

    pemikiran hukum Islam yaitu fatwa ulama. Hal ini terjadi karena secara

    doktriner ulama merupakan ahl al-dzikr yang menjadi tumpuan umat untuk

    bertanya menanyakan berbagai persoalan keagamaan. Dengan perkataan

    lain, ulama menjadi mufti yang menjadi tumpuan para mustafti

    sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah swt dalam al-Anbiya [21]: 7.

    Tugas sebagai mufti bukanlah tugas yang ringan, melainkan berat

    dan sulit karena kelak di akhirat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah

    swt. Hal ini mengingatkan tujuan dan tugas tersebut adalah menjelaskan

    hukum-hukum Allah swt kepada masyarakat yang akan mempedomani dan

    mengamalkannya.8

    a. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Pusat

    Karena struktur MUI terdapat dari pusat sampai ke daerah-daerah

    maka diperlukan pembagian wilayah kerja dalam kegiatan sertifikasi

    tersebut. Hal ini dilakukan agar kewenangan yang merupakan amanah

    tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tidak

    menimbulkan kesimpangsiuran yang akan berdampak buruk terhadap

    citra dan kinerja MUI.

    Pembagian wilayah kerja antara MUI Pusat dan MUI Daerah

    dilakukan berdasarkan kewenangan masing-masing dalam menetapkan

    fatwa. Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI Bab VI

    tentang Kewenangan dan Wilayah Fatwa dijelaskan bahwa MUI Pusat

    berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan

    yang dihadapi umat Islam yang bersifat nasional dan masalah-masalah

    keagamaan yang pada awalnya lokal tetapi kemudian dapat meluas ke

    daerah lain. Sementara itu, MUI daerah berwenang menetapkan fatwa

    mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal dan

    kedaerahan. Hal ini berlaku untuk semua jenis fatwa termasuk juga

    Fatwa Halal untuk produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.

    8 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 44.

  • 21

    Fatwa yang dihasilkan mempunyai kedudukan yang sederajat

    sehingga tidak dapat saling membatalkan. Begitu juga dalam Fatwa

    Halal yang selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal oleh MUI

    Daerah.

    Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut, maka MUI Pusat

    berwenang untuk memproses permohonan sertifikasi halal dari

    perusahaan-perusahaan berskala nasional dan multinasional. Ada tiga

    kriteria yang dibuat oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu

    termasuk perusahaan nasional atau multinasional, yaitu:

    1) Perusahaan yang kantor pusatnya terdapat di suatu daerah dan

    memiliki cabang di daerah lain atau merupakan cabang dari suatu

    perusahaan yang berada di luar negeri;

    2) Perusahaan yang produknya dipasarkan secara meluas ke daerah

    lain atau untuk keperluan ekspor;

    3) Restoran atau rumah makan yang menganut sistem waralaba.

    Demikian juga perusahaan-perusahaan luar negeri yang bergerak

    di bidang ekspor dan impor.

    Kegiatan auditnya dilakukan oleh LPPOM-MUI pusat yang

    berkantor di Gedung Majelis Ulama Indonesia Jakarta Pusat dan Global

    Halal Center Building Bogor. Di samping itu, perusahaan luar negeri

    tersebut dapat juga mengajukan auditnya kepada lembaga-lembaga

    sertifikasi di mancanegara yang telah diakui keberadaannya oleh

    LPPOM-MUI.9

    b. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Daerah

    Produsen yang usahanya berskala lokal cukup mengajukan

    sertifikat halalnya kepada MUI Daerah. Ada tiga kriteria yang dibuat

    oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu termasuk

    perusahaan lokal, yaitu:

    1) Perusahaan Pemotongan Hewan (RPH) yang berada di daerah;

    9 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 45.

  • 22

    2) Perusahaan yang domisili dan kantornya hanya berada di suatu

    daerah, tidak memiliki cabang di daerah lain atau bukan merupakan

    cabang dari suatu perusahaan yang berada di daerah lain;

    3) Restoran atau rumah makan yang hanya berada di suatu daerah dan

    tidak menggunakan sistem waralaba.

    Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan untuk

    memberikan ketenangan batin bagi umat Islam di berbagai daerah di

    seluruh Indonesia terhadap kehalalan produk makanan yang

    dikonsumsi. Di samping itu, dimaksudkan juga untuk memberi

    kemudahan bagi industri rumah tangga dari segi waktu dan biaya untuk

    mendapatkan sertifikat halal dengan biaya yang terjangkau.

    Kewenangan melakukan sertifikasi halal tersebut diberikan

    kepada MUI Daerah yang sudah mempunyai tenaga ahli sebagai

    pendukungnya dari LPPOM MUI Daerah tersebut. Pembentukan

    LPPOM MUI Daerah dilakukan oleh MUI Daerah Tingkat I dan bisa

    juga dibentuk oleh LPPOM MUI Pusat berdasarkan rekomendasi dari

    MUI Daerah Tingkat I. Pembentukan LPPOM MUI Daerah baru dapat

    dilakukan apabila terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

    1) Tersedianya tenaga ahli (S-1, S-2, dan S-3) di bidang pangan, kimia

    atau biokimia, teknik industri, pertanian, syariah dan administrasi

    yang bertindak sebagai auditor.

    2) Tenaga ahli tersebut memiliki wawasan Islami yang luas dan selalu

    mendahulukan kepentingan umat dari kepentingan pribadi.

    3) Tersedianya laboratorium pengujian milik sendiri atau bekerjasama

    dengan pihak lain.

    Untuk memenuhi persyaratan tersebut mau tidak mau MUI

    Daerah harus menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam hal ini

    adalah Perguruan Tinggi yang mempunyai tenaga ahli sesuai

    kualifikasi yang dibutuhkan oleh laboratorium yang memadai

    sebagaimana yang telah dilakukan MUI Pusat yang telah melakukan

    kerjasama dengan IPB. Di samping itu, pembentukannya juga harus

  • 23

    mendapat dukungan dari instansi-instansi lain yang terkait yang

    nantinya menjadi mitra kerja LPPOM MUI Daerah seperti Kanwil

    Depkes, Balai POM atau Balai Besar POM dan Kanwil Depag.

    LPPOM MUI Daerah baik yang berada di tingkat provinsi

    maupun kabupaten/kota mempunyai tugas melakukan pemeriksaan

    (audit) atas produk perusahaan lokal berdasarkan pedoman auditing

    yang berlaku di lingkungan LPPOM MUI secara nasional. Hasil audit

    tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI Daerah

    untuk dibahas secara seksama sampai diputuskan Fatwa Halalnya yang

    selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal. Di samping itu, LPPOM

    MUI Daerah juga bersama-sama LPPOM MUI Pusat melakukan audit

    terhadap produk terhadap produk nasional dan internasional yang

    lokasi pabriknya terletak di daerah tersebut.

    LPPOM MUI Daerah juga bertugas melakukan pembinaan.

    Pembinaan dilakukan terhadap perusahaan yang terkait dengan produk

    pangan seperti internal auditor perusahaan yang telah memperoleh

    Sertifikat Halal di daerah masing-masing dan RPH yang berada di

    daerah. Di samping itu, LPPOM MUI Daerah juga melakukan advokasi

    dan edukasi kepada masyarakat luas dengan cara menyebarluaskan

    informasi kepada masyarakat di daerahya tentang: perlunya

    mengonsumsi pangan halal, tatacara pemeriksaan pangan halal dan

    ketentuan-ketentuan lainnya. Yang terakhir ini perlu ditingkatkan

    pelaksanaannya agar informasi tentang kehalalan pangan yang meliputi

    berbagai aspek dapat tersosialisasikan dengan baik di tengah-tengah

    masyarakat.10

    c. Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis

    Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

    Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari

    Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif

    10 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 49.

  • 24

    dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1989.

    LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan

    pemeriksaaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM

    MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996

    ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen

    Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.

    Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan

    Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519

    Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal

    serta melakukan pemeriksanaa/audit, penetapan fatwa, dan

    menerbitkna sertifikat halal.

    Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI

    melakukan kerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan

    (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian,

    Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan,

    Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

    Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan

    Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor

    (IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda,

    UIN, Universitas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin

    Indonesia Makassar.

    Sedangkan kerjasama dengan lembaga telah terjalin dengan

    Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur

    Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus

    dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam

    pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di

    Indonesia.

