seri catatan kebijakan di bidang identitas hukum, crvs, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di...

40
Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Pendidikan Catatan Kebijakan Juli 2016 Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS) i yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang dihasilkan melalui sistem CRVS memfasilitasi akses ke layanan dasar, termasuk pendidikan. Beberapa studi yang telah dilakukan, misalnya, menemukan bahwa kepemilikan akta kelahiran di beberapa daerah di Indonesia dapat dikaitkan dengan tingkat partisipasi di sekolah dan tingkat keberlanjutan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. 1 Dokumen kependudukan dan identitas hukum tidak hanya sering digunakan untuk persyaratan masuk sekolah, namun interaksinya dengan sistem sekolah di Indonesia juga membuka peluang untuk mendorong dan mendukung pencatatan kelahiran. Memo ini disusun berdasarkan berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Upload: others

Post on 13-Dec-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar

Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Pendidikan

Catatan Kebijakan Juli 2016

Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan

pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai

bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan

statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i

yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai

angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang

sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan

kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen

kependudukan dan identitas hukum yang dihasilkan melalui

sistem CRVS memfasilitasi akses ke layanan dasar, termasuk

pendidikan. Beberapa studi yang telah dilakukan, misalnya,

menemukan bahwa kepemilikan akta kelahiran di beberapa

daerah di Indonesia dapat dikaitkan dengan tingkat partisipasi

di sekolah dan tingkat keberlanjutan sekolah ke jenjang yang

lebih tinggi.1 Dokumen kependudukan dan identitas hukum

tidak hanya sering digunakan untuk persyaratan masuk sekolah,

namun interaksinya dengan sistem sekolah di Indonesia juga

membuka peluang untuk mendorong dan mendukung pencatatan

kelahiran. Memo ini disusun berdasarkan berbagai temuan dari

sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan

i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Page 2: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan2

Pembangunan Nasional/BAPPENAS yang bekerja sama dengan

PUSKAPA dan Program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan

untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai dari akhir 2015 hingga

awal 2016. Salah satu tujuan penelitian ini ialah untuk menjajaki

berbagai cara agar sektor pendidikan di Indonesia dapat turut

mewujudkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem

CRVS di Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan cara-cara

yang dapat ditempuh agar program pendidikan dapat turut andil

untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.

CRVS di Indonesia

Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang

terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan

kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih

diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.

Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian

dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun

beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam

kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak

pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan

data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting

kependudukan.

Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)

memiliki akta kelahiran,2 dan Indonesia termasuk negara dengan

jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya

tidak tercatat.3 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan

data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan

sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.4,5

Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,

banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu

melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan

layanan secara akurat.6,7

Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua

lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah

dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai

contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas

hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian

setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan

sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber

daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah bagi

bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan

perlindungan untuk anak.8 Berbagai studi di Indonesia telah

menemukan bahwa kepemilikan identitas hukum berkaitan

dengan partisipasi di sekolah dan keberlanjutan pendidikan ke

jenjang lebih tinggi.1

Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen

memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan

Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses pada

layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan, pendidikan,

perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan sipil dan

identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan di

Indonesia.9 Sebagai bagian dari rencana ini, Presiden menargetkan

sebanyak 85 persen anak sudah memiliki akta kelahiran di tahun

2019. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah telah menerbitkan

beberapa peraturan yang menyederhanakan prosedur pencatatan

Page 3: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 3

kelahiran, memfasilitasi upaya penjangkauan masyarakat

terpencil, dan mendorong upaya kerjasama antarkementerian

untuk memperbaiki pencatatan kematian. Kementerian Dalam

Negeri telah melakukan penguatan yang menjanjikan dalam

modernisasi basis data kependudukan Indonesia melalui sistem

informasi administrasi kependudukan (SIAK) yang saat ini sudah

dalam versi kelima. Meskipun demikian, berbagai inisiatif ini

kerap belum terkoordinasi dengan baik, dan dalam konteks

desentralisasi, implementasi secara baku di berbagai daerah

terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat ini, masih belum

ada rencana nasional yang memerinci strategi pemerintah untuk

mengintegrasikan pencatatan sipil dalam satu sistem yang

menyeluruh dan yang mampu menyediakan dokumen yang tepat

serta menghasilkan statistik hayati yang akurat, sinambung,

sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai sektor pemerintahan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang

berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk

bekerja sama untuk mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap

dan dapat diandalkan. Sekolah dan sektor pendidikan secara

umum berpeluang memainkan peran yang penting dalam

memperkuat sistem CRVS Indonesia, khususnya berkaitan

dengan pencatatan kelahiran bagi anak usia sekolah yang

berusia antara empat sampai dengan 17 tahun.

Meskipun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.

20/2003) tidak mengindikasikan bahwa dokumen identitas hukum,

seperti akta kelahiran, dibutuhkan dalam pendaftaran sekolah,

pimpinan daerah memiliki kewenangan untuk menerbitkan

peraturan daerah mereka sendiri, yang mewajibkan kepemilikan

akta kelahiran untuk mendaftar masuk sekolah, dan kepala

sekolah juga dapat membuat kebijakan serupa di tingkat sekolah.1

Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan

agar sekolah menggunakan akta kelahiran sebagai acuan utama

identitas anak dalam menerbitkan ijazah kelulusan, sebagaimana

dinyatakan dalam petunjuk teknis terbaru tentang penulisan ijazah

(tahun ajaran 2014/2015).10 Sebagai pengganti akta kelahiran,

sekolah diarahkan untuk meminta dokumen resmi lainnya, yang

kadang termasuk kartu keluarga dan surat keterangan lahir.

Pada praktiknya, meskipun beberapa sekolah secara aktif

mensyaratkan adanya akta kelahiran untuk pendaftaran siswa, baik

atas dasar kebijakan kabupaten maupun kebijakan sekolah, namun

sebagian besar sekolah masih menerima kartu keluarga jika anak

tersebut tidak memiliki akta kelahiran. Sebagian lagi sekolah tetap

menerima siswa yang kelahirannya masih belum tercatat, namun

siswa tersebut tidak diizinkan mengikuti lomba ekstrakurikuler

di tingkat kabupaten atau provinsi.11 Alih-alih memberi ganjaran

bagi siswa yang tidak memiliki akta kelahiran, beberapa kota

mulai memberi insentif bagi kepemilikan akta kelahiran dengan

memberikan kelebihan-kelebihan tertentu. Di Surakarta, misalnya,

orangtua anak yang memiliki akta kelahiran berhak atas kartu

insentif anak yang bisa digunakan untuk membeli barang dan

jasa yang berkaitan dengan pendidikan dengan potongan harga.12

Daerah lain juga mulai menggunakan sekolah dalam upaya

penjangkauan layanan, seperti menggunakan sekolah sebagai titik

pencatatan saat pelaksanaan layanan terpadu keliling.12

Bagian administrasi sekolah umumnya menggunakan dokumen

identitas anak untuk membuat profil siswa di dalam data pokok

pendidikan (Dapodik) yang merupakan acuan utama dalam

Page 4: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan4

pengalokasian anggaran sekolah dan bantuan yang berbasis

kebutuhan sekolah. Saat ini Dapodik merekam nomor induk

kependudukan (NIK) siswa, namun belum mampu melacak

kepemilikan akta kelahiran. Hal ini dapat dijadikan peluang

berharga untuk menemukenali siswa-siswa yang masih belum

tercatat kelahirannya dan merujuk mereka ke penyedia layanan

pencatatan sipil.

Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya

Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang

telah dipublikasikan, kami menemukan bahwa kebanyakan

negara-negara tersebut masih bergelut dengan sistem CRVS

yang kurang berkembang. Pun begitu dalam beberapa tahun

terakhir terlihat banyak pemerintah menjajaki strategi inovatif

untuk memperkuat sistem CRVS yang mereka miliki. Sebagian

di antaranya sudah bekerja sama dengan sektor pendidikan

untuk meningkatkan pencatatan sipil di kalangan penduduk

usia sekolah, khususnya yang berkaitan dengan akta kelahiran.

Antara tahun 2007 dan 2008, misalnya, UNICEF bermitra dengan

Kementerian Pendidikan di dua belas negara untuk memasukkan

kampanye pencatatan kelahiran di sekolah, termasuk di negara-

negara seperti Timor-Leste, Papua Nugini, dan Filipina.12

Di beberapa negara, persyaratan kepemilikan akta kelahiran untuk

pendaftaran sekolah, atau untuk berbagai kegiatan sekolah lainnya,

dianggap sebagai satu pendekatan untuk memberikan insentif bagi

pencatatan kelahiran. Di Kenya, misalnya, berdasarkan kebijakan

nasional di sana, seorang anak harus menunjukkan akta kelahiran

sebagai syarat mengikuti ujian nasional. Namun, dengan tingkat

pencatatan yang rendah yang hanya mencapai 60 persen,

kebijakan ini mengakibatkan sekelompok besar anak muda

secara de facto terhalang kesempatannya untuk melanjutkan

pendidikan mereka. Dalam kondisi cakupan pencatatan jauh lebih

tinggi sekalipun seperti di Vietnam (95 persen), kebijakan yang

mensyaratkan adanya akta kelahiran untuk masuk ke pendidikan

prasekolah dan sekolah dasar masih berisiko menyisihkan anak-

anak dari kelompok yang paling terpinggirkan dari layanan

pendidikan, yang nantinya akan menciptakan rantai kerentanan.13

Untuk menghindari hal tersebut, Filipina mengambil pendekatan

unik dalam kebijakan pendaftaran masuk sekolah. Sekolah-sekolah

negeri masih meminta akta kelahiran saat pendaftaran, namun

karena cakupan kepemilikan akta kelahiran masih rendah, sekolah

tidak menolak anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran.

Pegawai sekolah justru mulai memberi informasi dan dorongan

bagi orang tua murid mengenai prosedur pencatatan kelahiran

dan menunda pemberlakuan syarat akta kelahiran sampai dengan

kelulusan. Mekanisme ini telah menjadi komponen penting bagi

upaya penguatan CRVS di Filipina.14

Kolaborasi antara sektor yang terkait juga menjadi langkah penting

untuk meningkatkan CRVS di beberapa negara. Dalam kasus

Ghana, saat masa pendaftaran siswa, banyak sekolah di berbagai

wilayah secara aktif menemukenali siswa yang masih belum

tercatat dan kemudian merujuk orang tua untuk mendatangi

pejabat pencatatan sipil. Meski demikian, sistem ini bergantung

pada kemauan pejabat pencatatan sipil daerah, yang banyak di

antaranya tidak secara aktif menindaklanjuti rujukan dari sekolah,

dan hanya menunggu sampai orang tua murid menghubungi

mereka. Salah satu dari sekian faktor yang menyebabkan sifat

pasif ini adalah karena Kementerian Pendidikan tidak memiliki

mandat resmi untuk mendukung pelaksanaan pencatatan

kelahiran, dan tidak memiliki kesepakatan bersama dengan

Kantor Pusat Catatan Sipil.15

Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016

Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas

hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah

secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat

menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang

mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian

nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen

kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak

konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki

akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,

atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak

memiliki akta perkawinan.

Meskipun petugas sekolah dan anggota masyarakat di ketiga provinsi mengemukakan bahwa akta kelahiran merupakan syarat mendaftar sekolah, kebijakan tersebut tidak diterapkan secara tegas di kecamatan mana pun yang termasuk dalam studi ini, dan anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran tetap dapat diterima bersekolah dengan menggunakan dokumen alternatif, seperti kartu keluarga. Sebagian pegawai pemerintahan meyakini bahwa syarat

adanya akta kelahiran untuk pendaftaran sekolah merupakan cara

penting untuk menciptakan nilai penting atas akta kelahiran di

Page 5: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 5

bertindak lebih jauh, yaitu menyediakan formulir pendaftaran

yang dibutuhkan, menawarkan untuk membantu mengisi

ataupun mengirimkan formulir tersebut mewakili orang tua

murid, atau gabungan dari bantuan tersebut. Staf sekolah dasar

juga dilaporkan memfasilitasi pencatatan kelahiran. Akan tetapi,

kebanyakan tenaga pendidik dan bagian administrasi sekolah

meyakini bahwa pencatatan sipil berada di luar lingkup tanggung

jawab mereka, dan banyak yang menyatakan bahwa mereka

tidak memiliki sumber daya untuk turut memperkuat pencatatan

sipil, atau tidak mau melangkahi mandat Kementerian Dalam

Negeri. Secara keseluruhan, penyedia layanan di semua lokasi

penelitian, termasuk tenaga pendidik, hanya berkontribusi kurang

dari lima persen bagi pencatatan kelahiran yang terjadi dalam

sampel.

Meskipun kebanyakan sekolah meminta akta kelahiran saat masa pendaftaran masuk sekolah (walaupun tidak mewajibkannya), sekolah tidak secara sistematis mencatat status kepemilikan akta calon siswa, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga tidak mengharapkan data tersebut. Sebagian besar sekolah yang

dikunjungi di tiga kabupaten sudah memiliki Dapodik, yang

mendorong bagian administrasi sekolah untuk mencatat NIK

siswa. Secara teori, ini memungkinkan data siswa dicocokkan

dengan data SIAK, termasuk status pencatatan kelahiran.

Sebagian kecil pegawai dinas pendidikan menganggap bahwa

Dapodik seharusnya bisa digunakan untuk mengidentifikasi anak-

masyarakat. Sementara itu petugas lainnya beranggapan bahwa

yang lebih penting adalah siswa dapat bersekolah, terlepas dari

status catatan sipil mereka. Meski demikian, terdapat hubungan

erat antara capaian pendidikan dengan kepemilikan akta kelahiran.

Orang dewasa yang pernah duduk di sekolah dasar atau sekolah

menengah pertama memiliki kemungkinan dua kali lebih besar

memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan mereka yang

tidak pernah bersekolah, dan mereka yang pernah mengenyam

pendidikan SMA atau pendidikan tinggi memiliki kemungkinan

empat kali lebih besar memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan

mereka yang tidak pernah bersekolah. Anak-anak usia sekolah

yang saat penelitian ini dilakukan tengah mengenyam bangku

sekolah memiliki kemungkinan dua kali lebih besar memiliki akta

kelahiran dibandingkan dengan mereka yang tidak bersekolah.

Meskipun sektor pendidikan tidak memiliki hubungan formal dengan Disdukcapil di ketiga wilayah tersebut, dan tidak berperan resmi dalam memfasilitasi pencatatan kelahiran, beberapa petugas sekolah kadang membantu orang tua murid mengurus pencatatan kelahiran anak-anak mereka. Satu dari lima ibu yang anaknya lulus dari

pendidikan anak usia dini (PAUD) melaporkan bahwa mereka

telah menerima informasi atau bantuan untuk mencatatkan

kelahiran anak mereka dari pengurus PAUD. Yang biasa terjadi

adalah pengajar PAUD menjelaskan pentingnya pencatatan

kelahiran, atau menyampaikan berbagai informasi lain bagi orang

tua. Pada lebih dari seperempat kejadian, tenaga pengajar juga

Page 6: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan6

anak yang memerlukan layanan identitas hukum. Seorang guru

sekolah dasar yang kami temui sudah membuat buku catatan

manual yang berisi nama siswa yang diterima masuk sekolah

tanpa akta kelahiran.

Informan lain dari sektor pendidikan menyatakan adanya kebutuhan akan data kelahiran yang lebih baik secara umum. Satu informan menjelaskan bahwa data yang andal

mengenai populasi usia sekolah dapat membantu sekolah dan

dinas pendidikan untuk merencanakan dan mengalokasikan

sumber daya secara lebih efektif. Hal ini akan berkontribusi pada

pemenuhan standar pelayanan minimum, serta memastikan

agar layanan pendidikan memang menjangkau seluruh anak usia

sekolah, sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang.

