senin, 5 desember 2011 engah cuek p korupsi filesikap apatis yang ada di kelas menengah. da- ......

1
POLKAM 29 SENIN, 5 DESEMBER 2011 secara sik dalam demonstrasi-demonstrasi antikorupsi yang hanya mampu menggerak- kan massa kecil. Selain itu, tidak solidnya jaringan yang terbentuk di kelas itu membuat kelompok yang memiliki potensi besar tersebut tidak bisa berbuat banyak dalam hal pengentasan korupsi di Indonesia. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widiyoko mengatakan kelas menengah sering diposisikan sebagai ka- langan yang menyuarakan perubahan, atau menentang kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Namun, peran kelas menengah di Indonesia dalam pemberantasan korupsi belum memberikan dampak berarti. “Mereka cenderung apatis,” tukasnya. Isu korupsi, menurut Danang, berkaitan erat dengan kepentingan kelas menengah. Pemberantasan korupsi bisa berdampak pada kesejahteraan mereka. “Itu sangat riil bagi mereka,” paparnya. Posisi kelas menengah, sambungnya, memang amat istimewa, baik dari tinjauan historis, empiris, maupun teoretis. Peran normatif mereka untuk mengkritik kejahatan korupsi sering dihubungkan dengan status istimewa tersebut. Kelas egois Karena itu, tak mengherankan bila ada juga kelas menengah yang hanya memainkan peran normatif dan tidak menindaklanjuti lebih jauh. “Ini kelas yang egoistis. Mereka akan terlibat ketika ada bagian yang tidak mengancam. Sebaliknya di bagian yang mengancam, mereka tidak akan terlibat,” ungkap Danang. “Isu-isu korupsi sesungguhnya adalah isu kelas menengah karena kepentingan mereka ada di situ. Soal pelayanan publik, pungutan, itu kan merugikan mereka. Tapi, mereka akan terlibat langsung kalau mengganggu kepen- tingan mereka,” imbuhnya. Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa kelas menengah cenderung apatis. Lihat saja kasus korupsi para wakil rakyat praktis kurang direspons dalam bentuk gerakan bersama. Korupsi yang dilakukan para konglomerat dengan jumlah kerugian negara triliunan rupiah pun nyaris hanya mengece- wakan hati dan pikiran kelas menengah. Karena itu, tak mengherankan jika kemu- dian untuk sebuah gerakan masif ke jalan, ter- utama untuk menekan keseriusan pemerintah, belum muncul. “Mereka kelas yang enggak mau repot, enggak mau dirugikan, tapi kritis dan komplain juga,” tandas Danang. Di sinilah pentingnya menggugah kelas menengah. Bukan karena status istimewa, melainkan lebih kepada posisi strategis me- reka. Kelas menengah memiliki modal lebih untuk bisa bergerak. Ditambah pula merekalah yang lebih pu- nya akses atas keuntungan pembangunan. Untuk yang terakhir ini, bisa dikatakan menggugah kelas menengah berarti meng- ingatkan imbal balik atas penikmatan hasil pembangunan. Namun, kembali lagi soal kecenderungan sikap apatis yang ada di kelas menengah. Da- nang mengatakan lebih gampang mengorga- nisasi kelas buruh atau kelas bawah. “Karena kelas buruh, sudah pasti nasibnya di bawah. Kalau mereka berjuang, ada kemungkinan bisa naik ke kelas menengah,” ucapnya. Sebaliknya, tukas Danang, agak susah mengajak dan membangun solidaritas di kalangan kelas menengah. “Sepanjang tidak merugikan, tentu mereka akan terlibat. Tetapi bila ada risikonya, mereka cenderung me- narik diri.” (HZ/8/P-3) [email protected] engah Cuek p Korupsi angat diperlukan dalam hal pemberantasan korupsi. aat ini belum terwujud di Indonesia. KORUPSI bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Tetapi pada umumnya, korup- si biasanya dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan, baik kekuasaan uang maupun kekuasaan politik. Tengok saja seabrek pelaku korupsi di Indonesia, pasti melibatkan nama-nama beken mulai dari yang berprofesi sebagai pengawai negeri sipil (PNS) seperti Gayus Tambunan hingga pejabat tinggi negara seperti anggota DPR. Para koruptor umumnya tidak jauh dari lingkaran kelas menengah (secara ekonomi), bahkan berasal dari kelas itu sendiri. Mereka punya akses informasi, memiliki jaringan luas, dan punya penghasilan memadai. Oleh karena itu, tidak ber- lebihan jika kita menyebut jauh panggang dari api bila terlalu tinggi berharap kepada kelas menengah untuk melawan korupsi. Lalu, siapa atau golong- an masyarakat mana yang bisa diandalkan un- tuk melawan ko- rupsi di Indone- sia? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali menyata- kan perang melawan korupsi. Tetapi pemberantasan korupsi di negeri ini tetap saja terkesan tebang pilih. Apabila kita berkaca dari negara tetangga, Filipina, mi- salnya, otoriterisme dan pe- rilaku korup rezim Presiden Ferdinand Marcos bisa dirun- tuhkan oleh sebuah gerakan people power yang turut dimo- tori kelas menengah. Memang, kelas menengah Filipina agak berbeda dengan di Indonesia. Di Filipina, watak oportunis kelas menengah masih bisa dipisahkan dari kekuasaan rezim. Bila rezim dipandang tidak lagi mengun- tungkan, mereka bisa segera mengubah pendulum keber- pihakan. Hal itulah yang tidak selalu terjadi pada kelas menengah kita. Kelas menengah di negeri ini, meskipun tidak semuanya, masih sulit mengambil jarak dari pusaran kekuasaan. Selain itu, di Indonesia, suara kelas menengah tidak jelas se- hingga perjuangan antikorupsi yang mereka lakukan nyaris tidak terlihat di permukaan. Kondisi sosiologis perkotaan yang individualistis membuat kelas menengah belum tergu- gah untuk berpartisipasi aktif dalam pemberantasan korupsi, walau mereka sering mengam- bil bagian dan mendukung gerakan itu. Kelas menengah sesungguh- nya cukup sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh tindak- an korupsi. Tetapi me reka cenderung untuk mengeks- presikan hal itu hanya dengan kata-kata, tanpa ada tindakan nyata yang lebih berarti. Siapa yang mereka tiru? Tidak perlu kita menunjuk hidung siapa yang paling ber- tanggung jawab atas keber- hasilan dan kegagalan pembe- rantasan korupsi di negeri ini. Tetapi yang pasti, harus kita akui bahwa perang melawan korupsi yang dikumandangkan selama ini hanya garang dalam pernyataan dan wacana. Implementasi pernyataan soal perang melawan korupsi, baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korup- si, belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Bila negara saja belum mam- pu melawan korupsi, jangan berharap terlalu banyak dari masyarakat kelas menengah untuk berperan lebih hebat daripada apa yang dilakukan negara selama ini. (Amahl S Azwar/P-3) Siapa yang Mereka Tiru? Harus kita akui bahwa perang melawan korupsi yang dikumandangkan selama ini hanya garang dalam pernyataan dan wacana.” EBET SOROT MI/RAMDANI ANTARA/ANDIKA WAHYU MI/SUSANTO AKSI SIMPATIK: Seorang wanita yang tergabung dalam Aliansi Srikandi Pemberantasan Korupsi melakukan aksi simpatik dengan membagikan bunga di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (3/10). LASKAR ANTI KORUPSI: Seorang anggota Laskar Anti Korupsi Indonesia Pejuang (LAKI Pejuang) mengikuti aksi dan deklarasi laskar tersebut di depan Kantor KPK di Jakarta, Kamis (22/9). GENERASI JUJUR: Peserta membubuhkan cat warna pada kaus bertuliskan ‘generasi jujur antikorupsi’ saat mengikuti penyuluhan di gedung pusat Pertamina, Jakarta, beberapa waktu lalu. TEMA: Era Baru Perubahan Politik di Myanmar INTERNASIONAL SELASA (6/12/2011) FOKUS

Upload: phamdien

Post on 14-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POLKAM 29SENIN, 5 DESEMBER 2011

secara fi sik dalam demonstrasi-demonstrasi antikorupsi yang hanya mampu menggerak-kan massa kecil.