    Kini, dalam usianya yang ke-30 tahun, LPPOM MUI menjadi

    Lembaga Sertifikasi Halal Pertama dan Terpercaya di Indonesia serta

    semakin menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal

    yang kredibel, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada

  • 25

    Tahun 2017 dan 2018 LPPOM MUI memperoleh Sertifikat Akreditasi

    SNI ISO / IEC 17025 : 2008 untuk Laboratorium Halal dan SNI ISO /

    IEC 17065 : 2012 dan DPLS 21 untuk Lembaga Sertifikasi Halal dari

    Komite Akeditasi Nasional (KAN). Standar ini tidak hanya diakui di

    Indonesia, namun juga diakui oleh Badan Akreditasi Uni Emirat Arab

    atau ESMA.

    Pada Januari 2019 LPPOM MUI, bekerja sama dengan berbagai

    pihak, telah membangun dan meresmikan laboratorium halal di dua

    lokasi, yakni di kawasan Industry Modern Cikande, Banten, dan di

    kawasan Deltamas, Cikarang, Jawa Barat. Laboratorium halal tersebut

    diharapkan semakin meningkatkan layanan LPPOM MUI kepada

    kalangan industri yang memerlukan jasa laboratorium.

    Sistem sertifikasi dan sistem jaminan halal yang dirancang serta

    diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui bahkan juga

    diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini

    mencapai 45 lembaga dari 26 negara.

    LPPOM MUI memiliki visi yaitu menjadi lembaga sertifikasi

    halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan

    ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang

    memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara

    nasional dan internasional. Sedangkan, untun misinya yaitu sebagai

    berikut:

    1) Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit

    halal.

    2) Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang

    beredar dan dikonsumsi masyarakat.

    3) Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat

    untuk senantiasa mengkomsumsi produk halal.

  • 26

    4) Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dan berbagai

    aspek.11

    2. Dasar Hukum

    Sebelum ada atau berlakunya Undang-Undang tentang Jaminan

    Produk Halal, sertifikasi halal memiliki beberapa peraturan perundang-

    undangan yang terkait, seperti Undang-Undang tentang Pangan dan

    Undang-Undang tentang Kesehatan. Berikut adalah peraturan perundang-

    undangan yang menjadi landasan hukum dari sertifikasi halal sebelum

    adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

    Halal, yaitu:

    a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

    b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

    c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen

    d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

    Pangan

    e. Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991

    f. Keputusan Menteri yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

    82/Menkes/SK/I/1996 jo Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

    924/Menkes/SK/VIII/1996, Surat Keputusan Menteri Pertanian RI

    Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 jo. Surat Keputusan Menteri

    Pertanian Nomor 306/Kpts/TN.330/4/1994, Surat Keputusan Menteri

    Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989, Keputusan Bersama

    Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor

    427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985, Peraturan

    Menteri Kesehatan RI Nomor 76/Menkes/Per/III/78, dan Peraturan

    Menteri Kesehatan RI Nomor 280/Menkes/Per/XII/76.12

    11 Tentang LPPOM MUI,

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 , 1 April 2019. 12 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 27.

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1

  • 27

    Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

    menyinggung secara sepintas persoalan halal. Pasal 21 ayat 2 Undang-

    Undang tersebut menyatakan bahwa label itu berisi bahan yang dipakai,

    komposisi setiap bahan, tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa dan

    ketentuan lainnya. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang

    dimaksud “ketentuan lainnya” adalah pencantuman kata atau tanda halal

    (label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud

    diproduksi dan diproses sesuai persyaratan makanan halal.13

    Dengan kata lain, pasal 21 ayat 2 Undang-Undang tentang kesehatan

    itu menyatakan bahwa pencantuman kata atau tanda halal pada label

    menjadi keharusan. Karena masyarakat, khusunya masyarakat muslim

    akan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengonsumsi obat-obatan

    yang sudah memiliki label halal.

    Kemudian pada tahun 1996 lahirlah Undang-Undang Nomor 7

    Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalamnya disebutkan antara lain bahwa

    keterangan tentang halal merupakan bagian integral dari label, tetapi di

    dalam penjelasannya hal tersebut terkesan seperti “dianulir” kembali.

    Dengan demikian, labelisasi halal yang tadinya “wajib” menjadi tidak

    wajib atau bersifa suka rela. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam

    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang “Label dan Iklan

    Pangan” yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pangan.

    Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 dinyatakan, “pencantuman tulisan halal

    pada dasarnya bersifat sukarela”.

    Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996

    Pasal 58 disertakan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan halal.

    Sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau

    denda paling banyak Rp360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah).

    Sanksi tersebut dikenakan kepada siapa saja yang memberikan pernyataan

    13 Ibid, h., 24.

  • 28

    atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label sebagaimana

    dimaksud dalam pasal 34 ayat 1.

    Di samping denda dan sanksi hukum kurungan tersebut terdapat juga

    sanksi administratif sebagaimana ditetapkan oleh PP Nomor 69 Tahun

    1999. Adapun sanksi administratif tersebut meliputi: a) peringatan secara

    tertulis; b) larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan satu perintah

    untuk menarik produk pangan dari peredaran; c) pemusnahan pangan jika

    terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d) penghentian

    produk untuk sementara waktu; e) pengenaan denda paling tinggi

    Rp50.000.000,- dan f) pencabutan izin produksi atau izin usaha.

    Selanjutnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

    (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) diatur juga persoalan halal yang

    senada dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut

    berkaitan erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen.

    Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

    dalam mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi

    yang benar, jelas dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.

    Bersamaan dengan itu, produsen berkewajiban untuk mempunyai

    iktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memberikan

    informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk pangan yang

    dihasilkannya. Di samping itu, pada Pasal 8 Undang-Undang tersebut

    produsen juga dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan produk

    pangan yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal

    sebagaimana pernyataan halal yang telah dicantumkannya dalam label.

    Apabila melanggar ketentuan tersebut, ia akan dikenai hukuman penjara

    maksimal 5 (lima) tahun dan atau denda maksimal Rp2.000.000.000,- (dua

    miliar rupiah).14

    Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara garis besar

    menyatakan, bahwa pencantuman kata atau label halal tidak diwajibkan,

    14 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk

    Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 26.

  • 29

    namun jika produsen sudah mencantumkan label halal maka hal tersebut

    harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Karena apabila

    melanggar, produsen dapat dikenakan sanksi pidana.

    Secara keseluruhan berdasarkan peraturan perundang-undangan

    yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum

    berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, ketentuan mengenai

    pencantuman label halal bersifat suka rela atau tidak diwajibkan.

    3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal

    Dalam proses memperoleh sertifikasi halal, Penulis membagi

    menjadi tiga tahapan, yaitu sebelum pembuatan sertifikat halal, proses

    pembuatan sertifikat halal dan setelah pembuatan sertifikat halal. Sebelum

    pembuatan sertifikat halal, produsen harus memenuhi beberapa persyaratan

    dan formulir yang harus diisi, serta menyertakan dokumen-dokumen untuk

    kepentingan sertifikat halal.

    Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM

    MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong

    Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran

    sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. berikut ini

    adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses

    sertifikasi halal:15

    1. Memahami

    persyaratan

    sertifikasi

    halal dan

    mengikuti

    pelatihan SJH

    Perusahaan harus memahami persyaratan

    sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS (Halal

    Assurance System) 23000. Selain itu, perusahaan

    juga harus mengikuti pelatihan SJH yang diadakan

    LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler

    maupun pelatihan online (e-training).

    2. Menerapkan

    Sistem

    Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum

    melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara

    lain: penetapan kebijakan halal, penetapan Tim

    15 Prosedur Sertifikasi Halal,

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1, 10 Januari 2019.

    http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1

  • 30

    Jaminan Halal

    (SJH)

    Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH,

    pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait

    SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji ulang

    manajemen.

    3. Menyiapkan

    dokumen

    sertifikasi

    halal

    Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang

    diperlukan untuk sertifikasi halal, antara lain:

    daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan,

    daftar penyembelihan (khusus RPH), matriks

    produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar

    alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi

    kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti

    audit internal.

    4. Melakukan

    pendaftaran

    sertifikasi

    halal (upload

    data)

    Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara

    online di sistem CEROL melalui website www.e-

    lppommui.org . Perusahaan harus membaca user

    manual CEROL terlebih dahulu untuk memahami

    prosedur sertifikasi halal yang dapat di unduh di

    website LPPOM MUI. Perusahaan harus

    melakukan upload data sertifikasi sampai selesai,

    baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.