Rekomendasi

Mengingat layanan identitas hukum saat ini masih belum dapat diakses oleh sebagian besar penduduk, sekolah sebaiknya tidak menetapkan akta kelahiran sebagai syarat wajib untuk pendaftaran sekolah, kecuali bila dibarengi dengan usaha sekolah untuk menemukenali kebutuhan/permintaan akan identitas hukum serta memfasilitasi akses untuk mendapat layanan identitas hukum. Penerapan syarat akta kelahiran secara kaku sebagai syarat pendaftaran sekolah mengingkari hak dasar anak atas pendidikan, dan karena anak yang tidak tercatat cenderung berasal dari keluarga berpendapatan rendah, hal tersebut berisiko memperburuk kesenjangan sosial.

• Kabupaten/kotaatausekolahyangmensyaratkankepemilikan

akta kelahiran untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan

sekolah, seperti ujian, lomba ekstrakurikuler, atau kelulusan,

sebaiknya menawarkan sesi informasi bagi orang tua anak-

anak yang kelahirannya masih belum dicatatkan dengan cara

yang mudah diterima dan peka budaya.

• Sekolah setidaknya dilengkapi dengan materi-materi baku

yang menjelaskan prosedur pencatatan kelahiran, dan materi

ini dibagikan kepada orang tua siswa yang anaknya masih

belum tercatat.

• SekolahhendaknyabekerjasamadenganDisdukcapiluntuk

membentuk jalur rujukan yang dapat menghubungkan

orang tua secara langsung dengan pihak yang berwenang

melakukan pencatatan. Jalur rujukan ini harus dibuat

sedemikian rupa agar informasi yang ada dapat disampaikan

tanpa membuat siswa atau orang tua merasa malu, tersudut,

atau mendapat perlakuan buruk lainnya.

Selain mencatat NIK, sekolah hendaknya secara sistematis mencatat status kepemilikan akta kelahiran untuk seluruh siswa mereka dalam Dapodik, dan sebaiknya menggunakan data tersebut sebagai basis untuk menemukenali kebutuhan layanan identitas hukum dan memantau perkembangannya.

• Dapodik harus diselaraskan dengan SIAK agar Disdukcapil

dapat merencanakan kegiatan penjangkuan dengan

menggunakan sistem sekolah. Dengan data yang ada,

Dapodik sudah dapat menghasilkan statistik mengenai

cakupan NIK di kalangan siswa berdasarkan sekolah atau

berdasarkan kecamatan, sebagai indikasi atas ketiadaan

akses kepada layanan identitas hukum. Hal ini akan

memungkinkan Disdukcapil untuk menargetkan area-area

yang cakupannya masih rendah dengan melakukan layanan

keliling dan terpadu, serta kemungkinan menggunakan

sekolah sebagai titik lokasi pencatatan.

• Sekolah tanpa Dapodik aktif hendaknya diberikan formulir

pencatatan manual yang turut mencakup kolom isian untuk

NIK dan status pencatatan kelahiran, dan data ini hendaknya

dilaporkan bersama-sama dengan mekanisme pelaporan

rutin lainnya ke Dinas Pendidikan.

Page 7: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan 7

Untuk meningkatkan efektivitas dua hal di atas, Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Dalam Negeri hendaknya mempertimbangkan menjalin kerja sama resmi untuk mengatasi kesenjangan cakupan kepemilikan akta kelahiran di Indonesia yang masih terus terjadi. Dukungan bagi koordinasi ini bisa dalam bentuk:

• Prosedurpengagihandata secara rutindijalankandi setiap

kabupaten. UPT Pendidikan bisa diberi mandat untuk mela-

porkan data bulanan mengenai anak-anak yang tidak memi-

liki NIK dan akta kelahiran untuk masing-masing sekolah di

wilayah mereka, yang kadang-kadang mencakup beberapa

kecamatan. Pelaporan ini kemudian hendaknya ditindak-

lanjut i lewat kerjasama dengan Disdukcapil untuk memper-

siapkan layanan terpadu keliling di sekolah. Sekolah juga bisa

berkontribusi dalam kampanye peningkatan kesadaran warga

dan sosialisasi informasi.

• KementerianDalamNegeri hendaknya berkolaborasi dengan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembang-

kan prosedur standar pelaksanaan (SOP) untuk pelaksana an

layanan terpadu keliling di sekolah.

• KementerianDalamNegeridanKementerianPendidikandan

Kebudayaan hendaknya menyusun paket informasi yang

mudah diakses mengenai pencatatan kelahiran, dan mungkin

juga mengenai pencatatan peristiwa kehidupan lainnya, untuk

disebarkan dan disampaikan kepada orang tua oleh guru dan

bagian administrasi sekolah secara berkala dalam tiap kegiatan

rapat orang tua murid dan guru (misalnya, saat pendaftaran

masuk sekolah, pembagian rapor, dan sebagainya).

Materi Rujukan

1 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing

millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,

Indonesia: DFAT.

2 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].

3 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s

birth right: Inequities and trends in birth registration. New

York: UNICEF.

4 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,

Pangaribuan, L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central

Java: Results from the Indonesian mortality registration

system strengthening project. BMC research notes, 3(1),

325.

5 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,

newborn and child health: Understanding key progress

indicators. Geneva: WHO Document Production Services.

6 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as

appropriate for health mapping in a low resource setting:

A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.

7 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat

Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

8 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,

legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.

9 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan

Presiden No 2 Tahun 2015.

10 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015). Petunjuk

Teknis Penulisan Ijazah Tahun Pelajaran 2014/2015

No.2380/H/TU/2015

11 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing

discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.

12 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth

registration into health systems (2000–2009): Case

studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New

York, UNICEF.

13 Apland, Kara and others (2014). Birth registration and

children’s rights: A complex story. Surrey, United Kingdom:

Plan International, Coram Children’s Legal Centre, and the

International Observatory on Statelessness.

Page 8: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

5

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]

Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)

Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,

Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182

www.puskapa.org

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Pendidikan8

14 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and

vital statistics case study and indicative investment plan

2015–2019. Draft for consultation at CRVS technical consultation meeting, Addis Ababa, 28–29 April, 2014. A

CRVS project sponsored by Canadian DFATD and World

Bank.

Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Penulis:

Wenny Wandasari, Bahrul Fuad, Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.

Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan

daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih

berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten

Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan

pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.

Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap

pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai

upaya validasi atas temuan yang diperoleh.

Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222

responden.

Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.

15 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy

coordination the case of birth registration in Ghana. Office of Research Working Paper, UNICEF.

Page 9: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar

Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Kesehatan

Catatan Kebijakan Juli 2016

Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan

pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai

bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan

statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i

yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai

angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang

sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan

kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi

terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi

kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami

desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan

tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia

memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup tidak hanya

perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga

dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan

berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi

Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai

dari akhir 2015 hingga awal 2016. Penelitian ini bertujuan untuk

i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Page 10: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan2

menjajaki berbagai cara agar sektor kesehatan di Indonesia dapat

turut mewujudkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki

sistem CRVS di Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan

cara-cara yang dapat ditempuh agar program kesehatan dapat

turut andil untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.

CRVS di Indonesia

Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang

terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan

kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih

diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.

Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian

dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun

beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam

kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak

pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan

data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting

kependudukan.

Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)

memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan

jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya

tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan

data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan

sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4

Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,

banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu

melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan

layanan secara akurat.5,6

Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua

lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah

dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai

contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas

hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian

setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan

sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber

daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada

bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan

perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama

ini menemukan, bahkan setelah mengontrol faktor-faktor

seperti pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, bahwa

negara-negara yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik

cenderung memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik,

termasuk tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka

kematian ibu dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di

Indonesia sendiri telah menemukan bahwa kepemilikan identitas

hukum berkaitan dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9

dan naiknya penggunaan layanan kesehatan.10

Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen

memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan

Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses

pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,

pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, dan pencatatan

sipil dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi

kemiskinan di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana itu,

Presiden menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah

memiliki akta kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun

ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang

menyederhanakan prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi

upaya penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya

kerjasama antarkementerian untuk memperbaiki pencatatan

kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan

yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan

Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan

(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,

berbagai inisiatif itu kerap belum terkoordinasi dengan baik,

dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku

di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat

ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi

pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam

satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan

dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang

akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai

sektor pemerintahan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang

berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk

bekerja sama mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap, dan

dapat diandalkan. Jika kelahiran dan kematian merupakan

peristiwa hayat kependudukan, maka sistem kesehatan perlu

dijadikan komponen inti dalam penguatan CRVS. Dokter, bidan,

perawat, kader fasilitas kesehatan di tingkat desa, penyuluh KB,

dan profesi kesehatan lainnya, serta dukun bayi, memiliki posisi

unik untuk mendokumentasikan peristiwa penting kehidupan,

yang sekaligus memberikan informasi dan bantuan bagi keluarga

yang mereka layani mengenai layanan pencatatan sipil. Sebagai

Page 11: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 3

pihak yang bertanggung jawab atas statistik penyebab kematian

di tingkat nasional, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki

kepentingan khusus dalam memperoleh data kesuburan dan

kematian yang lengkap, bermutu, dan sewaktu, yang penting

untuk menafsirkan penyebab kematian di tingkat populasi dan

kebutuhan layanan kesehatan di berbagai wilayah.

Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya

Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS

yang telah dipublikasikan, kami menemukan bahwa negara-

negara berkembang telah mengujicobakan beragam strategi

untuk mengintegrasikan upaya penguatan CRVS dalam sektor

kesehatan dengan berbagai level keberhasilan. Pendekatan

yang lazim ditempuh adalah menempatkan pejabat catatan

sipil di fasilitas kesehatan, seperti misalnya rumah sakit, agar

warga dapat langsung mengurus akta segera setelah terjadinya

peristiwa penting kehidupan. Meskipun pendekatan itu berhasil

mendorong kepemilikan akta kelahiran di berbagai tempat seperti

di Brasil, Afrika Selatan, dan Papua Nugini, pendekatan tersebut

mensyaratkan adanya taraf pemanfaatan fasilitas kesehatan

yang tinggi oleh penduduk, adanya penanaman upaya penguatan

secara rutin bagi para staf unit pencatatan di fasilitas kesehatan,

serta kemauan politik untuk melimpahkan wewenang pada

petugas-petugas tersebut.12 Ada beberapa kota di Indonesia yang

telah mulai mengujicobakan model ini. Di Bireun, misalnya, ketika

terbit peraturan di kabupaten yang mendorong kolaborasi antara

dinas kesehatan dengan dinas catatan sipil, tenaga kesehatan

membantu orangtua menyiapkan formulir permohonan untuk

memperoleh akta kelahiran bagi bayi mereka yang baru lahir,

dan petugas catatan sipil secara rutin mengunjungi fasilitas

kesehatan untuk mengumpulkan formulir permohonan tersebut

dan menyerahkan kembali akta yang sudah rampung.13 Di

Solo (Surakarta), naiknya cakupan kepemilikan akta kelahiran

yang terjadi belum lama ini sebagian disebabkan oleh adanya

perjanjian kerja sama formal antara kantor pencatatan sipil,

rumah sakit dan tempat persalinan, yaitu agar tenaga kesehatan

tidak hanya memberikan informasi kepada pasien mengenai

pencatatan kelahiran, tetapi juga secara langsung memasukkan

informasi kelahiran ke dalam SIAK yang telah dimodifikasi.14

Untuk menjangkau masyarakat perdesaan atau populasi yang

tidak banyak menggunakan fasilitas kesehatan, banyak negara

melibatkan penyedia layanan kesehatan setempat—seperti

bidan, dukun bayi yang telah dilatih, dan tenaga kesehatan

masyarakat—dalam upaya menjangkau warga untuk keperluan

pencatatan kelahiran secara terpadu melalui kampanye kesehatan

masyarakat. UNICEF bekerja di banyak negara dalam program

expanded program on immunization (EPI), atau perluasan program

imunisasi, yang menyelenggarakan kampanye vaksinasi massal

bagi anak secara rutin. Kampanye itu dimanfaatkan sebagai

peluang untuk melakukan pencatatan kelahiran. Di Bangladesh,

misalnya, tenaga kesehatan pada program EPI itu mengumpulkan

informasi standar terkait kelahiran selama berlangsungnya

kegiatan vaksinasi, dan menyerahkan data tersebut ke pejabat

pencatatan sipil setempat, yang kemudian akan menerbitkan

akta kelahiran.12 Petugas desa kemudian mengirimkan akta

kelahiran tersebut ke pos EPI untuk kemudian diserahkan

kepada pihak pemohon. Banyak negara, seperti misalnya Kenya

dan Ghana, sudah memanfaatkan tenaga kesehatan masyarakat

untuk memperluas pelaporan kelahiran dan kematian, kerap kali

dengan menggunakan SMS atau teknologi berbasis jaringan

internet untuk meningkatkan tidak hanya kelengkapan tetapi

juga ketepatan waktu penyampaian informasi peristiwa penting

kehidupan di tingkat masyarakat.15 Dengan turut melatih tenaga

kesehatan masyarakat untuk mencatatkan kelahiran selama

berlangsungnya kampanye rutin, sekaligus membina para

relawan yang turun ke lapangan sebagai bagian dari strategi

yang lebih besar, Ghana mampu meningkatkan pencatatan

kelahiran balita dari 44 persen menjadi 77 persen hanya dalam

lima tahun. Akan tetapi, evaluasi lanjutan terhadap sistem

pencatatan sipil di Ghana itu menunjukkan bahwa agar capaian

tersebut dapat dipertahankan, staf lapangan yang melakukan

kegiatan penjangkauan harus terus dibina dan diberi insentif

yang memadai, karena kegiatan pencatatan lazimnya bukanlah

tanggung jawab utama penyedia layanan kesehatan.16 Model itu

juga berisiko menyita waktu dan sumber daya yang semestinya

digunakan untuk memenuhi tanggung jawab utama di bidang

kesehatan, yang kerap kali sudah sangat terbatas.16 Namun

demikian, pendekatan ini terbukti efektif dalam berbagai situasi,

dan berpotensi diadaptasi untuk pencatatan kematian, seperti

yang dicoba oleh India.17

Berbeda dengan pencatatan kelahiran, pencatatan kematian

dan khususnya pencatatan penyebab kematian lazimnya

menjadi tanggung jawab sektor kesehatan. Kemenkes biasanya

memainkan peran aktif memimpin upaya memperkuat komponen

CRVS itu.18,19 Karena rumitnya metode yang digunakan untuk

menandai penyebab kematian berdasarkan international classification of disease (ICD), yaitu klasifikasi penyakit yang

berlaku di tingkat internasional, upaya ini sangat tergantung

Page 12: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan4

pada kegiatan pelatihan yang dikhususkan untuk meningkatkan

kemampuan dokter dan staf yang bertugas menetapkan kode

penyebab kematian, sebagaimana yang terjadi di Maladewa dan

Sri Lanka.20 Kajian global atas sistem CRVS menemukan bahwa

pelatihan dan kualifikasi petugas ICD memiliki skor rata-rata

terendah, khususnya di Asia dan Pasifik.20 Untuk mengatasi hal

tersebut, bahan pelatihan yang telah dibakukan dan perangkat

pengodekan ICD yang sederhana juga telah tersedia. Beberapa

negara, seperti India, telah menguji coba dengan cara melatih

tenaga kesehatan nondokter untuk melakukan otopsi verbal,

yang nantinya akan disampaikan kepada para dokter untuk

penetapan kode ICD yang sesuai.21 Di Indonesia, bidan-bidan di

kabupaten yang masuk dalam sample registration system (SRS)

telah menerapkan otopsi verbal, meskipun skala kegiatan upaya

ini masih harus ditingkatkan secara sistematis di luar SRS. Makin

banyak negara menerapkan upaya otomasi sistem klasifikasi ICD,

seperti automated classification of medical entities (ACME), yang

dapat mengurangi kebutuhan pelatihan untuk petugas ICD.19

Masih banyak negara berpendapatan rendah berurusan dengan

data yang terkotak-kotak di berbagai kementerian, namun

beberapa negara seperti Bangladesh, Iran, dan Thailand telah

mampu menghubungkan register kependudukan mereka

dengan basis data kesehatan melalui penggunaan nomor

identifikasi unik. Proses tersebut juga tengah dijalani Indonesia

saat ini. Selain diterbitkannya berbagai peraturan yang secara

formal mengukuhkan hubungan antara Kementerian Kesehatan

dan Pencatatan Sipil, strategi lain yang biasa diterapkan di

tempat-tempat seperti Fiji dan India adalah membentuk tim

koordinasi, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk

mendapat dukungan terhadap pencapaian visi bersama sembari

menghilangkan tumpang tindih dalam memantau peristiwa hayat

penting.18,22

Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016

Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas

hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah

secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat

menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang

mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian

nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen

kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut

tidak konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden

memiliki akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam

kartu keluarga mereka, atau dicatat dengan status “menikah” di

kartu keluarga mereka, tapi tidak memiliki akta perkawinan.