Selain itu, tidak solidnya jaringan yang terbentuk di kelas itu membuat kelompok yang memiliki potensi besar tersebut tidak bisa berbuat banyak dalam hal pengentasan korupsi di Indonesia.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widiyoko mengatakan kelas menengah sering diposisikan sebagai ka-langan yang menyuarakan perubahan, atau menentang kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Namun, peran kelas menengah di Indonesia dalam pemberantasan korupsi belum memberikan dampak berarti. “Mereka cenderung apatis,” tukasnya.

Isu korupsi, menurut Danang, berkaitan erat dengan kepentingan kelas menengah. Pemberantasan korupsi bisa berdampak pada kesejahteraan mereka. “Itu sangat riil bagi mereka,” paparnya.

Posisi kelas menengah, sambungnya, memang amat istimewa, baik dari tinjauan historis, empiris, maupun teoretis. Peran normatif mereka untuk mengkritik kejahatan korupsi sering dihubungkan dengan status istimewa tersebut.

Kelas egoisKarena itu, tak mengherankan bila ada

juga kelas menengah yang hanya memainkan peran normatif dan tidak menindaklanjuti lebih jauh. “Ini kelas yang egoistis. Mereka akan terlibat ketika ada bagian yang tidak mengancam. Sebaliknya di bagian yang mengancam, mereka tidak akan terlibat,” ungkap Danang.

“Isu-isu korupsi sesungguhnya adalah isu kelas menengah karena kepentingan mereka ada di situ. Soal pelayanan publik, pungutan, itu kan merugikan mereka. Tapi, mereka akan

terlibat langsung kalau mengganggu kepen-tingan mereka,” imbuhnya.

Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa kelas menengah cenderung apatis. Lihat saja kasus korupsi para wakil rakyat praktis kurang direspons dalam bentuk gerakan bersama. Korupsi yang dilakukan para konglome rat dengan jumlah kerugian negara triliunan rupiah pun nyaris hanya mengece-wakan hati dan pikiran kelas menengah.

Karena itu, tak mengherankan jika kemu-dian untuk sebuah gerakan masif ke jalan, ter-utama untuk menekan keseriusan pemerintah, belum muncul. “Mereka kelas yang enggak mau repot, enggak mau dirugikan, tapi kritis dan komplain juga,” tandas Danang.

Di sinilah pentingnya menggugah kelas menengah. Bukan karena status istimewa, melainkan lebih kepada posisi strategis me-reka. Kelas menengah memiliki modal lebih untuk bisa bergerak.

Ditambah pula merekalah yang lebih pu-nya akses atas keuntungan pembangunan. Untuk yang terakhir ini, bisa dikatakan menggugah kelas menengah berarti meng-ingatkan imbal balik atas penikmatan hasil pembangunan.

Namun, kembali lagi soal kecenderungan sikap apatis yang ada di kelas menengah. Da-nang mengatakan lebih gampang mengorga-nisasi kelas buruh atau kelas bawah. “Karena kelas buruh, sudah pasti nasibnya di bawah. Kalau mereka berjuang, ada kemungkinan bisa naik ke kelas menengah,” ucapnya.

Sebaliknya, tukas Danang, agak susah meng ajak dan membangun solidaritas di kalangan kelas menengah. “Sepanjang tidak merugikan, tentu mereka akan terlibat. Tetapi bila ada risikonya, mereka cenderung me-narik diri.” (HZ/8/P-3)

[email protected]

engah Cuek p Korupsi

angat diperlukan dalam hal pemberantasan korupsi. aat ini belum terwujud di Indonesia.

KORUPSI bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Tetapi pada umumnya, korup-si biasanya dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan, baik kekuasaan uang maupun kekuasaan politik.

Tengok saja seabrek pelaku korupsi di Indonesia, pasti melibatkan nama-nama beken mulai dari yang berprofesi sebagai pengawai negeri sipil (PNS) seperti Gayus Tambunan hingga pejabat tinggi negara seperti anggota DPR.