    5. Melakukan

    monitoring pre

    audit dan

    pembayaran

    akad sertifikasi

    Setelah melakukan upload data sertifikasi,

    perusahaan harus melakukan monitoring pre audit

    dan pembayaran akad sertifikasi. Monitoring pre

    audit disarankan dilakukan setiap hari untuk

    mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre

    audit. Pembayaran akad sertifikasi dilakukan

    dengan mengunduh akad di CEROL, membayar

    biaya akad dan menandatangani akad, untuk

    kemudian melakukan pembayaran di CEROL dan

    http://www.e-lppommui.org/http://www.e-lppommui.org/

  • 31

    disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI melalui

    email ke: [email protected] .

    6. Pelaksanaan

    audit

    Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah

    lolos pre audit dan akad sudah disetujui. Audit

    dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan

    dengan produk yang disertifikasi.

    7. Melakukan

    monitoring

    pasca audit

    Setelah melakukan upload data sertifikasi,

    perusahaan harus melakukan monitoring pasca

    audit. Monitoring pasca audit disarankan dilakukan

    setiap hari untuk mengetahui adanya

    ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat

    ketidaksesuaian agar dilakukan perbaikan.

    8. Memperoleh

    sertifikat halal

    Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat Halal

    dalam bentuk softcopy di CEROL. Sertifikat halal

    yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI

    Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat

    perusahaan. Sertifikat halal berlaku selama dua

    tahun.

    a. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal (pengawasan, perpanjang

    sertifikasi halal, sanksi)

    Setelah perusahaan mendapatkan sertifikat halal, perusahaan

    memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan ke LPPOM MUI

    apabila terjadi perubahan terkait bahan, produk, fasilitas maupun sistem

    jaminan halal untuk menjamin bahwa perusahaan menerapkan proses

    produksi halal selama memiliki sertifikat halal masih berlaku,

    diantaranya:

    1) Meminta persetujuan penggunaan bahan baku baru yang akan

    digunakan untuk produk yang disertifikasi halal (termasuk bahan

    mailto:[email protected]

  • 32

    yang sama dari produsen yang berbeda) melalui CEROL SS-23000

    (menu: Inquiry Material Approval).

    2) Melaporkan secara berkala hasil audit internal terkait penerapan

    SJH setiap 6 (enam) bulan sekali melalui CEROL SS-23000

    (menu: Regular Report).

    3) Memperbaharui data pada bahan baku yang sudah terdaftar melalui

    CEROL SS-23000 (menu: Registered Materials).

    4) Memperbaharui data personel apabila terjadi perubahan personel

    di perusahaan (menu: Edit Customer).

    5) Mengganti password secara berkala untuk menjaga kerahasiaan

    data perusahaan (menu: Change Password).16

    Setelah memperoleh sertifikat halal masih ada beberapa

    ketentuan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan harus

    memonitoring produk yang sudah diberikan sertifikat halal tersebut

    secara berkala, baik secara internal perusahaan maupun eksternal yang

    dilakukan oleh LPPOM MUI. Jika ada penambahan atau perubahan

    baik bahan baku maupun bahan tambahan harus segera dilaporkan ke

    LPPOM MUI. Hal ini bertujuan untuk menjamin kehalalan dari produk

    tersebut tetap terjaga dan tidak tercampur dengan bahan-bahan yang

    haram. Selain itu perlu dilakukan beberapa hal yang berkaitan dengan

    pasca diterbitkannya sertifikat halal, antara lain:

    1) Pengawasan Sertifikasi Halal

    Adapun sistem pengawasan adalah sebagai berikut: Pertama,

    Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim

    Sidak LPPOM MUI. Kedua, Perusahaan berkewajiban

    menyerahkan laporan audit internal setiap 6 (enam) bulan setelah

    terbitnya Sertifikat Halal.17

    Setelah memperoleh Sertifikat Halal, perusahaan harus

    mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi

    16 LPPOM-MUI, Sistem Pelayanan Sertifikasi Halal Online (CEROL-SS23000), 2017, h., 64. 17 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.