Tidak seperti pihak pencatatan data kependudukan yang berkedudukan hanya sampai di tingkat kabupaten/kota, penyedia layanan kesehatan primer dapat menjangkau sampai ke sebagian besar desa, dan umumnya memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat yang dilayaninya. Meskipun survei menemukan bahwa kurang dari sepertiga ibu-ibu

melahirkan anak bungsu mereka di fasilitas kesehatan, sebanyak

95 persen meminta bantuan dari penolong persalinan yang

terampil atau dari dukun bayi.ii Sebanyak 86 persen ibu-ibu telah

melakukan setidaknya satu kali pemeriksaan kehamilan (ANC)

dalam masa kehamilan mereka, dan sebanyak 84 persen anak

telah diimunisasi setidaknya satu kali. Tiap interaksi dengan sistem

kesehatan merupakan peluang untuk mencatatkan anak sejak

dini, terutama mengingat bahwa bidan memang bertanggung

jawab menerbitkan surat keterangan lahir, yang diperlukan untuk

mengajukan permohonan mendapatkan akta kelahiran.

Para penyedia layanan dasar memperantarai kurang dari lima persen akta kelahiran yang tercatat dalam sampel penelitian ini. Petugas kesehatan kebanyakan menganggap pencatatan kelahiran dan kematian tidak termasuk dalam tanggung jawab mereka, dan banyak yang menyatakan bahwa mereka kekurangan sumber daya untuk bisa memberikan bantuan layanan pencatatan, atau tidak mau melangkahi wewenang Kemendagri dan mandat Disdukcapil. Kendati demikian, rumah sakit

menyediakan informasi mengenai akta kelahiran kepada 32

persen ibu-ibu yang mereka layani yang ada dalam sampel,

bandingkan dengan bidan, Puskesmas, klinik swasta, dan klinik

Page 13: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 5

Rekomendasi

Proses pencatatan sipil hendaknya dibuat agar lebih mudah diakses masyarakat melalui layanan terpadu keliling yang menyasar titik-titik terdepan pemberian layanan kesehatan, termasuk: klinik kesehatan di tingkat desa dan di tingkat warga, Posyandu, klinik KB, rumah sakit, serta klinik swasta.

• Bidan, kader Posyandu, penyuluh KB, dan dukun bayi

hendaknya diberi pelatihan untuk (1) menemukenali peluang

bagi pencatatan kelahiran dan kematian; (2) memberi

informasi yang berguna bagi pasien dan keluarganya

mengenai keuntungan dari pencatatan kelahiran dan

kematian; dan (3) menawarkan bantuan bagi pasiennya untuk

mengurus pencatatan kelahiran dan kematian, termasuk

merujuk mereka ke pejabat yang berwenang menerbitkan

akta. Kader dan petugas kesehatan hendaknya diberikan

petunjuk yang baku mengenai pencatatan kelahiran dan

kematian di lingkup pelayanan kesehatan dasar

• Prosedur untuk memperoleh akta kelahiran dan kematian

hendaknya juga dimasukkan ke dalam bahan pelatihan

kesehatan yang dibakukan, dan bahan-bahan itu harus

tersedia bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia.

• Kemendagri perlu bekerja sama dengan sektor kesehatan

untuk menyediakan insentif bagi tenaga kesehatan primer agar

mendukung pemerolehan akta kelahiran dan akta kematian,

terutama di daerah terpencil yang tidak memungkinkan warga

bertemu dengan penyedia layanan pencatatan sipil. Di saat yang

sama, dukungan bagi pencatatan itu tidak boleh mengganggu

pelaksanaan pemberian layanan kesehatan primer. Penelitian

ini menemukan adanya kebutuhan yang mendesak untuk

menanamkan upaya yang lebih besar bagi penguatan sumber

daya manusia dan dalam menjaga terus tersedianya staf layanan

kesehatan primer yang mumpuni di daerah terpencil.

• Bilamana tenaga kesehatan mencatatkan kelahiran dan

kematian, mekanisme yang digunakan harus mendukung

keterhubungan dengan proses lain yang didasarkan pada

nomor induk kependudukan (NIK). Tujuannya agar data

kelahiran dan kematian yang diperoleh dari tenaga di sektor

kesehatan dapat dihubungkan dengan SIAK.

kesehatan di tingkat desa, yang masing-masing memberikan

informasi hanya kepada 16–22 persen ibu-ibu yang mereka

layani dalam sampel. Dukun bayi, petugas vaksinasi, dan kader

Posyandu masing-masing memberi informasi bagi kurang dari

10 persen ibu-ibu yang mereka layani dalam sampel.

Bidan bertanggung jawab mencatatkan seluruh kelahiran dan kematian yang terjadi dalam wilayah kerjanya dan melaporkannya kepada atasan mereka di bidang kesehatan. Jalur pelaporan itu berbeda dengan mekanisme pencatatan kelahiran dan kematian yang digunakan Disdukcapil. Laporan-laporan tersebut tidak mencakup variabel

perorangan, yang berarti bahwa begitu data terkirim, data tersebut

umumnya tidak bisa lagi dipilah atau disandingkan dengan

kumpulan data lainnya. Sektor kesehatan tidak secara sistematis

mengagihkan data dari pelaporan kelahiran atau kematian pada

Kemendagri, dan banyak pejabat pemerintah yang ikut serta

dalam penelitian ini tidak menyadari adanya Peraturan Bersama

No. 15 tahun 2010 yang menyatakan bahwa Kemendagri dan

Kemenkes harus berbagi data kematian. Namun, beberapa desa

saling berbagi data secara informal, yaitu bidan dan dukun bayi

melaporkan kelahiran atau kematian yang mereka tangani ke

kantor desa mereka. Di seluruh kecamatan, mayoritas (84 persen)

kematian terjadi di rumah, dan hal ini mempersulit bidan membuat

laporan kematian yang sewaktu. Karena di ketiga lokasi penelitian

tidak ada bidan yang terlatih untuk menjalankan otopsi verbal,

pelaporan penyebab kematian nyaris tidak ada. Bidan juga tidak

memiliki peran resmi dalam akta kematian, yang saat ini masih

berada di bawah kewenangan Disdukcapil.

Akta kelahiran dan kematian tidak menjadi persyaratan untuk mengakses asuransi/jaminan kesehatan atau program bantuan sosial di ketiga kecamatan. Para informan

inti melaporkan bahwa fasilitator dan administrator program

bantuan sosial dan program jaminan kesehatan tidak bertanggung

jawab menawarkan bantuan atau dukungan untuk mencatatkan

kelahiran atau kematian penerima manfaat. Anak-anak responden

yang tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah memiliki

kemungkinan dua kali lipat memiliki akta kelahiran dibandingkan

dengan anak-anak yang orangtuanya merupakan penerima

manfaat bantuan sosial. Hal itu sebagian mungkin didorong oleh

adanya keterkaitan positif antara kepemilikan akta kelahiran dan

tingkat kesejahteraan, sebagaimana ditemukan dalam berbagai

studi sebelumnya.9

ii Catatan kebijakan ini tidak mendorong dukun bayi untuk menggantikan pemberian layanan kesehatan reproduksi, melainkan menunjukkan peluang dukun bayi untuk dilatih membantu perluasan pencatatan sipil.

Page 14: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan6

• Layanan pencatatan sipil harus diintegrasikan dengan

kampanye/sosialisasi kesehatan masyarakat seperti Pekan

Imunisasi Nasional dan Hari Kesehatan Nasional.

• Peraturandaerahyangmendorongkolaborasiantarasektor

pencatatan sipil dan sektor kesehatan sebaiknya dipelajari

sebagai bagian dari upaya menyusun contoh/model peraturan

bagi daerah-daerah lain di Indonesia.

Upaya memperkuat pelaksanaan pencatatan kematian perlu dikoordinasikan dengan berbagai upaya lainnya agar bisa meningkatkan kepastian informasi penyebab kematian. Hal ini memerlukan kerja sama lebih erat antara Kemenkes dan Kemendagri serta kesadaran bahwa kedua statistik tersebut sangat berkaitan erat.

• Semua kematian yang dicatat oleh tenaga kesehatan

hendaknya dirujuk kepada pihak yang berwenang melakukan

pencatatan tersebut. Kematian dan penyebab kematian harus

dicatat lengkap dengan NIK agar penyebab kematian dapat

disandingkan dengan data SIAK. Karena jaminan kesehatan

nasional (JKN) berlaku secara nasional di Indonesia dan

terintegrasi dengan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda)

yang ada di tingkat daerah, maka basis data kepesertaan

program juga hendaknya dibuat terhubung dengan SIAK.

• Diperlukan penanaman upaya penguatan yang lebih besar

bagi pelatihan untuk dokter dan profesi kesehatan lainnya

dalam menentukan penyebab kematian menggunakan ICD-

10. Bidan hendaknya dilatih untuk melakukan otopsi verbal

dan sosial untuk memperluas pantauan atas penyebab

kematian yang terjadi di wilayah yang tingkat penggunaan

fasilitas kesehatannya rendah. Pelatihan hendaknya tidak

diberikan sekali saja, namun juga harus ditindaklanjuti

dengan pembinaan yang sesuai, pelatihan penyegaran, dan

juga peluang tambahan untuk meningkatkan kemampuan

profesional. Insentif khusus juga hendaknya diberikan bagi

penyedia layanan kesehatan yang mau bekerja di tempat

terpencil. Rencana untuk menggunakan program pencatatan

penyebab kematian yang terotomasi, atau inovasi teknologi

lain yang bertujuan meningkatkan pemberitahuan kematian

dan pemastian penyebab kematian, hendaknya juga menakar

kapasitas fasilitas, sumber daya manusia, dan peralatan yang

tersedia di masyarakat yang menjadi sasaran.

• Diperlukan upayamencari tahu lebih lanjut dalammenjajaki

model insentif yang potensial untuk membangun permintaan

atas akta kematian. Sebagai contoh, literatur yang ada

menunjukkan bahwa menjadikan akta kematian sebagai

syarat untuk memperoleh izin pemakaman bisa jadi efektif

meningkatkan pencatatan kematian di perkotaaan.15 Meski

demikian, hal itu mungkin tidak relevan pada banyak konteks

di Indonesia, terutama bagi pemakaman orang yang beragama

Islam, yang harus dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah

kematian. Model insentif lainnya yang melibatkan BPJS

Kesehatan dan skema jaminan kecelakaan kerja dan hari tua

seperti BPJS Ketenagakerjaan hendaknya juga ditelaah.

• Kampanye peningkatan kesadaran berbasis masyarakat

yang dilakukan secara massal perlu diluncurkan di

Indonesia agar masyarakat menjadi lebih peka akan nilai

penting dan kegunaan akta kematian serta prosedur untuk

mendapatkannya.

Page 15: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan 7

Materi Rujukan

1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].

2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s

birth right: Inequities and trends in birth registration. New

York: UNICEF.

3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,

Pangaribuan, L., ...& Lopez, A. D. (2010). Mortality in

Central Java: Results from the Indonesian mortality

registration system strengthening project. BMC research notes, 3(1), 325.

4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,

newborn and child health: Understanding key progress

indicators. Geneva: WHO Document Production Services.

5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as

appropriate for health mapping in a low resource setting:

A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.

6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat

Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,

legal identity, and the post-2015 agenda. Center for

Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.

8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de

Savigny, D., Lozano, R., ... Setel, P. W. (2015). Are well

functioning civil registration and vital statistics systems

associated with better health outcomes?. The Lancet, 386(10001), 1386–1394.

9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing

millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,

Indonesia: DFAT.

10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).

Thriving beyond survival: Understanding utilization of

perinatal health services as predictors of birth registration:

A cross-sectional study. BMC international health and human rights, 14(1), 306.

11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan

Presiden No 2 Tahun 2015.

12 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth

registration into health systems (2000–2009): Case

studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New

York, UNICEF.

13 Abu Iskandar. (2014). Sudah Digratiskan, Akte Kelahiran

Bayi Baru Lahir. Diunduh dari http://www.koranbireuen.

com/?p=6274

14 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing

discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.

15 Abouzahr, C., Azimi, S. Y., Bersales, L. G. S., Chandramouli,

C., Hufana, L., Khan, K., . . . & Sauyekenova, L. (2014).

Strengthening civil registration and vital statistics in the

Asia-Pacific region: Learning from country experiences.

Asia-Pacific Population Journal, 29 (1) 39–73.

16 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy

coordination the case of birth registration in Ghana. Office

of Research Working Paper, UNICEF.

17 Singh, P. K., Kaur, M., Jaswal, N., & Kumar, R. (2012). Impact

of policy initiatives on civil registration system in haryana.

Indian J Community Med, 37(2), 122–125.

18 Naidu, S., Buttsworth, M., & Aumua, A. (2013). Strengthening

civil registration and vital statistics systems in the Pacific:

The Fiji experience (No. 35). Working Paper Series.

19 Danel, I., & Bortman, M. (2008). An assessment of LAC’s vital

statistics system: The foundation of maternal and infant

mortality monitoring (Discussion Paper). Washington, D.C:

World Bank.

Page 16: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan5

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]

Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)

Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,

Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182

www.puskapa.org

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Kesehatan8

20 Mikkelsen, L. (2012). Improving civil registration and vital

statistics systems: Lessons learnt from the application

of health information tools in Asia and the Pacific. Health Information Systems Knowledge Hub’s Working Paper Series, 24.

21 Joshi, R., Praveen, D., Jan, S., Raju, K., Maulik, P., Jha, V., &

Lopez, A. D. (2015). How much does a verbal autopsy

based mortality surveillance system cost in rural India?.

PloS one, 10(5), e0126410.

22 Office of the Registrar General. (2013). Vital Statistics of India

Based on the Civil Registration System 2011.

Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Penulis:

Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.

Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan

daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih

berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten

Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan

pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.

Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap

pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai

upaya validasi atas temuan yang diperoleh.

Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222

responden.

Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.

Page 17: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Juli 2016

Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan

pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai

bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan

statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i

yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai

angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang

sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan

kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi

terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi

kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami

desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan

tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia

memerlukan pendekatan dua arah yang tidak hanya mencakup

perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga

dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan

berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi

Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK)

mulai dari akhir 2015 hingga awal 2016. Salah satu tujuan

i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Peran Pemerintah Daerah

Catatan Kebijakan

Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar

Page 18: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah2

penelitian ini adalah untuk menjajaki berbagai cara agar

desentralisasi di Indonesia dapat turut mewujudkan komitmen

pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di Indonesia. Studi

ini juga merekomendasikan cara-cara yang dapat ditempuh agar

pemerintah daerah dapat turut andil untuk mencapai solusi yang

berkesinambungan.

CRVS di Indonesia

Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang

terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan

kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih

diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.

Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian

dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun

beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam

kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak

pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan

data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting

kependudukan.

Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)

memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan

jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya

tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan

data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan

sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4

Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,

banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu

melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan

layanan secara akurat.5,6

Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua

lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah

dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai

contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas

hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian

setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan

sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber

daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada

bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan

perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama ini

menemukan, bahkan setelah mengendalikan faktor-faktor seperti

pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, negara-negara

yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik cenderung

memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk

tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka kematian ibu

dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di Indonesia sendiri

telah menemukan bahwa kepemilikan identitas hukum berkaitan

dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9 dan naiknya

penggunaan layanan kesehatan.10

Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen

memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan

Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses

layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan, pendidikan,

perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan sipil dan

identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan

di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana ini, Presiden

menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah memiliki akta

kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah

telah menerbitkan beberapa peraturan yang menyederhanakan

prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi upaya

penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya

kerjasama antar kementerian untuk memperbaiki pencatatan

kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan

yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan

Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan

(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,

berbagai inisiatif ini kerap belum terkoordinasi dengan baik,

dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku

di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat

ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi

pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam

satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan

dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang

akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai

sektor pemerintahan.

UU Desa (2014) dan perubahan terakhir atas UU Pemerintahan

Daerah (2014) yang menghidupkan kembali tata kelola

pemerintahan di tingkat kecamatan memberikan peluang

yang sangat baik agar desentralisasi dapat menguntungkan

masyarakat melalui penyediaan layanan bermutu di tingkat

lokal—termasuk layanan identitas hukum dan pencatatan sipil.

Jika kelahiran dan kematian merupakan peristiwa penting dalam

kehidupan seseorang, maka perencanaan dan penganggaran

serta pemberian layanan dasar dan pemantauannya yang

kini bergeser ke tingkat desa dan kecamatan memerlukan

pencatatan sipil yang andal yang mampu menghasilkan statistik

Page 19: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 3

hayati yang akurat dan dapat dengan mudah diakses oleh para

penyelenggara pemerintahan yang berada di lini terdepan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

menjajaki berbagai cara agar pemerintah daerah dan berbagai

sektor yang berkepentingan atas penguatan CRVS dapat

dikerahkan untuk bekerja sama dalam mewujudkan sistem yang

terpadu, lengkap, dan dapat diandalkan di Indonesia.

Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya

Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang telah

dipublikasikan, kami menemukan bahwa jangkauan pencatatan sipil

di daerah-daerah yang miskin sumber daya kerap terhambat oleh

jauhnya jarak tempuh, medan yang sulit, serta buruknya sarana dan

prasarana transportasi antara penyedia layanan dari pihak pemerintah

dan populasi yang menjadi sasaran. Untuk menanggapi hal itu,

pemerintah biasanya menerapkan tiga strategi. Strategi pertama

adalah pencatatan keliling, seperti yang telah dilakukan di Filipina12

dan Ghana,13 sebagai contoh, yaitu dengan jalan penyedia layanan

mendatangkan layanan pencatatan sipil ke masyarakat. Melalui

pencatatan keliling, orang tua dapat mengajukan permohonan agar

anak mereka mendapat akta kelahiran melalui pihak yang berwenang

melakukan pencatatan keliling di desa mereka secara cuma-cuma

dan dengan jadwal yang teratur.

Kedua, beberapa pemerintah melimpahkan fungsi pencatatan ke

tingkat pemerintahan yang lebih rendah dengan jalan mendirikan unit

layanan terpisah, seperti yang diterapkan di India, Argentina, Meksiko,

dan Brasil.14,15 Akan tetapi mendirikan dan menjaga kelangsungan

kantor khusus di tingkat kecamatan atau desa memerlukan SDM

dan sumber dana yang besar. Oleh karenanya, beberapa pemerintah,

termasuk Ghana dan Myanmar, memilih untuk mengalihkan tanggung

jawab pencatatan ke pranata lain, seperti misalnya kepala desa atau

tenaga kesehatan.16 Hal ini dapat memotong biaya operasional untuk

kegiatan penjangkauan dan— ketika ada upaya tambahan untuk

memfasilitasi kolaborasi antar sektor, misalkan penyediaan sumber

daya dan mekanisme akuntabilitas—model pendelegasian kerja ini

bisa mendorong tercapainya cakupan yang lebih baik.

Ketiga, beberapa pemerintah, seperti Brasil dan Iran,

menggunakan kampanye yang peka budaya dan peka bahasa

untuk melayani masyarakat asli dan terpinggirkan.16 Dalam

situasi masih rendahnya pengetahuan mengenai pencatatan sipil,

strategi yang paling umum digunakan ialah bekerja sama dengan

pemimpin masyarakat dan pemuka agama untuk meningkatkan

kesadaran. Di India, misalnya, suatu kampanye/upaya sosialisasi

dilakukan dengan cara mengirim relawan ke rumah-rumah

penduduk untuk bertemu warga yang tidak memiliki dokumen

catatan sipil dan melakukan sosialisasi mengenai keuntungan

pencatatan sipil dari segi administratif dan dari segi hukum,

sekaligus mendorong mereka untuk mencatatkan kelahiran dan

kematian yang terjadi.17 Di Afghanistan, para mullah (imam)

setempat mendorong warga untuk melaporkan terjadinya

peristiwa penting dalam kehidupan, sedangkan di Filipina, gelar

wicara di radio lokal dan pusat layanan telepon (call centre)

digunakan untuk menyebarkan informasi. Di Ghana, relawan

setempat dikerahkan untuk mendukung upaya penjangkauan.13

Gabungan dari berbagai model tersebut telah diterapkan di

Indonesia. Sebagai contoh, PEKKA (Pemberdayaan Perempuan

Kepala Keluarga) memimpin jalannya program pelayanan keliling

dan terpadu (Yandu) di 17 provinsi di mana paralegal dari

lembaga ini memberi layanan konsultasi bagi keluarga terkait

permasalahan yang mereka hadapi dalam mengakses layanan

identitas hukum, mengidentifikasi kebutuhan mereka, serta

memfasilitasi pelaksanaan layanan keliling di tingkat desa.

Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016

Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas

hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah

secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat

menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang

mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian

nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen

kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak

konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki

akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,

atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak

memiliki akta perkawinan.

Terlepas dari berbagai kebijakan baru yang telah diterbitkan untuk menghilangkan hambatan dalam memperoleh akta kelahiran dan memberikan mandat untuk saling berbagi data lintas sektor, upaya-upaya yang dilakukan kerap terkendala oleh implementasi yang tidak konsisten, kekurangan sumber daya, dan masih terkotak-kotak di dalam konteks desentralisasi. UU No.

24 Tahun 2013 mengenai revisi UU Administrasi Kependudukan

Page 20: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah4

(23/2006) menandai pergeseran paradigma dalam pencatatan

sipil di Indonesia. UU tersebut menghapuskan biaya administrasi

di tingkat nasional untuk memperoleh akta kelahiran dan

memandatkan pemberian layanan penjangkauan warga.

Pencatatan sipil yang dulunya dianggap merupakan kewajiban

warga negara kini berubah menjadi hak yang perlindungannya

mewajibkan pemerintah untuk melakukan tindakan. Sayangnya,

perubahan perspektif ini tidak terjadi secara merata di berbagai

lembaga pemerintah, baik secara horisontal yaitu antar sektor,

ataupun secara vertikal yaitu di antara berbagai tingkat

pemerintahan. Pejabat pemerintah di berbagai lokasi penelitian

memiliki sentimen yang sama, yaitu mengaitkan rendahnya

cakupan dengan ketidakpatuhan warga terhadap standar

yang ada, yang membuat sebagian pejabat mengusulkan

digunakannya pendekatan penegakan dan pemberian hukuman

untuk meningkatkan cakupan, meskipun bukti yang ada

menunjukkan bahwa, berdasarkan pelembagaan yang sudah

terjadi, pendekatan tersebut tidak efektif.

Selain revisi UU Administrasi Kependudukan, beberapa peraturan

yang dimaksudkan untuk meningkatkan CRVS ternyata masih

belum diterapkan secara menyeluruh. Peraturan Kementerian

Dalam Negeri (Kemendagri) No. 4 Tahun 2010, misalnya,

memberikan mandat bagi seluruh kecamatan untuk menerapkan

Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (Paten) pada 2015. Hal

ini berarti akan terjadi pelimpahan pemberian izin dan kewenangan

administratif dari kabupaten ke kecamatan, kemungkinan termasuk

wewenang menerbitkan akta kelahiran dan kematian, yang akan

membawa layanan identitas hukum lebih dekat lagi dengan banyak

kelompok masyarakat. Dari tiga kabupaten yang dikunjungi dalam

penelitian ini, tidak ada satupun yang sudah menerapkan Paten,

meskipun Petungkriyono sedang dalam proses per Desember

2015. Selain itu, tidak ada satupun lokasi penelitian yang sudah

mendirikan Unit Pelaksana Teknis (yang dahulu dikenal dengan

nama UPTD, dan sekarang disebut UPT) untuk pelaksanaan

pencatatan sipil di tingkat kecamatan, sebagaimana diatur

dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 18 Tahun 2010

sebagai cara untuk meningkatkan akses pada layanan di daerah

terpencil. UU No. 24 Tahun 2013 mengatur bahwa Kemendagri

harus dijadikan sumber utama data populasi bagi semua proses

perencanaan dan penganggaran pembangunan, sekalipun banyak

kementerian dan lembaga pemerintah daerah terus menggunakan

data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk keperluan tersebut

Petugas catatan sipil di tingkat kabupaten melaporkan bahwa kurangnya pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan proses penganggaran, merupakan hambatan utama dalam pencatatan sipil. Akibatnya, dinas yang ada kekurangan sumber daya untuk menyelenggarakan layanan keliling, melakukan pengadaan alat-alat yang diperlukan, mempekerjakan staf, atau memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Diadopsinya teknologi

yang canggih seperti SIAK menjadi bagian penting dalam

peningkatan pemberian layanan pencatatan sipil di tingkat

daerah. Meski demikian, keberhasilan dari berbagai upaya

tersebut menjadi tertekan karena kurangnya fasilitas dan

peralatan yang diperlukan, sambungan internet, serta kejelasan

mengenai aturan pengadaan fasilitas atau alat oleh pemerintah

daerah, dan kurangnya kapasitas sumber daya manusia.

Potensi untuk bekerja sama dengan melibatkan sektor-sektor

lain untuk membantu pencatatan sipil masih belum dimanfaatkan

secara efektif; dan di banyak tempat, strategi itu bahkan belum

dipertimbangkan. Sektor administrasi kependudukan merasa

ragu berbagi tanggung jawab, dengan asumsi bahwa hal

tersebut akan memperbesar galat/kesalahan dan memungkinkan

terjadinya penipuan/kecurangan, sedangkan sektor lain enggan

menanggung beban tambahan dan takut dianggap melanggar

batas wewenang Disdukcapil.

Secara umum, pemberian layanan dasar di daerah di tiga lokasi

penelitian masih terkendala oleh kurangnya staf yang mumpuni

yang berkomitmen untuk tinggal dan melayani daerah-daerah

tersebut. Penghargaan dalam bentuk uang adalah satu-satunya

insentif yang ditawarkan pada staf lapangan ini; akan tetapi

mereka beranggapan insentif tersebut masih belum dapat

mengompensasi beratnya kondisi yang harus mereka jalani, dan

insentif tersebut menjadi tidak efektif apabila tidak diiringi dengan

insentif non-finansial, seperti misalnya peluang karier di masa

depan. Menurut para informan, petugas pemberi layanan yang

ditempatkan di daerah terpencil sering dipindahkan ke tempat

yang lebih makmur tanpa konsultasi dengan atau persetujuan

terlebih dahulu dari penanggung jawab di lapangan (yakni kepala

puskesmas di kecamatan dan Kepala Disdukcapil). Mencari

pengganti mereka pun sulit, sehingga keadaan menjadi makin

buruk bagi mereka yang masih bertahan. Tidaklah mengherankan

jika penduduk desa sering dilayani oleh relawan atau staf yang

tidak terampil.

Page 21: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 5

• Pembangunan kapasitas secara menyeluruh dan

pengembangan model insentif, yang memprioritaskan operator

Disdukcapil dan petugas di kecamatan dan desa. Upaya

peningkatan kapasitas hendaknya turut mencakup pelatihan

khusus terkait penganggaran, penerbitan akta, entri data dan

manajemen data, serta penggunaan data. Untuk melengkapi

pelatihan yang diberikan, para petugas harus diberi materi

ajar yang sudah dibakukan serta tindak lanjut melalui

pembinaan. Untuk memotivasi petugas, kenaikan gaji dan

jabatan hendaknya dikaitkan secara bermakna dengan kinerja

yang ada. Diperlukan lebih banyak upaya untuk memberikan

insentif bagi petugas yang berkualitas agar mau berkomitmen

bekerja di lokasi terpencil. Untuk itu, tingkat kesulitan bekerja

di wilayah yang masih belum banyak mendapatkan layanan

harus diperhitungkan dalam penyusunan model insentif,

yaitu dengan mengaitkan besarnya remunerasi yang diterima

dengan komitmen jangka panjang.

• Informasi mengenai pentingnya dokumen identitas hukum

dan prosedur pemerolehannya perlu dibuat agar mudah

diakses, tidak hanya untuk populasi yang dijadikan sasaran,

namun juga bagi penyedia layanan dan pekerja di lini depan

yang memfasilitasi proses tersebut.

Dukcapil hendaknya berkolaborasi dengan titik terdepan dalam pemberian layanan kesehatan dan pendidikan, terutama: klinik kesehatan di tingkat warga dan desa, Posyandu, klinik KB, rumah sakit, dan klinik swasta, PAUD, dan sekolah dasar, baik dalam pencatatan kelahiran dan dalam kasus tertentu, maupun pencatatan kematian. Penyedia layanan di lini terdepan itu juga perlu melihat manfaat jelas yang diperoleh dari kerja sama dengan Disdukcapil, dan tidak memandangnya sebagai beban yang memberatkan pemberian layanan primer. Disdukcapil juga harus bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama di daerah dan penyelenggara sidang keliling untuk memperbaiki akses ke layanan seputar pencatatan perkawinan.

• Pemimpin kementerian, provinsi, dan kabupaten sebaiknya

menekankan hubungan antara pencatatan sipil dan capaian

utama penyedia layanan. Penyedia layanan di lapangan

hendaknya lebih ditekankan agar merasa berkepentingan

dalam memastikan bahwa klien mereka sudah tercatatkan.

Ketika mereka mengidentifikasi anggota masyarakat yang

tidak memiliki NIK yang lantas tidak berhak mendapatkan

Rekomendasi

Membawa layanan lebih dekat ke masyarakat sembari terus mengembangkan mutu sumber daya manusia, menyiapkan sarana-prasarana pencatatan sipil dan penanaman dana hendaknya dijadikan bagian dari upaya yang terus berjalan untuk merevitalisasi tata kelola di tingkat kecamatan dan desa.

• Penjangkauan masyarakat secara teratur melalui layanan

pencatatan keliling yang menyeluruh hendaknya dijadikan

prioritas Disdukcapil, khususnya di daerah terpencil. Layanan

tersebut harus mencakup pencatatan dan penerbitan akta

untuk semua peristiwa penting dalam kehidupan, hendaknya

dijalankan pada tanggal dan waktu yang konsisten dan

dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindak lanjut

jika diperlukan. Layanan keliling yang dilakukan secara

rutin itu hanya mungkin diselenggarakan jika terdapat

mekanisme pembiayaan yang jelas serta tersedianya

sumber dana, sumber daya manusia, dan sarana operasional

yang diperlukan. Disdukcapil harus berkonsultasi dengan

pemerintah kecamatan dan desa untuk menyepakati delegasi

kewenangan dan tanggung jawab terkait pembiayaan,

perencanaan, serta pelaksanaan layanan keliling dan

terpadu. Semua pihak ini juga hendaknya bekerja sama

untuk menentukan di mana dan bagaimana dana desa dapat

berkontribusi untuk menutup biaya terkait pencatatan sipil.

• Dalam rangka mendekatkan layanan ke masyarakat,

Disdukcapil hendaknya mendirikan UPT untuk pencatatan

sipil di semua kecamatan, sebagaimana disarankan dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2010. Selain

itu Disdukcapil dan UPT ini nantinya harus bekerja sama

dengan UPT sektor lain seperti kesehatan dan pendidikan

untuk menyebarkan informasi seputar pencatatan sipil dan

menemukenali hambatan serta peluang pencatatan sipil

• Kabupaten/Kota hendaknya menimbang kemungkinan

pendelegasian kewenangan pencatatan kelahiran dan

kematian ke kecamatan melalui Paten sesuai dengan

Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 4 Tahun 2010.