Para koruptor umumnya tidak jauh dari lingkaran kelas menengah (secara ekonomi), bahkan berasal dari kelas itu sendiri. Mereka punya akses informasi, memiliki jaringan luas, dan punya penghasilan memadai.

Oleh karena itu, tidak ber-lebihan jika kita menyebut jauh panggang dari api bila terlalu tinggi berharap kepada kelas menengah untuk melawan korupsi.

Lalu, siapa atau golong-an masyarakat

mana yang bisa diandalkan un-tuk melawan ko-rupsi di Indone-

sia? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkali-kali menyata-

kan perang melawan korupsi. Tetapi pemberantasan korupsi di negeri ini tetap saja terkesan tebang pilih.

Apabila kita berkaca dari negara tetangga, Filipina, mi-salnya, otoriterisme dan pe-rilaku korup rezim Presiden Ferdinand Marcos bisa dirun-tuhkan oleh sebuah gerakan people power yang turut dimo-tori kelas menengah.

Memang, kelas menengah Filipina agak berbeda dengan di Indonesia. Di Filipina, watak oportunis kelas menengah masih bisa dipisahkan dari kekuasaan rezim. Bila rezim dipandang tidak lagi mengun-tungkan, mereka bisa segera mengubah pendulum keber-pihakan.

Hal itulah yang tidak selalu terjadi pada kelas menengah kita. Kelas menengah di negeri ini, meskipun tidak semuanya, masih sulit mengambil jarak

dari pusaran kekuasaan.Selain itu, di Indonesia, suara

kelas menengah tidak jelas se-hingga perjuangan antikorupsi yang mereka lakukan nyaris tidak terlihat di permukaan.

Kondisi sosiologis perkotaan yang individualistis membuat kelas menengah belum tergu-gah untuk berpartisipasi aktif dalam pemberantasan korupsi, walau mereka sering mengam-bil bagian dan mendukung gerakan itu.

Kelas menengah sesungguh-nya cukup sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh tindak-an korupsi. Tetapi me reka cenderung untuk mengeks-presikan hal itu hanya dengan kata-kata, tanpa ada tindakan nyata yang lebih berarti. Siapa yang mereka tiru?

Tidak perlu kita menunjuk hidung siapa yang paling ber-tanggung jawab atas keber-hasilan dan kegagalan pembe-rantasan korupsi di negeri ini. Tetapi yang pasti, harus kita akui bahwa perang melawan korupsi yang dikumandangkan selama ini hanya garang dalam pernyataan dan wacana.

Implementasi pernyataan soal perang melawan korupsi, baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korup-

si, belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Bila negara saja belum mam-pu melawan korupsi, jangan berharap terlalu banyak dari masyarakat kelas menengah untuk berperan lebih hebat daripada apa yang dilakukan negara selama ini. (Amahl S Azwar/P-3)

Siapa yang Mereka Tiru?

Harus kita akui bahwa perang

melawan korupsi yang dikumandangkan selama ini hanya garang dalam pernyataan dan wacana.”

EBET

SOROT

MI/RAMDANI

ANTARA/ANDIKA WAHYU MI/SUSANTO

AKSI SIMPATIK: Seorang wanita yang tergabung dalam Aliansi Srikandi Pemberantasan Korupsi melakukan aksi simpatik dengan membagikan bunga di depan gedung KPK, Jakarta, Senin (3/10).

LASKAR ANTI KORUPSI: Seorang anggota Laskar Anti Korupsi Indonesia Pejuang (LAKI Pejuang) mengikuti aksi dan deklarasi laskar tersebut di depan Kantor KPK di Jakarta, Kamis (22/9).

GENERASI JUJUR: Peserta membubuhkan cat warna pada kaus bertuliskan ‘generasi jujur antikorupsi’ saat mengikuti penyuluhan di gedung pusat Pertamina, Jakarta, beberapa waktu lalu.

TEMA:Era Baru

Perubahan Politikdi Myanmar

INTERNASIONALSELASA (6/12/2011)

FOKUS