  • 33

    sistem produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut

    haruslah berasal dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari

    bagian yang terkait dengan proses produksi, seperti bagian QA/QC

    (Quality Assurance/Quality Control), R&D (Research and

    Development), Purchasing, Produksi dan Pergudangan. Di

    samping itu, ia juga harus beragama Islam dan taat dalam

    mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari itu, ia juga memahami betul

    titik kritis keharaman produk secara keseluruhan baik ditinjau dari

    bahan yang digunakan maupun pada proses produksinya. Oleh

    karena itu, ia harus memiliki bekal pengetahuan keislaman yang

    memadai terutama dalam masalah kehalalan pangan.

    Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal.

    Hal ini memerlukan tekad dan komitmen serta dukungan dari

    perusahan untuk merealisasikannya. Di samping itu, ketersedian

    SDM yang qualified juga tidak kalah pentingnya. Sebab, menurut

    Aisyah Girindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan

    SDM sangat mempengaruhi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal

    terutama pada perusahaan kecil dan perusahaan internasional.

    Ternyata, pengawasan yang dilakukan secara internal ini

    cukup efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah

    memperoleh sertifikat halal. kemudian perusahaan tersebut

    merubah proses produksi dengan menggunakan bactosoyton yang

    dicurigai berasal dari pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi

    terlebih dahulu dengan pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI

    membatalkan sertifikat halal yang telah dikeluarkannya dan

    mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap produk Ajinomoto yang

    menggunakan bactosoyton dalam proses produksinya. Adanya

    perubahan proses produksi tersebut diketahui MUI berdasarkan

    laporan dari Auditor Internal Halal perusahaan Ajinomoto.

    Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangani

    perjanjian untuk menerima Tim Sidak (inspeksi mendadak)

  • 34

    LPPOM MUI yang akan melakukan inspeksi mendadak bila

    diperlukan. Juga, perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan

    audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal.

    Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI

    dilakukan secara berlapis. Selain melalui laporan rutin yang

    disampaikan oleh auditor halal perusahaan, juga melalui sidak yang

    dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan.

    Di samping itu, pengawasan juga dilakukan oleh Pemerintah

    dan konsumen. Pengawasan oleh Pemerintah dilakukan oleh Badan

    Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan yang

    dilakukan oleh Badan POM dapat dilakukan melalui: 1) pengaturan

    dan standarisasi; 2) evaluasi mutu dan keamanan produk pangan

    sebelum diizinkan beredar di masyarakat (skim registerasi); 3)

    pembinaan dan penyuluhan; 4) sampling dan pengujian

    laboratorium; 5) pemeriksanaan sarana produksi dan distribusi; 6)

    penyidikan kasus khusus; dan 7) publik warning yang ditujukan

    kepada masyarakat luas.

    Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum

    berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk peraturan-

    peraturan dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan

    label halal. Kemudian dilanjutkan dengan cara memberikan

    pembinaan dan penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam

    rangka sosialisasi. Kedua jenis pengawasan ini dilakukan dalam

    rangka pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran.

    Di samping itu, pengawasan juga dapat dilakukan melalui

    skim registerasi. Pengawasan ini dilakukan pada saat berproduksi.

    Pengawasan melalui skim ini cukup efektif dengan sanksi yang

    konkrit apabila terjadi pelanggaran. Sebab, semua produk pangan

    sebelum diizinkan beredar di Negara kita terlebih dahulu harus

    terdaftar pada Badan POM. Dalam proses registerasi tersebut

    dilakukan evaluasi atas mutu, keamanan dan kemanfaatannya.

  • 35

    Untuk produk pangan olahan yang menggunakan gelatin,

    emulsifier, shortening dan stabilieser, produsen harus melampirkan

    dokumen-dokumen yang menunjukkan asal Bahan Tambahan

    Pangan (BTP) tersebut apakah berasal dari tumbuh-tumbuhan

    (nabati) atau hewan (hewani). Apabila BTP tersebut berasal dari

    hewan, maka harus disebutkan asal hewan tersebut. Bila berasal

    dari babi, maka produsen tersebut harus mencantumkan logo atau

    keterangan “MENGANDUNG BABI” pada labelnya.

    Di samping itu, obat-obatan dalam bentuk kapsul yang

    berasal dari impor harus menyertakan certificate of analysis yang

    menyatakan bahwa kapsul tersebut berasal dari sapi. Sementara itu,

    untuk kapsul produksi dalam negeri harus berasal dari sapi. Lebih

    dari itu, gelatin yang diimpor dari luar negeri harus dilengkapi

    dengan Sertifikat Halal dari Islamic Center negara yang

    bersangkutan.

    Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi.

    Pengawasan pasca produksi dapat dilakukan apabila terjadi

    pelanggaran dengan melakukan penyidikan kasus. Hal tersebut

    dapat dilakukan melalui pengambilan sampling dan pengujian

    laboratorium atau bahkan pemeriksaan sarana produksi dan

    distribusi sesuai dengan kasus pelanggaran yang terjadi. Hasilnya

    kemudian disampaikan kepada masyarakat sebagai public warning

    dan advokasi. Di samping dapat diproses ke pengadilan bila

    menyangkut unsur pidana.

    2) Perpanjangan Sertifikasi Halal

    Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, kecuali untuk

    daging impor sertifikasi halal hanya berlaku untuk setiap kali

    pengapalan. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya

    sertifikat, LPPOM MUI akan mengirim surat pemberitahuan

    kepada produsen yang bersangkutan. Satu bulan sebelum berakhir

    masa berlakunya sertifikat, produsen harus mendaftar kembali

  • 36

    untuk mendapat sertifikat tahun berikutnya. Produsen yang tidak

    memperbaharui sertifikat halal, maka untuk itu produsen tidak

    diizinkan lagi untuk menggunakan label halal berdasarkan

    sertifikat yang tidak berlaku dan akan diumumkan di berita berkala

    LPPOM MUI. Pada saat berakhir masa berlakunya sertifikat,

    produsen harus segera mengembalikan sertifikat halal yang

    dipegangnya kepada LPPOM MUI.18

    Beberapa ketentuan masa berlaku sertifikat produk halal

    adalah sebagai berikut: Pertama, Sertifikat Halal hanya berlaku

    selama dua tahun. Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap

    pengapalan. Kedua, tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya

    sertifikat, LPPOM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan

    kepada produsen yang bersangkutan. Ketiga, dua bulan sebelum

    berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali

    untuk Sertifikat Halal yang baru. Keempat, produsen yang tidak

    memperbarui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan lagi

    menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang

    terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal. Kelima,

    jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya

    ke LPPOM MUI. Keenam, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh

    MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal

    diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib

    menyerahkannya. Ketujuh, keputusan MUI yang didasarkan atas

    fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.

    Untuk prosedur perpanjangan sertifikat halal ditentukan

    prosedur sebagai berikut: Pertama, produsen yang bermaksud

    memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi

    formulir pendaftaran yang telah tersedia. Kedua, pengisian

    formulir disesuaikan dengan pengembangan terakhir produk.

    18 Sekretaris LPPOM MUI Jawa Tengah, dalam presentasi tentang “Pedoman Sertifikasi Halal”, h., 12.

  • 37

    Ketiga, perubahan bahan baku, bahan tambahan dan bahan

    penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus

    diinformasikan kepada LPPOM MUI. Keempat, Produsen

    berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi,

    sertifikat halal dan bagan alir proses.19

    3) Sanksi Bagi Pelaku Usaha Pasca Pembuatan Sertifikat Halal

    Pada dasarnya sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan

    Produk Halal, sertifikasi halal masih bersifat volunter atau

    sukarela, sehingga tidak adanya keharusan bagi pelaku usaha untuk

    mendaftarkan produknya memperoleh sertifikat halal. kecuali jika

    pelaku usaha tersebut menyebutkan bahwa produk yang

    dikeluarkannya halal, maka pelaku usaha tersebut harus

    mencantum kan label halal pada produknya. Dengan cara

    mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal dari

    LPPOM MUI. Setelah pelaku usaha memperoleh sertifikat halal,

    ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha

    diantaranya terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

    dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

    Tentang Label dan Iklan Pangan.

    Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1999, memberikan larangan bagi pelaku usaha dalam

    memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa

    yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

    sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.20

    Jika pelaku usaha mencantumkan label halal pada produknya

    berupa barang dan/atau jasa, maka pelaku usaha berkewajiban

    untuk mengikuti ketentuan mengenai berproduksi secara halal

    yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Sebaliknya,

    19 Mashudi, Konstruksi Hukum d