Efektivitas pendekatan ini rencananya akan dinilai melalui uji

coba di beberapa kecamatan percontohan dalam program

pemerintah.

Page 22: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah6

perlindungan sosial, para penyedia layanan harus secara

sistematis merujuk mereka ke petugas pencatatan dan

menawarkan informasi serta bantuan. Selain itu, dalam kasus-

kasus di mana individu kehilangan dokumen identitas mereka

dalam jenis apa pun juga harus dirujuk ke penyedia layanan

yang sesuai.

• Upaya juga harus diambil untukmeningkatkan pengetahuan

serta kesadaran para pemegang otoritas lokal dan warga

terhadap diskresi persyaratan buku nikah/akta perkawinan

untuk mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama

ayah dan ibu, sesuai Permendagri No. 9 Tahun 2016. Untuk

itu, diperlukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran

mengenai hak tiap anak atas identitas yang menjelaskan

bukti hubungan dengan kedua orangtua. Akan tetapi, selama

peraturan ini sepenuhnya dijalankan dan pemerintah setempat

masih meminta akta perkawinan untuk menuliskan nama ayah,

kasus-kasus di mana orangtua tidak tercatat perkawinannya

harus dirujuk ke layanan terpadu yang menyediakan sidang

keliling untuk penetapan perkawinan dan layanan Kantor

Urusan Agama (KUA) atau Disdukcapil keliling untuk pencatatan

perkawinan dan kelahiran.

Untuk memungkinkan penggunaan data terpadu untuk keperluan perencanaan dan penganggaran, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, para pengelola data kependudukan, termasuk pencatatan kelahiran dan kematian, perlu meningkatkan sistem pencatatan mereka, yang di banyak tempat masih dilakukan secara manual. Saat hal itu diberlakukan,

pemerintah pusat perlu memastikan agar solusi teknologi yang

akan menggantikan mekanisme manual yang menggunakan

kertas dapat terintegrasi, terstandarisasi, dan didukung

oleh infrastruktur dan SDM yang memadai. Upaya di bidang

teknologi informasi dan komunikasi (TIK) harus memastikan

adanya kaitan intersektoral antara berbagai basis data agar data

dapat lebih mudah digagihkan dan diperiksa kembali dengan

mencocokkannya dengan data di berbagai platform, tanpa

mengnyampingkan aspek kelengkapan atau kegunaannya.

Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan kerancuan

tentang acuan data yang resmi dan standar yang digunakan

untuk keperluan penyusunan program, seperti apakah harus

menggunakan data SIAK atau BPS sebagai acuan utama.

Isu tentang versi mana yang perlu dipakai sebagai wadah/

platform manajemen informasi administrasi kependudukan

juga hendaknya diselesaikan, dan perbaikan versi mendatang

sebaiknya diluncurkan termasuk dengan dukungan yang

memadai bagi dinas yang menjalankan.

Selain itu, pemerintah daerah hendaknya didukung dalam hal:

• Memastikan NIK sebagai sebuah penanda identitas yang

unik untuk mengakses layanan, hendaknya dibuat mudah

dan sebagai kunci meningkatkan interoperabilitas sistem

manajemen informasi yang berkaitan dengan layanan dasar

untuk menghasilkan statistik hayati yang lebih akurat dan

lengkap.

• Peraturan,kebijakan,danproseduruntukmengagihkandata

di berbagai tingkatan antarsektor hendaknya dibuat sejelas

mungkin. Pegawai kabupaten serta staf di lapangan yang

bekerja dengan data sebaiknya mendapat pelatihan agar

dapat menjalankan aturan tersebut dengan benar.

• Prinsip perencanaan dan evaluasi berbasis bukti perlu

dimantapkan di semua tingkat pemerintahan. Petugas yang

diberi mandat untuk merencanakan kebijakan dan program

sebaiknya dilatih untuk mengenali data yang berkualitas dan

untuk menggunakannya secara efektif. Hal ini penting untuk

meningkatkan akuntabilitas tata kelola kepemerintahan di

tingkat daerah.

• Meningkatkan partisipasi dalam musrenbangdes, dan

mekanisme serupa lain di desa dan mendorong berbagai

proses diskusi ini menjadi kian inklusif. Pemantauan yang

efektif atas peristiwa penting kehidupan tergantung pada

dukungan masyarakat dan pimpinan mereka. Jika dilakukan

dengan tepat, proses perencanaan dan penganggaran di

tingkat desa bisa menjadi peluang bagi petugas desa untuk

mempunyai rasa memiliki atas pencatatan dan pengumpulan

Page 23: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah 7

data, dan bagi warga masyarakat untuk mengusulkan

peningkatan layanan.

• Merampungkan proses entri data dari semua pencatatan

yang masih menggunakan berkas manual ke dalam versi

tunggal SIAK dengan menanamkan lebih banyak upaya

pengembangan SDM. Pengubahan data menjadi bentuk

digital khususnya data yang pencatatannya masih tertunggak

sejak 1997 perlu dijadikan prioritas, sehingga semua data

anak di bawah 18 tahun tersedia.

• Data kependudukan terkait statistik hayati hendaknya siap

diakses oleh lembaga pemerintah terkait, dengan upaya

yang tepat untuk menjaga keamanan data rahasia. Statistik

agregat disampaikan kepada masyarakat dengan cara-cara

yang memudahkan akses warga sehingga akuntabilitas

sosialnya menjadi lebih baik.

Materi Rujukan

1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS). [Dataset tidak di publikasikan].

2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s

birth right: Inequities and trends in birth registration. New

York: United Nations Children’s Fund.

3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,

Pangaribuan, L., ...& Lopez, A. D. (2010). Mortality

in Central Java: results from the Indonesian mortality

registration system strengthening project. BMC Research Notes, 3(1), 325.

4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,

newborn and child health: understanding key progress

indicators. Report.

5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as

appropriate for health mapping in a low resource setting:

a case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.

6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat

Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,

legal identity, and the post-2015 Agenda. Center for Global Development Policy Paper, (46).6.

8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de

Savigny, D., Lozano, R., ... & Setel, P. W. (2015). Are well

functioning civil registration and vital statistics systems

associated with better health outcomes? The Lancet, 386(10001), 1386-1394.

9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing

millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,

Indonesia: DFAT.

10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).

Thriving beyond survival: Understanding utilization of

perinatal health services as predictors of birth registration:

A cross-sectional study. BMC International Health and Human Rights, 14(1), 306.

11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan

Presiden No 2 Tahun 2015..

12 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and vital

statistics case study and Indicative Investment Plan

2015–2019. Draft for consultation at CRVS technical consultation meeting, Addis Ababa, 28–29 April, 2014.

Proyek CRVS yang disponsori oleh Canadian DFATD dan

Bank Dunia.

13 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and Policy

Coordination The Case of Birth Registration in Ghana. Office of

Research Working Paper, UNICEF.

14 Office of the Registrar General. (2013). Vital Statistics of India

Based on the Civil Registration System 2011.

15 Danel, I., & Bortman, M. (2008). An Assessment of LAC’s Vital Statistics

System: The Foundation of Maternal and Infant Mortality

Monitoring (Discussion Paper). Washington, D.C: World Bank.

16 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth

registration into health systems (2000–2009): Case

studies: Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New

York, UNICEF.

Page 24: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah5

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]

Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)

Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,

Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182

www.puskapa.org

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian: CRVS dan Peran Pemerintah Daerah8

Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Penulis:

Santi Kusumaningrum dan Clara Siagian.

Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan

daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih

berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten

Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan

pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.

Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap

pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai

upaya validasi atas temuan yang diperoleh.

Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222

responden.

Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.

17 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening

of local vital events registration: lessons learnt from a

voluntary sector initiative in a district in southern India.

Bulletin of the World Health Organization, 89(5), 379-384.

Page 25: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar

Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Program Perlindungan Sosial

Catatan Kebijakan Juli 2016

Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan

pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai

bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan

statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)i

yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai

angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang

sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan

kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi

terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi

kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami

desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi dan

tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di Indonesia

memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup tidak hanya

perubahan dalam kebijakan dan penyediaan layanan, namun juga

dalam partisipasi masyarakat. Memo ini disusun berdasarkan

berbagai temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS

yang bekerja sama dengan PUSKAPA dan Program Kolaborasi

i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Page 26: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial2

Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mulai

dari akhir 2015 hingga awal 2016. Penelitian ini bertujuan untuk

menjajaki berbagai cara agar program perlindungan sosial, yang

turut mencakup program bantuan sosial (Bansos) dan program

jaminan sosial di bidang kesehatan, dapat turut mewujudkan

komitmen pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di

Indonesia. Studi ini juga merekomendasikan cara-cara yang

dapat ditempuh agar program perlindungan sosial dapat turut

andil pada tercapainya solusi yang berkesinambungan.

CRVS di Indonesia

Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang

terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan

kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih

diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.

Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian

dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun

beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam

kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak

pula yang mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan

data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting

kependudukan.

Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)

memiliki akta kelahira,1 dan Indonesia termasuk negara dengan

jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya

tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan

data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan

sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4

Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,

banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu

melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan

layanan secara akurat.5,6

Meskipun lazimnya hanya merupakan urusan satu atau dua

lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS yang lemah

dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor lain. Sebagai

contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

(SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan identitas

hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian

setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan

sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin pada sumber

daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada

bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan

perlindungan bagi anak.7

Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen

memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan

Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses

pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,

pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, dan pencatatan sipil

dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi kemiskinan

di Indonesia.8 Sebagai bagian dari rencana itu, Pemerintah

RI berencana memperluas cakupan program bantuan sosial

dan program jaminan kesehatan nasional (JKN). Pada 2019,

pemerintah berencana menambah jumlah penerima manfaat

program keluarga harapan (PKH), yang merupakan program

bantuan tunai bersyarat, dari 2,8 juta keluarga di tahun 2014

menjadi delapan juta keluarga, menambah jumlah Penerima

Bantuan Iuran (PBI) dalam program jaminan kesehatan nasional

(KIS/PBI-JKN) dari 86,4 juta orang menjadi 107,2 juta orang,

serta penerima beasiswa bagi siswa dari keluarga berpenghasilan

rendah (KIP/BSM) dari 11,9 juta siswa usia sekolah menjadi 21,6

juta. Selain target tersebut, pemerintah berencana memperluas

cakupan kepemilikan akta kelahiran menjadi 85 persen anak

pada populasi umum dan 77,4 persen anak pada 40 persen

populasi termiskin di tahun 2019.

Sebagai dasar bagi upaya-upaya menurunkan angka kemiskinan, Tim

Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)ii menyim-

pan data 40 persen warga paling miskin di Indonesia (basis data

terpadu atau BDT) yang terdiri dari informasi di tingkat individu

dan rumah tangga. Banyak program bantuan sosial, baik dari pe-

merintah nasional maupun daerah, menggunakan BDT sebagai

acuan utama untuk menentukan penerima manfaat. Walaupun

saat ini BDT terakhir masih berdasarkan pendataan program

perlindungan sosial (PPLS) tahun 2011, pemerintah baru saja

merampungkan suatu survei nasional (PBDT 2015) untuk memu-

takhirkan BDT pada akhir tahun 2015.

Pelaksanaan program bantuan sosial di Indonesia sering

terhambat oleh adanya galat/kesalahan terkait penerima manfaat

program akibat salah-masuk (inclusion error) dan salah-luput

(exclusion error).9 Walaupun banyak faktor berkontribusi pada

kedua jenis galat tersebut, kurangnya prosedur yang berkelanjutan

untuk memutakhirkan BDT menjadi salah satu penyebab utama.9

ii Pada saat catatan kebijakan ini ditulis, pengelolaan BDT sedang dipindahkan ke Kementerian Sosial.

Page 27: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 3

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan beberapa

program rintisan untuk membuat dan menguji sebuah sistem

pemutakhiran yang tepat untuk BDT di tingkat kabupaten. Prinsip

dasar dari model ini adalah untuk mendapatkan masukan dari

masyarakat dan menangkap adanya perubahan kondisi pada

pihak penerima manfaat yang dapat berpengaruh pada status

kelayakan mereka sebagai penerima manfaat. Melalui model ini,

apabila status kelayakan seseorang berubah, kasus mereka akan

dirujuk ke tingkat nasional dan kabupaten, sehingga menciptakan

sumber data yang lebih berkelanjutan untuk penetapan sasaran

penerima manfaat bantuan sosial.

Dalam upaya menyelaraskan BDT dengan sistem informasi

administrasi kependudukan (SIAK), TNP2K sudah menggunakan

nomor induk kependudukan (NIK) Indonesia untuk

menghubungkan entri individu yang ada di berbagai basis

data. Teorinya, individu akan diberikan NIK saat kelahirannya

dicatatkan, atau ketika didaftarkan di SIAK lewat pencatatan

sipil lainnya. NIK ini kemudian tertera di akta kelahiran, kartu

keluarga, dan kartu tanda penduduk (KTP) yang diterbitkan oleh

Kementerian Dalam Negeri. Penyelarasan BDT hasil PPLS 2011

dengan SIAK memakai NIK oleh TNP2K menemukan 15 persen

penerima manfaat yang terdaftar di BDT tidak memiliki NIK,

sebuah indikasi kebutuhan layanan identitas hukum bagi populasi

rentan ini.iii Walaupun BDT sebelumnya tidak memasukkan data

mengenai kepemilikan dokumen identitas, pemutakhiran di tahun

2015 turut memasukkan entri informasi KTP, kartu keluarga, akta

kelahiran, dan akta perkawinan.

Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya

Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS, kami

menemukan beberapa pendekatan yang digunakan oleh negara-

negara berkembang untuk membangun hubungan antara sistem

CRVS dan bantuan sosial. Cara yang umum dilakukan adalah

menggunakan tanda pengenal nasional atau dokumen identitas

hukum lainnya sebagai syarat untuk mengakses program,

seperti yang telah dilakukan di Vietnam, Filipina, Bolivia, dan

Ekuador.10,11,12 Hal itu khususnya mengemuka di negara-negara

yang menyelenggarakan program bantuan sosial berdasarkan

uji kemiskinan (means-tested), di mana akses kepada manfaat

program kaku terikat pada status kewarganegaraan dan domisili

(tempat tinggal). Akibatnya, dalam keadaan di mana pencatatan

sipil tidak dapat diakses secara universal, persyaratan kepemilikan

dokumen identitas hukum bisa menyisihkan kelompok penduduk

yang paling terpinggirkan secara sistematis, yang pada hakikinya

adalah warga yang paling membutuhkan bantuan sosial.

Namun demikian, di negara-negara di mana bantuan sosial

tidak terkoordinasi satu sama lain, upaya perampingan program-

program yang sudah tersegmentasi tersebut akan bergantung

pada adanya penanda tunggal identifikasi individu sebagai dasar

untuk menggabungkan berbagai basis data yang memuat informasi

seluruh penerima manfaat.13 Seturut dengan ini, beberapa

negara telah menggunakan pencatatan sipil sebagai jalan untuk

menemukenali warga yang layak untuk menerima manfaat

bantuan sosial. Di Uganda, misalnya, individu yang dianggap

layak mendapatkan dalam program social assistance grants for empowerment dimasukkan ke daftar penerima manfaat secara

otomatis saat pencatatan kelahiran.14 Pun demikian jika terjadi

iii Wawancara dengan TNP2K, 16 Maret 2016 di kantor pusat TNP2K, Jakarta.

Page 28: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial4

kematian pada penerima manfaat, mendiang juga dihapus dari

daftar penerima manfaat segera setelah kematian dicatatkan. Model

ini tentu saja memiliki kekurangan, karena model ini memerlukan

sistem pencatatan sipil yang kokoh dengan cakupan yang luas

dan pemutakhiran yang tepat waktu. Upaya untuk menggunakan

pencatatan sipil sebagai basis data tunggal penerima manfaat juga

membutuhkan pembakuan (standarisasi) dalam taraf tertentu atas

beragam konteks yang ada di satu negara. Ini adalah tantangan

yang dihadapi oleh Brazil yang memiliki sistem federal dengan

kewenangan pencatatan sipil jatuh di tangan pemerintah negara

bagian. Di Brazil, misalnya, hal ini menjadi tantangan, karena di

bawah sistem pemerintahan federal, negara bagian menjadi pihak

yang bertanggung jawab atas pencatatan sipil.15

Untuk menghindari terciptanya hambatan struktural bagi mereka

yang tidak memiliki identitas hukum namun berhak mendapatkan

bantuan sosial, negara-negara melakukan uji coba dengan

cara memasukkan layanan akta kelahiran ke dalam layanan

bantuan sosial nasional. Sebagai contoh, pencatatan kelahiran

dijadikan bagian dari manfaat program bantuan tunai di negara-

negara seperti Panama, Madagaskar, Mozambik, dan Peru.16

Pendekatan serupa juga diusulkan dalam konteks Indonesia, di

mana bantuan sosial memiliki jangkauan yang lebih luas dan

lebih besar dibandingkan dengan pencatatan sipil; walaupun

hal ini memerlukan adanya koordinasi yang lebih kuat antara

berbagai sektor pemerintah.17

Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016

Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas

hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah

secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat

menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang

mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian

nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen

kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak

konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki

akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,

atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak

memiliki akta perkawinan.

Masyarakat dalam penelitian ini memiliki cukup banyak akses

kepada program bantuan sosial, dengan sekitar 95 persen rumah

tangga memperoleh manfaat dari setidaknya satu program

bantuan sosial dalam periode dua tahun sebelum pengumpulan

data dilakukan. Anak-anak dari responden yang tidak menerima

bantuan sosial dari pemerintah (oleh karenanya diasumsikan

berlatar belakang sosial ekonomi lebih baik) memiliki kemungkinan

dua kali lipat memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan anak-

anak yang orangtuanya merupakan penerima manfaat bantuan

sosial (oleh karenanya diasumsikan berlatar belakang sosial

ekonomi lebih buruk). Hal ini sebagian mungkin didorong oleh

keterkaitan positif antara kepemilikan akta kelahiran dan tingkat

kesejahteraan, sebagaimana ditemukan dalam studi sebelumnya.18

Pada saat penelitian ini dilakukan, sekitar dua pertiga responden melaporkan bahwa mereka memiliki jaminan kesehatan, dan dari angka tersebut, 93 persen di antaranya menerima jaminan kesehatan yang disubsidi pemerintah daerah atau pusat, atau keduanya. Akan tetapi, responden kerap bingung dengan status jaminan kesehatan mereka, dan banyak yang mengaku tidak memiliki asuransi walaupun sebenarnya menerima layanan kesehatan cuma-cuma di fasilitas kesehatan dalam setahun belakangan ini dengan menunjukkan bukti kependudukan. Bahkan mereka yang mengaku memiliki

asuransi sering tidak tahu apakah asuransi mereka ditanggung

oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Seiring dengan

berjalannya integrasi skema jaminan kesehatan daerah ke

dalam jaminan kesehatan nasional (JKN), penyedia layanan

melaporkan bahwa penduduk desa sering tidak menyadari jenis

layanan apa saja yang menjadi haknya.

Saat ini hanya penerima jaminan kesehatan yang disubsidi pemerintah (seperti PBI-JKN, JKRA di Aceh dan Jamkesda di Sulawesi Selatan) yang perlu memiliki NIK, nomor induk kependudukan yang dihasilkan SIAK dan tercantum dalam KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran. Sebagai bagian dari perluasan PBI-JKN ke populasi

rentan, Dinas Sosial Jawa Tengah telah membantu Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti tunawisma, untuk

mendapatkan NIK dengan merujuk mereka ke layanan identitas

hukum. Namun pemerintah kabupaten juga mengidentifikasi

adanya kelompok PMKS tanpa NIK yang tidak bisa memenuhi

berbagai persyaratan dasar untuk dapat memperoleh dokumen

identitas hukum. Akibatnya, sistem yang ada sekarang berpotensi

Page 29: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 5

menyisihkan orang-orang ini lebih jauh lagi dari berbagai layanan

kesehatan yang sebenarnya sangat mereka butuhkan.

Ada laporan mengenai terjadinya salah-masuk (inclusion error) dan salah-luput (exclusion error) dari petugas lapangan yang melakukan verifikasi data penerima manfaat dan memberikan layanan. Tidak ada satu jalur pelaporan yang jelas dan mekanisme pemutakhiran yang rutin untuk program bantuan sosial, karena tiap program yang memang berbeda-beda mengatur prosedur pelaporan dan pemutakhiran data mereka secara terpisah. Saat

seorang penerima manfaat PBI-JKN mendapat anggota keluarga

baru, maka bayi yang baru lahir tersebut, misalnya, tidak secara

otomatis ditambahkan sebagai penerima manfaat baru. Bayi yang

baru lahir harus masuk dalam daftar tunggu peserta, dan orang

tua diminta membayar iuran asuransi terlebih dahulu sambil

menunggu persetujuan agar bayi tersebut dinyatakan sebagai

penerima subsidi (bantuan iuran). Secara teori, daftar penerima

manfaat PBI-JKN dimutakhirkan sekali per semester, namun pada

saat pengumpulan data, tidak ada satupun lokasi penelitian yang

memutakhirkan daftar penerima manfaat mereka serutin itu. Dari

segi penyedia, ketiadaan mekanisme pemutakhiran yang jelas

untuk kepesertaan JKN dapat mengganggu sistem pembiayaan

untuk layanan kesehatan primer. Berdasarkan sistem kapitasi

yang berlaku saat ini, fasilitas layanan kesehatan primer seperti

Puskesmas akan mendapat dana berdasarkan jumlah peserta

JKN yang terdaftar di Puskesmas tersebut, bukan berdasarkan

diagnosa atau jenis perawatan. Tanpa kemampuan untuk

memutakhirkan kepesertaan berdasarkan peristiwa kelahiran

dan kematian di basis data JKN dengan dinamis dan sewaktu,

pemerintah berisiko melakukan kesalahan dalam penaksiran dan

penghitungan alokasi dana kapitasi ini.

Pelaporan kematian bahkan lebih jarang lagi terjadi dan lebih tidak konsisten dibandingkan dengan pelaporan kelahiran. Keluarga dan individu yang menerima berbagai jenis bantuan sosial yang berbeda-beda harus melaporkan peristiwa kematian ke masing-masing program melalui mekanisme yang terpisah. Karena kurangnya cara

untuk memperbarui daftar penerima manfaat, atau untuk

menyelaraskan data antarprogram, setiap kali sebuah program

bantuan sosial baru diluncurkan, atau apabila program lama

diperluas, maka program tersebut terpaksa menggunakan

sumber dayanya untuk memperbarui informasi mengenai

penerima manfaat mereka secara langsung dari masyarakat.

Hal ini membuang-buang sumber daya, padahal berbagai

program mengumpulkan data penerima manfaat yang sama,

sering kali dengan indikator yang saling bersinggungan. Ini juga

menyulitkan Kementerian Sosial dalam memastikan bahwa

semua orang yang memang perlu menerima manfaat telah

dijangkau secara efektif.

Rekomendasi

Layanan pencatatan sipil hendaknya dimasukkan sebagai komponen utama dalam program bantuan sosial, khususnya dalam program-program yang memiliki banyak interaksi langsung dengan penerima manfaat, seperti misalnya PKH, KIS, dan KIP.

• Programrintisan/percontohanyangsaat ini tengahberjalan

untuk memperbaiki BDT dan penentuan sasaran program

bantuan sosial daerah, di beberapa kabupaten dapat mulai

memasukkan pemberian layanan identitas hukum sebagai

bagian dari manfaat layanan sosial bagi masyarakat miskin.

Page 30: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial6

Selain itu program rintisan itu juga bisa dimanfaatkan untuk

mengetahui siapa saja orang yang berhak namun masih

belum terdaftar sebagai peserta program bantuan sosial

sebagai akibat ketiadaan NIK dan identitas hukum lainnya.

• Berbagai kampanye untuk meningkatkan pemahaman

mengenai hak atas identitas hukum hendaknya memasukkan

informasi mengenai bagaimana pencatatan sipil dapat secara

langsung maupun tidak langsung memfasilitasi pemenuhan

hak atas kesejahteraan dan bantuan sosial. Sejalan dengan ini,

kampanye program bantuan sosial juga perlu menyebarkan

informasi seputar proses pengurusan pencatatan sipil

termasuk bagaimana menyiasatinya serta informasi rujukan

ke kantor layanan pencatatan sipil atau layanan publik yang

tepat.

• Secara umum, hubungan antara pencatatan sipil dengan

capaian utama para administrator dan pendamping

program bantuan sosial hendaknya lebih ditekankan, agar

staf program bantuan sosial merasa berkepentingan untuk

memastikan bahwa peristiwa penting dalam kehidupan klien

mereka telah tercatat. Untuk itu, Kementerian Sosial harus

menyusun sebuah pedoman mengenai pencatatan sipil dan

meningkatkan kapasitas para administrator dan pendamping

untuk menyampaikan informasi mengenai pencatatan sipil

bagi penerima manfaat, merekam data mengenai peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan (termasuk kematian),

menemukenali para penerima manfaat yang tidak memiliki

identitas hukum yang selayaknya, dan merujuk informasi

ini kepada penyedia layanan pencatatan sipil. Informasi ini

hendaknya ditindaklanjuti dengan upaya penjangkauan

layanan pencatatan sipil.

• Untuk meredam risiko adanya warga yang luput terdaftar

sebagai peserta, maka sebagai bagian dari mekanisme

pemutakhiran, operator dan fasilitator program bantuan sosial

hendaknya dapat menemukenali siapa saja orang yang bukan

penerima manfaat yang tidak memiliki NIK (dan identitas

hukum), yang sebenarnya berhak mendapat bantuan sosial,

lantas merujuk informasi ini ke penyedia layanan pencatatan

sipil.

Karena BDT yang baru dimutakhirkan akan memuat informasi mengenai kepemilikan identitas hukum sekitar 40 persen penduduk termiskin, data ini hendaknya digunakan untuk mengidentifikasi dan melayani individu

yang tidak memiliki dokumen identitas hukum dan kependudukan yang layak.

• Sebagaiawal,pemerintahhendaknyamenganalisissebaran

masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas hukum

berdasarkan beberapa indikator layanan yang memang

bermanfaat, seperti misalnya kuintil kemiskinan, wilayah

geografis, usia, dan gender. Berdasarkan analisis ini,

pemerintah pusat dan daerah dari berbagai sektor hendaknya

bekerja sama untuk memberikan layanan pencatatan sipil

yang sesuai, serta mengusahakan perubahan kebijakan.

Misalnya, di tempat-tempat yang jumlah pasangan yang

menikah secara agama namun tidak memiliki akta perkawinan

begitu besar, program yang dijalankan harus dimulai dengan

layanan terpadu yang melibatkan Pengadilan Agama dan

Negeri, Kantor Urusan Agama, dan Disdukcapil.

• Saatorang-orangyangtelahdiidentifikasiinidiberiidentitas

sebagai warga sipil yang sesuai, informasi tersebut harus

disinkronkan dengan BDT dan dengan register kepesertaan

program yang sifatnya spesifik. Informasi ini akan menjadi

masukan bagi para administrator program bantuan sosial

bahwa individu yang baru saja terdaftar kini telah berhak atas

berbagai manfaat perlindungan sosial.

Sebagai bagian dari tujuan menciptakan mekanisme

pemutakhiran data penerima manfaat berbagai program

bantuan sosial, pemerintah harus menanamkan upaya

penguatan dalam membangun interoperabilitas antara

berbagai register penerima manfaat bantuan sosial, BDT, SIAK,

dan sistem informasi lainnya.

• Semuabasisdataprogrambantuansosialharusmenggunakan

NIK sebagai dasar dari keterhubungan ini, karena NIK merupakan

sarana yang sederhana dan efisien untuk mengurangi duplikasi

entri individu. Penggunaan NIK dalam BDT adalah hal yang perlu

disambut baik dan upaya berkesinambungan harus terus dilakukan

untuk membangun keterhubungan antara BDT yang termutakhirkan

dengan SIAK. Hal ini diharapkan mampu menyumbang kepada

perbaikan penentuan sasaran bantuan sosial secara signifikan,

dan pada saat yang sama mampu mendorong harmonisasi data

peristiwa kelahiran, kematian, dan perpindahan yang terekam oleh

BDT, basis data bansos daerah, dan SIAK.

• SIAK hendaknya diintegrasikan dengan register yang dimiliki

oleh program seperti data induk (Master File) BPJS Kesehatan

Page 31: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial 7

yang memuat data peserta JKN. Interkonektivitas antara

SIAK, BDT, dan Master File dapat membantu BPJS Kesehatan

mendaftarkan peserta baru PBI-JKN, menghapus peserta

yang sudah tidak lagi berhak karena telah meninggal dunia,

dan menyesuaikan perkiraan proyeksi penerima manfaat

karena adanya perpindahan masuk dan ke luar wilayah. Hal

ini juga memungkinkan BPJS Kesehatan menghitung anggaran

kapitasi untuk fasilitas layanan kesehatan primer secara akurat.

• Karena banyak programbantuan sosial dikelola dan dibiayai

oleh pemerintah daerah, register lokal untuk program bantuan

sosial hendaknya juga terhubung dengan SIAK.

• Seluruh upaya pengintegrasian ini akan membutuhkan

kepemimpinan yang kokoh dari seluruh sektor pemerintahan

yang terlibat. Selain itu dibutuhkan pula advokasi yang

gigih mengenai keuntungan dari pengagihan data serta

keterhubungan sumber data baik antar sektor maupun

antara tingkat administrasi pemerintahan termasuk pembuat

kebijakan, pengelola data, dan penyedia layanan.

Materi Rujukan

1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan]

2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Every child’s

birth right: Inequities and trends in birth registration. New

York: UNICEF.

3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y., Pangaribuan,

L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central Java:

Results from the Indonesian mortality registration system

strengthening project. BMC research notes, 3(1), 325.

4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,

newborn and child health: Understanding key progress

indicators. Geneva: WHO Document Production Services.

5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as

appropriate for health mapping in a low resource setting:

A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.

6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat

Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,

legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.

8 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan

Presiden No 2 Tahun 2015.

9 Schmitt, V., Mulyanto, R., & van Langenhove, T. (2014).

Rancangan sistem rujukan terpadu untuk perluasan

program perlindungan sosial di Indonesia. Jakarta,

Indonesia: ILO and Japan Fund.

10 Marskell, J. (2014). The Philippines civil registration and vital

statistics case study and indicative investment plan 2015–

2019.

11 Apland, K., Blitz, B. K., Calabia, D., Fielder, M., Hamilton, C.,

Indika, N., … Yarrow, E. (2014). Birth registration and

children’s rights: a complex story. Plan International:

Policy Advocacy and Campaign Department.

12 Harbitz, M. E., & Tamargo, M. del C. (2009).The significance of

legal identity in situations of poverty and social exclusion:

The link between gender, ethnicity, and legal identity.

Inter-American Development Bank.

13 Barca, V., & Chirchir, R. (2014). Single registries and integrated

MISs: De-mystifying data and information management

concepts (Social Protection and Growth: Research

Synthesis) (hal. 1–68). Department of Foreign Affairs and

Trade, Australia.

14 Republic, U. (2012). Social assistance grant for empowerment

implementation guidelines national. Diunduh dari www.

socialprotection.go.ug/pdf/SAGE%20Implementation%20

Guidelines%20National-District%20V%2020%20

Feb%202012.pdf.

Page 32: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Program Perlindungan Sosial8

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]

Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)

Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,

Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182

www.puskapa.org

15 Barca, V. (2016). Integration, in practice: Key pillars,

international challenges and solutions. Presented at the

International Seminar on Integration of Databases and

Information Systems for the Improvement of Public Policy,

Rio de Janeiro, Brasillia. Diunduh dari https://www.wwp.

org.br/sites/default/files/ppt/Semina%CC%81rio%20

Internacional%20Base%20de%20Dados%2C%205%20

e%206%20abril%20-%20Valentina%20Barca%2C%20

Integration%20%28English%29_0.pdf.

16 Muzzi, M. (2010). UNICEF good practices in integrating birth

registration into health systems (2000–2009): Case studies:

Bangladesh, Brazil, the Gambia and Delhi. New York: UNICEF.

17 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing

discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.

18 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Australia-Indonesia

Partnership for Justice’s baseline on legal identity:

Indonesia’s Missing Millions, Jakarta, Indonesia: DFAT

Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Penulis:

Clara Siagian, Cyril Bennouna, & Santi Kusumaningrum.

Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan

daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih

berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten

Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan

pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.

Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap

pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai

upaya validasi atas temuan yang diperoleh.

Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222

responden.

Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.

Page 33: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan Layanan Dasar

Juli 2016

Setiap orang berhak mendapatkan layanan pencatatan sipil dan

pemberian identitas hukum dari pemerintah mereka sebagai

bagian dari sistem layanan dasar. Sistem pencatatan sipil dan

statistik hayati, atau civil registration and vital statistics (CRVS)

yang berfungsi baik juga menghasilkan data populasi mengenai

angka kesuburan, kematian, dan penyebab kematian, yang

sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan pembuatan

kebijakan di berbagai sektor. Sebagai negara dengan populasi

terbesar keempat di dunia yang sangat beragam dari segi

kondisi geografis, budaya, dan bahasa, serta tengah mengalami

desentralisasi, sistem CRVS Indonesia masih terfragmentasi

dan tidak terkoordinasi dengan baik. Memperkuat CRVS di

Indonesia memerlukan pendekatan dua arah yang mencakup

tidak hanya perubahan dalam kebijakan dan penyediaan

layanan, namun juga dalam partisipasi masyarakat. Memo ini

disusun berdasarkan berbagai temuan dari sebuah penelitian

yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional/BAPPENAS yang bekerja sama dengan PUSKAPA

i Catatan kebijakan ini mengartikan sistem civil registration and vital statistics (CRVS) atau pencatatan sipil dan statistik hayati sebagai semua mekanisme pemerintah dalam mencatat dan/atau melaporkan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan—termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, dan perceraian—dan bagaimana mekanisme tersebut terkait dengan pemberian akta atas terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud. Dalam penelitian kali ini, pertanyaan-pertanyaan terutama difokuskan hanya pada kelahiran dan kematian. Di Indonesia, belum ada sistem CRVS yang berlaku tunggal dan universal, namun terdapat berbagai mekanisme yang bertautan yang kadang berpotongan atau tumpang tindih, tapi kebanyakan masih berjalan secara paralel dan jarang membentuk kesatuan yang utuh.

Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian CRVS dan Keterlibatan Masyarakat

Catatan Kebijakan

Page 34: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat2

dan Program Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk

Kesejahteraan (KOMPAK) mulai dari akhir 2015 hingga awal

2016. Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki berbagai cara

agar pelibatan masyarakat dapat turut mewujudkan komitmen

pemerintah untuk memperbaiki sistem CRVS di Indonesia. Studi

ini juga merekomendasikan cara-cara yang dapat ditempuh agar

program pemberdayaan dan partisipasi warga negara dapat

turut andil untuk mencapai solusi yang berkesinambungan.

CRVS di Indonesia

Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme tunggal yang

terkonsolidasi untuk pengumpulan statistik kelahiran dan

kematian di berbagai sektor, dan data kematian masih

diproyeksikan berdasarkan hasil sensus sepuluh tahunan.

Kewenangan mencatatkan kelahiran ataupun kematian

dimiliki oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun

beberapa lembaga pemerintah lain memiliki peran dalam

kegiatan perekaman atau pendokumentasian, dan banyak

pula yang mengumpulkan, menganalisis, serta menggunakan

data yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hayat penting

kependudukan.

Hanya 56 persen anak Indonesia (di bawah usia 18 tahun)

memiliki akta kelahiran,1 dan Indonesia termasuk negara dengan

jumlah terbesar anak di bawah usia lima tahun yang kelahirannya

tidak tercatat.2 Pencatatan kematian nyaris tidak terjadi dan

data mengenai penyebab kematian amat minim atau bahkan

sama sekali tidak tersedia di banyak wilayah di negara ini.3,4

Tanpa statistik hayati yang menyeluruh, sewaktu, dan akurat,

banyak kementerian melaporkan bahwa mereka tidak mampu

melakukan perencanaan, penyusunan target, dan pengawasan

layanan secara akurat.5,6

Meskipun lazimnya pencatatan hanya merupakan urusan satu

atau dua lembaga pemerintahan, pengelolaan sistem CRVS

yang lemah dapat menyebabkan efek domino di berbagai sektor

lain. Sebagai contoh, setelah diadopsinya Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (SDG), Bank Dunia berargumen bahwa kepemilikan

identitas hukum bagi semua orang, akan “mendukung pencapaian

setidaknya 10 SDG lainnya,” termasuk menguatkan perlindungan

sosial, meningkatkan akses masyarakat miskin ke sumber

daya ekonomi, mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada

bayi baru lahir, memberdayakan perempuan, dan memberikan

perlindungan bagi anak.7 Sebuah studi global belum lama ini

menemukan, bahkan setelah mengendalikan faktor-faktor

seperti pendapatan dan kapasitas sistem kesehatan, bahwa

negara-negara yang memiliki sistem CRVS yang berfungsi baik

cenderung memiliki capaian hasil kesehatan yang lebih baik,

termasuk tingkat harapan hidup yang lebih tinggi serta angka

kematian ibu dan anak yang lebih rendah.8 Berbagai studi di

Indonesia sendiri telah menemukan bahwa kepemilikan identitas

hukum berkaitan dengan keberlanjutan pendidikan di sekolah9

dan naiknya penggunaan layanan kesehatan.10

Menyadari akan kaitan tersebut, pemerintah berkomitmen

memperkuat mekanisme CRVS. Hal ini tergambar dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada pemerintahan

Presiden Joko Widodo, yang bermaksud meningkatkan akses

pada layanan dasar yang bermutu, termasuk kesehatan,

pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, serta pencatatan

sipil dan identitas hukum sebagai cara untuk mengurangi

kemiskinan di Indonesia.11 Sebagai bagian dari rencana ini,

Presiden menargetkan sebanyak 85 persen anak sudah

memiliki akta kelahiran pada 2019. Dalam beberapa tahun

ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan yang

menyederhanakan prosedur pencatatan kelahiran, memfasilitasi

upaya penjangkauan masyarakat terpencil, dan mendorong upaya

kerjasama antar kementerian untuk memperbaiki pencatatan

kematian. Kementerian Dalam Negeri telah melakukan penguatan

yang menjanjikan dalam modernisasi basis data kependudukan

Indonesia melalui sistem informasi administrasi kependudukan

(SIAK) yang saat ini sudah dalam versi kelima. Meskipun demikian,

berbagai inisiatif itu kerap belum terkoordinasi dengan baik,

dan dalam konteks desentralisasi, implementasi secara baku

di berbagai daerah terpencil masih jauh dari ideal. Sampai saat

ini, masih belum ada rencana nasional yang memerinci strategi

pemerintah untuk mengintegrasikan pencatatan sipil dalam

satu sistem yang menyeluruh dan yang mampu menyediakan

dokumen yang tepat serta menghasilkan statistik hayati yang

Page 35: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 3

akurat, sinambung, sewaktu, dan bisa digunakan oleh berbagai

sektor pemerintahan.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

BAPPENAS menjajaki berbagai cara agar berbagai sektor yang

berkepentingan atas penguatan CRVS dapat dikerahkan untuk

bekerja sama mewujudkan sistem yang terpadu, lengkap,

dan dapat diandalkan. Sejalan dengan pendekatan utama

pemerintah dalam memperkuat kapasitas pemerintah daerah

untuk menyediakan layanan dasar, pemerintahan di tingkat

kecamatan dan kelurahan/desa diharapkan dapat melibatkan

masyarakat untuk secara aktif menemukenali kebutuhannya.

Lebih lanjut lagi, pelibatan masyarakat harus diperluas untuk

mengembangkan dan melaksanakan program sesuai konteks

sehingga dapat mengatasi masalah-masalah mendesak terkait

akses masyarakat ke layanan dasar. Pejabat dan warga desa

juga diberi rasa memiliki yang lebih besar untuk ikut memberi

masukan bagi perencanaan dan pemanfaatan dana desa dengan

lebih baik. Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 yang belum

lama disahkan, serta Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014

yang terkait, misalnya, membuka peluang bagi warga desa untuk

terlibat dalam pembangunan masyarakat melalui pendamping

desa, lembaga setempat, seperti misalnya Badan Pemberdayaan

Masyarakat Desa, dan kegiatan tertentu, seperti musyawarah

desa. Selain itu, revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah No.

23 Tahun 2014 juga menghidupkan kembali peran kecamatan

dalam pemerintahan dan penyediaan layanan.

Pelajaran Utama dari Negara Berpendapatan Rendah dan Menengah Lainnya

Meninjau lebih dari 500 kajian dan laporan tentang CRVS yang telah

dipublikasikan, kami menemukan bahwa kegiatan peningkatan

kesadaran melalui keterlibatan masyarakat sudah dijalankan di

sejumlah negara berpendapatan rendah dan menengah demi

meningkatkan pencatatan kelahiran.12,13 Kegiatan-kegiatan

tersebut membangun komunikasi dan pertukaran informasi

antar pemerintah dan populasi yang menjadi sasaran. Mereka

juga bisa mendorong perubahan-perubahan yang diperlukan

dari segi sikap dan perilaku, contohnya, dengan mendorong

pemanfaatan layanan pencatatan sipil. Pendekatan yang

melibatkan masyarakat dengan efektif sering kali bergantung

pada kemitraan dengan tokoh agama dan pemimpin daerah

lainnya yang dipercaya warga dan mampu mengarungi norma-

norma sosial dan budaya.14 Di Afghanistan, misalnya, di mana

banyak sekali kelahiran dan kematian terjadi di luar fasilitas

kesehatan, Kementerian Kesehatan Masyarakat bekerja dengan

para mullah (imam) setempat untuk mendorong masyarakat agar

melaporkan peristiwa-peristiwa hayat penting.

Pendekatan lain adalah dengan menjadikan warga sebagai

relawan, atau bermitra dengan organisasi masyarakat sipil

(OMS) agar dapat secara cepat memperbanyak kader untuk

penjangkauan. Di India, misalnya, relawan dikirim ke rumah-

rumah penduduk untuk bertemu warga yang tidak memiliki

dokumen identitas hukum dan melakukan sosialisasi mengenai

keuntungan pencatatan sipil dari segi administratif maupun

hukum, sekaligus mendorong mereka untuk mencatatkan

kelahiran dan kematian yang terjadi.15 Di Mali, relawan masyarakat

(kebanyakan perempuan tanpa pendidikan formal) dilatih oleh

tenaga kesehatan masyarakat untuk rutin mengumpulkan data

kematian balita di tingkat warga sebagai bagian dari kegiatan

rapid mortality monitoring (pemantauan cepat kematian).16

Pembinaan secara rutin dari para tenaga kesehatan masyarakat,

pemberian tunjangan bulanan untuk transportasi dan pulsa

telepon seluler merupakan kunci keberhasilan program tersebut.

Di Ghana, sebaliknya, warga yang dilatih untuk melakukan

pencatatan kelahiran di area terpencil tidak diberi upah dan

kerap tidak mendapat pembinaan. Mereka sempat berkontribusi

pada tercapainya peningkatan besar-besaran dalam cakupan

kepemilikan akta kelahiran, namun seiring dengan waktu, terjadi

kemandekan karena banyak relawan kehilangan motivasi dan

sebagian mulai meminta bayaran tidak resmi dari masyarakat

yang dilayani.17,18

Di Indonesia, upaya memperkuat berbagai aspek dalam CRVS

beberapa kali telah memanfaatkan pendekatan yang melibatkan

masyarakat. Di beberapa kabupaten, kampanye layanan

terpadu keliling melibatkan paralegal melalui OMS seperti

PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) untuk

memberi panduan bagi keluarga yang mengajukan permohonan

memperoleh akta kelahiran dan akta nikah.19 Model serupa

telah diterapkan di 17 provinsi dan baku prosedur pelaksanaan

(Standard Operational Procedures) telah dikembangkan untuk

membantu penerapan model ini di tempat lain. Dalam skala

yang lebih kecil, sebuah model yang melibatkan kader PKK untuk

menemukenali kebutuhan pencatatan sipil dan memutakhirkan

basis data kependudukan juga telah dikembangkan di Surakarta.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bagaimana anggota

masyarakat dapat berperan dalam pemantauan peristiwa

hayat penting. Salah satu yang menonjol adalah metode yang

diujicobakan dalam program initiative for maternal mortality

Page 36: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat4

programme assessment di Provinsi Banten. Dalam uji coba ini

ketua Rukun Tetangga dan kader Posyandu mendokumentasikan

dan melaporkan kematian ibu di lingkungan mereka.20 Uji coba

metode berbiaya rendah itu terbukti berhasil memperkirakan

kematian ibu di dua kabupaten di Banten.

Pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan kapasitas

adalah langkah awal yang perlu diambil untuk memastikan

keberhasilan proses pelibatan masyarakat. Pemberdayaan

masyarakat juga bisa difasilitasi oleh pemerintah, misalnya oleh

fasilitator desa sebagaimana tercantum dalam UU Desa. Organisasi

Masyarakat Sipil dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

memiliki ikatan erat dengan masyarakat juga dapat secara efektif

menjembatani pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan

pencatatan peristiwa-peristiwa hayat penting. Sebuah LSM di India,

misalnya, mampu membentuk kemitraan dan pelatihan dengan

dinas setempat yang terkait dengan pencatatan peristiwa-peristiwa

hayat penting, sekaligus memberikan pelatihan dan pembinaan

bagi warga untuk melakukan kegiatan peningkatan kesadaran

dan pengumpulan data.21 Upaya itu turut memanfaatkan cara-cara

lokal yang sesuai untuk penyebaran informasi, seperti misalnya

melalui kelompok musik tetabuhan dan iklan televisi.

Temuan Utama dari Penelitian Formatif Tahun 2016

Penelitian ini menemukan bahwa pencatatan sipil di tiga lokasi penelitian masih jauh dari sifat universal ataupun berlaku umum. Satu dari tiga anak tidak memiliki identitas

hukum atas kelahiran mereka, dua dari lima pernikahan tidak sah

secara hukum, hampir satu dari lima orang dewasa tidak dapat

menunjukkan kartu identitas (KTP) atau kartu keluarga (KK) yang

mencantumkan nama mereka, dan kepemilikan akta kematian

nyaris tidak ada. Bagi beberapa yang memiliki berbagai dokumen

kependudukan, sering kali isi dokumen-dokumen tersebut tidak

konsisten satu sama lain. Lebih dari sepertiga responden memiliki

akta perkawinan tapi tercatat “tidak menikah” dalam KK mereka,

atau dicatat dengan status “menikah” di KK mereka, tapi tidak

memiliki akta perkawinan.

Tingkat kesadaran akan manfaat mencatatkan peristiwa hayat penting dan kepemilikan identitas hukum di daerah penelitian masih cukup rendah, khususnya pencatatan kematian. Kesadaran masyarakat terkait proses resmi untuk

memperoleh dokumen kependudukan dan identitas hukum

juga rendah. Biasanya warga hanya mengurus akta kelahiran

dan akta kematian ketika dokumen tersebut diperlukan untuk

tindakan khusus, yang jarang terjadi. Hal itu khususnya terjadi

untuk akta kematian. Banyak keluarga cenderung menunggu

munculnya peristiwa hayat penting lainnya, seperti kelahiran

atau perpindahan domisili, untuk menghapus nama anggota

keluarganya yang telah meninggal dari KK. Akibatnya ada selang

waktu yang lama antara terjadinya kematian dan ditutupnya

data seseorang dalam basis data kependudukan. Kurang lebih

15 persen responden tidak tahu apakah akta kelahiran dapat

diperoleh tanpa akta perkawinan, dan hal ini menunjukkan

kurangnya pemahaman akan proses resmi. Saat pengumpulan

data, akta kelahiran dapat dibuat tanpa akta perkawinan orang

tua, namun akta kelahiran tersebut hanya mencantumkan

nama ibunya, dan hal ini merampas hak anak atas identitas

yang lengkap.ii

ii Peraturan Kementerian Dalam Negeri No. 9 Tahun 2016 belum lama mengubah kebijakan ini, memungkinkan dicantumkannya nama kedua orang tua dalam akta kelahiran selama mereka dapat menunjukkan KK yang menunjukkan mereka sudah menikah.

Page 37: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 5

dilibatkan dalam proses perencanaan di tingkat desa melalui

musrenbangdes, kegiatan yang mempertemukan warga dan

pejabat desa untuk bersama-sama menyepakati prioritas kegiatan

dan pemanfaatan dana desa. Akan tetapi, saat pengumpulan data,

musrenbangdes di semua lokasi penelitian mengesampingkan

keterlibatan segmen warga terbesar. Tidak sampai sepertiga (30

persen) rumah tangga yang disurvei di tiap kecamatan menyatakan

ikut hadir dalam musrenbangdes pada tahun sebelumnya. Jumlah

yang kurang lebih sama (28 persen) tidak pernah menghadiri

pertemuan tersebut, dan lebih dari sepertiga (35 persen) belum

pernah mendengar tentang musrenbangdes.

Rekomendasi

Melibatkan masyarakat dalam upaya penguatan CRVS dapat memperbesar rasa memiliki mereka atas upaya tersebut dan meningkatkan keberlanjutannya. Pemerintah di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa harus mengoordinasikan usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas haknya memiliki dokumen kependudukan dan identitas hukum. Nilai penting dan kegunaan dokumen-dokumen juga harus dikomunikasikan dengan cara yang tepat dan dapat dengan mudah diakses.

• Pihakyangberwenangmelakukanpencatatansipilhendaknya

secara rutin membagikan informasi pada warga mengenai

persyaratan, proses, dan tantangan terkait pencatatan sipil.

Mereka hendaknya siap dengan jawaban atas pertanyaan

yang berkaitan dengan pencatatan sipil sebagai bagian dari

standar pelayanan minimum (SPM). Semua penerima manfaat

hendaknya memiliki peluang untuk memberi masukan terkait

layanan yang mereka peroleh (atau yang tidak mereka

peroleh), dan para penyedia layanan diharapkan dapat rutin

mengkaji dan menanggapi masukan tersebut.

• Prinsip dasar perencanaan dan evaluasi berbasis bukti

perlu ditegaskan di tiap tingkat administrasi pemerintahan.

Petugas pemerintah yang bertanggung jawab untuk

merumuskan kebijakan dan program harus dilatih dalam

menilai kualitas data dan menggunakan data secara efektif.

Hal ini sangat penting untuk meningkatkan akuntabilitas tata

kelola pemerintahan daerah. Sejalan dengan itu, kegunaan

statistik hayati sebaiknya dikomunikasikan pada masyarakat

dari mana data tersebut bersumber demi meningkatkan

transparansi dan dukungan masyarakat.

Dalam menanggapi rendahnya kesadaran ini, pegawai pemerintah di tiga lokasi lapangan meluncurkan sosialisasi agar warga masyarakat menjadi semakin paham akan pentingnya akta kelahiran, dan ini dilakukan melalui pegawai kecamatan, pengumuman di radio, dan penyebaran poster. Upaya-upaya ini cenderung berisi penyampaian informasi

tentang sudah dihapuskannya biaya kepengurusan akta kelahiran

di tingkat nasional. Saat pengumpulan data, Disdukcapil Pangkep

mengumumkan perihal pencatatan sipil melalui siaran radio

publik dan penyebaran brosur. Di Pekalongan, kader PKK dilatih

dan dimobilisasi untuk mengumpulkan data mengenai cakupan

kepemilikan akta kelahiran dan menyebarkan informasi mengenai

pentingnya kepemilikan akta. Beberapa pegawai kabupaten di

Arongan Lambalek, Aceh, menganggap metode tidak langsung

seperti ini tidak efektif. Menurut mereka, akan lebih efektif jika

penyebaran informasi memanfaatkan media budaya dan ekspresi

tradisi untuk menjangkau masyarakat. Penting juga untuk dicatat

bahwa tidak satu pun pemerintah daerah di lokasi penelitian yang

melakukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang nilai

penting pencatatan kematian.

Ketiga lokasi penelitian seluruhnya memiliki sistem informal untuk mendukung warga memperoleh dokumen kependudukan dan identitas hukum. Lebih dari setengah

(57 persen) akta kelahiran warga di seluruh sampel diperoleh

dari pegawai desa. Jarang sekali warga memperoleh akta

kelahiran secara langsung dari kantor kabupaten, yaitu hanya

16 persen; kebanyakan terjadi di daerah yang terletak dekat

ibukota kabupaten. Namun, tanpa dukungan dan pembinaan

dari pemerintah, terkadang para petugas desa dan perantara

terpaksa meminta biaya dalam jumlah besar sebagai pengganti

biaya transportasi.

Desa-desa di wilayah penelitian telah memulai proses pengumpulan dan pelaporan data peristiwa hayat penting; meski demikian, upaya tersebut belum dijalankan secara sistematis atau terus-menerus. Meskipun UU Desa memberi wewenang perencanaan bagi desa—yang mensyaratkan adanya sistem data yang andal untuk menyusun prioritas dan sasaran— kepala desa dan pegawainya tidak serta-merta memanfaatkan data yang sudah mereka miliki untuk keperluan tersebut. Disdukcapil di Aceh Barat adalah satu-

satunya wilayah dari tiga kabupaten penelitian yang memiliki rencana

melibatkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) dalam

upaya meningkatkan kepemilikan dokumen kependudukan dan

identitas hukum. Berdasarkan UU Desa, masyarakat hendaknya

Page 38: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat6

• Pemerintah desa harus mempromosikan musrenbang dan

mekanisme diskusi serupa lainnya di komunitas mereka

serta berupaya membuat wadah rembug dan pengambilan

keputus an warga ini lebih inklusif. Upaya pelibatan pejabat

daerah dan masyarakat setempat sebaiknya difasilitasi pe-

merintah melalui BPMD dan dengan melibatkan pendamping

desa secara terus-menerus. Pemantauan peristiwa penting

yang tepat juga sangat bergantung pada dukungan dan

kepemilikan dari warga dan pemimpinnya. Jika dilakukan

dengan tepat, perencanaan dan penganggaran di tingkat

desa bisa membuka kesempatan bagi petugas desa untuk

mendapatkan manfaat dari pencatatan dan pengumpulan

data serta bagi warga untuk mengusulkan perbaikan layanan.

• Kampanyepeningkatankesadaranharusdijalankanselama

program penguatan CRVS demi mencapai perubahan perilaku

yang lestari dalam pencatatan kelahiran dan kematian.

Saat perencanaan program penguatan CRVS, hendaknya dilakukan konsultasi dengan masyarakat mengenai ke-butuhan dan preferensi mereka terkait pencatatan sipil. Program-program tersebut sebaiknya dapat dijalankan dalam sistem administratif dan sistem kemasyarakatan yang sudah ada, alih-alih sebagai intervensi yang sifatnya paralel.

• Praktikbudayayangmembuatkegiatanpencatatanmenjadi

rumit hendaknya disadari dan dihormati. Penyedia layanan

dan pembuat kebijakan perlu mengajak masyarakat sasaran

untuk mengembangkan strategi yang mengakomodasi

pencatatan sipil dan pelaporan peristiwa hayat penting yang

lebih baik seturut praktik budaya yang ada.

• Melalui implementasi dana desa dan UU Desa, kegiatan

kajian dan perencanaan yang berjalan di masyarakat harus

inklusif dan terbuka bagi seluruh anggota masyarakat dan

diselenggarakan secara rutin. Anggota masyarakat dari

seluruh lapisan hendaknya diundang untuk ikut serta dalam

kegiatan ini.

• Strukturkepemimpinandanpembagianwilayahadministrasi

sebaiknya juga dimasukkan dalam rencana penguatan

sistem CRVS. Hal ini dapat mencakup RK, RW, dasawisma,

dan mukim (unit semi-informal antara kecamatan dan desa

di Aceh), juga PKK dan kelompok informal lainnya.

• Organisasi Masyarakat Sipil dan LSM yang memiliki

jaringan kuat di masyarakat hendaknya menjadi katalis

untuk memperkuat keterlibatan pemerintah dan masyarakat

melalui advokasi, fasilitasi pelatihan dan perencanaan, serta

dukungan untuk pelaksanaan kegiatan masyarakat.

• Masyarakat sipil dan organisasi-organisasi relawan dapat

membantu membangun dan menemukenali kebutuhan

pencatatan sipil, melakukan koordinasi kegiatan pencatatan,

dan memantau peristiwa-peristiwa hayat penting untuk

meningkatkan pelaporan. Jika warga bersedia menjadi

relawan dalam kegiatan-kegiatan tersebut, mereka harus

mendapatkan pelatihan terlebih dahulu.

Page 39: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat 7

Materi Rujukan

1 Badan Pusat Statistik. (2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS). [Dataset tidak dipublikasikan].

2 United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013).Every child’s

birth right: Inequities and trends in birth registration. New

York: United Nations Children’s Fund.

3 Rao, C., Soemantri, S., Djaja, S., Adair, T., Wiryawan, Y.,

Pangaribuan, L., ... Lopez, A. D. (2010). Mortality in Central

Java: Results from the Indonesian mortality registration

system strengthening project. BMC research notes, 3(1),

325.

4 World Health Organization (WHO). (2011). Monitoring maternal,

newborn and child health: Understanding key progress

indicators. Geneva: WHO Document Production Services.

5 Fisher, R. P., & Myers, B. A. (2011). Free and simple GIS as

appropriate for health mapping in a low resource setting:

A case study in eastern Indonesia. International Journal of Health Geographics, 10(11), 10–1186.

6 Kementerian Kesehatan (2014). Laporan Tahunan Direktorat

Kesehatan Ibu 2013, Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

7 Dunning, C., Gelb, A., & Raghavan, S. (2014). Birth registration,

legal identity, and the post-2015 agenda. Center for Global Development Policy Paper. Washington DC: CGD.

8 Phillips, D. E., AbouZahr, C., Lopez, A. D., Mikkelsen, L., de

Savigny, D., Lozano, R., ... Setel, P. W. (2015). Are well

functioning civil registration and vital statistics systems

associated with better health outcomes?. The Lancet, 386(10001), 1386–1394.

9 Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Indonesia’s missing

millions: A baseline study on legal identity. Jakarta,

Indonesia: DFAT.

10 Jackson, M., Duff, P., Kusumanigrum, S., & Stark, L. (2014).

Thriving beyond survival: Understanding utilization of

perinatal health services as predictors of birth registration:

A cross-sectional study. BMC international health and human rights, 14(1), 306.

11 Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015-2019, Peraturan

Presiden No 2 Tahun 2015.

12 Fagernas, S., & Odame, J. (2013). Birth registration and access

to health care: An assessment of Ghana’s campaign

success. Bulletin of the World Health Organization.

13 Mikkelsen, L. (2012). Improving civil registration and vital

statistics systems: Lessons learnt from the application

of health information tools in Asia and the Pacific. Health

Information Systems Knowledge Hub’s Working Paper

Series.

14 Abouzahr, C., Azimi, S. Y., Bersales, L. G. S., Chandramouli,

C., Hufana, L., Khan, K., . . . Sauyekenova, L. (2014).

Strengthening civil registration and vital statistics in the

Asia-Pacific region: Learning from country experiences.

Asia-Pacific Population Journal, 29 (1) 39–73.

15 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening

of local vital events registration: Lessons learnt from a

voluntary sector initiative in a district in southern India.

Bulletin of the World Health Organization, 89(5), 379–384.

16 Munos MK, Koffi AK, Sangho H, Traoré MG, Diakité M, et al.

(2015). Strengthening community networks for vital event

reporting: Community-based reporting of vital events in

rural Mali. PLoS ONE 10(11): e0132164.

17 Fagernäs, S., & Odame, J. (2013). Birth registration and access

to health care: An assessment of Ghana’s campaign

success. Bulletin of the World Health Organization, 91(6),

459–464.

18 Peters, B. G., & Mawson, A. (2015). Governance and policy coordination the case of birth registration in Ghana. Office

of Research Working Paper, UNICEF

Page 40: Seri Catatan Kebijakan di Bidang Identitas Hukum, CRVS, dan … · 2019. 11. 12. · kebijakan di berbagai sektor. Dalam banyak kasus, dokumen kependudukan dan identitas hukum yang

Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat5

KOMPAKJalan Diponegoro No. 72, Jakarta 10320 IndonesiaT: +62 21 8067 5000 F: +62 21 3190 3090E: [email protected]

Pusat Kajian Perlindungan Anak (Center on Child Protection)

Universitas Indonesia Gedung Nusantara II (Ex PAU Ekonomi) FISIP,

Lantai 1 Kampus UI, Depok, 16424 T. 021.78849181 F. 021.78849182

www.puskapa.org

Catatan Kebijakan Juli 2016

Tak Terlihat, Tak Terjangkau - Memutus Rantai Keterabaian : CRVS dan Keterlibatan Masyarakat8

19 Sumner, C. (2015). Indonesia’s missing millions: Erasing

discrimination in birth certification in Indonesia. Center for Global Development Policy Paper, 064.

20 Qomariyah, Siti Nurul, et al. “An option for measuring maternal

mortality in developing countries: A survey using

community informants.” BMC pregnancy and childbirth 10.1 (2010): 1.

21 Mony, P., Sankar, K., Thomas, T., & Vaz, M. (2011). Strengthening

of local vital events registration: Lessons learnt from a

voluntary sector initiative in a district in southern India.

Bulletin of the World Health Organization Bull. , 89(5),

379-384. doi:10.2471/blt.10.083972

Lembaga Penelitian:Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA).

Penulis:

Ni Luh Putu Maitra Agastya, Rahmadi Usman, Harriz Jati, Cyril Bennouna, Clara Siagian, dan Santi Kusumaningrum.

Lokasi Penelitian:Provinsi Aceh, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan secara sengaja dipilih oleh suatu panitia pengarah yang terdiri dari Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan KOMPAK agar diperoleh variasi dalam hal tata kelola pemerintahan, peraturan

daerah, cakupan identitas hukum, praktik budaya, dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Di tiap provinsi, satu kecamatan dipilih

berdasarkan dukungan dari pimpinan daerah, skor yang rendah dalam indeks kemiskinan gabungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

PPN/BAPPENAS, dan variasi geografis (Kecamatan Arongan Lambalek di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Petungkriyono di Kabupaten

Pekalongan, dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan). Di tingkat kecamatan, dilakukan

pemilihan acak atas desa dan rumah tangga secara sistematis.

Metodologi: Tinjauan pustaka sistematis yang terdiri dari tiga bagian, wawancara informan inti, diskusi kelompok fokus (FGD), survei gugus multitahap

pada satu waktu (cross-sectional, multi-stage cluster survey) di tingkat kecamatan, serta konsultasi di tingkat nasional untuk sebagai

upaya validasi atas temuan yang diperoleh.

Ukuran sampel: Data dari 5.552 anggota rumah tangga, yang 2.361 di antaranya adalah anak-anak, diperoleh dari sampel yang terdiri dari 1.222

responden.

Seri Catatan Kebijakan “Tak Terlihat, Tak Terjangkau: Memutus Rantai Keterabaian” ini adalah bagian dari hasil studi pelembagaan identitas hukum dan pencatatan sipil dan statistik hayati (CRVS) dalam pemberian layanan dasar. Laporan utama dari studi ini dapat diunduh di situs KOMPAK dan PUSKAPA.